laporan akhir ekpd 2010 - sulbar - unm

115

Upload: ekpd

Post on 05-Dec-2014

1.813 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Laporan Akhir EKPD 2010 Provinsi Sulawesi Barat oleh Tim Universitas Negeri Makassar

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Page 2: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

izin-Nya sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan sesuai rencana.

Laporan ini dibuat sebagai pertanggungjawaban akhir tahun dari Tim Peneliti

Independen Universitas Negeri Makassar (UNM) dalam melakukan Evaluasi

Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sulawesi Barat tahun 2010.

Evaluasi kinerja pembangunan daerah Provinsi Sulawesi Barat ini

bertujuan untuk mengetahui capaian pembangunan daerah sesuai dengan

rencana strategis pembangunan daerah dan untuk mengetahui manfaat hasil

pembangunan yang telah dirasakan oleh warga masyarakat. Dengan kata lain,

sesuai dengan indikator capaian yang diharapkan oleh Bappenas maka tim

peneliti berharap agar hasil penelitian ini menyajikan hasil Evaluasi RPJMD telah

mengacu pada RPJMN 2004-2009 sesuai ketentuan Undang-undang nomor 25

tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah

memberikan kontribusi dalam pelaksanaan hingga tersusunnya laporan EKPD

Provinsi Sulawesi Barat ini. Secara khusus terima kasih disampaikan kepada

Deputi EKPD Bappenas yang memberikan kepercayaan kepada tim peneliti UNM

dalam melakukan tugas ini. Begitu pula terima kasih disampaikan kepada tim

peneliti yang telah bekerja keras melakukan penelitian hingga selesainya laporan

dibuat. Akhirnya, saya berharap agar kerjasama yang baik ini dapat terus terjalin

di masa akan datang.

Makassar, 09 November 2010 Rektor Universitas Negeri Makassar,

Prof. DR. H. Arismunandar, M.Pd.

Page 3: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv

DAFTAR GRAFIK ............................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1 1. 1 Latar Belakang . ..................................................................... 1 1. 2 Tujuan dan Sasaran .............................................................. 3 1. 3 Keluaran ............................................................................... 3

BAB II HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 ............ 4

A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI ........................................................................... 5 1. Indikator ........................................................................... 5 2. Analisis Capaian Indikator ................................................ 6 3. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 8 B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN . DEMOKRASI ......................................................................... 10 1. Indikator ............................................................................ 10 2. Analisis Capaian Indikator ............................................... 11 3. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 22 C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT .. 24 1. Indikator ........................................................................... 24 2. Analisis Capaian Indikator ............................................... 26 3. Rekomendasi kebijakan ................................................... 91 D. KESIMPULAN ........................................................................ 93 BAB III RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD PROVINSI 95 1. Pengantar .............................................................................. 95 2. Prioritas dan Program Aksi Pembangunan nasional ............. 98 3. Rekomendasi ........................................................................ 98 a. Rekomendasi Terhadap RPJMD Provinsi ........................ 98 b. Rekomendasi Terhadap RPJMN ...................................... 100 BAB III KESIMPULAN ............................................................................ 102

1. Kesimpulan ............................................................................ 102

2. Rekomendasi ........................................................................ 104

Page 4: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

iv

DAFTAR TABEL Halaman

TABEL 1 INDIKATOR PEMBANGUNAN INSONESIA YANG AMAN DAN 5

DAMAI

TABEL 2 INDIKATOR AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ADIL

DAN DEMOKRATIS ........................................................................ 10

TABEL 3 INDIKATOR AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT ........................................................................................... 25

TABEL 4 JUMLAH PENDUDUK MENURUT KABUPATEN PROV. SULBAR .. 50

Page 5: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

v

DAFTAR GRAFIK

Halaman

GRAFIK 1 INDEKS KRIMINALITAS .................................................................. 6

GRAFIK 2 PRESENTASE KASUS KORUPSI YANG TERTANGANI DIBANG

KAN YANG DILAPORKAN ……………………………………………. . 11

GRAFIK 3 GENDER DEPELOVMENT INDEKS ................................................. 17

GRAFIK 4 GENDER DEPELOVMENT INDEKS ................................................. 18

GRAFIK 5 GENDER EMPOWERMENT MEASUREMENT ................................ 20

GRAFIK 6 GENDER EMPOWERMENT MEASUREMENT ................................ 21

GRAFIK 7 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA .............................................. 27

GRAFIK 8 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA ............................................... 29

GRAFIK 9 ANGKA PARTISIPASI MURNI & KASAR TINGKAT SD .................. 32

GRAFIK 10 ANGKA MELEK HURUF (%) 15 THN KEATAS .............................. 35

GRAFIK 11 ANGKA MELEK HURUF (%) 15 THN KEATAS .............................. 38

GRAFIK 12 ANGKA KEMATIAN BAYI ............................................................... 41

GRAFIK 13 KONTRACEPTIVE PREPALENCE RATE ........................................ 47

GRAFIK 14 JUMLAH AKSEPTOR BARU & AKSEPTOR AKTIF .......................... 49

GRAFIK 15 PERTUMBUHAN PENDUDUK ....................................................... 51

GRAFIK 16 PERTUMBUHAN PENDUDUK ....................................................... 52

GRAFIK 17 LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI .................................................. 54

GRAFIK 18 PENDAPATAN PERKAPITA ............................................................ 58

GRAFIK 19 LAJU I N F L A S I ............................................................................. 59

GRAFIK 20 LAJU INFLASI SULBAR JUNI 2008 – MEI 2009 .............................. 60

GRAFIK 21 INFLASI BEBERAPA KELOMPOK PENGELUARAN ....................... 63

GRAFIK 22 NILAI REALISASI INVESTASI PMDN ( MILYAR RP) ....................... 67

GRAFIK 23 NILAI REALISASI INVESTASI PMA ( US JUTA)) ............................ 70

GRAFIK 24 KONDISI JALAN NASIONAL .......................................................... 77

Page 6: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

vi

GRAFIK 25 PRESENTASE LUAS LAHAN REHABILITASI DALAMHUTAN TER

HADAP LAHAN KRITIS ................................................................... 81

GRAFIK 26 PRESENTASE PENDUDUK MISKIN ................................................ 87

GRAFIK 27 PERKEMBANGAN GARIS KEMISKINAN ........................................ 88

GRAFIK 28 PRESENTASE PENDUDUK MISKIN ................................................ 89

GRAFIK 29 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA & ANGKATAN KERJA .... 90

Page 7: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

1  

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah

satu dari empat tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan,

penetapan, pengendalian perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan.

Sebagai suatu tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan

secara sistematis dengan mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk

menilai seberapa jauh pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan

tersebut dilaksanakan. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai

dilaksanakan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2006

tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana

Pembangunan, pemerintah (Bappenas) berkewajiban untuk melakukan evaluasi

guna melihat seberapa jauh pelaksanan RPJMN tersebut.

Saat ini telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.

Siklus pembangunan jangka menengah lima tahun secara nasional tidak selalu sama

dengan siklus pembangunan 5 tahun di daerah, sehingga penetapan RPJMN 2010-

2014 ini tidak bersamaan waktunya dengan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi. Hal ini menyebabkan prioritas dalam RPJMD

tidak selalu mengacu pada prioritas-prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu

dilakukan evaluasi relevansi prioritas/ program antara RPJMN dengan RPJMD

Provinsi.

 

1

Page 8: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

2  

Di dalam pelaksanaan kegiatan ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang

berkaitan dengan RPJMN. Bentuk pertama adalah evaluasi atas pelaksanaan

RPJMN 2004-2009 dan yang kedua penilaian keterkaitan antara RPJMD dengan

RPJMN 2010-2014.

Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009

adalah Evaluasi ex-post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap

sasaran) dengan mengacu pada tiga agenda RPJMN 2004 – 2009, yaitu: agenda

Aman dan Damai; Adil dan Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan

Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan

ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis indikator pencapaian.

Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMD Provinsi

dengan RPJMN 2010-2014 adalah membandingkan keterkaitan 11 prioritas nasional

dan 3 prioritas lainnya dengan prioritas daerah. Selain itu, juga mengidentifikasi

potensi lokal dan prioritas daerah yang tidak ada dalam RPJMN 2010-2014. Adapun

prioritas nasional dalam RPJMN 2010-2014 adalah:

1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola,

2) Pendidikan,

3) Kesehatan,

4) Penanggulangan Kemiskinan,

5) Ketahanan Pangan,

6) Infrastruktur,

7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha,

8) Energi,

9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana,

10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, & Pasca-konflik,

11) Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi dan 3 prioritas lainnya yaitu

Page 9: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

3  

1. Kesejahteraan Rakyat lainnya,

2. Politik, Hukum, dan Keamanan lainnya,

3. Perekonomian lainnya.

Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada

perencanaan pembangunan daerah untuk perbaikan kualitas perencanaan di

daerah. Selain itu, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah

dalam mengambil kebijakan pembangunan daerah.

Pelaksanaan EKPD dilakukan secara eksternal untuk memperoleh masukan

yang lebih independen terhadap pelaksanaan RPJMN di daerah. Berdasarkan hal

tersebut, Bappenas cq. Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan melaksanakan

kegiatan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) yang bekerja sama dengan

Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Kementerian Perencanaan

Pembangunan Nasional/Bappenas.

B. Tujuan dan Sasaran

Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2010 dilaksanakan untuk

melihat seberapa jauh pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dapat memberikan kontribusi

pada pembangunan di daerah dan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan

prioritas/program (outcome) dalam RPJMN 2010-2014 dengan prioritas/program

yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Provinsi.

C. Keluaran Evaluasi

Seusai pelaksanaan EKPD 2010 ini diharapkan keluaran yang meliputi:

a. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di

daerah;

Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMD Provinsi dengan

RPJMN 2010-2014.

Page 10: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

4  

BAB II

HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009

Sistem perencanaan pembangunan daerah mengalami perubahan mendasar

seiring dengan tuntutan pada bidang politik, penyelenggaraan pemerintahan yang

baik (good government), dan pengelolaan keuangan negara. Undang-undang nomor

32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, telah mengatur sistem pemilihan

kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung. Paparan visi, misi dan program

kepala daerah terpilih akan menjadi bahan utama penyusunan agenda kerja

pemerintah daerah untuk 5 tahun ke depan.

Penyusunan RPJMD dimaksudkan untuk memberi arah dan pedoman bagi

pelaksanaan pembangunan suatu provinsi. Penyusunan RPJMD Provinsi Sulawesi

Barat sendiri adalah untuk tahun 2004-2009. RPJMD ini merupakan penjabaran dari

Visi, Misi dan program Kepala Daerah yang penyusunannya memperhatikan

Rencana Penggunaan Jangkan Menengah Nasional (RPJMD-Nasional) yang

memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan

umum, dan agenda pembangunan daerah, serta memuat program dan kegiatan

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), program lintas Satuan Kerja Perangkat

Daerah (lintas SKPD), dan program kewilayahan. Setiap program dan kegiatan

disertai dengan kerangka regulasi dan kerangka pendanaannya yang bersifat

indikatif.

Menurut Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah

satu dari empat tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan,

penetapan, pengendalian perencanaan, dan evaluasi pelaksanaan perencanaan.

Sebagai suatu tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan

4

Page 11: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

5  

secara sistematis dengan mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk

menilai seberapa jauh pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan

tersebut dilaksanakan.

A. Agenda Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai

1. Indikator

Pada agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai dalam

RPJMN 2004-2009 mencakup beberapa program yang pencapaiannya dapat

diukur pada tiga indikator utama. Ketiga indikator utama yang dimaksud adalah

indeks kriminalitas, persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional, dan

persentase penyelesaian kasus kejahatan transnasional.   Kaitannya dengan hal

tersebut, maka berdasarkan temuan di lapang, data indeks kriminalitas tidak

tersedia sehingga yang digunakan untuk menganalisis tingkat kriminalitas adalah

data tentang tingkat kriminalitas atau jumlah kriminalitas yang tertangani.

Selanjutnya, data mengenai persentase penyelesaian kasus kejahatan

konvensional dan transnasional juga tidak lengkap sehingga hanya diberikan

evaluasi yang sifatnya analisis data kualitatif.

Nilai pencapaian indikator untuk agenda Pembangunan Indonesia Yang

Aman dan Damai di Provinsi Sulawesi Barat dapat dilihat pada Tabel-1.

Tabel 1: Indikator Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai

Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Indeks Kriminalitas 0,737 0,987 1.162 0,226

Persentase Penyelesaian Kasus

Kejahatan Konvensional (%)

Persentase Penyelesaian Kasus

Kejahatan Trans Nasional (%)

Sumber: BPS, Sulawesi Barat, 2010

Page 12: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

6  

2. Analisis Pencapaian Indikator

2.1. Tingkat Kriminalitas

Tingkat kriminalitas di Sulawesi Barat, yakni jumlah kejadian kriminal

perseribu penduduk dalam satu tahun, berdasarkan data pada Tabel-1 di atas,

menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat pada periode 2005-

2007, kemudian terjadi penurunan pada tahun 2008. Sedangkan data untuk tahun

2004 dan 2009 tidak dapat ditemukan. Pada tahun 2007, angka kriminalitas di

Sulawesi Barat mencapai 1,16 kejadian perseribu penduduk, bertambah 0,17 dari

tahun 2006, sementara itu, angka ini menurun 0,93 menjadi 0,23 pada tahun

2008. Pada tahun 2007, jumlah tindak pidana di Sulawesi Barat mencapai 1.162

kasus, tahun 2006 berjumlah 987 kasus, dan pada tahun 2008 tingkat kriminalitas

menurun drastis menjadi 226 kasus. kecenderungan angka kriminalitas 2004-

2009 dapat dilihat pada Grafik di bawah ini.

Grafik-1

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010

Kriminalitas merupakan ancaman nyata bagi terciptanya masyarakat yang

aman dan tenteram. Makin maraknya kasus penyeludupan, pembunuhan,

penganiayaan, pencurian, penggelapan dan penyalahgunaan senjata api dan

bahan peledak adalah indikasi belum tertanganinya secara serius masalah

kriminalitas. Maraknya kejahatan yang terorganisir seperti peredaran dan

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Indeks Kriminalitas

Indeks Kriminalitas

Page 13: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

7  

penyalahgunaan narkoba telah menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup

bangsa, karena penyalahgunaan narkoba mencakup dimensi kesehatan baik

jasmani dan mental, dimensi ekonomi dengan meningkatnya biaya kesehatan,

dimensi kultural dengan rusaknya tatanan perilaku dan norma masyarakat secara

keseluruhan.

Hubungannya dengan perilaku kriminal di Provinsi Sulawesi Barat, dapat

dilihat pada gambar 1 dimana jumlah pelaku kriminal pada tahun 2006 mengalami

peningkatan sebesar 0,18 persen. Hal ini pada akhirnya akan dapat

membahayakan integritas dan kelangsungan hidup bermasyarakat dan akan

mempercepat tumbuhnya rasa tidak nyaman dan tidak aman dalam kehidupan

bermasyarakat. Makin tingginya tingkat kriminal di Sulawesi Barat sangat

ditentukan antara lain oleh:

a. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, dan

b. Turunnya kepatuhan dan disiplin masyarakat terhadap hukum.

Untuk itu, dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Barat tahun 2006-2011 setiap

SKPD menekankan peningkatan kedisilplinan agar setiap pekerjaan yang

dilakukan senantiasa berada dalam koridor hukum dan tidak bertentangan norma

kesopanan, kesusilaan, adat dan norma agama. Selanjutnya, berangkat dari

kenyataan bahwa jumlah polisi yang tersedia tidak sesuai dengan rasio

masyarakat yang harus dilayani, maka perlu pendekatan yang lebih

partisipatif melalui apa yang dikenal dengan Forum Kemitraan Polisi

Masyarakat (FKPM). FKPM yang dibentuk di setiap desa merupakan pendekatan

baru sebagai bentuk reformasi kepolisian dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat (public service). Pendekatan ini juga merupakan model baru

(different styles of polycing) yang terbukti menjadi pendekatan terbaik

Page 14: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

8  

untuk memperbaiki image penegakan hukum. Tujuan usaha kolaboratif polisi-

masyarakat ini agar dapat mengidentifikasi problem kriminal dan penyimpangan

secara dini dan melibatkan masyarakat mencari solusi penyelesaian masalah.

Masyarakat diharapkan melalui pendekatan ini dapat menyelesaikan masalahnya

sendiri - to help citizens resolve a vast array of personal problems – sebelum

ditangani oleh kepolisian.

Polisi terlibat, the role of the police officer in community based policing, is

to have an active part in the community (Schmalleger). Dengan kata lain, FKPM

adalah ujung tombak polisi di lapangan yang diharapkan bertindak cepat dan

tanggap akan gejala ketidaktertiban. Namun, meski ideal harapan ini, kondisi ini

masih dilematis.

2.2. Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional dan Trans Nasional

Berdasarkan hasil identifikasi data, tidak tersedia data persentase

penyelesaian kasus kejahatan konvensional dan trans-nasional di provinsi

Sulawesi Barat. Walaupun kejahatan konvensional seperti pencurian tetap terjadi

namun pencurian dengan kekerasan dan pencurian kendaraan bermotor hampir

tidak pernah terjadi di Provinsi Sulawesi Barat.

3. Rekomendasi Kebijakan

Konflik dan pariwisata perlu diantisipasi melalui kebijakan pembangunan

kesejahteraan sosial dengan peningkatan koordinasi dan upaya pengentasan

golongan masyarakat kurang beruntung, penanganan komunitas adat terpencil

melalui pemenuhan hak dasar, serta penanganan bencana alam dan

perlindungan sosial; pembangunan kesatuan bangsa perlu diarahkan melalui

penciptaan iklim komunikasi politik dan ketersaluran aspirasi politik, fasilitasi

Page 15: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

9  

organisasi politik, sosial/keagamaan dan LSM, penanaman rasa saling percaya

antar golongan/multi etnis, peningkatan harmoni/integrasi masyarakat, dan

revitalisasi nilai kebangsaan; pembangunan kepariwisataan, seni dan budaya

perlu dilakukan dalam wujud peningkatan infrastruktur pendukung kepariwisataan

berbasis budaya lokal, revitalisasi kesenian tradisional, dan pemeliharaan nilai

lokal asli; pembinaan pemuda dan olah raga dapat dilakukan dalam bentuk

pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan organisasi, peningkatan

prestasi serta pembinaan organisasi kepemudaan. Kebijakan ini dijabarkan ke

dalam beberapa program seperti:

(1) Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial,

(2) Penanggulangan Bencana,

(3) Pengembangan Wawasan Kebangsaan,

(4) Pemeliharaan Keamanan, Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat serta

Pencegahan tindak Kriminal,

(5) Pengembangan Kegiatan Kepariwisataan,

(6) Pemberdayaan pemuda dan Olahraga,

(7) Pemberdayaan Perempuan, dan

(8) Pengembangan komunikasi dan Informasi.

Adapun sasaran sebagai indikator keberhasilan program ini adalah

terwujudnya kesejahteraan sosial yang lebih baik, terpeliharanya harmoni sosial

dan integrasi bangsa, serta terbukanya ruang aktivitas bagi kelompok pemuda

dan perempuan, terlestarinya kekayaan budaya dan terpeliharanya tertib hukum

dalam masyarakat.

Page 16: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

10  

B. Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis

1. Indikator

Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis mencakup dua

kelompok indikator yakni kebijakan publik dan demokrasi. Pencapaian bidang

kebijakan publik diukur dengan indikator persentase kasus korupsi yang

tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan, persentase Kabupaten/Kota

yang memiliki Perda Pelayanan Satu Atap, dan Persentase instansi/SKPD

Provinsi (dalam laporan ini data yang bisa diperoleh adalah pemerintah

Kabupaten dan pemerintah Provinsii) yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa

Pengecualian. Sedangkan pencapaian bidang demokrasi diukur dengan

indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment

Measurement (GEM). Nilai capaian dari setiap indikator tersebut dapat dilihat

pada Tabel-2 berikut.

Tabel 2. Indikator agenda mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis

Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Pelayanan Publik                   

Persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan (%) 

0.00 0.00 0.00 66,6 0.00 0.00

Persentase kabupaten/ kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap (%) 

0.00  0.00  0.00  0.00  0.00  0.00 

Persentase instansi (SKPD) provinsi yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) [%] 

0.00  0.00  0.00  0.00  0.00  0.00 

Demokrasi                   

Gender Development Index (GDI)  60,10  61,52  63,60  63.60  64.71  64.71 

Gender Empowerment Measurement (GEM) 

59.70  61.30  61.80  61,97  62.20  62.20 

Sumber: Data Kajati Sulselbar dan BPS Prov. Sulbar, 2010.

Page 17: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

11  

2. Analisis Pencapaian Indikator

2.1. Pelayanan Publik

a. Kasus Korupsi yang Tertangani Dibanding yang Dilaporkan

Hubungannya dengan kasus korupsi yang tertangani, diperlukan adanya

interpretasi dan persepsi yang jelas tentang definisi yang digunakan. Yang

dimaksud dengan kasus korupsi yang “tertangani” dalam EKPD di Sulawesi Barat

adalah kasus korupsi yang buktinya sudah dianggap cukup oleh kejaksaan dan

sedang diproses ditambah dengan kasus korupsi yang diterima pelimpahannya

oleh kejaksaan dari kepolisian. Maksudnya adalah bahwa konsep tertangani disini

merupakan kasus korupsi yang telah berada pada proses atau tahap penuntutan,

sedangkan definisi yang digunakan dari konsep kasus korupsi yang “dilaporkan”

adalah seluruh kasus korupsi yang laporannya diterima secara langsung oleh

Kejaksaan dari masyarakat atau sumber lain ditambah kasus korupsi yang

pelimpahannya diterima oleh Kejaksaan dari Kepolisian. Data yang dianalisis

pada EKPD 2010 mencakup tahun 2007 saja, karena data 2004-2006, serta data

2008-2009 tidak dapat disajikan (data tidak ada).

Grafik-2

0

50

100

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan

Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani dibandingkan  dengan yang dilaporkan

Page 18: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

12  

Sumber: Kejaksanaan Tinggi RI Sulselbar, 2010

Tindak pidana korupsi telah menjadi tindak pidana yang luar biasa (extra

ordinary crime), maka sejalan dengan perkembangan kemajuan teknologi, modus

tindak pidana korupsi menjadi semakin canggih. Akibatnya, upaya pemberantasan

korupsi yang selama ini telah dilakukan masih dirasakan jauh dari harapan

masyarakat. Sungguhpun demikian, hal tersebut justru akan menjadi tantangan,

tidak saja bagi pemerintah Provinsu Sulawesi Barat namun juga seluruh bangsa

Indonesia untuk bersama-sama membangun komitmen memberantas korupsi.

