laporan hidrologi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aliran permukaan (run off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di
atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Aliran permukaan (run
off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke
sungai, danau dan lautan.
Neraca air (water balance) merupakan neraca masukan dan keluaran air
disuatu tempat pada periode tertentu, sehingga dapat untuk mengetahui jumlah air
tersebut kelebihan (surplus) ataupun kekurangan (defisit).
Dalam pengertian umum hidrologi adalah curah hujan yang mengakibatkan
limpasan. Tinggi curah hujan yang mengakibatkan limpasan adalah relatif, karena
tergantung dan kondisi daerah bersangkutan seperti kelembaban tanah, simpanan
permukaan, dan lain-lain.
Pengukuran evapotransipirasi (ETP) secara langsung di lapangan diukur
dengan menggunakan lysimeter . Data dari lysimeter ini merupakan nilai sebenarnya
evapotranspirasi lapangan.
Air tanah adalah air yang bergerak di dalam tanah yang terdapat didalam
ruang antar butir-butir tanah yang meresap ke dalam tanah dan bergabung
membentuk lapisan tanah yang disebut akifer.
Hidrologi merupakan ilmu yang mempelajari berbagai air di permukaan bumi.
Sirklus air yang terjadi terus – menerus dari atmosfer kebumi dan kembali lagi ke
bumi. Peredaran air di bumi terjadi oleh suatu siklus yang disebut siklus hidrologi.
Praktikum hidrologi merupakan salah satu mata kuliah di jurusan geografi,
khususnya pada semester ini. Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat
mengetahui cara menghitung air tanah dan debit sungai langsung dilapangan.
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan praktikum hidrologi adalah :
1. Kami dapat menghitung debit puncak
2. Kami dapat menghitung neraca air
3. Kami dapat menghitung curah hujan
4. Kami dapat menghitung evapotranspirasi
5. Kami dapat menghitung air tanah
6. Kami dapat menghitung debit sungai
1.3 Manfaat Praktikum
Adapun tujuan praktikum hidrologi adalah :
1. Kami dapat mengetahui cara menghitung debit puncak
2. Kami dapat mengetahui cara menghitung neraca air
3. Kami dapat mengetahui cara menghitung curah hujan
4. Kami dapat mengetahui cara menghitung evapotranspirasi
5. Kami dapat memiliki pengalaman lapangan cara menghitung air tanah
6. Kami dapat memiliki pengalaman lapangan cara menghitung debit sungai
BAB II
MENGHITUNG DEBIT PUNCAK (Q) dan KOEFISIEN RUN OFF (C)
2.1 Dasar Teori
Aliran permukaan (run off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di
atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Air hujan yang jatuh ke
permukaan tanah ada yang langs ung masuk ke dalam tanah atau disebut air infiltrasi.
Sebagian lagi tidak sempat masuk ke dalam tanah dan oleh karenanya mengalir di
atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah. Ada juga bagian dari air hujan
yang telah masuk ke dalam tanah, terutama pada tanah yang hampir atau telah jenuh,
air tersebut ke luar ke permukaan tanah lagi dan lalu mengalir ke bagian yang lebih
rendah. Aliran air permukaan yang disebut terakhir sering juga disebut air larian atau
limpasan. Bagian penting dari air larian dalam kaitannya dengan rancang bangun
pengendali air larian adalah besarnya debit puncak, Q (peak flow atau debit air yang
tertinggi) dan waktu tercapainya debit puncak, volume dan penyebaran air larian.
Curah hujan yang jatuh terlebih dahulu memenuhi air untuk evaporasi, intersepsi,
infiltrasi, dan mengisi cekungan tanah baru kemudian air larian berlangsung ketika
curah hujan melampaui laju infiltrasi ke dalam tanah.
Semakin lama dan semakin tinggi intensitas hujan akan menghasilkan air
larian semakin besar. Namun intensitas hujan yang terlalu tinggi dapat
menghancurkan agregat tanah sehingga akan menutupi pori -pori tanah akibatnya
menurunkan kapasitas infiltrasi. Volume air larian akan lebih besar pada hujan yang
intensif dan tersebar mera ta di seluruh wilayah DAS dari pada hujan tidak merata,
apalagi kurang intensif. Disamping itu, faktor lain yang mempengaruhi
volume air larian adalah bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi dan tataguna
lahan.
