lapak metalo

35
Bab II Pembahasan Praktikum II.1. Pengujian Metalografi II.1.1. Hasil Mounting Proses Mounting memiliki prinsip, yaitu suatu proses dimana sampel ditempatkan pada media sehingga dapat memudahkan penanganan sample yang memiliki bentuk yang tidak beraturan dan berukuran kecil. Prosedur dalam melakukan proses mounting dalam percobaan metalografi kali ini ialah jenis castable mounting dimana proses pembuatannya yaitu dengan mencampurkan resin dan hardener dengan komposisi tertentu. Castable mounting ialah rasio komposisi pada resin dan hardener, kecepatan dari pengadukan, serta lamanya pengadukan pada campuran resin dan hardener tersebut. Namun apabila komposisi dari hardener kurang, maka kekerasan yang terjadi pada bahan mounting akan rendah dan keadaannya akan berbeda jauh dengan kekerasan pada sampel uji. Hal ini berimplikasi pada kedalaman pengamplasan yang berbeda - beda dan proses pengamplasan menjadi kurang efektif. Namun apabila komposisi pada hardener berlebih, kekerasan pada bahan mounting akan melebihi ambang batas dan akan mudah pecah (brittle), dan efek lainnya ialah proses pengamplasan akan sulit dilakukan. Variabel kecepatan pengadukan juga tidak boleh dilupakan seperti telah dijelaskan di awal. Kecepatan ketika melakukan pengadukan pada resin dan hardener haruslah dengan perkiraan waktu yang tepat karena apabila terlalu lama akan menyebabkan udara terperangkap menjadi porositas. Selain itu,

Upload: willy-chandra

Post on 25-Nov-2015

66 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

metal

TRANSCRIPT

Bab IIPembahasan Praktikum

II.1. Pengujian MetalografiII.1.1. Hasil MountingProses Mounting memiliki prinsip, yaitu suatu proses dimana sampel ditempatkan pada media sehingga dapat memudahkan penanganan sample yang memiliki bentuk yang tidak beraturan dan berukuran kecil. Prosedur dalam melakukan proses mounting dalam percobaan metalografi kali ini ialah jenis castable mounting dimana proses pembuatannya yaitu dengan mencampurkan resin dan hardener dengan komposisi tertentu.Castable mounting ialah rasio komposisi pada resin dan hardener, kecepatan dari pengadukan, serta lamanya pengadukan pada campuran resin dan hardener tersebut. Namun apabila komposisi dari hardener kurang, maka kekerasan yang terjadi pada bahan mounting akan rendah dan keadaannya akan berbeda jauh dengan kekerasan pada sampel uji. Hal ini berimplikasi pada kedalaman pengamplasan yang berbeda - beda dan proses pengamplasan menjadi kurang efektif. Namun apabila komposisi pada hardener berlebih, kekerasan pada bahan mounting akan melebihi ambang batas dan akan mudah pecah (brittle), dan efek lainnya ialah proses pengamplasan akan sulit dilakukan. Variabel kecepatan pengadukan juga tidak boleh dilupakan seperti telah dijelaskan di awal. Kecepatan ketika melakukan pengadukan pada resin dan hardener haruslah dengan perkiraan waktu yang tepat karena apabila terlalu lama akan menyebabkan udara terperangkap menjadi porositas. Selain itu, pengadukan yang terlalu sebentar dapat menimbulkan cacat, yaitu kondisi dimana terjadi ketidakhomogenan antara kedua campuran tersebut seperti yang telah dialami praktikan ketika melakukan percobaan ini.Pada castable mounting adalah kebersihan sampel haruslah menjadi perhatian utama. Maka dari itu sebelum proses mounting sampel dilakukan, terlebih dahulu kotoran dibersihkan yang terdapat pada permukaan sampel hingga hilang. Hal ini dilakukan karena kotoran dapat menimbulkan pada cacat sampel yang dimounting. Hal lain yang patut diperhatikan untuk mendapatkan kualitas hasil mounting yang baik adalah cetakan beserta cara penuangan resin tersebut kedalam cetakan. Sehingga pada intinya apabila variabel tersebut tidak dijaga secara baik, maka akan timbul cacat dalam proses mounting yang akan mengganggu proses yang akan terjadi selanjutnya. Berikut ini praktikan tampilkan tabel yang menunjukan masalah yang mungkin timbul ketika proses castable mounting terjadi beserta solusi-solusinya. MasalahPenyebabPenyelesaian

