laporan kasus 1 atresia bilier

56
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI RS PENDIDIKAN : RSUD KOTA BEKASI STATUS PASIEN KASUS Nama Mahasiswa : Gadista P. Annisa Pembimbing : dr. Dina S Daliyanti,Sp.A NIM : 030.09.100 Tanda tangan : BAB I ILUSTRASI KASUS I. IDENTITAS Data Pasien Ayah Ibu Nama An. I Tn. D Ny. Y Umur 7 bulan 27 25 Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan Alamat Kp. Buwesti Jaya RT003 Bekasi Agama Islam Islam Islam Suku bangsa - Sunda Sunda Pendidikan - SMA SMA Pekerjaan Pelajar Buruh Pabrik IRT Penghasilan - Rp. 1.500.000 - Keterangan Hubungan dengan orang tua : Anak 1

Upload: deedee2223

Post on 16-Jan-2016

230 views

Category:

Documents


24 download

DESCRIPTION

atresia bilier

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RS PENDIDIKAN : RSUD KOTA BEKASI

STATUS PASIEN KASUS

Nama Mahasiswa : Gadista P. Annisa Pembimbing : dr. Dina S Daliyanti,Sp.A

NIM : 030.09.100 Tanda tangan:

BAB I

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS

Data Pasien Ayah Ibu

Nama An. I Tn. D Ny. Y

Umur 7 bulan 27 25

Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan

Alamat Kp. Buwesti Jaya RT003 Bekasi

Agama Islam Islam Islam

Suku bangsa - Sunda Sunda

Pendidikan - SMA SMA

Pekerjaan Pelajar Buruh Pabrik IRT

Penghasilan - Rp. 1.500.000 -

Keterangan Hubungan dengan

orang tua : Anak

Kandung

Tanggal Masuk

RS

17 Maret 2015

II. ANAMNESIS

Dilakukan sacara Alloanamnesis kepada ibu pasien.

a. Keluhan Utama :

Sesak nafas sejak 2 hari SMRS

b. Keluhan Tambahan :

1

Page 2: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Batuk berdahak, demam.

c. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang diantar oleh keluarga ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan sesak

nafas sejak 2 hari SMRS. Selain itu ibu pasien juga mengatakan terdapat keluhan lainnya

seperti batuk berdahak yang dirasakan pasien sejak 2 hari SMRS, tidak ada pilek, tidak

ada muntah tetapi pasien mengalami demam sejak 1 hari SMRS. Demam naik turun telah

diberikan pengobatan yaitu sanmol belum ada perubahan, tidak ada kejang. Pasien sulit

minum dan sulit makan. Badan pasien terlihat agak kuning. BAB dan BAK pasien tidak

ada keluhan, masih seperti biasa baik konsistensi dan warnanya. Paginya sebelum dibawa

ke RSUD Kota Bekasi pasien dibawa oleh kedua orangtuanya ke rumah sakit terdekat

dengan rumahnya yaitu Rumah Sakit Kartika Husada akibat sesak yang dirasakan pasien

terlihat semakin berat dan badan pasien terlihat agak kuning. Dari Rumah Sakit Kartika

Husada pasien dirujuk ke RSUD Kota Bekasi denga diagnosa bronkpnemonia potensi

gangguan nafas dengan atresia bilier. Siang itu juga pasien langsung dibawa oleh

keluarganya ke UGD RSUD Kota Bekasi, sebelumnya diRumah Sakit Kartika Husada

telah diberikaan pengobatan berupa inhalasi dengan ventolin 1 ampul dan Nacl.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi - Difteria - Jantung -

Cacingan - Diare - Ginjal -

DBD - Kejang - Darah -

Thypoid - Maag - Radang paru -

Otitis - Varicela - Tuberkulosis -

Parotis - Asma - Morbili -

Kesan : Pasien tidak pernah mengalami sakit

e. Riwayat Penyakit Keluarga :

Di dalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal yang sama seperti pasien.

