laporan case

48
LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD BUDHI ASIH FK TRISAKTI PERIODE 12 November – 19 Januari 2013 NAMA : MOHAMAD HAIKAL BIN ASMAN NIM : 030.08.276 PEMBIMBING : dr. Ibnu Benhadi. Sp.BS Tandatangan : [S] I. IDENTITAS PASIEN Nama lengkap : Ny. Helena Jenis kelamin : Perempuan Umur : 53 tahun Suku bangsa : Batak Status perkawinan : Menikah Agama : Kristen Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMA Alamat : Jakarta Timur Tanggal masuk RS : 22-11-2012 II. ANAMNESIS 1

Upload: mohamad-haikal-asman

Post on 07-Aug-2015

89 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Case

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD BUDHI ASIH

FK TRISAKTI PERIODE 12 November – 19 Januari 2013

NAMA : MOHAMAD HAIKAL BIN ASMAN

NIM : 030.08.276

PEMBIMBING : dr. Ibnu Benhadi. Sp.BS Tandatangan :

[S]

I. IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : Ny. Helena Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 53 tahun Suku bangsa : Batak

Status perkawinan : Menikah Agama : Kristen

Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMA

Alamat : Jakarta Timur Tanggal masuk RS : 22-11-2012

II. ANAMNESIS

Dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 22 november 2012 Pukul 20.00 WIB.

A. Keluhan Utama : Keluar darah dari hidung kanan dan telinga kanan 1jam

SMRS

B. Keluhan Tambahan : Pusing, mual,dan muntah coklat kehitaman bercampur

makanan.

1

Page 2: Laporan Case

Riwayat Penyakit Sekarang

Ny. H berusia 53 tahun datang ke RSUD Budhi Asih dengan keluhan keluar darah

dari hidung dan telinga kanan sejak 1 jam SMRS. Pasien mengaku baru ditabrak sepeda

motor saat dia mahu menyeberang jalan. Pasien di tabrak dari arah sebelah kanan. Pasien

terjatuh ke tanah dan aspal jalanan. Bagian yang pertama terbentur adalah bagian hidung

pasien lalu kepala bagian kanan. Pasien terjatuh dalam posisi miring kekanan. Setelah

beberapa menit kemudian, pasien mengeluh pusing, mual disertai muntah berkali-kali

berwarna coklat kehitaman bercampur makanan. Pasien muntah sebanyak lebih dari 2 gelas

aqua. Keluhan BAK dan BAB disangkal. Pasien mengalami penurunan kesadaran setelah

kecelakaan dan tampak semakin memburuk tetapi tidak pingsan. Baal pada ekstremitas

disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami kecelakaan sebelumnya

Belum pernah mengalami sakit sampai harus dioperasi.

Riwayat kejang disangkal

Tidak memiliki riwayat alergi

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak terdapat penyakit yang sifatnya diturunkan

Anamnesis Sistem

Sistem cerebrospinal : pingsan (-), pandangan kabur (-), reflek cahaya (+/+), dilatasi

pupil ( + / + ), racoon eye (-/-), demam (-), otorrhea dextra (+),

rinorrhea dextra (+), epistaksis (+)

Sistem cardiovascular : nyeri dada dan berdebar-debar disangkal.

Sistem respiratorius : sesak nafas (-), batuk (+), flu (-), hemoptoe (-)

Sistem gastrointestinal : muntah (+), hematemesis (+), BAB normal.

Sistem urogenital : BAK normal, perubahan warna urin (-)

2

Page 3: Laporan Case

Sistem integumentum : akral dingin (+), pucat (+), turgor menurun (-), kulit

bersisik (-), ruam-ruam (-).

Sistem musculoskeletal : Tidak ada keterbatasan gerak pada keempat-empat

ekstremitas.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Apatis

Vital Sign : Tekanan darah : 140/80

Suhu tubuh : 36,7 °C (axillar)

Denyut Nadi : 104 x /menit reguler

Respirasi : 24x/menit reguler

GCS : E4 M5 V4 = 13

STATUS GENERALIS

Cephal : Kepala : bentuk kepala normocephal dengan tidak terdapat

hematom dan jejas.

Orbita : preorbital hematom (-/-), alis mata simetris (+/+)

bulu mata rontok (-/-), pertumbuhan bulu mata normal (+/+),

entropion (-/-), ekstropion (-/-), kelopak mata edema (+/+),

ptosis (-/-) sekret (-/-) Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik

(-/-), konjungtiva bulbi hiperemis (-/-), reflek cahaya (+/+),

pupil isokor.

Collum : Trakhea simetris (+), kelenjar limfonodi teraba (-),

pembesaran kelenjar tiroid (-).

3

Page 4: Laporan Case

Thorax

Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, deformitas (-), skar (-), retraksi

dada (-), ketinggalan gerak (-), simetris kanan kiri, ictus cordis

terlihat.

Palpasi : Pernapasan simetris (-), ketinggalan gerak (-).

Perkusi : Sonor di kedua lapang paru

Auskultasi :B1-B2 reguler, suara tambahan (-) Vesicular (+), Wheezing

(-), ronkhi (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, massa (-), kemerahan (-), VE (-), VL (-),

hematom (-)

Auskultasi : bising usus (+)

Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi : timpani

Urogenital

Inspeksi : Sikatrik (-), kemerahan (-), massa yang menonjol (-),

bekas luka operasi (-), hematom (-)

Palpasi : benjolan (-)

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : tidak dilakukan

Ekstremitas

Edema (-), nyeri sendi (-), kekakuan (-)

STATUS LOKALIS

Regio frontalis dekstra

I : tampak hematoma ukuran 4 x 5 cm.