Resin panas

Retak radialCuplikan terlalu besarBesarkan ukuran molding dan kurangi ukuran cuplikan

PengkerutanSuhu terlalu tinggiTurunkan suhu

Retak melingkarUdara lembab terjebak di dalam resinHilangkan uap air, turunkan tekanan saat fasa cair

RemukWaktu pemadatan terlalu singkat, tekanan tidak sesuaiTambahan waktu pemadatan sesuai tekanan

Tidak terjadi penggabuganKondisi tidak sesuaiEvaluasi kondisi molding

Resin dingin

RetakWaktu pemadatan tidak cocok, suhu terlalu tinggi, komposisi padatan dan pelarut tidak sesuaiKoreksi kekurangan tersebut

GelembungAda udara dalam resinDisarankan pencampuran dengan pengadukan atau dilakukan vakum impregnasi

LunakPelarut terlalu banyakKurangi pelarut

Tabel1. masalah, penyebab, dan penyelesaian pada proses mountingII.1.2. Hasil GrindingPengamplasan bertujuan untuk meratakan dan menghaluskan permukaan sampel yang akan diamati. Pengamplasan ini dilakukan secara berurutan yaitu dengan memakai amplas kasar hingga amplas halus. Prosedur pertama dalam melakukan pengamplasan ialah dengan menggunting kertas amplas berbentuk lingkaran disesuaikan dengan bentuk mesin amplas yang digunakan. Kertas amplas pada percobaan grinding ini memakai beberapa macam grit yaitu mulai dari 200 sampai 1200. Pengamplasan dilakukan secara searah dan memperhatikan posisi pengamplasannya. Pengamplasan dimulai dengan meletakkan sampel pada kertas sampel dengan permukaan yang diamati bersentuhan langsung dengan bagian kertas amplas yang kasar. Sampel ditekan dengan gerakan searah. Selama pengamplasan terjadi gesekan antara permukaan sampel dan kertas amplas yang memungkinkan terjadinya kenaikan suhu yang dapat mempengaruhi mikrostruktur sehingga diperlukan pendinginan dengan cara mengaliri air. Apabila ingin mengganti arah pengamplasan, sampel diusahakan berada pada kedudukan tegak lurus terhadap arah mula-mula. Pengamplasan selesai apabila tidak teramati lagi adanya goresan-goresan pada permukaan sampel.Permukaan yang baik ketika proses pengamplasan ialah permukaan yang rata (flat) atau tidak ditemukan bidang pantul. Hal ini erat kaitannya dengan proses pengamatan struktur mikro dengan menggunakan mikroskop optik. Mikroskop sendiri memanfaatkan prinsip pemantulan sehingga ketika mengamplas dan terdapat bidang pantul (tidak rata) maka pengamatan akan sulit dilakukan dengan mikroskop sebab cahaya akan terpantulkan melalui bidang pantul tersebut dan kurang terarah pada lensa mikroskop.Pada proses pengamplasan, hal yang patut diperhatikan ialah masalah posisi pengamplasan sampel. Secara prinsip, material yang keras harus berada pada posisi yang paling luar (lebih jauh dari pusat rotasi amplas) bila dibandingkan dengan material yang lunak dan diusahakan tidak menggunakan posisi yang sama untuk material yang berbeda. Sehingga sampel non-ferrous berada pada posisi yang lebih dalam daripada sampel ferrous pada saat proses pengamplasan. Hal ini dikarenakan untuk mengurangi terjadinya proses abrasi 3 bidang (three body abrasion) yang kemungkinan diakibatkan terdapatnya partikel sampel (yang lebih keras) yang berada diantara permukaan sampel yang lebih lunak dan kertas amplas setelah tercampur dengan permukaan sampel keras pada pengamplasan sebelumnya.Kemudian peningkatan grit yang terjadi menimbulkan goresan yang semakin halus, dan kecepatan pengkikisan pun akan semakin lambat namun terkontrol (melalui kecepatan putaran mesin amplas). Hal ini berakibat pada bidang yang terbentuk pun semakin terkontrol. Metode pengamplasan yang digunakan praktikan dalam percobaan kali ini ialah pengamplasan basah dengan menggunakan mesin amplas otomatis. Hal ini karena selama proses pengamplasan berlangsung, sampel diberi air. Hal ini bertujuan untuk memindahkan gram, mengurangi terjadinya kerusakan pada sampel karena efek panas, dan agar kertas amplas lebih tahan lama pemakaiannya. Setelah pengamplasan telah selesai maka sampel siap dipoles.