2

Page 3: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :

KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ada

Perawatan antenatal Periksa ke bidan 1 kali tiap

bulan

KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah

Penolong persalinan Bidan

Cara persalinan Spontan

Masa gestasi 38 minggu

Keadaan bayi

BBL : 3300 gram

PB : 46 CM

Langsung menangis, merah

Apgar score tidak tahu

Tidak ada kelainan bawaan

Kesan : Riwayat kehamilan dan riwayat Kelahiran pasien baik

g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

Pertumbuhan gigi I : Usia 6 bulan (normal: 5-9 bulan)

Psikomotor

Tengkurap : Usia 4 bulan (normal: 3-4 bulan)

Duduk : Usia 6 bulan (normal: 6 bulan)

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien baik

h. Riwayat Makanan

Umur

(bulan)

ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim

0-2 +/-

2-4 +/-

4-6 +/-

6-7 +/- + + +

8-10 - - - -

10-12 - - - -

3

Page 4: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Kesan : Pasien selalu minum ASI sampai umur 7 bulan ini, tidak pernah minum

susu formula, pasien mulai makan makanan buah atau biskuit sejak berumur 6

bulan.

i. Riwayat Imunisasi :

Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)

BCG 1 bln

DPT 2 bln 4 bln 6 bln

POLIO Lahir 2 bln 4 bln 6 bln

CAMPAK -

HEPATITIS B Lahir 1 bln 6 bln

Kesan : Riwayat imunisasi pasien menurut PPI lengkap

J. Riwayat Keluarga

Ayah Ibu

Nama Tn. D Ny. Y

Perkawinan ke 1 1

Umur 27 25

Keadaan kesehatan Sehat Sehat

Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik

k. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :

Pasien tinggal di rumah kontrakan bersama kedua orang tua, dinding terbuat dari

tembok. atap terbuat dari genteng, ventilasi cukup, jarak septic tank ke sumur sekitar 10 m.

Terdapat tempat pembuangan sampah di depan rumah sampahnya akan diangkut oleh tukang

pengankut sampah setiap harinya.

Kesan : Riwayat perumahan dan sanitasi pasien baik

II. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan umum : Tampak sakit berat

b. PAT

o A : Interactivity (+) look (+), speech (+), tonus (+), consolability (+)

4

Page 5: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

o B : Sesak (+), napas cuping hidung (+), retraksi (+)

o C : pucat (-), mottled (-), sianosis (-)

c. Tanda Vital

- Kesadaran : Composmentis

- Tekanan darah : 110/70 mmHg

- Frekuensi nadi : 128x/menit

- Frekuensi pernapasan : 56x/menit

- Suhu tubuh : 38,7 o C

d. Data antropometri

- Berat badan :6,1 kg

- Tinggi badan :70,5 cm

- Status Gizi menurut WHO-NCHS

o BB/U : -2 s/d +2 : Gizi baik

o TB/U : -2 s/d +2 : Perawakan normal

o BB/TB : <-3 : Kurus

e. Kepala

Bentuk : Normocephali

Rambut : Rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata

Mata : edema palpebra -/-, lakrimasi +/+, sekret -/-,

Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+, pupil bulat

isokor, RCL+/+, RCTL +/+

Telinga : Normotia, serumen -/-

Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, nafas cuping hidung +/+,

terdapat hematom (-)

Mulut : bibir kering - , lidah kotor -, tonsil T2/T2, faring

hiperemis -

Leher : KGB tidak membesar

kelenjar tiroid tidak membesar

f. Thorax

- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (+)

- Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris

- Perkusi : Sonor pada kedua paru

- Auskultasi : BND vesikuler, ronki +/+ wheezing -/-

5

Page 6: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Cor BJ I & II normal, murmur -, Gallop -

g. Abdomen

- Inspeksi : Perut datar

- Auskultasi : Bising usus (+) normal 3x/menit

- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

membesar

- Perkusi : shifting dullness -, nyeri ketok -

h. Kulit : ikterik +, petechie -

i. Ekstremitas : akral hangat, Sianosis (-), oedem (-), ikterik(+), turgor

kulit cukup, petechie (-), CRT< 3detik,

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium dari RSUD Kota Bekasi (17 Maret 2015)

Pemeriksaan Hasil Nilai NormalHematologi:

• Hemoglobin 8,6 g/dL 11 – 14.5 g/dL

• Leukosit 16.700 /µL 5000 – 10.000/µL

• Hematokrit 27,7 % 40-54%

• Eritrosit 3.38 juta/µL 4–5 juta/µL

Indeks Eritrosit MCV MCH MCH Trombosit

82,5 fL25,5 pg30,9%298.000/µL

75-87 fL24-30 pg31-37%150-400 ribu/µL

Kimia Klinik Elektrolit Natrium(Na) Kalium(K) Clorida(Cl)

138 mmol/L4,5 mmol/L99 mmol/L

135-145 mmol/L3.5 -5.0 mmol/L94- 111 mmol/L

Rontgen Thorax RSUD Kota Bekasi (17 Maret 2014)

Kesan : Bronkopnemonia Duplex

Laboratorium RSUD Kota Bekasi (20 maret 2015)

Pemeriksaan Hasil Nilai NormalHematologi:

