lapkas hipertensi

27
LAPORAN KASUS HIPERTENSI GRADE II Nama : Yuli Triretno Nim : 2010730118 Pembimbing : dr. Hudaya, Sp.PD STASE INTERNA RSUD CIANJUR

Upload: yuli-triretno

Post on 09-Nov-2015

152 views

Category:

Documents


37 download

DESCRIPTION

kln

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUSHIPERTENSI GRADE II

Nama : Yuli TriretnoNim : 2010730118Pembimbing : dr. Hudaya, Sp.PD

STASE INTERNA RSUD CIANJURFAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA2015STATUS PASIEN Nama : Ny. J Usia : 41 tahun Jenis Kelamin: Perempuan Status: Menikah Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga Agama: Islam Alamat: Cipanas

Anamnesis Keluhan utama : Sakit kepala Riwayat penyakit sekarang :pasien dengan keluhan sakit kepala sejak 1 hari SMRS. Sakit kepala dirasakan seperti berputar sehingga OS lebih nyaman jika dalam posisi berbaring. Pandangan berkunang-kunang dan terasa sakit ditengkuk belakang leher. OS juga mengeluhkan mual tetapi tidak muntah dan lemas. Keluhan demam, batuk, pilek, sesak, nyeri dada dan jantung berdebar-debar disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhanRiwayat penyakit dahulu : Riwayat hipertensi sejak 1 tahun lalu Riwayat maag Riwayat DM dan Penyakit Jantung disangkal

Riwayat penyakit keluarga : Ibu menderita hipertensi. Riwayat DM dan penyakit jantung disangkal.

Riwayat psikososial : Makan tidak teratur, OS mengaku tidak merokok.

Riwayat alergi : Cuaca, obat-obatan dan makanan disangkal

Pemeriksaan fisikKeadaan umum: tampak sakit sedang Kesadaran: composmentis Tanda vital TD: 170/100 mmHg Nadi: 92x/menit (kuat, cukup, regular) RR: 24x/menit Suhu: 37,2 C

Status generalis Kepala : Bentuk normocephal, rambut warna hitam, distribusi merata Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Kulit: Oedem (-), RCT < 2 detik Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-), darah (-) Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus (-/-), otore (-/-), darah (-/-) Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), tepi lidah hiperemis (-), perdarahan gusi (-). Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-) Dada : Normochest PARU-PARUInspeksi: Simetris ka=ki, skar (-), retraksi otot pernapasan (-/-)Palpasi : Vokal fremitus ka=ki simetris, nyeri tekan (-/-)Perkusi : Sonor pada semua lapang paru, batas paru-hepar setinggi ICS 5-6, midclavicularis dextra Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing(-/-) JANTUNGInspeksi : ictus cordis tidak terlihatPalpasi : ictus cordis tidak terabaPerkusi :Batas kanan jantung linea sternalis dextra Batas kiri jantung linea midclavikularis sinistra Auskultasi: BJ 1 dan 2 reguler, Murmur(-), Gallop (-).

Abdomen : Inpeksi : cembung, tidak, ada scar, tidak ada bekas operasiPalpasi : tidak ada nyeri tekan epigastrium, tidak ada pembesaran hepar, tidak ada pembesaran lien, tidak ada balotement pada ginjal, Perkusi : suara timpani di 4 kuadran Auskultasi : bising usus (+) normal Ekstremitas : akral hangat di ekstremitas atas dan bawah, edema kedua tungkai kaki (+), CTR < 2 detik pada ekstremitas atas dan bawah ResumePasien perempuan 41 thn dengan keluhan sakit kepala sejak 1 hari SMRS. Sakit kepala dirasakan seperti berputar sehingga OS lebih nyaman jika dalam posisi berbaring. Pandangan berkunang-kunang dan terasa sakit ditengkuk belakang leher. OS juga mengeluhkan mual tetapi tidak muntah dan lemas. TD: 170/100 mmHg. Nyeri tekan epigastrium (+)

Daftar masalah Hipertensi grade II DispepsiaAssesment :Hipertensi grade II Atas dasar anamnesis OS mengeluh sakit kepala, pandangan berkunang-kunang, terasa sakit ditengkuk, mual, mempunyai riwayat hipertensi 1 tahun yang lalu. Pada Pemeriksaan Fisik TD= 170/100 mmHg Dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka dipikirkan hipertensi grade II Rencana terapi : diet rendah garam, antihipertensi ( ACE Inhibitor Captopril 12,5 mg)