II.1.3. Hasil PolishingPada prinsipnya polishing atau pemolesan bertujuan untuk memperhalus permukaan sampel hingga 0,01 mikron sehingga permukaan sampel tersebut dapat memantulkan cahaya dengan baik (pantulan cahaya tidak membaur akibat adanya perbedaan bidang dan butir-butir) sehingga pengamatan mikrostruktur berikutnya dapat jelas. Mekanisme pemolesan yang digunakan ialah pemolesan secara mekanik. Kemudian kain poles yang digunakan ketika melakukan percobaan ini adalah kain beludru atau bahan 21-100 % virgin wool. Bahan pemoles yang digunakan ialah Alumina berwarna putih yang telah dicampur air.Permukaan kain beludru harus selalu dibasahi atau dialiri dengan Alumina yang telah dicampur air untuk mencegah panas yang berlebihan. Ketika proses pemolesan berjalan, sampel harus digerakkan dan diputar-putar pada porosnya secara kontinyu agar terhindar dari pembentukan ekor komet. Ekor komet disini memiliki definisi goresan melingkar pada permukaan sampel akibat pemolesan yang statis.Pada proses pemolesan kemungkinan cacat lainnya ialah munculnya pori-pori kecil pada permukaan sampel yang kemungkinan disebabkan zat poles yang terlalu banyak. Namun, apabila bahan poles terlalu sedikit, maka proses pemolesan tidak akan menghasilkan permukaan yang halus dan berkilat. Selain itu kurangnya penambahan Alumina yang tidak diimbangi dengan pemberian air akan mengakibatkan proses pemanasan akibat pemolesan, atau mungkin geram sehingga dapat mengikis permukaan yang telah mengkilap.Cacat lain yang mungkin terjadi ialah ketika sampel yang akan dipoles terlepas dari genggaman tangan (akibat licin atau genggaman yang kurang kuat), sampel dapat bersinggungan dengan pinggiran mesin poles yang tidak terlapis beludru dan efeknya ialah goresan pada sampel. Oleh karena itu, genggaman kuat dalam proses pemolesan ini sangatlah penting agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.Setelah pemolesan berlangsung, maka parameter yang digunakan dalam menentukan keberhasilan pemolesan ialah diperolehnya permukaan yang mengkilat, rata, licin, dan bebas dari goresan ataupun cacat permukaan yang lainnya. Untuk memastikannya, benda yang mengalami proses pemolesan dapat diperiksa menggunakan mikroskop optic. Dan bila terlihat jelas, permukaan telah siap untuk dietsa.

