kti nov 24 repaired)

Upload: z4k412i4

Post on 07-Jul-2015

1.238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Rinosinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam dan merupakan salah satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan sehingga infeksi yang menyerang bronkus, paru dapat juga menyerang hidung dan sinus paranasal (Purnaman dan Rifki, 1990). Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasalis (PERHATI, 2001). Rinosinusitis ini merupakan inflamasi yang sering ditemukan dan akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini (Roos, 1999). Rinosinusitis ini sendiri di klasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut, rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronis. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus

1

2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional). Karena berbagai kendala dari jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi. Di Bagian THT RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar, dilaporkan tindakan BSEF pada periode Januari 2005-Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi rinoinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai rinosinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi rinosinusitis dan septum deviasi. Sinusitis pada anak lebih banyak ditemukan karena anak-anak mengalami infeksi saluran nafas atas 6 8 kali per tahun dan diperkirakan 5% 10% infeksi saluran nafas atas akan menimbulkan sinusitis.Menurut Rachelevsky 1994, 37% anak dengan rinosinusitis kronis didapatkan tes alergi positif sedangkan Van der Veken dkk 1997 mendapatkan tidak ada perbedaan insiden penyakit sinus pada pasien atopik dan bukan atopik. Menurut Takahasi dan Tsuttumi 1990 sinusitis sering di jumpai pada umur 6-11 tahun. Sedangkan menurut Gray 1995 terbanyak di jumpai pada anak umur 5-8 tahun dan mencapai puncak pada umur 6-7 tahun.

Saat ini di RSUP NTB belum dilakukan studi epidemiologi mengenai data pasti dari kasus rinosinusitis, padahal rinosinusitis salah satu penyakit yang sering dijumpai di poli THT RSUP NTB, sehingga sangat diperlukan data yang akurat untuk mengetahui angka kejadian rinosinusitis, termasuk karaktristik subjek berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor predisposisi dari rinosinusitis.

2

Dari uraian diatas dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya, maka penulis bermaksud mengangkat judul Angka Kejadian Rinosinusitis di Poli THT RSUP NTB Periode 1 Januari - 31 Desember 2009. Di NTB khususnya RSUP NTB yang merupakan pusat rujukan dari berbagai kabupaten/kodya di NTB,

1.2.

Rumusan Masalah Bagaimanakah angka kejadian rinosinusitis akut yang yang terjadi di

bagian Poli THT RSUP NTB periode 1 Januari 31 Desember 2009?

1. 3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum Mengetahui angka kejadian rinosinusitis yang terjadi di bagian poli THT RSUP NTB periode 1 Januari 31 Desember 2007. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui rentang usia pasien rinosinusitis. 2. Mengetahui jenis kelamin pasien rinosinusitis. 3. Mengetahui tingkat pendidikan terakhir pasien rinosinusitis. 4. Mengetahui jenis pekerjaan pasien rinosinusitis. 5. Mengetahui keluhan utama pasien rinosinusitis. 6. Mengetahui faktor predisposisi pasien rinosinusitis.

3

1.4.

Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi peneliti: 1. Mengetahui secara lebih mendalam angka kejadian rinosinusitis yang terjadi di bagian Poli THT RSUP NTB periode 1 Januari 31 Desember 2009. 2. Sebagai penelitian. sarana menambah pengalaman dalam melakukan

1.4.2. Bagi RSUP NTB: Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pihak RSUP NTB dalam mengambil kebijakan guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di NTB. 1.4.3. Bagi para pembaca: Diharapkan bahwa hasil Karya Tulis Ilmiah ini nantinya dapat menjadi sumber informasi dan bahan bacaan tambahan yang dapat memperluas wawasan pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa kedokteran, tenaga kesehatan, maupun masyarakat pada umumnya

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Rinosinusitis Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis, rinosinusitis dapat dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). 2.1.1. Sinus Frontalis Sinus frontalis terdiri dari 2 sinus yang terdapat di setiap sisi pada daerah dahi, di os frontal. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada pada usia 8 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun. Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita yang

5

disebut dengan tulang compacta dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini (Hilger, 1997 dan Ballenger, 1994). (Gambar 2.1)

2.1.2. Sinus Maksilaris Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus Maksilaris merupakan sinus terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Letak ostium Sinus maksilaris lebih tinggi dari dasar sehingga aliran sekret tergantung dari gerakan silia, dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,caninus. Akar-akar gigi dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis dan ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). (Gambar 2.1) 2.1.3. Sinus Etmoidalis

