lapkas iufd

Upload: fakhranazakirah

Post on 29-Oct-2015

94 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

case report

TRANSCRIPT

BAB ILAPORAN KASUSI.1Identitas PasienNomor Rekam Medis: 05-43-44Nama: Ny. MUmur: 24 tahunJenis Kelamin: PerempuanAlamat: Batu AjiTanggal Masuk RS: 17 Juni 2013

I.2AnamnesisKeluhan UtamaPasien mengeluh tidak merasa gerakan bayi didalam kandungannya sudah 1 minggu.Riwayat Penyakit SekarangPasien datang ke UGD RSUD Embung Fatimah pada tanggal 17 Juni 2013 jam 9.00 WIB dengan keluhan tidak merasakan gerakan bayi di dalam kandungannya sejak 1 minggu yang lalu. Sehari sebelum pasien datang ke rumah sakit, pasien sudah melakukan pemeriksaan USG dengan dokter kandungan dan menurut penjelasan dokter tersebut, bayi yang dikandung pasien sudah meninggal. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma, dan tidak melakukan kerja berat belakangan ini. Pasien juga tidak merasakan adanya rasa mules, sakit di bagian pinggang atau perut bawah, dan tidak ada keluar lendir dan darah dari vagina. Selama kehamilan, pasien pernah demam satu kali. Demam dialami 4 hari yang lalu (kurang lebih 3 hari setelah ibu tidak merasakan gerak pada bayi yang dikandungnya). Demam dialami pasien selama 2 hari yang disertai batuk pilek dan demam nya sembuh setelah diberi obat yang dibeli oleh pasien sendiri di warung. Riwayat Penyakit DahuluPasien menyangkal pernah mengalami sakit serius, hanya batuk pilek dan demam biasa dan sembuh bila diberi obat. Pasien juga menyangkal memiliki kelainan yang dibawa sejak lahir. Riwayat KehamilanPasien G2P1A0 gravid 33 minggu. HPHT tanggal 20-10-2012. Anak pertama jenis kelaminnya laki-laki, lahir spontan di bidan 1,5 tahun yang lalu dengan berat badan lahir 3300 gram. Kehamilan pertama tidak mengalami penyulit. Hamil ini pasien sudah 3 kali ANC di bidan, pasien belum pernah ANC dan USG di dokter spesialis kandungan.

I.3Pemeriksaan fisik tanggal 17 Juni 2013 jam 09.00 WIB di UGDKeadaan umum: BaikKesadaran : Compos mentisTanda vital: Nadi 78 kali / menit RR 28 kali / menit Suhu 37,1 C Tensi: 110/70 mmHgMata: Konjungtiva anemis (-) Sklera tidak ikterikThoraks:Jantung: Bunyi jantung I-II regular Murmur (-) Gallop (-)Paru: Suara napas vesicular Ronkhi (-/-) Wheezing (-/-)Abdomen: Bising usus (+) normal DJJ (-) Tinggi Fundus Uteri : 28 cm Leopold 1, 2, 3, dan 4, sudah tidak dapat membedakan bagian janin apa yang terdapat di fundus, samping, dan bawah uterus. Bagian terbawah janin belum masuk PAP.Genital: Vulva dan perineum dalam batas normal, tidak ada tanda-tanda peradangan. VT: Promontorium tidak teraba Linea innominata teraba sebagian Os sacrum cekung Spina ischiadika tidak menonjol Os coccygis tidak menonjol Cervix kaku, tebal, pembukaan 1 cm Ketuban utuh Mukosa vagina dalam batas normalEkstremitas: Akral hangat Edema tungkai (-)

I.4Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium darahPemeriksaan laboratorium darah tanggal 17 Juni 2013PemeriksaanHasilNilai Normal

Hemoglobin9,2 g/dl11 17 g/dl

Hematokrit30 %37 48 %

WBC10.800 /mm34.000 10.000 /mm3

RBC3,6 x 106 /mm34,0 5,5 x 106 /mm3

Trombosit283 x 103 /mm3150 450 x 103 /mm3

Masa Perdarahan (BT)4 menit1 6 menit

Masa Pembekuan (CT)8,5 menit6 11 menit

Golongan darah O

Glukosa sewaktu 94 mg/dl< 140 mg/dl

HbsAgNegative

Anti HIVNon Reaktif

I.5ResumePasien G2P1A0 gravid 33 minggu datang ke UGD RSUD Embung Fatimah pada tanggal 17 Juni 2013 dengan keluhan tidak merasa gerakan bayi di dalam kandungannya sejak 1 minggu yang lalu. Riwayat trauma (-), mules (-), keluar lendir atau darah (-). Ada riwayat demam, batuk dan pilek 3 hari yang lalu yang sembuh setelah minum obat. Pemeriksaan fisik; keadaan umum pasien baik, pada pemeriksaan abdomen: TFU 28 cm, DJJ (-), Leopold 1, 2, 3, dan 4, sudah tidak dapat membedakan bagian janin apa yang terdapat di fundus, samping, dan bawah uterus. Bagian terbawah janin belum masuk PAP. Pemerisaan VT: cervix tebal, kaku, pembukaan 1 cm, ketuban utuh. Hasil pemeriksaan laboratorium semuanya dalam batas normal.

