laporan case
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD BUDHI ASIH
FK TRISAKTI PERIODE 12 November – 19 Januari 2013
NAMA : MOHAMAD HAIKAL BIN ASMAN
NIM : 030.08.276
PEMBIMBING : dr. Ibnu Benhadi. Sp.BS Tandatangan :
[S]
I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Ny. Helena Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 53 tahun Suku bangsa : Batak
Status perkawinan : Menikah Agama : Kristen
Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMA
Alamat : Jakarta Timur Tanggal masuk RS : 22-11-2012
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 22 november 2012 Pukul 20.00 WIB.
A. Keluhan Utama : Keluar darah dari hidung kanan dan telinga kanan 1jam
SMRS
B. Keluhan Tambahan : Pusing, mual,dan muntah coklat kehitaman bercampur
makanan.
1
Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. H berusia 53 tahun datang ke RSUD Budhi Asih dengan keluhan keluar darah
dari hidung dan telinga kanan sejak 1 jam SMRS. Pasien mengaku baru ditabrak sepeda
motor saat dia mahu menyeberang jalan. Pasien di tabrak dari arah sebelah kanan. Pasien
terjatuh ke tanah dan aspal jalanan. Bagian yang pertama terbentur adalah bagian hidung
pasien lalu kepala bagian kanan. Pasien terjatuh dalam posisi miring kekanan. Setelah
beberapa menit kemudian, pasien mengeluh pusing, mual disertai muntah berkali-kali
berwarna coklat kehitaman bercampur makanan. Pasien muntah sebanyak lebih dari 2 gelas
aqua. Keluhan BAK dan BAB disangkal. Pasien mengalami penurunan kesadaran setelah
kecelakaan dan tampak semakin memburuk tetapi tidak pingsan. Baal pada ekstremitas
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami kecelakaan sebelumnya
Belum pernah mengalami sakit sampai harus dioperasi.
Riwayat kejang disangkal
Tidak memiliki riwayat alergi
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat penyakit yang sifatnya diturunkan
Anamnesis Sistem
Sistem cerebrospinal : pingsan (-), pandangan kabur (-), reflek cahaya (+/+), dilatasi
pupil ( + / + ), racoon eye (-/-), demam (-), otorrhea dextra (+),
rinorrhea dextra (+), epistaksis (+)
Sistem cardiovascular : nyeri dada dan berdebar-debar disangkal.
Sistem respiratorius : sesak nafas (-), batuk (+), flu (-), hemoptoe (-)
Sistem gastrointestinal : muntah (+), hematemesis (+), BAB normal.
Sistem urogenital : BAK normal, perubahan warna urin (-)
2
Sistem integumentum : akral dingin (+), pucat (+), turgor menurun (-), kulit
bersisik (-), ruam-ruam (-).
Sistem musculoskeletal : Tidak ada keterbatasan gerak pada keempat-empat
ekstremitas.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Apatis
Vital Sign : Tekanan darah : 140/80
Suhu tubuh : 36,7 °C (axillar)
Denyut Nadi : 104 x /menit reguler
Respirasi : 24x/menit reguler
GCS : E4 M5 V4 = 13
STATUS GENERALIS
Cephal : Kepala : bentuk kepala normocephal dengan tidak terdapat
hematom dan jejas.
Orbita : preorbital hematom (-/-), alis mata simetris (+/+)
bulu mata rontok (-/-), pertumbuhan bulu mata normal (+/+),
entropion (-/-), ekstropion (-/-), kelopak mata edema (+/+),
ptosis (-/-) sekret (-/-) Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), konjungtiva bulbi hiperemis (-/-), reflek cahaya (+/+),
pupil isokor.
Collum : Trakhea simetris (+), kelenjar limfonodi teraba (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-).
3
Thorax
Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, deformitas (-), skar (-), retraksi
dada (-), ketinggalan gerak (-), simetris kanan kiri, ictus cordis
terlihat.
Palpasi : Pernapasan simetris (-), ketinggalan gerak (-).
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi :B1-B2 reguler, suara tambahan (-) Vesicular (+), Wheezing
(-), ronkhi (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, massa (-), kemerahan (-), VE (-), VL (-),
hematom (-)
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : timpani
Urogenital
Inspeksi : Sikatrik (-), kemerahan (-), massa yang menonjol (-),
bekas luka operasi (-), hematom (-)
Palpasi : benjolan (-)
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : tidak dilakukan
Ekstremitas
Edema (-), nyeri sendi (-), kekakuan (-)
STATUS LOKALIS
Regio frontalis dekstra
I : tampak hematoma ukuran 4 x 5 cm.
Regio : Auris Dextra
Inspeksi : vulnus laceratum 5 cm x 1 cm , jahitan (-), darah (+)
4
Auskultasi : tidak dilakukan
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : tidak dilakukan
Regio : Nasal
Inspeksi : jahitan (-), luka (+), darah (+)
Auskultasi : tidak dilakukan
Palpasi : hematom
Perkusi : tidak dilakukan
IV. DIAGNOSA BANDING
- Cedera kepala sedang
- Subdural Hematom
- Epidural Hematom
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 22 November 2012
Hb : 10,2 g/dl
Ht : 31 vol%
Leukosit : 8300 mm³
Trombosit : 484.000 mm3
Na : 135 mmol/l
K : 3,6 mmol/l
5
- Foto kranium AP Lateral
Hasil foto kranium pada 22 november 2012
Berdasarkan hasil foto, diperoleh interpretasi : terdapat gambaran fraktur pada regio os
frontalis dan fraktur pada os nasal dextra.