6

Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sama halnya dengan sinus maksilaris, bahwa sinus etmoidalis ini telah ada saat lahir. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 ml cm dibagian posterior. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan dinding anterior sinus sfenoid (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2003). Berhubungan dengan orbita, sinus etmoid dilapisi dinding tipis yakni lamina papirasea. Jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah akan masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma (Ballenger, 1994). (Gambar 2.2)

7

2.1.4. Sinus Sfenoidalis Sinus sfenoidalis terletak di dalam os sfenoidalis dibelakang sinus etmoid posterior. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Pneumatisasi sinus spenoidalis dimulai pada usia 8-10 tahun. Biasanya berbentuk tidak teratur dan sering terletak di garis tengah. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus dibagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas sinus sfenoidalis adalah sebelah anterior dibentuk oleh resesus

sfenoetmoidalis di medial dan oleh sel-sel etmoid posterior di lateral. Dinding posterior dibentuk oleh os sfenoidale. Sebelah lateral berkontak dengan sinus kavernosus, arteri karotis interna, nervus optikus dan foramen optikus. Penyakitpenyakit pada sinus sfenoidalis dapat mengganggu struktur-struktur penting ini, dan pasien dapat mengalami gejala-gejala oftalmologi akibat penyakit sinus primer. Dinding medial dibentuk oleh septum sinus tulang intersfenoid yang memisahkan sinus kiri dari yang kanan. Superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa dan sebelah inferiornya atap nasofaring (Hilger, 1997). Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena dalah sinus etmoidalis dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sphenoid lebih jarang lagi. Sinus

8

maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus dentogen. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan didalam rongga kepala , serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati. (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). (Gambar 2.2)

Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus (Hilger, 1997)

9

1. Sinus frontal 2. Sinus etmoid anterior 3. Aliran dari sinus frontal 4. Aliran dari ethmoid 5. Sinus etmoid posterior 6. Konka media 7. Sinus sphenoid 8. Konka Inferior 9. Hard palate

Gambar 2.2. Dinding lateral hidung (Hazenfield, 2009) 2.2. Angka Kejadian Sinusitis pada berbagai tempat di Indonesia dan di Dunia Prevalensi sinusitis di Indonesia cukup tinggi. Hasil penelitian tahun 1996 dari sub bagian Rinologi Departemen THT FKUI-RSCM, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 persen penderita sinusitis kronik. Pada tahun 1999, penelitian yang dilakukan bagian THT FKUI-RSCM bekerjasama dengan Ilmu Kesehatan Anak, menjumpai prevalensi sinusitis akut pada penderita Infeksi Saluran Nafas Atas (ISNA) sebesar 25%. Angka tersebut lebih besar dibandingkan data di negara-negara lain. Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika dan jumlah yang mengunjugi rumah sakit mendekati 16 juta orang Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), kurang lebih dilaporkan 14 % penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya

10

dan seperlimanya sebagian besar didiagnosis dengan pemberian antibiotik. Pada tahun 1996, orang Amerika menghabiskan sekitar $3.39 miliyar untuk pengobatan rinosinusitis Sekitar 40 % rinosinusitis akut merupakan kasus yang bisa sembuh dengan sendirinya tanpa diperlukan pengobatan. Penyakit ini terjadi pada semua ras, semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan dan pada semua kelompok umur. Rinosinusitis kronik mempengaruhi sekitar 32 juta orang per tahunnya dan 11,6 juta orang mengunjungi dokter untuk meminta pengobatan. Penyakit ini bersifat persisten sehingga merupakan penyebab penting angka kesakitan dan kematian. Adapun penyakit ini dapat mengenai semua ras, semua jenis kelamin dan semua umur.

2.2.1. Angka kejadian berdasarkan umur Penelitian William et al (1992) pada rekam medis dan staf ahli radiologi, ahli radiologi dengan pelatihan khusus radiologi tulang, dan residen radiologi senior menyimpulkan bahwa foto Waters dapat diterima untuk mendiagnosis sinus maxillaries. Pada penelitian ini ditemukan bahwa gambaran sinusitis relatif meningkat dari kelompok usia 10-20 tahun sampai usia 50-60 tahun; relatif rendah pada usia 0-10 . Hal in sesuai dengan Sharma (2006) yang menyatakan bahwa prevalensi tertinggi sinusitis adalah pada usia dewasa, 18-75 tahun, setelah itu anak-anak kurang dari 15 tahun dan pada anak usia 5-10 tahun.

