l carnosine

52
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan yang dipahami sebagai proses alami telah menjadi fenomena global. Problematika ini terjadi akibat transisi demografi penduduk dunia, yaitu terjadinya pergeseran pola high fertility/high mortility menjadi pola low fertility/low mortality. Dalam transisi ini, terdapat rasio yang signifikan antara jumlah penduduk dunia dengan usia 65 tahun atau lebih dengan penduduk usia di bawah 15 tahun. Berdasarkan proyeksi pada tahun 2025, jumlah populasi usia 65 tahun atau lebih akan meningkat sebesar 82 % dan peningkatan presentasi dari neonatus hanya 3 %. Hal ini dipertegas oleh hasil analisis American Academy of Anti-Aging Medicine, dimana terjadi peningkatan jumlah penduduk usia lanjut pada tahun 2000 sebesar 795.000 per bulan menjadi 847.000 per bulan pada proyeksi tahun 2010 (Goldman, 2002). Pemusatan penduduk dunia pada populasi usia lanjut berimplikasi pada peningkatan morbiditas akibat penyakit degeneratif. Tercatat 54 % kelompok usia lanjut berada dalam kategori tidak produktif dengan kualitas hidup yang rendah (Gooren, 2001; Evert, 2006). Berdasarkan analisis dan perbandingan data, perkembangan penyakit degeneratif berbanding lurus

Upload: raka-black

Post on 06-Aug-2015

92 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: l Carnosine

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penuaan yang dipahami sebagai proses alami telah menjadi fenomena global.

Problematika ini terjadi akibat transisi demografi penduduk dunia, yaitu terjadinya

pergeseran pola high fertility/high mortility menjadi pola low fertility/low

mortality. Dalam transisi ini, terdapat rasio yang signifikan antara jumlah

penduduk dunia dengan usia 65 tahun atau lebih dengan penduduk usia di bawah

15 tahun. Berdasarkan proyeksi pada tahun 2025, jumlah populasi usia 65 tahun

atau lebih akan meningkat sebesar 82 % dan peningkatan presentasi dari neonatus

hanya 3 %. Hal ini dipertegas oleh hasil analisis American Academy of Anti-Aging

Medicine, dimana terjadi peningkatan jumlah penduduk usia lanjut pada tahun

2000 sebesar 795.000 per bulan menjadi 847.000 per bulan pada proyeksi tahun

2010 (Goldman, 2002). Pemusatan penduduk dunia pada populasi usia lanjut

berimplikasi pada peningkatan morbiditas akibat penyakit degeneratif. Tercatat 54

% kelompok usia lanjut berada dalam kategori tidak produktif dengan kualitas

hidup yang rendah (Gooren, 2001; Evert, 2006).

Berdasarkan analisis dan perbandingan data, perkembangan penyakit degeneratif

berbanding lurus dengan peningkatan populasi usia lanjut dan usia harapan hidup

(Pangkahila, 2007). Hal ini riskan bagi Indonesia dengan populasi usia lanjut

terbesar ketiga di dunia. Usia harapan hidup penduduk Indonesia berdasarkan

Human Development Report UNDP tahun 2005 adalah sebesar 66,8 untuk laki –

laki dan perempuan. Angka ini cenderung meningkat hingga mencapai usia

harapan hidup maksimum sebesar 100 tahun. Pada awal tahun 1990, usia harapan

hidup yang rendah masih dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Namun, dalam

pertambahan usia harapan hidup, perkembangan penyakit degeneratif meningkat

signifikan (Goldman dan Kaltz, 2002). Penyakit degeneratif diidentifikasi sebagai

pandemi terbaru penyebab kematian terbesar di Indonesia (Perkeni, 2006).

Page 2: l Carnosine

Berdasarkan studi epidemologi terbaru, perkembangan penyakit degeneratif di

Indonesia telah memasuki epidemi diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus tipe 2

merupakan model biologis penuaan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang

tinggi. American Academy of Anti Aging Medicine mengklasifikasikan diabetes

melitus tipe 2 sebagai penyakit kronis utama dengan gangguan endokrinologi.

Berdasarkan ATP III (Adult Treatment Panel III), diabetes melitus tipe 2

merupakan faktor resiko utama Mayor Chronic Diseases (MCD), seperti penyakit

jantung koroner, stroke, peripheral neuropathy, nephropathy, dan retinopathy.

Menurut International Diabetes Federation (IDF), 75 % kematian pada penderita

diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh penyakit komplikasinya (Williams, 2008).

Prevalensi diabetes melitus khususnya diabetes melitus tipe 2 mengalami

peningkatan tajam. Menurut laporan WHO, jumlah penderita diabetes di seluruh

dunia pada tahun 2000 mencapai 171 juta orang dan diprediksi akan mencapai

366 juta orang pada tahun 2030 atau mengalami peningkatan sebesar 114%.

Dalam kurun waktu yang sama terjadi peningkatan prevalensi sebesar 141 % pada

penduduk di benua Asia. Dari keseluruhan prevalensi diabetes melitus di dunia,

90 % merupakan prevalensi diabetes melitus tipe 2. Terkait penuaan, 95 % dari

keseluruhan diagnosis diabetes melitus tipe 2 terjadi pada orang dewasa sebagai

gejala klinis penuaan (IDF, 2007).

Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes terbesar

di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Pada tahun 1995, dengan

prevalensi 8,4% dari total penduduk, terdapat 4,5 juta penderita diabetes melitus

tipe 2. Dengan adanya transisi demografi di Indonesia, prevalensi diabetes melitus

tipe 2 diprediksikan mengalami peningkatan mencapai 12,4 juta penderita pada

tahun 2025 (Pratiwi, 2007). Diabetes melitus tipe 2 merupakan gangguan

endokrinologi penyebab kematian terbesar keempat di Indonesia (Perkeni, 2007).

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan penurunan produksi insulin dan

penurunan aktivitas insulin ataupun kedua hal tersebut. Patogenesis diabetes

melitus tipe 2 mencakup resistensi insulin yang menginisiasi serangkaian

abnormalitas metabolik pada hati, kelainan kelenjar pulau langerhans penkreas,

serta target insulin periferal. Serangkaian abnormalitas metabolik tersebut

2

Page 3: l Carnosine

melibatkan beberapa jalur penting meliputi aktivitas sitokin (seperti TNF-α, IL-

1β, dan IL-6), faktor transkripsi NF-kB, glikasi serta radikal bebas (Thevenod,

2008).

Dalam pengobatan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia, terdapat 50% penderita

yang belum terdiagnosis. Pada penderita yang telah terdiagnosis, hanya dua

pertiga yang mendapat penanganan baik farmakologis maupun non farmakologis.

Di antara kelompok yang memperoleh penanganan, hanya sepertiga yang mampu

ditekan komplikasinya (Perkeni, 2007).

Permasalahan utama dalam penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2

saat ini adalah resistensi insulin. Menurut IDF (2008), hingga saat ini belum

ditemukan pengobatan yang mampu mengatasi resistensi insulin secara tuntas.

Padahal, pemulihan sensitivitas reseptor terhadap insulin merupakan kunci utama

dalam penyembuhan diabetes melitus tipe 2. Dewasa ini, resistensi insulin dan

status resistensi insulin merupakan isu global yang sedang diperdebatkan dan

secara gencar diteliti. Penatalaksanaan resistensi insulin dengan status resistensi

yang belum pasti berpotensi menjadi pengobatan beresiko tinggi bagi penderita.

Penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 selama ini menggunakan terapi awal yang

berperan dalam memicu sekresi insulin, menambah sensitivitas terhadap insulin,

dan menghambat glukoneogenesis seperti sulfonilurea, glinid, tiazolidindion, serta

metformin. Namun, dalam menimbulkan efek, terapi tersebut memerlukan

pemberian yang bersamaan sebab diidentifikasi memiliki farmakodinamik yang

saling melengkapi. Karakteristik ini memicu kombinasi buruk atas efek samping

yang diberikan, berupa diare, edema, dispepsia, asidosis laktat, hingga

hipoglikemia. Terapi ini belum terbukti memulihkan fungsi struktural reseptor

insulin sebagai mekanisme utama penanganan resistensi insulin (Perkeni, 2006).