Kesan : Fraktur os frontalis dan os nasal dextra
Foto thoraks
6
Interpretasi : tidak ditemukan gambaran fraktur dan kelainan
Kesan : foto thoraks normal
RESUME
Ny. H berusia 53 tahun datang ke RSUD Budhi Asih dengan keluhan keluar darah dari
hidung dan telinga kanan sejak 1 jam SMRS. Pasien mengaku baru ditabrak sepeda motor
saat dia mahu menyeberang jalan. Pasien di tabrak dari arah sebelah kanan. Pasien terjatuh ke
tanah dan aspal jalanan. Bagian yang pertama terbentur adalah bagian hidung pasien. Pasien
terjatuh dalam posisi miring kekanan. Setelah jatuh,pasien mengeluh pusing,mual disertai
muntah 2 kali berwarna kecoklatan bercampur makanan. Keluhan BAK dan BAB disangkal.
Pasien mengalami penurunan kesadaran. Baal pada ekstremitas disangkal. Pada pemeriksan
fisik ditemukan pada Regio Auris Dextra dengan vulnus laceratum 5 cm x 1 cm , jahitan (-),
darah (+). Pada Regio Hidung ditemukan jahitan (-), luka (-), darah (+). Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan Hb 10,2 g/dl ,Ht 31 vol%, Leukosit 8300 mm³ ,Trombosit 484.000
mm3, Na 135 mmol/l, K 3,6 mmol/l.
7
VI. DIAGNOSA KERJA
Cedera kepala sedang tertutup dengan GCS 13, fraktur os frontal dan os nasal dextra
PENATALAKSANAAN
Terapi Medikamentosa
Observasi vital sign
IVFD RL gtt XV/menit
Injeksi sefotaksim 2 x 1 g
Injeksi ketorolak 3 x 1 amp
Injeksi citicolin 2 x 1 amp
Injeksi ATS 1500 UI
CT scan kepala
Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI OTAK
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya,
tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat
di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.
Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus
dihindari dan di temukan secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian
yang menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian. 1,2
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu :
1. Skin atau kulit
2. Connective tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau jaringan ikat yang terhubung langsung dengan tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
5. Perikranium
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat
dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di
antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang
mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek pembuluh ini sukar mengadakan
vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan
laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang
mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi
dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa
pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak.3
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang di
pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar di sebut tabula eksterna, dan dinding bagian
dalam di sebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi
9
yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang
berisikan arteria meningea anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak
menyebabkan tekoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang di
akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat manimbulkan akibat yang fatal
kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.3
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah
dura mater, arachnoid, dan pia mater
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
- Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang
membungkus dalam calvaria
- Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang
berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater spinalis yang
membungkus medulla spinalis
2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak pembuluh
darah.
STRUKTUR ANATOMI YANG CEDERA PADA TRAUMA KAPITIS1,2,3
Cedera otak dapat terjadi akibat benturan langsung atau tidak langsung pada kepala.
Benturan dapat dibedakan dari macam kekuatannya, yaitu kompresi, akselerasi, dan
deselerasi (perlambatan). Sulit dipastikan kekuatan mana yang paling berperan. Dari tempat
10
benturan, gelombang kejut disebarkan ke semua arah. Gelombang ini mengubah tekanan
jaringan. Apabila tekanannya cukup besar akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat
benturan (coup) atau di tempat yang bersebrangan dengan datangnya benturan (contracoup).
Jenis fraktur pada kranium tergantung pada umur pasien, kerasnya benturan, dan
daerah kranium yang terkena. Kranium dewasa dapat disamakan dengan kulit telur karena
memiliki ketahanan terbatas dan bila akan melampaui ini akan pecah. Benturan hebat
setempat akan berakibat indentasi setempat dan sering disertai pecahnya tulang. Benturan
pada kalvaria sering berakibat sederetan fraktur linear sepanjang daerah tulang yang tipis.
Pars petrosa ossis temporalis dan crista occipitalis sangat memperkuat basis cranii dan
cenderung membelokkan fraktur linear.
Fraktur kranium sangat sering terjadi pada orang dewasa namun kurang pada anak-
anak. Kranium bayi lebih berpegas ketimbang dewasa dan lebih terpisah-pisah oleh ligament
sutura fibrosa. Pada orang dewasa, tabula interna kranium sangat rapuh. Selain itu, ligamen-
ligamen sutura mulai mengapur pada usia pertengahan.
Pada anak kecil, kranium dapat disamakan dengan bola pingpong, karena benturan
setempat berakibat terjadinya indentasi tanpa retakan. Jenis lesi terbatas ini disebut sebagai
pond fracture.