Kerapatan daerah aliran (drainase) mempengaruhi kecepatan air larian.
Kerapatan daerah aliran adalah jumlah dari semua saluran air/sungai (km) dibagi luas
DAS (km2). Makin tinggi kerapatan daerah aliran makin besar kecepatan air larian
sehingga debit puncak tercapai dalam waktu yang cepat.
Vegetasi dapat menghalangi jalannya air larian dan memperbesar jumlah
air infiltrasi dan masuk ke dalam tanah.
Menghitung Debit Puncak ( Q ) Dan Koefisien Run Off ( C )
1. Perhitungan Debit Puncak
TABEL 3.1 DATA C, Ip DAN A
DAERAH C Ip (mm/jam) A (Ha) Qp (m/dt)
A 0,3 0,55 200 0,0924
B 0,3 0,75 200 0,126
C 0,45 0,75 200 0,189
D 0,65 1 200 0,364
2. Perhitungan P, Q Dan C
TABEL 3.2 PERHITUNGAN JUMLAH AIR YANG MENGALIR MELALUI
OUTLET
DENGAN UKURAN DAS
(250ha)
BULAN
DEBIT RATA-
RATA
JUMLAH
HARI TOTAL DEBIT
CURA
H
HUJAN
(Q(m/dt)) (d)
d X 86400 X Q
(m) (mm)
JANUARI 0,1 31 267840 350
FEBRUARI 0,09 28 217728 300
MARET 0,07 31 187488 275
APRIL 0,05 30 129600 255
MEI 0,04 31 107136 188
JUNI 0,03 30 77760 132
JULI 0,02 30 51840 100
AGUSTUS 0,01 31 26784 67
Perhitungan Koefisien Runoff
Koefisien Air Larian
Koefisien air larian (C) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan
antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan.
C=Air Larian(mm)
Curah Hujan(mm) (dalam suatu DAS)
Atau C=∑1
12
(di ×86400 × Q )(P× A )
Dimana :
di = jumlah hari dalam bulan
Q = Debit rata-rata bulanan (m3/detik) dan 86400 = jumlah detik dalam 24 jam.
P = Curah hujan rata-rata setahun (m/tahun)
A = Luas DAS (m2)
2.2 Media yang digunakan
Komputer dengan aplikasi MS Excel
2.3 Hasil perhitungan
2.4 Interprestasi
Menghitung Debit Puncak ( Q ) Dan Koefisien Run Off ( C )
1. Perhitungan Debit Puncak
BAB III
MENGHITUNG NERACA AIR LAHAN BULANAN
3.1 Dasar Teori
Dalam konsep siklus hidrologi bahwa jumlah air di suatu luasan tertentu di
permukaan bumi dipengaruhi oleh besarnya air yang masuk (input) dan keluar
(output) pada jangka waktu tertentu. Neraca masukan dan keluaran air di suatu tempat
dikenal sebagai neraca air (water balance). Karena air bersifat dinamis maka nilai
neraca air selalu berubah dari waktu ke waktu sehingga di suatu tempat kemungkinan
bisa terjadi kelebihan air (suplus) ataupun kekurangan (defisit). Apabila kelebihan
dan kekurangan air ini dalam keadaan ekstrim tentu dapat menimbulkan bencana,
seperti banjir ataupun kekeringan. Bencana tersebut dapat dicegah atau ditanggulangi
bila dilakukan pengolaan yang baik terhadap lahan dan lingkungannya.
Neraca air lahan merupakan neraca air untuk penggunaan lahan pertanian
secara umum. Neraca ini bermanfaat dalam mempertimbangkan kesesuaian lahan
pertanian, mengatur jadwal tanam dan panen, mengatur pemberian air irigasi dalam
jumlah dan waktu yang tepat.