Terapi insulin beserta variannya merupakan modalitas terapi utama diabetes

militus tipe 2 saat ini. Pada beberapa penanganan, insulin dijadikan sebagai terapi

akhir. Namun, sampai saat ini waktu pemberian insulin yang tepat masih

kontroversial. Hal ini dikarenakan belum adanya pengukuran yang pasti atas

status resistensi insulin. Status resistensi insulin penderita yang bervariasi

3

Page 4: l Carnosine

mempertinggi resiko hipoglikemia. Disamping itu, berdasarkan penelitian Marrete

dan Jian Sun (2008), peranan insulin sangat dominan dalam penurunan kadar

glukosa darah namun belum mampu mengurangi resistensi insulin. Kemudian,

sifat mitogenik insulin meningkatkan akumulasi agregat amiloid dalam memicu

kerusakan sel β pankreas. Dewasa ini, terapi insulin dikategorikan sebagai

pengobatan beresiko tinggi (high risk medication) (Perkeni, 2007).

Peranan biomarker penuaan dalam penanganan sejumlah penyakit degeneratif

akibat penuaan mulai gencar diteliti termasuk dalam penatalaksanaan diabetes

melitus tipe 2. L-Carnosine merupakan biomarker penuaan yang baru ditemukan

dan berperan penting dalam proses penuaan. L-Carnosine ditemukan pada sel

yang berumur panjang dan tidak mengalami proliferasi, seperti sel saraf dan sel

otot rangka. Dalam Traj (2001) disebutkan bahwa kadar L-Carnosine berbanding

lurus dengan penurunan fungsi fisiologis tubuh. Kadar L-Carnosine mengalami

penurunan sebesar 63% dalam rentang umur 10 tahun sampai 70 tahun. Sebuah

clinical trial oleh Ward Dean (2004) menunjukkan bahwa L-Carnosine mampu

meremajakan kembali jaringan ikat kulit mencit yang sudah tua, serta

memperbaiki fungsi penglihatan mencit. Pada berbagai penelitian, L-Carnosine

diidentifikasi berperan sebagai radioprotektan, antioksidan, antiglikasi, anti cross

linker, mitochondrial resuscitation, neuroprotector, antineoplasmic, hingga

pencegahan ischemic heart damage (Dean, 2004).

Kesesuaian patogenesis diabetes melitus tipe 2 dengan potensi L-Carnosine

sebagai antiglikasi, chelating agent, dan antioksidan mendasari pemanfaatan L-

Carnosine dalam menangani resistensi insulin dan implikasinya dalam

patogenesis diabetes melitus tipe 2.

Mekanisme L-Carnosine sebagai antiglikasi mencegah reaksi glikasi dan menekan

aktivitas produk akhir glikasi dalam bentuk AGEs. AGEs memiliki kemampuan

berikatan dengan sesama AGEs dan protein terdehidrasi tinggi dalam memicu

kerusakan reseptor insulin jaringan (resistensi insulin) serta amiloid pada

disfungsi sel β pankreas. Pada reaksi glikasi L-Carnosine berperan sebagai

inhibitor kompetitif bagi substrat glikasi, disosiasi protein terglikasi, dan

memfasilitasi penempelan AGEs pada reseptornya (RAGE) (Alice, 2008).

4

Page 5: l Carnosine

Selain sebagai antiglikasi, L-Carnosine memiliki aktivitas chelating agent berupa

kemampuan berikatan kuat dengan ion logam transisi seperti Zn2+. Kompleks L-

Carnosine-Zn2+ meningkatkan produksi protein HSP 72 dan down regulasi NF-kβ.

Kaskade lanjutannya adalah downregulasi IL-6 maupun IL-1β yang meningkatkan

SOCS sehingga memungkinkan terjadinya fosforilasi IRS1 dan IRS2 yang

berperan penting dalam menekan resistensi insulin (Odhasima, 2006).

Fungsi lain L-Carnosine adalah sebagai antioksidan. Penelitian Yuanti-lee (2005)

menunjukkan bahwa pemberian L-Carnosine yang dilakukan pada tikus diabetik,

terbukti menunjukkan aktivitas antioksidan dalam menurunkan resistensi insulin

dan menurunkan kadar lipid dalam darah serta mencegah oksidasi LDL. L-

Carnosine memiliki kemampuan berikatan dengan ion logam transisi seperti

tembaga (Cu2+) atau besi (Fe2+) sehingga dapat berperan sebagai scavenger

enzyme dalam mengendalikan ROS yang bertanggung jawab dalam resistensi

insulin.

Perpaduan efek antiglikasi, antioksidan, dan chelating agent dalam

penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu inovasi yang belum

pernah dikaji sebelumnya. Penemuan cDNA L-Carnosine memberikan suatu

inovasi teknologi produksi yang mengintegrasikan DNA Rekombinan dengan

Membrane Separation Technology. Oleh karena itu sangat menarik dilakukan

pengkajian secara komprehensif mengenai potensi L-Carnosine dalam

penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang dikaji dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah mekanisme kerja L-Carnosine sebagai antiglikasi, chelating

agent, dan antioksidan terhadap patogenesis diabetes melitus tipe 2?

2. Bagaimanakah teknologi produksi L-Carnosine sehingga dapat dikonsumsi

sebagai obat dalam penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2?

3. Bagaimanakah mekanisme terapi L-Carnosine pada penatalaksanaan

farmakologis diabetes melitus tipe 2 ?

4. Bagaimanakah analisis manfaat L-Carnosine sebagai modalitas terapi dalam

penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2?

5

Page 6: l Carnosine

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai

berikut.

1. Mengetahui mekanisme kerja L-Carnosine sebagai antiglikasi, chelating

agent, dan antioksidan terhadap patogenesis diabetes melitus tipe 2.

2. Mengetahui teknologi produksi L-Carnosine sehingga dapat dikonsumsi

sebagai obat dalam penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2

3. Mengetahui mekanisme terapi L-Carnosine pada penatalaksanaan

farmakologis diabetes melitus tipe 2.

4. Mengetahui analisis manfaat L-Carnosine sebagai modalitas terapi dalam

penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2.

1.4 Manfaat Penulisan

Hasil penulisan karya tulis ini, diharapkan dapat:

1. Memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu kedokteran anti

penuaan/Anti Aging Medicine dengan mengajukan L-Carnosine sebagai

biomarker penuaan, mulai dari deteksi dini, pencegahan, pengobatan, hingga

pemulihan kembali fungsi organ tubuh yang menurun akibat perkembangan

penyakit degeneratif. Dengan demikian, kualitas hidup masyarakat dapat

ditingkatkan.

2. Memperkaya khazanah medis Indonesia dan dunia dalam penatalaksanaan

diabetes melitus tipe 2 dengan mengajukan L-Carnosine sebagai modalitas

terapi terbaru melalui perpaduan mekanisme antiglikasi, chelating agent, dan

antioksidan. Hal ini penting dalam menekan prevalensi dan insiden diabetes

melitus tipe 2 yang progresif.

3. Memberikan suatu rancangan inovasi bioteknologi yang memadukan

teknologi DNA rekombinan dan Membrane Separation Technology dalam

memproduksi L-Carnosine sehingga dapat dikaji aplikasinya untuk

menghasilkan suatu produk L-Carnosine yang dapat dikonsumsi oleh

masyarakat luas.

4. Memberikan sumbangsih dalam mendukung berbagai program strategis

pemerintah dalam peningkatan pelayanan kesehatan di Indonesia sehingga

pada nantinya dapat meningkatkan Human Development Index Indonesia.

6

Page 7: l Carnosine

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Farmakokinetik L-Carnosine

L-Carnosine (β-alanyl-L-Histidine) adalah senyawa dipeptida yang terdapat

secara alami di dalam tubuh. L-Carnosine bersifat polar dan hidrofilik sehingga

dapat larut dengan mudah dalam air. L-Carnosine dapat larut dengan mudah

dalam plasma darah maupun cairan interstisial. L-Carnosine dibentuk oleh enzim

Carnosine-synthetase yang berikatan dengan asam amino alanin dan histidine.

Kadar L-Carnosine diregulasi oleh enzim carnisinase, yang berfungsi untuk

mendegradasi carnosine menjadi komponennya.

L-Carnosine diidentifikasi sebagai biomarker pada proses penuaan. Konsentrasi

L-Carnosine menurun seiring dengan bertambahnya usia kronologis seseorang.

