laporan kasus

30
LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien Nama : Ny. M Umur : 59 tahun Alamat : Delingan/Gedong/karanganyar No RM : 1652XX Agama : Islam Masuk RS : 23 Januari 2013 Tanggal pemeriksaan : 23 Januari 2013 B. Anamnesis Keluhan utama Keluar darah dari lubang hidung Riwayat penyakit sekarang Pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar dengan keluhan keluar darah dari kedua lubang hidung sejak ± 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Darah yang keluar berwarna merah segar, sulit berhenti, dan berulang lebih dari tiga kali, total darah yang keluar ± 1 4 gelas belimbing. Darah tidak berhenti keluar walaupun pasien sudah memencet hidungnya. Pasien mengaku tidak pernah mengalami trauma benturan maupun mengorek-ngorek hidung. Pasien merasakan badan pasien lemas, pusing cekot-cekot setelah 1

Upload: ega-prasetya

Post on 08-Aug-2015

108 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KASUS

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. M

Umur : 59 tahun

Alamat : Delingan/Gedong/karanganyar

No RM : 1652XX

Agama : Islam

Masuk RS : 23 Januari 2013

Tanggal pemeriksaan : 23 Januari 2013

B. Anamnesis

Keluhan utama

Keluar darah dari lubang hidung

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar dengan keluhan keluar darah

dari kedua lubang hidung sejak ± 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Darah

yang keluar berwarna merah segar, sulit berhenti, dan berulang lebih dari tiga

kali, total darah yang keluar ±14

gelas belimbing. Darah tidak berhenti keluar

walaupun pasien sudah memencet hidungnya. Pasien mengaku tidak pernah

mengalami trauma benturan maupun mengorek-ngorek hidung. Pasien

merasakan badan pasien lemas, pusing cekot-cekot setelah mimisan. Selain

itu, pasien juga mengeluh leher terasa cengeng, tidak mual, dan tidak muntah.

Keluhan pilek, hidung tersumbat, rasa gatal atau panas pada hidung serta

perdarahan pada bagian lain tubuh tidak dikeluhkan pasien.

Pasien tidak mengeluhkan nyeri telinga, telinga berdenging disangkal,

penurunan pendengaran disangkal, telinga gatal disangkal, telinga terasa

penuh disangkal, keluar cairan dari telinga disangkal, keluar darah dari

telinga disangkal, dikorek dengan cutton bud disangkal.

1

Page 2: LAPORAN KASUS

Keluhan lain batuk diakui, tidak berdahak, nyeri tenggorok disangkal,

nyeri telan disangkal, sulit menelan disangkal, rasa gatal di tenggorokan

disangkal, rasa mengganjal di tenggorokan disangkal, sakit gigi disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat keluhan yang sama : diakui (± 5 bulan yang lalu)

Riwayat hipertensi : diakui (± 2 tahun yang lalu), namun

jarang kontrol tekanan darah.

Riwayat DM : disangkal

Riwayat opname : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat alergi makanan : disangkal

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat sakit serupa : disangkal

Riwayat Alergi obat & makanan : disangkal

C. Pemeriksaan Fisik

1. Status generalis

Keadaan umum : Cukup

Kesadaran : compos mentis

2. Vital Sign

Tekanan Darah : 190/110 mmHg

Nadi : 92 x/mnt

Respirasi Rate : 18 x/mnt

Suhu : 36,4 ̊C

2

Page 3: LAPORAN KASUS

3. Pemeriksaan Sistemik

a. Kepala : Bentuk dan ukuran normal

b. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

c. Leher : pembesaran Kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP

(-)

d. Thorax :

Paru

Inspeksi : simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)

Palpasi : fremitus (+/+), ketinggalan gerak (-)

Perkusi :

Auskultasi : SDV (+/+), Wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)

Jantung

Suara jantung I-II intensitas normal reguler. Bising jantung (-)

e. Abdomen

Inspeksi : distended (-), darm countur (-), darm steifung (-),

supel.

Auskultasi : peristaltik normal

Perkusi : timpani

Palpasi :defans muskuler (-), nyeri tekan pada

hipocondriaca dextra (+) dan teraba kaku pada hipocondriaca

dextra

f. Ekstremitas : akral hangat (+), turgor kulit baik, oedem (-),

sianosis (-).

Status Lokalis

Telinga

Inspeksi

AD : bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-), bengkak (-),

hiperemis (-), sekret (-).