Fraktur pada fossa kranii anterior meliputi sinus frontal, etmoidal, dan sfenoidal dan
disertai perdarahan hidung atau mulut. Fraktur fossa anterior mungkin melibatkan lamina
cribriformis (dengan anosmia karena ruptur bulbus olfaktorius) atau foramen optik (dengan
atropi primer optik dan kebutaan). Pasien yang mengalami epistaksis dan LCS merembes dari
hidung menandakan adanya robekan meningen dan mukoperiosteum. Fraktur yang meliputi
atap orbita seringkali berhubungan dengan perdarahan subkonjungtiva. Hal ini harus
dibedakan dengan perdarahan flameshape konjungtiva yang disebabkan oleh trauma
langsung. Black eye tidak selalu indikasi fraktur fossa anterior. Mungkin saja terjadi karena
kontusio langsung jaringan lunak atau karena aliran darah dari lapisan aponeurosis kulit
kepala.
Fraktur fossa kranii media sering terjadi karena merupakan tempat yang paling lemah
pada basis cranii. Secara anatomis ini karena banyaknya foramen dan saluran di daerah ini.
Bisa terjadi cedera n. III, IV, dan VI apabila dinding lateral sinus kavernosus robek dan
terjadi diplopia dan paralisis m. rektus lateralis. Darah dan LCS mengalir ke hidung (lewat
11
os. sphenoid) dan atau meatus akusticus eksternus. Cedera wajah (n. VII) dan n. auditorius
mungkin terjadi karena melintasi pars petrosa ossis temporalis. Perdarahan telinga mungkin
disebabkan oleh trauma langsung tanpa melibatkan fraktur tengkorak.
Fraktur fossa kranii posterior biasanya disertai keterlibatan saraf kranial karena
mengenai foramen jugularis, yaitu n. IX, X, dan XI. Jenis fraktur ini bisa diduga dengan
adanya memar di regio mastoid yang meluas ke bawah melewati m. sternokleidomastoideus.
Fraktur yang meliputi sinus dan cukup hebat untuk merobek duramater dan arachnoid. Darah
dan LCS akan menempati ruang subarachnoid mengalir melalui nostril.
KLASIFIKASI TRAUMA KAPITIS 9,10
Klasifikasi Trauma kapitis Berdasarkan Lokasi Anatomi
Berdasarkan lokasi anatomi Trauma kapitis digolongkan dalam dua bagian yaitu : Trauma
kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operasi craniotomy dan Trauma kapitis yang
membutuhkan tindakan operasi craniotomy.
Trauma kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operasi craniotomy
Trauma kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operasi craniotomy adalah:
1. Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma
kapitis tanpa menunjukkan kelainan makroskopis jaringan otak
12
2. Kontusio serebri (memar otak) yaitu trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan
intersinial pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan otak dan dapat
mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap
Trauma kapitis yang membutuhkan tindakan operasi craniotomy
Trauma kapitis yang membutuhkan tindakan operasi craniotomy adalah :
1. Hematoma epidural adalah perdarahan dalam ruang antara tabula interna kranii dengan
duramater. Pada anak-anak duramater melekat pada dinding periosteum kranium sedangkan
pada dewasa duramater paling lemah di daerah temporal
2. Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan araknoid,
biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal. Hematoma subdural ini sering
bersamaan dengan kontusio serebri
3.Hematoma intraserebral adalah perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri
yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat dari trauma kapitis berat.
4.Perdarahan subarakhnoid perdarahan yang terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh
darah di dalam subarachnoid
5. Hematoma serebri adalah massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat
robeknya sebuah arteri, biasanya terjadi di dalam serebelum dan diensefalon
13
KOMOSIO SEREBRI
Komosio serebri atau gegar otak adalah disfungsi neuron otak sementara yang
disebabkan oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak.
Insiden terjadinya komosio serebri yaitu 80% dari keseluruhan kasus trauma kepala. 4
Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak
yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis,
dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem
reversible terhadap sistem ARAS. Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih
menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak
langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke
atas sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka
terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 10 menit) bisa diikuti sedikit penurunan
tekanan darah, pons dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan
keseimbangan di medula oblongata terangsang.
Gejala yang dapat muncul antara lain pening/nyeri kepala, tidak sadar/pingsan kurang
dari 10 menit, dan amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama
sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan
keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus temporalis. Post trumatic amnesia atau
anterograde amnesia adalah lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma. Derajat keparahan
trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu daripada retrograde
amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan
oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa
meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke korteks
singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis tengah
talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde terjadi
secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan komosio
serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde. Amnesia
retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala tambahan :
bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan
berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa
ada transient parestesia ke empat ekstremitas.
14
Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala,
nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi
pikiran, dan gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat
gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi,
iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah
laku lebih menonjol. Prosedur Diagnostik : 1. X foto tengkorak 2. LP, jernih, tidak ada
kelaina 3. EEG normal Terapi untuk komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan
simptomatis dan mobilisasi bertahap. Setiap penderita komosio serebri harus dirawat dan
diobservasi selama minimal 72 jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal,
untuk mengantisipasi adanya lusid interval hematom 4,5.
KONTUSIO SEREBRI
Kontusio serebri atau memar otak yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma kapitis
yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya
kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi
otak menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan, maka ini disebut laserasio serebri.
Angka kejadian kontusio serebri yaitu sebesar 15-19 % dari trauma kepala yang terjadi.
Patofisiologi dan Gejala : Pasien tidak sadar > 20 menit. 4,5
Fase I = fase shock
Keadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan :
- kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi sentral vegetatif
- temperatur tubuh menurun, kulit dingin, ekstremitas dan muka sianotik
- respirasi dangkal dan cepat.