Dalam perhitungan neraca air lahan bulanan diperlukan data masukan yaitu
curah hujan bulanan (CH), evapotranspirasi bulanan (ETP), kapasitas lapang (KL),
dan titik layu permanen (TLP). Nilai-nilai yang diperoleh dari analisis neraca air
lahan ini adalah harga-harga dengan asumsi-asumsi :
1) Lahan datar tertutup vegetasi rumput,
2) Lahan berupa tanah dimana air yang masuk pada tanah tersebut hanya berasal
dari curah hujan saja, dan
3) Keadaan profil tanah yang homogen sehingga KL dan TLP mewakili seluruh
lapisan dan hamparan tanah.
3.2 Media yang digunakan
1. Kalkulator, atau
2. Komputer dengan aplikasi Ms excel
3.3 Hasil perhitungan
3.4 Interprestasi
BAB IV
MENGHITUNG CURAH HUJAN (CH) RATA-RATA
4.1 Dasar Teori
Data jumlah curah hujan (CH) rata-rata untuk suatu daerah tangkapan
air(catchment area) atau daerah aliran sungai (DAS) merupakan informasi yang
sangat diperlukan oleh pakar bidang hidrologi. Dalam bidang pertanian data CH
sangat berguna, misalnya untuk pengaturan air irigasi, mengetahui neraca air lahan,
mengetahui besarnya aliran permukaan (run off).
Untuk dapat mewakili besarnya CH disuatu wilayah/daerah diperlukan
penakar CH dalam jumlah yang cukup. Semakin banyak penakar dipasang di
lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya rata-rata CH yang menunjukkan
besarnya CH yang terjadi di daerah tersebut. Disamping itu juga diketahui variasi CH
disuatu titik pengamatan.
Menurut Hutchinson, 1970; Browning, 1987 dalam Asdak C. 1995 ketelitian
hasil pengukuran CH tergantung pada variabilitas spasial CH, maksudnya diperlukan
semakin banyak lagi penakar CH bila kita mengukur CH di suatu daerah yang variasi
curah hujannya besar. Ketelitian akan semakin meningkat dengan semakin banyak
penakar yang dipasang, tetapi memerlukan biaya mahal dan juga memerlukan
banyak waktu dan tenagadalam pencatatannya dilapangan.
1. Cara rata-rata aritmatik
Cara rata-rata aritmatik adalah cara yang paling mudah diantara cara lainnya
(poligon dan isohet). Digunakan khususnya untuk daerah seragam dengan variasi
CH kecil. Cara ini dilakukan dengan mengukur serempak untuk waktu tertentu
dari semua alat penakar dan dijumlahkan seluruhnya.
Rata-rata CH = ∑ Ri
n
Dimana Ri = besarnya CH pada stasiun ke-i
n = jumlah penakar (stasiun)
2. Cara poligon (Thiessen poligon)
Cara ini untuk daerah yang tidak seragam dan variasi CH besar. Menurut
Shaw (1985) cara ini tidak cocok untuk daerah bergunung dengan intensitas
Ch tinggi. Dilakukan dengan membagi suatu wilayah (luasnya A) ke dalam
beberapa daerah-daerah membentuk poligon (luas masing-masing daerah a).
Untuk menghitrung curah hujan rata-rata cara poligon menggunakan
persamaan:
Rata-rata CH = R1
a1
A+R2
a2
A+R3
a3
A…Rn
an
A
Dimana: R = jumlah curah hujan pada penakar/stasiun di daerah a.
ai/A = tetapan Thiessen
3. Cara Isohet (Isohyeat)
Cara ini dipandang paling baik, tetapi bersifat subyektif dan tergantung pada
keahlian, pengalaman, pengatahuan pemakai terhadap sifat curah hujan pada
daerah setempat. Isohet adalah garis pada peta yang menunjukkan tempat-
tempat dengan curah hujan yang sama.
Dalam metode isohet ini wilayah dibagi dalam daerah-daerah yang masing-
masing dibatasi oleh dua garis isohet yang berdekatan, misalnya isohet 1 dan
2 atau ( I1 – I2).
