laporan akhir - poltekkes-malang.ac.id
TRANSCRIPT
i
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN CALON DOSEN
PENGEMBANGAN METODE BERBASIS PAPER ANALYTICAL
DEVICE (PAD) MENGGUNAKAN EKSTRAKS Ipomoea batatas L.
Poir UNTUK DETEKSI BORAKS DALAM MAKANAN (BAKSO)
Ketua/Anggota Tim
ZURI RISMIARTI, S.Si, M.Si NIK. 90.01.2.211
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
DESEMBER dan 2018
Kode/Nama Rumpun Ilmu: 354/Ilmu Gizi (Anafarma)
iii
iv
ABSTRAK
Saat ini, boraks banyak digunakan oleh industri kecil atau industri rumah
tangga, dalam pembuatan makanan sebagai pengeras, pengeyal maupun pengawet.
Dalam tubuh, boraks diserap dan disimpan secara komulatif dalam hati, otak, usus atau
testis sehingga dosisnya dalam tubuh menjadi tinggi dan akan mempengaruhi kerja
syaraf. Oleh sebab itu, Kementerian Kesehatan RI melalui Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 melarang pemakaian boraks
dalam makanan. Data survei Keamanan Pangan Badan POM RI tahun 2010 yang
menyatakan penyalahgunaan boraks sebesar 8,80%.
Teknik yang efektif untuk mengetahui kadar boraks dalam makanan dilapangan
adalah penggunaan test kit. Test kit yang telah dikembangkan menggunakan ekstrak
antosianin dari tanaman. Penggunaan antosianin untuk deteksi boraks karena sifat kimia
dari senyawa ini sangat dipengaruhi pH yang mengakibatkan perubahan warna dari
antosianin. Warna merah muda antosianin terbentuk pada rentang pH 1-9 dan berwarna
hijau, ungu, biru pada rentang pH 10-12. Penelitian ini menggunakan ekstrak antosianin
dari ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) untuk deteksi boraks dalam makanan. Dengan
memanfaatkan ekstraks antosianin dari ubi jalar ungu maka pemakaian reagen kimia
untuk deteksi boraks dalam sampel makanan dapat diminimilisir. Selain itu, dapat
meningkatkan nilai tambah dari komoditas tanaman tersebut dan dapat memanfaatkan
sumber daya alam yang melimpah di Indonesia. Antosianin pada ubi jalar ungu tidak
kalah banyak jika dibandingkan dengan tumbuhan jenis lain.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode yang, akurat, sederhana
dan murah serta tidak digunakan intrumentasi khusus untuk mendiagnosa boraks
menggunakan paper analytical device (PAD) berbasis pencitraan digital, yang meliputi
optimasi pelarut ekstraks antosianin dari ubu jalar ungu, optimasi konsentrasi ekstraks
antosianin, optimasi pH menggunakan buffer basa fosfat, optimasi waktu pengukuran,
penentuan linieritas pengukuran, serta validasi dengan penentuan % recovery dalam
sampel makanan yang terkontaminasi boraks. Hasil penelitian ini diharapkan mampu
untuk diagnostik dan monitoring boraks pada makanan agar tidak membahayakan
konsumen sehingga makanan yang beredar di masyarakat tetap terjaga kualitasnya dana
aman untuk dikonsumsi.
Kata kunci: boraks, makanan, kertas, ubi, antosianin
v
PRAKATA
Atas waranugraha Tuhan YME, laporan kemajuan hibah penelitian calon dosen
pemula yang berjudul “Pengembangan Metode Berbasis Paper Analytical Device
(PAD) Menggunakan Ekstraks Ipomoea batatas L. Poir Untuk Deteksi Boraks
Dalam Makanan (Bakso)” dapat diselesaikan dengan baik.
Penyusunan laporan akhir penelitian ini tidak lepas dari dukungan semua pihak
dan bantuan dari berbagai pihak terkait. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan
segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih. Serta tak
lupa ucapan terima kasih kepada Politeknik kesehatan Kemenkes Malang yang
memberi kepercayaan dan memberikan dana penelitian yang sangat penting dalam
pengembangan metode analisis ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kemajuan penelitian ini masih kurang dari target yang diharapkan, namun pada
akhir tahun peneliti yakin semua hasil yang ditargetkan bisa diselesaikan dengan baik.
Untuk itu peneliti menyampaikan permohonan maaf serta sangat menerima adanya
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan di masa mendatang.
Malang, November 2018
Tim Peneliti
vi
DAFTAR ISI
Halaman Sampul i
Halaman Pengesahan ii
Abstrak iii
Prakata iv
Daftar Isi v
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 4
1.3. Target Luaran ........................................................................................ 5
BAB 2. TINJAUAN PUSATAKA ..................................................................... 6
2.1. Ipomoea Batatas L. (Ubi jalar ungu) ...................................................... 6
2.2. Boraks .................................................................................................... 8
2.2. Metode Penentuan Boraks ...................................................................... 9
2.3. Paper Analytical Device ....................................................................... 10
2.4. Image J ................................................................................................ 12
2.5. Kerangka Konsep Penelitian ................................................................. 12
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT ................................................................ 13
3.1. Tujuan .................................................................................................. 13
3.2. Manfaat ................................................................................................ 13
BAB 4. METODE PENELITIAN .................................................................... 14
4.1. Jenis dan Penelitian .............................................................................. 14
4.2. Bahan dan Alat ..................................................................................... 14
4.3. Tempat dan Waktu ............................................................................... 14
4.4. Variabel Penelitian ................................................................................ 14
4.5. Definisi Operasional ............................................................................. 14
4.6. Tahapan Penelitian ................................................................................ 16
4.7. Metode Penelitian .................................................................................. 16
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 20
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………... 32
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Boraks merupakan senyawa dengan nama kimia natrium tetraborat atau garam
boraks (Na2B4O7.10H2O) dan asam borat (H3BO3). Pada awalnya boraks dikenal
mempunyai aktivitas sebagai bahan antiseptik yang digunakan sebagai bahan
pembersih, pengawet kayu, dan herbisida. Namun saat ini, boraks tidak digunakan
sebagai pembersih, tetapi digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan. Boraks
banyak digunakan oleh industri kecil atau industri rumah tangga, dalam pembuatan mie,
gendar, atau kerupuk gendar (kerupuk nasi), lontong (sebagai pengeras), ketupat
(sebagai pengeras), bakso (sebagai pengenyal dan pengawet), kecap (sebagai pengawet),
bahkan pembuatan bubur ayam (sebagai pengenyal dan pengawet) (Kresnadipayana,
2017).
Konsumsi makanan yang mengandung boraks akan menyebabkan gangguan
otak, hati, lemak dan ginjal. Boraks dalam jumlah banyak, menyebabkan demam, anuria
(tidak terbantuknya urin), koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi,
apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan bahkan kematian
(Disnakkeswan, 2006). Oleh sebab itu, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 melarang pemakaian boraks dalam
makanan. Tetapi pada kenyatannya, boraks sering ditambahkan kedalam pangan seperti
kerupuk, bakso, mie basah, siomay sesuai data survei Keamanan Pangan Badan POM
RI tahun 2010 yang menyatakan penyalahgunaan boraks sebesar 8,80%. Makanan-
makanan tersebut biasanya diproduksi oleh usaha kecil menengah (UKM) yang tidak
terdaftar di badan POM sehingga kualitasnya kurang terkontrol. Oleh sebab itu,
diperlukan pengawasan (monitoring) rutin terhadap kadar boraks pada makanan agar
tidak membahayakan konsumen sehingga makanan yang beredar di masyarakat tetap
terjaga kualitasnya dana aman untuk dikonsumsi.
Dalam menganalisa kandungan boraks dalam sampel makanan telah
dikembangkan beberapa metode pengukuran antara lain, titimetri dan spektrofotometer
UV-Vis (Mujamil, 1997; Panjaitan, 2010). Metode tersebut memiliki tahapan analisis
yang kompleks, mahal dan perlu pereaksi yang banyak, menggunakan instrument
khusus sehingga membutuhkan biaya analisa yang tidak terjangkau, tidak praktis untuk
uji lapangan, dibutuhkan keahlian khusus dalam pengoperasian sehingga tidak semua
2
individu dapat menganalisa kandungan boraks dalam sampel makanan serta tidak
praktis untuk digunakan analisis lapang, sehingga monitoring terhadap penggunaan
boraks dalam makanan menjadi tidak efektif. Anggraeni (2013) telah berhasil
mengembangkan test kit untuk deteksi kandungan boraks dalam makanan. Test kit
tersebut dengan menggunakan kertas berbasis kurukumin (ekstrak kunyit) Teknik test
kit tersebut sangat efektif untuk deteksi boraks dalam makanan dengan kadar minimal
200 ppm. Semakin besar kadar ppm dari boraks maka semakin jelas warna coklat pada
paper test kit.
