laporan ib

32
Laporan Praktikum Hari/tanggal : Rabu/9 Sep-5 Nov 2014 Instrumentasi Bioanalisis Waktu : 08.00-11.00 WIB PJP : Syamsul Falah SHut MSi Asisten : Lu’luatul TEMULAWAK Kelompok 1 Herlani Tri Widhiastuti G84120046 Haning Safrida Nurlaela G84120073 Listia Vidyawati M G84120086 Giovann Hanif G84120082 Daniel Steven G84120066 Rizky Nurhayati G84120036 Feby Valentiya G84120052 Lisna Farida G84120012 Enni Prasetyoningtyas G84120051 Bella Marisa G84120016 Fadhlan Fakhrul Arifin G84120062 Agustina Tri Puspitasari G84120023

Upload: herlani-tri-widhiastuti

Post on 16-Jan-2016

76 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

biokimia

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan IB

Laporan Praktikum Hari/tanggal : Rabu/9 Sep-5 Nov 2014 Instrumentasi Bioanalisis Waktu : 08.00-11.00 WIB

PJP : Syamsul Falah SHut MSiAsisten : Lu’luatul

TEMULAWAK

Kelompok 1Herlani Tri Widhiastuti G84120046Haning Safrida Nurlaela G84120073Listia Vidyawati M G84120086Giovann Hanif G84120082Daniel Steven G84120066Rizky Nurhayati G84120036Feby Valentiya G84120052Lisna Farida G84120012Enni Prasetyoningtyas G84120051Bella Marisa G84120016Fadhlan Fakhrul Arifin G84120062Agustina Tri Puspitasari G84120023

DEPARTEMEN BIOKIMIAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGORBOGOR

2014

Page 2: Laporan IB

PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis

tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang berpotensial untuk dikembangkan.

Temulawak termasuk tanaman unggulan dari Ditjen POM yang memiliki banyak

manfaat sebagai tanaman obat (Hadipoentyanti et al 2007). Tahapan penting

dalam memperoleh ekstrak tanaman obat adalah melalui proses ekstraksi.

Ekstraksi merupakan cara yang digunakan untuk mengambil senyawa tertentu

dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi temulawak dapat

dilakukan dengan dua cara, yaitu ekstraksi sokhlet dan ekstraksi maserasi

(Oktaviana 2010).

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan

dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut

relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI 2000). Alat sokhlet

berisi pelarut organik berupa alkohol/etanol. Tepung temulawak diekstrak oleh

pelarut organik tersebut. Maserasi adalah pencampuran bahan berupa tepung

temulawak dengan cara merendam bahan dengan pelarut. Prinsip maserasi adalah

pengambilan zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia

dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari (Oktaviana 2010). Evaporasi,

menurut Daryoko (2007) adalah proses pemekatan dari suatu larutan dengan

mengubah zat pelarutnya menjadi uap. Suatu larutan umumnya terdiri dari zat

yang mudah menguap (volatile) dan yang tidak mudah menguap (non volatile).

Evaporasi dapat didefinisikan proses penghilangan zat-zat yang mudah menguap

untuk mendapatkan larutan yang lebih pekat.

Kandungan air dalam pangan dapat ditentukan dengan beberapa metode

penetapan kadar air. Penentuan kadar air melibatkan kondisi yang kompleks dan

terdiri atas beberapa macam metode yang sangat tepat, cepat, serta bervariasi.

Metode penentuan kadar air bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu

metode termogravimetri, destilasi, khemis, dan fisis. Prinsip analisa penetapan

kadar air secara termogravimetri adalah pemanasan bahan pada titik didih air

sehingga air akan menguap, lalu ditimbang bobotnya sebelum dan sesudah

pemanasan. Prinsip analisa penetapan kadar air dengan metode termovolumetri

adalah menguapkan air dengan cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih

Page 3: Laporan IB

tinggi daripada air dan tidak dapat bercampur dengan air serta mempunyai berat

jenis lebih rendah daripada air sehingga air akan terpisah dan dapat diukur

kadarnya (Buckle 2008).

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode untuk

menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik. Metode ini menggunakan larva

Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini

merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan

dalam waktu singkat setelah pemberian dosis uji. Prosedurnya dengan

menentukan nilai LC 50 dari aktivitas komponen aktif tanaman terhadap larva

Artemia salina Leach. LC50 adalah konsentrasi sampel yang diuji yang mampu

mematikan 50% dari suatu populasi. Suatu ekstrak dikatakan aktif sebagai

antikanker berdasarkan metode BSLT jika harga LC<1000 µg/ml. Penelitian

Carballo menunjukkan adanya hubungan yang konsisten antara sitotoksisitas dan

letalitas Brine Shrimp pada ekstrak tanaman. Metode BSLT dapat dipercaya untuk

menguji aktivitas toksikologi dari bahan-bahan alami (Ramadhani 2009).

Tujuan percobaan adalah memahami prinsip dan teknik pembuatan

simplisia serbuk dari temulawak, maserasi, penentuan kadar air simplisia, analisis

beberapa senyawa fitokimia, uji toksisitas, aktivitas antioksidan, serta pengukuran

total fenolik dalam ekstrak temulawak. Manfaat percobaan ini adalah dapat

meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menganalisis kandungan suatu

senyawa kimia dalam sampel. Selain itu, hasil percobaan yang telah didapatkan

dapat dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut dan mahasiswa dapat

mengetahui tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam menganalisis suatu

sampel.

