landasan teori aki

24
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Angka Kematian Ibu (AKI) Secara konseptual, kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dll (Budi, Utomo. 1985). Angka Kematian Ibu (AKI) adalah banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan tempat persalinan, yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, dan bukan karena sebab-sebab lain, per 100.000 kelahiran hidup. Informasi mengenai tingginya AKI akan bermanfaat untuk pengembangan program peningkatan kesehatan reproduksi, terutama pelayanan kehamilan dan membuat kehamilan yang aman bebas risiko tinggi (making pregnancy safer), program peningkatan jumlah kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan, penyiapan sistim rujukan dalam penanganan komplikasi kehamilan, penyiapan keluarga dan suami siaga dalam menyongsong kelahiran, yang semuanya bertujuan untuk mengurangi Angka Kematian Ibu dan meningkatkan derajat kesehatan reproduksi.

Upload: dian-hadi-purnamasari

Post on 22-Nov-2015

56 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

landasan teori tentang angka kematian ibu khususnya di indonesia

TRANSCRIPT

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA2.1Definisi Angka Kematian Ibu (AKI)

Secara konseptual, kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dll (Budi, Utomo. 1985).

Angka Kematian Ibu (AKI) adalah banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan tempat persalinan, yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, dan bukan karena sebab-sebab lain, per 100.000 kelahiran hidup.Informasi mengenai tingginya AKI akan bermanfaat untuk pengembangan program peningkatan kesehatan reproduksi, terutama pelayanan kehamilan dan membuat kehamilan yang aman bebas risiko tinggi (making pregnancy safer), program peningkatan jumlah kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan, penyiapan sistim rujukan dalam penanganan komplikasi kehamilan, penyiapan keluarga dan suami siaga dalam menyongsong kelahiran, yang semuanya bertujuan untuk mengurangi Angka Kematian Ibu dan meningkatkan derajat kesehatan reproduksi.

Cara menghitung AKI yaitu dengan membuatnya menjadi rasio kematian ibu dan dinyatakan per 100.000 kelahiran hidup, dengan membagi angka kematian dengan angka fertilitas umum. Dengan cara ini diperoleh rasio kematian ibu kematian maternal per 100.000 kelahiran hidup.

Rumus

Keterangan:

Jumlah kematian ibu adalah banyaknya kematian ibu yang disebabkan karena kehamilan, persalinan sampai 42 hari setelah melahirkan, pada tahun tertentu, di daerah tertentu.

Jumlah kelahiran hidup adalah banyaknya bayi yang lahir hidup pada tahun tertentu, di daerah tertentu.

Konstanta =100.000 bayi lahir hidup.

AKI sulit dihitung, karena untuk menghitung AKI dibutuhkan sampel yang besar, mengingat kejadian kematian ibu adalah kasus yang jarang. Oleh karena itu kita umumnya dignakan AKI yang telah tersedia untuk keperluan pengembangan perencanaan program (Data Statistik Indonesia, 2014).2.2AKI di Indonesia

AKI di Indonesia sendiri termasuk cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Data terbaru dari Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup dan mengalami peningkatan jika dibandingkan SDKI tahun 2007 yang hanya 228 per 100.000 kelahiran hidup. AKI sendiri dapat didefinisikan sebagai jumlah kematian perempuan pada saat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan tempat persalinan yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, dan bukan karena sebab-sebab lain, per 100.000 kelahiran hidup.

Berdasarkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur (BAPPEDA JATIM), AKI di Jawa Timur masih tinggi dan Jember menjadi salah satu kabupaten/kota yang paling banyak menyumbang AKI dan menduduki posisi tertinggi sejak tahun 2010. Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2012, AKI di Kabupaten Jember mencapai 56,45% dengan total 34 ibu yang meninggal saat melahirkan dan total kematian ibu dan anak mencapai 420 kasus.Sungguh ironis pembangunan sektor kesehatan di Indonesia saat ini. Dua dekade yang lalu, Indonesia oleh WHO dianggap sebagai salah satu negara yang sukses dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Tahun 1997, pemerintah mampu menurunkan AKI mencapai 334 per 100.000 kelahiran hidup dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1994. Dan terakhir dalam SDKI 2007, AKI Indonesia sudah mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup2. Bagi WHO, apa yang dicapai Indonesia untuk mencapai target MDGs dalam aspek kesehatan ibu dan reproduksi merupakan prestasi yang baik (Prakarsa, 2013).Indonesia sebelumnya merupakan negara yang agresif melakukan kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Sejak WHO meluncurkan Safe Motherhood Iniatiative pada tahun 1987, pemerintah Indonesia langsung merespon agenda WHO dalam kebijakan pembangunan KIA. Indonesia juga merespon cepat inisiatif pembangunan kependudukan global (International Conference Population and Development/ICPD) yang pertama kali diadakan di Kairo, Mesir tahun 1994.Salah satu poin yang menjadi rujukan bagi pemerintah Indonesia adalah mengenai hak remaja untuk memperoleh pelayanan reproduksi termasuk juga mendapatkan pelayanan konseling yang benar. Selama dua dekade 1980 - 2000 Indonesia merupakan negara yang sukses dalam menata program KIA. Tapi saat ini justru sebaliknya.Hasil SDKI 2012 menjadi sebuah pelajaran bagi Indonesia bahwa saat ini negara gagal dalam memberikan perlindungan bagi ibu yang melahirkan. Padahal UUD 1945 memberikan amanat bagi pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi seluruh masyarakat. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga mengamanatkan pemerintah untuk mampu memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan universal bagi setiap masyarakat, termasuk pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi.

Pemerintah juga diamanatkan untuk menyediakan anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD diluar gaji pegawai sehingga pemerintah bisa secara optimal memberikan pelayanan bagi masyarakat tanpa terbatas oleh alokasi anggaran. Ini merupakan wujud dari kehadiran negara dalam memberi jaminan perlindungan kesehatan bagi warga negara. Tapi dengan lonjakan AKI yang sangat tinggi ini menunjukan ada kesalahan kebijakan dalam pengelolaan kesehatan, terutama kesehatan ibu dan reproduksi.

Indonesia merupakan negara di kawasan Asia yang mengalami kegagalan dalam pencapaian target penurunan AKI. Padahal dari baseline MDGs yang dimulai pada tahun 1990, AKI Indonesia sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan beberapa negara lain di kawasan Asia. AKI Indonesia pada tahun 1990 sekitar 390 per 100.000 kelahiran hidup, jauh lebih rendah dibandingkan Kamboja, Myanmar, Nepal, India, Bhutan, Bangladesh dan Timor Leste (Prakarsa, 2013).

Gambar 2.1 Angka kematian ibu di beberapa Negara di kawasan Asia

Ironisnya dengan data terakhir dari SDKI 2012, terjadi peningkatan AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Bandingkan dengan Kamboja yang sudah mencapai 208 per 100.000 kelahiran hidup, Myanmar sebesar 130 per 100.000 kelahiran hidup, Nepal sebesar 193 per 100.000 kelahiran hidup, India sebesar 150 per 100.000 kelahiran hidup, Bhutan sebesar 250 per 100.000 kelahiran hidup, Bangladesh sebesar 200 per 100.000 kelahiran hidup. Bahkan kini Indonesia sudah tertinggal dengan Timur Leste dalam pencapaian AKI, dimana AKI Timor Leste mencapai 300 per 100.000 kelahiran hidup (Prakarsa, 2013).

Bila melihat target MDGs 2015 untuk AKI, target Indonesia adalah menurunkan AKI mencapai 102 per 100.000 kelahiran hidup. Dengan posisi 359 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012 maka akan sangat sulit bagi pemerintah untuk mencapai target penurunan AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Melonjaknya AKI tidak terlepas dari kegagalan program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB).

Gambar 2.2 Penyebab kematian ibu di Indonesia

Menurut Laporan KIA tahun 2011, jumlah kematian ibu yang dilaporkan sebanyak 5.118 jiwa. Penyebab kematian ibu terbanyak masih didominasi perdarahan (32%), disusul hipertensi dalam kehamilan (25%), infeksi (5%), partus lama (5%), dan abortus (1%). Penyebab lain-lain (32%) cukup besar, termasuk di dalamnya penyebab penyakit non obstetrik (Direktorat Bina Kesehatan Ibu Kemenkes RI, 2013).