Penelitian selanjutnya dilakukan Ayun (2017) mengembangkan test kit larutan
menggunakan ekstrak kulit buah naga (Hylocereus Costaricensis). Kulit buah naga
mengandung kadar antosianin yang cuku tinggi. Hasil ekstraksi antosianin tersebut
mampu mengetahui konsentrasi boraks pada makanan berdasarkan warna yang
dihasilkan. Penelitian itu membuktikan, jika makanan mengandung boraks akan
memberikan warna merah yang lebih lama. Sedangkan makanan tanpa boraks akan
muncul warna terang. Formulasi analisis boraks itu mulai dari 100 - 1000 parts per
milion (ppm). Metode ini menggunakan oksidator KMnO4 dan buffer pH 12.
Penggunaan antosianin untuk deteksi boraks karena sifat kimia dari senyawa ini sangat
dipengaruhi pH yang mengakibatkan perubahan warna dari antosianin. Warna merah
muda antosianin terbentuk pada rentang pH 1-9 dan berwarna hijau, ungu, biru pada
rentang pH 10-12 (Wahyuningsih, 2016; Affandy, 2017). Warna merah muda yang
dihasilkan pada pH asam akan semakin memudar seiring dengan meningkatnya pH. Hal
tersebut dikarenakan sifat dari senyawa antosianin itu sendiri yang stabil pada pH
asam.Sebaliknya boraks pada kisaran pH 7 − 10 spesi ion boron dari Na2B4O7 yang
paling dominan adalah natrium tetraborat B4O5(OH)42-. Oleh karenanya, ketika sampel
mengandung ion tetraborat (boraks) diteteskan ke dalam larutan antosianin terjadi
perubahan warna pada antosianin dari warna merah (pH asam antosianin) ke warna
hijau (pH larutan basa dari boraks).
Berdasarkan literatur tersebut maka penelitian ini menggunakan ekstrak
antosianin dari ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L. Poir) untuk deteksi boraks dalam
makanan. Penggunaaan ekstrak antosianin dari tanaman ubi jalar untuk deteksi boraks
dalam makanan dapat meningkatkan nilai tambah dari komoditas tanaman tersebut dan
dapat memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia. Dengan
memanfaatkan ekstraks antosianin dari ubi jalar ungu maka pemakaian reagen kimia
untuk deteksi boraks dalam sampel makanan dapat diminimilisir. Kandungan antosianin
3
pada ubi jalar ungu tidak kalah banyak jika dibandingkan dengan tumbuhan jenis lain
yaitu pada ubi jalar ungu pekat adalah 61,85 mg/100g (138,15 mg/100 g basis kering)
dan 3,51 mg/100g (9,89 mg/100g basis kering) pada ubi jalar ungu muda. Selain itu, ubi
jalar ungu merupakan tanaman yang banyak di jumpai di pasaran dan tumbuh tidak
dipengaruhi oleh musim sehingga dapat dengan mudah diperoleh sebagai bahan baku.
Ekstrak antosianin diperoleh dengan melakukan ekstraksi dari tanaman ubi jalar ungu
dengan metode maserasi. Sifat antosianin yang hidroflik menyebabkan antosianin sering
diekstraksi dengan menggunakan pelarut alkohol atau air dan yang paling efektif adalah
pelarut alkohol yang diasamkan dengan HCl 1% (Hambali, 2014).
Pada penelitian ini dikembangkan metode PAD (Paper Analytical Device)
untuk deteksi ion tetraborat dan metode tersebut belum pernah diterapkan untuk analisis
ion tetraborat (boraks) serta belum diaplikasikan ke dalam sampel makanan. Akan tetapi
metode PAD telah dikembangkan secara luas sebagai alat yang atraktif untuk analisis
lapang dengan sensitifitas bagus, menawarkan biaya yang murah, mudah dan bisa
diterapkan dimana saja (portable) mendorong penggunaannya pada berbagai bidang
diagnostik, kesehatan, dan juga lingkungan (Martinez, 2010). Teknik PAD telah
dikembangkan untuk diagnostik logam dari kertas Whatmann sebagai device yang
bersifat sensitif dan selektif berbasis sensor kolorimeter yang diteteskan oleh sampel
dan reagen Metode ini berpotensi sebagai Point of Care (POC) diagnostik yang
diaplikasikan dalam kesehatan (Chaiyo, 2015; Busa, 2016).
Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi antosianin dari ubi jalar ungu dengan
metode maserasi menggunakan variasi pelarut, antara lain, etanol-akuades; etanol-HCl-
etanol-asam asetat. Dari ketiga pelarut tersebut dilakukan optimasi yang memberikan
gradasi warna paling tajam pada variasi larutan boraks merupakan pelarut untuk
ektraksi antosianin dari ubi jalar ungu yang optimum. Perangkat analisis yang
digunakan dengan teknik PAD menggunakan kertas Whatmann No. 42 yang telah
dipreparasi untuk memberikan batas hidrofobik dengan wax cranyon. Metode analisis
yang digunakan berbasis kolorimetri dengan melakukan photo dengan hp berbasis
android. Hasil photo tersebut diukur intensitas warna yang terjadi menggunakan
program Image J. Data intensitas tersebut dikonversi menjadi absorbansi dengan
menggunakan persamaan Lambert – Beer. Penelitian ini di fokuskan untuk pembuatan
metode yang praktis, akurat, sederhana dan murah serta tidak digunakan intrumentasi
khusus untuk mendiagnosa boraks menggunakan paper analytical device (PAD)
berbasis pencitraan digital, yang meliputi optimasi pelarut ekstraks antosianin dari ubu
4
jalar ungu, optimasi konsentrasi ekstraks antosianin, optimasi pH menggunakan buffer
basa fosfat, optimasi waktu pengukuran, penentuan linieritas pengukuran, serta validasi
dengan penentuan % recovery dalam sampel makanan yang terkontaminasi boraks.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu untuk diagnostik dan monitoring boraks dalam
makanan yang beredar di pasaran sehingga dapat dikonsumsi masyarakat secara aman.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana pengaruh jenis pelarut ekstraksi antosianin dari ubi jalar ungu terhadap
gradasi warna variasi larutan boraks dengan metode PAD
2. Berapa konsentrasi optimum antosianin pada pengukuran metode PAD-boraks
3. Berapa buffer pH optimum pada metode PAD-boraks
4. Berapa waktu optimum pengukuran pada metode PAD-boraks
5. Berapa rentang linieritas pengukuran metode PAD-boraks
6. Bagaimana validasi metode PAD-boraks dengan penentuan % recovery
1.3 Target Luaran
Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah publikasi ilmiah berupa seminar
internasional/nasional atau jurnal nasional ber ISSN dan terindeks dan materi dalam
modul perkuliahaan mata kuliah analisis farmasi dan makanan.
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ipomoea batatas L. Poir (Ubi Jalar Ungu)
Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L. Poir) tidak hanya memiliki rasa yang enak
tetapi memiliki warna yang cantik (ungu) dan ubi ungu biasanya digunakan sebagai
pewarna makanan yang alami. Zat antosianin yang terkandung dalam ubi ungu ini yang
digunakan sebagai pewarna alami. Kandungan antosianin yang berbeda pada ubi ungu
(Ipomoea batatas L. Poir), menyebabkan warna pada ubi ungu berbeda-beda. Zat
antosianin pada ubi jalar ungu bisa digunakan sebagai senyawa antioksidan yang amat
berguna bagi tubuh (Armanzah, 2016). Kadar antosianin pada ubi jalar ungu pekat
adalah 61,85 mg/100g (138,15 mg/100 g basis kering) dan 3,51 mg/100g (9,89 mg/100g
basis kering) pada ubi jalar ungu muda. Dalam 100 g ubi jalar ungu segar, kandungan
antosianin ubi jalar ungu pekat 17 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kadar
antosianin ubi jalar ungu muda. Kandungan antosianin ubi jalar tergantung pada
intensitas warna pada umbi tersebut. Semakin ungu warna umbinya, maka kandungan
antosianinnya semakin tinggi (Husna, 2013).
Gambar 2.1 Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L. Poir)
Sifat fisika dan kimia dari antosianin dilihat dari kelarutan antosianin larut
dalam pelarut polar seperti metanol, aseton, atau kloroform, terlebih sering dengan air
dan diasamkan dengan asam klorida atau asam format. Antosianin stabil pada pH 3,5
dan suhu 50°C mempunyai berat molekul 207,08 gram/mol dan rumus molekul C15H110.
Antosianin dilihat dari penampakan berwarna merah, ungu dan biru mempunyai
panjang gelombang maksimu 515-545 nm, bergerak dengan eluen BAA (nbutanol-asam
asetat-air) pada kertas (Armanzah, 2016). Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan
antosianin adalah transformasi, struktur dan pH, suhu, cahaya, oksigen dan
kopigmentasi. Pada umumnya, penambahan hidroksilasi menurunkan stabilitas,
6
sedangkan penambahan metilasi meningkatkan stabilitas. Warna dalam makanan
mengandung antosianin yang kaya akan pelargonidin, sianidin, atau aglikon delpinidin
kurang stabil dari makanan yang kaya akan petunidin atau aglikon malvidin . Faktor pH
ternyata tidak hanya mempengaruhi warna antosianin ternyata juga mempengaruhi
stabilitasnya.