Hipotesis dari praktikum ini adalah temulawak yang digunakan memiliki

kadar air kurang dari 10 %. Temulawak mengandung senyawa fitokimia alkaloid,

flavonoid, fenolik, saponin, triterpenoid, dan glikosida. Senyawa aktif dalam

temulawak seperti kurkumin, xanthorrizol dan germakon memiliki sifat

antikanker dan antioksidan. Senyawa fenolik pada temulawak akan bereaksi

dengan reagen Folin-ciocalteu.

Page 4: Laporan IB

METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum Instrumentasi Bioanalisis dilakukan di Laboratorium

Pendidikan Departemen Biokimia Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam. Waktu

praktikum yaitu hari Rabu, tanggal 9 September 2014 - 5 November pukul 08.00

– 11.00 WIB.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan adalah tabung reaksi, rak

tabung reaksi, pipet Mohr 1 mL, pipet Mohr 5 mL, pipet Mohr 10 mL, bulb, pipet

tetes, nampan, pisau, blender, water bath, oven, inkubator, rotatory evaporator,

erlenmeyer 250 mL, corong plastik, cawan porselin, deksikator, penjepit, neraca

analitik, cawan petri, batang pengaduk, vial, toples, aerator, spektronik 20 D, dan

sudip .

Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum antara lain temulawak,

etanol 70%, alimunium foil, plastik warp, kertas saring, kloroform, amonia, asam

sulfat pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, akuades, FeCl3 1%,

metanol, asam sulfat pekat, HCl 2N, etanol 30%, eter, asam asetat anhidrat, larva

Artemia salina L, ekstrak etanol, air laut, DPPH, tokoferol, reagen filin ciocalteu,

NaHCO3, asam galat, dan NaOH.

Prosedur

Preparasi sampel. Temulawak sebanyak 2 kg dicuci hingga bersih

dengan air mengalir. Temulawah yang sudah bersih dikupas kulitnya, kemudian

dirajang melintang kecil-kecil. Sampel yang telah dirajang dikeringkan dengan

oven pada suhu 40-50⁰C selama 2 hari hingga kadar air kurang dari 10%. Sampel

kering (simplisia) ditimbang massanya dengan neraca analitik.

Ekstraksi sampel. Simplisia ditimbang massanya sebanyak 20 g dan

dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan. Simplisia yang telah ditimbang

dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL, kemudian ke dalam masing-masing

erlenmeyer ditambahkan etanol 70% sebanyak 200 mL. Simplisia dan etanol 70%

dihomogenkan, kemudian mulut erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil dan

plastik warp. Campuran diletakkan pada shaker dengan kecepatan 120 rpm selama

24 jam. Larutan didiamkan selama 30 menit, kemudian disaring dengan kertas

Page 5: Laporan IB

saring. Filtrat hasil ekstraksi ditempatkan pada labu rotav, kemudian dipekatkan

dengan rotatory evaporator pada suhu 80oC. Alat dimatikan setelah filtrat hampir

berbentuk pasta, kemudian filtrat dipindahkan ke dalam cawan petri kosong yang

telah ditimbang. Rendemen ekstrak ditimbang, lalu dihitung hasil rendemennya.

Penentuan kadar air. Sebanyak tiga buah cawan porselin dikeringkan di

dalam oven pada suhu 105⁰C selama 30 menit. Cawan didinginkan di dalam

deksikator selama 30 menit, kemudian ditimbang bobot kosongnya dengan neraca

analitik. Simplisia sebanyak 2 gdimasukkan ke dalam masing-masing cawan

porselin, lalu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105⁰C selama 2 jam. Cawan

didinginkan di dalam deksikator, lalu ditimbang massanya.

Pengujian alkaloid. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.05 g

dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ke dalam tabung reaksi

ditambahkan 5.0 mL kloroform dan 10 tetes asam sulfat. Fraksi asam yang

terbentuk dibagi menjadi tiga bagian. Bagian-bagian tersebut ditabahkan pereaksi

Dragendorf, pereaksi Mayer, dan pereaksi Wagner. Hasil yang terbentuk diamati

kemudian difoto hasilnya.

Pengujian tanin. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.5 g dimasukkan ke

dalam tabung reaksi, lalu dilarutkan dengan 5.0 mL akuades. Larutan didihkan

selama 5 menit. Filtratnya ditambahkan 10 tetes FeCl3 1%. Hasil yang terbentuk

diamati kemudian difoto hasilnya.

Pengujian flavonoid. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.05 g

dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu dilarutkan dengan 1.5 mL metanol.

Larutan dipanaskan pada suhu 50⁰C selama 5 menit. Larutan dipindahkan ke

dalam plat tetes sebanyak 5 tetes, kemudian ditambahkan 5 tetes asam sulfat

pekat. Hasil yang terbentuk diamati kemudian difoto hasilnya.

Pengujian saponin. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.05 g dimasukkan

ke dalam tabung reaksi, lalu dilarutkan dengan 3.0 mL akuades. Larutan

dipanaskan selama 5 menit. larutan dikocok, kemudian ditambahkan HCl

sebanyak 1 tetes. Hasil yang terbentuk diamati kemudian difoto hasilnya.

Pengujian saponin dan triterpenoid. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak

1.0 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian dilarutkan dengan 2.0 mL

etanol 30%. Larutan dipanaskan pada suhu 50⁰C hingga pelarut menguap. Residu

Page 6: Laporan IB

ditambahkan 1.0 mL. Larutan ditambahkan 3.0 mL asam asetat anhidrat,

kemudian dipanaskan selama 5 menit. Larutan didinginkan terlebih dahulu, lalu

ditambahkan 1 tetes asam sulfat pekat. Hasil yang terbentuk diamati kemudian

difoto hasilnya.

Pengujian fenolik hidrokuinon. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.05

g dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian dularutkan dengan 2.0 mL etanol

30%. Larutan dipanaskan pada suhu 50⁰C, kemudian ke dalam larutan

ditambahkan 3 tetes NaOH. Hasil yang terbentuk diamati kemudian difoto

hasilnya.