Telah dibuktikan bahwa kadar L-Carnosine dalam tubuh menurun sebesar 63%

dalam rentang umur 10 tahun sampai 70 tahun. Hasil penelitian PS Niber (2008)

menunjukkan bahwa sel jaringan ikat kulit orang tua yang diinkubasi dalam

larutan L-Carnosine mengalami perubahan struktur sehingga strukturnya kembali

menyerupai sel jaringan ikat kulit pada bayi. Pada berbagai penelitian L-

Carnosine terbukti memiliki aktivitas antineoplasmik, antioksidan, antiglikasi,

anticrosslinker, radioprotektan, chelating agent, aldehide scavenger, ROS

scavenger, mitochondria resuscitation, homeostasis restorer, buffer pH, serta

neurotransmitter (Dean, 2004).

Gambar 1. Struktur Kimia L-Carnosine (Ward Dean, 2004)

7

Page 8: l Carnosine

L-Carnosine merupakan salah satu substansi utama dalam memperpanjang usia

kronologis. Oleh karena itu, L-Carnosine dapat ditemukan dalam konsentrasi

tinggi pada sel yang berumur panjang dan tidak berproliferasi seperti pada

jaringan neuronal dan jaringan otot rangka. Secara berurutan, L-Carnosine pada

kadar tinggi terdapat pada sel otot rangka dan sel saraf manusia, kuda, sapi,

unggas, serta mencit (Niber, 2008).

Farmakokinetik L-Carnosine meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan

ekskresi. Secara rinci, farmakokinetik bahan alami L-Carnosine dapat dijabarkan

sebagai berikut.

1. Absorpsi dan bioavailabilitas

Administrasi L-Carnosine yang direkomendasikan adalah per oral, dengan

alasan efisiensi dan first pass effect yang rendah. Pemberian L-Carnosine

murni memiliki bioavailabilitas mencapai lebih dari 70% (Soriento dan

Pastore, 2007). Pada pemberian secara oral, terjadi sangat sedikit pencernaan

oleh enzim dipeptidase pada usus halus. Hal ini disebabkan oleh laju abrsobsi

L-Carnosine yang tinggi dan ditunjang oleh kemampuan sel epitel usus halus

dalam menyerap dipeptida (Raven and Johnson, 2003). Mekanisme

penyerapan L-Carnosine yang terjadi pada usus halus berlangsung dalam

transport aktif sekunder dengan mekanisme kotransport bersama H+ melalui

carrier protein pada membran sel epitelial usus halus.

2. Distribusi

L-Carnosine didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. L-

Carnosine memiliki kelarutan yang cukup tinggi pada darah, sehingga dapat

dengan mudah terdistribusi ke seluruh tubuh. L-Carnosine diabsorpsi oleh sel

target dengan menggunakan mekanisme yang sama dengan absorbsi pada usus

halus yaitu dengan menggunakan kotranspor H+.

3. Biotransformasi

L-Carnosine dimetabolisasi melalui dua jalur. Pada jalur pertama, L-

Carnosine mengalami metilasi sehingga mengalami perubahan menjadi

anserine dan ophidine. Kedua substansi ini selanjutnya akan diubah lagi

menjadi metilhistidine. Anserine juga dapat menjadi substrat dalam sintesis

carcinine (L-Carnosine analog pada otot jantung). Kemudian, pada jalur

8

Page 9: l Carnosine

kedua, L-Carnosine didegradasi oleh enzim carnosinase yang terdapat dalam

jaringan maupun plasma darah. Hasil degradasi L-Carnosine berupa β-alanin

dan histidine. β-alanin berperan dalam sintesis CoA, asam nukleat, dan

stimulasi sintesis kolagen. Selanjutnya, histidine mengalami dekarboksilasi

menjadi histamin. Histamin merupakan mediator inflamasi, yang hanya akan

dihasilkan apabila terjadi respon imun yang diperantarai oleh antigen.

Histamin juga dapat menjadi substrat dalam proses sintesis carcinine.

(Babizhayef, 2004).

4. Ekskresi

L-Carnosine dalam bentuk asli dan metabolit dikeluarkan dari tubuh melalui

berbagai organ ekskresi. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting.

2.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 merupakan gangguan endokrinologi dengan faktor resiko

utama yang terdiri atas faktor genetik, obesitas dan lingkungan. 80% faktor resiko

diabetes melitus tipe 2 merupakan penderita obesitas (Perkeni, 2006). Pada

penderita obesitas terjadi hipertropi dan hiperplasia sel adiposa yang

menyebabkan disekresikannya MCP-1, TNF-α, FFA dan IL-6 (Joshi SV, 2008).

MCP-1 menyebabkan terjadinya infiltrasi makrofag pada jaringan adiposa dan

FFA akan merangsang makrofag untuk menghasilkan TNF-α. Peningkatan TNF-

α memicu lipolisis, dan peningkatan kadar sitokin inflamasi seperti IL-1β, dan

IL-6. Produksi IL-1β, dan IL-6 yang berperan penting dalam resistensi insulin

(Meyerhoff, 2005). Patogenesis diabetes melitus tipe 2 mencakup resistensi

insulin yang disertai disfungsi sel β pankreas.Terdapat tiga faktor utama yang

diyakini memicu resistensi insulin dan disfungsi sel β pankreas, meliputi:

1. Glikasi abnormal pada status hiperglikemia

Glikasi merupakan suatu proses perikatan antara gula atau oligosakarida

dengan protein terdehidrasi tinggi. Pada umumnya, glikasi merupakan suatu

tahapan proses post translasional pada aparatus golgi. Namun, pada kondisi

hiperglikemia glikasi mengalami peningkatan dan menyimpang dari jalur post

translasional (Fall, 2008). Glikasi tidak dikatalisis oleh enzim tetapi oleh

badan keton/aldehida reaktif yang dihasilkan oleh reaksi antara radikal bebas

9

Page 10: l Carnosine

dengan molekul sel seperti lipid, protein, maupun sakarida. Hasil akhir dari

reaksi ini adalah keluarga molekul yang dinamakan AGEs (Higuchi, 2008).

AGEs dapat berikatan silang dengan reseptor insulin yang menyebabkan

perubahan konformasi pada reseptor sehingga reseptor insulin kehilangan

sensitivitas terhadap insulin. Selain itu, AGEs dapat berikatan silang dengan

molekul relai yang terlibat dalam kaskade pensinyalan insulin sehingga

walaupun reseptor insulin masih berfungsi dengan baik, sinyal tidak dapat

diteruskan ke dalam sel karena tidak berfungsinya molekul relai (Huyton,

2008).

Gambar 2. Mekanisme Pembentukan AGEs (Butler, 2002)

Ikatan AGEs dengan protein sangat sulit didegradasi oleh sistem ubiquitin

proteasom. Akumulasi ikatan AGEs dan protein menghambat jalur

metabolisme dalam produksi ATP. Penurunan produksi ATP menghambat

sekresi insulin oleh sel beta pancreas (impaired insulin secretion) dan

berkurangnya aktivitas pompa NA+/K+, pompa Na+, dan pompa Ca2+ pada sel.

Akibatnya, Ca2+ dan Na+ terakumulasi dalam sel. Akumulasi Ca2+ memiliki

dampak yang merusak bagi sel karena Ca2+ dapat mengaktivasi enzim

phospholipase, protease, dan juga nuklease yang berperan dalam nekrosis dan

apoptosis sel β pankreas (Alice, 2008).

AGEs memegang peranan penting dalam pembentukan amiloid pada pulau

langerhans pankreas. AGEs menyebabkan terjadinya kebocoran protein RE

kasar sel β pankreas menuju sitosol. Kebanyakan protein RE kasar belum

sepenuhnya terlipat secara benar sehingga kebocoran yang ditimbulkan oleh

AGEs akan meningkatkan laju pembentukan IAPP. Selain itu, AGEs juga

10

Page 11: l Carnosine

menyebabkan terjadinya modifikasi kovalen dari APP yang akan memperkuat

ikatan antar APP dalam proses pembentukan IAPP sehingga amiloid menjadi

sulit untuk didegradasi. Akumulasi amloid secara bertahap akan menggantikan

masa sel β pankreas (Robinson, 2008).

