laporan akhir praktikum farmakologi modul 3

26
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI Obat Sistem Syaraf Otonom (Antikolinergik) KELOMPOK 4 Selasa, 22 Maret 2011 Aldila Indah R 260110090029 Natur Yasinka260110090030 Silviana D. A. 260110090031 Dianti Nofriani 260110090032 Novita Chandra 260110090033 Harna L. P. 260110090034 Ridha Tria 260110090036 Pramuja Aria M. 260110090039 LABORATORIUM FARMAKOLOGI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN

Upload: chipyavianti

Post on 01-Jul-2015

5.639 views

Category:

Documents


193 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Obat Sistem Syaraf Otonom (Antikolinergik)

KELOMPOK 4

Selasa, 22 Maret 2011

Aldila Indah R 260110090029

Natur Yasinka 260110090030

Silviana D. A. 260110090031

Dianti Nofriani 260110090032

Novita Chandra 260110090033

Harna L. P. 260110090034

Ridha Tria 260110090036

Pramuja Aria M. 260110090039

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2011

Page 2: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

OBAT SISTEM SYARAF OTONOM (ANTIKOLINERGIK)

I.         TUJUAN

1.     Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai sistem syaraf

otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.

2.     Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat

antikolinergik pada neoroefektor parasimpatikus.

II.      PRINSIP

1. Inhibisi

Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan

salivasi dan hipersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat

antikolinergik.

III. TEORI

Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang

mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan

berbagai kelenjar.1 Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol tekanan

darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung

kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain. Karakteristik

utam SSO adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam

beberapa detik saj denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula,

demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat

terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih).

Page 3: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap

homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi

seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari

refleks visceral (Guyton, 2006).

Secara anatomi sususnan saraf otonom terdiri atas saraf praganglion,

gangl;ion dan pasca ganglion yang mempersarafi sel efektor. Serat eferen

persarafan otonom terbagi atas sistem persarafan simpatis dan parasimpatis.

Sistem saraf simpatis (Torakolumbal segmen susunan saraf otonom) disalurkan

melalui serat torakolumbal 1 sampai lumbal 3. Serat saraf eferennya kemudian

berjalan ke ganglion vertebral, pravertebral dan ganglia terminal. Sistem

persarafan parasimpatis (segmen kraniosakral susunan saraf otonom) disalurkan

melalui beberapa saraf kranial yaitu N III, N.VII, N.IX, N.X dan serat saraf yang

berasal dari sakral 3 dan 4 (Moveamura, 2008).

Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom  adalah

obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel

saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom,

tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil.

Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf

otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau

penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce,

2002).

Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat

pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi : 

a.     Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai

berikut : 

·      Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek

perangsangan dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin,

isoprenalin, dan lain-lain. 

Page 4: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

·      Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf

parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale,

propanolol, dan lain-lain. 

b.    Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai

berikut : 

·         Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru

perangsangan dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan

phisostigmin (Pearce, 2002). 

Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf

parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida

belladonna (Pearce, 2002).

Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat

menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP),

karena melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya.

Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi darimakanan dan menghambat

penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SPdirangsang,

timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur.

Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan

memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga

sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan

jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan,

antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar,

kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya

tekananintraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung

kemih dan ureter denganefek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh

dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada permulaan

menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002).

Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan

basa organik.Ikatan ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara

Page 5: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

antikolinergik dengan reseptor asetilkolin. Obat ini berikatan secara blokade

kompetitif dengan asetilkolin dan mencegahaktivasi reseptor. Efek selular dari

asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine

monophosphate (cGMP) dicegah.Reseptor jaringan bervariasisensitivitasnya

terhadap blokade. Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan

subgrupreseptor telah dapat diidentifikasikan : reseptor neuronal (M1),cardiak

(M2) dan kelenjar (M3)  (Askep, 2009).

Obat antikolinergik (dikenal juga sebagai obat antimuskatrinik,

parasimpatolitik, penghambat parasimpatis). Saat ini terdapat antikolinergik yang

digunakan untuk

(1). mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya antispasmodik

(2). Penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum

(3). Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit parkinson.

