lapkas anak ica.docx

65
BAB 1 PENDAHULUAN Tetanus sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat. (2) Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Implementasi imunisasi tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini di negara sedang berkembang. (6,11) Penyakit ini ditandai dengan adanya kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. (3) Tetanus dapat

Upload: wiewiewie

Post on 17-Feb-2016

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: lapkas anak ica.docx

BAB 1PENDAHULUAN

Tetanus sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk,

juga penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit

(ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.(2)

Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan

imunisasi. Implementasi imunisasi tetanus global telah menjadi target WHO sejak

tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup

dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang mengalami luka yang rentan

terinfeksi tetanus. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan

tingginya prevalensi penyakit ini di negara sedang berkembang.(6,11)

Penyakit ini ditandai dengan adanya kekakuan otot dan spasme yang

diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani.(3)

Tetanus dapat teradi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang

imunisasinya sebagian atau tidak lengkap dan telah diimunisasi lengkap tetapi

tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara

berkala.(7)

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi diseluruh

dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan

tingkat mortalitas berkisar dari 6 sampai 60%. Selama 30 tahun terakhir, hanya

terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai

pencegahan dan tatalaksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus

yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara termasuk didalamnya yang berisiko

Page 2: lapkas anak ica.docx

tinggi tidak memiliki data serta sering kali tidak memiliki informasi yang lengkap.

Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus pada anak yang

dilaporkan. Berdasarkan data WHO dan penelitian yang dilakukan oleh Stanfield

dan Galazka diperkirakan insiden tetnus berkisar 700.000-1.000.000 kasus per

tahun diseluruh dunia.(5,1)

Beberapa tahun terakhir diperkiran bahwa insidensi tetanus telah

mengalami penurunan seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi. Namun

demikian, tidak semua negara memiliki kebijakan dilakukannya imunisasi pada

orang-orang yang lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun

penyedian booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada

orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi. Akibatnya anak dan dewasa

akan berisiko untuk mengalami tetanus.(8,11)

Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan. Tetanus neonatorum

menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi.

Angka kejadian 6-7 kasus/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23 kasus/100

kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di

rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30%

kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya pada bayi <12 bulan.

(10)

Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar

penyebab kematian pada anak. Meskipun insidensi tetanus saat ini sudah

menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%.

Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun

Page 3: lapkas anak ica.docx

penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan

imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu,

diperlukan kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus

guna menurunkan angka kematian penderita tetanus, khususnya pada anak.(7,3)

Page 4: lapkas anak ica.docx

BAB 2LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : An. W

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal lahir : 02 November 2011

Alamat : Ds. Matang Teungoh, Gampong Alue Bili

Rayeuk.Kec.Bakhtiya

Suku Bangsa : Aceh

Agama : Islam

No. MR : 07.01.10

Tanggal MRS : 21 September 2015

Tanggal Keluar : 22 September 2015

Nama Ayah : Tn.Mansyah

Umur : 44 tahun

Pekerjaan : Petani

Nama Ibu : Sari Banun

Umur : 32 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Page 5: lapkas anak ica.docx

2.2 Alloanamnesis

Alloanamnesis dengan orang tua pasien, tanggal 21 September 2015 pukul

14.00 WIB.

1. Keluhan Utama

Badan kaku

2. Keluhan Tambahan

Sulit membuka mulut, demam, sulit menelan dan sakit gigi

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUCM diantar oleh orang tua pasien dengan keluhan

badan kaku dan sulit membuka mulut sejak ± 4 jam SMRS. Badan kaku dialami

pada pukul 09.00 tanggal 21 September 2015 sampai tiba di Rumah Sakit pada

pukul 12.00 wib masih kaku. Kekakuan yang dialami pasien hampir pada seluruh

tubuh. Posisi punggung dalam keadaan melengkung, tangan menggenggam, perut

mengeras seperti papan, kaki menekuk, dan mulut hanya dapat membuka ± 1 cm.

Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran. Selain itu pasien juga mengalami

kejang seluruh badan apabila dirangsang, baik dengan suara ataupun cahaya.

Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami demam. Namun,

demam segera mereda setelah ibu pasien memberikan Sanmol dan demam muncul

kembali dalam perjalanan pasien menuju rumah sakit. Selain demam, pasien juga

mengalami sakit gigi. Sakit gigi timbul sejak 2 hari sebelum pasien mengalami

kekakuan. Keluhan ini juga disertai dengan sulit menelan sehingga pasien tidak

bisa makan dan minum. Pasien tidak mengeluh nyeri kepala, mual ataupun

muntah. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Diketahui bahwa ± 1 minggu SMRS

Page 6: lapkas anak ica.docx

pasien pernah terinjak kawat yang sudah berkarat ketika sedang bermain. Luka

tidak dibersihkan dengan antiseptik. Luka hanya dibersihkan dengan air sumur.

Riwayat digigit binatang ataupun bekas luka operasi disangkal. Riwayat imunisasi

tidak lengkap.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat

penyakit dahulu pasien hanya mengalami sakit demam dan batuk pilek. Tidak ada

riwayat penyakit yang diderita sejak lahir.

5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

a. Riwayat antenatal

Selama kehamilan ibu memeriksa kehamilan ke bidan

Frekuensi : Trimester 1 : 1 kali

Trimester II : 1 kali

Trimester III : 1 kali

Selama kehamilan ibu pasien mengaku tidak pernah sakit berat/rawat inap di

rumah sakit. Riwayat muntah berlebih (-) tekanan darah tinggi (-), kejang (-),

asma (-), diabetes militus (-), infeksi (-), perdarahan dan trauma selama kehamilan

disangkal.

b. Riwayat natal

Lahir secara : spontan pervaginam

Berat badan lahir : 3000 gram

Panjang badan lahir : 45 cm

Lingkar kepala lahir : (-)

Page 7: lapkas anak ica.docx

Tempat : Di rumah dengan pertolongan bidan

6. Riwayat Imunisasi

1x di lengan kanan

1x di tetes mulut

7. Riwayat Makanan

Pasien mendapatkan ASI sejak lahir sampai usia 1 tahun. Pasien mulai diberi

makan pisang, bubur Milna, dan air tajin sejak usia 3 bulan sampai usia 2 tahun.

Namun sejak usia 3 tahun pasien tidak lagi mengkonsumsi pisang, bubur milna

dan air tajin. Pasien hanya mengkonsumsi makanan dan minuman manis seperti

the manis, permen, bubur kacang hijau, roti, kue coklat,dll. Pasien tidak pernah

mengkonsumsi nasi sampai saat ini

8. Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami keluhan yang sama.

9. Riwayat Psikososial

Pasien adalah anak ke 2 dari 2 bersaudara. Anak tinggal serumah dengan ibu,

ayah dan 1 orang kakak dalam rumah semi permanen, ventilasinya baik, air

minum, mandi dan cuci sehari-hari berasal dari air sumur. Keluarga termasuk ke

dalam golongan sosio-ekonomi rendah.

10. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan

Umur 2 bulan os mulai bisa bersuara seperti bilang aaaaaaa.

Umur 4 bulan os mulai bisa telungkup

Umur 6 bulan os mulai bisa merangkak

Page 8: lapkas anak ica.docx

Umur 10 bulan os mulai bisa berdiri dan sudah mulai bisa mengeluarkan

banyak ocehan walaupun belum jelas seperti maaammm.

Umur 1 tahun os mulai bisa berjalan dengan tertatah tatah dan sudah bisa

memanggil yah dan maak.

Umur 2 tahun os sudah kokoh berjalan dan juga berlari

Hingga saat ini pertumbuhan dan perkembangan os tidak mengalami

gangguan maupun keterlambatan.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum : lemah

2. Kesadaran : Compos Mentis

3. Tanda Vital

Nadi : 121 kali/menit

Respirasi : 42 kali/menit

Suhu : 38,5 oC

Tekanan darah : Tidak dievaluasi

4. Data Antropometri

Berat Badan : 11 kg

Tinggi badan : 98 cm

5. Status Gizi

Berdasarkan Rumus Status Gizi menurut Waterlow (1972)

BB/TB % = BB Aktual x 100%

BB Baku untuk TB aktual

Page 9: lapkas anak ica.docx

= (11 x 100%) / 15 = 73,33 % Interpretasi Gizi Kurang

6. Status General

a. Kulit

Kulit berwarna sawo matang, efloresensi primer (-), eflurosensi skunder (-),

Jaringan parut (-), Pigmentasi normal, Keringat (umum), Turgor (normal), Ikterus

(-), Pertumbuhan rambut normal, pembuluh darah normal, lapisan lemak

(menurun), edema (-).