• Hemoglobin 12,9 g/dL 11 – 14.5 g/dL

• Leukosit 17.600 /µL 5000 – 10.000/µL

6

Page 7: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

• Hematokrit 39.3 % 40-54%

• Trombosit 213.000 /µL 150.000 – 400.000/µL

Rontgen Abdomen 3 Posisi RSUD Kota Bekasi (23 Maret 2014)

Kesan :Meteorismus, DD : Obstruksi Parsial Saran : Foto Abdomen 3 Posisi ulang

IV. RESUME

a. Anamnesis

Pasien datang diantar oleh keluarga ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan sesak

nafas sejak 2 hari SMRS. Selain itu ibu pasien juga mengatakan terdapat keluhan pasien

lainnya seperti batuk berdahak yang dirasakan pasien sejak 2 hari SMRS. Pasien

mengalami demam sejak 1 hari SMRS. Demam naik turun telah diberikan pengobatan

yaitu sanmol belum ada perubahan. Pasien sulit minum dan sulit makan. Badan pasien

terlihat agak kuning. BAB dan BAK pasien tidak ada keluhan, masih seperti biasa baik

konsistensi dan warnanya. Paginya sebelum dibawa ke RSUD Kota Bekasi pasien dibawa

oleh kedua orangtuanya ke rumah sakit terdekat dengan rumahnya yaitu Rumah Sakit

Kartika Husada akibat sesak yang dirasakan pasien terlihat semakin berat dan badan

pasien terlihat agak kuning. Dari Rumah Sakit Kartika Husada pasien dirujuk ke RSUD

Kota Bekasi denga diagnosa bronkpnemonia potensi gangguan nafas dengan atresia

bilier. Siang itu juga pasien langsung dibawa oleh keluarganya ke UGD RSUD Kota

Bekasi, sebelumnya diRumah Sakit Kartika Husada telah diberikaan pengobatan berupa

inhalasi dengan ventolin 1 ampul dan Nacl.

b. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : Tampak sakit berat

PAT

o A : Interactivity (+) look (+), speech (+), tonus (+), consolability (+)

o B : Sesak (+), napas cuping hidung (+), retraksi (+)

o C : pucat (-), mottled (-), sianosis (-)

Tanda Vital

- Kesadaran : Composmentis

- Tekanan darah : 100/70 mmHg

- Frekuensi nadi : 128x/menit

7

Page 8: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

- Frekuensi pernapasan : 56x/menit

- Suhu tubuh : 38,7 o C

Laboratorium dari RSUD Kota Bekasi (17 Maret 2015)

Pemeriksaan Hasil Nilai NormalHematologi:

• Hemoglobin 11 g/dL 11 – 14.5 g/dL

• Leukosit 16.700 /µL 5000 – 10.000/µL

• Hematokrit 27,7 % 40-54%

• Eritrosit 3.38 juta/µL 4–5 juta/µL

Rontgen Thorax RSUD Kota Bekasi (17 Maret 2014)

Kesan : Bronkopnemonia Duplex

Laboratorium RSUD Kota Bekasi (20 maret 2015)

Pemeriksaan Hasil Nilai NormalHematologi:

• Leukosit 17.600 /µL 5000 – 10.000/µL

• Hematokrit 39.3 % 40-54%

• Trombosit 213.000 /µL 150.000 – 400.000/µL

Rontgen Abdomen 3 Posisi RSUD Kota Bekasi (23 Maret 2014)

Kesan :Meteorismus, DD : Obstruksi Parsial Saran : Foto Abdomen 3 Posisi ulang

V. DIAGNOSIS KERJA

Atresia bilier et causa suspect infeksi dengan bronkopnemonia duplex

VI. DIAGNOSIS BANDING

DD bronkopneumonia : Bronkiolitis

DD atresia Billier : Kolestasis

8

Page 9: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

VII. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa :

IVFD Tridex Plain 15tpm

02 2-3 liter/menit

Cinam 2x350mg

Zinkid 1x5ml

Sanmol 100mg k/p

Amikasin 2x40mg

Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc

Nacl 2 cc

VIII.PROGNOSIS

- Ad vitam : Dubia ad bonam

- As fungsionam : Dubia ad malam

- Ad sanationam : Dubia ad malam

IX. FOLLOW UP

17 Maret 2015

Keluhan : demam (+), batuk (+), sesak (+), muntah (+), ikterik (+)

Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm

02 2-3 liter/menit

Cinam 2x350mg

Zinkid 1x5ml

Sanmol 100mg k/p

18 Maret 2015

Keluhan : sesak (+)

