laporan hiperkes faktor fisik

53
LAPORAN HIPERKES DAN K3 INTENSITAS BISING, GETARAN DAN TEKANAN PANAS DI BALAI YASA PT. KAI YOGYAKARTA Disusun oleh: KELOMPOK I : dr. Eko Cahyadi dr. Yeni Verawati dr. Decky Yoga Saputro dr. Herratri Wikan Nur Agusti dr. Adrian Taufik dr. Ranisa Handayani dr. Muhammad Abdurrahman dr. I Komang Adhi Amertajaya dr. Prima Hari Pratama dr. Nila Kusuma dr. Putri Maulida Novianti dr. Arya Prasiddha Putra 1

Upload: komang-adhi-amertajaya

Post on 24-Jun-2015

1.675 views

Category:

Documents


36 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

LAPORAN HIPERKES DAN K3

INTENSITAS BISING, GETARAN DAN TEKANAN PANAS

DI BALAI YASA PT. KAI YOGYAKARTA

Disusun oleh:

KELOMPOK I :

dr. Eko Cahyadi

dr. Yeni Verawati

dr. Decky Yoga Saputro

dr. Herratri Wikan Nur Agusti

dr. Adrian Taufik

dr. Ranisa Handayani

dr. Muhammad Abdurrahman

dr. I Komang Adhi Amertajaya

dr. Prima Hari Pratama

dr. Nila Kusuma

dr. Putri Maulida Novianti

dr. Arya Prasiddha Putra

BALAI HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA

YOGYAKARTA

2010

1

Page 2: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………………... 1

Daftar Isi………………………………………………………………………… 2

BAB I. LATAR BELAKANG………………………………………………….. 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….. 6

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………. 25

III.1. Hasil……………………………………………………………………….. 25

III.2. Pembahasan……………………………………………………………....... 27

BAB IV. KESIMPULAN……………………………………………………….. 33

BAB V. SARAN……………………………………………………………........ 34

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………........ 35

2

Page 3: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

BAB I

LATAR BELAKANG

Menghadapi era globalisasi, ketenaga-kerjaan semakin diharapkan

konstribusinya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang akan

tercermin dengan meningkatnya profesionalisme, kemandirian, etos kerja dan

produktivitas kerja. Untuk mendukung itu semua diperlukan tenaga kerja dan

lingkungan kerja yang sehat, selamat, nyaman dan menjamin peningkatan

produktivitas kerja.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah kepentingan pengusaha,

pekerja dan pemerintah di seluruh dunia. Menurut perkiraan ILO, setiap tahun di

seluruh dunia 2 juta orang meninggal karena masalah akibat kerja. Dari jumlah ini,

354.000 orang mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun ada 270 juta

pekerja yang mengalami kecelakaan akibat kerja dan 160 juta yang terkena penyakit

akibat kerja. Biaya yang harus dikeluarkan untuk bahaya-bahaya akibat kerja ini

amat besar. ILO memperkirakan kerugian yang dialami sebagai akibat kecelakaan-

kecelakaan dan penyakit-penyakit akibat kerja setiap tahun lebih dari US$1.25 triliun

atau sama dengan 4% dari Produk Domestik Bruto (GDP).

Pada dasawarsa 1990-an, Indonesia, melewati suatu periode yang ditandai

dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat hingga tahun 1997, walaupun periode

sesudah itu didera oleh krisis keuangan. Selama tahap pertumbuhan tersebut, ternyata

jumlah kecelakaan kerja cenderung mengalami kenaikan. Tetapi selama resesi,

jumlah biaya yang dialokasikan untuk keselamatan dan kesehatan kerja justru

termasuk salah satu yang mengalami pemangkasan. Sehubungan dengan hal ini, ILO

3

Page 4: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

berpendapat bahwa apapun keadaan yang menimpa suatu negara, keselamatan dan

kesehatan pekerja adalah hak asasi manusia yang mendasar, yang

bagaimanapun juga tetap harus dilindungi, baik sewaktu negara tersebut sedang

mengalami pertumbuhan ekonomi maupun ketika sedang dilanda resesi.

Tingkat kecelakaan-kecelakaan fatal di negara-negara berkembang empat kali

lebih tinggi dibanding negara-negara industri. Kebanyakan kecelakaan dan penyakit

akibat kerja terjadi di bidang pertanian, perikanan, perkayuan, pertambangan dan

konstruksi. Tingkat buta huruf yang tinggi dan pelatihan yang kurang memadai

mengenai metode-metode keselamatan kerja mengakibatkan tingginya angka

kematian yang terjadi karena kebakaran dan pemakaian zat-zat berbahaya yang

mengakibatkan penderitaan dan penyakit yang tak terungkap termasuk kanker,

penyakit jantung dan stroke.

Praktek-praktek ergonomis yang kurang memadai mengakibatkan gangguan

pada otot, yang mempengaruhi kualitas hidup dan produktivitas pekerja. Selain itu,

masalah-masalah sosial kejiwaan ditempat kerja seperti stres ada hubungannya

dengan masalah-masalah kesehatan yang serius, termasuk penyakit-penyakit jantung,

stroke, kanker yang ditimbulkan oleh masalah hormon, dan sejumlah masalah

kesehatan mental.

Pada tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea

menyebutkan bahwa kecelakaan kerja menyebabkan hilangnya 71 juta jam orang

kerja, yang seharusnya dapat secara produktif digunakan untuk bekerja apabila

pekerja-pekerja yang bersangkutan tidak mengalami kecelakaan dan kerugian laba

sebesar 340 milyar rupiah. Bulan Januari 2003 menyebutkan bahwa kecelakaan di

tempat kerja yang tercatat di Indonesia telah meningkat dari 98,902 kasus pada tahun

2000 menjadi 104,774 kasus pada tahun 2001. Dan 11 selama paruh pertama tahun

2002 saja, telah tercatat 57,972 kecelakaan kerja.Meskipun tingginya angka

kecelakaan kerja ini cukup memprihatinkan, hal ini menyiratkan adanya perbaikan

yang nyata dalam pelaporan dan penyebaran informasi tentang kecelakaan kerja

kepada masyarakat.

4

Page 5: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

Kehadiran kereta api di Indonesia ditandai dengan pencangkulan pertama

pembangunan jalan KA didesa Kemijen Jum'at tanggal 17 Juni 1864 oleh Gubernur

Jenderal Hindia Belanda, Mr.L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan

diprakarsai oleh "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg

Maatschappij" (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir.J.P de Bordes dari Kemijen

menuju desa Tanggung (26 Km) dengan lebar sepur 1435 mm. Ruas jalan ini dibuka

untuk angkutan umum pada Hari Sabtu, 10 Agustus 1867.

Walaupun kereta api dikatakan cukup diminati masyarakat, bukan berarti

alasan tersebut dikarenakan oleh rasa aman yang ditimbulkan. Bahkan kereta api

menjadi salah satu penyebab kecelakaan bahkan kematian bagi masyarakat. Hal ini

dilihat dari jumlah angka kecelakaan yang menimpa baik karyawatan PT. Kereta Api

maupun penumpangnya. Data kecelakaan yang terjadi di pintu lintasan ini

mempunyai frekuensi yang sangat tinggi. Dalam lima tahun terakhir (2003-2007),

terjadi 134 kasus tabrakan antara kereta api dengan kendaraan bermotor lainnya, dan

31 kasus tabrakan kereta api dengan kereta api. Kecelakaan akibat anjloknya kereta

dari relnya mencapai 538 kasus pada periode yang sama, atau rata-rata hampir

sembilan kasus setiap bulan. Rawannya kecelakaan akibat human error dan

ketidaklaikan sarana dan prasarana telah memakan korban jiwa sebanyak 257 orang

meninggal dunia, 478 luka berat, dan 486 luka ringan selama lima tahun terakhir.