3

S S

S S

S S

Page 4: LAPORAN KASUS

AS : bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-), bengkak (-),

hiperemis (-), sekret (-).

Palpasi

AD : Tragus pain (-)

AS : tragus pain (-)

Otoskopi

AD : CAE udema (-), hiperemis

(-), discharge (-), serumen

(-), membran tympani

tampak utuh

AS : CAE udema (-), hiperemis

(-), discharge (-), serumen

(-), membran tympani

tampak utuh

Hidung dan Paranasal

Inspeksi : cairan darah mengalir dari kedua lubang hidug, deformitas (-),

bekas luka (-), sekret dari hidung (-), edema (-)

Palpasi : Krepitasi (-), Nyeri tekan (-)

Rinoskopi Anterior

ND : Sekret darah mengalir (+),

sumber perdarahan sulit

dievaluasi, mukosa hiperemis (+),

mukosa laserasi sulit dievaluasi,

concha media dan inferior

hipertrofi (-), septum nasi deviasi

(-), discharge (-), udema (-),

massa di rongga hidung (-)

NS : Sekret darah mengalir (+),

sumber perdarahan sulit

dievaluasi, mukosa hiperemis (+),

4

Page 5: LAPORAN KASUS

mukosa laserasi sulit dievaluasi,

concha media dan inferior

hipertrofi (-), septum nasi deviasi

(-), discharge (-), udema (-),

massa di rongga hidung (-)

Nasofaring (Rinoskopi Posterior)

Dinding belakang : N/N

Muara tuba eustachii : N/N

Adenoid : N/N

Tumor : (-/-)

Tenggorokan dan Laring

Inspeksi : cairan darah

mengalir minimal dengan

sekret darah (+), mukosa

faring hiperemis (-),

pembesaran tonsil (-), tonsil

hiperemis (-), uvula tidak

membengkak, palatum mole

tidak membengkak.

Palpasi : limfadenopati (-),

nyeri tekan (-)

Laring (Laringoskopi Indirek)

Epiglotis :N/N

Aritenoid : N/N

Plika vokalis : N/N

Gerak Plika vokalis : N/N

5

Page 6: LAPORAN KASUS

Subglotis : N/N

Tumor : (-/-)

Kepala dan Leher

Kepala : dbn

Leher : pembesaran KGB

(-/-), Massa abnormal (-), nyeri tekan

(-)

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Interpretasi Hasil

Leukosit 7.700/mm3 Dalam batas normal

Eritrosit 4.150.000/mm3 Dalam batas normal

Hemoglobin (Hb) 12,5 g/dL Dalam batas normal

Hematokrit (HCT) 39,5% mikron Dalam batas normal

MCV 95,2 mikron Dalam batas normal

MCH 30,1 pikogram Dalam batas normal

MCHC 31,6 % Dalam batas normal

RLT 305.000 mm3 Dalam batas normal

GDS 123 mg/ml Dalam batas normal

E. Diagnosis

Epistaksis et causa Hipertensi stage II

F. Terapi

1. Tindakan penghentian perdarahan : Tampon Anterior

2. Medikamentosa:

a. Infus RL 20 tpm

b. Inj. Cefxon 1 amp/24 jam

6

Page 7: LAPORAN KASUS

c. Inj. Asam Tranexamat 1 amp/8 jam

d. Inj. Furosemid 1 amp/12 jam

e. Captopril 3x25 mg

3. Observasi KU dan Vital sign serta epistaksis berulang

G. Prognosis

Ad vitam : ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungtionam : ad bonam

7

Page 8: LAPORAN KASUS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, merupakan suatu keluhan

atau tanda, bukan penyakit. dapat bersifat primer atau sekunder, spontan atau

akibat rangsangan dan berlokasi disebelah anterior atau posterior (Sudjipto,

2007).

B. Anatomi Fisiologi

Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna

(AKI) dan karotis eksterna (AKE). Suplai darah cavum nasi berasal dari

sistem karotis; arteri karotis eksterna dan karotis interna. Arteri karotis

eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :

1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan

melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat

posterior dan dinding lateral hidung.

2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang

berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian

inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika

mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi

septum dan dinding lateral superior.

Gambar 1. Pembuluh darah di daerah septum nasi.