Regio : Auris Dextra

Inspeksi : vulnus laceratum 5 cm x 1 cm , jahitan (-), darah (+)

4

Page 5: Laporan Case

Auskultasi : tidak dilakukan

Palpasi : tidak dilakukan

Perkusi : tidak dilakukan

Regio : Nasal

Inspeksi : jahitan (-), luka (+), darah (+)

Auskultasi : tidak dilakukan

Palpasi : hematom

Perkusi : tidak dilakukan

IV. DIAGNOSA BANDING

- Cedera kepala sedang

- Subdural Hematom

- Epidural Hematom

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal 22 November 2012

Hb : 10,2 g/dl

Ht : 31 vol%

Leukosit : 8300 mm³

Trombosit : 484.000 mm3

Na : 135 mmol/l

K : 3,6 mmol/l

5

Page 6: Laporan Case

- Foto kranium AP Lateral

Hasil foto kranium pada 22 november 2012

Berdasarkan hasil foto, diperoleh interpretasi : terdapat gambaran fraktur pada regio os

frontalis dan fraktur pada os nasal dextra.

Kesan : Fraktur os frontalis dan os nasal dextra

Foto thoraks

6

Page 7: Laporan Case

Interpretasi : tidak ditemukan gambaran fraktur dan kelainan

Kesan : foto thoraks normal

RESUME

Ny. H berusia 53 tahun datang ke RSUD Budhi Asih dengan keluhan keluar darah dari

hidung dan telinga kanan sejak 1 jam SMRS. Pasien mengaku baru ditabrak sepeda motor

saat dia mahu menyeberang jalan. Pasien di tabrak dari arah sebelah kanan. Pasien terjatuh ke

tanah dan aspal jalanan. Bagian yang pertama terbentur adalah bagian hidung pasien. Pasien

terjatuh dalam posisi miring kekanan. Setelah jatuh,pasien mengeluh pusing,mual disertai

muntah 2 kali berwarna kecoklatan bercampur makanan. Keluhan BAK dan BAB disangkal.

Pasien mengalami penurunan kesadaran. Baal pada ekstremitas disangkal. Pada pemeriksan

fisik ditemukan pada Regio Auris Dextra dengan vulnus laceratum 5 cm x 1 cm , jahitan (-),

darah (+). Pada Regio Hidung ditemukan jahitan (-), luka (-), darah (+). Pada pemeriksaan

laboratorium ditemukan Hb 10,2 g/dl ,Ht 31 vol%, Leukosit 8300 mm³ ,Trombosit 484.000

mm3, Na 135 mmol/l, K 3,6 mmol/l.

7

Page 8: Laporan Case

VI. DIAGNOSA KERJA

Cedera kepala sedang tertutup dengan GCS 13, fraktur os frontal dan os nasal dextra

PENATALAKSANAAN

Terapi Medikamentosa

Observasi vital sign

IVFD RL gtt XV/menit

Injeksi sefotaksim 2 x 1 g

Injeksi ketorolak 3 x 1 amp

Injeksi citicolin 2 x 1 amp

Injeksi ATS 1500 UI

CT scan kepala

Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

8

Page 9: Laporan Case

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI OTAK

Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya,

tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan mudah

sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat

di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.

Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus

dihindari dan di temukan secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian

yang menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian. 1,2

Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu :

1. Skin atau kulit

2. Connective tissue atau jaringan penyambung

3. Aponeurosis atau jaringan ikat yang terhubung langsung dengan tengkorak

4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

5. Perikranium

Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat

dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di

antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang

mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek pembuluh ini sukar mengadakan

vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan

laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang

mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi

dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa

pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak.3

Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan

perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang di

pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar di sebut tabula eksterna, dan dinding bagian

dalam di sebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi

9

Page 10: Laporan Case

yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang

berisikan arteria meningea anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak

menyebabkan tekoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang di

akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat manimbulkan akibat yang fatal

kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.3

Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah

dura mater, arachnoid, dan pia mater

1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:

- Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang

membungkus dalam calvaria

- Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang

berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater spinalis yang

membungkus medulla spinalis

2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba

3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak pembuluh

darah.

STRUKTUR ANATOMI YANG CEDERA PADA TRAUMA KAPITIS1,2,3

Cedera otak dapat terjadi akibat benturan langsung atau tidak langsung pada kepala.

Benturan dapat dibedakan dari macam kekuatannya, yaitu kompresi, akselerasi, dan

deselerasi (perlambatan). Sulit dipastikan kekuatan mana yang paling berperan. Dari tempat

10

Page 11: Laporan Case

benturan, gelombang kejut disebarkan ke semua arah. Gelombang ini mengubah tekanan

jaringan. Apabila tekanannya cukup besar akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat

benturan (coup) atau di tempat yang bersebrangan dengan datangnya benturan (contracoup).

Jenis fraktur pada kranium tergantung pada umur pasien, kerasnya benturan, dan

daerah kranium yang terkena. Kranium dewasa dapat disamakan dengan kulit telur karena

memiliki ketahanan terbatas dan bila akan melampaui ini akan pecah. Benturan hebat

setempat akan berakibat indentasi setempat dan sering disertai pecahnya tulang. Benturan

pada kalvaria sering berakibat sederetan fraktur linear sepanjang daerah tulang yang tipis.

Pars petrosa ossis temporalis dan crista occipitalis sangat memperkuat basis cranii dan

cenderung membelokkan fraktur linear.