Adanya perkembangan peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan pemberantasan korupsi dalam waktu dua tahun terakhir memperlihatkan

kesungguhan pemerintah dalam mendukung upaya-upaya pemberantasan

korupsi. Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan stimulasi untuk

mempercepat dikeluarkannya berbagai produk perundang-undangan, seperti

Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).

Selain peraturan itu, sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2004, pada Februari

2005 pemerintah telah selesai menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan

Korupsi (RAN PK) 2004-2009. RAN PK merupakan acuan dalam menyusun

program pemberantasan korupsi dan mensinergikan berbagai upaya nasional

dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, mulai dari tingkat pusat sampai

dengan daerah. Soalnya, korupsi merupakan masalah sistemik, sehingga

memerlukan penanganan secara sistemik pula, yaitu melalui langkah-langkah

pencegahan, penindakan dan pelaksanaan monitoring dan evaluasinya. Langkah-

langkah tersebut untuk memastikan pelaksanaan pencegahan maupun

penindakan pemberantasan korupsi, serta memberikan hasil konkret kepada

Page 19: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

13  

masyarakat. Langkah ini merupakan upaya mengembalikan kepercayaan

masyarakat kepada hukum dan penyelenggara negara serta pencerahan

mengenai anti korupsi kepada masyarakat. Dalam hubungannya dengan kasus

korupsi di Provinsi Sulawesi Barat, tercatat pada tahun 2007, sedikitnya terdapat

30 kasus korupsi yang dilaporkan dan hanya 20 atau 66,6 persen yang tertangani

oleh Kejaksaan Negeri Mamuju Sulbar. Sedangkan kasus korupsi yang ditangani

Kejari Mamuju yang masih dalam tahap kasasi. Dari sekian kasus korupsi yang

ditangani Kejari Mamuju, maka kasus terbesar adalah kasus pembobolan Bank

Sulsel Cabang Pasangkayu, senilai miliyaran rupiah.

Penegakan hukum yang tegas, imparsial dan tidak diskriminatif merupakan

jawaban atas permasalahan tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan percepatan

penyelenggaraan penegakan hukum dan peningkatan kinerja penyelenggaraan

negara di bidang penegakan hukum, baik dengan pembenahan berbagai

peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar operasional penegakan

hukum, penyempurnaan dan peningkatan kualitas lembaga penegak hukum, dan

peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum, serta peningkatan budaya

hukum masyarakat.

Adanya berbagai upaya yang dilakukan, tidak saja pemerintah, tetapi juga

semua stakeholders, maka tingkat penanganan korupsi akan terus membaik.

Dengan demikian, akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, baik di dalam

maupun di luar negeri, serta akan memberikan implikasi positif berupa

meningkatnya investor yang menanamkan modalnya di Sulawesi Barat. Pada

gilirannya, para investor itu akan dapat mendukung peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

Upaya penyelenggaraan negara di bidang penegakan hukum, khususnya

dalam rangka pemberantasan korupsi semakin ditingkatkan. Peningkatan

Page 20: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

14  

pemberantasan korupsi dilakukan baik berupa peraturan perundang-

undangannya, kelembagaan dan aparat penegak hukumnya, maupun budaya

hukum masyarakatnya.

Penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

pemberantasan korupsi tetap menjadi prioritas utama. Peningkatan efektivitas

pelaksanaan tugas instansi/lembaga pemberantasan korupsi juga terus

ditingkatkan, antara lain dengan memberikan dukungan peningkatkan

profesionalisme aparatnya, dukungan sarana dan prasarana dan peningkatan

kesejahteraan. Selanjutnya, upaya mendorong keterbukaan terus ditingkatkan,

antara lain dengan mendorong partisipasi dan keberanian masyarakat untuk

melakukan pengawasan terhadap lembaga penegak hukum dalam melakukan

pemberantasan korupsi.

Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya dilihat dari sisi penindakan

yang selama ini selalu mendapatkan porsi terbesar baik di media cetak maupun

elektronik, namun diseimbangkan dengan pemberian informasi kepada

masyarakat tentang upaya pemerintah dalam melakukan langkah-langkah

pencegahan korupsi. Hal ini sebenarnya telah banyak dilakukan, termasuk

berbagai reformasi pelayanan publik di bidang perpajakan, investasi, dan

pertanahan.

Langkah tersebut sangat penting untuk meningkatkan kesinambungan

akuntabilitas instansi/lembaga yang telah melakukan pembenahan (reform),

sehingga semua pihak dapat tetap mengawasi kinerja lembaga terkait. Langkah-

langkah itu pada dasarnya sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia yang

telah meratifikasi UNCAC, yakni ada empat fokus yang harus dilaksanakan oleh

negara yang telah meratifikasi, yaitu langkah pencegahan, penindakan, kerjasama

internasional, dan pengembalian aset dalam rangka pemberantasan korupsi.

Page 21: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

15  

b. Kabupaten /Kota yang Mempunyai Peraturan Daerah Pelayanan Satu

Atap dan Instansi yang memiliki Pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian.

Sampai saat ini Provinsi Sulawesi Barat belum memiliki Kabupaten/kota

yang mempunyai peraturan daerah pelayanan satu atap, demikian pula instansi

(SKPD) provinsi yang memiliki pelaporan wajar tanpa pengecualian.

Sebagaimana kita ketahui bahwa jumlah pemerintah daerah di wilayah Provinsi

Sulawesi Barat sekarang ada 6 (enam) pemerintah daerah. Adapun

perkembangan opini BPK atas LKPD di wilayah Provinsi Sulawesi Barat Tahun

Anggaran 2006 s.d. 2007 adalah sebagai berikut:

1. Tahun Anggaran 2006, terdapat 3 (tiga) pemerintah daerah yang mendapat

opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan 2 (dua) pemerintah daerah

yang mendapat opini Disclaimer;

2. Tahun Anggaran 2006, terdapat 4 (empat) pemerintah daerah yang mendapat

opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan 1 (satu) pemerintah daerah

yang mendapat opini Disclaimer;

Hasil pemeriksaan atas LKPD Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi

Barat oleh BPK selama periode 2006-2007 juga menunjukkan bahwa pertanggung

jawaban atas pelaksanaan APBD di Provinsi Sulawesi Barat masih belum

sepenuhnya sesuai dengan standar dan sistem akuntansi yang telah ditetapkan.

Hal ini dapat dilihat pada beberapa permasalahan terkait dengan transparansi dan

akuntabilitas sebagai berikut:

1. Review atas laporan keuangan oleh aparat pengawasan internal belum

sebagaimana yang diharapkan, baik dari segi kemampuan, metodologi

maupun implementasi reviewnya.

Page 22: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

16  

2. Sumber daya manusia yang ditugaskan untuk mengimplementasikan standar

dan sistem akuntansi serta pertanggungjawaban keuangan daerah masih

terbatas baik kuantitas maupun kualitasnya.

3. Masih terdapat kelemahan dalam desain dan implementasi sistem akuntansi

keuangan daerah seperti tidak efektifnya rekonsiliasi antara PPKD (Pejabat

Pengelola Keuangan Daerah) selaku BUD (Bendahara Umum Daerah)

dengan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) selaku pengguna anggaran.

4. Sistem aplikasi belum terintegrasi sehingga menghasilkan data yang berbeda

meskipun dokumen sumbernya sama.

5. Rekening pemerintah masih belum tertib karena belum terwujudnya sistem

perbendaharaan tunggal (Treasury Single Account), masih banyak uang

daerah yang tersebar di berbagai rekening dan sulit dikendalikan.

6. Aset tetap daerah belum seluruhnya diinventarisasi dan dilakukan penilaian

sehingga menimbulkan keraguan terhadap keberadaan, kepemilikan,

kelengkapan, dan kondisi aset yang dilaporkan.

7. Investasi Pemerintah baik berupa penyertaan modal pada BUMD maupun

berupa dana bergulir belum dikelola dan dilaporkan secara akurat.

Dari hasil audit BPK juga tergambar bahwa setidaknya ada dua alasan

yang menyebabkan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah belum

transparan dan belum akuntabel. Pertama adalah karena laporan

pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara/daerah belum disusun

mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang baku. Setelah 60 tahun

merdeka, Indonesia baru memiliki SAP yang diintrodusir pada tanggal 13 Juni

2005 sehingga masih perlu disosialisasikan kepada para penggunanya.

Sementara itu, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 59

Tahun 2008 yang saat ini digunakan oleh Pemerintah Daerah masih memerlukan

Page 23: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

17  

penyempurnaan-penyempurnaan agar sesuai dengan SAP. Kedua, masih

terbatasnya sumber daya manusia di bidang keuangan negara maupun di bidang

pengawasan yang ada di daerah yang benar-benar menguasai SAP dan memiliki

kemampuan teknis untuk menerapkannya.

2.3. Demokrasi

a. Gender Development Index (GDI)

Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa Gender Development Indeks

(GDI) merupakan salah satu indikator yang menunjukkan kesetaraan dalam relasi

gender pada berbagai aspek kehidupan. Capaian indikator GDI Sulawesi Barat

terus mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan dari tahun 2004

hingga 2009, dimana pada tahun 2008-2009 berhasil mencapai 64,71 persen,

meningkat 1,11 Persen dari tahun 2007. Sementara itu, tahun 2004 persentase

peningkatan GDI hanya sebesar 63,90 persen. Dalam rangka memberikan

gambaran yang lebih jelas, dapat dilihat seperti pada grafik berikut.

Grafik-3

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010

56

58

60

62

64

66

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Gender Development Indeks

Gender Development Indeks

Page 24: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

18  

Pembangunan gender juga ditunjukkan dengan indikator gender

empowerment measurement (GEM) atau indeks pemberdayaan gender (GDI),

yang diukur melalui partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan

pengambilan keputusan. Di wilayah Sulawesi Barat, GDI tahun 2007 mengalami

peningkatan dibandingkan dengan tahun 2006. Pada Provinsi Sulawesi Barat nilai

GDI tertinggi dengan nilai 64,7, sedangkan jika dilihat dari perbandingan antar

kabupaten, maka nilai tertinggi GDI pada tahun 2008 terdapat di Kabupaten

Majene. Secara global nilai GDI Provinsi Sulawesi Barat cenderung meningkat.

Terjadinya peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa faktor,

antara lain; (1) keterwakilan perempuan di parlemen, (2) meningkatnya proporsi

perempuan dalam pekerjaan profesional, (3) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

(TPAK), dan (4) upah nonpertanian perempuan. Di samping itu, perlindungan

perempuan dan anak terutama terhadap berbagai tindak kekerasan cukup bagus.

Grafik-4

Gender Development Indeks

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010

Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2004 hingga 2009

peningkatan GDI Sulawesi Barat berjalan seiring dengan peningkatan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM), di mana pada tahun 2009 GDI mencapai

0

20

40

60

80

100

120

140

160

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Gender Development Indeks

Indeks Pembangunan Manusia

Page 25: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

19  

persentase 64,71 persen dan tetap bertahan pada level nilai 60, hal ini sejalan

dengan perkembangan IPM pada tahun yang sama sebesar 69,64 persen.

Dengan demikian, semakin meningkat persentase GDI maka semakin meningkat

pula persentase IPM, seperti yang tergambar pada grafik-4 di atas. Peningkatan

ini menunjukkan bahwa terjadi perbaikan kualitas manusia dalam hal

pengetahuan, kesehatan dan daya beli secara tidak langsung mempunyai

hubungan dengan semakin membaiknya kesetaraan relasi antara laki-laki dan

perempuan dalam proses interaksi sosial, pola kekuasaan, dan struktur

kemasyarakatan. Tentu saja ini dengan asumsi bahwa pendidikan telah

mengubah tata nilai dan norma masyarakat memahami dan mampu menerima

prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.

Meskipun demikian, masih terdapat beberapa masalah yang dihadapi

dalam konteks gender, yakni tentang masih tingginya angka kematian ibu (AKI),

masalah gizi masyarakat dan lingkungan yang tidak sehat. Hal ini menunjukkan

masih banyak terdapat ketimpangan antara status kesehatan pada perempuan

dan laki-laki, dan tentu saja ini harus mendapatkan prioritas dalam

penanganannya.

Pengarusutamaan gender merupakan salah satu strategi pembangunan

yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender dan keadilan gender melalui

pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan

dan laki-laki. Untuk mempercepat pengarusutamaan gender, perlu dilakukan

pengembangan kapasitas SDM kesehatan, antara lain melalui seminar gender

bidang kesehatan. Kesetaraan gender adalah wujud kesamaan kondisi laki-laki

dan perempuan dalam memperoleh hak-haknya sebagai manusia agar mampu

berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya dan

kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.

Page 26: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

20  

b. Gender Empowerment Measurement (GEM) 

Pencapaian Gender Empowerment Measurement (GEM) Provinsi

Sulawesi Barat seperti pada tabel-2 menunjukkan kecenderungan adanya

peningkatan sekalipun tidak terlalu signifikan dari tahun 2004 sampai 2009,

karena tingkat pertambahan angka GEM yang tidak terlalu banyak mengalami

perubahan data dari tahun ke tahun. Adapun data mengenai GEM tersaji pada

grafik-5 berikut.

Grafik-5

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010

Gender Empowerment Meassurement (GEM). Indeks Pemberdayaan

Gender (Gender Empowerment Measurement/GEM) meliputi variabel partisipasi

perempuan di bidang ekonomi, politik dan pengambilan keputusan. Artinya,

bagaimana tingkat partisipasi perempuan pada ketiga bidang tersebut. Sama

halnya dengan GDI yang menganggap bahwa Indeks Pembangunan Manusia

adalah salah satu indikator yang turut berpengaruh, maka Gender Empowerment

Measurement juga turut dipengaruhi oleh Indeks Pembangunan Manusia, seperti

pada grafik-6 indikator pendukung di bawah ini:

5858.559

59.560

60.561

61.562

62.5

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Gender Empowerment Measurement

Gender Empowerment Measurement

Page 27: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

21  

Grafik-6

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010

Angka Gender Empowerment Meassurement (GEM) Sulawesi Barat

seperti pada grafik-6 di atas, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari tahun

ke tahun (2004-2008), yaitu: 59,70 persen (2004); 61,30 persen (2005); 61,80

persen (2006); 61,97 persen (2007); dan 62,20 persen (2008); dan 62,20 persen

pada tahun 2009. Artinya, tingkat partisipasi perempuan pada bidang ekonomi,

politik dan pengambilan keputusan di Sulawesi Barat juga mengalami

peningkatan. Peningkatan angka GEM di Sulawesi Barat tidak terlepas dari:

a. Keberhasilan Pemerintah Sulawesi Barat dalam mengimplementasikan

program-program pengarusutamaan gender (perempuan) khususnya yang

terkait dengan partisipasi perempuan pada bidang ekonomi, politik, dan

pengambilan keputusan di Sulawesi Barat;

b. Kebijakan Pemerintah Sulawesi Barat yang sudah responsif gender.

Sedangkan bila dibandingkan angka GEM antar Kabupaten di Sulawesi Barat,

maka angka GEM tertinggi berada di Kabupaten Majene.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa GEM juga turut

dipengaruhi oleh IPM. Oleh karena itu, hal ini perlu diperhatikan. Bagaimanapun,

50

55

60

65

70

75

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Gender Empowerment Measurement

Indeks  

PembanManusia

Gender 

Empowe

Measure

Page 28: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

22  

secara teroretis-filosofis, GEM adalah bagian dari upaya meningkatkan kualitas

manusia, dalam arti bagaimana manusia semakin memiliki peluang dalam era

keterbukaan terhadap pilihan-pilihan dalam kehidupannya (choices) dan semakin

mampu menyuarakan pilihan-pilihannya (voices). Pada grafik tersebut di atas,

terlihat bahwa peningkatan GEM di Sulawesi Barat cenderung seiring dengan

peningkatan IPM. Ketika nilai GEM mengalami peningkatan yang tinggi pada

tahun 2009 sebesar 62,20 dan tetap bertahan pada level nilai 60, saat itu juga,

IPM juga mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun yang sama sebesar

69,64, sementara dari tahun 2004-2008 peningkatan GEM tidak terlalu signifikan.

Meskipun demikian, tetap diyakini bahwa upaya pemberdayaan atau pencapaian

kesetaraan gender pada organisasi/kelembagaan pemerintah maupun non

pemerintah memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat pendidikan,

kesehatan dan daya beli masyarakat secara umum.

3. Rekomendasi Kebijakan

Layanan satu atap di Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru belum

ada satu pun daerah yang menyelenggarakannya. Sedangkan tentang gender,

dimana dalam Rencana Strategis Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB

Provinsi Sulawesi Barat 2009-2014 telah diprogramkan Pengarusutamaan Gender

maka diperlukan langkah sebagai berikut:

a) Peningkatan kualitas hidup perempuan melalui pendidikan, kesehatan, hukum,

ketenagakerjaan, sosial, politik, lingkungan hidup dan ekonomi.

b) Pengembangan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi

(KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender.

c) Peningkatan kapasitas jaringan kelembagaan PP di provinsi dan kabupaten

seperti Pusat Studi Perempuan/Gender, lembaga-lembaga penelitian.

Page 29: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

23  

d) Penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan PUG

di tingkat provinsi dan kabupaten.

e) Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat

dan harapan perempuan sebagai bentuk partisipasi perempuan dalam proses

pembangunan.

Beberapa gerakan dan upaya yang muncul di berbagai komunitas

kelompok masyarakat / bangsa sebagai upaya dalam peningkatan dan

pemberdayaan perempuan perlu digalakkan begitu pula diperlukan penanganan

ketertinggalan perempuan. Ketertinggalan perempuan dapat dilihat di berbagai

bidang, di bidang pendidikan, angka buta huruf /tidak dapat membaca dan

menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Secara keseluruhan angka buta huruf

penduduk usia 10 tahun ke atas di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2006 adalah

sekitar 12,51 persen, dengan persentase buta huruf perempuan yang sebesar

14,84 persen dibandingkan dengan laki-laki buta huruf sebesar 10,13 persen.

Dalam melakukan perencanaan kebijakan kesetaraan gender oleh

Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat memasukkan ke dalam Rencana Strategis

Pemerintah Provinsi dan Rencana Strategis SKPD yang ada dengan

mengakomodasi aspek-aspek pokok berikut ini:

a) Di sektor pendidikan masih diperlukan dukungan kebijakan di tingkat nasional

maupun daerah.

b) Di sektor kesehatan kebijakan kesetaraan/ keadilan gender relatif lebih maju

dibanding sektor pendidikan dimana telah direkomendasikan kerjasama antara

Departemen Kesehatan dengan Kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan

untuk meningkatkan kebijakan dan program-program pengarusutamaan gender

di sektor kesehatan. Dalam konsep otonomi daerah, kerjasama kantor Meneg

Page 30: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

24  

PP dan Departemen Kesehatan diperluas dengan melibatkan Departemen

Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan lembaga-

lembaga studi wanita. Demikian pula di Provinsi Sulawesi Barat.

c) Di sektor ekonomi menduduki posisi yang vital mengingat krisis yang diderita

Indonesia yang mempunyai dampak terbesar pada menurunnya kemampuan

ekonomi yang dikenal dengan meningkatnya tingkat kemiskinan sehingga

memerlukan kebijakan yang berkenaan dengan upaya-upaya kesetaraan

gender di sektor ekonomi. Dengan lahirnya PP Nomor 41 Tahun 2007 Tentang

Organisasi Perangkat Daerah, maka oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat

dengan Perda Nomor 22 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Inspektorat, Bappeda, Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong

Praja Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menetapkan organisasi perangkat

daerahnya sehingga melahirkan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB

dalam struktur kelembagaan di provinsi yang tugas/pokok dan fungsinya

adalah pelaksanaan pembangunan kesetaraan gender dalam meningkatkan

pemberdayaan perempuan khususnya pada Pemerintah Daerah Provinsi

Sulawesi Barat.

d) Di sektor pemerintahan dapat dilihat peran serta perempuan di eksekutif .

Dengan terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat sesuai UU No.26 Tahun 2006.

C. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat

1. Indikator

Dalam agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, terdapat beberapa

bidang yang masing-masing mencakup beberapa indikator sebagai basis

analisis dan evaluasi, antara lain: (1) Indeks Pembangunan Manusia, (2)

Bidang Pendidikan, (3) Bidang Kesehatan, (4) Bidang Ekonomi Makro (5)

Page 31: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

25  

Investasi (6) Infrastruktur (7) Pertanian (8) Kehutanan (9) Kelautan, dan

(10). Kesejahteraan Sosial.

Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Barat atas indikator-indikator

tersebut dapat dilihat pada Tabel-3 berikut.

Tabel 3. Indikator Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat

Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Indeks Pembangunan Manusia 64.40 65.72 67.06 67.72 68.55 69.64 Pendidikan Angka Partisipasi Murni Tingkat SD 0.00 87.08 91.67 92.17 95.20 99.25 Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD 0.00 88.30 94.02 109.93 78.69 80.75 Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat SMP 6.34 6.35 6.75 6.33 6.7 6.7 Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat Sekolah Menengah

6.35 6.94 6.9 6.35 6.49 6.58

Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%) 6,57 6.51 3.36 2.60 2,00 1,75 Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%) 3,98 4.06 6.02 14.47 3.00 2.00 Angka Putus Sekolah Tingkat Sekolah Menengah (%)

3.49 4.16 5.57 3.22 2.30 1,75

Angka Melek Huruf (%) 15 tahun ke atas 82.90 83.40 85.90 86.40 87.05 85,00 Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat SMP (%)

77.25 76.93 77.42 85.03 69.81 75.30

Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat Sekolah Menengah (%)

64.01 64.74 74.20 79.54

Kesehatan Umur Harapan Hidup (tahun) 66.30 66.40 67.00 67.20 67.40 67.70 Angka Kematian Bayi ( A K B ) 30,00 29.10 28,20 27.40 Gizi Buruk (%) 1.81 0.87 0.11 0.16 Gizi Kurang (%) 8.95 7.80 2.38 Persentase Tenaga Kesehatan per Penduduk (%) 0.13 0.16 0.16 0.20

Keluarga Berencana Contraceptive Prevalence Rate (%) 0.00 0.00 0.00 45,20 52,20 50,00 Pertumbuhan Penduduk (%) 0.00 2.68 0.02 3.23 1.54 1.53 Total Fertility Rate (%) 3,5 Ekonomi Makro Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 6.00 6.78 6.42 7.43 8.54 6,89 Persentase Ekspor terhadap PDRB (%) 15.10 14.52 13.57 13.51 14.21 14.15 Persentase Output Manufaktur Terhadap PDRB (%) 0.00 7.35 7.57 7.74

Pendapatan Perkapita (Rupiah) 3.955.774 4,562,424 5,162,733 6,091,286 7,534.953 8.671.818

Laju Inflasi (%) : 3.64 3.64 3.01 3.01 3.04 3.21 Investasi Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp. Milyar)

1.014 1.014 1.014 1.142 1.712 1.712

Nilai Rencana Investasi PMDN (Rp.Milyar)

2.485 2.485 2.485 2.652 5.273 6.111

Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta) 0.18 0.18 0.18

Page 32: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

26  

Nilai Rencana Investasi PMA (US$ Juta) 10.038 10.038 10.038 10.309 25.109 31.473 Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA 3,708 3,708 3,708 3,404 3,404 3,404 Infrastruktur Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Baik (%) 53.31 53.40 61.73 58.78 69.26 80.65

Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Sedang (%) 37.82 6.68 12.78 13.02 11.61 12.48

Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Rusak (%)

3.33 14.42 5.41 3.24 3.24 6.87

Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Baik (%)

77.15 62.57 41.18 43.84 68.43 85.31

Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Sedang (%)

72.21 16.99 27.73 33.62 39.02 33.79

Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Rusak (%) 32.52 65.74 47.42 44.69 24.35 26.18

Pertanian Rata-rata Nilai Tukar Petani per Tahun 100 100.81 103.58 105.14 PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku (Rp. Juta) 2,472,699 2,746,166 3,255,735 3.920.386 4.196.304

Kehutanan Persentase Luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis (%)

Kelautan Jumlah Tindak Pidana Perikanan 1 1 1 3 Luas Kawasan Konservasi Laut (km2) Kesejahteraan Sosial Persentase Penduduk Miskin (%) 24.22 20.74 19.03 16.73 15.29 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 0.00 6.45 5.68 4.92 4.10

2. Analisis Pencapaian Indikator

2.1. Indeks Pembangunan Manusia

Setiap tahun sejak 1990, Laporan Pembangunan Manusia (Human

Development Report) telah menerbitkan indeks pembangunan manusia (human

development index - HDI) yang mengartikan kesejahteraan secara lebih luas dari

sekedar pendapatan domestik bruto (PDB). Indeks pembangunan manusia

memberikan suatu ukuran beberapa dimensi tentang pembangunan manusia.