Sedangkan pada tahun 2008 jumlahnya mengalami penurunan menjadi 7

kasus, diantaranya terdiri atas 3 kasus tabrakan dan 4 kasus anjlok. Untuk itu

pemerintah telah mengaturnya dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor:

Per05./MEN/1996 tentang berbagai aspek Hiperkes dan Keselamatan Kerja yang

perlu mendapatkan perhatian, perlindungan tenaga kerja mendapatkan prioritas yang

cukup tinggi dalam suatu industri, khususnya industri yang rawan cedera,

pencemaran dan penyakit akibat kerja.

Selain menerbitkan peraturan dan undang-undang, sebaiknya pemerintah

mengajak masyarakat untuk menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja di area

stasiun kereta api dengan berbagai metode yang menarik, guna meminimalisasi

5

Page 6: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

kecelakan dan gangguan-gangguan kerja baik bagi karyawan maupun pengguna

stasiun lainnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang

memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari

bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang

wajib dipenuhi oleh perusahaan. .( Suma’mur, 1988)

K3 mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero

accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan

kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost)

perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang

memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan dating. (

http://www.sinarharapan.co.id) Sedangkan definisi Keselamatan dan Kesehatan

Kerja (K3) menurut falsafah keselamatan kerja dapat diterangnkan sebagai berikut:

” menjamin keadaan, keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupu rohaniah

manusia serta hasil karya dan budayanya, tertuju pada kesejahteraan masyarakat

pada umumnya dan manusia pada khususnya ” (Dalih, 1982)

Perumusan falsafah ini harus dipakai sebagai dasar dan titik tolak dari tiap

usaha keselamatan kerja karena didalamnya telah tercakup pandangan serta

pemikiran filosofis, sosial-teknis dan sosial ekonomis. Oleh sebab itu dibuat

peraturan–peraturan mengenai berbagai jenis keselamatan kerja sebagai berikut:

1. Keselamatan kerja dalam industri ( industrial safety)

2. Keselamatan kerja di pertambangan ( mining safety)

3. Keselamatan kerja dalam bangunan ( building and construction safety)

6

Page 7: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

4. Keselamatan kerja lalu lintas ( traffic safety)

5. Keselamatan kerja penerbangan (flight safety)

6. Keselamatan kerja kereta api ( railway safety)

7. Keselamatan kerja di rumah ( home safety)

8. Keselamatan kerja di kantor ( office safety)

Menurut Undang-Undang No.23/ 1992 tentang kesehatan memberikan

ketentuan mengenai kesehatan kerja dalam Pasal 23 yang menyebutkan bahwa

kesehatan kerja dilaksanakan supaya semua pekerja dapat bekerja dalam kondisi

kesehatan yang baik tanpa membahayakan diri mereka sendiri atau masyarakat, dan

supaya mereka dapat mengoptimalkan produktivitas kerja mereka sesuai dengan

program perlindungan tenaga kerja (Departmen Kesehatan 2002).

Higiene perusahaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dapat

dikatakan memiliki satu kesatuan pengertian, yang merupakan terjemahan resmi dari

”Occupational Health” dimana diartikan sebagai lapangan kesehatan yang

mengurusi problematik kesehatan secara menyeluruh terhadap tenaga

kerja.Menyeluruh maksudnya usaha-usaha kuratif, preventif, penyesuaian faktor

menusiawi terhadap pekerjaanya. ( Suma’mur, 1988)

Tujuan utama dari dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah

menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif. Tujuan tersebut dapat tercapai

karena terdapat korelasi antara derajat kesehatan yang tinggi dengan produktivitas

kerja atau perusahaan berdasarkan kenyataan-kenyataan sebagai berikut ( Suma’mur,

1988) :

1. Untuk efisiensi kerja yang optimal dan sebaik-baiknya pekerjaan harus

dilakukan dengan cara dan dalam lingkungan kerja yang memenuhi syarat-

syarat kesehatan. Lingkungan dan cara yang dimaksud meliputi diantaranya

tekanan panas, penerangan ditempat kerja, debu di udara ruang kerja, sikap

badan, penyerasian manusia dan mesin, dan pengekonomisan usaha.

2. Biaya dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta penyakit umum yang

meningkat jumlahnya oleh karena pengaruh yang memburukkan keadaan

7

Page 8: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

oleh bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh pekerjaan sangat mahal misalnya

meliputi pengobatan, perawatan di rumah sakit, rehabilitasi, absenteisme,

kerusakan mesin, peralatan dan bahan akibat kecelakaan, terganggunya

pekerjaan dan cacat yang menetap.

Untuk mencapai tujuannya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) juga

harus mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan erat dengannya seperti ergonomi,

psikologi industri, toksiologi industri, dan lain sebagainya.

2.1.1. Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Dibuatkannya Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam

praktik Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah sesuatu yang sangat penting

dan harus. Karena hal ini akan menjamin dilaksanakannya Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (K3) secara baik dan benar. Kemudian konsep ini berkembang

menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha,

buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan kerja.

Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak

pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak

Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan

penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya,

pemerintah kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan

perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah

berdasarkan masing-masing sektor ekonomi.

Beberapa diantaranya yang menyangkut sektor perhubungan yang mengatur

lalu lintas perketaapian seperti tertuang dalam Algemene Regelen Betreffende de

Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene Verkeer

in Indonesia (Peraturan umum tentang pendirian dan perusahaan Kereta Api dan

Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen

Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225,

8

Page 9: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

Veiligheids Reglement (Peraturan Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan

sebagainya. Namun sekarang Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

yang terutama di Indonesia adalah Undang-Undang No.1/1970 tentang Keselamatan

Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan adalah UU Nomor

12 Tahun 1948 tentang Kerja. Pengaturan hokum K3 dalam konteks diatas adalah

sesuai dengan sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No.13 Tahun 1992 tentang

Perkerataapian, UU No.14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

(LLAJ), UU No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan

pelaksanaan lainnya.

2.1.2. Kecelakaan kerja

Terjadinya Kecelakaan kerja yang mengakibatkan luka-luka ataupun cacat

berdasarkan penelitian dan pengalaman merupakan akibat dari berbagai faktor

sebagai berikut (Bennet, 1985) :

1. Golongan fisik

a. Bunyi dan getaran yang bisa menyebabkan ketulian dan pekak baik

sementara maupu permanen.

b. Suhu ruang kerja. Suhu yang tinggi menyebabkan hiperprexia, heat

stroke, dan heat cramps ( keadaan panas badan yang tinggi suhunya ).

Sedangkan suhu yang rendah dapat menyebabkan kekakuan dan

peradangan.

c. Radiasi sinar rontgen atau sinar-sinar radioaktif menyebabkan kelainan

pada kulit, mata, dan bahkan susunan darah.

2. Golongan kimia

a. Debu dan serbuk menyebabkan terganggunya saluran pernafasan.

b. Kabut dari racun serangga yang menimbulkan keracunan.

c. Gas, sebagai contoh keracunan gas karbonmonoksida, sulfur, dan

sebagainya.

d. Uap, menyebabkan keracunan dan penyakit kulit.

9

Page 10: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

e. Cairan beracun.

