kuesioner

37
KUESIONER Instrumen pengumpul data digunakan tergantung dari macam dan tujuan penelitian serta data yang akan diambil. Untuk penelitian ilmu eksakta tentunya berbeda dengan ilmu sosial. Salah satu alat pengumpul data adalah dengan kuesioner. Kuesioner digunakan di dalam wawancara (sebagai pedoman wawancara yang terstruktur). Kuesioner di sini diartikan sebagai daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, di mana interviewee tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda- tanda tertentu. Pentingnya kuesioner sebagai alat pengumpul data adalah untuk memperoleh suatu data yang sesuai dengan tujuan penelitian tersebut. Oleh karena itu, isi dari kuesioner adalah sesuai dengan hipotesis penelitian tersebut. Kuesioner adalah bentuk penjabaran variabel- variabel yang terlibat dalam tujuan penelitian dan hipotesis. A. Jenis Daftar Pertanyaan Ada tiga macam kuesioner/ formulir isian yang sering digunakan dalam pengumpulan data, yaitu : 1. Kuesioner (formulir) untuk keperluan administrasi. Yaitu formulir yang digunakan untuk mengumpulkan data melalui saluran- saluran administrasi. Oleh karena itu jenis formulir ini lebih dikaitkan dengan keperluan- keperluan administrasi. Pengisian formulir ini sepenuhnya oleh pihak responden tetapi baisanya ada petunjuk pengisian. Contoh : formulir masuk (application form), kartu klinik, kartu pendaftaan pasien, dan sebagainya.

Upload: ima-ami

Post on 24-Nov-2015

59 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

KUESIONER

Instrumen pengumpul data digunakan tergantung dari macam dan tujuan penelitian serta data yang akan diambil. Untuk penelitian ilmu eksakta tentunya berbeda dengan ilmu sosial. Salah satu alat pengumpul data adalah dengan kuesioner. Kuesioner digunakan di dalam wawancara (sebagai pedoman wawancara yang terstruktur). Kuesioner di sini diartikan sebagai daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, di mana interviewee tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda- tanda tertentu.

Pentingnya kuesioner sebagai alat pengumpul data adalah untuk memperoleh suatu data yang sesuai dengan tujuan penelitian tersebut. Oleh karena itu, isi dari kuesioner adalah sesuai dengan hipotesis penelitian tersebut. Kuesioner adalah bentuk penjabaran variabel- variabel yang terlibat dalam tujuan penelitian dan hipotesis.

A. Jenis Daftar Pertanyaan

Ada tiga macam kuesioner/ formulir isian yang sering digunakan dalam pengumpulan data, yaitu :

1. Kuesioner (formulir) untuk keperluan administrasi.

Yaitu formulir yang digunakan untuk mengumpulkan data melalui saluran- saluran administrasi. Oleh karena itu jenis formulir ini lebih dikaitkan dengan keperluan- keperluan administrasi. Pengisian formulir ini sepenuhnya oleh pihak responden tetapi baisanya ada petunjuk pengisian. Contoh : formulir masuk (application form), kartu klinik, kartu pendaftaan pasien, dan sebagainya.

2. Kuesioner untuk observasi (form of observation)

Agar observasi terarah dan dapat memperoleh data yang benar- benar diperlukan, maka sebaiknya dalam melakukan observasi juga mempergunakan daftar pertanyaan yang lebih dikenal sebagai lembar atau daftar tilik (check list) yang disiapkan terlebih dahulu. Kuesioner ini mencakup hal- hal yang diselidiki, diamati, atau diobservasi.

3. Kuesioner untuk wawancara (form of quesioning)

Jenis keusioner ini digunakan untuk mengumpulkan data melalui wawancara. Alat ini lebih digunakan unutk memperoleh jawaban yang akurat dari responden. Wawancara dapat dilakukan dengan personal interview (door to door) atau telephone interview.

Di samping sudah tercakupnya tujuan dari surveinya, suatu kuesioner yang baik juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Relevan dengan tujuan dan hipotesis penelitian.

b. Mudah ditanyakanc. Mudah dijawabd. Mudah diproses

B. Masalah- masalah yang Timbul Masalah penting yang sering timbul dari penggunaan kuesioner dalam suatu survey adalah variasi dari responden terutama menyangkut a) tingkat pendidikan , b) prejudice, c) perbedaan daerah di mana responden bertempat tinggal, d) latar belakang pekerjaan. Bagaimanapun juga baiknya pemilihan responden (sample) perbedaan- perbedaan individual tetap ada/ muncul. Oleh karena itu jauh sebelum menyusun suatu kuesioner kita harus menyadari hal- hal yang demikian. Dengan adanya perbedaan/ variasi dari responden tersebut, mungkin dalam penggunaan kuesioner akan timbul antara lain hal sebagi berikut :

1. Responden tidak mengerti pertanyaan : jawaban yang diberikan tidak ada hubungannya dengan pertanyaan yang diajukan. Pewawancara tidak selalu menyadari tentang hal itu, karena nampaknya/ pewawancara menganggap masih logis. Barangkali jika pewawancara memahami benar tentang pertanyaan, dia akan menyadari tidak relevannya jawaban dengan pertanyaan.

2. Responden mengerti pertanyaannya, mempunyai informasi (datanya) akan tetapi mungkin tidak mengetahui mana informasi penting yang harus diingat.

3. Responden mengerti pertanyaan, mempunyai informasi tetapi tidak mau menjawab/ memberikan informasi yang dimaksud. Hal ini umumnya menyangkut pertanyaan- pertanyaan tentang masalah pribadi misalnya mengenai gaji, kepemilikan suatu barang, dan lain- lain.

4. Responden mengerti pertanyaannya, mau menjawab tetapi tidak mampu untuk mengemukakan. Ada tiga alasan pokok yaitu pertama responden tidak mau menguraikannya. Kedua, pertanyaannya kurang tepat diajukan kepada responden. Ketiga responden tidak mengetahui jawabannya. 5. Responden mengerti pertanyaannya dan tahu jawabannya, tetapi pertanyaannya kurang tepat diajukan kepada responden. Misalnya respoden tidak/ belum mempunyai anak, ditanyakan di mana tempat melahirkan. C. Prinsip- prinsip Pembuatan Kuesioner

Pembuatan kuesioner perlu memperhatikan masalah- masalah yang sering timbul sebagaimana telah diuraikan di atas. Sebagai pedoman di sini diuraikan bagaimana sebaiknya suatu kuesioner yang sedapat mungkin memanuhi syarat sebagai berikut :

1. Jelas

Pada umumnya masalah yang timbul menyangkut penggunaan kata- kata yang tepat supaya responden memahami benar pertanyaan yang diajukan. Ada kalanya hanya karena satu kata yang ganji maka jawabannya berbeda dan jauh dari yang diharapkan.