Dispepsia Atas dasar anamnesis OS mengeluh nyeri ulu hati, mual, lemas, riwayat maag (+) Pada Pemeriksaan Fisik didapatkan NTE (+) Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, maka dipikirkan Dispepsia Rencana diagnostik: Endoskopi Rencana terapi : Antasida

PEMBAHASAN1. DefinisiHipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer, untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. Menurut The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection, Evalution, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolic 90 mmHg atau lebih. (Yogiantoro, 2007)Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7Klasifikasi Tekanan DarahTDS (mmHg)TDD (mmHg)

Normal< 120< 80

Prahipertensi120 13980 90

Hipertensi derajat 1140 15990 99

Hipertensi derajat 2 160 100

Klasifikasi Tekanan Darah (menurut WHO) SistolikDiastolik

Normal14090

Borderline140 15990 94

Hipertensi definitive16095

Hipertensi ringan160 - 17995 140

(Tagor, 2004)

2

2. Etiologi dan EpidemiologiHipertensi primer atau disebut juga hipertensi esensial merupakan 95 % dari kasus-kasus hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. Jika penyebabnya diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal, kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu misalnya pil KB, dsb. (Graber, 2006) Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari Negara-negara yang sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa sekitar 29-31 % yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika Serikat. (Yogiantoro, 2007)Prevalensi hipertensi di Indonesia pada daerah urban dan rural berkisar antara 17-21%. Data secara nasional yang ada belum lengkap. Sebagian besar penderita hipertensi di Indonesia tidak terdeteksi. Berdasarkan data WHO dari 50% penderita hipertensi yang diketahui hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik (adequately treated cases). (Depkes RI, 2007)3. PatogenesisMekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. 3

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. (Astawan, 2007)4. Faktor ResikoBeberapa faktor resiko yang pernah dikemukan yang relevan dengan mekanisme timbulnya peningkatan tekanan darah antara lain : Genetik : Dibanding orang kulit putih, orang kulit hitam di Negara barat lebih banyak menderita hipertensi, lebih tinggi tingkat morbiditas atau mortalitasnya. Beberapa peneliti mengatakan terdapat kelainan pada gen angitensinogen tetapi mekanismenya mungkin bersifat poligenik. Janin : Factor ini dapat memberikan pengaruh karena berat lahir rendah tampaknya merupakan predisposisi hipertensi di kemudian hari, karena sedikitnya jumlah nefron dan lebih rendahnya kemampuan mengeluarkan natrium pada bayi dengan berat lahir rendah. Natrium : asupan garam berlebih menyebabkan retensi natrium di ginjal sehingga volume cairan meningkat.4

System renin-angiotensin : Renin memicu produksi angiotensin (zat penekan) dan aldosteron (yang memacu natrium dan terjadinya retensi sebagai akibat). Beberapa studi menunjukan sebagian pasien hipertensi primr mempunyai kadar renin meningkat. Hiperaktivitas simpatis : dapat terlihat pada hipertensi umur muda. Katekolamin akan memacu produksi rennin, menyebabkan konstriksi arteriol dan vena dan meningkatkan curah jantung. Hiperinsulinemia : insulin merupakan zat penekan, karena meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi natrium. Disfungsi endotel : Penderita hipertensi mengalami penurunan respons vasodilatasi terhadap nitrit oksida, dan endotel mengandung vasodilator seperti endotelin-I, meskipun kaitannya dengan hipertensi tidak jelas. (Gray, dkk. 2005)Pasien dengan prehipertensi beresiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi, mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130-139/80-89 mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali resiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskuler dari pada yang tekanan darahnya rendah. (Yogiantoro, 2007) 5. Gejala KlinisPeninggian tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda pada hipertensi primer. Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi primer berjalan tanpa gejala dan baru timbul setelah terjadinya komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak dan jantung. Gejala seperti sakit kepala, epistaksis, pusing dan migren dapat ditemukan sebagai gejala klinis hipertensi primer meskipun tidak jarang dengan tanpa gejala. Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut: sakit kepala, kelelahan, mual-muntah, sesak nafas, gelisah, pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal. (Susalit, 2001)5

