laporan jelajah gianyar - simdos.unud.ac.id

29
LAPORAN JELAJAH GIANYAR MATA KULIAH : ARSITEKTUR NUSANTARA DOSEN : IR. JOSEF PRIJOTOMO, M.Arch. KE-JATIDIRI-AN RAGAM HIAS ( ORNAMEN DAN DEKORASI ) [ KAJIAN KASUS ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI ] OLEH : I WAYAN GOMUDHA Nim. 3297 202 003 BIDANG KEAHLIAN PERANCANGAN DAN KRITIK ARSITEKTUR PROGRAM STUDI ARSITEKTUR PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER-ITS SURABAYA 1999

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

LAPORAN JELAJAH GIANYAR

MATA KULIAH :

ARSITEKTUR NUSANTARA

DOSEN :

IR. JOSEF PRIJOTOMO, M.Arch.

KE-JATIDIRI-AN RAGAM HIAS

( ORNAMEN DAN DEKORASI )

[ KAJIAN KASUS ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI ]

OLEH :

I WAYAN GOMUDHA

Nim. 3297 202 003

BIDANG KEAHLIAN PERANCANGAN DAN KRITIK ARSITEKTUR

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER-ITS

SURABAYA

1999

Page 2: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

ABSTRAK

Bali sebagai terminal akhir perjalanan kultur budaya Hindu Indonesia, telah melahirkan berbagai ragam wujud budaya, salah satu adalah ragam-hias arsitektur tradisional Bali. Kehilangan jatidiri dalam perkembangan arsitektur di Indonesia, sangat dirisaukan banyak kalangan budayawan, seniman, arsitek maupun masyarakat pemakai. Ragam hias yang merupakan bagian integral dari estetika terapan, dapat dimanfaatkan sebagai penunjuk jatidiri. Untuk itu pada kesempatan ini dibahas “Ke-jatidiri-an Ragam Hias (Ornamen dan Dekorasi), dengan kasus kajian Arsitektur Tradisional Bali. Melalui kegiatan jelajah Gianyar, laporan/kertas kerja ini akan mencoba untuk mengkaji ke-jatidiri-an ragam-hias, melalui penelusuran konsepsual perwujudan dan penapilannya, tektonika, perannya sebagai suatu daya tarik, dan penghadir suatu langgam atau jatidiri tertentu dari karakternya. Hasil kajian mendapatkan beberapa nilai-nilai perwujudan dan penampilan ragam-hias yakni : nilai-nilai filosofis, nilai-nilai sosial-ekonomis, nilai-nilai teknis-teknologis dan nilai-nilai ke-jatidirian-an yang dapat dikembangkan sebagai penghadir jatidiri Nusantara, di mana dalam penerapannya disesuaikan dengan Tempat (Desa), Waktu (Kala),dan Situasi / Kondisi (Patra). Dari kajian awal ini, pengkajian ragam hias sebagai warisan budaya Nusantara dapat dikembangkan lebih lanjut, sampai pada akhirnya mendapatkan suatu acuan, landasan atau konsep ber-ragam-hias dalam ber-arsitektur Nusantara yang indonesiawi. Kata kunci : ‘Ragam-hias’ dan ‘jati-diri’.

Page 3: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 1

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

I. PENDAHULUAN.

Latar Belakang.

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang berbentuk Republik, terdiri dari

jajaran pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke. Dihuni oleh berbagai jenis anak

bangsa (suku) dengan beraneka ragam budaya yang berkembang sesuai dengan

kondisi geografis dan alam yang melingkunginya. Keragaman budaya yang

berkembang telah pula mengemas keragaman arsitektur tradisionalnya, seperti yang

diungkapkan oleh Gunawan Tjahdjono 1:

Di Nusantara ini banyak tradisi arsitektur suatu suku bangsa yang berupa hasil proses

perpaduan pengalaman masyarakat terhadap alam, lahan pertanian, struktur

masyarakat, ritual, daur hidup dan panen, bahan dan alat dengan teknik

pengolahannya, dan seni.

Arsitektur tradisional yang berkembang pada masing-masing daerah, memiliki wujud

tampilan yang berbeda-beda satu sama lainnya, dan mempunyai ciri-cirinya sendiri

serta dapat dijadikan sumber kearsitekturan di Indonesia seperti yang dinyatakan oleh

Wondoamiseno sebagai berikut 2 :

Arsitektur Tradisional Indonesia memiliki ciri-ciri yang khas, berlainan satu dengan

yang lainnya. Kekhasan ciri-ciri tersebut sebagai salah satu yang diperlukan untuk

mendapatkan identitas Nasional.

Demikian pula bila dikaji lebih jauh atas perkembangan arsitektur tradisional di

masing-masing daerah, dikatakan oleh Gunawan Tjahjono bahwa 3 :

Tradisi berarsitektur dibeberapa kawasan di Nusantara ini juga terbentuk dari suatu

proses. Proses tersebut tidak terjadi dalam kondisi terisolasi, melainkan ada unsur-

unsur luar yang bertransfusi kedalam nilai lokal, menyatu dan menyelesaikan tantangan

yang dihadapi sehingga memiliki suatu otentisitas.

Di mana otentisitas inilah yang mengarah kepada pembentukan identitas diri atau ke-

jatidiri-an suatu karya Arsitektur, sebagai pembeda dari yang lainnya. Ke-jatidiri-an

Arsitektur Tradisional Bali maupun Arsitektur Nusantara adalah ungkapan budaya

1 Tjahjono, Gunawan, “ Makalah Seminar Arsitektur”, di WTC Surabaya, 9 September 1995. 2 Wondoamiseno, RA, “Regionalisme Dalam Arsitektur Indonesia Sebuah Harapan”, hal : 6. 3 Tjahjono, Gunawan, “Op. Cit”.

Page 4: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 2

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Anak Bangsa Nusantara. Ragam-hias (ornamen dan dekorasi) sebagai bagian dari

seni terapan, merupakan bagian integral dari arsitektur dalam kehadirannya sebagai

bentukan ragawi, sehingga media ini dapat dipakai sebagai petunjuk jati-diri.

Untuk itu dipandang perlu mengadakan kajian yang lebih mendalam tentang ragam-

hias, dalam hal ini akan dikaji “Ke-jatidiri-an Ragam-hias (Ornamen dan Dekorasi)”

dengan kajian kasus Arsitektur Tradisional Bali.

Pulau Bali sebagai terminal akhir perjalanan budaya Hindu yang berkembang sejak

abad ke empat di Kutai, Jawa Barat (Taruma Negara) melalui lembah Prambanan

(Mataram Kuna), Jawa Timur (Mataram-Kediri-Singosari-Majapahit) dan akhirnya

berkembang di Bali disesuaikan dengan tempat (desa), waktu (kala) dan

situasi/kondisi (patra). Agama Hindu sebagai landasan telah melahirkan Arsitektur

Tradisional Bali sebagai runtutan evolusi budaya Hindu di Indonesia. Dengan

mengambil kajian kasus di Bali diharapkan dapat diungkap materi yang lebih lengkap

sebagai endapan perjalanan kultur arsitektur Nusantara masa lalu.

Pola Pikir dan Proses Kerja Jelajah Gianyar.

Jelajah Gianyar merupakan salah satu kegiatan akademik untuk mata kuliah

Arsitektur Nusantara, berupa kuliah lapangan di Gianyar-Bali [lihat Lampiran: I].

Kegiatan ini juga sebagai tindak lanjut dari upaya untuk memperdalam kajian

arsitektur Tradisional dalam rangka menemukan nilai-nilai Nusantara, sebagaimana

dikemukakan dalam latar belakang permasalahan. Berikut ini disajikan ringkasan

pola pikir dan sekaligus proses kerja [Diagram: I], mengenai Pra-Gianyar, Jelajah-

Gianyar, dan Pasca Jelajah-Gianyar.