Fraktur kranium sangat sering terjadi pada orang dewasa namun kurang pada anak-

anak. Kranium bayi lebih berpegas ketimbang dewasa dan lebih terpisah-pisah oleh ligament

sutura fibrosa. Pada orang dewasa, tabula interna kranium sangat rapuh. Selain itu, ligamen-

ligamen sutura mulai mengapur pada usia pertengahan.

Pada anak kecil, kranium dapat disamakan dengan bola pingpong, karena benturan

setempat berakibat terjadinya indentasi tanpa retakan. Jenis lesi terbatas ini disebut sebagai

pond fracture.

Fraktur pada fossa kranii anterior meliputi sinus frontal, etmoidal, dan sfenoidal dan

disertai perdarahan hidung atau mulut. Fraktur fossa anterior mungkin melibatkan lamina

cribriformis (dengan anosmia karena ruptur bulbus olfaktorius) atau foramen optik (dengan

atropi primer optik dan kebutaan). Pasien yang mengalami epistaksis dan LCS merembes dari

hidung menandakan adanya robekan meningen dan mukoperiosteum. Fraktur yang meliputi

atap orbita seringkali berhubungan dengan perdarahan subkonjungtiva. Hal ini harus

dibedakan dengan perdarahan flameshape konjungtiva yang disebabkan oleh trauma

langsung. Black eye tidak selalu indikasi fraktur fossa anterior. Mungkin saja terjadi karena

kontusio langsung jaringan lunak atau karena aliran darah dari lapisan aponeurosis kulit

kepala.

Fraktur fossa kranii media sering terjadi karena merupakan tempat yang paling lemah

pada basis cranii. Secara anatomis ini karena banyaknya foramen dan saluran di daerah ini.

Bisa terjadi cedera n. III, IV, dan VI apabila dinding lateral sinus kavernosus robek dan

terjadi diplopia dan paralisis m. rektus lateralis. Darah dan LCS mengalir ke hidung (lewat

11

Page 12: Laporan Case

os. sphenoid) dan atau meatus akusticus eksternus. Cedera wajah (n. VII) dan n. auditorius

mungkin terjadi karena melintasi pars petrosa ossis temporalis. Perdarahan telinga mungkin

disebabkan oleh trauma langsung tanpa melibatkan fraktur tengkorak.

Fraktur fossa kranii posterior biasanya disertai keterlibatan saraf kranial karena

mengenai foramen jugularis, yaitu n. IX, X, dan XI. Jenis fraktur ini bisa diduga dengan

adanya memar di regio mastoid yang meluas ke bawah melewati m. sternokleidomastoideus.

Fraktur yang meliputi sinus dan cukup hebat untuk merobek duramater dan arachnoid. Darah

dan LCS akan menempati ruang subarachnoid mengalir melalui nostril.

KLASIFIKASI TRAUMA KAPITIS 9,10

Klasifikasi Trauma kapitis Berdasarkan Lokasi Anatomi

Berdasarkan lokasi anatomi Trauma kapitis digolongkan dalam dua bagian yaitu : Trauma

kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operasi craniotomy dan Trauma kapitis yang

membutuhkan tindakan operasi craniotomy.

Trauma kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operasi craniotomy

Trauma kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operasi craniotomy adalah:

1. Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma

kapitis tanpa menunjukkan kelainan makroskopis jaringan otak

12

Page 13: Laporan Case

2. Kontusio serebri (memar otak) yaitu trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan

intersinial pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan otak dan dapat

mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap

Trauma kapitis yang membutuhkan tindakan operasi craniotomy

Trauma kapitis yang membutuhkan tindakan operasi craniotomy adalah :

1. Hematoma epidural adalah perdarahan dalam ruang antara tabula interna kranii dengan

duramater. Pada anak-anak duramater melekat pada dinding periosteum kranium sedangkan

pada dewasa duramater paling lemah di daerah temporal

2. Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan araknoid,

biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal. Hematoma subdural ini sering

bersamaan dengan kontusio serebri

3.Hematoma intraserebral adalah perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri

yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat dari trauma kapitis berat.

4.Perdarahan subarakhnoid perdarahan yang terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh

darah di dalam subarachnoid

5. Hematoma serebri adalah massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat

robeknya sebuah arteri, biasanya terjadi di dalam serebelum dan diensefalon

13

Page 14: Laporan Case

KOMOSIO SEREBRI

Komosio serebri atau gegar otak adalah disfungsi neuron otak sementara yang

disebabkan oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak.

Insiden terjadinya komosio serebri yaitu 80% dari keseluruhan kasus trauma kepala. 4

Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak

yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis,

dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem

reversible terhadap sistem ARAS. Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih

menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak

langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke

atas sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka

terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 10 menit) bisa diikuti sedikit penurunan

tekanan darah, pons dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan

keseimbangan di medula oblongata terangsang.

Gejala yang dapat muncul antara lain pening/nyeri kepala, tidak sadar/pingsan kurang

dari 10 menit, dan amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama

sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan

keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus temporalis. Post trumatic amnesia atau

anterograde amnesia adalah lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma. Derajat keparahan

trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu daripada retrograde

amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan

oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa

meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke korteks

singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis tengah

talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde terjadi

secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan komosio

serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde. Amnesia

retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala tambahan :

bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan

berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa

ada transient parestesia ke empat ekstremitas.

14

Page 15: Laporan Case

Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala,

nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi

pikiran, dan gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat

gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi,

iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah

laku lebih menonjol. Prosedur Diagnostik : 1. X foto tengkorak 2. LP, jernih, tidak ada

kelaina 3. EEG normal Terapi untuk komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan

simptomatis dan mobilisasi bertahap. Setiap penderita komosio serebri harus dirawat dan

diobservasi selama minimal 72 jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal,

untuk mengantisipasi adanya lusid interval hematom 4,5.

