kurita
DESCRIPTION
Kurita tataTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Korpus vitreus merupakan suatu agar-agar jernih yang mengisi ruang
vitreus (ruang antara lensa dan retina). Korpus vitreus disusun hampir
seluruhnya oleh air (98%) dan mengandung elektrolit, serat-serat kolagen
dan asam hialuronat. Korpus vitreus melekat pada seluruh permukaan retina.
Di tengah korpus vitreus berjalan sisa suatu saluran yang berisi cairan
dikenal sebagai kanal hialoidea, yang semula mengandung arteri hialodea
pada masa janin. Badan vitreus berfungsi untuk memelihara bentuk dan
kekenyalan bola mata. 1-5
Persistent hyperplastic primary vitreous (PHPV) merupakan keadaan
di mana primary vitreous embrionik (sistem arterial hyaloid termasuk tunica
vasculosa lentis posterior) mengalami persistensi.4 PHPV adalah akibat dari
perkembangan yang tidak normal dari primary vitreous yang bertahan
hingga periode pembentukan secondary vitreous, berhubungan dengan
hiperplasia element mesodermal yang terkandung dalam primary vitreous
dan sistem arteri hyaloid.6,7 Normalnya, primary vitreous ini mengalami
penurunan sejalan dengan perkembangan kapsul posterior lensa di akhir
bulan kedua kehamilan. Sejarahnya, kelainan ini dirujuk sebagai persistent
hyperplastic primary vitreous (PHPV), tetapi dalam beberapa tahun terakhir
secara anatomi lebih akurat disebut persistent fetal vasculature (PFV).5,8
Berdasarkan letak sistem arterial yang mengalami persistensi, PHPV
diklasifikasikan menjadi PHPV anterior dan PHPV posterior maupun
gabungan anterior dan posterior. Strategi terapi dan prognosis untuk
manajemen PHPV anterior dan PHPV posterior sangat berbeda.4-6,9
PHPV merupakan salah satu penyebab leukokoria yang sering
ditemukan pada anak. Pada sebuah artikel penelitian tahun 2003 mengenai
diagnosis leukokoria di University Eye Hospital di Cluj-Napoca, Rumania,
dicantumkan bahwa dua persen kasus penderita leukokoria unilateral
1
maupun bilateral yang dirawat di rumah sakit tersebut memiliki hubungan
dengan persistent hyperplastic primary vitreous.10 Sebuah artikel penelitian
lain yang dilakukan di sebuah rumah sakit di Jerman pada Januari 1999
sampai Juni 2005 menyebutkan bahwa 18 persen penyebab leukokoria pada
anak adalah malformasi (persistent hyperplastic primary vitreous,
coloboma, anomali diskus, dan kombinasi abnormalitas perkembangan).11
Sebuah penelitian serupa yang dilakukan di Lahore general Hospital,
Lahore, Pakistan, mendapatkan hasil 4,2 persen penyebab leukokoria pada
anak antara 1 Januari 1999 sampai 31 Desember 200 adalah persistent
hyperplastic primary vitreous.12
Persistensi sistem vaskular fetal ini termasuk malformasi okular
kompleks yang membutuhkan diagnosis dini dan manajemen terbaik. Hal
ini dikarenakan persistent hyperplastic primary vitreous merupakan salah
satu penyebab sering leukokoria pada anak. Leukokoria pada anak
membutuhkan perhatian secepatnya karena sejumlah anak dengan keadaan
patologi ini memiliki ancaman terhadap kehidupannya maupun gangguan
penglihatan permanen.10-12
1.2 Tujuan
Tujuan dari telaah ilmiah ini adalah untuk memberikan gambaran
mengenai persistent hyperplastic primary vitreous (PHPV) yang meliputi
definisi, klasifikasi, proses embriologi normal vitreous sampai terbentuknya
kelainan ini, dan gejala-gejala klinis yang dapat menuntun kita untuk curiga
akan kehadiran kelainan ini sehingga penegakan diagnosis cepat dilakukan
dan manajemen terapi segera dilakukan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Histologi Vitreous
Vitreous menempati 80% dari volume total mata. Vitreous mengisi
ruang antara lensa dan retina, dan terdiri atas air, matriks serat kolagen tiga