Penggunaan double negative yang merupakan kesalahan. Diusahakan menghindari membuat pertanyaan misalnya : Tidakkah sebaiknya penderita demam berdarah tidak

Penggabungan beberapa pertanyaan ke dalam satu pertanyaan, misalnya : mengapa Saudara lebih sering menyenangi cara pemberantasan penyakit demam berdarah melalui PSN dengan menggerakkan peran serta masyarakat daripada fogging atau abatisasi.

Jangan sampai terdapat pertanyaan yang mengacu ke jawaban sebelumnya tetapi tanpa menyebutkan secara jelas yang mana. Oleh karena itu sebaiknya pertanyaan- pertanyaan yang merefer ke jawaban sebelumnya perlu dicantumkan misalnya : Sewaktu Saudara melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang PSN, apakah Saudara mengalami hambatan dalam rangka menumbuhkan peran serta masyarakat.

Pertanyaan yang terlalu luas batasannya, misalnya : Berapa kali Saudara melakukan supervise dalam rangka kegiatan program pemebrantasan DBD di Puskesmas ? Di sini batasan waktu terlalu luas, mungkin setahun yang lalu atau bahkan 3 bulan yang lalu. Sebaiknya diberikan batasan waktu misalnya : Dalam 3 bulan terakhir ini Saudara berapa kali melakukan supervise dalam rangka program pemberantasan DBD di Puskesmas ?

2. Membantu ingatan responden

Pertanyaan harus dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan responden untuk mengingat kembali hal- hal yang diperlukan untuk menjawab suatu pertnyaan. Cara yang sering dipakai ialah menggunakan Time line dengan mengambil suatu peristiwa penting yang mudah diingat oleh responden. Kemudian setahap demi setahap menuju ke pertanyaan yang betul- betul diinginkan. Sebagai contoh misalnya ingin menanyakan berapa kali melakukan supervisi selama 3 bulan terakhir ini ? Diikuti dengan pertanyaan di Puskesmas mana melakukan supervisi ? Berapa kali melakukan supervisi ?

3. Membuat responden bersedia untuk menjawab

Bagaimanapun baiknya suatu kuesioner akan tidak ada artinya jika responden tidak mau atau menolak untuk member jawaban. Hal ini bias terjadi karena susunan pertanyaan ataupun kata- katanya kurang tepat. Usahakan tidak menanyakan hal hal yang sulit atau bersifat sangat pribadi pada permulaan wawancara. Susunlah pertanyaan tentang hal- hal yang sangat mudah dijawab dan menyenangkan responden. Sebaiknya pertanyaan yang sulit diberikan menjelang akhir wawancara.

4. Menghindari bias

Kadang- kadang responden mengetahui jawaban yang sebenarnya dari suatu pertanyaan tetapi dia menolak atau member jawaban yang lain. Paling sering ialah income atau pengeluaran sebaiknya meminta ditanyakan tidak jumlah tepatnya tetapi dengan menanyakan dalam bentuk range. Hal lain adalah penggunaan kata- kata yang aga muluk dan sekaligus mengundang bias misalnya : responden akan meberikan jawaban karena alasan ekonomi. Pada pertanyaan kenapa Ibu berobat ke dukun, daripada menjawab ke dukun lebih murah maka kata- kata ekonomi lebh disenangi daripada murah meskipun keduanya mempunyai arti sama. Oleh karena itu dalam pertanyaan multiple choice jawaban- jawabannya harus dipikirkan agar tidak mengundag bias.

5. Mudah mengutarakan

Dalam banyak hal responden mengetahui jawabannya hanya saja mengalami kesulitan dalam mengutarakan. Dengan bantuan gambar, responden cukup hanya menunjuk jawaban mana yang harus menerangkan dengan kata- kata yang sulit. Contohnya adalah tentang jenis obat yang diminum. Sebaiknya interviewer membawa berbagai macam obat misalnya pil, kapsul, atau cairan dan warnanya untuk ditunjukkan kepada responden. Responden tinggal memilih atau menunjuk mana yang dia telah minum daripada harus menerangkan bentuk dan warnanya dengan kata- kata.

6. Dapat menyaring respoden

Penting sekali langkah untuk menyaring responden sebab kalau tidak pertanyaan- pertanyaan tertentu mungkin tidak bias dijawab karena ditanyakan ke responden yang salah. Misalnya pertanyaan tentang frekuensi supervisi yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan program pemberantasan DBD, ditanyakan kepada orang/ responden yang tidak pernah melakukan supervisi. Sudah barang tentu yang bersangkutan tidak akan/ tidak bias menjawab. Oleh sebab itu pertanyaan- pertanyaan khusus yang hanya ditanyakan kepada responden tertentu harus didahului dengan pertanyaan- pertnyaan penyaring. Contoh : Apakah Saudara dalam tahun anggaran ini pernah melakukan supervisi dalam kaitannya dengan pelaksanaan DBD ? Bila jawabannya Ya baru ditanyakan mengenai frekuensi. Sudah berapa kali? Selanjutnya : Di daerah mana saja ?

D. Unsur- unsur dalam Kuesioner

Ada empat aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kuesioner antara lain jenis, bentuk, isi, dan sequences (urutan- urutan).

1. Jenis Pertanyaan

a. Pertanyaan mengenai fakta

Pertanyaan ini menghendaki jawaban fakta- fakta dari responden. Biasanya mengenai data- data demografi, misalnya pertanyaan tentang seks, income, pendidikan, agama, status perkawinan, jumlah anak, dan sebagainya.

b. Pertanyaan tentang Pengetahuan

Pertanyaan ini ingin memperoleh informasi tentang apa yang diketahui oleh repsonden tentang objek, misalnya pengetahuan tantang penyakit, penyebab penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan penyakit, dan sebagainya.

c. Pertanyaan mengenai Pendapat dan Sikap

Kedua hal ini sulit untuk membedakannya. Sebab kadang- kadang sikap seseorang itu mencermikan pendapatnya. Atau pendapat seseorang itu merupakan pernyataan dari sikapnya. Oleh karena itu, pertanyaan- pertanyaan mengenai sikap dan pendapat adalah mengenali jawaban- jawaban mengenai perasaan, kepercayaan, konsepsi/ pendapat/ ide, dan sebagainya.

d. Pertanyaan tentang Perilaku (Tindakan)

Pertanyaan ini ingin memperoleh informasi tentang apa yang telah dilakukan oleh resonden terhadap suatu objek misalnya : apakah responden rutin melakukan olahraga, apakah responden telah diimunisasi lengkap, dan sebagainya. Pertanyaan- pertanyaan ini bersifat recall (mengingat kembali), sehingga responden kemungkinan berbohong. Untuk mengukur perilaku yang paling baik sebenarnya melalui wawancara.

e. Pertanyaan- pertanyaan informatif

Pertanyaan- pertanyaan ini menghendaki jawaban- jawaban dari respoden mengenai apa yang telah diketahui, apa yang telah didengar dan seberapa jauh apa yang diketahui serta dari mana mereka tahu, dan sebagainya.

