kuasa wajib pajak
DESCRIPTION
Tulisan-tulisan di www.ortax.org terkait Kuasa Wajib PajakTRANSCRIPT
PP 80 TAHUN 2007 VS PMK NO. 22/PMK.03/2008: SUATU KAJIAN HUKUM
Darussalam, SE, Ak, MSi, LLM Int.Tax dan Danny Septriadi, SE, MSi, LLM Int.Tax - Danny Darussalam Tax
Center, 2 April 2008
Pendahuluan
Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.03/2008 (selanjutnya disebut PMK
22/2008) yang membatasi peran kuasa Wajib Pajak yang berasal dari perguruan tinggi maupun peran
karyawan perpajakan dari Wajib Pajak (bukan konsultan pajak)[1], menyebabkan urusan untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakan menjadi tidak mudah dan tidak sederhana lagi. Dari sisi Wajib
Pajak yang mempunyai karyawan pajak, tidak dapat lagi memperdayakan karyawan pajak mereka terkait
dengan kuasa untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Dari sisi lulusan program perpajakan dari
perguruan tinggi, ilmu yang mereka dapatkan di jenjang D3, S1, S2, S3, atau bahkan Profesor Pajak
sekalipun hanya terbatas untuk menjadi kuasa Wajib Pajak sekelas (i) Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak
menjalankan usaha, (ii) Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha, tetapi peredaran usahanya
tidak lebih dari Rp 1,8 Miliar setahun, atau (iii) Wajib Pajak Badan yang peredaran usahanya tidak lebih dari
Rp 2,4 miliar setahun.
Dengan PMK 22/2008 tersebut, keberadaan karyawan perpajakan dan lulusan program perpajakan
tidak diberi tempat yang layak dalam sistem perpajakan Indonesia. Padahal selama ini, merekapun turut
bahu membahu dengan insan-insan perpajakan lainnya dalam mensosialisasikan pajak ke masyarakat luas.
Terkait dengan pembatasan ketentuan kuasa Wajib Pajak yang diatur dalam PMK 22/2008 tersebut, tulisan
ini mencoba menyoroti aspek hukum hubungan antara ketentuan tentang persyaratan kuasa Wajib Pajak
yang berasal dari jalur perguruan tinggi (bukan konsultan pajak) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 80 Tahun 2007 (selanjutnya disebut PP 80/2007) dan PMK 22/2008.
Ketentuan Hukum tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Ketentuan yang mengatur tentang pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia didasarkan
atas UU No. 10 tahun 2004. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah
sebagai berikut;
1. UUD 1945
2. UU/Peraturan Pemerintah (PP) pengganti UU
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Sedangkan Pasal 7 ayat (4) menyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain
sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan
pasal 7 ayat (5) menyebutkan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). Adapun jenis peraturan perundang-
undangan selain seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), menurut Penjelasan Pasal 7 ayat (4), antara
lain adalah peraturan yang dikeluarkan/diterbitkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, Menteri.
Ketentuan Hukum Tentang Kuasa Wajib Pajak yang Berasal dari Jalur Perguruan Tinggi (Bukan Konsultan
Pajak)
Berdasarkan Pasal 32 ayat (3) UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya
disebut UU KUP)[2], Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya. Untuk dapat menjadi kuasa Wajib Pajak, tentunya harus memenuhi persyaratan. Akan
tetapi, persyaratan apa saja yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi kuasa Wajib Pajak tidak diatur
atau belum cukup diatur di dalam UU KUP. Oleh karena belum diatur dalam UU KUP, maka persyaratan apa
saja yang harus dipenuhi untuk menjadi kuasa Wajib Pajak akan diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang tingkatannya di bawah UU. Oleh karena itu, Pasal 32 ayat (3a) UU KUP
memberikan wewenang kepada Peraturan Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai
persyaratan untuk menjadi kuasa Wajib Pajak. Di lain pihak, Pasal 48 UU KUP juga memberikan wewenang
kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah UU yaitu Peraturan
Pemerintah (PP) untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam UU KUP, tentunya
termasuk untuk mengatur persyaratan tentang kuasa Wajib Pajak yang memang belum cukup diatur dalam
UU KUP.
Apabila kita gambarkan dalam bentuk skema hubungan antara Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dan Pasal
48 UU KUP dapat digambarkan dalam Tabel 1:
Tabel 1
Hubungan Antara Persyaratan Kuasa Wajib Pajak yang Berasal dari Jalur Perpajakan Perguruan Tinggi
(Bukan Konsultan Pajak) Berdasarkan PP 80/2007 dan PMK 22/2008
Jadi, kalau kita lihat Tabel 1 di atas, tampak bahwa:
1. UU KUP memberikan wewenang untuk mengatur persyaratan kuasa Wajib Pajak melalui 2 (dua)
Pasal yang berbeda yaitu (i) Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, dan (ii) Pasal 48 UU KUP.
2. Atas dasar kuasa Pasal 48 UU KUP tersebut, diterbitkanlah PP 80/2007 yang dalam Pasal 28 ayat
(2), Pasal 28 ayat (3), dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) mengatur tentang persyaratan tentang kuasa
Wajib Pajak yang berasal dari perguruan tinggi (Bukan Konsultan Pajak). Sedangkan persyaratan
untuk menjadi kuasa Wajib Pajak yang melalui Jalur Konsultan Pajak belum diatur secara lengkap,
makanya didelegasikan kepada Peraturan Menteri Keuangan untuk mengaturnya (atas dasar Pasal
31 PP 80/2007).
3. Disisi lain, atas dasar kuasa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dan Pasal 31 PP 80/2007, diterbitkanlah PMK
22/2008. Yang menjadi pertanyaan, kenapa yang diatur oleh PMK 22/2008 justru persyaratan
kuasa Wajib Pajak yang berasal dari jalur perguruan tinggi (Bukan Konsultan Pajak)? Padahal
seharusnya yang diatur lebih lanjut adalah persyaratan kuasa Wajib Pajak yang berasal dari jalur
Konsultan Pajak, hal ini sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Pasal 31 PP 80/2007.