I.6Diagnosis sementaraG2P1A0 gravid 33 minggu dengan Intrauterine Fetal Death (IUFD) at causa dengan DD: Hambatan pertumbuhan janin Malformasi congenitalI.7Terapi Induksi dengan ivfd D5% dicampur dengan pitogin 5 unit, Ceftriaxone 1 gram/8 jamI. 8 Follow Up Pasien Follow up pasien di ruangan VK tanggal 17 Juni 2013Jam 11.00 WIBAnamnesis:Pasien tidak ada keluhan, belum merasakan mules, belum ada keluar lendir atau darah.Pemeriksaan Fisik: DJJ (-) TFU 28 cm VT: cervix tebal, kaku, pembukaan 1 cm, dan ketuban masih utuh.Terapi: Mulai induksi dengan D5% dan pitogin 5 unit, tetesan ditingkatkan bertahap. Injeksi ceftriaxon 1 gram/8 jamRencana: Bila habis kolf I dan tidak ada reaksi, lanjutkan dengan infuse kosong (D5%) dan berikan gastrul tablet di fornix posterior /12 jam. Mulai induksi kolf II besok pagi jam 06.00 WIB. Namun bila ada reaksi, langsung lanjut kolf II.Jam 18.00 WIB Induksi kolf I habis Dilakukan pemeriksaan fisik, menunjukkan bahwa tidak ada perubahan Infus diganti dengan D5% tanpa pitogin, dan dimasukkan gastrul tablet di fornix posterior. Follow up hari ke-2 tanggal 18 Juni 2013Jam 08.00 WIBAnamnesis:Pasien masih tidak ada keluhan dan belum merasakan mules, belum ada keluar lendir atau darah.Pemeriksaan Fisik: Vital Sign : Nadi 81 kali/menit, pernapasan 18 kali/menit, tekanan darah 120/80 mmHg, temperature 36,8C DJJ (-) TFU 28 cm VT: cervix tebal, kaku, pembukaan 1 cm, dan ketuban masih utuh.Terapi: Sedang terpasang D5% dengan pitogin 5 unit (kolf II) Injeksi ceftriaxon 1 gram/8 jam Gastrul tablet /12 jamRencana: Bila habis kolf II dan tidak ada reaksi, pasang balon kateter.

Jam 12.00 WIB Kolf II habis, lanjutkan dengan infuse D5% Anamnesis: Pasien mulai merasa mules dan nyeri di perut bagian bawah Pemeriksaan Fisik; VT: cervix tebal, kaku, pembukaan 3 cm, dan ketuban masih utuh Dipasang balon kateterFollow up hari ke-3 tanggal 19 Juni 2013Jam 8.00 WIBAnamnesis:Pasien sudah merasakan mules, sudah ada keluar lendir sedikit-sedikit.Pemeriksaan Fisik: Vital Sign : Nadi 78 kali/menit, pernapasan 20 kali/menit, tekanan darah 120/80 mmHg, temperature 36,9C DJJ (-) VT: cervix lunak, pembukaan 5 cm, dan ketuban masih utuh.Terapi: Sedang terpasang infuse D5% Injeksi ceftriaxon 1 gram/8 jam Gastrul tablet /12 jam Terpasang balon kateter intraservikalJam 12.20 WIBBayi lahir spontan dengan jenis kelamin perempuan, BBL: 1300 gram PBL: 31 cm, apgar score 0/0/0. Plasenta tidak menutupi jalan lahir. Tidak terdapat maserasi pada kulit bayi, tidak ada edema, dan tidak ada deformitas yang tampak pada bayi. Tidak dijumpai lilitan tali pusat. Diberikan injeksi pitogin intramuscular. Sepuluh menit kemudian plasenta lahir spontan, kotiledon dan selaput utuh. Tidak tampak hematom, kalsifikasi pada plasenta. Pasien diobservasi, tidak ada perdarahan, keadaan umum baik. 4 jam kemudian pasien dipindahkan ke ruang nifas.I.9 Dignosis AkhirG2P1A0 gravid 33 minggu dengan Intrauterine Fetal Death (IUFD) at causa dengan DD: Hambatan pertumbuhan janin Malformasi congenital I.10Prognosis ibu Ad vitam (hidup): bonam Ad fungsionam (fungsi): bonam Ad sanationam (kesembuhan): bonam