6. Kriteria DiagnosaEvaluasi pasien hipertensi bertujuan untuk : 1). Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor resikokardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan. 2). Mencari penyebab kenaikan tekanan darah 3). Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular. Evaluasi pasien hipertenasi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.Anamnesis meliputi :1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah2. Indikasi adanya hipertensi sekundera. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)b. Adanya penyakit ginjal, ISK, hematuri, pemakaian obat-obatan analgetik dan obat lainc. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)d. Episode lemah ototdan tetani (aldosteronisme)3. Faktor-faktor resiko a. Riwayat hipertensi dan kardiovaskuler pada pasien atau keluarganyab. Riwayat hiperlipidemiac. Riwayat diabetes mellitusd. Kebiasaan merokoke. Pola makanf. Kegemukang. intensitas olah raga6

4. Gejala kerusakan organa. Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, deficit sensorik dan motorikb. Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kakic. Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematurid. Arteri perifer : ekstremitas dingin, 5. Pengobatan anti hipertensi sebelumnya6. Faktor-faktor pribadi dan lingkunganPada 70-80 % kasus hipertensi primer didapatkan riwayat hipertensi dalam keluarga meskipun belum dapat memastikan diagnosis. Jika didapatkan riwayat hipertensi pada kedua orang tua dugaan terhadap hipertensi primer kuat. Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan fisis selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi sekunder. Pengkuran tekanan darah meliputi : Pengukuran rutin di kamar diperiksa : dilakukan pada posisi duduk setelah pasien istirahat selama 5 menit, kaki di lanati dan lengan pada posisi setinggi jantung. Ukuran peletakkan manset (panjang 12-13 cm, lebar 35 cm untuk standar orang dewasa). Balon dipompa sampai diatas tekanan sistolik kemudian tekanan darah diturunkan perlahan-lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg tiap denyut jantung. Tekanan sistolik dicatat pada saat terdengar bunyi yang pertama (Korotkoff I) sedangkan tekanan diastolic dicatat jika bunyi tidak terdengar lagi (korotkoff V). Pengukuran sendiri oleh pasien di rumah : bertujuan untuk menyingkirkan white-coat hypertension (pengukuran yang tinggi di kamar periksa) dan mengetahui respon terhadap pengobatan Pengukuran 24 jam dengan alat ABPM (Ambulatory Blood Pressure Monitoring) : alat ini dapat deprogram untuk mengukur tekanan darah tiap 15-30 menit selama 24 jam pada saat pasien beraktivitas normal sehari-hari. Alat ini berguna terutama pada pasien yang dicurigai mengidap white-coat, juga bermanfaat pada pasien yang resisten terhadap obt antihipertensi, pasien yang mendapat obat antihipertensi dengan gejala hipotensi, hipertensi episodic, dan disfungsi autonom.7

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari : Glukosa darah (untuk menyingkirkan diabetes mellitus) Kolesterol total serum, LDL dan HDL serum (untuk memperkirakan resiko penyakit kardiovaskular di masa depan) Urinalisis untuk darah dan protein, elektrolit dan kreatinin (dapat menunjukan penyakit ginjal sebagai penyebab atau disebabkan hipertensi. EKG (untuk menetapkan adanya hipertrofi ventrikel kiri). (Gray, 2005) Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukkan adanya kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien. JNC VII menyatakan bahwa tes yang lebih mendalam untuk mencari penyebab hipertensi tidak dianjurkan kecuali dengan terapi memadai tekanan darah tidak tercapai. (Yugiantoro, 2007). 7. PenatalaksanaanTujuan pengobatan pasien hipertensi adalah : Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu yang beresiko tinggi (diabetes, gagal ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg. Penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular Menghambat laju penyakit proteinuria.Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis terdiri dari menghentikan merokok, menurunkan berat badan berlebih, menurunkan konsumsi alcohol, latihan fisik, menurunkan asupan garam, meningkatkan konsumsi bauh dan sayur serta menurunkan asupan lemak. (Yugiantoro, 2007)8

Pada laporannya yang ketujuh, JNC menganjurkan modifikasi gaya hidup dalam mencegah dan menangani tekanan darah tinggi, selain terapi obat.ModifikasiRekomendasiPerkiraan penurunan TDS *

Penurunan berat badanMenjaga berat badan Normal (IMT 18,5-24,9 kg/m2)5-20 mmHg/10 kg