3. Golongan Biologis

a. Tumbuh-tumbuhan yang beracun atau menimbulkan alergi;

b. Penyekit yang disebabkan oleh hewan-hewan di tempat kerja, misal

penyakit antrax atau brucella di perusahaan penyamakan kulit.

4. Golongan Fisiologis

a. Konstruksi mesin atau peralatan yang tidak sesuai dengan mekanisme

tubuh manusia.

b. Sikap kerja yang menyebabkan keletihan dan kelainan fisik.

c. Cara bekerja yang membosankan/ titik jenuh tinggi.

5. Golongan Psikologis

a. Proses kerja yang rutin dan membosankan;

b. Hubungan kerja yang tidak harmonis antar karyawan tau terlalu menekan

atau sangat menuntut;

c. Suasana kerja yang kurang aman.

2.2. Potensi Bahaya Fisik

2.2.1. Bising

2.2.1.1. Definisi Kebisingan

Bising merupakan suara yang tidak dikehendaki (unwanted sound).

yang menimbulkan berbagai macam gangguan, yaitu: gangguan pendengaran,

fisiologis, komunikasi,performance, gangguan tidur dan psikologis.

Pemerintah telah menetapkan Nilai Ambang Kebisingan sebesar 85 dB(A)

untuk lingkungan kerja yaitu suatu iklim kerja yang oleh tenaga kerja masih dapat

dihadapi dalam pekerjaannya sehari-hari tidak mengakibatkan penyakit atau

gangguan kesehatan untuk waktu kerja terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari

dan 40 jam seminggu.

Definisi lain tentang kebisingan antara lain:

10

Page 11: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

a. Denis dan Spooner, bising adalah suara yang timbul dari getaran-getaran

yang tidak teratur dan periodik.

b. Hirrs dan ward, bising adalah suara yang komplek yang mempunyai

sedikit atau bahkan tidak periodik, bentuk gelombang tidak dapat diikuti

atau di produsir dalam waktu tertentu.

c. Spooner, bising adalah suara yang tidak mengandung kualitas musik.

d. Sataloff, bising adalah bunyi yang terdiri dari frekuensi yang acak dan

tidak berhubungan satu dengan yang lainnya

e. Burn, Littler, dan wall bising adalah suara yang tidak dikehendaki

kehadirannya oleh yang mendengar dan mengganggu.

f. Menurut permenkes RI NO : 718 / MENKES / PER / XI / 1987 tentang

kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan, BAB I pasal I (a) :

kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki,

sehingga menganggu dan atau membahayakan kesehatan.

2.2.1.2. Klasifikasi Kebisingan

Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan

besar, yaitu :

a. Kebisingan yang tetap (steady noise) dipisahkan lagi menjadi dua jenis,

yaitu :

1) Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise)

Kebisingan ini merupakan „nada-nada„ murni pada frekuensi yang

beragam., contohnya suara mesin, suara kipas dan sebagainya.

2) Kebisingan tetap (Brod band noise)

Kebisingan dengan frekuensi terputus dan Brod band noise sama-sama

digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya

adalah brod band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi

(bukan „nada„ murni).

11

Page 12: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

b. Kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagi lagi menjadi tiga jenis,

yaitu :

1). Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise)

Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu.

2). Intermitent noise

Kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah.,

contoh kebisingan lalu lintas.

3). Kebisingan impulsif (Impulsive noise)

Kebisigan ini dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi

(memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara

ledakan senjata dan alat-alat sejenisnya.

2.2.1.3. Sumber kebisingan

Di tempat kerja, sumber kebisingan berasal dari peralatan dan mesin-mesin.

Peralatan dan mesin-mesin dapat menimbulkan kebisingan karena:

a. Mengoperasikan mesin-mesin produksi yang sudah cukup tua.

b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja

cukup tinggi dalam periode operasi cukup panjang.

c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya.

Misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan

parah.

d. Melakukan modifikasi/perubahan/pergantian secara parsial pada

komponen-komponen mesin produksi tanpa mengidahkan kaidah-kaidah

keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponen-komponen

mesin tiruan.

e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat

(terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian penghubung

antara modul mesin (bad conection).

f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya.

12

Page 13: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

2.2.2. Getaran

2.2.2.1. Definisi Getaran

Getaran atau vibrasi adalah faktor fisik yang ditimbulkan oleh subjek dengan

gerakan osilasi. Vibrasi dapat terjadi lokal atau seluruh tubuh. Alat yang digunakan

untuk mengukur frekuensi dan intensitas vibrasi di lingkungan kerja adalah vibration

meter.

Vibrasi mekanis dapat bersumber dari peralatan atau mesin-mesin produksi.

Dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak kita sering terpapar vibrasi, terutama

jika mengadakan perjalanan menggunakan alat transportasi seperti : bus,

kapal,pesawat, mobil dan sepeda motor. Di lingkungan industri, banyak pula tenaga

kerja yang terpapar vibrasi dalam melakukan aktivitasnya, biasanya mereka yang

menggunakan hand tool, mesin-mesin besar atau kendaraan berat.

WHOLE BODY VIBRATION (WBV) dan HAND ARM VIBRATION (HAV)

Ada 2 tipe vibrasi pada manusia yaitu : whole body vibration dan hand arm

vibration. WBV ditransmisikan ke tubuh melalui permukaan penyangga (kaki, pantat

dan punggung). Seseorang yang mengemudikan kendaraan terpapar WBV lewat

pantat dan punggung. HAV ditransmisikan ke tangan dan lengan, vibrasi tersebut

teutama dialami oleh operator peralatan tangan getar. Sistem WBV dan HAV secara

mekanis berbeda.

Keterpaparan terhadap WBV

Terpapar terhadap WBV dapat menyebabkan kerusakan fisik permanen atau

dapat terganggu sistem sarafnya. Terpapar setiap hari oleh WBV selama bertahun-

tahun dapat menyebabkan kerusakan fisik serius, sebagai contoh Ischemic Lumbago

yang mempengaruhi tulang belakang bagian bawah, selain itu sistem urologi dan

sirkulasi juga terpengaruhi. Terpapar WBV dapat mengganggu sistem saraf pusat.

Gejala dari gangguan ini tampak dalam bentuk kelelahan, insomnia dan sakit kepala.

13

Page 14: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

Banyak orang mengalami gejala gangguan saraf pusat selama atau setelah melakukan

perjalan panjang dengan mobil atau kapal. Namun demikian gejala biasanya hilang

seteah cukup beristirahat.

Keterpaparan terhadap HAV

Terpapar setiap hari oleh HAV selama bertahun-tahun dapat menyebabkan

kerusakan fisik permanen, yang pada umumnya dikenal sebagai “White finger

syndrome” atau dapat merusakkan persendian dan otot jari atau lengan. White finger

syndrome dalam tahap perkembangannya ditunjukkan oleh memutihnya jari-jari

yang disebabkan oleh kerusakan arteri dan saraf-saraf jaringan lunak pada tangan.

Gejala biasanya mempengaruhi satu jari pada mulanya tetapi juga akan

mempengaruhi jari-jari lain bila keterpaparan HAV berlanjut. Dalam sebagian kasus-

kasus berat gejala akan menyerang pada kedua tangan. Dalam tahap awal white

finger syndrome gejalanya adalah sensasi gatal, mati rasa dan hilangnya kontrol pada

jari-jari yang dipengaruhi. Hilangnya rasa dan kontrol pada jari-jari dapat

mengundang bahaya langsung dan seketika, apabila tenaga kerja mengoperasikan

alat yang berbahaya seperti alat pemotong atau gergaji. Kerusakan sendi-sendi jari

atau siku sering disebabkan oleh terpapar vibrasi yang dihasilkan alat seperti :

asphalt hammers dan rock drill dalam jangka panjang. Kerusakan ini menyebabkan

sakit di persendian dan otot-otot lengan serta disertai berkurangnya kontrol dan otot

lengan.