Prajelajah Gianyar :

Pada tahap ini inti kegiatan adalah perkuliahan dalam rangka pengenalan materi

pokok tentang arsitektur Nusantara, diskusi, penjelasan mengenai obyek jelajah,

Page 5: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 3

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

penetapan tujuan serta strategi penjelajahan, termasuk juga pemilihan topik dan

pencarian definisi/pengertian awal tentang materi dan obyek bahasan.

DIAGRAM : I

PRAJELAJAH GIANYAR :

PASCAJELAJAH GIANYAR :

Kegiatan penting lainnya adalah studi literatur pendukung, terutama berkaitan

dengan pengetahuan ragam-hias. Permasalahan pokok yang dihadapi adalah belum

dipahaminya suatu strategi untuk mengupas sesuatu bukan dari dalam, melainkan

dari luar dengan suatu alat atau metode yang sifatnya universal. Hingga tiba di lokasi

jelajahpun penulis masih kebingungan untuk membedah lingkaran permasalahan

penjelajahan yang masih membulat, harus memulai dari mana?

RAGAM-

HIAS

DEFINISI

PRA

GIANYAR

SESUAI

DEFINISI

TIDAK

SESUAI

DEFINISI

TEMUAN

TIDAK

EFEKTIF

DEFINISI BARU

[PENYEMPURNAAN]

KONSEPSUAL

OBYEK

VISUAL

OBYEK

IDENTIFIKASI

OBYEK

METODA

TEKTONIKA

PERAN

JATI DIRI

KAJIAN ATAS

DEFINISI BARU

KONTRIBUSI KAJIAN

TERHADAP ARS. NUSANTARA

Page 6: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 4

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Dilain pihak keakraban penulis dengan Bali selalu mempengaruhi kenetralan pola

pikir dan sudut pandang sebagai orang Bali. Memang terasa berat untuk mengganti

kacamata yang berbeda untuk melihat tanpa keberpihakan. Namun demikian hal ini

justru sebagai pemicu semangat dalam rangka studi pematangan diri serta pe-

ngembangan wawasan berarsitektur.

Dalam Jelajah Gianyar :

Penjelajahan dimulai dari Desa Beng sebagai cikal-bakalnya Gianyar, yang lahir dari

urat-kata ‘Gria’ dan ‘Anyar’ yang berarti “Rumah Baru” (bagi Brahmana). Beng

sebagai daerah asal, dan Gianyar sebagai daerah baru ternyata memendam pernik-

pernik dan manik-manik (potensi) perkembangan ragam-hias dalam berbagai jenis,

corak, bahan dan cara pembuatan dengan penampilan yang beraneka ragam.

Demikian pula di daerah Ubud dan Peliatan sebagai jelajah banding, dikenal sebagai

gudangnya seniman, ragam-hias berkembang sangat pesat, dan didukung oleh

kemampuan ekonomi masyarakat yang memadai.

Ditemukan, ternyata ragam-hias bukan lagi sebagai ungkapan tolok ukur status sosial

di masyarakat dalam upaya men-jatidiri-kan diri, seperti yang dikenal pada jaman

kerajaan. Pada jaman kemerdekaan dan globalisasi ini telah berubah menjadi

ungkapan status ekonomi/kemampuan sosial-ekonomi masyarakat, di samping ingin

terpandang modern. Kolonialisme Belanda dalam upaya memperkuat kekuasaannya

juga telah memanfaatkan salah satu unsur arsitektur, yang disebut ragam-hias sebagai

alat untuk memberikan kepuasan berarsitektur bagi raja yang telah bersedia

bekerjasama. Muncullah ragam-hias tipe lengkung atau gaya kolonial (pada pintu

masuk Gedong Gunung Rata yang juga disebut ‘Masterdam’ di Puri Gianyar maupun

di Puri Ubud ), Patra Olande, Ragam-hias pra-cetak (Pot-pot bunga di Puri Gianyar)

dan berbagai langgam ragam-hias yang diambil dari negara-negara lain seperti Cina

dan Eropa. Kehadiran ragam-hias baru ini ternyata dapat memperkaya khasanah

keragaman ragam-hias yang telah dimiliki Gianyar pada khususnya, sejak jaman Bali

Aga (Kuna) dan Jaman Bali Arya (Majapahit).

Page 7: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 5

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Dari hasil jelajah di samping banyak materi yang dapat dirangkum, ternyata banyak

sisi lain seperti konsep, wujud/penampilan, tektonika, perkembangan ragam-hias,

hingga saat ini belum terungkap.

Pascajelajah Gianyar :

Jelajah demi jelajah telah dilakukan terhadap keragaman wujud ragam-hias, karena

banyaknya ragam-hias yang ada dengan berbagai corak dan cara penampilannya serta

filosofi yang melatar belakangi, telah memunculkan “kebingungan” dalam

mengungkap ke-jatidiri-annya. Walaupun demikian akan tetap diupayakan suatu

metoda atau cara pandang maupun strategi pembedahan yang tepat untuk dipilih

sesuai dengan konteks permasalahan.

Tujuan Pembahasan.

Dari pembahasan ini diharapkan dapat digali dan diidentifikasi keragaman konsep

dan wujud ragam-hias dalam Arsitektur Tradisional Bali untuk selanjutnya dikaji

konsepsual perwujudannya dan penampilannya, sehingga dapat dikenali ke-jatidiri-

annya dari obyek bersangkutan. Untuk selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan

kajian demi kajian tentang ragam-hias sampai pada akhirnya ditemukan acuan,

landasan atau konsep ber-‘ragam-hias’ dalam ber- ‘Arsitektur Nusantara’, di masa

datang.

Lingkup Bahasan.

Untuk dapat mengkaji ragam-hias sebagai bagian integral dari arsitektur, maka

lingkup pembahasan difokuskan pada pengkajian konsep wujud dan tektonika dari

bentukan/ perwujudan/penampilan ragam-hias (ornamen dan dekorasi), dalam hal ini

dengan mengesampingkan tautannya dengan masalah sosial dan budaya.

Page 8: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 6

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

II. D E F I N I S I.

Sebagai penjelajah yang akrab dengan daerah jelajah agaknya terpaku dengan

referensi tentang definisi ragam-hias tradisional Bali, sebagaimana dikenal selama ini

sbb :

a. Definisi Tradisional Bali ( Definisi Pra-Jelajah ) :

Ornamen dan dekorasi dalam arsitektur tradisional Bali merupakan perwujudan

keindahan manusia dan alamnya yang mengeras kedalam bentuk-bentuk tata hias

bangunan. Benda-benda alam, nilai-nilai agama dan kepercayaan diterjemahkan ke

dalam bentuk-bentuk ragam-hias, tumbuhan-tumbuhan, binatang unsur alam, nilai-

nilai agama dan kepercayaan disarikan ke dalam suatu perwujudan keindahan yang

harmonis, [Gelebet, Arsitektur Tradisional Daerah Bali, 1982:331].

Penjabaran pengertian definisi pra-Gianyar di atas dapat diformulasikan tipologi

ragam -hias tradisional Bali, sesuai dengan rampatan dalam Lampiran : II – Tipologi

Ragam hias dalam Arsitektur Tradisional Bali.