9

Page 10: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm

02 2-3 liter/menit

Cinam 2x350mg

Zinkid 1x5ml

Sanmol 100mg k/p

Amikasin 2x40mg

Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc

Nacl 2 cc

19 Maret 2015

Keluhan : sesak (+)

Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm

Cinam 2x350mg

Amikasin 2x40mg

Zinkid 1x5ml

Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc

Nacl 2 cc

20 Maret 2015

Keluhan : -

Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm

Cinam 2x350mg

Amikasin 2x40mg

Zinkid 1x5ml

Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc

10

Page 11: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Nacl 2 cc

21 Maret 2015

Keluhan : batuk (+)

Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm

02 2-3 liter/menit

Cinam 2x350mg

Amikasin 2x40mg

Zinkid 1x5ml

Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc

Nacl 2 cc

22 Maret 2015

Keluhan : batuk (+), sesak berkurang

Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm

02 2-3 liter/menit

Cinam 2x350mg

Amikasin 2x40mg

Zinkid 1x5ml

Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc

Nacl 2 cc

23 Maret 2015

Keluhan : batuk (+), perut sakit(+)

Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm

02 2-3 liter/menit

11

Page 12: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Cinam 2x350mg

Amikasin 2x40mg

Zinkid 1x5ml

Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc

Nacl 2 cc

Benutrion 75cc/hari

24 Maret 2015

Keluhan : batuk (+), demam (+)

Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm

02 2-3 liter/menit

Cinam 2x350mg

Amikasin 2x40mg

Zinkid 1x5ml

Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc

Nacl 2 cc

25 Maret 2015

Keluhan : perut semakin membesar

Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm

02 2-3 liter/menit

Cinam 2x350mg

Amikasin 2x40mg

Zinkid 1x5ml

Rujuk RSCM

12

Page 13: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

BAB II

ANALISIS KASUS

Pasien ini di diagnosis atresia billier et causa suspect infeksi dengan

bronkopneumonia kompleks.

13

Page 14: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Dari anamnesis didapatkan keluhan yang berarti berupa sesak napas disertai

napas cuping hidung, selain itu pasien mengalami batuk berdahak disertai dengan

demam yang tinggi yang berlangsung selama 2 hari (akut), beberapa keluhan tersebut

dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis bronkopneumonia. Pasien juga

mengalami kulit berwarna kuning yang menggambarkan adanya kelainan pada hepar

dan pasien di rumah sakit sebelumnya di diagnosis sebagai atresia billier. Pada

anamnesis tidak diketahui riwayat penyakit dahulunya, oleh sebab itu saya

menyimpulkan bahwa atresia billier yang dialami oleh pasien ini akibat dari proses

inflamasi yang disebabkan oleh virus yang mengakibatkan destruksi pada saluran

empudu serta kantung empedu.

Dari pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan pemeriksaan fisik yang

bermakna. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pernapasan yang meningkat, suhu

tubuh yang tinggi, pernapasan cuping hidung disertai retraksi dinding dada dan

didapatkan ronki pada kedua lapang paru, dari pemeriksaan fisik ini dapat ditegakkan

diagnosis bronkopneumonia karena didapatkan adanya trias bronkopneumonia yang

berupa demam tinggi, napas cuping hidung dan ronkhi. Dalam pemeriksaan fisik di

dapatkan kulit ikterik yang dapat mendukung diagnosis atresia billier.

Pada Pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai leukosit yang meninggi dan

pada pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kesan bronkopneumonia. Saya

menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang berupa bilirubin direk, indirek

dan total serta dilakukan pemeriksaan USG Abdomen untuk menegakkan diagnosis

atresia billier.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. PNEUMONIA

DEFINISI

14

Page 15: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar

disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal

lain (aspirasi, radiasi, dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh mikroorganisme perlu

dipertanyakan apakah penyebab dari pneumonia (bakteri/virus?). Pneumonia sering kali

diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri. Secara

klinis pada anak sulit dibedakan antara pneumonia bakteri dan viral, demikian pula [ada

pemeriksaan radiologis dan laboratorium. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan

bahwa pneumonia bacterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik,

leukositosis, dan perubahannya nyata pada pemeriksaan radiologis.1

Gambar 1. Bronkopneumonia

EPIDEMIOLOGI

Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan

kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek

umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK)

atau di dalam rumah sakit/ pusat perawatan (pneumonia nosokomial/ PN). 1

Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam

bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.

Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat

penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan

influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang

per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa

di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika

dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab

pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan

hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera

15

Page 16: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara

empiris.2,3

ETIOLOGI

Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan

tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab pneumonia

pada anak bervariasi tergantung :

a. Usia

b. Status imunologis

c. Status lingkungan

d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)

e. Status imunisasi

f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).

Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan

pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi

pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus

grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp.

Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus

pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang

lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi

Mycoplasma pneumoniae.

Gambar 2. E.colli Gambar 3. Klebsiella sp Gambar 4. Pseudomonas sp

Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari

data di Negara maju dapat dilihat di tabel 1.

Tabel 1. Etiologi Pneumonia

16

Page 17: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang

Lahir - 20 hari

Bakteri Bakteri

E.colli Bakteri anaerob

Streptococcus grup B Streptococcus grup D

Listeria monocytogenes Haemophillus influenza

Streptococcus pneumonie

Virus

CMV

HMV

3 miggu – 3

bulan

Bakteri Bakteri

Clamydia trachomatis Bordetella pertusis

Streptococcus

pneumonia

Haemophillus influenza

tipe B

Virus Moraxella catharalis

Adenovirus Staphylococcus aureus

Influenza Virus

Parainfluenza 1,2,3 CMV

4 bulan – 5

tahun

Bakteri Bakteri

Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza

tipe B

Mycoplasma pneumonia Moraxella catharalis

17

Page 18: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Streptococcus

pneumonia

Staphylococcus aureus

Virus Neisseria meningitides

Adenovirus Virus

Rinovirus Varisela Zoster

Influenza

Parainfluenza

5 tahun –

remaja

Bakteri Bakteri

Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza

Mycoplasma pneumonia Legionella sp

Streptococcus

pneumonia

Staphylococcus aureus

Virus

Adenovirus

Epstein-Barr

Rinovirus

Varisela zoster

Influenza

Parainfluenza

PATOGENESIS

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.

Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan

18

Page 19: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

tubuh sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya

infeksi penyakit. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat

melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli

dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu

proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu : 2

1. Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan

permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai

dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.

Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast

setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut

mencakup histamin dan prostaglandin. 3 Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur

komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk

melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal

ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga

terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di

antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan

karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering

mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)

Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus

terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)

sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena

adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat

minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,

yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)

Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi

di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini

19

Page 20: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan

leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti. 1

4. Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)

Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan

mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga

jaringan kembali ke strukturnya semula.

Gambar 5. Gambaran Alveoli pada Pneumonia

GEJALA KLINIS

Riwayat klasik dingin menggigil yang disertai dengan demam tinggi, batuk

dan nyeri dada. Anak sangat gelisah, dispnu, pernapasan cepat dan dangkal disertai

pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang-kadang

disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit,

mungkin terdapat batuk setelah beberapa hari mula-mula kering kemudian menjadi

produktif. Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik,

tetapi dengan adanya nafas cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung dan sianosis

sekitar mulut dan hidung baru dipikirkan kemungkinan pneumonia. Penyakit ini

sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan

laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit

dengan lutut tertekuk dengan nyeri dada.

PEMERIKSAAN FISIK

Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :

20

Page 21: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Suhu tubuh ≥ 38,5o C

Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan

pernapasan cuping hidung.

Takipneu berdasarkan WHO:

Usia < 2 bulan ≥ 60 x/menit

Usia 2-12 bulan ≥ 50 x/menit

Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit

Usia 6-12 tahun ≥ 28 x/menit

Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.

Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.

Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles

(ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak ditemukan pada bayi.

Dan kadang terdengar juga suara bronkial.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium

Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas

normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000

– 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan

laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah

perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri

secara pasti.

2. C-Reactive Protein (CRP)

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan

antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri

superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan

infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan

untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.4

21

Page 22: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan

radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan nilai

CRP ≥ 120 mg/l dan prokalsitonin ≥ 5 ng/ml.

3. Pemeriksaan Mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin

dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif.

Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret

nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman

ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.

4. Pemeriksaan serologis

Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik

mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi

Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti

antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara

fase akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia

pneumonia dan Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak

bermakna pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang cepat.

5. Pemeriksaan Roentgenografi

Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis

utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya

direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa

takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen

toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya

pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah

pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada

foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan

diagnosis.

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

22

Page 23: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,

peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat terjadi pachy consolidation

karena atelektasis.

Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.

Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau

terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,

berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut

sebagai round pneumonia

Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru

berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru

disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus.

Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan

etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung

terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,

bronkopneumoni dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang sesuai

dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai pemeriksaan penunjang.

Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus.

Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis,

abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga

dapat dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang

normal. Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.3,4,5

Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena

pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman

penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan pedoman

diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut

bronkopneumonia dibedakan berdasarkan :

Bronkopneumonia sangat berat :

23

Page 24: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak harus dirawat

di rumah sakit dan diberi antibiotika.