Indeks perkembangan manusia yang tercermin dari kondisi Kesehatan dan

Pendidikan.

Capaian indikator Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Barat sejak

tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 terus mengalami peningkatan. Pada tahun

2009 IPM Sulbar sudah menghampiri nilai diatas 70 yaitu sebesar 69,64 persen.

Page 33: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

27  

Sementara itu, diawal tahun terbentuknya provinsi ini pada tahun 2004 masih

berada pada kategori menengah bawah yakni 64,40 persen. Pada tabel-3, terlihat

bahwa peningkatan signifikan tercapai pada tahun 2009, dimana IPM Sulawesi

Barat naik 1,09 poin dari tahun 2008

Grafik-7

 

 

 

 

 

Sumber: BPS, Bappeda Sulbar, 2010

Nilai Indeks perkembangan manusia (IPM) Provinsi Sulawesi Barat walau

lebih kecil daripada nilai IPM nasional namun mampu menggeser rangkingnya

dari rangking 28 menjadi 27. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia di

wilayah Sulawesi Barat disebabkan oleh semakin meratanya jangkauan

pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan dan semakin diperhatikannya mutu

pelayanan pendidikan dan kesehatan terutama di daerah pedesaan dan

pedalaman.

Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam

agenda pembangunan nasional, karena perannya yang signifikan dalam

mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan

budaya. Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap

warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan

 

60

62

64

66

68

70

72

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia

Page 34: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

28  

kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang

mewajibkan Pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan

bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Pendidikan menjadi landasan

kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan

lebih penting lagi sebagai bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan

persaingan antar bangsa yang berlangsung sangat ketat. Dengan demikian,

pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena pendidikan

merupakan faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi

global.

Berbagai studi menunjukkan, pendidikan bukan saja penting untuk

membangun masyarakat terpelajar yang menjelma dalam wujud massa kritis

(critical mass), tetapi juga dapat menjadi landasan yang kuat untuk memacu

pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan tenaga kerja yang memiliki

pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keahlian dan keterampilan.

Tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang memadai ini memberi kontribusi

pada peningkatan produktivitas nasional.

Pemerintah Sulawesi Barat sangat konsisten dalam upaya meningkatkan

kualitas pendidikan. Upaya ini ditunjukkan dengan disusunnya Program

Pembangunan Daerah (Propeda) Sulawesi Barat 2005-2010 yang menyebutkan

bahwa strategi yang dilakukan dalam meningkatkan kinerja bidang pendidikan di

antaranya adalah dengan melakukan perluasan dan pemerataan di dalam

memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat melalui

peningkatan anggaran pendidikan secara berarti. Program pendidikan mempunyai

andil yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa, baik dari segi ekonomi

maupun sosial, karena keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan

merupakan salah satu parameter yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui

Page 35: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

29  

tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah, termasuk daerah-daerah di

Sulawesi Barat.

Perhatian pemerintah Sulawesi Barat, selain pada sektor pendidikan juga

tertuju pada bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial, khususnya dalam hal

pengentasan kemiskinan. Untuk melihat seberapa besar indikator tersebut

memberi kontribusi terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, dapat

dilihat pada grafik-8 indikator pendukung di bawah ini.

Grafik-8

Indeks Pembangunan Manusia

Sumber: BPS, Bappeda, Dinkes, Dinas Sosial Sulawesi Barat, 2010 Data pada grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2005 indeks

pembangunan manusia tidak begitu mengalami perubahan dari tahun

sebelumnya. Capaian yang terkesan stagnan sebesar 65,72% itu pada dasarnya

dipengaruhi oleh meningkatnya persentase penduduk miskin (24,22%) di samping

itu, angka kematian bayi juga ikut meningkat (30,00%), serta tingginya angka

putus sekolah pada tingkatan SD (6,51%), padahal persentase umur harapan

hidup juga mengalami peningkatan (66,40%) sejalan dengan meningkatnya

indeks pembangunan manusia pada tahun yang sama.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Indeks Pembangunan Manusia Umur Harapan Hidup

Persentase Penduduk Miskin (%)

Page 36: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

30  

Tahun 2008 indeks pembangunan manusia kembali mengalami

peningkatan (68,55%) disebabkan oleh meningkatnya persentase angka

partisipasi murni tingkat SD (95,20%) dan menurunnya angka partisipasi kasar

tingkat SD dari 109,93% menjadi 78,69%. Selain itu angka putus sekolah pada

setiap jenjang pendidikan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu

SD (2,00%), SMP (3,00%), dan SMA (2,30%) disebabkan oleh semakin

menurunnya persentase penduduk miskin (16,73%) yang secara tidak langsung

akan berimplikasi pada kemampuan masyarakat turut andil pada program

pembangunan, baik dalam bidang pendidikan maupun kesehatan. Ini tentu saja

merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan kaitannya dengan

pengentasan kemiskinan sebagai salah satu strong point dalam pembangunan

provinsi Sulawesi Barat berkelanjutan.

Tahun 2009 perkembangan indeks pembangunan manusia Sulawesi Barat

masih berada pada tataran meningkat. (69,64%), ini artinya meningkat sebesar

1,09% dari tahun sebelumnya (68,55%). Disebabkan oleh semakin terfokusnya

upaya pemerintah provinsi dalam melakukan pengentasan kemiskinan, perbaikan

sistem pendidikan dan kesehatan. Persentase penduduk miskin pada tahun 2009

adalah 15,29% menurun sebesar 1,44%. Sektor pendidikan juga sudah mulai

membaik dengan beberapa indikator antara lain meningkatnya angka partisipasi

murni tingkat SD yang hampir mencapai 100%, angka putus sekolah pada tingkat

SD, SMP, dan SMA yang juga mengalami penurunan sebagai akibat dari

meningkatnya persentase umur harapan hidup (67,70%) meningkat sebesar

0,30% dari tahun 2008 (67,40%). Intinya adalah bahwa pada hakikaktnya indeks

pembangunan manusia di provinsi Sulawesi Barat dapat dikategorikan cukup baik

karena dari tahun ke tahun (2004-2009) terus mengalami tren positif dalam

peningkatannya.

Page 37: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

31  

2.2. Pendidikan

Dalam bidang pendidikan akan diukur beberapa indikator, di dalamnya

tercakup pendidikan dasar dan menengah. Pada dasarnya pendidikan di Sulawesi

Barat secara keseluruhan menunjukkan adanya peningkatan, sekalipun

peningkatan dari tahun ke tahun tidak terlalu tinggi, namun setidaknya

peningkatan tersebut dapat memberikan indikasi bahwa pemerintah tetap

memperhatikan dan menjadikan pendidikan sebagai program prioritas

pembangunan. Angka partisipasi murni SD yang terus mengalami peningkatan,

berbanding terbalik dengan angka partisipasi kasar SD yang terus mengalami

penurunan (korelasional), nilai rata-rata SMP dan SMA juga terus meningkat,

begitupun dengan angka putus sekolah SD, SMP, SMA, dan angka melek huruf

15 tahun ke atas yang dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Hal lain yang

cukup menggembirakan adalah persentase guru yang layak mengajar (SMP dan

SMA) yang terus mengalami peningkatan.

a. Angka Partisipasi Murni dan Kasar (APM dan APK) Tingkat SD/MI

Indikator pertama adalah Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka

Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI. Perkembangan data mengenai Angka

Partisipasi Murni (APM) tingkat SD/MI dari tahun ke tahun terus mengalami

peningkatan, jika pada tahun 2005 APM tingkat SD/MI hanya sebesar 87,08%,

maka pada tahun 2009 persentase APM mampu dinaikkan dan hampir mencapai

100% dengan raihan 99,25%. Kondisi tersebut justru berbanding terbalik dengan

Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI. APK tingkat SD/MI dari tahun 2005-

2009 berfluktuatif. Selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2005 sampai 2007

persentase APK tingkat SD/MI sangat memprihatinkan karena jumlahnya yang

terus meningkat 88,30% pada tahun 2005 menjadi 109,93% ditahun 2007. Pada

tahun berikutnya, APK tingkat SD/MI berhasil diturunkan, bahkan lebih rendah

Page 38: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

32  

0

50

100

150

200

250

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Angka Partisipasi Murni Angka Partisipasi  Kasar

menjadi sebesar 78,69, namun kembali bertambah sebesar 2,06% menjadi

80,75% ditahun 2009. Khusus data APM dan APK tingkat SD/MI untuk tahun

2004 tidak dapat ditampilkan karena data tersebut tidak berhasil ditemukan,

mengingat pada saat itu merupakan tahun di mana provinsi Sulawesi Barat

melakukan transisi dari hasil pemekaran provinsi Sulawesi Selatan.

Perkembangan capaian indicator, baik APM maupun APK tingkat SD/MI dari

tahun 2004-2009 tersaji pada grafik berikut.

Grafik-9

Angka Partisipasi Murni dan Kasar Tingkat SD/MI

Sumber: Kemendiknas Sulawesi Barat, 2010

Perhatian pemerintah terhadap sumber daya manusia secara dini semakin

meningkat, hal tersebut juga terkait dengan program wajib belajar sembilan tahun

yang dicanangkan pemerintah dalam upaya meningkatkan partisipasi sekolah.

Angka ini merupakan rasio persentase penduduk umur tertentu yang masih

sekolah terhadap total penduduk pada umur tersebut. Angka ini menggambarkan

sejauh mana besarnya partisipasi penduduk usia sekolah tertentu untuk

bersekolah pada jenjang pendidikannya. Berkaitan dengan upaya memperluas

jangkauan pelayanan pendidikan di Sulawesi Barat untuk penduduk usia 7-12

tahun sedikitnya tercatat 94,10 % (tahun 2007) mengalami peningkatan menjadi

Page 39: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

33  

94,20 % (tahun 2008). Sedangkan untuk umur 13-15 tahun juga mengalami

peningkatan dari 74,60% (tahun 2007) menjadi 75,10% (tahun 2008), dan untuk

tingkat umur 16-18 tahun dari 42.90% (tahun 2007) meningkat menjadi 43,52

persen (tahun 2008).

Angka Partisipasi Murni (APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah

tepat waktu yang dibagi kedalam tiga kelompok jenjang pendidikan, yaitu SD,

SMP dan SMU. Secara umum angka partisipasi murni (APS) di Sulawesi Barat

mengalami peningkatan dari 87,08% (tahun 2005) menjadi 99,25% (tahun 2009).

Bila dilihat dari daerah tempat tinggal, maka angka partisipasi murni tingkat

Sekolah Dasar (SD) dan (SMP) pada tahun 2008 di daerah perdesaan cenderung

lebih tinggi dibanding daerah perkotaan, sedangkan untuk jenjang SMU angka

partisipasi murni di perkotaan lebih tinggi dari pada perdesaan.

Dari tabel di atas nampak bahwa peningkatan pada angka partisipasi

murni memberi indikasi bahwa perluasan akses pendidikan telah diarahkan untuk

memperluas daya tampung satuan pendidikan dengan tujuan akhir agar semua

warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan layanan

pendidikan. Selama kurun waktu 2004 - 2009 telah dilaksanakan sejumlah

program perluasan akses pendidikan sebagai implementasi dari kebijakan pokok

perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Pencapaian yang diperoleh dari

implementasi tersebut menunjukkan adanya peningkatan kinerja Dinas

Pendidikan Provinsi Sulawesi Barat.

Pada tabel di atas juga nampak bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK)

untuk penduduk usia sekolah dasar (7-12 tahun) pada tahun 2005 adalah 88.30.

Ini berarti bahwa pada tahun 2006, ada lebih dari 88,30 persen penduduk usia

sekolah dasar (7-12 tahun) yang masih bersekolah dan mengalami

peningkatan hingga 94,02 persen pada tahun 2007.

Page 40: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

34  

Peningkatan angka pertisipasi kasar (APK) ini juga ditunjang dengan

adanya pembebasan biaya pendidikan untuk tingkat Sekolah Dasar dan peran

orang tua dalam mendorong anaknya untuk bersekolah. Hinga tahun 2009 ini

Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat melalui Dinas Pendidikan telah berhasil

meningkatkan angka partisipasi murni (SD/sederajat) dan angka partisipasi kasar

(SMP/sederajat). Demikian pula tingkat kelulusan (SD,SMP dan SMU) sebesar

88,08%. Adapun sasaran program pengembangan pendidikan pada tahun 2009

ini, antara lain meliputi :

a. Program pendidikan anak usia dini

b. Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun

c. Program pendidikan menengah

d. Program pendidikan non formal dan program pengembangan teknologi

informasi, komunikasi dan pendidikan

Disadari pula bahwa upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak

terlepas dari peran strategis guru. Dengan kata lain, guru merupakan komponen

yang sangat krusial di satuan pendidikan. Tidak hanya jumlah guru harus

seimbang dengan jumlah siswa di sekolah, mutu guru pun harus diperhatikan,

karena Salah satu indikator kinerja peningkatan mutu pendidikan adalah rata-rata

nilai ujian nasional (UN) siswa. Rata-rata nilai akhir tingkat sekolah SMP

mengalami peningkatan dari 6,34 (tahun 2004) menjadi 6,7 (tahun 2009),

demikian pula untuk tingkat SMU dari rata-rata nilai 6,35 (tahun 2005) menjadi

6.58 (tahun 2009).

Sedangkan angka putus sekolah yang mana mencerminkan anak-anak

usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau tidak menamatkan suatu

jenjang pendidikan tertentu sering pula digunakan sebagai indikator

berhasil/tidaknya pembangunan di bidang pendidikan. Penyebab utama dari

Page 41: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

35  

putus sekolah antara lain karena kurangnya kesadaran orang tua akan

pentingnya pendidikan anak, kondisi ekonomi orang tua yang miskin dan

keadaan geografis yang kurang menguntungkan.

Di Provinsi Sulawesi Barat dicatat bahwa angka putus sekolah mengalami

penurunan baik untuk jenjang pendidikan sekolah dasar (SD), SMP maupun

Sekolah Menengah Umum (SMU). Pada tingkat SD angka putus sekolah

mengalami penurunan dari 6.57 % (tahun 2004) menjadi 1,75% (tahun 2009)

dan untuk tingkat SMP dari 3,98% (tahun 2004) menjadi 2,00% (tahun 2009)

dan tingkat SMU penurunan dari 3,94% (tahun 2004) menjadi 1,75% (tahun

2009).

b. Angka Melek Huruf (%) 15 tahun ke Atas

Sama halnya dengan APM dan APK bahwa angka melek huruf 15 tahun

ke atas juga mengalami persentase yang cenderung meningkat.

Grafik-10

Angka Melek Huruf (%) 15 Tahun Ke Atas

Sumber: Kemendiknas Sulawesi Barat, 2010

Selanjutnya angka melek huruf yang dimaksud di sini adalah seseorang

yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf

lainnya. Yang dimaksud huruf lainnya misalnya huruf Arab, Bugis/Makassar,

80

81

82

83

84

85

86

87

88

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Angka Melek Huruf (%)

15 tahun ke atas

Page 42: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

36  

Jawa, Cina dan sebagainya. Seseorang yang hanya dapat membaca atau menulis

saja belum dianggap sebagai melek huruf. Hasil Susenas 2004 di Sulawesi Barat

menunjukkan bahwa angka melek huruf penduduk usia 15 tahun sekitar 87,59%.

Sisanya sebesar 12,41 persen yang buta huruf. Kelompok ini diperkirakan terdiri

dari mereka yang tinggal di daerah yang sulit dijangkau pelayanan pendidikan,

penyandang cacat dan penduduk yang berusia lanjut.

Perbaikan tingkat melek huruf disebabkan oleh meningkatnya partisipasi

pendidikan dasar serta meningkatnya proporsi siswa SD/MI yang dapat

menyelesaikan sekolahnya. Berdasarkan jenis kelamin, selisih angka melek huruf

laki-laki dan perempuan masih cukup besar yaitu : sekitar 4 persen. Perbedaan

angka melek huruf menurut jenis kelamin ini tampak berfluktuasi antar kabupaten.

Keadaan tersebut mengindikasikan adanya peningkatan kesadaran akan

pentingnya pendidikan yang berbeda antar wilayah tanpa melihat status jenis

kelamin, meskipun disadari pula bahwa di beberapa masyarakat tertentu masih

ada yang memprioritaskan anak laki-laki untuk disekolahkan dari pada anak

perempuannya.

Jika dilihat perkabupaten di Propinsi Sulawesi Barat, hasil Susenas 2006

menunjukkan bahwa variasi angka melek huruf berkisar antara 82 sampai 95

persen. angka melek huruf tertinggi di atas angka 90 persen terlihat didua

kabupaten yaitu Majene (95%), dan Mamuju Utara (94%). Sementara itu terdapat

satu kabupaten yang angka melek huruf nya di bawah 85 persen, yaitu Kabupaten

Polewali Mandar sebesar 82,06 persen. Berdasarkan jenis kelamin dan

kabupaten, angka melek huruf laki-laki berkisar antara 80 sampai 95 persen

dengan angka terendah di Kabupaten Polman (80,05%), sedangkan untuk

Page 43: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

37  

perempuan sedangkan angka tertinggi adalah Kabupaten Majene (96,48%) untuk

laki-laki.

Dengan demikian untuk mendorong peningkatan IPM berskala nasional

hingga mencapai posisi yang lebih baik, pemerintah provinsi Sulawesi Barat perlu

mengupayakan peningkatan angka melek huruf dan perluasan pendidikan dasar

dengan mempertahankan APM SD pada tingkat 99 % dengan mengupayakan

peningkatan APK SMP pada tahun 2011 menjadi 95 % (atau jumlah siswa

SMP/MTs sebanyak 66.326 siswa dan jumlah Penduduk usia 13 – 15 tahun

sebanyak 69.817 serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun

ke atas hingga 5 % atau sebanyak 5.010 pada tahun 2009. 

Selanjutnya peningkatan mutu elevansi, dan daya saing pendidikan, serta

mutu pendidikan merupakan kondisi di mana masukan, proses dan output adalah

baik, guru yang sesuai dengan persyaratan, sarana/prasarana yang tidak rusak,

dan biaya yang tidak mahal. Oleh karena itu, peningkatan mutu diarahkan pada

mutu masukan, proses, output, guru, sarana/prasarana, dan biaya. Sedangkan

relevansi pendidikan merupakan kondisi di mana terdapat keterkaitan antara

sekolah dengan lapangan pekerjaan sehingga semua lulusan akan memperoleh

atau menciptakan lapangan pekerjaan sesuai dengan jenis sekolah. Oleh karena

itu, relevansi diarahkan untuk melihat kesesuaian antara sekolah dengan

lapangan pekerjaan.

Pencapaian mutu dan relevansi pendidikan di masa datang diharapkan

dapat memberikan dampak peningkatan taraf hidup masyarakat dan daya saing

bangsa. Mutu dan relevansi pendidikan ditujukan oleh pencapaian prestasi

akademik dan non-akademik yang lebih tinggi serta relevansinya terhadap

tuntutan masyarakat dan dunia kerja yang ditunjukan oleh penguasaan iptek.

Page 44: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

38  

Selain dari itu, mutu pendidikan dapat dilihat dari dimensi kemanusiaan meliputi

keteguhan iman dan takwa, etika dan wawasan kebangsaan serta kepribadian

yang modern.

Sebagaimana yang dikemukakan di atas, bahwa salah indikator yang turut

mempengaruhi meningkatnya persentase angka melek huruf adalah karena

semakin meningkat pula angka partisipasi murni tingkat SD/MI dan menurunnya

angka partisipasi kasar (APK), sedangkan peningkatan APM dan penurunan APK

akan memberikan kontribusi kepada peningkatan angka melek huruf. Hubungan

antara keduanya dapat dilihat pada grafik di bawah ini

Grafik-11

Sumber: Kemendiknas, BPS Sulawesi Barat, 2010

Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2007 angka melek huruf

(%) untuk usia 15 tahun ke atas mengalami peningkatan sebesar 86.40%, sedikit

lebih tinggi dari tahun sebelumnya (85,90%) disebabkan oleh faktor APM pada

tahun itu juga mengalami peningkatan dan telah menembus angka 90-an

(92,17%). Padahal APK justru meningkat tajam dari 94,02% menjadi 109,93%, hal

ini disebabkan oleh persentase penrtumbuhan penduduk yang mencapai angka

0

50

100

150

200

250

300

350

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Angka Melek Huruf (%) 15 Tahun ke Atas

Angka Partisipasi  Kasar Tingkat SD/MI

Angka Melek Huruf (%) 15 tahun ke atas

Angka Partisipasi Murni Tingkat SD/MI

Page 45: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

39  

tertinggi selama 5 tahun terakhir (3,23%). Namun demikian, hal tersebut tidaklah

terlalu berpengaruh karena disaat yang bersamaan persentase penduduk miskin

justru menurun (19,03%), berarti semakin membaik. Hal ini menunjukkan bahwa

jumlah masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan pendidikan,

utamanya pada tingkatan menengah ke atas juga semakin tinggi. Tingginya

masyarakat yang mengenyam pendidikan tentu saja akan berdampak positif

terhadap peningkatan angka melek huruf tersebut sebagai output dari proses

pendidikan formal dan/atau non formal.