Untuk mencapai target MDGs sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, diperlukan upaya keras dan penguatan kerja sama lintas sektoral.

Tingginya AKI terkait dengan penyebab langsung dan penyebab tidak langsung

Faktor penyebab langsung didominasi oleh perdarahan, hipertensi/eklampsia, dan infeksi. Sementara faktor penyebab tidak langsung akibat banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu (Direktorat Bina Kesehatan Ibu Kemenkes RI, 2013).

Gambar 2.3 Tiga terlambat empat terlalu

2.3Kerangka Konsep AKI

Kerangka konsep klasik yang sampai sekarang masih digunakan dalam membahas determinan kematian maternal adalah yang dipresentasikan oleh McCarthy and Maine (1992) di bawah ini.

Gambar 2.4 Kerangka konsep kematian maternal

Dapat kita lihat pada gambar di atas bahwa penyebab kematian maternal yang langsung bersifat klinik, sedangkan penyebab kematian antara berkisar pada

status dan sistem kesehatan mencakup komponen input, proses dan output pada

sistem tersebut; sedangkan penyebab dasar (distal) terkait dengan faktorfaktor

sosial ekonomi (baik pada level mikro maupun makro).

Berbagai upaya telah dilakukan oleh para pemangku kepentingan, dalam hal ini pemerintah (pusat, daerah, dinas teknis), lembaga donor dan LSM untuk

mempercepat penurunan AKI. Programprogram telah, masih, dan akan dilakukan didasarkan atas analisis para pakar baik nasional maupun internasional. Namun tampaknya upayaupaya tersebut belum membuahkan hasil yang memuaskan. Masih tingginya AKI di Indonesia terus merupakan ancaman bagi pembangunan kesehatan bangsa dan pencapaian tujuan mulia bangsa ini menjadi terhambat dan melambat (Kelompok Studi FKM UI, 2013).

Gambar 2.5 Faktor determinan angka kematian ibu

Di samping kerangka konsep di atas, juga dikenal konsep penyebab kematian maternal berdasarkan Tiga Terlambat (the Three Delays) seperti digambarkan di bawah ini

Gambar 2.6 Tiga terlambat penyebab kematian ibu

Menurut gambar di atas, terlambat pertama (1) adalah terlambat memutuskan untuk pencarian layanan kesehatan; terlambat kedua (2) adalah terlambat mengidentifikasi dan mencapai tempat layanan kesehatan; dan terlambat ketiga (3) adalah terlambat menerima layanan yang memadai dan tepat. Terlambat 1 berhubungan dengan masalah kultural seperti status perempuan sebagai penentu kebijakan dan pengambil keputusan, juga dipengaruhi oleh aksesibilitas terhadap layanan kesehatan dan kualitas layanan yang diberikan. Akses (terutama geografis dan finansial) juga memengaruhi terjadinya Terlambat 2; sedangkan Terlambat 3 terutama dipengaruhi oleh kualitas layanan kesehatan.

Kedua kerangka konsep di atas menyajikan dasar bagi analisis lebih jauh mengenai hubungan antar variabel independen dan dependen dalam hal AKI. Meskipun masalah utama mengenai ketersediaan data yang valid dan reliable masih merupakan hambatan utama bagi studistudi mengenai AKI di Indonesia (Kelompok Studi FKM UI, 2013).

2.4Riset Kesehatan Dasar tentang AKIRiset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan telah dipublikasikan. Riset yang dilakukan di 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota tersebut di antaranya dimaksudkan untuk memotret profil kesehatan ibu di tingkat masyarakat. Dari hasil Riskesdas 2013 dan 2010, dapat diketahui bahwa secara umum, akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu dari tahun ke tahun cenderung semakin membaik.