Antosianin stabil pada pH rendah dan mejadi kurang stabil ketika terkena panas,
yang menyebabkan hilangnya warna dan degradasi akan terjasi lebih lanjut jika terdapat
oksidator sehingga terbentuk senyawa yang berwarnakecoklatan. Akibatnya, suhu
tinggi, peningkatan kadar gula, pH, dan asam askorbat dapat mempengaruhi laju
penghancuran. Dalam larutan, molekul antosianin hadir dalam kesetimbangan antara
bentuk kationik berwarna dan pseudo basa yang tidak berwarna. Kesetimbangan ini
secara langsung dipengaruhi oleh pH. pH sangat penting bagi warna anthocyanin,
beberapa anthocyanin berwarna merah dalam larutan asam, ungu atau ungu dalam
larutan netral, dan biru dalam pH basa. Struktur anthocyanin pada larutan berwarna
merah disebut flavylium kation karena pada pH rendah molekul sianidin terprotonasi
dan membentuk ion positif atau kation, akibatnya jika pH meningkat maka molekul
tersebut menjadi terdeprotonasi. Pada pH tinggi molekul tersebut membentuk ion
negative atau anion. Oleh sebab itu, pewarna yang mengandung anthocyanin hanya
dapat digunakan pada pH di bawah empat. Selain itu, anthocyanin dapat bertindak
sebagai indikator pH (Janiero, 2007).
Gambar 2.2 Kesetimbangan Antosianin pada Berbagai pH (Wahyuningsih, 2016)
Warna yang ditimbulkan oleh antosianin yang dihasilkan dari ekstrak ubi jalar
ungu tergantung pada tingkat keasaman lingkungannya. Pigmen ini dapat dijadikan
sebagai indikator pH. Pada pH 1 warna yang ditunjukkan adalah merah, pH 4 biru
kemerahan, pH 6 ungu, pH 8 biru, pH 12 hijau. Pada umumnya, zat-zat warna
distabilkan dengan penambahan larutan buffer yang sesuai. Konsentrasi pigmen juga
7
sangat berperan dalam menentukan warna (Hambali, 2014). Pada konsentrasi yang
encer antosianin berwarna biru, sebaliknya pada konsentrasi pekat berwarna merah dan
konsentrasi biasa berwarna ungu. Untuk melakukan ekstraksi antosianin dilakukan
dengan metode maserasi dengan berbagai pelarut antara lain campuran etanol dan HCl;
asam asetat dan etanol (Hambali, 2014); etanol dan akuades (Armanzah, 2016);
metanol dan HCl (Afandi, 2017). Waktu penentuan maserasi antara 12 hingga 24 jam.
Antosianin juga dapat terjadi reaksi oksidasi dengan oksidator H2O2 maupun KMnO4
sehingga dapat membuat larutan antosianin menjadi tidak berwarna (Nagai, 1917).
2.2 Boraks
Boraks merupakan suatu garam dengan rumus molekul Na2B4O7, memiliki berat
molekul 201,22 gram/mol, kelarutan dalam air sebesar 27,0 ± 2,7 g/L pada 20 ± 0,5 °C,
titik leleh 737 °C, pH 9 (ECHA, 2010). Boraks biasanya berupa serbuk kristal putih,
larut dalam air, tidak larut dalam alkohol. Boraks biasanya dipakai sebagai pengawet
kayu, anti septik kayu dan pengontrol kecoa (Disnakkeswan, 2006).
Menurut ECHA (2010), ion boron dari Na2B4O7 dalam air akan berada dalam
bentuk B(OH)3 pada pH < 5, pada pH > 12,5 ion boron akan berada dalam bentuk
B(OH)4-, sedangkan pada pH 5 − 12,5 ion boron tersebut akan berada dalam bentuk
B4O5(OH)42-, B3O3(OH)4
-, B5O6(OH)4-. Menurut Garrett (1998) pada kisaran pH 7 − 10
spesi ion boron dari Na2B4O7 yang paling dominan adalah natrium tetraborat
B4O5(OH)42-, sesuai dengan Persamaan reaksi 2.1 (Emeleus et al., 1982):
Na2B4O7 (s) + 2 H2O (l) 2Na+ (aq) + B4O5(OH)42- (aq) (2.1)
(Boraks)
Gambar 2.3 Struktur tetraborat
Pada spesi B4O5(OH)42- memiliki konduktifitas sebesar 34,58 ohm-1cm2 dan
memiliki jari-jari ion sebesar 3,507 ±0,076 Ǻ (Ayata, 2007). Boraks merupakan
senyawa yang bisa memperbaiki tekstur makanan sehingga menghasilkan rupa yang
8
menarik, misalnya bakso dan kerupuk (Disnakkeswan, 2006). Pemakaian boraks secara
berulang atau absorpsi berlebihan dapat mengakibatkan toksik (keracunan). Gejalanya
dapat berupa mual, muntah, diare, suhu tubuh menurun, lemah, sakit kepala, bahkan
dapat menimbulkan shock (Cahyadi, 2006 dalam Panjaitan, 2010). Berdasarkan Median
Lethal Dose mamalia (LD50) daya toksisitas boraks sebesar 5 – 20 g/kg yang dapat
menyebabkan kematian pada orang dewasa (Office of Prevention Pesticides and Toxic
Substances, 2006). Sedangkan para pembuat bakso komersial biasa menambahkan
boraks ke dalam adonan bakso dengan kadar 0,1 – 0,5 % dari berat adonan. Jika
dikonversikan ke dalam ppm menjadi sekitar 800-4000 ppm. Titik aman kandungan
boraks itu antara 0 - 100 ppm (Anggareni, 2013; Ayun, 2017).
2.3. Metode Penentuan Boraks
Dalam menganalisa kandungan boraks dalam sampel makanan telah
dikembangkan beberapa metode pengukuran antara lain, titrimetri (asidimetri) dan
spektrofotometri UV-Vis (Kresnadipayana, 2017). Titrasi menggunakan larutan standar
NaOH dengan penambahan gliserol akan menghasilkan warna merah muda yang
mantap pada titik akhir titrasi dengan penambahan manitol dan indikator phenolftalein.
Pada spektrofotometri UV-Vis menggunakan reagen pengompleks kurkumin dan
dilakukan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 550 nm. Di Indonesia telah
dikembangkan test kit sederhana dalam penentuan kandungan boraks dalam makanan.
Anggraeni (2013) telah berhasil mengembangkan test kit sederhana penentuan boraks
dalam sampel makanan dengan test kit kertas kurkumin. Paper test kit tersebut dapat
mendeteksi dengan kadar minimal 200 ppm dan semakin besar kadar ppm dari boraks
maka semakin jelas warna coklat pada paper test kit.
Ayuni (2017) telah berhasil mengembangkan test kit larutan boraks dari ekstras
kulit buah naga (Hylocereus Costaricensis). Hasil ekstraksi antosianin mampu
mengetahui konsentrasi boraks pada makanan berdasarkan warna yang dihasilkan.
Penelitian itu membuktikan, jika makanan mengandung boraks akan memberikan warna
merah yang lebih lama. Sedangkan makanan tanpa boraks akan muncul warna terang.
Penelitian ini juga mengikuti optimasi waktu dan suhu maserasi terhadap total
antosianin. Serta diikuti oleh pH terhadap pergeseran puncak absorbansi. Formulasi
analisis boraks itu mulai dari 100 - 1000 parts per milion (ppm). Semakin tinggi berarti
semakin banyak kandungan boraks pada makanan tersebut. Penelitian tersebut
9
menggunakan oksidator KMnO4 dan buffer pH 12 sehingga diperoleh grdasi warna
larutan boraks yang tajam.
Gambar 2.4 (a) kertas kurkumin; (b) test kit boraks dari ekstrak kulit buah naga
2.4 Paper Analytical Device
Kertas digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan perangkat mikroanalitik
yang bersifat low cost dengan karena murah, mudah digunakan dimana dan kapan saja.
Selain itu, kertas bersift tipis (ketebalan 0,07 - 1 mm), mudah diletakkkan, disimpan.
Kertas merupakan campuran polimer selulosa yang bersifat kompatibel dengan sampel
biologi. Oleh sebab itu,, kertas dapat dimodifikasi secara kimia sehingga dapat menyatu
dengan gugus fungsi melalui ikatan kovalen sperti protein, DNA atau molekul kecil
lainnya. Pnggunaan kertas sebagai perangkat telah digunakan dan dikembangkan secar
luas dalam kimia analitik dan klinis, seperti urinalisis dipstick, kertas lakmus, kertas
kromatografi (Whatman No.1) sebagai perangkat diagnostik (Martinez, 2010).
Paper analytical device (PAD), muncul sebagai perangkat diagnostik sebagai
metode alternatif untuk analisis dengan biaya terjangkau, yang didasarkan pada
mikrofluida dan bersifat “disposable” dan bisa dioperasikan tanpa memerlukan
keahlian. Pada metode PAD, benang selulosa dari kertas berperan sebagai jalur
hidrofilik untuk transpot air melalui kapiler tanpa memerlukan gaya dorong apapun.
Jalur hidrofilik ini bisa dipola menggunakan pereaksi hidrofobik untuk membentuk
zona hidrofilik sebagai chanel yang berfungsi sebagai rute transpot reagen dan sampel
untuk bertemu/bereaksi pada zona tempat deteksi (Cate, 2015; Liswoski, 2013).