dimensi dan gel asam hialuronat sehingga bola mata tetap bulat. Sembilan
puluh delapan persen dari vitreous tersusun atas air dan sisanya merupakan
jaringan kolagen dan hyaluronic acid, yang memberikan konsistensi pada
vitreous seperti agar, karena kedua komponen tersebut mempunyai potensi
yang sangat besar untuk menyerap air. Vitreous merupakan suatu jaringan
seperti kaca bening, tidak berwarna dan tembus pandang, di dalamnya
terdapat sel-sel bundar atau bercabang-cabang yang mungkin berasal dari
sel darah putih. Vitreous berperan mengisi ruang untuk meneruskan sinar
dari lensa ke retina. Nutrisinya didapat dari badan siliar, koroid, dan retina,
oleh karena vitreous sendiri tidak mengandung pembuluh darah. Arteri
hialoidea yang semula ada di dalamnya, menghilang pada bulan-bulan akhir
kehidupan fetus, kadang-kadang terdapat sisanya berupa benang atau bercak
hitam. Kanalis hialoid juga bisa mengeras dan merupakan suatu pipa kecil
kelabu yang berjalan dari pollus posterior lensa ke papil.1-5
Gambar 1: Vitreus terdiri atas matriks serat kolagen tiga dimensi dan gel asam hialuronat13
3
Permukaan luar vitreous, dikenal sebagai korteks, ditutupi oleh
membran haloid yang merupakan massa yang kental dan tidak berstruktur.
Korteks berkontak dengan lensa (korteks vitreous anterior) dan memiliki
daya lekat yang berbeda-beda ke permukaan retina (korteks vitreous
posterior). Hubungan dengan lensa menghilang dengan bertambahnya umur.
Hubungan vitreous dengan lensa, zonula Zinnii, badan siliar dan retina tidak
erat, terkecuali pada tempat tertentu yang disebut basis viterous (vitreous
based) yaitu daerah lensa, pars plana badan siliar, retina di belakang ora
serata, makula, papil saraf optik. Pada tempat basis vitreous terdapat serat-
serat fibril kolagen yang menyebabkan terdapatnya hubungan yang erat. 1-3.13
Gambar 2: Korteks vitreous melekat pada lensa terutama pada permukaan retina dengan derajat keeratan yang bervariasi13
Proses penuaan, peradangan, perdarahan, trauma, dan proses-proses
lain sering menyebabkan kontraksi matriks kolagen vitreous. Korteks
vitreous posterior kemudian memisahkan diri dari retina pada daerah yang
perlekatannya lemah dan dapat menimbulkan traksi pada daerah-daerah
yang perlekatannya lebih kuat. Sebenarnya, vitreous tidak pernah lepas dari
basisnya. Vitreous juga melekat pada nervus optikus dan dengan keeratan
yang kurang pada makula dan pembuluh-pembuluh retina. Perlekatan ke
daerah makula adalah salah satu faktor yag bermakna dalam patogenesis
membran epimakula dan lubang makula.2,3
4
2.2 Embriologi
Perkembangan vitreous dapat dibagi menjadi tiga fase:
1. Fase pertama (bulan pertama kehamilan; ukuran fetus 5 – 13 mm dari
cranium sampai coccyx): Primary vitreous mulai dibentuk pada periode
ini. Fase ini ditandai dengan masuknya mesenkim ke dalam optic cup
melalui fisura koroidal embrio. Ruang antara vesikel lensa dan lapisan
dalam optic cup terisi oleh fibril-fibril, sel-sel mesenkim, dan saluran
pembuluh darah dari sistem hyaloid. Elemen-elemen ini bersama
membentuk primary vitreous.1,4
Gambar 3: Perkembangan vitreous dan regresi sistem hyaloid15
5
Vascular primary vitreous mencapai perkembangan maksimum di
usia dua bulan kehamilan. Fungsi utama dari primary vitreous adalah
menyuplai nutrisi untuk perkembangan lensa. Sesuai dengan fungsinya
sebagai penyuplai nutrisi, primary vitreous sebagian besar terdiri dari
pleksus vaskular, tunica vasculosa lentis anterior dan posterior, yang
menutupi permukaan anterior dan posterior lensa. Pleksus vaskular ini
berasal dari arteri hyaloid dan percabangannya. Sistem vaskular dan
primary vitreous ini mengalami penurunan sejalan dengan perkembangan
kapsul posterior lensa di akhir bulan kedua kehamilan.