Arti dan maksud penggunaan ragam-hias adalah untuk keindahan, ungkapan simbolis,

dan sebagai alat komunikasi dengan bahasa simbol. Jenis ragam-hias terdiri dari :

ragam-hias flora, fauna, unsur-unsur alam, agama dan kepercayaan dan dari unsur-

unsur lainnya. Warna ragam-hias yang ada sesuai dengan warna asli bahan dasarnya

atau pepulasan/pengecatan. Bentuk ragam-hias berupa ukiran, pahatan (tetatahan),

pengecatan (pepulasan), susunan bentuk (pepalihan) dan hiasan sederhana/polos

(lelengisan). Pembuatannya dilakukan dengan pahatan, pahatan tempel (dekorasi),

pasangan, anyaman, cetakan, rakit-rakitan, dan ornamen (kekupakan).

b. Definisi Tan Bali ( Definisi Baru ) :

Page 9: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 7

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Ragam-hias arsitektur adalah himpunan berbagai jenis, corak, warna, dari

elemen-

elemen hiasan/tata-hias yang secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua

bagian,

yaitu ornamen dan dekorasi.

Ornamen, adalah tata-hias yang merupakan bagian integral dari konstruksi, lain kata

bahwa ornamen tersebut muncul sebagai akibat penyelesaian konstruksi dengan

pemahatan yang disebut tektonika, [Rangkuman Materi Kuliah Arsitektur Nusantara,

1997, oleh Josef Prijotomo].

Dekorasi, adalah unsur-unsur tata-hias yang dipasang/dibubuhkan pada elemen-

elemen arsitektur, tapi bukan merupakan bagian integral dari konstruksi dan semata-

mata dipasang/dibubuhkan sebagai elemen estetis serta merupakan satu kesatuan

dengan tempat di mana dekorasi tersebut dipasang, [Rangkuman Materi Kuliah

Arsitektur Nusantara, 1997, oleh Josef Prijotomo].

III. T E M U A N.

Dari definisi pra Gianyar (tradisional Bali) yang diacu di atas dalam jelajah Gianyar

ditemukan data ragam-hias yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :

a. Ditinjau atas dasar tata-cara penggunaan ragam-hias.

Ragam-hias (ornamen dan dekorasi) sesuai definisi tradisional Bali adalah ragam-hias

yang terdapat pada bangunan-bangunan yang masih menggunakan kaidah-kaidah

arsitektur tradisional Bali seperti bangunan: Pura yang ada di : Desa Beng, Gianyar,

Bangli, Puri Gianyar, Puri Ubud, Bangunan umum : Bale Kulkul dan Bale Gede di

Page 10: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 8

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Banjar, dan Perumahan tipikal tradisional: Pamrajan, Gedong (Bale Bandung), Bale

Gede/Bale Sumanggen dan Angkul-angkul.

Ragam-hias yang tidak sesuai definisi tradisional Bali mencakup sebagian besar pada

bangunan-bangunan yang non tradisional Bali :

Ragam-hias berupa dekorasi tempelan ada pada bangunan-bangunan non

tradisional : Bangunan Pertokoan, Perkantoran dan Perumahan di Gianyar.

Ragam-hias berupa ornamen non tradisional pada bangunan perumahan di Desa

Beng terdiri atas: Angkul-angkul, Bale Daja, Bale Dangin, Pamrajan.

Tidak memakai ragam-hias, didapat pada bangunan-bangunan non tradisional,

seperti: Bangunan Bale Banjar di Beng (Bangunan Jengki, Wantilan Konstruksi

Beton), bangunan rumah non tradisional di Beng dan di Gianyar.

b. Ditinjau dari Jenis/corak/langgam Ragam-hias.

Ragam-hias tradisional Bali, di mana jenis, corak, bahan, tekstur dan warna yang

dalam penampilannya sesuai dengan kaidah-kaidah/tipologi ragam hias

tradisional.

Ragam-hias non tradisional Bali, adalah jenis, corak, bahan, tekstur dan warna

yang dalam penampilannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah/tipologi ragam

hias tradisional.

Hasil temuan atas dasar definisi Pra-Gianyar (tradisional Bali) yang diacu ternyata

tidak mendukung upaya pengkajian ke-jatidiri-an ragam-hias yang banyak

berkembang terutama di luar kaidah-kaidah tradisional. Untuk itu perlu diadakan

perubahan sudut pandang dan fokus bahasan dengan memakai definisi baru sebagai

titik pijak. Diharapkan hasil temuan sesuai definisi baru dapat mengungkap lebih

banyak tentang jatidiri, kondisi pertumbuhan dan perkembangan ragam hias sebagai

suatu aset tradisi.

Page 11: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 9

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

c. Proses Penghimpunan Data.

Penghimpunan data selama di Gianyar dilakukan dengan jalan menjelajahi obyek-

obyek yang ditengarai memiliki keunggulan maupun penyimpangan atau pemakaian

di luar kebiasaan/tradisi terhadap ragam-hias. Juga dijelajahi obyek-obyek sebagai

hasil atau upaya pemilik/perencana/undagi untuk mengadakan stilisasi, hibrida atau

pencampuran unsur-unsur ragam-hias baru dan/atau ragam hias non Bali.

Setelah data lapangan terkumpul kemudian diadakan klasifikasi sesuai dengan

definisi Pra-Gianyar dan tipologi fungsi bangunan tradisional Bali [Lampiran : III].

Ragam hias dapat dikelompokkan yakni: 1) Ragam-hias pada bangunan tempat suci

atau pamrajan (Parhyangan); 2) Ragam-hias pada bangunan bagi manusia

(Pawongan); 3) Ragam-hias pada bangunan service dan fasilitas umum (Palemahan).

Banyaknya langgam/corak, jenis, bahan, cara penampilan/pembuatan dan penggunaan

ragam-hias dilapangan, cukup menyulitkan dalam pembahasan dari aspek

pengetahuan universal. Oleh karenanya pembahasan ragam-hias akan difokuskan

kepada aspek konsep perwujudan dan penampilan, tektonika dan perannya untuk

memberikan suatu daya tarik atau menghadirkan suatu langgam (style) maupun

jatidiri tertentu dari karakteristik atau ciri-ciri yang dikandungnya. Hal ini ditempuh

untuk memberikan peluang kajian atas dasar kaidah-kaidah/pengetahuan yang

bersifat universal sebagai titik pijaknya. Dengan titik pijak ini pula setiap kajian atas

arsitektur tradisional maupun arsitektur Nusantara akan menjadi spesifik (dalam titik

pijak tertentu) dan sekaligus ‘sahih’ atau ‘valid’ (dapat dipertang-gung jawabkan

dalam kerangka pengetahuan ‘universal’- Barat), [Rangkuman Materi Kuliah

Arsitektur Nusantara, 1997, oleh Josef Prijotomo].

Untuk itu ragam-hias tidak lagi dikelompokkan atas dasar tipologi fungsi bangunan,

melainkan akan dikelompokkan atas dasar konsep perwujudan dan penampilannya

yakni: ‘konsepsual (conceptual) obyek’ dan ‘visual obyek’:

Page 12: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 10

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

1) Konsepsual obyek adalah ragam-hias (ornamen dan dekorasi) yang ditampilkan

hanya berupa bagan berwujud abstrak, sehingga masih dapat dikembangkan atau

masih memungkinkan untuk diinterpretasikan lagi dan; 2) Visual obyek adalah

ragam-hias yang ditampilkan secara tuntas/terselesaikan/real sesuai dengan apa yang

dimaksudkan oleh pencipta atau perancangnya, demikian pula yang dapat disaksikan

oleh pengamatnya, obyek-obyek ini umumnya tidak dapat lagi dikembangkan lebih

lanjut.

Kemudian data yang telah terhimpun menjadi dua kelompok di atas akan ditinjau dan

dianalisa secara bertahap sesuai dengan rampatan “definisi baru”, sebagai berikut.