Pada tahun 2008, angka melek huruf kembali mengalami peningkatan

(87,05%) karena APM juga mengalami peningkatan (95,20%) didukung pula oleh

APK yang mengalami penurunan drastis (78,69%) karena persentase penduduk

miskin berhasil ditekan menjadi 16,73%. Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi

Sulawesi Barat pada tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat

menggembirakan karena merupakan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi di

Indonesia (8,54%). Kondisi ini praktis akan memberikan dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam hal tersedianya ruang bagi usia

sekolah untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan ini akan berkontribusi

pada berkurangnya APK dan meningkatnya APM pada tingkat SD/MI.

Pada tahun 2009, angka melek huruf justru mengalami penurunan

disebabkan oleh faktor menurunnya laju pertumbuhan ekonomi (6,89%) dan

semakin tingginya laju inflasi (3,21%), sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya

(3,04%). Hal ini berdampak pada kesulitan masyarakat dalam menghadapi

gelombang ekonomi yang tidak menentu pada saat itu, sehingga mereka

mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan primer

Page 46: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

40  

maupun sekunder, termasuk di dalamnya kesulitan akan biaya pendidikan

(menengah ke atas).

2.3. Kesehatan

Indikator dalam bidang kesehatan dasar yang paling penting adalah

menyangkut tentang umur harapan hidup (UHH). Artinya adalah bahwa semakin

sehat seseorang, maka semakin besar pula harapan baginya untuk memiliki umur

yang panjang. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu indikator yang digunakan

untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat adalah UHH. oleh karena itu,

semakin tinggi persentase masyarakat yang berusia panjang, maka semakin

tinggi pula derajat kesehatan masyarakatnya. Sebaliknya, semakin rendah

persentase masyarakat yang berusia panjang, maka semakin rendah pula derajat

kesehatan masyarakat.

Umur Harapan Hidup (UHH) di Sulawesi Barat dari tahun 2004 hingga

2009 dapat dikategorikan cukup baik karena selalu menunjukkan peningkatan.

Jika pada tahun 2004 sebagai tahun pertama berdirinya provinsi ini persentase

Umur Harapan Hidupnya hanya sebesar 66,30%, maka 5 tahun berikutnya (2009)

berhasil memperbaiki UHH menjadi 67,70%. Peningkatannya tidak terlalu

signifikan sebenarnya, tetapi paling tidak UHH menunjukkan tren positif setiap

tahun sebagai salah satu jargon percepatan pembangunan dalam bidang

kesehatan.

Indikator lain dalam bidang kesehatan dasar yang juga dinilai sangat

penting adalah pentingnya angka kematian bayi (Infant mortality rate), gizi kurang,

dan gizi buruk karena Indikator ini dinilai sangat sensitif terhadap perubahan

tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Page 47: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

41  

Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi

lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan

dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi

ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen atau yang

umum disebut dengan kematian neonatal; adalah kematian bayi yang terjadi pada

bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor

yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat

konsepsi atau didapat selama kehamilan. Kematian bayi eksogen atau kematian

post neo-natal, adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai

menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian

dengan pengaruh lingkungan dari luar.

Sumber: Dinas Kesehatan Sulawesi Barat, 2010

Angka Kematian Bayi menggambarkan keadaan sosial ekonomi

masyarakat dimana angka kematian itu dihitung. Kegunaan Angka Kematian Bayi

untuk pengembangan perencanaan berbeda antara kematian neo-natal dan

kematian bayi yang lain. Karena kematian neo-natal disebabkan oleh faktor

endogen yang berhubungan dengan kehamilan maka program-program untuk

mengurangi angka kematian neo-natal adalah yang bersangkutan dengan

Grafik-12

Page 48: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

42  

program pelayanan kesehatan Ibu hamil, misalnya program pemberian pil besi

dan suntikan anti tetanus.

Sedangkan Angka Kematian Post-Neo Natal dan Angka Kematian Anak

serta Kematian Balita dapat berguna untuk mengembangkan program imunisasi,

serta program-program pencegahan penyakit menular terutama pada anak-anak,

program penerangan tentang gizi dan pemberian makanan sehat untuk anak

dibawah usia 5 tahun. Kesehatan dan gizi merupakan bagian dari indikator

kesejahteraan penduduk dalam hal kualitas fisik, salah satu indikator utama

adalah angka kematian bayi (AKB)

Dari grafik-12 di atas dapat dilihat bahwa penurunan angka kematian

bayi dari 30,00 persen tahun 2005 menjadi 27,40 persen tahun 2008 seiring

dengan menurunnya grafik angka gizi buruk dari 1,81 persen tahun 2005 menjadi

0,16 persen tahun 2009 dan Gizi kurang dari 8,95 persen tahun 2005 menjadi

2,38 persen tahun 2008. Hal ini memberikan indikasi betapa pembangunan

kesehatan di Sulawesi Barat mendapat perhatian yang besar dari pemerintah.

Pembangunan kesehatan merupakan investasi untuk meningkatkan

kualitas sumber daya manusia. Dalam pengukuran Indeks Pembangunan

Manusia (IPM), kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan

dan ekonomi. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan

sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

ekonomi. Secara umum, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia terus

mengalami peningkatan, antara lain dilihat indikator angka kematian bayi,

kematian ibu melahirkan, usia harapan hidup, dan prevalensi gizi kurang.

Page 49: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

43  

Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan

derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat, terutama

penduduk miskin, terhadap pelayanan kesehatan dasar. Dalam upaya membuat

pemberian pelayanan kesehatan makin merata dan bermutu, ketersediaan sarana

pelayanan kesehatan dasar sangat diperlukan. Sampai dengan akhir tahun 2009

telah tersedia 178 unit Rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun rumah

sakit swasta dan rumah sakit ABRI. 2.171 Puskesmas termasuk Puskesmas

Pembantu, dan Klinik Keluarga Berencana sekitar 81 unit. Dan dari jumlah itu

terserap sedikitnya 2.487 tenaga kesehatan.

Meskipun demikian, banyak golongan masyarakat terutama penduduk

miskin belum sepenuhnya dapat mengakses pelayanan kesehatan karena

kendala biaya, jarak dan transportasi. Untuk itu, diperlukan peningkatan

ketersediaan, pemerataan dan mutu sarana pelayanan kesehatan dasar, terutama

di Puskesmas dan jaringannya. Dalam upaya memperluas jaringan pelayanan

kesehatan dasar di tingkat desa, akan ditingkatkan pelaksanaan poliklinik

kesehatan desa sebagai salah satu upaya perwujudan desa siaga. Di poliklinik

kesehatan desa tersebut dilaksanakan pelayanan kesehatan promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif dalam upaya mempercepat penurunan angka kematian

bayi, angka kematian ibu dan meningkatkan status gizi. Dalam pelaksanaannya,

kegiatan ini lebih menekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat. Selain

itu, untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar,

khususnya bagi penduduk miskin, pemberian Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM) akan terus dilanjutkan. Data berikut ini akan

menggambarkan beberapa indikator kesehatan yang menjadi perhatian

pemerintah dalam pembangunan bidang kesehatan.

Page 50: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

44  

Umur harapan hidup di Provinsi Sulawesi Barat menunjukkan

peningkatan dari 66,30 (tahun 2004) menjadi 67.70 (tahun 2009). Peningkatan ini

tentunya berbanding terbalik dengan data angka kematian bayi yang cenderung

manurun dari 30.00 (tahun 2005) menjadi 27.40 (tahun 2008). Sedangkan

presentase gizi buruk dan gizi kurang cenderung mengalami penurunan, yaitu dari

8,95 % (tahun 2006) turun menjadi 2,38% (tahun 2008). Beberapa data tidak

tersedia di Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru pecahan dari Provinsi

Sulawesi Barat, hal ini karena data tersebut masih bergabung dengan data

Provinsi Sulawesi Barat, kegiatan pendataan khususnya pada Dinas Kesehatan

dilakukan pada tahun 2005, sehingga ketersediaan data ada yang mulai tahun

2006.

Upaya penanggulangan masalah gizi terutama difokuskan pada ibu

hamil, bayi, dan anak balita, karena mereka ini adalah golongan rawan yang

paling rentan terhadap kekurangan gizi serta besarnya dampak yang dapat

ditimbulkan. Masalah gizi bukan hanya masalah kesehatan, tetapi menyangkut

masalah sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat. Dengan demikian, upaya

penanggulangan masalah gizi harus dilakukan secara sinergis meliputi berbagai

bidang seperti pertanian, pendidikan dan ekonomi dengan fokus pada kelompok

miskin.

Obat dan perbekalan kesehatan merupakan komponen penting dalam

pelayanan kesehatan. Ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial untuk

pelayanan kesehatan perlu terus diupayakan. Meningkatnya ketersediaan obat

generik esensial diharapkan dapat mendorong pemakaian obat generik esensial

oleh masyarakat umum terutama bagi kelompok miskin, karena lebih terjangkau

oleh masyarakat. Upaya ini akan bersinergi dengan upaya peningkatan akses

serta prasarana pelayanan kesehatan dasar. Dengan sinergitas ini, masyarakat

Page 51: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

45  

diharapkan akan lebih mudah dalam menjangkau fasilitas kesehatan,

mendapatkan pelayanan yang bermutu, dan harga obat yang terjangkau.

Pembangunan kesehatan pada 4 tahun terakhir ini, merupakan bagian

dari upaya pencapaian sasaran pembangunan kesehatan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah 2005–2009 yaitu meningkatnya status

kesehatan dan gizi masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya usia harapan

hidup, menurunnya angka kematian bayi, menurunnya angka kematian ibu, dan

menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita. Untuk itu Pembangunan

kesehatan diarahkan pada :

(1) Peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, melalui

pembangunan, perbaikan dan pengadaan peralatan di Puskesmas dan

jaringannya terutama di daerah bencana dan tertinggal; pengembangan

jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan melanjutkan pelayanan

kesehatan gratis di Puskesmas dan kelas III Rumah Sakit;

(2) Peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular

dan wabah, melalui pencegahan dan penanggulangan faktor resiko,

peningkatan imunisasi, peningkatan surveilans epidemiologi dan

penanggulangan wabah termasuk flu burung;

(3) Penanganan masalah gizi kurang dan gizi buruk pada ibu hamil, bayi dan

anak balita, melalui peningkatan pendidikan gizi, penanggulangan kurang

energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium

(GAKY), kurang vitamin A, dan kekurangan zat gizi mikro lainnya; dan

(4) Peningkatan ketersediaan obat dan pengawasan obat, makanan dan

keamanan pangan, melalui peningkatan ketersediaan obat generik,

pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya, peningkatan

Page 52: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

46  

pengawasan narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA). Kebijakan tersebut

didukung oleh promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat,

peningkatan lingkungan sehat, peningkatan sumber daya kesehatan,

pengembangan obat asli Indonesia, pengembangan kebijakan dan

manajemen pembangunan kesehatan, serta penelitian dan pengembangan

kesehatan.

Menyangkut tentang penyebaran jumlah tenaga perawat kesehatan jika

dibandingnya dengan jumlah masyarakat yang akan dilayani perbadingannya

semakin meningkat setiap tahunnya dari 0.13% (tahun 2005) menjadi 0,20%

(tahun 2009). Walaupun demikian disadari bahwa tenaga perawat kesehatan di

Povinsi Sulawesi Barat masih dibutuhkan utamanya tenaga spesialis.

2.4. Keluarga Berencana

a. Contraceptive Prevalence Rate (%)

Salah satu program pemerintah dalam mengontrol dan mengatur

kelahiran, adalah melalui program keluarga berencana (KB). Pengaturan

kelahiran ini diharapkan agar setiap keluarga akan memiliki kesempatan dan lebih

leluasa dalam mengatur sumberdaya yang dimilikinya demi kebahagiaan dan

kesejahteraan keluarganya.

Berdasarkan tabel-3, Contraceptive prevalence rate (%) selama dua

tahun berturut-turut mengalami peningkatan. Tahun 2007 (45,20%), 2008

(52,20%), namun terjadi penurunan di tahun 2009 (50,00%), berarti menurun

sebesar 2,20%. Sementara itu, untuk data tahun 2004-2006 belum bisa disajikan

karena pada tahun tersebut belum dilakukan pendataan ulang sebagai akibat dari

pemekaran wilayah provinsi. Meningkatnya persentase Contraceptive prevalence

Page 53: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

47  

rate secara langsung memberikan pengaruh yang besar terhadap persentase

pertumbuhan penduduk pada tahun 2007-2009. Pada tahun 2007 laju

pertumbuhan penduduk sebesar 3,23% menurun pada tahun berikutnya menjadi

1,54% dan 1,53% pada tahun 2009. Logika dasarnya adalah bahwa semakin

tinggi persentase Contraceptive prevalence rate, maka persentase pertumbuhan

penduduk akan semakin lamban.

Grafik-13

Sumber: BKKBN, Sulawesi Barat, 2010

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memiliki prinsip

untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan

kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan ini tidak hanya memprioritaskan

aspek ekonomi, tapi juga memperhatikan aspek lainnya seperti lingkungan dan

sosial. Untuk memenuhi ketiga aspek tersebut, kesehatan menjadi salah satu

ranah yang memilik peluang besar. Enam dari delapan target Millenium

Development Goals (MDGs) berhubungan dengan kesehatan serta empat di

antaranya bahkan dapat dicapai dengan melakukan intervensi di bidang

kesehatan reproduksi.

40

42

44

46

48

50

52

54

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Contraceptive Prevalence Rate

Contraceptive  Prevalence Rate

Page 54: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

48  

Salah satu program kesehatan reproduksi yang telah menghasilkan

keberhasilan di Indonesia adalah Program Keluarga Berencana (KB). Program KB

sesungguhnya tidak hanya berfungsi untuk menurunkan laju pertumbuhan

penduduk, tetapi juga mengatasi permasalahan kesehatan reproduksi di

Indonesia sehingga dapat menunjang kelancaran pembangunan.

Program KB yang telah dirintis sejak dibentuknya PKBI pada tahun 1957,

baru dicanangkan sebagai program nasional pada tahun 1968 melalui

terbentuknya LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional). Meski telah

berhasil menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia, tingkat pengguna

KB tidak mengalami perkembangan yang berarti. Menurut Susenas 2008, proporsi

wanita berusia 15-49 tahun berstatus menikah yang sedang dan pernah

menggunakan alat KB ialah sebesar 56,62%. Sementara itu, sekitar 30% atau

satu dari tiga Pasangan Usia Subur (PUS) di Indonesia pada tahun 2009 mesih

belum ikut serta dalam program KB (BKKBN, 2009).

Hal tersebut mencerminkan bahwa masih terdapat banyak hambatan

dalam pelaksanaan KB, di antaranya ialah hambatan yang berhubungan dengan

tradisi dan agama, kurangnya pengetahuan masyarakat, desentralisasi, efek

samping alat kontrasepsi modern, serta rendahnya partisipasi pria dalam KB.

Padahal bila dilaksanakan secara maksimal, program KB memiliki potensi untuk

menunjang pembangunan kesehatan, yakni mengendalikan laju pertumbuhan

penduduk, menurunkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, mengurangi

prevalensi penyakit menular di Indonesia, menurunkan angka kematian ibu (AKI).

Page 55: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

49  

Grafik-14

Sumber: BKKBN Sulawesi Barat, 2009

Oleh karena itu, diharapkan Program KB ini dapat dioptimalisasikan

melalui kerja sama antara pihak-pihak yang terkait, yaitu pemerintah, sektor

swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tenaga kesehatan,

masyarakat, serta media massa. Strategi implementasi yang dapat dilakukan yaitu

melalui promosi KB di masyarakat, peningkatan kualitas dan kuantitas Sumber

Daya Manusia (SDM), peningkatan partisipasi pria dalam program KB,

peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,

koordinasi penggunaan alat kontrasepsi di antara Pasangan Usia Subur (PUS),

pendidikan kesehatan reproduksi anak sejak usia dini, serta membangun

kemitraan dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan Keluarga Berencana..

b. Pertumbuhan Penduduk (%)

Salah satu indikator yang dipengaruhi oleh Contraceptive prevalence rate

adalah menyangkut tentang pertumbuhan penduduk. Peserta KB di Sulawesi

Barat masih sangat rendah dengan daerah lainnya. Jumlah peserta KB di

Sulawesi Barat pada tahun 2009 yang mencapai 50,00% masih berada dibawah

rata-rata nasional yang sudah mencapai 70,91%. Hal itu secara tidak langsung

berpengaruh terhadap angka fertilitas total (total fertility rate) yang pada tahun

0

20

40

60

80

100

120

2005 2006 2007 2008

Jumlah Akseptor Baru dan Akseptor Aktif

Akseptor  Baru

Akseptor  Aktif

Page 56: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

50  

2007 tercatat sebesar 3,5. Angka ini memberikan indikasi bahwa bahwa setiap

wanita di Sulawesi Barat akan mempunyai anak sebanyak rata-rata 3,5 orang di

akhir masa reproduksinya.

Dari hasil Sensus Penduduk Provinsi Sulawesi Barat, tercatat jumlah

penduduk untuk tahun 2009 telah mencapai 1.032.256 orang. Jika dibandingkan

jumlah penduduk tahun sebelumnya (2008) hanya berjumlah 1.016.663 orang,

dengan demikian terjadi penambahan sedikitnya 15.593 orang. Dari data/grafik di

atas Nampak ledakan penambahan penduduk terjadi pertama pada tahun 2005

dengan penambahan penduduk sekitar 25.312 orang, dan ledakan kedua terjadi

pada tahun 2007 dari jumlah penduduk 1.001.199 orang menjadi 1.016.663 orang

(penambahan berkisar 31.330 orang). Jika dilihat jumlah penduduk per

kabupaten, maka penduduk Kabupaten Polewali Mandar menempati urutan

pertama menyusul Kabupaten Mamuju sebagaimana tabel berikut ini :

Tabel : 4 Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten Provinsi Sulawesi Barat, 2010

Kabupaten L u a s J u m l a h Kepadatan

Km2 Penduduk Penduduk

Majene 879,77 150.939 172

Polewali Mandar 2.090,05 396.253 190

Mamasa 2.843,85 139.962 49

Mamuju 8.221,81 336.879 41

Mamuju Utara 2.955,29 134.303 45

Sulawesi Barat 16.990,77 1.158.336 68

Sumber : BPS Sulawesi Barat, 2010

Page 57: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

51  

Nampaknya penambahan jumlah penduduk di Provinsi Sulawesi Barat

banyak disebabkan oleh meningkatnya jumlah pendatang yang mencari pekerjaan

dan/atau urusan lainnya, hal ini sesuai dengan laju arus penumpang baik melalui

darat, laut maupun udara, seperti pada grafik-15 di bawah ini.

Grafik-15

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010

Sedangkan bicara tentang persentase pertumbuhannya, maka sejak tahun

2004 sampai tahun 2009, pertumbuhan penduduk di Sulawesi Barat cukup

fluktuatif. Pertumbuhan penduduk tertinggi dicapai pada tahun 2007 (3,23%) dan

terendah pada tahun 2006 (0,02%). Selanjutnya, kembali terjadi penurunan

persentase pertumbuhan penduduk yang cukup drastis dari 3,23% menjadi 1,54%

ditahun 2008 dan turun lagi menjadi 1,53% pada tahun berikutnya. Salah satu

indikator yang mempengaruhi fluktuatifnya pertumbuhan penduduk adalah karena

dari tahun ke tahun jumlah akseptor KB juga semakin meningkat.

0

0.51

1.5

2

2.53

3.5

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Pertumbuhan Penduduk (%)

Pertumbuhan Penduduk (%)

Page 58: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

52  

Grafik-16

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010

Grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2007 persentase

pertumbuhan penduduk meningkat tajam dari tahun sebelumnya (3,23%)

disebabkan oleh faktor masih rendahnya peserta akseptor KB (45,20%). Hal

tersebut juga turut dipengaruhi oleh masih tingginya persentase total fertility rate

(3,5%). Padahal, persentase untuk angka kematian bayi (AKB) sudah mulai

menurun, hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya data kesehatan dan keluarga

berencana yang lengkap sehingga tidak dapat mendukung analisis tingkat

pertumbuhan penduduk secara akurat.

Tahun 2008 pertumbuhan penduduk mengalami penurunan yang cukup

drastis (1,54%), ini berarti menurun sebesar 1,69% jika dibandingkan dengan

tahun sebelumnya disebabkan oleh faktor meningkatnya peserta contraceptive

prevalence rate (52,20%), selain itu angka kematian bayi (AKB) yang relatif masih

tinggi (27,40%) juga turut berpengaruh. Selanjutnya, pada tahun 2009

pertumbuhan penduduk justru semakin menurun (1,53%) disebabkan oleh faktor

0

10

20

30

40

50

60

2004 2 005 2006 2007 2008 2009

Pertumbuhan  Penduduk (% )

Pertumbuhan Penduduk  (%) Contraceptive Prevalenc e  Rate (%)

Page 59: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

53  

yang sama di tahun 2008, yaitu jumlah peserta contraceptive prevalence rate

yang masih tergolong tinggi (50,00%)

2.5. Ekonomi Makro

a. Laju Pertumbuhan Ekonomi

Secara garis besar laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat cenderung

meningkat, tren positif terhadap peningkatan laju pertumbuhan ekonomi terjadi

pada tahun 2008 yang bisa mencapai 8,54%, ini merupakan capaian tertinggi

yang diperoleh selama terbentuknya provinsi ini sejak lima tahun yang lalu,

bahkan Sulawesi Barat tercatat sebagai provinsi yang memiliki rangking tertinggi

dalam hal pertumbuhan ekonomi pada tahun itu. Sedangkan beberapa tahun dari

2004-2009 sifatnya fluktuatif, walaupun demikian, naik turunnya laju pertumbuhan

ekonomi pada lima tahun terakhir ini masih dalam batas-batas kewajaran, yaitu

masih kurang dari 0.9%.