Sedangkan persyaratan untuk menjadi kuasa Wajib Pajak yang berasal dari perguruan tinggi (Bukan
Konsultan Pajak) sudah cukup diatur dalam Pasal 28 ayat (2), Pasal 28 ayat (3), dan Penjelasan
Pasal 28 ayat (3) PP 80/2007, sehingga tidak didelegasikan lagi kepada PMK (tidak seperti
persyaratan kuasa Wajib Pajak yang berasal dari jalur Konsultan Pajak yang belum cukup diatur
dalam PP 80/2007, maka atas dasar Pasal 31 PP 80/2007 didelegasikan kepada PMK untuk
mengatur lebih lanjut).
4. Walaupun PMK 22/2008 diberikan wewenang untuk mengatur tentang persyaratan kuasa Wajib
Pajak. Akan tetapi, dengan memperhatikan bunyi konsiderans dari PMK 22/2008 yang
memperhatikan UU KUP dan PP 80/2007, maka seharusnya PMK 22/2008 mengatur persyarataan
tentang kuasa Wajib Pajak yang berasal dari Jalur Konsultan Pajak.
5. Kalaupun PMK 22/2008, atas dasar kuasa pasal 32 ayat (3a) UU KUP, akan mengatur persyaratan
tentang kuasa Wajib Pajak yang berasal dari jalur perguruan tinggi (Bukan Konsultan Pajak), maka
pengaturan tersebut seharusnya selaras dengan pengaturan persyaratan kuasa Wajib Pajak yang
berasal dari jalur perguruan tinggi (Bukan Konsultan Pajak) seperti yang telah diatur dalam PP
80/2007. Jadi, seharusnya sifat pengaturan PMK 22/2008 hanya sekedar menjelaskan dan tidak
boleh menambah atau merubah persyaratan yang sudah ditetapkan oleh PP 80/2007 karena
secara hierarki peraturan perundang-undangan, kekuatan hukum PP lebih tinggi daripada PMK.
Akan tetapi persyaratan tentang kuasa Wajib Pajak yang diatur dalam PP 80/2007 dan PMK 22/2008 saling
bertentangan seperti yang penulis gambarkan dalam Tabel 2 dan Tabel 3. Dalam PP 80/2007, persyaratan
untuk menjadi kuasa Wajib Pajak dapat digambarkan dalam skema seperti terlihat dalam Tabel 2:
Tabel 2
Persyaratan Kuasa Wajib Pajak berdasarkan PP 80/2007
Tabel 3
Persyaratan Kuasa Wajib Pajak berdasarkan PMK 22/2008
Dari Tabel 2 dan 3 tersebut di atas, tampak bahwa persyaratan untuk menjadi kuasa Wajib Pajak antara PP
80/2007 dan PMK 22/2008 berbeda. Pertanyaan kita semua, yaitu:
1. Peraturan mana yang seharusnya dipergunakan? Apakah PP 80/2007 atau PMK 22/2008? Menurut
pendapat penulis, tentunya sama-sama bisa dipergunakan, karena masing-masing peraturan
tersebut yaitu PP 80/2007 dan PMK 22/2008 sama-sama mendapat kuasa dari pasal yang berbeda
dalam UU KUP.
2. Lantas, kalau sama-sama bisa dipergunakan, pertanyaan selanjutnya, peraturan mana yang lebih
tinggi hierarki kekuatan hukumnya? Tentunya, berdasarkan UU No. 10 tahun 2004, adalah PP
80/2007.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, ketentuan persyaratan kuasa Wajib Pajak, oleh UU KUP
didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan yang hierarki kedudukannya ada di bawah UU. Pasal
48 UU KUP mendelegasikan kepada PP 80/2007, sedangkan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mendelegasikan
kepada PMK 22/2008. Akan tetapi, ketentuan persyaratan kuasa Wajib Pajak yang diatur dalam dua
peraturan tersebut saling berbeda. Oleh karena sama-sama mendapat kuasa dari dua pasal yang berbeda
dalam UU KUP, tentunya kedudukan kedua peraturan tersebut sama-sama kuat. Akan tetapi, berdasarkan
hierarki peraturan perundang-undang yang tingkatannya dibawah UU, tentunya yang mempunyai kekuatan
hukum yang lebih tinggi seharusnya adalah PP 80/2007.
Akan tetapi, dalam praktik di lapangan sekarang ini, kejadian sebaliknya yang justru terjadi, PP
80/2007 yang disingkirkan oleh PMK 22/2008. Menurut pendapat penulis, kedua peraturan tersebut sama-
sama boleh digunakan. Permasalahan tentang peraturan mana yang hanya boleh dipergunakan, penulis
tertarik untuk mengutip pendapatnya Frans Vanistendael sebagai berikut ini ”.... the final interpretation of
tax laws belong to the judiciary”.[3] Jadi, sepanjang belum ada putusan final, melalui suatu uji materi, dari
Mahkamah Agung, kedua peraturan tersebut yaitu PP 80/2007 dan PMK 22/2008 bisa dipergunakan. Atau
dengan kata lain, persyaratan kuasa Wajib Pajak dalam PMK 22/2008 tidak bisa membatasi persyaratan
kuasa Wajib Pajak yang ada dalam PP 80/2007. Karena PP 80/2007 dan PMK 22/2008 sama-sama
mendapat kuasa dari dua pasal yang berbeda dari UU KUP, dan PP 80/2007 tidak pernah mendelegasikan
kepada PMK 22/2008 untuk mengatur lebih lanjut tentang persyaratan kuasa Wajib Pajak yang berasal dari
program studi perpajakan perguruan tinggi (Bukan Konsultan Pajak).