- nadi lambat sebentar kemudian berubah jadi cepat, lemah dan iregular
- tekanan darah menurun
- refleks tendon dan kulit menghilang
- babinsky refleks positif
- pupil dilatasi dan refleks cahaya lemah
Fase II = fase hiperaktif central vegetatif
- temperatur tubuh meninggi
- pernafasan dalam dan cepat
15
- takikardi
- sekret bronkhial meningkat berlebihan
- tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari normal
- refleks-refleks serebral muncul kembali
Fase III = cerebral oedema
Fase ini sama bahayanya dengan fase shock dan dapat mendatangkan kematian jika
tidak ditanggulangi secepatnya.
Fase IV = fase regenerasi/rekonvalesens
Temperatur tubuh kembali normal, gejala fokal serebral intensitas berkurang atau
menghilang kecuali lesinya luas.
Gejala lain :
Fokal neurologik :
• Hemiplegia, tetraplegia, decerebrate rigidity
• Babinsky refleks
• Afasia, hemianopsia, kortikal blindness
• Komplikasi saraf otak :
- fraktur os criribroformis : gangguan N. I (olfaktorius)
- fraktur os orbitae : gangguan N. III, IV dan VI
- herniasi uncus, gangguan N. III
- farktur os petrosum (hematotympani) : gangguan N. VII dan N. VIII
- perdarahan tegmentum : batang otak ; opthalmoplegia total
- fraktur basis kranii post : gangguan N. X, XI, XII
• Tanda rangsang meningeal : akibat iritasi daerah yang mengalir ke arachnoid
• Gangguan organik brain sindroma : delirium
HEMATOMA INTRASEREBRAL 4 ,5
Definisi
Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak.
Hematoma intraserbral pasca traumatik merupakan koleksi darah fokal yang biasanya
diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darah
intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematoma ini bervariasi
16
dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus
cedera.
Pada CT scan kepala akan memperlihatkan gambaran daerah hiperdens yang
homogen dan berbatas tegas. Di daerah lesi akan disertai edema perifokal. Apabila massa
hiperdens pada CT scan kepala tersebut berdiamater kurang dari 2/3 diamater lesi, maka
keadaan ini disebut kontusio.
hematoma intraserebral
Etiologi
Hematoma intraserebral dapat disebabkan oleh :
Trauma kepala
Hipertensi
Malformasi arteriovenosa.
Aneurisme
Terapi antikoagulan
Diskrasia darah
Klasifikasi
Klasifikasi hematoma intraserebral menurut letaknya:
Hematom supratentorial
Hematom serbeller
17
Hematom pons-batang otak
Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan
hematoma ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari
pasca cedera. Namun, dengan adanya pemeriksaan CT scan diagnosisnya dapat ditegakkan
lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematoma supra tentorial adalah nyeri kepala mendadak penurunan tingkat
kesadaran dalam waktu 24-48 jam. Tanda fokal yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:
Hemiparesis / hemiplegi
Hemisensorik
Hemi anopsia homonim
Parese nervus III
Kriteria diagnosis hematoma serebeller adalah sebagai berikut:
Nyeri kepala akut
Penurunan kesadaran
Ataksia
Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial
Kriteria diagnosis hematoma pons batang otak adalah sebagai berikut:
Penurunan kesadaran koma
Tetraparesa
Respirasi irreguler
Pupil pint point
Pireksia
Gerakan mata diskonjugat
H EMATOMA SUBDURAL 6
18
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara duramater dan
arakhnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma
epidural yang berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang
menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a.
kortikalis. Biasanya di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan
hematoma subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan
sabit.
Gejala dari Hematoma subdural
a. Penderita mengeluh sakit kepala yang bertambah hebat
b. Tampak adanya gangguan psikis
c. Setelah beberapa lama tampak kesadaran penderita semakin menurun
d. Kelainan neurologis seperti : hemiparesis (kelumpuhan salah satu anggota tubuh) dan bangkitan epilepsi
Hematom subdural
SUBARAKHNOID HEMATOMA
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalam
subarachnoid. Di antara lapisan dalam (pia mater) dan lapisan tengah (arachnoid) pada
jaringan yang melindungi otak (meninges). Penyebab yang paling umum adalah pecahnya
tonjolan pada aneurisma.
19
Subarakhnoid hematom
HEMATOMA EPIDURAL
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan
duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematoma jenis ini biasanya berasal
dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau
robekan arteri-arteri meningens ( a. meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai
dijumpai pada 8% – 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan
robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang
terjadi hanya sementara). Hematoma epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi.
Gejala dari Hematoma epidural
a. Penurunan kesadaran (koma)
b. Binggung dan gelisah sehingga tekanan darah meningkat dan tekanan nadi menurun
c. Sindrom Weber, yaitu midriasis (pembesaran pupil) pada sisi yang sama dari garis fraktur dan hemiplegi (gangguan fungsi motorik/sensorik pada satu sisi tubuh) pada sisi yang berlawanan
d. Fundoskopi dapat memperlihatkan papilledema (pembengkakan mata) setelah 6 jam dari kejadian
20
hematoma epidural
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis, dikenal tiga jenis
klasifikasi berdasarkan mekanisme, beratnya, dan morfologi.