Penggunaan kertas sebagai perangkat telah digunakan dan dikembangkan secara luas
dalam kimia analitik dan klinis, seperti tes immunochromatographic (juga dikenal
sebagai aliran lateral atau tes dipstick), contohnya yaitu tes kehamilan kit yang sudah
dikenal masyarakat. (Martinez, 2010). Metode PAD yang menawarkan biaya yang
murah, mudah dan bisa diterapkan dimana saja (portable) mendorong penggunaannnya
10
pada berbagai bidang diagnostic, kesehatan, dan juga lingkungan, untuk analisis fosfat
(Jayawardane, 2012).
Perkembangan teknologi PAD antara lain menggunakan printer untuk membuat
pola transport hidrofilik dengan pelapisan bagian kertas menjadi hidrofobik
menggunakan larutan polistirena dalam toluene. Smith (2015) melaporkan teknik
pembuatan batas kertas hidrofobik menggunakan program drawing untuk membuat pola
3D paper microfluidic device, kemudian melapisi bagian hidrofobik menggunakan wax
printer. Penggunaan malam (wax printer) untuk melapisi kertas yang diikuti dengan
pemanasan 125 oC selama 5 menit agar malam bisa berpenetrasi sehingga membentuk
batas hidrofobik sehingga membentuk batas hidrofobik seperti ditunjukkan pada
Gambar 2.5 (Liana, 2012).
Chaiyo (2015) melaporkan pembuatan kertas yang bersifat sensitif dan selektif
berbasis sensor kolorimeter menggunakan katalitik tiosulfat untuk penentuan logam
tembaga (Cu) sedangkan Zhang (2015) menggunakan teknik PAD hollow-channel
dalam mendeteksi ion Hg2+.
Gambar 2.5 Mekanisme malam berpenetrasi dengan kertas (Liana, 2012)
Teknik PAD telah banyak diaplikasikan untuk deteksi logam berat (Cr, Cu, Pb,
Fe, Cd, nitrat, iodat, dll) dengan menggunakan preparasi pola wax, photoliografi, screen
printing menggunakan kertas Whatmann kemudian di scan dengan scanner atau di foto
11
mnggunakan hp, lalu menggunakan metode analisis kolorimetri atau elektrometri
kemudian diolah melalui program Image J, ataupun Adobe Photoshop seperti yang
ditunjukkan menggunakan Gambar 2.6 (Wang, 2016).
Gambar 2.6 Deteksi senyawa berbasis PAD menggunakan software Image J
Dengan demikian teknik ini berpotensi sebagai Point of Care (POC) diagnostik
yang diaplikasikan dalam kesehatan seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.7 (Busa,
2016).
Gambar 2.7 Point of Care (POC) diagnostic (Wang, 2016)
2.4 Image J
Image J adalah sebuah program open source yang diciptakan untuk memproses
data gambar multidimensi dengan fokus ke dalam bidang scientific imaging atau
pencitraan ilmiah. ImageJ memiliki berbagai fitur, yaitu memproses gambar,
kolokalisasi, dekonvolusi, registrasi, segmentasi, tracking, visualisasi, dan banyak lagi.
12
Program ini dapat digunakan untuk menganalisa intensitas berdasarkan gambar. Teknik
ini dikenal dengan teknik pencitraan digital. Nilai intensitas tersebut ditentukan
berdasarkan nilai RGB (Red, Green, Blue). Nilai tersebut kemudian dikonversi terhadap
persamaan Lamber-Beer untuk menentukan absorbansi (Soldat, 2009; Kohl, 2006).
Program ini dikenal sebagai nama metode pencitraan digital dan telah berhasil
digunakan untuk menganalisis sampel air sumur dalam penentuan kadar besi (III).
(Rusmawan, 2011)
2.5 Kerangka konsep penelitian
Bahaya
Boraks
Keracunan
makanan
Mual, muntah, diare,
kejang perut, demam
pusing, hingga secara
berkelanjutan akan
merusak sistem
pencernaan maupun fungsi
hati
Diagnostik dan
monitoring boraks
dalam makana
Metode pendeteksi
boraks yang
sederhana
Paper Analytical
Device (PAD)
PAD (Paper Analytical Device) untuk deteksi boraks
dalam makanan dengan ekstraks ubi jalar ungu
Optimasi
reagen
Optimasi
waktu
pengukuran
Optimasi pH Uji
liniearitas
pengukuran
Validasi metode
13
BAB. III TUJUAN DA MANFAAT
3.1 Tujuan Penelitian
3.1.1 Tujuan umum
Untuk merancang dan mengembangkan metode “low cost” berbasis paper analytical
device untuk deteksi boraks dalam makanan dengan ekstraks antosianin dari ubi jalar ungu.
Prinsip metode analisis kolorimetri dengan mereaksikan larutan antosianin hasil ekstraksi dari
ubi jalar ungu dengan larutan boraks pada kertas Whatmann. Warna antosianin hasil ekstraksi
dari ubu jalar ungu berwarna merah (pH asam) dan memberikan perubahan warna antosianin
menjadi warna hijau karena perbedaan pH yang dihasilkan dari larutan boraks yang memiliki
pH stabil pada kondisi basa. Digunakan buffer pH basa fosfat untuk stabilisasi antosianin.
Warna tersebut kemudian difoto dengan hp berbasis android. Hasil photo tersebut diukur
intensitas warna yang terjadi menggunakan program Image J. Data intensitas tersebut
dikonversi menjadi absorbansi dengan menggunakan persamaan Lambert – Beer.
menggunakan foscanning dianalisa intensitas warna dengan program ImageJ
3.1.2 Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah
1. Mengetahui pengaruh jenis pelarut ekstraksi antosianin dari ubi jalar ungu terhadap gradasi
warna variasi larutan boraks dengan metode PAD
2. Mengetahui konsentrasi optimum antosianin pada pengukuran metode PAD-boraks
3. Mengetahui buffer pH optimum pada metode PAD-boraks
4. Mengetahui waktu optimum pengukuran pada metode PAD-boraks
5. Mengetahui rentang linieritas pengukuran metode PAD-boraks
6. Mengetahui validasi metode PAD-boraks dengan penentuan % recovery
3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai teknik tepat guna
yang sederhana menggunakan reagen bahan alami untuk analisis boraks dalam makanan.
Dengan menggunakan metode PAD berbasis pencitraan digital dalam diagnostik dan
monitoring kandungan boraks dalam makanan sehingga dapat diketahui makanan yang aman
oleh masyarakat.
14
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah laboratory research and development (RnD)
4.2 Bahan dan Alat
4.2.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ubi jalur ungu, etanol 96
% (E-Merck), HCl (E-Merck), asam asetat (E-Merck), NaOH (E-Merck), Na2B4O7. 10H2O,
(E-Merck), H3PO4 (E-Merck), KCl (E-Merck), Natrium Sitrat (E-Merck), asam sitrat (E-
Merck), akuades, bakso, kerupuk. Bahan kimia yang digunakan bersifat pro analisis.
4.2.2 Alat
Peralatan yang digunakan dalam analisis ini adalah Kertas Whatman No.42, cranyon
wax, labu takar 10 mL, pipet ukur 1 mL, pipet ukur 10 mL, gelas kimia 50 mL, neraca
analitik, pemanas listrik.
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan November 2018 di
Laboratorium Kimia Poltekkes Kemenkes Malang dan Laboratorium Kimia-Farmasi,
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Ma Chung.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Variabel bebas: Optimasi pelarut ekstrak antosianin, Optimasi konsentrasi ekstrak
antosianin, Optimasi waktu pengukuran, Optimasi pH, Uji Linieritas
Pengukuran, Uji Validasi.
3.4.2 Variabel terikat: Kadar Boraks
4.5 Definisi Operasional
Ubi Jalar Ungu: Tanaman penghasil ekstrak antosianin
Etanol: Pelarut ekstraksi antosianin dari ubu jalaur ungu pada metode maserasi
HCl: Pelarut ekstraksi antosianin dari ubu jalaur ungu pada metode maserasi dan reagen
buffer pH 1 untuk menentukan konsentrasi total antosianin
Asam Asetat: Pelarut ekstraksi antosianin dari ubu jalaur ungu pada metode maserasi
NaOH: Reagen untuk larutan buffer basa untuk penentuan optimasi pH
15
Asam fosfat: Reagen untuk larutan buffer basa untuk penentuan optimasi pH
Na2B4O7. 10H2O: Sampel yang mengandung boraks
KCl: Reagen untuk membuat buffer reagen buffer pH 1 untuk menentukan konsentrasi total
antosianin
Natrium sitrat: Reagen untuk membuat buffer reagen buffer pH 4,5 untuk menentukan
konsentrasi total antosianin
Asam sitrat: Reagen untuk membuat buffer reagen buffer pH 1 untuk menentukan konsentrasi
total antosianin
Bakso: sampel makanan yang akan dianalisis kadar boraks
Optimasi pelarut ekstrak antosianin: untuk mengetahui pelarut apa yang optimum untuk
ekstraks boraks dalam makanan
Optimasi reagen: untuk mengetahui kondisi konsentrasi antosianin yang optimum
Optimasi waktu pengukuran: untuk mengetahui optimasi waktu pengukuran metode PAD-
boraks yang akan disulkan
Optimasi pH: untuk mengetahui optimasi pH dari buffer basa pada metode PAD-asam boraks
yang akan disulkan
Uji Linieritas Pengukuran: uji untuk mengetahui rentang linearitas pengukuran boraks
(kisaran liner konsentrasi boraks) dengan metode PAD-boraks
yang akan disulkan
Uji Validasi: uji validasi metode PAD-boraks yang akan disulkan dengan penentuan akurasi
dan presisi
16
4.6 Tahap Penelitian
4.7 Metode Analisis
4.7.1 Ektraksi Antosianin dari Ubi Jalar Ungu
Ubi jalar ungu dikupas terlebih dahulu kemudian di masukkan kedalam blender
hingga halus, hal ini bertujuan untuk memperluas permukaan sehingga reaksi akan berjalan
lebih cepat. Lalu kedalam erlenmeyer dimasukkan 25 gram ubi jalar ungu, untuk rasio 1:4
etanol 96 % yang digunakan adalah 100 ml dan aquadest 100 ml dan lalu didiamkan selama
24 jam. Perlakuan yang sama digunakan untuk pelarut etanol-asam asetat; etanol-HCl 1%.
dengan suhu 30 0C dan tekanan 1 atm. Setelah itu masing-masing sampel disaring maka
menghasilkan filtrat sebagai antosianin.