11

Penelitian tentang gambaran sinusitis maksila dengan faktor predisposisi infeksi gigi rahang atas (dentogen) tidak banyak yang telah dilaporkan. Pada penelitian Hasibuan (Medan 1992) di dapatkan dari 25 penderita sinusitis yang di telitinya rata-rata umur yang terbanyak adalah 20-29 tahun (32%). Yoshiura et al (Jepang 1993) dari 68 penderita

sinusitis yang ditelitinya rata-rata umur yang terbanyak adalah 46 tahun. Soedarmi dan Islam (Semarang 1999) mendapatkan umur terbanyak 30-40 tahun. Nishimura dan Iizuka (jepang, 2001) mendapatakan rata-rata umur yangterbanyak adalah 41-47 tahun. Suzanne at al (New York,2001) dari sampel dengan umur antara 21-80 tahun mendapatkan rata-rata umur yang terbanak adalah 32 tahun. Berasarkan data diatas dapat terlihat bahwa sinusitis maksila lebih banyak menyerang pada orang muda perbedaan umur oleh masing-masing peneliti lebih didasari leh pengelopokan umur yang berbeda-beda pada masing- masing peneliti. 2.2.2. Angka Kejadian berdasrkan jenis kelamin Pada penelitian sinusitis yang dilakukan oleh departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adamalik Medan ini adalah perempuan sebanyak 26 pederitan (74,28%) dan laki-laki- 9 pederita (25.72%). Dari 91 sampel, 51% (46 orang) menunjukkan gambaran sinusitis pada pemeriksaan foto Waters - 53% (25 orang) wanita dan 47% (21 orang) laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian Ramanan (2007) yang menyatakan bahwa wanita

12

mempunyai lebih banyak episode sinusitis karena cenderung mempunyai hubungan lebih dekat dengan anak-anak. . Peneliti-peneliti seperti mangain Hasibun (Medan,1992) yang meneliti tentang gambaran sinusitis maksila dengan factor predisposisi infeksi gigi rahang atas (dentogen) mendapatkan dari 25 penderita yang dieriksanya terdapat 13 perempuan (25%) dan 12 laki-laki (48%). Yoshioura et al (Jepang,1993) mendapat kan dari 68 pendrita yang diperiksanya terdapat 36 perempuan (52,95%) dan 32 laki-laaki(47,05%). Soedarme dan Islam (Semarang,1999) mendapatakan 19 perempuan (47,50%) dan 21 laki-laki (52,50%). Zuzanni at al (Wew York,2001) mendapatakan 14 kasus yang terdiri dari 10 perempuan (71,4%) dan 4 laki-laki (28,6%). Paada penelitian Nishimura dan Iizuka (Jepang,2001) medapat kan dari 15 penderita sinusitis dengan factor predisposisi rahang atas (dentogen) terdapat 5 perempuan (33,33%) dan 10 laki-laki (66,67%). Primartono dan Suprihati (Semarang,2003) mendapatkan 70 penderita sinusitis yang terdiri dari 32 perempuan ( 45,7%) dan 38 laki-laki (54,3%). Gambaran sinusitis maxillaris merupakan yang terbanyak - 52% (24 orang) ipsilateral, 28% (13 orang) bilateral. Sisanya 20% (9 orang), menunjukkan gambaran sinusitis maxillaris bersamaan dengan gambaran sinusitis lain, yakni 1 orang bersama sinusitis frontalis, 5 orang bersama sinusitis ethmoidalis, dan 3 orang pansinusitis. Hal ini sesuai penemuan

13

Mangunkusumo dan Rifki (2006). paling sering sinusitis maxillaris dan sinusitis ethmoidalis.

