laporan epilepsi

29
I. Tujuan Menghentikan semua aktivitas kejang Mencegah terjadinya efek samping klinis yang signifikan dari terapi Mengurangi aktivitas kejang berulang II. Landasan Teori EPILEPSI a. DEFINISI Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel selotak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung danoccasional provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia (Prasad et al, 1999)

Upload: rina-sofianingrum

Post on 13-Dec-2015

65 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: laporan epilepsi

I. Tujuan

Menghentikan semua aktivitas kejang

Mencegah terjadinya efek samping klinis yang signifikan dari terapi

Mengurangi aktivitas kejang berulang

II. Landasan Teori

EPILEPSI

a. DEFINISI

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh

terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan

(unprovoked) dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi

otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok

besar sel selotak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa

gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh

digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang

terjadi selama penyakit akut berlangsung danoccasional provokes seizures

misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia (Prasad et al, 1999)

Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya

bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten

yang terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara

paroksismal akibat berbagai etiologi. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi

klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal,

berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan

kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak

yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sindrom

epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi

bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor

pencetus, kronisitas (Pallgreno, 1996)

Page 2: laporan epilepsi

b. PATOFISIOLOGI

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih

dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam

eksitasiaferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-

gated ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat

penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.

Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan

intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran

neuron (Prasad et al, 1999)

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada

korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya

epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam

merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps

dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),

yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan

dan menyebarkan aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-

sel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus,

yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas

kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang

kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut

respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor

rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi. Serangan

epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

Page 3: laporan epilepsi

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan

potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang.

Cetusan listrik abnormal ini kemudian membawa neuron-neuron yang

terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila

cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-

sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak (Selzer &Dichter,

1992).

Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi

yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak

yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi

tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi (Prasad et al, 1999)

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu

(Meliala, 1999) :

1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF) yang membedakan seseorang

peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap

orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan

dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini

dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas

timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi

merupakan kerja sama SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan

epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai

ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana

SED tidak ada.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang

adalah : Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion

kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion

kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel

Page 4: laporan epilepsi

(intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi.

Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion

natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya

dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang

berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga

terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada

sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori

sinkronisasi ini dapat terjadi (Widiastuti, 2001)

1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin)

kuran optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan

Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebiha

juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila

konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak

manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah.

Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs =

inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu

hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau

kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter

inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak

sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa

perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak

lengkap yang akan menambah rangsangan (Budiarto, 1999).

Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan

keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan

heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin.

Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau

meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada

Page 5: laporan epilepsi

rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada

abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan

kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan

kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang

lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu

didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak

mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di

lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal

epilepsi dapatan (Joesoef, 1997).

c. DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis

dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara

kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis)

sudah dapat ditegakkan

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena

pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami

penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama

dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan

informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis

juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan

kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi

vaskuler dan obat-obatan tertentu Anamnesi (auto dan aloanamnesis),

meliputi:

a. Pola / bentuk serangan

b. Lama serangan

c. Gejala sebelum, selama dan paska serangan

d. Frekwensi serangan

Page 6: laporan epilepsi

e. Faktor pencetus

f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

g. Usia saat serangan terjadinya pertama

h. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

i. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan

epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan

kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik

harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan

umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa

harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,

organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan

awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan

merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan

untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada

EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,

sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.

Rekama EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di

kedua hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat

dibanding seharusnya misal gelombang delta.

Page 7: laporan epilepsi

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak

normal,misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku

majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.

Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas,

misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,

epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus

per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG

gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul

secara serentak (sinkron).