Gambar 4: Skematik suplai pembuluh darah sementara fase embrio
2. Fase kedua (bulan kedua kehamilan; ukuran fetus 14 – 70 mm dari
cranium ke coccyx): Secondary vitreous mulai terbentuk selama periode
ini. Perkembangannya dimulai segera setelah primary vitreous benar-
benar matang. Badan vitreous yang avaskular ini terdiri dari hyalocyte
dan serat kolagen tipe II yang diduga berasal dari derivat sel mesenkim
primary vitreous yang berdiferensiasi menjadi monosit. Dalam
perkembangan normal, secondary vitreous berkembang untuk menekan
primary vitreous sentral menjadi kanal sentral residu (hyaloid canal atau
Cloquet’s canal). Konten asam hyaluronic di dalam vitreous sangat
rendah selama perinatal dan meningkat setelah lahir. 1,4
6
Gambar 5: Gambaran normal mata janin usia 8 minggu kehamilan, tunica vasculosa lentis dan arteri hyaloid mulai mengalami regresi dan akan menghilang saat full term.9
3. Fase ketiga (bulan ketiga kehamilan; ukuran fetus 71 – 110 mm dari
cranium ke coccyx): Tertiary vitreous berkembang dari struktur yang
telah ada di secondary vitreous. Secondary vitreous masih ada. Serat-
serat zonula berbentuk ligament suspensorium pada lensa berkembang
selama periode ini. 1,4
2.3 Definisi dan Etiologi
Sistem vaskular embrionik di badan vitreous dan lensa normalnya
berpisah, hanya meninggalkan hyaloid canal. Sistem vaskular yang
persisten menunjukkan suatu persistent fetal vasculature (PFV).4 PFV
merupakan hasil dari kegagalan regresi komplek vaskular hyaloid dan
merupakan penyebab umum katarak pada infant. Sejarahnya, kelainan ini
dirujuk sebagai persistent hyperplastic primary vitreous (PHPV), tetapi
dalam beberapa tahun terakhir secara anatomi lebih akurat disebut persistent
fetal vasculature (PFV).5,8 Persistent hyperplastic primary vitreous (PHPV)
merupakan keadaan di mana primary vitreous embrionik (sistem arterial
hyaloid termasuk tunica vasculosa lentis posterior) mengalami persistensi. 4
PHPV adalah akibat dari perkembangan yang tidak normal dari primary
vitreous yang bertahan hingga periode pembentukan secondary vitreous,
berhubungan dengan hiperplasia element mesodermal yang terkandung
dalam primary vitreous dan sistem arteri hyaloid.6,7
7
Persistent hyperplastic primary vitreous telah dijelaskan memiliki
hubungan dengan fetal alcohol syndrome, fetal hydantoin syndrome, dan
midline congenital cranial defects. PHPV adalah penyakit kongenital non
herediter, unilateral (90%) dan dapat menimbulkan dampak yang serius
pada penglihatan. PHPV bilateral biasanya berhubungan dengan kondisi
sistemik dan suatu sindrom, seperti trisomi 13, 15, 18, dan 21. Katarak
ipsilateral, retinal detachment, perdarahan retina, dan displasia retina adalah
temuan umum yang berhubungan dengan PHPV. Katarak progresif sering
terjadi, terkadang menjadi katarak yang komplet. Kelainan lain yang
berhubungan dengan PFV/PHPV adalah elongasi prosesus siliari, prominent
pembuluh darah radial iris, dan persisten arteri hyaloid. 7, 13-15
Gambar 6: Terlihat eksudat biru subretina yang mengisi kavitas vitreous sekitar retinal detachment (panah 1). Fibrovaskular (panah 2). Jaringan mesenkim melekat pada prosesus
siliaris yang mengalami elongasi dan dislokasi sentral
Gambar 7: Displasia retina di belakang lensa (panah 5). Sinekia anterior (panah 4)
8
2.4 Klasifikasi
1. PHPV anterior