Tabel 1. Klasifikasi trauma kapitis
Klasifikasi Jenis Keterangan
Mekanisme
(berdasarkan
adanya
penetrasi
duramater)
- Tumpul (tertutup)
- Tembus (penetrans)
Kecepatan tinggi (tabrakan
mobil)
Kecepatan rendah (dipukul,
jatuh)
Luka tembak
Cedera tembus lain
Beratnya
(berdasarkan
skor GCS)
- Ringan (mild head injury)
- Sedang (moderate head injury)
- Berat (severe head injury)
GCS 14-15
GCS 9-13
GCS 3-8
Morfologi - Fraktur tengkorak:
Kalvaria
Dasar tengkorak (basilar)
Garis (linier) vs bintang (stelata)
Depresi/non depresi
Terbuka/tertutup
Dengan/tanpa kebocoran LCS
Dengan/tanpa paresis N.VII
- Lesi intrakranial:
Fokal Epidural
Subdural
21
Difus
Intraserebral
Konkusi ringan
Konkusi multipel
Hipoksia/iskemik
PEMERIKSAAN PENUNJANG7,8,9
1.Foto kranium
Peranan foto rontgen kranium banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun beberapa
rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto rontgen kranium dapat
dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum. Foto kranium bermanfaat sebagai screening
sebelum pasien di lakukan CT scan. Foto rontgen kranium biasa (AP dan lateral) umumnya
dilakukan pada keadaan:
- Defisit neurologis fokal
- Liquorrhoe
- Dugaan trauma tembus/fraktur impresi
- Hematoma luas di daerah kepala
2.CT scan kepala
CT scan adalah gold standard investigasi radiologi trauma kapitis. Perdarahan akut
bisa divisualisasi dengan mudah. Begitu juga parenkim otak dan struktur tulang. Pasien
suspek patologis intrakranial harus dilakukan CT scan secepat mungkin setelah stabil. Untuk
kasus akut, penilaian dengan CT scan lebih berguna ketimbang MRI. Tetapi MRI bisa
digunakan pada fase subakut atau kronik karena lebih sensitif untuk mendeteksi cedera difus.
Perdarahan intracranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan CT scan kepala, di mana
prosedurnya sederhana, tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. CT scan harus dilakukan bila
didapati fraktur, udara intracranial, atau pergeseran glandula pineal dari midline. CT scan
kepala dapat dilakukan pada keadaan:
- Dugaan perdarahan intracranial
- Perburukan kesadaran
- Dugaan fraktur basis cranii
- Kejang
22
DIAGNOSIS
Anamnesis7
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan. Adanya riwayat kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua
dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi
atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak
(stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya. Jatuh
kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi:
Sifat kecelakaan
Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit
Ada tidaknya benturan kepala langsung
Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa
Bila pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum
terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan
adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial.
Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan
bingung/disorientasi (kesadaran berubah).
Indikasi Perawatan7
Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit bila tedapat gejala atau tanda sebagai berikut:
Perubahan kesadaran saat diperiksa
Fraktur tulang tengkorak
Terdapat defisit neurologik
Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak, riwayat minum alkohol,
pasien tidak kooperatif
Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar kembali ke rumah sakit bila
timbul gejala sebagai berikut:
- Mengantuk, sulit dibangunkan
- Disorientasi, kacau
- Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam
23
- Rasa lemah, kelumpuhan, penglihatan kabur
- Kejang, pingsan
- Keluar darah/cairan dari hidung, telinga
PENATALAKSANAAN TRAUMA KAPITIS
Hal terpenting yang pertama kali dinilai pada cedera kepala adalah status fungsi vital
dan status kesadaran. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis.
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai adalah: 7 ,9,10,11
Jalan nafas ( airway) dengan stabilisasi servikal
Jalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan segera identifikasi segala
penyebab obstruksi (benda asing, serpihan fraktur, gangguan trakea-laring, cedera tulang
servikal). Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan
adekuat. Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya sering terjadi pada
penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi karena adanya benda asing, lendir atau darah,
jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus segera
dibersihkan. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus hati-hati, bila ada riwayat/dugaan
trauma sevikal harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh
melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Kontrol servikal harus
dipertahankan karena pasien dengan multitrauma harus dianggap juga mendapat cedera leher
hingga pemeriksaan radiologi menyatakan sebaliknya. Chin lift dan jaw thrust adalah metode
awal menyokong patensi jalan napas yang secara otomatis melindungi vertebra servikal.
Pernapasan ( breathing) dan ventilasi
Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien bernapas segera dinilai.
Fungsi normal paru, dinding dada, dan diafragma dibutuhkan untuk ventilasi dan pertukaran
gas. Auskultasi, inspeksi, dan palpasi akan membantu menentukan adanya tension
pneumothorax, open pneumothorax, massive hemothorax, atau flail chest karena kontusio
pulmo. Kompresi dengan jarum, penempatan chest tube, atau intubasi endotracheal mungkin
diperlukan untuk memastikan ventilasi yang adekuat. Dilakukan ventilasi dengan oksigen
100% sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat
terhadap FiO2. Tindakan hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang
menunjukkan perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif atau terjadi dilatasi
pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg.
24
Nadi dan tekanan darah ( circulation) dan kontrol perdarahan
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila
terdapat trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas.
Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat
merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut
disebabkan oleh hematoma epidural. Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah
terjadi kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Hipotensi
memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala karena membahayakan tekanan perfusi
otak dan berperan dalam timbulnya edema dan iskemia otak. Hipotensi sekunder karena
perdarahan bisa terjadi karena trauma tajam maupun tumpul. Perdarahan luar bisa
diidentifikasi dengan cepat dan diatasi dengan penekanan langsung secara manual.
Tourniquet harus dihindari karena bisa menyebabkan iskemi distal. Hipotensi tanpa
perdarahan luar harus diasumsikan sebagai perdarahan interna karena cedera intraabdomen,
intratorakal, fraktur pelvis atau tulang panjang. Pasien hipotensi hipovolemik biasanya
menunjukkan penurunan kesadaran karena aliran darah ke otak berkurang, nadi cepat, kulit
pucat dan lembab.
Dissabilitas dan penilaian status neurologi
Seperti halnya semua pasien trauma, prioritas pertama pada pasien trauma kapitis
adalah ABC. Dilanjutkan dengan survey primer dan sekunder. Penilaian fungsi neurologi
diindikasikan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan reaksi pupil dilakukan setelah
kardiopulmoner stabil.
Cara penilaian status kesadaran dengan melakukan pemeriksaan GCS dan fungsi pupil
(lateralisasi dan refleks pupil). Pupil adalah barometer penting pada pasien koma. Bila cahaya
mengenai retina, terjadi impuls yang berjalan ke nervus optikus, kemudian ke nucleus
pretectalis, lalu ke nucleus edinger-westphal dan kembali ke saraf parasimpatis yang akan
mengkonstriksikan pupil. Batas normal pupil adalah 3-5 mm. Pupil midriasis yang tidak
berespon terhadap rangsang cahaya mengindikasikan herniasi transtentorial pada uncus
ipsilateral di lobus temporal media yang menekan dan menginaktivasi serat pupillokonstriktor
pada perifer n.III. CT scan dibutuhkan untuk mengidentifikasi lesi massa yang mungkin bisa
diatasi pada pasien. Tetapi, tetap harus diingat, pupil yang terfiksir dan melebar juga bisa
terjadi karena trauma langsung orbita dan isinya.
Eksposure
25
Penting untuk memeriksa pasien secara menyeluruh sehingga bisa seluruh bagian tubuh
bisa dinilai dan diagnosa cedera bisa ditegakkan.
TERAPI MEDIKAMENTOSA
1.Cairan Intravena
Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan perfusi serebral yang
adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan darah. Cairan intravena
diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia,
jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium
serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak.3 Strategi terbaik
adalah mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan
cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa
menyebabkan edema otak.8
2.Hiperventilasi
Hiperventilasi segera adalah tindakan life saving yang bisa mencegah atau menunda
herniasi pada pasien yang mengalami trauma kapitis parah. Gol tindakan ini adalah
menurunkan PCO2 ke rentang 30-35 mmHg. Hiperventilasi akan menurunkan ICP dengan
menyebabkan vasokonstriksi serebri; dengan onset efek dalam 30 detik. Hiperventilasi
menurunkan ICP sekitar 25% pada rata-rata pasien; jika pasien tidak berespon terhadap
intervensi ini, prognosisnya secara umum adalah buruk. Hiperventilasi berkepanjangan tidak
dianjurkan karena bisa menyebabkan vasokonstriksi dan iskemi. Hiperventilasi profilaksis
juga tidak dianjurkan. Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma kapitis parah yang
mengalami penurunan neurologis atau menunjukkan tanda herniasi.8 Selain itu, hiperventilasi
dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya asidosis.7
3.Manitol7,11,12
Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan ada kecurigaan
hematom ekstra-aksial maupun herniasi, penggunaan diuretika osmotik, seperti manitol atau
26
HTS, harus dipertimbangkan. Indikasi penggunaan agen osmotik adalah deteriorasi
neurologis yang akut seperti terjadi koma, dilatasi pupil, pupil anisokor, hemiparesis, atau
kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi.3. Manitol dipilih sebagai drug of choice
dengan HTS sebagai alternatif. Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat.3
Sediaan yang tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis 0,25-1
g/kgBB. Manitol mengurangi edem serebri dengan menciptakan gradient osmotis yang akan
menarik cairan dari jaringan ke intravascular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.1
Efek osmosis terjadi dalam hitungan menit dan mencapai puncak sekitar 60 menit setelah
bolus dimasukkan. Efek penurunan ICP bolus tunggal manitol bertahan sekitar 6-8 jam. 3
Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol
adalah diuretik osmotik yang poten dan akan memperberat hipovolemia.3 HTS pada
konsentrasi 3,1%-23% digunakan untuk merawat pasien yang menderita trauma kapitis dan
kenaikan ICP. HTS menyebabkan penyebaran volume plasma, mengurangi vasospasme, dan
mengurangi respon inflamasi pascatrauma. HTS bermanfaat pada trauma kapitis yang terjadi
pada anak dan edem serebri.
