laporan kasus 1 atresia bilier
Embed Size (px)
DESCRIPTION
atresia bilierTRANSCRIPT

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD KOTA BEKASI
STATUS PASIEN KASUS
Nama Mahasiswa : Gadista P. Annisa Pembimbing : dr. Dina S Daliyanti,Sp.A
NIM : 030.09.100 Tanda tangan:
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. I Tn. D Ny. Y
Umur 7 bulan 27 25
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan
Alamat Kp. Buwesti Jaya RT003 Bekasi
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa - Sunda Sunda
Pendidikan - SMA SMA
Pekerjaan Pelajar Buruh Pabrik IRT
Penghasilan - Rp. 1.500.000 -
Keterangan Hubungan dengan
orang tua : Anak
Kandung
Tanggal Masuk
RS
17 Maret 2015
II. ANAMNESIS
Dilakukan sacara Alloanamnesis kepada ibu pasien.
a. Keluhan Utama :
Sesak nafas sejak 2 hari SMRS
b. Keluhan Tambahan :
1

Batuk berdahak, demam.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang diantar oleh keluarga ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan sesak
nafas sejak 2 hari SMRS. Selain itu ibu pasien juga mengatakan terdapat keluhan lainnya
seperti batuk berdahak yang dirasakan pasien sejak 2 hari SMRS, tidak ada pilek, tidak
ada muntah tetapi pasien mengalami demam sejak 1 hari SMRS. Demam naik turun telah
diberikan pengobatan yaitu sanmol belum ada perubahan, tidak ada kejang. Pasien sulit
minum dan sulit makan. Badan pasien terlihat agak kuning. BAB dan BAK pasien tidak
ada keluhan, masih seperti biasa baik konsistensi dan warnanya. Paginya sebelum dibawa
ke RSUD Kota Bekasi pasien dibawa oleh kedua orangtuanya ke rumah sakit terdekat
dengan rumahnya yaitu Rumah Sakit Kartika Husada akibat sesak yang dirasakan pasien
terlihat semakin berat dan badan pasien terlihat agak kuning. Dari Rumah Sakit Kartika
Husada pasien dirujuk ke RSUD Kota Bekasi denga diagnosa bronkpnemonia potensi
gangguan nafas dengan atresia bilier. Siang itu juga pasien langsung dibawa oleh
keluarganya ke UGD RSUD Kota Bekasi, sebelumnya diRumah Sakit Kartika Husada
telah diberikaan pengobatan berupa inhalasi dengan ventolin 1 ampul dan Nacl.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteria - Jantung -
Cacingan - Diare - Ginjal -
DBD - Kejang - Darah -
Thypoid - Maag - Radang paru -
Otitis - Varicela - Tuberkulosis -
Parotis - Asma - Morbili -
Kesan : Pasien tidak pernah mengalami sakit
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
Di dalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal yang sama seperti pasien.
2

f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :
KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ada
Perawatan antenatal Periksa ke bidan 1 kali tiap
bulan
KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Spontan
Masa gestasi 38 minggu
Keadaan bayi
BBL : 3300 gram
PB : 46 CM
Langsung menangis, merah
Apgar score tidak tahu
Tidak ada kelainan bawaan
Kesan : Riwayat kehamilan dan riwayat Kelahiran pasien baik
g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Pertumbuhan gigi I : Usia 6 bulan (normal: 5-9 bulan)
Psikomotor
Tengkurap : Usia 4 bulan (normal: 3-4 bulan)
Duduk : Usia 6 bulan (normal: 6 bulan)
Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien baik
h. Riwayat Makanan
Umur
(bulan)
ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim
0-2 +/-
2-4 +/-
4-6 +/-
6-7 +/- + + +
8-10 - - - -
10-12 - - - -
3