PHPV anterior hadir sebagai masa retrolental. Arteri hyaloid dan
membran fibrovaskular berada di belakang lensa 3. Varian ini merupakan
varian yang lebih sering, pupil putih (leukocoria atau amaurotic cat’s
eye) akan ditemukan segera setelah lahir. Hal ini disebabkan masa
keputihan dari jaringan ikat posterior lensa. Tingkat keparahan perubahan
lensa bergantung pada tingkat keparahan PHPV yang pada akhirnya
menentukan tingkat kerusakan penglihatan. Pada kasus ekstrim, lensa
menyerupai membran opak (membranous cataract), sedangkan pada
kasus jarang, jaringan lemak akan berkembang (lipomatous
pseudophakia), dan lebih jarang lagi adalah jaringan kartilago yang
berkembang di lensa. Jaringan parut retrolenticular akan menarik
prosesus siliaris ke tengah, dan akan terlihat di pupil. Pertumbuhan mata
akan terhambat yang menyebabkan microphthalmos, sayangnya drainase
aquos humor juga terganggu yang menyebabkan buphthalmos
(hydrophthalmos).4,6,9
Tabel 1. Karakterirtik PHPV anterior6
Leukokoria Microphthalmia KatarakElongasi prosesus siliarisBilik mata depan yang dangkalMembran fibrivaskular retrolentarPerdarahan intralenticularDilatasi pembuluh darah irisGlaucomaStrabismusEctropion uveaColoboma iridis
9
Gambar 8(kiri): Mild mcrophthalmic eye with PHPV on right side. Gambar 9 (kanan): Eye with PHPV membrane containing elongated cilliary processes and clear lens6
Gambar 10 (kiri):Intralenticular hemorrhage secondary to PHPV. Gambar 11 (kanan):
PHPV pada anak laki-laki usia 4 bulan, tampak katarak sekunder akibat massa retrolental.5,6
Gambar 12: PHPV anterior9
10
PHPV anterior dapat menyebabkan kebutaan pada kasus yang
parah. Lensectomy dan pengangkatan membran fibrovaskular retrolental
akan mencegah glaukoma sudut tertutup, namun pertumbuhan katarak
sekunder adalah hal yang sering. Ambliopia adalah tantangan serius
pasca operasi pada penderita PHPV anterior.5
PHPV anterior harus didiagnosis banding dengan penyebab
leukocoria lainnya. Retinoblastoma adalah penyakit yang paling penting
dipirkan sebagai diagnosis banding PHPV anterior. Tidak seperti PHPV
anterior, retinoblastoma biasanya tidak jelas saat lahir, paling sering
bilateral, dan hampir tidak pernah berhubungan dengan microphthalmus
atau katarak. PHPV berada di anterior mata sejak lahir; retinoblastoma
tidak terlihat di anterior fundus setelah lahir. Pemeriksaan tambahan
seperti echography diagnostik dan x-ray untuk melihat kalsifikasi dalam
retinoblastoma dapat membantu membedakan kedua penyakit ini.5
2. PHPV posterior
PHPV dapat terjadi karena adanya PHPV anterior atau dapat
berupa temuan tersendiri.5
Gambar 13: PHPV posterior9
11
Gambar 14: PHPV posterior dan campuran anterior-posterior9
PHPV posterior merupakan vasculature hyaloid persisten di diskus
optikus. Papilla Bergmeister adalah massa putih terisolasi mengandung
sisa-sisa arteri hyaloid pada diskus optik. Sisa primary vitreous dapat
membentuk membran epiretinal yang menghasilkan berbagai penampilan
dari lipatan falsiform untuk ablasio retina tractional. Hipolasia saraf optik
mungkin terlihat.9 Penurunan tajam penglihatan tergantung dengan
tingkat kerusakan retina.4
PHPV posterior harus dibedakan dari prematuritas retinopati,
toxocariasis occular, golongan vitreoretinopathy eksudatif.5
Tabel 2. Karakterirtik PHPV posterior6