Jadi, menurut pendapat penulis, silahkan saja seseorang dalam menjalankan kuasa Wajib Pajak
mempergunakan PP 80/2007 atau PMK 22/2008.
[1] Terminologi Bukan Konsultan Pajak ini merupakan terminologi yang dipergunakan oleh PP 80/2007 dan PMK 22/2008 untuk lulusan program perpajakan dari perguruan tinggi dan karyawan perpajakan dari Wajib Pajak yang tidak mengikuti ujian sertifikasi konsultan pajak yang diselenggarakan oleh organisasi profesi konsultan pajak tertentu.[2] Yang dimaksud dengan UU KUP disini adalah UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 27 tahun 2007.[3] Frans Vanistendael, “Legal Framework for Taxation”, dalam Thuronyi (ed.), Tax Law Design and Drafting, IMF, 1996, hal. 34.
PMK NOMOR 22/PMK.03/2008: Tax Community Friendly atau Tax Profession Friendly?
Darussalam, SE, Ak, MSi, LLM Int.Tax dan Danny Septriadi, SE, MSi, LLM Int.Tax - Danny Darussalam Tax
Center, 15 Juli 2008
Pendahuluan
Seperti diketahui bersama, penerbitan suatu peraturan perpajakan di Indonesia yang tingkatannya di
bawah undang-undang sering dilakukan tanpa hearing terlebih dulu dengan pihak-pihak yang terkena
dampak atas peraturan tersebut. Salah satunya contohnya yaitu PMK No. 22/PMK.03/2008 tentang
Persyaratan dan Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (selanjutnya disebut PMK 22/2008).
Komunitas pajak, seperti jurusan perpajakan dari universitas yang terakreditasi A beserta mahasiswa dan
alumninya, karyawan divisi pajak dari suatu perusahaan, para pengusaha, dan praktisi perpajakan, yang
terkena dampak negatif atas kebijakan PMK 22/2008 tersebut tidak pernah diajak berbicara untuk didengar
pendapatnya.
Kontroversi atas PMK 22/2008 tersebut berasal dari Pasal 4 ayat (1) yang membatasi peran karyawan
Wajib Pajak dan seseorang yang mempunyai keahlian pajak yang bukan konsultan pajak untuk menjadi
kuasa Wajib Pajak untuk urusan tertentu seperti mendampingi Wajib Pajak selama pemeriksaan pajak dan
keberatan pajak. Adapun bunyi Pasal 4 ayat (1) dari PMK 22/2008 adalah sebagai berikut:
Seseorang yang bukan konsultan pajak termasuk karyawan Wajib Pajak hanya dapat menerima kuasa
dari :
1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto
atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah)
dalam 1 (satu) tahun; atau
3. Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari dari Rp 2.400.000.000,00 (dua miliar
empat ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun.
Kebijakan yang Tidak Bersahabat pada Komunitas Pajak
Penerbitan PMK 22/2008 jelas tidak memihak atau melayani kepentingan mayoritas komunitas pajak
yang ada tanah air kita. PMK 22/2008 cenderung memihak atau melayani kepentingan sebagian kecil dari
komunitas pajak yaitu organisasi profesi pajak tertentu. Patut dipertanyakan, di tengah suasana kehidupan
berbangsa yang semakin sulit ini masih saja ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang memberikan hak-hak
istimewa kepada suatu kelompok orang atau organisasi tertentu.
Kebijakan pajak dalam mengatur profesi pajak seharusnya memperhatikan hal-hal sebagai berikut di
bawah ini sebagaimana ditulis oleh Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael[1] dalam artikel Regulations for
Tax Professionals di buku Tax Law Design and Drafting:
1. Tujuan dari diterbitkannya pengaturan terhadap profesi perpajakan adalah untuk melindungi klien
dari tax advisor yang tidak kompeten. Akan tetapi, pengaturan tersebut dapat memberikan dampak
yang negatif jika ternyata pengaturan tersebut justru untuk melindungi kepentingan ekonomi dari
pihak-pihak yang mempunyai ijin untuk menjadi tax advisor atau dengan menghambat pihak lain
untuk memasuki profesi tersebut dengan menciptakan birokrasi berbelit yang sebenarnya tidak
perlu.
2. Setiap rencana penerbitan pengaturan terhadap profesi perpajakan sangat penting untuk
mengetahui di tahap awal berapa jumlah orang yang akan diperbolehkan untuk berprofesi di
bidang perpajakan. Ditetapkannya standar minimal pengalaman dan tingkat pendidikan dapat
untuk menentukan estimasi berapa jumlah supply tax advisor. Kemudian, permintaan (demand)
terhadap tax advisor tergantung dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan jumlah Wajib Pajak yang
menyampaikan SPT. Estimasi terhadap supply dan demand dari tax advisor akan menentukan
apakah untuk profesi perpajakan perlu atau tidak dilakukan pengaturan serta apakah profesi
perpajakan harus diberikan monopoli.