BAB IITINJAUAN PUSTAKAII.1Definisi dan Epidemiologi Kematian Janin Dalam Kandungan Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and Gynecologists yang disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. 1,2National Center for Health Statistics (1995) menganjurkan bahwa statistik hasil perinatal hanya mencakup janin yang meninggal dan neonatus yang lahir dengan berat 500 gram atau lebih. Seperti yang diperlihatkan di Gambar 1, lahir mati jauh lebih sering pada usia gestasi yang semakin muda. Menurut Copper dkk (1994), hampir 80% dari semua kasus lahir mati terjadi sebelum aterm, dan lebih dari separuh terjadi sebelum 28 minggu.3

Gambar 1. Hubungan antara usia getasi dan insiden lahir mati.Bersama dengan berkurangnya angka lahir mati selama lima dekade terakhir pola penyebab lahir mati juga telah banyak berubah. Fretts dkk (1992) mengkaji kausa dari 709 kasus lahir mati di antara hampir 89.000 kelahiran di Royal Victory Hospital di Montreal. Angka kematian janin per 1000 kelahiran menurun dari 11,5 pada tahun 1960-an menjadi 5,1 pada tahun 1980-an. Angka kematian janin akibat kelainan letal menurun sebesar hampir separuh antara tahun 1970-an dan 1980-an, dari 10,8 menjadi 5,4 per 10.000 kelahiran. Hal ini disebabkan kematian bayi dengan kelainan digantikan dengan terminasi yang lebih awal. Kausa-kausa yang sering diketahui sebagai penyebab kematian janin sepanjang tahun 1980-an adalah infeksi, malformasi, hambatan pertumbuhan janin, dan solusio plasenta. Lebih dari seperempat dari semua kematian janin selama tahun 1980-an masih belum dapat diketahui, walaupun pada studi Montreal yang dikutip di atas, kategori ini berkurang dari 38,1 menjadi 13,6 per 10.000 kelahiran.3II.2Kausa Kematian Janin 3Kematian janin dapat disebabkan oleh banyak hal, yang umumnya dapat dikelompokkan menjadi kausa janin, plasenta, atau ibu. Dahulu, kausa yang pasti tidak selalu dapat diketahui dan pada saat itu antusiasme untuk nekropsi masih kecil. Namun, saat ini disadari bahwa otopsi janin yang dilakukan oleh ahli patologi dengan keahlian khusus dalam bidang penyakit janin dan plasenta, dibantu oleh suatu tim yang terdiri dari ahli kedokteran fetomaternal, ahli genetikam dan dokter anak, sering dapat memastikan penyebab kematian (Craven dkk.,1990). Faye-Peterson dkk (1999) mengkaji 139 otopsi janin yang dilakukan oleh tim semacam itu, dan mendapatkan bahwa otopsi dapat menentukan kausa kematian pada 94%. Sebagian kausa kematian janin atau lahir mati yang ditentukan dengan otopsi diperlihatkan di tabel 1.Tabel 1. Beberapa Kausa Kematian JaninJanin (25-40%)

Kelainan kromosom

Cacat lahir nonkromosom

Hidrops nonimun

Infeksi-virus, bakteri, protozoa

Plasenta (25-35%)

Solusio

Perdarahan janin-ibu

Cedera tali pusat

Insufisiensi plasenta

Asfiksia intrapartum

Previa

Transfusi antar kembar

Korioamnionitis

Ibu (5-10%)

Antibodi antifosfolipid

Diabetes

Penyakit hipertensi

Trauma

Persalinan abnormal

Sepsis

Asidosis

Hipoksia

Ruptur uteri

Kehamilan posterm

Obat

Tidak dapat dijelaskan (25-35%)