4.7.2 Prosedur Pembuatan PAD-boraks
4.7.2.1 Pembuatan Pola Pewarnaan
Paper-based devices didisain pada kertas Whatman No. 42 yang sudah dipola
berbentuk persegi panjang dengan ukuran 5x2 cm. Pembuatan batas hidrofobik menggunakan
cranyon wax pada sisi lingkaran. Selanjutnya kertas saring dipanaskan di hot plate pada
temperatur 120 oC selama 5 menit sehingga malam bisa berpenetrasi sehingga membentuk
PAD untuk deteksi
boraks dengan
ekstraks ubi jalar
ungu
17
batas hidrofobik. Hasil kertas ini digunakan sebagai perangkat kertas untuk analisa prosedur
selanjunya.
4.7.2.2 Optimasi pelarut ekstraksi antosianin
Hasil ekstraks antosianin pada masing-masing pelarut ditentukan kadar antosianin
menggunakan metode pH differensial. Kadar antosianin tertinggi dari jenis pelarut ekstraksi
antosianin digunakan sebagai pelarut ekstraksi antosianin yang optimum dan dijadikan acuan
untuk perlakuan selanjutnya.
Penentuan Total Antosianin dengan metode pH Differensial
Penetapan antosianin dilakukan dengan metode perbedaan pH yaitu pH 1,0 dan pH
4,5. Pada pH 1,0 antosianin berbentuk senyawa berwarna oxonium dan pada pH 4,5
berbentuk karbinol tak berwarna. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat suatu alikuot
larutan antosianin dalam air yang pH-nya 1,0 dan 4,5 untuk kemudian diukur absorbansinya.
Pembuatan larutan buffer pH 1,0 dan pH 4,5
Untuk pembuatan buffer pH 1,0 digunakan KCl sebanyak 1,49 gram dilarutkan
dalam 100 ml aquades. Sebanyak 25 ml larutan KCl dipipet dan ditambah dengan 48,5 ml
larutan HCl pekat dan ditandabataskan sampai dengan 100ml dalam labu takar. Sedangkan
untuk larutan buffer pH 4,5 digunakan C6H8O7 (asam sitrat) sebanyak 2,101 g dilarutkan
dalam 100 ml (A), dan C6H5O7Na32H2O (Na.sitrat) sebanyak 2,941 g dilarutkan dalam 100
ml (B). Kemudian 26,75 ml larutan A dan 23,25 ml larutan B dipipet kedalam labu takar dan
ditandabataskan sampai 100 ml.
Pengukuran dan perhitungan konsentrasi antosianin total
Faktor pengenceran yang tepat untuk sampel harus ditentukan terlebih dahulu dengan cara
melarutkan sampel dengan buffer KCl pH 1 hingga diperoleh absorbansi kurang dari 1,2
pada panjang gelombang 510 nm.
Selanjutnya diukur absorbansi aquades pada pajang gelombang yang akan digunakan (510
dan 700 nm) untuk mencari titik nol. Panjang gelombang 510 nm adalah panjang
gelombang maksimum untuk sianidin-3-glukosida sedangkan panjang gelombang 700 nm
untuk mengoreksi endapan yang masih terdapat pada sampel. Jika sampel benar-benar
jernih maka absorbansi pada 700 nm adalah 0.
Dua larutan sampel disiapkan, pada sampel pertama digunakan buffer KCl dengan pH 1
dan untuk sampel kedua digunakan buffer Na-sitrat dengan pH 4,5. Masing-masing sampel
dilarutkan dengan larutan buffer berdasarkan DF (dilution faktor / faktor pengenceran) yang
18
sudah ditentukan sebelumnya. Sampel yang dilarutkan menggunakan buffer pH 1 dibiarkan
selama 15 menit sebelum diukur, sedangkan untuk sampel yang dilarutkan dengan buffer
pH 4,5 siap diukur setelah dibiarkan bercampur selama 5 menit.
Absorbansi dari setiap larutan pada panjang gelombang 510 dan 700 nm diukur dengan
buffer pH 1 dan buffer 4,5 sebagai blankonya.
Absorbansi dari sampel yang telah dilarutkan (A) ditentukan dengan rumus :
A = (A510 – A700)pH 1, – (A510 – A700)pH 4,5
Kandungan pigmen antosianin pada sampel dihitung dengan rumus :
Total Antosianin
literml
=
I) x (
x1000DFMW x A x
Keterangan :
A = Absorbansi dari sampel yang telah dilarutkan
ε = Absortivitas molar Sianidin-3-glukosida = 26.900 L / (mol.cm)
DF = Faktor Pengenceran
I = Lebar Kuvet = 1 cm
MW = Berat molekul Sianidin-3-glukosida = 449,2 g/mol
1000 = faktor g ke mg
4.7.2.3 Intrepetasi Data Untuk Pencitraan Digital
Warna hijau yang terbentuk dari antosianin-borat pada masing-masing parameter
diphoto dengan hp android, kemudian hasilnya diproses menggunakan Image J software 1.48.
Kemudian nilai intensitas yang muncul dirubah menjadi nilai absorbansi, menggunakan
Hukum Lambert-Beer (persamaan 1). Untuk setiap warna pada kertas ditentukan nilai RGB.
(1)
Keterangan: A adalah absorbansi; I adalah intensitas sampel atau kontrol dan Io adalah
intensitas pelarut dengan nilai 255. Hasil ini digunakan untuk perlakuan selanjutnya.
4.7.2.4 Optimasi pH
Optimasi pH dilakukan menggunakan buffer fosfat pH 7, 9, 11, 13 Perlakuan
selanjutnya sama dengan cara kerja 4.7.2.2 – 4.7.2.3 dengan hasil menggunakan hasil
19
optimum. Intensitas warna yang tajam digunakan sebagai optimasi pH. Hasil ini digunakan
untuk perlakuan selanjutnya.
4.7.2.5 Optimasi waktu pengukuran
Optimasi pengukuran dilakukan dengan memvariasi waktu pengukuran antara lain: 1;
3; 5; 7 dan 10 menit. Perlakuan selanjutnya sama dengan cara kerja 4.7.2.2 – 47.2.4 dengan
hasil menggunakan hasil optimum. Intensitas warna yang tajam digunakan sebagai optimasi
waktu pengukuran. Hasil ini digunakan untuk perlakuan selanjutnya.
4.7.1.7 Uji Linieritas Pengukuran
Dengan menggunakan kondisi optimum dari percobaan 4.7.2.2 – 4.7.2.5, optimasi
pelarut ekstraksi antosianin. konsentrasi antosianin, pH, waktu pengukuran diaplikasikan
pada konsentrasi boraks 100, 200, 300, 400, 500, 700, 1000, 2000 ppm yang dapat
memberikan hubungan linier antara konsentrasi boraks dengan absorbansi. Dari percobaan ini
juga bisa ditentukan LOD (limit deteksi) dari metode PAD yang diusulkan.
4.7.2 Uji Validasi
Uji validasi PAD-boraks dengan ekstraks ubi jalar ungu dilakukan dengan cara
mengaplikasikannya untuk mendeteksi konsentrasi boraks. Uji validasi dilakukan dengan
cara menghitung persen perolehan kembali (% Recovery) dengan cara membandingkan hasil
pengukuran konsentrasi ion boraks dalam sampel makanan menggunakan metode yang telah
dikembangka dengan konsentrasi sampel boraks sebenarnya. Kemudian perobaan diulang
dengan sampel boraks dengan konsentrasi yang berbeda (100, 300, 500 ppm) secara terpisah
menggunakan metode yang dikembangkan.