Kondisi tersebut di atas juga tidak terlepas dari status provinsi Sulawesi

Barat yang masih tergolong provinsi baru. Membuat laju pertumbuhan ekonomi

stabil terlebih untuk melakukan peningkatan, bukanlah perkara yang mudah. Oleh

karenanya, keberhasilan pembangunan di Sulawesi Barat tidak terlepas dari

peran aktif pemerintah daerah yang berkomitmen penuh untuk membangun

Sulawesi Barat demi terwujudnya misi Sulawesi Barat menuju masyarakat yang

malaqbi. Pemerintah daerah melalui kebijakan anggaran daerahnya berperan

penuh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kebijakan yang dimaksud

adalah dengan mengarahkan alokasi belanja rutin pada upaya peningkatan

kualitas pelayanan pemerintah untuk masyarakat, sementara pengeluaran

pembangunan diarahkan pada program proyek prasarana dan sarana sosial.

Page 60: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

54  

Kebijakan anggaran daerah Sulawesi Barat tercermin melalui Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kondisi perkembangan laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat dari

tahun 2004-2009 dapat dilihat pada grafik berikut.

Grafik-17

Sumber: BPS, Bappeda Sulawesi Barat, 2010

Berdasarkan data tersebut di atas, pada dasarnya laju pertumbuhan

ekonomi provinsi Sulawesi Barat cenderung mengalami peningkatan. pada tahun

2004 laju pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 6,00%. Hal ini bisa dimaklumi

mengingat Sulawesi Barat pada saat itu baru memisahkan diri dari Sulawesi

Selatan, berdampak pada kondisi daerah belum 100% stabil, termasuk kondisi

ekonominya. Tahun berikutnya (2007) laju pertumbuhan ekonomi sudah mulai

menunjukkan perbaikan, merangkak dari 6,00% menjadi 6,78%, berarti berhasil

dinaikkan sebesar 0,78%, namun setahun berikutnya kembali turun (6,42%) dan

kembali naik ditahun 2007 (7,43%). Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa

hal menggembirakan kaitannya dengan laju pertumbuhan ekonomi ditunjukkan

pada tahun 2008 (8,54%). Tahun 2009 kembali turun (6,89%). Menurut Bappeda

 

0

2

4

6

8

10

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Laju Pertumbuhan Ekonomi 

Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)

Page 61: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

55  

Sulawesi Barat, pada dasarnya tidak menurun, akan tetapi anggaran belanja

daerah yang meningkat mempengaruhi lambannya laju pertumbuhan ekonomi.

Pendapatan daerah Sulawesi Barat mengalami kenaikan yang cukup

signifikan pada tahun 2008, dimana peningkatan pendapatan daerah tahun 2008

disebabkan oleh naiknya pendapatan asli daerah (PAD) dan dana perimbangan

masing-masing sebesar 11,63 persen dan 45,72 persen. Komponen PAD yang

mengalami kenaikan paling tinggi adalah retribusi daerah (sekitar 58,29 persen),

meskipun peningkatan ini tidak memberikan kontribusi pendapatan yang

signifikan.

Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari besarnya nilai PDRB (atas dasar

harga konstan) yang berhasil diciptakan pada tahun tertentu dibandingkan dengan

nilai tahun sebelumnya. Penggunaan angka atas dasar harga konstan ini

dimaksudkan untuk menghindari pengaruh perubahan harga, sehingga perubahan

yang diukur merupakan perubahan riil ekonomi. Dalam penghitungan PDRB 2005,

pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun regional dihitung dengan

menggunakan harga konstan Tahun 2000 sebagai tahun dasar.

Selain itu, pendapatan yang berasal dari pajak daerah juga mengalami

kenaikan yang cukup besar. Untuk pendapatan yang berasal dari dana

perimbangan sebagian besar diperoleh dari dana alokasi umum (DAU). Selama

tahun anggaran 2007–2008, penerimaan Sulawesi Barat masih sangat

bergantung pada sumber dana tersebut. Hal tersebut dibuktikan dari besarnya

kontribusi DAU terhadap pendapatan daerah. Pada tahun 2007 kontribusinya

mencapai 76,35, meskipun pada tahun 2008 mengalami penurunan kontribusi

menjadi 70.93 persen. Hal ini wajar bila mempertimbangkan bahwa Provinsi

Page 62: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

56  

Sulawesi Barat belum bisa mengoptimalkan sumber pendapatan daerahnya

sebagai provinsi yang masih baru. Selain mendapat suntikan dana alokasi umum,

tahun 2008 pemerintah Provinsi Sulawesi Barat juga mendapat kucuran dana

berupa dana alokasi khusus.

Selain pertanian, sektor lain yang mempunyai kontribusi cukup besar

adalah sektor jasa-jasa, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor

industri pengolahan yang masing-masing menyumbang 12,83 persen, 12,74

persen, dan 7,35 persen (keadaan Tahun 2005) terhadap pembentukan total

PDRB Provinsi Sulawesi Barat. Sedangkan sektor listrik, gas, dan air bersih pada

tahun yang sama mempunyai kontribusi yang paling kecil, hanya sekitar 0,36

persen.

Menjelang lima tahun Sulawesi Barat berdiri, perekonomian Sulawesi

Barat dirasakan semakin membaik. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi

yang terus mengalami peningkatan selama periode 2004-2008. Pada tahun 2008,

pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat tercatat mencapai 8,54 persen dan

merupakan peningkatan kinerja perekonomian tertinggi selama periode tersebut.

pada tahun 2009 mengalami pertumbuhan sebesar 4,5 persen dibanding tahun

2008. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan pada tahun

2009 mencapai Rp. 2.177,0 triliun, sedangkan pada tahun 2008 dan 2007 masing-

masing sebesar Rp. 2.082,3 triliun dan Rp. 1.964,3 triliun. Bila dilihat berdasarkan

harga berlaku, PDB tahun 2009 naik sebesar Rp. 662,0 triliun, yaitu dari Rp.

4.951,4 triliun pada tahun 2008 menjadi sebesar Rp. 5.613,4 triliun pada

tahun 2009.

Page 63: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

57  

Selama tahun 2009, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan.

Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang

mencapai 15,5 persen, diikuti oleh Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 13,8 persen,

Sektor Konstruksi 7,1 persen, Sektor Jasa-jasa 6,4 persen, Sektor Keuangan,

Real Estat dan Jasa Perusahaan 5,0 persen, Sektor Pertambangan dan

Penggalian 4,4 persen, Sektor Pertanian 4,1 persen, dan Sektor Industri

Pengolahan 2,1 persen, serta Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,1

persen. Pertumbuhan PDB tanpa migas pada tahun 2009 mencapai 4,9 persen

yang berarti lebih tinggi dari pertumbuhan PDB secara keseluruhan yang

besarnya 4,5 persen.

Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mengalami pertumbuhan

sebesar 15,5 persen sekaligus merupakan sumber pertumbuhan terbesar pula

terhadap total pertumbuhan PDB yaitu sebesar 1,2 persen. Selanjutnya sumber

pertumbuhan yang cukup besar yaitu Sektor Pertanian, Sektor Industri

Pengolahan, dan Sektor Jasa-jasa masing-masing memberikan peranan sebesar

0,6 persen.

Selanjutnya nilai ekspor Sulawesi Barat terhadap PDRB dapat dijelaskan

bahwa pada tahun 2004 (data masih bergabung dengan Sulawesi Selatan)

dimana nilai eksport Sulawesi Barat sebesar 1.268.833,75 ribu US$, dengan

volume sebesar 657.783.784 ton. Selama tahun 2004, volume ekspor yang

terlihat menonjol adalah dari biji kakao yaitu sebesar 201.851,29 ton, disusul

dedak gandum 164.959,81 ton dan nikel 73.575,32 ton sedangkan nilai ekspor

yang tertinggi pada tahun 2004 adalah nikel yaitu sebesar 792.083.061,03 ribu

US$ disusul kakao sebesar 283.830.683,41 ribu US$.

Page 64: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

58  

Neraca perdagangan dari sisi riil menunjukkan kondisi yang sama

dengan sisi absolutnya. Meskipun pada tahun 2008 pertumbuhan ekspor sekitar

16,56 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan impor sebesar 14,60

persen. Secara riil, nilai ekspor sebesar 545,37 miliar rupiah sedangkan nilai

impor mencapai 736,56 miliar rupiah atau terjadi defisit neraca perdagangan

sekitar 191,19 miliar rupiah.

b. Pendapatan Perkapita

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di atas, pendapatan perkapita

juga meningkat selama periode 2004-2009

Grafik-18

Sumber: Bappeda, BPS Sulawesi Barat, 2010

Pendapatan perkapita salah satunya dijadikan indikator untuk melihat

tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah. Akan tetapi, pendapatan

perkapita ini belum tentu menggambarkan kondisi nyata karena penghitungan

PDRB mencakup semua aktivitas ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut baik

yang merupakan kepemilikan domestik maupun luar daerah itu sendiri. Selama

kurun waktu 2004-2008 pendapatan perkapita Sulawesi Barat menunjukkan

peningkatan. Tahun 2004 pendapatan perkapita Sulawesi Barat sekitar 3,96 juta

rupiah, naik menjadi 4,56 juta rupiah pada tahun 2005. Selanjutnya mencapai

Pendapatan Perkapita (Rupiah)

Page 65: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

59  

5,162 juta pada tahun 2006 dan 6,091 juta pada tahun 2006. Atau dapat

dikatakan bahwa Pertumbuhan ekonomi dari 6,78 % pada tahun 2005 menjadi

6,42 % pada tahun 2006, meningkat menjadi 7,43 % pada tahun 2007 dan 8,54 %

pada tahun 2008. Nilai tertinggi pada tahun 2009 yaitu mencapai 8,671 juta

rupiah. Hal ini setidaknya dapat memberikan indikasi bahwa tingkat

kesejahteraan masyarakat Sulawesi Barat mengalami perbaikan yang positif.

c. Laju Inflasi

Laju inflasi yang sejak tahun 2004 mencapai angka tertinggi dan

cenderung tidak mengalami perubahan pada tahun berikutnya (3,64%). Secara

umum laju inflasi Sulawesi Barat relaif tidak stabil. Pada tahun 2008 misalnya

yang sudah menembus angka 3,04% terpaksa kembali naik menjadi 3,21% pada

tahun berikutnya.

Grafik-19

Sumber: Bappeda, BPS Sulbar, 2010

Inflasi didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang

berlaku dalam suatu perekonomian. Kinerja perekonomian yang meningkat

merupakan salah satu indikator keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan

kegiatan ekonomi. Namun, secara makro pengendalian inflasi juga tidak kalah

pentingnya dengan perbaikan kinerja perekonomian. Tingkat inflasi yang

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Laju Inflasi

Laju Inflasi (%)

Page 66: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

60  

berfluktuasi tinggi menggambarkan besarnya ketidakpastian nilai uang, tingkat

produksi, distribusi, dan arah perkembangan ekonomi sehingga dapat

menimbulkan ekspektasi keliru dan manipulasi yang dapat membahayakan

perekonomian secara keseluruhan. Sebaliknya, inflasi yang rendah juga tidak

menguntungkan perekonomian karena menggambarkan rendahnya daya beli dan

permintaan masyarakat akan barang dan jasa yang pada gilirannya akan

memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Di Indonesia, tingkat inflasi diukur dengan indeks harga konsumen (IHK)

yang dihitung dan diumumkan ke publik setiap bulan oleh Badan Pusat Statistik

(BPS). Hingga saat ini, terdapat 66 kota besar utama di Indonesia yang menjadi

kota IHK sebagai dasar penghitungan inflasi. Salah satunya adalah kota Mamuju.

Di Provinsi Sulawesi Barat, penghitungan angka inflasi baru dimulai pada

pertengahan tahun 2008. Sebelum melakukan penghitungan inflasi, terlebih

dahulu dilakukan pemilihan paket komoditas dan menghitung diagram timbang

dari hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tentang barang dan jasa yang dominan

dikonsumsi oleh masyarakat. Sedikit gambaran tentang laju inflasi Provinsi

Sulawesi Barat sebagaimana gamnbar berikut :

Grafik-20

Sumber: Bappeda Sulawesi Barat, 2009

‐5

0

5 Laju Inflasi SULBAR Juni 2008-Mei 2009

Laju Inflasi SULBAR Juni 2008‐Mei 2009

Laju Inflasi SULBAR Juni 2008 – Mei 2009

Page 67: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

61  

Selama periode Juni 2008-Mei 2009, laju inflasi Kota Mamuju sangat

berfluktuatif terutama pada tahun 2008. Setelah kenaikan BBM yang

diumumkan pemerintah pada bulan Mei 2008, harga-harga komoditas mulai

bergejolak. Khususnya di Kota Mamuju, laju inflasi pada bulan Juni mencapai

3,04 persen. Pada bulan berikutnya, dampak akibat kenaikan BBM cenderung

mengecil. Inflasi yang terjadi hanya sekitar 0,81 persen yang lebih dominan

didorong oleh penyesuaian harga saja. Selanjutnya, pada bulan Agustus 2008,

laju inflasi kembali bergejolak hingga mencapai level 3,21 persen. Tingginya

laju inflasi tersebut selama periode Juni 2008-Mei 2009 dan merupakan inflasi

tertinggi diantara 66 kota IHK. Pada bulan Oktober 2008, harga beberapa

komoditas utamanya kelompok bahan makanan cenderung turun yang

mengakibatkan terjadinya deflasi sebesar 1,56 persen. Usaha pemerintah yang

menurunkan kembali harga BBM cenderung tidak membuahkan hasil yang

signifikan.

Kurun waktu Juni 2008-Mei 2009, laju perubahan IHK tertinggi terjadi

pada Agustus 2008 yang mencapai 3,21 persen dengan nilai indeks sebesar

117,56. Kondisi tersebut diakibatkan oleh peningkatan semua indeks harga

kelompok pengeluaran dibandingkan bulan sebelumnya kecuali untuk kelompok

pendidikan, rekreasi, dan olah raga yang turun sebesar 0,19 persen.

Peningkatan indeks harga konsumen tertinggi terjadi pada kelompok bahan

makanan sekitar 9,15 persen dengan nilai IHK sebesar 134,71. Sementara itu,

IHK kelompok pengeluaran makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau

sebesa 120,43 dengan laju perubahan IHK sekitar 2,17 persen dibandingkan

dengan bulan Juli 2008. Selanjutnya, IHK kelompok perumahan sebesar 113,01;

kelompok sandang sebesar 112,56; kelompok kesehatan sebesar 105,43; dan

kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 108,78. Jika

Page 68: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

62  

diamati IHK per kelompok pengeluaran, nilai indeks harga pada kelompok

bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau

cenderung berfluktuasi. Keadaan ini terutama terjadi selama kurun waktu Juni-

Desember 2008.

Pada bulan Oktober 2008, harga beberapa komoditas utamanya

kelompok bahan makanan cenderung turun yang mengakibatkan terjadinya

deflasi sebesar 1,56 persen. Usaha pemerintah yang menurunkan kembali

harga BBM cenderung tidak membuahkan hasil yang signifikan. Pada bulan

Desember 2008, laju inflasi bergerak hingga ke level 1,20 persen lebih cepat

dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya naik sebesar 0,08 persen.

Penurunan harga BBM tersebut tidak serta merta menurunkan harga barang

yang sudah terlanjur naik sebelumnya. Momen hari raya seperti Idul Adha dan

Natal juga ikut memicu kenaikan harga komoditas.

Hingga pertengahan tahun 2009, laju inflasi cenderung lebih stabil jika

dibandingkan tahun 2008. Pada awal tahun 2009, imbas penurunan BBM untuk

yang ketiga kalinya pada bulan ini agaknya baru dirasakan oleh masyarakat.

Terbukti dengan terjadi deflasi pada bulan Januari 2009 sebesar 0,85 persen.

Meskipun pada bulan selanjutnya terjadi inflasi, namun pergerakannya hanya

berkisar antara 0,12-0,35 persen saja. Bahkan pada bulan Mei mengalami

deflasi lagi sebesar 0,14 persen. Dapat dikatakan bahwa Masing-masing

kelompok komoditi memberikan andil atau sumbangan inflasi berdasarkan bobot

dan tingkat kenaikan harga yang terjadi pada kelompok tersebut, sebagai

berikut: kelompok bahan makanan -0,99 persen; kelompok makanan jadi,

minuman, rokok dan tembakau 0,50 persen; kelompok perumahan, air, listrik,

gas dan bahan bakar -0,12 persen; kelompok sandang 0,04 persen; kelompok

Page 69: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

63  

kesehatan 0,00 persen; kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,01

persen; serta kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan -0,27 persen.

Grafik-21

Sumber: Bappeda Sulbar, 2009

Untuk kelompok bahan makanan pada Januari 2009 mengalami deflasi

3,61 persen dengan IHK 135,47, berarti terjadi penurunan indeks harga

konsumen dibandingkan desember 2008 dengan IHK yang mencapai 140,55.

Dari sebelas sub kelompok dalam kelompok bahan makanan, tujuh sub

kelompok mengalami deflasi, dua sub kelompok mengalami inflasi dan satu

kelompok tidak mengalami perubahan indeks harga. Deflasi tertinggi terjadi

pada sub kelompok lemak dan minyak 11,33 persen dan yang terendah sub

kelompok buah-buahan 0,99 persen. Inflasi terjadi pada sub kelompok padi-

padian, umbi-umbian dan hasilnya 1,01 persen dan sub kelompok ikan

diawetkan 15,24 persen, sedangkan sub kelompok yang tidak mengalami

perubahan indeks harga adalah bahan makanan lainnya. Kelompok

pengeluaran ini memberikan sumbangan inflasi sebesar -0,99 persen.

Komoditas yang dominan memberikan sumbangan inflasi antara lain: bandeng

0,21 persen, katamba 0,08 persen, bayam 0,07 persen, beras 0,06 persen,

ikan asin belah 0,05 persen, minyak goreng 0,02 persen, kacang tanah, jeruk,

Page 70: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

64  

tomat sayur, apel, bawang putih, baronang, jagung muda, labu

parang/manis/merah dan tepung terigu masing-masing 0,01 persen.

Sedangkan komoditi yang memberikan sumbangan inflasi dominan tetapi

negatif antara lain: cakalang -0,41 persen, tongkol 0,27 persen, minyak kelapa

-0,19 persen, cabe rawit -0,12 persen, cabe merah -0,11 persen, kacang

panjang -0,08 persen, daging ayam ras -0,07 persen, ayam hidup -0,05 persen,

layang dan kangkung masing-masing -0,04 persen, tomat buah dan telur ayam

ras masing-masing -0,03 persen, serta ikan merah, cumi-cumi dan

kembung/gembung masing-masing -0,02 persen.

Selanjutnya kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau

Kelompok ini pada Januari 2009 mengalami inflasi 2,97 persen dengan indeks

harga sebesar 128,33 lebih tinggi bila dibandingkan dengan indeks harga

Desember 2008 yang sebesar 124,63. Seluruh sub kelompok pada kelompok

ini mengalami ineflasi masing-masing: sub kelompok makanan jadi 3,08

persen, sub kelompok minuman yang tidak beralkohol 0,92 persen dan sub

kelompok tembakau dan minuman beralkohol 3,91 persen. Pada Januari 2009,

kelompok ini memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,50 persen. Sub

kelompok yang dominan memberikan sumbang inflasi adalah sub kelompok

makanan jadi sebesar 0,30 persen. Komoditas yang memberikan sumbangan

inflasi yang cukup dominan adalah rokok kretek filter 0,15 persen, kue basah

0,10 persen, ayam goreng 0,06 persen, sop 0,04 persen, martabak dan nasi

masing-masing 0,03 persen, rokok kretek, ikan bakar dan air kemasan masing-

masing 0,02 persen, serta sate dan soto masing-masing 0,01 persen.

Untuk bidang kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar

Sama halnya dengan kelompok bahan makanan, kelompok ini pada Januari

2009 juga mengalami deflasi sebesar 0,48 persen dengan indeks harga

Page 71: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

65  

konsumen 111,95, berarti terjadi penurunan indeks harga konsumen

dibandingkan Desember 2008 dengan IHK yang mencapai 112,49. Seluruh sub

kelompok dalam kelompok ini mengalami deflasi, antara lain: sub kelompok

biaya tempat tinggal 0,21 persen, sub kelompok bahan bakar, penerangan dan

air 1,49 persen, sub kelompok perlengkapan rumah tangga 0,18 persen dan

sub kelompok penyelenggaraan rumah 0,69 persen. Dalam periode waktu yang

sama (Januari 2009), sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air

memberikan sumbangan inflasi -0,07 persen yang terbesar dalam kelompok ini,

walaupun nilainya negatif. Sub kelompok biaya tempat tinggal, sub kelompok

perlengkapan rumah tangga dan sub kelompok penyelenggaraan rumahtangga

memberikan andil inflasi -0,03 persen, -0,01 persen dan -0,01 persen. Hanya

komoditas kontrak rumah yang memberikan andil inflasi positif, yaitu sebesar

0,05 persen. Sementara itu, komoditas yang memberikan sumbangan inflasi

yang cukup dominan tetapi negatif meliputi bahan bakar rumah tangga -0,06

persen, besi beton -0,03 persen, semen dan seng masing-masing -0,02 persen

dan sabun detergen bubuk -0,01 persen.

Pada Kelompok sandang mengalami inflasi sebesar 0,70 persen pada

Januari 2009 dengan IHK 115,37 yang berarti terjadi kenaikan indeks

dibandingkan indeks harga pada Desember 2008 dengan IHK 114,57. Tiga dari

empat sub kelompok pada kelompok pengeluaran ini mengalami inflasi, meliputi

: sub kelompok sandang laki-laki 0,47 persen, sub kelompok sandang

perempuan 0,70 persen dan sub kelompok barang pribadi dan sandang lainnya

1,63 persen. Sedangkan sub kelompok sandang anak-anak mengalami deflasi

0,45 persen. Pada Januari 2009 kelompok sandang memberikan sumbangan

inflasi 0,04 persen. Sub kelompok barang pribadi dan sandang lain memberikan

andil terbesar pada kelompok ini, yaitu sebesar 0,03 persen. Beberapa komoditi

Page 72: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

66  

memberikan sumbangan inflasi meliputi: emas perhiasan 0,03 persen dan baju

kaos/t-shirt wanita 0,01 persen.

Pada Kelompok kesehatan mengalami inflasi sebesar 0,05 persen pada

Januari 2009 dengan IHK 107,30 yang berarti terjadi kenaikan indeks

dibandingkan indeks harga pada Desember 2008 dengan IHK 107,25. Hanya

sub kelompok perawatan jasmani dan kosmetika yang mengalami perubahan

indeks sebesar 0,09 persen dengan andil inflasi hampir mendekati 0,00 persen.

Sedangkan tiga sub kelompok lainnya tidak mengalami perubahan indeks

harga. Berita Resmi Statistik Provinsi Sulawesi Barat No. 06/02/76/Th. III, 2

Februari 2009 terdapat 7 Komoditi yang mengalami perubahan harga adalah

deodorant, minyak rambut, sabun mandi cair dan shampo yang bila dijumlah

seluh andilnya hampir mendekati 0,00 persen.