Diet kombinasi DASHKonsumsi diet kombinasi yang kaya akan buah, sayur dan produk makanan dengan kadar total lemak terutama kadar lemak tersaturasi rendah8-14 mmHg

Reduksi asupan garamAsupan garam tidak melebihi 100 mmol/hari (2,4 g Natrium atau 6 g NaCl)2-8 mmHg

Aktivitas fisikAktivitas fisik aerobik yang teratur seperti berjalan (setidaknya 30 menit/hari, setidaknya 4-5 hari seminggu)4-9 mmHg

Konsumsi alcoholMembatasi konsumsi, tidak melebihi 2 gelas/hari pada pria dan tidak melebihi 1 gelas/hari pada wanita dan individu dengan berat ringan.2-4 mmHg

*efek pelaksanaan modifikasi gaya hidup tergantung dari dosis dan waktu serta dapat menyebabkan efek yang lebih besar pada bebrapa individu. (Ridjab, 2007)9

Terapi farmakologis untuk sebagian besar hipertensi dimulai secara bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjukan untuk menggunakan oabt antihipertensi dengan masa kerja panjang Tatalaksana hipertensi menurut JNC 7 :Klasifikasi TDTDSTDDPola perbaikan HidupTerapi awal obat

Tanpa indikasi memaksaDengan indikasi memaksa

Normal< 120< 80dianjurkan

Prehipertensi120-13980-89yaTidak indikasi obatObat-obatan untuk indikasi memaksa

Hipertensi derajat I140-15990-99yaDuretika jenis Thiazide untuk sebagian besar kasus dapat dipertimbangkan ACEI, ARB, BB, CCB atau kombinasiObat-obatan untuk indikasi memaksaObat antihipertensi lain (diuretic, ACEI, ARB, BB, CCB) sesuai kebutuhan

Hipertensi derajat II 160 100yaKombinasi 2 obat untuk sebagian besar kasus umumnya diuretika jenis thiazide dan ACEI atau ARB atau BB atau CCB)

(Yugiantoro, 2007)Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah : Diuretika dan ACEI atau ARB CCB dan BB CCB dan ACEI atau ARB CCB dan diuretika AB dan BB10

Obat-obatan dengan indikasi memaksa :1. Gagal jantung : Thiazid, BB, ACEI, ARB2. Pasca Infark Miokard : BB, ACEI 3. Diabetes : Thiazid, BB, ACEI, ARB, CCB4. Penyakit ginjal kronis : ACEI, ARB5. Pencegahan stroke berulang : Thiazid, ACEI6. Resiko penyakit pembuluh darah koroner : Thiazid, BB, ACEI, CCB(Yogiantoro, 2007) DiuretikMempunyai efek antihipertensi dengan cara menurunkan volume ekstraseluler dan plasma sehingga terjadi penurunan curah jantung. Tiazid menghambat reabsorbsi natrium di segmen kortikal ascending limb, loop Henle dan pada bagian awal tubulus distal.Hidroklorotiazid merupakan jenis yang sering dipakai pada pengoabtan hipertensi. Pada pemberian oral obat ini mulai bekerja 1 jam dan mempunyai jangka waktu kerja selama 8-12 jam. Dosis yang dipakai adalah 25-50 mg, 1-2 kali tiap hari. Jarang digunakan dosis tinggi karena tidak menghasilkan efek yang lebih baik. Efek samping yang sering dijumpai adalah hipokalemia, hiperurisemia, gangguan kelemahan seperti otot, muntah dan pusing. (Sulasit, 2001) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)Obat golongan ini yang sering diberikan adalah kaptopril. Pada hipertensi ringan dan sedang diberikan dosis 2 kali 12,5 mg tiap hari. Dosis yang biasa adalah 25-50 mg tiap hari. Efek samping yang timbul adalah kemerahan di kulit, gangguan rasa pengecapan, batuk kering yang iritatif. (Susalit, 2001) 11