4.Furosemid (Lasix)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.3 Dosis yang biasa
diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena.3 Furosemid tidak boleh diberikan
pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat hipovolemia.3
5.Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-
obatan lain. Barbiturat bekerja dengan cara “membius" pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat
hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.1 Hipotensi sering terjadi pada penggunaan
barbiturat. Oleh karena itu, obat ini tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.11
6.Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala tumpul dan 50%
trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi epilepsi tetapi kejang dini bisa
memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan hipoksia, hiperkarbia, pelepasan
neurotransmitter, dan peningkatan ICP.9 Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden
epilepsi pasca trauma, yaitu kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan
27
intrakranial, atau fraktur depresif. Penelitan menunjukkan, pemberian antikonvulsan
bermanfaat mengurangi kejang dalam minggu pertama setelah cedera namun tidak setelah itu.
Namun penelitian lain menyebutkan, penggunaan antikonvulsan tidak mengurangi risiko
serangan kejang secara bermakna. Penggunaan obat antiepilepsi profilaksis pada trauma
kapitis akut dilaporkan menurunkan risiko kejang sekitar 66%, walau profilaksis kejang dini
tidak mencegah kejang pasca trauma. Tujuan terapi antiepilepsi adalah untuk mencegah
akibat tambahan yang disebabkan trauma.12 Kejang harus dihentikan dengan segera karena
kejang yang berlangsung lama (30-60 menit) dapat menyebabkan cedera otak sekunder.3
Benzodiazepine dipilih sebagai first-line antikonvulsan. Lorazepam (0.05-0.15 mg/kg IV,
tiap 5 menit hingga total 4 mg) sangat efektif menggagalkan serangan epilepsy. Pillihan lain
adalah diazepam. Untuk antikonvulsan jangka panjang, fenitoin atau fosfenitoin bisa
diberikan.11
TERAPI KONSERVATIF
Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif, karena pembedahan
tidak akan membawa hasil lebih baik. Kriteria trauma kapitis yang hanya memerlukan
penatalaksanaan konservatif adalah sebagai berikut:13
Fraktura basis kranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata
Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (battle’s sign) dan atau kebocoran
cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer
Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan tulang yang
Menembus dura dan jaringan otak
Hematoma intraserebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau progresif akibat
contusio.
Pada hematoma intraserebral yang luas dapat ditatalaksana dengan hiperventilasi, manitol
dan steroid dengan monitoring tekanan intrakranial sebagai usaha untuk menghindari
pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan
kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis.
TERAPI OPERATIF
Operasi di lakukan bila terdapat:
Volume hematoma > 25 ml
28
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 5 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr hole).
Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi operasi di bidang bedah
saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan
tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini
disebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc desak ruang supra tentorial
> 10 cc desak ruang infratentorial
> 5 cc desak ruang thalamus
Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif
Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif.
KOMPLIKASI
1- Koagulopati
Besarnya angka kejadian koagulopati pada pasien trauma kepala sudah diketahui
dengan jelas. Investigasi pada anak-anak yang mengalami trauma kepala, menunjukkan hasil
bahwa 71% nya memiliki clotting test yang abnormal dan 32% nya mengalami sindrom
disseminated intravascular coagulation and fibrinolysis (DICF).
2- Tromboemboli
29
Pasien dengan trauma kepala memiliki resiko tinggi deep venous thrombosis (DVT) dan
pulmonary embolism (PE). Berdasarka penelitian, didapatkan 4.3% pasien dengan trauma
kepala didiagnosa DVT.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada:
Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
Besarnya
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15%
dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma
sebelum operasi.
Pada hematoma intraserebral, dapat terjadi mortalitas 20%-30% , bisa sembuh tanpa
defisit neurologis, atau sembuh dengan defisit neurologis. Menentukan keluaran dan
prognosis dari cedera kepala sangat sulit. Terlambatnya penanganan awal/resusitasi,
pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat,
terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain merupakan
faktor-faktor yang memperburuk prognosis penderita cedera kepala.
BAB III
ANALISIS MASALAH
30
Anamnesis yang dilakukan terhadap pasien Ny. H yang berusia 53 tahun diperoleh
bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran dengan GCS 12 tetapi tidak pingsan setelah
kecelakaan lalu lintas yang dialaminya. Kejadian tersebut terjadi kurang lebih 1 jam sebelum
masuk rumah sakit. Pasien telah dilanggar oleh sepeda motor saat mahu melintas jalan.
Bagian kepala yang terbentur dahulu adalah pada bagian hidung dan kepala bagian kanan.