Leukokoria Microphthaalmia Retinal foldTractional retinal detachment of posterior poleHipoplastic nervus optikusDisplatic nervus optikusVitreous membranes and stalkPigment maculopathyHipoplastik makulaLensa yang jernihStrabismus
2.5 Diagnosis
Diagnosis definitif biasanya memungkinkan berdasarkan gambaran
klinik dan pemeriksaan ultrasound.4 PHPV adalah kelainan perkembangan
12
jinak pada bola mata di mana arteri hyaloid embrionik gagal mengalami
regresi secara normal, sehingga menyebabkan perkembangan lentikular
abnormal dan perubahan sekunder pada retina dan bola mata. Tantangan
pada pemeriksaan kelainan ini adalah membedakannya dengan kelainan
intraokular lainnya yang paling sering yaitu retinblastoma. Sonografi, CT,
dan MRI telah digunakan secara tunggal maupun kombinasi dalam
menegakkan diagnosis kelainan ini.7
Primary vitreous adalah pembuluh darah embrionik mata yang
memberikan nutrisi untuk perkembangan lensa dan retina selama masa
gestasi. Arteri hyaloid merupakan arteri utama dari percabangan ini.
Pergantian primary vitreous dengan secondary vitreous atau vitreous
dewasa dimulai pada kehamilan bulan kedua. Ophthalmologist secara rutin
menggunakan B-mode sonography untuk menilai intraorbital. Baru-baru ini,
radiologist telah menggunakan color Doppler untuk menilai gambaran
orbital. Studi terbaru melaporkan kegunaan MRI yang sangat potensial.7
Temuan patologi
Secara histologi, lensa dan massa retrolental berpindah ke anterior
menyempitkan ruang bilik mata depan. Massa retrolenticular yang terdiri
dari jaringan ikat vaskular longgar melekat ke permukaan posterior lensa,
yang tidak memiliki kapsul poterior. Lebih ke arah posterior lagi, massa
primary vitreous tertutupi oleh massa retina displastik.7
Gambar 15: (kiri) Fotomikrograf menunjukkan massa retrolental. (kanan) fotomikrograf menunjukkan massa retina displastik7
13
Temuan CT-scan
Baik viterous maupun massa terjadi peningkatan atenuasi
dibandingkan bola mata normal. Tidak ditemukan kalsifikasi pada gambaran
CT-scan. Konfigurasi lesi dari bentuk massa retrolental irreguler sampai
bentuk pita jaringan lunak linier yang memnjang dari lensa posterior sampai
ke retina. Postkontras menunjukkan hipervaskularisasi vitreous.7
Gambar 16: Gambaran pencitraan PHPV di bola mata kiri7
Temuan MRI
Gambaran PHPV pada MRI bervariasi dari bentuk tubular sepanjang
poterior retina ke posterior lensa, sampai bentuk triangular “wine glass”
dan massa irreguler retrolentar. 7, 18
14
Gambar 17: Bilateral PHPV pada seorang anak laki-laki usia 5 bulan7
Gambar 18: PHPV yang melibatkan bilik mata depan pada penderita laki-laki usia 4 bulan.16
15
Temuan USG prenatal
Sebuah laporan kasus menunjukkan keberhasilan mendiagnosis PHPV
prenatal menggunakan pemeriksaan ultrasound yang dikonfimrasi dengan
laporan histologi postmortem. Pemeriksaan ultrasound dilakukan pada usia
kehamilan 23 minggu. Penampang coronal mata janin menunjukkan lensa
ekogenik bilateral yang menunjukkan suatu katarak, dan pada penampang
tranversal mata janin menunjukkan penebalan aneh dari sambungan arteri
hyaloid dan lensa. Hasil ini dikonfimrasi pada pemeriksaan potmortem yang
menunjukkan lensa sferis dan kecil pada kedua mata dengan perubahan ke
arah katarak dan jaringan mesenkim yang mengandung permbuluh darah
yang melekat pada permukaan posterior, sesuai dengan gambaran PHPV.