A.Kausa janinHingga 25-40% kasus lahir mati disebabkan oleh faktor janin. Dalam populasi tertentu bayi lahir mati yang dirujuk ke Wisconsin Stillbirth Service Program, Pauli dan Reiser (1994) mendapatkan bahwa 25% dari 789 kematian dapat disebabkan masalah janin, sedangkan Fretts dan Usher (1997) menyatakan 35-40% sari 278 kematian janin disebabkan oleh kausa janin. Kausa janin tersebut mencakup anomali, infeksi, malnutrisi, hidrops nonimun, dan isoimunisasi anti-D.Insiden malformasi kongenital mayor pada bayi lahir mati yang dilaporkan sangat bervariasi, dan bergantung pada apakah dilakukan nekropsi atau tidak, dan apabila dilakukan, pengalaman dan latihan petugas yang melakukan tindakan tersebut sangat mempengaruhi hasil yang didapat (Cartlidge dkk., 1995). Pauli dan Reiser (1994) melaporkan bahwa sebagian besar dari 193 bayi lahir mati yang dikaitkan dengan kasus janin memiliki malformasi mayor yang dapat menjelaskan kematian tersebut. Sebaliknya, dalam sebuah studi terhadap 403 bayi lahir mati yang dilaporkan oleh Copper dkk. (1994), tanpa informasi dari otopsi janin, malformasi yang diidentifikasi (pranatal) hanya ditemukan pada 5,6% kasus. Feye-Peterson dkk. (1999) mendapatkan bahwa sepertiga kematian janin disebabkan oleh kelainan struktural, dengan cacat tabung saraf (neural-tube defect), hidrops, hidrosefalus tersendiri, dan penyakit jantung congenital kompleks sebagai kelainan tersering. Kelainan struktural mayor, hidrops, dan aneuploidi khususnya didiagnosis secara antenatal.Insiden lahir mati akibat infeksi janin tampaknya sangat konsisten. Dari lima penelitian yang secara total mencakup 2675 kelahirn mati, 5,6 % disebabkan oleh infeksi (Carlidge, 1995; Copper, 1994; Fretts, 1992; Lammer, dkk. 1989 . Paul dan Reiser, 1994). Sebagian besar didiagnosis sebagai korioamnionitis dan sebagian sebagai sepsis janin atau intrauterus. Pada wanita dari golongan sosioekonomi lemah dan perkotaan yang padat, sifilis congenital merupakan kausa kematian janin yang sering dijumpai. Sebagai contoh, 6,3% kelahiran mati di Parkland Hospital dari tahun 1988 1995 disebabkan oleh sifilis. Infeksi yang berpotensi mematikan lainnya adalah cytomegalovirus, parvovirus B-19, rubella, varisela, dan listeriosis.B.Kausa PlasentaKausa kematian janin akibat kelainan plasenta yang diperlihatkan di Tabel 1 sedikit bersifat arbitrer. Sebagai contoh, solusio plasenta disebabkan oleh hipertensi akibat kehamilan pada sekitar separuh kasus; karena itu, kasus-kasus ini diklasifikasikan sebagai kausa ibu. Hal ini juga berlaku untuk insufisiensi plasenta akibat penyakit hipertensi kronik, dan antibodi antifosfolipid. Dengan mengingat hal-hal ini, sekitar 15-25% kematian janin disebabkan oleh masalah di placenta, selaput ketuban, atau tali pusat (Alessandri dkk., 1992; Fretts dan Usher, 1997).Solusio plasenta merupakaan kausa tunggal tersering kematian janin. Fretts dan Usher (1997) memastikan solusio plasenta sebagai penyebab kematian pada 14% dari 278 kasus lahir mati. Demikian juga di Parkland Hospital dari tahun 1992 1994, 12% kelahiran mati trimester ketiga pada lebih dari 40.000 kelahiran.Infeksi plasenta dan selaput ketuban yang secara klinis bermakna jarang terjadi tanpa infeksi janin yang signifikan. Beberapa pengecualiannya mungkin tuberculosis dan malaria. Pada sebagian kasus, pemeriksaan mikroskopik terhadap plasenta dan selaput ketuban dapat membantu identifikasi etiologi infeksi. Korioamnionitis ditandai oleh sebukan leukosit mononuclear dan polimorfonuklear pada korion. Sementara banyak pihak yang menganggap temuan ini sebagai temuan nonspesifik dan tidak selalu terdapat pada infeksi janin atau ibu, Benirschke dan Kaufmann (2000) beranggapan bawah korioamnionitis mikroskopik selalu disebabkan oleh infeksi.Infark plasenta memperlihatkan degenerasi trofoblastik fibrinoid, kalsifikasi, dan infark iskemik akibat arteri spiralis. Lesi lain yang sering ditemukan adalah infark marginal dan subkorionik. Fox (1978) mendapatkan bahwa