2. Bentuk Pertanyaan

Pada prinsipnya ada dua bentuk pertanyaan yaitu open ended question dan close ended question atau structureda. Bentuk Pertanyaan Terbuka (Open Ended)

1) Free Response Question Jenis pertanyaan ini jawabannya tidak terbatas dan terserah kepada responden. Biasanya jenis pertanyaan ini digunakan untuk mengetahui opini, perspesi atau motif tertentu dari responden. Misalnya : Bagaimana pendapat Saudara tentang program pemberantasan DBD ?

Pertanyaan seperti ini membolehkan responden untuk menjawab apa yang dia piker, ketahui dan sebagainya. Kelemahan dari jenis pertanyaan semacam ini adalah sulit diolah/ ditabulasi berhubung perbedaan- perbedaan interpretasi dari jawaban- jawabannya.

2) Direct Response Question Berbeda sedikit dengan free response question, jenis pertanyaan ini sudah sedikit diarahkan, tidak terlalu luas misalnya untuk contoh pertanyaan tentang program pemberantasan DBD. Di sini hanya dipilih salah satu metode yaitu PSN. Jawabannya lebih terarah dan lebih mudah untuk dibandingkan antara jawaban dari satu responden ke lainnya karena hanya menyangkut masalah yang lebih kecil dan sama. Bentuk pertanyaan ini meskipun sulit untuk ditabulasi, tetapi mempunyai keuntungan dapat menggali semua pendapat, keinginan, dan sebagainya dari responden, sehingga kualitas data yang diperoleh dapat terjamin.

b. Bentuk Pertanyaan Tertutup (Closed Ended)

Bentuk pertanyaan ini mempunyai keuntungan mudah mengarahkan jawaban responden, dan juga mudah diolah (ditabulasi). Tetapi kurang mencakup atau mencerminkan semua jawaban dari responden.

1) Dichotomous QuestionDi sini responden hanya diberikan kebebasan untuk memilih satu jawaban saja dari dua jawaban yang tersedia. Jenis pertanyaan ini banyak menggunakan jawaban Ya dan Tidak. Misalnya : Apakah Saudara dalam satu bulan terakhir ini melakukan supervisi dalam kaitannya dengan pelaksanaan program pemberantasan DBD ? Jawabannya ialah Ya dan Tidak

Keuntungan pertanyaan jenis ini adalah mudah dalam mengolahnya/ menabulasikan. Di samping itu, menjawabnya pun tidak sulit karena hanya memilih satu dia antara dua jawaban. Pertanyaan ini dapat digunakan, bila kita sudah yakin dan tahu benar kemungkinan jawaban- jawabannya dari pertanyaan yang akan diajukan.2) Multiple choiceJenis pertanyaan ini jawabannya sudah disediakan dan responden tinggal memilih satu jawaban yang sesuai dengan opininya. Misalnya : Bagaimana pendapat Saudara tantang perlu tidaknya pemberantasan DBD melibatka masyarakat ?

Tidak tahu

Tidak perlu

Perlu

Keuntungan jenis pertanyaan ini ialah tidak sulit menjawabnya karena hanya memilih dan juga mudah dalam pengolahan/ tabulasinya. Perlu diingat di sini bahwa jenis pertanyaan ini baik untuk digunakan kalau kita sudah yakin dan tahu benar kemungkinan jawaban dari pertanyaann yang akan diajukan.

3) Check ListBentuk ini adalah modifikasi dari multiple choice. Di sini kita diberi kebebasan untuk memilih jawaban sebanyak mungkin. Sebagai contoh dalam hal ini adalah pertanyaan tentang tenpat bersarangnya nyamuk penular DBD :

Bak mandi

Tempayan

Ban bekas

Pot bunga

Lain- lain (sebutkan)..

Jawaban responden bisa lebih dari satu dan bahkan mungkin semua akan dicheck yang berarti responden mengetahui di mana saja nyamuk penular DBD dapat berkembang biak/ bersarang.

4) Ranking Question

Seperti pada check list, tetapi jawaban responden diurutkan dari jawaban- jawaban yang tersedia sesuai dengan pendapat, pengetahuan, atau perasaan respoden, biasanya menyangkut gradasi dari pendapat, sikap, dan sebagainya. Jadi responden diminta untuk mengurutkan jawaban- jawaban yang sesuai dengan pendapatnya. Menurut Ibu/ Bapak Saudara, kebutuhan apakah yang diutamakan untuk menangani stress ?

Pola makan

Olahraga

Istirahat

Rekreasi

Lain- lain (sebutkan).

3. Isi PertanyaanIsi pertanyaan hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian, serta tergantung pada dalam atau dangkalnya data yang digali. Banyaknya pertanyaan sangat relative, tergantung dari luasnya penelitian tersebut. Tetapi perlu diperhatikan pertanyaan yang terlalu banyak akan memakan waktu yang panjang, dapat menibulkan kebosanan dari responden. Apabila responden sudah bosan, maka jawaban- jawaban akan bias. Sebagai pegangan sementara, jumlah pertanyaan yang optimal adalah apabila pertanyaan tersebut ditanyakan akan memakan waktu 15 sampai dengan 30 menit, dan paling panjang 45 menit. Apabila pertanyaan tersebut terlalu panjang sehingga memakan waktu lebih dari 45 menit, sebaiknya interviewer dating dua kali untuk responden yang sama.