Uji Toksisitas. Larutan ekstrak dibuat dengan konsentrasi

10,50,100,500,1000 ppm dan ditambahkan dengan 0,15 mL DMSO 20% . Vial

ditera menggunakan air sebanyak 5 mL. Air laut dimasukan sebanyak 1 mL

kemudian 10 ekor larva udang dimasukan kedalam vial. Masing-masing

konsentrasi sampel dimasukan sebanyak 0,5 mL kemudian ditera sampai batas 5

mL dan diinkubasi selama 24 jam. Larva udang yang mati dihitung

Pengukuran aktifitas antioksidan ekstrak. Larutan ekstrak dibuat

dengan konsentrasi 200 ppm dala pelarut methanol. Larutan ekstrak awal

diencerkan menjadi konsentrasi sebesar 100,50,25,dan 12,5 ppm. Masing-masing

larutan ditambahkan dengan 1 mL DPPH 0,1 mM, larutan control dibuat dengan 2

mL DPPH 0,1 mM. larutan sampel dan control diinkubasi selama 30 menit

kemudian diukur absorbansinya pada 517 nm.

Pengukuran total fenolik dalam ekstrak . Larutan ekstrak disiapkan

dengan konsentrasi 1 mg/mL dengan pelarut methanol. Larutan sebanyak 0,5 mL

ditambahkan 2,5 mL reagen follin Ciocalteu 10 % dan 2,5 mL NaHCO3 7,5%.

Larutan blanko dibuat dengan campuran methanol 0,5 mL , 2,5 mL reagen follin

Ciocalteu 10 % dan 2,5 mL NaHCO3 7,5%. Sampel dan blanko diinkubasi selama

45oC selama 45 menit. Setelah diinkubasi sampel diukur absorbansinya pada

panjang gelombang 765 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan unsur pokok dari suatu

campuran yang menggunakan daya larut yang istimewa dari satu komponen atau

Page 7: Laporan IB

lebih pada fase kedua (Ramdja 2009). Metode ekstraksi yang digunakan pada

ekstraksi temulawak kali ini adalah metode maserasi. Proses ekstraksi sampel

temulawak menggunakan etanol sebagai pelarut. Pelarut yang digunakan pada

proses ekstraksi berfungsi mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa

melarutkan material lainnya.

Faktor-faktor harus diperhatikan untuk memilih jenis pelarut yang sesuai

yaitu harga konstanta distribusi tinggi untuk gugus yang bersangkutan dan

konstanta distribusi rendah untuk gugus pengotor lainnya, kelarutan pelarut

organik rendah dalam air, viskositas kecil dan tidak membentuk emulsi dengan

air, tidak mudah terbakar dan tidak bersifat racun, mudah melepas kembali gugus

yang terlarut didalamnya untuk keperluan analisa lebih lanjut (Kellner 2004).

Pelarut yang paling baik untuk ekstraksi temulawak adalah etanol. Etanol bersifat

polar, mampu melarutkanhampir semua zat, baik yang bersifat polar, semipolar,

dan non polar sertakemampuannya untuk mengendapkan protein, menghambat

kerja enzim sehingga dapatterhindar proses hidrolisis dan oksidasi. Etanol juga

tidak memiliki sifat beracun seperti metanol (Ramdja 2009).

Rendemen ekstrak merupakan perbandingan jumlah ekstrak yang

diperoleh dengan simplisia awal yang digunakan dan dinyatakan dalam

persentase. Rendemen ekstrak dapat digunakan sebagai parameter standar mutu

ekstrak pada tiap produksi maupun parameter efisiensi ekstraksi. Hasil ekstraksi

temulawak pada percobaan ini memiliki rendemen sebesar 25.36% dan 93.95%.

Menurut penelitian Sari (2013) rendemen ekstrak temulawak dengan metode

refluks menggunakan pelarut etanol sebesar 5.96% tanpa melalui proses

defatisasi. Hasil penelitian Devaraj (2010) menyatakan bahwa rendemen ekstrak

temulawak dengan metode maserasi dan pelarut etanol sebesar 5.2%.

Tabel 1 Hasil rendemen ekstrak

Cawan ke-Bobot simplisia

(g)Bobot cawan kosong

tanpa tutup (g)Bobot cawan + ekstrak

tanpa tutup (g)Rendemen

(%)Cawan 1 20.07 67.90 72.99 25.36Cawan 2 20.00 35.27 54.06 93.95

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang

dinyatakan dalam persen. Air juga salah satu karakteristik yang sangat penting

pada bahan pangan, bahan kimia. Penentuan kadar air sangat penting dalam

Page 8: Laporan IB

masalah industri, misalnya dalam evaluasi materials balance atau kehilangan-

kehilangan selama pengolahan (Astuti 2012). Menurut Dirjen POM (2000),

pengukuran kandungan air yang berada dalam bahan ataupun sediaan yang

dilakukan dengan cara yang tepat diantaranya cara titrasi, destilasi, atau

gravimetri yang bertujuan memberikan batasan minimal atau rentang tentang

besarnya kandungan air dalam bahan, dimana nilai maksimal atau rentang yang

diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.

Penentuan kadar air pada percobaan ini menggunakan oven dengan

metode gravimetri. Cara kerja gravimetri ini adalah penguapan, dimana bahan

alami yaitu temulawak diuapkan untuk dimurniakan menjadi kristal dengan

langkah awal mengubah serbuk temulawak menjadi bahan yang mudah menguap

dan terdekomposisi pada suhu tertentu, suhu yang digunakan sebesar 105°C.