Respons frekuensi dari tubuh manusia

Vibrasi mekanis dari sebuah mesin disebabkan oleh komponen-komponen

mesin yang bergerak atau berputar. Setiap gerakan komponen mempunyai frekuensi

tertentu. Dengan demikian vibrasi keseluruhan yang ditransmisikan ke tubuh

manusia dibangun atau terdiri dari frekuensi yang berbeda-beda yang terjadi secara

simultan.

14

Page 15: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

Untuk mengetahui mengapa bagian tubuh manusia ada yang lebih sensitif

dari yang lain untuk satu macam frekuensi, maka perlu diasumsikan bahwa tubuh

manusia merupakan sistem mekanis. Sistem ini karena :

a. Tiap-tiap bagian tubuh mempunyai sensitivitas terbesar pada kisaran

frekuensi yang berbeda

b. Tubuh manusia tidak ada yang simetris sehingga respons terhadap vibrasi

tergantung pada arah dimana vibrasi ditemukan

c. Tiap orang akan berbeda dalam merespons suatu vibrasi.

Sensitivitas dan sumbu-sumbu acuan WBV

WBV sebaiknya diukur dalam arah-arah sistem koordianat orthogonal. Arah

longitudinal (dari kepala ke ujung kaki) disebut sumbu z. dalam arah ini tubuh paling

sensitif terhadap vibrasi dengan kisaran frekuensi 4-8 Hz. Respons tubuh terahadap

sumbu x (depan ke belakang) dan sumbu y (samping ke samping) tidak berbeda, dan

dalam arah sumbu x dan y respons terbesar apada kisaran frekuensi 1-2 Hz.

Sensitivitas dan sumbu-sumbu acuan HAV

Untuk sistem HAV, respons frekuensi terhadap vibrasi adalah sama untuk

smeua sumbu. Oleh karena itu tidak menjadi masalah apakah sumbu x, y atau z yang

diambil dalam pengukuran vibrasi. HAV mempunyai sensitivitas frekuensi terbesar

pada kisaran 12-16 Hz.

Pengendalian Vibrasi

a. Whole body vibrarion

Tujuan utama dari pengendalian vibrasi adalah mengurangi banyaknya

bahaya vibrasi dengan meredam resonansi yang tibul tanpa menimbulkan

frekuensi yang baru. Caranya antara lain :

- Memberikan bantalan atau damping antara tempat duduk pengemudi

dengan bagian tubuh pengemudi.

15

Page 16: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

- Menggunakan sepatu anti getar apabila sumber getaran merambat melalui

kaki

- Memberi damping pada fondasi mesin-mesin berat

- Membatasi waktu terpapar

b. Hand arm vibration

Ada 5 cara untuk mengurangi bahaya keterpaparan vibrasi yang disebabkan

oleh hand tool :

- Memberikan internal damping

- Memasang damping antara tool housing dan tangan

- Mengoperasikan alat mengguanakan remote control

- Mengurangi waktu terpapar

- Menggunakan sarung tangan

Penyakit akibat paparan getaran alat kerja

Angioneurosis jari-jari tangan

Fenomenon Raynaud (jari-jari putih) adalah syndrome akibat getaran yang

paling sering di wilayah-wilayah dunia yang dingin. Gejala-gejala nonspesifik

pertama adalah akroparestesia pada tangan dan perasaan kebal di jari-jari tangan

pada waktu kerja atau sebentar sesudahnya. Pada stadium ini, selain gangguan

kepekaan terhadap getaran, tidak ditemukan perubahan objektif lainnya. Pada fase

berikutnya, diamati kepucatan paroksismal sporadik pada ujung-ujung jari tangan.

Paroksisme disebabkan oleh spasme lokal arteriol dan kapiler, serta

dicetuskan oleh paparan terhadap suhu dingin lokal atau umum. Biasannya terjadi

pada musim dingin dan sepenuhnya pulih kembali 15-30 menit setelah tangan

dihangatkan. Selama paroksisme, kepekaan nyeri taktil sangat berkurang. Fase ini

menimbulkan kesulitan diagnostik yang besar, karena penyakit yang dilaporkan tidak

selalu dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan di ruang konsultasi dokter.

16

Page 17: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

Observasi secara langsung suatu serangan di tempat kerja mempermudah

diagnosanya. Stadium lebih lanjut dari penyakit ini ditandai dengan kepucatan

paroksismal, tidak hanya pada ujung-ujung jari, tetapi menyebar pada hampir seluruh

jari namun jarang mengenai ibu jari. Parokisme dapat diprovokasi oleh suhu yang

sedikit dingin, bahkan dapat timbul gejala pada suhu lingkungan. Pada stadium yang

lebih lanjut, angiospasme diganti oleh paresis dinding pembuluh darah kecil yang

mengakibatkan akrosianosis. Gejala-gejala yang menonjol adalah rasa kebal

ditangan, gangguan kecepatan jari, dan gangguan sensitivitas.

Juga dapat timbul perubahan-perubahan tonus lokal. Berbeda dengan

endarteritis

obliterans, nekrosis sangat jarang terjadi. Uji diagnosik yang paling umum

digunakan adalah induksi parokisme jari dengan air dingin. Baik tangan maupun

lengan bawah (sampai ke siku) direndam selama 10 menit dalam air yang

didinginkan dengan kubus-kubus es (Beberapa dokter menambah rasa dingin dengan

meletakan handuk basah pada bahu). Hendaknya dijelaskan bahwa metode ini lebih

jarang menginduksi parokisme jari tangan dibandingkan getaran pada situasi kerja

yang nyata. Kadang kala hanya dapat terlihat pengembalian darah ke kapiler yang

melambat seperti : ujung jari didistal kuku perlu ditekan sebentar dan dicatat waktu

yang diperlukan oleh darah untuk kembali ke titik anoksemik. Metode pemeriksaan

laboratorium yang dapat diterapkan pada pemeriksaan pencegahan meliputi

plestimografi jari (gangguan gelombang denyut akibat dingin), mikroskopi kapiler

dan pengukuran suhu kulit (termometer kontak atau termografi). Mungkin terdapat

penurunan suhu kulit permulaan atau terlambatnya pemulihan suhu jari normal

setelah tes air dingin.

Gangguan tulang, sendi dan otot

Patologi osteoartikular sering kali terbatas pada tulang-tulang karpal

(khususnya lunata dan navikularis), sendi radioulnaris dan sendi siku. Gejala

17

Page 18: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

subjektif biasanya ringan tetapi pada stadium yang lanjut gangguan fungsional dapat

cukup berarti. Perubahan radigram yang paling khas adalah atrosis sendi karpal,

radioulnaris dan siku, serta pseudokista (terutama pada tulang-tulang karpal, yang

dapat pula memperlihatkan perubahan-perubahan atrofik lain seperti trabekula yang

menebal dan menjadi jarang). Otot dan tendon disekitar sendi tersebut biasanya juga

terlibat, gejala subyektif (nyeri) yang disebabkan kelainan ini sering mendahului

perubahan radiogram yang jelas.