Kesan : Pasien selalu minum ASI sampai umur 7 bulan ini, tidak pernah minum
susu formula, pasien mulai makan makanan buah atau biskuit sejak berumur 6
bulan.
i. Riwayat Imunisasi :
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG 1 bln
DPT 2 bln 4 bln 6 bln
POLIO Lahir 2 bln 4 bln 6 bln
CAMPAK -
HEPATITIS B Lahir 1 bln 6 bln
Kesan : Riwayat imunisasi pasien menurut PPI lengkap
J. Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Tn. D Ny. Y
Perkawinan ke 1 1
Umur 27 25
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik
k. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Pasien tinggal di rumah kontrakan bersama kedua orang tua, dinding terbuat dari
tembok. atap terbuat dari genteng, ventilasi cukup, jarak septic tank ke sumur sekitar 10 m.
Terdapat tempat pembuangan sampah di depan rumah sampahnya akan diangkut oleh tukang
pengankut sampah setiap harinya.
Kesan : Riwayat perumahan dan sanitasi pasien baik
II. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : Tampak sakit berat
b. PAT
o A : Interactivity (+) look (+), speech (+), tonus (+), consolability (+)
4

o B : Sesak (+), napas cuping hidung (+), retraksi (+)
o C : pucat (-), mottled (-), sianosis (-)
c. Tanda Vital
- Kesadaran : Composmentis
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Frekuensi nadi : 128x/menit
- Frekuensi pernapasan : 56x/menit
- Suhu tubuh : 38,7 o C
d. Data antropometri
- Berat badan :6,1 kg
- Tinggi badan :70,5 cm
- Status Gizi menurut WHO-NCHS
o BB/U : -2 s/d +2 : Gizi baik
o TB/U : -2 s/d +2 : Perawakan normal
o BB/TB : <-3 : Kurus
e. Kepala
Bentuk : Normocephali
Rambut : Rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata
Mata : edema palpebra -/-, lakrimasi +/+, sekret -/-,
Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+, pupil bulat
isokor, RCL+/+, RCTL +/+
Telinga : Normotia, serumen -/-
Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, nafas cuping hidung +/+,
terdapat hematom (-)
Mulut : bibir kering - , lidah kotor -, tonsil T2/T2, faring
hiperemis -
Leher : KGB tidak membesar
kelenjar tiroid tidak membesar
f. Thorax
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (+)
- Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris
- Perkusi : Sonor pada kedua paru
- Auskultasi : BND vesikuler, ronki +/+ wheezing -/-
5

Cor BJ I & II normal, murmur -, Gallop -
g. Abdomen
- Inspeksi : Perut datar
- Auskultasi : Bising usus (+) normal 3x/menit
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
- Perkusi : shifting dullness -, nyeri ketok -
h. Kulit : ikterik +, petechie -
i. Ekstremitas : akral hangat, Sianosis (-), oedem (-), ikterik(+), turgor
kulit cukup, petechie (-), CRT< 3detik,
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium dari RSUD Kota Bekasi (17 Maret 2015)
Pemeriksaan Hasil Nilai NormalHematologi:
• Hemoglobin 8,6 g/dL 11 – 14.5 g/dL
• Leukosit 16.700 /µL 5000 – 10.000/µL
• Hematokrit 27,7 % 40-54%
• Eritrosit 3.38 juta/µL 4–5 juta/µL
Indeks Eritrosit MCV MCH MCH Trombosit
82,5 fL25,5 pg30,9%298.000/µL
75-87 fL24-30 pg31-37%150-400 ribu/µL
Kimia Klinik Elektrolit Natrium(Na) Kalium(K) Clorida(Cl)
138 mmol/L4,5 mmol/L99 mmol/L
135-145 mmol/L3.5 -5.0 mmol/L94- 111 mmol/L
Rontgen Thorax RSUD Kota Bekasi (17 Maret 2014)
Kesan : Bronkopnemonia Duplex
Laboratorium RSUD Kota Bekasi (20 maret 2015)
Pemeriksaan Hasil Nilai NormalHematologi:
• Hemoglobin 12,9 g/dL 11 – 14.5 g/dL
• Leukosit 17.600 /µL 5000 – 10.000/µL
6