20
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Ektraksi dan Spektrum Antosianin dari Ubi Jalar Ungu
Perbedaan dalam penggunaan pelarut dan perbandingan pelarut akan menghasilkan
konsentrasi ekstrak antosianin yang berbeda. Oleh sebab itu dilakukan maserasi dengan
menggunakan 2 pelarut yang berbeda. Maserasi 1 dilakukan dengan menggunakan pelarut
dengan perbandingan 25:1:5 (etanol: asam asetat glasial: aquades) jumlahnya 100 mL. Untuk
maserasi 2 dilakukan dengan pelarut HCl 1,5M yang dibuat dalam etanol pada volume 100
mL. Maserasi dilakukan selama 24 jam. Kemudian untuk menganalisa kadar antosianin
masing-masing pelarut dilakukan dengan menggunakan metode antosianin monomerik
melalui spektrofotometri (mg/L). Pada metode ini dilakukan pengukuran absorbansi
maksimum (pada daaerah sinar tampak 400-800 nm) dan absorbansi pada panjang gelombang
700 nm. Selanjutnya larutan dibagi menjadi pH 1 dan pH 4,5. Spektrum yang dihasilkan pada
tahapan ini ditunjukkan pada Gambar 5.2 dan Gambar 5.3. Sedangkan hasil maserasi
ditunjuukkan pada Gambar 5.1 a dan b.
(a) (b)
Gambar 5.1 Hasil Masserasi Ub Jalar Ungu (a) Maserasi 1, (b) Maserasi 2
Dari Gambar 5.1 menunjukkan bahwa maserasi ke-2 menunjukkan hasil ekstraks yang
lebih merah pekat dibandingkan dengan maserasi 1. Hal ini dibuktikan dengan hasil spektrum
Gambar 5.2-5.3 yang menunjukkan absorbansi maserasi 2 lebih besar dibandingkan maserasi
1.
21
Gambar 5.2 Spektrum Antosianin Ubi Jalar Pada pH 1.
Gambar 5.3 Spektrum Antosianin Ubi Jalar Pada pH 4.5.
Berdasarkan Gambar 5.2-5.3 menunjukkan penyerapan sinar ekstrak ubi jalar ungu pada
panjang gelombang 322 nm adalah empat kali lebih besar daripada penyerapan sinar pada
panjang gelombang maksimum sinar tampak, menunjukkan adanya antosianin terasilasi.
Peneliti sebelumnya Cevallos-Casals dan CisnerosZevallos (2004) menemukan penyerapan
sinar ekstrak ubi jalar merah pada panjang gelombang 330 nm adalah tiga kali lebih besar
(391% ) daripada penyerapan sinar pada panjang gelombang maksimum sinar tampak (518
nm), menunjukkan adanya antosianin terasilasi oleh gugus asil asam aromatik. Li et al.
(2013) menemukan bahwa komponen utama antosianin ubi jalar ungu kultivar Jihei No. 1
0
0.5
1
1.5
2
2.5
300 350 400 450 500 550 600 650 700 750 800
Ab
sorb
an
si
Panjang Gelombang (nm)
Maserasi 1 Maserasi 2
0
0.5
1
1.5
2
2.5
300 350 400 450 500 550 600 650 700 750 800
Ab
sorb
asn
i
Panjang Gelombang (nm)
Maserasi 1 Maserasi 2
22
adalah 3-sophorosida-5-glukosida turunan dari sianidin dan peonidin yang diasilasi dengan
asam p-hidroksibenzoat, asam ferulat, atau asam kafeat. Jika dihubungkan dengan struktur
antosianin pada Gambar 2.2, penyerapan pada kisaran ultra violet 250-275 nm terkait dengan
penyerapan cincin A pada struktur antosianin. Penyerapan pada kisaran sinar tampak 465-560
nm terkait dengan penyerapan cincin B dan C (Delgado-Vargas et al. 2000).
5.2. Optimasi pelarut ekstraksi antosianin
Optimasi pelarut ekstraksi antosianin dilakukan dengan menentukan kadar antosianin
monometrik secara spektrofotometri dengan menggunakan rumus
A = (A518 – A700)pH 1, – (A518 – A700)pH 4,5
Kandungan pigmen antosianin pada sampel dihitung dengan rumus :
Total Antosianin =
I) x (
x1000DFMW x A x
Keterangan :
A = Absorbansi dari sampel yang telah dilarutkan
ε = Absortivitas molar Sianidin-3-glukosida = 26.900 L / (mol.cm)
DF = Faktor Pengenceran
I = Lebar Kuvet = 1 cm
MW = Berat molekul Sianidin-3-glukosida = 449,2 g/mol
1000 = faktor g ke mg
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kadar antosianin dari ubi jalar ungu pada masing-
masing maserasi 1 dan 2 disajikan pada Tabel 5.1 yang menunjukkan bahwa kadar antosianin
tertinggi dari ekstraksi ubu jalar ungu diperoleh dengan metode maserasi kedua yaitu sebesar
11, 910 mg/L dalam 10 gram ubi jalar ungu basah.
Tabel 5.1 Kadar Antosianin pada Maserasi 1 dan 2
Maserasi 1 (etanol:asam asetat:akuades)
Panjang Gelombang
(nm) pH1 pH 4.5 A pH 1
A pH 4.5
A Kadar
Antosianin (mg/L)
518 0.56571 0.38726 0.40846 0.26581 0.14265 11.910
700 0.15725 0.12145
23
Maserasi 2 (HCl dalam etanol)
Panjang Gelombang
(nm)
pH1 pH 4.5 A pH 1 A pH 4.5
A Kadar
Antosianin (mg/L)
518 0.66832 0.65943 0.58137 0.38563 0.19574 16.343
700 0.08695 0.2738
Mengacu pada Hambali (2014) ekstraksi antosianin dapat dilakukan dengan beberapa
jenis solven, seperti air, etanol, metanol, tetapi yang paling efektif dengan menggunakan
metanol yang diasamkan dengan HCl. Tetapi karena sifat toksik dari metanol biasanya dalam
sistem pangan digunakan air atau etanol yang diasamkan dengan HCl. Suhu dan pH
berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi antosianin dan koefisien difusinya, semakin rendah
pH maka koefisien distribusi semakin tinggi. Hal ini menunjukkan HCl sebagai asam kuat
dibandingkan dengan asam asetat glasial yang bersifat asam lemah sehingga pH larutan
ekstraksi dengan HCl lebih asam dibandingkan asam asetat glasial. Akibatnya koefisen
distribusi ekstraksi yang terjadi semakin besar. Faktor pH ternyata tidak hanya
mempengaruhi warna antosianin ternyata juga mempengaruhi stabilitasnya. Antosianin lebih
stabil dalam larutan asam dibanding dalam larutan alkali. Penggunaan HCl 1% dalam
ekstraksi antosianin akan menyebabkan hidrasi sebagian hingga total antosianin yang
terasetilasi.HCl 1% menunjukkan jenis pengasam paling efektif karena dapat mendenaturasi
membran sel tanaman dan melarutkan senyawa antosianin keluar dari sel (Octaviani, 2018).
Penggunaan etanol sebagai pelarut dalam ekstraksi karena sifat antosianin dalam ubi jalar
ungu kurang polar dibandingkan dengan air karena dapat terekstrak pada kisaran polaritas
32,77 (perbandingan ethanol : asam asetat : air = 25 : 1 : 5) sedangkan polaritas air adalah
80,40 (Winarti, 2008).
5.3 Optimasi pH
Optimasi pH dilakukan dengan menggunakan konsentrasi antosianin dari hasil optimasi
pelarut untuk ekstraksi antosianin dari ubi jalar ungu yaitu 16,343 ppm dengan maserasi
pelarut adalah HCl dalam etanol. Optimasi pH dilakukan untuk mngetahui berapa pH
optimum yang digunakan dalam pengukuran boraks dengan metode PAD menggunakan
reagen antosianin hasil dari ekstraksi dari ubi jalar ungu. Analisa PAD dilakukan dengan
menggunakan aplikasi image J. seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.4, buka image J,
pilih Gmabr yang akan dianalisis, selanjutnya pilih Plugin, lalu pilih Analyze dan RGB
measure.
24
Gambar 5.4. Analisis Intensitas dengan Menggunakan Software Image J
Larutan tetraborat yang digunakan adalah konsentrasi 400 ppm, dengan waktu
pengukuran selama 3 menit dengan variasi pH 7, 9, 11 dan 13 menggunakan buffer asetat
dengan penambahan NaOH. Hasil tetraborat dengan antosianin pada variasi pH disajikan
pada Gambar 5.5
a b c d
Gambar 5.5. Warna tetraborat dengan reagen antosianin, a. pH 7; b. pH 9; c.pH 11; d. pH 13
Dari Gambar 5.5 menunjukkan pH 7 berwarna biru, pH 9 berwarna hijau, pH 11 dan 13
adalah warna kuning pada reaksi antosianin dengan tetraborat. Hal ini sesuai dengan
penelitian Mahmudatussa’adah (2012) yang menyebutkan bahwa kstrak antosianin ubi jalar
ungu pada pH asam kuat 1-3 berwarna merah, pada asam lemah pH 4-6 berwarna ungu, pH 7
berwarna biru, pada pH basa lemah 8-9 berwarna hijau, dan pada pH 10, 11, 12, 13 dan 14
berwarna kuning. Pada pH 6.5-9 ekstrak antosianin dominan senyawa kuinonoidal yang
berwarna biru hingga hijau, sedangkan pada pH >9 kalkon yang berwarna kuning. Struktur.
25
atosianin karena perubahan pH disajikan pada Gambar 5.6/Penelitian ini menggunakan pH
basa dikarenakan pada kisaran pH 7 − 10 spesi ion boron dari Na2B4O7 yang paling dominan
adalah natrium tetraborat B4O5(OH)42- (Garrett , 1998) sedangkan pada pH 5 − 12,5 ion
boron tersebut akan berada dalam bentuk B4O5(OH)42-, B3O3(OH)4
-, B5O6(OH)4- (ECHA,
1998)
Gambar 5.6 Struktur Antosianin karena Perubahan pH (Marco et al, 2011)
Hasil dari analisis intensitas dan absorbansi untuk optimasi pH dengan menggunakan
software Image J ditunjukkan pada Tabel 5.2. Berdasarkan data pada Tabel tersebut
membuktikan bahwa pH optimum adalah 9 dengan nilai absorbansi tertinggi sebesar 0,519
dibandingkan pH 7, 11 dan 13. Hal ini disebabkan karena pH ini dominan senyawa tetraborat
B4O5(OH)42- yang ditunjukkan dengan warna antosianin dengan warna hijau. Oleh sebab itu,
pH optimum metode PAD untuk deteksi boraks dengan antosianin adalah pH 9.
26
Tabel 5.2 Optimasi pH pada nilai intensitas dan absorbansi tetraborat-antosianin dengan
teknik PAD
pH I
A Blue Green Red
7 127.75 146.362 148.255 0.300
9 77.188 93.098 81.633 0.519
11 117.13 155.526 146.854 0.338
13 125.043 146.366 135.085 0.309
Berdasarkan Tabel 5.2 diperoleh hasil pencitraan digital diperoleh dari salah satu
komponen warna RGB yaitu komponen warna Blue memberikan intensitas warna yang
paling tinggi sehingga menghasikan absorbansi larutan yang paling kecil dibandingkan
komponen warna Green dan Red. Oleh sebab itu, komponen Green tidak digunakan sebagai
acuan intensitas hasil pencitran digital. Sedangkan untuk intensitas warna Red memberikan
nilai yang tidak berbeda secara signifikan dengan Blue dari sumber radiasi cahaya yang
dipancarkan oleh kamera. Ketika larutan sampel berwarna hijau maka analisis pencitraan
digital dapat menggunakan intensitas komplementer warna biru dan merah dari masing-
masing larutan sehingga menghasilkan data yang sesuai dengan persamaan Lambert Beer
(Rusmawan, 2011).
5.4 Optimasi waktu pengukuran
Optimasi waktu pengukuran dilakukan dengan memvariasi waktu pengukuran yaitu 1, 3,
5, 7, dan 10 menit. Hasil metode PAD untuk deteksi boraks dengan reagen antosianin
ditunjukkan pada Gambar 5.7 yang menunjukkan warna boraks-antosianin (hijau) stabil dari
pengukuran 1 hingga 5 menit dan mulai pudar pada menit ke- 7 dan 10. Hal ini didukung
dengan nilai intensitas yang dihasilkan dari metode ini yang disajikan pada Tabel 5.3
(a) (b) (c) (d) (e)
Gambar 5.7 Warna Teraborat-Antosianin, (a) 1 menit, (b) 3 menit, (c) 5 menit, (d) 7
menit, (e) 10 menit
27
Tabel 5.3 Optimasi waktu pengukuran pada nilai intensitas dan absorbansi tetraborat-
antosianin dengan teknik PAD
Waktu (menit)
I A
Red Green Blue
1 112.896 184.899 63.739 0.6021
3 113.582 181.826 61.619 0.6168
5 114.489 182.691 61.689 0.6163
7 127.949 195.553 77.375 0.5179
10 131.367 198.106 87.775 0.4632
Waktu pengukuran boraks dengan antosianin sangat cepat dan singkat, karena
kestabilan antosianin sangat dipengaruhi oleh oksigen sehingga terjadi reaksi oksidasi yang
akan mempengaruhi perubahan warna dari antosianin (Hambali, 2014). Hal ini dibuktikan
dari nilai absorbansi pada menit pertama hingga ke-3 mengalami peningkatan dan stabil
hingga menit ke-5, dan mengalami penurunan pada menit ke-7 dan 10. Semakin lama
tetraborat dengan antosianin beraksi di media kertas PAD maka semakin berpotensi terjadi
reaksi oksidasi karena oksigen yang dihasilkan dari udara terbuka di ruangan laboratorium.
Akibatnya warna hijau yang terbentuk semakin memudar sehingga nilai absorbansi yang
dihasilkan semakin menurun. Mengacu pada Winarti (2008) kerusakan pigmen antosianin
diakibatkan oleh adanya oksigen. Berdasarkan penelitian ini, diperoleh waktu optimum
pengkuran adalah 3 menit dan kestabilan waktu pengukuran tetraborat dengan metode yang
diusulkan hingga menit ke-5.
5.5 Uji Linieritas Pengukuran
Linearitas pengukuran dilakukan dengan cara menentukan rentang konsentrasi
teraborat yang linear dengan metode ini. Hasil warna Tetraborat-Antosianin yang berwarna
hijau ditunjukkan pada Gambar 5.8. Berdasarkan Gambar 5.8 terlihat bahwa warna semakin
hijau pekat dari tetraborat 100 ppm hingga 500 ppm. Hal ini ditunjang dengan hasil intensitas
Pada Tabel 5.4, yang menunjukkan nilai intensitas warna pada komplementer biru. semakin
rendah dari tetraborat 100 hingga 500 ppm. Berdasarkan data pada Tabel 5.2-5.3 Nilai
absorbansi yang terbesar dari penentuan optimasi pH dan waktu pengukuran terlihat bahwa
warna komplementer biru memiliki nilai absorbansi tertinggi dibandingkan warna
komplementer lain. Oleh sebab itu, warna komplementer blue, digunakan sebagai data acuan
dalam penentuan liniearitas pengukuran.
28
(a) (b) (c) (d) (e)
Gambar 5.8 Warna Teraborat-Antosianin, (a) 100 ppm, (b) 200 ppm, (c) 300 pm, (d)
400 ppm, (e) 500 ppm
Tabel 5.3 Linearitas tetraborat dengan teknik PAD menggunakan antosianin
Konsentrasi tetraborat
(ppm)
Intensitas Blue
Absorbansi
100 149.828 0.231
200 110.313 0.308
300 98.342 0.414
400 78.958 0.509
500 54.24 0.672
Setelah diperoleh nilai absorbansi pada masing-masing konsentrasi tetraborat, tahap
selanjutnya nilai tersebut diplotkan dalam kurva dengan absis sebagai konsentrasi tertraborat
(ppm) dan ordinat adalah nilai absorbansi. Kurva linearitas tetraborat dengan metode Paper
Analytical Device berbasis kolometri dengan kompleks tetraborat-antosianin ditampilkan
pada Gambar 5.9 dengan persamaan y = 0,0011x +0,1016 dengan nilai regresi adalah 0,9815.
Dari Gambar 5.9 menunjukkan bahwa rentang konsentrasi tetraborat yang linear adalah 100
hingga 500 ppm, yang berarti bahwa metode yang diusulkan dapat menentukan sampel
tetraborat pada kisaran konsentrasi tetraborat yang linier.
Jika metode ini digunakan sebagai analisis lapang untuk deteksi bakso yang mana
para pembuat bakso komersial biasa menambahkan boraks ke dalam adonan bakso dengan
kadar 0,1 – 0,5 % dari berat adonan. Jika dikonversikan ke dalam ppm menjadi sekitar 800-
4000 ppm. Sehingga untuk analisis dengan metode ini perlu dilakukan pengenceran terlebih
dahulu agar memenuhi konsentrasi linier tetraborat. Dengan adanya metode ini, masyarakat
akan dapat meminimalkan konsumsi makanan yang mengandung boraks, yang dapat
29
menimbulkan berbagai penyakit berbahaya bila sudah melebihi ambang batas di dalam tubuh
manusia. Titik aman kandungan boraks itu antara 0 - 100 ppm, tapi lebih sehat jika tidak
mengandung boraks sama sekali. Banyak studi kasus, sering terjadi orang keracunan
makanan salah satunya disebabkan oleh bahan makanan tambahan. Bahkan, akhir-akhir ini
penggunaan bahan makanan tambahan yang dilarang seperti boraks untuk pengawet makanan
banyak sekali ditemukan. Gejala yang ditimbulkan dalam tubuh menyebabkan awalnya akan
mual, muntah, diare, kejang perut, demam pusing, hingga secara berkelanjutan akan merusak
sitem pencernaan maupun fungsi hati
Gambar 5.9 Kurva Linearitas tetraborat dengan teknik PAD menggunakan antosianin
5.6 Uji Validasi
Uji validasi PAD-boraks dengan ekstraks ubi jalar ungu dilakukan dengan cara
mengaplikasikannya untuk mendeteksi konsentrasi boraks. Uji validasi dilakukan dengan
cara menghitung persen perolehan kembali (% Recovery) dengan cara membandingkan hasil
pengukuran konsentrasi ion boraks dalam sampel makanan menggunakan metode yang telah
dikembangkan dengan konsentrasi sampel boraks sebenarnya. Kemudian perobaan diulang
dengan sampel boraks dengan konsentrasi yang berbeda (200 dan 300ppm) secara terpisah
menggunakan metode yang dikembangkan. Hasil warna sampel boraks dengan antosianin
pada uji validasi disajikan pada Gambar 5.10 sedangkan % Recovery ditunjukkan pada Tabel
5.4. Berdasarkan Tabel 5.4 menunjukkan % recovery sampel tetraborat dengan metode PAD
adalah 87.58 -87,95 %. Perhitungan ini digunakan dengan menggunakan persamaan y =
0,0011x +0,1016 dari kurva linearitas tetraborat (Gambar 5.9).