b. Pembesaran KGB

Submandibula (-), region coli (-/-), supraklavikula (-), aksila (-), inguinal (-).

a. Kepala

Ekspresi wajah tampak lemah dan adanya tampilan wajah rhisus

sardonicus, wajah simetri, deformitas (-), rambut hitam tidak mudah dicabut,

pembuluh darah temporal tampak normal, nyeri tekan sinus (-).

b. Mata

Deformitas (-), gerakan (normal), kelopak (normal), mata cekung (-/-),

konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil dilatasi, reflex cahaya (+/+)

c. Telinga

Deformitas (-), tanda radang (-/-), tofi (-/-), serumen (-/-) membran timpani

utuh.

d. Hidung

Bentuk normal, konka hiperemis (-/-), pernapasan cuping hidung (+/+),

abses (-)

Page 10: lapkas anak ica.docx

e. Mulut dan Tenggorokan

Bibir sianosis (-), mukosa (kering), faring (normal), tonsil (T1/T1), gigi

(berlubang) dan gusi (normal), lidah (normal).

f. Leher

Trakea (normal), kaku kuduk (+)

g. Toraks : tulang rusuk tampak jelas

Pulmo

Inspeksi : Retraksi dinding dada (+), pergerakan dinding dada simetris

Palpasi : Stem fremitus tidak dilakukam

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : Dalam batas normal, Vesikuler dikedua lapangan paru.

Cor

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis teraba

Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar

Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-).

h. Abdomen

Inspeksi : Bentuk simestris, Defans Muscular (+/+)

Palpasi : Hepar tidak teraba, limpa tidak teraba.

Perkusi : Timpani (+), asites (-)

Auskultasi : Bising usus normal

i. Ekstremitas : Akral dingin

Page 11: lapkas anak ica.docx

Superior Inferior

kanan Kiri kanan kiri

Sianosis - - - -

Oedema - - - -

Ikterik - - - -

Anggota gerak : Tidak ditemukan kelainan

Otot : mengalami spasme

7. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis ditemukan adanya fotofobia, reflek messeter

meningkat, kaku kuduk, trismus.

8. Pemeriksaan Khusus

Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan bahwa pada pasien ini dijumpai

adanya trismus (+) 1 cm. Selain itu juga terdapat adanya opistotonus (+) dan juga

adanya bentuk wajah rhisus sardonicus, serta kaku kuduk (+).

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah rutin (+) 22 September 2015

2. Urin rutin (+) 22 September 2015

2.5 DIAGNOSA

Diagnosa banding : Tetanus

Kejang Demam Kompleks

Page 12: lapkas anak ica.docx

Meningoencefalitis

Keracunan Striknin, Rabies,dll

Diagnosa Kerja : Tetanus

2.6 PENATALAKSAAN AWAL

O2 2-4 L/menit

IVFD Dextrose 5% + Nacl 0,45% 12gtt/ menit

Inj. Ampicillin 250mg/ 6 jam

Inj. Diazepam 1cc/ 8 jam

Inj. Tetagam 1500 IU

Paracetamol infus 12,5 cc (kp)

Metronidazol dianjurkan namun belum sempat diberikan.

2.7 RESUME

Pasien datang ke IGD RSUCM diantar oleh orang tua pasien dengan

keluhan badan kaku dan sulit dapat membuka mulut sejak ± 4 jam SMRS. Badan

kaku dialami pada pukul 09.00 tanggal 21 September 2015 sampai tiba di Rumah

Sakit pada pukul 12.00 wib masih kaku. Kekakuan yang dialami pasien hampir

pada seluruh tubuh. Posisi punggung dalam keadaan melengkung, tangan

menggenggam, perut mengeras seperti papan, kaki menekuk, dan mulut hanya

dapat membuka ± 1 cm. Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran.

Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami demam. Namun,

demam segera mereda setelah ibu pasien memberikan Sanmol dan demam muncul

kembali dalam perjalanan pasien menuju rumah sakit. Selain demam, pasien juga

Page 13: lapkas anak ica.docx

mengalami sakit gigi. Sakit gigi timbul sejak 2 hari sebelum pasien mengalami

kekakuan. Keluhan ini juga disertai dengan sulit menelan sehingga pasien tidak

bisa makan dan minum. Pasien tidak mengeluh nyeri kepala, mual ataupun

muntah. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Diketahui bahwa ± 1 minggu SMRS

pasien pernah terinjak kawat yang sudah berkarat ketika sedang bermain. Luka

tidak dibersihkan dengan antiseptik. Luka hanya dibersihkan dengan air sumur.