2. Aktivitas ion logam transisi

Zinc (Zn2+), besi (Fe2+), tembaga (Cu2+), dan mangan (Mn2+) merupakan ion

logam transisi yang memegang peranan penting dalam tubuh, misalnya

sebagai kofaktor (Mn2+,Cu2+) dan sebagai oxygen carrier (Fe2+). Sebagian

besar logam transisi tersebut berikatan dengan protein spesifik pada plasma

darah seperti seruloplasmin yang mengikat tembaga. Meskipun logam transisi

telah berikatan dengan protein plasma, masih terdapat sejumlah ion logam

yang terlarut bebas dalam plasma. Ion-ion logam transisi ini dapat

mengkatalisis suatu reaksi yang menghasilkan ROS serta senyawa karbonil

reaktif yang berperan dalam mekanisme glikasi, dan double strand break

(Guernsey, 2004).

Gambar 3. Reaksi Pembentukan Radikal Bebas oleh Ion Logam Transisi

Cu2+ (Rattan, 2007)

Ion logam transisi juga merupakan komponen yang penting dalam

pembentukan agregat amiloid. Dalam agregasi amiloid, amilin memerlukan

ion logam transisi sebagai ligan dalam memperantarai ikatan antar amilin.

Struktur ini serupa dengan protein kadherin (salah satu jenis protein adhesif)

yang memerlukan ion kalsium untuk menempel pada molekul kadherin

lainnya. Zn2+ merupakan molekul yang paling efektif dalam menginduksi

agregasi amiloid. Zn2+ berikatan dengan residu histidine pada protein amilin

dan membentuk histidine binding motif. Telah dibuktikan melalui penelitian

11

Page 12: l Carnosine

Iversen dan Mortishire (1995), bahwa pembentukan plak amiloid yang

menggunakan Zn2+ sebagai ligan lebih cepat tiga kali secara in vitro daripada

penambahan Fe2+ dan Al3+.

3. Stress oksidatif

Status hiperglikemia pada diabetes melitus tipe 2 berpengaruh dalam

peningkatan stress oxidative. Peningkatan kadar glukosa darah menyebabkan

meningkatnya aktivitas enzim metabolisme sehingga meningkatkan kecepatan

respirasi oksidatif. Peningkatan kecepatan respirasi ini menyebabkan

peningkatan produksi ROS dalam bentuk oksidan O2., OH., dan H2O2. Kadar

ROS berlebih memicu stress oxidative dimana oksidan berbasis oksigen

melebihi kapasitas yang dapat dinetralisir oleh anti oksidan endogen (SOD,

Glutathione, dan Reaksi fenton) (Hayden, 2005).

Peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA) dalam darah yang menyertai

diabetes mellitus tipe 2 juga dapat menyebabkan timbulnya stress oxidative

pada sel beta pankreas. FFA menimbulkan stress oksidatif dalam dua jalur,

meliputi:

a. Metabolisasi asam lemak oleh peroksisom.

Proses ini menyebabkan terbentuknya H2O2 yang merupakan radikal

bebas. Dalam keadaan normal, H2O2 akan segera didegradasi oleh enzim

katalase menjadi H2O dan O2. Tetapi, pada kondisi FFA berlebih produksi

H2O2 akan meningkat hingga melebihi kapasitas yang dapat dikompensasi

oleh peroksisom.

b. Stimulasi produksi TNF α oleh makrofag dan sel adipose.

Telah dibuktikan bahwa FFA dapat berperan sebagai ligan

(Zechner,2008). FFA berperan sebagai ligan dalam pada jalur transduksi

sinyal yang dipicu TNF α dalam produksi radikal bebas. Dua protein

utama yang memegang peranan penting dalam produksi radikal bebas

adalah RIP1 dan NOX1. RIP1 menyebabkan terjadinya disfungsi

mitokondria berupa terjadinya transport elektron yang tidak berpasangan

sehingga menghasilkan radikal bebas dalam bentuk superoksida (O2*).

NOX1 juga menghasilkan superoksida tetapi berbeda dengan RIP1, NOX1

12

Page 13: l Carnosine

menghasilkan superoksida ekstraseluler. Superoksida ektraseluler ini

selanjutnya akan diubah menjadi H2O2 dan dapat berdifusi masuk ke dalam

sel (Robinson,2005).

Gambar 4. Mekanisme Produksi Radikal Bebas yang Diinduksi TNF-α

(Hayden, 2005)

2.3 Penatalaksanaan Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2

Berdasarkan Panduan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2007),

penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2 baru dapat diberikan jika

sasaran penurunan kadar glukosa belum dicapai dengan TGM dan latihan jasmani.

Jenis penatalaksanaan yang diberikan adalah sebagai berikut.

1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan mekanisme kerjanya, OHO digolongkan menjadi empat,

meliputi:

a.pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue); sulfonilurea dan glinid

b. penambah sensitivitas terhadap insulin; metformin, tiazolidindion

c.penghambat glukoneogenesis; metformin

d.penghambat glukosidase alfa; acarbose.

2. Terapi insulin

Pemberian terapi insulin didasari oleh adanya defisiensi insulin basal yakni

hiperglikemia pada keadaan puasa (puasa diartikan tidak mendapat kalori

13

Page 14: l Carnosine

tambahan sedikitnya 8 jam) dan defisiensi insulin prandial yaitu hiperglikemia

setelah makan. Sekresi insulin diupayakan menyerupai sekresi insulin

fisiologis yaitu sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin dapat

diberikan secara tunggal berupa: insulin kerja cepat (rapid acting), kerja

pendek (shorting acting insulin), kerja menengah (intermediate acting), kerja

panjang (long acting) serta insulin campuran tetap (premixed insulin).

3. Terapi kombinasi

Pemberian insulin dapat dikombinasikan dengan OHO yang dimulai dengan

dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon

kadar glukosa. Untuk terapi insulin dan OHO, insulin yang sebagian besar

dipergunakan adalah insulin basal. Pada terapi OHO dengan kombinasi, harus

dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme berbeda.

Pada pasien dengan alasan klinik dimana insulin tidak dapat diberikan, maka

dapat diberikan terapi kombinasi dengan tiga OHO.

2.4 Kendala Intervensi Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2

Berdasarkan konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006), kendala

intervensi farmakologis diabetes melitus tipe 2 terbagi dalam dua permasalahan,

yaitu penyulit akut dan penyulit menahun. Penyulit akut terdiri atas ketoasidosis

diabetik, hiperosmolar non ketotik, dan hipoglikemi. Kemudian penyulit menahun

mencakup makroangiopati, mikroangiopati, dan neuropati.

Pada dasarnya, kendala utama intervensi farmakologis diabetes melitus tipe 2

adalah resistensi insulin dan belum adanya pengukuran yang pasti terhadap

resistensi insulin. Menurut International Diabetes Federation (2008), hingga saat

ini resistensi insulin masih menjadi permasalahan utama dalam intervensi

farmakologis diabetes melitus tipe 2. Belum ditemukan penatalaksanaan yang

mampu menangani resistensi insulin secara tuntas. Status resistensi insulin pada

penderita masih merupakan konstroversi. Adapun kendala dalam penatalaksanaan

farmakologis selama ini adalah sebagai berikut.

1. Penatalaksanaan dengan OHO selama ini, seperti sulfonilurea, glinid,

tiazolidindion, serta metformin memerlukan pemberian yang bersamaan sebab

diidentifikasi memiliki farmakodinamik yang saling melengkapi. Karakteristik

14

Page 15: l Carnosine

ini memicu kombinasi buruk atas efek samping yang diberikan, berupa diare,

edema, dispepsia, asidosis laktat, hingga hipoglikemik. Berdasarkan evaluasi

terapi dengan indikator A1C, didapati terjadi penurunan A1C hanya dalam

rentang 1,3% – 2% (Perkeni, 2006).

2. Penatalaksanaan dengan terapi insulin berada dalam kategori pengobatan

beresiko tinggi (High Risk Medication) (IDF, 2008). Hal tersebut didasari oleh

beberapa faktor sebagai berikut.

a. Status resistensi insulin yang belum pasti, menimbulkan kesulitan dalam

penentuan waktu pemberian insulin. Kesalahan dalam pemberian insulin

pada status resistensi insulin dan perkembangan penyakit yang belum jelas

diidentifikasi menyebabkan hipoglikemi hingga kematian (Perkeni, 2006).

b. Berdasarkan penelitian Marrete dan Jian Sun (2008), peranan insulin

sangat dominan dalam penurunan kadar glukosa darah namun belum

mampu mengurangi resistensi insulin. Hal ini dikarenakan oleh ketidak

mampuan insulin dalam menekan sitokin TNF-α dan aktivitas glikasi

abnormal.

c. Insulin merupakan suatu hormon dengan karakteristi mitogenik. Sifat ini

berpotensi memicu perkembangan agregat amiloid dan meningkatkan

akumulasi agregat amiloid dalam memicu kerusakan sel β pankreas

(Perkeni, 2007).