• Hematokrit 39.3 % 40-54%
• Trombosit 213.000 /µL 150.000 – 400.000/µL
Rontgen Abdomen 3 Posisi RSUD Kota Bekasi (23 Maret 2014)
Kesan :Meteorismus, DD : Obstruksi Parsial Saran : Foto Abdomen 3 Posisi ulang
IV. RESUME
a. Anamnesis
Pasien datang diantar oleh keluarga ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan sesak
nafas sejak 2 hari SMRS. Selain itu ibu pasien juga mengatakan terdapat keluhan pasien
lainnya seperti batuk berdahak yang dirasakan pasien sejak 2 hari SMRS. Pasien
mengalami demam sejak 1 hari SMRS. Demam naik turun telah diberikan pengobatan
yaitu sanmol belum ada perubahan. Pasien sulit minum dan sulit makan. Badan pasien
terlihat agak kuning. BAB dan BAK pasien tidak ada keluhan, masih seperti biasa baik
konsistensi dan warnanya. Paginya sebelum dibawa ke RSUD Kota Bekasi pasien dibawa
oleh kedua orangtuanya ke rumah sakit terdekat dengan rumahnya yaitu Rumah Sakit
Kartika Husada akibat sesak yang dirasakan pasien terlihat semakin berat dan badan
pasien terlihat agak kuning. Dari Rumah Sakit Kartika Husada pasien dirujuk ke RSUD
Kota Bekasi denga diagnosa bronkpnemonia potensi gangguan nafas dengan atresia
bilier. Siang itu juga pasien langsung dibawa oleh keluarganya ke UGD RSUD Kota
Bekasi, sebelumnya diRumah Sakit Kartika Husada telah diberikaan pengobatan berupa
inhalasi dengan ventolin 1 ampul dan Nacl.
b. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Tampak sakit berat
PAT
o A : Interactivity (+) look (+), speech (+), tonus (+), consolability (+)
o B : Sesak (+), napas cuping hidung (+), retraksi (+)
o C : pucat (-), mottled (-), sianosis (-)
Tanda Vital
- Kesadaran : Composmentis
- Tekanan darah : 100/70 mmHg
- Frekuensi nadi : 128x/menit
7

- Frekuensi pernapasan : 56x/menit
- Suhu tubuh : 38,7 o C
Laboratorium dari RSUD Kota Bekasi (17 Maret 2015)
Pemeriksaan Hasil Nilai NormalHematologi:
• Hemoglobin 11 g/dL 11 – 14.5 g/dL
• Leukosit 16.700 /µL 5000 – 10.000/µL
• Hematokrit 27,7 % 40-54%
• Eritrosit 3.38 juta/µL 4–5 juta/µL
Rontgen Thorax RSUD Kota Bekasi (17 Maret 2014)
Kesan : Bronkopnemonia Duplex
Laboratorium RSUD Kota Bekasi (20 maret 2015)
Pemeriksaan Hasil Nilai NormalHematologi:
• Leukosit 17.600 /µL 5000 – 10.000/µL
• Hematokrit 39.3 % 40-54%
• Trombosit 213.000 /µL 150.000 – 400.000/µL
Rontgen Abdomen 3 Posisi RSUD Kota Bekasi (23 Maret 2014)
Kesan :Meteorismus, DD : Obstruksi Parsial Saran : Foto Abdomen 3 Posisi ulang
V. DIAGNOSIS KERJA
Atresia bilier et causa suspect infeksi dengan bronkopnemonia duplex
VI. DIAGNOSIS BANDING
DD bronkopneumonia : Bronkiolitis
DD atresia Billier : Kolestasis
8

VII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa :
IVFD Tridex Plain 15tpm
02 2-3 liter/menit
Cinam 2x350mg
Zinkid 1x5ml
Sanmol 100mg k/p
Amikasin 2x40mg
Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc
Nacl 2 cc
VIII.PROGNOSIS
- Ad vitam : Dubia ad bonam
- As fungsionam : Dubia ad malam
- Ad sanationam : Dubia ad malam
IX. FOLLOW UP
17 Maret 2015
Keluhan : demam (+), batuk (+), sesak (+), muntah (+), ikterik (+)
Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm
02 2-3 liter/menit
Cinam 2x350mg
Zinkid 1x5ml
Sanmol 100mg k/p
18 Maret 2015
Keluhan : sesak (+)
9

Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm
02 2-3 liter/menit
Cinam 2x350mg
Zinkid 1x5ml
Sanmol 100mg k/p
Amikasin 2x40mg
Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc
Nacl 2 cc
19 Maret 2015
Keluhan : sesak (+)
Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm
Cinam 2x350mg
Amikasin 2x40mg
Zinkid 1x5ml
Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc
Nacl 2 cc
20 Maret 2015
Keluhan : -
Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm
Cinam 2x350mg
Amikasin 2x40mg
Zinkid 1x5ml
Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc
10

Nacl 2 cc
21 Maret 2015
Keluhan : batuk (+)
Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm
02 2-3 liter/menit
Cinam 2x350mg
Amikasin 2x40mg
Zinkid 1x5ml
Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc
Nacl 2 cc
22 Maret 2015
Keluhan : batuk (+), sesak berkurang
Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm
02 2-3 liter/menit
Cinam 2x350mg
Amikasin 2x40mg
Zinkid 1x5ml
Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc
Nacl 2 cc
23 Maret 2015
Keluhan : batuk (+), perut sakit(+)
Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm
02 2-3 liter/menit
11

Cinam 2x350mg
Amikasin 2x40mg
Zinkid 1x5ml
Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc
Nacl 2 cc
Benutrion 75cc/hari
24 Maret 2015
Keluhan : batuk (+), demam (+)
Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm
02 2-3 liter/menit
Cinam 2x350mg
Amikasin 2x40mg
Zinkid 1x5ml
Nebu per 8 jam : Ventolin 1cc
Nacl 2 cc
25 Maret 2015
Keluhan : perut semakin membesar
Terapi : IVFD Tridex Plain 15tpm
02 2-3 liter/menit
Cinam 2x350mg
Amikasin 2x40mg
Zinkid 1x5ml
Rujuk RSCM
12

BAB II
ANALISIS KASUS
Pasien ini di diagnosis atresia billier et causa suspect infeksi dengan
bronkopneumonia kompleks.
13

Dari anamnesis didapatkan keluhan yang berarti berupa sesak napas disertai
napas cuping hidung, selain itu pasien mengalami batuk berdahak disertai dengan
demam yang tinggi yang berlangsung selama 2 hari (akut), beberapa keluhan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis bronkopneumonia. Pasien juga
mengalami kulit berwarna kuning yang menggambarkan adanya kelainan pada hepar
dan pasien di rumah sakit sebelumnya di diagnosis sebagai atresia billier. Pada
anamnesis tidak diketahui riwayat penyakit dahulunya, oleh sebab itu saya
menyimpulkan bahwa atresia billier yang dialami oleh pasien ini akibat dari proses
inflamasi yang disebabkan oleh virus yang mengakibatkan destruksi pada saluran
empudu serta kantung empedu.
Dari pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan pemeriksaan fisik yang
bermakna. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pernapasan yang meningkat, suhu
tubuh yang tinggi, pernapasan cuping hidung disertai retraksi dinding dada dan
didapatkan ronki pada kedua lapang paru, dari pemeriksaan fisik ini dapat ditegakkan
diagnosis bronkopneumonia karena didapatkan adanya trias bronkopneumonia yang
berupa demam tinggi, napas cuping hidung dan ronkhi. Dalam pemeriksaan fisik di
dapatkan kulit ikterik yang dapat mendukung diagnosis atresia billier.
Pada Pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai leukosit yang meninggi dan
pada pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kesan bronkopneumonia. Saya
menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang berupa bilirubin direk, indirek
dan total serta dilakukan pemeriksaan USG Abdomen untuk menegakkan diagnosis
atresia billier.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. PNEUMONIA
DEFINISI
14