Dilakukan dalam suhu tinggi dikarenakan pada suhu tinggi memungkinkan zat

untuk membentuk kristal seperti yang diketahui bahwa air akan mendidih pada

suhu 100°C. Setelah dilakukan pemanasan untuk mencari kadar air, bahan-bahan

yayng ada pada cawan porselin di dinginkan dengan cara dimasukkan ke dalam

desikator. Setelah itu ditimbang. Percobaan ini dilakukan tiga kali pengulangan.

Rata-rata kadar air yang didapatkan pada bahan temulawak ini adalah 8.7%.

Cahyono (2011) menyatakan, kadar air rata-rata simplisia temulawak pada

percobaannya menggunakan oven adalah 4.6%. Kadar air minimal pada simplisisa

temulawak adalah 10%, karena mikrooraganisme dapat tumbuh pada simplisia

temulawak dengan kadar air >10% yang akan memangaruhi rekasi enzimatis

sehingga mempercepat pembusukan. Didapatkan rata-rata kadar air simplisia

temulawak sebesar 8.7% menunjukkan simplisia temulawak yang didapatkan

cukup baik dan masih didalam batas minimal kadar air yang menyebabkan

kebusukan.

Tabel 2 Hasil kadar airUlangan Bobot

cawan kosong

(g)

Bobot cawan+sampel

basah (g)

Bobot sampel basah

(g)

Bobot cawan+sampel

kering (g)

Bobot sampel

kering (g)

Kadar air (%)

1 40.69 42.73 2.04 44.64 3.95 -93.362 42.25 44.26 2.01 44.08 1.83 8.953 42.75 44.76 2.01 44.59 1.84 8.45

Page 9: Laporan IB

Prinsip uji fitokimia didasarkan pada identifikasi warna yang terdapat pada

ekstrak temulawak dengan menggunakan pereaksi Meyer, Dragendorf, dan

Wagner untuk alkaloid, larutan FeCl3 untuk tanin, H2SO4 pekat untuk flavonod,

pereaksi Liebermenn-Burchard untuk terpenoid, dan NaOH untuk fenolik

hidrokuinon (Purba 2007). Hasil uji fitokimia dilakukan pada ekstrak temulawak

dapat dilihat pada Tabel 3. Senyawa alkaloid diuji dengan pereaksi Dragendorf,

Mayer, dan Wagner, dibuktikan dengan terbentuknya warna merah pada

Dragendorf dan endapan coklat pada Wagner, sedangkan pada pereaksi Mayer

tidak terdapat endapan putih sehingga hasilnya negatif. Senyawa flavonoid diuji

dengan pereaksi metanol, dibuktikan dengan terbentuknya warna merah. Senyawa

tanin diuji dengan larutan 1 % FeCl3 reaksi positif memberikan warna biru lalu

hitam. Uji tanin pada percobaan memberikan hasil negatif. Senyawa saponin diuji

dengan pengocokan dan ditandai dengan terbentuknya busa yang stabil pada filtrat

simplisia, amun pada percobaan memberikan hasil negatif. Senyawa triterpenoid

dan steroid diuji dengan pereaksi Liebermann-Bouchardat ditandai dengan warna

ungu untuk triterpenoid dan warna hijau biru untuk steroid. Hasil percobaan

memberikan reaksi positif untuk triterpenoid. Senyawa kuinon diuji dengan

larutan NaOH dan ditandai dengan terbentuknya warna merah.

Kandungan kimia di rimpang temulawak mengandung zat warna kuning

(kurkumin), desmetoksi kurkumin, glukosa, kalium oksalat, protein, serat, pati,

minyak atsiri yang terdiri dari d-kamfer, siklo isoren, mirsen, p-toluil

metilkarbinol, falandren, borneol, tumerol, xanthorrhizol, sineol,

isofuranogermakren, zingiberen, zingeberol, turmeron, artmeron, sabinen,

germakron, atlantone (Wijayakusuma 2007). Berdasarkan penelitian Hayani

(2006), senyawa fitokimia yang terdapat pada temulawak adalah alkaloid, fenolik,

flavonoid, triterpenoid, dan glikosida. Hasil percobaan yang dilakukan sesuai

dengan hasil penelitian Hayani (2006), bahwa temulawak menunjukkan hasil

positif untuk alkaloid, flavonoid, triterpenoid, dan fenolik hidrokuinon.

Sedangkan pada senyawa glikosida tidak dilakukan uji pada percobaan. Hasil

negatif pada peraksi Mayer dimungkinkan karena pereaksi yang digunakan telah

terkontaminasi sehingga tidak terbentuk endapan putih pada sampel.

Page 10: Laporan IB

Tabel 3 Hasil uji fitokimiaUji Pengamatan Warna Gambar

Alkaloid

Dragendorf + Merah

Mayer - Kuning -

Wagner + Coklat

Tanin -Kuning

kecoklatan

Flavonoid + Merah

Saponin - Kuning

Steroid dan Triterpenoid +Merah

(triterpenoid)

Fenolik hidrokuinon + Merah

Keterangan : + : mengandung sampel uji

- : tidak mengandung sampel uji

Prinsip uji toksisitas adalah bahwa komponen bioaktif selalu bersifat

toksik jika diberikan dengan dosis tinggi dan menjadi obat pada dosis rendah.

Larva udang memiliki kulit yang tipis dan peka terhadap lingkungannya sehingga

Page 11: Laporan IB

banyak digunakan dalam uji toksisitas. Zat atau senyawa asing yang ada di

ligkungan akan terserap ke dalam tubuh secara difusi dan langsung mempengaruhi

kehidupannya. Larva udang yang sensitif akan mati apabila zat asing tersebut

bersifat toksik. Uji toksisitas digunakan untuk mengetahui pengaruh racun yang

dihasilkan oleh dosis tunggal dari suatu campuran zat kimia pada hewan coba

sebagai uji pra skrining senyawa bioaktif antikanker (McLaughlin dan Rogers

1998).