2.2.3. Angka Kejadian Berdasarkan Pekerjaan Dari hasil penelitian Mangunkusumu dan Rifki (2006) didapat jenis pekerjaan terbanyak dari kelompok belum/tidak bekerja dan kelompok swasta yang memiliki jumlah pasien yang sama sebanyak 32 (26,66%) pasien. Kelompok belum/tidak bekerja ini terdiri dari anak usia 12 > 12 minggu minggu minggu minggu

Jumlah episode serangan < 6 kali / > 4 kali / > 6 kali / akut, masing-masing < 4 kali / tahun tahun tahun berlangsung minimal 10 hari tahun Jumlah episode serangan Dapat sembuh akut, masing-masing sempurna dengan berlangsung minimal 10 hari pengobatan medikamentosa Tidak dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa

3

26

Berdasarkan gambaran klinik ini, dapat ditentukan langkah diagnosis dari rinosinusitis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

anamnesis,pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus dimeatus medius atau didaerah meatus superior. (Mangunkusumo dan Rifki). Kriteria Rinosinusitis menurut American Academy of

Otolaringology & American Rhinologic Society 1996 adalah sebagai berikut: 1. Gejala mayor dapat berupa terasa sakit daerah muka, hidung tersumbat, terjadi post nasal drip puru. 2. Gejala minor dapat berupa pasien batuk, terdapat lendir di tenggorok, terasa nyeri dikepala, nyeri geraham, halitosis. Rinosinusitis akut didiagnosis jika terdapat 2 kriteria mayor atau lebih, atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor. (Kennedy, 1995). Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi waters, PA atau lateral , umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar. Kelainan akan terlihat berupa perselubungan, batas udara cairan atau penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan standar utama untuk mendiagnosis sinusitis karena mapu

27

menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun, karena mahal hanya dikerjakansbagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau praoperasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus. (Mangunkusumo dan Rifki). Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotika yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil dari fungsi sinus maksila. (FKUI-Kapita Selekta Kedokteran, 2003).

2.8.

Terapi Rinosinusitis Tujuan terapi sinusitis adalah mempercpat penyembuhan,

mencegah komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di sumbatan kompleks osteomeatal (KOM) sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotika dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotika yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin klavulanat atau jenis sefalosporin generasi 2. Pada sinusitis

28

antibiotika diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. (Piccirillo, 2004). Pada sinusitis kronik diberikan antibiotika yang sesuai untuk

kuman negative gram dan anaerob. Elain dekongestan hidung, terapi lain dapat diberikan seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat. (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). Penatalaksanaan sinusitis pada anak terdiri dari dua jenis yaitu : konservatif dan operatif. Terapi konservatif merupakan terapi utama pada rinosinusitis anak dan terapi operatif dilakukan bila dengan konservatif gagal atau terjadi komplikasi ke orbita atau intra kranial. Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.6. Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis (Piccirillo, 2004) SINUSITIS AKUT Lini Pertama Antibotik Dosis

29

Amoksisilin

Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis Dewasa: 3 x 500 mg Anak: 6 - 12 mg TMP/ 30 60 mg SMX/ kg/hari terbagi dlm 2 dosis Dewasa: 2 x 2 tab dewasa Anak: 30-50mg/kg/hari terbagi setiap 6 jam Dewasa: 4 x 250-500mg Dewasa: 2 x 100 mg Lini kedua

Kotrimoxazol

Eritromisin Doksisiklin

Amoksi-clavulanat Cefuroksim Klaritromisin Azitromisin Levofloxacin

Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis Dewasa: 2 x 875 mg 2 x 500 mg Anak: 15 mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis Dewasa: 2 x 250 mg 1 x 500 mg, kemudian 1x250 mg selama 4 hari berikutnya. Dewasa: 1 x 250-500 mg SINUSITIS KRONIK

Antibiotika Amoksi-clavulanat

Dosis Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis Dewasa: 2 x 875 mg Anak: 10 mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg selama 4 hari berikutnya Dewasa: 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250mg selama 4 hari Dewasa: 1 x 250-500mg

Azitromisin

Levofloxacin

2.9. Tindakan operasi

30

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista, atau kelainan yang irreversible, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur. (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). 2.10. Komplikasi Komplikasi sinusitis telah menurun secaranyata sejak

ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. (Hilger, 1997). 2.10.1. Kelainan pada Orbita Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita juga. Pada komplikasi ini terdapat lima tahapan : a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena

31

lamina

papirasea

yang

memisahkan

orbita

dan

sinus

ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.b. Selulitis orbita

Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk

c. Abses subperiosteal Pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis. d. Abses orbita Pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.e. Thrombosis sinus kavernosus

Akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik(Hilger, 1997).

32

2.10.2. Kelainan intracranial a. Meningitis akut Salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis. (Hilger, 1997). b. Abses dura Kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial. c. Abses subdural Kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura. d. Abses otak Setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus

terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. 2.10.3. Osteitis dan Osteomylitis.