Gambar1. Alat pemolesan pada percobaan

II.1.4. Hasil EtsaPrinsip dari pengujian etsa ini ialah pengkorosian yang terkontrol untuk memperlihatkan seluruh detail struktur mikro dari suatu logam agar terlihat lebih jelas ketika dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop optik sehingga akan lebih mudah teramati. Etsa dilakukan untuk mengikis daerah batas butir sehingga struktur bahan dapat diamati dengan jelas dengan bantuan mikroskop optic. Zat etsa yang digunakan nictal 2%, zat etsa bereaksi dengan sampel secara kimia pada laju reaksi yang berbeda tergantung pada batas butir, kedalaman butir, dan komposisi dari sampel. Sampel yang akan dietsa haruslah bersih dan kering. Selama etsa, permukaan sampel harus selalu dipastikan dalam keadaan terendam dalam zat etsa. Waktu etsa harus diperkirakan sedemikian sehingga permukaan sampel yang akan dietsa tidak menjadi gosong karena pengikisan yang terlalu lama. Dalam pengetsaannya praktikan mencelupkan sampel ke dalam zat etsa selama 5 detik. Kemudian setelah pengetsaan dilakukan, spesimen dilumuri alcohol dan dibersihkan dengan menggunakan air yang kemudian dicelupkan pada alkohol dan dikeringkan dengan hair dryer. Tujuan pencucian ini ialah agar sampel bersih tanpa tertinggal zat pengetsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan pada bagian dasar teori sebelumnya, sehingga proses pengetsaan yang sebenarnya merupakan korosi yang terkendali. Apabila pemberian zat etsa terlalu berlebihan, maka zat etsa tersebut akan merusak sampel (sampel terlihat seperti hangus/relatif hitam terbakar). Kemudian tujuan pencelupan pada alkohol ialah memanfaatkan sifatnya yaitu solvent (pelarut) yang mudah menguap, sehingga diharapkan dengan kombinasi pencelupan dan pengeringan hair dryer, permukaan sampel menjadi lebih kering dan bersih. Permukaan sampel yang telah dietsa tidak boleh disentuh untuk mencegah permukaan menjadi kusam. Setelah dietsa, sampel siap untuk diperiksa di bawah mikroskop. Setelah melalui proses pengeringan, permukaan spesimen terlihat tidak lagi mengkilap seperti ketika telah dipoles. Hal ini ialah yang menjadi salah satu parameter berakhirnya proses etsa.Penggunaan zat etsa yang tidak sesuai dengan ketentuannya dapat mengakibatkan cacat terutama ketika terjadi proses etsa kimia. Pada saat pengikisan tidak menghasilkan hasil yang baik dikarenakan komposisi yang terdapat pada zat etsa hanya akan bereaksi dengan komposisi material tertentu. Hal ini berakibat hasil yang didapat pun kurang maksimal.Variabel waktu ketika terjadi proses pengetsaan terkait dengan kecepatan penyerangan zat etsa. Pengetsaan yang terlalu cepat akan berdampak pada batas butir yang tidak terkikis dengan baik sehingga mikrostruktur yang terlihat tidaklah baik. Sedangkan bila terlalu lama maka zat etsa akan mengikis butir pada material dan berimplikasi pada material yang hangus.

II.1.5 Hasil Pengamatan Struktur Mikro Sampel IndividuFoto Hasil Percobaan dan Literatur Titanium

FOTOHASIL PERCOBAANKeterangan: TitaniumPembesaran:500xEtsa : 2mL HF, 6mL HNO3 + AlkoholFOTO LITERATUR (ASM Vol.9)Keterangan: UnalloyedTitaniumPembesaran: 250xEtsa :1-3 mL HF, 2-6 mL HNO3, H2O to 1000 mL

Titanium merupakan elemen allotropic, yaitu itu memiliki lebih dari satu bentuk kristalografi. Pada suhu kamar, titanium memiliki struktur kristal Hexagonal Closed Pack (HCP) yang disebut sebagai fase alpha. Struktur ini berubah menjadi stuktur kristal Body Centered Cubic (BCC) yang disebut beta, pada suhu 883C (1621F). Titanium memiliki unsur paduan pada umumnya yang dapat diklasifikasikan sebagai stabilisator atau . Stabilisator Alpha, seperti aluminium dan oksigen dapat meningkatkan suhu di mana fase stabil. Sedangkan stabilisator beta, seperti vanadium dapat mengakibatkan stabilitas fase pada temperature rendah. Suhu transformasi dari + atau semua biasa dikenal sebagai suhu transus. transus didefinisikan sebagai temperatur kesetimbangan terendah di mana materi tersebut adalah 100 % . Di bawah suhu transus , titanium akan memiliki campuran + jika berisi stabilisator , atau akan menjadi secara keseluruhan jika tidak berisi stabilisator . Transus ini penting, karena pengolahan dan perlakuan panas sering dilakukan dengan mengacu pada beberapa temperaturelebih tinggi atau lebih rendah dari temperature transus .Bisa dijabarkan lebih jelas tentang fase alpha atau beta. Dilihat dari foto mikrostruktur Titanium, fase alpha memiliki bentuk seperti titik-titik hitam. Berbeda dengan fase alpha, fase beta memiliki bentuk garis-garis yang saling bersambung. Hal ini ditentukan oleh bentuk struktur dari fase tersebut. Dengan berbedanya bentuk dari kedua fase itu, maka berbeda pula sifat dan kekuatannya. Secara luas bisa didapatkan bahwa fase beta lebih kuat daripada fase alpha. Selain karena strukturnya, untuk mendapatkan fase beta membutuhkan suhu yang lebih tinggi dari fase alpha, dengan begitu pasti kekuatan beta akan lebih besar dari alpha.