Gambar 2.7 Cakupan ANC Pertama Trimester 1 2010-2013

Terkait dengan pelayanan kesehatan ibu hamil, hasil Riskesdas 2013 menunjukkan cakupan pelayanan antenatal bagi ibu hamil semakin meningkat. Hal ini memperlihatkan semakin membaiknya akses masyarakat terhadap pelayanan antenatal oleh petugas kesehatan. Cakupan pelayanan antenatal pertama kali tanpa memandang trimester kehamilan (K1 akses) meningkat dari 92,7% pada tahun 2010 menjadi 95,2% pada tahun 2013. Peningkatan akses ini juga sejalan dengan cakupan ibu hamil yang mendapat pelayanan antenatal pertama pada trimester pertama kehamilan (K1 Trimester 1), yaitu dari 72,3% pada tahun 2010 menjadi 81,3% pada tahun 2013. Demikian pula pada tahapan selanjutnya, cakupan pelayanan antenatal sekurang-kurangnya empat kali kunjungan (K4) juga meningkat dari 61,4% pada tahun 2010 menjadi 70,0% pada tahun 2013.

Gambar 2.8 Proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan 2010-2013

Potret yang cukup menggembirakan juga tampak pada profil kesehatan ibu bersalin dan nifas. Proporsi ibu yang persalinannya ditolong tenaga kesehatan meningkat dari 79,0% pada tahun 2010 menjadi 86,9% pada tahun 2013. Pada tahun 2013, sebagian besar (76,1%) persalinan juga sudah dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan Poskesdes/Polindes dan hanya 23,7% ibu bersalin yang masih melahirkan di rumah. Angka peningkatan yang cukup drastis terlihat pada cakupan pelayanan kesehatan ibu nifas (KF1), yaitu dari 46,8% pada tahun 2010 menjadi 81,7% pada tahun 2013.

Di samping peningkatan akses dan kualitas masyarakat yang semakin membaik, upaya peningkatan kesehatan ibu masih menghadapi berbagai tantangan. Tantangan pertama adalah bagaimana menurunkan proporsi anemia pada ibu hamil. Berdasarkan Riskesdas 2013, terdapat 37,1% ibu hamil anemia, yaitu ibu hamil dengan kadar Hb kurang dari 11,0 gram/dl, dengan proporsi yang hampir sama antara di kawasan perkotaan (36,4%) dan perdesaan (37,8%).

Tantangan kedua adalah bagaimana menurunkan proporsi malaria pada ibu hamil. Data Riskesdas 2013 menunjukkan adanya 1,9% ibu hamil yang positif terkena malaria melalui pemeriksaan rapid diagnostic test (RDT), dengan proporsi terbesar adalah malaria falsiparum. Ibu hamil yang terkena malaria berisiko lebih besar mengalami anemia dan perdarahan, serta kemungkinan melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR).

Gambar 2.9 Persen cakupan Continuum of Care 2010-2013

Tantangan ketiga adalah proporsi Wanita Usia Subur (WUS) dengan Kurang Energi Kronis (KEK), yaitu WUS dengan lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm. Berdasarkan Riskesdas 2013, terjadi peningkatan proporsi ibu hamil usia 15-19 tahun dengan KEK dari 31,3% pada tahun 2010 menjadi 38,5% pada tahun 2013. Tren peningkatan serupa juga terjadi pada WUS usia 15-19 tahun yang tidak hamil, yang proporsinya meningkat dari 30,9% pada tahun 2010 menjadi 46,6% pada tahun 2013.

Selain tantangan tersebut, tantangan yang tak kalah besar adalah bagaimana mempercepat penurunan angka kematian ibu menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2014 sebagaimana diamanatkan RPJMN 2010-2014 dan 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 sebagai target MDGs. Upaya peningkatan kesehatan ibu dan penurunan angka kematian ibu mustahil dapat dilakukan sendiri oleh Pemerintah, terlebih dengan berbagai keterbatasan sumber daya yang dimiliki tenaga, sarana prasarana, dan anggaran. Oleh karena itu, mutlak diperlukan kerja sama lintas program dan lintas sektor terkait, yaitu pemerintah daerah, sektor swasta, organisasi profesi kesehatan, kalangan akademisi, serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.2.5Strategi Penurunan AKI