Bronkopneumonia berat :

Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,maka anak

harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

Bronkopneumonia :

Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :

> 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan

> 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun

> 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.

Bukan bronkopenumonia :

Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan

tidak perlu diberi antibiotika.

Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:

1. Kultur sputum atau bilasan cairan lambung

2. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus

3. Deteksi antigen bakteri

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut :5

1.  Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada

2.   Panas badan

3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)

4.  Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus

5.  Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3dengan limfosit

predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3neutrofil yang predominan) 3,4,5

PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan antibiotika

24

Page 25: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit

Pneumonia ringan

- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3 hari.

Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikan sampai 80-

90 mg/kgBB.

- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB – sulfametoksazol 20 mg/kgBB)

dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari

Pneumonia berat

- Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam

- Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam

- Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5

mg/kgBB sehari sekali

- Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB

sehari sekali

- Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia tanpa

komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi

antibiotik yang optimal

Pemberian antibiotik berdasarkan umur :

Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

- ampicillin + aminoglikosid

- amoksisillin-asam klavulanat

- amoksisillin + aminoglikosid

- sefalosporin generasi ke-3

Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

- beta laktam amoksisillin

- amoksisillin-amoksisillin klavulanat

- golongan sefalosporin

- kotrimoksazol

- makrolid (eritromisin)

Anak usia sekolah (> 5 thn)

- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

25

Page 26: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

2. Penatalaksaan suportif

- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak

nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr

- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena

dengan dosis awal 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa

ulang analisis gas darah setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa

dilakukan maka dosis awal bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg).

- Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak

diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi

reaksi antibiotik awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita

dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.

Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang

nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai

dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada

tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah

antibiotik tidak efektif).6

PROGNOSIS

Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat

diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein

dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.

B. ATRESIA BILIER

DEFINISI

Proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus

bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier

26

Page 27: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier

ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati dan

darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk 8,11,12

Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 grup, yakni :

1. Perinatal form ( Isolated Biliary Atresia) 65 – 90 %

Bentuk ini ditemukan pada neonatal dan bayi berusia 2-8 minggu. Inflmasi atau

peradangan yang progresiv pada saluran empedu extrahepatik timbul setelah lahir.

Bentuk ini tidak muncul bersama kelainan congenital lainnya.

2. Fetal Embrionic form 10 – 35 %

Bentuk ini ditandai dengan cholestatis yang muncul amat cepat, dalam 2 minggu

kehidupan pertama. Pada bentuk ini, saluran empedu tidak terbentuk pada saat lahir

dan biasanya disertai dengan kelainan congenital lainnya seperti situs inversus,

polysplenia, malrotasi, dan lain-lain. 14,15

Gambar 1. Atresia Bilier

27

Page 28: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Gambar 2. Sistem Hepatobiler

Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :

I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.

IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan

kandung empedu semuanyanormal).

IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus.

Kandung empedu normal.

III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus.

Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable),

sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya

dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II 8

28

Page 29: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Gambar 3. Klasifikasi Atresia Bilier

ETIOLOGI

Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan

bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom

trisomi 17,18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun,

sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang

merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi 8

Hal penting yang harus diketahui adalah bahwa atresia bilier bukanlah penyakit yang

diturunkan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya

1 anak yang menderita penyakit tersebut 13

29

Page 30: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

PATOSIOLOGI

Meskipun histopatologi atresia bilier telah dipelajari secara eksklusif dalam bedah

spesimen dari sistem bilier extrahepatic yang didapat dari bayi yang mengalami

portoenterostomy, patogenesis kelainan ini masih kurang dipahami. Masalah Atresia Bilier

yang muncul pada bentuk fetal berhubungan dengan anomali kongenital lain. Namun, pada

bentuk yang lebih umum, yakni tipe neonatal ditandai oleh lesi inflamasi yang progresif,

yang diakibatkan infeksi atau racun yang menyebabkan rusaknya saluran empedu. Agen

infeksi yang telah diteliti oleh beberapa studi telah mengidentifikasi peningkatan titer untuk

reovirus antibodi tipe 3 pada pasien dengan atresia bilier bila dibandingkan dengan kontrol.

Virus lainnya yang teridentifikasi, termasuk rotavirus dan sitomegalovirus (CMV),. 8,14

Gambar 4. Histopatologi Atresia Bilier

GEJALA KLINIK

Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal

adalah iktcrus, tinja akolik, dan urin yang berwarna gelap. Namun, tidak ada satu pun gejala

atau tanda klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi pada waktu

lahir biasanya baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3.

Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik. Sehubungan dengan

itu sebagai upaya penjaring kasar tahap pertama, dianjurkan melakukan pengumpulan tinja 3

30

Page 31: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

porsi. Bila selama beberapa hari ketiga porsi tinja tctap akolik, maka kemungkinan besar

diagnosisnya adalah kolestasis ekstrahepatik. Sedangkan pada kolestasis intrahepatik, warna

tinja dempul berfluktuasi pada pcmcriksaan tinja 3 porsi

Ikterus

Ikterus timbul dikarenakan hepar yang immatur pada bayi baru lahir. Normalnya ikterus

akan menghilang pada 7-10 hari setelah lahir. Tetapi bayi dengan atresia biler,

ikterusnya akan semakin nyata dalam 2-3 minggu

Urin yang berwarna gelap

Hal ini disebabkan karena bilirubin yang meningkat dalam darah, kemudian bilirubin

terfiltrasi melalui ginjal, dan dibuang melalui urin.

Feses Acholic

Feses acholic timbul dikarenakan tidak adanya bilirubin yang masuk ke dalam usus

untuk mewarnai feses.

Penurunan berat badan 8, 11, 16

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik, tidak ada temuan yang pathognomonic untuk atresia bilier

Bayi dengan atresia bilier biasanya mengalami pertumbuhan normal dan peningkatan

berat badan selama minggu pertama kehidupan.

Hepatomegali

Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal.

Murmur jantung menunjukkan adanya kelainan pada jantung 14

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1,6

Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan untuk

membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar,

pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :

31

Page 32: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati

(darah, urin, tinja)

2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati;

3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia bilier.

1) Pemeriksaan laboratorium

a) Pemeriksaan rutin

Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin

untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan

darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak

sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan

gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya,

peningkatan SGOT < 5 kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke

kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak

menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin

serum total atau bilirubin direk, dan alkali fosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam

menentukan atresia bilier.

b) Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup

sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari

pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam

empedu hanya 10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka

tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia

bilier.

2) Pencitraan

a) Pemeriksaan ultrasonografi

Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat ditingkatkan

bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah

minum. Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier

kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak

ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung

32

Page 33: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

diagnosis atresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan

kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.

b) Sintigrafi hati

Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m

mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada

pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari.

Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi

ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal

tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis

intrahepatik yang berat juga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk

meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan

indeks hepatik (penyebaran isotop di hati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5

dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan

petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan

DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam

mendetcksi atresia bilier, yang terbaik adalah menggabungkan basil pemeriksaan USG dan

sintigrafi.

c) Liver Scan

Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary Iminodeacetic

Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat

menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.

d) Pemeriksaan kolangiografi

Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography)

mcrupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier

dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat

dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan

kolangiografi dianggap sebagai

baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.

3) Biopsi hati

33

Page 34: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Di

tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%,

sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi,

dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca

operasi Kasai di6tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila

diameter duktus 100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet dan

Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk

menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang

mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi

pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari,

terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia

bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk

melakukan biopsi pada usia < 6 minggu

II.7. Diagnosa

Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis utama atresia bilier adalah tinja akolik, air kemih

seperti air teh, dan ikterus. Ada empat keadaan klinis yang dapat dipakai sebagai patokan

untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu: berat badan lahir,

warna tinja, umur penderita saat tinja mulai akolik, dan keadaan hepar. Kriteria ini (Tabel 1)

mempunyai akurasi diagnostik sampai 82%. Moyer dkk. menambahkan satu kriteria lagi,

yaitu gambaran histopatologik hati

34

Page 35: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Tabel 1. Empat kriteria klinis terpenting untuk membedakan Kolestasis

Intrahepatik dan Ekstrahepatik

DIAGNOSA BANDING

Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier

Perforasi spontan duktus bilier

Massa (neoplasma, batu)

Inspissated bile syndrome

Hepatitis neonatal idiopatik

Displasia arteriohepatik (sindrom Alagille)

Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik).

Hepatitis

PENATALAKSANAAN

Terapi medikamentosa 8

1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam

litokolat), dengan memberikan :

35

Page 36: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim

glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzim

sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliran

empedu).

Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.

Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder.

2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :

Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat

mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.

Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak

tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :

1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk

mengatasi malabsorpsi lemak.

2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larutdalam lemak.

Terapi bedah 9, 13

Kasai Prosedur

Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu

ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk

melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan

pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika dilakukan sebelum

bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara

dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.