Mendeskripsikan konsep perwujudan dan penampilan (konsepsual obyek dan

visual obyek) dari tipologi ragam-hias pada obyek studi kasus.

Mengidentifikasi apakah ragam-hias yang dipasang/dibubuhkan pada obyek

arsitektural dapat memberikan suatu daya tarik atau dapat menghadirkan suatu

langgam (style) atau jatidiri tertentu dari karakternya.

Meninjau metoda tektonika atau sistim penghadiran ragam-hias pada obyek

arsitektural yang dijadikan studi kasus.

IV. RAGAM HIAS DAN JATIDIRI.

J a t i d i r i :

Menurut Umar Kayam jatidiri adalah kualitas pengungkapan yang khas dari

seseorang, sehingga mudah dikenal. Bila dianalogikan dengan apa yang dimaksud ke-

jatidiri-an ragam-hias, adalah suatu sifat wujud atau karakter ragam-hias dari suatu

masyarakat tertentu yang khas, membedakan dengan ragam-hias lainnya.

Dalam upaya mengeneralisasi arsitektur tradisional Indonesia, oleh Jim Supangkat

[1997:10] dikemukakan ciri-ciri khasnya adalah :

Hampir semua bangunan tradisional merupakan bangunan kayu.

Hampir semua bangunan tradisional mempunyai tekanan pada atap.

Page 13: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 11

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Hampir semua bangunan tradisional memperlihatkan struktur kerangka dengan

empat tiang penyangga utama, yang dihubungkan dengan blandar.

Dinding senentiasa berfungsi sebagai penyekat, dan mempunyai sifat-sifat ringan.

Menggunakan sistim knock-down pada konstruksi kayunya.

Adanya unsur arsitektur yang selalu ada dan tampil tidak disebutkan oleh Jim

Supangkat sebagai faktor generalisasi adalah “ragam-hias”. Disinilah sebenarnya

letak pembeda antara arsitektur tradisional yang satu dengan yang lainnya. Demikian

pula Josef Prijotomo, [1988], dalam sebuah tulisan mengenai Ornamen dan Dekorasi

mengemukakan beberapa rampatan mengenai ragam-hias sbb 4:

Mengenai penempatan ragam-hias (ornamen dan dekorasi), di mana kehadirannya

dapat menjadi petunjuk bagi bagian-bagian mana dari bangunan memiliki tingkat

frekuensi kegiatan yang tinggi atau penting.

Nilai melambang (simbolik) dan sekaligus pembentuk jatidiri. Meskipun nilai

simboliknya sama atau serupa untuk beberapa daerah, namun setiap daerah akan

menggoreskannya dengan corak dan gaya daerah itu sendiri.

Dengan adanya nilai melambang serta tampilnya jatidiri lewat corak dan gaya, ornamen

dan dekorasi ini sekaligus merupakan sebagian dari ensiklopedia tentang masyarakat

pemilik dan penggunanya.

Karena ikatan dengan nilai lambang dan jatidiri itu maka dalam berornamen dan

berdekorasi itu masyarakat tidak menolak proses peniruan (dalam arti mimesis). Dengan

tidak ditolaknya peniruan itu tidak sedikit ornamen dan dekorasi menjadi terbuka bagi

stilisasi, hibrida, maupun pencampuran yang serasi dengan unsur-unsur baru.

Pada kesempatan yang berbeda Josef Prijotomo, [1994] mengemukakan bahwa :

Dengan menghilangkan ragam-hias kita akan menyaksikan bangunan yang akan

menampilkan sosok Melayu. …. disitulah kita saksikan peran yang demikian penting

dari ragam-hias. Ragam-hias justru berperan sebagai penunjuk utama Jatidiri.5.

Dalam diagram hubungan kebudayaan dengan ragam-hias yang disusun oleh

Kuntjaraningrat dalam konteks arsitektural, dikemukakan bahwa kesenian adalah

sebagai bagian integral dari kebudayaan dan merupakan satu-satunya unsur

kebudayaan yang paling memungkinkan untuk menunjukkan ke-jatidiri-an. Ragam-

hias mencakup: Seni Patung, Seni Relief, Seni Lukis/Gambar, Seni Rias/Hias dan

Seni Kerajinan adalah bagian terpenting atau unsur dominan dari Seni Rupa atau

Kesenian. Jadi dapat dikatakan bahwa ragam-hias dapat dipakai sebagai penghadir

ke-jatidiri-an suatu langgam, [Lampiran IV ].

4 Josef Prijotomo, Pasang Surut Arsitektur di Indonesia, 1988, BAB II, hal.7 5 Josef Prijotomo, “Bangun, Sosok versus Wujud di Arsitektur”, Majalah Konstruksi, Nomor 200,

Desember 1994, tahun ke XVIII.

Page 14: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 12

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Style atau Langgam.

Sesuai definisi baru (tan-Bali) di atas, bahwa dekorasi dipakai untuk menghias

bangunan dalam rangka menghadirkan suatu suasana (atmosphere) atau “langgam”

(style) tertentu. Lain kata ragam-hias pada dasarnya dapat mencerminkan langgam

(style) atau ciri-ciri atau karakteristik arsitektur tertentu. Style adalah kesatuan prinsip

yang hidup atas semua pekerjaan, pada suatu jaman. Hasil dari keadaan pikiran yang

memiliki karakter khusus, [Le Corbusier, 1920, in Conrads, 1964:60]. Dengan

demikian ragam-hias (ornamen dan dekorasi) merupakan salah satu unsur penting

pembentuk langgam.

V. PEMBAHASAN.

a. Kajian Obyek atas Definisi Baru (Tan-Bali)

Secara garis besar obyek ragam-hias pada studi kasus sesuai karakteristik

penampilan-nya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1. Konsepsual obyek, yaitu obyek/bangunan yang menampilkan ragam-hias berupa

bagan dan berwujud abstrak, termasuk dalam kelompok ini adalah :

Bangunan-bangunan yang penyelesaian ornamennya memakai teknik

pepalihan atau lelengisan, contoh: Pamrajan/tempat suci di Beng dengan

ornamen plasteran dengan perampungan cat putih, Angkul-angkul di Desa

Beng dengan ornamen plaster dan perampungan cat putih, Bale Daja di Desa

Beng dengan tiang pilaster berornamen plasteran.

Bangun-bangunan dengan dekorasi bidang polos bata dan paras tidak diukir.

contoh : bangunan Pertokoan Mandara Giri dan Pertokoan Harum Fajar.

Page 15: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 13

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

2. Visual obyek, yaitu obyek/bangunan yang menampilkan ragam-hias secara

tuntas/ terselesaikan/real atau diukir. Contoh ragam-hias ini ditemukan pada

bangunan-bangunan yang sepenuhnya memakai ragam-hias tradisional Bali dan

diukir, seperti Puri Gianyar, Puri Ubud, pura Dalem Sidan.

Dari dua strategi metoda penampilan ragam-hias ini, masing-masing diidentifikasikan

dan dideskripsikan nilai-nilai ke-jatidiri-an atas dasar definisi baru sebagai berikut :

Konsepsual Obyek :

Bersifat universal kurang dapat menujukkan suatu langgam (style) atau jatidiri

yang khas, akan tetapi lebih memungkinkan untuk diangkat sebagai ke-jatidiri-an

Nusantara.

Kurang dapat menarik perhatian pengamat bila perampungannya memakai bahan

secara umum sudah dipakai, seperti plasteran warna putih, atau cetakan dengan

warna semen. Lihat foto Angkul-angkul, Gapura beton cetak dan Marajan di desa

Beng. Namun akan memiliki citra khas bila perampungannya merupakan suatu

kombinasi atau perpaduan antara bahan-bahan alam yang diekspose secara

alamiah, lihat foto bagian detail bangunan Puri Gianyar dan Pertokoan Mandara

Giri.