Neuropati

Kerusakan saraf yang disebabkan getaran meliputi persyarafan otonom

perifer (pada angioneurosis). Beberapa ahli mengemukakan efek-efek pada syaraf

perifer (ulnaris, medianus, radialis). Ahli lainya menganggap trauma saraf

umumnya sekunder dari iskemik berulang (pada angioneurosis), atau suatu faktor

tambahan sering kali neuropati kompresif misalnya, perubahan osteoartikuler di

sekitar batang saraf tersebut (Darmanto Djojodibroto, 1995:139). Terkenanya serat-

serat sensoris menyebabkan parastesia atau berkurangnya kepekaan serat-serat

motorik, gangguan ketangkasan dan akhirnya atrofi. pengukuran kecepatan konduksi

saraf adalah pemeriksaan terpilih. Suatu bentuk campuran menggabungkan gangguan

otot, tendon, tulang, pembuluh darah dan saraf perifer.

2.2.3. Tekanan Panas

2.2.3.1. Definisi Tekanan Panas

Tekanan panas (heat stress) di suatu lingkungan kerja merupakan perpaduan

antara faktor iklim: suhu udara, kelembaban, radiasi dan kecepatan angin serta faktor

non-iklim, yakni panas metabolisme tubuh, pakaian kerja dan tingkat aklimatisasi

(penyesuaian diri).

2.2.3.2. Bahaya Tekanan Panas

18

Page 19: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

Tekanan/terpaan panas yang mengenai tubuh manusia dapat mengakibatkan

berbagai permasalahan kesehatan hingga kematian. Pada musim panas tahun 95 100

penduduk chicago meninggal karena gelombang panas di musim panas. Penelitian

lain di Amerika menunjukkan terjadi 400 kematian setiap tahun yang diakibatkan

oleh tekanan panas. Dari tahun 1995 hingga 2001 di Amerika juga tercatat ada 21

pemain sepakbola muda meninggal terkena akibat heatstroke. Di Jepang dari tahun

2001-2003 dilaporkan 483 ornag tidak masuk kerja selama lebih dari 4 hari karena

penyakit akibat panas. Dari 483 tersebut 63 orang meninggal.

2.2.3.3. Penyakit Akibat Terpaan Panas

Kematian tersebut diakibatkan oleh berbagai penyakit yang diakibatkan oleh

terpaan panas pada tubuh. Berbagai penyakit tersebut meliputi:

1. Heat rash merupakan gejala awal dari yang berpotensi menimbulkan penyakit

akibat tekanan panas. Penyakit ini berkaitan dengan panas, kondisi lembab

dimana keringat tidak mampu menguap dari kulit dan pakaian. Penyakit ini

mungkin terjadi pada sebgaian kecil area kulit atau bagian tubuh. Meskipun

telah diobati pada area yang sakit produksi keringat tidak akan kembali

normal untuk 4 sampai 6 minggu.

2. Heat syncope adalah ganggunan induksi panas yang lebih serius. Ciri dari

gangguan ini adalah pening dan pingsan akibat berada dalam lingkungan

panas pada waktu yang cukup lama.

3. Heat cramp gejala dari penyakit ini adalah rasa nyeri dan kejang pada kakai,

tangan dan abdomen dan banyak mengeluarkan keringat. Hal ini disebabkan

karena ketidakseimbangan cairan dan garam selama melakukan kerja fisik

yang berat di lingkungan yang panas

4. Heat exhaustion diakibatkan oleh berkurangnya cairan tubuh atau volume

darah. Kondisi ini terjadi jika jumalah air yang dikeluarkan seperti keringat

melebihi dari air yang diminum selama terkena panas. Gejalanya adalah

19

Page 20: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

keringat sangat banyak, kulit pucat, lemah, pening, mual, pernapasan pendek

dan cepat, pusing dan pingsan. Suhu tubuh antara (37°C - 40°C)

5. Heat stroke adalah penyakit gangguan panas yang mengancam nyawa yang

terkait dengan pekerjaan pada kondisi sangat panas dan lembab. Penyakit ini

dapat menyebabkan koma dan kematian. Gejala dari penyakit ini adalah detak

jantung cepat, suhu tubuh tinggi 40o C atau lebih, panas, kulit kering dan

tampak kebiruan atau kemerahan, Tidak ada keringat di tubuh korban,

pening, menggigil, muak, pusing, kebingungan mental da pingsan.

6. Multiorgan-dysfunction syndrome Continuum adalah rangkaian

sindrom/gangguan yang terjadi pada lebih dari satu/ sebagian anggota tubuh

akibat heat stroke, trauma dan lainnya.

Penyakit lain yang dapat timbul adalah penyakit jantung, tekanan darah

tinggi, gangguan ginjal dan gangguan psikiatri.

Penyakit akibat terpaan panas ini diakibatkan karena naik/turunnya suhu

tubuh. Suhu normal tubuh berkisar anatara 37-38oC (99 – 100oF). Perubahan suhu

inti tubuh naik/turun 2 oC dapat mengakibatkan gangguan pada tubuh. Berikut ini

adalah temperatur normal tubuh manusia dari berbagai usia.

20

Umur Core Body temperaturoF/oC

0-3 month

3-6 month.

0,5- 1 year

1 – 3 year

3 – 5 year

5 – 9 year

9 –13 year

> 13 year

99.4 oF / 37.40 oC

99.5 oF / 37.5 oC

99.7 oF / 37.6 oC

99.0 oF / 37.2 oC

98.6 oF / 37.0 oC

98.3 oF / 36.8 oC

98.0 oF / 36.6 oC

97.8 – 99.1 oF / 36.5 – 37.2 oC

Page 21: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

Suhu tubuh harus dijaga agar tetap berada pada suhu normal agar seluruh

organ tubuh dapat bekerja dengan normal. Jika terjadi perubahan core temperature

tubuh maka beberapa fungsi organ tubuh akan terganggu. Sistem metabolisme tubuh

secara alami dapat bereakasi untuk menjaga kenormalan suhu tubuh seperti denagn

keluarnya keringat, menggigil dan meningkatkan/mengurangi aliran darah pada

tubuh. Untuk pengaturan suhu tubuh secara eksternal ada 7 faktor yang harus

dikontrol yaitu: suhu udara, kelembapan, kecepatan udara, pakaian, aktivitas fisik,

radiasi panas dari berbagai sumber panas dan lamanya waktu terpaan panas. Berikut

adalah keadaan manusia pada berbagai variasi suhu tubuh:

a. Kondisi panas

37°C (98.6°F) – Suhu tubuh normal (36-37.5°C /96.8-99.5°F)

38°C (100.4°F) – berkeringat,, sangat tidak nyaman, sedikit lapar

39°C (102.2°F) – berkeringat, kulit merah dan basah, napas dan jantung

berdenyut kencang, kelelahan, merangsang kambuhnya epilepsi

40°C (104°F) -Pingsan, dehidrasi, lemah, sakit kepala, muntah, pening dan

berkeringat

41°C (105.8°F) – Keadaan gawat. Pingsan, pening, bingung sakit kepala,

halusinasi, , napas sesak, mengantuk mata kabur, jantung berdebar

42°C (107.6°F) – pucat kulit memerah dan basah, koma, mata gelap, muntah

dan terjadi gangguan hebat. tekanan darah menjadi tinggi/rendah dan detak

jantung cepat.

43°C (109.4°F) – Umumnya meninggal, kerusakan otak, gangguan dan

goncangan hebat terus menerus, fungsi pernapasan kolaps.