3. Monopoli dalam profesi perpajakan kadangkala memang diperlukan. Akan tetapi, tujuan dari
diadakannya monopoli adalah untuk kepentingan publik atau dengan kata lain bukan untuk
kepentingan pihak yang dapat berprofesi di bidang perpajakan. Kepentingan publik harus
diutamakan dengan terciptanya kualitas jasa di bidang perpajakan yang tinggi dan harga yang
terjangkau oleh masyarakat. Kemudian, dengan adanya monopoli diharapkan dapat menghilangkan
tax advisor yang tidak kompeten. Akan tetapi perlu diingat bahwa pada umumnya monopoli akan
menimbulkan harga yang tinggi. Terakhir, monopoli belum tentu dapat menghilangkan semua tax
advisor yang tidak kompeten. Hal ini dapat terjadi jika justru tax advisor yang tidak kompeten
berhasil menciptakan monopoli sehingga tax advisor yang berkompeten malah berada di luar
sistem. Oleh karena itu, monopoli hanya akan menghasilkan kualitas jasa konsultasi perpajakan
yang rendah dibandingkan dengan adanya free competition yang sehat.
4. Profesi di bidang perpajakan dapat diatur melalui undang-undang, akan tetapi tidak boleh
memberikan monopoli kepada organisasi profesi terhadap jasa konsultasi perpajakan. Dengan
adanya aturan ini maka konsumen dapat mempunyai pilihan untuk mendapatkan konsultasi pajak
dari konsultan pajak “terakreditasi” atau dari professional lainnya yang dalam praktik sehari-hari
berhubungan erat dengan perpajakan (seperti notary, accountant, auditor, lawyer, dan akademisi).
Kondisi ini dapat menciptakan kompetisi yang sehat antara konsultan pajak dengan profesi lainnya
dalam pemberian jasa tax advisory.
5. Untuk menjaga kualitas jasa tax advisor, maka setiap aturan yang diterbitkan tidak boleh
memberikan hanya satu jalur saja akses untuk memasuki profesi tax advisor untuk menghindari
terjadinya bottleneck.
6. Setiap aturan yang akan diterbitkan harus memperhatikan bahwa jasa perpajakan terhadap
perusahaan bukan dilakukan oleh eksternal tax advisor, melainkan oleh karyawan internal
perusahaan. Jika ada upaya pengaturan dari pemerintah mengenai jasa apa saja yang dapat
dilakukan oleh karyawan, maka hal tersebut tidak tepat karena perusahaan-lah, sebagai pemberi
kerja, yang paling tahu kebutuhan perusahaan. Oleh karena itu, pada umumnya karyawan bebas
untuk memberikan jasa perpajakan kepada pemberi kerja tanpa adanya pembatasan dari
pemerintah terhadap kualifikasi mereka. Terakhir, karyawan harus dibebaskan dari kualifikasi atau
standar yang dipersyaratkan kepada independent tax advisor.
7. Seringkali praktisi pajak di masa awal transisi membuka pintu lebar-lebar untuk memasuki profesi
perpajakan dengan menetapkan standar yang sangat minimal untuk memasuki profesi perpajakan.
Akan tetapi, kemudian menutup pintu tanpa memberikan celah sedikitpun setelah masa awal
transisi berakhir, sehingga praktisi pajak yang sudah mapan akan duduk dengan manis, di lain pihak
calon lain yang masih muda dan berkompeten akan terpinggirkan melalui halangan-halangan yang
sulit untuk diatasi (insurmountable entry barriers).
Dari apa yang diutarakan oleh Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael tersebut, terkait dengan penerbitan
PMK 22/2008, penulis berpendapat bahwa:
1. Komunitas pajak adalah pihak mayoritas yang terkena dampak negatif secara ekonomis dan sosial
akibat adanya pembatasan untuk menangani wajib pajak dengan skala kecil. Sedangkan organisasi
profesi adalah pihak minoritas yang mendapatkan keuntungan secara ekonomis ditinjau dari
pemberian hak eksklusif untuk menangani Wajib Pajak dengan skala besar. Atau dengan kata lain
kriteria pembatasan untuk menjadi kuasa Wajib Pajak bukan berdasarkan kompleksitas aspek
perpajakan dari suatu transaksi tapi berdasarkan nilai dari transaksi.
2. Organisasi profesi secara ekonomis di masa mendatang mempunyai potensi untuk menambah
pendapatan dari “hanya melaksanakan” ujian sertifikasi. Hal ini disebabkan karena karyawan
perusahaan yang skalanya melewati ambang batas Pasal 4 ayat (1) PMK 22/2208 untuk dapat
menjalankan kuasa harus menempuh ujian sertifikasi yang dalam ketentuan sebelumnya tidak ada
kewajiban untuk ikut ujian ikut sertifikasi. Jadi, kebijakan PMK 22/2208 ini menciptakan biaya
tinggi. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip efisiensi yaitu, menurut Duncant Bentley, bahwa
biaya administrasi dan kepatuhan pajak seharusnya serendah mungkin.[2]
3. Pada umumnya otoritas pajak akan melindungi pihak minoritas yang lemah dari kelompok
mayoritas yang pada umumnya lebih mempunyai kekuasaan agar tercipta keadilan dalam
berusaha. Di Indonesia, kondisi yang terjadi adalah sebaliknya, dengan terbitnya PMK 22/2008
dapat diartikan bahwa otoritas pajak berpihak terhadap pihak minoritas yang justru berpotensi
mendapat keuntungan secara ekonomis.