Bila ditinjau dari kondisi pengamat yang saat ini memiliki waktu singkat dan

skala pergerakkan memakai kendaraan, maka penampilan cara ini akan lebih

tepat, karena pengamat hanya dapat menangkap kesan global saja. Metoda ini

baik diterapkan untuk bangunan-bangunan dalam skala besar dan berada pada

kondisi pengamat tidak memungkinkan untuk melihat secara mendetail.

Unsur ornamen akan lebih dominan muncul dibanding unsur dekorasi, ornamen

dapat berwujud dekorasi, apabila dalam penataannya dilakukan dengan

cara/teknik yang tepat, memperhatikan tekstur, gelap-terang/kontras, contoh dapat

dilihat pada ornamen “Pecira”.

Ragam hias ini lebih tepat dipakai sebagai tata rupa (eksterior)

bangunan/arsitektur

Page 16: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 14

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Dalam pembuatannya tidak memerlukan seniman tukang ukir, hanya tukang

pasang atau tukang plaster,sehingga biaya lebih murah.

Visual obyek :

Memiliki karakteristik atau ciri-ciri khas, sehingga dapat menapilkan ke-jatidiri-

an suatu langgam/style, apakah langgam Bali, Jawa atau Cina, dan sebaginya. Jadi

langgamnya harus sudah ditentukan pada saat rancangan dibuat dan bersifat final,

sehingga tidak dapat diinterpretasi lagi.

Dapat menarik perhatian karena daya tariknya muncul dari karakter bahan dan

ukiran yang dibuat. Contoh beberapa bangunan di Puri Ubud dan Gapura Pura.

Memerlukan pengamatan secara mendetail untuk menangkap makna yang ingin

ditampilkan, sehingga faktor jarak pandang, tata-letak, dan kerumitan atau tipe

ukiran menjadi penentu.

Unsur dekoratif akan lebih dominan, untuk ini tergantung dominasi apakah

dekorasi sebagai latar depan dimunculkan atau sosok bangunan sebagai latar

belakang dimunculkan sehingga dekorasi hanya sebagai aksen saja.

Ragam hias ini lebih tepat dipakai sebagai elemen tata hias interior bangunan.

Pembuatan memerlukan pemikiran yang lebih tuntas terhadap tema dekorasi yang

dipasangkan, serta memerlukan biaya yang lebih banyak untuk finishing

ukirannya.

b. Tinjauan Tektonika sebagai Ragam-hias.

Tektonika memiliki pengertian sebagai “the art of construction” yakni seni

menggarap dan memberikan perampungan terhadap bagian-bagian tampang dari

sebuah arsitektur. Pada dasarnya ragam-hias di samping mengandung makna

simbolis, keharmonisan, keindahan, dan sebagai media komunikasi arsitektural juga

berfungsi sebagai penyelesaian sistem konstruksi. Pada studi kasus banyak ditemukan

hal-hal yang berhubungan dengan tektonika, dapat dikelompokkan atas dasar tinjauan

sebagai berikut.

Page 17: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 15

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

1. Atas dasar Bentuk dan Tata-letak Ragam-hias :

Ragam-hias Batur dan Tembok.

Susunan be-batur-an dan tembok dibuat dengan pasangan pepalihan yang pada

umumnya dibagi menjadi tiga bagian pepalihan, yakni bagian dasar selaku

kaki/batur, pengawak selaku badan dan kereb/atap selaku kepala. Pembagian ini

sebagai penge-jawantahan Tri-angga dalam bangunan di samping pertimbangan

konstruktif.

Susunan/ornamentasi bebaturan dan tembok dengan tata-cara ini memiliki fungsi

ganda yaitu Pertama, merupakan penyelesaian konstruksi dengan membuat

pembesaran dimensi pada bagian dasar secara horizontal, pada pilaster/kolom (padu

raksa) yang dibuat lebih tebal dari bagian badan/pengawak dinding ke arah vertikal,

dan bagian atap/kereb dibuat lebih tebal dari pengawak atau dinding secara

horizontal. Pembesaran ini dilakukan untuk memberikan kekakuan pada bebaturan

atau dinding, karena bahan yang dipakai sama satu jenis, berbeda halnya dengan

konstruksi dinding dengan pengaku sloff, kolom dan ring dari beton yang memiliki

kekuatan lebih dari bahan dinding. Kedua berfungsi sebagai ornamen yang

memberikan nilai keindahan di samping sebagai pengejawantahan wujud Tri-angga

dalam rangka harmonisasi wujud isi dan wadah.

Ragam-hias Kekarangan :

Ragam-hias ini ditampilkan pada sudut-sudut bangunan terutama pada bangunan-

bangunan tugu maupun candi. Kekarangan ini dipasang pada sudut bangunan secara

konstruktif adalah untuk memberikan keamanan sudut bangunan, karena wujud

tajam/ runcing sangat riskan terhadap benturan di samping secara arsitektonis dapat

menyembunyikan kesalahan atau ketidak tepatan pertemuan sudut. Dekorasi yang

dipasang adalah yang bentuknya dapat distilisasi menjadi dua muka menyudut.

Page 18: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 16

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Ragam-hias Konstruksi Kayu.

Ragam-hias ini dibuat pada penyelesaian konstruksi kayu pada bangunan-bangunan

tradisional Bali, terutama bangunan-bangunan yang dipakai pada siang hari atau

bangunan yang dianggap penting, sehingga memiliki nilai lebih (indah, menarik,

sakral), seperti bale Sumanggen/Bale Gede, serambi Meten Bandung dan bangunan-

bangunan tempat suci.

Ornamen akan selalu dimunculkan pada setiap kesempatan dalam penyelesaian

konstruksi, sehingga obyek/elemen yang sama dapat berfungsi ganda di samping

sebagai elemen konstruksi, juga sebagai elemen estetis/keindahan yang dapat

memberikan kesenangan dan rasa bangga. Pemunculan ini juga sebagai upaya

memperlakukan bangunan sebagaimana memperlakukan dirinya , “Tat Twam Asi”.

2. Atas dasar Tata-cara/Teknik Pembuatan/Perwujudan Ragam-hias :

Ditinjau dari tata-cara/teknik tata-hias pada umumnya ada dua cara yang dapat

ditempuh, yakni ‘pemahatan dan pembubuhan’ [Josef Prijotomo, 1996] 6 :

Teknik pemahatan menunjuk pada penggarapan komponen arsitektural dikatakan

telah rampung, bila unsur tata-hias juga telah terampungkan. Dalam teknik ini jelas

ada penghapusan atau pembuangan terhadap bagian permukaan komponen arsitektur.

Dengan demikian antara bagian yang dipakai komponen arsitektural dengan bahan

untuk unsur tata-hias tidak terlihat adanya perbedaan, bahkan hanya satu bahan yang

menerus. Dapat disimpulkan bahwa teknik ini ditempuh dalam rangka pembuatan

‘ornamen’. Teknik ini dipakai terutama pada perampungan konstruksi bangunan

yang meliputi konstruksi batur, dinding atau tiang, dan atap bangunan.

6 Prijotomo, Josef, “Arsitektur Tradisional Bali, sebuah Dekonstruksi?, dalam Suryani, Ni Ketut, (ed),

1996. “Kajian Budaya Bali, Menghadapi Milleniium Ketiga”, Pertemuan Tahunan, Lembaga

Pengkajian Budaya Bali, Denpasar, 1996.