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal
lain (aspirasi, radiasi, dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh mikroorganisme perlu
dipertanyakan apakah penyebab dari pneumonia (bakteri/virus?). Pneumonia sering kali
diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri. Secara
klinis pada anak sulit dibedakan antara pneumonia bakteri dan viral, demikian pula [ada
pemeriksaan radiologis dan laboratorium. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan
bahwa pneumonia bacterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik,
leukositosis, dan perubahannya nyata pada pemeriksaan radiologis.1
Gambar 1. Bronkopneumonia
EPIDEMIOLOGI
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek
umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK)
atau di dalam rumah sakit/ pusat perawatan (pneumonia nosokomial/ PN). 1
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.
Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat
penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan
influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang
per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa
di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika
dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab
pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera
15

diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara
empiris.2,3
ETIOLOGI
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan
tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab pneumonia
pada anak bervariasi tergantung :
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus
grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp.
Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang
lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumoniae.
Gambar 2. E.colli Gambar 3. Klebsiella sp Gambar 4. Pseudomonas sp
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari
data di Negara maju dapat dilihat di tabel 1.
Tabel 1. Etiologi Pneumonia
16

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir - 20 hari
Bakteri Bakteri
E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus grup B Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 miggu – 3
bulan
Bakteri Bakteri
Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus
pneumonia
Haemophillus influenza
tipe B
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylococcus aureus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMV
4 bulan – 5
tahun
Bakteri Bakteri
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza
tipe B
Mycoplasma pneumonia Moraxella catharalis
17

Streptococcus
pneumonia
Staphylococcus aureus
Virus Neisseria meningitides
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
5 tahun –
remaja
Bakteri Bakteri
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumonia Legionella sp
Streptococcus
pneumonia
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza
Parainfluenza
PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan
18

tubuh sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
infeksi penyakit. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat
melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli
dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu : 2
1. Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. 3 Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal
ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus
terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena
adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,
yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
19

eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti. 1
4. Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
Gambar 5. Gambaran Alveoli pada Pneumonia
GEJALA KLINIS
Riwayat klasik dingin menggigil yang disertai dengan demam tinggi, batuk
dan nyeri dada. Anak sangat gelisah, dispnu, pernapasan cepat dan dangkal disertai
pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang-kadang
disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit,
mungkin terdapat batuk setelah beberapa hari mula-mula kering kemudian menjadi
produktif. Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik,
tetapi dengan adanya nafas cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung dan sianosis
sekitar mulut dan hidung baru dipikirkan kemungkinan pneumonia. Penyakit ini
sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan
laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit
dengan lutut tertekuk dengan nyeri dada.
PEMERIKSAAN FISIK
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :
20

Suhu tubuh ≥ 38,5o C
Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
Takipneu berdasarkan WHO:
Usia < 2 bulan ≥ 60 x/menit
Usia 2-12 bulan ≥ 50 x/menit
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
Usia 6-12 tahun ≥ 28 x/menit
Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.
Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.
Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles
(ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak ditemukan pada bayi.
Dan kadang terdengar juga suara bronkial.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas
normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000
– 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan
laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah
perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri
secara pasti.
2. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan
infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan
untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.4
21

Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan
radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan nilai
CRP ≥ 120 mg/l dan prokalsitonin ≥ 5 ng/ml.
3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman
ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.
4. Pemeriksaan serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara
fase akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia
pneumonia dan Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak
bermakna pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang cepat.
5. Pemeriksaan Roentgenografi
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis
utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa
takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen
toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya
pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah
pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada
foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan
diagnosis.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
22

Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat terjadi pachy consolidation
karena atelektasis.
Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut
sebagai round pneumonia
Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus.
Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan
etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung
terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumoni dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang sesuai
dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai pemeriksaan penunjang.
Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus.
Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis,
abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga
dapat dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang
normal. Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.3,4,5
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena
pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman
penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan pedoman
diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut
bronkopneumonia dibedakan berdasarkan :
Bronkopneumonia sangat berat :
23

Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak harus dirawat
di rumah sakit dan diberi antibiotika.
Bronkopneumonia berat :
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,maka anak
harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
Bronkopneumonia :
Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
> 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan
> 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun
> 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.
Bukan bronkopenumonia :
Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan
tidak perlu diberi antibiotika.
Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:
1. Kultur sputum atau bilasan cairan lambung
2. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
3. Deteksi antigen bakteri
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut :5
1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
2. Panas badan
3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3neutrofil yang predominan) 3,4,5
PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan antibiotika
24

Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit
Pneumonia ringan
- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3 hari.
Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikan sampai 80-
90 mg/kgBB.
- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB – sulfametoksazol 20 mg/kgBB)
dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari
Pneumonia berat
- Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam
- Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam
- Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5
mg/kgBB sehari sekali
- Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB
sehari sekali
- Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia tanpa
komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi
antibiotik yang optimal
Pemberian antibiotik berdasarkan umur :
Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
25

2. Penatalaksaan suportif
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak
nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena
dengan dosis awal 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa
ulang analisis gas darah setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa
dilakukan maka dosis awal bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg).
- Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak
diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi
reaksi antibiotik awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita
dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang
nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai
dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada
tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah
antibiotik tidak efektif).6
PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein
dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.
B. ATRESIA BILIER
DEFINISI
Proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus
bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier
26

adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier
ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati dan
darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk 8,11,12
Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 grup, yakni :
1. Perinatal form ( Isolated Biliary Atresia) 65 – 90 %
Bentuk ini ditemukan pada neonatal dan bayi berusia 2-8 minggu. Inflmasi atau
peradangan yang progresiv pada saluran empedu extrahepatik timbul setelah lahir.
Bentuk ini tidak muncul bersama kelainan congenital lainnya.
2. Fetal Embrionic form 10 – 35 %
Bentuk ini ditandai dengan cholestatis yang muncul amat cepat, dalam 2 minggu
kehidupan pertama. Pada bentuk ini, saluran empedu tidak terbentuk pada saat lahir
dan biasanya disertai dengan kelainan congenital lainnya seperti situs inversus,
polysplenia, malrotasi, dan lain-lain. 14,15
Gambar 1. Atresia Bilier
27

Gambar 2. Sistem Hepatobiler
Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan
kandung empedu semuanyanormal).
IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus.
Kandung empedu normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus.
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable),
sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya
dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II 8
28

Gambar 3. Klasifikasi Atresia Bilier
ETIOLOGI
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan
bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom
trisomi 17,18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun,
sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang
merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi 8
Hal penting yang harus diketahui adalah bahwa atresia bilier bukanlah penyakit yang
diturunkan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya
1 anak yang menderita penyakit tersebut 13
29

PATOSIOLOGI
Meskipun histopatologi atresia bilier telah dipelajari secara eksklusif dalam bedah
spesimen dari sistem bilier extrahepatic yang didapat dari bayi yang mengalami
portoenterostomy, patogenesis kelainan ini masih kurang dipahami. Masalah Atresia Bilier
yang muncul pada bentuk fetal berhubungan dengan anomali kongenital lain. Namun, pada
bentuk yang lebih umum, yakni tipe neonatal ditandai oleh lesi inflamasi yang progresif,
yang diakibatkan infeksi atau racun yang menyebabkan rusaknya saluran empedu. Agen
infeksi yang telah diteliti oleh beberapa studi telah mengidentifikasi peningkatan titer untuk
reovirus antibodi tipe 3 pada pasien dengan atresia bilier bila dibandingkan dengan kontrol.
Virus lainnya yang teridentifikasi, termasuk rotavirus dan sitomegalovirus (CMV),. 8,14
Gambar 4. Histopatologi Atresia Bilier
GEJALA KLINIK
Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal
adalah iktcrus, tinja akolik, dan urin yang berwarna gelap. Namun, tidak ada satu pun gejala
atau tanda klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi pada waktu
lahir biasanya baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3.
Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik. Sehubungan dengan
itu sebagai upaya penjaring kasar tahap pertama, dianjurkan melakukan pengumpulan tinja 3
30