4. Sejalan dengan peranan pajak dalam APBN yang semakin penting dan upaya pemerintah untuk
meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak terhadap Wajib Pajak. maka kebutuhan
terhadap profesi perpajakan tentu akan meningkat. Di lain pihak PMK 22/2008 justru semakin
mempersulit banyak pihak untuk berprofesi di bidang perpajakan. Hal ini dapat menimbulkan
persaingan yang tidak sehat.
5. Syarat yang sangat ketat untuk berprofesi di bidang perpajakan dikhawatirkan dapat menyebabkan
tax advisor yang tidak kompeten yang justru menciptakan birokrasi yang panjang untuk
menghambat regenerasi atau modernisasi sehingga generasi muda yang berbakat sulit untuk
masuk ke dalam profesi ini.
6. Tidak ada otoritas pajak di negara manapun di dunia yang mengatur kualifikasi karyawan serta
mempersyaratkan kualifikasi karyawan setara dengan independent tax advisor. Yang paling tahu
kebutuhan dan kualifikasi karyawan adalah pemberi kerja atau perusahaan itu sendiri. Kemudian,
kalau Wajib Pajak ingin bertanya mengenai masalah perpajakan atau kesulitan dalam menjalankan
hak dan kewajiban pajaknya dapat bekonsultasi dengan Account Representative.
7. Terakhir, pertanyaan dari penulis, kalau komunitas pajak ingin bertanya mengenai alasan yang
rasional atas dimasukkannya Pasal 4 ayat (1) dalam PMK 22/2008 serta memberikan masukan yang
positif agar pasal tersebut segera dihapus sebaiknya ditujukan kepada siapa?
Kesimpulan
Tujuan perubahan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan (UU KUP) yaitu untuk
meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan negara. Selaras dengan
tujuan perubahan UU KUP tersebut. Duncant Bentley juga menyatakan bahwa ”...minimizing taxpayer
complience costs and making compliance easier is thought to improve revenue collection..”[3] Oleh karena
itu, jika Ditjen Pajak ingin meningkatkan penerimaan pajak maka dalam pembuatan kebijakan seharusnya
memperhatikan compliance cost Wajib Pajak. PMK 22/2008 justru menambah cost of compliance Wajib
Pajak. Akhir kata, terkait dengan modernisasi Ditjen Pajak, prinsip keadilan, dan dalam konteks pelayanan
prima kepada semua Wajib Pajak, hendaknya setiap kebijakan pajak yang diambil tidak memihak kepada
salah satu profesi tertentu dan kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit?
[1] Prof. Dr. Frans Vanistendael adalah Ketua dari European Tax College dan merupakan Pembimbing Thesis dari penulis (Darussalam) saat kuliah di Tilburg University Belanda.[2] Duncant Bentley, Taxpayers’Rights: Theory, Origin and Implementation, Kluwer Law International, 2007, hal. 71.[3] Duncant Bentley, ibid, hal. 72.
ADA APA DIBALIK KETENTUAN KUASA WAJIB PAJAK ?
Darussalam, SE, Ak, MSi, LLM Int.Tax dan Danny Septriadi, SE, MSi, LLM Int.Tax - Danny Darussalam Tax
Center, 26 Februari 2008
Catatan tentang Ketentuan Kuasa Wajib Pajak sejak UU KUP 2000, UU KUP 2007 serta PMK 22 tahun
2008
Tulisan ini sekali lagi mencoba menyoroti kebijakan pemerintah tentang ketentuan kuasa Wajib Pajak sejak
diberlakukannya UU KUP 2000, UU KUP 2007 serta PMK 22 tahun 2008 yang penuh kontroversi.
A. UU KUP Tahun 2000
A1. Sebelum 13 Oktober 2005
1. Pasal 32 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut
dengan UU KUP) menyatakan bahwa:
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Adapun mengenai persyaratan seseorang kuasa Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan
pemenuhan kewajiban perpajakan (selanjutnya disebut ”kuasa” Wajib Pajak) diatur dalam Pasal 32
ayat (3a) sebagai berikut ini:
Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
2. Atas dasar kuasa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tersebut, pada tanggal 26 Desember tahun 2000,
Menteri Keuangan mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 576/KMK.04/2000
(selanjutnya disebut KMK 576) yang dalam Pasal 1 ayat (2) memuat persyaratan tentang seorang
kuasa Wajib Pajak sebagai berikut :
o Menyerahkan surat kuasa khusus yang asli.
o Menguasai ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan.
o Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak
pidana dibidang keuangan negara.
Lebih lanjut Pasal 1 ayat (3) KMK 576 tersebut menyatakan bahwa seorang kuasa dianggap
menguasai ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf
b, apabila telah memperoleh pendidikan di bidang perpajakan yang dibuktikan dengan memiliki:
o Brevet yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, atau
o Ijazah formal pendidikan dibidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan
negeri atau swasta dengan status disamakan dengan negeri.
3. Dengan demikian atas dasar Pasal 32 ayat (3) huruf b dan ayat (3a) UU PPh serta Pasal 1 ayat (2)
dan ayat (3) KMK 576 seperti tersebut dalam poin 1 dan 2 di atas, dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang dapat menjadi kuasa Wajib Pajak dapat melalui JALUR sebagai berikut di bawah ini
Tabel 1
4. Untuk JALUR ”Brevet Pajak” yang diterbitkan oleh Ditjen Pajak, seseorang boleh menjadi kuasa
Wajib Pajak, berdasarkan Pasal 2 angka 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 485/KMK.03/2003
tanggal 30 Oktober 2003 (selanjutnya disingkat KMK 485), harus memiliki ”Sertifikat Konsultan
Pajak”.