KONTUSIO SEREBRI

Kontusio serebri atau memar otak yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma kapitis

yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya

kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi

otak menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan, maka ini disebut laserasio serebri.

Angka kejadian kontusio serebri yaitu sebesar 15-19 % dari trauma kepala yang terjadi.

Patofisiologi dan Gejala : Pasien tidak sadar > 20 menit. 4,5

Fase I = fase shock

Keadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan :

- kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi sentral vegetatif

- temperatur tubuh menurun, kulit dingin, ekstremitas dan muka sianotik

- respirasi dangkal dan cepat.

- nadi lambat sebentar kemudian berubah jadi cepat, lemah dan iregular

- tekanan darah menurun

- refleks tendon dan kulit menghilang

- babinsky refleks positif

- pupil dilatasi dan refleks cahaya lemah

Fase II = fase hiperaktif central vegetatif

- temperatur tubuh meninggi

- pernafasan dalam dan cepat

15

Page 16: Laporan Case

- takikardi

- sekret bronkhial meningkat berlebihan

- tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari normal

- refleks-refleks serebral muncul kembali

Fase III = cerebral oedema

Fase ini sama bahayanya dengan fase shock dan dapat mendatangkan kematian jika

tidak ditanggulangi secepatnya.

Fase IV = fase regenerasi/rekonvalesens

Temperatur tubuh kembali normal, gejala fokal serebral intensitas berkurang atau

menghilang kecuali lesinya luas.

Gejala lain :

Fokal neurologik :

• Hemiplegia, tetraplegia, decerebrate rigidity

• Babinsky refleks

• Afasia, hemianopsia, kortikal blindness

• Komplikasi saraf otak :

- fraktur os criribroformis : gangguan N. I (olfaktorius)

- fraktur os orbitae : gangguan N. III, IV dan VI

- herniasi uncus, gangguan N. III

- farktur os petrosum (hematotympani) : gangguan N. VII dan N. VIII

- perdarahan tegmentum : batang otak ; opthalmoplegia total

- fraktur basis kranii post : gangguan N. X, XI, XII

• Tanda rangsang meningeal : akibat iritasi daerah yang mengalir ke arachnoid

• Gangguan organik brain sindroma : delirium

HEMATOMA INTRASEREBRAL 4 ,5

Definisi

Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak.

Hematoma intraserbral pasca traumatik merupakan koleksi darah fokal yang biasanya

diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darah

intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematoma ini bervariasi

16

Page 17: Laporan Case

dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus

cedera.

Pada CT scan kepala akan memperlihatkan gambaran daerah hiperdens yang

homogen dan berbatas tegas. Di daerah lesi akan disertai edema perifokal. Apabila massa

hiperdens pada CT scan kepala tersebut berdiamater kurang dari 2/3 diamater lesi, maka

keadaan ini disebut kontusio.

hematoma intraserebral

Etiologi

Hematoma intraserebral dapat disebabkan oleh :

Trauma kepala

Hipertensi

Malformasi arteriovenosa.

Aneurisme

Terapi antikoagulan

Diskrasia darah

Klasifikasi

Klasifikasi hematoma intraserebral menurut letaknya:

Hematom supratentorial

Hematom serbeller

17

Page 18: Laporan Case

Hematom pons-batang otak

Gejala klinis.

Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan

hematoma ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari

pasca cedera. Namun, dengan adanya pemeriksaan CT scan diagnosisnya dapat ditegakkan

lebih cepat.

Kriteria diagnosis hematoma supra tentorial adalah nyeri kepala mendadak penurunan tingkat

kesadaran dalam waktu 24-48 jam. Tanda fokal yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:

Hemiparesis / hemiplegi

Hemisensorik

Hemi anopsia homonim

Parese nervus III

Kriteria diagnosis hematoma serebeller adalah sebagai berikut:

Nyeri kepala akut

Penurunan kesadaran

Ataksia

Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial

Kriteria diagnosis hematoma pons batang otak adalah sebagai berikut:

Penurunan kesadaran koma

Tetraparesa

Respirasi irreguler

Pupil pint point

Pireksia

Gerakan mata diskonjugat

H EMATOMA SUBDURAL 6

18

Page 19: Laporan Case

Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara duramater dan

arakhnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma

epidural yang berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang

menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a.

kortikalis. Biasanya di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan

hematoma subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan

sabit.

Gejala dari Hematoma subdural

a. Penderita mengeluh sakit kepala yang bertambah hebat

b. Tampak adanya gangguan psikis

c. Setelah beberapa lama tampak kesadaran penderita semakin menurun

d. Kelainan neurologis seperti : hemiparesis (kelumpuhan salah satu anggota tubuh) dan bangkitan epilepsi

Hematom subdural

SUBARAKHNOID HEMATOMA

Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalam

subarachnoid. Di antara lapisan dalam (pia mater) dan lapisan tengah (arachnoid) pada

jaringan yang melindungi otak (meninges). Penyebab yang paling umum adalah pecahnya

tonjolan pada aneurisma.

19

Page 20: Laporan Case

Subarakhnoid hematom

HEMATOMA EPIDURAL

Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan

duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematoma jenis ini biasanya berasal

dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau

robekan arteri-arteri meningens ( a. meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai

dijumpai pada 8% – 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan

robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang

terjadi hanya sementara). Hematoma epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang

terjadi.