Diagram Fasa

Efek Alpha StabilisatorEfek Beta Stabilisator

Efek Beta IsomorphousEfek Beta EutectoidParameterFoto yang diambil dari sample Titanium ini merupakan foto hasil percobaan kelompok yang sudah lebih dibenarkan oleh asisten. Jadi foto sample ini merupakan foto hasil dari proses amplas, poles dan etsa. Sementara itu foto literatur diambil dari buku ASM Metals HandBook Volume 9 - Metallography and Microstructuresjadi bisa dibandingkan secara langsung foto percobaan dengan foto yang didapatkan dari literatur.

AplikasiTitanium dapat diaplikasikan di banyak bidang, yaitu :a. MiliterKarena kekuatannya, unsur ini digunakan untuk membuat peralatan perang (tank) dan untuk membuat pesawat ruang angkasa.b. IndustriBeberapa mesin pemindah panas (Heat Exchanger) dan bejana bertekanan tinggi serta pipa pipa tahan korosi memakai bahan titanium.c. KedokteranBahan implan gigi, penyambung tulang, pengganti tulang tengkorak, dan sebagai struktur penahan katup jantung.d. MesinMaterial pengganti untuk batang piston.e. PerikananDikarenakan sifat titanium yang kuat, ringan, dan tahan korosif air laut bisa dijadikan menjadi pancingan.

II.1.6 Hasil Pengamatan Struktur Mikro Sampel Kelompok

Foto Hasil PercobaanFoto Hasil PercobaanFoto Hasil Percobaan

NamaRocker Arm ORINamaRocker Arm KW 2NamaRocker Arm Kw 3

Perbesaran500xPerbesaran500xPerbesaran500x

Larutan EtsaNitalLarutan EtsaNitalLarutan EtsaNital

II.1.5.4.2 PembahasanKomposisi Carbon pada Rocker Arm KW3 mencapai 0.008%. Hal itu didapatkan karena berdasarkan pengamatan melalui mikroskop, terlihat 2 fasa yang terbentuk. Fasa pertama adalah yang berwarna terang, yaitu fasa austenite sisa. Fasa kedua adalah bagian yang berwarna hitam, yaitu fase martensite. Fase austenite sisa terbentuk diduga karena proses heat treatment tidak dilakukan dengan baik. Khususnya pada proses quenching. Mungkin pada proses quenching, pendinginannya lambat, jadi tidak terbentuk fasa martensit. Sementara itu bagian yang berwarna hitam adalah pengotor-pengotor yang tertinggal pada permukaan rocker arm.Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa kualitas bajanya adalah low carbon steel. Oleh karena itu sifat mekanis dari rocker arm KW3 ini cenderung lebih lunak daripada gear kualitas ORI dan KW 2. Berikut adalah diagram fasa dari baja:

Diagram Fasa Fe3C

Salah satu aplikasi baja low carbon steel ini adalah untuk body mobil. Namun jika diaplikasikan untuk rocker arm tidak cukup kuat. Oleh karena itu kekuatannya dapat ditingkatkan dengan melakukan heat treatment. Terutama pada proses quenching, pendinginannya harus cepat sehingga didapatkan kekerasan yang tinggi.

II.2 Hasil Pengamatan Struktur Mikro Sampel HSTII.2.1 Data Percobaan Material: JIS S45C Temperatur Pemanasan: 900C Media Quench: Air

II.2.2 Penjejakan Beban yang digunakan (kg): 187.5 kg Diameter bola inden (mm): 3.175 mmPenjejakanDiameter Indentasi (mm)BHN

I1.132180.18

II1.104189.76

III1.132180.18

Rata-Rata1.122183.37

Penghitungan BHN berdasarkan rumus BHN yang dilampirkan di borang pengujian HST.

