laporan farmakologi kelompok a

25
Pengaruh Morfin dan Derivat Morfin terhadap Manusia berdasarkan Pengamatan pada Hewan I. Tujuan : Pada akhir percobaan/praktikum ini mahasiswa dapat : - Menjelaskan efek morfin dan derivat morfin(nalokson) terhadap manusia berdasarkan pengamatan pada hewan yakni kelinci II. Dasar Teori 2.1. Opioid Istilah opioid digunakan untuk semua senyawa yang berkaitan dengan opium. Opiat adalah obat-obat yang berasal dari opium, meliputi bahan alam morfin, kodein, tebain dan banyak senyawa sejenis semisintetik yang diturunkan dari obat-obat tersebut. Peptida opioid endogen merupakan ligan alami untuk reseptor opioid. Istilah endomorfin bersinonim dengan peptide opioid endogen,tetapi juga menunjuk pada opioid endogen spesifik yaitu -endorfin. Tiga kelompok peptida opioid klasik yang berbeda telah diidentifikasi yaitu: enkefalin, endorfin dan dinorfin. Masing-masing kelompok berasal dari suatu prekursor polipeptida yang berbeda dan memiliki distribusi anatomis yang khas (Goodman & Gilman. 2001) Opioid merupakan senyawa alami atau sintetik yang menghasilkan efek seperti morfin. Istilah opioid dicadangkan untuk obat-obatan seperti morfin dan kodein, yang didapat dari sari buah popi opium. Semua obat dalam kategori ini bekerja dengan jalan mengikat reseptor spesifik pada SSP. Untuk menghasilkan efek meniru neurotransmitter peptide endogen, opiopeptin.

Upload: naroeto-cap-kutil

Post on 29-Jun-2015

609 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Farmakologi Kelompok A

Pengaruh Morfin dan Derivat Morfin terhadap Manusia berdasarkan Pengamatan pada Hewan

I. Tujuan :

Pada akhir percobaan/praktikum ini mahasiswa dapat :

- Menjelaskan efek morfin dan derivat morfin(nalokson) terhadap manusia berdasarkan pengamatan pada hewan yakni kelinci

II. Dasar Teori

2.1. Opioid

Istilah opioid digunakan untuk semua senyawa yang berkaitan dengan opium. Opiat adalah obat-obat yang berasal dari opium, meliputi bahan alam morfin, kodein, tebain dan banyak senyawa sejenis semisintetik yang diturunkan dari obat-obat tersebut. Peptida opioid endogen merupakan ligan alami untuk reseptor opioid. Istilah endomorfin bersinonim dengan peptide opioid endogen,tetapi juga menunjuk pada opioid endogen spesifik yaitu -endorfin.

Tiga kelompok peptida opioid klasik yang berbeda telah diidentifikasi yaitu: enkefalin, endorfin dan dinorfin. Masing-masing kelompok berasal dari suatu prekursor polipeptida yang berbeda dan memiliki distribusi anatomis yang khas (Goodman & Gilman. 2001)

Opioid merupakan senyawa alami atau sintetik yang menghasilkan efek seperti morfin. Istilah opioid dicadangkan untuk obat-obatan seperti morfin dan kodein, yang didapat dari sari buah popi opium. Semua obat dalam kategori ini bekerja dengan jalan mengikat reseptor spesifik pada SSP. Untuk menghasilkan efek meniru neurotransmitter peptide endogen, opiopeptin.

Opioid berinteraksi secara stereospesifik dengan reseptor protein pada membrane sel sel tertentu pada ssp, pada ujung saraf perifer dan pada sel-sel saluran cerna. Efek utama opioid diperantarai oleh 4 famili reseptor yang ditunjukkan dengan huruf yunani kuno μ, δ, к dan σ. Pada umumnya kuatnya ikatan berkorelasi dengan analgesia. Sifat-sifat anlgesik diperantarai oleh reseptor μ, tetapi reseptor к pada kornu dorsalis juga menyokong.enkefalin berinteraksi lebih selektif dengan reseptor δ di perifer. Reseptor σ kurang spesifik, reseptor ini juga mengikat obat-obat non opioid seperti halusinogen fensiklidin. Distribusi reseptor opioid densitas tinggi terdapat pada lima daerah umum ssp yang diketahui terlibat dalam mengintegrasi pembentukan nyeri. Jalan ini menurun dari periaquaduktus abu-abu(PAG) menuju kornu dorsalis medulla spinalis. reseptor ini juga dapat diidentifikasikan di perifer (mycek, 2001).

1. Batang otak : reseptor opioid mempengaruhi pernapasan, batuk, mual, muntah, memelihara tekanan darah, diameter pupil, dan mengontrol sekresi lambung.

Page 2: Laporan Farmakologi Kelompok A

2. Thalamus medialis: daerah ini mempengaruhi nyeri yang dalam yang tidak terlokalisasi dan mempengaruhi nyeri.

3. Medula spinalis: reseptor reseptor di dalam substansi gelatinosa terlibat dengan penerimaan dan integrasi hasil pembentukan sensorik mempengaruhi pengurangan rasa nyeri stimulus efern

4. Hipotalamus : reseptor disini mempengaruhi sekresi neuro endokrin5. System limbic: konsentarsi terbesar reseptor terdapat pada amigdala.6. Perifer : opioid menghambat jangkitan eksitasi saraf yang timbulnya bergantung pada ion

Ca ++ . Hal ini dapat menyokong efek antiinflamasi opioid.7. Sel imun : tempat pengikatan opioid juga terdapat dalam sel imun.