4.2 Media yang digunakan
1. Kalkulator, atau
2. Komputer dengan aplikasi Ms excel
4.3 Hasil Perhitungan
4.4 Interpretasi
BAB V
PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI (ETP) METODE THORNTHWAITE
5.1 Dasar Teori
Pengukuran evapotransipirasi (ETP) secara langsung di lapangan diukur
dengan menggunakan lysimeter . Data dari lysimeter ini merupakan nilai sebenarnya
evapotranspirasi lapangan. Karena L ysimeter dipasang dengan peralatan dan instalasi
khusus serta bersifat permanen maka penggunaannya kurang praktis dan memerlukan
biaya. Untuk itu maka para ahli berusaha menduga ETP tersebut dengan persamaan
empiris dengan menggunakan data-data iklim.
Evaporimeter Panci Klas A
Rumus:
ETP = Eo x konstanta panci
Dimana Eo adalah evaporasi dari panci klas A pada stasiun (mm),Sedangkan
konstanta panci untuk indonesia berkisar 0,7 - 0,8 atau rata-rata 0,75. Konstanta panci
dapat diperoleh dengan percobaan di lapangan. Misalnya evaporasi pada panci klas A
pada stasiun menunjukkan 4,0 mm/hari, maka ETP = 0,75 x 4,0 = 3,0 mm/hari.
Metode Thornthwaite
Pendugaan ETP metode Thorntwaite ini hanya menggunakan data suhu rata-
rata bulanan saja, Sedangkan metode Blaney-Criddle, Penman, Makkink dan Priestly-
Taylor menghendaki data yang cukup banyak seprti : suhu, radiasi, kecepatan angin,
kelembaban udara sehingga meskipun hasilnya lebih akurat, namun sulit diterapkan
pada wilayah yang tidak memiliki data iklim yang lengkap.
Untuk memperoleh ETP dengan metode ini bisa dilakukan dengan cara -cara sebagai
berikut :
a. Nomogram
Gambar 2.1 adalah Nomogram (thornthwaite, 1948), hubungan suhu udara
bulanan rata-rata (t 0C) sebagai sumbu-Y dan besarnya evapotraspirasi bulanan (cm)
sebagai sumbu -X (Gambar 1). Untuk menggunakan ini harus dihitung dulu Indeks
Bahang ( I = Heat index) yaitu akumulasi indeks panas/bahang dalam setahun,
diperoleh dengan rumus :
I=∑i= I
12
( t5 )
1,514
Pada nomgram buatlah garis yang menghubungkan tit ik I (indeks panas)
yang diperoleh dengan titik konvergensi. Titik konvergensi berada pada koordinat
suhu 26,5 0C (sumbu-Y) dan ETP 13,50 (sumbu-X). Dari garis yang terbentuk
tariklah koordinat data suhu anda (sumbu -Y) untuk memperoleh nilai ETP pada
sumbu-X. Bila data suhu udara lebih besar dari 26,5 0C maka gunakanlah tabel
disamping nomogram atau menggunakan rumus :
ETP(t 26,5 0C) = - 0,0433 t2 + 3,2244 t – 41.545
Nilai ETP yang diperoleh ini belum dikoreksi dengan faktor kedudukan matahari atau
faktor lintang Sehingga nilai :
ETP (terkoreksi) = ETP . F
b.Rumus empiris
Untuk menduga ETP metode Thornthwaite bisa menggunakan rumus. Rumus
ini berlaku untuk suhu udara rata -rata bulanan (t > 26,5 0C), yaitu
ETP = 1,6 (10 t/I)a
dimana,
ETP = evaporasi potensial bulan (cm/bulan)
t =suhu rata-rata bulanan (0C)
I = akumulasi indeks panas dalam setahun, diperoleh dengan rumus :
I=∑i= I
12
( t5 )
1,514
a = 0,000000675 I3 – 0,0000771 I2 + 0,01792 I + 0,49239
F = faktor koreksi terhadap panjang hari dari letak lintang (diperoleh dari
tabel)
Sedangkan untuk data suhu t >26,5 0C, gunakan rumus :
ETP(t >26,5 0C) = - 0,0433 t2 + 3,2244 t – 41.545
Nilai ETP yang diperoleh ini belum dikoreksi dengan faktor kedudukan matahari atau
faktor lintang (F). Sehingga nilai :
ETP (terkoreksi) = ETP . F
5.2 Media yang Digunakan
Komputer dengan aplikasi Ms excel
5.3 Hasil Perhitungan
5.4 Interpretasi
BAB VI
PEMETAAN MUKA AIR TANAH
6.1 Dasar Teori
Air tanah adalah air yang bergerak di dalam tanah yang terdapat didalam
ruang antar butir-butir tanah yang meresap ke dalam tanah dan bergabung
membentuk lapisan tanah yang disebut akifer. Lapisan yang mudah dilalui oleh air
tanah disebut lapisan permeable, seperti lapisan yang terdapat pada pasir atau kerikil,
sedangkan lapisan yang sulit dilalui air tanah disebut lapisan impermeable, seperti
lapisan lempung atau geluh. Lapisan yang dapat menangkap dan meloloskan air
disebut akuifer. Pada akifer bebas (unconfined aquifer), ketinggian level air tanah
dinamakan muka air tanah (water table), sedangkan pada akifer tertekan (confined
aquifer) disebut permukaan piezometrik.