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang

sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis

dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan

hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan

untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang

mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum

diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi

refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini

sangat diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan

untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila

dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara

anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk

membandingkan hipokampus kanan dan kiri (Foldvary & Wyllie.,

1999).

d. KLASIFIKASI EPILEPSI

Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi :

Page 8: laporan epilepsi

Kejang umum(generalized seizure) jika aktivasi terjadi pd kedua

hemisfere otak secara bersama-sama. Kejang umum terbagi atas:

1. Tonic-clonic convulsion = grand mal

Merupakan bentuk paling banyak terjadi pasien tiba-tiba jatuh,

kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur bisa terjadi sianosis,

ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa menit, kemudian

diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala.

2. Abscense attacks = petit mal

Jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau

awal remaja penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip,

dengan kepala terkulai kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan

sering tidak disadari.

3. Myoclonic seizure

Biasanya tjd pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami

sentakan yang tiba-tiba jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa

terjadi pada pasien normal.

4. Atonic seizure

Jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa

segera recovered.

Kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak. Kejang

parsial terbagi menjadi :

1. Simple partial seizures

Pasien tidak kehilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada

bagian tertentu daritubuh

2. Complex partial seizures

Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan

mengunyah, meringis, dll tanpa kesadaran (Ali, 2001).

e. PENATALAKSANAAN

Page 9: laporan epilepsi

Non farmakologi

1) Amati faktor pemicu

2) Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya: stress, OR, konsumsi

kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.

Farmakologi

Menggunakan obat-obat antiepilepsi yaitu :

1) Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+: Inaktivasi kanal

Na, menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan muatan listrik.

Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat.

2) Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik: Agonis

reseptor GABA, meningkatkan transmisi inhibitori dg mengaktifkan kerja

reseptor GABA, contoh: benzodiazepin, barbiturat. Menghambat GABA

transaminase, konsentrasi GABA meningkat, contoh: Vigabatrin.

Menghambat GABA transporter, memperlama aksi GABA, contoh:

Tiagabin. Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal

pasien mungkin dg menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikular

pool contoh: Gabapentin (Anonim, 2007)

III. Uraian Kasus

Seorang siswa SD (6 tahun ) menderita TBC dan epilepsi general tonoc-clonic,

tiba2 menjadi tidak responsif sewaktu dipanggil dan kejang, matanya berputar

keatas dan melotot, ibunya khawatir, dan mencoba menepuk-nepuk pipi dan

menggoyangkan bahu anak tersebut agar sadar, tapi bukannya sadar, wajah anak

tersebut semakin membiru (hipoksia) kemudian si ibu memanggi ambulan,

ambulan tiba 10 menit kemudian, dan anak tersebut masih kejang. Di dalam

ambulan , anak tersebt ditolong dengan oksigen dan I.V lorazepam 0,1 mg/kg,

akan tetapi anak tersebut masih kejang sampai di rumah sakit.

Page 10: laporan epilepsi

IV. Analisis SOAP

(S) Subjective

Identitas pasien : siswa SD (6 tahun )

Keluhan pasien : tiba2 menjadi tidak responsif sewaktu

dipanggil dan kejang, matanya berputar keatas dan melotot

Riwayat penyakit keluarga : -

Riwayat penyakit penderita : TBC dan epilepsi general tonoc-clonic

Riwayat pengobatan : -

Kebiasaan/perilaku hidup : -

(O) Objective

Data vital sign: -

Data laboratorium: -

(A) Assesment

Problem medik : Status Epilepticus

Terapi yg diperoleh : oksigen dan I.V lorazepam 0,1 mg/kg

DRP

DRPs yang ditemukan dalam kasus ini antara lain:

1. Over dose : -

2. Under Dose : -

3. Pemilihan obat tidak tepat : -

4. Adverse Drug Reaction :

Page 11: laporan epilepsi

5. Interaksi obat :

6. obat tanpa indikasi : -

7. indikasi tanpa obat : -

8. kepatuhan (compliance) pasien : tidak diketahui

( P ) Plan

Penetapan tujuan terapi :

Page 12: laporan epilepsi

Solusi dari problem DRPs:

lorazepam di ganti phenitoin sebagai anticonvulsant (algoritma)

Pemilihan terapi farmakologi berdasarkan farmakoterapi rasional meliputi :

4T1W

1. Tepat Indikasi

Lorazepam

phenytoin

Page 13: laporan epilepsi

infus dextrose

Rehidrasi, penambah kalori secara parenteral, basic soln.