Riwayat digigit binatang ataupun bekas luka operasi disangkal. Riwayat imunisasi

tidak lengkap.

Keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, frekuensi jantung 121

kali/menit, frekuensi nafas 36 kali/menit, temperatur 38,2 oC. Pasien pulang

dengan kondisi badan masih kaku, trismus sudah berkurang dari 1 cm menjadi 3

cm, sakit gigi (+), sulit menelan (+), demam (-), mual dan muntah (-)

2.8 FOLLOW UP PASIEN

Tanggal SOAP Terapi

21/9/2015 S: Kaku (+), demam (+), sakit

gigi (+), sulit menelan (+),

sesak (+), nyeri kepala (-),

batuk (-), tidak nafsu makan (+)

O: T (38,5˚C)

HR (121x/i)

O2 2-4 L/I

IVFD Dextrose 5% + Nacl 0,45% 12

gtt/ menit

Inj.Ampicillin 250mg/ 6 jam

Inj. Diazepam 1cc/ 8 jam

Inj. Tetagam 1500 IU

Paracetamol infus 12,5 cc (kp)

Page 14: lapkas anak ica.docx

RR (36x/i)

Trismus 1 cm

Opistotonus (+)

Rhisus Sardonicus (+)

Kaku kuduk (+)

A: Tetanus anak

P: Pro darah rutin dan urin rutin

22/9/2015 S: Kaku (+)↓↓, demam (-), sakit

gigi (+), sulit menelan (+),

sesak (+) ↓↓, nyeri kepala (-),

batuk (-), tidak nafsu makan (+)

O: O: T (37,0˚C)

HR (102 x/i)

RR (29 x/i)

Trismus 3 cm

Opistotonus (-)

Rhisus Sardonicus (-)

Kaku kuduk (-)

A: Tetanus Anak

P: Darah rutin (+)

Urin rutin (+)

O2 2-4 L/I

IVFD Dextrose 5% + Nacl 0,45% 12

gtt/ menit

Inj.Ampicillin 250mg/ 6 jam

Inj. Diazepam 1cc/ 8 jam

Inj. Tetagam 1500 unit/ 6 amp

Paracetamol infus 12,5 cc (kp)

Page 15: lapkas anak ica.docx

Hasil Laboratorium darah rutin tanggal 21/9/2015

Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin: 9,8 g% P: 12-16

Eritrosit: 3,6x105/mm3 P: 3,8 – 5,8

Leukosit: 6,1x 103/mm3 4 -11

Hematokrit: 30,9% 37- 47

MCV: 84fl 76 -96

MCH: 26,7 pg 27 – 32

MCHC: 31,79 g% 30 – 35

RDW: 12,7 % 11- 15

Trombosit: 316x103/mm3 150-450

Hasil laboratorium urin rutin 22 September 2015

Nilai Rujukan

Kekeruhan Jernih

Warna Kuning muda

Berat Jenis 1,010 -1,035

PH (6) 4,6 -8,0

Protein 75 mg/dl (+2) Negatif

Keton (+4) Negatif

Sediment Mikroskopis

Eritrosit 0 – 3/ LPB

Leukosit 0 – 5/ LPB

Page 16: lapkas anak ica.docx

Epitel 0 – 5/ LPK

BAB 3TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Tetanus adalah penyakit infeksi akut dengan tanda utama kekakuan dan

kejang otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh

kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung,

tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman

pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan

neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.(3,5)

Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus

the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad-

abad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone

menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci percobaan.(9)

Kitasato (1889) pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani. Setahun

kemudian bersama dengan von Behring melaporkan adanya anti–toksin spesifik

pada serum binatang yang telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada tahun

1926, mulai dikembangkan toksoid yang dapat merangsang pembentukan

imunitas.(6)

3.2 Etiologi

Page 17: lapkas anak ica.docx

Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang

yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk

gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe

lain berdasarkan flagella antigen.(3)

Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan

ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick). Sifat spora ini tahan

dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila

dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka

spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat

merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus,

ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob

dan kemudian berkembang biak.(2,5)

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia

dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas

dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya,

dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu

bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam

lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8

°F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan

agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan

secara fisik dan biologik.(1,4,8)

Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptic

Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17°C dalam media kaldu daging dan

Page 18: lapkas anak ica.docx

media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus

tidak dapat memfermentasikan glukosa.(9)

Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya

luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan.

Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus

dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga

tengah, pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau

subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam

yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau

sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser

yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang

berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.(7,11)

Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam

eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein

dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan

cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan

kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui

beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala

berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang. Tetanolisin

menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.(4,6)

3.3 Epidemiologi

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada

jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik

Page 19: lapkas anak ica.docx

lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa.

Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi

dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki

lebih tinggi daripada anak perempuan dengan perbandingan 3:1, akibat perbedaan

aktivitas fisiknya (2). Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.

Tabel 3.1 Data insidens tetanus menurut WHO

3.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran

lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack

rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port d’entree

tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui (8)

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar

yang luas.

2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.

Page 20: lapkas anak ica.docx

3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.

4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan

kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan

penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan

terjadinya kasus tetanus neonatorum.

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke

dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi

anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat

tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya

disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C.

tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.

Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini.

Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin

melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot

rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem

saraf simpatis. Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5

nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175

nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg.(11)

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke

susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian

bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui

pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang

lebih penting, mungkin keduanya terlibat.

Page 21: lapkas anak ica.docx

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular

junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara

transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport

secara retrograd menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan

zincdependent endopeptidase memecah vesicleassociated membrane protein II

(VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptide tunggal. Molekul ini

penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini

mengganggu transmisi sinaps.(7)

Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin

dan γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor

neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks

motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan

peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan

potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena

paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis

terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak.(3,10)

Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom

menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan

peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel,

pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga

memanjangkan durasi penyakit ini (2,5)

Dampak toksin antara lain :

Page 22: lapkas anak ica.docx

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena

eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan

koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida

serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.

3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan

menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,

aritmia, heart block, atau takikardia.

3.5 Gejala Klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari (rata-rata 7 hari), tetapi bisa

lebih pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan). Selang waktu sejak munculnya

gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode

onset maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan prognosis. Makin

singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan makin

berat penyakitnya.(1,4)

Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya

kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar

jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek

masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian. (7,6)

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni : (2)

1. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka

bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang

Page 23: lapkas anak ica.docx

terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari

jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.

Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher,

kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa

trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan

dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah,

hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot

punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal,

mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang

kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga

3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.

2. Localized tetanus (Tetanus lokal)

Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi

serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang

tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga

beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal

dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan.

Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.

3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah

infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik

(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga

Page 24: lapkas anak ica.docx

tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis

biasanya buruk.

4. Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada

negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian

neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang

terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi.

Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum

ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.

Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus

dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan.

Tabel 3.2. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus

Derajat Manifestasi Klinis

I : Ringan Trismus ringan sampai sedang (± 3cm);spastisitas umum tanpa spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan

II : Sedang Trismus sedang (3cm); rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan

III: Berat Trismus berat (1cm); spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat

IV : Sangat Berat (derajat III + gangguan sistem otonom

Page 25: lapkas anak ica.docx

termasuk kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap

3.6 Diagnosis

Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat

penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Laporan singkat The American Journal of

Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki

spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien

terinfeksi menunjukkan hasil positif). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal

biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif ), dan

hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi.(5,1)

Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat

adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia

temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani

hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan

rabies.(2,8)

3.6.1. Anamnesis

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: (4)

Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan

nanah atau gigitan binatang?

Apakah pernah keluar nanah dari telinga?

Page 26: lapkas anak ica.docx

Apakah pernah menderita gigi berlubang?

Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang

terakhir?

Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme

lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

3.6.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :

Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk

membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu

seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai

kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.

Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak

dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.

Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot

punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat

dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.

Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya

terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena

sinar yang kuat. Lambat laun sampai masa istirahat‖ spasme makin pendek

sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.

Page 27: lapkas anak ica.docx

Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan

cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak

bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku

serta terdapat spasme intermiten.

Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat

spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat

menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom

menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan

pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau

berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi

retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan

kompresi tulang belakang.

Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan

menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika

terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa

refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical

Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki

spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi

(94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).18

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.(10,11)

Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.

Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak

Page 28: lapkas anak ica.docx

mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.

Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain

mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya

sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari

pasien yang tidak mengalami tetanus.

Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.

Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai

imunisasi dan bukan tetanus.

Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan

pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah

potensial aksi.

Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG

3.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.

Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut (3,9):

1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak

dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan

terdapat kelainan likuor serebrospinal.

2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme

karpopedal.

3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).

Page 29: lapkas anak ica.docx

4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada

anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.

5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media

supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

3.8. Komplikasi Tetanus

Tabel 3.3 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus.(7,5)

Sistem tubuh Komplikasi

Jalan Nafas *Laserasi*Laringospasme/obstruksi

Respirasi *Apnea*Hipoksia*Emboli Paru,dll

Kardiovaskular *Takikardi, Hipertensi,Iskemia*Hipotensi, Bradikardia*Takiaritmia,Bradiaritmia*Gagal jantung

Ginjal *Gagal ginjal*Stasis Urin

Gastrointestinal *Stasis Lambung*Ileus,*Diare, perdarahan

Lain-lain *Status Konvulsius*Dehidrasi*Tromboemboli*Sepsis dan gagal organ multiple*Avulsi tendon selama spasme

3.9. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut (9,10,1):

1. Penanganan spasme.

2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.

Page 30: lapkas anak ica.docx

3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan

dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis

tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin

tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan.

Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar

dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.

4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman,

untuk memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum

eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.

5. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena

biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme

berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus

yang berat, disfagia atau hidrofobia.

Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri

dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi,

mengatasi spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga seperti

karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian

antibiotik dan serum anti tetanus.

3.9.1 Tatalaksana Umum

1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian

obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya

dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda

Page 31: lapkas anak ica.docx

dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian

khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.

2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.

3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).

4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.

Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan

pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3

mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang

direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral

dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan

pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk

anak dengan BB ≥10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3

mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan

dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi

(tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk

menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari.

Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat

diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari.

Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku,

kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis

diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau mengalami

spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan

intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan

Page 32: lapkas anak ica.docx

mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah

memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari.

Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20%

dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin

dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena

terdapat risiko depresi pernapasan.

5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka diperlukan

konsultasi dengan dokter gigi/THT.

Page 33: lapkas anak ica.docx

3.9.2 Tatalaksana Khusus

1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG). Dosis ATS yang

dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian

ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti

serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah

sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara

intramuskular (IM) dalam dosis tunggal atau 100-300 IU/kgbb. Untuk bayi,

dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan

secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin

tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline

(IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak

tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap

imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya;

trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan

kontraindikasi pemberian secara IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan

perawatan di perawatan intensif. Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan

penatalaksanaan berikut :

HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-

30%).

Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.

Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.

Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv.

Page 34: lapkas anak ica.docx

Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi yang

berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol,

magnesium, klonidin atau nifedipin.

Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain

dapat diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin

diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta

menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu

spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit

yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik harus

dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat

berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien

mendapat sedasi dan relaksasi optimal. Karena toksin tetanus sangat kuat,

penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi dengan toksoid tetanus

harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak

merupakan infeksi yang akut sehingga relative tidak mengganggu tumbuh

kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum dapat terjadi gangguan

tumbuh kembang akibat hipoksi berat. Selanjutnya pasien diberikan imunisasi

tetanus.

2. Antibiotika. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah

menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan.

Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan

dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari.

Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif.

Page 35: lapkas anak ica.docx

Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari

selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan

tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin

membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G

secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam

selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian

menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap

tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).

Tabel 3.4 menggambarkan perbandingan antara penisilin dan metronidazol.

Tabel 3.4. Perbedaan Penisilin dan Metronidazol

Penisilin Metronidazol

Spektrum Spektrum luas, bakteri Gram (+), anaerob

Spektrum sempit, obligat anaerob

Mekanisme Kerja Menghambat sintesis dinding sel

Menghambat sintesis DNA

Stabilitas Tidak Stabil Stabil

Reaksi Alergi Sering Jarang

Resistensi Sering Jarang

Struktur Menyerupai GABA: menginduksi spasme

Akses IM Oral, rektal, IV

b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang

sesuai. Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di

tempat luka yang dapat memproduksi toksin.

Dari penjelasan sebelumnya, penatalaksanaan tetanus dapat digambarkan

secara lebih ringkas dan sistematis seperti pada tabel berikut ini.