Gejala dari Hematoma epidural

a. Penurunan kesadaran (koma)

b. Binggung dan gelisah sehingga tekanan darah meningkat dan tekanan nadi menurun

c. Sindrom Weber, yaitu midriasis (pembesaran pupil) pada sisi yang sama dari garis fraktur dan hemiplegi (gangguan fungsi motorik/sensorik pada satu sisi tubuh) pada sisi yang berlawanan

d. Fundoskopi dapat memperlihatkan papilledema (pembengkakan mata) setelah 6 jam dari kejadian

20

Page 21: Laporan Case

hematoma epidural

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis, dikenal tiga jenis

klasifikasi berdasarkan mekanisme, beratnya, dan morfologi.

Tabel 1. Klasifikasi trauma kapitis

Klasifikasi Jenis Keterangan

Mekanisme

(berdasarkan

adanya

penetrasi

duramater)

- Tumpul (tertutup)

- Tembus (penetrans)

Kecepatan tinggi (tabrakan

mobil)

Kecepatan rendah (dipukul,

jatuh)

Luka tembak

Cedera tembus lain

Beratnya

(berdasarkan

skor GCS)

- Ringan (mild head injury)

- Sedang (moderate head injury)

- Berat (severe head injury)

GCS 14-15

GCS 9-13

GCS 3-8

Morfologi - Fraktur tengkorak:

Kalvaria

Dasar tengkorak (basilar)

Garis (linier) vs bintang (stelata)

Depresi/non depresi

Terbuka/tertutup

Dengan/tanpa kebocoran LCS

Dengan/tanpa paresis N.VII

- Lesi intrakranial:

Fokal Epidural

Subdural

21

Page 22: Laporan Case

Difus

Intraserebral

Konkusi ringan

Konkusi multipel

Hipoksia/iskemik

PEMERIKSAAN PENUNJANG7,8,9

1.Foto kranium

Peranan foto rontgen kranium banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun beberapa

rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto rontgen kranium dapat

dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum. Foto kranium bermanfaat sebagai screening

sebelum pasien di lakukan CT scan. Foto rontgen kranium biasa (AP dan lateral) umumnya

dilakukan pada keadaan:

- Defisit neurologis fokal

- Liquorrhoe

- Dugaan trauma tembus/fraktur impresi

- Hematoma luas di daerah kepala

2.CT scan kepala

CT scan adalah gold standard investigasi radiologi trauma kapitis. Perdarahan akut

bisa divisualisasi dengan mudah. Begitu juga parenkim otak dan struktur tulang. Pasien

suspek patologis intrakranial harus dilakukan CT scan secepat mungkin setelah stabil. Untuk

kasus akut, penilaian dengan CT scan lebih berguna ketimbang MRI. Tetapi MRI bisa

digunakan pada fase subakut atau kronik karena lebih sensitif untuk mendeteksi cedera difus.

Perdarahan intracranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan CT scan kepala, di mana

prosedurnya sederhana, tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. CT scan harus dilakukan bila

didapati fraktur, udara intracranial, atau pergeseran glandula pineal dari midline. CT scan

kepala dapat dilakukan pada keadaan:

- Dugaan perdarahan intracranial

- Perburukan kesadaran

- Dugaan fraktur basis cranii

- Kejang

22

Page 23: Laporan Case

DIAGNOSIS

Anamnesis7

Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan. Adanya riwayat kecelakaan

lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua

dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi

atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak

(stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya. Jatuh

kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.

Anamnesis yang lebih terperinci meliputi:

Sifat kecelakaan

Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit

Ada tidaknya benturan kepala langsung

Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa

Bila pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum

terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan

adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial.

Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan

bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

Indikasi Perawatan7

Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit bila tedapat gejala atau tanda sebagai berikut:

Perubahan kesadaran saat diperiksa

Fraktur tulang tengkorak

Terdapat defisit neurologik

Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak, riwayat minum alkohol,

pasien tidak kooperatif

Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar kembali ke rumah sakit bila

timbul gejala sebagai berikut:

- Mengantuk, sulit dibangunkan

- Disorientasi, kacau

- Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam

23

Page 24: Laporan Case

- Rasa lemah, kelumpuhan, penglihatan kabur

- Kejang, pingsan

- Keluar darah/cairan dari hidung, telinga

PENATALAKSANAAN TRAUMA KAPITIS

Hal terpenting yang pertama kali dinilai pada cedera kepala adalah status fungsi vital

dan status kesadaran. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis.

Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai adalah: 7 ,9,10,11

Jalan nafas ( airway) dengan stabilisasi servikal

Jalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan segera identifikasi segala

penyebab obstruksi (benda asing, serpihan fraktur, gangguan trakea-laring, cedera tulang

servikal). Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan

adekuat. Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya sering terjadi pada

penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi karena adanya benda asing, lendir atau darah,

jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus segera

dibersihkan. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus hati-hati, bila ada riwayat/dugaan

trauma sevikal harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh

melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Kontrol servikal harus

dipertahankan karena pasien dengan multitrauma harus dianggap juga mendapat cedera leher

hingga pemeriksaan radiologi menyatakan sebaliknya. Chin lift dan jaw thrust adalah metode

awal menyokong patensi jalan napas yang secara otomatis melindungi vertebra servikal.

Pernapasan ( breathing) dan ventilasi

Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien bernapas segera dinilai.

Fungsi normal paru, dinding dada, dan diafragma dibutuhkan untuk ventilasi dan pertukaran

gas. Auskultasi, inspeksi, dan palpasi akan membantu menentukan adanya tension

pneumothorax, open pneumothorax, massive hemothorax, atau flail chest karena kontusio

pulmo. Kompresi dengan jarum, penempatan chest tube, atau intubasi endotracheal mungkin

diperlukan untuk memastikan ventilasi yang adekuat. Dilakukan ventilasi dengan oksigen

100% sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat

terhadap FiO2. Tindakan hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang

menunjukkan perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif atau terjadi dilatasi

pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg.