Page 19: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 17

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Teknik pembubuhan menunjuk pada pemberian unsur-unsur tata-hias pada bidang-

bidang komponen arsitektur yang dalam perwujudan akhirnya masih terkesan bahwa

unsur-unsur tadi dihadirkan setelah komponen arsitektural terampungkan. Sebagai

hasil pembubuhan unsur-unsur tata-hias ini tidak menyangkal keberadaan dari teknik

yang dipakainya, oleh kerenanya setiap saat bisa saja dicopot atau ditanggalkan. Jadi

teknik ini ditempuh dalam rangka men-dekorasi arsitektur/bangunan.

VI. KONTRIBUSI KAJIAN TERHADAP RAGAM HIAS NUSANTARA.

Ragam hias (ornamen dan dekorasi) tradisional Bali merupakan bagian integral dari

ragam hias Nusantara, sehingga pengkajian dan pemahaman terhadap ragam-hias

tradisional Bali yang lebih mendalam berupa: pengertian, nilai-nilai, makna dan

teknik ragam-hias merupakan upaya awal dalam rangka pelestarian dan

pengembangan ragam hias tradisional Bali khususnya dan ragam hias Nusantara pada

umumnya.

Perumusan kontribusi terhadap ragam hias Nusantara atau nilai-nilai tradisional Bali

yang dapat menusantara atau sebaliknya yang nusantara mendukung yang Bali.

Pendekatannya dilakukan dengan : a) Mengidentifikasi nilai-nilai spesifik/khas

ragam-hias; b) Rumusan nilai-nilai nusantara; dan c) Konsekuensi yang ditimbulkan

terhadap ragam-hias Bali dan Nusantara.

a. Nilai-nilai dan makna spesifik/khas.

Nilai-nilai ragam hias yang dapat dipakai sebagai sumber inspirasi dan konsep

pengembangan ragam-hias di masa datang sebagai penghadir jati-diri ragam hias

(baca: arsitektur) Nusantara yang Indonesiawi. Adapun nilai-nilai ragawi/rinupa dan

tan-ragawi/makna/nirupa yang dapat diungkap mencakup:

1. Nilai-nilai filosofis/Makna :

Page 20: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 18

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Masyarakat tradisional Bali memiliki tujuan hidup lebih mengutamakan

ketenangan dan kesenangan bathin yang berlandaskan spiritualistis, masih

mengutamakan faktor rasa dibanding rasio. Selalu ingin hidup damai (spiritual

peace), dengan menerapkan kebijaksanaan tradisi secara bersungguh-sungguh

(penghargaan terhadap historis) dan mengupayakan harmonisasi dalam interaksi.

Ragam-hias dihadirkan memiliki makna simbolis sebagai media komunikasi

arsitektural (fungsi tan-ragawi). Pertama fungsi ini akan memberikan kesempatan

seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengungkapkan rasa indahnya (sence of

beauty) melalui media ragam-hias. Fungsi kedua adalah dengan terciptanya

suasana indah pada lingkungan-binaan akan dapat memunculkan perasaan halus

dan perasaan damai/ketenangan batin, yang pada akhirnya keharmonisan

hubungan antar manusia, manusia dengan penciptanya dan manusia dengan

lingkungan-binaan dapat terwujud.

2. Nilai-nilai Sosial-ekonomi :

Ragam hias tradisional Bali, yang berlandasan agama Hindu dan berwawasan

lingkungan dan budaya, selalu berupaya menerima dan mewariskan konsep,

makna, tatanan fisik/rinupa dan tatanan nirupa serta proses pembangunan

lingkungan-binaannya secara berkesinambungan (meaning sustainability).

Historisisme masih melekat, ungkapan perasaan dalam proses pembangunan

memiliki makna utama bersifat ‘handicraft’ (proses perasaan), bukan semata-

mata pada saat penggunaan; nilai-nilai mitos dan simbolik sebagai acuan konsep,

‘keuntungan psikologis dan moral’ lebih diutamakan daripada keuntungan materi;

motto ‘salunglung sebayantaka’ (dalam keadaan duka maupun suka tetap

bersama) yang dilandasi sikap ‘Tat Twam Asi’ (ia adalah kamu atau aku adalah

engkau), sehingga segala sesuatu pekerjaan dilakukan secara ‘gotong royong’

dengan manajemen tradisional. Ragam-hias sebagai handicraft ternyata telah

memberi peluang lapangan pekerjaan yang cukup luas, sebagai komoditi ekspor

yang banyak mendatangkan devisa.

Page 21: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 19

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

3. Nilai-nilai Teknis dan Teknologis :

Penghadiran ragam-hias adalah sebagai upaya penyelesaian teknis-teknologis

yang dipadukan dengan seni konstruksi (tektonika) dari setiap elemen arsitektur,

sehingga elemen-elemen arsitektur memiliki fungsi ganda yakni fungsi teknis dan

estetis sebagai suatu nilai tambah.

4. Nilai-nilai Ke-jatidiri-an :

Kehadiran ragam-hias yang melambang bersifat handicraft telah memberikan

identitas tersendiri bagi arsitektur tradisional Bali dan membedakannya dengan

arsitektur lainnya. Keterbukaan untuk menerima pengaruh luar secara arif

dipadukan hingga melahirkan identitas baru (hibrida). Ke-jatidiri-an sebagai suatu

kebanggaan akan merangsang tumbuhnya rasa percaya diri untuk dapat tampil

dan berkiprah dalam pergaulan globalisasi. Kemampuan berkiprah akan

menentukan nilai penghargaan yang akan diperoleh dan akan memicu semangat

dan kreativitas untuk berkreasi yang lebih baik dan berkesinambungan, demikian

seterusnya akan membentuk ‘siklus anemu-gelang’, siklus bertemu yang terus

memuncak.

b. Rumusan Nilai-nilai Nusantara.

Rumusan ini disusun mengacu kepada kemungkinan nilai-nilai tradisional yang dapat

diangkat sebagai nilai-nilai yang menusantara atau indonesiawi, demikian pula

sebaliknya kemungkinan nilai-nilai luar (nusantara lainnya atau asing) yang mungkin

dapat diadaptasikan terhadap ragam-hias langgam Bali.

1. Nilai-nilai Filosofis/Makna :

Nilai-nilai filosofi yang bermakna bagi masyarakat nusantara perlu dilestarikan

dan dikembangkan dengan berbagai media, salah satu adalah melalui ragam-hias.

Pelestarian dapat dilakukan dengan mengadakan perlindungan terhadap nilai-nilai

atau bangunan bersejarah dengan kandungan ragam-hias yang adiluhung.

Pengembangan dapat dilakukan dengan mengangkat tema-tema filosofis kedalam

Page 22: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 20

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

wujud ragam-hias, sebagaimana dilakukan oleh masyarakat Bali, seperti

penciptaan ornamen dan dekorasi yang berinspirasikan nilai-nilai agama/adat-

istiadat, cerita-cerita rakyat, alam dan lingkungan kehidupan. Kemudian di

aplikasikan pada lingkungan-binaan Nusantara, sehingga merakyat dan dapat

menjadikan suatu kebanggaan yang patut diteladani. Pada umumnya kehadiran

sesuatu yang bermakna akan lebih langgeng/abadi, dibanding sesuatu yang tidak

bermakna.

2. Nilai Sosial-ekonomi :

Produksi ragam-hias untuk kepentingan bangunan akan melibatkan tidak sedikit

tenaga kerja/seniman dan bahan-baku, keterlibatan ini akan memberikan dampak

multiflier efect kepada masyarakat penyedia bahan-baku dan jasa seni berupa

penghasilan tambahan. Di samping keuntungan materi yang didapat juga

memberikan keuntungan psikologis berupa nilai-keindahan yang dapat

menggugah perasaan, nilai ini yang sangat sulit diukur dengan nilai-uang.