Hasil uji BSLT ekstrak temulawak menggunakan larva Artemia salina L

dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil menunjukkan bahwa konsentrasi berbanding

lurus dengan persen kematian larva Artemia salina L. Semaki tinggi konsentrasi

semakin tinggi persen kematian. Larva Artemia salina L mengalami kematian

100% pada konsentrasi 5000 ppm. Pada konsentrasi 500 ppm menuju 1000 ppm

meunjukkan kenaikan yang cukup signifikan sehingga didapatkan kurva yang

tidak stabil. Kurva hubungan konsentrasi terhadap % kematian larva dapat dilihat

pada Gambar 1. Kurva yang didapatkan memiliki persamaan y = 0,0002x +

0,2631 dan nilai R2 sebesar 0.5052. Nilai R2 yang didapatkan cukup rendah, hal

tersebut menunjukkan kelinieran data tidak stabil. Namun, hasil uji menunjukkan

bahwa ekstrak temulawak terbukti memiliki senyawa aktif yang bersifat

antikanker dilihat dari aktivitasnya dalam mematikan larva Artemia salina L.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa LC50 dari ekstrak temulawak sebesar

7179,35 ppm.

Artemia salina L merupakan jenis crustaceae tingkat rendah dari filum

arthropoda yang memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi seperti karbohidrat,

lemak, protein, dan asam amino. Artemia salina L dapat hidup di perairan yang

berkualitas tinggi antara 60-300 ppt dan mempunyai toleransi tinggi terhadap

oksigen dalam air. Oleh karena itu artemia ini sangat potensial untuk

dibudidayakan di tambak-tambak yang bersalinitas tinggi. Artemia salina L

adalah larva udang air asin, termasuk dalam invertebrata yang digunakan dalam

uji alternatif untuk menentukan toksisitas bahan kimia dan produk alami (Nguta

2012).

Tabel 4 Hasil uji BSLT

No.Konsentrasi ekstrak

(ppm)

Jumlah Artemia yang mati% kematian

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

Page 12: Laporan IB

1. 100 0 1 0 3.33%

2. 500 0 1 3 13.33%

3. 1000 10 9 10 96.67%

4. 5000 10 10 10 100.00%

5. Kontrol 0 0 5 16.67%

0 1000 2000 3000 4000 5000 60000.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

100.00%

120.00%

f(x) = 0.000163743331164606 x + 0.2631485035784R² = 0.505242908011773

[ekstrak] (ppm)

% k

emat

ian

Gambar 1 Kurva hubungan [ekstrak] terhadap % kematian Artemia salina L

Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang mampu menunda,

memperlambat, atau menghambat reaksi oksidasi (Pokorny et al 2001). Senyawa

antioksidan memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap

pengaruh buruk yang disebabkan radikal bebas. Radikal bebas diketahui dapat

menginduksi penyakit kanker, arteriosklerosis dan penuaan, disebabkan oleh

kerusakan jaringan karena oksidasi (Kikuzaki dan Nakatani 1993).

Metode DPPH mengukur kemampuan suatu senyawa antioksidan dalam

menangkap radikal bebas. Kemampuan penangkapan radikal berhubungan dengan

kemampuan komponen senyawa dalam menyumbangkan elektron atau hidrogen.

Setiap molekul yang dapat menyumbangkan elektron atau hidrogen akan bereaksi

dan akan memudarkan DPPH. Intensitas warna DPPH akan berubah dari ungu

menjadi kuning oleh elektron yang berasal dari senyawa antioksidan. Konsentrasi

Page 13: Laporan IB

DPPH pada akhir reaksi tergantung pada konsentrasi awal dan struktur komponen

senyawa penangkap radikal (Naik et al 2003).

Tabel 6 Hasil pengukuran aktivitas absorbansi kontrol negatif ekstrak temulawak dengan metode DPPH

Konsentrasi (ppm) Absorbansi % Inhibisi

Kontrol negatif 0,300 0,0001,25 0,277 7,6672,5 0,261 13,0005 0,240 20,00010 0,188 37,33320 0,122 59,333

Uji kuantitatif daya antioksidan pada penelitian ini dilakukan dengan

metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) secara spektrofotometri sinar tampak.

Metode ini didasarkan pada perubahan warna radikal DPPH. Perubahan warna

tersebut disebabkan oleh reaksi antara radikal bebas DPPH dengan satu atom

hidrogen yang dilepaskan senyawa yang terkandung dalam bahan uji untuk

membentuk senyawa 1,1-difenil-2-pikrilhidrazin yang berwarna kuning. Pada

metode ini absorbansi yang diukur adalah absorbansi larutan DPPH sisa yang

tidak bereaksi dengan senyawa antioksidan (Josephy 1997).

Parameter yang digunakan untuk menunjukkan aktivitas antioksidan

adalah inhibition concentration 50 (IC50), yaitu konsentrasi zat antioksidan yang

dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter redikal atau konsentrasi zat

antioksidaan yang memberikan penghambatan 50 %. Harga IC yang rendah

0 5 10 15 20 250

10

20

30

40

50

60

70

f(x) = 2.88488921658986 x + 4.25725714285715R² = 0.980411251131503

Gambar 2 Hubungan % inhibisi (daya hambat) dengan konsentrasi ekstrak temulawak

Konsentrasi (ppm)

% I

nhib

isi

Page 14: Laporan IB

menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi, dan sebaliknya (Bintang 2010).