36

Page 37: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

Gambar 5. Kasai Prosedure

Prosedur kasai bisa membuat sebagian pasien berumur panjang. Namun, fungsi hati

pada sebagian pasien lainnya semakin memburuk. Umumnya, pasien datang ke rumah sakit

dalam kondisi yang sudah buruk, yakni saat bayi berusia lebih dari dua bulan. Penderita

penyakit ginjal memiliki alternatif pengobatan dialisa, tetapi tidak demikian halnya dengan

penderita penyakit hati yang berat. Jika hati sudah tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya

pilihan pengobatan adalah pencangkokkan hati.

Pencangkokan atau Transplantasi Hati

Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier dan

kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir.

Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah

mempunyai anak.

Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan untuk

dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati

dari anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok.

Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang dewasa, yang

disebut "reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan

atresia bilier.

37

Page 38: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

KOMPLIKASI

Kolangitis: komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran

empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. Hal ini terjadi terutama

dalam minggu-minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus.

Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan. Ada tanda-tanda sepsis (demam,

hipotermia, status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan

mungkin timbul sakit perut. Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur darah dan / atau biopsi

hati.

Hipetensi portal: Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah

portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.

Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal: Seperti pada pasien dengan

penyebab lain secara spontan (sirosis atau prehepatic hipertensi portal) atau diperoleh (bedah)

portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus pulmo mungkin terjadi. Biasanya, hal ini

menyebabkan hipoksia, sianosis, dan dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan

scintigraphy paru. Selain itu, hiper6si pulmonal dapat terjadi pada anak-anak dengan sirosis

yang menjadi penyebab kelesuan dan bahkan kematian mendadak. Diagnosis dalam kasus ini

dapat ditegakan oleh echocardiography. Transplantasi liver dapat membalikan shunts, dan

dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap semula.

Keganasan: Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas dapat timbul

pada pasien dengan atresia bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk keganasan

harus dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang berhasil.

Hasil setelah gagal operasi Kasai

Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk memulihkan aliran

empedu, dan pada keadaan ini harus dilakukan transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan

di tahun kedua kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk

mengurangi kerusakan dari hati. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari indikasi

untuk transplantasi hati di masa kanak-kanak. Hal ini juga mungkin diperlukan dalam kasus-

kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren

38

Page 39: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

(kegagalan sekunder operasi Kasai), atau untuk berbagai komplikasi dari sirosis

(hepatopulmonary sindrom).

PROGNOSIS

Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran

histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.

Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71,86%,

sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya

34,43%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun

hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami

operasi Kasai berusia 76 jam.

Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan

operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus

bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal.

39

Page 40: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan

Anak. Bagian II. Edisi 15. EGC, Jakarta: 2000. hal: 883-889.

2. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Media

Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: 2000. hal 465.

3. Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak,

UNPAD, Bandung: 2005.

4. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Bandung: 2005.

5. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Jakarta: 2010.

6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis

Proses-proses Penyakit, Edisi 6, Penerbit EGC, Jakarta: 2005, hal: 804.

7. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.

Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1999. hal: 695-705.

8. Parlin Ringoringo. Atresia Bilier. Ilmu Kesahatan Anak,

FKUI, RSCM, Jakarta. Available from : url :

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15AtresiaBilier086.pdf/15AtresiaBilier086.html

9. Widodo Judarwanto. Atresia Bilier, Waspadai Bila

Kuning Bayi Baru Lahir yang berkepanjangan. Available from : url :

http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/02/07/atresia-bilier-waspadai-bila-

kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/

10. Mark Davenport. Biliary Atresia. London: 2010. Available from : url :

http://asso.orpha.net/OFAVB/__PP__4.html

11. ST. Louis Children's Hospital. Biliary Atresia. Washington University School of Medicine.

2010. Available from : url : http://www.stlouischildrens.org/content/greystone_779.htm

40

Page 41: Laporan Kasus 1 Atresia Bilier

12. North American Society For Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.

Biliary Atresia. Available from : url :

http://www.naspghan.org/user-assets/Documents/pdf/diseaseInfo/BiliaryAtresia-E.pdf

13. Steven M. Biliary Atresia. Emedicine. 2009. Available from: url :

http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview

14. Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan

Anak FK UNAIR. Surabaya. 2006. Available from : url :

http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ena504-pkb.pdf

15. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Biliary Atresia.

USA : 2006. Available from : url :

http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/atresia/BiliaryAtresia.pdf

16. Cincinnati Children’s Hospital Medical Center. Biliary Atresia. 2010. Available

from : url : http://www.cincinnatichildrens.org/svc/alpha/l/liver/diseases/biliary.htm

41