24

Page 25: Laporan Case

Nadi dan tekanan darah ( circulation) dan kontrol perdarahan

Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila

terdapat trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas.

Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat

merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut

disebabkan oleh hematoma epidural. Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah

terjadi kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Hipotensi

memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala karena membahayakan tekanan perfusi

otak dan berperan dalam timbulnya edema dan iskemia otak. Hipotensi sekunder karena

perdarahan bisa terjadi karena trauma tajam maupun tumpul. Perdarahan luar bisa

diidentifikasi dengan cepat dan diatasi dengan penekanan langsung secara manual.

Tourniquet harus dihindari karena bisa menyebabkan iskemi distal. Hipotensi tanpa

perdarahan luar harus diasumsikan sebagai perdarahan interna karena cedera intraabdomen,

intratorakal, fraktur pelvis atau tulang panjang. Pasien hipotensi hipovolemik biasanya

menunjukkan penurunan kesadaran karena aliran darah ke otak berkurang, nadi cepat, kulit

pucat dan lembab.

Dissabilitas dan penilaian status neurologi

Seperti halnya semua pasien trauma, prioritas pertama pada pasien trauma kapitis

adalah ABC. Dilanjutkan dengan survey primer dan sekunder. Penilaian fungsi neurologi

diindikasikan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan reaksi pupil dilakukan setelah

kardiopulmoner stabil.

Cara penilaian status kesadaran dengan melakukan pemeriksaan GCS dan fungsi pupil

(lateralisasi dan refleks pupil). Pupil adalah barometer penting pada pasien koma. Bila cahaya

mengenai retina, terjadi impuls yang berjalan ke nervus optikus, kemudian ke nucleus

pretectalis, lalu ke nucleus edinger-westphal dan kembali ke saraf parasimpatis yang akan

mengkonstriksikan pupil. Batas normal pupil adalah 3-5 mm. Pupil midriasis yang tidak

berespon terhadap rangsang cahaya mengindikasikan herniasi transtentorial pada uncus

ipsilateral di lobus temporal media yang menekan dan menginaktivasi serat pupillokonstriktor

pada perifer n.III. CT scan dibutuhkan untuk mengidentifikasi lesi massa yang mungkin bisa

diatasi pada pasien. Tetapi, tetap harus diingat, pupil yang terfiksir dan melebar juga bisa

terjadi karena trauma langsung orbita dan isinya.

Eksposure

25

Page 26: Laporan Case

Penting untuk memeriksa pasien secara menyeluruh sehingga bisa seluruh bagian tubuh

bisa dinilai dan diagnosa cedera bisa ditegakkan.

TERAPI MEDIKAMENTOSA

1.Cairan Intravena

Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan perfusi serebral yang

adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan darah. Cairan intravena

diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia,

jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat

menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang

dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium

serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak.3 Strategi terbaik

adalah mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan

cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa

menyebabkan edema otak.8

2.Hiperventilasi

Hiperventilasi segera adalah tindakan life saving yang bisa mencegah atau menunda

herniasi pada pasien yang mengalami trauma kapitis parah. Gol tindakan ini adalah

menurunkan PCO2 ke rentang 30-35 mmHg. Hiperventilasi akan menurunkan ICP dengan

menyebabkan vasokonstriksi serebri; dengan onset efek dalam 30 detik. Hiperventilasi

menurunkan ICP sekitar 25% pada rata-rata pasien; jika pasien tidak berespon terhadap

intervensi ini, prognosisnya secara umum adalah buruk. Hiperventilasi berkepanjangan tidak

dianjurkan karena bisa menyebabkan vasokonstriksi dan iskemi. Hiperventilasi profilaksis

juga tidak dianjurkan. Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma kapitis parah yang

mengalami penurunan neurologis atau menunjukkan tanda herniasi.8 Selain itu, hiperventilasi

dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan

terjadinya asidosis.7

3.Manitol7,11,12

Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan ada kecurigaan

hematom ekstra-aksial maupun herniasi, penggunaan diuretika osmotik, seperti manitol atau

26

Page 27: Laporan Case

HTS, harus dipertimbangkan. Indikasi penggunaan agen osmotik adalah deteriorasi

neurologis yang akut seperti terjadi koma, dilatasi pupil, pupil anisokor, hemiparesis, atau

kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi.3. Manitol dipilih sebagai drug of choice

dengan HTS sebagai alternatif. Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat.3

Sediaan yang tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis 0,25-1

g/kgBB. Manitol mengurangi edem serebri dengan menciptakan gradient osmotis yang akan

menarik cairan dari jaringan ke intravascular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.1

Efek osmosis terjadi dalam hitungan menit dan mencapai puncak sekitar 60 menit setelah

bolus dimasukkan. Efek penurunan ICP bolus tunggal manitol bertahan sekitar 6-8 jam. 3

Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol

adalah diuretik osmotik yang poten dan akan memperberat hipovolemia.3 HTS pada

konsentrasi 3,1%-23% digunakan untuk merawat pasien yang menderita trauma kapitis dan

kenaikan ICP. HTS menyebabkan penyebaran volume plasma, mengurangi vasospasme, dan

mengurangi respon inflamasi pascatrauma. HTS bermanfaat pada trauma kapitis yang terjadi

pada anak dan edem serebri.