Contoh obat-obat antikolinergik adalah atropin, skopolamin, ekstrak beladona,

oksifenonium bromida dan sebagainya. Indikasi penggunaan obat ini untuk

merangsang susunan saraf pusat (merangsang nafas, pusat vasomotor dan

sebagainya, antiparkinson), mata (midriasis dan sikloplegia), saluran nafas

(mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus, sistem kardiovaskular

(meningkatkan frekuensi detak jantung, tak berpengaruh terhadap tekanan darah),

saluran cerna (menghambat peristaltik usus/antispasmodik, menghambat sekresi

liur dan menghambat sekresi asam lambung) (Moveamura, 2008).

Obat antikolinergik sintetik dibuat dengan tujuan agar bekerja lebih

selektif dan mengurangi efek sistemik yang tidak menyenangkan. Beberapa jenis

obat antikolinergik misalnya homatropin metilbromida dipakai sebagai

antispasmodik, propantelin bromida dipakai untuk menghambat ulkus peptikum,

karamifen digunakan untuk penyakit parkinson (Moveamura, 2008).

Page 6: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat

pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk

maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat

menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut

lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di sekitar kanal

Schlemm, sehingga tekanan bola mata turundengan segera akibat cairan humor

keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsungsekitar sehari dan dapat

diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofatdan ekotiofat,

bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya dalam mengobatiglaukoma,

pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat mencapaiotak

dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi

yangberlebihan (Mycek, 2001).

IV. ALAT DAN BAHAN

IV.1 Alat

- Kertas koran

- Syringe

- Kandang

- Kapas

- Kertas saring

- Needle No. 24

- Papan berukuran 40x30 cm

- Sonde oral

- Timbangan

IV.2 Bahan

- Alkohol

Page 7: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

- Atropin 0,04% ( 1 mg/kgBB)

- Methylen blue

- Pilokarpin 0,02% (2 mg / kgBB)

- Uretan (1,8 g / kgBB)

V. PROSEDUR

Pada praktikum kali ini, akan diujikan berbagai obat sistem syaraf

otonom dalam pengendalian fungsi- fungsi vegetatif tubuh untuk mengetahui efek

apa yang akan terjadi pada tubuh mencit. Hal yang pertama kali dilakukan oleh

praktikan adalah mempersiapkan larutan obat dan larutan gom. Kemudian, dipilih

tiga ekor mencit yang diambil secara acak, kemudian ditimbang satu persatu.

Berat masing-masing mencit dicatat dan diberi tanda pengenalnya. Setelah itu,

mencit pertama diambil, lalu diberi uretan sebanyak 0,5 mililiter secara per oral

menggunakan sonde, kemudian atropin sebanyak 0, 5 ml langsung diberikan

secara intra peritoneal segera setelah pemberian uretan. Untuk setia prosedur

penginjeksian, mencit harus dioleskan kapas berisi alkohol terlebih dahulu.

Setelah 45 menit, mencit tersebut diberi pilokarpin secara injeksi subkutan

sebanyak 0,5 mililiter. Mencit tersebut lagsung dipindahkan ke papan yang telah

dibungkus kertas saring dan mengandung methylen blue. Lima menit pertama

mencit ditempatkan di petak paling bawah. Lalu lima menit kemudian mencit

tersebut dipindahkan ke petak yang letaknya lebih atas dari petak yang pertama.

Setiap lima menit berikutnya mencit dipindahkan ke petak yang letaknya di atas

petak yang sebelumnya telah ditempati sampai ke menit dua puluh lima. Noda

salivasi diberi tanda dan diukur diameternya.