A. Sumber

Opium ditemukan dari tanaman opium dengan jalan melakukan sayatan pada kulit biji setelah bunganya di buang. Lateks putih yg merembes keluar yang setelah dibiarkan berubah menjadi coklat dan keras. Getah cokelat inilah yang dinamakan opium. Alkaloid utama dalam opium adalah morfin, terdapat dalam kadar sekitar 10%.

B.Kimia

Struktur kimia opioid termasuk unik karena perubahan molekular yang relatif kecil mengakibatkan perubahan-perubahan yang drastis dari efek senyawa-senyawa ini, dari suatu efek agonis berubah menjadi antagonis atau menjadi senyawa campuran agonis-antagonis (Katzung,2009).

C.Farmakokinetik

1. AbsorpsiKebanyakan analgesik opioid diabsorpsi dengan baik pada pemberian subkutan dan

intramuskular yang sama baiknya dg absorpsi dari permukaan mukosa hidung atau mulut dan saluran cerna. Meskipun absorpsi dari saluran cerna mungkin cepat, ketersediaan hayati dari beberapa senyama yg dilakuakan dengan cara ini mungkin berkurang karena metabolisme first pass yang jelas dg glukuronidasi dlm hati. Oleh karena itu diperlukan dosis oral yang lebih tinggi untuk memperoleh efek terapi dari pada dosis yang diperlukan dengan cara parenteral.

Karena jumlah enzim yang dapat memberikan respon pada reaksi ini sgt bervariasi antar individu, maka dosis oral yg efektif dari suatu senyawa mungkin sulit ditentukan.

2. DistribusiAmbilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah meripakan fgsi faktor fisiologik

dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein plasma dg berbagai tingkat afinitas, senyawa-senyawa ini dg cepat meninggalkan darah dan terlokalisasi dh konsentrasi tertinggi di jaringan 2 yang perfusinya tingi seperti diparu, hati, ginjal, dan limpa. Walaupun konsentrasi obat di otot rangka dapat sangat rendah, jaringan ini merupakan tempat simpanan utama utk obat karena masanya yg lebih besar. Walaupun demikian, akumulasi dalam jaringan lemak juga penting, terutama pada pemakaian dosis tinggi opioid yang sangat lipofilik, yang lambat dimetabolisme seperti fentanil.

Page 3: Laporan Farmakologi Kelompok A

Kadar opioid-opioid di otak biasanya relatif rendah dibanding dengan organ-organ lainnya karena adanya sawar darah otak. Namun demikian sawar darah otak lebih mudah dilewati oleh senyawa-senyawa hidroksil aromatik yg disubstitusi pada atom C3, sperti pada heroin kodein. Tampaknya lebih bnyak kesulitan utk memperoleh kadar dengna senyawa-senyawa amfoter seperti morfin. Sawar ini pada neonatus masih belum sempurna. Penggunaan analgesik opioid utk analgesia obstetri dapat menimbulkan depri pernapasan pada bayi baru lahir.

3. MetabolismeSebagian besar opioid-opioid dikonversi menjadi metabolit-metabolit polar, sehingga

mudah dieksresi oleh ginjal. Senyawa yang mempunyai gugus hidroksil bebas seperti morfin dg mudah dikonjugasi dengan asam glukoronat. Eroin dihidrolisis mnjadi monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin, yang kemudian di konjugasi dengan asam glukoronal.

Metabolit yang dikkonjugasi dg glukoronat ini bersifat polar dan diperkirakan tidak aktif , tetapi penemuan terakhir menunjukkan bahwa morfin-6-glukoronid mempunyai sifat-sifat analgesik yg mungkin lebih besar dari morfin sendiri. Akumulasi metabolit aktif ini dapat dijumpai pada pasien gagal ginjal serta dapat memperpanjang dan memperkuat efek analgesiknya meskipun yang masuk ke SSP terbatas. N-demetilasi oleh hati, tetapi ini hanya sebagian kecil saja. Dalam konsentrasi tinggi metabolit dapat menimbulkan kejang terutama pada anak-anak.

4. EkskresiMetabolit polar opioid diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian kecil opioid

diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Konjugasi glukuronid di ekskresi dalam empedu, tetapi sirkulasi entero hepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses ekskresi

D. Farmakodinamik

1. Mekanisme kerjaMorfin berikatan secara selektif pada banyak tempat tempat di seluruh tubuh untuk

menghasilkan efek farmakologi. Lokus otak yg terlibat dalam transmisi nyeri dan dalam perubahan reaktivitas rangsangan nosiseptif(sangat nyeri) terlihat sbg tempat kerja utama tetapi bukan satu2nya tempat kerja opioid. Pada umumnya tempat yg memperlihatkan afinitas tinggi utk ligan opiopid seperti morfin juga mengandung peptida endogen dalm konstrasi tinggi yg mempunyai sifat seperti opioid. Nama generik yg dipakai utk zat2 ini adalah endorfin(morfin endogen).

Prekursor dari peptida opioid endogen ini terdaapat pada tempat-tempat di otak yang telah diimplikasi dalam modulasi neyeri, dan ternyata bahwa zat-zat ini dapat diaktifkan pada waktu stres seperti yang dihasilkan oleh nyeri atau antisipasi nyeri. Penting dicatat bahwa peptida prekursor didapatkan tidak saja dalam SSP tetapi juga di sebgian besar jaringan lain. Dengan adanya senyawa-senyawa seperti ni memberi kemungkinan utk melakukan percobaan-percobaan yg memperlihatkan opioid endogen dan eksogen analgesia yang diperantarai oleh reseptor opioid pada tempat-tempat kerja di luar SSP. Efek antinosiseptif ini dapat ditemukan karena reseptor-reseptor mu(μ), kapa(κ) dan delta(δ) berlokasi pada saraf aferen primer yang telah diaktifkan.