porsi. Bila selama beberapa hari ketiga porsi tinja tctap akolik, maka kemungkinan besar
diagnosisnya adalah kolestasis ekstrahepatik. Sedangkan pada kolestasis intrahepatik, warna
tinja dempul berfluktuasi pada pcmcriksaan tinja 3 porsi
Ikterus
Ikterus timbul dikarenakan hepar yang immatur pada bayi baru lahir. Normalnya ikterus
akan menghilang pada 7-10 hari setelah lahir. Tetapi bayi dengan atresia biler,
ikterusnya akan semakin nyata dalam 2-3 minggu
Urin yang berwarna gelap
Hal ini disebabkan karena bilirubin yang meningkat dalam darah, kemudian bilirubin
terfiltrasi melalui ginjal, dan dibuang melalui urin.
Feses Acholic
Feses acholic timbul dikarenakan tidak adanya bilirubin yang masuk ke dalam usus
untuk mewarnai feses.
Penurunan berat badan 8, 11, 16
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik, tidak ada temuan yang pathognomonic untuk atresia bilier
Bayi dengan atresia bilier biasanya mengalami pertumbuhan normal dan peningkatan
berat badan selama minggu pertama kehidupan.
Hepatomegali
Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal.
Murmur jantung menunjukkan adanya kelainan pada jantung 14
PEMERIKSAAN PENUNJANG 1,6
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan untuk
membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar,
pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
31

1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati
(darah, urin, tinja)
2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati;
3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia bilier.
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin
untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan
darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak
sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan
gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya,
peningkatan SGOT < 5 kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke
kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin
serum total atau bilirubin direk, dan alkali fosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam
menentukan atresia bilier.
b) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup
sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari
pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam
empedu hanya 10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka
tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia
bilier.
2) Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat ditingkatkan
bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah
minum. Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier
kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak
ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung
32

diagnosis atresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.
b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada
pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari.
Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi
ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal
tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis
intrahepatik yang berat juga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan
indeks hepatik (penyebaran isotop di hati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5
dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan
petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan
DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam
mendetcksi atresia bilier, yang terbaik adalah menggabungkan basil pemeriksaan USG dan
sintigrafi.
c) Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary Iminodeacetic
Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat
menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography)
mcrupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier
dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat
dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan
kolangiografi dianggap sebagai
baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
3) Biopsi hati
33

Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Di
tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%,
sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi,
dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca
operasi Kasai di6tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila
diameter duktus 100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet dan
Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk
menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang
mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi
pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari,
terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia
bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk
melakukan biopsi pada usia < 6 minggu
II.7. Diagnosa
Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis utama atresia bilier adalah tinja akolik, air kemih
seperti air teh, dan ikterus. Ada empat keadaan klinis yang dapat dipakai sebagai patokan
untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu: berat badan lahir,
warna tinja, umur penderita saat tinja mulai akolik, dan keadaan hepar. Kriteria ini (Tabel 1)
mempunyai akurasi diagnostik sampai 82%. Moyer dkk. menambahkan satu kriteria lagi,
yaitu gambaran histopatologik hati
34

Tabel 1. Empat kriteria klinis terpenting untuk membedakan Kolestasis
Intrahepatik dan Ekstrahepatik
DIAGNOSA BANDING
Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
Perforasi spontan duktus bilier
Massa (neoplasma, batu)
Inspissated bile syndrome
Hepatitis neonatal idiopatik
Displasia arteriohepatik (sindrom Alagille)
Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik).
Hepatitis
PENATALAKSANAAN
Terapi medikamentosa 8
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam
litokolat), dengan memberikan :
35

Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim
glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzim
sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliran
empedu).
Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.
Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder.
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :
Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat
mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larutdalam lemak.
Terapi bedah 9, 13
Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu
ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk
melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan
pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika dilakukan sebelum
bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara
dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.
36