II.2.3 Pembahasan hasilMaterial yang digunakan adalah Medium Carbon Steel (JIS S45C). Berdasarkan literatur, komposisi Carbon (C) mencapai 0.42% 0.48% dan Silicon (Si) 0.15% 0.35%. Oleh karena itu material sampel ini disebut medium carbon steel. Sifat Mekanis yang dimiliki oleh JIS S45C ini adalah sulit untuk dibengkokkan, dila, dan dipotong. Selain itu kekuatan material ini lebih tinggi dari pada baja karbon rendah, karena kandungan karbonnya lebih banyak. Aplikasinya adalah pada boiler, crankshaft, dan hammer.Untuk mencapai struktur martensit maka austenit yang terjadi harus didinginkan cukup cepat, setidaknya dapat mencapai laju pendidinginan kritis dari baja yang bersangkutan. Untuk ini baja harus didinginkan dengan media pendingin tertentu yang umumnya ditentukan oleh jenis baja/ paduannya. Ada sejumlah media pendingin yang biasa digunakan dalam proses pengerasan baja yaitu:

AirMedia pendingin air merupakan media pendingin yang memiliki densitas yang tinggi apabila dibandingkan dengan oli dan udara. Densitas ini mempengaruhi besar laju pendinginan dari material yang telah mengalami perlakuan panas. Air mepunyai cooling capacity yang tinggi sekali ( terjadi pada suhu 300oC yaitu temperatur mulainya terbentuk martensit ) padahal laju pendinginan tertinggi diperlukan pada saat melewati nose dari kurva transformasi, yaitu sekitar temp 550o C sehingga air murni kurang baik untuk pendinginan baja yang mempunyai Hardenability yang tinggi. Untuk memperbaiki/menurunkan cooling capacity dapat dilakukan dengan menambahkan sedikit [5 10 %] soda atau garam dapur. Minyak oliPendininan dengan minyak akan lebih lambat dibanding dengan air. Pada minyak mempunyai cooling capacity tertinggi pada temperatur sekitar 600C dan agak rendah pada sekitar temperatur pembentukan martensit. Untuk menaikan cooling capacity minyak dapat dilakukan dengan menaikan temperaturnya 50-80C. Ada banyak macam minyak mineral yang digunakan untuk pendingin, yang paling murah dan sederhana adalah minyak mineral dengan kekentalan rendah. Minyak biasanya digunakan untuk pendinginan baja paduan rendah dan medium yang ukuran penampang kecil. UdaraUdara mepunyai cooling capacity yang rendah, tetapi dalam hal baja paduan justru hal ini menguntungkan karena dengan laju pendinginan yang rendah, thermal stees juga akan rendah sehingga benda kerja akan bebas distorsi maupun retak. Udara digunakan untuk pendinginan baja paduan tinggi dan baja paduan rendah dngan penampang kecil. Pada gambar 6 memperlihatkan perbandingan dan hubunganya dengan kecepatan pendinginan berbagai media pendingin.

Berikut adalah perbandingan data kelompok lain dengan media quenc berbeda:

DATA PERBANDINGAN QUENCH

1. Data Quench Kelompok 10 Hasil Pengamatan Struktur Mikro Sampel HST Data Percobaan Material: Medium Carbon Steel (JIS S45C) Temperature Pemanasan: 895C Media Quench: Air

Penjejakan Beban yang digunakan (kg): 187.5 Diameter bola inden (mm): 3.175 mmPenjejakanDiameter Indentasi rata-rata (mm)BHN

I0.7325437.012

II0.703476.136

III0.7405429.392

Penghitungan BHN berdasarkan rumus BHN yang dilampirkan di borang pengujian HST.

2. Data Quench Kelompok 11 Hasil Pengamatan Struktur Mikro Sampel HST Data Percobaan Material: Medium Carbon Steel (JIS S45C) Temperature Pemanasan: 900C Media Quench: Oli

Penjejakan Beban yang digunakan (kg): 187.5 Diameter bola inden (mm): 3.175 mmPenjejakanDiameter Indentasi rata-rata (mm)BHN

I0.872308.178

II0.810358.122

III0.795371.993

Penghitungan BHN berdasarkan rumus BHN yang dilampirkan di borang pengujian HST.

3. Data Quench Kelompok 12 Hasil Pengamatan Struktur Mikro Sampel HST Data Percobaan Material: Medium Carbon Steel (JIS S45C) Temperature Pemanasan: 900C Media Quench: Udara

Penjejakan Beban yang digunakan (kg): 187.5 Diameter bola inden (mm): 3.175 mmPenjejakanDiameter Indentasi rata-rata (mm)BHN

I0.6935490.39

II0.7225441.18

III0.713464.11

Penghitungan BHN berdasarkan rumus BHN yang dilampirkan di borang pengujian HST.

