laporan kasus
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Umur : 59 tahun
Alamat : Delingan/Gedong/karanganyar
No RM : 1652XX
Agama : Islam
Masuk RS : 23 Januari 2013
Tanggal pemeriksaan : 23 Januari 2013
B. Anamnesis
Keluhan utama
Keluar darah dari lubang hidung
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar dengan keluhan keluar darah
dari kedua lubang hidung sejak ± 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Darah
yang keluar berwarna merah segar, sulit berhenti, dan berulang lebih dari tiga
kali, total darah yang keluar ±14
gelas belimbing. Darah tidak berhenti keluar
walaupun pasien sudah memencet hidungnya. Pasien mengaku tidak pernah
mengalami trauma benturan maupun mengorek-ngorek hidung. Pasien
merasakan badan pasien lemas, pusing cekot-cekot setelah mimisan. Selain
itu, pasien juga mengeluh leher terasa cengeng, tidak mual, dan tidak muntah.
Keluhan pilek, hidung tersumbat, rasa gatal atau panas pada hidung serta
perdarahan pada bagian lain tubuh tidak dikeluhkan pasien.
Pasien tidak mengeluhkan nyeri telinga, telinga berdenging disangkal,
penurunan pendengaran disangkal, telinga gatal disangkal, telinga terasa
penuh disangkal, keluar cairan dari telinga disangkal, keluar darah dari
telinga disangkal, dikorek dengan cutton bud disangkal.
1
Keluhan lain batuk diakui, tidak berdahak, nyeri tenggorok disangkal,
nyeri telan disangkal, sulit menelan disangkal, rasa gatal di tenggorokan
disangkal, rasa mengganjal di tenggorokan disangkal, sakit gigi disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan yang sama : diakui (± 5 bulan yang lalu)
Riwayat hipertensi : diakui (± 2 tahun yang lalu), namun
jarang kontrol tekanan darah.
Riwayat DM : disangkal
Riwayat opname : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat Alergi obat & makanan : disangkal
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status generalis
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : compos mentis
2. Vital Sign
Tekanan Darah : 190/110 mmHg
Nadi : 92 x/mnt
Respirasi Rate : 18 x/mnt
Suhu : 36,4 ̊C
2
3. Pemeriksaan Sistemik
a. Kepala : Bentuk dan ukuran normal
b. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
c. Leher : pembesaran Kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP
(-)
d. Thorax :
Paru
Inspeksi : simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : fremitus (+/+), ketinggalan gerak (-)
Perkusi :
Auskultasi : SDV (+/+), Wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
Jantung
Suara jantung I-II intensitas normal reguler. Bising jantung (-)
e. Abdomen
Inspeksi : distended (-), darm countur (-), darm steifung (-),
supel.
Auskultasi : peristaltik normal
Perkusi : timpani
Palpasi :defans muskuler (-), nyeri tekan pada
hipocondriaca dextra (+) dan teraba kaku pada hipocondriaca
dextra
f. Ekstremitas : akral hangat (+), turgor kulit baik, oedem (-),
sianosis (-).
Status Lokalis
Telinga
Inspeksi
AD : bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-), bengkak (-),
hiperemis (-), sekret (-).
3
S S
S S
S S
AS : bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-), bengkak (-),
hiperemis (-), sekret (-).
Palpasi
AD : Tragus pain (-)
AS : tragus pain (-)
Otoskopi
AD : CAE udema (-), hiperemis
(-), discharge (-), serumen
(-), membran tympani
tampak utuh
AS : CAE udema (-), hiperemis
(-), discharge (-), serumen
(-), membran tympani
tampak utuh
Hidung dan Paranasal
Inspeksi : cairan darah mengalir dari kedua lubang hidug, deformitas (-),
bekas luka (-), sekret dari hidung (-), edema (-)
Palpasi : Krepitasi (-), Nyeri tekan (-)
Rinoskopi Anterior
ND : Sekret darah mengalir (+),
sumber perdarahan sulit
dievaluasi, mukosa hiperemis (+),
mukosa laserasi sulit dievaluasi,
concha media dan inferior
hipertrofi (-), septum nasi deviasi
(-), discharge (-), udema (-),
massa di rongga hidung (-)
NS : Sekret darah mengalir (+),
sumber perdarahan sulit
dievaluasi, mukosa hiperemis (+),
4
mukosa laserasi sulit dievaluasi,
concha media dan inferior
hipertrofi (-), septum nasi deviasi
(-), discharge (-), udema (-),
massa di rongga hidung (-)
Nasofaring (Rinoskopi Posterior)
Dinding belakang : N/N
Muara tuba eustachii : N/N
Adenoid : N/N
Tumor : (-/-)
Tenggorokan dan Laring
Inspeksi : cairan darah
mengalir minimal dengan
sekret darah (+), mukosa
faring hiperemis (-),
pembesaran tonsil (-), tonsil
hiperemis (-), uvula tidak
membengkak, palatum mole
tidak membengkak.