Hasil praktikum menunjukkan bahwa nilai % inhibisi meningkat seiring dengan

konsentrasi sampel temulawak yaitu dengan persamaan y = 2,8849x + 4,2573 dan

R² = 0,9804. Hal ini disebabkan karena semakin banyak elektron pada radikal

bebas DPPH yang menjadi berpasangan. Data yang dihasilkan baik, hal ini dapat

ditunjukkan dari nilai R yang diperoleh mendekati 1.

Tokoferol atau vitamin E adalah nama umum untuk semua metil-tokol,

jadi istilah tokoferol bekan sinonim dari dari vitamin E, namun pada praktek

sehari-hari, kedua istilah tersebut disinonimkan. Terdapat enam jenis tokoferol, α

(alfa), ß (beta), γ (gama), δ (delta), ρ (eta), λ (zeta), yang memiliki aktivitas

bervariasi, sehingga nilai vitamin E dari suatu bahan pangan didasarkan pada

jumlah dari aktivitas-aktivitas tersebut. Tokoferol yang terbesar aktivitasnya

adalah tokoferol alfa. Tokoferol efektif mencegah terjadinya peroksidasi lipid

dan pembentukan radikal bebas lainnya. Dalam banyak penelitian aktivitas

tokoferol sebagai antioksidan diyakini kemampuannya untuk mencegah penyakit-

penyakit kronik seperti penyakit kardiovaskular, atherosklerosis, dan kanker.

Data epidemiologi menunjukkan bahwa masukan tokoferol atau vitamin E dosis

tinggi, berhubungan dengan penurunan risiko penyakit kardiovaskular. Vitamin E

atau tokoferol berperan spesifik sebagai antioksidan (Dimitrov et al 1991).

Hasil praktikum menunjukkan bahwa nilai % inhibisi terhadap konsentrasi

tokoferol menunjukkan nilai yang fluktuasi. Nilai absorbansi pada Tabel 7

menunujukkan bahwa nilai absorbansinya di bawah range, karena range

absorbansi yang baik adalah 0.2-0.8. Rendahnya nilai absorbansi disebabkan

karena larutan tokoferol terlalu rendah (konsentrasi rendah). Persamaan garis yang

didapat sebesar y = -0,0447x + 97,642 dengan R² sebesar 0,4529. Nilai R2

menunjukkan ketelitian dan ketepatan pada percoban tidak bagus karena kurang

mendekati satu. Peningkatan konsentrasi tokoferol seharusnya dapat

meningkatkan niali % inhibisi, karena semakin banyak elektron pada radikal

bebas DPPH yang menjadi berpasangan. Penyimpangan nilai hasil IC50 tokoferol

yang didapat dengan teori disebabkan karena kurva standar yang dihasilkan tidak

baik yang ditunjukkan dengan adanya nilai % inhibitor yang tidak stabil dengan

kurva yang kurang linier. Hasil praktikum menunjukkan bahwa aktivitas

Page 15: Laporan IB

antioksidan pada temulawak jauh lebih rendah daripada aktivitas kontrol positif

(tokoferol) yang ditandai nilai IC50 pada lengkuas lebih tinggi.

Tabel 7 Hasil pengukuran absorbansi kontrol positif dengan metode DPPHKonsentrasi Absorbansi % inhibisi

1,25 0,012 97,997

2,5 0,018 96,995

5 0,016 97,329

10 0,015 97,496

20 0,020  96,661

0 5 10 15 20 2595.5

96

96.5

97

97.5

98

98.5

f(x) = − 0.0447129032258065 x + 97.642125R² = 0.45290585553998

Gambar 3 Hubungan % inhibisi (daya hambat) dengan konsentrasi tokoferol

Konsentrasi (ppm)

% in

hibi

si

Fenolik merupakan senyawa mudah teroksidasi yang banyak ditemukan

pada tumbuhan. Fenolik memiliki cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus

hidroksi (OH-) dan gugus-gugus lain penyertanya (Satyajit 2007). Senyawa fenol

pada bahan makanan dapat dikelompokkan menjadi fenol sederhana dan asam

folat (P-kresol, 3-etil fenol, 3,4-dietil fenol, hidroksiquinon, vanilin dan asam

galat), turunan asam hidroksi sinamat (p-kumarat, kafeat, asam fenolat dan asam

kloregenat) dan flavonoid (katekin, proantosianin, antisianidin, flavon, flavonol

dan glikosidanya. Fenol juga dapat menghambat okidasi lipid dengan

menyumbangkan atom hidrogen kepada radikal bebas (Widiyanti 2006).

Ekstrak temulawak yang dilarutkan ke dalam metanol pada percobaan ini

diuji total fenoliknya dengan menggunakan metode Folin Ciocalteu. Hal ini

dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa fenolik yang terdapat di dalam

ekstrak temulawak. Menurut Melannisa et al (2011), mekanisme dari metode ini

berdasarkan kekuatan mereduksi dari gugus hidroksi fenolik. Semua senyawa

Page 16: Laporan IB

fenolik termasuk fenol sederhana dapat bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteu.

Adanya inti aromatis pada senyawa fenol (gugus hidroksi fenolik) dapat

mereduksi fosfomolibdat fosfotungstat menjadi molybdenum yang berwarna biru.

Fenolat hanya terdapat pada larutan basa, tetapi pereaksi Folin-Ciocalteu dan

produknya tidak stabil pada kondisi basa. Nely (2007) mangatakan, penambahan

Na2CO3 pada uji fenolik bertujuan untuk membentuk suasana basa agar terjadi

reaksi reduksi Folin-Ciocalteu oleh gugus hidroksil dari fenolik di dalam sampel.