Tolman (1937) dalam Wiwoho (1999) mengemukakan bahwa air tanah
dangkal pada akifer dengan material yang belum termampatkan di daerah beriklim
kering menunjukan konsentrasi unsur-unsur kimia yang tinggi terutama musim
kemarau. Hal ini disebabkan oleh adanya gerakan kapiler air tanah dan tingkat
evaporasi yang cukup besar. Besar kecilnya material terlarut tergantung pada lamanya
air kontak dengan batuan. Semakin lama air kontak dengan batuan semakin tinggi
unsur-unsur yang terlarut di dalamnya. Disamping itu umur batuan juga
mempengaruhi tingkat kegaraman air, sebab semakin tua umur batuan, maka semakin
tinggi pula kadar garam-garam yang terlarut di dalamnya.
Kedalaman muka air tanah memiliki efek penting pada penggunaan
permukaan tanah dan pada pengembangan suplai-suplai air dari akifer bebas. Ketika
muka air tanah adalah dangkal, maka tanah tersebut mungkin menjadi “waterlogged”
selama musim penghujan dan tidak cocok untuk pemukiman dan banyak penggunaan
lainnya.
Arah slope muka air tanah juga penting karena ini mengindikasikan arah
pergerakan air tanah. Posisi dan slope muka air tanah ditentukan dengan mengukur
posisi level air sumur dari titik yang ditetapkan (titik pengukuran). Untuk
menggunakan pengukuran ini dalam upaya menentukan slope muka air tanah, maka
posisi muka air tanah di setiap sumur harus ditentukan relatif terhadap bidang
referensi yang berlaku umum untuk setiap sumur. Bidang referensi yang kebanyakkan
digunakan adalah National Geodetic Vertikal Datum 1929 yang umumnya
direferensikan sebagai “permukaan laut”.
6.2 Waktu, Lokasi dan Kesampaian Daerah
Waktu
Waktu pelaksanaan praktikum “pemetaan air tanah” dilakukan pada pukul
10:30 – 11:45.
Lokasi
Lokasi penelitian terletak didesa Tanjung harapan, Kec. Wonosari, Kab.
Boalemo
Kesampaian Daerah
Menuju lokasi
Kelokasi sumur warga
Menentukan titik koordinat dengan mengunakan GPS Menentukan elevasi sumur dengan menggunakan GPS
Menentukan kedalaman sumur Menentukan tinggi bibir sumur dari tanah
Pengambilan data
Desa untuk lokasi praktikum cukup terpencil, untuk mencapai base camp
dibutuhkan waktu sekitar 5 jam perjalanan dengan menggunakan mobil bus,
selanjutnya untuk menuju lokasi praktikum, kami harus menempuh perjalanan
1 km dengan berjalan kaki.
6.3 Alat dan Bahan
1. GPS
2. Roll meteran
3. Alat tulis menulis
6.4 Prosedur Kerja
6.5 Hasil Pengamatan
6.6 Pengolahan Data
6.7 Pembahasan dan Interpretasi
BAB VII
PERHITUNGAN DEBIT SUNGAI
7.1 Dasar Teori
Teknik pengukuran debit sungai secara langsung dilapangan dapat dilakukan melalui
berbagai cara. Pada umumnya teknik pengukuran tersebut dapat dikelompokkan
menjadi dua jenis, yaitu pengukuran debit tak pengukuran debit kontinyu.