33

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil. (Hilger, 1997). 2.10.4. Mukokel Suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya (Hilger, 1997). 2.10.5. Pyokokel. Mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat (Hilger, 1997). 2.11. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Faktor predisposisi

Tingkat pendidikan

Jenis pekerjaan

34

Rinosinusitis

Usia

Jenis kelamin

Gambar 2.4. Kerangka konsep penelitia

35

BAB III METODE PENELITIAN

3.1.

Jenis Penelitian Penelitian ini dirancang secara deskriptif, dengan pengumpulan

data bersifat retrospektif yaitu melakukan tinjauan terhadap rentang usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor predisposisi pada pasien rinosinusitis yang berobat di Poli THT RSUP NTB periode 1 Januari 31 Desember 2009.

3.2.

Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di RSUP NTB pada bulan September

2010. Data dalam penelitian ini diambil dari kartu rekam medis pada pasien rinosinusitis akut yang menjalani pemeriksaan di bagian Poli THT di RSUP NTB periode 1 Januari 31 Desember 2009.

3.3.

Subjek Penelitian

36

Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh rekam medis pasien rinosinusitis akut yang menjalani pemeriksaan di poli THT RSUP NTB periode 1 Januari 31 Desember 2009. Jumlah sampel dihitung denga rumus sebagai berikut : Rumus Slovin N n = --------1+N(e)2 Keterangan: n = ukuran sampel

N = ukuran populasi e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan

pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan, misalnya 10%.

3.4.

Definisi Operasional1. Angka Kejadian Rinosinusitis ditentukan berdasarkan diagnosis

yang diteggakkan oleh dr. Spesialis THT. Yaitu: Rinosinusitis akut, rhinosinusitis sub akut, rhinosinusitis kronik. 2. Karakteristik Rhinosiusitis merupakan gambaran umum penderita yang terdiri dari rentang usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, keluhan utama, dan faktor predisposisi

37

rinosinusitis akut yang disajikan dalam bentuk tabel, gambar atau ikhtisar lainnya yang mewakili serangkaian karakteristik secara kuantitatif. 3. Usia pasien rinosinusitis merupakan waktu hidup pasien sejak dilahirkan sampai datang ke poli THT dengan penyakit rinosinusitis. 4. Jenis kelamin adalah laki laki dan perempuan. 5. Tingkat pendidikan merupakan pendidikan formal yang telah diselesaikan 6. Pekerjaan merupakan mata pencaharian dari pasien rinosinusitis 7. Keluhan utama merupakan gejala yang dirasakan oleh pasien rinosinusitis saat datang berkunjung ke poli THT. 8. Faktor predisposisi merupakan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya rinosinusitis kronis, seperti: obstruksi mekanik seperti deviasi septum, hipertropi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung yang dibiarkan terus menerus, rangsangan menahun dari lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, faktor fisik, kimia, saraf, hormonal ataupun emosional. 3.5. Alat dan Cara Pengumpulan Data Sumber data dalam penelitian ini adalah informasi yang tertulis dalam rekam medis pasien rinosinusitis. Pengumpulan data dilakukan

38

dengan mencatat informasi-informasi yang penting dalam kartu rekam medis pasien. Data yang dicatat meliputi: 1. Nomor rekam medis. 2. Tanggal masuk rumah sakit. 3. Nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan alamat pasien. 4. Faktor predisposisi timbulnya rinosinusitis. 5. Keluhan utama. 6. Hasil pemeriksaan penunjang.

3.6.

Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini, digunakan prosedur penelitian yang sesuai

dengan langkah-langkah berikut:1. Melakukan pencatatan pasien rinosinusitis dari buku registrasi

di poli THT RSUP NTB periode 1 Januari 31 Desember 2009. 2. Melakukan pencarian rekam medik pasien rinosinusitis di RSUP NTB periode 1 Januari 31 Desember 2009. 3. Mencatat profil semua pasien rinosinusitis di RSUP NTB periode 1 Januari 31 Desember 2009. 4. Mengumpulkan data dan melakukan pengentrian data.

39

5. Melakukan analisa data dengan metode analisis deskriptif sederhana terhadap data yang sudah terkumpul dalam bentuk tabel dan gambar. 6. Membahas dan menginterprestasikan hasil data yang diperoleh yang dikaitkan dengan variable-variabel penelitian yang digunakan. 3.7. Analisis Data Data yang diperoleh disusun dan ditabulasi serta disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

3.8.

Rencana Kegiatan

Tabel 2.3 Jadwal penelitian berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan Tabel 2.3 Jadwal penelitian berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan Rencana kegiatan Penyusunan judul Penyusunan proposal Pengumpulan data Analisis data Laporan penelitian Juni X X X X X X X X Juli Agts Sept Okt Nov Des

40

DAFTAR PUSTAKA Hilger, Peter, A., penyakit sinus paranasalis BOEIS Buku Ajar Penyakit THT (BOEIS Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6,Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997 Mangunkusumo, E., Soetjipto, D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI, 2007. Herawati sri, Rukmini s. Buku hajar ilmu penyakit THT, Jakarta: Buku kedokteran EGC .2004 Gillon VM, Staffor N . Segipraktis THT, Jakarta: Binarupa aksara.1991 Hal 110114 MB ,HR, FRCS. Petunjuk penting pada penyakit THT, Jakarta: Hipokrates. 1996 Thaller SR, Granick M. Diagram diagnostic penyakit THT, Jakarta: Buku kedokteran EGC. 1995 Hal 111

41

Adam GL, 1996. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi bahasa Indonesia. EGC Jakarta. Hal : 335336 Rusmarjono, Soepardi E. A., 2003. Penyakit serta Kelainan Faring dan Tonsil , Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Gaya Baru. Jakarta. Hal : 178 184 Fiegler. R.P.J, Pelajaran ringkas telinga hidung tenggorok, jakarta: PT Gramedia pustaka utama. 1983 Ballenger, John, Jacob. Pelajaran telinga hidung tenggorok kepala dan leher, Jakarta: Binarupa Aksara. 1994, edisi 13 Wald ER. Rhinitis Acute & Chronic Sinusitis. Dalam : Bluestone C.D. Stool SE, Scheetz MD (ED). Pediatric Otolaryngology. 2nd Ed. Volume 1. Philadelphia: WB Saunders Company, 1990.729-43. http://www.Utmb.edu/otoref/Grnds/Pedisinus.htm. ( Accesed: 28 Oktober, 2010).

Levinson MR, Sidman JD, Brown AC. Sinusitis in Children Diagnosis and treatment. Dalam: http://www.allina.com/Allina Journal/Winter 1996/Lovinson.html . ( Accesed: 28 Oktober, 2010).

OHollaren. TM. Chronic rhinosinusitis and Asthma : Common connected conditions. 57th Annual Meeting of the American Academy of Allergy, Asthma and Immunology. http://www.Medscope.

42

com/medscape/cno/2001/AAAAI/Story.Cfm?story.id=2168. ( Accesed: 28 Oktober, 2010). Lazar MR. Functional Endonasal Sinus Surgery (FESS) Dalam : Pediatrics in Practical Endoscopy Sinus Surgery. Toronto : Mc. Grawhill, Inc, 1990, 107-117. http://www.rnzegp.org.nz/nzip/ISSUES/feb99/bartley.htm. ( Accesed 29 Oktober, 2010). Depkes RI. (2006), Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia,_hlm /52, HTA Indonesia, Available from: http://www. yanmedik depkes. net/hta/ Hasil% 20Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional% 20Endoscopic%20 Sinus% 20Surgery% 20di% 20Indonesia. doc. (Accessed: 28 Otober, 2010). Hazenfield, Hugh N., M.D., F.A.C.S., (2009), Endoscopic Sinus Surgery by the American Board of Otolaryngology, Available from: www.dochazenfield.com/sinus_surgery.htm (Accesed: 30 Oktober, 2010) PIT, PERHATI. (2001), Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis, dipresentasikan di Palembang, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil% 20 Kajian%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic%20Sinus%20Surgery % 20di%20Indonesia.doc. (Accessed: 1 November, 2010). Purnaman dan Rifki, Nusyirwan. (1990), Sinusitis, dalam Nurbaiti Iskandar, Efiaty AS, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung Tenggorok, edisi pertama, FKUI, Jakarta, Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/ files/cdk_155_THT.pdf. (Accessed: 1 November 2010). Roos, K. (1999), The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis, In Rhinosinusitis: Current Issues in Diagnosis and Management. Lund V. Corey J (Eds). The Royal Society of Medicine Press Limited, London, UK, Round Table Series 67: 3-9, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil% 20

43

Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional% 20 Endoscopic% 20 Sinus% 20 Surgery % 20 di % 20Indonesia.doc. (Accessed: 2 november 2010).

44

45