Mencit kedua diambil dan diberi uretan secara per oral menggunakan

sonde sebanyak 0,5 mililiter di menit ke nol. Setelah itu mencit didiamkan hingga

menit ke 15. Pada saat menit ke 15, mencit diinjeksikan atropin sebanyak 0,5

mililiter secara intra peritoneal. Kemudian tiga puluh menit kemudian mencit

Page 8: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

tersebut diinjeksikan pilokarpin sebanyak 0,5 mililiter secara subkutan. Waktu

dihitung sejak pemberian pilokarpin dan mencit langsung ditempatkan di atas

petak paling bawah pada papan yang sudah dilapisi kertas saring dan diberi

methylen blue. Setiap lima menit berikutnya mencit dipindahkan ke petak yang

letaknya di atas petak yang sebelumnya telah ditempati sampai ke menit dua

puluh lima. Noda salivasi yang timbul diberi tanda dan diukur diameternya.

Mencit ketiga diambil lalu diberi uretan pada menit ke nol lalu dibiarkan

hingga menit ke 45. Setelah itu mencit diinjeksikan pilokarpin sebanyak 0,5

mililiter secara subkutan. Mencit ketiga dijadikan kontrol negatif. Oleh karena itu

mencit tidak diberikan atropin. Waktu dihitung sejak pemberian pilokarpin dan

mencit langsung ditempatkan di atas petak paling bawah pada papan yang sudah

dilapisi kertas saring dan diberi methylen blue. Setiap lima menit berikutnya

mencit dipindahkan ke petak yang letaknya di atas petak yang sebelumnya telah

ditempati hingga waktu menunjukkan menit ke dua puluh lima. Noda salivasi

diberi tanda dan diukur diameternya. Setelah diameter salivasi dari ketiga mencit

dihitung, maka akan didapatkan persen inhibisi dari pemberian atropin pada

masing-masing mencit.

Page 9: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

VI. DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

VI. Data Pengamatan

Kelompok NoDiameter Salivasi

5 menit 10 menit 15 menit 20 menit 25 menit

I

1 4,3 4,6 5,1 6 5,6

2 2,4 2 1,9 2,1 1,9

3 0 0,6 2,05 1,5 1,3

4 2,7 4 3,4 3,8 3,8

Rata - rata diameter 2,4 2,8 3,1 3,4 3,2

II

1 0 0 1,4 1,7 1,9

2 0 2,1 2,7 3 3,2

3 0 4 3,5 3,175 3,5

4 0 0 1 1,8 1,9

Rata - rata diameter 0 1,5 2,2 2,4 2,6

III

1 2,4 4,4 4,8 4,6 4

2 3,4 4,3 3,6 3,1 3,7

3 4 4,25 3,7 4,2 2,7

4 3 4,3 3,9 3,4 3,6

Rata - rata diameter 3,2 4,3 4 3,8 3,5

Page 10: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

VI.2. Perhitungan

1. Perhitungan Dosis

Mencit 1

Dosi

s=

21,85x 0,5 ml

20

= 0,55 ml

Mencit 2

Dosi

s=

20,5x 0,5 ml

20

= 0,51 ml

Mencit 3

Dosi

s=

16,2x 0,5 ml

20

= 0,4 ml

Mencit 4

Dosi

s=

16,5x 0,5 ml

20

= 0,41 ml

Mencit 5

Dosi

s=

14,5x 0,5 ml

20

= 0,36 ml

Page 11: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

Mencit 6

Dosi

s=

17,8x 0,5 ml

20

= 0,44 ml

Mencit 7

Dosi

s=

13,7x 0,5 ml

20

= 0,34 ml

Mencit 8

Dosi

s=

14,8x 0,5 ml

20

= 0,37 ml

Mencit 9

Dosi

s=

19,2x 0,5 ml

20

= 0,48 ml

Mencit 10

Dosi

s=

18,3x 0,5 ml

20

= 0,46 ml

Mencit 11

Dosi = 21,7 x 0,5 ml

Page 12: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

s20

= 0,54 ml

Mencit 12

Dosi

s=

18,1x 0,5 ml

20

= 0,45 ml

2. Perhitungan % Inhibisi Salivasi

Diameter Uji I = 2,4 + 2,8 + 3,1 + 3,4 + 3,2

= 14,8

Diameter Uji II = 0 + 1,5 + 2,2 + 2,4 + 2,6

= 8,7

Diameter Kontrol Negatif = 3,2 + 4,3 + 4 + 3,8 + 3,5

= 18,8

Kelompok I

% Inhibisi Salivasi =( d kontrol negatif ) - ( d uji I )