Selanjutnya pada kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga Pada

Januari 2009 kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga mengalami deflasi

0,13 persen dengan IHK 101,69 yang berarti terjadi penurunan indeks

dibandingkan indeks harga pada Desember 2008 dengan IHK mencapai 101,82.

Sub kelompok jasa pendidikan dan sub kelompok kursus-kursus/pelatihan tidak

mengalami perubahan IHK dibandingkan bulan sebelumnya. Deflasi terjadi pada

sub kelompok perlengkapan/peralatan pendidikan 0,29 persen dan sub

kelompok rekreasi 0,42 persen, sedangkan sub kelompok olahraga mengalami

inflasi sebesar 1,93 persen. Kelompok ini memberikan sumbangan inflasi

sebesar -0,01 persen. Hanya beberapa komoditi yang mengalami perubahan

harga antara lain: personal komputer/desktop, printer laser, cd-tape-rec-radio,

VCD/DVD player, playstation, cuci/cetak film, bola dan pakaian olahrag pria

Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan Kelompok ini mengalami deflasi 1,48

persen dengan IHK 105,14 pada Januari 2009, berarti terjadi penurunan indeks

Page 73: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

67  

dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 106,72. Hal ini dipicu oleh

terjadinya deflasi pada sub kelompok transpor 2,56 persen dan ub kelompok

sarana dan penunjang transpor 0,32 persen. Sedangkan sub kelompok

komunikasi dan pengiriman inflasi 1,70 persen. Sementara itu, sub kelompok

jasa keuangan tidak mengalami perubahan IHK dibandingkan dengan IHK

Desember 2008.Kelompok pengeluaran transpor, komunikasi dan jasa

keuangan memberikan sumbangan inflasi -0,27 persen terhadap inflasi umum di

kota ini Januari 2009. Komoditas yang mengalami perubahan harga dan

dominan memberikan sumbangan inflasi adalah telepon seluler 0,07 persen,

ban dalam mobil 0,00 persen, solar dan kendaraan carter masing-masing -0,01

persen, angkutan antar kota -0,02 persen dan bensin -0,29 persen.

2.6. Investasi

Bagian ini akan menganalisis beberapa indikator, antara lain; Nilai

Rencana PMA yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta), Nilai

Rencana PMDN yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp Milyar), dan

Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA.

Grafik-22

Sumber: Penanaman Modal, Sulbar, 2010

0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp. Milyar)

Nilai Realisasi Investasi PMDN  (Rp. Milyar)

Page 74: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

68  

Nilai realisasi investasi PMDN (Rp. Milyar) menunjukkan capaian yang

cenderung meningkat. Jika pada tahun 2004 nilai realisasi investasi PMDN baru

berikisar 2.485, maka pada tahun 2009 berhasil dinaikkan menjadi 6.111, berarti

selama kurun waktu 5 tahun, Sulawesi Barat berhasil meningkatkan investasi

nilai realisasi investasi PMDN sebesar 3.626 dalam milyar rupiah.

Penanaman modal atau investasi secara langsung di sektor riil memiliki

peran yang dominan dalam pembangunan perekonomian daerah. Selain

kegiatan ini memberikan efek pengganda (multiplier) pada pertumbuhan

pendapatan daerah, penanaman modal dapat mendorong peningkatan daya beli

masyarakat di lokalitas dimana investasi tersebut ditanam. Penanaman modal

yang memiliki ”multipler keterkaitan tinggi” dapat menghasilkan peningkatan

lapangan kerja dan perkembangan industri hilir dan industri pasokan.

Pada grafik di atas Nampak bahwa nilai Penanaman Modal Dalam

Negeri (PMDN) sejak tahun 2004 hingga 2006 mencapai 1.014.471.276.235

(Rp. Milyar) atau berkisar 1,014 persen. Dari lnilai itu 63,2 persen bergerak pada

sector Primer (tanaman Pangan & Perkebunan) dan 27,6 persen pada sector

sekunder (Industri makanan). Selanjutnya terjadi peningkatan mulai pada tahun

2007 menjadi 1,142 persen dan tahun 2008 -2009 masing-masing menjadi

1,712 persen atau sebesar 1.712.014.133.552(Rp.Milyar) dari target yang

direncanakan sebesar 5.272.871.164.014 (Rp. Milyar), Sementara target

kedepan tahun 2010 mencapai 6.110.980.544.014 (Rp. Milyar).

Seluruh rangkaian kegiatan kehadiran penanaman modal di daerah pada

akhirnya akan memberikan dampak pada peningkatan kemampuan warga

masyarakat dan perusahaan-perusahaan swasta daerah melakukan

pembayaran pajak pada kas pemerintahan Daerah. Peran Penanaman Modal.

Page 75: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

69  

Penanaman modal secara konseptual meliputi antara lain tiga kegiatan

utama:

(a) investasi masyarakat,

(b) investasi swasta dalam rangka PMDN dan PMA dan

(c) belanja barang modal serta pengeluaran rutin oleh Pemerintah Daerah.

Kegiatan investasi dalam penanaman modal dapat berbentuk

pembangunan pabrik-pabrik baru atau perluasan kepemilikan lahan yang akan

digunakan untuk kegiatan usaha. Penanaman modal ternyata bukan hanya

merupakan monopoli kegiatan yang dilakukan oleh pihak masyarakat dan

pengusaha di sektor swasta. Wujud usaha ini dapat berbentuk kegiatan yang

biasa dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam berbagai aktivitasnya untuk

pengeluaran-pengeluaran belanja barang dan jasa, kegiatan penyertaan modal

dalam proyek infrastruktur, pengembangan sistem informasi, serta kegiatan

pemberian jasa pelayanan kepada publik. Dari sudut pandang pengklasifikasian

jenis penanaman modal seperti ini terlihat cukup luasnya cakupan penanaman

modal di suatu daerah.

Bangkitnya era desentralisasi dan otonomi daerah di tanah air

merupakan peluang besar bagi para pemilik modal, pelaku ekonomi dan

pemerintahan daerah untuk mengembangkan jenis-jenis penanaman modal

tersebut. Otonomi daerah memberikan keleluasaan pada pemerintahan daerah

untuk merealisasikan visi dan misi serta rencana-rencana pembangunan

wilayah dengan memobilisir kehadiran industri-industri andalan, kegiatan

produksi dan perdagangan oleh perusahaan kecil dan menengah, serta usaha-

usaha rumah tangga oleh berbagai kalangan masyarakat. Bagi perusahaan

domestik yang telah melakukan kegiatan usahanya di satu wilayah, masuknya

Page 76: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

70  

para penanam modal baru akan membuka berbagai peluang dalam kerjasama

investasi dan produksi secara lebih luas lagi.

Hasilnya dapat disimpulkan bahwa pada tahap-tahap awal pembangunan

daerah, porsi investasi pemerintah daerah cenderung akan mendominasi

keseluruhan investasi yang terjadi di daerah. Baru setelah tahapan kegiatan

industrialisasi terlewati maka porsi investasi pemerintah ini akan menurun dan

digantikan dengan penggelembungan investasi swasta. Sedangkan pada

tahapan pembangunan daerah yang telah maju, peran investasi masyarakat

secara berangsur menguasai mayoritas realisasi investasi di suatu daerah.

Grafik-23

Sumber: Penanaman Modal, Sulbar, 2010

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2004 hingga 2006

tidak tersedia data tentang Penanaman Modal Asing (PMA) di Sulawesi Barat,

Pada tahun 2007 nilai realisasi investasi PMA sebesar 182.609(US$ juta) atau

sekitar 0,18 %, nampaknya angka ini bertahan hingga tahun 2009, sehingga

dapat dikatakan nilai PMA di Sulawesi Barat Konstant pada angka 0,18%.

Namun jika dibandingkan dengan Rencana PMA yang disetujui tercatat sejak

0

0.05

0.1

0.15

0.2

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta)

Nilai Realisasi  Investasi  PMA (US$ Juta)

Page 77: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

71  

tahun 2004 – 2007 sebesar 10.037.500.000(US$ juta) dan meningkat pada

tahun 2008 menjadi 25.109.239.000(US$ juta) dan pada tahun 2009 menjadi

31.473.069.000 (US$ juta)

Kegiatan investasi PMA yang dapat dikembangkan di daerah dan

berpotensi menghasilkan devisa dan efek pengganda terbesar dapat dicirikan

sebagai berikut:

1. Kegiatan industri pertanian berorientasikan ekspor

2. Kegiatan industri pengolahan dan industri pasokan yang menggunakan lebih

banyak tenaga kerja dan bahan baku local

3. Kegiatan industri berteknologi madya dan tinggi yang memanfaatkan para

pekerja trampil dan professional

4. Kegiatan tambak ikan dan udang, industri pengalengan dan industri

pengolahan hasil barang pertanian dan perikanan

5. Kegiatan industri elektronika, komputer dan produk-produk peralatan

kedokteran dan farmasi

6. Kegiatan industri pengolahan hasil hutan, industri perabotan rumahtangga

menggunakan listrik . industri pakaian, dan industri kerajinan

7. Kegiatan industri mesin dan pasokan peralatan pabrik

8. Kegiatan industri galangan kapal serta produksi otomotif, dsb.

Sedangkan kegiatan investasi PMA yang diperkirakan kurang memberikan

dampak dan pengaruhnya pada kemajuan pertumbuhan perekonomian daerah,

karena cenderung memberikan efek pengganda yang relatif kecil, antara lain

terdiri dari:

1. Kegiatan industri berat berteknologi tinggi yang sebagian besar bahan baku

dan tenaga kerjanya diimpor.

Page 78: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

72  

2. Kegiatan perdagangan dan usaha retail skala besar seperti kawasan mall,

hypermarket dan keagenan penjualan barang-barang impor

3. Kegiatan industri karoseri mobil

4. Kegiatan perbankan dan asuransi

5. Kegiatan usaha pertambangan

6. kegiatan penangkapan ikan dengan peralatan modern

7. kegiatan industri yang footloose seperti sepatu, minuman, pengepakan,

kantor perwakilan dsb.

Dari daftar kegiatan industri ini semakin jelas perlunya Pemerintah

Daerah melakukan upaya industrial targeting pada kegiatan-kegiatan investasi

swasta dari luar daerah (PMDN dan PMA) yang memberikan efek pengganda

tinggi. Proses pengembangan industri tersebut seyogyanya hanya dipilih pada

beberapa jenis kelompok industri saja yang memiliki prospek pasar, keterkaitan

erat pada industri pasokan lokal dan keterkaitannya dengan kompetensi yang

dimiliki daerah, Proses prioritasisasi demikian diharapkan akan dapat

mendorong laju perkembangan perekonomian daerah secara berkelanjutan.

Investasi PMA yang termasuk dalam kategori kelompok industri yang

menghasilkan pengganda rendah bukan berarti perlu dihindari; karena investasi

pada kegiatan-kegiatan tersebut dapat juga berpotensi dalam menghasilkan laju

pertumbuhan perekonomian daerah yang cukup berarti. Hanya saja biasanya

industri yang demikian kurang dapat memberikan dampak simultan pada

peningkatan pendapatan masyarakat lokal di daerah, perkembangan industri

pasokan di daerah dan tambahan lapangan kerja yang tinggi.

Penanaman modal secara langsung lebih merupakan pilihan untuk

mendorong laju pertumbuhan perekonomian daerah dibandingkan dengan

investasi pada investasi portofolio aset keuangan. Hal ini beralasan mengingat

Page 79: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

73  

jenis investasi yang dilakukan oleh para kreditur, investor finansial, dan investor

perseorang pada aset-aset keuangan (saham, obligasi, asuransi, dsb) tidak

memiliki tingkat kepastian pada hasil efek multipliernya yang lebih berkelanjutan.

Artinya, jika kita perhatikan kehadiran investasi sektor finansial dalam perspektif

kepentingan daerah, umumnya kegiatan-kegiatan investasi pada sektor

keuangan dan asuransi sangat rentan (vulnarable) pada kejadian-kejadian

lingkungan bisnis serta iklim investasi yang ada di daerah tersebut

Sedangkan investasi di sektor riil dengan karakternya yang terikat dengan

lokasi tertentu (location spesific asset) akan lebih bertahan menetap di daerah

jika pada saat-saat tertentu terjadi goncangan instabilitas lingkungan usaha

yang mempertinggi resiko negara (country risk). Investasi perusahaan untuk

pembelian lahan usaha, pabrik-pabrik dan mesin-mesin akan sedikit sulit untuk

segera ditutup dan dipindahkan (withdrawals) pada kegiatan-kegiatan usaha di

daerah lainnya apabila di daerah terjadi gangguan keamanan dan resiko

berusaha tersebut. Iklim Investasi dan Peningkatan Kesiapan Daerah.

Penanaman modal di daerah perkotaan dan wilayah hinterland yang

subur dan menjanjikan akan tumbuh berkembang sejalan dengan suasana iklim

investasi dan iklim usaha yang ramah dan terpelihara dengan baik. Merupakan

suatu kebutuhan bagi para pengusaha bahwa dalam melakukan penanaman

modal, pada rentang waktu yang direncanakannya mereka dapat memperoleh

kembali dan merealisasikan arus penjualan dan menutupi biaya modal dari

kegiatan usaha yang digelutinya tersebut. Memang iklim investasi merupakan

syarat mutlak tanpa dapat ditawar-tawar bagi kehadiran penanaman modal di

suatu daerah.

Isu berikutnya jika demikian adalah bagaimanakah iklim investasi ini

dapat dibangun dan dikembangkan. Singkat kata, iklim investasi yang positif di

Page 80: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

74  

daerah dapat ditingkatkan melalui upaya-upaya berkesinambungan yang

dilakukan oleh para birokrat dan para pelaku ekonomi di daerah dalam hal-hal

berikut ini:

1. Memberikan kepastian hukum atas peraturan-peraturan daerah dan produk

hukum yang berkaitan dengan kegiatan penanaman modal sehingga tidak

memberatkan beban tambahan pada biaya produksi usaha.

2. Memelihara keamanan dari potensi gangguan kriminalitas oleh oknum

masyarakat terhadap aset-aset berharga perusahaan, terhadap jalur

distribusi barang dan gudang serta pada tempat-tempat penyimpanan

barang jadi maupun setengah jadi.

3. Memberikan kemudahan yang paling mendasar atas pelayanan yang

ditujukan pada para investor, meliputi perijinan investasi, imigrasi,

kepabeanan, perpajakan dan pertahanan wilayah.

4. Memberikan secara selektif rangkaian paket insentif investasi yang bersaing

5. Menjaga kondisi iklim ketenagakerjaan yang menunjang kegiatan usaha

secara berkelanjutan.

Bagi kepentingan para penanam modal asing maka selain iklim investasi

tersebut, kehadirannya masih perlu didukung oleh adanya ketentuan-ketentuan

dan perlakuan yang tidak diskriminatif, yang diberikan pada para pengusaha

lokal atau domestik dalam arena memperebutkan pangsa pasar. Sudah

selayaknya jika para pemilik modal asing menginginkan adanya perlindungan

dan jaminan investasi atas ancaman terjadinya resiko nasionalisasi dan

eksproriasi. Merekapun menginginkan adanya jaminan dalam hak untuk dapat

mentransfer laba maupun deviden, dan hak untuk melakukan penyelesaian

hukum melalui arbitrase internasional.

Page 81: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

75  

Atas dasar ini dipandang perlu dan sudah merupakan keharusan bagi

Indonesia segera meratifikasi RUU Penanaman Modal yang telah terkatung-

katung keberadaannya sejak tahun 1995. Undang-Undang Penanaman Modal

secara nasional ini akan diterima jika Pemerintah Pusat segera melakukan

restrukturisasi organisasi lembaga publik dan departemen pada tingkat pusat

dan kemudian memberikannya kewenangan yang lebih luas pada Pemerintah

Daerah dalam merencanakan dan mengatur rumah tangganya secara lebih

leluasa.

Upaya menarik penanaman modal untuk berinvestasi di lokalitas tertentu

di satu wilayah pada tahun-tahun mendatang akan menjadi semakin kompleks

dengan adanya globalisasi. Persaingan memperebutkan arus lalulintas modal

antar benua akan semakin bersaing mengingat lokalitas-lokalitas alternatif di

dunia telah tumbuh berkembang semakin banyak dan luas. Pertimbangan-

pertimbangan ”azas-azas efiensi, aksesibilitas dan kesiapan kompetensi

daerah” akan merupakan kunci sukses bagi peningkatan penanaman modal

dalam era otonomi daerah.

Para pelaku ekonomi di daerah dan aparat birokrasi pemerintahan

daerah perlu secara bersama mulai melakukan persiapan-persiapan dalam

upaya terprogram meningkatkan kompetensi daerah. Upaya awal yang paling

mendasar adalah membangun kesiapan sumber daya manusia yang trampil dan

cekatan. Sekolah-sekolah kejuruan industrial, ekonomi, teknologi dan bahasa

dapat dibangun secara sinergi antar unsur-unsur pelaku ekonomi yang ada di

daerah. Memang benar tenaga kerja trampil berpotensi untuk hijrah lintas

daerah. Akan tetapi mengingat keberadaan ikatan-ikatan sosial yang masih kuat

di beberapa daerah di tanah air serta terbangun nya program pengembangan

Page 82: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

76  

industri daerah, potensi bermigrasinya tenaga kerja trampil ke wilayah-wilayah

ekonomi di kota metropolitan dapat dikurangi.

Berikutnya ketersediaan fasilitas prasarana industri seperti pergudangan,

jalur transportasi untuk logistik barang, pelabuhan, terminal serta hub-hub intra

moda transportasi, sumber energi, air bersih, saluran irigasi lintas-desa,

lembaga-lembaga ekonomi dan finansial pedesaan, serta pos-pos kolektor dan

penyimpanan produk-produk hasil pertanian perlu dibangun secara memadai

dan berkualitas.

2.7. Infrastruktur

Bidang infrastruktur mempunyai peran yang sangat penting dalam

memperkokoh persatuan dan kesatuan. Sejak lama infrastruktur diyakini

merupakan pemicu pembangunan suatu kawasan. Dapat dikatakan disparitas

kesejahteraan antar kawasan juga dapat diidentifikasi dari kesenjangan

infrastruktur yang terjadi. Pengalaman menunjukkan bahwa infrastruktur

transportasi berperan besar untuk membuka isolasi daerah, serta ketersediaan

pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan pertanian dan

sektor-sektor lainnya.

Untuk mengetahui perkembangan infrastruktur di Sulawesi Barat

khususnya menyangkut tentang kondisi jalan, baik jalan nasional maupun jalan

provinsi, akan diuraikan berikut ini.

Page 83: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

77  

Grafik-24

Sumber: Dinas PU, BPS Sulbar, 2010

Pembangunan infrastruktur adalah bagian integral dari pembangunan

Provinsi Sulawesi Barat. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan

ekonomi. Kegiatan sektor transportasi merupakan tulang punggung pola

distribusi baik barang maupun penumpang. Selain itu, infrastruktur mempunyai

peran yang tak kalah penting untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan.

Sejak lama infrastruktur diyakini merupakan pemicu pembangunan suatu

kawasan. Dapat dikatakan disparitas kesejahteraan antarkawasan juga dapat

diidentifikasi dari kesenjangan infrastruktur yang terjadi diantaranya. Dalam

konteks ini, ke depan pendekatan pembangunan infrastruktur berbasis wilayah

semakin penting untuk diperhatikan. Pengalaman menunjukkan bahwa

infrastruktur transportasi berperan besar untuk membuka isolasi daerah, serta

ketersediaan pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan

pertanian dan sektor-sektor lainnya.

Masalah utama yang dihadapi Provinsi Sulawesi Barat dalam

pembangunan berbagai aspek adalah ketertinggalannya dalam hal infrastruktur

Kondisi Jalan Nasional

Page 84: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

78  

dan prasarana wilayah. Dua dari lima kabupaten yang ada masih relatif sulit

dijangkau dari ibu kota provinsi yakni Mamasa dan Mamuju Utara. Sementara

itu, masih banyak wilayah terpencil yang sulit dijangkau kendaraan roda empat,

bahkan roda dua, karena jalan dan jembatan yang belum memadai. Hubungan

antar desa, desa dengan ibu kota kecamatan, hingga ke ibu kota kabupaten,

belum menjamin mobilitas manusia dan barang yang memadai, serta belum

semua desa dapat dilayani kebutuhan air bersih dan prasarana pengairan.

Inilah yang menyebabkan desa-desa di Provinsi Sulawesi Barat berkategori

tertinggal. Dalam hubungan keluar daerah, bandar udara yang ada juga belum

memungkinkan lalu lintas pesawat berbadan besar; sementara pelabuhan laut

memerlukan pembenahan serius untuk bisa menopang arus manusia dan

barang lewat laut.

Pada pembangunan jalan dan jembatan diperlukan adanya koordinasi

dan pembagian kewenangan penanganan terhadap jalan dan jembatan, yang

meliputi jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten. Keadaan saat ini

panjang jalan nasional adalah 544 Km, dengan jumlah jembatan nasional 443

buah. Sedangkan untuk panjang jalan provinsi 602,95 Km, dengan jumlah

jembatan provinsi sebanyak 173 buah. Pada kenytaannya kondisi jalan dan

jembatan di Provinsi Sulawesi Barat masih sangat memprihatinkan dan

hendaknya segera tertangani.

Perkembangan Jalan Nasional 2005-2009 dengan panjang 544 Km

dimana pada tahun 2005 kondisi Jalan Baik dan Sedang hanya berkisar 20 %

sedangkan yang kondisi rusak ringan dan berat menghampiri 80 %. Perhatian

Pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur sehingga mengalami yang

perkembangan yg signifikan dimana di tahun 2009 kondisi Jalan Baik dan

Page 85: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

79  

Sedang telah mencapai 80 % sedangkan kondisi Rusak Ringan dan Rusak

Berat hanya di bawah 20 % dan berada di Batas Sulsel-Polewali-Majene-

Mamuju sedang ditangani di Tahun Anggaran 2010 dan dilanjutkan 2011.

Adapun Perkembangan jalan Provinsi 2006-2009 dengan panjang pada tahun

2006 adalah 602 Km dengan kondisi jalan baik dan sedang 25 % dan Rusak

Ringan dan Rusak Berat 75 %. Tahun 2009 panjang jalan Provinsi 441 Km

dimana kondisi Jalan Baik dan Sedang 33 % dan Rusak Ringan dan Rusak

Berat 67 %.