5. Untuk mendapatkan ”Sertifikat Konsultan Pajak” tersebut, harus lulus ujian sertifikasi konsultan
pajak yang oleh Pasal 6 ayat (1) KMK 485, penyelenggaraanya diserahkan kepada Ikatan Konsultan
Pajak Indonesia (IKPI).
6. Selain itu, dalam Pasal 3 ayat (4) KMK 485, JALUR ”Brevet Pajak” juga diberikan kepada ”Pensiunan
Pegawai Ditjen Pajak”.
7. Berdasarkan penjelasan poin 4, 5, dan 6 tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang
boleh menjadi kuasa Wajib Pajak dapat digambarkan dalam Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2
A.2. Setelah 13 Oktober 2005
8. Akan tetapi, pada tanggal 13 Oktober 2005 Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 97/PMK.03/2005 (selanjutnya disingkat PMK 97) yang menyatakan bahwa
seseorang untuk menjadi kuasa Wajib Pajak hanya dapat melalui JALUR ”Brevet Pajak”, sehingga
seseorang yang ingin menjadi kuasa untuk menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan
melalui JALUR (1) ”dihilangkan”.
9. PMK 97 ini juga diberlakukan surut, sehingga para lulusan di bidang perpajakan dari perguruan
tinggi negeri maupun swasta yang disamakan negeri yang pada saat sebelum tanggal 13 Oktober
2005 boleh menjadi kuasa Wajib Pajak (berdasarkan KMK 576), maka sejak tanggal 13 Oktober
2005 mereka tidak boleh lagi menjadi seorang kuasa Wajib Pajak.
10. Dengan berlaku surut-nya PMK 97 ini menyebabkan para mahasiswa lulusan di bidang perpajakan
dari perguruan tinggi negeri maupun swasta yang telah lulus sebelum berlakunya PMK 97 tersebut
kehilangan hak mereka sebagai seseorang kuasa Wajib Pajak. Hak mereka menjadi kuasa Wajib
Pajak yang mereka peroleh berdasarkan KMK 576 tiba-tiba dicabut oleh PMK 97. PMK 97 ini
sebenarnya cacat hukum karena tidak memberikan Pasal Peralihan yang tetap memperbolehkan
seseorang menjadi kuasa Wajib Pajak yang pada saat PMK 97 tersebut diterbitkan telah menjadi
kuasa Wajib Pajak berdasarkan KMK 576. Ketentuan yang berlaku surut ini menyalahi prinsip legal
certainty. Apabila ketentuan yang berlaku surut ini diterapkan, maka tidak boleh merugikan
kepentingan masyarakat umum. Lebih lanjut, ketentuan hanya boleh berlaku surut apabila untuk
melindungi negara yang dalam bahaya. Jika penerbitan peraturan tidak sesuai dengan konsep
tersebut, maka peraturan tersebut sebenarnya batal demi hukum.
11. Apabila poin 8, 9, dan 10 tersebut disajikan dalam bentuk skema, maka seseorang yang dapat
menjadi kuasa Wajib Pajak dapat digambarkan dalam Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3
B. UU KUP Tahun 2007
12. Dengan diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang No. 6
tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pemerintah telah mengeluarkan
PP 80 tahun 2007 yang dalam Pasal 28 mengatur tentang kuasa Wajib Pajak. Dalam Pasal 28 ayat
(2) PP 80 tahun 2007 tersebut menyatakan bahwa kuasa Wajib Pajak dapat dijalankan oleh (i)
konsultan pajak dan (ii) bukan konsultan pajak. Lebih lanjut, Pasal 8 ayat (3) menyatakan bahwa
syarat untuk menjadi kuasa harus menguasai peraturan ketentuan perundang-undangan
perpajakan.
13. Siapa yang dapat dianggap menguasai peraturan perpajakan? Penjelasan Pasal 28 ayat (3) PP 80
tahun 2007 menyatakan sebagai berikut:
1. Konsultan Pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai peraturan ketentuan
perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi surat izin praktik
konsultan pajak yang dilengkapai surat pernyataan sebagai konsultan pajak.
2. Seorang kuasa yang bukan konsultan pajak dianggap menguasai peraturan ketentuan
perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi sertifikat brevet
atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh perguruan tinggi
negeri atau swasta dengan status terakreditasi A, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III.
Dengan demikian, pengaturan seseorang yang dapat menjadi kuasa Wajib Pajak yang diatur dalam
PP 80 tahun 2007 pada hakekatnya sama dengan yang diatur dalam KMK 576 yaitu melalui (i)
JALUR Brevet Pajak (konsultan pajak) dan (ii) JALUR perguruan tinggi di bidang perpajakan (bukan
konsultan pajak). Dalam bentuk Tabel dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabel 4
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 31 PP 80 tahun 2007, ketentuan tentang syarat mengenai kuasa
Wajib Pajak yang berasal dari JALUR Brevet Pajak (konsultan pajak) akan diatur lebih lanjut dalam
bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Pada tanggal 6 Februari 2008, atas dasar kuasa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dan Pasal 31 PP 80 tahun
2007, dikeluarkan PMK 22 tahun 2008 (selanjutnya disebut PMK 22). Akan tetapi, PMK 22 tersebut
bukannya mengatur tentang persyaratan kuasa Wajib Pajak yang berasal dari JALUR Brevet Pajak,
malahan membatasi kuasa Wajib Pajak yang berasal dari perguruan tinggi yang sebenarnya sudah
diatur secara jelas dalam PP 80 tahun 2007. Seharusnya PMK tersebut sifatnya hanya menjelaskan
PP 80 tahun 2007 dan bukan memperluas PP 80 tahun 2007 serta tidak boleh membatasi lulusan
jurusan pajak dari perguruan tinggi. Dengan terbitnya PMK 22 ini, maka seseorang yang menjadi
kuasa Wajib Pajak akan tampak seperti dalam Tabel 5 berikut ini
Tabel 5
Ternyata pembatasan tidak hanya diterapkan kepada kuasa Wajib Pajak yang berasal dari JALUR
perguruan tinggi saja, tetapi meluas kepada karyawan perusahaan. Dalam Pasal 4 PMK 22 ini,
karyawan perusahaan hanya boleh menjadi kuasa atau mewakili perusahaan (Wajib Pajak) di mana
dia bekerja sebatas dari:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto tidak lebih dari Rp 1,8 miliar dalam 1 tahun.
3. Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 2,4 miliar dalam 1 tahun.
Dengan ketentuan ini, PMK 22 telah berlaku diskriminasi dan memberikan hak monopoli kepada
organisasi profesi tertentu serta mengarahkan perusahaan untuk memakai jasa konsultan pajak
dari suatu organisasi profesi tertentu tersebut untuk dapat menjalankan hak dan kewajiban
perpajakan mereka. Perusahaan yang mempunyai karyawan yang ahli pajak tidak dapat
memperdayakan karyawannya tersebut. Ini tentunya akan menimbulkan biaya tinggi bagi
perusahaan dan mempersulit Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya.
PMK 22 ini tentunya akan memperkecil peluang bagi lulusan perguruan tinggi di bidang perpajakan
untuk bekerja sebagai seorang kuasa Wajib Pajak maupun bekerja sebagai karyawan di bidang
perpajakan. Implikasi lebih luas dari PMK 22 ini akan menyebabkan orang berpikir panjang untuk
mengambil jurusan pajak dan tentunya berdampak kepada pengembangan sistem perpajakan
Indonesia karena orang akan malas untuk mendalami perpajakan secara akademis atau secara
keilmuan. Ini tentu tidak kondusif bagi Ditjen Pajak sendiri.
C. Studi Perbandingan tentang Persyaratan Kuasa Wajib Pajak dan Profesi
Kuasa Wajib Pajak[1]
Menurut Victor Thuronyi (Senior Councel Taxation - IMF) dan Frans Vanistendael (Head of European
Tax College) menyatakan bahwa sangat sulit untuk melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan
baik jika tidak melibatkan tax advisor. Hal ini disebabkan karena hampir sebagian besar Wajib Pajak
susah untuk dapat memahami seluruh peraturan pajak dengan tepat karena rumitnya peraturan
pajak tersebut. Dalam kontek inilah diperlukan seorang tax advisor untuk menjadi kuasa Wajib
Pajak agar Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar.
Oleh karena pentingnya kedudukan tax advisor ini dalam sistem perpajakan, maka mereka
menyarankan agar terdapat suatu aturan tentang profesi tax advisor. Aturan tersebut dibutuhkan
untuk melindungi Wajib Pajak dari tax advisor yang tidak memiliki keahlian. Akan tetapi, jangan
sampai aturan tersebut disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu dan jangan sampai
aturan tersebut membatasi hak seseorang yang punya keahlian di bidang perpajakan untuk
berprofesi sebagai tax advisor dengan cara menciptakan birokrasi tambahan yang seharusnya tidak
diperlukan.
Kemudian, mereka mengatakan bahwa pada umumnya profesi di bidang perpajakan dijalankan
oleh tiga kelompok yaitu (i) accountants, (ii) lawyers, dan (iii) other tax advisor. Pertanyaan yang
bersifat politis adalah apakah profesi ini harus dijalankan dengan monopoli? Dengan monopoli
diharapkan dapat menghindari masuknya orang-orang yang tidak berkompeten dalam memberikan
jasa perpajakan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa monopoli tidak dapat sepenuhnya
menghilangkan pemberian jasa perpajakan yang tidak berkualitas. Hal ini dapat terjadi jika para
kuasa Wajib Pajak yang tidak kompeten justru yang melakukan monopoli. Di lain pihak, jika orang
yang memiliki kualitas pengetahuan perpajakan dipersulit untuk dapat memasuki profesi tersebut,
maka monopoli akan menghasilkan kuasa Wajib Pajak yang tidak berkualitas.
Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael juga mengingatkan bahwa untuk mengembangkan profesi
tax advisor agar dihindari pemberian hak eksklusif untuk memasuki profesi tax advisor hanya
kepada satu wadah tertentu saja. Dengan demikian, ketika suatu syarat utama untuk menjadi
kuasa Wajib Pajak adalah melalui ijazah formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh
perguruan tinggi, maka dalam rangka untuk menghindari monopoli harus ada suatu ketentuan
yang mengatur alternatif lain untuk menjadi tax advisor yaitu melalui tes resmi yang
diselenggarakan oleh pemerintah, yang tingkat kompetensinya sama dengan yang diselenggarakan
oleh perguruan tinggi. Dengan demikian, seseorang yang ingin berkarir sebagai kuasa Wajib Pajak
dapat memilih lewat ”jalur perguruan tinggi di bidang perpajakan” atau ”melalui tes resmi yang
diselenggarakan oleh pemerintah” bagi mereka yang tidak memilik ijazah formal di bidang
perpajakan.