4. Urutan Pertanyaan

Model pertanyaan dapat dibentuk dari empat bagian yaitu introduksi, pertanyaan pemanasan, pertanyaan demografi, dan pertanyaan pokok. Namun demikian sebelum masuk dalam lembar pertanyaan, untuk kepentingan etika harus didahului dengan lembar persetujuan untuk diwawancarai dari responden. Lembar ini disebut Inform Concent atau persetujuan untuk diwawancarai. Sebelum wawancara, Inform Concent ini dibacakan kepada responden, untuk dimintakan persetujuannya untuk diwawancarai. Apabila responden setuju, wawancara dilanjutkan, tetapi bila responden tidak setuju berarti wawancara tidak dapat dilakukan.

a. Introduksi

Sebelum pertanyaan dimulai biasanya dibuka dengan judul penelitian tersebut. Sesudah itu diberi semacam kalimat pengantar, yang menjelaskan kepada responden tentang maksud atau tujuan dari penelitian tersebut juga tentang identitas responden.

b. Pertanyaan Pemanasan

Adalah pertanyaan mengenai latar belakang responden, misalnya di mana dilahirkan, dari mana asalnya, sudah berapa lama tinggal di kota tersebut, dan sebagainya.

c. Pertanyaan Demografi

Biasanya pertanyaan- pertanyaan yang berhubungan dengan umur, status, pendidikan, pekerjaan, etnis, agama, seks, dan sebagainya.

d. Pertanyaan- pertanyaan Pokok

Merupakan jantungnya kuesioner, sebab tujuan penelitian atau data- data yang akan diperoleh akan tercakup di dalam pertanyaan- pertanyaan ini. Dari sini digali semua data yang diperlukan dalam penelitian tersebut. Setelah pertanyaan pokok selesai, maka sebaiknya kuesioner ditutup dengan pertanyaan untuk membuktikan kebenaran jawaban- jawaban sebelumnya.

5. Pre Coding

Hasil jawaban dari suatu kuesioner selanjutnya akan diproses baik melalui coding sheet atau dimasukkan ke dalam kartu kode, maupun dengan alat- alat elektronik (komputer). Agar memudahkan dalam proses ini maka sebaiknya tiap jawaban/ alternatif dari tiap pertanyaan diberi kode tertentu misalnya huruf a, b, c, dan sebagainya, atau dengan angka 1, 2, 3, dan sebagainya. Proses semacam ini diberi nama prakoding (pre coding). Untuk menjawab atas alternative lain- lain biasanya diberi kode 9, 09, atau 99.

Contoh : Di mana ibu memeriksakan kandungan selama kehamilan ?

01. Ke Bidan

02. Ke Puskesmas

03. Ke dukun

04. Ke dokter kandungan

09. Lain- lain (sebutkan)..E. Prosedur Menyiapkan Kuesioner

1. Dalam perencanaan harus sudah ditentukan informasi/ data apa yang diperlukan dan dari sumber mana data tersebut akan diperoleh.

2. Informasi/ data yang ingin diperoleh dari sumber tersebut harus didaftar mulai dari data pokok yang diperlukan dan seterusnya. Umumnya tidak semua data/ informasi yang didaftar akhirnya benar- benar diperlukan. Oleh sebab itu data/ informasi yang tdaik penting perlu dihilangkan. Hal tersebut harus didasarkan pada kerangka pemikiran semula. Model atau kerangka dasar pemikiran akan mengarahkan pemikiran kita kea rah hipotesis. Berdasarkan model atau hipotesis kita akan dapat menentukan data apa yang kita perlukan/ perlu kita tanyakan.

3. Berikutnya kita mencoba menempatkan diri kita dalam posisi orang- orang yang akan meberikan tersebut. Apakah dalam posisi tersebut kita mampu memberikan informasi. Hal- hal apa yang kira- kira dapat atau sulit untuk dijawab.

4. Berikutnya adalah menentukan urutan topik. Topik mana yang paling baik sebagai pembuka wawancara dan mana yang baik sebagai penutup dan lain sebagainya. Dalam hal ini bila perlu dapat ditentukan pertanyaan- pertanyaan tertentu untk tidak ditanyakan pada kelompok responden tertentu dan lain sebagainya.

5. Topik- topik/ item- itemnya perlu diurutkan, kemudian baru kita tentukan tipe pertanyaaan apa yang harus kita gunakan untuk memperoleh informasi/ data yang dikehendaki. Apakah multiple choice, free response, check list, dan lainnya.

6. Setelah menentukan kira- kira pertanyaan apa yang akan digunakan, barulah kita tuliskan susunan kata- kata untuk tiap pertanyaan. Pertanyaan- pertanyaan ini harus ditulis dengan jelas agar mudah diketahui apakah pertanyaan- pertanyaan tersebut terdiri dari satu elemen atau lebih serta hubungannya dengan pertanyaan- pertanyaan sebelumnya. Penulisan pertanyaan ini biasanya diperbaiki berkali- kali agar baik susunan kata- katanya maupun urutan pertanyaan dan benar- benar telah sesuai dengan tujuan dari surveinya.

7. Setelah penulisan pertanyaan selesai, tentukan formatnya. Sediakan ruangan yang cukup untuk jawabannya. Kalau ada pertanyaan multiple choice ataupun check list harus sudah disiapkan kemungkinan jawaban- jawabannya.

8. Format kuesioner sudah selesai termasuk di dalamnya pertanyaan- pertanyaan yang telah tersusun dan jawaban yang diperlukan, tetapi kemungkinan masih terdapat kejanggalan- kejanggalan baik kata- katanya maupun susunannya. Oleh karena itu setelah format tersebut selesai, kita teliti kembali dan jika perlu diperbaiki lagi.

9. Kalau sudah yakin semuanya benar dan sesuai dengan yang kita maksud, tempatkan kembali diri kita sebagai responden. Dapatkah kita menjawab semua pertanyaan tersebut dan hitunglah waktu yang diperlukan. Kalau ternyata waktu yang diperlukan terlalu lama perlu dipikirkan kembali apakah ada hal/ pertanyaan yang dapat dihilangkan.

10. Berikutnya adalah menempatkan diri kita sebagai interviewer. Apakah pertanyaan- pertanyaan tersebut sudah baik dan mudah ditanyakan. Apakah bahasanya wajar. Apakah mudah dibaca dan mudah untuk menuliskan jawabannya.

11. Sampai dengan langkah ini semua pekerjaan dilakukan oleh yang berkepentingan ataupun instansi. Mungkin menurut pendapat kita semuanya sudah baik tetapi adalah pendapat yang keliru kalau kita berhenti di sini dan puas dengan yang telah kita capai.

12. Agar kuesioner lebih baik lagi perlu dimintakan pandapat/ saran dari pihak yang banyak tahu tentang topik/ masalah yang hendak kita teliti.