4.Furosemid (Lasix)

Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.3 Dosis yang biasa

diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena.3 Furosemid tidak boleh diberikan

pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat hipovolemia.3

5.Barbiturat

Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-

obatan lain. Barbiturat bekerja dengan cara “membius" pasien sehingga metabolisme otak

dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena

kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat

hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.1 Hipotensi sering terjadi pada penggunaan

barbiturat. Oleh karena itu, obat ini tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.11

6.Antikonvulsan

Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala tumpul dan 50%

trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi epilepsi tetapi kejang dini bisa

memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan hipoksia, hiperkarbia, pelepasan

neurotransmitter, dan peningkatan ICP.9 Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden

epilepsi pasca trauma, yaitu kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan

27

Page 28: Laporan Case

intrakranial, atau fraktur depresif. Penelitan menunjukkan, pemberian antikonvulsan

bermanfaat mengurangi kejang dalam minggu pertama setelah cedera namun tidak setelah itu.

Namun penelitian lain menyebutkan, penggunaan antikonvulsan tidak mengurangi risiko

serangan kejang secara bermakna. Penggunaan obat antiepilepsi profilaksis pada trauma

kapitis akut dilaporkan menurunkan risiko kejang sekitar 66%, walau profilaksis kejang dini

tidak mencegah kejang pasca trauma. Tujuan terapi antiepilepsi adalah untuk mencegah

akibat tambahan yang disebabkan trauma.12 Kejang harus dihentikan dengan segera karena

kejang yang berlangsung lama (30-60 menit) dapat menyebabkan cedera otak sekunder.3

Benzodiazepine dipilih sebagai first-line antikonvulsan. Lorazepam (0.05-0.15 mg/kg IV,

tiap 5 menit hingga total 4 mg) sangat efektif menggagalkan serangan epilepsy. Pillihan lain

adalah diazepam. Untuk antikonvulsan jangka panjang, fenitoin atau fosfenitoin bisa

diberikan.11

TERAPI KONSERVATIF

Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif, karena pembedahan

tidak akan membawa hasil lebih baik. Kriteria trauma kapitis yang hanya memerlukan

penatalaksanaan konservatif adalah sebagai berikut:13

Fraktura basis kranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata

Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (battle’s sign) dan atau kebocoran

cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.

Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer

Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan tulang yang

Menembus dura dan jaringan otak

Hematoma intraserebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau progresif akibat

contusio.

Pada hematoma intraserebral yang luas dapat ditatalaksana dengan hiperventilasi, manitol

dan steroid dengan monitoring tekanan intrakranial sebagai usaha untuk menghindari

pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan

kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis.

TERAPI OPERATIF

Operasi di lakukan bila terdapat:

Volume hematoma > 25 ml

28

Page 29: Laporan Case

Keadaan pasien memburuk

Pendorongan garis tengah > 5 mm

Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr hole).

Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi operasi di bidang bedah

saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan

tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini

disebabkan oleh lesi desak ruang.

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

> 25 cc desak ruang supra tentorial

> 10 cc desak ruang infratentorial

> 5 cc desak ruang thalamus

Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan

Penurunan klinis

Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan

klinis yang progresif

Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan

klinis yang progresif.

KOMPLIKASI

1- Koagulopati

Besarnya angka kejadian koagulopati pada pasien trauma kepala sudah diketahui

dengan jelas. Investigasi pada anak-anak yang mengalami trauma kepala, menunjukkan hasil

bahwa 71% nya memiliki clotting test yang abnormal dan 32% nya mengalami sindrom

disseminated intravascular coagulation and fibrinolysis (DICF).

2- Tromboemboli

29

Page 30: Laporan Case

Pasien dengan trauma kepala memiliki resiko tinggi deep venous thrombosis (DVT) dan

pulmonary embolism (PE). Berdasarka penelitian, didapatkan 4.3% pasien dengan trauma

kepala didiagnosa DVT.

PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada:

Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

Besarnya

Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena

kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15%

dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma

sebelum operasi.

Pada hematoma intraserebral, dapat terjadi mortalitas 20%-30% , bisa sembuh tanpa

defisit neurologis, atau sembuh dengan defisit neurologis. Menentukan keluaran dan

prognosis dari cedera kepala sangat sulit. Terlambatnya penanganan awal/resusitasi,

pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat,

terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain merupakan

faktor-faktor yang memperburuk prognosis penderita cedera kepala.

BAB III

ANALISIS MASALAH

30

Page 31: Laporan Case

Anamnesis yang dilakukan terhadap pasien Ny. H yang berusia 53 tahun diperoleh

bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran dengan GCS 12 tetapi tidak pingsan setelah

kecelakaan lalu lintas yang dialaminya. Kejadian tersebut terjadi kurang lebih 1 jam sebelum

masuk rumah sakit. Pasien telah dilanggar oleh sepeda motor saat mahu melintas jalan.

Bagian kepala yang terbentur dahulu adalah pada bagian hidung dan kepala bagian kanan.