seperempat plasenta dari persalinan aterm nonkomplikata memperlihatkan infark. Apabila terjadi hipertensi berat, dua pertiga plasenta juga terkena.Perdarahan janin-ibu dapat sedemikian berat sehingga menimbulkan kematian janin. Samadi dkk. (1996) menganalisis 319 kematian janin di Los Angeles Country Womens Hospital yang menggunakan pewarnaan terhadap darah dimana perdarahan massif janin-ibu dijumpai pada 4,7%. Pada trauma ibu yang parah mungkin terjadi perdarahan janin-ibu yang mengancam nyawa.Transfusi antar kembar sering merupakan kausa kematian janin pada kehamilan multijanin monokorionik.C.Kausa ibuMungkin yang mengejutkan adalah bahwa penyakit pada ibu hanya berperan kecil pada kematian janin. Hal ini terjadi terutama karena solusio plasenta digolongkan ke dalam kausa plasenta. Penyakit hipertensi dan diabetes adalah dua penyakit yang sering menyebabkan 5-8% bayi lahir mati (Alessandridkk., 1992; Fretts dan Usher, 1997). Terutama hipetensi kronik, dimana keadaan ini meningkatkan kejadian kematian janin. Wanita overweight dan obesitas juga meningkatkan resiko terjadinya lahir mati. Demikian juga dengan wanita yang melahirkan pada usia tua, yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kematian janin dikarenakan peningkatan resiko terjadinya anomali dan penyakit pada ibu yang lebih tinggi di banding wanita usia reproduktif.Antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus dilaporkan menyebabkan vaskulopati desidua, infark plasenta, hambatan pertumbuhan janin, abortus rekuren, dan kematian janin. Sementara para wanita hamil dengan autoantibodi ini jelas beresiko lebih tinggi mengalami gangguan hasil kehamilan, peran autoantibodi pada kelahiran mati yang tidak jelas kausanya sendiri masih minimal (Haddow dkk., 1991; Infante-Rivard dkk., 1991).Kelahiran mati yang tidak dapat dijelaskan. Dengan pengamatan yang cermat terhadap perjalanan klinis, pemeriksaan yang teliti terhadap bayi lahir mati yang masih baru, dan pemeriksaan laboratorium yang sesuai termausk nerkopsi, hanya sekitar 10% kematian janin yang tetap tidak dapat diklasifikasikan. Kesulitan dalam memperkirakan kausa kematian janin tampaknya paling besar pada janin preterm.II.3Kriteria Diagnosis Kematian Janin 4,5 Tidak lagi dirasakan gerakan janin Rahim tidak bertambah besar, bahkan semakin mengecil Tidak ditemukan bunyi jantung janin pada pemeriksaan Bentuk uterus menjadi tidak tegas sebagaimana suatu kehamilan normals Bila kematian sudah berlangsung lama, dapat dirasakan krepitasiPemeriksaan Penunjang 41. Ultrasonografi: tidak ditemukan denyut jantung janin maupun gerakan janin, seringkali tulang-tulang letaknya tidak teratur atau tidak tegas, terutama tulang tengkorak, sering dijumpai overlapping (spalding sign).2. Foto rontgen abdomen polos: ditemukan tanda spalding (tulang-tulang tengkrak overlapping), tulang punggung lebih melengkung, posisi janin abmormal, dan penimbunan gas dalam tubuh.3. Pemeriksaan darah lengkap, jika dimungkinkan kadar fibrinogen.II.4Evaluasi pada Bayi Lahir Mati 3Berupaya mengungkapkan kausa kematian janin adalah penting. Pertama, adaptasi psikologis terhadap kehilangan yang mendalam ini dapat dipermudah bila etiologi spesifiknya dapat diketahui. Kedua, hal ini dapat meredakan rasa bersalah yang merupakan bagian dari kedukaan. Yang paling penting, diagnosis yang tepat menyebabkan penyuluhan mengenai kekambuhan akan lebih akurat dan bahkan memungkinkan dilakukannya terapi atau intervensi untuk mencegah hal yang sama berulang pada kehamilan berikutnya. Identifikasi sindrom-sindrom herediter juga memberikan informasi penting bagi anggota keluarga.Pemeriksaan KlinisPemeriksaan yang menyeluruh terhadap bayi, plasenta, dan selaput ketuban harus dilakukan saat kelahiran. Informasi ini dapat membantu penentuan etiologi. Daftar periksa yang digunakan di Parkland Hospital untuk memformat rekam medis kelahiran mati diringkaskan di Tabel 2.Tabel 2. Protokol untuk Pemeriksaan Bayi Lahir MatiGambaran Umum Bayi