44°C (111.2°F) or more – Hampir dipastikan meninggal namun ada

beberapa pasien yang mampu bertahan hingga diatas 46°C (114.8°F).

b. Kondisi Dingin

37°C (98.6°F) – Suhu tubuh normal (36-37.5°C /96.8-99.5°F)

36°C (96.8°F) – Menggigil ringan hingga sedang

21

Page 22: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

35°C (95.0°F) – (Hipotermia suhu kurang dari 35°C (95.0°F) – menggigil

keras, kulit menjadi biru/keabuan. Jantung menjadi berdegup.

34°C (93.2°F) – Mengiggil yang sangat keras, jari kaku, kebiruan dan

bingung, terjadi perubahan perilaku

33°C (91.4°F) – Bingung sedang hingga parah, mengantuk, depresi, berhenti

menggigil, denyut jantung lemah, napas pendek dan tidak mampu merespon

rangsangan.

32°C (89.6°F) – Kondisi gawat Halusinasi, gangguan hebat, sangat bingung,

tidur yang dalam dan menuju koma, detak jantung rendah , tidak menggigil.

31°C (87.8°F) – Comatose, tidak sadar, tidak memiliki reflex, jantung sangat

lamabat, terjadi gangguan irama jantung yangs serius.

28°C (82.4°F) – Jantung berhenti berdetak pasien menuju kematian

24-26°C (75.2-78.8°F) or less – Terjadi kematian namun beberapa pasien ada

yang mampu bertahan hidup hinggan dibawah 24-26°C (75.2-78.8°F)

Terpaan panas pada tubuh pertama kali diterima oleh lapisan kulit pada

tubuh. Sehingga efek terbesar proses terpaan panas terajdi pada kulit. Jika kulit

diterpa panas pada suhu tertentu dalam waktu tertentu maka selaian akan berakibat

pada terjadinya heat strain pada tubuh juga matinya/kerusakan sel-sel tubuh. Dengan

matinya sel-sel tubuh t maka akan menyebabkan terjadinya gangguan pada panca

indera manusia, regnerasi sel terhambat dan akhirnya terjadi proses penuaan lebih

cepat seiring kurang optimalnya fungsi organ tubuh.

2.2.4 Iklim Kerja

2.2.4.1. Pengertian Iklim kerja

Menurut Suma’mur PK (1996: 84) iklim kerja adalah kombinasi dari suhu

udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan dan suhu radiasi. Kombinasi keempat

faktor tersebut bila dihubungkan dengan produksi panas oleh tubuh dapat disebut

dengan tekanan panas. Indeks tekanan panas disuatu lingkungan kerja adalah

22

Page 23: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

perpaduan antara suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan udara, dan panas

metabolisme sebagai hasil aktivitas seseorang.

Suhu tubuh manusia dapat dipertahankan secara menetap oleh suatu sistem

pengatur suhu (Thermoregulatory system). Suhu menetap ini adalah akibat

keseimbangan diantara panas yang dihasilkan didalam tubuh sebagai akibat

metabolisme dan pertukaran panas diantara tubuh dengan lingkungan sekitar.

Dari suatu penyelidikan diperoleh hasil bahwa produktivias kerja manusia akan

mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24 derajat Celsius

sampai 27 derajat Celsius.

2.2.4.2. Macam Iklim kerja

Kemajuan teknologi dan proses produksi didalam industri telah menimbulkan suatu

lingkungan kerja yang mempunyai iklim atau cuaca tertentu, yang dapat berupa iklim

keja panas dan iklim kerja dingin.

1) Iklim Kerja Panas

Iklim kerja panas merupakan meteorologi dari lingkungan kerja yang dapat

disebabkan oleh gerakan angin, kelembaban, suhu udara, suhu radiasi dan sinar

matahari. Panas sebenarnya merupakan energi kinetik gerak molekul yang secara

terus menerus dihasilkan dalam tubuh sebagai hasil samping metabolisme dan panas

tubuh yang dikeluarkan kelingkungan sekitar. Agar tetap seimbang antara

pengeluaran dan pembentukan panas maka tubuh mengadakan usaha pertukaran

panas dari tubuh kelingkungan sekitar melalui kulit dengan cara konduksi, konveksi,

radiasi dan evaporasi.

(1) Konduksi, merupakan pertukaran diantara tubuh dan benda-benda sekitar

dengan melalui sentuhan atau kontak. Konduksi akan menghilangkan panas

dari tubuh apabila benda-benda sekitar lebih dingin suhunya, dan akan

menambah panas kepada tubuh apabila benda-benda sekitar lebih panas dari

tubuh manusia.

23

Page 24: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

(2) Konveksi, adalah petukaran panas dari badan dengan lingkungan melalui

kontak udara dengan tubuh. Pada proses ini pembuangan panas terbawa oleh

udara sekitar tubuh.

(3) Radiasi, merupakan tenaga dari gelombang elektromagnetik dengan

panjang gelombang lebih panjang dari sinar matahari.

(4) Evaporasi, adalah keringat yang keluar melalui kulit akan cepat menguap

bila udara diluar badan kering dan terdapat aliran angin sehingga terjadi

pelepasan panas dipermukan kulit, maka cepat terjadi penguapan yang

akhirnya suhu badan bisa menurun.

2.2.4.3. Pengukuran Iklim kerja

Untuk mengetahui iklim kerja disuatu tempat kerja dilakukan pengukuran

besarnya tekanan panas salah satunya dengan mengukur ISBB atau Indeks Suhu

Basah dan Bola (Tim Hiperkes, 2004), macamnya adalah:

1. Untuk pekerjaan diluar gedung

ISBB = 0,7 x suhu basah + 0,2 x suhu radiasi + 0,1 suhu kering

2. Untuk pekerjaan didalam gedung

ISBB = 0,7 x suhu basah + 0,3 x suhu radiasi

Alat yang dapat digunakan adalah Arsmann psychrometer untuk mengukur

suhu basah, temometer kata untuk menguku kecepatan udara dan termometer bola

untuk mengukur suhu radiasi. Selain itu pengukuran iklim kerja dapat mengunakan

questemt digital. Adapun standar Nilai Ambang Batas (NAB) iklim kerja adalah

280C (Kep.Men no.51/Men/1999).

24

Page 25: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1. Hasil Pengujian

Nama Perusahaan : PT KERETA API INDONESIA (BALAI YASA)

Jumlah sampel : 7

Alamat Perusahaan : Pengok, Yogyakarta

Jenis Pengukuran : Getaran mekanis di tempat kerja

Tanggal pengambilan sampel : 15 Oktober 2010, Pukul: 10.00 WIB

III.1.1 Hasil Pengujian Kebisingan

Tabel 1. Hasil Pengujian

No. LOKASI

TK. KEBISINGAN

(Db)JENIS

BISINGSUMBER BISING

NAB KETERANGAN

L eq L max1. Ruang Logam Panas

a. Tempat pengecoran

76,5 84,3 Steady noise

Blower 85 < NAB

b. tempat penempaan 91,3 101,2 Impulsive noise

Mesin tempa

85 >NAB

3 Ruang Gerindaa. Pengelasan 94,6 97,6 Intermitt

en noiseLas 85 >NAB

b. Pemerataan 78,9 84,3 Steady Mesin 85 <NAB

25

Page 26: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

permukaan noise CNCc. Pembuatan Roda 79,0 82,1 Steady

noiseMesin bubut china

85 <NAB

4 Tempat Pembuatan Pintu

76,7 91,8 Intermitten Noise

Las & Palu

85 >NAB

Catatan : NAB berdasarkan Kepmenaker No.51 tahun 1999.

III.1.2. Hasil Pengujian Getaran

Tabel 1. Kategori WBV berdasarkan ISO 2631

No. Lokasi WBV(m/s2)Reduced Comfort

BoundaryHAV(m/s2) Keterangan

1.