13. Kuesioner kemudian diuji coba di lapangan dengan beberapa responden (pretest) untuk memahami apakah mudah digunakan di lapangan atau tidak. Uji coba ini penting untuk penyempurnaan. Berdasarkan pengalaman/ hasil uji coba maka dapat diketahui mana pertanyaan yang perlu direvisi. Ada baiknya setelah diperbaiki dilakukan uji coba sekali lagi jika biaya memungkinkan.14. Setelah uji coba, kuesioner siap untuk diperbanyak dan siap untuk digunakan dalam penelitian yang sebenarnya.F. Komponen Inti Kuesioner

Emory- Cooper (1999) menyatakan bahwa palingt tidak terdapat 4 komponen inti dari sebuah kuesioner. Keempat komponen itu adalah ;

1. Subjek, yaitu individu atau lembaga yang melaksanakan riset.2. Ajakan, yaitu permohonan dari periset kepada responden untuk turut serta mengisi kuesioner secara aktif dan objektif.3. Petunjuk pengisian kuesioner yang mudah dimengerti dan tidak bias.4. Pertanyaan atau pernyataan beserta tempat mengisi jawaban, baik secara tertutup, semi tertutup, ataupun terbuka. Dalam kuesioner jangan dilupakan untuk identitas responden.

G. Kriteria Instrumen yang Baik

Instrumen pengumpul data yang baik, seperti kuesioner, menurut Sevilla (1988) minimal lima kriteria, yaitu :

1. Validitas

Yang dimaksud dengan validitas adalah pernyataan sampai sejauh mana data yang ditampung pada suatu kuesioner dapat mengukur apa yang ingin diukur. Misalkan seorang periset akan mengukur kepuasan kepuasan kerja karyawan, maka semua pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner semuanya berkaitan dengan kepuasan kerja karyawan. Tidak ada satu pun pertanyaan atau pernyataan yang keluar dari topik itu. Oleh karena itu perlu dilakukan uji validitas kuesioner.

2. ReliabilitasReliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran relatif konsisten apabila alat ukur tersebut digunakan berulang kali. Langkah kaki jangan dijadikan alat untuk mengukur panjang karena tiap- tiap langkah tidak sama panjangnya. Sebaiknya gunakanlah alat ukur meteran yang standar karena alat ukur ini konsisten untuk digunakan berulang kali. Dalam hal kuesioner, pertanyaan- pertanyaan yang termuat di dalamnya hendaknya dibuat sedemikian rupa, sehingga jika diisi berulang kali oleh responden hasilnya masih relatif konsisten. 3. Sensitivitas Dalam riset, sensitivitas dijelaskan sebagai kemampuan instrumen untuk melakukan diskriminasi. Bila reliabilitas dan validitas suatu instrumen tinggi, atau dengan kata lain sensitif, perbedaan atas tingkat variasi- variasi karakteristik yang diukur dapat mempertajam.4. ObyektivitasObyektivitas mengacu pada terbebasnya data yang diisikan pada kuesioner dari penilaian yang subyektif, misalnya perasaan responden yang cenderung mempengaruhi obyektivitas data.5. FisibilitasFisibilitas berhubungan dengan teknis pengisian kuesioner, serta penggunaan sumber daya dan waktu. Ada beberapa pengisian kuesioner yang sederhana, tetapi ada juga yang memerlukan waktu, tenaga, bahkan biaya yang lebih banyak. Kendala- kendala seperti ini perlu dipertimbangkan terlebih dahulu agar pelaksanaannya fisibel.

E. Uji kuesioner sebagai alat ukur

Kuesioner yang telah disusun tidak dapat langsung digunakan untuk mengumpulkan data. Kuesioner yang telah dibuat harus melalui uji validitas dan uji reliabilitas. Untuk itu maka perlu dilakukan uji coba di lapangan yang diberikan pada responden yang memiliki ciri-ciri yang responden di tempat di mana penelitian akan dilaksanakan. Sebaiknya jumlah responden untuk uji coba minimal 20 orang agar hasil pengukuran mendekati normal. Kemudian hasil dari uji coba ini digunakan untuk mengetahui apakah kuesioner sudah cukup memiliki validitas dan reliabilitas.F. Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mnegukur apa yang diukur (Soekidjo,2008). Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan tugas pengukurannya (Rusmini, 2009). Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada suatu kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut.

Kerlinger (1990) membagi validitas menjadi tiga, yaitu content validity (validitas isi), construct validity (validitas konstruk), dan criterion-related validity (validitas berdasar kriteria).

1. Validitas Isi (Content Validity)

Validitas isi merupakan validitas yang diperhitungkan melalui pengujian terhadap isi alat ukur dengan analisis rasional yaitu sejauh mana item-item dalam suatu alat ukur/kuesioner mencakup keseluruhan objek penelitian yang hendak diukur dari keseluruhan populasi. Artinya bahwa alat ukur tersebut tidak harus komprehensif saja isinya, tetapi harus pula memuat hanya isi yang relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur. Walaupun isi atau kandungannya komprehensif tetapi bila suatu alat ukur mengikutsertakan pula item-item yang tidak relevan dan berkaitan dengan hal-hal di luar tujuan ukurnya, maka validitas alat ukur tersebut tidak dapat dikatakan memenuhi ciri-ciri validitas yang sesungguhnya.

Validitas isi terbagi menjadi dua tipe, yaitu face validity (validitas muka) dan logical validity (validitas logis).

a. Face Validity (Validitas Muka)

Validitas muka adalah tipe validitas yang paling rendah signifikasinya karena hanya didasarkan pada penilaian selintas mengenai isi alat ukur. Apabila isi alat ukur telah tampak sesuai dengan apa yang ingin diukur, maka dapat dikatakan validitas muka telah terpenuhi. Dengan alasan kepraktisan, banyak alat ukur yang pemakaiannya terbatas hanya mengandalkan validitas muka.

b. Logical Validity (Validitas Logis)Validitas logis disebut juga sebagai validitas sampling. Validitas tipe ini menunjuk pada sejauh mana isi alat ukur merupakan representasi dari aspek yang hendak diukur. Untuk memperoleh validitas logis yang tinggi, suatu alat ukur harus dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar berisi hanya item yang relevan dan perlu menjadi bagian alat ukur secara keseluruhan. Suatu objek ukur yang hendak diungkap oleh alat ukur sebaiknya harus dibatasi lebih dahulu lingkup perilakunya secara seksama dan konkrit. Validitas logis memang sangat penting peranannya dalam penyusunan tes presentasi dan penyusunan skala, yaitu dengan memanfaatkan blue-print atau tabel spesifikasi.