Malformasi

Noda kulit

Derajat maserasi

Warna pucat, pletorik

Tali Pusat

Prolaps

Lilitan leher, lengan, tungkai

Hematoma atau striktur

Jumlah pembuluh

Panjang

Cairan Amnion

Warna mekonium, darah

Konsistensi

Volume

Plasenta

Berat

Bekuan lekat

Kelainan structural lobus sirkumvalata atau aksesorius, insersi vilamentosa

Edema kelainan hidropik

Selaput Ketuban

Ternoda

Menebal

Evaluasi GenetikApabila otopsi dan pemeriksaan kromosom dilakukan karena ada indikasi, sampai 35% bayi lahir mati memperlihatkan kelainan struktural kongenital (Feye-Peterson dkk., 1999; Mueller dkk,1983). Sebanyak 8% bayi lahir mati memilki kelainan kromosom, dan sekitar 20% memperlihatkan gambaran dismorfik atau kelainan tulang (Pauli dan Reiser, 1994; Saller dkk., 1995).Analisis sitogenetik terhadap semua bayi lahir mati mungkin bukan merupakan tindakan yang efektif. Sebaliknya, the American College of Obstetricians and Gynecologists (1996) menganjurkan pertimbangan analisis sitogentik terhadap bayi dengan gambaran dismorfik, ukuran pertumbuhan yang inkonsisten, anomali, hidrops, atau hambatan pertumbuhan. Pemeriksaan-pemeriksaan semacam ini juga dapat dipertimbangkan pada kasus ketika secara mutlak tidak ditemukan kausa lain yang menyebabkan kematian. Indikasi lain adalah apabila orang tua merupakan pembawa sifat untuk suatu translokasi seimbang (balanced translocation), pola kromosom mosaik, atau riwayat kematian janin atau lahir mati berulang pada anggota keluarga derajat pertama.Untuk mengambil sampel kulit atau jaringan lain, termasuk pengambilan cairan dengan jarum pascamortem, diperlukan persetujuan tindakan medik (consent) yang sesuai. Sebanyak 3 ml darah janin, yang diambil dari tali pusat (lebih dianjurkan) atau pungsi jantung, dimasukkan ke dalam sebuah tabung steril berheparin untuk analisis sitogenetik. Sampel kulit beserta jaringan dermis yang melekat padanya harus berukuran minimal 1 cm2 dan dicuci dengan salin steril sebelum dimasukkan ke dalam salin atau medium sitogenetik steril. Penempatan di dalam formalin atau alkohol menyebabkan sampel tidak dapat dianalisis secara sitogenetis karena sel-sel harus tetap dalam keadaan hidup untuk diteliti. Apabila kulit mengalami maserasi, harus diambil contoh sebanyak 1 cm2 dari fasia yang diperoleh dari paha, daerah inguinal, atau tendo Achilles. Karena pemeriksaan sitogenetik tradisional mengharuskan sel-sel janin dirangsang untuk membelah diri, pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan pada kasus dengan retensi untrauterus berkepanjangan. Meski demikian, fluorescent in situ hybridization (FISH) dapat digunakan untuk menyingkirkan trisomi atau mencari delesi umum tertenru misalnya sindrom DiGeorge.OtopsiSeiring dengan menurunnya angka otopsi untuk orang dewasa, demikian juga angka untuk bayi lahir mati. Pasien harus diberi penyuluhan bahwa, walaupun mereka tidak mengizinkan dilakukannya otopsi lengkap, informasi yang bermanfaat masih dapar diperoleh dari pemeriksaan yang terbatas. Mueller dkk. (19833 memperlihatkan pentingnya otopsi makroskopik pada kasus lahir mati. Pemeriksaan ini, bersama dengan foto, radiografi, biakan bakteri, dan penggunaan selektif prosedur-prosedur yang lebih mahal, misalnya pemeriksaan kromosom dan histopatologi, sering dapat menentukan kausa kematian.Cartlidge dan Stewart (1995) melakukan suatu analisis kohort terhadap 400 kasus kematian janin berurutan di Wales dan mendapatkan bahwa klasifikasi klinikopatologis mengalami perubahan karena nerkopsi pada 13% kasus. Informasi baru diperoleh pada 26% lainnya. Dengan demikian, otopsi memberikan informasi penting pada hampir 40% bayi lahir mati. Fete-Peterson dkk. (1999) melaporkan bahwa hasil otopsi mengubah perkiraan resiko kekambuhan dan penyuluhan orang tua pada 26% kasus. Apabila keluarga menolak otopsi karena alasan pribadi atau keagamaan, informasi bermanfaat tetap dapat diperoleh dari pemeriksaan noninvasif. Dengan izin yang sesuai, dapat dilakukan pemeriksaan sinar-X untuk mengevaluasi jaringan lunak, bergantung pada derajat maserasi. Janin harus difoto untuk mempermudah evaluasi oleh ahli dismorfologi, dan bila diindikasikan, harus dilakukan biakan bakteri terhadap sampel yang diambil dari saluran telinga. Protokol Bayi Lahir MatiProtokol yang dipertlihatkan di tabel 2 meliputi ulasan sistematik terhadap semua kasus kelahiran mati. Harus dibuat catatan terinci tentang kejadian-kejadian pranatal, dan bayi, plasenta, serta selaput ketuban harus diperiksa secara cermat diserta pencatatan temuan, baik yg positif maupun negatif. Dianjurkan tindakan otopsi, baik secara lengkap (lebih dianjurkan) atau terbatas. Sampel dikirim untuk penelitian sitogenetik pada kasus malformasi janin, kematian janin berulang, atau hambatan pertumbuhan. Pemeriksaan laboratorium yang lain adalah fetografi dan pemeriksaan darah ibu dengan pewarnaan Kleihauer-Betke, pemeriksaan untuk antibodi anifosfolipid dan antikoagulan lupus apabila diindikasikan, serta glukosa serum untuk menyingkirkan diabetes yang nyata.Di banyak tempat, rekam medis ibu dan temuan otopsi dikaji