Logam Panas- Mesin tempa- Area

pelapisan babet axle lining

0,1510,092

±10 jam±10 jam

< NAB< NAB

2.

Logam Dingin- Mesin

Gerinda- Mesin Bubut

0,0711 ±10 jam1,72 < NAB

< NAB

3.

Kerangka Bawah- Mesin bubut

roda- Mesin

boring vertical roda

0,1120,0876

±10 jam±10 jam

< NAB< NAB

4.Terapi listrik

- Mesin Sand Blasting

0,062 ±10 jam 0,453 < NAB

Catatan : NAB HAV berdasarkan Kepmenaker No. 51 tahun 1999

III.1.3. Hasil Pengujian Iklim

Tabel 1. Hasil Pengujian

NO LOKASI HASIL PENGUJIAN JENIS SUMBER NAB KET.

26

Page 27: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

. KERJA PANASISBB (C)

Tnwb (C)

RH(%)

ISBB (C)

1. Ruang logam panas

26,3 84 27,7Kerja

Sedang

- Matahari- Tungku- Metabolisme

tubuh

26,7 >NAB

2. Ruang rangka bawah

perbaikan wogi

26,1 83 27,4Kerja

Sedang

- Matahari- Metabolisme

tubuh26,7 >NAB

3. Area pelapisan babet axle

lining

26,8 72 29,4Kerja

Sedang

- Matahari- Tungku- Metabolism

tubuh

26,7 >NAB

Tabel pedoman penilaian ISBB

NO. Variasi kerja

ISBB (C)

KeteranganKerja

Ringan

Kerja

Sedang

Kerja

Berat

1. Kerja terus-menerus 30,0 26,7 25,5

2. Kerja 75%, istirahat 25% 30,6 28,0 25,9

3. Kerja 50%, istirahat 50% 31,4 29,4 27,9

4. Kerja 25%, istirahat 75% 32,2 31,1 30,0

III.2. PEMBAHASAN

III.2.1. Kebisingan

Menurut kepmenaker nomor KEP-51/MEN/1999 nilai ambang bising (NAB)

yang diizinkan pada pekerjaan sehari-hari adalah 85db selama 8 jam atau 40 jam

seminggu. Dari tabel dapat dilihat angka kebisingan di Balai Yasa PT.KAI pada

tempat-tempat tertentu masih ada yang melebihi NAB yang diizinkan. Angka

kebisingan yang lebih tinggi itu ada di tempat penempaan dengan bising yang berasal

27

Page 28: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

dari mesin tempa, tempat pengelasan yang berasal dari mesin las, dan tempat

pembuatan pintu yang berasal dari las dan palu. Dari pengamatan sulit untuk

dilakukan engineering control, sebaiknya pada bagian-bagian tersebut dilakukan

administrative control seperti pekerja tidak di bolehkan terpapar terlalu lama dengan

sumber kebisingan atau istirahat beberapa menit setiap terpapar kebisingan. Tidak

seharusnya pekerja yang terpapar bising di atas NAB bekerja selama 8 jam secara

terus menerus di tempat itu.

Jika pengendalian secara teknis dan administratif tidak dapat mengurangi

tingkat paparan bising pada pekerja, maka sebaiknya pekerja diwajibkan memakai

alat pelindung telinga yang baik dan benar. Dari pengamatan masih banyak pekerja

di tempat dengan melebihi NAB masih tidak memakai alat pelindung telinga, mereka

masih menggunakan kapas sebagai alat pelindung telinga. Namun mengingat alat

pelindung telinga tidak nyaman dipakai secara terus-menerus maka manajemen

sebaiknya tetap memikirkan pengendalian bising secara teknis dan administratif.

Sebaiknya manajemen mengadakan pemeriksaan kesehatan secara berkala

terkait dengan paparan kebisingan. Perlu di periksa akibat-akibat yang ditimbulkan

dari kebisingan seperti :

1) Mengurangi kenyamanan dalam bekerja

2) Mengganggu komunikasi atau percakapan antar pekerja

3) Mengurangi konsentrasi

4) Menurunkan daya dengar, baik yang bersifat sementara maupun permanen

5) Tuli akibat kebisingan (AM Sugeng Budiono, 2003: 33).

Kebisingan yang tinggi memberikan efek yang merugikan pada tenaga kerja,

terutama akan mempengaruhi pada indera pendengaran. Mereka memiliki resiko

mengalami penurunan daya pendengaran yang terjadi secara perlahan-lahan dalam

waktu lama dan tanpa mereka sadari.

Bising dapat merusak kokhlea di telinga dalam sehingga menganggu

pendengaran, sedang kerusakan yang ditimbulkan pada saraf vestibuler di telinga

dalam dapat menyebabkan gangguan keseimbangan. (Jenny Bashirudin:2003).

28

Page 29: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang dalam hariannya

menerima kebisingan. Karena daerah utama kerusakan akibat kebisingan pada

manusia adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka metode pengendaliannya

dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa mereduksi tingkat kebisingan yang

masuk ke telinga bagian luar dan bagian tengah, sebelum masuk ke telinga bagian

dalam. Pihak manajemen sebaiknya melakukan pengawasan terhadap peraturan

bahwa saat berada dalam lingkungan kerja tenaga kerja wajib mengenakan alat

pelindung telinga berupa ear plug dalam melakukan pekerjaannya.

Pengaruh kebisingan terhadap pelaksanaan tugas para pekerja di balai yasa

adalah:

1) Frekuensi kebisingan, nada tinggi adalah lebih beresiko mengalami NIHL

daripada nada rendah. Terutama di tempat penempaan yang menggunakan mesin

gerinda.

2) Jenis kebisingan, kebisingan terputus-putus lebih beresiko mengalami NIHL

daripada kebisingan kontinyu. Dapat dilihat terdapat jenis kebisingan impulsive di

bagian penempaan.

3) Sifat pekerjaan, pada pekerjaan yang rumit atau kompleks lebih banyak beresiko

mengalami NIHL daripada pekerjaan yang sederhana.

4) Variasi kebisingan, makin sedikit variasinya maka makin sedikit pula resikonya.

Dari data dapat dilihat variasi kebisingan sudah sedikit.

5) Sikap individu, karyawan yang tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD),

yaitu ear plugh/ear muff akan lebih banyak beresiko mengalami NIHL daripada yang

menggunakan APD. Masih banyak yang tidak menggunakan alat pelindung diri.

Gangguan pendengaran jika terjadi pada pekerja di Balai Yasa PT.KAI

sifatnya hanya sementara dan tergantung dari lamanya pemaparan serta tingkat

kebisingan. Sehingga perlu dicegah terjadinya gangguan pendengaran dan faktor

yang dapat menimbulkan harus dikurangi atau dihindari sedapat mungkin. Tetapi

kerja terus menerus di tempat bising dengan intensitas tinggi dan lama pemaparan 8

jam perhari berakibat kehilangan daya dengar yang menetap dan tidak pulih kembali.