Dalam rangka menurunkan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia, Kementerian Kesehatan menetapkan lima strategi operasional yaitu penguatan Puskesmas dan jaringannya; penguatan manajemen program dan sistem rujukannya; meningkatkan peran serta masyarakat; kerjasama dan kemitraan; kegiatan akselerasi dan inovasi tahun 2011; penelitian dan pengembangan inovasi yang terkoordinir.Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH dalam paparan yang berjudul Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Kesehatan Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibu kepada para peserta Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana di kantor BKKBN Jakarta, 26 Januari 2011 (Pusat Komunikasi Publik Kemenkes RI, 2011).

Menkes menambahkan terkait strategi keempat yaitu kegiatan akselerasi dan inovasi tahun 2011, upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan yaitu:

Kerjasama dengan sektor terkait dan pemerintah daerah telah menindaklanjuti Inpres no. 1 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional dan Inpres No. 3 tahun 2010 Tentang Program Pembangunan Yang Berkeadilan melalui kegiatan sosialisasi, fasilitasi dan advokasi terkait percepatan pencapaian MDGs. Akhir tahun 2011, diharapkan propinsi dan kabupaten/kota telah selesai menyusun Rencana Aksi Daerah dalam percepatan pencapaian MDGs yaitu mengentaskan kemiskinan ekstrim dan kelaparan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya. Pemberian Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), mulai tahun 2011 setiap Puskesmas mendapat BOK, yang besarnya bervariasi dari Rp 75 juta sampai 250 juta per tahun. Dengan adanya BOK, pelayanan outreach di luar gedung terutama pelayanan KIA-KB dapat lebih mendekati masyarakat yang membutuhkan. Menetapkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) berupa indikator komposit (status kesehatan, perilaku, lingkungan dan akses pelayanan kesehatan) yang digunakan untuk menetapkan kabupaten/kota yang mempunyai masalah kesehatan. Ada 130 kab/kota yang ditetapkan sebagai DBK yang tahun ini akan didampingi dan difasilitasi Kementerian Kesehatan. Penempatan tenaga strategis (dokter dan bidan) dan penyediaan fasilitas kesehatan di Daerah Terpencil, Perbatasan, Kepulauan (DTPK), termasuk dokter plus, mobile team.

Peluncuran 2 Peraturan Menteri Kesehatan terkait dengan standar pelayan KB berkualitas, sebagaimana diamanatkan UU no 52 tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.Selain itu menurut Menkes, pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan meluncurkan Jaminan Persalinan (Jampersal) yang mencakup pemeriksaan kehamilan, pelayanan persalinan, nifas, KB pasca persalianan, dan neonatus. Melalui program ini, persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan diharapkan meningkat, demikian pula dengan pemberian ASI dini, perawatan bayi baru lahir, pelayanan nifas dan KB pasca persalinan.Sasaran Jampersal adalah 2,8 juta ibu bersalin yang selama ini belum terjangkau oleh jaminan persalinan dari Jamkesmas, Jamkesda dan asuransi kesehatan lainnya. Ruang lingkupnya adalah : pelayanan persalianan tingkat pertama, tingkat lanjutan, dan persiapan rujukan di fasilitas kesehatan Pemerintah dan Swasta. Kelompok inilah yang akan ditanggung Jampersal. Pelayanan yang dijamin melalui Jampersal yaitu: pemeriksaan kehamilan 4 kali, pertolongan persalinan normal dan dengan komplikasi, pemeriksaan nifas 3 kali termasuk pelayanan neonatus dan KB paska persalinan, pelayanan rujukan ibu/bayi baru lahir ke fasilitas kesehatan lebih mampu (Pusat Komunikasi Publik Kemenkes RI, 2011).Menurut Menkes terkait strategi penguatan Puskesmas dan jaringannya dilakukan dengan menyediakan paket pelayanan kesehatan reproduksi (kespro) esensial yang dapat menjangkau dan dijangkau oleh seluruh masyarakat, meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, yaitu: Kesehatan ibu dan bayi baru lahir, KB, kespro remaja, Pencegahan dan penanggulangan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS; dan mengintegrasikan pelayanan kespro dengan pelayanan kesehatan lainnya yaitu dengan program gizi, penyakit menular dan tidak menular.Kemampuan Puskesmas dan jaringannya dalam memberikan paket dasar tersebut akan ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan masalah kesehatan setempat. Pada saat ini ada 9.005 Puskesmas, terdiri dari Puskesmas non tempat tidur (TT), Puskesmas TT PONED (pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar) dan Puskesmas TT non PONED, yang tersebar di seluruh kecamatan di Indonesia. Puskesmas pembantu dan pos kesehatan desa yang ada di desa-desa, akan lebih difungsikan dalam memberikan pelayanan KIA dan KB yang bersifat promotif, preventif dan pengobatan sederhana termasuk deteksi dini faktor risiko dan penyiapan rujukannya.Pemerintah harus mengambil tindakan untuk segera meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan. Kebijakan untuk memberikan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan dan remaja harus segera diberikan. Selain itu, kebijakan anggaran kesehatan, khususnya kesehatan perempuan pun harus menjadi komitmen pemerintah untuk menjalankan amanah Undang-Undang Kesehatan. Semakin lambat kebijakan tersebut diberikan dapat dipastikan angka KTD dan AKI di Indonesia akan terus meningkat. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan pasca 2015 di Indonesia antara lain: Memiliki persepsi bahwa kesehatan merupakan hak asasi setiap warga negara