2. Validitas Konstruk (Construct Validity)Validitas konstruk adalah ketepatan pengukuran dalam menilai ciri atau keadaan subyek yang diukur, sehubungan dengan teori atau hipotesis yang melatarbelakanginya. Validitas konstruk menggambarkan 2 hal sekaligus yaitu validitas pengukuran sendiri dan kebenaran teori atau hipotesis yang melatarbelakangi penyusunan instrumen ukur tersebut.

3. Validitas Berdasar Kriteria (Criterion-related Validity)

Validitas kriterium (validitas prediksi) adalah sifat yang menggambarkan tingkat keterandalan instrumen pengukuran (prediktor) untuk meramal keadaan atau kemampuan tertentu (kriterium) subyek. Pendekatan validitas berdasarkan kriteria diharapkan akan tersedianya kriteria eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian suatu alat ukur. Suatu kriteria adalah variabel perilaku yang akan diprediksikan oleh suatu alat skor. Untuk melihat tingginya validitas berdasar kriteria, maka dilakukan komputasi korelasi antara skor alat ukur dengan skor kriteria. Validitas berdasar kriteria menghasilkan dua macam validitas, yaitu validitas prediktif (predictive validity) dan validitas konkruen (concurrent validity).

a. Validitas prediktif (predictive validity)

Validitas prediktif sangat penting artinya bila alat ukur dimaksudkan berfungsi sebagai prediktor bagi kinerja di masa yang akan datang. Contoh validitas prediktif yaitu seleksi penerimaan karyawan baru, penempatan karyawan, seleksi penerimaan mahasiswa baru

Contohnya adalah pada saat kita melakukan pengujian validitas alat ukur kemampuan yang digunakan dalam penempatan karyawan. Kriteria yang terbaik antara lain adalah kinerjanya setelah karyawan tersebut betul-betul ditempatkan sebagai karyawan dan melaksanakan tugasnya selama beberapa waktu. Skor tersebut dapat diperoleh dengan cara menggunakan indeks produktivitas dan rating yang dilakukan oleh atasan.

b. Validitas Konkruen

Validitas konkruen tepat digunakan apabila skor alat ukur kriterianya dapat diperoleh dalam waktu yang sama, maka korelasi antara kedua skor tersebut merupakan koefisien validitas konkruen. Untuk menguji validitas skala, maka dapat menggunakan skala kecemasan yang telah lebih dahulu teruji validitasnya, seperti alat ukur TMAS (Tylor Manifest Anxiety Scale).

Validitas konkruen merupakan indikasi validitas yang memadai apabila alat ukur tidak digunakan sebagai suatu prediktor dan merupakan validitas yang sangat penting dalam situasi diagnostik. Bila alat ukur dimaksudkan sebagai prediktor, maka validitas konkruen tidak cukup memuaskan dan validitas prediktif merupakan keharusan

Dalam praktiknya, validitas berdasarkan kriteria yang sering dilakukan oleh praktisi peneliti, yaitu dengan melakukan korelasi Pearson Product Moment antar item kuesioner dengan jumlah skor kuesioner atau merupakan uji beda dari alat ukur tersebut, yaitu uji yang membedakan antara kelompok atas dengan kelompok bawah, dalam arti bahwa jawaban kelompok atas seharusnya mampu menjawab (nilai skor 1) dan kelompok bawah seharusnya tidak mampu menjawab (nilai skor 0).

Akan tetapi, uji ini tidak dapat menganalisis hubungan antar item dalam instrumen secara simultan sebagaimana metode multivariat. Kelemahan lain menggunakan uji ini adalah apabila jumlah responden (sampel) yang digunakan cukup besar, maka akan berdampak pada tingginya koefisien korelasi rxy, sehingga berdampak pada tingginya koefisien korelsi rxy dan berdampak pada kecenderungan untuk menjadi valid pada item tersebut. Uji korelasi dilakukan dengan cara mengkorelasikan item alat ukur dengan jumlah keseluruhan item alat ukur yang ada.Rumus umum koefisien korelasi Pearson product Moment adalah sebagai berikut :N ((XY) ((X.(Y)

R = -------------------------------------------------

( (N(X2 ((X) 2 } {N(Y2 ((Y) 2 }

Keterangan :

R : koefisien korelasi

X : jumlah skor pertanyaan

Y : jumlah skor total

N : jumlah responden

Kriteria pengujian :

Jika R > R tabel, berarti item pernyataan adalah valid

Jika R < R tabel, berarti item pernyataan adalah tidak valid

Contoh uji validitas :

Sebagai contoh kita akan mengukur pengetahuan imunisasi TT bagi ibu hamil, maka kita susun pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

a.Apakah ibu pernah mendengar tentang imunisasi TT ?

b.Apabila pernah mendengar, untuk siapa imunisasi itu diberikan ?

c.Apa manfaat imunisasi itu diberikan ?

d.Berapa kali imunisasi tersebut harus diterima ?

e.Penyakit apa yang dapat dicegah dengan imunisasi TT ?

f.Di mana ibu dapat memperoleh imunisasi TT tersebut ?

g.dst...

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diberikan kepada sekelompok responden sebagai sarana uji coba, kemudian pertanyaan-pertanyaan (kuesioner) tersebut diberi skor atau nilai jawaban masing-masing sesuai dengan sistem penilaian yang telah ditetapkan, misalnya :

- skor 2 untuk jawaban yang paling benar,

- skor 1 untuk jawaban yang mendekati benar,

- skor 0 untuk jawaban yang salah.