C. Etiologi

8

Page 9: LAPORAN KASUS

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam

selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari

pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach

terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan

mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis

dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik

(Mangunkusumo, 2007).

1. Lokal

a. Trauma

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya

mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma

seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang

merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan

epistaksis.

b. Infeksi

Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma

spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.

c. Neoplasma

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan

intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,

Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan

epistaksis berat.

d. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah

perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic

telangiectasia/Osler's disease). Pasien ini juga menderita telangiektasis

di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau

pembuluh darah paru.

e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.

9

Page 10: LAPORAN KASUS

Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi

predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila

mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan

yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta

yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma

digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana

mukosa septum dan kemudian perdarahan.

f. Pengaruh lingkungan

Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah

atau lingkungan udaranya sangat kering.

2. Sistemik

a. Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia, ITP,

diskrasia darah, obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan

fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.

b. Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,

nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat

menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat,

sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.

c. Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam

tifoid.

d. Gangguan endokrin

Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis,

kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari

hidung menyertai fase menstruasi

(Mangunkusumo, 2007).

D. LOKASI EPISTAKSIS

Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang

sukar ditanggulangi (Ichsan., 2001). Pada umumnya terdapat dua sumber

perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.

10

Page 11: LAPORAN KASUS

1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan

sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal

dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan)

dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana

Gambar 2. Epistaksis anterior

2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid

posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri,

sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering

ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.

Gambar 3. Epistaksis posterior

11

Page 12: LAPORAN KASUS

E. Patofisiologi

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia

menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah

tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari

fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut.

Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah

karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang

banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi

perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan

lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal

atau trauma.

Terdapat dua sumber perdarahan, yaitu :

1. Epistaksis anterior

Kebanyakan berasal dari pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior

atau dari a. etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior bisanya

ringan, diakibatkan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan

mengorek hidung, seringkali berulang dan dapat berhenti dengan

sendirinya.

2. Epistaksis posterior

Epistaksis posterior disebabkan oleh rupturnya pembuluh darah yang

berada di posterior cavum nasi, tersering yaitu arteri sphenopalatina. Salah

satu penyebab rupturnya adalah karena kemungkinan pasien mengidap

hipertensi yang sudah cukup lama. Hipertensi akan menyebabkan dinding

pembuluh darah akan melemah dan melebar karena tekanan yang besar

dalam waktu yang lama. Dinding pembuluh darah menjadi lebih lemah

dari seharusnya, sehingga lebih mudah terjadi ruptur (Ichsan, 2001).

F. Gambaran Klinis

Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan

semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah

membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi

untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung

12

Page 13: LAPORAN KASUS

dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal

yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan

adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan

membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti

untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung

dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari

hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda

dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya

adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa :

a) Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.

Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan

konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

b) Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien

dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan

neoplasma.

c) Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,

karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering

berulang.

d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI

Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau

infeksi.

e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan

penyakit lainnya.

13

Page 14: LAPORAN KASUS

f) Skrining terhadap koagulopati

Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu

tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.

g) Riwayat penyakit

Riwayat penyakit dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang

mendasari epistaksis.

G. Penatalaksanaan

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu :

menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya

epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien. Tindakan

yang dapat dilakukan antara lain:

1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk

kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.

2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat

dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping

hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode Trotter).

3. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang

telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat

penghisap untuk membersihkan bekuan darah.

14

Page 15: LAPORAN KASUS

4. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,

dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam

trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan

analgesia topikal terlebih dahulu.

5. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,

diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang

diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga

dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan

lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke

puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal

perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.

Menghentikan perdarahan- Perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum

bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarah anterior,

terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari

luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil. Bila sumber perdarahan dapat

terlihat, tempat asal perdarahan dikausatik dengan larutan Nitras Argenti

(AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik. Bila

dengan cari ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan

pemasanagan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi

pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas agar tampon

mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat

dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah,

disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon

dipertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah

infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk

mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum

berhenti, dipasang tampon baru.

15

Page 16: LAPORAN KASUS

- Perdarahan posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya

perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan

rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan

pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini

dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm.

Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi

berlawanan. Untuk memasang tampon posterior pada perdarah satu sisi,

digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung

samapi tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung

kateter diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik

kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon

perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum

molle masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat

ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang

keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares

anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya.

Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi

pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah

2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi

mukosa. Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus

16

Page 17: LAPORAN KASUS

angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui

kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-

tengah nasofaring. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan

kateter Folley dengan balon (Munir, 2006).

H. Komplikasi

Komplikasi dapat diakibatkan oleh epistaksisnya sendiri atau sebagai

akibat dari penanganan epistaksis, antara lain :

1. Akibat epistaksis

a. Perdarahan yang hebat dapat mengakibatkan aspirasi darah ke saluran

napasan bawah, syok, anemia dan gagal ginjal.

b. Hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner hingga infark

miokard dapat terjadi sebagai akibat dari penurunan tekanan darah

secara mendadak.

c. Kemungkinan terjadinya infeksi akibat pembuluh darah yang terbuka.

2. Akibat penangan epistaksis (tampon)

a. Rinosinusitis, otitis media dan septicemia dapat terjadi sebagai

komplikasi dari pemasangan tampon.

b. Apabila darah mengalir melalui tuba Eustachius dapat mengakibatkan

terjadinya hemotimpanum

c. Air mata berdarah (bloody tears) dapat terjadi akibat mengalirnya darah

secara retrograd melalui duktus lakrimalis.

d. Laserasi palatum mole atau sudut bibir sebagai akibat pemasangan

tampon posterior jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat

dilekatkan dipipi.

e. Nekrosis mukosa hidung atau septum bila kateter balon atau tampon

balon dipompa terlalu keras.

I. Prognosis

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada

pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat,

sering kambuh dan prognosisnya buruk.

17

Page 18: LAPORAN KASUS

BAB III

PEMBAHASAN

Pada hasil anamnesis, keterangan tentang jumlah perdarahan, frekuensi, dan

tidak berhenti dengan pencet hidung mendukung hipotesis epistaksis posterior.

Dari status generalis pasien tampak dalam keadaan yang baik (tidak syok) ditinjau

dari tanda vitalnya, hanya saja Tekanan darah yang didapatkan pada pasien

190/110 mmHg dan termasuk hipertensi grade II. Hipertensi pada pasien ini dapat

menunjukkan causa dari epistaksis posterior yang diderita oleh pasien tersebut.

Bunyi jantung, paru-paru, hepar, lien, dan ekstremitas dalam batas normal.

Diagnosis ini ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan lab yang didapat pada pasien ini. anamnesis yang menunjang

diagnosa tersebut yaitu adanya perdarahan dalam waktu yang cukup lama dengan

jumlah yang banyak dan tidak dapat dihentikan dengan pencet hidung, selain itu

pada pemeriksaan fisik pada hidungnya ditemukan sumber perdarahan di bagian

belakang hidung. Pada pemeriksaan tenggorok juga ditemukan adanya darah yang

mengalir dari dinding faring belakang.

Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah

komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat

dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi

anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan

CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat

penyakit pasien.

Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda

keras ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras,

bersin melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan

perdarahan.

18

Page 19: LAPORAN KASUS

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang pasien, diagnosis pada pasien ini adalah epistaksis posterior

et causa hipertensi

2. Penatalaksanaan epistaksis posterior yaitu dengan terapi simptomatik

dengan antihistamin, dan untuk hipertensinya diberikan obat anti

hipertensi.

B. Saran

Edukasi pada pasien ini yakni menghindari pekerjaan yang mengurus tenaga

dan banyak istirahat.

19

Page 20: LAPORAN KASUS

DAFTAR PUSTAKA

Boeis, AH., 1997. Buku Ajar Penyakit THT edisi keenam. Jakarta: EGC.

Soetjipto, D, Mangunkusumo,E, Wardani, R., 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi Keenam, Jakarta: Penerbit FKUI.

Ichsan, M., 2001. Penatalaksanaan Epistaksis. Aceh: FK Universitas Syah Kuala. Available at: http:// www.kalbe .co.id/files/ cdk/files/15_Penatalaksanaan_Epistaksis.pdf/15_Penatalaksanaan_Epistaksis.html. Accessed on: January 5th,2011

Mansjoer A., 2001. Kapita Selekta Kedokteran jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Penerbit media aesculapius.

Munir, D. 2006. Epistaksis. http:// repository .usu. ac. id/ bitstream/ 123456789/

20688/ 1/mkn-sep2006-%20sup%20(15).pdf diakses tanggal 25 Januari 2013

20