Penyempitan sudut antara iris dan kornea menunjukkan glaukoma intra
unterin.17
Gambar 19: penebalan sambungan arterial hyaloid – lensa17
Gambar 20: Hasil pemeriksaan mata post mortem17
16
2.6 Diagnosis banding
Penyebab-penyebab leukocoria harus dipirkan sebagai diagnosis
banding PHPV. Retinoblastoma, diagnosis banding yang sangat penting
yang dapat dibedakan dengan pemeriksaan ultrasound dan CT-scan. Pada
pemeriksaan retinoblastoma ditemukan massa intraokular yang mengalami
kalsifikasi.4
Gambar 21: Tabel diagnosis banding leukokoria4
2.7 Penatalaksanaan
Manajemen PHPV dilakukan atas dasar keterlibatan segmen anterior
dan posterior. PHPV posterior memiliki outcome visual yang tidak terlalu
baik dalam beberapa penelitian terdahulu. Kelainan ini biasanya tidak
dilakukan terapi konservatif atau pembedahan dengan tujuan perbaikan
tajam penglihatan. Pembedahan dilakukan atas indikasi komplikasi seperti
kolaps progresif bilik mata depan, peningkatan tekanan intraokular
17
sekunder, perdarahan vitreous, dan retinal detachment present atau
imminent. Tujuan pembedahan hanya untuk mempertahankan ketajaman
penglihatan yang ada. Waktu yang tepat untuk dilakukan pembedahan
dengan tujuan perbaikan visus disesuaikan dengan periode perkembangan
visus anak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin dini diagnosis ditegakkan
dan semakin cepat intervensi dilakukan maka semakin maksimal hasil yang
bisa dicapai dalam memperbaiki visus penderita. 4
Goal dalam terapi PHPV
1. Menghindari komplikasi dari PHPV yang tidak diterapi, tersering adalah
glaukoma.
2. Memberikan pasien sebuah pupil yang berwarna hitam sehingga mata
penderita terlihat seperti normal. Lensektomi untuk membuang lensa
katarak dan membranektomi dianjurkan untuk menghasilkan pupil yang
normal. Pada penderita yang tidak memungkinakn, penggunaan lensa
kontak untuk memberikan warna pupil yang normal dapat
dipertimbangkan.
3. Rehabilitasis visus mungkin dilakukan dengan mata yang memiliki
struktur normal setelah lansektomi dan membranektomi. Pada penderita
ini, kutub posterior memiliki anatomi yang masih normal. Penggunaan
lensa kontak afakia dan terapi ambliopia adalah penuntun untuk
mencapai tujuan ini.
2.8 Prognosis
Prognosis kelainan ini secara primer tergantung pada tingkat
keparahan penyakit. Pembedahan yang adekuat dapat menyelamatkan mata
dan kekuatan tajam penglihatan meskipun pada tingkat yang sangat rendah.
Nilai visual setelah terapi umumnya tidak terlalu baik. Mata yang
terkena seringkali hanya mampu melihat lambaian tangan atau persepsi
sinar saja. Keterlibatan segmen posterior menyebabkan prognosis semakin
buruk.4
18
Bab III
KESIMPULAN
Persistent hyperplastic primary vitreous (PHPV) merupakan keadaan di
mana primary vitreous embrionik (sistem arterial hyaloid termasuk tunica
vasculosa lentis posterior) mengalami persistensi. PHPV adalah akibat dari
perkembangan yang tidak normal dari primary vitreous yang bertahan hingga
periode pembentukan secondary vitreous, berhubungan dengan hiperplasia
element mesodermal yang terkandung dalam primary vitreous dan sistem arteri
hyaloid. Normalnya, primary vitreous ini mengalami penurunan sejalan dengan
perkembangan kapsul posterior lensa di akhir bulan kedua kehamilan.