secara bulanan oleh suatu Stillbirth Commitee yang terdiri dari anggota dan staf neonatologi dan ilmu kedokteran fetomaternal, ahli genetika klinis, dan ahli patologi perinatal. Apabila mungkin, kausa kematian ditentukan berdasarkan bukti yang ada. Yang paling penting, orang tua kemudian harus dihubungi dan ditawari penyuluhan mengenai penyebab kematian, resiko kekambuhan-apabila ada, dan strategi untuk menghindari berulangnya kejadian pada kehamilan berikutnya.Aspek PsikologisKematian janin adalah suatu kejadian traumatik psikologis bagi wanita dan keluarganya. Radestad dkk. (1996) mendapatkan bahwa interval yang lebih dari 24 jam sejak diagnosis kematian janin sampai induksi persalinan berkaitan dengan ansietas berlebihan. Faktor lain yang berperan adalah apabila wanita yang bersangkutan tidak melihat bayinya selama yang ia inginkan dan apabila ia tidak memiliki barang kenangan. Wanita yang mengalami kelahiran mati berisiko lebih besar mengalami depresi postpartum dan harus dipantau secara cemat.Bahkan keguguran dini dapat memicu depresi pada hampir sepertiga wanita (Neugebauer, 1992). Janssen dkk. (1996) secara prospektif mengikuti 227 wanita yang mengalami kematian janin dan 213 wanita ykontrol yang melahirkan bayu hidup selama 18 bulan. Sampai 6 bulan setelah kematian janin, wanita dengan janin lahir mati memperlihatkan depresi, rasa cemas, dan somatisasi yang lebih besar daripada wanita kontrol. Untungnya, kesehatan mental para wanita ini membaik seiring dengan berjalannya waktu dan pada satu tahun sepadan dengan wanita yang bayinya lahir hidup. Selama periode penelitian, hanya 3% dari para wanita tersebut yang diberi psikoterapi. Yang penting, Hughes dkk. (1999) memperlihatkan adanya kerentanan mengalami depresi dan rasa cemas selama kehamilan berikutnya. Resiko ini berkurang seiring dengan waktu, dan mereka menganjurkan interval 12 bulan sebelum konsepsi berikutnya.II.5Penatalaksanaan Wanita dengan Riwayat Kelahiran MatiSeorang wanita yang pernah melahirkan bayi meninggal telah lama dianggap berisko lebih besar mengalami gangguan hasil kehamilan berikutnya. Namun, untungnya hanya sedikit keadaan yang berkaitan dengan kelahiran mati berulang. Selain penyakit herediter, hanya penyakit ibu seperti diabetes, hipertensi kronik, atau trombofilia herediter yang meningkatkan resiko kekambuhan.3Penatalaksanaan PersalinanBila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, penderita segera diberi informasi. Diskusikan kemungkinan penyebab dan rencana penatalaksanaannya. Rekomendasikan untuk segera diintervensi. 1Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen menurun dengan kecenderungan terjadinya koagulopati. Masalah menjadi rumit bila kematian janin terjadi pada salah satu dari bayi kembar. 1Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan tanda vital ibu, dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, dan gula darah. Diberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan penyebab kematian janin; rencana tindakan; dukungan mental emosional pada penderita dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir pervaginam.1Persalinan dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu, umumnya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan induksi persalinan dengan oksitosin atau misoprostol. Tindakan perabdominam bila janin letak lintang. Induksi persalinan dapat dikombinasi oksitosin + misoprostol. Hati-hati pada induksi dengan uterus pascaseksio sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadinya rupture uteri. 1Pada kematian janin 24 28 minggu dapat digunakan misoprostol secara vaginal (50-100 g tiap 4-6 jam) dan induksi oksitosin. Pada kehamilan di atas 28 minggu, dosis misoprostol 25 g pervaginam / 6 jam. 1Menurut penelitian yang dilakukan oleh Eka Purnama Dewi di Medan (2008), didapatkan angka keberhasilan misoprostol intravaginal lebih banyak dibandingkan dengan kateter foley dalam hal keberhasilan persalinan spontan yaitu sebesar 80% dan dengan foley kateter sebesar 46,7%.1Setelah bayi lahir idealnya dilakukan pemeriksaan atopsi atau patologi plasenta yang akan membantu mengungkap penyebab kematian janin.1II.6Prognosis 3Beberapa penelitian menyebutkan kisaran angka kekambuhan lahir mati antara 0-8%, bergantung pada populasi spesifik yang diteliti (Freeman dkk., 1985; Samueloff dkk., 1993; Weeks dkk., 1995). Kematian janin sebelumnya, walaupun secara teknis bukan semuanya lahir mati, menyebabkan gangguan hasil pada kehamilan berikutnya. Goldenberg dkk. (1993) mengidentifikasiki 95 wanita mengalami kematian janin pada usia gestasi 13-24 minggu. Hampir 40% dari mereka mengalami pelahiran preterm pada kehamilan berikutnya, 5% mengalami kelahiran mati, dan 6% mengalami kematian neonatus. Pengetahuan tentang kausa kematian neonatus. Pengetahuan tentang kausa kematian janin memungkinkan kita menghitung dengan lebih tepat resiko rekurensi individual. Sebagai contoh, aneuploid secara umum memiliki resiko rekurensi 1%, sindrom DiGeaorge familial memiliki rekurensi 50%, sedangkan cedera tali pusat diharapkan tidak berulang.