Oleh karena itu kekerasan material tergantung pada laju pendinginnya yang dipengaruhi oleh densitas suatu fluida pendingin dan viskositas suatu fluida pendingin. Apabila suatu material berada pada kondisi temperatur yang lebih rendah, maka struktur butirnya akan cenderung merapat, sehingga tidak ada ruang kosong yang terjadi, sehingga molekul sulit bergerak dan berdeformasi. Berdasarkan data diatas, didapatkan urutan media pendingin yang menghasilkan kekerasan yang lebih tinggi ke yang rendah adalah air, minyak oli, dan udara.Aplikasi dari material yang didinginkan dengan cepat adalah untuk alat-alat tool steel. Karena tool steel membuntuhkan material yang memiliki nilai kekerasan yang tinggi. Dengan dilakukannya pendinginan (quenching) yang cepat, maka material tersebut akan mendatkan nilai kekerasan yang tinggi.

II.3 Pengujian JominyII.3.1 Data Percobaan Jenis baja (persen karbon sampel): Baja S45C Temperature austenisasi: 900C Jenis Indentor: Baja Diameter Indentor: 3.175mm Beban indentasi: 187.5 kg Waktu indentasi: 10 detik

II.3.2 Tabel hasil Penjejakan Dan Nilai BHNJarak dari Quench-End (mm)Dx (mm)Dy (mm)Davg (mm)BHN