Pada pemeriksaan fisik survei primer didapatkan airway, breathing dan circulation dalam
batas normal. Penilaian airway didasarkan pada ada atau tidaknya tanda-tanda obstruksi
jalan nafas. Tanda-tanda objektif untuk menilai jalan nafas, yaitu pada look, dimana penderita
menunjukkan tanda-tanda hipoksia yaitu retraksi dinding dada dan penggunaan otot-otot
bantu pernafasan. Tanda yang kedua adalah feel yang dapat dirasakan aliran udara dari
hidung. Tanda yang ketiga adalah listen yang tidak ditemukan suara berkumur (gurgling),
snoring (suara mendengkur yang menunjukkan adanya sumbatan jalan nafas atas dimana
lidah jatuh ke posterior pharynx), dan crowing atau stridor (suara bersiul yang menunjukkan
adanya sumbatan di jalan nafas bawah terutama pada bronkus akibat adanya benda asing),
tidak ditemukan hoarness (suara parau yang menunjukkan sumbatan pada laring yang biasa
terjadi akibat edema laring). Pada penilaian Breathing dilakukan pemeriksaan berupa look
yaitu pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda seperti luka tembus dada, fail chest,
gerakan otot nafas tambahan. Pada feel tidak terlihat pergeseran letak trakea, patah tulang iga,
emfisema kulit, dan dengan perkusi tidak ditemukan hemotoraks dan atau pnemutoraks,
sedangkan pada listen tidak didapatkan suara nafas tambahan, suara nafas menurun, dan
dinilai frekuensi pernapasan yang berada dalam batas normal. Pada circulation dalam batas
normal yang dinilai dari frekuensi nadi yang dalam batas normal yaitu 70 kali/menit. Os
mengeluh pusing, mual dan sempat muntah berkali-kali keluar makanan bercampur kotoran
berwarna coklat kehitaman. Hal ini timbul karena terjadi benturan pada kepala dan hidung
pasien. Fraktur pada hidung menyebabkan keluar darah dari hidung dan kemungkinan pasien
tertelan darah tersebut dan menyebabkan pasien muntah coklat kehitaman.
Setelah airway, breathing, dan circulation dalam keadaan stabil, maka dilakukan
pemeriksaan disability yang disebut juga disfunction of neurology (gangguan fungsional otak
akibat suatu hipoksia dan iskemia yang menyertai gangguan airway, breathing, dan
circulation). Melalui pemeriksaan neurologis sederhana, meliputi pemeriksaan GCS untuk
menilai tingkat kesadaran dan reaksinya terhadap rangsangan. Nilai GCS yang diperoleh
31
adalah 12 (E4M5V4=13). Sementara pada pemeriksaan pupil didapatkan pupil isokor dan
refleks cahaya positif pada kedua pupil.
Survei sekunder diperoleh pada inspeksi di regio auris dextra didapatkan tampak vulnus
laceratum dengan ukuran 5 cm x 1 cm, darah (+). Pada regio nasal ditemukan darah (+).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah, foto kepala dan foto
thorax. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 10,2 g/dl ,Ht 31 vol%, Leukosit 8300
mm³ ,Trombosit 484.000 mm3, Na 135 mmol/l, K 3,6 mmol/l. Pada pemeriksaan foto kepala
ditemukan tanda fraktur pada regio os frontal dan os nasal dextra.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang di atas penderita
didiagnosis Cedera kepala sedang tertutup GCS 13 dengan fraktur os frontalis dan os nasalis
dextra. Pemeriksaan yang disarankan pada pasien ini adalah CT scan kepala. Pemeriksaan
CT scan kepala dilakukan untuk mengetahui kelainan-kelainan pada daerah kepala dengan
lebih jelas. Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan
merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan ukuran dari
perdarahan intracranial. Pada pasien ini tidak dapat dilakukan CT scan karena pasien di rujuk
ke RS lain. Penatalaksanaan yang diberikan adalah IVFD RL gtt XV/menit, injeksi
sefotaksim 2 x 1 g, injeksi ketorolak 3 x 1 amp, injeksi citicolin 2 x 1 amp, injeksi ATS 1500
UI.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam-nya adalah dubia ad bonam. Artinya setelah
mendapat tindakan life saving, maka kemungkinan dapat hidupnya besar, sedangkan
prognosis quo ad functionam-nya adalah dubia ad bonam. Artinya fungsi otak tidak dapat
dipastikan sembuh sepenuhnya. Namun, karena penderita ini dilakukan penanganan yang
lebih awal maka dimungkinkan fungsi otaknya akan normal.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 3. alih bahasa
dr.Jan Tambayong. 1997. EGC.
2. Ellis, Harold. Applied anatomy for students and junior doctors. Eleventh edition.
Blackwell Publishing. 2006.
3. De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 2004. p: 819-821.
4. Saharuddin, Lukman Bin. 2010. Laporan Kasus Trauma Capitis Sedang Tertutup
GCS 12, Fraktur Linear Os Temporal Dekstra , Fraktur Linear Os Frontal Dekstra ,
Fraktur Linear Os Sphenoid Dekstra,ICH Lobus Temporal Sinistra,Edema Serebri.
Palembang.
5. Japardi, Iskandar. 2009. Trauma Kapitis. Bhuana Ilmu Popular. Jakarta.
6. Qauliyah A. Epidural hematoma. [cited 2012 November 28]. Available from
http://www.astaqauliyah.com/2007/02/26/referat-epidural-hematoma/.
7. Riyanto, Budi. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Available from
http://www.kalbe.co.id/files/cdk
8. Seth J. Karp, MD. James P. G. Morris, MD. David I. Soybel, BLUEPRINTS
SURGERY. Third Edition. Blackwell Publishing.2004
9. Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. Trauma. 5th Ed. McGraw-Hill.
2004.
10. Sylvia, A Price dan Wilson M Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses
Penyakit. EGC. Jakarta. 2006. p: 1167-1174.
11. American College Surgeon. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh. United
States of America, 2004. p: 167-185.
12. Heegaard, William dan Michelle Biros, Traumatic Brain Injury. Emerg Med Clin N
Am 25 (2007) 655–678.
13. Price DD. Epidural hematoma. [cited 2012 November 28]. Available from
http://www.medicine.medspace.com/article/824029.
33