Pada pemeriksaan fisik survei primer didapatkan airway, breathing dan circulation dalam

batas normal. Penilaian airway didasarkan pada ada atau tidaknya tanda-tanda obstruksi

jalan nafas. Tanda-tanda objektif untuk menilai jalan nafas, yaitu pada look, dimana penderita

menunjukkan tanda-tanda hipoksia yaitu retraksi dinding dada dan penggunaan otot-otot

bantu pernafasan. Tanda yang kedua adalah feel yang dapat dirasakan aliran udara dari

hidung. Tanda yang ketiga adalah listen yang tidak ditemukan suara berkumur (gurgling),

snoring (suara mendengkur yang menunjukkan adanya sumbatan jalan nafas atas dimana

lidah jatuh ke posterior pharynx), dan crowing atau stridor (suara bersiul yang menunjukkan

adanya sumbatan di jalan nafas bawah terutama pada bronkus akibat adanya benda asing),

tidak ditemukan hoarness (suara parau yang menunjukkan sumbatan pada laring yang biasa

terjadi akibat edema laring). Pada penilaian Breathing dilakukan pemeriksaan berupa look

yaitu pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda seperti luka tembus dada, fail chest,

gerakan otot nafas tambahan. Pada feel tidak terlihat pergeseran letak trakea, patah tulang iga,

emfisema kulit, dan dengan perkusi tidak ditemukan hemotoraks dan atau pnemutoraks,

sedangkan pada listen tidak didapatkan suara nafas tambahan, suara nafas menurun, dan

dinilai frekuensi pernapasan yang berada dalam batas normal. Pada circulation dalam batas

normal yang dinilai dari frekuensi nadi yang dalam batas normal yaitu 70 kali/menit. Os

mengeluh pusing, mual dan sempat muntah berkali-kali keluar makanan bercampur kotoran

berwarna coklat kehitaman. Hal ini timbul karena terjadi benturan pada kepala dan hidung

pasien. Fraktur pada hidung menyebabkan keluar darah dari hidung dan kemungkinan pasien

tertelan darah tersebut dan menyebabkan pasien muntah coklat kehitaman.

Setelah airway, breathing, dan circulation dalam keadaan stabil, maka dilakukan

pemeriksaan disability yang disebut juga disfunction of neurology (gangguan fungsional otak

akibat suatu hipoksia dan iskemia yang menyertai gangguan airway, breathing, dan

circulation). Melalui pemeriksaan neurologis sederhana, meliputi pemeriksaan GCS untuk

menilai tingkat kesadaran dan reaksinya terhadap rangsangan. Nilai GCS yang diperoleh

31

Page 32: Laporan Case

adalah 12 (E4M5V4=13). Sementara pada pemeriksaan pupil didapatkan pupil isokor dan

refleks cahaya positif pada kedua pupil.

Survei sekunder diperoleh pada inspeksi di regio auris dextra didapatkan tampak vulnus

laceratum dengan ukuran 5 cm x 1 cm, darah (+). Pada regio nasal ditemukan darah (+).

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah, foto kepala dan foto

thorax. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 10,2 g/dl ,Ht 31 vol%, Leukosit 8300

mm³ ,Trombosit 484.000 mm3, Na 135 mmol/l, K 3,6 mmol/l. Pada pemeriksaan foto kepala

ditemukan tanda fraktur pada regio os frontal dan os nasal dextra.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang di atas penderita

didiagnosis Cedera kepala sedang tertutup GCS 13 dengan fraktur os frontalis dan os nasalis

dextra. Pemeriksaan yang disarankan pada pasien ini adalah CT scan kepala. Pemeriksaan

CT scan kepala dilakukan untuk mengetahui kelainan-kelainan pada daerah kepala dengan

lebih jelas. Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan

merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan ukuran dari

perdarahan intracranial. Pada pasien ini tidak dapat dilakukan CT scan karena pasien di rujuk

ke RS lain. Penatalaksanaan yang diberikan adalah IVFD RL gtt XV/menit, injeksi

sefotaksim 2 x 1 g, injeksi ketorolak 3 x 1 amp, injeksi citicolin 2 x 1 amp, injeksi ATS 1500

UI.

Prognosis pada pasien ini quo ad vitam-nya adalah dubia ad bonam. Artinya setelah

mendapat tindakan life saving, maka kemungkinan dapat hidupnya besar, sedangkan

prognosis quo ad functionam-nya adalah dubia ad bonam. Artinya fungsi otak tidak dapat

dipastikan sembuh sepenuhnya. Namun, karena penderita ini dilakukan penanganan yang

lebih awal maka dimungkinkan fungsi otaknya akan normal.

DAFTAR PUSTAKA

32

Page 33: Laporan Case

1. Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 3. alih bahasa

dr.Jan Tambayong. 1997. EGC.

2. Ellis, Harold. Applied anatomy for students and junior doctors. Eleventh edition.

Blackwell Publishing. 2006.

3. De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 2004. p: 819-821.

4. Saharuddin, Lukman Bin. 2010. Laporan Kasus Trauma Capitis Sedang Tertutup

GCS 12, Fraktur Linear Os Temporal Dekstra , Fraktur Linear Os Frontal Dekstra ,

Fraktur Linear Os Sphenoid Dekstra,ICH Lobus Temporal Sinistra,Edema Serebri.

Palembang.

5. Japardi, Iskandar. 2009. Trauma Kapitis. Bhuana Ilmu Popular. Jakarta.

6. Qauliyah A. Epidural hematoma. [cited 2012 November 28]. Available from

http://www.astaqauliyah.com/2007/02/26/referat-epidural-hematoma/.

7. Riyanto, Budi. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Available from

http://www.kalbe.co.id/files/cdk

8. Seth J. Karp, MD. James P. G. Morris, MD. David I. Soybel, BLUEPRINTS

SURGERY. Third Edition. Blackwell Publishing.2004

9. Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. Trauma. 5th Ed. McGraw-Hill.

2004.

10. Sylvia, A Price dan Wilson M Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses

Penyakit. EGC. Jakarta. 2006. p: 1167-1174.

11. American College Surgeon. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh. United

States of America, 2004. p: 167-185.

12. Heegaard, William dan Michelle Biros, Traumatic Brain Injury. Emerg Med Clin N

Am 25 (2007) 655–678.

13. Price DD. Epidural hematoma. [cited 2012 November 28]. Available from

http://www.medicine.medspace.com/article/824029.

33