Perkembangan teknologi bahan-baku saat ini memberikan dan sekaligus

merupakan tantangan bagi para desainer kreatif untuk memperkaya citra ragam-

hias.

3. Nilai-nilai Teknis-Teknologis :

Penyelesaian teknis-teknologis dengan metoda tektonika akan memberikan

nilai

tambah (fungsi ganda: teknis dan estetis) pada setiap elemen-elemen yang

ditampakkan dalam arsitektur. Nilai tambah ini secara langsung akan

berpengaruh terhadap nilai ekonomis karya arsitektur di samping fungsional juga

sebagai suatu karya seni. Kemajuan teknis-teknologi bahan-baku dan peralatan,

telah memberikan peluang yang sangat besar bagi para seniman untuk berkreasi

serta mempercepat proses produksi. Ketidak hati-hatian pemanfaatan teknologi

yang tidak tepat guna pada produk seni ragam-hias, justru akan dapat mengurangi

nilai-nilai handicraft/man-made dan sekaligus produk tersebut terkesan sebagai

produksi mesin/pabrik/masal.

Page 23: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 21

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

4. Nilai-nilai Ke-jatidirian :

Bagi setiap orang dan pada umumnya jatidiri merupakan sesuatu yang sangat

potensial/penting untuk menyatakan eksistensi/kehadiran dalam suatu lingkungan.

Dalam konteks pergaulan arsitektural yang mengglobal nilai-nilai ragam-hias,

adalah sebagai salah satu unsur potensial penghadir jatidiri. Ragam-hias sebagai

salah satu bagian integral dari kesenian/seni terapan (sistem kebudayaan) menurut

Koentjaraningrat [lihat Lampiran: V], merupakan ‘satu-satunya’ sub-sistem

budaya yang dapat dimanfaatkan sebagai penghadir jatidiri dibanding sub sistem

lainnya, seperti : Religi dan upacara keagamaan; Sistem dan Organisasi

kemasyarakatan; Sistem pengetahuan; Bahasa; Sistem mata pencaharian; dan

Sistem teknologi dan peralatan. Dengan menyaksikan kesenian suatu daerah,

orang akan mengetahui identitas/jatidiri pemilik seni itu sendiri.

Sangat potensialnya peran ragam-hias sebagai penghadir jatidiri, dalam

pengembangan lebih lanjut, nilai-nilai ragam-hias nusantara yang beraneka ragam

sangat penting dihadirkan dalam rangka menghadirkan jatidiri nusantara yang

indonesiawi. Manfaat kehadiran ragam-hias, berpulang kembali kepada

kemampuan para seniman/desainer dan pekerja seni untuk mengolah sesuai

konteks (desa, kala, patra).

c. Konsistensi dan Konsekuensi.

Konsistensi dan konsekuensi yang dimaksudkan adalah suatu sikap dan langkah yang

ditimbulkan atau harus dilaksanakan terkait dengan nilai-nilai ke-jatidiri-an ragam-

hias tradisional Bali dalam kontribusinya terhadap arsitektur Nusantara yang meng-

indonesia atas dasar prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Ketaatan asas :

Ornamen dan dekorasi sesuai pengertiannya adalah, segenap himpunan unsur-unsur

karya seni dan unsur desain yang dibubuhkan dan ditata dalam arsitektur. Di mana

pembubuhan dan penataan tersebut diharapkan secara langsung maupun tidak

Page 24: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 22

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

langsung dapat menarik perhatian pengamat atau sebagai pembentuk suasana dan

identitasnya. Dalam konteks arsitektur Nusantara maka dapat dikemukakan bahwa,

langkah-langkah yang dapat ditempuh seperti dikemukakan Josef Prijotomo

[1994:23-27] yaitu :

a) Konsisten pada langgam tertentu, bila berasitektur konsisten dengan yang

modern, taatilah kaidah-kaidah langgam arsitektur modern dalam beragam-hias,

namun yang muncul adalah identitas modern yang menjagad (international style),

atau sebaliknya bila berarsitektur tradisional taatilah kaidah-kaidah arsitektur

tradisional, akan muncul arsitektur beridentitas tradisional. Konsistensi ini

menimbulkan konsekuensi bahwa kehadiran langgam Bali-modern atau

Nusantara-modern tidak pernah akan terwujud, dilain pihak masyarakat sebagai

pemakai justru menghendaki kemodernan itu sendiri. Hal ini belum memecahkan

persoalan kebingungan arah arsitektur Nusantara di masa depan.

b) Konsisten dan bersikap tegas, bila menghadirkan dua langgam berbeda, dapat

dihadirkan dengan menyandingkan kedua langgam tersebut tanpa saling lebur-

luluh dan menyatu. Hal ini merupakan penegasan atas dua kesetiaan langgam

yang berbeda dan diwujudkan secara terpisah dan tegas. Sebagai konsekuensinya

akan ada persaingan tampil di antara keduanya, persaingan yang mengungguli

salah satu dan terjadi ketidak harmonisan akan merugikan nilai-nilai kedua

langgam tersebut.

c) Bersifat kompromis, di antara keduanya, yaitu menggabungkan kedua langgam

secara arif dan bijaksana secara konsisten, sehingga kedua langgam tersebut tetap

eksis dalam istilah populer “hibrida”, sebagaimana telah dilakukan di Bali

terhadap Patra Mesir, Patra Olande dan Patra Cina. Hasil hibrid ini telah terbukti

melahirkan keturunan yang unggul tanpa konsekuensi yang merugikan nilai-nilai

kedua langgam tersebut, dapat dilihat dari nama/identitas langgam patra yang

dijuluki oleh seniman Bali.

Page 25: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 23

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

2. Kebulatan Tekad.

Tekad menghilangkan kebingungan arah pengembangan ornamen dan dekorasi sudah

tentu harus memiliki landasan yang kuat dan rasional sejalan dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping memiliki keberanian untuk memulai dan

memasayarakatkannya, sehingga dapat diterima oleh masyarakat tradisional yang lagi

menuju kemodernan.

Sebagaimana tekad yang dikemukakan oleh Josep Prijotomo [1994:27] bahwa,

“Menuju Arsitektur Indonesia” telah cukup lama digemakan. Tentunya bukanlah

yang modern ditempeli Indonesia yang diarah oleh tekad tadi; adalah ke-indonesia-an

masa kini dan mendatang yang dituju. Bila memang itu yang dituju, maka menjadi

kewajiban dan konsekuensi para desainer/seniman untuk dapat menindak lanjuti

rumusan hasil jelajah menjadi konsep dan/atau acuan beragam-hias Nusantara yang

Indonesiia-wi.

Pengkajian ragam-hias sebagai warisan budaya Nusantara diharapkan dapat

dikembangkan lebih lanjut, kajian demi kajian tentang ragam-hias sampai pada

akhirnya ditemukan acuan, landasan atau konsep ber-“ragam-hias” dalam ber-

“Arsitektur Nusantara”, di masa datang.

VII. KESIMPULAN.

a. Ringkasan Temuan dan Bahasan.

Ternyata definisi Pra-Gianyar yang bersifat tradisional Bali tidak dapat menemukan

data-data di luar definisi yang dapat dibahas secara universal, sehingga memerlukan

definisi baru sebagai titik pijak pembahasan lebih lanjut.