15

Page 16: l Carnosine

BAB III

METODE PENULISAN

3.1 Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah sumber pustaka yang

relevan dengan topik permasalahan yang dibahas. Sumber pustaka yang

dipergunakan memiliki validitas dan relevansi yang dapat dipertanggungjawabkan

Jenis data yang diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif maupun

kuantitatif.

3.2 Pengumpulan Data

Dalam penulisan karya ilmiah ini digunakan metode studi pustaka yang

didasarkan atas hasil pengkajian terhadap berbagai literatur yang telah teruji

validitasnya, berhubungan satu sama lain, relevan dengan kajian tulisan serta

mendukung uraian atau analisis pembahasan.

3.3 Analisis Data

Setelah data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan data dengan

menyusun secara sistematis dan logis. Teknik analisis data yang dipergunakan

adalah analisis deskriptif argumentatif untuk menggambarkan pemanfaatan L-

Carnosine sebagai antiglikasi, chelating agent, dan antioksidan dalam

penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 serta rancangan teknologi integrasi DNA

rekombinan dan Membran Seperation Technology.

3.4 Penarikan Simpulan

Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menghimpun dan

menghubungkan rumusan masalah, tujuan penulisan serta pembahasan.

Berikutnya ditarik kesimpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan

beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan.

16

Page 17: l Carnosine

L-Carnosine

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Mekanisme Kerja L-Carnosine Sebagai Antiglikasi, Chelating Agent dan

Antioksidan terhadap Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

4.1.1 Mekanisme L-Carnosine sebagai Antiglikasi terhadap Patogenesis Diabetes

Melitus Tipe 2

Aktivitas L-Carnosine dalam mengatasi glikasi dan AGEs adalah sebagai

inhibitor kompetitif dalam reaksi glikasi. L-Carnosine mencegah glikasi

dengan cara menggantikan protein fungsional sebagai substrat dalam proses

glikasi. Struktur yang identik antara L-Carnosine dengan Lisin-Histidine

menyebabkan L-Carnosine bereaksi secara cepat dengan gula pereduksi. Hal

ini dikarenakan struktur lisin pada Lisin-Histidine merupkan target primer

dalam proses glikasi (Dean, 2004).

Gambar 5. Mekanisme Kerja L-Carnosine dalam Menghambat Glikasi

(Ward Dean, 2004).

L-Carnosine dapat berperan dalam disosiasi protein terglikasi dengan cara

memisahkan ikatan silang pada protein terglikasi. Asam amino histidin pada

L-Carnosine berperan dalam disosiasi amiloid dan protein intra sel sehingga

17

Page 18: l Carnosine

protein yang rusak dapat segera didegradasi oleh sistem ubiquitin dan

proteasom.

Gambar 6. Mekanisme Kerja L-Carnosine dalam Mendisosiasi Protein

Terglikasi (Cortes, 2006)

L-Carnosine memfasilitasi degradasi AGEs dengan RAGE dan mencegah

pelepasan sitokin sitotoksik. Secara normal, AGEs akan didegradasi oleh

makrofag jaringan. AGEs bersifat antigenik sehingga pengikatannya dengan

RAGE pada makrofag menginduksi pelepasan sitokin sitotoksik. Sitokin

sitotoksik dapat menyebabkan kerusakan sel dan nekrosis pada sel di sekitar

makrofag. L-Carnosine membantu memfasilitasi pengikatan AGEs dengan

RAGE pada makrofag sehingga mencegah pelepasan sitokin sitotoksik oleh

makrofag (Niber, 2008)

18

L-CarnosineL-Carnosine

Page 19: l Carnosine

Gambar 7. Aktivitas L-Carnosine dalam Memfasilitasi Penempelan AGEs

pada RAGE (Niber, 2008).

Aktivitas antiglikasi L-Carnosine memberikan efek terhadap pemulihan

sensitivitas reseptor terhadap insulin dan proliferasi sel β pankreas. Secara

rinci, dijabarkan sebagai berikut.

1. Disosiasi protein-protein relai dalam kaskade pensinyalan insulin yang

terikat silang atau teragregasi oleh AGEs. Protein-protein relai yang

telah terbebas ini kemudian dapat didegradasi apabila mengalami

kerusakan atau dapat meneruskan fungsi normalnya pada sel, sehingga

pensinyalan insulin dapat berjalan optimal (Guernsey, 2004).

2. Downregulasi aktivasi enzim phospholipase, protease, dan juga nuklease

yang berperan dalam nekrosis dan apoptosis sel β pankreas. Mekanisme

ini disebabkan oleh pemulihan aktivitas pompa NA+/K+, pompa Na+,

dan pompa Ca2+ sehingga akumulasi Ca2+ intraseluler yang berperan

sebagai faktor inflamasi penting pada sel β pankreas dapat ditekan

(Alice, 2008).

3. Inhibisi modifikasi kovalen APP dan downregulasi pembentukan IAPP.

Mekanisme ini dapat menekan akumulasi agregat amiloid yang

menggantikan 70 % masa sel β pankreas. L-Carnosine mendisosiasi

agregat amiloid sehingga meningkatkan laju degradasi amiloid oleh

kompleks ubiquitin-proteasom dan makrofag. Hal ini akan mengurangi

deposisi amiloid pada kelenjar pulau langerhans pankreas Lebih lanjut L-

Carnosine memicu proliferasi sel β pankreas (Robinson, 2008).

Beberapa penelitian menunjukkan aktivitas L-Carnosine sebagai antiglikasi,

sebagai berikut :

1. Penelitian pada sel paru-paru manusia membuktikan bahwa L-

Carnosine dapat menjadi inhibitor kompetitif untuk reaksi

pembentukkan AGEs (Niber, 2008).

2. Pemberian L-Carnosine pada anjing percobaan menunjukkan hasil

yang signifikan dalam mencegah glikasi pada katarak dan

atherosclerosis (Kyriazis MD, 2002).

19

Page 20: l Carnosine

3. L-Carnosine ditemukan dapat menetralisir badan keton/aldehide

reaktif pada sel otot rangka mencit sehingga glikasi dapat dicegah

(Sbrupn, 2006).

4.1.2 Mekanisme L-Carnosine sebagai Chelating Agent terhadap Patogenesis

Diabetes Melitus Tipe 2

L-Carnosine dalam peranannya sebagai chelating agent, memiliki

kemampuan berikatan kuat dengan logam transisi. Pengikatan ion logam

transisi, menghambat agregasi amilin sehingga mencegah terbentuknya

pulau amiloid (Islet of amyloid) pada pankreas. Komponen L-Carnosine

yang berperan dalam hal ini adalah L-Histidine. Histidine pada L-Carnosine

dapat mengikat ion Zn2+ sehingga mencegah terbentuknya histidin binding

motif antar molekul amilin. Komponen histidine pada L-Carnosine juga

dapat berikatan dengan Fe2+ dan Cu2+ (Guernsey,2004).

Gambar 8. Struktur Kompleks L-Carnosine-Zinc (Guernsey,2004)

L-Carnosine juga berperan dalam meningkatkan produksi protein kejut

panas HSP 72 dan down regulasi NF-kB. Hal ini dibuktikan dalam

penelitian Masaru Odashima (2006) bahwa administrasi L-Carnosine akan

menaikkan kadar protein HSP 72 pada mencit percobaan yang mengalami

kanker kolorektal. Kompleks Zinc-L-Carnosine mencegah terjadinya

resistensi insulin dengan cara menginduksi ekspresi gen HSP 72. HSP 72

mencegah terjadinya kesalahan dalam pelipatan protein yang nantinya akan

membentuk amiloid dan down regulasi aktivitas NF-kB (Odashima,2006).