Page 36: lapkas anak ica.docx

Tabel 3.5. Pengelolaan Tetanus

Eradikasi bakteri penyebab

Pembersihan luka

Antibiotik Metronidazol 15-30 mg/kgbb/hari dibagi tiap 8-12 jam ; tidak melebihi 2g/hari

Antitoksin netralisasi terhadap luka

Antitoksin kuda atau manusia

Human tetanus immune globulin (3000-6000 IU/kg i.m)Anti tetanus serum (ATS) 50000 IU im dan 50000 IU iv(untuk tetanus neonatorum 10000 IU iv)

Terapi suportif fase akut

Kontrol spasme otot

Diazepam (iv bolus) 0,1-0,3 mg/kgBB/kali i.v. tiap 2-4 jam, tetanus neonatorum dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari Dalam keadaan berat diazepam drip 20 mg/kgBB/hari dirawat di PICU/NICU. Dosis pemeliharaan 8 mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 6-8 dosisMidazolam (iv infus/bolus)Vekuronium Bila spasme sangat hebat pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB iv diikuti 0,05 mg/kgBB/dosis diberikan setiap 2-3 jam

Sedasi Diazepam (iv bolus)Midazolam (iv infus/bolus)Morfin (im/iv)Klorpromazin

Pemeliharaan jalan napas / ventilasi

TrakeostomiTekanan positif intermiten Ventilasi

Pemeliharaan hemodinamik

Penggantian volum yang cukupSedasi (seperti di atas)Inotropik

*Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan diberikan beta bloker seperti propanolol atau alfa dan beta bloker (labetolol)

Rehabilitasi &Imunisasi

NutrisiFisioterapiTerapi primer penuh dari TT

Page 37: lapkas anak ica.docx

3.10 Prognosis

Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi

angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan

kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis

tetanus. (6) Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan

keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya

menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis.

Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam

menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus

neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena

mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis

baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan

hidup, meskipun terjadi tetanus.(3)

Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan prognosis

tetanus menurut sistem skoring Bleck:

Tabel 3.6. Sistem Skoring Bleck

Sistem Skoring 1 0Masa Inkubasi < 7 hari ≥ 7 hariAwitan Penyakit < 48 jam ≥ 48 jamTempat Masuk Luka bakar, luka operasi,

bagian dari fraktur, aborsi septik, tali pusat, dll

Selain tempat tersebut

Spasme (+) (-)Suhu*Aksila*Rektal

>38,4 ˚> 40 ˚

≤ 38,4˚≤ 40 ˚

Takikardi (>120x/i) (+) (-)Tetanus Umum (+) (-)Adiksi Narkotika (+) (-)

Page 38: lapkas anak ica.docx

Skor total menunjukkan derajat keparahan penyakit seperti diuraikan pada tabel

berikut ini:

Total Skor Derajat Keparahan Tingkat Mortalitas0-1 Ringan < 10%2-3 Sedang 10-2-%4 Berat 20-40%5-6 Sangat Berat >50%

3.11 Pencegahan

Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan

mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan (2,10):

1. Imunisasi aktif.

Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang

sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus

pertama kali diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus

digunakan secara luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua

jenis toksoid tetanus yang tersedia –adsorbed (aluminium salt

precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam

kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai

DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT.

Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf

dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin

pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.

Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian.

Kesimpulan bahwa kadar antitoksin bersifat protektif setelah diberikan

toksoid tetanus yang lengkap terlihat manfaatnya secara klinis hingga

Page 39: lapkas anak ica.docx

100%; jarang ditemukan kasus tetanus pada orang yang telah diimunisasi

secara lengkap dalam waktu 10 tahun setelah dosis terakhir. Pada beberapa

orang, imunitas dapat terjadi seumur hidup atau pada sebagian besar orang

memiliki kadar antitoksin yang minimal setelah 10 tahun. Akibatnya,

diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan setiap 10

tahun. Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah

penting. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus

tetanus hanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang

tua menolak memberikan vaksinasi.25 Ibu yang mendapat TT 2 atau 3

dosis ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir dari

tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup

untuk memberi proteksi terhadap bayinya. Pada bayi imunisasi tetanus

dapat diberikan dalam bentuk imunisasi kombinasi yaitu DPT. Diberikan

sebanyak 3x yaitu pertama kali diberikan ketika berumur 2 bulan (2,4,6)

atau tidak boleh diberikan sebelum usianya mencapai 6 minggu, dan

dengan interval 4-8 minggu.