2.8. Pertanian

Nilai tukar petani (NTP) merupakan salah satu ukuran pendekatan yang

berguna untuk melihat potret kesejahteraan rumah tangga petani. Dengan kata

lain, indikator ini bukanlah satu-satunya ukuran yang dapat melihat

kesejahteraan petani. Namun, pada kenyataannya masih sangat sedikit ukuran

yang mengungkap masalah tersebut. Hingga saat ini, NTP yang masih

diperhatikan dan dikenal (popular) di masyarakat.

Indikator ini mengukur kemampuan tukar produk (komoditas) yang

dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani

baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumahtangga

petani. Jika NTP lebih besar dari 100 maka dapat diartikan kemampuan daya

beli petani periode tersebut relative lebih baik dibandingkan dengan periode

tahun dasar, sebaliknya jika NTP lebih kecil atau di bawah 100 berarti terjadi

penurunan daya beli petani.

Perkembangan NTP di Sulawesi Barat cenderung berfluktuasi. Meskipun

demikian, selama periode setahun terakhir (April 2008-April 2009) nilai

indeksnya selalu lebih besar dari 100. NTP pada bulan April 2008 sebesar

Page 86: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

80  

100,81 (2007=100). Angka tersebut terus mengalami peningkatan hingga April

2009 yang mencapai 105,14. Dapat diartikan bahwa taraf kehidupan rumah

tangga petani di Sulawesi Barat pada bulan April 2009 secara agregat

mengalami kenaikan dan cukup mendapatkan keuntungan (surplus) yang

berarti. Hal ini digambarkan dari indeks harga yang diterima petani (126,36)

mengalami peningkatan sebesar 15,66 persen, dibandingkan dengan indeks

yang dibayar petani (120,26) yang hanya meningkat sebesar 10,90 persen.

Peningkatan tertinggi dari kenaikan indeks yang diterima petani (It)

terjadi pada subsektor perikanan sebesar 20,26 persen yakni dari 102,06

menjadi 122,74. Sementara peningkatan It terendah dialami oleh subsektor

hortikultura yang hanya mencapai 12,49 persen dengan perubahan indeks dari

94,94 (April 2008) menjadi 106,8 (April 2009).

Secara umum, gambaran perkembangan NTP di Sulawesi Barat

mengalami peningkatan positif atau dengan kata lain kesejahteraan petani

cenderung baik. Namun, pengamatan menurut sub sektor menunjukkan bahwa

kesejahteraan tersebut hanya dinikmati oleh sebagian rumahtangga petani saja.

Berdasarkan penghitungan NTP di Sulawesi Barat, masih terdapat tiga

subsektor yang indeks NTP-nya di bawah 100. Keadaan ini menggambarkan

bahwa harga komoditas yang diproduksi petani belum dapat mengimbangi laju

kenaikan harga barang-barang dan jasa yang dikonsumsi, baik untuk biaya

produksi maupun kebutuhan rumahtangganya. Kenaikan biaya produksi ini

dipicu oleh kelangkaan pupuk bersubsidi, akibatnya harga pupuk melonjak

tajam. Hingga April 2009, keadaan ini terutama dirasakan petani tanaman

pangan dan hortikultura. Indeks harga yang diterima petani tanaman pangan

pada bulan April 2009 hanya sebesar 115,4 lebih kecil jika dibandingkan dengan

indeks harga yang dibayar petani mencapai 119,39. Sementara itu, It

Page 87: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

81  

hortikultura pada bulan yang sama sebesar 106,8 lebih kecil daripada (Ib) yang

mencapai 119,65. Meskipun (It) ini telah mengalami peningkatan dibandingkan

tahun sebelumnya, namun peran aktif pemerintah dalam mengambil kebijakan

yang menguntungkan petani diharapkan lebih besar lagi.

2.9. Kehutanan

Hutan merupakan potensi alam sebagai salah satu “common property

resources” yang sangat berharga, mengingat beragam fungsi yang sangat vital

bagi keberlanjutan kehidupan lokal, nasional maupun global. Kawasan hutan di

berbagai daerah ada yang mencapai sekitar 28.22 % dari luas daratan , yaitu

sekitar 1. 30 juta Ha, digolongkan menjadi kawasan hutan produksi 802.768

Ha, kawasan hutan lindung 315. 500 Ha dan kawasan hutan konservasi

230.153 Ha (NKLHD,1998). Penekanan pertumbuhan ekonomi selama PJP I,

telah memacu pula semakin meningkatnya tekanan terhadap cadangan potensi

hutan. Sedangkan keadaan kawasan hutan bakau diperkirakan tinggal 10 %.

Grafik-25

Sumber: Dinas Kehutanan Sulbar, 2010

0102030405060708090

100

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Persentase Luas Lahan  Rehabilitas i dalam  Hutan  terhadap  Lahan Kritis

Persentase Luas Lahan Rehabilitasi dalam Hutan terhadap Lahan  Kritis

Page 88: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

82  

Data tersebut di atas menunjukkan bahwa, pada tahun 2004 luas lahan

rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis mencapai 55,49%, secara

bertahap mengalami peningkatan tiap tahun berikutnya. Tahun 2005 (50,32%),

2006 (69,77%), dan selama tiga tahun, yaitu 2007-2009 tidak mengalami

peningkatan (88,70%)

Berdasarkan data dari dinas terkait, sebagian besar permukaan daratan

di Sulawesi Barat masih tertutupi hutan. Tercatat pada tahun 2007 proporsi

luas hutan terhadap luas daratan masih sebesar 75,21 persen. Artinya setiap

100 Ha luas daratan masih sekitar 75,21 Ha yang berupa hutan. Hal ini

menunjukkan bahwa sumber daya hutan yang ada di Sulawesi Barat masih

sangat berpotensial. Selain daripada itu, Sulawesi Barat masih memiliki modal

utama sebagai paru-paru wilayah Indonesia pada umumnya dan Provinsi

Sulawesi Barat pada khususnya. Meskipun demikian, perubahan luas hutan

tersebut cenderung telah menunjukkan adanya konversi lahan yakni dari

kawasan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman. Pada

tahun 2008, luas hutan berkurang sebesar 425 Ha menjadi 12.355 Ha atau

sekitar 72,72 persen terhadap luas daratan.

Kawasan hutan tersebut tersebar di sebagian besar wilayah di tiap

kabupaten. Pada tahun 2008, Kabupaten Mamuju merupakan kabupaten

dengan luas hutan terbesar yakni sekitar 6.751 Ha atau menutupi sebesar

82,11 persen wilayah daratannya. Sedangkan untuk Kabupaten Polewali

Mandar sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi

Barat memiliki luas hutan sebesar 1.215 Ha atau proporsi hutan terhadap

daratannya hanya sekitar 58,13 persen. Sementara luas lahan rehabilitasi

dalam hutan terhadap lahan kritis data yang akurat belum tersedia.

Page 89: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

83  

Penyusutan luas hutan dapat terjadi karena kebakaran hutan,

penebangan yang tidak terencana secara cermat atau disebabkan karena

pencurian serta alih fungsi. Khususnya penyusutan luas hutan karena

pencurian melalui penebangan liar. Hal tersebut menunjukkan indikasi bahwa

secara umum masih terdapat kesenjangan kesejahteraan masyarakat sekitar

kawasan hutan.

Telah terjadi perubahan paradigma pengelolalaan hutan yaitu: menuju

pegelolaan hutan secara berkelanjutan yang mana selama ini menempatkan

pengelolaan hutan sebatas “forest timber management” menjadi “forest

resource and total ecosystem management” sehingga hutan diharapkan dapat

berfungsi sebagai ekologis, sosial budaya dan produksi/ekonomi secara

terpadu.

Dalam rangka menuju pengelolaan hutan secara berkelanjutan di

Sulawesi Barat maka perlu dipilih strategi untuk meningkatkan ketiga fungsi

tersebut. Untuk meningkatkan fungsi ekologi hutan maka upaya yang dilakukan

dititik beratkan pada kawasan daratan yang memiliki kelerengan lebih 45 %

dan peka terhadap erosi. Sedangkan di kawasan perairan dalam hal ini adalah

kawasan hutan mangrove maka dititik beratkan pada kawasan yang memiliki

abrasi laut yang pada tingkat yang membahayakan serta pada kawasan muara

sungai. Fungsi sosial budaya diupayakan untuk semakin melibatkan peran

serta masyarakat, terutama masyarakat sekitar kawasan hutan . Disamping itu

sebagai fungsi ekonomi diupayakan berfungsi sebagai penyangga

keberlanjutan sistem produksi, konservasi dan pendaya manfaatan kekayaan

yang terkandung di dalamnya serta untuk berbagai penggunaan secara

terpadu. Beberapa hal prioritas adalah:

Page 90: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

84  

a. Evaluasi, Perencanaan dan Pengembangan Program Rehabilitasi dan

Reboisasi serta Perlindungan Hutan Secara Berkelanjutan.

b. Pemantapan dan Pembuatan: Peraturan, Kelembagaan Pengelolaan

Hutan Secara Berkelanjutan Berbasis Partisipasi dan Kearifan Masyarakat

Lokal.

c. Model-model Pengelolaan Hutan secara Berkelanjutan bersama

masyarakat (Community forest management system)

d. Sistem Informasi dan Pendataan Pengelolaan Potensi Hutan Secara

Berkelanjutan

2.10. Kesejahteraan Sosial

Pembangunan kesejahteraan sosial adalah pembangunan yang

diperhadapkan dengan masalah kemiskinan, keterlantaran, tuna sosial, tindak

kekerasan, bencana alam dan sebagainya yang dinilai membuat manusia

menderita dalam ukuran wajar. Permasalahan tersebut perlu penanganan

secara komprehensif dan berkelanjutan agar tidak memperburuk kondisi

kemiskinan structural, prilaku anti sosial, kondisi disharmodis, kerawanan sosial

dan tindak kejahatan yang akan menjadi pemicu terjadinya disintegrasi sosial.

Hal ini secara potensial akan mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan

ekonomi yang pada akhirnya menjadi beban sosial masyarakat dan pemerintah

dan membutuhkan biaya pembangunan yang lebih besar.

Paradigma pembangunan kesejahteraan sosial dewasa ini mengarah

pada pengembangan potensi individu keluarga dan masyarakat dalam

mengoptimalkan kekuatan dan potensi yang mereka miliki, untuk mengatasi

atau memecahkan permasalahan yang sedang mereka hadapi dan diharapkan

Page 91: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

85  

berperan aktif sebagai pelaku perubahan sosial (pembangunan) dalam rangka

meningkatkan tarap kesejahteraan sosial yang lebih baik.

Dalam rangka mendorong meningkatkan, memperluas dan

melembagakan prakarsa dan dukungan serta peran aktif masyarakat dalam

pembangunan kesejahteraan sosial, diperlukan informasi mengenai segala hal

yang berkaitan dengan pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Informasi

tersebut mencakup permasalahan-permasalahan bidang kesejahteraan sosial,

potensi-potensi kesejahteraan sosial serta upaya atau proses pemecahan

masalah-masalah berdasarkan metode pekerjaan sosial.

Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini

menunjukkan bahwa ada sebagian warga negara yang belum terpenuhi

kebutuhan dasarnya secara mandiri dan hidup dalam kondisi kemiskinan.

Mereka umumnya mengalami hambatan fungsi sosial dalam hidup

bermasyarakat, kesulitan dalam mengakses sistem pelayanan sosial dasar dan

tidak dapat menikmati kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam hal ini,

yang dihadapi oleh Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

adalah belum terpenuhinya pelayanan sosial dasar seperti kesehatan,

pendidikan, sandang, pangan, papan dan kebutuhan dasar lainnya.

Pemenuhan kebutuhan dasar bagi PMKS membutuhka pengelolaan tersendiri,

karena jangkauan dan populasi sasaran yang luas membutuhka koordinasi dan

kemitraan dalam pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar. Oleh karena itu,

diperlukan upaya peningkatan fungsi-fungsi sosial penyandang masalah

kesejahteraa sosial melalui pendekatan dan intervensi profesi pekerjaan sosial

sehingga PMKS dapa ditingkatkan fungsi sosialnya agar mampu mengakses

pelayanan sosial dasar.

Page 92: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

86  

Keterbatasan kemampuan pemerintah dalam penanganan masalah

kesejahteraan sosia telah mendorong bergesernya paradigma pembangunan

kesejahteraan sosial dengan lebih mengefektifkan sistem perlindungan sosial

melalui pelayanan rehabilitasi sosial, bantua dan jaminan sosial serta program

kompensasi bagi masyarakat miskin yang terkena dampak negatif dari

berbagai kebijakan ekonomi, seperti program kompensasi pengurangan subsid

Bahan Bakar Minyak (BBM) dan bantuan langsung tunai yang telah

dilaksanakan beberap waktu yang lalu. Selanjutnya, untuk mengembangkan

pelaksanaan bantuan dan jaminan sosial tersebut, sejak tahun 2007 disediakan

program baru bagi rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang memenuhi

persyaratan (pemeriksaan kehamilan ibu, imunisasi dan pemeriksaan rutin

balita, menjamin keberadaan anak usia sekolah di SD/MI dan SMP/lr4Ts), dan

pengurangan pekerja anak yang dilaksanakan melalui Program Keluarga

Harapan.

Bantuan sosial dalam bentuk bantuan langsung tunai masih

dimungkinkan sebagai alternatif solusi terakhir untuk mempertahankan daya

beli masyarakat miskin yang terkena dampak negatif kebijakan pemerintah. Hal

ini, untuk mengantisipasi kemungkinan pengurangan subsidi BBM sebagai

akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang sangat tinggi akhir-akhir ini

dan cenderung terus meningkat. Bentuk bantuan sosial sebaga Sejak

berdirinya kelembagaan Badan Kesejahteraan Sosial Daerah (BKSD) Provinsi

Sulawesi Barat berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 146/X/2005 tentang

Pembentukan Orgasnisasi dan Tata Dinas, Badan dan Kantor Daerah Provinsi

Sulawesi Barat maka itu pula BKSD Provinsi Sulawesi Barat berbenah

diridalam melaksanakan program pembangunan sosial dan kemasyarakatan.

Page 93: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

87  

Grafik-26

Sumber: BPS, Sulbar, 2010

Sebagaimana yang tergambar pada grafik di atas, bahwa persentase

penduduk miskin menunjukkan perkembangan dan tren yang positif. Hal ini

bisa dilihat dari semakin menurunnya persentase penduduk miskin (%) dari

tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2005 (24,22%), 2006 (20,74%), 2007

(19,03%), 2008 (16,73%), dan 2009 (15,29%).

Dari Data BPS Provinsi Sulawesi Barat sebagaimana yang telah

disebutkan di atas, dapat dijelaskan bahwa Penduduk miskin dari 20,74 %

pada tahun 2006 menurun menjadi 15,29 % pada Tahun 2009 bahkan kini

hingga bulan Maret 2010 telah mencapai 13,58 % atau menurun 34,52%

selama kurun waktu 4 tahun dan sudah mendekati persentasi Nasional sebesar

13,33%. Dengan demikian penurunan angka kemiskinan di Sulawesi Barat

cukup signifikan dengan laju penurunan sekitar 9,12 persen pertahun.

0

5

10

15

20

25

30

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Persentase Penduduk Miskin (%)

Persentase Penduduk Miskin (%)

Page 94: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

88  

Grafik-27

Sumber: BPS Sulbar, 2010

Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis

kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang rata-rata

pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Selama periode

2008 – 2010 garis kemiskinan naik sebesar 16,97 persen, yaitu dari Rp.

146.492 perkapita perbulan pada tahun 2008 menjadi Rp. 171.356 perkapita

perbulan pada tahun 2010. Dan jika diperhatikan komponen garis kemiskinan

(GK) yang terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan

non makanan (GKNM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih

besar dibandingkan peranan komoditi bukan makan (perumahan, sandang,

pendidikan dan kesehatan). Selain itu, persentase penduduk miskin (%) juga

sangat dipengaruhi oleh tingkat pengangguran terbuka dan laju pertumbuhan

ekonomi yang dapat dilihat pada grafik berikut.

0

20

40

60

80

100

120

140

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Perkembangan Garis Kemiskinan

Garis Kemiskinan Non Makan

Garis Kemiskinan Makan

Persentase Penduduk Miskin (%)

Page 95: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

89  

Grafik-28

Persentase Penduduk Miskin (%)

Sumber Data: BPS Sulbar, 2010

Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2006, persentase

penduduk miskin masih tergolong tinggi (20,74%) diakibatkan oleh faktor

tingginya tingkat pengangguran terbuka (6,45%), selain itu laju pertumbuhan

ekonomi saat itu juga ikut menurun (6,42%) menurun sebesar 0,36% dari tahun

sebelumnya.

Pada tahun 2008, terjadi penurunan terhadap persentase penduduk

miskin (16,73%) diakibatkan oleh faktor semakin membaiknya laju

pertumbuhan ekonomi (8,54), disaat yang sama tingkat pengangguran terbuka

juga turut berkurang (4,92%) disebabkan karena laju pertumbuhan ekonomi

yang sangat pesat sehingga mampu membuka peluang untuk mendapatkan

pekerjaan dan kesempatan berusaha seluas-luasnya, sekurang-kurangnya

mampu membuka usaha mandiri. Masyarakat yang bekerja, akan mampu

memenuhi kebutuhannya, minimal masyarakat terbebas dari miskin makan

terlebih itu ketika masyarakat mampu memenuhi kebutuhan lain di luar dari

kebutuhan pokok.

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Persentase Penduduk 

Miskin (%)

Tingkat Pengangguran 

Terbuka (%)

Laju Pertumbuhan  Ekonomi 

(%)

Page 96: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

90  

Pada tahun 2009, kembali terjadi penurunan persentase penduduk

miskin (15,29%). Sama hal dengan tahun-tahun sebelumnya, bahwa tingkat

pengangguran dan laju pertumbuhan ekonomi merupakan dua indikator yang

turut berpengaruh dalam melihat persentase penduduk miskin di Sulawesi

Barat.

Grafik-29

Sumber: BPS Sulbar, 2010

Selama kurun waktu 2006-2008 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

(TPAK) meningkat dengan kisaran antara 61-67 persen setiap tahunnya.

Sedangkan tingkat pengangguran pada tahun 2008 mengalami penurunan

menjadi 4,92 persen setelah tahun sebelumnya mencapai 5,68 persen.

Bahkan pada tahun 2009 mencapai nilai 4,10 persen. Namun, tekanan yang

terjadi akibat tingginya harga minyak dunia berdampak terhadap meningkatnya

harga bahan bakar minyak pada pertengahan tahun 2008 memberikan

pengaruh yang cukup signifikan. Terbukti dengan tingginya tingkat inflasi kota

Mamuju pada pertengahan hingga akhir tahun 2008. Laju inflasi pada bulan

Mei 2008 sebagai respon terhadap shock kenaikan BBM mencapai 3,04

Tingkat Pengangguran Terbuka dan Angkatan Kerja

Page 97: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

91  

persen. Inflasi tertinggi di sepanjang tahun terjadi pada bulan Agustus dimana

laju inflasi hingga mencapai 3,21 persen

Selama periode Februari 2008-2010 jumlah pengangguran mengalami

penurunan sekitar 4.741 orang atau setara rata-rata menurun sebesar 9,15 %

setiap tahun. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sulawesi Barat pada

periode tersebut memiliki angka yang terkecil dalam pulau Sulawesi, hal ini

menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun Sulawesi Barat selalu terendah.

Pada bulan Februari 2010 jumlah angkatan kerja mencapai 546.168

orang, mengalami peningkatan cukup signifikan sebanyak 30.341 orang

(5,88%) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (keadaan

Februari 2009). Bila dibanding keadaan Februari 2008 mengalami peningkatan

sebesar 68.332 orang dengan kata lain selama periode Februari 2008-Februari

2010 terjadi pertumbuhan rata-rata penduduk angkatan kerja sebesar 6,91 %.

3. Rekomendasi Kebijakan

Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang terpengaruh oleh

berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan,

kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis,

gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi hanya dipahami sebatas

ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan

perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani

kehidupan secara bermartabat.

Upaya mengatasi masalah kemisikinan tersebut, selain merupakan

pelaksanaannya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan

Page 98: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

92  

untuk meningkatkan hak dan martabatnya, juga merupakan salah satu cara

untuk meningkatkan daya saing di masa depan.

Pengangguran masih merupakan isu yang terus menerus harus

ditanggulangi, karena terjadinya pengangguran merupakan ciri pembangunan

yang belum mantap. Selain itu, terdapat hubungan antara pengangguran

dengan kemiskinan. Mereka yang menganggur atau mempunyai pekerjaan

yang tidak tetap, atau berada dalam status underemployment, umumnya

berada dalam kategori pendapatan rendah. Sebaliknya mereka yang

memperoleh pekerjaan tetap dapat digolongkan ke dalam pendapatan

menengah atau tinggi Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan dan

pengangguran harus berjalan seiring dengan upaya untuk meningkatkan

pemerataan, mengurangi kesenjangan antar wilayah, antar kelompok dan antar

individu.

Prioritas pembangunan nasional adalah meningkatkan Pembangunan

Infrastruktur. Dengan kebijakan ini diharapkan pembangunan dan rehabilitasi

yang telah dilakukan harus dapat memenuhi kenaikan kebutuhan yang ada.

Kondis pelayanan dan penyediaan infrastruktur harus dapat mengurangi

kesenjangan yang semakin besar antara kebutuhan dan penyediaannya baik

kuantitas maupun kualitasnya. Oleh karena itu, peningkatan pembangunan

infrastruktur harus dipercepat untuk mendukung sarana dan prasarana

kegiatan ekonomi.

Kebijakan ini tentunya diharapkan untuk percepatan penanggulangan

kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, peningkatan pelayanan bidang

pendidikan, peningkatan pelayanan bidang kesehatan, percepatan revitalisasi

pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan, percepatan pembangunan

Page 99: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

93  

ekonomi daerah, percepatan pembangunan infrastruktur dan prasarana

wilayah, kesejahteraan sosial dan kesatuan bangsa, serta penguatan

kapasitas SDM dan kelembagaan pemerintah.

D. Kesimpulan

Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah tahun 2010 terbagi atas dua

tahap, yaitu; (1) Evaluasi pelaksanaan RPJMN tahun 2004-2009, dan (2) Evaluasi

Relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014. Metode yang digunakan

dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah Evaluasi ex-post untuk

melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada

tiga agenda RPJMN 2004 – 2009, yaitu: agenda Aman dan Damai; Adil dan

Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur

kinerja yang telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut,

diperlukan identifikasi dan analisis indikator pencapaian. Sedangkan metode yang

digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014

adalah membandingkan keterkaitan 11 prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya

dengan prioritas daerah.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pada dasarnya pemerintah daerah

mendukung program yang terjabarkan dalam RPJMN 2004-2009 berdasarkan

pada tiga agenda pokok. Hal ini dibuktikan dengan capaian tiap indikator yang

menunjukkan tren positif ke arah yang lebih baik, semakin berkembang dan

bertumbuh, baik mengenai indeks, tingkat, nilai, jumlah, angka, maupun

persentase, hampir di segala sektor pembangunan.