Untuk menegakkan diagnosis PHPV, dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan imaging. Selain itu, pendeteksian persistent hyperplastic
primary vitreous ini bisa dilakukan semenjak dalam kandungan dengan
pemeriksaan ultrasonografi. Ada dua klasifikasi PHPV, yaitu PHPV anterior dan
PHPV posterior, di mana prognosis PHPV anterior lebih baik daripada PHPV
posterior. Temua klinis yang khas pada PHPV adalah leukokoria sejak lahir sama
halnya retinoblastoma yang juga memiliki leukokoria. Untuk itu, perlu
pemeriksaan lanjut untuk membedakannya.
Semakin cepat terdeteksi adanya PHPV, semakin cepat pula rencana
tindakan yang akan diambil sehingga diharapkan hasil maksimum dalam
perbaikan visus penderita.
19
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Riordan-Eva P. 2010. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughn & Asbury Oftalmologi Umum (edisi 17). Terjemahan oleh: Pendit BU, Susanto D (editor). EGC. Jakarta, Indonesia, hal:14, 26.
2. Ilyas S. 2009. Ilmu Penyakit Mata (edisi 3). Balai Penerbit FKUI. Jakarta, Indonesia, hal: 9.
3. Wijana N. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Abadi Tegal. Jakarta, Indonesia, hal: 213.
4. Spraul CW, Lang GK. 2000. Vitreous Body. Dalam: Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook. Stuttgart, Jerman, hal: 279-287.
5. Liesegang TI, Skuta GL, Cantor, LB, et al. 2008. Retina and Vitreous (Section 12). American Academy of Ophthalmology.
6. Pollard ZF. 1997. Persistent Hyperplastic Primary Vitreous: Diagnosis, treatment and Results. Tr. Am. Ophth. Soc. Vol. XCV, 1997.
7. Kaste SC, Jenkins III JJ, Meyer D, et al. 1994. Persistent Hyperplastic Primary Vitreous of The Eye: Imaging Findings with Pathologic Correlation. AJR 1994; 162; 437-440.
8. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS, et al. 2012. Pediatric Ophthalmology and Strabismus (Section 6). American Academy of Ophthalmology.
9. Sehu KW, Lee WR. 2005. Ophthalmic Pathology An Illistrated guide for clinicians. Blackwell Publishing. Massachusetts, USA, hal: 128-130.
10. Funariu I. 2003. Leukokoria. Diagnosis and Treatment. Oftalmologia. 2003; 58(3): 35-8.
11. Meier P, Sterker I, Tegetmeyer H. 2006. Leucocoria in Childhood. Klin Monbl Augenheilkd. 2006 Jun; 223 (6): 521-7.
12. Haider S, Qureshi W, Ali A. 2008. Lukocoria in Cjildren. J Pediatr ophthalmol Strabismus, 2008 May-Jun; 45 (3): 179-80.
13. Charles S, Edward WO. 2003. Vitreous. Dalam: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughn & Asbury’s General Ophthalmology (edisi 16). Mc Graw-Hill Companies. Amerika Serikat.
14. Charles S, Edward WO. 2003. Vitreus. Dalam: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughn & Asbury Oftalmologi Umum (edisi 17). Terjemahan oleh: Pendit BU, Susanto D (editor). EGC. Jakarta, Indonesia, hal:178-179.
15. Liesegang TI, Skuta GL, Cantor, LB, et al. 2008. Fundamentals and Priciples of ophthalmology (Section 2). American Academy of Ophthalmology.
16. Castillo M, Wallace DK, Mukherji SK, et al. 1997. Persistent Hyperplastic Primary Vitreous Involving the Anterior Eye. AJNRAm J Neuroradiol 1997; 18: 1526-8.
20
17. Katorza E, Rosner M, Zalel Y, et al. 2008. Prenatal Ultrasonographic Diagnosis of Persistent Hyperplastic Primary Vitreous. Ultrasound Obstet Gynecol 2008; 32: 226-228.
18. Lameen H, Sndronikou S, Ackermann C, et al. 2006. Persistent Hyperplastic Primary Vitreous Versus retinal Detachment. SA J Radiol 2006; 24: 24-5.
19. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS, et al. 2012. Lens and Cataract (Section 11). American Academy of Ophthalmology.
21