2. Tepat Dosis

lorazepam

phenytoin

Page 14: laporan epilepsi

infus dextrose

3. Tepat Obat

lorazepam

Sedatif hipnotik dengan onset pendek efek dan paruh relatif panjang;

dengan meningkatkan aksi gamma-aminobutyric acid (GABA), yang

merupakan neurotransmitter inhibisi utama dalam otak, lorazepam dapat

menekan semua tingkat SSP, termasuk pembentukan limbic dan reticular

phenytoin

Meningkatkan Na + penghabisan atau penurunan Na + masuknya dari

membran neuron di korteks motorik; menstabilkan membran neuronal

Memperlambat kecepatan konduksi

Page 15: laporan epilepsi

4. Tepat Pasien

lorazepam

phenytoin

Page 16: laporan epilepsi

5. Waspada terhadap efek samping obat

Lorazepam

Sedation, Dizziness, Unsteadiness, Weakness, Fatigue, Drowsiness,

Amnesia, Confusion, Disorientation, Depression, Suicidal

ideation/attempt. Vertigo. Ataxia, Sleep apnea, Asthenia, Extrapyramidal

symptoms, Respiratory depression, Tremor, Convulsions/seizures, Visual

disturbances, Dysarthria, Hypotension, Blood dyscrasias, Change in

libido, Impotence, Jaundice, Increased bilirubin, Increased liver

transaminases, Increase in ALP, Hypersensitivity reactions, Nausea,

Constipation, Change in appetite, Paradoxical reactions (anxiety,

excitation, agitation, hostility, aggression, rage)

Phenytoin

Drowsiness, Fatigue, Ataxia, Irritability, Headache, Restlessness, Slurred

speech, Nervousness, Nystagmus, Dizziness, Vertigo, Dysarthria,

Paresthesia, Rash

Terapi Non Farmakologi:

Tanda-tanda vital harus dinilai, saluran udara yang memadai dan dilindungi

harus ditetapkan, ventilasi harus dijaga, dan oxygen harus diberikan. Sering arteri

penentuan gas darah harus dilakukan untuk menilai asidosis metabolik, yang

harus diobati dengan natrium bikarbonat jika pH kurang dari 7,2. Bantuan

ventilasi harus digunakan untuk mengoreksi asidosis pernafasan.

Beberapa pasien mungkin terus memiliki kejang listrik di tidak adanya

manifestasi klinis bermotor. Bagi mereka yang terus telah mengubah kesadaran

Page 17: laporan epilepsi

setelah kontrol klinis kejang mereka, sebuah EEG harus dilakukan. Meskipun

hipoglikemia merupakan penyebab yang jarang dari GCSE, orang dewasa harus

diberikan 50 mL larutan dekstrosa 50%, dan anak-anak harus menerima 1 mL /

kg dari dekstrosa solution.7 25%, Karena Wernicke encephalopathy dapat

berkembang pada pecandu alkohol, orang dewasa harus menerima IV tiamin (100

mg) sebelum glucose. Serum konsentrasi glukosa harus ditentukan untuk menilai

kebutuhan suplementasi lebih lanjut.

Monitoring

Obat yang digunakan :

phenytoin

infus dextro

V. Pembahasan

Page 18: laporan epilepsi

Problem medic pada kasus kali ini adalah Status Epilacticus. Terapi yang

diperoleh dari kasus ini yaitu oksigen dan I.V lorazepam 0,1 mg/kg. Drug Related

Problem yang terdapat dalam kasus ini adalah adanya adverse drug reaction pada

pemberian obat isoniazid. Dimana pasien pada kasusu ini menderita penyakit

TBC. Isoniazid yang merupakan obat TBC merupakan obat yang dapat

menibulkan efek kepada pemakainya. Namun pada kasus ini tidak akan dibahas

mengenai status TBC pada penderita.