Sebagai gambaran, misalnya distribusi skor untuk masing-masing pertanyaan dari 10 responden adalah sebagai berikut :

RespondenSkor Nomor PertanyaanSkor Total

12345678910

A211201222114

B222112211115

C212102221013

D221212122116

E111222121013

F212102121012

G122101221113

H222212221016

I222110211012

J222202121014

Selanjutnya kita hitung korelasi antara skor masing-masing pertanyaan dengan skor total, sehingga ada 10 pertanyaan dalam kuesioner dan akan ada 10 uji korelasi, yaitu skor pertanyaan nomor 1 dengan total skor total masing-masing responden, skor pertanyaan nomor 2 dengan total skor total masing-masing responden, skor pertanyaan nomor 3 dengan total skor total masing-masing responden, dan seterusnya.Sebagai contoh perhitungan korelasi antara pertanyaan nomor 1 dengan total skor total masing-masing responden.RespondenXYX2Y2XY

A214419628

B215422530

C213416926

D216425632

E113116913

F212414424

G113116913

H216425632

I212414424

J214419628

N = 1018138361924250

Keterangan :X = pertanyaan nomor 1

Y = skor total responden

XY = skor pertanyaan nomo1 dikalikan dengan skor total responden

Selanjutnya dimasukkan angka-angka tersebut ke dalam rumus korelasi product moment seperti tertulis di atas, sebagai berikut :

N ((XY) ((X.(Y)

R = -------------------------------------------------

( (N(X2 ((X) 2 } {N(Y2 ((Y) 2 }

(10 x 250) (18 x 138)

R = ---------------------------------------------------

( (10 x 36) (18)2 (10 x 1924) (138)2

2500 -2484 16 16

R = ------------------- = ------------ = --------- = 0,190

( 36 x 196 ( 7056 84

Setelah dihitung semua korelasi antara masing-masing pertanyaan dengan skor totalnya, misalnya diperoleh hasil sebagai berikut :

Pertanyaan nomor 1 R = 0,190

2 R = 0,720

3 R = 0,640

4 R = 0,710

5 R = 0,550

6 R = 0,810

7 R = 0,690

8 R = 0,720

9 R = 0,660

10 R = 0,150

Untuk mengetahui apakah nilai korelasi tiap-tiap pertanyaan itu signifikan, maka nilai korelasi tersebut dibandingkan dengan tabel nilai korelasi product moment yang ada dalam buku-buku statistik.

Berdasarkan tabel nilai korelasi product moment untuk jumlah responden 10, memiliki taraf signifikansi 0,632. Oleh sebab itu, nilai korelasi dari pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner tersebut yang memenuhi taraf signifikansi (di atas 0,632) adalah pertanyaan nomor 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, sedangkan pertanyaan nomor 1, 5, dan 10 tidak bermakna. Selanjutnya untuk memperoleh alat ukur yang valid, maka pertanyaan nomor 1, 5, dan 10 tersebut harus diganti atau direvisi, atau didrop (dihilangkan).

G. Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama.

Misalnya saja apabila tinggi seorang anak diukur dengan meteran kayu dan pengukuran dilakukan berulang-ulang dengan meteran yang sama, maka hasilnya tinggi anak tersebut tetap sama, tetapi apabila meteran tersebut terbuat dari plastik maka hasilnya tidak tetap tergantung bagaimana cara memegang meteran plastik tersebut, apabila memegangnya agak kendor, maka hasilnya lebih rendah dan apabila memegangnya dengan tarikan yang kuat, maka kemungkinan hasilnya akan lebih tinggi. Oleh sebab itu meteran kayu menghasilkan pengukuran yang lebih reliabel dibandingkan dengan meteran plastik. Meteran kayu hasilnya lebih konsisten (ajeg), sedangkan meteran plastik hasilnya kurang konsisten.

Demikian halnya dengan kuesioner sebagai alat ukur untuk gejala-gejala sosial (non fisik) harus mempunyai reliabilitas yang tinggi. Untuk itu sebelum digunakan untuk penelitian harus dites (diuji coba) sekurang-kurangnya dua kali. Uji coba tersebut kemudian diuji dengan tes menggunakan rumus korelasi product moment. Perhitungan reliabilitas harus dilakukan hanya pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah memiliki validitas. Dengan demikian harus menghitung validitas terlebih dahulu sebelum menghitung reliabilitas.

Salah satu metoda yang dapat digunakan adalah metoda Alpha Cronbachs (). Metoda ini merupakan teknik pengujian reliabilitas suatu tes / angket yang sering digunakan karena dapat dipakai pada tes atau angket dengan jawaban atau pilihan terdiri dari dua pilihan atau lebih. Cronbachs Alfa diperoleh dengan rumus :

Keterangan :

r11 = reliabilitas instrumen

k =banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

= jumlah varian butir/item

= varian total

Tabel tingkat reliabilitas berdasarkan nilai alfa ()

AlphaTingkat Reliabilitas

0,00 0,20Kurang reliabilitas

>0,20 0,40Agak reliabilitas

>0,40 0,60Cukup reliabilitas

>0,60 0,80Reliabilitas

>0,80 1,00Sangat reliabilitas

Untuk dapat lebih memahami maksud reliabilitas, maka diajukan pertanyaan (1) Apakah pengukuran yang kita lakukan berkali-kali pada obyek yang sama menghasilkan skor yang sama ? kalau jawabannya adalah ya, maka berarti pengukuran yang dilakukan tersebut reliabel (konsistensi atau stabilitas), (2) Apakah skor yang diperoleh dengan pengukuran tersebut merupakan skor yang sebenarnya ? kalau jawabannya adalah ya, maka berarti pengukuran yang dilakukan reliabel (akurasi atau ketepatan), (3) seberapa banyak penyimpangan skor hasil pengukuran dari skor yang sesungguhnya ? kalau jawabannya sedikit sekali atau mendekati 0, berarti reliabel (precicion, ketelitian).

Ciri reliabilitas yaitu 1. Konsistensi atau stabilitas,

2. Ketepatan

3. Ketelitian. Ciri kedua yaitu ketepatan dalam prakteknya tidak pernah terpenuhi secara mutlak. Data yang diperoleh dengan pengukuran tidak pernah mencapai realitas (kebenaran) yang sesungguhnya. Dengan demikian, pendekatan terhadap reliabilitas pada umumnya dilakukan dengan mempelajari kaitan antara skor sebenarnya (Xb) dengan skor yang diamati (Xa) dan kesalahan skor (Xs). Secara matematis dapat dirumuskan :

Xb = Xa + Xs.

Dari persamaan matematis tersebut dapat dikembangkan pengertian bahwa dalam praktek, reliabilitas dapat diupayakan dengan meminimasi kesalahan skor (Xs) agar skor yang diamati (Xa) mendekati skor sebenarnya.

Untuk pengukuran fenomena kedokteran sosial yang sebagian berupa fenomena psiko-sosial, pada umumnya digunakan instrumen pengukuran yang berupa eksplorasi terhadap subyek penelitian dengan sejumlah pertanyaan, baik dengan teknik wawancara maupun dengan teknik kuesioner, karena pengukuran terhadap satu fenomena tertentu (misalnya terhadap persepsi subyek) digunakan beberapa butir pertanyaan, maka ciri konsistensi reliabilitas dikenal ada 2 macam yaitu konsistensi dalam dan konsistensi luar.