Ekstrak temulawak yang diuji total fenolik akan terjadi perubahan warna

dari kuning menjadi biru. Intensitas warna biru ditentukan oleh banyaknya

kandungan fenol dalam larutan sampel. Semakin besar konsentrasi senyawa

fenolik dalam sampel semakin pekat warna biru yang terbentuk. Hasil reaksi

kemudian diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang

gelombang 765 nm. Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan nilai

absorbansinya. Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan

kurva standar dari asam galat yang digunakan sebagai baku. Asam galat yang

digunakan sebagai standar atau baku ditunjukkan oleh Tabel 6. Data tersebut

kemudian diplotkan ke dalam kurva standar yang ditunjukkan oleh Gambar 2.

Persamaan garis yang diperoleh dari data konsentrasi asam galat dan

absorbansinya adalah y= 0,011x-0,137 dengan nilai R2=0,516. Nilai R2 yang

cukup jauh dari angka 1 menunjukkan bahwa korelasi atau kelinearitas antara

konsentrasi asam galat dengan nilai absorbansinya kurang baik. Hal ini

menjadikan kurva standar kurang baik digunakan sebagai acuan dalam

menentukan senyawa fenolik temulawak ini. Hal ini dapat disebabkan oleh

penyimpangan kimia berupa pengenceran ynag kurang akurat atau adanya

kontaminan yang dapat mengganggu nilai absorbansi.

Tabel 6 Data absorbansi asam galatKonsentrasi (mg/mL) Absorbansi terukur Absorbansi terkoreksi

Blanko 0.114 -20 0.385 0.27140 0.298 0.18460 0.305 0.191

80 1.115 1.001

Page 17: Laporan IB

10 20 30 40 50 60 70 80 900

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

f(x) = 0.010985 x − 0.1375R² = 0.516096331101675

Gambar 4 Hubungan konsentrasi ekstrak temulawak dengan absorbansi rerata

Konsentrasi (mg/mL)

Abs

orba

nsi t

erko

reks

i

Kurva standar yang diperoleh digunakan sebagai acuan dalam penentuan

senyawa fenolik di dalam ekstrak temulawak dalam larutan. Larutan yang terdiri

atas ekstrak temulawak dan metanol yang ditambahkan reagen Folin Cioceltau

dan NaHCO3 diinkubasi kemudian diukur nilai absorbansinya menggunakan

spektrofotometer. Hasil pengukuran tersebut adalah 0.303 pada ulangan 1, 0,228

pada ulangan 2, dan 0,241 pada ulangan 3. Ketiga nilai absorbansi dirata-rata

kemudian ditentukan konsentrasi senyawa fenolik menggunakan persamaan garis

pada kurva standar. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa total fenolik dalam 1

mg/mL ekstrak temulawak adalah 35,818 mg/mL. Total fenolik GAE (Gallic Acid

Equivalent) merupakan ekuivalensi milligram asam galat tiap gram ekstrak. Total

fenolik GAE temulawak adalah 0.0821 mg/g (Tabel 7). Hal ini menunjukkan

bahwa setiap 1 gram ekstrak sampel temulawak mempunyai 0,0821 mg senyawa

fenolik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Melannisa et al (2011) bahwa

temulawak mengandung senyawa fenolik seperti kurkuminoid, flavonol

kuersetin, hidrokuinon, kaempferol, mirisetin, dan luteolin.

Tabel 8 Kandungan total fenolikEkstrak Sampel

Ulangan A [Ekstrak]mg/mL

Bobot Ekstrak (g)

Total Fenolik (mg/mL)

Total Fenolik GAE (mg/g)

1 2 3

Temulawak

0.303 0.228 0.241 1 0.0109 35.818 0.0821

Page 18: Laporan IB

SIMPULAN

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis

tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang berpotensial untuk dikembangkan.

Temulawak memiliki kadar air yang kurang dari 10 %. Temulawak pada uji

fitokimia sesuai dengan literatur yaitu terdapat alkaloid, fenolik, flavonoid,

triterpenoid, dan hidrokuinon. Hasil uji BSLT ekstrak temulawak menggunakan

larva Artemia salina L. Semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi persen

kematian. Ekstrak temulawak pada uji toksisitas terbukti memiliki senyawa aktif

yang bersifat antikanker. Temulawak dapat digunakan sebagai antioksidan. Hasil

pengukiran aktivitas antioksidan yang diperoleh bersifat fluktuatif. Setiap 1 gram

ekstrak sampel temulawak mempunyai 0,0821 mg senyawa fenolik.

SARAN

Praktikum lebih lanjut mengenai banyaknya komponen dalam rimpang

temulawak dengan menggunakan bahan dari ekstrak temulawak dengan analisis

secara KLT yang dilanjutkan dengan GC-MS.

DAFTAR PUSTAKA

Afifah E dan Tim Lentera. 2003. Khasiat Dan Manfaat Temulawak Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka

Astuti. 2012. Petunjuk Praktikum Analisis Bahan Pangan. Yogyakarta(ID): Jurdik Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.

Bintang M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta (ID) : Erlangga.

Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, dan Wootton M. 2008. Food Science. Jakarta: Universitas Indonesia. Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono dalam Ilmu Pangan.

Cahyono B, Huda MD, Limantara L. 2000. Pengaruh Proses Pengeringan Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza ROXB) terhadap Kandungan dan Komposisi Kurkuminoid. Jurnal Reaktor. 13(3):165-171.

Daryoko M, 2007. Prancangan alat pengambilan asam borat dari sistem air pendingin primer PLTN-reaktor air ringan bertekanan, 1000 MW. Jurnal Teknologi Pengolahan Limbah. 10(1):1-11.

Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. Jakarta.