2. Perawatan luka

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka

kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan

luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan

nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus

neonatorum sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak

Page 40: lapkas anak ica.docx

aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada

perawatan tali pusat penting diperhatikan hal berikut:

- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan

apapun kedalamnya

- Mengoleskan povidon/sejenisnya iodine masih diperkenankan tetapi

tidak dikompreskan karena dapat menyebabkan tali pusat lembab.

3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis

Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam)

dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS

profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka.

Dosis untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis

untuk anak ≥ 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal.

Page 41: lapkas anak ica.docx

BAB 4PEMBAHASAN

Pasien ini didiagnosis dengan tetanus anak. Berdasarkan anamnesis

diketahui bahwa pasien ini mengalami kekakuan pada seluruh tubuh dan tidak

bisa membuka mulut, dimana ditinjau dari riwayat terdahulu ibu pasien

mengatakan bahwa 1 minggu sebelum timbul gejala pasien memiliki riwayat

trauma yaitu tertusuk kawat pada bagian telapak kakinya. Ibu pasien juga

mengatakan bahwa pasien tidak mendapatkan imunisasi yang lengkap. Penegakan

diagnosis pada pasien ini didasarkan pada anamnesa dan temuan klinis yaitu

terdapatnya trias dari penyakit tetanus yang berupa adanya trismus, rhisus

sarrdonicus dan opistotonus.

Dari keluhan dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa derajat keparahan

dari tetanus pasien ini adalah derajat berat. Oleh karena itu pasien ini diberikan

tetagam untuk mencegah tetanospasmin yang dihasilkan oleh kuman tetanus

menyebar lebih lanjut, antibiotik diberikan karena penyebab dari tetanus ini

adalah bakteri, sedangkan diazepam diberikan untuk mengatasi kejang/kaku pada

pasien ini.

Page 42: lapkas anak ica.docx

BAB 5KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit infeksi akut dengan tanda utama kekakuan dan

kejang otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh

kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung,

tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman

pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan

neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.

Pemeriksaan penunjung seperti laboratorium dan radiologis tidak perlu

dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis,

gejala klinis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang yang memiliki

manfaat cukup bearti adalah kultur kuman C.tetani.

Penggunaan Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) terbukti

efektif dalam mencegah penyebaran toksin dari kuman tetanus lebih lanjut.

Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi

angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan

kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis

tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan

status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi

semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis.

Page 43: lapkas anak ica.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin and Rippe’s intensive care medicine. 6th ed. Massachusetts: Lippincot Williams & Wilkins. 2008.1140-1.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan tetanus pada anak.Jakarta: DEPKES RI.

3. Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP. 2004. Standar pelayanan medis kesehatan anak, edisi ke-1. hlm. 99-108.

4. Quasim S. Management of tetanus.World Anaesthesia Tutorial of the Week. Vol 87 No.3 [Internet]. 2001 [cited 2013 Oct 20]. Available from: http://www.aagbi. org/sites/default/fi les/17-management-of-tetanus.pdf.

5. Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. 2008. Buku ajar infeksi dan penyakit tropis, edisi ke-2. Jakarta: Penerbit IDAI.

6. Towesy R. Tetanus: a review.Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19.2005 [cited 2013 Oct 20].Availablefrom : http :// www .update . anaesthesiologist.org/wp-content/tetanus-areview

7. Thwaites CL, Farrar JJ. 2003. Preventing and treating tetanus. BMJ. 326:117-8.

8. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian emergencies. WHO Tech Note. [Internet]. 2010 [cited 2013 Oct 20]. Available at: http://www.whqlibdoc.

9. WHO Immunization surveillance, assessment and monitoring . Diunduh pada 15 Agustus 2008 dari http://www.who.int/vaccines/globalsummary

10. World Health Organization. 2011. Progress towards the global elimination of neonatal tetanus. Wkly Epidemiol Rec. 74:73-80.

11. Witt MD, Chu LA. Infections in the critically ill. In: Bongard FS, Sue DY, eds. Current critical care diagnosis and treatment. 2nd ed. California: McGraw-Hill; 2003.p.432-4.

12. Garna H, 2013, Pedoman Diagnosis Dan Terapi, Edisi 5, Departemen /SMF Ilmu Kesehatan Anak fakultas Kedokteran UNPAD, Bandung.