30
(a) (b)
Gambar 5.10 Warna sampel tetraboraks dengan antosianin pada Metode PAD (a) 200 ppm,
(b) 300 ppm
Tabel 5.4 % Recovery Sampe Tetraborat dengan Metode PAD
Sampel Tetraborat
(ppm) Intensitas Absorbansi
Kadar tetraborat yang terukur
% recovery
200 129.255 0.295092828 175.9025713 87.9513
300 103.732 0.390627429 262.7522082 87.5841
31
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
1. Paper analytical device tetraborat bisa dikembangkan berbasis reagen antosianin yang
diekstraks dai ubi jalar ungu dalam suasana asam yang dapat digunakan untuk
pengukuran kuantitatif secara mudah dan murah dalam deteksi kandungan tetraborat
dalam larutan. Teknik analisis menggunakan pencitraan digital dengan software
Image J
2. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh pelarut ekstraksi antosianin
dari ubi jalar ungu adalah HCl 1,5 M dalam etanol, menghasilkan kadar antosianin
adalah 16,343 mg/L, pengukuran metode tetraborat dengan antosianin dengan
karakteristik pH optimum adalah 9. Optimasi waktu pengukuan adalah 3 menit dan
stabil hingga menit ke-5, rentang konsentrasi linier tetraborat yaitu 100-50o ppm
tetraborat. Pada uji validasi metode PAD diperoleh %recovery 87.58 -87,95 % pada
sampel tetraborat 200 dan 300 ppm tetraborat..
6.2. Saran
1. Perlu dilakukan upaya untuk menggunakan reagen lain yang lebih stabil dalam rentang
waktu pengukuran yang lebih lama, tidak bersifat degrdasi karena proses oksidasi daro
oksigen, sehingga nilai % recovery atau uji validasi bisa lebih ditingkatkan agar metode yang
dihasilkan lebih akurat.
2. Perlu digunakan upaya lain untuk meningkatkan rentang konsentrasi pengukuran
tetraborat yang lebih luas.
32
DAFTAR PUSTAKA Afandy,M.A.,S. Nuryanti dan A.W.M Diah, 2017, Extraction of Purple Sweet Potato
(Ipomoea batatas L.) Using Solvent Variation and Its Utilization as Acid-Base
Indicator, J. Akad. Kim. 6(2): 79-85
Anggraeni,N, L,Fuadah, W.Anif, R.Ramadani, D.Sundari, 2013, Paper Test Kit Sederhana
Untuk Analisis Kadar Boraks Dalam Makanan,
https://www.uny.ac.id/?q=berita/paper-test-kit-analisis-kadar-boraks-dalam-
makanan.html
Armanzah, R.S,T.Y. Hendrawati, 2016, Pengaruh Waktu Maserasi Zat Antosianin Sebagai
Pewarna Alami Dari Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatasL. Poir), Seminar Nasional
Sains dan Teknologi 2016 Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta , 1-
10
Ayun, Q, 2017,Deteksi Boraks, Mahasiswa Uniba Gunakan Kulit Buah Naga,2017
http://m.beritajatim.com/pendidikan_kesehatan/305105/deteksi_boraks,_mahasiswa
_uniba_gunakan_kulit_buah_naga.html
Busa,L. S. A; S. Mohammadi; M. Maeki. ; A. Ishida; H Tani; M. Tokeshi, 2016, Advancesin
Microfluidic Paper-Based Analytical Devices for Food Water Analysis,
Micromachines, 7, 86.
Cate,D.M. J. A. Adkins; J. Mettakoonpitak; C. S. Henry, 2015, Recent Developments In
Paper-Based Microfluidic Devices, Anal. Chem, 87, 19−41
Chaiyo, S. W.; Siangproh.; A. Aplux; O. Chailapakul, 2015, Highly Selective And Sensitive
Paper-Based Colorimetric Sensor Using Thiosulfate Catalytic Etching Of Silver
Nanoplates For Trace Determination Of Copper Ions, Analytica Chimica Acta, 866,
25:75–83
Dinas Peternakan Dan Kesehatan Hewan-Lampung, 2006, Bahaya Formalin Dan Boraks,
http://www.disnakkeswan-lampung.go.id, Tanggal akses : 24 Mei 2010.
Emeleus, H.J. dan A.G. Sharpe, 1982. Advance in Inorganic Chemistry and Radiochemistry,
Academic Press Inc. England.
Garrett, D.E., 1998, Handbook Of Deposits, Processing, Properties, And Use Borates,
Academic Press, San Diego, California.
Hambali,M., F. Mayasari, F.Noermansyah, 2014, Ekstraksi Antosianin Dari Ubi Jalar Dengan
Variasi Konsentrasi Solven, Dan Lama Waktu Ekstraksi, Teknik Kimia No. 2, Vol.
20, 25-35
33
Husna,I.E., M.Novita, S.Rohaya, 2013, Kandungan Antosianin Dan Aktivitas Antioksidan
Ubi Jalar Ungu Segar Dan Produk Olahannya, AGRITECH, Vol. 33, No. 3, 296-
302
Janeiro,P., A.M. O. Brett, 2007, Redox Behavior of Anthocyanins Present in Vitis vinifera
L.Electroanalysis 19, No. 17, 1779 – 1786
Jayawardane, B.M.; McKelvie. I.D.; Kolev. S.D., 2012, A Paper-Based Device For
Measurement Of Reactive Phosphate In Water, Talanta 100: 454–460
Kohl, K.S.; Landmark. D.J.; Stickle. F.D., 2006, Demonstration of Absorbance Using Digital
Color Image Analysis and Colored Solutions, J.Chem.Educ, 83(4), 644.
Kresnadipayana, D., D.Lestari, 2017, Determination Of Borax Level On Dates (Phoenix
Dactylifera) With Uv-Vis Spectrophotometric Method, Jurnal Wiyata, Vol. 4 No.
1,23-30
Liana, D.D., Raguse, B., Gooding, J.J., Chow, E., 2012, Recent Advances in Paper-Based
Sensors, Sensors, 12, 11505-11526.
Lisowski, P. P.; K. Zarzyckia., 2013, Microfluidic Paper-Based Analytical Devices (Lpads)
And Micro Total Analysis Systems (Ltas): Development, Applications And Future
Trends, Chromatographia 76:1201–1214
Martinez, A.W.; S.T. Phillips.; G.M. Whiteside., 2010, Diagnostics For The Developing
World: Microfluidic Paper-Based Analytical Devices, Anal. Chem., 82, 3–10
Mujamil, J., 1997, Deteksi dan Evaluasi Keberadaan Boraks Pada Beberapa Jenis Makanan
Di Kota Madya Palembang. Cermin Dunia Kedokteran No. 120, 1997, 17, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sriwijaya, Palembang.
Nagai, I, 1917, The Action of Oxidase on Anthocyanin, The Botanical
Magazine.vol.XXXI,No 363, 66-74
Office of Prevention Pesticides and Toxic Substances, 2006, Report Of The Food Quality
Protection Act (FQPA) Tolerance Reassessment Eligibility Decision (TRED) for
Boric Acid/Sodium Borate Salts, United States Environmental Protection Agency,
http://www.epa.gov/oppsrrd1/ REDs/boric_acid_tred.pdf. Retrieved 2008-04-21,
Panjaitan, L., 2010, Pemeriksaan Dan Penetapan Kadar Boraks Dalam Bakso Di Kota Madya
Medan, Skripsi, Universitas Sumatra Utara , Medan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/Ix/1988
Tentang Bahan Tambahan Makanan
34
Soldat, J.D.; Barak, P.; Lepore. J.B., 2009, Microscale Colorimetric Analysis Using a
Desktop Scanner and Automated Digital Image Analysis. J.Chem.Educ, 86(5), 617
Wahyuningsih, L Wulandari, M W Wartono, H Munawaroh, A H Ramelan, 2017, The Effect
of pH and Color Stability of Anthocyanin on Food Colorant, IOP Conf. Series:
Materials Science and Engineering 193, 012047
Wang; Chinnasamy. T.; Lifson. MA; Inci. F.; Demirci. U., 2016,Flexible Substrate – Based
Devides For Point-Of-Care Diagnostic, Trend Biotechnol, 34(11), 909 – 921.
Zhang, L., Y. Wang, C. Ma, P. Wang, M. Yan, 2015, Self-Powered Sensor For Hg2+
Detection Based On Hollow-Channel Paper Analytical Device, RSC Adv. 5, 24479
35