x 100%d kontrol negatif

Page 13: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

=18,8 – 14,8

x 100%18,8

= 21,28 %

Kelompok II

% Inhibisi Salivasi =( d kontrol negatif ) - ( d uji II )

x 100%d kontrol negatif

=18,8 – 8,7

x 100%18,8

= 53,72 %

Page 14: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

VI.3. GRAFIK

Grafik Diameter Salivasi Terhadap Waktu

Page 15: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

5 menit 10 menit 15 menit 20 menit 25 menit0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

5

Kelompok I

Kelompok II

Kelompok III

Waktu

Dia

met

er S

aliv

asi

VII. PEMBAHASAN

Page 16: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

Pada praktikum farmakologi kali ini praktikan melakukan uji pada obat-

obat sistem syaraf otonom. Syaraf otonom merupakan syaraf-syaraf yang bekerja

tanpa disadari atau bekerja secara otomatis. Percobaan kali ini bertujuan agar

praktikan dapat menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem

syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan agar

praktikan dapat mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat

antikolinergik pada neoroefektor parasimpatikus.

Percobaan kali ini diawali dengan mempersiapkan semua alat untuk

percobaan dan bahan yaitu obat-obat yang akan digunakan pada percobaan.

Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu mencit lalu diamati

kesehatannya dan ditimbang lalu diberi tanda pengenal untuk membedakan.

Penimbangan hewan percobaan dimaksudkan untuk perhitungan dosis yang tepat

pada percobaan, karena salah satu faktor penting yang dapat memberikan dosis

yang berbeda tiap individu adalah berat badan. Tanda pengenal pun sangat

penting agar hewan percobaan tidak tertukan saat pengamatan. Kemudian mencit

dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok diberi uretan secara

intraperitonial menggunakan jarum suntik. Uretan diberikan dengan tujuan untuk

membuat mencit tidur atau paling tidak menurunkan aktivitasnya sehingga tidak

menyulitkan praktikan dalam melakukan tindakan selanjutnya. Selain itu

pembiusan mencit dilakukan karena dalam keadaan tidur biasanya terjadi salivasi

dimana salivasi ini dimanfaatkan dalam pengujian obat-obat sistem saraf otonom.

Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf simpatik yang

dapat menghambat aliran ludah dan sistem syaraf parasimpatik yang dapat

menstimulasi aliran ludah.

Setelah pemberian uretan, mencit kelompok 1 diberi atropin secara

peroral menggunakan sonde. Setelah 15 menit dari pemberian uretan, mencit

kelompok 2 diberi atropin secara subkutan menggunakan jarum suntik. Mencit

kelompok 3 digunakan sebagai kelompok kontrol dimana tidak diberikan atropin.

Atropin merupakan obat antikolinergik yang akan diuji pengaruhnya pada sistem

saraf otonom. Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, secara kompetitif

Page 17: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

dapat menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada neuroefektor

parasimpatik postganglionik, kelenjar sekresi  dan sistem syaraf pusat,

meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, juga mengantagonis

histamin dan serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi.

Setelah 45 menit dari pemberian uretan, semua kelompok mencit

diberiakan pilocarpin menggunakan jarum suntik secara subkutan agar efek yang

ditimbulkan cepat. Policarpin adalah obat kolinergik yang merangsang saraf

parasimpatik yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung

dan mengaktifkan kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar air liur. Hal

tersebut dapat memicu terjadinya hipersalivasi sehingga air liur yang dikeluarkan

mencit lebih banyak.

Setelah semua bahan (obat) sudah diberikan pada mencit, masing-masing

mencit diletakan pada kertas saring yang sudah diberi metilen blue di bawahnya

sehingga air liur yang dikeluarkan mencit merubah kertas saring menjadi

berwarna biru. Masing-masing mencit ditempatkan pada satu kotak dan setiap 5

menit mencit tersebut dipindahkan pada kotak diatasnya. Kemudian diameter

salivasi yang terjadi diukur lalu dicatat datanya untuk dilakukan pengolahan.