Berdasarkan pertimbangan di atas, kelompok kami memberikan terapi

untuk pasien yaitu phenytoin 15-23 mg/kgBB dan infus dextro 25%. Phenytoin

diberikan karena sesuai dengan algoritma yang tercantum pada dipiro menyatakan

bahwa untuk pasien yang mengalami kejang lebih dari 10 menit diberikan

phenytoin dan infus dextrose 25%. Oksigenase perlu diberikan juga agar jalan

nafas pasien tetap lancar.

Selain terapi farmakologi, adapula terapi non farmakologi yaitu Tanda-tanda

vital harus dinilai, saluran udara yang memadai dan dilindungi harus ditetapkan,

ventilasi harus dijaga, dan oxygen harus diberikan. Sering arteri penentuan gas

darah harus dilakukan untuk menilai asidosis metabolik, yang harus diobati

dengan natrium bikarbonat jika pH kurang dari 7,2. Bantuan ventilasi harus

digunakan untuk mengoreksi asidosis pernafasan.

Beberapa pasien mungkin terus memiliki kejang listrik di tidak adanya

manifestasi klinis bermotor. Bagi mereka yang terus telah mengubah kesadaran

setelah kontrol klinis kejang mereka, sebuah EEG harus dilakukan. Meskipun

hipoglikemia merupakan penyebab yang jarang dari GCSE, orang dewasa harus

diberikan 50 mL larutan dekstrosa 50%, dan anak-anak harus menerima 1 mL /

kg dari dekstrosa solution.7 25%, Karena Wernicke encephalopathy dapat

berkembang pada pecandu alkohol, orang dewasa harus menerima IV tiamin (100

mg) sebelum glucose. Serum konsentrasi glukosa harus ditentukan untuk menilai

kebutuhan suplementasi lebih lanjut.

Page 19: laporan epilepsi

VI. Kesimpulan

Problem Medik : Status Epilecticus

Terapi :

Phenytoin 15-23 mg/kgBB

Infuse dextrose 25%

Oksigenase

VII. Daftar Pustaka

Elizabeth, J.Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Cetakan I. Penerbit : EGC,

Jakarta.

Prasad A, Prasad C, stafstrom CE. Recent Advances in the Guidlines of Epilepsy.

Insight from human and animal studies. Epilepsia.1999

Pallgreno TR. Seizure and status Epilepticus in Adults, in Tintinoli JE, Ruis E.

Emergency Medicine. 4thed. New York .Mc Graw Hill.1996

Selzer ME, Dichter MA. Cellular Pathopyysiology and Pharmacology of

Epilepsy, in Asbury AK, McKhann GM, McDonald WI. editors. Disease of

the Nervous System Clinical Neurobiology 2th ed. Phliadelphia. W.B.

Saunders Company,1992

Meliala L. Epilepsi pada Pendeita Stroke. Berita Kedokteran Masyarakat, FK

UGM, Yogyakarta.1999

Ali. RA. Aetiology of the Epilepsy. Epilepsi .2001

Foldvary N, Wyllie E. Textbook of Clinical Neurology. 1st edition, Philadelphia :

WB Saunders Company. 1999

Joesoef AA. Neurotransmmiter Kaitannya Dengan Patogenesa Epilepsi. Epilepsi,

Edisi Apr 1997

Budiarto.I. Beberapa Karateristik Kejang Demam Sebagai Faktor Risiko

Terjadinya Epilepsi. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu

Penyakit Saraf. FK UNDIP, Semarang. 1999

Page 20: laporan epilepsi

Widiastuti. Simple Clinical symtoms and sign for Diagnosing spasmofilia. To

Graduate program Gajah Mada University. Yogyakarta. 1995