Salah satu ciri kehadiran arsitektur tradisioanl Bali adalah ditandai dengan hadirnya

ragam-hias. Tidak ada bidang dan garis dalam arsitektur tradisional Bali tanpa

penyelesaian, ini menujukkan betapa seriusnya para Undagi, Sangging dan tukang

Page 26: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 24

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

dalam menggarap hasil karyanya. Ragam-hias ditampilkan adalah sebagai upaya

penyelarasan atau harmonisasi hubungan antara manusia selaku isi dan bangunan

selaku wadah, sehingga jagadhtita dan kedamaian dapat dicapai karena selalu

menyaksikan keindahan yang menumbuhkan perasaan halus.

Dari pembahasan yang telah dilakukan, ditemukan konsepsi perwujudan dan

penampilan ragam-hias dalam arstektur tradisional Bali dapat digolongkan menjadi

dua bagian yakni : ‘konseptual obyek’ dan ‘visual obyek’, yang kedua-duanya

memiliki nilai-nilai jatidiri atau karakter dan spesifikasi masing-masing.

Arsitektur tradisional Bali cukup kaya dengan tektonika konstruksi dalam ber-

arsitektur, karena diharapkan elemen-elemen konstruksi di samping sebagai faktor

keamanan juga dapat memberikan suatu keindahaan (fungsi ganda).

b. Pandangan Kritis Terhadap Pentahapan, Teknik dan Metoda

Persiapan dan Pelaksanaan Jelajah Gianyar.

Keakaraban dengan sesuatu obyek yang telah melekat sebagai suatu mental map telah

memunculkan definisi Pra-Gianyar yang berpegang pada tradisi. Dalam kasus jelajah

Gianyar, pada tahap awal telah dirasakan memberikan suatu penilaian yang sangat

subyektif. Segala penemuan di luar definisi tradisional diklasifikasikan sebagai

sesuatu yang salah, menyimpang dan di luar kebiasaan/tradisi. Bila demikian

penjelajahan tidak akan dapat mengenal ke-jatidiri-an ragam-hias yang ada di luar

definisi, untuk dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai penghadir jatidiri Nusantara.

Untuk itu diperlukan definisi baru sebagai titik pijak dan sudut pandang dengan fokus

kajian arsitektural khususnya ragam hias, tautannya dengan masalah sosial-budaya

dikesampingkan. Temuan sesuai definisi baru (Tan-Bali) dapat diidentifikasi dan

dikalsifikasi sebagai penghadir jatidiri ragam hias, untuk memperkaya khasanah aset

ragam hias nusantara.

c. Komentar, Kritik dan Pandangan Pribadi.

Bahwa dalam pengkajian hasil karya arsitektur dikehendaki suatu metoda yang

universal dengan mengesampingkan tautan masalah sosial-budaya, sehingga didapat

hasil yang sahih dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Page 27: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 25

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Ragam-hias (ornamen dan dekorasi) merupakan unsur terpenting dan satu-satunya

dari pada tujuh sistem budaya lainnya yang dapat dipakai sebagai penunjuk jatidiri.

Ini terbukti dari munculnya aliran Post Modern sebagai survival dari arsitektur

modern yang anti ornamen.

Ornamen dan dekorasi tidak selalu berkonotasi mahal, hal ini sangat tergantung

kepada kemampuan perancang untuk mengolah rancangannya, dengan biaya yang

sama dapat menghadirkan bangunan yang indah. Prinsip-prinsip tektonika

ornamentasi kontruksi tradisional Bali dapat dikembangkan.

Kecendrungan masyarakat ber-“ragam-hias” secara berlebihan sebagai cetusan

emosional dan sebagai ungkapan peningkatan status sosial, telah mengarah kepada

eklektisme dan pendangkalan terhadap makna dan arti ragam-hias itu sendiri serta

bersifat mubazir. Untuk itu akan lebih efektif untuk mencapai sasaran optimal bila

telah ada rambu-rambu dan guidelines atau contoh-contoh dalam ber-“ragam-hias”

Demikian materi ringkas ini disampaikan sebagai hasil jelajah Gianyar, semoga

bermanfaat sebagai bahan kajian dan diskusi, dalam rangka menumbuhkan kecintaan

akan Arsitektur Nusantara.

DAFTAR PUSTAKA.

Achmad Djunaedi, 1989.

Pengantar Metodologi Penelitian Arsitektural, Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas

Teknik Universitas Gajah Mada Yogyakarta..

Broadbent, Geoffrey, Richard Bunt, Charles Jencks, 1980.

Sign, Symbol and Architecture. John Willey & Son, Chichester, New York, Brisbane,

Toronto.

Budihardjo, Eko (Editor), 1989.

Jati Diri Arsitektur Indonesia. Alumni , Bandung.

Gelebet, dkk., 1982.

Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi.

Gunawan Tjahjono, 1995.

Keajegan dan Perubahan Berarsitektur di Indoneisa Menghadapi Abad Pasifik,

Seminar Arsitektur, “Arsitektur Nusantara , Keajegan dan Perubahan “ , Word Trade

Centre , 9 September 1995, Surabaya.

Harris, Cyril, M, 1975.

Page 28: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 26

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

Dictionary Of Architecture and Construction, Mc, Graw Hill Book Company, New

York.

Jencks Charles and George Baird, 1970.

Meaning in Architecture. Barrie & Jenkins, London.

Josef Prijotomo, 1988.

Pasang-Surut Arsitektur di Indonesia, CV. Arjun Surabaya.

Josef Prijotomo, 1997.

Materi Kuliah Arsitektur Nusantara, Program Pascasarjana - S2. Program Studi

Arsitektur, ITS, Surabaya.

Josef Prijotomo, 1997

Dekonstruksi Arsitektur Nusantara (?), Jelajah Pendek Tipe Tajug/k dari

Arsitektur Jawa. Seri Kuliah Umum 1997/1998, Jurusan Arsitektur, Universitas Katolik

Parahyangan, Bandung.

Julia Brannen, 1997.

Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Fakultas Tarbiyah IAIN

Antasari Samarinda dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Kerthiyasa, I Made, 1984.

Rumusan Arsitektur Bali, Hasil Sabha Arsitektur Tradisional Bali.

Meganada, 1990.

Pola Tata Ruang Arsitektur Tradisional Dalam Perumahan KPR_BTN di Bali,

Thesis Program Pascasarjana S2, Arsitektur ITB, Bandung.

Purwita, Ida Bagus Putu, 1993.

Desa Adat Pusat Pembinaan Kebudayaan Bali, Majelis Pembina Lembaga Adat

Daerah Tingkat I Bali, PT. Upada Sastra, Denpasar.

Robi Sularto Sastrowardojo, IAI

A Brief Introduction Traditional Architecture of Bali, Some Basic Norm, PT. Atelier

6, Jakarta.

Suasthawa Dharmayuda. D, I Made, 1990

Hubungan Adat dengan Agama dan Kebudayaan , CV. Kayumas, Denpasar.

Suryani, Ni Ketut, ( Editor ) , 1996.

Kajian Budaya Bali, Menghadapi Milleniium Ketiga, Pertemuan Tahunan, Lembaga

Pengkajian Budaya Bali, Denpasar.

Page 29: LAPORAN JELAJAH GIANYAR - simdos.unud.ac.id

Arsitektur Nusantara. 27

Ke-jatidiri-an Ragam-hias I Wayan Gomudha, 3297 202 003 - S.2. ITS - 1999.

LAMPIRAN - LAMPIRAN :

I. PETA LOKASI JELAJAH GIANYAR - BALI.

II. TIPOLOGI RAGAM-HIAS DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI.

III. TIPOLOGI FUNGSI DAN BANGUNAN DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI.

IV. HUBUNGAN KEBUDAYAAN DENGAN RAGAM-HIAS DALAM KONTEKS

ARSITEKTURAL.

V. GAMBAR-GAMBAR RAGAM-HIAS.

VI. REKAMAN FOTO PENJELAJAHAN.