Beberapa indikator yang menunjukkan tren positif antara lain; indeks

pembangunan manusia yang setiap tahun mengalami peningkatan, laju

pertumbuhan ekonomi yang berhasil mencapai persentase tertinggi dalam periode

Page 100: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

94  

berjalan sebesar 8,54% sekaligus berhasil menembus rangking pertama nasional

dalam hal laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2008. Indikator lain yang cukup

menggembirakan adalah laju pertumbuhan penduduk yang pada tahun 2009

berhasil ditekan menjadi 1,53% disebabkan karena meningkatnya contraceptive

prevalence rate. Sama halnya dengan persentase penduduk miskin yang berhasil

dikurangi (15,29%) sejalan dengan semakin berkurangnya pula tingkat

pengangguran terbuka. Begitu pula dengan pendapatan perkapita yang sejak

awal terbentuknya provinsi Sulawesi Barat hanya mencapai 3.995.774 berhasil

dinaikkan menjadi 8.671.818 di tahun 2009.

Namun demikian terdapat pula beberapa indikator yang menunjukkan

hasil yang terkesan konstan, fluktuatif, tidak berubah, bahkan menurun, seperti

laju inflasi yang berfluktuatif dari tahun ke tahun, angka partisipasi kasar yang

juga naik turun dari segi jumlah dan persentasenya, begitupula dengan

infrastruktur, dan beberapa indikator yang lain. Kondisi ini tentu saja menjadi

pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dalam rangka melakukan perbaikan,

sehingga ke depan program Bangun Mandar betul-betul bisa terwujud melalui

empat strong point Sulawesi Barat (Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, Gernas

Kakao) sebagai basis pembangunannya.

Sementara itu, masih terdapat beberapa tabel yang tidak terisi karena

keterbatasan data Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Sulawesi

Barat, sehingga perlu adanya upaya studi tentang pemetaan (pembuatan)

database potensi dan kompetensi lokal secara akurat yang nantinya dapat

dijadikan dasar untuk mengevaluasi kinerja pembangunan daerah dimasa-masa

yang akan datang.

Page 101: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

95  

BAB III

RELEVANSI RPJMN 2010 – 2014 DENGAN RPJMD PROVINSI

SULAWESI BARAT

1. Pengantar

Sistem perencanaan pembangunan daerah mengalami perubahan

mendasar seiring dengan tuntutan dibidang politik, penyelenggaraan pemerintahan

yang baik, dan pengelolaan keuangan negara. Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah mengatur sistem Pemilihan Kepala

Daerah yang akan dilaksanakan secara langsung. Paparan Visi, Misi dan Program

Kepala Daerah terpilih akan menjadi bahan utama penyusunan agenda kerja

Pemerintah Daerah untuk 5 (lima) tahun kedepan.

Untuk maksud memberi arah pedoman bagi pelaksanaan pembangunan

Provinsi Sulawesi Barat lima tahun kedepan, maka perlu ditetapkan Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Barat.

RPJMD ini merupakan penjabaran dari Visi, Misi dan Program Kepala Daerah yang

penyusunannya dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJM-Nasional) yang memuat arah kebijakan keuangan

daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum dan agenda pembangunan

daerah

Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional, Kepala Daerah terpilih harus telah

menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-Daerah)

paling lambat 3 (tiga) bulan setelah pelantikan dengan Peraturan Kepala Daerah.

95

Page 102: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

96  

Dalam penyusunan RPJMD Provinsi Sulawesi Barat beberapa dokumen

perencanaan yang dijadikan pedoman adalah Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN), dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).

Dokumen perencanaan pembangunan tersebut digunakan sebagai pedoman agar

tercipta kesesuaian dan kesatuan antar dokumen perencanaan pembangunan baik

di tingkat Nasional maupun di tingkat Daerah. Sehingga terjadi kesinambungan dan

integrasi pelaksanaan pembangunan.

Provinsi Sulawesi Barat dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2004 dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden

Republik Indonesia pada tanggal 16 Oktober 2004. Provinsi Sulawesi Barat ini

merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Barat, sesuai aspirasi masyarakat

yang dituangkan dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi

Sulawesi Barat Nomor 20 Tahun 2002 tanggal 18 September 2002, Keputusan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Majene Nomor 10 tahun 2000

tanggal 10 Maret 2000, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten

Polewali Mamasa Nomor 12/KPTS/DPRD/VI/2000 Tahun 2000 tanggal 19 Juni

2000, Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Mamuju Nomor

42/KPTS/DPRD/2000 Tahun 2000 tanggal 6 Oktober 2000, Keputusan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mamasa Nomor 26/KPTS/DPRD-

Mamasa/2003 tanggal 27 Desember 2003, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten Mamuju Utara Nomor IST/KPTS/DPRD-MAMUJU UTARA/2004

tanggal 23 Agustus 2004.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 ini pula, dibentuk

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan

lembaga Perwakilan Rakyat Daerah dan berkedudukan sebagai unsur

Page 103: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

97  

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pengisian anggota DPRD Provinsi

Sulawesi Barat tersebut didasari dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor

161.56-1028 Tahun 2005 tanggal 25 November 2005, dan telah diambil

sumpah/janjinya pada tanggal 7 Desember 2005. Dengan selesainya pengisian

anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat dan Pemilihan Pimpinan DPRD tersebut

merupakan tonggak sejarah baru bagi provinsi ini karena telah mempunyai lembaga

perwakilan rakyat yang permanen, utuh dan representatif, yang nantinya diharapkan

dapat menjadi penyalur aspirasi rakyat, menjadi mitra sejajar pemerintah daerah

Dengan demikian RPJMD Provinsi Sulawesi Barat yang ditetapkan untuk 5

Tahun, adalah RPJMD tahun 2006 – 2011, dan hingga tahun 2010 ini tetap

digunakan sebagai pedoman bagi seluruh SKPD Provinsi Sulawesi Barat untuk

membuat Rencana Strategis (Renstra) yang berisi program dan kegiatan SKPD

yang akan dilaksanakannya untuk jangka waktu 2006 – 2011. Program dan

kegiatan SKPD yang termuat dalam Renstra SKPD merupakan penjabaran arah

kebijakan dan prioritas program pembangunan yang telah ditentukan dalam

RPJMD. Setiap tahunnya masing-masing SKPD, membuat Rencana Kerja SKPD

(Renja-SKPD) sebagai pelaksanaan tahunan Renstra SKPD.

RPJMD Provinsi Sulawesi Barat yang ditetapkan juga menjadi acuan bagi

Pemerintah Kabupaten Se-Provinsi Sulawesi Barat dalam menetapkan RPJMD

Kabupaten. Sedangkan RPJMD Kabupaten menjadi pedoman bagi SKPD

Kabupaten masing-masing dalam membuat Rencana Strategis SKPD dan

selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Kerja SKPD Kabupaten. Sehingga

pelaksanaan pembangunan antar Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Se-Provinsi

Sulawesi Barat terjadi kesesuaian dan saling berintegrasi, guna mencapai Visi

Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2006 – 2011

Page 104: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

98  

RPJMD Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2006 - 2011, merupakan dokumen

perencanaan pembangunan yang bersifat strategis, di samping karena muatannya

yang menjadi arah dan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan daerah lima

tahun ke depan, juga karena dokumen RPJMD memiliki relevansi yang terintegrasi

dengan dokumen perencanaan pembangunan lainnya.

2. Proiritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional

Belum tersedia data lengkap tentang program Pembangunan Sulawesi Barat

(2010 -2014) yang dapat digunakan sebagai bahan pembanding RPJMN 2010-

2014.

3. Rekomendasi

a. Rekomendasi terhadap RPJMD Provinsi

1) Pemerintah Sulawesi Barat perlu mengantisipasi konflik dan pariwisata

melalui kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial dengan

peningkatan koordinasi dan upaya pengentasan golongan masyarakat

kurang beruntung,

2) Pemerintah daerah juga harus melakukan penanganan komunitas adat

terpencil melalui pemenuhan hak dasar, serta penanganan bencana

alam dan perlindungan sosial;

3) Pembangunan kesatuan bangsa perlu diarahkan melalui penciptaan

iklim komunikasi politik dan ketersaluran aspirasi politik, fasilitasi

organisasi politik, sosial/keagamaan dan LSM, penanaman rasa saling

percaya antar golongan/multi etnis, peningkatan harmoni/integrasi

masyarakat, dan revitalisasi nilai kebangsaan;

4) Pembangunan kepariwisataan, seni dan budaya perlu dilakukan dalam

wujud peningkatan infrastruktur pendukung kepariwisataan berbasis

Page 105: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

99  

budaya lokal, revitalisasi kesenian tradisional, dan pemeliharaan nilai

lokal asli; pembinaan pemuda dan olah raga dapat dilakukan dalam

bentuk pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan organisasi,

peningkatan prestasi serta pembinaan organisasi kepemudaan.

5) Pemerintah daerah perlu melakukan peningkatan kualitas hidup

perempuan melalui pendidikan, kesehatan, hukum, ketenagakerjaan,

sosial, politik, lingkungan hidup dan ekonomi.

6) Pengembangan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi dan

edukasi (KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender.

7) Peningkatan kapasitas jaringan kelembagaan PP di provinsi dan

kabupaten seperti Pusat Studi Perempuan/Gender, lembaga-lembaga

penelitian.

8) Penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan

PUG di tingkat provinsi dan kabupaten.

9) Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan

pendapat dan harapan perempuan sebagai bentuk partisipasi

perempuan dalam proses pembangunan.

10) Dalam bidang kesehatan, perlu ada kerjasama antara Departemen

Kesehatan dengan Kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan untuk

meningkatkan kebijakan dan program-program pengarusutamaan

gender di sektor kesehatan.

11) Dalam konsep otonomi daerah, perlu dijalin kerjasama antara kantor

Meneg PP dan Departemen Kesehatan diperluas dengan melibatkan

Departemen Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional, dan lembaga-lembaga studi wanita. Demikian pula di Provinsi

Sulawesi Barat.

Page 106: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

100  

12) Prioritas pembangunan nasional adalah meningkatkan Pembangunan

Infrastruktur. Dengan kebijakan ini diharapkan pembangunan dan

rehabilitasi yang telah dilakukan harus dapat memenuhi kenaikan

kebutuhan yang ada.

13) Kondis pelayanan dan penyediaan infrastruktur harus dapat

mengurangi kesenjangan yang semakin besar antara kebutuhan dan

penyediaannya baik kuantitas maupun kualitasnya.

14) Pemerintah Sulawesi Barat harus melakukan peningkatan

pembangunan infrastruktur secara cepat untuk mendukung sarana dan

prasarana kegiatan ekonomi.

b. Rekomendasi terhadap RPJMN

1) Pembangunan manusia seutuhnya sebagai pengejawantahan dari

pembangunan pendidikan berkesinambungan perlu didukung oleh

standarisasi pendidikan berbasis lokal, karena penetapan standarisasi

pendidikan haruslah berdasarkan pada kemampuan, potensi dan

segala sumber daya yang dimiliki di seluruh wilayah NKRI. Oleh karena

itu, pendidikan perlu dilihat sebagai hak dasar warga negara, dalam

konteks ini negara bertugas untuk memenuhi hak dasar masyarakatnya  

2) Pemerintah perlu melakukan pengembangan kerangka kebijakan

tentang ketahanan nasional republik Indonesia melalui pendekatan

politik, ekonomi, sosial, dan budaya menuju terciptanya masyarakat

yang adil, demokratis, dan sejahtera. Masalah penting yang harus

segera mendapat perhatian adalah konflik horizontal, terorisme, dan

sebagainya yang tentu saja akan berdampak pada timbulnya ancaman

terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Page 107: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

101  

3) Pemerintah perlu melakukan pemerataan terhadap pembangunan,

bukan hanya dalam konteks pembangunan pendidikan dan kesehatan,

tetapi juga harus mencakup pembangunan dalam bidang infrastruktur.

Oleh karena itu koordinasi tata ruang wilayah otonomi harus betul-betul

dijalankan sehingga memperlemah struktur ruang wilayah nasional.

4) Pemerintah perlu secara intensif melakukan peningkatan komunikasi

antarnegara, khususnya terhadap negara-negara yang berbatasan

dengan Indonesia mengenai konsistensi pemetaan wilayah antar dua

Negara, sehingga tidak akan ada lagi saling klaim hak kempemilikan

wilayah

Page 108: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

102  

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah tahun 2010 terbagi atas dua

tahap, yaitu; (1) Evaluasi pelaksanaan RPJMN tahun 2004-2009, dan (2)

Evaluasi Relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014. Metode yang

digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah Evaluasi ex-

post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan

mengacu pada tiga agenda RPJMN 2004 – 2009, yaitu: agenda Aman dan

Damai; Adil dan Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat.

Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan ketiga

agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis indikator pencapaian.

Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMD Provinsi

dengan RPJMN 2010-2014 adalah membandingkan keterkaitan 11 prioritas

nasional dan 3 prioritas lainnya dengan prioritas daerah.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pada dasarnya pemerintah daerah

mendukung program yang terjabarkan dalam RPJMN 2004-2009 berdasarkan

pada tiga agenda pokok. Hal ini dibuktikan dengan capaian tiap indikator yang

menunjukkan tren positif ke arah yang lebih baik, semakin berkembang dan

bertumbuh, baik mengenai indeks, tingkat, nilai, jumlah, angka, maupun

persentase, hampir di segala sektor pembangunan.

Beberapa indikator yang menunjukkan tren positif antara lain; indeks

pembangunan manusia yang setiap tahun mengalami peningkatan, laju

pertumbuhan ekonomi yang berhasil mencapai persentase tertinggi dalam

102

Page 109: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

103  

periode berjalan sebesar 8,54% sekaligus berhasil menembus rangking pertama

nasional dalam hal laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2008. Indikator lain yang

cukup menggembirakan adalah laju pertumbuhan penduduk yang pada tahun

2009 berhasil ditekan menjadi 1,53% disebabkan karena meningkatnya

contraceptive prevalence rate. Sama halnya dengan persentase penduduk

miskin yang berhasil dikurangi (15,29%) sejalan dengan semakin berkurangnya

pula tingkat pengangguran terbuka. Begitu pula dengan pendapatan perkapita

yang sejak awal terbentuknya provinsi Sulawesi Barat hanya mencapai

3.995.774 berhasil dinaikkan menjadi 8.671.818 di tahun 2009.

Namun demikian terdapat pula beberapa indikator yang menunjukkan

hasil yang terkesan konstan, fluktuatif, tidak berubah, bahkan menurun, seperti

laju inflasi yang berfluktuatif dari tahun ke tahun, angka partisipasi kasar yang

juga naik turun dari segi jumlah dan persentasenya, begitupula dengan

infrastruktur, dan beberapa indikator yang lain. Kondisi ini tentu saja menjadi

pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dalam rangka melakukan perbaikan,

sehingga ke depan program Bangun Mandar betul-betul bisa terwujud melalui

empat strong point Sulawesi Barat (Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur,

Gernas Kakao) sebagai basis pembangunannya.

Sementara itu, masih terdapat beberapa tabel yang tidak terisi karena

keterbatasan data Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Sulawesi

Barat, sehingga perlu adanya upaya studi tentang pemetaan (pembuatan)

database potensi dan kompetensi lokal secara akurat yang nantinya dapat

dijadikan dasar untuk mengevaluasi kinerja pembangunan daerah dimasa-masa

yang akan datang.

Page 110: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

104  

B. Rekomendasi

1. Agenda Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai:

Pada agenda ini direkomendasikan agar memandang konflik dan

pariwisata sebagai sesuatu yang perlu diantisipasi melalui kebijakan

pembangunan kesejahteraan sosial dengan peningkatan koordinasi dan upaya

pengentasan golongan masyarakat kurang beruntung, penanganan komunitas

adat terpencil melalui pemenuhan hak dasar, serta penanganan bencana alam

dan perlindungan sosial; pembangunan kesatuan bangsa perlu diarahkan

melalui penciptaan iklim komunikasi politik dan ketersaluran aspirasi politik,

fasilitasi organisasi politik, sosial/keagamaan dan LSM, penanaman rasa saling

percaya antar golongan/multi etnis, peningkatan harmoni/integrasi masyarakat,

dan revitalisasi nilai kebangsaan; pembangunan kepariwisataan, seni dan

budaya perlu dilakukan dalam wujud peningkatan infrastruktur pendukung

kepariwisataan berbasis budaya lokal, revitalisasi kesenian tradisional, dan

pemeliharaan nilai lokal asli; pembinaan pemuda dan olah raga dapat dilakukan

dalam bentuk pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan organisasi,

peningkatan prestasi serta pembinaan organisasi kepemudaan.

2. Agenda Pembangunan Indonesia yang Adil dan Demokratis

Layanan satu atap di Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru

belum ada satu pun daerah yang menyelenggarakannya. Sedangkan tentang

gender, dimana dalam Rencana Strategis Badan Pemberdayaan Perempuan

dan KB Provinsi Sulawesi Barat 2009-2014 telah diprogramkan

Pengarusutamaan Gender maka diperlukan langkah sebagai berikut:

a) Peningkatan kualitas hidup perempuan melalui pendidikan, kesehatan,

hukum, ketenagakerjaan, sosial, politik, lingkungan hidup dan ekonomi.

Page 111: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

105  

b) Pengembangan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi

(KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender.

c) Peningkatan kapasitas jaringan kelembagaan PP di provinsi dan kabupaten

seperti Pusat Studi Perempuan/Gender, lembaga-lembaga penelitian.

d) Penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan PUG

di tingkat provinsi dan kabupaten.

e) Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan

pendapat dan harapan perempuan sebagai bentuk partisipasi perempuan

dalam proses pembangunan.

Beberapa gerakan dan upaya yang muncul di berbagai komunitas

kelompok masyarakat / bangsa sebagai upaya dalam peningkatan dan

pemberdayaan perempuan perlu digalakkan begitu pula diperlukan penanganan

ketertinggalan perempuan. Ketertinggalan perempuan dapat dilihat di berbagai

bidang, di bidang pendidikan, angka buta huruf /tidak dapat membaca dan

menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Secara keseluruhan angka buta huruf

penduduk usia 10 tahun ke atas di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2006 adalah

sekitar 12,51 persen, dengan persentase buta huruf perempuan yang sebesar

14,84 persen dibandingkan dengan laki-laki buta huruf sebesar 10,13 persen.

Dalam melakukan perencanaan kebijakan kesetaraan gender oleh

Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat memasukkan ke dalam Rencana Strategis

Pemerintah Provinsi dan Rencana Strategis SKPD yang ada dengan

mengakomodasi aspek-aspek pokok berikut ini:

Page 112: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

106  

a) Di sektor pendidikan masih diperlukan dukungan kebijakan di tingkat nasional

maupun daerah.

b) Di sektor kesehatan kebijakan kesetaraan/ keadilan gender relatif lebih maju

dibanding sektor pendidikan dimana telah direkomendasikan kerjasama

antara Departemen Kesehatan dengan Kantor Meneg Pemberdayaan

Perempuan untuk meningkatkan kebijakan dan program-program

pengarusutamaan gender di sektor kesehatan. Dalam konsep otonomi

daerah, kerjasama kantor Meneg PP dan Departemen Kesehatan diperluas

dengan melibatkan Departemen Dalam Negeri, Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional, dan lembaga-lembaga studi wanita. Demikian pula

di Provinsi Sulawesi Barat.

c) Di sektor ekonomi menduduki posisi yang vital mengingat krisis yang diderita

Indonesia yang mempunyai dampak terbesar pada menurunnya kemampuan

ekonomi yang dikenal dengan meningkatnya tingkat kemiskinan sehingga

memerlukan kebijakan yang berkenaan dengan upaya-upaya kesetaraan

gender di sektor ekonomi. Dengan lahirnya PP Nomor 41 Tahun 2007

Tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka oleh Pemerintah Provinsi

Sulawesi Barat dengan Perda Nomor 22 Tahun 2008 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Inspektorat, Bappeda, Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi

Pamong Praja Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menetapkan organisasi

perangkat daerahnya sehingga melahirkan Badan Pemberdayaan

Perempuan dan KB dalam struktur kelembagaan di provinsi yang tugas/pokok

dan fungsinya adalah pelaksanaan pembangunan kesetaraan gender dalam

meningkatkan pemberdayaan perempuan khususnya pada Pemerintah

Daerah Provinsi Sulawesi Barat.

Page 113: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

107  

3. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat

Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang terpengaruh oleh

berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan,

kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis,

gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi hanya dipahami sebatas

ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan

perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani

kehidupan secara bermartabat.

Upaya mengatasi masalah kemisikinan tersebut, selain merupakan

pelaksanaannya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan

untuk meningkatkan hak dan martabatnya, juga merupakan salah satu cara

untuk meningkatkan daya saing di masa depan.

Pengangguran masih merupakan isu yang terus menerus harus

ditanggulangi, karena terjadinya pengangguran merupakan ciri pembangunan

yang belum mantap. Selain itu, terdapat hubungan antara pengangguran

dengan kemiskinan. Mereka yang menganggur atau mempunyai pekerjaan

yang tidak tetap, atau berada dalam status underemployment, umumnya

berada dalam kategori pendapatan rendah. Sebaliknya mereka yang

memperoleh pekerjaan tetap dapat digolongkan ke dalam pendapatan

menengah atau tinggi Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan dan

pengangguran harus berjalan seiring dengan upaya untuk meningkatkan

pemerataan, mengurangi kesenjangan antar wilayah, antar kelompok dan antar

individu.

Prioritas pembangunan nasional adalah meningkatkan Pembangunan

Infrastruktur. Dengan kebijakan ini diharapkan pembangunan dan rehabilitasi

Page 114: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM

108  

yang telah dilakukan harus dapat memenuhi kenaikan kebutuhan yang ada.

Kondis pelayanan dan penyediaan infrastruktur harus dapat mengurangi

kesenjangan yang semakin besar antara kebutuhan dan penyediaannya baik

kuantitas maupun kualitasnya. Oleh karena itu, peningkatan pembangunan

infrastruktur harus dipercepat untuk mendukung sarana dan prasarana

kegiatan ekonomi. Kebijakan ini tentunya diharapkan untuk percepatan

penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, peningkatan

pelayanan bidang pendidikan, peningkatan pelayanan bidang kesehatan,

percepatan revitalisasi pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan,

percepatan pembangunan ekonomi daerah, percepatan pembangunan

infrastruktur dan prasarana wilayah, kesejahteraan sosial dan kesatuan

bangsa, serta penguatan kapasitas SDM dan kelembagaan pemerintah.

Page 115: Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM