kualifikasi dai fdk.pdf

94

Click here to load reader

Upload: ekal-syamil

Post on 17-Jan-2016

215 views

Category:

Documents


122 download

TRANSCRIPT

Page 1: kualifikasi dai FDK.pdf

BEKAL DA’I DALAM TAFSIR AL-MISBAH KARYA MUHAMMAD

QURAISH SHIHAB

(analisis Al-Qur’an surat al-muddatsir ayat 1-7)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk memenuhi Syarat-syarat Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh:

SITI MASITOH

NIM. 104051001847

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010

Page 2: kualifikasi dai FDK.pdf

BEKAL DA’I DALAM TAFSIR AL-MISBAH KARYA MUHAMMAD

QURAISH SHIHAB

(Analisis Al-Qur’an surat Al-Muddatsir ayat 1-7)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk memenuhi Syarat-syarat Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh:

SITI MASITOH

NIM. 104051001847

Di bawah bimbingan

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010

Page 3: kualifikasi dai FDK.pdf

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata S1 di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang telah gunakan dalam penulisan skripsi telah saya cantumkan

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya saya merupakan jiplakan

dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

Universiatas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta.

Jakarta, 04 Desember 2010

Siti Masitoh

Page 4: kualifikasi dai FDK.pdf

i

ABSTRAK

Bekal Da’I dalam tafsir Al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab

(analisis Al-Qur’an surat al-muddatsir ayat 1 – 7)

Buku tafsir Al-Misbah adalah salah satu hal yang menarik bagi penulis,

karena ia merupakan buku yang dikarang oleh seorang mufassir terkenal yaitu: M.

Quraish Shihab. Dakwah yang dilakukannya sangat beragam mulia dari ceramah

mimbar yang monolog, diskusi interaktif dalam kajian dan seminar, hingga dalam

bentuk buku, sehingga beliau telah menerbikan puluhan judul buku dan salah

satunya yaitu buku Tafsir Al-Misbah, Pesan-kesan dan keserasian Al-Qur’an Juz

29. Penulis mengambil buku tafsir Al-Misbah ini karena menilai buku Tafsir ini

khususnya Tafsir al-Misbah Juz 29 yang menerangkan Surat Al-Muddatsir ayat 1

– 7 ini sangatlah membantu penulis dalam menulis skripsi ini sehingga menambah

pengetahuan dari berbagai persoalan yang telah menghimpit kita sekarang ini.

Bagaimanakah kualitas dan kapabilitas yang harus dimiliki dari dalam

Tafsir Al-Misbah ? Dan bagaimana relevansi bekal yang harus dimiliki Da’i

terhadap keadaan zaman sekarnag ini ?.

Dalam Tafsir Al-Misbah ini kualitas dan kapabilitas memang harus

seimbang dimiliki oleh Da’i dimana adanya bekal spiritual, moral, intelektual

serta hal-hal yang positif yang dapat membantu dalam membangun kepribadian

Da’i itu sendiri. Sedang relevansi bekal da’i dalam kehidupan sekarang ini

sangatlah relevan, karena Tafsir yang ditulis oleh M. Quraish Shihab ini

mencangkup dari segi keagamaan, pembaharuan dan ke Indonesian.

Penelitian ini menggunakan analisis Al-Qur’an khususnya surat Al-

Muddatsir ayat 1 – 7 dimana dengan pendekatan yaitu penafsiran yang

menerangkan arti ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan aturan-

aturan ayat, hubungan ayat-ayatnya, hadits serta para pendapat para Mufassirin itu

sendiri. Hakekatnya study tafsir ini adalah menjelaskan maksud ayat-ayat Al-

Qur’an yang sebagian besar masalah dalam bentuk global. Adapun sarana

pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Qur’an dilengkapi dengan buku-buku yang

terikat dengan ayat yang akan ditafsirkannya.

Dengan penelitian ini dalam menganalisis Al-Qur’an surat Al-Muddatsir

ayat 1 – 7 ini dalam tafsir Al-Misbah, maka ini menjadi landasan penulisan teori

bekal da’i apa saja yang harus dimiliki da’i. Sebagai media penulisan dalam

membangun kepribadian da’i sehingga sangatlah efektif dalam penyampaiannya

dan dapat diterapkan dalam kehidupan da’i sehari-hari.

Bekal da’i yang terdapat dalam surat Al-Muddatsir ayat 1 – 7

menerangkan bagaimana proses pembentukan kepribadian yang harus dimiliki

oleh da’i dengan demikian ini semua akan memberikan kontribusi bagi da’i dan

juga manfaat bagi kita semua, karena sebagai da’i haruslah memberikan

suritauladan yang baik bagi diri sendiri dan juga madunya.

Page 5: kualifikasi dai FDK.pdf

ii

KATA PENGANTAR

Al-Hamdulillah Rabil’aalamin, sembah sujud dan puji syukur penulis

panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan karunia-Nya yang

tak terhingga sehingga skripsi ini selesai.

Tak lupa Shalawat serta salam kepada Habibullah Rasulullah

Muhammmad SAW serta para sahabatnya yang telah membawa kebaikan kepada

umatnya dari jalan kegelapan menuju jalan kebenaran.

Skripsi ini tidak akan selesai tanpa jasa dari berbagai pihak, maka penulis

ingin menganturkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bpk. Dr. H. Arief Subhan, MA. Sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah

dan Ilmu Komunikasi.

2. Bpk. Drs. Jumroni, M.Si. Sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam.

3. Ibu Umi Musyarofah, MA. Sebagai Sekretaris Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam

4. Bpk. Dr. A. Ilyas Ismail, MA. Selaku Dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu selam proses

Skripsi ini.

5. Semua Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah

memberikan Ilmu selama mengikut perkuliahan.

Page 6: kualifikasi dai FDK.pdf

iii

6. Abi ( H. Muhasyar) dan Umi ( Hj. Mimi) yang selalu memberikan nasihat,

do’a serta motivasi yang tiada henti dan mohon ma’af apabila ananda

belum bisa memberikan yang terbaik buat Abi dan Umi, semoga Allah

SWT selalu melindungi kalian, Ananda sangat menyayangi kalian.

7. Kakak-Kakakku yang tersayang, Syarfunnajah, Syarif Muawan, Siti

Mutiah, Siti Novilah, Nur’ani, M. Ya’la, Nurul Hikmah, dan Siti

Fakhriyah. yang telah memberikan motivasi tiada henti agar ananda bisa

lulus kuliah dan bisa meraih cita-cita terimakasih atas dukungannya selam

ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan kalian.

8. Untuk sahabatku yang tercantik Emma Masrurah terimakasih atas

dukunganmu selama ini semoga persahabatan ini membawa kebaikan

untuk kita amin.

9. Dan untuk sehabatku di KPI C Pay, Edwin, Ray, Eriz, Ratih, Sukriah,

Ade, Lilis, Nia, Intan, dan Eti terimakasih atas dukungan kalian yang tiada

henti, semoga silaturahmi kita tetap terjalin.

Jakarta, 30 Agustus 2010

Page 7: kualifikasi dai FDK.pdf

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................. 7

D. Metodologi Penelitian ............................................ 8

E. Tinjauan Kepustakaan ........................................... 10

F. Sistematika Penulisan ............................................ 11

BAB II RUANG LINGKUP TENTANG DA’I

A. Pengertian da’i ...................................................... 13

B. Sifat-Sifat Asasi da’i Rabbani ................................ 15

C. Perjuangan da’i ...................................................... 24

BAB III TINJAUAN ANALISIS TAFSIR AL-MISBAH

A. Riwayat Hidup Penulis ......................................... 31

B. Pembahasaan Mengenai Tafsir ........................... 34

C. Ciri-Ciri Tafsir AL-Misbah ................................... 38

Page 8: kualifikasi dai FDK.pdf

v

BAB IV KONSEP TAFSIR AL-MISBAH TENTANG

BEKAL DA’I DALAM SURAT AL-MUDATSIR AYAT 1-7

A. Teks Al-Qur’an Surat Al-Mudatsir ayat 1-7 ......... 39

B. Asbabul Nuzul Surat Al-Mudatsir ayat 1-7 ......... 39

C. Analisis Ayat dan Bekal Da’i Dalam Surat

AL-Mudatsir ayat 1-7 .......................................... 41

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulam .......................................................... 80

B. Saran ...................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 83

LAMPIRAN

Page 9: kualifikasi dai FDK.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang diwahyukan Allah SWT dengan jalan-Nya.

Untuk itu Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya dalam menyampaikan

ajaran Islam senantiasa berlandaskan pada norma-norma yang jelas. Diantara

norma-norma yang jelas itu, telah ditegaskan dalam Al-Qur’an pada surat

fushshilat :33 berikut:

Artinya: ”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang

menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:

"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?"

(Q.S. Fushshilat : 33)1

Ayat di atas menunjukkan bahwa Islam adalah agama dakwah, yang

menegaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan ajaran Nya kepada

seluruh umat manusia. sehingga Al-Qur’an pun secara Imperatif menegaskan

bahwa Allah SWT menegaskan bahwa Allah SWT memerintahkan setiap

muslim untuk menyeru umat manusia ke jalan-Nya, dengan cara yang

bijaksana, dengan nasehat yang baik dan argumentasi yang rasional. Hal ini

telah ditegaskan dalam Al-Qur’an pada surat an-Nahl:125 berikut:

1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Bandung :Jumnatul’ Ali, 2004),

h. 481

Page 10: kualifikasi dai FDK.pdf

2

Artinya : ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan

pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang

siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih

mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”( An-Nahl :

125 )2

Keberhasilan dakwah harus didukung oleh semua aspek, mulai dari

politik, ekonomi, hukum, agama dan budaya yang kesemuanya itu mendukung

proses berjalannya dakwah. Artinya dakwah itu harus bersifat mu’asyirah

ghoiru taqlidiyah (modern dan tidak kuno). Secara metode dakwah dilakukan

berdasarkan keasliannya yaitu Al-Qur’an dan hadits. Namun cara, sarana,

serta strategi yang digunakan harus seiring dengan perkembangan zaman,

artinya dakwah harus melihat situasi, kondisi, suasana, peristiwa, sikap,

keperluan yang kemudian dikaitkan dengan sasaran tetapi tetap dalam koridor

yang sesuai dengan ajaran agama.3

Sedangkan menurut Ahmad Mubarak, keberhasilan dakwah dimungkinkan

oleh beberapa hal:

1. Karena pesan dakwah yang disampaikan oleh seorang da’i memang

relevan dengan kebutuhan masyarakat yang merupakan satu keniscayaan

yang tidak mungkin ditolak, sehingga mereka menerima pesan dakwah itu

dengan antusias.

2 Ibid, h. 282

3 Dr. Irwan Prayitno, Fiqhud Dakwah; Seri Pendidikan Islami, (Bekasi : Pustaka

Tarbiyatunna, 2002), Cet. Ke 1, h. 75

Page 11: kualifikasi dai FDK.pdf

3

2. Karena faktor seorang da’i yaitu da’i tersebut memiliki daya tarik personal

yang menyebabkan masyarakat sudah dapat menerima pesan dakwahnya

meski kualitas dakwahnya boleh jadi sederhana saja.

3. Karena kondisi psikologi masyarakat yang sedang haus terhadap siraman

rohani dan mereka terlanjur memilki persepsi positif pada setiap da’i

sehingga pesan dakwah sebenarnya kurang jelas ditafsirkan sendiri oleh

masyarakat dengan penafsiran yang jelas.

4. Karena faktor kemasan yang menarik, masyarakat yang semula acuh tak

acuh terhadap agama juga da’i, setelah melihat paket dakwah yang diberi

kemasan lain4, maka paket dakwah berhasil menjadi stimuli yang

menggelitik persepsi masyarakat dan akhirnya merekapun merespon

positif.

Mempelajari lingkungan dan tempat dakwah adalah perkara yang

sangat urgen, karena sesungguhnya da’i dalam medan dakwahnya sangat

membutuhkan pengetahuan tentang keadaan dan kondisi sang mad’u baik

mengenai i’tikadnya (keyakinan), kejiwaannya, sosial kemasyarakatan,

ekonomi dan mengetahui pusat-pusat kesesatan, tempat-tempat penyimpangan

mereka. Demikian juga seorang da’i butuh pengetahuan tentang bahasa

mereka, adat kebiasaannya, dan paham tentang problem mereka serta titik

penyimpangan akhlak mereka, tsaqofah (kebudayaan) mereka, tingkatan debat

4 Ahmad Mubarok, Pisikologi Dakwah, (Jakarta : Pustaka Pirdaus, 1999), Cet. Ke-1 h.

113

Page 12: kualifikasi dai FDK.pdf

4

mereka, syubhat yang banyak menyebar dikalangan mereka serta madzhab-

madzhab mereka.5

Untuk mensyiarkan ajaran Islam diperlukan para da’i dan yang mampu

menjadi teladan bagi para mad’unya baik dalm kehidupan pribadi maupun

sosialnya. Di mana Mereka yang memiliki kecerdasan esensial dalam

kehidupan bermasyarakat yaitu kecerdasan emosional dan spritual.

Kecerdasan emosional disebutkan beberapa contoh sifat yaitu: lemah lembut,

tidak sombong dan pemaaf. Sedangkan kecerdasan spiritual digambarkan

dengan sifat-sifat pokok yaitu: selalu dekat dengan Allah SWT, berdo’a di

siang dan malam hari, bertaubat dan mohon ampun kepada Allah SWT.

Di antara sifat kepribadian da’i yang diteladani Imam para da’i

Rasulullah SAW adalah sifat lemah-lembut, tidak sombong, pemaaf bahkan

siap mendo’akan mereka yang melakukan kekhilafan, mengajak mereka untuk

bermusyawarah guna mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi. Dan

ini semua merupakan rahmat bagi mereka yang ingin menteladani dari sifat

Rasulullah SAW. Karena sebaliknya mereka yang bersikap kasar terhadap

Mad’u nya lama kelamaan akan ditinggalkan karena tak seorang pun

menyukai sikap kasar dan kekerasan.6

Ini semuanya kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, karena pada

hakikatnya Al-Qur’an menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman.

Di samping itu keberadaan Al-Qur’an ditambah dengan keinginan mereka

untuk memahami petunjuk dan mukzizat-mukjizatnya.di mana telah

5 Muzaldi Hazbulah, LC. 9 Pilar keberhasilan Da’I di medan Dakwah, (Solo : Pustaka

Arafah, 2000) h. 106 6 Idris Somat, Diktat Mengenai Ayat- ayat dakwah

Page 13: kualifikasi dai FDK.pdf

5

melahirkan sekian banyak disiplin Ilmu keislaman dan metode - metode

penelitian. sehingga dengan lahirnya berbagai metode penafsiran Al-Qur’an

(yang terakhir adalah maudhu’i atau tauhidiy).7

Tafsir merupakan suatu hasil pemahaman seorang mufassir terhadap

Al-Qur’an dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang

dilakukan mufassir, dan di maksudkan untuk memperjelas suatu makna teks

ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga ketika Al-Qur’an ditafsirkan dengan

menggunakan metode dan pendekatan tertentu, misalnya menggunakan

pendekatan filsafat, maka akan melahirkan produk penafsiran yang bercorak

filosofis. Jika Al-Qur’an ditafsirkan menggunakn pendekatan sufistik dan

sebagainya. Realita seperti ini merupakan suatu kewajaran.8

Munculnya beragam sudut pandang dalam menafsirkan Al-Qur’an,

sesungguhnya merupakan suatu keniscayaan sejarah, sebab setiap generasi

ingin selalu ”mengkonsumsi” dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman

hidup, bahkan terkadang dijadikan sebagai legitimasi bagi tindakan

perilakunya. Menurut Ignaz Goldziher, setiap aliran pemikiran yang muncul

dalam sejarah ummat Islam selalu cenderung untuk mencari legitimasi dan

justifikasi dari kitab sucinya. (Al-Qur’an).9

Teks Al-Qur’an sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable)

dan masing-masing mufassir, ketika masing-masing menafsirkan Al-Qur’an

dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial-kultur di mana ia tinggal, bahkan situasi

politik yang melingkupinya juga sangat mempengaruhi, serta adanya

7 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Mizan ; 2007) Cet. 1 hal. 237

8 Abdul Mustakin Madzahibut al-islami, (Beirut ; daar Iqra, 1983), h. 3

9 Ignaz Goldziher, Madzhab at – Tafsir al-Islami, (Beirut ; Daar iqra, 1983), h. 3

Page 14: kualifikasi dai FDK.pdf

6

kecenderungan dalam diri mufassir untuk memahami Al-Qur’an sesuai dengan

disiplin ilmu yang ia tekuni, sehingga meskipun kajiannya satu yaitu teks Al-

Qur’an , tetrapi hasil penafsiran Al-Qur’an tidaklah satu melainkan beraneka

ragam (plural).

Dalam sejarah perkembangan tafsir, dikenal beberapa metode tafsir,

antara lain tafsir tahlili, yaitu penafsiran secara kronologis, tafsir mendahului,

yaitu tafsir yang bersifat tematis dan sebagainya. Corak tafsir pun dikenal

beberapa macam, seperti corak bahasa, sastra, filsafat, sastra budaya

kemasyarakatan (adabi ijtima’i ) dan lain-lain. Beragamnya metode dan corak

penafsiran Al-Qur’an menunjukkan adanya dinamika didalam diri Al-Qur’an.

Perspektif sastra budaya kemasyarakatan atau adabi ijtima’i dimulai oleh

muhammad abduh yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-

petunjuk ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan

masyarakat. Serta usaha-usaha mencari solusi atau menanggulangi masalah-

masalah yang muncul kepada mereka, berdasarkan petunjuk tersebut dalam

bahasa yang mudah dipahami.

Dakwah ternyata tidak hanya bicara tentang upaya mengajak, tetapi

banyak kunci-kunci dakwah yang tersirat di dalamnya Muhammad Quraish

Shihab mengartikan dakwah tidak hanya suatu kewajiban ummat Islam, tetapi

sesungguhnya merupakan dimensi kehidupan manusia yang terkait dalam

corak sastra budaya, sosial, ekonomi, dan lain-lain semua terangkum di dalam

Al-Qur’an.

Page 15: kualifikasi dai FDK.pdf

7

Kitab tafsir Al-Misbah yang ditulis oleh Muhammad Quraish Shihab

di mana masuk dalam kategori Tafsir adabi ijtima’i. Tafsir inilah yang

menjadi fokus dalam pembahasan karena penulis sangat tertarik untuk

mengkaji secara komprehensip terhadap masalah tersebut dalam sebuah

skripsi yang berjudul:

Bekal Da’i Dalam Tafsir AL-Misbah Karya Muhammad Quraish Shihab

( analisis Al-Qur’an surat al-Mudatsir ayat 1-7 )

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pembahasan masalah bekal da’i sangatlah luas dan kompleks tetapi

karena keterbatasan penulis, maka penelitian ini dibatasi pada harapan

bahwa seorang Da’i mempunyai bekal yang terdapat dalam surat al-

Mudatsir ayat 1-7

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang akan

diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut :

Bagaimana kualitas dan kapabilitas yang harus dimiliki da’i dalam tafsir

Al-Misbah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Page 16: kualifikasi dai FDK.pdf

8

Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam pembahasan skripsi ini

adalah ”Untuk mengetahui bagimanakah bekal da’i menurut tafsir al-

Misbah yang tertuang dalam surat al-Mudatsir ayat1-7 khususnya yang

berkenaan dengan da’i di mana dalam konteks ini da’i menjadi objek

dalam berdakwah”

2. Manfaat Penelitian

a. Memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu tafsir dan

perkembangan masyarakat dalam memahami sumber-sumber ajaran

Islam

b. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam

bidang tafsir, dan sumbangan pikiran, sehingga dapat dijadikan

referensi bagi peneliti selanjutnya

c. Sumbangan terhadap dinamika ilmu pengetahuan yang selalu

berkembang

D. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam pencarian sumber melalui Studi Tafsir

yang diperoleh dari:

1. Studi Tafsir, merupakan suatu hasil pemahaman seorang mufassir

terhadap Al-Qur’an dengan menggunakan metode atau pendekatan

tertentu yang dilakukan mufassir, dan di maksudkan untuk memperjelas

suatu makna teks ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga ketika Al-Qur’an

ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan filsafat, maka akan

melahirkan produk penafsiran yang bercorak filosofis dan lain

Page 17: kualifikasi dai FDK.pdf

9

sebagainnya. Hakekatnya adalah menjelaskan maksud ayat-ayat Al-

Qur’an yang sebagian bisa masih dalam bentuk global, adapun sarana

pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Qur’an itu meliputu berbagai Ilmu

yang berhubungan dengan hal itu dan juga dilengkapi dengan buku-buku

yang terkait dengan ayat yang akan ditafsirkannya.

2. Skiripsi ini termasuk kajian tafsir metode Tahlily (Analisis), dengan

pendekatan yaitu penafsiran yang menerangkan arti ayat-ayat Al-Qur’an

dari berbagai seginya, berdasarkan aturan-aturan ayat atau surat dari

mushaf dengan menonjolkan kandungan lafaznya, hubungan ayat-

ayatnya, hubungan surat-suratnya, sebab-sebab turunnya, haditsnya yang

berhubungan dengannya serta pendapat-pendapat para mufasirin itu

sendiri.

3. Adapun kitab-kitab tafsirnya sebagai berikut:

Tafsir Al-Misbah, karya Muhammad Quraish Shihab juz 29

Tafsir Al-Azhar, karya Prof Dr. Hamka juz 29

Tafsir Qur’an Karim, karya Prof. Dr. H. Muhammad Yunus.

Tafsir Fizhillah.

Pengantar Ilmu Tafsir, karya Drs. Rif’at Syauqi Nawawi, Drs. M. Ali

Hasan.

Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, karya Dr. A. Ilyas Ismail, MA.

Page 18: kualifikasi dai FDK.pdf

10

E. Tinjauan kepustakaan

Tinjauan kepustakaan (literatur) yang berkaitan dengan topik pembahasaan,

atau bahkan yang nemberikan inspirasi dan mendasari dilakukannya penulisan

skripsi ini salah satunya:

Skripsi atas nama syukriah, judul skripsi ”Analisis Isi pesan Dakwah M.

Quraish Shihab dalam buku menabur pesan ilahi”. Fakultas Ilmu dakwah dan

Ilmu Komunikasi, jurusan Komunikasi Penyiaraan Islam, NIM:104051001847

tahun pembuatan 2008. Skripsi ini juga melakukan analisis buku dari Quraish

shihab dengna salah satu bukunya yang berjudul menabur pesan illahi.

Sebagai seorang penulis beliau sangatlah relevan baik dari segi keagamaan,

pembaharuan dan keIndonesiaan. dimana dalam buku beliau ditekankan pada

tiga poin pesan dakwah yang di ambil yaitu: dalam bidang ibadah, akidah dan

muamalah.

Ketiga poin pesan dakwah tersebut sangatlah penting dalam menjalankan

dakwah. Dimana berkaitan baik berhubungan dengan Allah SWT maupun

dengan manusia. Ini merupakan suatu gambaran bagi da’i yang menjalankan

dakwah. Ketiga poin tersebut merupakan suatu pengetahuan yang lazimnya

mesti dipahami, dijalankan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari

sehingga dakwah yang disampaikan bermanfaat untuk dirinya dan lingkungan.

Skripsi ini walaupun segi objek penelitiannya berbeda dimana ini

merupakan penelitian kualitatif tetapi penulis hanya mengambil dari segi

teorinya saja tentang analisi isi.

Page 19: kualifikasi dai FDK.pdf

11

F. Sistematika Penulisan

BAB I. Pendahuluan

Pada bab pertama ini penulis menyampaikan latar belakang

masalah penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan tinjauan

kepustakaan

BAB II. Kerangka Pemikiran Teoritis

Pada bab kedua ini penulis membahas teoritis tentang ruang

lingkup tentang da’i, sifat-sifat asasi da’i Rabbani serta perjuangan

da’i.

BAB III. Gambaran umum tentang tafsir AL-Misbah

Dalam bab ini penulis membahas tinjauan anlisis tafsir Al-Misbah,

melingkupi riwayat hidup penulis, metode, dan perspektif

penafsiran Tafsir Al-Misbah serta ciri-ciri khusus Tafsir Al-

Misbah.

BAB IV. Analisis

Pada bab ini merupakan inti dari seluruh pembahasan, beberapa

uraian perspektif tafsir AL-Misbah tentang bekal da’i dalam surat

al-Mudatsir ayat 1-7 terdiri dari : teks ayat dan terjemahanya,

asbabul nuzul serta analisis ayat yang mengutip tantang bekal da’i

dalam tafsir AL-Misbah.

Page 20: kualifikasi dai FDK.pdf

12

BAB V. Kesimpulan dan Saran.

Pada bab ini penulis memberikan kesimpulan tentang Da’i dan

bekal Da’i dari pada uraian menurut Muhammad Quraish Shihab.

Page 21: kualifikasi dai FDK.pdf

13

BAB II

RUANG LINGKUP TENTANG DA’I

A. Pengertian Da’i

Di dalam Al-Qur’an kata”Ulama” secara eksplisit dinyatakan di dalam

dua ayat, pertama dalam surat As-Syu’ara’ ayat 197, dan kedua di dalam surat

surat Fathir ayat 28. Ayat pertama meskipun berkaitan dengan Bani Israel,

menunjukkan bahwa seseorang itu dikatakan ulama apabila memiliki keluasan

dan kedalaman ilmu-ilmu agama, tempat orang bertanya dan meminta fatwa.

Ayat kedua menunjukkan bahwa seseorang dikatakan ulama, apabila memiliki

khasysyah’ takut dan cinta yang tinggi kepada Allah SWT, senantiasa

memelihara hubungan dengan-Nya. Fatwa dan Ilmu yang disampaikan kepada

masyarakat, mencerminkan takwanya kepada Allah SWT. Bahwasanya kata-

kata ulama, kiayi, da’i dan lain sebagainya itu semua hanya sebutan saja

bukan sebagai nama, dimana da’i adalah orang yang melakukan atau

melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan dan perbuatan secara individu,

kelompok, organisasi atau lembaga. da’i sering disebut juga mubaligh (orang

yang menyampaikan ajaran Islam). Pada dasarnya semua pribadi muslim itu

berperan secara otomatis, sebagai mubaligh atau da’i dalam bahasa

komunikasi disebut sebagai komunikator. Untuk itu dalam komunikasi

dakwah yang berperan sebagai da’i atau mubaligh adalah:

a) Secara umum adalah setiap muslim atau muslimat yang mukallaf (dewasa)

di mana bagi mereka adalah kewajiban.

Page 22: kualifikasi dai FDK.pdf

14

b) Secara khusus adalah mereka yang mengambil keahlian (mutakhasis)

dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama, kiayi

ataupun da’i.

Profil da’i yang dimaksud di sini adalah tentang karakteristik da’i

yang harus memiliki seperti sikap, kepribadian, pengetahuan, dan lainnya

untuk melakukan dakwah.1karena da’i merupakan salah satu unsur penting

dalam proses dakwah. Sebagai pelaku dan penggerak kegiatan dakwah, da’i

menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan atau kegagalan dakwah.2 Da’i

pada dasarnya adalah penyeru kejalan Allah, pengibar panji-panji Islam, dan

pejuang (mujahid) yang mengupayakan terwujudnya sistem Islam dalam

realitas kehidupan umat manusia. Sebagai penyeru kejalan Allah, da’i tidak

bisa tidak, harus memilki pemahaman yang luas mengenai Islam sehingga ia

dapat menjelaskan ajaran Islam kepada masyarakat dengan baik dan benar. Ia

juga harus memiliki semangat dan gairah keislaman yang tinggi yang

menyebabkan ia setiap saat dapat menyeru manusia kepada kebaikan dan

mencegah mereka dari kejahatan, meskipun untuk itu ia harus menghadapi

tantangan yang berat

Bahkan da’i adalah identik dengan dakwah itu sendiri.3 Dikatakan

demikian, karena seorang da’i harus menjadi teladan dan panutan yang baik di

tengah-tengah masyarakat. Menurut Abd al-Badi Saqar, tidak dapat

membedakan antara da’i dan dakwah. Diantara keduanya, tidak boleh ada

kontradiksi. Bagi Saqar, da’i adalah arsitek (muhandis), pembina dan

1 M. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, ( Jakarta : kencana 2002 ), cet. Ke-1, hal.79

2‘Abd al-Badi Saqar, op.cit., h. 6-7

3 Abd al-Badi saqar, op. cit., h. 10-13

Page 23: kualifikasi dai FDK.pdf

15

pengembang masyarakat (banna). da’i bukan hanya aktor atau pemain

sandiwara yang hanya mencari tepuk tangan penonton, dan bukan juga

seniman yang hanya mencari penghargaan. Sebagai arsitek dan pengembang

sosial, da’i harus melakukan rekayasa sosial dan melakukan perubahan,

khususnya perubahan mental manusia (taghyir al-nafs al-insaniyah) dengan

metode yang tepat. Dengan perubahan ini, diharapkan masyarakat, bahkan

umat manusia mencapai kesempurnaan dan kemajuan. Jika demikian sungguh

keliru menurut Saqar, orang yang berpendapat bahwa dia telah menyampaikan

pidato, ia merasa telah berdakwah. da’i harus melakukan perubahan dan

gerakan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu da’i harus memiliki sifat-sifat

yang terpuji atau akhlak yang mulia. Keluhuran budi pekerti ini menjadi salah

satu pendorong yang memungkinkan masyarakat (mad’u) dapat mengikuti

jalan kebenaran yang diserukan sang da’i. Sifat-sifat yang mulia itu adalah

sifat yang harus dimiliki semua kaum muslim. Namun bagi seorang da’i sifat-

sifat itu haruslah memiliki nilai lebih. Dengan perkataan lain sifat-sifat yang

mulia itu bagi seorang da’i harus tampak lebih mantap, lebih sempurna, dan

lebih menonjol, sehingga ia dapat menjadi dakwah yang hidup dan menjadi

teladan yang bergerak.

B. Sifat Asasi da’i Rabbani

Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, dalam buku konsep

Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, berkaitan dengan tanggung jawab

seorang juru dakwah (da’i) dalam melaksanakan tugasnya. Beliau menyatakan

bahwa sifat dan persyaratan juru dakwah (da’i) adalah sifat Robbany pada

Page 24: kualifikasi dai FDK.pdf

16

tujuan, prilaku dan pola pikir, kemudian ikhlas, sabar dan jujur. Juga

membekali dengan ilmu serta menguasai dengan teknis berdakwah dan

mengenal mad’u, di samping itu juga harus menguasai materi dakwah.4

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dakwah yang bermutu

ditandai oleh sifat tanggung jawab yang tercermin pada prilaku yang robbany,

ikhlas sabar, dan jujur, dapat mengambil keputusan yang berwibawa serta

mandiri dan propesional, memiliki keahlian tekhnis mengelolah dakwah,

mampu mengajak mad’u serta menguasai konsep. Dan juga disebutkan bahwa

dakwah yang bermutu adalah da’i yang membuat keputusan secara

profesional, bertanggung jawab dan memberi arahan pada masyarakat

(mad’u). Sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur’an pada surat al-Imran

146-148 sebagai berikut:

Artinya: Berapa banyak Nabi yang berperang bersama Robbaniyyin yang

banyak, mereka tidak merasa lemah (di depan musuh) karena

musibah di jalan Allah, mereka tidak lemah dan tidak merasa

kalah (pesimis). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.

Bukanlah perkataan mereka kecuali (lantunan doa) Ya Robbana

4 Abdurrahman an-Nahlawi, Konsep Manajemen Mutu Dosen, ( Jakarta: logos wacana

Ilmu) cet. Ke-1, h.26.

Page 25: kualifikasi dai FDK.pdf

17

ampunilah dosa-dosa kami, kelebih-lebih sikap kami, teguhkanlah

pendirian kami dan bantulah kami atas orang-orang kafir. Maka

Allah memberikan balasan (pahala) di dunia dan kebaikan balasan

akhirat, dan Allah menyukai orang-orang yang ihsan (QS. Ali

Imran: 146-148)

Sifat asasi bagi setiap da’i tergambar dalam ayat-ayat ini yang

menjelaskan tentang mereka yang mengikuti jejak langkah perjuangan dakwah

para Nabi , khususnya Nabi Muhammad SAW.

Ribbiyyun: artinya orang-orang yang Robbaniyyun yaitu memiliki

komitmen kuat kepada Allah Robb alam semesta; ada ulama yang

menafsirkan Ribbiyun dengan kelompok ulama para pewaris Nabi yang

berjuang membela dakwah Islam.

Katsir: banyak, maksudnya adalah para pengikut Nabi itu hendak

diperhatikan kuantitasnya, kalau kata Ribbiyyun menerangkan aspek kualitas

para pengikut Nabi yaitu Robbaniyyun, maka kata katsir menjelaskan aspek

kuantitas para pengikut Nabi.

Sifat-sifat asasi para da’i di jalan Allah SWT, sebagaimana tersurat

dalam ayat-ayat ini adalah:

1. ا , tidak lemah mental saat ditimpah

musibah dijalan Allah, dalam perjuangan mereka hanya menginginkan

salah satu dari dua pilihan yang keduanya baik dalam pandangan” mati

syahid atau kemenangan” karena kemenangan bagi mereka adalah karunia

Allah dan sekaligus perintahnya untuk terus melanjutkan perjuangan yang

masih panjang menuju Ridho-Nya. mati syahid adalah pintu perjumpaan

yang sangat mulia untuk bertemu dengan kekasih Allah SWT.

Page 26: kualifikasi dai FDK.pdf

18

2. (tidak lemah) Dakwah tidak menempuh jarak sepuluh atau dua

puluh kilo meter, jalan dakwah tidak dihiasi bunga dan kenikmatan, tetapi

jalan dakwah sarat dengan duri merintang dan hewan-hewan yang

senantiasa mengganggu mereka yang melewatinya. Karenanya dakwah

dalam mencapai tujuannya memerlukan orang-orang yang tangguh dan

kuat dari segi fisik, dengan fisik yang sehat dan kuat para da’i itu

diharapkan dapat melewati rintangan dan cobaan dalam dakwah dengan

penuh keikhlasan dan ketabahan.

3. (tidak tunduk kepada musuh). Diantara cobaan dalam

dakwah adalah rayuan dan iming-iming yang dilakukan musuh-musuh

dakwah untuk memperdayakan para da’i, agar merek dengan leluasa

melakukan kehendak dan keinginan mereka dalam menyebarkan kebatilan

di muka bumi. Secara kontekstual ayat ini memberikan pengertian bahwa

hendaknya da’i tidak boleh menjadi orang yang lemah operasional, dalam

beraktifitas setiap da’i dituntut untuk dinamis, proaktif dan kreatif

inovatif, sehingga tidak mudah dirayu dan diperdayakan oleh orang-orang

yang tidak suka kepada dakwah Islam.

4. َ (perkataan mereka tidak lain

adalah permohonan ampunan Allah). Mengapa da’i masih juga memohon

ampun kepada Allah SWT? bukankah ia sudah banyak berbuat untuk

banyak memperoleh pahala dari Allah? oh tiada demikian halnya da’i

yang rabbani, ia tetap berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, ia

Page 27: kualifikasi dai FDK.pdf

19

merasa amalnya kecil dan lemah dihadapan Allah yang maha kuasa dan

perkasa. Karenanya ia selalu tetap memohon ampunan kepadaNya, seperti

sang teladan para da’i Rasulullah SAW tidak kurang dari 70 kali dalam

sehari beliau membaca istighfar, di samping senantiasa meningkatkan

amal-amal ibadahnya. Ketika beliau ditabya mengapa engkau masih

melakukan hal itu, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa sebelum

dan sesudahnya? Nabi SAW menjawab: ” kenapa aku tidak menjadi

hamba yang pandai bersyukur? Maksudnya : ampunan Allah SWT adalah

karunia dan anugrah dariNya, maka setiap anugrah itu harus disyukuri

dengan terus meningkatkan amal penghambaan kepadaNya.

Merealisasi hal-hal di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan,

sangat membutuhkan kerja keras dan keseriusan aktivitas juga memerlukan

kebersihan hati, niat dan motivasi. Beratnya realisasi itu bukan berarti tidak

ada upaya merealisasinya.5

Menurut pandangan Paradigma Dakwah Sayyid Quthub bahwasanya

kedudukan Akhlak dihadapan Allah sangat jelas tingginya dan Akhlak

merupakan salah satu prinsip yang amat penting dalam agama Islam, terlebih

lagi seorang da’i, lebih lanjut lagi Sayyid Quthub menegaskan sebagai berikut:

Barang siapa memperhatikan agama Islam dan sejarah kehidupan Nabi

Muhammad SAW, ia akan mengetahui bahwa akhlak merupakan salah satu

ajaran dasar Islam yang terang benderang yang di atasnya dibangun prinsip-

prinsip penetapan hukum dan pendidikan moral Islam. Dakwah dalam agama

5 M. Idris Shomad, Mengenal ayat-ayat Dakwah, Diktat mata kuliah Tafsir, Jakarta: 2005

Page 28: kualifikasi dai FDK.pdf

20

ini, adalah seruan keras (besar) kepada kesucian moralitas, kebersihan,

amanah, kejujuran, keadilan, kasih sayang, kebajikan, tepat janji, integritas

(kesesuaian perkataan dengan tingkah laku perbuatan dan kesesuaian

keduanya dengan tingkah laku dan hati nurani), dan mencegah manusia dari

tindakan sewenang-wenang, zhalim, menipu, curang, makan harta manusia

dengan bathil, menodai kehormatan manusia, dan mencegah berkembangnya

perbuatan asusila dalam bentuk apapun.penetapan hukum dan undang-undang

Islam ini menurut Sayyid Quthub dimaksudkan untuk menjaga dan

melindungi prinsip-prinsip moralitas. ini juga dimaksudkan agar nilai-nilai

akhlak itu tetap terjaga dan terpelihara baik dalam rasa, jiwa, dan perilaku,

maupun dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat, baik dalam masalah

pribadi, sosial- kemasyarakatan. Maupun dalam masalah bangsa dan Negara.6

Adapun Akhlak da’i dalam pandangan Sayyid Quthub sebagai berikut:

1. Kasih sayang

Menurut Sayyid Quthub, diantara sifat- sifat mulia yang amat penting dan

mutlak harus dimiliki seorang da’i adalah sifat kasih sayang (rahmah),

seperti kasih sayang yang dimiliki dan diperlihatkan oleh pelaku dakwah

yang pertama, yaitu Rasulullah SAWdimana kasih sayang Nabi yang luas

dan lapang. Dikatakan bahwa Rasulullah SAW, tidak pernah marah karena

dirinya sendiri, tidak pula sempit dada karena kesalahan atau kelemahan

orang lain. Beliau tidak pernah berebut sesuatu yang bernilai duniawi

untuk kepentingan dirinya. Bahkan beliau memberikan semua yang

6 Sayyid Quthub, Fi Zhilal, op.cit., jilid V, h. 3657.

Page 29: kualifikasi dai FDK.pdf

21

dimilikinya untuk orang lain dengan lapang dada dan penuh kesenangan.

Manusia dapat menikmati kesantunan beliau, kasih sayang, dan keluhuran

budi pekerti beliau. Setiap orang yang pernah berteman atau bergaul

dengan Nabi, ia pasti terkesan dan jatuh hati kepada beliau, ini tidak

terlepas dari keluhuran budi pekerti beliau dan kasih-sayangnya.7

Pentingnya kasih sayang ini, menurut pemikiran Sayyid Quthub,

dapat dilihat dari sudut kepentingan da’i dan mad’u itu sendiri. Dari sudut

kepentingan da’i dapat ditegaskan bahwa kasih sayang bukan hanya

diperlukan, tetapi merupakan kebutuhan bagi seorang da’i. hal ini karena

da’i pada dasarnya seorang pemimpin, pembimbing rohani, pengajar dan

pendidik (mu’allim wa murabbi). Dalam kedudukan dan kapasitasnya

sebagai semua itu, da’i merupakan orang pertama yang harus memiiki sifat

kasih sayang dan mewujudkan kasih sayang itu dalam proses dakwah yang

harus dilakukan.

Dari sudut kepentingan mad’u, kasih sayang diperlakukan karena

watak dan jiwa manusia mengalami perkembangan. pada kenyataannya

jiwa manusia tidaklah sempurna. Namun, dalam waktu yang bersamaan,

jiwa itu menerima pertumbuhan dan perkembangan sehingga mencapi

tingkat kesempurnaan tertentu. Dalam suatu komunitas pastilah di situ

terdapat orang-orang yang memiliki kelemahan dan kekurangan. Al-

Qur’an sendiri sama sekali tidak menyangkal kenyataan ini.8

2. Integritas (Keutuhan Pribadi)

7 Sayyid Quthub,Ibid, Fi Zhilal, jilid 1, h. 500-501

8 Lihat Ibid, Fi Zhilal, jilid 1, h. 529.

Page 30: kualifikasi dai FDK.pdf

22

Di samping kasih sayang, seorang da’i harus pula memiliki integritas

atau keutuhan pribadi. Integritas mengandung beberapa makna, antara lain,

keterpaduan, kebulatan, keutuhan, jujur dan dapat dipercaya. Dalam

pengertian ini, orang yang memiliki integritas adalah orang yang pada

dirinya berpadu dan bersatu antara kata dan perbuatan. Dengan kata lain,

ia bersifat benar dan jujur, serta jauh dari sifat dusta.9

Menurut Sayyid Quthub, integritas menunjuk pada sikap konsistensi

dan persesuaian antara kata dan perbuatan dan antara keduanya dengan

hati nurani. Dalam Integritas itu mengandung makna kejujuran (al-shidq)

dan konsistensi ( al- Istiqomah) dalam memperjuangkan kebenaran. Kedua

sifat ini, menurut Sayyid Quthub, adalah orang yang dimensi batinnya

sama dengan dimensi lahirnya dan laku perbuatannya sama dengan

perkataanya.10

Oleh larena itu tanpa kejujuran dan integritas, kata-kata para da’i dan

pemuka agama itu, meski amat indah dan dengan retorika tinggi, tidak

akan ada pengaruhnya apa-apa. Bahkan, tidak seorangpun dapat

mendengar dan mempercayai ucapan mereka, kecuali mereka mampuh

membuktikan diri menjadi terjemah hidup dari apa yang mereka katakan

dan mewujudkan dalam kehidupan nyata. ketika itu, masyarakat (mad’u)

dapat mendengar dan mempercayai perkataan mereka dan memegang

teguh janji dan seruan mereka.11

9 Depdikbud, Kamus Besar, op.cit., h. 335

10 Sayyid Quthub, Fi Zhilal, op.cit., jilid VI, h. 3553

11 Ibid

Page 31: kualifikasi dai FDK.pdf

23

Seperti halnya Al-Qur’an Hadits (al-sunnah), menurut Sayyid

Quthub, juga memberikan perhatian besar terhadap pembentukan pribadi

muslim yang memiliki integritas tinggi. Perhatian itu menurutnya, dapat

dilihat dari keterangan Nabi tentang ciri-ciri orang munafik, yaitu dusta,

tidak tepat janji, dan khianat (tidak amanah). Sayyid Quthub juga

mengutip hadits riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari Abd Allah Ibn

Amir ibn Rabiah yang dianggapnya amat mengesankan dalam masalah

ini.12

3. Kerja Keras

Sifat lain yang harus dimiliki seorang da’i ialah sikap sungguh-

sungguh dan kerja keras (al-jidd wa’amal). Sifat ini mengharuskan para

da’i untuk menggunakan waktunya secara efisien bagi kepentingan

dakwah. Ia harus menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia dan tidak

berguna. Ini berarti kerja keras harus menjadi watak pribadi muslim,

terlebih lagi para da’i.13

Menurut Sayyid Quthub, keharusan kerja keras ini, merupakan

tuntutan dari sistem Islam itu sendiri. yaitu sistem hidup yang realistik

yang tidak mungkin diwujudkan hanya angan-angan dan ilusi semata.

Islam adalah aqidah dan perbuatan atau kerja (amal) yang membuktikan

aqidah itu. Komitmen seorang terhadap aqidah Islam harus ditunjukkan

12

Ibid., Fi Zhilal, jilid VI, H. 3553. 13

Ahmad Faiz, op.cit., h.

Page 32: kualifikasi dai FDK.pdf

24

melalui perbuatan yang dapat dilihat oleh Allah, Rasulullah SAW dan

kaum muslimin.14

Bagi seorang da’i tuntutan kerja keras ini makin tinggi. Hal ini

karena seorang da’i pada dasarnya tidak tidak bekerja dan tidak hidup

untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain, (umat). Oleh

karena itu, ia harus mampuh mengatur waktunya secara efisien bagi

kepentingan dakwah dan harus menghindarkan diri dari perbuatan yang

tidak bermakna dan sia-sia.

C. Perjuangan Da’i

Dakwah sebagai usaha membangun sistem Islam pada dasarnya

merupakan suatu proses perjuangan yang amat panjang. Dalam proses ini da’i

tidak saja memerlukan berbagai bekal seperti telah dijelaskan, tetapi juga

membutuhkan komitmen perjuangan yang amat tinggi. Hal ini karena dakwah

pada dasarnya identik dengan perjuangan itu sendiri. Dalam kaitan ini, cukup

beralasan bila Sayyid Quthub memposisikan da’i sebagai pejuang (mujahid).

Sebagai mujahid, da’i tentu harus bekerja keras dan berjuang tanpa kenal lelah

sepanjang hayatnya.

Dalam pemikiran Sayyid Quthub, perjuangan da’i dapat dilihat, antara

lain, dari tiga bentuk, pertama, dari kesaksian (komitmen) yang ia tunjukkan

kepada Islam. Kedua, dari pengorbanan dan kesanggupan menghadapi

berbagai ujian dan cobaan. Ketiga, perjuangan itu pada akhirnya harus

14

Sayyid Quthub, Fi Zhillal, op.cit., jilid III, H. 1709.

Page 33: kualifikasi dai FDK.pdf

25

mencapai kemenangan, tentu dengan izin pertolongan Allah SWT. Berikut

disajikan tiga bentuk perjuangan itu secara berurutan.

1. Kesaksian Da’i

Kesaksian (syahadah) sebagai ungkapan keimanan kepada Allah dan

Rasul, ini merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Semua

bangunan Islam yang meliputi ibadah, syariah dan mu’amalah. Dalam

pengertian ini syahadat bukan kesaksian yang bersifat verbalistik semata,

melainkan sebuah komitmen dari setiap orang yang beriman kepada Allah

dan Rasul untuk secara sungguh-sungguh dan konsisten mengembangkan

sistem hidup Islam.15

Kesaksian sebagai bagian tak terpisahkan dari proses dakwah itu

sendiri, memiliki tahapan-tahapanya sendiri. Kesaksian itu harus dimulai

dari diri sendiri, keluarga dan sanak famili atau kerabat. Semua ini harus

menunjukkan sistem Islam dan menjadi terjemah yang baik dari Islam.

Selanjutnya, dengan mengajak orang lain atau umat agar mewujudkan

Islam dari berbagi segi kehidupan baik menyangkut masalah pribadi,

kemasyarakatan, ekonomi maupun politik. Lalu tahapan terakhir,

kesaksian itu ditunjukkan dengan perjuangan atau jihad untuk

menghilangkan berbagai hambatan yang memfitnah dan menyesatkan

manusia. Jika seseorang gugur di jalan ini, ia baru dinamai ”pahlawan” (

syahid), artinya ia telah memenuhi kesaksian kepada agama Nya dan

menghadap Tuhan Nya.

15

Fi Zhilal, Jilid IV, h. 2446

Page 34: kualifikasi dai FDK.pdf

26

2. Ujian dan Coba’an Da’i

Sebagai pejuang yang berusaha mengkokohkan sistem Islam, tentu

da’i akan menghadapi berbagai coba’an dan ujian. Ujian dan coba’an itu

beraneka ragam dari yang ringan dan yang paling berat. Ujian dan

cobaa’an ini dapat dipandang sebagai konsekwensi logis dari iman.

Dikatakan demikian, karena iman sesungguhnya bukan hanya kata-kata,

tetapi kesanggupan seorang melaksanakan tugas-tugas agama yang timbul

dari iman, serta sabar menghadapi berbagai kesulitan dijalan iman itu.16

Ujian dan coba’an itu sendiri beraneka ragam baik jenis maupun

bentuknya. Menurut Sayyid Quthub, perangkat-perangkat ujian itu terus

berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun secara umum

ada enam bentuk ujian yang biasa dihadapi para da’i dan pejuang Islam.

Pertama, ancaman dan siksaan fisik, dalam menghadapi ancaman

ini biasanya da’i berjuang sendiri, tidak ada orang lain yang

membantunya. Ia sendiri tidak dapat mencegahnya dan tidak ada kekuatan

yang dapat digunakan untuk melawan kesewenangan ini, dan ini

merupakan ujian yang umum yang dialami oleh para da’i.17

Kedua, ujian dari keluarga dan orang-orang terdekat, pihak

keluarga bisa mendapat musibah atau kesulitan karena sang da’i. Menurut

kelazimannya, pihak keluarga akan meminta sang da’i melakukan berbagi

16

Fi Zhilal, jilid V, h. 2720 17

Fi Zhilal, jilid V, h. 2720.

Page 35: kualifikasi dai FDK.pdf

27

kompromi dengan pihak yang memusuhi atau kalau perlu berhenti

berdakwah demi keselamatan dan keamanan keluarga.18

Ketiga, ujian kekayaan dan kemewahan duniawi, para pendukung

kejahatan, musuh-musuh da’i justru merupakan orang-orang yang

memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah. Masyarakat memandang

mereka sebagai orang-orang yang berhasil dan sukses. Mereka mendapat

ujian, dihormati dari masyarakat, sebaliknya sang da’i tidak memiliki apa-

apa dan sama sekali kurang diperhitungkan ia berjuang sendiri, tidak ada

orang lain yang membelanya. Juga tidak ada yang memberi apresiasi

terhadap nilai kebenaran yang ia bawa, kecuali segelintir orang dari

mereka seperjuangan, yaitu orang-orang yang tidak memiliki apa-apa

dalam urusan dunia.19

Keempat, ujian keterasingan, seorang da’i pasti merasa terasing

ketika ia melihat lingkungan dan orang-orang disekitarnya tenggelam

dalam gelombang kesesatan yang amat dalam. Dia menjadi gelisah dan

bingung sendiri, menjadi orang asing di tengah-tengah lingkungannya

sendiri.20

Kelima, ujian modernisasi, ujian ini tampak jelas pada masa

sekarang ini. Di satu pihak, orang mukmin melihat umat dan bangsa-

bangsa lain tenggelam dalam kehinaan. Namun di pihak lain, kehidupan

sosial mereka tampak maju dan berbudaya. Dalam kehidupan mereka ada

penghargaan dan perlindungan yang tinggi terhadap hak-hak asasi

18

Ibid., h. 2723. 19

Ibid., Fi Zhilal, jilid VI, h. 3288. 20

Ibid

Page 36: kualifikasi dai FDK.pdf

28

manusia. Mereka juga kaya dan kuat. Namun mereka melawan dan

memerangi agama dan Tuhan.21

Keenam, ujian dan goda’an nafsu, ini merupakan ujian yang paling

besar dan paling berat, melebihi ujian-ujian yang lain. Godaan nafsu dapat

berwujud konsumerisme, kecintaan yang berlebihan pada tahta dan harta,

serta pola hidup yang berorientasi pada kesenangan dan kenikmatan.

Godaan nafsu dapat pula berubah kesulitan membangun sikap hidup

istiqamah di jalan iman ditambah lagi dengan hambatan baik dari diri

sendiri, orang lain, lingkungan, masyarakat, maupun dalam pemikiran dan

gagasan. Ujian ini sungguh berat, tidak banyak orang yang dapat bertahan

dengan ujian ini, kecuali sedikit orang yang mendapat perlindungan dari

Allah SWT.22

Inilah berbagi macam dan bentuk ujian yang biasa dihadapi oleh

para da’i mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat, serta

ringannya ujian sangat bergantung kepada da’i tersebut bisa dilihat dari

kualitas iman seseorang, karena makin tinggi kualitas iman seseorang,

makin berat pula ujiannya.

Pengemban amanah ini tidak bisa tidak, memerlukan latihan dan

pembekalan, baik berupa kesulitan hidup, kemampuan mengendalikan

hawa nafs, maupun kesabaran atas duka dan derita. Mereka harus tetap

yakin terhadap pahala dan pertolongan Allah, meskipun ujian dan coba’an

itu tidak kunjung berakhir, malahan kadang-kadang dalam waktu yang

21

Ibid 22

Ibid. h. 2721

Page 37: kualifikasi dai FDK.pdf

29

cukup lama. Pada waktunya, sesuai dengan kebijaksanaan Tuhan, para da’i

yang berjuang dijalan Allah akan memetik kemenangan dengan izin dan

pertolongan-Nya.

3. Kemenangan da’i

Dalam Al-Qur’an terdapat sekian banyak ayat yang menjanjikan

kemenangan bagi orang-orang yang menolong Allah SWT. Keterangan

mengenai hal ini dapat dibaca, antara lain, dalam surah Muhammad:7,

Ghafir:51 dan surah al-Hajj: 40-41. dalam ayat-ayat tersebut kemenangan

yang dijanjikan Tuhan dikaitkan dengan perjuangan menolong Allah SWT

sehingga timbul pertanyaan bagaiman cara manusia menolong Allah

SWT? Menurut Sayyid Quthub, menolong Allah SWT bermakna

menolong agama-Nya.

Menolong agama Allah berarti menerima kebenaran agama itu dan

mewujudkan dalam kehidupan yang nyata. Untuk keperluan ini, ada dua

jalan yang harus dilakukan. Pertama, menolong Allah dengan menolong

dirinya sendiri. Kedua, menolong Allah dengan menolong orang lain

(umat) dengan mewujudkan sistem atau syariatnya.23

Proses yang pertama (menolong diri sendiri) harus dilakukan dengan

memperkuat iman, yaitu iman yang benar-benar bersih dari unsur-unsur

kemusrikan baik kemusrikan yang nyata (jali) maupun yang samar

(khafi)24

.

23

Ibid., Fi Zhilal jilid VI, h. 3288. 24

Ibid

Page 38: kualifikasi dai FDK.pdf

30

Sedangkan proses yang kedua (menolong orang lain) harus

dilakukan dengan membangun dan mewujudkan sistem Islam dalam

realitas kehidupan baik dalam tataran individu, keluarga, masyarakat dan

umat. Kemashlahatan dan kebaikan yang akan timbul dari tegaknya sistem

dan syariat Islam, tentu tidak lagi bersifat personal, melainkan berwujud

kebaikan umum yang akan dirasakan oleh setiap orang.25

Dalam surah al-Hajj yang dikutip di atas, Allah memperlihatkan

contoh dari orang-orang yang telah menolong agama-Nya, yaitu orang-

orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan melakukan amr

ma’ruf dan nahi mungkar. Ketiganya merupakan prinsip-prinsip Islam

yang amat penting. Orang-orang yang dalam hidupnya telah berjuang

untuk dapat menegakkan ketiganya, mereka diidentifikasi sebagai

penolong agama Allah SWT.26

Para da’i yang berjuang untuk mewujudkan sistem Islam, tentu

merupakan pertolongan agama Allah SWT. Mereka dengan sendirinya

berhak mendapat kemenangan sebagaimana dijanjikan. Namun

kemenangan ini bukanlah hadiah gratis yang dapat dicapai begitu saja.

Untuk menggapainya diperlukan proses perjuangan yang agak panjang dan

melelahkan jalan kemenangan itu meliputi iman, jihad, ujian dan coba’an,

sabar dan tahan uji, serta orientasi menuju tuhan semata, lalu setelah itu

datang kemenangan dan kenikmatan.27

25

Ibid. 26

Ibid, Fi Zhillah, jilid IV, H. 2427. 27

Ibid., Fi Zhillah, jilid I, h. 219

Page 39: kualifikasi dai FDK.pdf

31

BAB III

TINJAUAN ANALISIS TAFSIR AL-MISBAH

A. Riwayat Hidup Penulis

1. Kehidupan Awal Muhammad Quraish

Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rampang, Sulawesi Selatan,

pada tanggal 16 februari 1994, ia keturunan Arab.1 Ayahnya bernama

Abdurrahman Shihab, ádalah seorang rektor IAIN Allaudin Ujung

Pandang dan menjadi guru besar dalam bidang dakwah di kampus itu.

Bukan itu saja, Abdurrahman Shihab juga seorang wiraswastawan

sekaligus mubaligh yang handal. Walaupun beliau Sangat sibuk dalam

berbagai hal, tetapi ia tidak lupa mendidik anak-anaknya, seperti Umar

Shihab, Alwi Shihab dan Quraish Shihab. Beliau sering mengajak anak-

anaknya, untuk menghadiri pengajian dan mendengarkan petuah agama.

Hal ini seperti kemukakan Quraish Shihab, yaitu:

“ Sering kali ayah mengajak anak-anaknya bersama . pada saat-saat

inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Dari petuah-

petuah keagamaanya. Dari petuah-petuah tersebut saya banyak mengetahui

ayat-ayat Al-Qur‟an atau petuah Nabi, sahabat, atau pakar-pakar Al-

Qur‟an yang ingat detik ini saya masih ingat .dari sanalah benih cinta

tumbuh pada studi Al-Qur‟an.

1 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan

Umat, ( Bandung: Mizan, 2003), cet.ke-XIV, h. XI.

Page 40: kualifikasi dai FDK.pdf

32

2. Perjalanan Intelektual Muhammad Quraish Shihab

Ia pertama kali menyelesaikan pendidikannya di sekolah rakyat di

Ujung Pandang, kemudian melanjutkannya ke sekolah menengahnya di

padang, sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah

pada tahun 1956-1958. kemudian atas saran ayahnya ia melanjutkan

sekolahnya di Kairo, Mesir pada tahun 1958. Di sana ia diterima di kelas II

Tsanawiyah al-Azhar. Karena kepiawaiannya, ia masuk Universitas Al-

Azhar, Fakultas Ushuludin jurusan Tafsir Hadits dan meraih gelar Lc (S-1)

pada tahun 1967. tidak puas dengan gelar yang diraihnya, ia kemudian

melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dengan mengambil

spesialisasi (jurusan) Tafsir Al-Qur‟an. Pada tahun 1969 tepatnya berumur

25 tahun, ia meraih gelar MA, dengan tesis yang berjudul “al-Ijaz al-

Tasyri’iy li Al-Qur’an al-Karim”. setelah itu kembali ke kampung

halamannya, Ujung Pandang.2

Di ujung Pandang, ia mendapat kepercayan untuk menjabat sebagai

wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan di IAIN Allaudin,

Ujung Pandang, selain itu ia juga menjabat sebagai koordinator Perguruan

Tinggi Swasta (wilayah VII Indonesia Bagian Timur) dan pembantu

kepolisian Indonesia Bagian Timur bidang pembinaan mental, serta pernah

melakukan penelitian dengan tema “Penerapan kerukunan Hidup

Beragama di Indonesia Bagian Timur (1975), dan “Masalah Wakaf

Sulawesi Selatan (1978).”

2 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ( Bandung: Mizan, 2004), h. XI

Page 41: kualifikasi dai FDK.pdf

33

Setelah mengabdikan dirinya pada tanah kelahirannya, ia melakukan

studinya S-3 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir pada tahun 1980, karena

kesungguhan serta kejeniusannya, ia mampu menyelesaikan S-3 nya

dalam waktu 2 tahun, tepatnya pada tahun 1982 dengan disertainya yang

berjudul “Nazhm al- Durar li al-Biaa’iy Tahqiq wa Dirasah” ia berhasil

meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Qur‟an dengan Yudisium Summa

Cum Laude disertai dengan peringkat I (Mumtaz ma‟a Martabat al-Syaraf

al-„ula ).3 Dengan prestasinya itu ia tercatat sebagai orang yang pertama

dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.

Pada tahun 1984, ia kembali ke Indonesia kemudian ia mendapat

tugas mengajar di Fakultas Ushuluddian dan Pasca Sarjana IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Selain itu ia juga mendapat amanah sebagai Ketua

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat pada tahun 1984, Anggota Lajnah

Pentasih Al-Qur‟an Departemen Agama pada tahun 1989 dan Ketua

Lembaga Pengembangan. Beliau juga terlibat dalam beberapa organisasi

professional, antara lain Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari‟ah,

Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan

kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cenekiawan Muslim

Indonesia (ICMI). Di dalam kesibukannya ia aktif dalam kegiatan ilmiah

di dalam maupun di luar negeri, dan aktif dalam tulis menulis di berbagai

surat kabar seperti Pelita, majalah Ulumul Quran, dan Mimbar Ulama.

3 Ibid.

Page 42: kualifikasi dai FDK.pdf

34

B. Pembahasan mengenai tafsir dan perkembangannya

Al-Qur‟an sebagai sumber asasi Islam memuat banyak makna. Hal itu

misalnya sepeerti dikutip Quraish Shihab dari Abdullah Diras, “ayat-ayat Al-

Qur‟an bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda

dengan apa yan terpancar dari sudut lainnya. Dan tidak mustahil jika kita

mempersilahkan orang lain memandangnya dari sudut lainnya, maka dia akan

melihat banyak dibanding apa yang kita lihat”. Kekayaan makna itu pula yang

mendorong nabi memerintahkan Muadz bin Jabal menggunakan ijtihad dalam

memutus sesuatu yang tidak dapat secara harfiah di dalam Al-Qur‟an. Tidak

hanya sebatas itu, tindakan berijtihadnya saja diberi imbalan pahala, lebih-

lebih jika ijtihadnya benar, sejalan dengan anjuran Nabi, Ali bin Abi Thalib

menyatakan “Al-Qur‟an baina daftay al-mushaf la yantiq, innama yantiqu

(yatakallamu) bihi ar-rijal”. Artinya manusialah yang bertugas mengungkap

pesan Al-Qur‟an agar ia berfungsi memberi petunjuk. Karena itu, makna-

makna itu tidak akan membuahkan hasil apa-apa jika tidak digali.

Dalam mengungkap makna pesan Tuhan di dalam Al-Qur‟an dikenal

dua pendekatan, tafsir dan ta‟wil. Dilihat dari segi bahasa, tafsir bermakna

menyingkap, menjelaskan dan menampakan. Dan dilihat dari segi istilah,

tafsir berarti suatu ilmu yang dapat mengungkap pesan kitab Allah yang

diturunkan kepada Muhammad sehingga dapat menjelaskan makna-makna dan

hukum-hukumnya. Sedang ta’wil dari segi bahasa bermakna

mengembalikkan, menuju titik akhir dan menjelaskan implikasinya, dan dari

segi istilah berarti mengembalikan sesuatu kepada tujuannya semula, baik

Page 43: kualifikasi dai FDK.pdf

35

secara ilmiah maupun praksis. Atau memalingkan makna haqiqi pada makna

majazi sebagaimana diteorisasi oleh Ibnu Rusyd.

Dilihat dari sumber penafsirannya, para peneliti tafsir acap kali

membedakan dua model tafsir: tafsir bi al-ma’sur yang juga dikenal dengan

tafsir riwayah atau manqul, apabila sumber penafsirannya adalah riwayat-

riwayat. Dan tafsir bi ar- ray yang juga dikenal dengan tafsir ma’qul atau

tafsir dirayah, jika sumber yang diambil adalah ijtihad. Sebagai turunan dari

kedua model tafsir itu, Hay Farmawi meringkas berbagai metode tafsir

menjadi empat macam: tafsir tahlili, tafsir ijmali, tafsir muqarin, dan tafsir

tematik (maudhu’i).

Dikatakan tafsir tahlili apabila ayat-ayat ditafsirkan satu persatu menurut

urutannya sebagai mushaf. Atau, menjelaskan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan

cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap deluruh maksudnya, dimulai

dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan

antarpemisah sampai keterkaitan riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi,

Sahabat, tabi‟in dan prosedurnya dengan cara mengikuti urutan mushaf.

Menurut Farmawi, para mufassir berbeda-beda dalam mengoperasionalkan

metode ini. Karena itu, lahirlah metode tafsir bi al-ma’sur, tafsir bi ar-ra’yi,

tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir falsafi, tafsir ilmi dan tafsir adabi ijtima’i. Tafsir

ijmali adalah tafsir yang memaknai ayat-yat Al-Qur‟an hanya secara global,

seperti tafsir jalalain. Tafsir muqarin adalah tafsir yang mencoba

membandingkan antara satu tafsir dengan tafsir yang lain, baik dari segi objek

bahasannya maupun dari segi metodenya. Sedang tafsir tematik (maudhu’i)

Page 44: kualifikasi dai FDK.pdf

36

adalah tafsir yang membahas persoalan-persoalan tertentu dengan cara

mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang senada yang membahas persoalan

tertentu.

Sementara itu, dilihat dari tren atau kecenderungan studi Al-Qur‟an

mulai klasik hingga kontemporer, Ignaz Goldzhiher mencatat adanya lima

kecenderungan, yakni studi Al-Qur‟an tradisional, studi Al-Qur‟an dogmatis,

studi Al-Qur‟an mistik, studi Al-Qur‟an sektarian dan studi Al-Qur‟an

modern. Kecenderungan sudi Al-Qur‟an modern, oleh Gholdziher dikaitkan

dengan gerakan pemikiran yang berkembang di India dan Mesir, kendati

dengan titik tolak yang berbeda. Gerakan Islam di India dengan figurnya

Ahmad Khan bertolak pada pembaruan pemikiran keislaman dengan figur

utamanya Muhammad Abduh. Muhammad Abduh tercatat sebagai pelopor

studi Al-Qur‟an modern.

Yang dimaksud studi Al-Qur‟an modern dalam hal ini adalah sebuah

usaha “mengontekskan” Al-Qur‟an dengan tuntutan zaman. Tujuan seperti itu

sebenarnya telah dirintis sejak Zaman Nabi Muhammad. Menurut Muhammad

Abduh, Al-Qur‟an merupakan sumber asasi Islam sebagai agama universal,

yang acap kali sesuai dengan kepentingan setiap masyarakat, Zaman dan

berbagai peradaban, di mana pun dan kapan pun, sehingga ia tetap memberi

petunjuk pada mereka dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Tafsir

modern Muhammad Abduh ini kemudian dikenal sebagai tafsir adabi ijtima‟i.

Tafsir adabi ijtima‟i ini mempunyai empat unsur pokok yaitu:

a. menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qaur‟an.

Page 45: kualifikasi dai FDK.pdf

37

b. Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Quran dengan

susunan kalimat yang indah.

c. Aksentuasi pada tujuan utama di uraikannya.

d. Penafsiran yang dikaitkan dengan sunatullah dalam masyarakat.

Kecenderungan tafsir modern dibagi lagi menjadi tiga model, yakni tafsir

ilmi, tafsir realis (waqi‟i) dan tafsir sastra (adabi). Secara singkat, ketiga tafsir

modern itu dapat di pahami demikian.

Tafsir ilmi berprinsip bahwa Al-Qur‟an mendahului ilmu pengetahuan

modern sehingga mustahil Al-Qur‟an bertentangan dengan sains modern.

Tafsir waqi‟i berprinsip Al-Qur‟an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia

dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sehingga ia harus ditafsiri

dengan pendekatan tertentuyang membuatnya mampuh menjawab berbagai

tantangan yang dihadapi manusia . dan tafsir adabi berprinsip bahwa Al-

Qur‟an merupakan kitab sastra terbesar dan bacaan mulia yang mampu

mempengaruhi jiwa terdalam manusia secara estetik. Berbeda dengan dua

model lainnya, model tafsir sastra tidak berpotensi untul menjawab berbagai

tantangan yang dihadapi umat manusia sebagaimana pendekatan lainnya,

melainkan hendak mengembalikan Al-Qur‟an kepada pesan awalnya yang

ditunjukan kepada jiwa pendengar awalnya.

Sejalan dengan itu, jika menilik pada sejarah perkembangan tafsir,

menurut Ignaz Goldziher, perkembangan tafsir selalu mengalami pergeseran

paradigma dan epistemologi. Pada era klasik, epistemologi tafsir pada

umumnya bertumpuh pada ranah verbal-tekstual yang penjelasannya sangat

Page 46: kualifikasi dai FDK.pdf

38

mengandalkan nalar bayani dan memiliki kecenderungan ideologis.

Sedangkan tafsir di era modern tidak lagi bertumpuh pada verbal- tekstual,

tetapi telah memanfaatkan metode-metode kontemporer. Kebenaran tafsir era

ini diukur melalui apakah sebuah produk tafsir sesuai dengan teori

pengetahuan atau tidak. Dan apakah produk tafsir mampuh menjawab

persoalan-persoalan sosial keagamaan yang melanda kehidupan masyarakat

atau tidak.

C. Ciri-ciri tafsir Al-Misbah

a. Menerangkan arti ayat-ayat Al-Qur‟an dari berbagai segi berdasarkan

aturan urutan ayat atau surat dalam mushaf.

b. Menerangkan lebih rinci kandungan lafadznya.

c. Adanya muhasabah dengan ayat dan antar surat.

d. Adanya muhasabah dengan hadits-hadits dan pendapat-pendapat para

mufasir.

Dari uraian ciri-ciri diatas, maka dapat disimpulkan bahwasanya tafsir

Al-Misbah ini termasuk dalam kategori tafsir modern.

Page 47: kualifikasi dai FDK.pdf

39

BAB IV

KONSEP TAFSIR AL-MISBAH TENTANG DA’I

A. Teks Al-Qur’an Surat Al-Muddatsir ayat 1-7 Serta Terjemahnya

1. Teks Ayat dan Terjemahnya

Artinya: Wahai orang yang berselubung (1) Bangunlah, lalu peringatkanlah!

(2) Dan Tuhan engkau hendaklah engkau agungkan (3) Dan pakaian

engkau, hendaklah bersihkan (4) Dan perbuatan dosa hendaklah

engkau jauhi (5) Dan janganlah engkau memberi karena ingin

balasan lebih banyak(6) Dan hanya kepada Tuhanmu saja maka

bersabarlah (7).

2. Asbab Al-Nuzul

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah SAW

bersabda: ketika aku seledai uzlah, selama sebulan di gua Hira aku turun

kelembah. Setelah sampai ketengah lembah ada yang memanggilku, tetapi

aku tidak melihat seorangpun disana. Aku mengadahkan kepalaku kelangit,

dan tiba-tiba aku melihat malaikat yang pernah mendatangiku digua hira, aku

cepat-cepat pulang dan berkata (kepada orang rumah) “selimutilah-

selimutilah aku” maka turunlah ayat ini surat Al-Mudatsir sebagai perintah

untuk menyingsingkan selimutnya dan berdakwah.

Page 48: kualifikasi dai FDK.pdf

40

Diriwayatkan oleh Asyaikhani yang bersumber dari jabir.

Surah ini disepakati oleh ulama turun sebelum Nabi berhijrah,

bahkan sekian ayatnya ( ayat 1-7) di nilai oleh banyak ulama sebagai bagian

dari wahyu-wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW.

Bahkan ada yang berpendapat awal surah ini turun setelah turunnya lima ayat

pertama Surah Iqra.

Ditemukan riwayat dalam sahih Bukhari dan sahih Muslim, yang

menyatakan bahwa surah al-Muddatsir merupakan wahyu kedua yang

diterima Nabi SAW. Memang ada pendapat yang menjadikan surah al-

Muzammil sebagai wahyu kedua antara lain didasarkan pada riwayat Ibn

Ishaq. Hanya saja walaupun kiah yang diutarakannya mirip dengan kisah

turunnya awal surah aal-Muddatsir namun pada akhir redaksi riwayat tersebut

ditemukan semacam keraguan dari perawinya, apakah ia al-Muddatsir atau al-

Muzammil.

Hadits yang ditemukan oleh Bukhari dan Muslim menyangkut sejarah

turunnya surah ini, justru menjelaskan bahwa surah al-Muddatsir turun

sebelum turunnya Iqra, namun ulama-ulama hadits tidak berpendapat

demikian, karena mereka menemukan dalam redaksi hadits tersebut suatu

petunjuk yang dapat dijadikan dasar bagi pendapat yang menyatakan Iqra

adalah wahyu pertama yang turun, apalagi jika dilihat banyaknya riwayat lain

yang mendukung kedudukaan surah Iqra sebagai wahyu pertama.

Sejarah turunnya Al-Qur‟an menceritakan bahwa pernah terjadi

selang waktu yang relatif lama setelah turunnya Iqra, dimana ketika itu Nabi

Page 49: kualifikasi dai FDK.pdf

41

SAW tidak meneriam wahyu, sehingga kalau surah l-Muddatsir ini akan

dinamakan juga surah yang pertama yang turun, maka yang dimaksud surah

pertama setelah selang waktu tersebut, bukan yang pertama scara

keseluruhan.

Antara al-Muddatsir dan al-Muzammil tidak dapat dipastikan yang

mana yang terdahulu dan yang mana yang kemudian. Kisah turunnya sangat

mirip, yakni seperti yang diceritakan Jabir di atas. Ayat-ayat awalnya pun

berbicara menyangkut hal yang sama. Yaitu pembinaan terhadap diri

Rasulullah SAW, dalam rangka menghadapi tugas-tugas penyebaran agama.1

3. Ayat Tentang Bekal Da’i dan penjelasannya

(1)

Artinya : “Hai yang berselimut.”

Kata ( ) al-Muddatsir terambil dari kata ( ) iddatsara. Kata ini

apapun bentuknya, tidak ditemukkan dalam Al-Qur‟an kecuali sekali, yaitu pada

ayat pertama surah ini.Iddatsara berarti mengenakan ( ) ditsar, yaitu sejenis kain

yang diletakkan di atas baju yang dipakai dengan tujuan menghangatkan atau

dipakai sewaktu berbaring tidur (selimut). Disepakati oleh ulama tafsir bahwa

yang dimaksud dengan yang berselimut adalah Nabi Muhammad SAW.

Sabab nuzul yang dikemukakan di atas mengundang kita untuk

memahami kata “berselimut” dalam arti yang hakiki, bukan dalam arti kiasan

seperti “berselubung dengan pakaian keNabian” atau dengan “akhlak yang

mulia” bila kalimat “orang yang berselimut“ dikaitkan lebih jauh dengan sebab

1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta :

Lentra Hati , 2002)

Page 50: kualifikasi dai FDK.pdf

42

turunnya ayat, maka arti yang ditunjuk oleh peristiwa tersebut adalah orang yang

diselimuti. Pengertian ini didukung oleh suatu bacaan yang dinisbahkan kepada

Ikrimah, yaitu: ( ) menyelimuti adalah istri beliau, khadijah ra.

Menyelimuti diri atau diselimuti, tujuannya adalah untuk menghilangkan

rasa takut yang menyelimuti jiwa Nabi Muhammad SAW, beberapa saat sebelum

turunnya ayat-ayat ini. biasanya bila seseorang takut, ia akan menutupi dirinya

atau ia akan menggigil, dan saat itu selimut akan sangat bermanfaat. Inilah yang

tejadi pada diri Nabi Muhammad SAW. Khususnya pada masa awal kedatangan

malaikat jibril kepada beliau. Hal ini terbukti setelah mengamati pula surah Al-

Muzzammil yang turun berselang dengan surah ini dan yang artinya sama, yaitu”

orang yang berselimut”.

Perasaan takut yang meliputi diri Nabi Muhammad SAW. Pada awal

kedatangan wahyu agaknya disebabkan karena pengalaman pertama beliau alami

ketika menerima wahyu Iqra. Beliau dirangkul oleh malaikat sedemikian kuatnya

sehingga, seperti yang beliau akui sendiri dalam hadits yang diriwayatkan

Bukhariy, “Telah kurasakan (puncak) kepayahan “atau, dengan kata lain, pada

riwayat Ath-Thabariy, “Aku mengira bahwa itulah kematian mungkin juga

perasaan takut tersebut akibat pandangannya kepada malaikat yang diberi sifat

oleh Al-Qur‟an sebagai “yang mempunyai kekuatan disisi Allah, Pemilik „Arsy”

(QS 81:20); atau karena beratnya wahyu yang beliau terima itu (QS 73:5). Adapun

penyebab rasa takut beliau yang dipahami dari sebab nuzul ayat serta dari celah-

celah kata “Al-Muddatsir”, namun ia sama sekali tidak mengurangi keagungan

Rasul SAW. Perasaan serupa pernah dialami oleh Nabi Musa ketika beliau

Page 51: kualifikasi dai FDK.pdf

43

melihat tongkatnya berubah menjadi ular (QS. 27:10). Hal-hal semacam ini untuk

menggambarkan bahwa para Nabi, walaupun mempunyai keistimewaan-

keistimewaan dari segi spiritual, namun mereka tidak luput dari naluri

kemanusian, seperti rasa takut tersebut. Dan memang tidak mungkin bagi seorang

manusia untuk tidak merasa gentar atau takut ketika menghadap untuk pertama

kalinya hal-hal semacam itu.2

( 2)

“Bangkitlah, lau berilah peringatan”

Kata (قم) qum terambil dari kata (قىم) qawama yang mempunyai banyak

bentuk. Secara umum, kata-kata yang dibentuk dari akar kata tersebut diartikan

sebagai “melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagai seginya”. Karena

itu, perintah di atas menuntut kebangkitan yang sempurna , penuh semangat dan

percaya diri, sehingga yang diseru dalam hal ini Nabi Muhammad SAWharus

membukabselimut, menyingsingkan lengan baju untuk berjuang menghadapi

kaum musrikin.

Kata (انذر) andzir berasal dari kata (نذر) nadzara yang mempunyai

banyak arti, antara lain, sedikit, awal sesuatu dan janji untuk melaksanakan

sesuatu bila tepenuhi syaratnya. Pada ayat di atas, kata ini biasa ditejemahkan

dengan peringatkanlah. Peringatan didefinisan sebagai “penyampaian yang

mengandung unsur menakut-nakuti.”

Bila diperhatikan arti asal kosa kata tersebut, maka peringatan yang

disampaikan itu merupakan sebagian kecil serta pendahuluan dari satu hal yang

besar dan berkepanjangan dan apa yang diperingatkan itu pasti akan terjadi selama

syaratnya telah terpenuhi. Syarat tersebut adalah pengabaian kandungan

peringatan tersebut.

Disini timbul pertanyaan, siapakah yang diperingatkan dan apa

kandungan peringatan tersebut? Pertanyaan ini tidak tersurat jawabannya dalam

2 M. Quraish Shihab, Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu

(Bandung: Pustaka Hidayah Cet. ke 3 1999) h. 219

Page 52: kualifikasi dai FDK.pdf

44

redaksi ayat, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama tafsir.

Satu pihak beranggapan bahwa mereka yang diperingatkan sengaja tidak

dikemukakan. Hal ini, dissamping untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat ini

dengan bunyi akhir ayat yang lain dan ayat-ayat kemudian, masing-masing

berakhir dengan huruf ra ( ) juga untuk memberikan cakupan yang umum bagi

perintah tersebut. Dalam Surah Yunus ayat 2 dijelaskan, Patutkah menjadi

keheranan bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seorang lelaki

diantara mereka bahwa, “Berikanlah peringatan kepada manusia”3

Ada juga ulama yang berpendapat bahwa pada dasarnya perintah di sini

belum ditujukan secara khusus kepada siapapun. Yang penting adalah melakukan

peringatan, kepada siapa saja, terserah kepada Rasulullah SAW. Hal ini sama

dengan perintah makan dan minum, baik yang ditemukkan dalam Al-Qur‟an

maupun ucapan seseorang yang mempersilahkan tamunya untuk makan dan

minum.

Penulis cenderung untuk mendukung pendapat kedua ini, karena sejarah

memberitakan bahwa realisasi perintah itu dilaksanakan oleh rasul SAW. Dalam

bentuk rahasia yang ditunjukan kepada orang-orang yang tertentu, baik

keluarganya maupun teman-teman yang beliau anggap dapat menerima ajaran

Islam, atau minimal tidak menimbulkan reaksi yang dapat menghalangi lajunya

dakwah. Realisasi perintah ini secara terbuka dimulai setelah berlau tiga tahun

dari turunnya wahyu pertama, yakni dengan turunnya QS. Asy-Syua‟ra : 26: 214

3 Ibid h.221

Page 53: kualifikasi dai FDK.pdf

45

Artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”.

Dan ayat 94 Surah Al-Hijr

Artinya: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang

diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang

musyrik”.

Adapun kandungan peringatan, maka berdasarkan petunjuk ayat-ayat

yang menggunakan redaksi yang sama dengan redaksi ayat ini, dapat kita

katakana bahwa peringatan tersebut menyangkut “siksa di hari kemudian” dalam

Surah Ghafir Ayat 18 dinyatakan:

Artinya: “Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu)

ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan

kesedihan.”

Demikian pula dengan surah ibrahim ayat 44:

Artinya: “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada

waktu itu) datang azab kepada mereka”.

Apa yang dikemukakan di atas tentang kandungan peringatan ini lebih di

perkuat lagi dengan hadits yang menceritakan kandungan perintah Nabi SAW.

Page 54: kualifikasi dai FDK.pdf

46

Ketika turunya firman Allah SWT yang memerintahkan beliau untuk memberi

peringatan kepada kerabat-kerabatnya yang dekat.

Dalam redaksi ayat itu juga tidak disebutkan kandungan peringatan,

namun didalam hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabriy diinformasikan bahwa

ketika itu beliau menyampaikan, “Seandainya kuberikan kepada kalian bahwa

dibelakang bukit (Shafa) ini telah terkumpul barisan berkuda untuk menyerang

kalian, apakah kalian mempercayaiku ?” mereka menjawab, “kami tidak pernah

mengenal kebohongan dari engkau” Rasul bersabda: “ketahuilah bahwa

sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian tentang siksa yang

akan datang dan amat pedih”.

Meyakini bahwa kandungan peringatan tersebut adalah “siksa tuhan”

menurut hemat penulis, lebih tepat dari pada menjadikan kandungan ayat ketiga

(“Dan tuhanmu, Agungkanlah !”) sebagai peringatan yang ditugaskan kepada

Nabi untuk menyampaikannya. Sebab, kaidah kebahasaan tidak mendukungnya,

walaupun terdapat suatu ayat dalam Al-Qur‟an yang memerintahkan kepada Nabi-

Nabi untuk memberi keringatan tentang keesaan tuhan (QS. 15:2).

(3)

“Dan Tuhanmu, maka agungkanlah“

Karena memberi peringatan dapat mengakibatkan kebencian dan

gangguan dari yang diperingati, maka ayat di atas melanjutkan bahwa dan

bersamaan itu hanya tuhan pemelihara dan pendidikmu saja, apapun yang terjadi

maka agungkanlah!

Page 55: kualifikasi dai FDK.pdf

47

Ayat ketiga surah ini sampai dengan ayat ketujuh yang turun sebagai

suatu rangkaian dengan ayat pertama dan kedua, merupakan petunjuk Allah SWT

dalam rangka pembinaan diri Nabi SAW. Demi suksesnya tugas-tugasvkeNabian.

Petunjuk yang pertama adalah “ dan Tuhanmu, maka agungkanlah!

Kata (ربك) Tuhanmu pada ayat di atas disebutkan mendahului kata

agungkan. Itu disamping untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat, bahkan yang (كّبز)

lebih penting untuk menggambarkan bahwa perintah takbir (mengagungkan)

hendaknya hanya diperuntukkan baginya semata-mata, tidak terhadap sesuatu pun

selain-Nya. Mengagungkan tuhan dapat berbentuk ucapan, perbuatan, atau sikap

bathin. Takbir dengan ucapan adalah mengucapkan Allahu akbar. Takbir dengan

sikap bathin adalah menyakini bahwa dia maha besar, kepada-Nya tunduk segala

makhluk dan kepada-Nya kembali keputusan segala sesuatu. Apapun dihadapan-

Nya adalah kecil dan tidak berarti, sehingga bila terjadi benturan dengan

kehendak atau ketetapan-Nya, maka dia pasti yang menentukan. Sedang takbir

dengan perbuatan adalah pengejawantahan makna-makna yang dikandung”takbir

dengan sikap bathin” tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Perintah bertakbir disini mencakup ketiga hal di atas, bahkan diamati

bahwa dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan perintah untuk “mengucapkan takbir”,

berbeda hanya dengan Hamdallah (ucapan al-hamdullah). Perintah bertakbir

hanya ditemukan dua kali dalam Al-Qur‟an. Yaitu pada surah Al-Muddatsir ini

pada Surah Al-Isra ayat 111:

Artinya: “Dan Katakanlah: Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak

dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan dia bukan pula

hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah dia dengan

pengagungan yang sebesar-besarnya”.

Ketika seseorang mengucapkan takbir, maka pada hakikatnya ada dua hal

yang seharusnya ia capai, pertama, pernyataan keluar sikap bathinnya tersebut.

Page 56: kualifikasi dai FDK.pdf

48

Kedua, mengatur sikap lahirnya sehingga setiap langkahnya berada dalam

kerangka makna kalimat tersebut.

Dampak dari kedua hal ini adalah terhujamnya kedalam jiwa, rasa

memiliki serta kesediaan mempertahankan hakikat yang diucapkannya itu.

Disamping tertanamnya kesadaran akan kecil dan remehnya segala sesuatu

selainnya. Betapapun ia dinamai “besar” atau “agung” dan pada saat yang sama

pengucapannya merasa kuat dan mampu menghadapi segala tantangan karena ia

telah mengaggungkan jiwa raganya kepada yang maha agung itu, dan dengan

demikian ia tidak akan meminta perlindungan kceuali kepadanya. Ia tidak akan

mengharapkan sesuatu yang lebih besar kecuali darinya. Ia akan selalu

melaksanakan perintahnya, ini terjadi akibat rasa takut kepadanya, butuh

kepadanya, atau bahkan akibat rasa kagum.

Inilah petunjuk pertama yang merupakan titik tolak bagi segala aktivitas.

Karena itu, adalah sangat wajar apabila hakikat ini merupakan pelajaran pertama

yang diberikan kepada Muhammad SAW. dalam rangka menghadapi tugasnya

yang berat.

( 4)

“Dan Pakaianmu, maka bersihkanlah”

Inilah petunjuk kedua yang diterima oleh Rasulullah SAW. Dalam

rangka melaksanakan tugas tabligh, setelah pada petunjuk pertama dalam ayat

ditekankan keharusan mengkhususkan pengagungan (takbir) hanya kepada Allah

SWT ayat di atas menyatakan “Dan pakaianmu bagaimanapun keadaanmu maka

bersihkanlah”.

Page 57: kualifikasi dai FDK.pdf

49

Kata (ثياب ) tsiyab adalah bentuk jamak dari kata (ثىب) tsaub/ pakaian.

Disamping makna tersebut ia gunakan juga sebagai majaz dengan makna-makna

antara lain: hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti keluarga dan istri.

Kata (طّهز) thahir adalah bentuk perintah, dari kata (طّهز) thahara yang

berarti membersihkan dari kotoran.

Kata ini dapat juga dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan diri

dari dosa atau pelanggaran. Gabungan kedua kata tersebut dengan kedua

kemungkinan makna hakiki atau majaz itu mengakibatkan beragamnya pendpat

ulama yang dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok:

1. Memahami kedua kosa kata tesebut dalam arti majaz, yakni perintah

untuk menyucikan hati, jiwa, usaha, budi pekerti dan segala macam

pelanggaran, serta mendidik keluarga agar tidak terjerumus di dalam dosa

atau tidak memilih untuk dijadikan istri kecuali wanita-wanita yang terhormat

serta bertakwa.

2. Memahami keduanya dalam arti hakiki, yakni membersihkan pakaian dan

segala macam kotoran, dan tidak mengenakannya kecuali apabila ia bersih

sehingga nyaman dipakai dan dipandang.

3. Memahami tsiyab/ pakaian dalam arti majaz dan thahir dalam arti hakiki,

sehingga ia bermakna: “Bersihkanlah jiwa (hati) mu dari kotoran-kotoran”.

4. Memahami Tsiyab/ pakaian dalam arti hakiki dan thahir dalam arti majaz,

yakni perintah untuk menyucikan pakaian dalam arti memakainya secara

halal sesuai ketentuan-ketentuan agama (antara lain menutup aurat) setelah

memperolehnya dengan cara-cara yang halal pula. Atau dalam arti “pakailah

pakaian pendek sehingga tidak menyentuh tanah yang mengakibatkan

kotornya pakaian tersebut. Adat kebiasaan orang arab ketika itu adalah

Page 58: kualifikasi dai FDK.pdf

50

memakai pakaian-pakaian yang panjang untuk memamerkannya, yang

memberikan kesan keangkuhan pemakainya walaupun mengakibatkan

pakaian tersebut kotor karena menyentuh tanah, akibat panjangnya.

Penulis cenderung memilih pendapat yang menjadikan kedua kata

tersebut dalam arti hakiki. Bukan saja karena kaidah tafsir yang menyatakan

bahwa “satu kata tidak dialihkan kepada pengertian kiasan (majazi) kecuali bila

arti hakiki tidak dapat dan atau terdapat petunjuk yang kuat untuk mengalihkan

kepada makna majaz, tetapi juga karena memperhatikan konteks yang merupakan

sabab nuzul ayat ini yang menjelaskan bahwa ketika turunnya, Nabi Muhammad

SAW.yang ketakutan melihat jibril, bertekuk lutut dan tejatuh ketanah ( sehingga

tentu mengakibatkan kotornya pakaian beliau).

Dan perlu kita ketahui bahwa semua pemeluk agama apapun agamanya

lebih-lebih lagi Islam menyadari bahwa agama pada dasarnya menganjurkan

menganjurkan kebersihan bathin seseorang. Membersihkan pakaian tidak akan

banyak artinya jika badan seseorang kotor, selanjutnya membersihkan pakaian

dan badan belum berarti jika jiwa masih ternodai oleh dosa. Ada orang yang ingin

menempuh jalan pintas, dengan berkata, “yang penting adalah hati atau jiwa,

biarlah badan atau pakaian yang kotor, karena tuhan tidak memandang kepada

bentuk-bentuk lahir. ”Sikap tersebut jelas tidak dibenarkan oleh ayat ini, jika kita

memahaminya dalam arti hakiki. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pengertian

hakiki tersebut mengantar kepada keharusan memperhatikan kebersihan badan

dan jiwa, karena jangankan jiwa atau badan , pakian pun diperintahkan untuk

dibersihkan. sebagai contoh, jika terdapat perintah untuk menghormati kakak,

Page 59: kualifikasi dai FDK.pdf

51

maka tentu lebih diperintahkan lagi untuk menghormati ayah, walaupun tidak

tersurat dalam redaksi perintah. Disisi lain, dipahami dari petunjuk ayat ini, bahwa

seseorang yang bertugas melayani masyarakat dan membimbingnya harus

memiliki penampilan yang menyenangkan, antara lain kebersihan pakaiannya.

Kalau dalam petunjuk pertama pada ayat ketiga ditekankan pembinaan

jiwa dan sikap mentaal, maka dalam ayat keempat ini yang ditekankan adalah

penampilan lahiriah demi menarik simpati mereka yang diberi peringatan dan

bimbingan.

Dalam ayat di atas, Rasullah SAW diperintahkan untuk membersihkan

pakaian-pakaian beliau. Telah diuraikan bahwa perintah ini berkaitan dnegan

konteks ayat, sehingga kita tidak perlu menduga bahwa sebelum ini Rasullah

SAW. Kurang memperhatikan kebersihannya karena sejarah membuktikan

kekeliruan dugaan tersebut. Di sisi lain, dapat pula dipahami perintah di atas sama

dengan perintah kepada orang-orang beriman. Dalam surah An-Nisa ayat 136,

Allah memerintahkan: Wahai orang-orang yang beriman: berimanlah kepada

Allah dan Rasulnya. Perintah tersebut tentu bukan berarti bahwa mereka

sebelumnya belum beriman, tetapi ia merupakan perintah untuk mempertahankan.

Memantapkan dan meningkatkan iman tersebut, perintah kepada Rasullah SAW

untuk membersihkan pakaian-pakaian beliau daapt dipahami demikian pula,

dalam arti, ”pertahankanlah, mantapkan dan tingkatkanlah kebiasaanmu selama

ini dalam kebersihan pakainmu”.

Sejarah menjelaskan bahwa pakain yang paling disukai Rasullah SAW

dan yang paling sering dipakainya adalah pakain-pakain yang berwarna putih. Hal

Page 60: kualifikasi dai FDK.pdf

52

ini tentunya bukan saja disebabkan karena warna tersebut menangkal panas yang

merupakan iklim umum daerah Mekkah dan sekitarnya, tetapi juga mencerminkan

kesenangan pemakainya terhadap kebersihan, karena sedikit saja noda pada

pakain yang putih itu akan segera tampak. Sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau

juga telah dikenal sebagai seorang yang sangat mendambakan kebersihan. Tidak

semua jenis makanan di makannya. Bawang misalnya, karena memiliki aroma

yang tidak menyenangkan dihindarinya. Bahkan dianjurkan kepada para

sahabatnya untuk tidak mengunjungi masjid bila baru saja memakan bawang.

Noda dan kotoran yang mengotori dinding (masjid) dibersihkannya guna mmeberi

contoh kepada umatnya. Pakain-pakainnya, walaupun tidak mewah bahkan sobek

dan dijahitnya sendiri, namun selalu rapih dan bersih ini merupakan sifat bawaan

sejak kecilnya, kemudian dikukuhkan oleh pendidikan Al-Qur‟an demi suksesnya

tugas-tugas pembinaan masyarakat. Karena, seseorang yang bertugas memimpin

dan membimng harus mendapat simpati masyarakatnya sekaligus memberi contoh

kepada mereka. Dan hal inilah yang dimintakan perhatian oleh Al-Qur‟an kepada

Rasullah SAW. Bahkan kepada setiap orang, khususnya yang mengemban tugas-

tugas kemasyarakatan.

( 5)

“Dan dosa maka tinggalkanlah“

Petunjuk yang ketiga adalah, dan dosa yakni menyembah berhala

betapapun hebat atau banyaknya orang yang menyembah nya maka

tinggalkanlah.

Page 61: kualifikasi dai FDK.pdf

53

Kata (الّزجش) ar-rujz (dengan dhammah pada ra) atau (الّزجش) ar-rijz,

dengan kasrah pada ra) keduanya merupakan cara yang benar untuk membaca

ayat ini, dan sebagian Ulama tidak membedakan arti yang dikandungnya. Ulama

yang tidak membedakan kedua bentuk kata tersebut mengartikannya dengan dosa,

sedangkan ulama yang membedakannya menyatakan bahwa ar-rujz berarti

berhala. pendapat ini dipelopori oleh Abu Ubaidah. lebih jauh, sebagian ahli

bahasa berkata bahwa huruf (س) zay pada kata ini dapat dibaca dengan (ص) sin

dengan demikian kata ar-rijz sama pengertiannya dengan (الّزجض) ar-rijs/ dosa.

Dengan demikian kata yang digunakan ayat ini dapat berarti berhala, atau siksa

atau dosa.

Kata (فاهجز) fa-hjur, terambil dari kata (هجز) hajara yang digunakan

untuk menggambarkan “sikap meninggalkan sesuatu karena kebencian

kepadanya.” Dari akar kata ini dibentuk kata-kata hijrah, karena Nabi dan sahabat-

sahabatnya meninggalkan mekkah atas dasar ketidaksenangan beliau terhadap

pelakuan penduduknya. kata ( hajirah berarti ”tengah hari” karena pada (ها جزة

saat itu pemakai bahasa ini ”meninggalkan pekerjaannya” akibat terik panas

matahari yang tidak mereka senangi.

Dalam hadits dinyatakan bahwa: ”Tidak dibenarkan meninggalkan untuk

tidak bercakap-cakap dengan saudara lebih dari tiga hari.” yang dimaksud

”meninggalkan” adalah apabila hal tersebut dilakukan karena dorongan kebencian

atau kemarahan, karena hadits tersebut menggunakan kata Yahjuru (َيْهَجُز). Ayat

ini, dengan demikian berarti: ”Tinggalkanlah, atas dorongan kebencian dan

ketidaksenangan, dosa, siksa atau berhala.”

Penulis cenderung untuk memilih arti ”Berhala” bukan saja dengan

alasan yang dipelopori oleh Abu Ubaidah, tetapi juga dengan memperhatikan

pendapat yang mempersamakan antara ar-rijz dan ar-rijs serta gaya dan bentuk

redaksi ayat ini. Yang dimaksud dengan gaya dan bentuknya adalah bahwa ayat

ini secara tegas mencegah Nabi untuk melakukan sesuatu, bahkan dapat dikatakan

bahwa ayat ini merupakan larangan petama yang diterima Nabi Muhammad

SAW.

Kalau kita menelusuri ayat-ayat yang berbicara tentang ar-rijz dan ar-rijs,

maka akan kita temukan bahwa ayat-ayat tersebut disusun dalam bentu berita

(perhatikan, misalnya. QS. 7:113-114, atau QS. 10:100 dan lain-lain). Tetapi

ditemukan satu ayat yang menggunakan redaksi mencegah sekaligus menjelaskan

Page 62: kualifikasi dai FDK.pdf

54

apa yang dimaksud dengan ar-rijs dan tentunya juga arti ar-rijs (karena keduanya

dinilai dalam arti yang sama. Sebagaimana dikemukakan di atas). Ayat tersebut

adalah:

Artinya: ”Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah

perkataan-perkataan dusta.” (QS. 22:30)

Kalau demikian, ayat yang berbentuk larangan di atas dan yang

menjelaskan arti kotoran, yakni ”berhala-berhala” dapat diangkat untuk

menjelaskan ar-rijz pada ayat 5 Al-Muddatsir yang juga menggunakan bentuk

larangan sehingga ayat tersebut seharusnya diartikan sebagai petunjuk kepada

Rasullah SAW. Untuk menjauhi berhala-berhala atas dorongan kebencian

kepadanya. Mengartikan ar-rijz dengan berhala lebih diperkuat lagi setelah

menganalisis arti uhjur yaitu meninggalkan sesuatu atas dorongan kebencian.

Sebab, dosa apalagi siksa tidak perlu diperintahkan untuk dihindari dengan

dorongan kebencian. Siapa yang tidak membenci sika ? ia pasti ditinggalkan !

petunjuk ini, sebagaimana petunjuk yang lain, bukanlah berarti bahwa Rasullah

SAW. Pada suatu ketika pernah ”mendekati” berhala-berhala. Riwayat-riwayat

bahkan menunjukkan sebaliknya, jangankan berhala, mengunjungi tempat-tempat

yang tidak wajarpun tidak pernah dilakukannya.

Dengan demikian, apa arti petunjuk tersebut untuk Nabi Muhammad

SAW menyangkut kebijaksanaan yang harus beliau tempuh dalam melaksanakan

dakwahnya ? penggarisan tersebut adalah: ”apa pun yang terjadi dan dengan dalih

apa pun tidak diperkenankan bagimu, Muhammad, untu menerima dan merestui

Page 63: kualifikasi dai FDK.pdf

55

penyembahan berhala. ”prinsip akidah yang tidak dapat di tawar-tawar adalah

keesaan tuhan yang murni serta penyembahan kepadanya semata”. Dosa-dosa

yang lain mungkin masih bisa ditolerir untuk sementara. Hal ini perlu mendapat

penegasan sejak dini, karena perjalanan sejarah dakwah menunjukkan bahwa

kaum musrikin menawarkan kompromi kepada Nabi. Tawaran yang ditolak secara

tegas tersebut merupakan sebab nuzul dari surah Al-Kafirun. Bahkan Al-Qur‟an

telah mengisyaratkan secara dini pula pada wahyu Al-Qalam (QS. 68:9) bahwa

mereka menginginkan supaya kamu bersikap lemah sehingga merekapun bersikap

lemah kepadamu. Tetapi, tentunya berdasarkan petunjuk yang merupakan

penggarisan dalam Al-Muddatsir ini, semua ajaran dan tawaran tersebut ditolak

secara tegas oleh Rasullah SAW.

Di atas telah dikemukan bahwa ayat ini merupakan ayat pertama yang

diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan redaksi larangan dan telah

dikemukakan pula bahwa menungkin ada dosa-dosa yang dapat ditoleransi untuk

sementara. Hal ini secara jelas dapat dibuktikan melalui perintah-perintah dan

larangan Al-Qur‟an.

Detemukan bahwa Al-Qur‟an memang menggunakan metode bertahap

dalam petunjuk petunjuknya yang berkaitan dengan bidang hukum, namun tidak

demikian jika berkenaan masalah akidah dan etika. Dalma bidang hukum,

ditemukan pentahapan, baik petunjuk hukum yang berkenaan dengan kewajiban

maupun larangan. Perintah shalat, misalnya, didahului dengan petunjuk serta

penjelasan tentang kebesaran tuhan, kemudian disusul dengan ayat-ayat yang

menghidupkan ”rasa keagamaan” sehingga mendorong manusia untuk

Page 64: kualifikasi dai FDK.pdf

56

mengadakan hubungan dengannya, baru kemudian disusul dengan perintah shalat

(dua kali sehari) disertai dengan kebolehan bercakap-bercakap sambil

melaksanakan shalat. Kemudian disusl dengan perintah khusyu dan larangan

bercakap dan diakhiri dengan petunjuk untuk melaksanakannya lima kali sehari

semalam.

Hal yang dikemukakan di atas jelas berbeda dengan bidang-bidang

akidah yang tidak menamai istilah pentahapan. Kandungan ayat Al-Muddatsir di

atas merupakan salah satu contoh yang membuktikan hal tersebut dan inilah yang

menjadi pegangan Nabi Muhammad SAW. Serta umatnya kemudian. Tidak ada

kompromi atau pengorbanan dalam bidang akidah.

Penulis cenderung memahaminya dalam arti berhala. Karena kalau kita

menelusuri ayat-ayat yang berbicara tentang ar-rijz dan ar-rijs, maka akan kita

temukan bahwa ayat-ayat tersebut disusun dalam bentuk berita. Tetapi ditemukan

satu ayat yang menggunakan redaksi “mencegah” sekaligus menjelaskan apa yang

dimaksud dengan ar-rijs dan tentunya juga ar-rijz, karena keduanya dinilai dalam

arti yang sama sebagaimana telah dikemukakan di atas. Ayat tersebut adalah

firman-Nya dalam QS. al-hajj [22] : 30 maka hindarilah behala-berhala yang najis.

Kalau demikian, ayat yang berbentuk larangan di atas dan yang menjelaskan arti

kekotoran, yakni berhala-berhala, dapat diangkat untuk menjelaskan arti ar-rijz

pada ayat 5 surat Al-Mudatsir ini yang menggunakan bentuk larangan sehingga

ayat tersebut seharusnya diartikan sebagai petunjuk kepada Rasulullah SAW.

untuk menjauhi berhala-berhala atas dorongan kebencian kepadanya. mengartikan

Page 65: kualifikasi dai FDK.pdf

57

ar-rujz atau ar-rijz, dengan berhala lebih diperkuat lagi setelah menganalisis arti

uhjur, yaitu meninggalkan sesuatu atas dorongan kebencian.

Petunjuk ayat di atas sebagaimana petunjuk yang lalu , bukanlah berarti

bahwa Rasulullah SAW pada suatu ketika pernah “mendekati” berhala-berhala.

Riwayat-riwayat bahkan menunjukkan sbaliknya, jangankan behala, mengunjungi

tempat-tempat yang tidak wajar pun tidak pernah dilakukannya.

(6)

“Dan janganlah memberi (untuk) memperoleh yang lebih banyak”

Ayat di atas merupakan petunjuk keempat dalam rangkaian petunjuk

petunjuk Al-Qur‟an kepada Nabi Muhammad SAW. Demi suksesya tugas-tugas

dakwah. sebagian ulama bependapat bahwa ayat keenam bukan lagi meupakan

suatu kerangkaian dari segi masa turunnya dengan ayat-ayat terdahulu, karena

adanya suatu riwayat yang menyatakan bahwa ayat yang kelima merupakan akhir

ayat dalam rangkaian wahyu ini. lebih jauh mereka berpendapat bahwa ayat

kenam ini turun setelah Rasulullah SAW melaksanakan perintah berdakwah.

penulis tidak cenderung mendukung pendapat tersebut, walaupun harus diakui

kesahihan sanad riwayat yang menegaskan bahwa rangkaian pertama wahyu al-

mudatsir hanya sampai dengan ayat kelima.yang telah diriwayatkan oleh Al-

Bukhari .dengan demikian penulis cenderung menjadikan ayat kenam dan ketujuh

ini merupakan suatu rangkaian dari segi masa turunnya dengan ayat-ayat

sebelumnya.

Page 66: kualifikasi dai FDK.pdf

58

Kata (تمنن) tamnun terambil dari kata manana yang dari segi asal

pengertiannya berarti memutus atau memotong. Sesuatu yang rapuh, tali yang

rapuh dinamai (حبل منين) habl manin karena kerapuhannya menjadikan ia mudah

putus . pemberian yang banyak dinamai (منت) minnah, karena ia mengandung arti

banyak sehingga seakan-akan ia tidak putus-putus. Makanan yang diturunkan

kepada bani Israil dinamai (المّن) al-mann karena ia turun dalam bentuk kepingan

terpotong-potong. sedangkan menyebut-nyebut pemberian dinamai (مّن) mann

karena ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima oleh pemberinya.

Beraneka ragam pendapat ulama tentang maksud ayat di atas. al-

Qurthubi mengemukakan sebelas pendapat, yang setelah diteliti sebagian darinya

dapat dikelompokkan dengan sebagian yang lain, sehingga dapat disimpulkan

bahwa paling tidak ada empat pendapat ulama tafsir tentang ayat keenam ini

yaitu:

1. Jangan merasa lemah (pesimis) untuk memperoleh kebaikan yang banyak.

pendapat ini berdasarkan suatu qiraat (bacaan) yng dinisbahkan oleh sahabat

Nabi, abdullah ibnu mas‟ud, yang membaca ayat di atas dengan

(وال تمنن تستكثز فى الخيز)

Pengertian tersebut dapat dibenarkan oleh penggunaan bahasa, karena

manin yang berarti lemah (مننين) tamnun yang darinya dibentuk kata (تمنن)

walaupun penulis tidak menemukan ayat yang menggunakan kata tersebut

dalam arti lemah. Namun perlu dicatat bahwa kata (فى الخيز) fi al-khair pada

bacaan tersebut bukanlah bagian ayat ini, tetapi dia dinamai mudraj yakni

sisipan dari sahabat mulia itu dalam konteks menjelaskan maksudnya.

2. Jangan memberikan sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan yang lebih

banyak darinya.pendapat ini berdasarkan pengertian kata (مّن) manna yang

Page 67: kualifikasi dai FDK.pdf

59

biasa diterjemahkan dngan meemberi .dalam Al-Qur‟an ditemukaan sekian

ayat yang mengandung arti tersebut seperti, misalnya dalam QS.Shad [38]:39.

3. Janganlah membrikan sesuatu dan menganggaap bahwa apa yang engkau

berikan itu banyak. Maksud dai larangan di atas mengarah kepada pengikisan

sifat kikir dengan menggunakan suatu redaksi yang halus . pemahaman ini

berdasarkan kenyataan bahwa seseorang yang menganggap pemberiannya

merupakan sesuatu yang banyak, pada hakikatnya ingin menguranginya, dan

hal tersebut menunjukan bahwa ia memiliki sifat kikir. Pendapat ketiga ini

sama dari segi pengertian kata tamnun dengan pendapat pertama, namun

pengertian yang dikemukakan disini berbeda dngan pengertian pertama akibat

perbedaan pendapat tentang arti huruf (ص) sin pada kata (تثتكثز) tastaksir.

pendapa pertama mengartikannya dengan menganggap.

4. Jangan menganggap usahamu (berdakwah) sebagai anugrah kepada manusia,

tetapi berupa ganjaran dari Allah. Konsekuensi dari larangan ini adalah

bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dibenarkan menuntut upah dari usaha-

usaha beliau dalam berdakwah.

Konsekuensi dari larangan ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak

dibenarkan menuntut upah dari usaha-usaha beliau dalam berdakwah kalau

kita kembali kepada Al-Qur‟an, maka hanya sekali kita menembukan kata

tammun (تمنن) yakni pada ayat enam tersebut di atas, tetapi bila kita

menelusuri semua kata yang berakar pada kata manana (منن) yang darinya

kata tanmmun juga terambil, maka ditemukan keseluruhannya berjumlah 27

kali, dengan pengertian yang berbeda-beda, yakni:

Page 68: kualifikasi dai FDK.pdf

60

1. Anugerah atau pemberian, seperti dalam Surah Al-Imran ayat 164:

Artinya: “Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang

yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang

Rasul dari golongan mereka sendiri.”

2. Putus, seperti dalam Surah Fushshilat ayat 8:

Artinya: “bagi mereka ganjaran yang tiada putus-putusnya"

3. Menggap pemberian sebagai anugerah sehingga menyebut-nyebutnya,

seperti dalam Surah Al_Imran ayat 164 di atas.

4. Sejenis makanan manis seperti madu (yang diturunkan Allah SWT kepada

Bani Israil) yang disampaikan oleh Al-Qur‟an dalam Surah Al-Baqarah

ayat 57.

Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu manna dan salwa.”

Kata manana (َمَنَن) dari segi asal pengertiannya adalah “memutus” atau

“memotong” sesuatu yang rapuh, misalnya tali yang rapuh, dinamai Nabi mani

(َحْبٌل َمِنْيٌن ), sebab karena rapunya ia mudah putus. Pemberian yang banyak

(anugerah) dinamai minnah (ِمَنت), karena ia mengandung arti “banyak” sehingga

seakan-akan ia tidak putus-putus makanan yang diturunkan kepada Bani Israil

dinamai Al-Mann (َمٌن) karena ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima

oleh pemberinya.

Berdasarkan arti di atas, yang kesemuanya ditemukan dalam Al-Qur‟an,

kemudian kita membandingkannya dengan keempat pendapat tentang arti ayat

keenam ini, maka terlihat bahwa arti “lemah” yang menjadi dasr pengertian

Page 69: kualifikasi dai FDK.pdf

61

pendapat pertama tidak digunakan oleh Al-Qur‟an, walaupun dikenal oleh bahasa

Arab. Atas dasar ini, kita tidak cenderung menyetujui pendapat pertama tersebut.

Pendapat kedua, yakni: “jangan memberikan sesuatu dengan tujuan

mendapatkan yang lebih banyak darinya,” menurut hemat penulis, walaupun dari

segi ide larangan tersebut benar secara etis, namun keberatan untuk menerimanya

muncul dan tidak ditemukan pada ayat tersebut. Indikator untuk adanya sisipan

dalam arti bahwa kata-kata “dengan tujuan” yang disisipkan oleh penganut-

penganut tersebut.

Walaupun penyisipan kata dalam suatu redaksi dibenarkan dari segi tata

bahasa, namun mayoritas Ulama Tafsir tidak melakukannya kecuali bila sisipan

tersebut memang dibutukan dmei ksempurnaan makna suatu redaksi. Dalam ayat

yang ditafsirkan ini, agaknya sisipan tersebut tidak dibutuhkan, karena kita masih

daapt memahaminya secara baik dan sempurna tanpa memberikan sisipan.

Adapun pendapat ketiga, ia tidak didukung oleh konteks pembicaraan

ayat yang merupakan bimbingan bagi Nabi Muhammad SAW. Dalam

menghadapi umat.

Penulis cenderung memilih pendapat keempat, yakni bahwa ayat ini

meletakkan beban tanggung jawab di atas pundak Nabi guna menyampaikan

dakwahnya tanpa pamrih atau tidak menuntut suatu imbalan duniawi. Hal ini

sejalan dengan perintah tuhan kepada beliau untuk selalu menegaskan:

Katakanlah: "Aku tidak meminta atas hal ini (dakwah) sedikit imbalan

pun.” (QS. Al-Furqon: 57)

Page 70: kualifikasi dai FDK.pdf

62

Berdakwah bukan untuk memperoleh imbalan duniawi, apaun bentuknya

imblaan tersebtu. Karena itu, pernyataan yang senada dengan pernyataan tersebut

ditemukan tidak kurang dari 12 kali dalam Al-Qur‟an dan yang diucapkan oleh

berbagai Nabi dan Rasul, seperti Nabi Nuh dalam Surah yunus ayat 72, Nabi

Shalih dalam Surah Hud ayat 51, Nabi Hud, Nabi Luth, dan Nabi Syu‟aib masing-

masing dalam surah Asy-Syu‟ara 127, 164 dan 186.

Telah menjadi kodrat Nabi atau dengan kata lain “hukum

kemasyarakatan” bahwa setiap Nabi (serta pewaris-pewaris mereka) yang

bermaksud merombak keyakinan masyarakatnya yang telah mapan, serta

membawa paham-paham pembaharuan, selalu mendapat tantangan (baca QS.

25:31). Dan sering kali tantangan tersebut datang bersamaan dengan tuduhan-

tuduhan menyangkut i‟tikad baik mereka dengan menyatakan bahwa mereka

memiliki tujuan-tujuan duniawi, ambisi pribadi tersebut. Tentunya tuduhan-

tuduhan tersebut harus dibuktikan kekeliruannya dan salah satu caranya adalah

penegasan serta pembuktian bahwa sedikit imbalan duniawipun tidak mereka

harapkan dalam penyampaian dakwah tersebut.

Disini kita melihat ciri khas dari semua dakwah keagamaan ia bersumber

dari “langit” sehingga para penyampaiannya harus mampu melepaskan kaitan

antara dakwahnya dan tujuan-tujuan pribadinya yang bersumber dari “bumi”

(keduniaan). Agama harus dibebaskan dari hal tersebut, karena bila tidak

terbebaskan ajarannya akan menyimpang dari ciri khas isinya, bahkan ia pun akan

dianut bila ada yang menganutnya untuk tujuan-tujuan keduniaan. Dan apabila

yang demikian itu terjadi, terbukalah pintu selebar-lebarnya untuk mecemoohkan

Page 71: kualifikasi dai FDK.pdf

63

dan megabaikan ajarannya. Ajakan keagamaan harus dibebaskan dari kepentingan

duniawi pengajakannya, karena kalau tidak demikian, ia akan diputar balikan atau

dalam istilah Al-Qur‟an, ia akan “ditakwilkan” (QS. 3:71) demi kepentingan

pribadi guna mencipatkan kesempatan berkuasa, mempertahankan kedudukan,

memperoleh popularitas dan atau menimbun materi.

Inilah agaknya yang merupakan sebagian alasan mengapa sejak dini,

yakni bersamaan dengan saat diperintahkan untuk meyampaikan dakwah, Allah

SWT telah menekankan kepada manusia yang di tugaskan itu bahwa: “janganlah

menganggap demikian, karena anggapan ini mengantar kepada perasaan adanya

“jasa” kepada mereka yang kemudian melahirkan usaha untuk menuntut imbalan

duniawi dari mereka. Bila petunjuk ini dilaksanakan, mereka pasti akan percaya

sehingga akan semakin banyak orang yang mengikutimu.”

Sebelum beralih kepada ayat ke tujuh yang merupakan petunjuk ke lima

dalam rangkaian wahyu ini, kita perlu menggaris bawahi satu masalah yang

berkaitan erat dengan kehidupan para da‟i dewasa ini. Pada hakikatnya. Menerima

sesuatu yang berbentuk materi atau duniawi, baik oleh para Nabi maupun para

penerus-penerus mereka, tidaklah terlarang menurut ayat ini, bahkan tidak pula

menurut keseluruhan ajaran agama.

Nabi Muhammad SAW sendiri sering kali menerima pemberian-

pemberian atau hadiah-hadiah dari berbagai pihak, baik sahabatnya maupun

penguasa-penguasa pada masanya. Dari Alexandria di Mesir, penguasa Mesir

ketika itu mengirimkan kepada beliau pakaian-pakaian, seekor binatang kendaraan

“Baghal” (hasil perkawinan kuda dan keledai) serta dua orang gadis yang

Page 72: kualifikasi dai FDK.pdf

64

kemudian salah satunya di nikahi oleh Nabi dan yang darinya lahir putera beliau

yang diberi nama Ibrahim. Tetapi pemberian tersebut bukan sebagai imbalan

dakwanya, atau diperolehnya melalui permintaan halus atau tegas.

Adalah sangat keliru anggapan sementara orang yang meminta

keikhlasan melalui penerimaan materi, karena daapt saja seseorang melakukan

satu pekerjaan dengan penuh keikhlasan dan pada saat yang sama ia menerima

materi. Demikian pula sebaliknya dapat saja seseorang menolak penerimaan

materi tetapi justru penolakannya mengandung unsur pamrih (riya).

Ayat di atas melarang mengaitkan dakwah dengan tujuan memperoleh

imbalan duniawi yang salah satu contoh perwujudannya adalah memilih atau

memilah objek dakwah atas dasar “basah dan keringnya” objek tersebut. Apabila

hal ini terjadi, maka kepercayaan terhadap para pengajar akan sirna dan pada saat

itu dakwah yang disampaikan tidak berbekas lagi. Harus diakui bahwa larangan

memperoleh imbalan tersebut akan mengakibatkan kesulitan bagi penganjur-

penganjur ajaran agama dan karenannya, petunjuk selanjutnya masih sangat

dibutuhkan. Petunjuk yang dimaksud adalah ayat ketujuh dan terakhir dalam

rangkaian wahyu pertama Al-Muddatsir ini.

(7)

“Dan hanya kepada Tuhanmu saja maka bersabarlah“

Sebagaimana ditegaskan oleh ayat-ayat yang lalu, harus diakui bahwa

larangan memperoleh imbalan tentu dapat mengakibatkan kesulitan bagi

penganjur-penganjur ajaran agama, dan karenanya ayat di atas memberi

Page 73: kualifikasi dai FDK.pdf

65

petunjuk terakhir dalam konteks surat Al-Mudatsir ini yaitu Dan hanya

kepada Tuhanmu saja apapun yang kau hadapi maka bersabarlah.

Dalam kamus bahasa-bahasa kata (صبز) shabr (sabar) diartikan sebagai

menahan, baik secara fisik material, seperti menahan diri atau jiwa dalam

menghadapi sesuatu yang diinginkannya .dari akar kata shabr diperoleh

sekian bentuk kata dengan arti yang beraneka ragam.

Sabar bukanlah kelemahan atau menerima apa adanya tetapi ia adalah

perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu

mengalahkan keinginan nafsunya.Di dalam Al-Qur‟an, ditemukan perintah

bersabar berkaitan dengan sekian banyak konteks, antara lain:

1. Menanti ketetapan Allah, seperti dalam QS.Yunus [10]:109.

2. Menanti datangnya janji Allah atau hari kemenangan, seperti dalam QS.

Ar-rum [30]:60.

3. Menghadapi ejekan dan gangguan orang-orang yang tidak percaya, seperti

dalam Qs. Thaha [20]:130.

4. Menghadapi dorongan nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak

setimpal, seperti QS. An-Nahl [16]:127.

5. Melaksanakan ibadah, seperti dalam QS. Maryam [19]:65.

6. Menghadapi malapetaka, seperti dalam QS. Luqman [31]:17.

7. Memperoleh apa-apa yang diinginkan, seperti dalam QS. Al-Baqarah

[2]:53.

Ar-Raghib Al-Asfahany, seorang ahli dalam bidang tafsir dan bahasa

Al-Qur‟an, menjadikan ayat 177 surah Al-Baqarah sebagai kesimpulan dari

segala macam bentuk kesabaran atau ketabahan yang dituntut Al-Qur‟an.

Ayat tersebut berbicara tentang al-birr (kebaikan) dan orang-orang yang

Page 74: kualifikasi dai FDK.pdf

66

melakukannyan adalah mereka yan gdigambarkan sebagai “Orang-orang yang

bersabar dalam al-ba‟sa‟, adh-dharra, dan hina al-ba‟s.

Menurut Ar-Raghib, Sabar (tabah) dalam menghadapi kebutuhan yang

mengakibatkan kesulitan tergambar dlam kata al-ba‟sa, sabar dalam

menghadapi kesulitan (malapetaka) yang telah menimpa, dicakup oleh kata

adh-dharra, sedangkan sabar dalam peperangan atau menghadapi musuh

tergambar dalam hina al-ba‟s. Dengan demikian, kesabaran yang dituntut Al-

Qur‟an adalah pertama, dalam usaha mencapai apa yang dibutuhkan

kesabaran ini menuntut usaha yang tidak mengenal lelah, serta tidak

memperdulikan rintangan apapun, sampai tercapainya apa yang dibutuhkan

itu. Kedua, sabar dalam menghadapi malapetaka sehingga menerimanya

dengan jiwa yang besar dan lapang dada guna memperoleh imbalan dan

hikmahnya dan yang terakhir yang secara khusus digaris bawahi adalah

dalam peperangan dan perjuangan. Walaupun hal yang terahir sudah dapat

tercakup oleh kedua hal sebelumnya.

Penulis cenderung memahami perintah bersabar disini dalam

pengertiannya yang luas mencangkup semua yang diuaikan di ataswalaupun

kita dapat berkata bahwa ayat ini menekankan kesabaran secara khusus, yakni

dalam menghadapi gangguan-gangguan mereka yang tidak mempercayai

ajaran agama yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Penekanan khusus ini

dipahami dari lanjutan ayat tersebut yang menggunakan kata penghubung

fa yang diartikan oleh karena atau disebabkan, dan dengan demikian ayat (ف)

ini telah memberikan isyarat yang cukup jelas kepada Nabi SAW.bahwa

Page 75: kualifikasi dai FDK.pdf

67

dalam melaksanakan tugas Dakwah, beliau pasti akan menghadapi tantangan,

rintangan serta gangguan-gangguan dari berbagai pihak.

Kini setelah pengertian dan kandungan yang dicangkup oleh perintah

bersabar (fashbir), maka kita kembali mempertanyakan apa yang dimaksud

dengan kalimat (ولزّبك) wa li rabbika yang diterjemahkan dengan karena

Tuhanmu saja. Kalimat ini menuntun agar kesabaran dilaksanakan oleh Nabi

semata-mata karena Allah SWT. Bukan karena sesuatu yang lain. Misalnya,

karena diiming-imingi oleh pencapain target, dalam hal ini target keislaman

umat manusia. Ayat ini melalui kalimat wa li rabbika ingin menegaskan

bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan perintah Allah SWT dengan penuh

ketabahan da kesabaran, apapun hasil yang dapat dicapai akibat ketabahan

dan kesabaran tersebut.

Menurut Quraish Shihab dalam bukunya ”Membumikan Al-Qur‟an:

fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat” bahwasanya ada

empat tugas yang harus dijalankan oleh da‟i sesuai dengan tugas keNabian

dalam mengembangkan kitab suci:

1. Menyampaikan (tabligh) ajaran-ajarannya, sesuai dengan perintah, wahai

rasul sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu (QS.

5:67).

2. Menjelaskan ajaran-ajaranya berdasarkan ayat, dan kami turunkan al-

Kitab kepadamu untukkamu jelaskan kepada manusia (QS. 16:44)

3. Memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat berdasarkan

ayat, dan Allah turunkan bersama mereka Al-Kitab dengan benar, agar

dapat memutukan perkara (QS. 2:213)

4. Memberikan contoh pngalaman, sesuai dengan hadits Aisyah yang

diriwayatkan oleh bukhari, yang menyatakan bahwa prilaku Nabi adalah

praktek dari Al-Qur‟an.

Sungguh tidak ringan tugas yang dipikul oleh seorang da‟i, ia harus

selalu menyampaikan segala yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur‟an

sebagai suatu kewajiban. Disamping harus dapat memberikan penjelasan dan

Page 76: kualifikasi dai FDK.pdf

68

pemecahan mengenai problem yang dihadapi masyarakat, berdasarkan Al-

Qur‟an meskipun al-Qir‟an tidak memberikan konsep prinsip-prinsip dasar

dan nilai-nilai yang digariskannya. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial

maupun budaya.

Dalam hal ini, seorang da‟i tidak dapat berpegang hanya pada satu

penafsiran ayat Al-Qur‟an saja. Tetapi ia harus dapat mengembangkan

prinsip-prinsip yang ada dalam menjawab tantangan yang selalu berubah. Hal

ini bukan berarti bahwa Al-Quran mengakui begitu saja dengan perkembangan

masyarakat. Da‟i harus dapat memberikan petunjuk dan bimbingan yang

mengarahkan perkembangan budaya modern atau tekhnologi yang canggih

sekalipun4

Adapun bekal yang harus dimiliki oleh da‟i yang tertulis dalam surah

al-Muddaatsir ayat 1-7 menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbahnya

mencangkup empat hal sebagai berikut:

1. Ibadah kepada Allah SWT.

Perintah pertama yang harus dimiliki oleh da‟i adalah mengagungkan

Allah SWT, dalam artian beribadah kepada Allah SWT. Ibadah itu beraneka

ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu ragamnya yang paling jelas, adalah

amalan tertentu yang ditetapkan cara atau kadarnya langsung dari Allah SWT

maupun Rasulnya. Dan yang secara populer dikenal dengan istilah ibadah

madhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum, mencangkup

segala macam aktivitasyang dilakukan demi karena Allah SWT.

4 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, (PT Mizan Pustaka, 2007)

Page 77: kualifikasi dai FDK.pdf

69

Sebagaimana telah dikemukakan, untuk dapat melaksanakan amanat

dan kewajiban berdakwah, para da‟i membutuhkan persiapan-persiapan dan

bekal perjalanan yang cukup, terutama persiapan dan bekal spritual (rohani)

yang mantap. Untuk itu, sebelum melaksanakan tugas yang berat itu, para

da‟i mempersiapkan diri, memperkuat jiwa dan mental mereka dengan Iman

dan takwa kepada Allah SWT. iman, tak pelak lagi, merupakan bekal utama

bagi para da‟i.

sumber kekuatan da‟i berasal dari Allah SWT. ia tidak mungkin

mengembangkan kekuatannya, kecuali dari kekuatan Allah. Penguasa atau

orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi tidak mungkin membantu

perjuangan da‟i tanpa dukungan dan pertolongan Allah SWT.

Bekal da‟i ini dapat diupayakan melalui pemberdayaan ibadah.

Keharusaan tentang pemberdayaan ibadah ini dengan jelas dapat dibaca

dalam ayat-ayat pertama surah al-Muzammil. memperlihatkan lembaran

sejarah dakwah Nabi, dimulai dengan seruan agung untuk melaksanakan

tugas dakwah dan memberi gambaran tentang persiapan-persiapan rohani

yang harus dilakukan oleh Nabi. Persiapan-persiapan itu antara lain, berupa

keharusan bagi Nabi agar melakukan shalat malam (qiyam al-lail), membaca

Al-Qur‟an, dzikir dan berserah diri kepada Allah SWT.

Dalam surah al-Isra ayat 79, terdapat pula perintah agar Nabi

melaksanakan shlat tahajud. Shalat tahajud adalah shalat malam yang

dilakukan setelah bangun tidur. Shalat ini merupakan jalan yang mengantar

Nabi menggapai “kedudukan yang terpuji” (maqamam mahmuda). Apabila

Page 78: kualifikasi dai FDK.pdf

70

untuk menggapai “kedudukan terpuji itu Nabi SAW diperintahkan agar

melakukan shalat tahajud. perintah itu tentu lebih penting lagi bagi yang lain

untuk memperoleh kedudukan yang terhormat yang diijinkan dan disediakan

Tuhan untuk mereka. Inilah jalan Tuhan dan bekal perjalanan menuju Tuhan.

Ibadah malam hari seperti telah dikemukakan di atas tampak begitu

penting. hal ini, karena ibadah malam hari dinilai amat kondusif bagi

pembinaan rohani manusia. Malam hari yang hening dan sunyi, terbebas dari

hiruk pikuk kehidupan dunia, merupakan waktu yang tepat untuk ibadah dan

munajah kepada tuhan. Pada malam yang sepi dimana manusia kebanyakan

sedang tertidur pulas, seorang muslim, terutama para da‟i dapat dengan

leluasa berdialog dan bermunajah secara langsung dengan Allah SWT, baik

melalui shalat maupun membaca Al-Qur,an. Dengan cara ini, mereka

diharapkan dapat menagkap pancaran cahaya dan sinar petunjuk-Nya

sehingga mereka memperoleh kekuatan dan bekal baru yang diperlukan

dalam melaksanakan amanat dan perjuangan dakwah.

Ibadah lain yang perlu dilakukan sebagai bekal bagi da‟i ialah dzikir

dan do‟a. Termasuk dalam pengertian dzikir dan do‟a ialah tasbih, tahmid dan

takbir. memahami dzikir dan tasbih sebagai usaha manusia untuk

menghubungkan diri dengan Allah SWT. Usaha ini, dapat membuahkan

ketenangan jiwa dan kepuasan rohani. Dengan kepuasan ini seorang tidak

akan merasa lelah dan kepayahan meskipun tugas dan perjuangan begitu

berat. Oleh karena itu, bekal ini juga penting bagi para da‟i dan para aktifis

pergerakan Islam.

Page 79: kualifikasi dai FDK.pdf

71

Keterangan mengenai dzikir dan tasbih sebagai bekal da‟i dapat

dibaca, antara lain, dalam surah al-Insan: 23-26, ayat tersebut memuat empat

pokok kebenaran yang merupakan tuntutan Tuhan kepada Nabi Muhammad

SAW dan para da‟i sesudahnya. Empat hal tersebut pada dasarnya adalah

bekal energi yang diperlukan oleh Nabi SAW dan para da‟i sepanjang waktu.

Keempat pokok kebenaran tersebut dijelaskan sebagi berikut:

Pertama, bahwa Nabi Muhammad SAW perlu menyadari bahwa Allah

SWT yang kepadanya menurunkan Al-Qur‟an dan memberikan tugas dan

kewajiban berdakwah, tidak akan membiarkan dirinya tanpa dukungan dan

pertolongan. Untuk itu, beliau harus optimis dan tidak boleh sedikitpun ragu

dan putus asa dalam soal ini.

Kedua, bahwa dalam melaksanakan tugas, Nabi menghadapi

tantangan yang sungguh amat berat baik berupa ejekan, hujatan, maupun

fitnah. Untuk semua itu, Nabi diminta sabar dan menahan diri dengan tetap

memegang teguh kebenaran Al-Qur‟an yang diwahyukan kepadanya.

Ketiga, bahwa Nabi sama sekali tidak dibenarkan tunduk dan patuh

kepada kemauan orang-orang kafir dan orang-orang yang banyak berbuat

dosa. Mereka selalu berusaha membujuk hati Nabi agar bersedia berdamai

dengan mereka. Misalnya, mereka menawarkan kompromi dengan meminta

agar Nabi tidak menyerang kepercayaan-kepercayaan mereka dan kalau perlu

harus mengakui kebenaran agama mereka. Mereka pun akan mengakui

kebenaran ajaran Nabi.

Page 80: kualifikasi dai FDK.pdf

72

Keempat, bahwa Nabi harus memperbanyak ibadah dan mendekatkan

diri kepada Allah SWT, dengan banyak melakukan dzikir, tasbih dan sujud

kepada Allah SWT. Ini adalah bekal, dan merupakan suatu proses untuk

memperbanyak bekal itu sendiri. Semua ibadah ini, dzikir, tasbih dan do‟a

harus dilakukan dalam waktu lama, terutama di malam hari. Hal ini

disebabkan karena perjalanan dakwah adalah perjalanan yang panjang dan

tugas dakwah tugas yang amat berat. Perjalanan dan tugas demikian, tentu

memerlukan bekal yang banyak dan energi yang besar pula.

2. Menjaga penampilan dan kebersihan

Al-Qur‟an paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu

libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas diremukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab

ditemukannya sebanyak delapan kali dan sarabil ditemukannya sebanyak tiga

kali dalam dua ayat.

Libas pada mulanya berarti penutup apapun yang ditutup, fungsi

pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi perlu dicatat bahwa ini tidak harus

menutup aurat, karena cincin yang menutupi sebagian jari juga disebut libas.

Kata libas digunakan oleh Al-Qur‟an untuk menunjukkan pakaian lahir

maupun batin.

Sedangkan tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir, kata

ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu

pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide

pertamanya.

Page 81: kualifikasi dai FDK.pdf

73

Sarabil, kamus-kamus bahasa mengartikan kata ini sebagai pakaian.

Apapun jenis bahannya hanya dua ayat yang menggunakan kata tersebut. Satu

diantaranya diartikan sebagai pakaian yang berfungsi menankal sengatan

panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan. (QS. An-Nahl:16:81) satu lagi

dalam surah (QS.Ibrahim:14:50) tentang siksa yang dialami oleh oang yang

berdosa kelak dihari kemudian dalam artian tidak menutup auratnya.

Bahwasanya sama-sama kita ketahui bahwa kebersihan itu sebagian

dari pada iman, 0leh karena itu kita dianjurkan untuk selalu menjaga

kebersihan baik lahiriah dari segi cara berpakaian, karna pada dasarnya Islam

tidak menganjurkan berpakaian mahal ataupun bermerek. Akan tetapi

pakaian yang bersih dan menutup auratnya. Adapun dari segi bathiniah yaitu

menyucikan hati, jiwa, dan budi pekerti.

Bagi seorang pemimpin sangat dianjurkan untuk menjaga

penampilannya, karena ini juga merupakan suatu cara untuk memberikan

contoh yang patut diteladani karena ini merupakan penilaian dari segi

penampilan seorang da‟i. di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis

bagi pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian

meliternya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan Kemal Ataturk di

turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis tutup kepala bagi pria), dan

memerintahkan untuk menggntinya dengan topi ala barat, karena tabusy

dianggapnya mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan lambang

keterbelakangan.

Page 82: kualifikasi dai FDK.pdf

74

3. Akhlak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai

budi pekerti atau kelakuan. kata akhlak walaupun teambil dari kata bahasa

Arab (yang biasa diartikan tabiat, perangai kebiasaan bahkan agama), namun

kata seperti itu tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur‟an. Yang ditemukan

hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam

surah al-Qalam ayat 4.

Bertitik tolak dari pengetian bahasa di atas, yakni akhlak sebagai

kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak adalah kelakuan

manusia sangat beragam, keragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai

sudut, antara lain kelakuan yaang berkaitan dengan baik dan buruk, serta

objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditunjukkan.

Adapun yang tertulis dalam surah al-Muddatsir ayat keenam ini Nabi

Muhammad dinjurkan untuk selalu rendah hati, tidak sombong dalam

menjalankan dakwahnya, tidak mengharap imbalan dalam berbuat kebaikan

dan jangan menganggap usahamu (dakwah) sebagai suatu anugrah yang

dimiliki oleh manusia melainkan berupa gaanjaran dari Allah SWT untuk

dipertanggung jawabkan dalam menjalankan dakwahnya. Akhlak dalam ajaran

agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi oleh sopan-

santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku

lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya, misalnya yang berkaitan dengan sikap

bathin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencangkup berbagai aspek,

dimulai dari akhlak terhadap Allah SWT, hingga kepada sesama makhluk

Page 83: kualifikasi dai FDK.pdf

75

(manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda yang tak bernyawa

sekalipun). Berikut pemaparan sekilas beberapa akhlak islamiyah:

a. Akhlak terhadap Allah SWT.

Titik tolak akhlak tehadap Allah SWT adalah pengakuan dan kesadaran

bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT, Dia memiliki sifat-sifat terpuji

demikian agung sifat itu jangankan manusia malaikat pun tidak bisa

menjangkau hakikat-Nya.

b. Akhlak terhadap sesama manusia.

Banyaak sekali rincian yang di kemukakan Al-Qur‟an bekaitan denan

perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk dalam hal ini bukan hanya

dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh,

menyakiti badan atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan

juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib

seseorang dibelakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun

sambil memberi materi kepada yang disakitinya itu.

c. Akhlak terhadap lingkungan

Yang dimaksud lingkunan disini adalah segala sesuatu yang berada

disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda yang

tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Qur‟an terhadap

lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan

menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia

terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan,

serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Page 84: kualifikasi dai FDK.pdf

76

Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan

mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar,

karena hal ini bearti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk

mencaapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk

mampuh menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap

semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia

bertagung jawab, sehinga ia tidak melakukan pengrusakan, bahkan dengan

kata lain,” setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai

perusakan pada diri manusia sendiri”

Membentuk bekal spritualnya dalam artian keimanannya, karena

kuat atau lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari prilaku

akhlaknya. Dengan iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan

mulia, sedang iman yang lemah mewujudkan akhlak yang jahat dan buruk,

mudah terkilir pada perbuatan keji yang merugikan dirinya sendiri dan

orang lain.

4. Sabar

Adapun bekal yang terakhir yang harus dimiliki oleh da‟i yaitu sabar

dalam menjalankan syi‟ar agama Islam. Sudah pasti kesabaran ini harus

dimiliki oleh da‟i karena mengemban tugas menjadi da‟i bukanlah tugas

yang ringan melainkan amanah yang harus dapat dipertanggung jawabkan

baik untuk dirinya sendiri dan pertanggung jawaban kepada Allah SWT.

Pengertian sabar disini bukanlah arti dari segi kelemahan atau

menerima apa adanya, akan tetapi adalah perjuangan yang menggambarkan

Page 85: kualifikasi dai FDK.pdf

77

kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan keinginan

nafsunya. Kesabaran disini harus disertai niat karena Allah SWT, karena

Nabi pun menjalankan kesabaran ini benar-benar semata-mata karena Allah

bukan karena diiming-imingi oleh pencapaian target.

Dengan demikian jika hati sudah mantap dengan langkah yang

diambil untuk menjalankan syi‟ar agama Islam sudah barang tentu ujian dan

coba‟an akan datang silih berganti akan tetapi mereka- mereka ini akn

memperoleh kemenangan apabila disertai dengan sabar, karena

sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.5

Kelima bekal ini hanyalah sebagian kecil yang terulis dalam surah al-

Muddatsir 1-7, masih banyak lagi ayat- ayat yang menerangkan tentang da‟i

dalam menjalankan dakwahnya.

Seiring berjalannya waktu perubahan sosial budaya dalam masyarakat

kita kian terasa, semakin nyata pula gejala yang menuntut agar peran agama

lebih ditingkatkan dan menuntut kehadiran da‟i yang dapat diandalkan. Ini

terjadi bukan saja karena kepergian satu persatu da‟i besar sementara

penggantinya belum muncul. Tetapi juga dari kualifikasi da‟i yang

diperlukan tidak sederhana yang sudah dihasilkan. Inilah agaknya yang

memperhatikan banyak orang, dengan timbulnya apa yang di sebut dengan ”

krisis ulama atau da‟i”. Hemat saya, persoalannya lebih banyak menyangkut

kualitas, intensitas dan efektivitas lembaga-lembaga pendidikan yang kita

miliki.

5 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran:Tafsir Maudu‟I atas berbagai persolan umat

,(Penerbit Mizan, 1996)

Page 86: kualifikasi dai FDK.pdf

78

Da‟i yang diperlukan pada masa kini dan masa yang akan datang tentu

tidak sama dengan da‟i yang sudah dilahirkan pada masa lalu, baik

kualifikasi maupun kapabilitasnya. Karena itu, dengan tidak bermaksud

mengingkari prestasi pesantren yang telah berhasil mencetak kiayi dan da‟i

pada masa lalu, tentu saja untuk saat ini tidak dapat bertahan terus dengan

sistem pendidikan dan pengajarannyaseperti puluhan tahun yang lalu. Ini

dimaksudkan jika pesantren tersebut tidak bermaksud mencetak kiayi atau

da‟i yang terlambat lahir atau dengan kata lain, jika pesantren tetap ingin

mempertahankan dedikasi kiayi dan pengaruhnya yang mengakar.

Seorang da‟i dituntut untuk dapat memahami perkembangan

masyarakatnya. Dalam dunia modern sekarang ini, seorang da‟i tidak dapat

hanya sekedar mendalami ilmu-ilmu fiqih, tafsir, atau hadits saja. Apalagi

jika pengetahuannya itu hanya bersifat hafalan yang statis. Untuk menjawab

tantangan dan problem masa kini dan masa yang akan datang, diperlukan

penguasaan ilmu-ilmu tentang Islam yang lengkap dan dinamis. Di samping

perangkat ilmu dan wawasan yang dapat dipakai untuk memahami

perkembangan masyarakat. Dengan demikian da‟i selalu dapat memberikan

bimbingan dan pengarahan yang apat diterima, tidak tertimggal atau terjerat

karena pemahaman agama yang statis dan wawasan yang sempit.

Bahan-bahan literatur lama berupa kitab-kitab karya para ulama

terdahulu tetap mempunyai karya ilmiah yang tinggi. Sebagai calon da‟i

yang bersangkutan harus mempelajarinya dengan sikap kritis agar dapat

mengetahui bagaimana dan mengapa pengarang tersebut berpendapat

Page 87: kualifikasi dai FDK.pdf

79

demikian. Sebagai calon da‟i tidak wajar jika terpaku pada satu Imam atau

madzhab saja. Ia harus mempunyai wawasan yang menyelami khazanah

intelektual yang diwarisi oleh para da‟i terdahuluditambah dengan

pemikiran dan pengetahuan yang tidak kalah penting.

Akhirnya untuk tidak melambung dalam utopia, perlu disadari bahwa

bagaimanapun profil da‟i yang kita idealakan ia tetap manusia biasa dan

tidak mungkin dapat sempurna, ulama hanya pewaris Nabi yang tidak dapat

memerankan kenabian dalam seluruh aspek yang ditemukan di atas secara

sempurna.

Page 88: kualifikasi dai FDK.pdf

80

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Da’i

Menurut pandangan Muhammad Qurish Shihab, bahwasanya sebagai

da’i dalam mensyairkan ajaran agama islam haruslah dibentengi dengan

kepribadian da’i itu sendiri, dengan demikian sebagai seorang pemimpin

harus mencontoh para nabi-nabi terdahulu dalam menjalankan dakwahnya.

Karena sesungguhnya dalam menjalankan dakwah bukanlah hal yang

mudah, akan tetapi banyak rintangan dan halangan yang datang silih

berganti, ini semua semata-mata untuk menegakkan ajaran agama islam.

Sebagai da’i yang dianggap sebagai panutan umatnya, haruslah dapat

menjaga tingkah laku, ucapan, serta perbuatan karena ini semua akan

menjadi sorotan umatnya, walau dari juga manusia biasa yang dapat

melakukan kesalahan akan tetapi ini semua dapat diatasi bila da’i tersebut

selalu menjaga pola kehidupannya baik pribadinya maupun dalam

masyarakat.

2. Bekal Da’i

Sebagai pewaris nabi dalam menjalankan dakwah dan mensyiarkan

ajaran agama islam, haruslah mempunyai bekal yang harus dimiliki agar

da’i tersebut dapat menjalankan dakwahnya. Dengan berbagai bekal yang

dimilikinya baik dalam segi spiritual, moral dan intelektual.

Page 89: kualifikasi dai FDK.pdf

81

Dari segi spiritual inilah tujuannya hablumminallah dimana

terjadinya suatu hubungan yang erat antara keduanya dalam artian

beribadah kepada Allah, ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat,

karena pada dasarnya sumber kekuatan da’i adalah berasal dari Allah

SWT, sehingga sebagai da’i hendaknya mempersiapkan jiwa dan mental

mereka dengan iman dan takwa kepada Allah SWT karena ini merupakan

bekal utama bagi para da’i.

Dari segi moral, seseorang da’i dituntut untuk menerapkan akhlak

yang baik, baik dari segi perkataan, perbuatan maupun tingkah lakunya

sehingga dengan demikian dapat menjalankan visi misi Rasulullah SAW

untuk menyempurnakan Akhlakul Karimah dan ini semua berkaitan karena

kuat lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari perilaku

akhlaknya. Akhlak islamiyah dapat terbagi menjadi 3 yaitu akhlak

terhadap Allah SWT, Akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak

terhadap lingkungan.

Dan yang terakhir dari segi intelektual, sebagai da’i haruslah

membekali dirinya baik dari ilmu pengetahuan agama maupun ilmu

pengetahuan umum, karena dengan membekali dirinya dengan ilmu yang

dimilikinya maka hidup ini akan semakin terarah. Kehidupan dari zaman

ke zaman mengalami perubahan dari segi ilmu pengetahuan, oleh karena

itu hendaknya sebagai da’i dapat mengikuti perkembangan yang terjadi

khususnya dalam ilmu pengetahun.

Page 90: kualifikasi dai FDK.pdf

82

B. SARAN-SARAN.

Dengan berakhirnya penulisan skripsi ini, maka penulis menyarankan kepada:

1. Lembaga-lembaga dakwah maupun penerbit-penerbit Islam untuk

memberikan perhatian yang lebih, agar buku-buku yang disajikanadalah

buku-buku yang sangat bermanfa’at dan diperlikan oleh pembacadalam

mensyi’arkan ajaran Islam.

2. Para praktisi khususnya da’i, hendaknya pandai memilih topik sesuai yang

dibutuhkan para mad’u (pembaca).

3. Masyarakat dan pembaca buku Islami, khususnya para intelektual mudah-

mudahan tidak hanya membaca tapi mengamalkan apa yang telah dibaca.

Page 91: kualifikasi dai FDK.pdf

83

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Moh. Ali. Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2004.

Anshari, Hafi. M. Pengawasan dan pengamatan Dakwah, surabaya: Al-Ikhlas,

2001

Arnold, W Thomas. Sejarah Dakwah Islam, Terjemah Ahli bahasa Nawawi

rambe, jakarta: Widjaja

Departemen Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: 2004

Mubarak, Ahmad. Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999

Hazbullah, Muzaidi. 9 Pilar Keberhasilan Da’i di medan Dakwah, Solo: Pustaka

Arafah, 2001

Goldziher, Ignaz. Madzahib Al-Tafsir AL-Islami, beirut, daar Iqra 1983

Hafidhudin, Didin. Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani press, 1998.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Singapura Pustaka nasional: 1990

Haryono, R. Yudhi M, Bahasa politik Al-Qur’an; Mencurigai Makana

Tersembunyi di Balik teks, jakarta: gugus press, 2002

Hayy Al-Farmawi, abdul. Metode Tafsir Maudhu’i dan cara penerapannya,

terjemah ahli bahasa drs. Rashihan Anwar M. Ag, Bandung pustaka

Setia.

Ilyas Ismail, Ahmad. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,Jakarta:Penamadani,

2006

Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an

Periode Klasik Hingga Kontemporer, Nun pustaka , Yogyakarta: 2003

Prayitno Irwan. Fiqhud Dakwah, Seri pendidikan Islami, Bekasi: Pustaka

Tarbiyatuna, 2002

Shihab, Quraish, membumikan Al-Qur’an, Mizan: 1992 cet. Ke-2

_____________, Mukzijat Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007 cet ke-2

Page 92: kualifikasi dai FDK.pdf

84

____________, Wawasan AL-Qur’an Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan

Umat, Bandumg: Mizan 2001 cet ke-7

Rahardjo, Dawam M. Intelektual Intelengensia dan prilaku politik bangsa Risalah

Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan ,1999

Ramli, M, Medan dan bahan Dakwah, Jakarta: Multi Yasa & Co,1998

Rosyad Shaleh, Abdul, 1993, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: Bulan bintang,

1993

Shomad, Idris, Mengenal Ayat-ayat Dakwah, Diktat mata kuliah Tafsir, Jakarta:

2005

Syubasyi, Ahmad, Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an AL-

Karim

Yunus, Muhammad. Tafsir Qur’an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004

Zahra, Abduh, Dakwah Islamiyah, Terjemah Ahli bahasaAhmad Subandi dan

Ahmad Supeno, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.

Zufren, Rahman, Terjemah Ahli bahasa, Jakarta: kalam mulia, 1999

Page 93: kualifikasi dai FDK.pdf

Nomor : Istimewa

Lampiran : 1 ( satu ) Berkas

Perihal : Permohonan Pengajuan Judul Skripsi

Kepada Yth

Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam

Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta

Di Tempat

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Salam sejahtera teriring do’a semoga bapak senantiasa dalam

lindungan serta magfirah Allah SWT. Amin.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Siti Masyitoh

Nim : 104051001847

Fakultas : Dakwah dan Komunikasi

Jurusan : Komunikasi Penyiaran Islam

Bermaksud mengajukan proposal skripsi dengan judul :

BEKAL DA’I DALAM TAFSIR AL-MISBAH KARYA

MUHAMMAD QURAISH SHIHAB DALAM SURAT AL-

MUDATSIR AYAT 1-7 Sebagai bahan pertimbangan, berikut ini saya lampirkan:

1. Outline Skripsi

2. Proposal Skripsi

3. Daftar Pustaka Sementara

Demikian Kiranya Permohonan ini saya sampaikan. Atas segala

perhatian Bapak saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Penasehat Akademik Pemohon

Drs. Suhaimi, M.Si Siti Masyitoh

(NIP: 150270810 ) (NIM: 104051001847)

Page 94: kualifikasi dai FDK.pdf

Jakarta, 10 Oktober 2008

Nomor : Istimewa

Lampiran : 1 (Satu berkas)

Perihal : Perubahan Judul Skripsi

Kepada Yth:

Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Di

Tempat

Assalamua’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera sampaikan semoga Bapak/ Ibu senantiasa dalam

lindungan Allah SWT serta senantiasa suses menjalankan segala

aktifitas sehari-hari. Bahwa saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Siti Masitoh

NIM : 104051001847

Fakultas : Dakwah dan Komunikasi

Jurusan : Komunikasi dan Penyiaran Islam

Bermaksud merubah judul skripsi dengan judul sebelumnya

“KONSEP DAKWAH ISLAM DALAM SURAT AL-MUDDATSIR

AYAT 1–7 TAFSIR AL-MISBAH KARYA MUHAMMAD

QURAISH SHIHAB” dirubah dengan judul “BEKAL DA’I DALAM

TAFSIR AL-MISBAH KARYA MUHAMMAD QURAISH

SHIHAB (ANALISIS AL-QUR’AN SURAT AL-MUDDATSIR 1–

7).”

Guna mendapatkan gelar sarjana (S1), dengan salah satu syarat

adalah menyelesaikan tugas akhir yaitu penulisan skripsi. sebagai

bahan pertimbangan, saya lampirkan :

1. Outline Skripsi

2. Proposal Skripsi

3. Daftar Pustaka Sementara

Demikian kiranya permohonan ini saya sampaikan atas segala

perhatian Bapak/ ibu saya ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Penasehat Akademis Pemohon

Drs. Suhaimi, M.Si Siti Masitoh

NIP : 150270890 104051001847