Palpasi : limfadenopati (-),
nyeri tekan (-)
Laring (Laringoskopi Indirek)
Epiglotis :N/N
Aritenoid : N/N
Plika vokalis : N/N
Gerak Plika vokalis : N/N
5
Subglotis : N/N
Tumor : (-/-)
Kepala dan Leher
Kepala : dbn
Leher : pembesaran KGB
(-/-), Massa abnormal (-), nyeri tekan
(-)
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hasil Interpretasi Hasil
Leukosit 7.700/mm3 Dalam batas normal
Eritrosit 4.150.000/mm3 Dalam batas normal
Hemoglobin (Hb) 12,5 g/dL Dalam batas normal
Hematokrit (HCT) 39,5% mikron Dalam batas normal
MCV 95,2 mikron Dalam batas normal
MCH 30,1 pikogram Dalam batas normal
MCHC 31,6 % Dalam batas normal
RLT 305.000 mm3 Dalam batas normal
GDS 123 mg/ml Dalam batas normal
E. Diagnosis
Epistaksis et causa Hipertensi stage II
F. Terapi
1. Tindakan penghentian perdarahan : Tampon Anterior
2. Medikamentosa:
a. Infus RL 20 tpm
b. Inj. Cefxon 1 amp/24 jam
6
c. Inj. Asam Tranexamat 1 amp/8 jam
d. Inj. Furosemid 1 amp/12 jam
e. Captopril 3x25 mg
3. Observasi KU dan Vital sign serta epistaksis berulang
G. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungtionam : ad bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, merupakan suatu keluhan
atau tanda, bukan penyakit. dapat bersifat primer atau sekunder, spontan atau
akibat rangsangan dan berlokasi disebelah anterior atau posterior (Sudjipto,
2007).
B. Anatomi Fisiologi
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna
(AKI) dan karotis eksterna (AKE). Suplai darah cavum nasi berasal dari
sistem karotis; arteri karotis eksterna dan karotis interna. Arteri karotis
eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :
1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan
melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat
posterior dan dinding lateral hidung.
2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang
berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian
inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika
mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi
septum dan dinding lateral superior.
Gambar 1. Pembuluh darah di daerah septum nasi.
C. Etiologi
8
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam
selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari
pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach
terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan
mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik
(Mangunkusumo, 2007).
1. Lokal
a. Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya
mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma
seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang
merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan
epistaksis.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma
spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan
epistaksis berat.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic
telangiectasia/Osler's disease). Pasien ini juga menderita telangiektasis
di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau
pembuluh darah paru.
e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.
9
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi
predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila
mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan
yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta
yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma
digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana
mukosa septum dan kemudian perdarahan.
f. Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah
atau lingkungan udaranya sangat kering.
2. Sistemik
a. Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia, ITP,
diskrasia darah, obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan
fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
b. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat,
sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
c. Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam
tifoid.
d. Gangguan endokrin
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis,
kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari
hidung menyertai fase menstruasi
(Mangunkusumo, 2007).
D. LOKASI EPISTAKSIS
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi (Ichsan., 2001). Pada umumnya terdapat dua sumber
perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.
10
1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal
dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan)
dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana
Gambar 2. Epistaksis anterior
2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid
posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri,
sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering
ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Gambar 3. Epistaksis posterior
11
E. Patofisiologi
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia
menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah
tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari
fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut.
Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah
karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang
banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi
perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan
lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal
atau trauma.
Terdapat dua sumber perdarahan, yaitu :
1. Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior
atau dari a. etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior bisanya
ringan, diakibatkan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan
mengorek hidung, seringkali berulang dan dapat berhenti dengan
sendirinya.
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior disebabkan oleh rupturnya pembuluh darah yang
berada di posterior cavum nasi, tersering yaitu arteri sphenopalatina. Salah
satu penyebab rupturnya adalah karena kemungkinan pasien mengidap
hipertensi yang sudah cukup lama. Hipertensi akan menyebabkan dinding
pembuluh darah akan melemah dan melebar karena tekanan yang besar
dalam waktu yang lama. Dinding pembuluh darah menjadi lebih lemah
dari seharusnya, sehingga lebih mudah terjadi ruptur (Ichsan, 2001).
F. Gambaran Klinis
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan
semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah
membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi
untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung
12
dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal
yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan
adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan
membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti
untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda
dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya
adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau
infeksi.
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.
13
f) Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu
tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
g) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang
mendasari epistaksis.
G. Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu :
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya
epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien. Tindakan
yang dapat dilakukan antara lain:
1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode Trotter).
3. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang
telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat
penghisap untuk membersihkan bekuan darah.
14
4. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam
trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan
analgesia topikal terlebih dahulu.
5. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang
diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga
dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan
lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke
puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal
perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
Menghentikan perdarahan- Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum
bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarah anterior,
terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari
luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil. Bila sumber perdarahan dapat
terlihat, tempat asal perdarahan dikausatik dengan larutan Nitras Argenti
(AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik. Bila
dengan cari ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasanagan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi
pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas agar tampon
mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat
dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah,
disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon
dipertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah
infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum
berhenti, dipasang tampon baru.
15
- Perdarahan posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya
perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan
rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan
pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini
dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm.
Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi
berlawanan. Untuk memasang tampon posterior pada perdarah satu sisi,
digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung
samapi tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung
kateter diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik
kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon
perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum
molle masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat
ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang
keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares
anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya.
Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi
pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah
2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi
mukosa. Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus
16
angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui
kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-
tengah nasofaring. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan
kateter Folley dengan balon (Munir, 2006).
H. Komplikasi
Komplikasi dapat diakibatkan oleh epistaksisnya sendiri atau sebagai
akibat dari penanganan epistaksis, antara lain :
1. Akibat epistaksis
a. Perdarahan yang hebat dapat mengakibatkan aspirasi darah ke saluran
napasan bawah, syok, anemia dan gagal ginjal.
b. Hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner hingga infark
miokard dapat terjadi sebagai akibat dari penurunan tekanan darah
secara mendadak.
c. Kemungkinan terjadinya infeksi akibat pembuluh darah yang terbuka.
2. Akibat penangan epistaksis (tampon)
a. Rinosinusitis, otitis media dan septicemia dapat terjadi sebagai
komplikasi dari pemasangan tampon.
b. Apabila darah mengalir melalui tuba Eustachius dapat mengakibatkan
terjadinya hemotimpanum
c. Air mata berdarah (bloody tears) dapat terjadi akibat mengalirnya darah
secara retrograd melalui duktus lakrimalis.
d. Laserasi palatum mole atau sudut bibir sebagai akibat pemasangan
tampon posterior jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat
dilekatkan dipipi.
e. Nekrosis mukosa hidung atau septum bila kateter balon atau tampon
balon dipompa terlalu keras.
I. Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada
pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat,
sering kambuh dan prognosisnya buruk.
17
BAB III
PEMBAHASAN
Pada hasil anamnesis, keterangan tentang jumlah perdarahan, frekuensi, dan
tidak berhenti dengan pencet hidung mendukung hipotesis epistaksis posterior.
Dari status generalis pasien tampak dalam keadaan yang baik (tidak syok) ditinjau
dari tanda vitalnya, hanya saja Tekanan darah yang didapatkan pada pasien
190/110 mmHg dan termasuk hipertensi grade II. Hipertensi pada pasien ini dapat
menunjukkan causa dari epistaksis posterior yang diderita oleh pasien tersebut.
Bunyi jantung, paru-paru, hepar, lien, dan ekstremitas dalam batas normal.
Diagnosis ini ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan lab yang didapat pada pasien ini. anamnesis yang menunjang
diagnosa tersebut yaitu adanya perdarahan dalam waktu yang cukup lama dengan
jumlah yang banyak dan tidak dapat dihentikan dengan pencet hidung, selain itu
pada pemeriksaan fisik pada hidungnya ditemukan sumber perdarahan di bagian
belakang hidung. Pada pemeriksaan tenggorok juga ditemukan adanya darah yang
mengalir dari dinding faring belakang.
Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi
anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan
CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat
penyakit pasien.
Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda
keras ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras,
bersin melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan
perdarahan.
18
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pasien, diagnosis pada pasien ini adalah epistaksis posterior
et causa hipertensi
2. Penatalaksanaan epistaksis posterior yaitu dengan terapi simptomatik
dengan antihistamin, dan untuk hipertensinya diberikan obat anti
hipertensi.
B. Saran
Edukasi pada pasien ini yakni menghindari pekerjaan yang mengurus tenaga
dan banyak istirahat.
19
DAFTAR PUSTAKA
Boeis, AH., 1997. Buku Ajar Penyakit THT edisi keenam. Jakarta: EGC.
Soetjipto, D, Mangunkusumo,E, Wardani, R., 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi Keenam, Jakarta: Penerbit FKUI.
Ichsan, M., 2001. Penatalaksanaan Epistaksis. Aceh: FK Universitas Syah Kuala. Available at: http:// www.kalbe .co.id/files/ cdk/files/15_Penatalaksanaan_Epistaksis.pdf/15_Penatalaksanaan_Epistaksis.html. Accessed on: January 5th,2011
Mansjoer A., 2001. Kapita Selekta Kedokteran jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Penerbit media aesculapius.
Munir, D. 2006. Epistaksis. http:// repository .usu. ac. id/ bitstream/ 123456789/
20688/ 1/mkn-sep2006-%20sup%20(15).pdf diakses tanggal 25 Januari 2013
20