HSP 72 mengikat NF-kB sitoplasma sehingga mencegah terjadinya

translokasi NF-kB ke dalam nukleus. Tarhambatnya translokasi NF-kB

menyebabkan kegagalan formasi faktor transkripsi pada gen sitokin IL-6

20

Page 21: l Carnosine

L-Carnosine-ZincAGEOH

ScavengerAldehide dan

Keton scavenger

Superokside Scavenger

Protein Terglikasi

Mencegah pelepasan sitokin sitotoksik

maupun IL-1β, sehingga menurunkan konsentrasi IL-6 dan IL-1β.

Penurunan kadar IL-6 meningkatkan aktivitas SOCS sehingga

memungkinkan terjadinya fosforilasi dari IRS1 dan IRS2. Selain itu,

penurunan aktivitas SOCS juga menurunkan kadar SREBP-1c dan FAcyl-

CoA. Turunnya kadar kedua substansi ini secara berurutan menaikkan kadar

IRS2 kembali ke ambang normal dan mencegah terjadinya fosforilasi residu

serine pada IRS1/2. Dampak akhir dari proses ini adalah pulihnya

responsifitas sel tubuh terhadap insulin (Fall, 2008).

Gambar 9. Mekanisme Kompleks L-Carnosine-Zinc dalam Downregulasi

TNF-α dan NF-kβ (Fall, 2008).

Mekanisme L-Carnosine-Zinc juga melibatkan down regulasi sitokin TNF-

α. TNF-α menginduksi aktivasi NF-kB. Selanjutnya, NF-kB mengaktivasi

gen pengkode sitokin IL-6 sehingga kadar IL-6 meningkat. Peningkatan

kadar IL-6 mengaktivasi SOCS. Kemudian, SOCS dapat mengaktivasi

SREBP-1c dan menghambat fosforilasi IRS1 (Insulin Receptor Substrat)

maupun IRS2. Aktivasi SREBP-1c menurunkan ekpresi gen yang mengkode

IRS2 mRNA sehingga menurunkan jumlah protein IRS2 pada sel hati.

Dalam pemaparan L-Carnosine, down regulasi TNF-α mencegah kaskade

pensinyalan tersebut.

21

Page 22: l Carnosine

L-Carnosine-Zinc

Down regulasi NF-kB memberikan umpan balik negatif dengan cara down

regulasi TNF α. Dalam proses sintesis TNF α, diperlukan NF-kB sebagai

faktor transkripsi sebagaimana IL-6, sehingga terhambatnya translokasi NF-

kB menyebabkan terjadinya down regulasi TNF alpha.

Gambar 10. Mekanisme Kompleks L-Carnosine-Zinc dalam Menekan

Sintesis TNF- α (Kishore,2004).

Penurunan kadar TNF-α dan IL-6 akan menurunkan tingkat resistensi insulin

yang dialami oleh penderita diabetes melitus tipe 2 sehingga akan

meningkatkan responsivitas reseptor terhadap insulin. Peningkatan

responsivitas ini selanjutnya akan menurunkan aktivitas dari HSL dan

menurunkan laju glukoneogenesis maupun glikogenolisis. Hal ini akan

menurunkan kadar lipid dan glukosa darah kembali pada batas yang normal.

4.1.3 Mekanisme L-Carnosine sebagai Antioksidan terhadap Patogenesis Diabetes

Melitus Tipe 2

Mekanisme L-Carnosine sebagai antioksidan memanfaatkan struktur ikatan

peptida asam amino β-alanin dan histidine. Gugus hidroksil dari histidin

pada molekul L-Carnosine juga memberikan efek antioksidan dengan

mendonasikan ion hidrogen kepada peroksil radikal seperti OH* dan lipid

22

Page 23: l Carnosine

peroxile (RO2) (Babizhayev, 2004). Berdasarkan sifat struktural tersebut L-

Carnosine dapat memerangkap produk LPO berupa molekul karbonil reaktif

seperti malondialdehide, glioksal, dan methilglioksal. L-Carnosine memiliki

kemampuan menginhibisi kemampuan katalisis dari LPO.

Gambar 11. Aktivitas L-Carnosine sebagai Antioksidan

(Guernsey dkk., 2004)

Disamping sifat antioksidan pada struktur alaminya, L-Carnosine juga

berperan sebagai scavenger enzym. Guernsey dkk. (2004) menunjukkan

kemampuan L-Carnosine dalam berikatan dengan ion logam transisi seperti

tembaga (Cu2+) atau besi (Fe2+) memiliki aktivitas seperti SOD. Kompleks

L-Carnosine Cu(II) dapat mengkatalisis oksidasi O2• menjadi H2O2 dan O2.

Netralisasi radikal bebas oleh L-Carnosine akan menyebabkan terjadinya

penurunan yang signifikan pada laju deposisi amiloid. Ini dikarenakan

23

2 O2• + 2 H+ H2O2 + O2

Page 24: l Carnosine

pembentukan amiloid memerlukan radikal bebas dalam proses modifikasi

kovalen pada struktur proteinnya. Modifikasi ini akan menyebabkan agregat

amiloid menjadi resisten terhadap proses degradasi protein. Tanpa adanya

radikal bebas, modifikasi ini tidak dapat terjadi sehingga protein prekursor

amiloid menjadi lebih mudah didegradasi.

L-Carnosine juga mencegah terjadinya kematian sel β akibat radikal bebas.

Ini disebabkan tidak teraktivasinya protein kaspase yang menginduksi

apoptosis sel β. Protein ini diaktivasi oleh kerusakan-kerusakan sel yang

dalam hal ini diakibatkan oleh radikal bebas seperti double strand break,

stress RE, dan kerusakan membran.

Selain itu, netralisasi radikal bebas membantu mengurangi status stress RE

yang dialami oleh sel β. Ini dikarenakan menurunnya interaksi antara radikal

bebas dan protein yang salah melipat sehingga mencegah terjadinya glikasi

protein yang juga berkontribusi terhadap kerusakan membran RE.

Berkurangnya status stress RE ini juga meningkatkan efektifitas pelipatan

protein pre insulin sehingga akan mencegah terjadinya impaired insulin

secretion.

Dibandingkan dengan antioksidan lainnya, L-Carnosine dapat bekerja secara

independen lain halnya SOD yang bekerja sama dengan Glutathion

Reduktase dan Fe2+ dalam menetralisir oksigen reaktif. Berikut beberapa

penelitian tentang sifat antioksidan L-Carnosine.

1. Pemberian L-Carnossine jaringan hati kelinci dengan akumulasi logam

Zn menunjukkan aktivitas peroksidase melalui kompleks L-Carnossine-

Zn (Babizhayef, 1994).

2. Efek kombinasi anti-cross link dan anti-oksidan L-Carnosine pada sel

epitelial usus halus mencit berperan dalam menjaga stabilitas membran

sel ( Dean, 2004).

3. Penelitian Zhurafskii S.G (2004) membuktikan bahwa pemberian

intragastrik dari L-Carnosine pada Wistara Kyoto rats 3 hari sebelum

dan 7 hari setelah penyuntikan kanamicin aminoglikosida ototoksik

dapat mengkompensasi penggunaan system antioksidan jaringan dan

24

Page 25: l Carnosine

mengeliminasi MDA yang dibentuk oleh aminoglikosida pada bagian

membrane dari koklea dan juga pada korteks auditori pada lobus

temporal otak.

4. Pemberian L-Carnosine yang dilakukan pada tikus diabetik, terbukti

menunjukkan aktivitas antioksidan dalam menurunkan pada konsentrasi

TNF-α dan IL-6. Sedangkan kadar glukosa, insulin, dan lipid kembali ke

kadar normal (Yuanti-lee,2005).

Menurunnya kadar radikal bebas akan menyebabkan turunnya laju glikasi

abnormal pada penderita diabetes melitus tipe 2. Menurunnya laju glikasi ini

akan menekan resiko timbulnya komplikasi diabetes melitus tipe 2 seperti

nephropati, neuropati, retinopati, dan atherosklerosis sehingga akan

menurunkan angka mortalitas pasien diabetes melitus tipe2.

4.2 Teknologi Produksi L-Carnosine sehingga Dapat Dikonsumsi Sebagai Obat

dalam Penatalaksanaan Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2

Mekanisme produksi yang relevan dalam memproduksi L-Carnosine adalah

dengan meenggunakan integrasi teknologi DNA Rekombinan dan Membrane

Separation Technology. Penggunaan teknologi DNA Rekombinan dalam

memproduksi L-Carnosine mempergunakan bakteri Escheresia coli. Selama ini

penggunaan bakteri E. coli pada teknologi DNA Rekombinan telah banyak

diaplikasikan serta terbukti keberhasilannya dalam produksi sejumlah hormon

seperti insulin dan growth hormone yang sesuai dengan daya beli masyarakat.