Page 4: Laporan Farmakologi Kelompok A

a) Tipe-tipe reseptorTelah dapat diidentifikasi beberapa tipe reseptor pada berbagai tempat dalam sistem saraf

dan jaringan lain. Anal gesia pada tingkat supraspinal maupun sifat-sifat euforia, depresi pernapasan, dan ketergantungan fisik dari sifat morfin terutama sebagai hasil kombinasi reseptor mu(μ) dan delta(δ). Reseptor ini juga memperantarai analgesi spinal dari opioid. Dan Reseptor kapa juga memperantarai analgesia tingkat spinal.

Ketiga tipe reseptor ini telah dapat diisolasi dan dibuat klonnya. Reseptor ke 4 yaitu reseptor sigma (σ) masih belum ada kesamaan pendapat, tetapi dapat dikaitkan dengan efek opioid berupa disforik, halusinogenik, dan stimulasi jantung. Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa setiap tipe reseptor mungkin mempunyai subtipe reseptor (μ1, μ2, dan seterusnya). Karena obat opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berlainan sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis dengan setiap tipe reseptor ganda, tidak menyokong bahwa zat-zat ini mempunyai kemampuan utk efek-efek yang berbeda-beda tersebut.

b) Distribusi reseptorIkatan opioid atau penemuan tempat kerja opioid telah diidentifikasi dengan teknik 2

ikatan radio ligan, otoradiografik, dan imunhistokimia. Tempat-tempat ikatan dengan densitas tinggi terdapat dalam kornu dorsalis medula spinalis dan regio-regio subkortikal tertentu dari otak (talamus, periaqueductal gray otak tengah dan rostral ventral medula)

Tempat2 ikatan opioid terdapat pada saraf transmisi nyeri medula spinalis dan pada aferen2 primer yg merelai nyeri yg disampaikan pada tempat ini. Opoioid dan opiopeptin telah diperlihatkan dapat menghambat pemebebasan transmitter eksitatori dari aferen primer ini. Beberapa tempat pengikatan opioid otak yang berhubungan dengan modulasi neyri melalui jalur turun termasuk nukleus rafe magnus dalam rostral ventral medullan dan lokus sereleus batang otak, area periaqueductal gray otak dan beberapa nukleus hipothalamus dan thalamus (Katzung, 2009).

2.2. MorfinKimia morfin dan opioid terkait

Struktur morfin dapat dilihat pada gambar diatas, banyak turunan semisintetik dibuat dengan modifikasi morfin atau tebain.kodein adalah metilmorfin, substitusi metil pada gugus hidroksilfenol. Tebain berbeda dengan mordin hanya dalam hal kedua gugus hidroksilnya

Page 5: Laporan Farmakologi Kelompok A

termetilasi dan pada cincinnya terdapat dua ikatan rangkap. Diasetilmorfin atau heroin, dibuat dari morfin asetilasi pada posisi 3 dan 6. Apomorfin yang juga dibuat dari morfin, merupakan suatu agonis dopaminergik dan emetik yang kuat. Hidromorfon, oksimorfon, hifrokodon dan oksikodon juga dibuat melalui meodifikasi molekul morfin.

A. AbsorpsiSecara umum opioid mudah diabsorpsi pada saluran cerna, absorpsi melalui mukosa

rektum memadai, dan beberapa obat (seperti morfin, hidromorfon) tersedia dalam bentuk supositoria. Opioid yang lebih lipofilik juga mudah di absorpsi melalui mukosa nasal atau bukal. Opioid mudah diabsorpsi setelah penyuntikan intamuskular atau subkutan dan dapat berpenetrasi cukup baik ke korda spinalis setelah pemberian epidural atau intratekal. Morfin dalam jumlah kecil yang diberkan secara epidural atau intratekal ke saluran spinal dapat memberikan analgesia yang kuat yang dapat betrahan 1 sampai 24 jam. Akan tetapi, karena sifat hidrofilik morfin, ada penyebaran rostral obat pada cairan spinal, dan efek samping, terutama depresi pernapasan. Jika morfin diberikan secara intravena, maka kerjanya cepat. Akan tetapi senyawa yang lebih larut dalam lemak bekerja lebih cepat dari morfin setelah pemberian subkutan karena perbedaan laju absorpsi dan masuknya ke SSP.

B. Distribusi dan nasib Bila morfin dalam kondisi terapeutik terdapat dalam plasma, sekitar sepertiganya terikat

protein. Morfin sendiri tidak menetap dalam jaringan, dan 24 jam setelah dosis terakhir konsentrasi dalam jaringan rendah.

Jalur metabolisme morfin utama adalah konjugasi dengan asam glukoronat. Dua metabolit utama yang terbentuk adalah morfin-6-glukuronid dan morfin-3-glukuronid. Sejumlah kecil morfin-3,6-diglukuronid juga dapat terbentuk. Walau 3- dan 6- glukuronid sangat polar, keduanya dapat melintasi sawar darah otak untuk memberikan efek klinis yang bermakna. Dengan pemberian dosis oral kronis, kadar morfin-6-glukuronid dalam darah biasanya melampaui kadar morfin. Pada dewasa muda, waktu paruh morfin sekitar 2 jam, waktu paruh morfin-6-glukuronid agak lebih lama

C. EkresiSangat sedikit morfin yang diekresikan dalam bentuk tidak berubah. Obat tersebut

dieliminasi melalui filtrasi glomerulus, terutama sebagai morfin-3-glukuronid; 90% ekresi total terjadi pada hari pertama. Terjadi sirkulasi enterohepatik morfin dan glukuronidanya, yang menyebabkan adanya sejumlah kecil morfin dalam feses dan dalam urin selama beberapa hari (Goodman & Gilman. 2001).