29

Page 30: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

III.2.2. Getaran

Ada 4 faktor perlu dipertimbangkan dalam mengasses efek vibrasi pada tubuh

manusia, yaitu:

1. Equivalent acceleration value (aeq) dari vibrasi.

2. Macam-macam frekuensi yang menyusun vibrasi.

3. Arah transmisi vibrasi.

4. Waktu paparan vibrasi.

ISO standard 2631 untuk WBV membedakan 3 kriteria yang dapat digunakan untuk

mengasses vibrasi dalam situasi yang berbeda:

1. Untuk mempertahankan kenyamanan (Reduces Comfort Boundary)

2. Untuk mempertahankan efisiensi kerja (Fatigue-decreased proficiency

boundary)

3. Untuk mempertahankan kesehatan atau keselamatan (Exposure Limit)

Sedangkan untuk batas pemaparan HAV diatur dalam KEPMENAKER

NOMOR: KEP 51/MEN/1999. Di dalam KEPMEN ini mengatur berapa lama tenaga

kerja diijinkan terpapar HAV dengan intensitas getaran tertentu. Hal yang tidak

mudah adalah menentukan lama terpapar sebenarnya bagi tenaga kerja. Meskipun

mereka bekerja delapan jam sehari, namun terpaparnya vibrasi tidak otomatis

delapan jam. Berikut adalah petikan dari KEPMENAKER mengenai batas

pemaparan HAV:

Tabel 2

Jumlah Waktu Pemajanan

Per Hari Kerja

Nilai Percepatan Pada Frekuensi Dominan

(m/s2) Gram

4 jam dan ≤ 8 jam 4 0,40

2 jam dan < 4 jam 6 0,61

1 jam dan < 2 jam 8 0,81

30

Page 31: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

< 1 jam 12 1,22

Tabel ISO 2631 untuk pemaparan WBV

Interpretasi Hasil Pengujian Vibrasi

1. Dari table 1 dapat dilihat bahwa seluruh alat yang diuji memiliki Reduced

Comfort Boundary sekitar ±10 jam. Sehingga alat-alat tersebut akan

menyebabkan ketidaknyamanan hidup kepada pengguna setelah penggunaan

±10 jam terus menerus. Dan seorang pekerja tidak mungkin menggunakan

alat tersebut selama 10 jam terus menerus. Sehingga kami mengambil

kesimpulan bahwa alat-alat tersebut tidak berbahaya bagi pekerja dari faktor

vibrasi.

31

Page 32: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

2. Dari table 2 dapat dilihat bahwa nilai percepatan pada frekuensi dominan

HAV masih dibawah nilai percepatan pada frekuensi dominan HAV minimal

sesuai dengan KEPMENAKER. Sehingga kami mengambil kesimpulan

bahwa alat-alat tersebut tidak berbahaya bagi pekerja dari faktor vibrasi.

III. 2.3. Iklim

Dari table hasil pengujian iklim kerja di Balai Yasa PT.KAI pada ketiga

lokasi (ruang logam panas, ruang rangka bawah perbaikan wogi, memiliki iklim

kerja, Area pelapisan babet axle lining) memiliki iklim kerja diatas Nilai Ambang

Batas (NAB), dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pada ruang logam panas, didapatkan ISBB 27,7C

2. Pada ruang rangka bawah perbaikan wogi, didapatkan ISBB 27,4C

3. Pada area pelapisan babet axle lining, didapatkan ISBB 29,4C

Berdasarkan table pedoman penilaian ISBB diatas, pada lokasi ruang logam

panas, ruang rangka bawah perbaikan wogi para pekerja seharusnya tidak bekerja

terus-menerus, melainkan bekerja 75% dan istirahat 25%. Sedangkan pada area

pelapisan babet axle lining, para pekerja juga tidak boleh bekerja terus-menerus,

melainkan bekerja 50% dan istirahat 50%.

Pengendalian

Pencegahan terhadap pengaruh iklim kerja panas:

1. Isolasi sumber panas dengan sekat non-logam dan atau lapis aluminium

2. Pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat sesuai dengan pedoman

3. Aklimatisasi tenaga kerja terutama tenaga kerja yang baru

4. Disediakan cukup air minum disertai tablet garam NaCl 0,1% dan jumlah mencukupi

dan memenuhi syarat kesehatan

5. Tidak menyediakan minum susu di tempat kerja panas, tidak mempekerjakan pekerja

yang sedang masuk angin, sakit ginjal, dan jantung pada tempat kerja panas.

32

Page 33: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

BAB IV

KESIMPULAN

IV.1. Kebisingan

1. Angka kebisingan di Balai Yasa PT.KAI pada tempat-tempat tertentu

masih ada yang melebihi NAB yang diizinkan.

2. Sumber kebisingan yang melebihi NAB berasal dari tempat pengelasan

dan tempat penempaan.

3. Jam istirahat untuk pekerja kurang memadai bila dibandingkan dengan

kebisingan di tempat tersebut sehingga para pekerja beresiko mengalami

NIHL (noise induced hearing loss) dan gangguan komunikasi.

IV.2. Getaran

Berdasarkan dari hasil pengujian getaran tersebut dapat disimpulkan bahwa

nilai getaran alat-alat tersebut masih dalam ambang batas normal sehingga getaran

alat tidak beresiko menimbulkan bahaya bagi pekerja.

IV.3. Iklim

Iklim kerja di Balai Yasa PT.KAI melebihi nilai ambang batas. Pada Balai

Yasa PT.KAI isolasi sumber panas menggunakan seng, yang seharusnya

menggunakan lapis alumunium.

33

Page 34: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

BAB V

SARAN

Sebaiknya lebih digalakkan pelaksanaan K3 di lokasi kerja bagi seluruh

karyawan.

V.1. Kebisingan

Pengendalian dengan engineering control sulit dilakukan, oleh karena itu

pengendalian yang paling memungkinkan adalah dengan administrative control dan

APD.

V.2. Getaran

Untuk pengambilan data berikutnya:

- Sebaiknya dilakukan ketika semua alat digunakan sehingga semua alat dapat

diuji nilai getarannya.

V.3. Iklim

Pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat belum sesuai dengan pedoman

karena pekerja di bagian ruang logam panas dan ruang rangka bawah perbaikan wogi

seharusnya tidak bekerja terus menerus melainkan 75% kerja dan 25% istirahat,

sedangkan pada area lapisan babet axle lining para pekerja tidak bekerja terus

menerus melainkan kerja 50% dan istirahat 50%. Persediaan air minum di tempat

tersebut cukup, namun tidak ditambahkan tablet garam NaCl 0,1%, selain itu

penempatan air minum kurang sesuai dengan syarat kesehatan sebab tempat tersebut

merupakan ruang terbuka yang banyak terpapar debu dan mikroorganisme.

34

Page 35: Laporan HiPErKES Faktor Fisik

DAFTAR PUSTAKA

ASEAN OSHNET Occupational Safety and Health Network (Jejaring Kerja dibidang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja antara Negara-Negara ASEAN),

2003; http://www.asean-osh.net/indonesia/osh%20statistic.htm. Bennet, dkk.1985.

Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta:

PT.Pustaka Binaman Pressindo Dalih. 1982. Keselamatan Kerja Dalam Tatalaksana

Bengkel 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Konradus, Dangur. 2003. Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja. pada

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0708/02/opi01.html)

K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) 21 Agustus 2008 diambil di website

http://gedbinlink.wordpress.com/tag/k3/

Suma’mur. 1988. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: CV.Haji

Masagung

Suma’mur PK. PK. 1996. Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta:

PT.Toko Gunung Agung

Suma’mur PK. PK. 1999. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakata: CV Haji

Masagung

Sutaryono. 2002. Hubungan antara tekanan panas, kebisingan dan penerangan

dengan kelelahan pada tenaga kerja di PT. Aneka Adho Logam Karya Ceper

klaten, Skripsi. Semarang : UNDIP

Tarwaka, Solichul, Bakri, Lilik Sudiajeng. 2004. Ergonomi Untuk Kesehatan Kerja

Dan Produktivitas. Surakarta: UNIBA Pers

35