Setelah diamati mencit kelompok 3 rata-rata membuat diameter salivasi

paling besar yang berarti air liur yang dikeluarkan lebih banyak, dan warna biru

yang dihasilkan pada kertas saring paling pekat diantara kelompok yang lain.Hal

ini terjadi karena mencit kelompok 3 yang merupakan kontrol negatif tidak diberi

atropin sehingga tidak ada penghambat salivasi karena tidak ada obat

antikolinergik yang diberikan pada mencit kelompok ini.

Mencit kelompok 1 rata-rata mebuat diameter salivasi lebih kecil dari

pada kelompok 3. Hal ini terjadi karena pemberian atropin secara peroral pada

mencit sehingga menghambat proses hipersalivasi pada mencit yang disebabkan

oleh pilokarpin.

Mencit kelompok 2 rata-rata membuat diameter salivasi lebih kecil dari

kelompok lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya pemberian atropin secara

Page 18: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

subkutan pada menit ke 15 sehingga proses salivasi lebih terhambat dibanding

kelompok lainnya. Pemberian obat secara subkutan memberikan efek yang lebih

cepat jika dibandingkan dengan pemberian secara peroral.

Perbedaan diameter salivasi disebabkan oleh beberapa faktor internal dan

eksternal. Faktor eksternal pada percobaan kali ini adalah karena ada tidaknya

pemberian obat antikolinergik pada hewan percobaan dan cara pemberian obat

antikolinergik tersebut. Pemberian obat secara subkutan akan memberikan efek

obat yang lebih cepat dan lebih kuat. Hal ini terbukti dengan kecilnya diameter

salivasi pada mencit kelompok 2 yang pemberian atropinnya secara subkutan

walaupun pemberiannya lebih lama dari mencit kelompok 1. Pemberian obat

secara subkutan pun akan mengurangi degradasi obat karena obat tidak melalui

sistem pencernaan. Sedangkan pada mencit kelompok 1, atropin diberikan secara

peroral sehingga degradasi obat lebih besar dan dosis obat akan menurun sehingga

efek yang ditimbulkan akan melemah.

Setelah data diamati dan diolah dengan menggunakan perhitungan persen

inhibisi dengan rumus :

% Inhibisi Salivasi =( d kontrol negatif ) - ( d uji )

x 100%d kontrol negatif

Data inhibisi dari mencit kelompok 1 dan 2 dimana mencit kelompok 1 meberikan

rata-rata inhibisi sebesar 21,28 % sedangkan mencit kelompok 2 memberikan

rata-rata inhibisi sebesar 53,72 %. Perhitungan inhibisi ini dilakukan dengan

membandingkan diameter rata-rata kelompok 1 dan 2 dengan kelompok kontrol 3

dimana selisih antara rata-rata diameternya merupakan inhibisi yang ditimbulkan

dari obat antikolinergik yang pada praktikum ini adalah atropin.

Page 19: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

VIII. KESIMPULAN

1. Sistem syaraf otonom dapat mempengaruhi pengendalian fungsi-fungsi

vegetatif tubuh, contohnya mempengaruhi salivasi.

2. Aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor parasimpatikus dapat

diketahui dengan cara menghitung diameter salivasi hewan percobaan

yang telah diberi obat antikolinergik dan obat kolinergik.

DAFTAR PUSTAKA

Askep. 2009. Obat-Obat Antikolinergik. Available online at

http://askepterlengkap.blogspot.com/2009/06/obat-

obatantikolinergik.html?zx=bf1c0f73d60de0ae [Diakses 27 Maret 2011]

Page 20: LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

Moveamura. 2008. Drug Affecting Nervous System. Available online at

http://moveamura.wordpress.com/farmakologi/ [Diakses tanggal 27

Maret 2011]

Guyton, A. C. 2006. Textbook of medical physiology 11th edition. Elsevier Inc.

Philadelphia.

Mycek, J. M. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi ke-2. PT Elex Media

Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta.

Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia

Pustaka Umum. Jakarta.

Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka Umum.

Jakarta.