21.50.9650.9990.982241.49

36.51.1021.1681.135179.20

44.51.0441.0271.035216.88

49.51.0531.1271.09194.83

54.01.1631.1691.166169.46

59.51.1511.1201.1355179.03

63.51.0491.1061.0755199.52

67.51.0231.0151.019223.83

741.1461.1311.1385178.93

78.51.1871.1751.181165.02

II.3.3 Grafik Hardenability

III.3.4 Pembahasan Hasil PercobaanPercobaan Jominy dilakukan untuk mengukur kemampuan untuk dikeraskan (hardenability) dari baja, yaitu ukuran kapasitas dari suatu baja untuk mengeras (membentuk struktur martensite) dikaitkan dalam fungsi jarak di bawah pengkondisian tertentu. Percobaan ini juga dikaitkan pada pengaruh mikrostruktur (ukuran butir, paduan) terhadap nilai kekerasan baja.Hardenability dari baja penting artinya dalam pemilihan paduan baja dan perlakuan panas untuk meminimalisasikan tegangan termal dan distorsi pada proses manufaktur komponen. Kemampukerasan (hardenability) tergantung pada komposisi kimia dari baja dan juga oleh kondisi proses seperti temperatur austenisasi.Prinsip dari percobaan jominy ini adalah pengukuran kekerasan pada berbagai titik pada batang uji jominy untuk mengetahui kemampukerasan (kemampuan membentuk fasa keras martensit) suatu material.Pada tabel tersebut terlihat, secara umum, bahwa diameter indentasi pada sumbu absis, tidak sama dengan diameter indentasi pada sumbu ordinat. Dan secara lebih spesifik lagi, terlihat bahwa diameter pada sumbu absis lebih besar dibanding sumbu ordinat. Akibatnya maka butir pada baja tersebut akan cenderung memanjang searah sumbu absis, sehingga akibatnya panjang daerah untuk pergerakan dislokasi pun berbeda antara sumbu absis akan lebih besar dibanding pergerakan pada sumbu ordinat. Akibatnya, karena pergerakan dislokasi akan lebih mudah pada sumbu absis, maka seolah-olah sumbu absis terlihat lebih lunak dibanding sumbu ordinat.Dalam ilmu metalurgi fisik, hal ini disebut mekanisme penguatan strain hardening dan grain boundary strengthening. Sehingga deformasi plastis pada sumbu absis akan lebih besar dibanding sumbu ordinat atau dengan kata lain diameter indentasi yang terjadi pada sumbu absis akan lebih besar dibanding sumbu ordinat.Selisih diameter tidak selalu sama karena mengingat pada batang uji ini kekerasan tiap titiknya berbeda (akibat mekanisme pengerasan quenching), karenanya perbedaan diameter tersebut tidak dapat dibandingkan satu dengan yang lainnya. Namun untuk meyakinkan semua asumsi ini perlu adanya suatu penelaaahan lebih lanjut dengan metode pengujian lainnya (contohnya pengujian tarik terhadap kedua sumbu berbeda atau pengamatan butir/struktur mikro dari batang uji atau bahkan pengukuran diameter indentor), sebab mungkin juga perbedaan ini semua disebabkan oleh karena indentor yang memang tidak berbentuk bulat sempurna (sesuai indentor standar Brinell).Kemudian jika memang indentor ini tidak bulat sempurna, apakah ini berarti bahwa alat uji Brinell yang digunakan tidak lagi sesuai standar dan tidak lagi dapat digunakan? Secara teoritis, sebenarnya bisa saja. Sebab yang digunakan dalam dasar perhitungan kekerasan oleh standar Brinell bukanlah bentuk bola indentor, melainkan permukaan dan tembereng indentasi yang terbentuk. Maksudnya selama bentuk tembereng indentasi yang terbentuk masih bulat dan memiliki diameter d, indentasi tersebut masih dapat digunakan dan disubstitusikan kedalam rumus perhitungan BHN. Sehingga sebaliknya, jika indentasi yang terbentuk tidak lagi bulat, maka indentor tidak dapat digunakan lagi atau perlu diganti.Dalam pengujian Jominy akan didapatkan hubungan kekerasan suatu bahan dengan jarak dari permukaan pendinginan dan dengan kecepatan pendinginannya, dalam hal ini dianggap kecepatan pendinginan air adalah tak terhingga. Metode perlakuan panas yang dilakukan dalam praktikum ini adalah end quench. End Quenching adalah metode di mana bagian bawah dari sampel langsung bersentuhan dengan media pendingin. Pada praktikum ini media pendingin yang digunakan adalah air. Air disemprotkan pada bagian bawah sampel sehingga sampel yang mengalami pendinginan paling cepat adalah bagian yang paling dekat dengan media pendingin / bersentuhan langsung, yaitu bagian bawah sampel. Bagian sampel yang mengalami pendinginan paling lambat adalah bagian yang paling jauh dari media pendingin, yaitu bagian atas sampel.Hal ini dapat didasarkan pada diagram CCT yang menunjukan bahwa laju pendinginan yang berbeda akan menghasilkan kekerasan bahan yang berbeda. Temperatur austenisasi dimaksudkan untuk mengubah fasa yang dimiliki sampel menjadi fasa austenit agar dapat ditransformasi, yang menjadi dasar daripada proses quenching. Sebelum dikeluarkan sampel tetap didiamkan didalam dapur untuk beberapa menit untuk lebih memastikan temperatur austenisasi tercapai. Kemudian sampel dikeluarkan dari dapur dan dibawa ke alat bangku jominy dengan penjepit yang kemudian sampel dimasukan kedalam lubang alat bangku jominy dan segera dialiri/disemprotkan air sebagai media pendingin dari bagian bawah sampel sehingga terjadi pendinginan secara bertahap yang dimulai dari bagian bawah sampel kebagian atas sampel.Pendinginan yang bertahap ini dimaksudkan untuk mendapatkan fasa daripada sampel yang berbeda-beda, yang ditujukan untuk mendapatkan kekerasan yang berbeda-beda daripada bagian sampel yang disebabkan struktur yang berbeda. Setelah sampel dingin, kemudian dilanjutkan dengan pembersihan sampel daripada scale yang melekat, dipermukaan sampel dan dilanjutkan dengan pengamplasan pada salah satu bagian sampel untuk meratakan permukaan yang nantinya akan digunakan sebagai daerah penjejakan. Setelah itu, sampel kemudian diukur dengan alat penjejak yang memiliki diameter penjejak 3.154 mm. Penjejakan dilakukan 10 kali dengan jarak antar penjejakan yang bervariasi. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kekerasan yang bervariasi pada sampel.Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa kekerasan semakin menurun dengan semakin jauhnya jarak dari ujung yang di Quench. Dalam hal ini kekerasan dapat dilihat dari nilai BHN yang semakin kecil. Hal ini dikarenakan semakin jauh jarak nya maka kecepatan penurunan temperatur semakin lambat sehingga struktur martensite yang terbentuk semakin sedikit sehingga kekerasannya menurun. Untuk mendapatkan kekerasan yang maksimum maka martensite yang terbentuk harus 100% semakin jauh dari ujung yang di quench martensite yang terbentuk semakin sedikit (