Pemerintah berkomitmen mengalokasikan dana kesehatan 5% APBN 2013 serta memastikan daerah-daerah untuk menganggarkan 10% APBD untuk kesehatan diluar gaji

Memastikan bahwa 2/3 dari total anggaran kesehatan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan bukan untuk insfrastruktur seperti yang selama ini banyak dilakukan pemerintah daerah

Pemerintah membuat kebijakan mengenai anggaran untuk meningkatkan kesehatan perempuan, misalnya dengan mengharuskan 20% anggaran kesehatan untuk kegiatan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan memastikan anggaran tersebut tepat sasaran

Penyediaan fasilitas pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif (PONEK), pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED), posyandu dan unit transfusi darah yang belum merata dan belum seluruhnya terjangkau oleh seluruh penduduk

Menjamin kebutuhan tenaga kesehatan di daerah terpencil, untuk mendukung kinerja mereka sebagai ujung tombak pemberi pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan melahirkan

Memastikan sistem rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit berjalan optimal

Memperbaiki infrastruktur jalan dan fasilitas kesehatan sebagai upaya multisektor

Memperbaiki sistem pencatatan terkait upaya penurunan AKI di Indonesia sehingga data yang ditampilkan menggambarkan kondisi kesehatan perempuan Indonesia saat ini.

Memasukkan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi (melalui pendidikan kesehatan reproduksi) untuk remaja dan perempuan ke dalam indikator SPM serta mengupayakan tersedianya layanan kesehatan reproduksi remaja di Puskesmas yang secara aktif juga memberikan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah sesuai jenjang pendidikan

Membentuk peer conseling untuk remaja terkait kesehatan reproduksi

Menyediakan fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan aman untuk pemulihan haid

Menghapus praktik aborsi tidak aman yang berpotensi menyebabkan AKI di Indonesia

Melakukan pendekatan budaya kepada masyarakat untuk mengubah pola pikir agar permasalahan kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi remaja, merupakan masalah bersama dan tidak lagi menganggapnya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan

Pemerintah tidak hanya menggunakan indikator angka sebagai target tetapi juga indikator input dan proses seperti penetapan anggaran kesehatan perempuan, pemerataan jumlah tenaga kesehatan yang terjangkau, serta pendidikan kesehatan reproduksi untuk perempuan.

Upaya akselerasi pencapaian MDGs tidak mungkin hanya dilakukan oleh sektor kesehatan saja. Stakehorders terkait juga memiliki peran dan tanggungjawab yang sama besarnya (Direktorat Bina Kesehatan Ibu Kemenkes RI, 2013).

Gambar 2.10 Pencapaian Indikator MDGs lintas sektoral