Aplikasi teknologi DNA Rekombinan dalam produksi L-Carnosine ditunjang

dengan penemuan urutan nukleotida pada cDNA L-Carnosine. Penggunaan

bakteri E. Coli telah banyak dipelajari dan terbukti efektivitas dan efisiensinya

dalam produksi suatu produk hormon.

Integrasi teknologi DNA Rekombinan dengan Membrane Separation Technology

bertujuan untuk mengekstraksi L-Carnosine dalam konsentrasi yang maksimum.

Ekstrasi L- Carnosine dari jaringan neuronal dengan menggunakan Membrane

Separation Technology terbukti diperoleh L- Carnosine dengan kemurnian

mencapai 90% (Nabetani, 2007). Secara rinci, proses produksi L-Carnosine

25

Page 26: l Carnosine

dengan teknik integrasi DNA Rekombinan (Champbell, dkk., 2002) dan

Membrane Separation Technology dijabarkan sebagai berikut.

1. Isolasi vektor pengklon

Pada tahap ini dilakukan isolasi plasmid. Plasmid yang diisolasi adalah

plasmid pUC 18. Plasmid ini memiliki 3 karakteristik khas yang berperan

penting dalam proses klon, meliputi: (a) Gen AMPR yang memberikan

resistensi kepeda antibiotic amphisilin; (b) Tempat restriksi untuk enzim Bam

HI; (c) Gen LacZ yang mengkode enzim β-galaktosidase yang dapat

menghidrolisis gula X-gal menjadi substansi berwarna biru.

2. Produksi cDNA.

Produksi cDNA terbagi dalam beberapa tahap; (a) isolasi mRNA yang

mengandung gen yang diinginkan dari kultur sel, (b) mRNA yang telah

diisolasi diinkubasi dengan deoxiribonukleotida dan enzim transcriptase balik

untuk memproduksi DNA komplementer, dan (c) mRNA kemudian

didegradasi, dan DNA polymerase ditambahkan untuk mensintesis DNA yang

komplementer terhadap DNA yang pertama, sehingga dihasilkan cDNA

komplementer yang hanya mengandung ekson.

3. Insersi cDNA Carnosine synthetase ke plasmid

Tahapan ini meliputi; (a) Pemotongan plasmid dan gen Carnosine Synthetase

dengan menggunakan enzim restriksi Bam HI hingga terbentuk struktur

menyerupai lingkaran terbuka dan (b) penambahan enzim DNA ligase untuk

membentuk ikatan kovalen pada perhubungan ujung lengket antara fragmen

DNA dan plasmid.

4. Introduksi vektor pengklon pada sel bakteri.

Pada tahapan ini dilakukan pencampuran antara DNA rekombinan dengan

LacZ- E.coli. Bacteri E.coli mengambil DNA rekombinan dari lingkungan

sekitarnya.

5. Kloning

Proses kloning mencakup pembiakan bakteri E. coli pada gel yang

mengandung amphisilin dan gula X-gal. Kemudian bakteri akan bereplikasi

membentuk klon pada gel. Hanya bakteri yang mengandung plasmid saja yang

dapat bereplikasi karena hanya bakteri inilah yang mengandung gen AMPR.

26

Page 27: l Carnosine

Bakteri yang mengandung plasmid rekombinan akan membentuk klon

berwarna putih pada medium. Klon ini dipisahkan, dan digunakan untuk

memproduksi L-Carnosine.

Gambar 12. Mekanisme Sintesis cDNA Carnosine sinthetase dan insersi cDNA

ke plasmid (Patrick M Woshter, 2007).

6. Pembiakan bakteri

Pembiakan bakteri dilaksanakan dalam tangki besar berisi medium nutrisi.

Selama tumbuh dalam medium, bakteri akan mensintesis enzim Carnosine

synthetase yang selanjutnya akan menghasilkan L-Carnosine. L-Carnosine

yang dihasilkan dapat dipurifikasi dari cairan medium.

7. Isolasi L-Carnosine

Tahapan ini merupakan proses isolasi L-Carnosine dari medium berisi bakteri

dengan menggunakan teknik Membrane Separation Technology. Adapun

tahapannya meliputi; (a) pengambilan dan pemanasan larutan medium yang

berisi bakteri pada temperatur 1000C untuk melisiskan bakteri, (b) pemrosesan

ekstrak yang dihasilkan dengan menggunakan resin ion exchanger sehingga

asam amino yang bersifat asam dan netral dan protein terpisah dari larutan

dengan L-Carnosine, kemudian (c) Larutan yang dihasilkan diproses lagi

27

Page 28: l Carnosine

dengan menggunakan metode membrane separation yang menggunakan

membrane NFT50. Bahan dasar dari membrane ini adalah polipiperazine dan

membrane ini dapat memisahkan creatinine dan sodium iron sehingga dapat

dihasilkan ekstrak L-Carnosine murni (Nabetani,2007).

Gambar 13. Membrane Separation Technology (Nabetani, 2007)

4.3 Mekanisme Terapi L-Carnosine pada Penatalaksanaan Farmakologis

Diabetes Melitus Tipe 2

Berdasarkan Panduan Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 oleh

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006) penatalaksanaan diabetes

difokuskan pada terapi dalam mengatasi kondisi pada dua kelompok penderita

meliputi kelompok prediabetik dan kelompok dengan resiko. Kedua kelompok ini

memiliki karakteristik sebagai berikut.

1. Kelompok Prediabetik.

Prediabetik merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya diabetes.

Tahap prediabetik pada diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan karakteristik

meliputi: berkurangnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (resistensi

insulin), hiperglikemia, dan hiperinsulinemia. Saat ini, 4%-9% pasien

prediabetik telah memasuki tahap diabetik. Department of Health and Human

28

Page 29: l Carnosine

Services (DHHS) dan American Diabetes Association (ADA) (2002),

menggambarkan keadaan prediabetes dengan TGT dan GDPT. Diagnosis

prediabetes ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah puasa 8 jam.

Diagnosis prediabetik ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah menunjukkan

salah satu dari angka tersebut di bawah ini.

a. Glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dL

b. Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140-199

mg/Dl

Kelompok prediabetik sering dikaitkan dengan kondisi sindrom metabolik

yang ditandai dengan obesitas sentral, dislipidemia, dan hipertensi.

2. Kelompok dengan Resiko

Kelompok dengan resiko merupakan kelompok penderita dengan patogenesis

lanjutan dari resistensi insulin, meliputi disfungsi sel β pankreas, peningkatan

status hiperglikemia. Pada kelompok ini telah mulai muncul perkembangan

komplikasi diabetes melitus tipe 2 seperti kardiovaskular, neuropati, nefropati,

serta retinopati.

Pemberian L-Carnosine sebagai terapi dalam dua kelompok tersebut memiliki

toleransi yang tinggi. Tidak ditemukan toksisitas pada pemberian dosis yang

tinggi. Berdasarkan penelitian (Niber, 2004), pemberian L-Carnosine dengan

berbagai dosis (200mg/kg, 250 mg/kg, 800mg/kg) pada jaringan ikat kulit mencit

(20 gr) menunjukkan efek peremajaan jaringan ikat dan semakin meningkat dalam

rentang dosis 200mg/kg – 800mg/kg. Berdasarkan konversi, didapati dosis efektif

minimum L-Carnosine pada manusia adalah sebesar 1, 1935 gram untuk orang

dengan berat badan 70 kg.

4.4 Analisis Manfaat L-Carnosine Sebagai Modalitas Terapi dalam

Penatalaksanaan Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2

Dibandingkan modalitas terapi diabates melitus tipe 2 saat ini, L-Carnosine

memiliki beberapa keunggulan. L-Carnosine mampu mengatasi patogenesis yang

menjadi permasalahan utama diabates melitus tipe 2 yaitu resistensi insulin dan

disfungsi sel β pankreas sehingga dapat menormalkan kadar glukosa darah. Obat-

obatan yang digunakan saat ini lebih banyak bersifat menstimulasi produksi

29

Page 30: l Carnosine

insulin yang malah akan memperparah kerusakan sel β pankreas. Ini disebabkan

oleh meningkatnya akumulasi amiloid dan memburuknya kondisi sel β akibat

stress RE yang dialami oleh sel β.