Lebih lanjut Victor Thuronyi dalam bukunya yang berjudul Comparative Tax Law[2]
mengungkapkan bahwa masalah regulasi tentang profesi kuasa Wajib Pajak pada dasarnya dibagi
menjadi tiga sistem yaitu: (i) Full Regulation, (ii) Partial Regulation, dan (iii) No Regulation. Dalam
sistem Full Regulation diatur bahwa hanya tax advisor yang mempunyai lisensi yang bisa
memberikan konsultasi di bidang perpajakan (dianut oleh Jerman). Kalau dalam sistem Partial
Regulation, pada dasarnya siapapun boleh memberikan konsultasi di bidang perpajakan atau
mengisi SPT Wajib Pajak, akan tetapi bagi yang mengisi SPT wajib untuk menandatangani SPT
tersebut (dianut oleh USA). Sedangkan dalam sistem No Regulation, tidak diatur sama sekali
mengenai ketentuan tentang profesi kuasa Wajib Pajak, artinya semua orang dapat memberikan
jasa konsultasi pajak tanpa adanya hambatan (restriction) dan sistem ini dianut oleh banyak negara
(misalnya Belgia, Itali, Portugal, Inggris, dan Spanyol).
D. Kesimpulan dan Saran
Apa yang dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (2), ayat (3) PP 80 tahun 2007 dan Penjelasannya yang
menyatakan bahwa seseorang bisa menjadi kuasa Wajib Pajak tidak hanya melalui JALUR Brevet
Pajak (konsultan pajak) tetapi juga dapat melalui JALUR lulusan perguruan tinggi di bidang
perpajakan ternyata oleh PMK 22 tahun 2008 dibatasi ruang geraknya.
Dalam rangka untuk memperluas penciptaan lapangan pekerjaan yang saat ini semakin sulit
didapat, serta memperhatikan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 setelah Perubahan ke-empat yang
menyatakan
” Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian ”
maka seseorang yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan yang berasal dari JALUR
pendidikan formal berhak atas pekerjaan sebagai kuasa Wajib Pajak sesuai dengan keahlian yang
mereka miliki tanpa ada hambatan melalui penciptaan suatu birokrasi tambahan.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum, seharusnya persyaratan tentang kuasa Wajib Pajak
dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang dan tidak didelegasikan kepada Peraturan Menteri
Keuangan. Hal ini didasarkan pada pengalaman agar tidak terjadi lagi perubahan peraturan yang
diberlakukan surut yang melukai rasa keadilan, seperti yang telah diuraikan dalam poin IA dan IB.
Apabila diinginkan suatu Peraturan Menteri Keuangan yang ingin mengatur tentang kuasa Wajib
Pajak seperti diatur dalam PMK 22 tahun 2008, hendaknya Peraturan Menteri Keuangan tersebut
tidak boleh bertentangan dan tidak boleh memperluas ketentuan kuasa Wajib Pajak sebagaimana
telah diatur dalam PP 80 tahun 2007. Lebih lanjut, perlu adanya public expose terlebih dahulu
untuk mendengar pendapat pihak-pihak yang terkena dampak atas peraturan yang akan
diterbitkan.
Dengan memperhatikan poin-poin tersebut di atas dan menyelaraskan dengan ketentuan kuasa
hukum berdasarkan PMK No. 06/PMK.01/2007, serta mengingat bahwa UU KUP memberi
kesempatan bagi siapapun untuk dapat menjadi kuasa Wajib Pajak sepanjang menguasai
ketentuan perpajakan (tidak seperti akuntan publik yang hanya dibuka untuk jurusan akuntansi saja
maupun advokat yang dibuka juga hanya untuk jurusan hukum saja), maka penulis berpendapat
seyogianya persyaratan dasar (minimal) untuk menjadi kuasa Wajib Pajak diatur seperti terlihat
dalam Tabel 6 di bawah ini:
Tabel 6
Oleh karena Tabel 6 tersebut di atas hanya merupakan persyaratan dasar (minimal), maka perlu
diatur lebih lanjut lagi mengenai peningkatan kompetensi kuasa Wajib Pajak oleh suatu organisasi
profesi kuasa Wajib Pajak atau konsultan Wajib Pajak yang didirikan berdasarkan Undang-undang
yang anggotanya terdiri dari tiga JALUR tersebut di atas. Dengan kata lain, organisasi profesi kuasa
Wajib Pajak atau konsultan pajak tersebut hendaknya dikembangkan atas dasar tiga pondasi JALUR
tersebut.
Dengan demikian, tugas pokok asosiasi profesi kuasa Wajib Pajak atau konsultan pajak adalah
mengembangkan kurikulum perpajakan bagi perguruan tinggi perpajakan, mengembangkan
pendidikan kompetensi profesi perpajakan, memperjuangkan adanya piagam hak-hak Wajib Pajak
(taxpayer right), dan menjadi salah satu mitra kritis Direktorat Jenderal Pajak.
Dengan kondisi demikian, diharapkan sistem perpajakan Indonesia dapat berkembang menuju ke
arah yang lebih baik lagi. Atau dengan kata lain, menuju suatu sistem perpajakan ideal dengan
ditopang oleh pihak-pihak yang berkepentingan atas perpajakan Indonesia yang satu sama lain
saling mendukung dan bukan saling menjegal. Semoga.
[1] Disarikan dari Tulisan Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael, Tax Law Design and Drafting, IMF, 1996, hal.135-141. Prof. Frans Vanistendael adalah dosen salah satu penulis (Darussalam) saat belajar di Tilburg University Belanda.[2] Victor Thuronyi, Comparative Tax Law, Kluwer Law International, 2003, hal. 228.
***seluruh tulisan di atas diambil dari www.ortax.org***