Gambar 5. Kasai Prosedure
Prosedur kasai bisa membuat sebagian pasien berumur panjang. Namun, fungsi hati
pada sebagian pasien lainnya semakin memburuk. Umumnya, pasien datang ke rumah sakit
dalam kondisi yang sudah buruk, yakni saat bayi berusia lebih dari dua bulan. Penderita
penyakit ginjal memiliki alternatif pengobatan dialisa, tetapi tidak demikian halnya dengan
penderita penyakit hati yang berat. Jika hati sudah tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya
pilihan pengobatan adalah pencangkokkan hati.
Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier dan
kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir.
Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah
mempunyai anak.
Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan untuk
dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati
dari anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok.
Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang dewasa, yang
disebut "reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan
atresia bilier.
37

KOMPLIKASI
Kolangitis: komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran
empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. Hal ini terjadi terutama
dalam minggu-minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus.
Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan. Ada tanda-tanda sepsis (demam,
hipotermia, status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan
mungkin timbul sakit perut. Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur darah dan / atau biopsi
hati.
Hipetensi portal: Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah
portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.
Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal: Seperti pada pasien dengan
penyebab lain secara spontan (sirosis atau prehepatic hipertensi portal) atau diperoleh (bedah)
portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus pulmo mungkin terjadi. Biasanya, hal ini
menyebabkan hipoksia, sianosis, dan dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan
scintigraphy paru. Selain itu, hiper6si pulmonal dapat terjadi pada anak-anak dengan sirosis
yang menjadi penyebab kelesuan dan bahkan kematian mendadak. Diagnosis dalam kasus ini
dapat ditegakan oleh echocardiography. Transplantasi liver dapat membalikan shunts, dan
dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap semula.
Keganasan: Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas dapat timbul
pada pasien dengan atresia bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk keganasan
harus dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang berhasil.
Hasil setelah gagal operasi Kasai
Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk memulihkan aliran
empedu, dan pada keadaan ini harus dilakukan transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan
di tahun kedua kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk
mengurangi kerusakan dari hati. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari indikasi
untuk transplantasi hati di masa kanak-kanak. Hal ini juga mungkin diperlukan dalam kasus-
kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren
38

(kegagalan sekunder operasi Kasai), atau untuk berbagai komplikasi dari sirosis
(hepatopulmonary sindrom).
PROGNOSIS
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.
Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71,86%,
sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya
34,43%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun
hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami
operasi Kasai berusia 76 jam.
Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan
operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus
bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal.
39

DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak. Bagian II. Edisi 15. EGC, Jakarta: 2000. hal: 883-889.
2. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: 2000. hal 465.
3. Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak,
UNPAD, Bandung: 2005.
4. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Bandung: 2005.
5. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: 2010.
6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, Penerbit EGC, Jakarta: 2005, hal: 804.
7. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1999. hal: 695-705.
8. Parlin Ringoringo. Atresia Bilier. Ilmu Kesahatan Anak,
FKUI, RSCM, Jakarta. Available from : url :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15AtresiaBilier086.pdf/15AtresiaBilier086.html
9. Widodo Judarwanto. Atresia Bilier, Waspadai Bila
Kuning Bayi Baru Lahir yang berkepanjangan. Available from : url :
http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/02/07/atresia-bilier-waspadai-bila-
kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/
10. Mark Davenport. Biliary Atresia. London: 2010. Available from : url :
http://asso.orpha.net/OFAVB/__PP__4.html
11. ST. Louis Children's Hospital. Biliary Atresia. Washington University School of Medicine.
2010. Available from : url : http://www.stlouischildrens.org/content/greystone_779.htm
40

12. North American Society For Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.
Biliary Atresia. Available from : url :
http://www.naspghan.org/user-assets/Documents/pdf/diseaseInfo/BiliaryAtresia-E.pdf
13. Steven M. Biliary Atresia. Emedicine. 2009. Available from: url :
http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview
14. Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan
Anak FK UNAIR. Surabaya. 2006. Available from : url :
http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ena504-pkb.pdf
15. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Biliary Atresia.
USA : 2006. Available from : url :
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/atresia/BiliaryAtresia.pdf
16. Cincinnati Children’s Hospital Medical Center. Biliary Atresia. 2010. Available
from : url : http://www.cincinnatichildrens.org/svc/alpha/l/liver/diseases/biliary.htm
41