L-Carnosine dapat menstimulasi produksi insulin dan proliferasi sel prekursor sel

β tanpa mengakibatkan deposisi amiloid dan stress RE. Hal ini dikarenakan L-

Carnosine dapat mencegah terbentuknya AGEs yang berperan dalam

pembentukan amiloid dan mendegradasi AGEs yang telah terbentuk. Selain itu, L-

Carnosine juga menetralisir radikal bebas yang juga berperan dalam stress RE.

Terapi diabetes melitus tipe 2 saat ini melibatkan beberapa obat untuk mengatasi

penyebab utama beserta komplikasinya. Obat-obatan saat ini bersifat spesifik

untuk satu kondisi misalnya obat anti-glikasi untuk menurunkan resistensi insulin

yang dialami penderita. Akibatnya, efek samping obat-obatan yang digunakan

akan terakumulasi sehingga memberikan efek yang buruk bagi pasien seperti

hipoglikemia dan hipotensi.

L-Carnosine tidak memerlukan obat-obatan pendukung sebab L-Carnosine dapat

mengatasi kedua penyebab utama diabetes melitus tipe 2 beserta komplikasinya.

Tidak terjadi kombinasi komplikasi seperti yang terjadi pada terapi kombinasi

sepeti yang dilakukan saat ini. Selain itu, L-Carnosine tidak ditemukan memiliki

toksisitas dalam pemberian dosis tinggi. Menurut penelitian Ward Dean (2004),

pemberian L-Carnosine sampai 800mg/kg pada mencit tidak menimbulkan efek

samping yang buruk dan dapat menaikkan efisiensinya dalam mengatasi

patogenesis diabetes melitus tipe 2. Ini dikarenakan L-Carnosine adalah molekul

alami tubuh yang disintesis secara alami oleh tubuh. Selain itu, L-Carnosine dapat

memulihkan homeostasis sehingga dapat memulihkan vitalitas penderita.

Ditinjau dari prospek pengembangan, L-Carnosine berpotensi bekerja pada

tingkat molekuler sebagai antiglikasi, chelating agent, dan antioksidan dalam

penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 dalam mengatasi resistensi insulin.

Berdasarkan cost analisis, pengembangan L-Carnosine sebagai modalitas terapi

diabetes melitus tipe 2 mencapai biaya yang lebih rendah daripada terapi insulin,

sebab terapi insulin masih membutuhkan terapi tambahan, sehingga secara

30

Page 31: l Carnosine

akumulatif biaya pemasaran insulin lebih tinggi daripada L-Carnosine.

Disamping itu, dengan adanya rancangan teknologi produksi yang efisien dan

tersedia di Indonesia, maka L-Carnosine sangat berpotensi untuk diproduksi

secara luas sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Dengan demikian,

pemanfaatan L-Carnosine merupakan modalitas terapi strategis dalam menekan

prevalensi dan insiden diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.

31

L-CarnosineL-Carnosine

OH ScavengerAldehide dan

Keton scavengerSuperokside

Scavenger

OH ScavengerAldehide dan

Keton scavengerSuperokside

Scavenger

AGEs inhibitorMemfasilitasi

pengikatan AGEs dengn RAGE

Disosiasi Protein Terglikasi

Mencegah pelepasan sitokin sitotoksik

AGEs inhibitorMemfasilitasi

pengikatan AGEs dengn RAGE

Disosiasi Protein Terglikasi

Mencegah pelepasan sitokin sitotoksik

Menghambat translokasi NF-kβ

TNF-α down regulator

IL-6 down regulator

Mencegah produksi radikal bebas oleh metal transisi

Menghambat translokasi NF-kβ

TNF-α down regulator

IL-6 down regulator

Mencegah produksi radikal bebas oleh metal transisi

AntioksidanAntioksidan

AntiglikasiAntiglikasi

Chelating AgentChelating Agent

MikroangiopatiMikroangiopati MakroangiopatiMakroangiopati NeuropatiNeuropati

DIABETES MELITUS TIPE 2

RESISTENSI INSULINRESISTENSI INSULIN DISFUNGSI SEL-βDISFUNGSI SEL-β

TNF- α, NF-Kb, Amiloid

TNF- α, NF-Kb, Amiloid AGEs, AmiloidAGEs, AmiloidROS, AmilodROS, Amilod

Page 32: l Carnosine

Gambar 14. Pemanfaatan L-Carnosine Sebagai Antiglikasi, Chelating Agent, dan

Antioksidan pada Penatalaksanaan Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2

32

Page 33: l Carnosine

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan analisis dan sintesis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut.

1. Mekanisme L-Carnosine terhadap patogenesis diabetes melitus tipe 2

meliputi antiglikasi, chelating agent, dan antioksidan. Sebagai antiglikasi L-

Carnosine mencegah reaksi glikasi dan menekan aktivitas produk akhir glikasi

dalam bentuk AGEs. Dalam mekanisme chelating agent kompleks L-

Carnosine- Zn2+ meningkatkan produksi protein kejut panas HSP 72 dan down

regulasi NF-kB. Mekanisme L-Carnosine sebagai antioksidan adalah sebagai

memiliki kemampuan berikatan dengan ion logam transisi seperti tembaga

(Cu2+) atau besi (Fe2+) sehingga dapat berperan sebagai scavenger enzyme

dalam mengendalikan ROS.

2. Teknologi produksi L-Carnosine menggunakan integrasi teknik DNA

Rekombinan dengan Membrane Separation Technology yang menghasilkan L-

Carnosine dengan kemurnian 90%. Tahapan produksi L-Carnosine meliputi

isolasi vector pengklon, isolasi cDNA, insersi cDNA Carnosine synthetase

pada plasmid, produksi cDNA, introduksi vektor pengklon kepada sel bakteri,

kloning, pembiakan bakteri, dan isolasi L-Carnosine, dan ekstraksi.

3. Mekanisme terapi L-Carnosine pada penatalaksanaan farmakologis

diabetes melitus tipe 2 diberikan pada dua kelompok penderita; prediabetik

dan kelompok resiko. Pemberian L-Carnosine memiliki toleransi yang baik

pada kedua kelompok. Dosis efektif L-Carnosine pada manusia dengan berat

badan 70 kg adalah 1, 9395 g.

4. Dibandingkan modalitas terapi diabates melitus tipe 2 saat ini, L-Carnosine

memiliki beberapa keunggulan, meliputi kemampuan mengatasi resistensi

insulin dan disfungsi sel β, mencegah komplikasi penyakit, tidak terdapat efek

samping, dan relatif murah.

33

Page 34: l Carnosine

5.2 Saran

Dari hasil analisis dan sintesis dalam pembahasan yang telah dilakukan, maka

dapat diberikan beberapa rekomendasi untuk dikaji dan ditindaklanjuti, yaitu:

1. Gagasan kreatif yang diangakat dalam karya ilmiah ini masih memerlukan

pengkajian dan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan L-Carnosine

secara komprehensif dalam penatalaksanaan diebetes melitus tipe 2. Hal ini

penting mengingat berbagai potensi L-Carnosine yang belum diteliti.

2. Perlu diadakan pengkajian dan penelitian lebih lanjut mengenai dosis tepat,

prosedur terapi, serta farmakodinamik L-Carnosine sehingga potensi L-

Carnosine dalam penatalaksanaan farmakologis diabetes melitus tipe 2.

3. Perlu dilakukan analisis dan dan pengkajian mengenai inovasi rancangan

teknologi produksi L-Carnosine terutama mengenai kajian strategis

pengembangan di Indonesia sehingga dapat ditindaklanjuti dengan produksi L-

Carnosine dan pemasaran secara luas di Indonesia.

4. Perkembangan penyakit degeneratif sebagai model biologis penuaan yang

semakin meningkat tajam perlu diantisipasi oleh seluruh komponen

masyarakat dengan mengubah paradigma penuaan dengan mengaplikasikan

konsep Anti-Aging Medicine dalam mengatasi berbagai permasalahan

penuaan. Hal ini hendaknya disertai peran serta para ilmuwan dalam

pengembangan ilmu dan teknologi kedokteran modern dalam mengatasi

berbagai penyakit yang berhubungan dengan penuaan.

34