Pengukuran debit sungai tak kontinyu dapat dilakukan dengan metode, antara lain :
1) Metode volumetrik
2) Metode apung atau menggunakan current meter
3) Metode tracing
Sedangkan pengukuran debit sungai yang paling sederhana dapat dilakukan dengan
metode apung (floating method). Besarnya kecepatan rata-rata aliran permukaan
sungai ditentukan berdasarkan persamaan berikut :
V= St
Dengan : S = jarak antara titik pengamatan (m)
t = waktu rata-rata perjalanan yang ditempuh benda apung (s).
Dengan demikian besarnya debit selanjutnya dapat dihitung menggunakan persamaan
berikut :
Q=k A V
Dengan : A = luas penampang melintang sungai (m2)
V = kecepatan rata-rata aliran permukaan sungai (m/s).
k = kontana; k = 0,75 (jika keadaan dasar sungai kasar), k = 0,85 (jika
keadaan dasar sungai halus).
7.2 Waktu, Lokasi, dan Kesampaian Daerah
Waktu
Waktu pelaksanaan praktikum “pengukuran debit sungai” dilakukan pada pukul
08:30 – 10:00.
Lokasi
Lokasi penelitian terletak didesa Tanjung harapan, Kec. Wonosari, Kab. Boalemo
Kesampaian daerah
Desa untuk lokasi praktikum cukup terpencil, untuk mencapai base camp
dibutuhkan waktu sekitar 5 jam perjalanan dengan menggunakan mobil bus,
selanjutnya untuk menuju lokasi praktikum, kami harus menempuh perjalanan 3
km dengan berjalan kaki.
7.3 Alat dan Bahan
1. Stop watch 3 buah
2. Patok kayu 3 buah
3. Roll meter
4. Bahan pelampung, seperti gabus,dll
5. Alat tulis menulis
7.4 Prosedur Kerja
1. Menentukan lokasi pengamatan debit sungai meliputi lokasi, koordinat, dan
nama sungai pada lembar observasi yang sesuai
2. Mengukur lebar sungai menggunakan roll meter mulai dari batas basah kiri
hingga batas basah kanan, mengisi hasil pengukuran pada lembar observasi di
bagian lebar sungai (L).
3. Membagi penampang sungai menjadi 3 bagian. Masing-masing titik/patok
dijaga oleh satu orang dengan membawa pelampung.
4. Mengukur kedalaman masing-masing titik tersebut dengan menggunakan roll
meter dan mengisi hasil pengukurannya pada kolom luas (A).
5. Menentukan jarak pengukuran (S), dan pada jarak ini ditempatkan 3 orang
yang memegang stop watch masing-masing A’, B’, dan C’. Pertama-tama
jatuhkan benda apung dari titik A ke A’ dan catat waktu tempuhnya pada
kolom t1, t2, t3 serta rata-rata untuk akurasi pengukuran dan mengisi waktu
tempuhnya pada kolom trata2. Langkah yang sama dilakukan dari B ke B’
hingga C ke C’.
6. Menghitung kecepatan aliran pada masing-masing titik yaitu dengan
mengalihkan waktu rata-rata (trata2) dan jarak pengukuran (S).mengisi hasil
perhitungannya pada kolom kecepatan.
7. Menghitung luas total penampang sesuai dengan menjumlahkan luas
keseluruhan segmen dan mengisi hasil perhitungannya pada ∑ A.
Menghitung pula kecepatan aliran rata-ratadari kecepatan aliran masing-
masing titik dan mengisi hasil perhitungannya pada Vrata2. Akhirnya besar
debit sungai dapat dihitung menggunakan persamaan : Q=k ×∑ A ×V rata−rata
.
7.5 Hasil pengamatan
7.6 Pengolahan Data
7.7 Pembahasan dan interprestasi
BAB VIII
PENUTUP