BAB IIIDISKUSI

Sesuai dengan criteria diagnosis kematian janin dalam kandungan, seperti tidak lagi dirasakan gerakan janin, dan tidak ditemukan bunyi jantung janin pada pemeriksaan, kita dapat mengetahui bahwa janin yang dikandung oleh pasien sudah meninggal. Namun sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang seperti USG untuk lebih memastikan lagi kematian janin, dan memperkirakan penyebab kematian janin.Menurut literatur, definisi kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Dalam kasus ini, janin yang mati memiliki berat 1.300 gram dan usia janin 33 minggu, dimana keadaan ini sesuai dengan pengertian kematian janin dalam kandungan. Masalah utama terletak pada diagnosis etiologi kematian janin yang dalam kasus ini masih belum dapat diketahui dikarenakan tidak dilakukannya pemeriksaan yang lengkap pada janin dan plasenta sesudah kelahiran. Adapun kendala tidak dilakukannya pemeriksaan lengkap ini dikarenakan beberapa aspek seperti masalah ekonomi pasien, kurang lengkapnya tenaga dan fasilitas kesehatan di rumah sakit, dan paradigm masyarakat yang menganggap tabu untuk otopsi janin dan plasenta tersebut. Belum lagi memang terdapat kausa yang tidak dapat diketahui secara pasti walaupun sudah dilakukan pemeriksaan lengkap.Namun, jika kita menganalisis beberapa temuan yang kita dapati, dapat disingkirkan beberapa kausa kematian janin pada ibu, janin, maupun plasenta. Kausa ibu yang dapat disingkirkan dalam kasus ini adalah hipertensi pada ibu, diabetes pada ibu, rupture uteri, kehamilan post term, asidosis, sepsis dan trauma abdomen. Kausa plasenta yang paling sering menyebabkan kematian janin dalam kandungan adalah solusio plasenta dimana terjadi pelepasan plasenta pada tempat perlekatannya sebelum janin dilahirkan. Dalam kasus ini, tidak terjadi solusio plasenta dimana tidak terjadi perdarahan pervaginam pada ibu yang menjadi cirri khas terjadinya solusio plasenta. Ibu juga tidak merasakan nyeri dan tegang pada perutnya. Pada saat kala III, plasenta lahir normal setelah 10 menit kelahiran bayi. Kausa plasenta yang lain seperti plasenta previa, infark plasenta juga dapat disingkirkan.Kausa janin dalam hal ini yang paling mungkin menjadi kausa kematian janin. Kausa janin seperti kelainan kromosom, non kromosom, malformasi, sulit ditegakkan berdasarkan inspeksi saja. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti foto rontgen, laboratorium, patologi anatomi, pemeriksaan sitogenetik, dan bahkan autopsy untuk mengetahui penyebab pasti kematiannya. Hambatan pertubuhan janin atau malformasi congenital yang paling memungkinkan menjadi kausa kematian janin pada kasus ini. Kausa infeksi bakteri baik dari segi ibu, janin, maupun plasenta dapat kita singkirkan karena ibu tidak demam, hasil darah rutin tidak menunjukkan leukositosis. Kecurigaan terhadap infeksi virus mungkin masih dapat dipertahankan. Namun seperti yang telah disebutkan di atas, diperlukan banyak pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk mendiagnosis secara pasti. Penatalaksaan dan terapi yang dilakukan terhadap pasien sudah sesuai dengan literature dimana pasien diharapkan dapat melahirkan janinnya pervaginam dengan jalan induksi menggunakan oksitosin dan misoprostol. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi dan semangat terhadap pasien untuk lebih peduli dengan kehamilannya, menyarankan untuk pemeriksaan ANC rutin minimal 4 kali selama kehamilan, dan memeriksakan diri untuk mengetahui adanya infeksi atau penyakit-penyakit lain. Sehingga diharapkan pasien tidak mengalami gangguan emosional, dan tidak mengalami kejadian yang sama di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA1. Prawirohardjo, Sarwono. (2009) Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2. Achadiat, Chrisdi M. (2004). Prosedur Tetap Obsterti dan Ginekologi. Jakarta: EGC.3. Cunningham, Gary F. dkk. (2006). Obstetri Williams (21st edition). Jakarta: EGC. 4. Sastrawinata, Sulaiman. (2004). Obstetri Patologi (Ilmu Kesehatan Reproduksi) Edisi kedua. Jakarta: EGC.5. Levono, Kenneth J. Obstetri Williams Panduan Ringkas (Edisi 21). Jakarta: EGC.6. Dewi, Eka Purnama. (2008). Perbandingan Efektifitas Misoprostol dengan Kateter Foley Untuk Pematangan Serviks dalam Rangka Induksi Persalinan. Medan: Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.1