lapkas mata11

35
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pterigium berasal dari bahasa Yunani yang berarti sayap. Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. 1,2 Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh letak geografis Indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari pterigium. 2,3 Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif. 3 Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing 1

Upload: chebonk13

Post on 15-Sep-2015

9 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Lapkas mata1

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar BelakangPterigium berasal dari bahasa Yunani yang berarti sayap. Pterigiummerupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.1,2Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh letak geografis Indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari pterigium.2,3 Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif.3Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.3,4Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di Indonesia adalah 3552%. Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo didapatkan bahwa recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun adalah 65% dan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5%. Selain itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi mengganggu penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan terhadap komplikasi.4BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 DEFINISIPterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian Pterigium akan berwarna merah. 5Pterigium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Menurut Hamurwono Pterigium merupakan Konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. 5

Gambar 1. Pterigium

2.2 EPIDEMIOLOGI

Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah < 370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan < 2 % pada daerah di atas lintang 400. 3,6Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 - 49 tahun. Pterigium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.3,62.3 ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.5,6

Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.6Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian: 1. Konjungtiva Palpebra

Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.6 2. Konjungtiva Bulbi

Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.63. Konjungtiva Forniks

Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi. 6

Gambar 2. KonjugtivaKonjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.6Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.6Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.6Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva.6 Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.6 2.4 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Pterigium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.7Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterigium. Disebutkan bahwa radiasi Sinar Ultraviolet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia. 7Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko Pterigium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami Pterigium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena Pterigium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya Pterigium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter). 7Pterigium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya Pterigium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. 7Teori lainnya menyebutkan bahwa Pterigium memiliki bentuk yang menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis ditemukan pada Pterigium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan degeneratif. 71. Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan. 72. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 7Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :1. Usia

Prevalensi Pterigium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat Pterigium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. 72. Pekerjaan

Pertumbuhan Pterigium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 73. Tempat tinggal

Gambaran yang paling mencolok dari Pterigium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian Pterigium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita Pterigium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 74. Jenis kelaminTidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan. 75. HerediterPterigium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. 76. InfeksiHuman Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab Pterigium. 77. Faktor risiko lainnyaKelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Pterigium.72.5 PATOFISIOLOGI8Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar ultraviolet, kekeringan, inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor iritan lainnya. UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor suppressor gene pada stem sel di basal limbus. 8Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti transforming growth factor beta (TGF-) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperanan penting dalam peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel angiogenesis. 8Selanjutnya terjadi perubahan patologi yang terdiri dari degenerasi kolagen elastoid dan adanya jaringan fibrovaskular supepithelial. Pada kornea nampak kerusakan pada membrane bowman oleh karena bertumbuhnya jaringan fibrovaskuler, yang sering kali disertai dengan adanya inflamasi ringan. Epitel bisa normal, tebal atu tipis dan kadang-kadang terjadi dysplasia. 82.6 KLASIFIKASI PTERIGIUM1,8,9Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 : Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.

Tipe III : Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu: Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea. Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm). Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 2. Pterigium stadium 1 Gambar 3. Pterigium stadium 2

Gambar 4.Pterigium stadium 3 Gambar 5. Pterigium stadium 4 3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

-Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat

-T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.5,92.7 GAMBARAN KLINIS 10,11Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

a) Mata sering berair dan tampak merah

b) Merasa seperti ada benda asing

c) Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan

d) Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.10Bila masih baru, banyak mengandung pembuluh darah, warnanya menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih dan stasioner. Bagian sentral melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga membran bowman, dengan jaringan elastik dan hialin. Pertumbuhan ini mendekati pupil. Biasanya didapat pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan angin dan debu, terutama pelaut dan petani. Kelainan ini merupakan kelainan degenarasi yang berlangsung lama. Bila mengenai kornea, dapat menurunkan visus karena timbul astigmat dan juga dapat menutupi pupil, sehingga cahaya terganggu perjalanannya.112.8 DIAGNOSIS2,4,12 Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan berupa gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan adanya diplopia, biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik, keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan ada yang mengganjal.

Pemeriksaan fisis

Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.2.9 DIAGNOSA BANDING a. Pinguekula Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan. Keadaan ini tampak sebagai nodul pada kedua sisi kornea yang kebih banyak di sisi nasal. Pinguekula merupakan degenaris hialin jaringan submukosa konjungtiva. Pinguekula sangat sering pada orang dewasa. 3,12

Gambar 6. Pinguekula

b. PseudopterigiumMerupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Terdapat suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.3,12

Gambar 7. Pseudopterigium

2.10 PENATALAKSANAAN3,9,13 a. Medikamentosa

Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.

Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmaisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan. b. Tindakan operatif

Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan dengan indikasi: 1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.

2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vascular. 3. Mata terasa mengganjal.4. Visus menurun, terus berair.5. Mata merah sekali.6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus.7. Alasan kosmetik.8. Mengganggu pergerakan bola mata.9. Mendahului operasi intra okuler

Pascaoperasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti pengggunaan sinar radiasi atau terapi lainnya untuk mencegah kekambuhan seperti mitomycin C. Jenis Operasi pada Pterigium antara lain : Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.

Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relative kecil. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior.

Tindakan pembedahan untuk eksisi pterigium biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anestesi local, bila perlu diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotik atau antinflamasi.

2.11 KOMPLIKASI 3,121. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

Gangguan penglihatan

Mata kemerahan

Iritasi Gangguan pergerakan bola mata.

Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea Dry Eye sindrom 2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

Infeksi

Ulkus kornea

Graft konjungtiva yang terbuka

Diplopia

Adanya jaringan parut di kornea

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi.

2.12 PENCEGAHAN 3,9,13Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari. 2.13 PROGNOSIS 3,5,13 Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi. Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting dengankonjungtiva/limbalautograftsatautransplantasimembranamnionpada pasien tertentu.

BAB III

STATUS PASIEN

3.1 IDENTITAS PASIENNama

: Ny. A.M.SUmur

: 46 tahun

Jenis Kelamin

: PerempuanPekerjaan

: IRTAgama

: Kristen ProtestanAlamat

: Kloofkamp, JayapuraTanggal Masuk

: 13 Maret 2015Tanggal Pemeriksaan: 13 Maret 2015No. DM

: 2492243.2 ANAMNESISA. Keluhan Utama

Selaput di mata kiri dan kananB. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan seperti ada selaput berwarna putih yang tumbuh di mata kiri dan kanan, yang kiri semakin meluas ke arah bola matanya dan kanan . Keluhan sudah dirasakan pasien sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu. Pasien juga merasakan penglihatan semakin berkurang pada mata kiri pasien. Penglihatan kabur (+) mata kiri, pusing (-), nyeri mata (-), kotoran mata (-), mata merah (-), mata gatal (-).

C. Riwayat Penyakit Dahulu1. Riwayat hipertensi: disangkal

2. Riwayat penyakit jantung: disangkal

3. Riwayat diabetes mellitus: disangkal

4. Riwayat asma: disangkal

5. Riwayat alergi: disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga`1. Riwayat hipertensi

: disangkal

2. Riwayat diabetes mellitus: disangkal3. Dalam keluarga pasien kakak kandung pasien juga mengalami sakit yang sama (+).3.3 PEMERIKSAAN FISIK UMUM1. Status GeneralisKeadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan Darah: 120/80 mmHg

Nadi

: 80 x/menit, reguler, isi tegangan cukup, simetris

Suhu Badan

: 36,6oC (per axiler)Jantung dan Paru: dbnAbdomen

: dbn2. Status NeurologiMotoris

: parese (-)Sensoris

: baikRefleks

: baikKesan / Kesimpulan: baik3. Status PsikiatriAfek

: SesuaiSikap

: KooperatifRespon

: baikKesan/Kesimpulan: baik3.4 PEMERIKSAAN KHUSUS / STATUS OFTALMOLOGIS1. Pemeriksaan SubyektifJENIS PEMERIKSAANODOS

Form SenceSentralDistance Vision (Snellen Card)6/66/30 PH(-)

Perifer--

Colour Sencetdetde

Light Sencetdetde

Light Projectiontdetde

2. Pemeriksaan Obyektifa. Pemeriksaan Bagian LuarJENIS PEMERIKSAANODOS

Inspeksi UmumEdema--

Hiperemi--

Sekret--

Lakrimasi--

Fotofobia--

Blefarospasme--

Posisi Bola Mataorthoforiaothoforia

Benjolan / Tonjolan--

Supersiliadbndbn

Inspeksi KhususPalpebraPosisidbndbn

Warnadbndbn

Bentukdbndbn

Edema--

Pergerakandbndbn

Ulkus--

Tumor--

Lain-lain--

JENIS PEMERIKSAANODOS

Inspeksi KhususMargo PalpebraPosisidbndbn

Ulkus--

Krusta--

Siliadbndbn

Skuama--

KonjungtivaPalpebraWarnadbndbn

Sekret--

Edema--

Bulbi

Warnadbndbn

Benjolan--

Pembuluh Darah--

Injeksi--

Forniksdbndbn

Posisidbndbn

Gerakandbndbn

B

u

l

b

u

s

O

k

u

l

iSkleraWarnadbndbn

Perdarahan--

Benjolan--

Lain-lain--

KorneaKekeruhan--

Ulkus--

Sikatriks--

Panus--

Arkus Senilis--

PermukaanTerdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah melewati limbus, belum mencapai pupil (+)Terdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah mencapai pinggiran pupil mata.(+)

Refleks Kornea++

Lain-lain--

COAcukup dalamcukup dalam

JENIS PEMERIKSAANODOS

Inspeksi KhususBulbus

OkuliIrisPerlekatan--

Warnacokelatcokelat

Lain-lain--

PupilBentukbulatbulat

Refleks++

LensaKekeruhan--

PalpasiNyeri Tekan--

Tumor--

TIO digitaltdetde

b. Pemeriksaan Kamar GelapJENIS PEMERIKSAANODOS

1. Slit Lamp

KorneaTerdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah melewati limbus, belum mencapai pupil (+)Terdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah mencapai pinggiran pupil mata.