D. Indikasi

- terhadap nyeriMorfin sering digunakan untuk nyeri yang menyertai : 1) infark miokard; 2) neoplasma; 3) kolik renal atau kolik empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner; 5) perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks spontan; dan 6) nyeri akibat trauma misalnya luka bakar.

- terhadap batukpada batuk tidak produktif dan hanya iritatif, tetapi dewasa ini sudah ditinggalkan pemakainannya.

Page 6: Laporan Farmakologi Kelompok A

- edema paru akutMorfin IV dapat dengan jelas mengurangi/ menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.

- efek antidiareberdasarkan efek langsung ke otot polos usus.

E. Efek samping

- idiosinkrasi dan alergimorfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama wanita berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk diosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang-jarang delirium; lebih jarang lagi konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejalanseperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus, dan bersin.

- intoksikasi akutBiasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau takar lajak. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekunsi napas lambat 2-4 kali/menit, dan pernapasan mungkin berupa Cheyne Stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah mula-mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin point pupils),kemudian midriasis jika telah teradi anoksia. Pembentukan urin sangat berkurang karena terjadi penglepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas.

F. Toleransi , Adiksi, dan Abuse

Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenma berikut: (1) habituasi, yaitu perubahan psikik emosional sehingga pasien ketagihan akan morfin; (2) ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan biokimia tubuh tidak berfungsi lagi tanpa morfin; dan (3) adanya toleransi.

Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul efek eksitasi, miosis, dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara morfin, dihidromorfin, metopon, kodein, dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu. Kemungkinan timbulnya toleransi lebih besar bla digunakan dosis besar secara teratur.

Jika pecandu menghentikan pengggunaan morfin secara tiba-tiba timbullah gejala putus obat atau gejala absstinensi. Menjelang saaat dibutuhkannya morfin, pecandu tersebut merasa sakit, gelisah, irritable; kemudian tertidur nyenyak. Sewaktu bangun ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase ini timbul gejala tremor, iritabilitas, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin, mual, midriasis, demam, da napas cepat. Gejala ini makin hebat disertai timbulnya muntah, kolik, dan diare. Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Pasien merasa panas dingin disertai hiperhidrosis. Akibatnya timbul dehidrasi, ketosis, asidosis, dan berat bada pasien menurun. Kadang-kadang timbul kolaps kardiovaskular yang bias berakhir dengan kematian.

G. Interaksi Obat

Page 7: Laporan Farmakologi Kelompok A

Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh fenotiazin, penghambat monoamine oksidase dan antidepresi trisiklik. Beberapa fenotiazin mengurangi jumlah opioid yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi napas akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin tertentu, dan selain itu ada efek hipotensi fenotiazin.

Beberapa derivate fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat yang sama bersifat antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.

H. Sediaan dan Posologi

Sediaan yang mengandung campuran alkaloid dalam bentuk kasar beraneka ragam dan masih dipakai. Misalnya pulvus opii mengandung 10% morfin dan kurang 0,5% kodein.

Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk pemberian oral maupun parenteral. Yang biasa digunakan adalah garam HCl, garam sulfat, atau fosfat alkaloid morfin, dengan kadar 10 mg/mL. Pemberian 10mg/70kgBB morfin subkutan dapat menimbulkan analgesia pada pasien dengan nyeri yang bersifat sedang hingga berat, misalnya nyeri pascabedah. Efektivitas morfin per oral hanya 1/6-1/5 kali efektivitas morfin subkutan.

I. Efek-efek System Organ dari Morfin

1. AnalgesiaMorfin menyebabkan analgesia (menghilang nyeri tanpa hilangnya kesadaran).

Opioid menghilangkan nyeri dengan meningkatkan ambang rasa nyeri pada tingkat medula spinalis, dan lebih penting lagi, mengubah persepsi otak terhadap nyeri.penderita yang diobati dengan morfin tetap waspada terhadap adanya rasa nyeri, tetapi sensasinya menyenangkan. Efek analgesik maksimum dan potensi ketagihan dari obat-obat agonis.

2. EuforiaMorfin menghasilkan rasa puas dan rasa sehat yang kuat. Euforia mungkin

disebabkan oleh stimulasi tegmentum ventral.3. Pernafasan

Morfin menyebabkan defresi pernafasan dengan pengurangan sensitivitas neuron pusat pernafasan terhadap karbondioksida. Ini terjadi dengan dosis biasa morfin dan diperkuat dengan jiak dosis ditingkatkan sampai akhirnya pernapasan berhenti. Depresi pernafasan merupakan penyebab kematian yang paling sering pada keadaan takar lajak opiod.

4. Penekanan refleks batukMorfin dan kodein mempunyai efek antitusif. Umumnya, penekanan batuk tidak

berhubungan erat analgesik dan defresi pernafasan obat-obat opiod. Reseptor yang terlibat dalam kerja antitusif yang tampaknya berbeda dan yang terlibat pada analgesia.

5. Miosis“Pinpoint” ciri khas penggunaan morfin adalah akibat dari rangsangan reseptor µ

dan resptor k. Morfin mengeksitasi nukleus Edinger-Westphal nervus okulomotorius

Page 8: Laporan Farmakologi Kelompok A

yang menyebabkan peningkatan stimulasi paarasimpatetik pada mata. Ada sedikit toleransi terhadap efek ini, dan semuanya menambah timbulnya”pinpoint” pupil.ini penting untuk menegakkan diagnosis karena kebanyakan penyebab koma dan depresi pernafasan mengahasilkan dilatasi pupil.

6. EmesisMorfin merangsang secara langsung zona pencetus kemoreseptor pada daerah

postrema yang menimbulkan muntah.Walaupun begitu ,emesis tidak menimbulkan sensasi yang tidak menyenangkan.

7. Saluran cerna Morfin menghilangkan diare dan disentri. Morfin menurunkan motilitas otot dan

meningkatkan tonus. Juga meningkatkan tekanan pada sakuran bilier. Morfin juga meningkatkan tonus spingter anus. Morfin juga menyebabkan konstipasi, dengan sedikit perkembangan toleransi.

8. KardiovaskulerMorfin tidak mempunyai efek utama terhadap tekanan darah ataupun denyut

jantung kecuali pada dosis besar dapat terjadi hipotensi dan bradikardi. Karena defresi pernafasan dan retensi karbondioksida, pembuluh darah serebral berdilatasi dan meningkatkan tekanan cairan CSF. Karena itu morfin merupakan kontraindikasi pada individu dengan jejas otak berat.

9. Pelepasan histaminMorfin melepaskan histamin dari sel mast, menyebabkan urtikaria, berkeringat

dan vasodilatasi.karena dapat menyebabkan penderita asma sebaiknya jangan diberikan obat ini.

10. Kerja hormonalMorfin menghambat pelepasan hormon pelepasan gonadotropin dan hormon

pelepasan kortikotropin dan menurunkan konsentrasi hormon luteinisasi, hormon yang menstimulasi folikel, hormon yang adrenokortikotropik dan B-endorfin.kadar testosteron dan kortisol menurun. Morfin meningkatkan pelepasan prolaktin dan hormon pertumbuhan dengan mengurangi penghambatan dopaminergik.morfin juga meningkatkan retensi urin.

11. Kulit

Dalam dosis terapi morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit sehingga kulit tampak merah terutama panas di muka, leher, dan dada bagian atas. Proritus kadang-kadang dapat terjadi mungkin akibat penglepasan histamine atau pengaruh langsung morfinpada saraf.

12. Metabolisme

Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, fasodilatasiferifer dan penghambatan mekanismen neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Setelah pemberian morfin folume urin berkurang disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus.

2.3. NALOKSON

Page 9: Laporan Farmakologi Kelompok A

NALOKSON juga digunakan untuk membalikkan gejala koma dan depresi pernapasan akibat kelebihan dosis opioid. Obat ini cepat menempati semua reseptor yang terikat dengan molekul opioid dank arena itu mampu membalikkan efek kelebihan dosis heroin. Dalam waktu 30 detik setelah pemberian suntikan intravena nalokson, depresi pernapasan dan koma yang merupakan cirri khas dosis tinggi heroin dibalikkan yang menyebabkan penderita kembali hidup dan waspada. Nalokson mempunyai waktu paruh 60 – 100 menit dan merupakan antagonis kompetitif pada reseptor m, k, d, dengan afinitas reseptor m 10 kali lipat lebih tinggi daripada reseptor k. Hal ini menerangkan mengapa nalokson mudah membalikkan depresi pernapasan dengan hanya pembalikkan minimal analgesia sebagai akibat dari rangsangan agonis reseptor k pada medulla spinalis. Nalokson tidak menimbulkan efek farmakologi pada individu normal, tetapi menyebakan gejala putus obat penderita penyalahgunaan morfin atau heroin.

A. Farmakodinamik

- Efek tanpa pengaruh opioidPada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa nalokson (1) menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi; (2) mengantagonis efek analgetik placebo; (3) mengantaonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum akupuntur.

- Efek dengan pengaruh opioidSemua efek agonis opioid pada reseptor µ diantagonis oleh nalokson dosis kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian nalokson pada pasien dengan depresi napas akibat agonis opioid; efek sedative dan efek terhadap tekanan darah juga segera dihilangkan. Antagonisme nalokson berlangsung selama 1-4 jam, tergantung dosisnya.Antagonisme nalokson terhadap efek antagonis opioid sering disertai dengan terjadinya fenomena overshoot misalnya berupa peningkatan frekuensi napas melebihi sebelum dihambat oleh opioid. Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya (unmasking) ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.

B. Farmakokinetik

Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap tetapi hampir seluruhnya mengalami metabolism lintas pertama. Obat ini dimetabolisme di hati, terutama dengan glukoronidasi. Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja 1-4 jam.

C. Toleransi dan ketergantungan fisik

Kecil kemungkinan disalahgunakan karena (1) tidak menyebabkan ketergantungan fisik; (2) tidak menyokong ketergantungan fisik morfin; dan (3) dari segi subyektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi para pecandu.

D. Indikasi

Mengatasi depresi napas akibat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu

Page 10: Laporan Farmakologi Kelompok A

opioid. Nalokson juga dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid.

E. Sediaan dan Posologi

Pada intoksikasi opioid diberikan 2 mg nalokson dalam bolus IV yang mungkin perlu diulang. Karena waktu paruh yang singkat, dosis ini diulang setiap 20-60 menit, terutama pada keracunan opioid kerja lama misalnya metadon.

