ksk no.14 mar 2010-revised graphs

111

Upload: sswibowo

Post on 24-Jun-2015

493 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs
Page 2: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

68

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Page 3: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

Kajian Stabilitas KeuanganI - 2007( No. 14, Maret 2010 )

Page 4: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

ii

Page 5: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

iii

Kata Pengantar vi

Gambaran Umum 3

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil 9

Kondisi Makroekonomi 9

Kondisi Sektor Riil 15

Bab 2 Sektor Keuangan 23

Struktur Sistem Keuangan Indonesia 23

Indeks Stabilitas Keuangan 24

Perbankan 24

Pendanaan dan Risiko Likuiditas 24

Perkembangan dan Risiko Kredit 27

Risiko Pasar 31

Profitabilitas dan Permodalan 34

Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Pasar Modal 37

Perusahaan Pembiayaan 37

Pasar Modal 39

Boks 2.1. Indikator Ketahanan Likuiditas Perbankan 47

Boks 2.1. Kinerja Bancassurance 49

Daftar Isi

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan

Mitigasi Risiko 53

Perkembangan Sistem Pembayaran 53

Perkembangan Financial Sector Assessment Program

(FSAP) 57

Boks 3.1. Implementasi Payment-versus-Payment

(PvP) Link 59

Boks 3.2. Kasus Fraud pada Kartu ATM dan

ATM/Debet 61

Boks 3.3. Mitigasi Risiko Kartu Kredit 62

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia 65

Prospek Ekonomi dan Persepsi Risiko 65

Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah 66

Prospek Sistem Keuangan Indonesia 68

Artikel

Artikel 1 Persaingan Pasar, Margin Bunga dan

Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia 71

Artikel 2 Analisis Dampak Terjadinya Shock

Variabel Moneter Terhadap Non Performing

Loan Ratio di Indonesia 87

Page 6: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

iv

Daftar Tabel dan Grafik

Tabel

1.1 Indikator Ekonomi Dunia 11

1.2 Pengaruh Pelemahan Nilai Tukar Rupiah

terhadap Ekuitas Konglomerasi 19

2.1 Perkembangan Profitabilitas Perbankan 34

2.2 Skenario Integrated Stress Test 35

2.3 Rasio-rasio Keuangan Perusahaan Pembiayaan 38

2.4 Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan 39

2.5 Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan 39

2.6 Pertumbuhan Indeks Bursa Regional 42

2.7 Pertumbuhan Indeks Sektoral 43

2.8 Perhitungan Var Menurut Tenor SUN 45

2.9 Kepemilikan SUN 45

4.1 Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi 66

4.2 Persepsi Risiko Indonesia 70

1.1 Keyakinan Konsumen Negara G3 91.2 Purchasing Manager Index (PMI) dan Industrial

Production (IP) Index Negara G3 101.3 Aliran Modal ke Pasar Saham Asia 101.4 Pertumbuhan Ekonomi Dunia 101.5 Perkembangan Jumlah PHK Sektor Non Pertanian

AS 101.6 Pertumbuhan PDB Beberapa Negara

Emerging Market 111.7 Rasio Konsumsi Rumah Tangga terhadap Beberapa

Ukuran Pendapatan (Output) Domestik (%) 111.8 Indeks Harga Beberapa Komoditas 121.9 Nilai Ekspor Non-Migas Indonesia 121.10 Pertumbuhan Ekspor Impor 121.11 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (IDR/USD) 131.12 Plot Hasil Estimasi IDR/USD

(31 Des 08 s.d 30 Des 09) 131.13 Perkembangan Nilai Tukar Mata Uang Dunia 131.14 Indeks Harga Saham Global 141.15 Indeks Harga Saham Sektoral 141.16 Perkembangan Inflasi ASEAN-5 141.17 Tingkat Bunga Riil Indonesia 141.18 Indeks Produksi dan Utilisasi Kapasitas

Produksi Sektor Industri 151.19 Pertumbuhan Nilai Ekspor Sektor Industri dan

Pertumbuhan PDB Industri 151.20 Pertumbuhan Penjualan Mobil & Motor dan

Pertumbuhan PDB Industri 151.21 Pertumbuhan Kredit Sektor Industri Pengolahan

dan Pertumbuhan PDB Industri 161.22 Leading Indicator Sektor Perdagangan, Hotel

dan Restoran 161.23 Composite Prompt Indicator Sektor

Perdagangan, Hotel dan Restoran 161.24 Indeks Penjualan Eceran 161.25 Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen

Domestik 171.26 Pertumbuhan ROA dan ROE Perusahaan Non

Financial Go Public 171.27 Indikator Kunci Keuangan Korporasi 171.28 Perkembangan DER dan Debt/TA Perusahaan

Non Financial Go Public 18

Grafik

Page 7: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

v

1.29 Probability of Default (PD) Perusahaan NonKeuangan yang Go Public 18

1.30 Rasio Kewajiban Neto Valasterhadap EkuitasKonglomerasi 18

2.1 Komposisi Aset Lembaga Keuangan 232.2 Indeks Stabilitas Keuangan

(Financial Stability Index) 242.3 Komposisi Sumber Dana Perbankan (Rp T) 242.4 Perkembangan DPK per Komponen 252.5 DPK Valas - Kurs IDR/USD 252.6 Alat Likuid Bank 262.7 Pangsa Alat Likuid per Kelompok Bank 262.8 Rasio Alat Likuid 262.9 Volume Transaksi O/N PUAB DN

(Rata-rata per hari) 272.10 Suku Bunga PUAB Pagi O/N 272.11 Suku Bunga PUAB O/N Sore 272.12 Pertumbuhan Kredit dan DPK (% yoy) 282.13 Pertumbuhan Kredit Per Jenis Penggunaan 282.14 Pertumbuhan Kredit Per Sektor Ekonomi 282.15 Pertumbuhan Kredit Per Valuta 292.16 Pertumbuhan Kredit MKM dan Non MKM 292.17 Perkembangan NPL 302.18 Rasio NPL Per Sektor Ekonomi 302.19 Rasio NPLSektor Industri Pengolahan 302.20 Rasio NPLSektorPerdagangan 302.21 Rasio NPL Sub Sektor Perdagangan 312.22 Rasio NPL Per Jenis Penggunaan 312.23 Rasio NPL Kredit Konsumsi 312.24 Stress Test Risiko Kredit 312.25 Maturity Profile Rupiah 322.26 Maturity Profile Valas 322.27 Stress Test Risiko Suku Bunga 322.28 Net Open Posistion (Overall) 332.29 Stress Test Risiko Nilai Tukar 332.30 Pangsa SUN 332.31 Stress Test Risiko Penurunan Harga SUN 332.32 ROA per Kelompok Bank 342.33 BOPO per Kelompok Bank 342.34 L/R Bulanan 352.35 Pangsa Pendapatan Bunga Bank 352.36 Modal, ATMR, dan CAR 352.37 CAR Per Kelompok Bank 362.38 CAR Hasil Integrated Stress Test 362.39 Interbank Stress Test 372.40 Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan 37

2.41 Komposisi Nominal Pembiayaan PP 382.42 Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan 382.43 Penetrasi Asuransi Umum Beberapa Negara 402.44 Penetrasi Asuransi Jiwa Beberapa Negara 402.45 Kinerja Industri Asuransi: Aset - Gross Premi -

Investasi 402.46 Kinerja Industri Asuransi: Klaim - Premi 402.47 Kinerja Asuransi Jiwa - Triliun Rp 412.48 Arus Kas PP Patungan 412.49 Kinerja Asuransi Kerugian dan Reasuransi -

Triliun Rp 412.50 Penanaman Investor Asing: SBI - SUN - Saham 422.51 Inflows Asing dan Pertumbuhan : Nilai Tukar

Rp/US$, IDMA Indeks, IHSG 422.52 Perkembangan IHSG & Indeks Global Regional

(Di indekskan dengan 31 Desember 2005) 432.53 Volatilitas Beberapa Indeks Bursa Asia 432.54 % Perubahan Harga Saham Bank 432.55 Nilai kapitalisasi & Nilai Emisi 442.56 Perkembangan Harga SUN Benchmark Seri FR 442.57 Harga Rata-rata SUN Bulanan 442.58 Yield 10 Tahun Surat Utang Pemerintah

Beberapa Negara 452.59 Maturity Profile SUN (Des 2009) 452.60 Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi 452.61 Perkembangan Reksadana 462.62 Nilai Aktiva Bersih per Jenis Resadana -