(+)

COAcukup dalamcukup dalam

Iriscokelatcokelat

Lensakekeruhan (-)kekeruhan (-)

Konjungtiva bulbiTerdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah melewati limbus, belum mencapai pupil (+)Terdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah mencapai pinggiran pupil mata.

(+)

JENIS PEMERIKSAANODOS

Tensi Okuli Schiotztdetde

Placido Testtdetde

Pupil Distance (PD)tdetde

3.5 RESUMESeorang wanita, umur 46 tahun datang dengan keluhan timbul selaput mata kanan dan kiri kurang lebih 1 tahun yang lalu, penglihatan kabur (+) pada mata kiri, riwayat keluarga sakit yang sama (+). Pemeriksaan ophtalmologi VOD : 6/6, VOS : 6/30 PH(-), Kornea permukaan terdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah melewati limbus, belum mencapai pupil (+) pada OD dan terdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah mencapai pinggiran pupil mata OS. Pada pemeriksaan Kamar Gelap (Slit Lamp) : Kornea : Terdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah melewati limbus, belum mencapai pupil (+) OD, Terdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah mencapai pinggiran pupil mata (+) OS, Konjungtiva Bulbi : Terdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah melewati limbus, belum mencapai pupil (+) OD, Terdapat selaput jaringan fibrovaskular sudah mencapai pinggiran pupil mata (+) OS.3.6 DIAGNOSIS

Pterigium Stadium II Okulus DekstraPterigium Stadium III Okulus Sinistra3.7 GAMBAR PASIEN

3.8 TERAPIPro Eksisi Pterigium Okulus Sinistra dengan anestesi lokal3.9 PROGNOSISAd vitam:ad bonamAd Fungsionam:ad bonam

Ad Sanationam :dubia ad bonam

BAB IVPEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis pasien mengeluhkan timbul selaput di mata kiri dan kanan pasien kurang lebih satu tahun, adanya penglihatan kabur pada mata kiri. Berdasarkan teori pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan berupa gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan adanya diplopia, biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik, keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan ada yang mengganjal. Riwayat keluarga sakit yang sama (+), riwayat sering terpapar sinar ultra violet (-).Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.Pasien didiagnosis dengan Pterigium Stadium II OD dan Pterigium Stadium III OS. Pterigium dibagi dalam beberapa stadium, stadium III : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea, stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).

Penentuan derajat pterigium sangat penting untuk penatalaksanaan selanjutnya. Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika Pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi derajat 2. Penatalaksanaan untuk pterigium derajat 1 - 2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Sedangkan pada pasien dengan derajat 3 - 4 berdasarkan indikasi dilakukan operasi yaitu Bare sclera, Simple closure, Sliding Rotational flap, Conjungtival graft, tetapi pada pasien ini direncanakan eksisi pterigium yaitu pterigium digunting, kemudian dijahit ke bawah konjungtiva.Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin dan debu serta rajin merwat dan menjaga kebersihan kedua mata. Oleh karena itu dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau topi pelindung bila keluar rumah. Menurut kepustakaan, umumnya pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang sekali menyebabkan kerusakan yang bermakna sehingga prognosisnya adalah baik.

DAFTAR PUSTAKA1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.2. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology. 2002; 86(12): 13411346. .[ cited 2015 Maret 17]. Avaiable at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/3. Riri Julianti,S.Ked. Pterigium.[online]2009.[ cited 2015 Maret 17]. Available from : http://facultyofmedicine.riau.com /procedures/pterigium..html4. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.5. Jerome P Fisher, Pterigium. [online]. 2011 [cited 2015 Maret 17] http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview6. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.

7. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2015 Maret 17]. Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi

8. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2015 Maret 17] Available from : http://www.dokter-online.org/index.php.htm9. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In : External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366. 10. Maheswari, sejal. Pterydium-inducedcornealrefractive changes.[online] 2007. [cited 2015 Maret 18]. Aviable from : http//www.ijo.in/article.asp?issn11. Anton,dkk. Pterigium. [online] 2010. [ cited 2015 Maret 18]. Available from: www.inascrs.org/Pterigium/12. Drakeiron. Pterigium. [online]2009. [cited 2015 Maret 18]. Avaible from : http://drakeiron.wordpress.com/info-pterigium.

13. Jerome P Fisher. Pterigium. 2009. [ cited 2015 Maret 17]. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followupGambar 8. Jenis-jenis operasi pterigium4

a.Bare sclera

b.Simple closure

c.Sliding flap

d.Rotational flap

e.Conjungtival graft

23