III. Alat dan Bahan

Hewan coba : kelinci

3.1. Alat :

- Semprit tuberkulin 1 mL

- Penggaris

- Stetoskop

- Stopwatch/arloji

3.2. Bahan :

- Larutan morfin sulfat 4%

- Nalokson

IV. Cara Kerja :

1. Timbang hewan coba dan catat beratnya2. Hitung dosis morfin yang diberikan pada hewan coba berdasarkan beratnya3. Lakukan observasi dan catatlah sebelum disuntikkan morfin yang mencakup :

a. Frekuensi dan dalamnya napas dengan cara menghitung frekuensi napas selama 15 detik kemudian hasilnya dikalikan 4

b. Frekuensi denyut jantung dengan cara menghitung denyut jantung selama 15 detik kemudian hasilnya dikalikan 4

c. Reaksi atas tonus pada rangsangan nyeri dengan cara mencubit beberapa bagian tubuh hewan coba kemudian lihat dan catat reaksinya

d. Refleks dan tonus otot dengan cara menarik kaki hewan coba kemudian lihat apakah hewan coba dapat menarik kakinya kembali atau tidak

e. Sikap hewan cobaf. Kelakuan umum hewan coba (tenang, gelisah, dsb)g. Diameter pupil

4. Injeksikan secara subkutan 0,5 mL/kg BB larutan morfin sulfat 4% pada hewan coba pada bagian permukaan atas leher

Page 11: Laporan Farmakologi Kelompok A

5. Ulangi semua observasi dan lakukan pencatatan di atas setiap 5 menit. Jika sesudah 45 menit efek depresi tidak tampak, suntikan lagi morfin sebanyak setengah dosis semula

6. Perhatikan bahwa reaksi terhadap stimuli tertentu, yang sebelumnya menyebabkan nyeri, sesudah pemberian morfin menjadi tidak ada atau sangat rendah. Reaksi atas perubahan-perubahan mendadak dari kekuatan rangsang tidak berubah.

7. Bila frekuensi napas sudah berkurang menjadi 30 kali per menit atau terjadi depresi respirasi yang sangat hebat, suntiklah hewan coba dengan nalokson 0,01 mg/kg BB intravena pada telinganya

8. Ulangi observasi-observasi di atas setiap 5 menit dan catat

V. Hasil Pengamatan

a. Sebelum dan sesudah perlakuan dengan morfin

Observasi Sebelum perlakuan Setelah perlakuan (morfin)

5 menit1 5 menit2 5 menit3

Frekuensi napas 40x/menit 32x/menit 24x/menit 20x/menit

Frekuansi denyut jantung

120x/menit 136x/menit 128x/menit 116x/menit

Reaksi terhadap nyeri

Berusaha melepaskan diri

Tidak ada reaksi Tidak ada reaksi Tidak ada reaksi

Refleks Ada refleks (baik) Masih berusaha menarik kaki

Baik (ada refleks)

Refleks buruk

Tonus otot Baik (ada perlawanan)

Baik (ada perlawanan)

Menurun Menurun

Sikap Telinga berdiri, gerak aktif

Melipat keempat anggota gerak

Susah berdiri Tidak bisa berdiri

Kelakuan umum Gelisah Tenang Tenang Tenang

Diameter pupil 7 mm 5 mm 5 mm 5 mm

b. Sesudah perlauan dengan naloxon

Observasi Setelah pemberian Naloxon (0,3 ml)

5 menit 1 5 menit2 5 menit3 5 menit4

Page 12: Laporan Farmakologi Kelompok A

Frekuensi napas 44x/menit 40x/menit 40x/menit 44x/menit

Frekuansi denyut jantung

140x/menit 176x/menit 180x/menit 160x/menit

Reaksi terhadap nyeri

Tidak ada reaksi Tidak ada reaksi Tidak ada reaksi Tidak ada reaksi

Refleks negatif Negatif negatif baik

Tonus otot lemah Lemah lemah Baik

Sikap Tidak bergerak Tidak bergerak Tidak bergerak Bergerak-gerak

Kelakuan umum mengantuk Tertidur tertidur terbangun

Diameter pupil 3 mm 4 mm 5mm 6 mm

VI. Pembahasan

Praktikum ini bertujuan untuk memahami efek morfin pada manusia berdasarkan pengamatan terhadap hewan. kami memakai kelinci sebagai hewan uji dalam praktikum ini karena efek morfin pada kelinci menyerupai efek morfin pada manusia.

Ada beberapa aspek yang kami amati dalam praktikum ini:

Frekuensi dan dalamnya napas Frekuensi denyut jantung Reaksi atas tonus pada rangsangan nyeri Refleks dan tonus otot Sikap hewan coba Kelakuan umum hewan coba (tenang, gelisah, dsb) Diameter pupil

Yang pertama kali harus dilakukan yaitu mengobservasi ketujuh aspek di atas sebelum pemberian morfin. Kemudian kami melakukan praktikum dengan menyuntikkan morfin secara subkutan kepada kelinci. Kami menyuntikkan sebanyak 0,5 mL/kg BB larutan morfin sulfat 4%. Sebelumnya kelinci yang kami pakai kami timbang dan didapat berat badan kelinci tersebut seberat 322,60 gram.

Page 13: Laporan Farmakologi Kelompok A

Setelah itu, kami mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada kelinci setiap 5 menit. Ketika mulai timbul tanda-tanda depresi pernapasan pada kelinci, kami menyuntikkan nalokson secara intravena melalui vena di telinga kelinci untuk melawan efek depresi dari morfin. Syukurnya dalam praktikum kami tidak ada kelinci yang berakhir dengan kematian.

A. Pengaruh morfin terhadap respirasi

Morfin memiliki efek depresi terhadap sistem respirasi. Ketika morfin menduduki reseptor µ pada pusat kontrol respirasi di medula oblongata akan terjadi penurunan eksitasi neuron yang mengatur irama pernapasan. Akan terjadi penurunan frekuensi dan kedalaman pernapasan. Selain itu refleks hiperventilasi akibat peningkatan CO2 juga menurun. Kematian akibat keracunan morfin hampir selalu akibat depresi pernapasan.

Pada hewan coba, tampak terjadi penurunan frekuensi pernapasan sesaat setelah penyuntikan morfin, dari 40 kali/menit menjadi 32 kali/menit, 24 kali/menit, akhirnya 20 kali/ menit. Hanya dalam 15 menit kelinci yang kami suntik mulai mengalami depresi pernapasan. Kemudian kami menyuntikkan nalokson untuk melawan efek morfin. Frekuensi pernapasan naik menjadi berkisar antara 40-44 kali/menit.

B. Pengaruh morfin terhadap denyut jantung

Morfin tidak memiliki efek langsung yang signifikan terhadap sistem kardiovaskuler, selain bradikardia tidak ada efek lain terhadap ritme jantung. Morfin mengakibatkan depresi sitem kontrol vasomotor sentral dan pelepasan histamin di perifer yang kemudian mengakibatkan vasodilatasi arteri dan vena perifer. Efek yang dirasakan sebagai akibat vasodilatasi perifer adalah hipotensi ortostatik.

Sebelum penyuntikan morfin denyut jantung kelinci adalah 120 kali/menit. Setelah kelinci kami suntik dengan morfin kami mendapatkan penurunan denyut jantung dari 136 kali/menit menjadi 128 kali/menit dan akhirnya 116 kali/menit. Tampak mulai terjadi bradikardia, akan tetapi efek ini tidak terlalu signifikan. Kemudian setelah kami menyuntikkan nalokson, terjadi peningkatan denyut jantung menjadi 140 kali/menit lalu 176 kali/ menit, 180 kali/menit dan akhirnya 160 kali/menit. Terjadi efek rebound akibat penyuntikan nalokson sehingga denyut nadi meningkat lebih daripada denyut nadi awal.

C. Pengaruh morfin terhadap reaksi atas tonus pada rangsangan nyeri

Morfin menimbulkan efek analgesia dengan cara menduduki reseptor µ pada regio otak dan medula spinalis yang terlibat dalam transmisi dan modulasi rasa nyeri. Beberapa efek dimediasi oleh reseptor opioid pada ujung saraf perifer. Reseptor opioid merupakan reseptor G protein-coupled . Reseptor morfin terdapat banyak pada radiks dorsalis medula spinalis. Di sistem saraf pusat reseptor morfin yang menimbulkan efek

Page 14: Laporan Farmakologi Kelompok A

analgesia terdapat pada area abu-abu periaquaduktus, daerah rostral ventral medula oblongata dan pada locus caeruleus.

Ketika morfin menduduki reseptornya ada 2 hal yang terjadi: (1) dengan menduduki reseptor presinap, terjadi penutupan kanal Ca2+ pada ujung presinap dan menurunkan pelepasan neurotransmitter glutamat dan neuropeptida; (2)dengan menduduki reseptor postsinap, terjadi pembukaan kanal K+ pada ujung postsinap, terjadi pengeluaran ion K+ sehingga terjadi hiperpolarisasi pada neuron. Kedua hal tersebut menghambat transmisi impuls rasa nyeri.

Morfin memiliki keunikan dalam mengatasi rasa sakit, dimana morfin tidak hanya menurunkan komponen sensori rasa nyeri tetapi juga aspek emosional (afektif) dari rasa nyeri. Morfin tidak hanya meningkatkan ambang rasa nyeri, tetapi juga meningkatkan kemampuan seseorang untuk menerima rasa nyeri secara emosional. Efek analgesia morfin akan berlangsung selama 4-5 jam pada manusia.

Pada kelinci yang kami amati, sebelum diberi morfin tampak kelinci bereaksi terhadap stimulus nyeri dengan berusaha melepaskan diri dari pegangan kami saat dicubit. Setelah kami suntik dengan morfin, kelinci tidak memberikan respon terhadap cubitan yang kami lakukan. Setelah kami suntik dengan nalokson pun kelinci tetap tidak bereaksi terhadap cubitan yang kami lakukan. Hal ini terjadi karena efek analgesia dari morfin masih berlangsung.

Penurunan refleks nyeri ini terjadi akibat hilangnya sensasi nyeri (analgesi) yang dirasakan oleh kelinci akibat kerja morfin pada reseptor µ1 pada tingkat supraspinal dan pada reseptor к dan δ pada tingkat spinal. Efek analgetik morfin timbul berdasarkan 3 mekanime, yaitu: (1) meninggikan ambang rangsang nyeri. (2) mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yg timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks dari talamus. (3) memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.

D. Pengaruh morfin terhadap refleks dan tonus otot

Sebelum disuntik morfin, refleks kelinci masih sangat baik. Hal ini tampak dengan kelinci segera menekuk kaki yang kita tarik untuk diekstensikan. Tonus otot juga sangat baik pada palpasi. Setelah disuntik morfin, tampak refleks fleksi otot kaki kelinci dan tonus ototnya melemah secara progresif. Akhirnya tidak ada refleks yang terjadi ketika kaki kelinci kita ekstensikan. Tonus otot menjadi lemah, otot terasa lembek saat kita palpasi. Morfin menyebabkan refleks dan tonus otot kelinci menurun.

E. Pengaruh morfin terhadap sikap hewan coba

Page 15: Laporan Farmakologi Kelompok A

Sebelum disuntik morfin, tampak kelinci aktif bergerak dengan telinganya tegak. Sesaat setelah disuntik morfin, kelinci melipat keempat ekstremitasnya dan telinganya. Beberapa saat kemudian kelinci tampak tidak berdaya dan keempat ekstremitasnya diekstensikan. Kemudian kelinci kami suntik dengan nalokson, kami menunggu beberapa saat dan akhirnya kelinci tersebut sadar kembali dan mulai bergerak-gerak lagi.

F. Pengaruh morfin terhadap kelakuan umum hewan coba

Morfin menyebabkan sedasi pada sistem saraf pusat sehingga membuat kelinci menjadi tenang, lebih lanjutnya menjadi tertidur. Awalnya kelinci yang akan kami suntik tampak gelisah, sesaat setelah disuntik menjadi tenang kemudian tertidur. Beberapa saat setelah kami suntik dengan nalokson baru kelinci tersebut terbangun kembali. Turunnya kesadaran merupakan salah satu trias keracunan akut morfin.

G. Pengaruh morfin terhadap diameter pupil

Morfin akan mengakibatkan eksitasi pada neuron cabang parasimpatik nervus III (okulomotorius) sehingga terjadi miosis pada pupil. Pada praktikum kami mendapatkan pengecilan diameter pupil dari awalnya 7 mm menjadi 3 mm. Setelah dilakukan pemberian nalokson pupil berangsur-angsur membesar sampai 6 mm. Miosis pupil merupakan efek morfin yang tidak mengalami toleransi sehingga pada orang-orang yang sering memakai morfin reaksi ini tetap muncul. Miosis pupil merupakan salah satu trias keracunan akut morfin.

VII. KESIMPULAN

Dalam praktikum kami mendapatkan bahwa morfin menurunkan frekuensi dan kedalaman nafas. Tidak terdapat efek yang berarti pada frekuensi denyut jantung, sedikit bradikardia. Reaksi atas tonus pada rangsangan nyeri menghilang. Refleks dan tonus otot menurun. Kelinci tampak tak berdaya dan timbul ekstensi pada keempat ekstremitas. Kelinci kemudian tak sadarkan diri dan pupilnya mengecil.

VIII. SARAN

Penyuntikan morfin harus dilakukan hati-hati, jangan sampai jarum suntik menusuk orang yang menyuntik atau orang sekitarnya. Gejala depresi pernapasan pada kelinci harus cepat dideteksi agar segera diberi nalokson. Jika terlambat, dapat terjadi kematian pada kelinci.

Page 16: Laporan Farmakologi Kelompok A

DAFTAR PUSTAKA

Brunton, L.L., et al. 2007. Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Ed. New York: McGraw-Hill

Katzung, B.G., Masters, S.B., Trevor, A.J. 2009. Basic & Clinical Pharmacology, 11th Ed. New York: McGraw-Hill

Mycek, M.J., et al. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta: Widya Medika

Rang, H.P., et al. 2007. Rang’s and Dale’s Pharmacology. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Inc

Tjay, T.H., Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi 6. Jakarta : Elex Media Komputindo

Page 17: Laporan Farmakologi Kelompok A

Jawaban soal farmakologi :

1. Idiosinkrasi adalah suatu efek obat yang terjadi pada individu tertentu tetapi berbeda dengan efek yang terjadi pada umumnya, yang disebabkan oleh kelainan genetic, yang terjadi pada manusia sedangkan species difference merupakan perbedaan efek obat yang terjadi yang disebabkan oleh perbedaan jenis/ spesies dan terjadi pada hewan.

2. Gejala trias pada keracunan morfin berupa penurunan kesadaran, depresi pernapasan dan miosis pupil (pinpoint), yang dapat terjadi pada pemberian dosis morfin secara berlebihan.

3. Morfin hanya diindikasikan pada nyeri hebat misalnya pada kolik ginjal, kanker dan pasca bedah karena morfin merupakan suatu analgesic yang memiliki efek toleransi dan ketergantungan, sehingga morfin hanya diberikan sebagai analgesic apabila analgesic lain tidak mampu mengatasi nyeri hebat tersebut.

4. Antagonis murni morfin merupakan turunan morfin dengan gugus pengganti pada posisi N, yang memiliki afinitas yang relative tinggi untuk berikatan dengan reseptor tipe mu sedangkan antagonis parsial morfin adalah memiliki afinitas yang relative lebih rendah untuk berikatan dengan reseptor.

5. Morfin endogen adalah suatu peptide endogen yang dihasilkan oleh tubuh yang mempunyai sifat yang sama seperti morfin. Contohnya beta endorphin yang berfungsi untuk memodulasi nyeri yaitu dengan meningkatkan ambang nyeri.

6. Ada 4 reseptor opioid yaitu reseptor mu, delta, kappa dan sigma. Kombinasi dari Reseptor mu dan delta menghasilkan analgesia pada tingkat supraspinal dan tingkat spinal dan juga bertanggungjawab terhadap sifat-sifat euphoria, depresi pernapasan dan ketergantungan fisik dari sifat morfin, reseptor kappa memperantai analgesia tingkat spinal, sedangkan untuk reseptor sigma masih diperdebatkan fungsinya, tetapi dapat dikaitkan dengan efek-efek opioid berupa disforik, halusinogenik dan stimulasi jantung.