Page 19: Laporan IB

Devaraj S., Esfahani AS, Ismail S., Ramanathan S., dan Yam FM. 2010. Evaluation of the antinociceptive activity and acute oral toxicity of tandardized ethanolic extract of the rhizome of curcuma xanthorrhiza roxb. J.Med.Res. 4(23): 2512-2517.

Dimitrov N.V, Meyer C, Gilliland D, Ruppenthal M, Chenoweth W, dan Malone W. 1991. Plasma tocopherol concentrations in response to supplemental vitamin E. Am J Clin Nutr. 53: 723-729.

Dirjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta(ID): Departemen Kesehatan RI.

Hadipoentyanti E dan syahid SF. 2007. Respon temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) hasil rimpang kultur jaringan geberasi kedua terhadap pemupukan. Jurnal Littri. 13(3):106-110.

Hayani E. 2006. Analisis kandungan kimia rimpang temulawak. Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Josephy PD. 1997. Molecular Toxicology. Oxford University Press : New York.

Kellner. 2004. Analytical Chemistry. USA: John Willey & Sons.

Kikuzaki K dan Nakatani N. 1993. Antioxidant effects of some ginger constituents. Journal of Food Science 58(6) : 1407-1410.

Mc Laughlin JL, Rogers LL. 1998. The use of biological assays to evaluate botanicals. Drugs Information Journal. 32: 513-517.

Melannisa R., Da’i M, dan Rahmi RT. 2011. Uji aktivitas penangkap radikal bebas dan penetapan kadar fenolik total ekstrak etanol tiga rimpang genus curcuma dan rimpang temu kunci (Boesenbergia pandurata). Pharmacon. 12(1):40-43.

Naik GH, Priyadarsini KI, Satav J.G, Banavalikar M.M, Sohoni D.P, Biyani, M.K, dan Mohan H. 2003. Comparative antioxidant activity of individual herbal omponents used in ayurvedic medicin. Phytochemistry 63(1): 97-104.

Nely,F. 2007. Aktivitas Antioksidan Rempah Pasar dan Bubuk Rempah Pabrik dengan Metode Polifenol dan Uji AOM (Active Oxygen Method) [skripsi].Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nguta JM, Mbaria JM, Gakuya DW, Gathumbi PK, Kabasa JD, Kiama SG. 2012. Evaluation of acute toxicity of crude plant extracts from kenyan biodiversity using brine shrimp, Artemia salina L. (Artemiidae). The Open Conference Proceedings Journal. 3: 30-34.

Oktaviana PR. 2010. Kajian kadar kurkuminoid, total fenol, dan aktivitas antioksidan ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada berbagai teknik pengeringan dan proporsi pelarutan [skripsi]. Surakarta (ID) Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pokorny J, Yanishlieva N dan Gordon M. 2001. Antioxidant in Food : Practical Application. CRC Press Cambridge : New York.

Page 20: Laporan IB

Purba R. 2007. Analisis fitokimia dan uji bioaktif daun kaca (Paperomia pellucida L). Jurnal Kimia Wulawarman.5: 1639-5616.

Ramadhani AN. Uji toksisitas akut ekstrak etanol daun sukun (Artocarpus altilis) terhadap larva Artemia salina Leach dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Artikel. Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.

Ramdja AF, Aulia RMA, dan Mulya P. 2009. Ekstraksi kurkumin dari temulawak dengan menggunakan etanol. Jurnal Teknik Kimia. 16(3): 52-58.

Sari DLN, Cahyono B., dan Kumoro AC. 2013. Pengaruh jenis pelarut pada ekstraksi kurkuminoid dari rimpang temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb). Chem Info. 1(1): 101-107.

Satyajit. 2007. Kimia untuk Farmasi, Bahan Kimia Organik, Alam dan Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Setiawan A, Utami R, dan Kawiji. Pengaruh penambahan minyak atsiri rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada edible film terhadap karakteristik organoleptik dan antimikroba. Jurnal teknosains Pangan. 2(3): 9-14

Sidik, Moeljono A, Muhtadi, Sirait, dan Moesdarsono. 1999. TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Jakarta (ID): Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica.

Sumiati. 1997. Minuman Berkhasiat dari Temulawak (Curcuma xanthorriza). Bogor (ID): IPB Press.

Widiyanti, Ratna. 2006. Analisa Kandungan Antioksidan dan Fenol pada Jahe. Jakarta (ID): UI Press.

Wijayakusuma M, Hembing. 2007. Penyembuhan dengan Temulawak I. Jakarta (ID): Sarana Pustaka Prima.

Page 21: Laporan IB

Lampiran 1 Contoh Perhitungan

1. Ekstraksi 2. Kadar air

(Pada ulangan ke- 2)

Kadar air = Bobot sampel basah - bobot sampel keringBobot sampel basah

x 100%

Kadar air = 2.01 – 1.832.01

x 100%

Kadar air = 8.95 %

3. %kematian

%kematian=

ulangan1+ulangan2+ulangan33

10x 100 %=

0+1+03

10x 100%=3,33 %

4. LC50

y = a + bx log 50 = 0,2631 + 0,0002x

1,6989 = 0,2631 + 0,0002xx = [ekstrak] = 7179,35 ppm

5. Total Fenolik

Rerata absorbansi ¿ ulangan1+ulangan2+ulangan33

¿ 0.303+0.228+0.2413

¿0.2576. y = a + bx

y = -0.137 + 0.011x0.257 = -0.137 + 0.011x0.011x = 0.257 + 0.137x = 35.818 mg/Ml

7. Total Fenolik GAE – labu ukur 25 mLC = c ( V/m)

= 35.818 mg/L (0.025 L10.9 mg

) = 0.0821 mg/g