Beta Blocker (BB)Beta blocker diberikan sebagai obat pertama hipertensi ringan sampai sedang dengan PJK (terutama setelah infark miokard akut). Lebih efektif diberikan pada penderita lebih muda. Mekanisme obat ini melalui penurunan curah jantung dan penekanan sekresi renin. Secara umum efek samping -blocker berupa bronkospasme, memperburuk gangguan pembuluh darah perifer, rasa lelah, insomnia. Oleh karena itu -blocker tidak boleh diberikan pada pasien asma, PPOM, gagal jantung dan digunakan hati-hati pada penderita DM karena dapat menutupi gejala hipoglikemia. (Setiawati, 2005) Alfa Blocker (AB)Mekanisme kerja menghambat reseptor 1 di pembuluh darah terhadap vasokonstriksi NE dan E sehingga terjadi dilatasi arteriol dan vena. Dilatasi arteriol menurunkan resistensi perifer sehingga terjadi penurunan TD. Alfa-Blocker merupakan satu-satunya golongan AH yang memberikan efek positif terhadap lipid darah (menurunkan kolesterol LDL dan trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL). Juga menurunkan resistensi insulin, memebrikan sedikit efek bronkodilatasi, merelaksasi otot polos prostat dan leher kandung kemih. Oleh karena itu adianjurkan pada penderita hipertensi dengan DM, obesitas, dislipidemia, perokok, BPH. Efek samping utama adalah hipotensi ortostatik pada pemberian dosis awal yang besar berupa pusing atau kepala terasa ringan. Oleh karena itu dosis awal harus diberikan kecil apabila ditingkatkan harus perlahan-lahan. Dalam hal ini, doxazosin mempunyai keuntungan karena obat ini mempunyai mula kerja lambat (efek maksimal dicapai 6-8 jam setelah dosis) sehingga penurunan TD terjadi perlahan-lahan. Dosis doxazosin 1-2 mg/hari. (Setiawati, 2005) 12

Calsium Chanel Blocker (CCB) atau Antagonis Kalsium Golongan obat ini seperti nifedipin menurunkan curah jantung dngan menghambat kontraktilitas yang akan menurunkan tekanan darah. Dosis yang diberikan biasanya 15-30 mg/hari diberikan 3 kali. Efek samping berupa muka merah, edema pada ekstermitas bawah. (Setiawati, 2005) Angiotensin II Receptor Blockers (ARB)Obat yang banyak dipakai diklinik adalah obat yang memblok reseptor AT I. sebagai contoh adalah losartan. Obat ini menimbulkan efek hemodinamik seperti penghambat ACE tetapi tidak menimbulkan efek samping batuk karena tidak meningkatkan kadar bradikinin. Obat lain yang termasuk golongan ini adalah valsartan dan irbesartan. (Setiawati, 2005)8. Komplikasi Pada umumnya komplikasi terjadi pada hipertensi berat yaitu jika TDS 130 mmHg atau pada kenaikan tekanan darah yang terjadi mendadak dan tinggi. Hipertensi akan menimbulkan komplikasi atau kerusakan organ target yaitu pada mata, jantung, pembuluh darah otak, dan ginjal. Ada 2 jenis komplikasi hipertensi :1. Komplikasi hipertensif yaitu komplikasi langsung yang disebabkan oleh hipertensi itu sendiri, misalnya perdarahan otak, ensefalopati hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, retinopati hipertensi2. Komplikasi aterosklerotik yaitu komplikasi akibat proses atelosklerosis, yang tidak hanya disebabkan oleh hipertensi itu sendiri tapi oleh factor lain misalnya peningkatan kolesterol, merokok, DM, dll. Komplikasi ini berupa PJK, infark mikard, thrombosis serebral. (Setiawati, 2005).13

9. Prognosis Kematian akibat hipertensi yang tidak diobati terutama berupa (1) stroke pada penderita dengan hipertensi berat dan resisten, (2) gagal ginjal pada retinopati lanjut dn kerusakan ginjal, (3) penyakit jantung (gagal jantung dan PJK) pada sebagian penderita hipertensi sedang. Penyakit jantung merupakan penyebab kematian utama. Kematian akibat infark miokard 2-3 kali lipat kematian akibat stroke. (Setiawati, 2005)

14

DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M. (2007). Pencegahan Hipertensi. Available from www. depkes.go.idGraber, M. (2006). Buku Saku Dokter Keluarga Universitas IOWA. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Gray, H, dkk. (2005). Lecture Notes Kardiologi. Edisi 4. Jakarta : Penerbit Erlangga.Ridjab, DA. (2007). Modifikasi Gaya hidup dan Tekanan Darah. The Journal of The Indonesian Medical Association.Setiawati, A. (2005). Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.Susalit, Kapojos, Lubis. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi III. Jakarta : Departement Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Tagor, GM. (2004). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.Yogiantoro, M. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.