1. Konsistensu dalam

Ciri konsistensi dalam adalah mempermasalahkan kesesuaian antar butir-butir substansi pertanyaan dalam satu kelompok yang digunakan untuk mengeksplorasi satu fenomena atau variabel.

2. Konsistensi luar

Ciri konsistensi luar adalah mempermasalahkan kesesuaian antara kelompok butir-butir substansi pertanyaan tersebut dengan instrumen ukur lain yang sudah baku atau reliabel, atau dengan instrumen yang sama yang dilakukan pada pengukuran lain.

Atas dasar ciri konsistensi tersebut, dikenal 2 cara pendekatan (pengujian) terhadap reliabilitas pengukuran, yaitu yang menguji konsistensi dalam dan yang menguji konsistensi luar.

1. Pengujian konsistensi dalam

Pengujian konsistensi dalam dengan banyak cara pengujian reliabilitas sehubungan dengan konsistensi dalamnya, tetapi pada prinsipnya adalah peneliti melakukan uji coba instrumen pada sekelompok subyek dengan satu alat ukur dan satu kali pengukuran. Skor yang diperoleh dari uji coba tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan berbagai teknik, teknik yang sering digunakan antara lain (1) teknik belah dua, (2) teknik Kuder-Richardson, dan (3) teknik Hoyt.

a. Teknik belah dua

Alat ukur (kuesioner) yang telah disusun dibagi menjadi dua. Oleh karena itu pertanyaan dalam kuesioner ini harus cukup banyak (memadai), sekitar 40-60 pertanyaan. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain :

1) Kuesioner diajukan kepada sejumlah responden, kemudian dihitung validitas masing-masing pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang valid dihitung, sedangkan yang tidak valid dibuang,

2) Pertanyaan-pertanyaan yang valid dibagi menjadi dua kelompok secara acak (random), belah tengah, ganjil-genap. Separo masuk ke dalam belahan pertama, separonya lagi masuk ke dalam belahan kedua,

3) Skor masing-masing item pada tiap belahan dijumlahkan sehingga akan menghasilkan 2 kelompok skor total yakni untuk belahan pertama dan belahan kedua,

4) Dilakukan uji korelasi dengan rumus korelasi product moment dengan formula Spearman Brown, formula Flanagan, atau formula Rulon antara belahan pertama dengan belahan kedua, hasil uji korelasi dibandingkan dengan angka kritis seperti pada contoh pengukuran validitas. Bila angka korelasinya sama atau lebih dari angka kritis pada derajat kemaknaan p 0,05 (lihat tabel) maka alat ukur atau kuesioner tersebut reliabel, tetapi bila hasil yang diperoleh di bawah angka kritis, maka kuesioner tersebut tidak reliabel sebagai alat ukur.

b. Teknik Kuder-Richardson (KR)

Teknik pengujian ini dipandang lebih baik daripada teknik belah dua, namun ada persyaratan tambahan yaitu butir-butir tes harus bersifat homogen. Homogenitas diperlukan karena teknik KR ini bukan didasarkan pada analisis korelasi tapi pada analisis butir (item analisis), dikenal ada 2 macam formula KR yaitu KR-20 dan KR-21.

c. Teknik Hoyt.

Teknik ini didasarkan pada analisis varians, dengan demikian nama lengkapnya adalah teknik analisis varians dari Hoyt. Pada analisis Hoyt ini, data hasil uji coba dianggap sebagai data dari suatu penelitian dengan rancangan faktorial yang faktor pertamanya adalah subyek dan faktor keduanya adalah butir (item).

2. Pengujian konsistensi luar

Apabila pengujian terhadap konsistensi dalam dilakukan hanya dengan satu kali pengukuran, pengujian konsistensi luar dalam pengujian reliabilitas ini dilakukan dengan dua kali pengukuran pada sekelompok subyek yang sama. Ada dua macam teknik pengujian, yaitu teknik uji/tes ulang dan teknik paralel

a. Teknik Tes/Uji Ulang

Dengan teknik ini satu alat ukur (kuesioner) diujikan kepada sekelompok responden yang sama sebanyak dua kali dengan interval waktu antara uji pertama dengan uji kedua tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat, misalnya 15-30 hari, karena apabila selang waktu terlalu pendek kemungkinan responden masih ingat denga pertanyaan-pertanyaan pada tes pertama, sedangkan apabila selang waktu terlalu jauh maka kemungkinan pada responden sudah terjadi perubahan dalam variabel yang akan diukur.

Hasil pengukuran pertama dikorelasikan dengan hasil pengukuran kedua dengan menggunakan teknik korelasi product moment. Sebagai contoh :

Pengukuran Pertama

(skor total tiap responden)Pengukuran Kedua

(skor total tiap responden)

1415

1515

1313

1615

1314

1214

1313

1616

1213

1413

1413

Hasil pengukuran ini dihitung korelasinya dengan menggunakan rumus seperti pada contoh pengukuran validitas. Bila angka korelasinya sama atau lebih dari angka kritis pada derajat kemaknaan p 0,05 (lihat tabel) maka alat ukur atau kuesioner tersebut reliabel, tetapi bila hasil yang diperoleh di bawah angka kritis, maka kuesioner tersebut tidak reliabel sebagai alat ukur.

b. Teknik Paralel

Kita membuat 2 alat ukur (kuesioner) untuk mengukur aspek yang sama dengan dua kali pengukuran. Kedua kuesioner tersebut kemudian diujicobakan kepada sekelompok responden yang sama, kemudian masing-masing pertanyaan pada kedua kuesioner tersebut diuji validitasnya. Pertanyaan-pertanyaan dari kedua alat ukur yang vaid dihitung skor totalnya, sedangkan yang tidak valid dibuang, kemudian skor total masing-masing responden dari kedua kuesioner tersebut dihitung korelasinya dengan menggunakan teknik korelasi product moment seperti contoh di atas.DAFTAR PUSTAKA

Gulo, W. 2000. Metodologi Penelitian. Grasindo

Koentjaraningrat. 1992. Metode- metode Penelitian Masyarakat. Penerbit PT Gramedia dalam Artikel Langkah- langkah Menyusun Kuesioner oleh Kasnodiharjo Media Litbangkes Vol. III No. 02/ 1993.

Soekidjo, Notoatmodjo, Prof. Dr. 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta

Umar, Husein. 2002. Metode Riset Bisnis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama_1372213190.unknown

_1372213258.unknown

_1372213049.unknown