Triliun Rp 46

3.1 Perkembangan Nominal Transaksi (Miliar) 533.2 Perkembangan Volume Transaksi (Ribuan) 543.3 Perkembangan Transaksi Sistem BI-RTGS

Selama Tahun 2009 543.4 Perkembangan Transaksi SKN BI Selama

tahun 2009 553.5 Perkembangan Transaksi Kartu Debet Selama

Tahun 2009 563.6 Perkembangan Transaksi Kartu Kredit Selama

tahun 2009 563.7 Perkembangan Transaksi E-Money Selama

tahun 2009 57

4.1 Perbandingan Proyeksi Pertumbuhan EkonomiBeberapa Kelompok Negara 65

4.2 Persepsi Risiko Indonesia 664.3 Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah 68

Page 8: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

vi

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami menyambut gembira penerbitan Kajian

Stabilitas Keuangan (KSK) No.14 Maret 2010 ini. Penerbitan KSK ini dipandang penting karena melalui publikasi ini

perkembangan dan prospek ke depan stabilitas sistem keuangan dapat dikomunikasikan secara lebih terinci kepada

publik.

KSK edisi ini terbit pada saat perekonomian dunia sudah mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun

demikian, krisis global sebenarnya masih belum sepenuhnya berakhir. Bahkan kita menyaksikan dalam beberapa waktu

terakhir di dunia internasional telah muncul permasalahan baru antara lain krisis fiskal di Yunani. Bagi kita, pemulihan

pada tingkat global tersebut sangat penting karena dengan semakin terintegrasinya sistem keuangan dunia, gejolak

yang terjadi pada perekonomian internasional dengan segera dapat menjalar dan berpengaruh terhadap Indonesia. Oleh

karena itu, sudah sepantasnya kewaspadaan yang tinggi di sektor keuangan tetap dijaga dan dipertahankan.

Di dalam negeri, kondisi perekonomian dan sektor keuangan jauh lebih baik dibandingkan kondisi global. Hal itu

merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang diambil Pemerintah dan Bank Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 yang

ditujukan terutama untuk mengatasi dampak krisis global yang mencapai puncaknya pada bulan November 2008. Dengan

keberhasilan itu, perekonomian tetap bertumbuh dengan cukup tinggi, sementara tingkat inflasi cukup rendah dengan

volatilitas nilai tukar rupiah yang relatif terkendali. Kondisi ini telah memungkinkan BI rate berada pada level yang cukup

rendah dan stabil pada 6,5% sejak bulan Agustus 2009.

Dengan kondisi perekonomian yang cukup kondusif tersebut, industri perbankan terus menunjukkan kinerja yang

cukup baik. Pada akhir Desember 2009, rasio permodalan (CAR) tercatat melampaui angka 17%, sedangkan kualitas

aktiva produktif tetap terkendali, tercermin dari rasio NPL gross dan net masing-masing sebesar 3,3% dan 0,3%. Dengan

terjaganya kualitas aktiva produktif tersebut, usaha perbankan tetap mendatangkan laba yang relatif tinggi dengan ROA

sekitar 2,6%, serta kondisi likuiditas yang secara umum tetap terkendali.

Sementara itu, kinerja pasar saham dan pasar keuangan non-perbankan lainnya juga menunjukkan tanda-tanda

yang positif sehingga menimbulkan optimisme tentang akan semakin membaiknya kinerja sektor keuangan ke depan.

Optimisme itu tampaknya cukup beralasan mengingat sovereign rating dan rating dari beberapa bank besar Indonesia

semakin membaik dan mendekati peringkat investasi (investment grade).

Kata Pengantar

Page 9: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

vii

Perkembangan-perkembangan yang cukup menggembirakan tersebut di atas tentunya tidak membuat kita lengah

terhadap berbagai tantangan yang dapat berkembang menjadi sumber instabilitas. Salah satu tantangan yang sedang

dihadapi adalah rendahnya pertumbuhan kredit yang selama tahun 2009 hanya mencapai sekitar 10% yoy. Melambatnya

pertumbuhan kredit ini perlu dicermati karena apabila terjadi berlarut-larut dikhawatirkan dapat menekan pertumbuhan

ekonomi ke depan, serta berpotensi mengganggu pembiayaan usaha sektor korporasi dan rumah tangga yang pada

gilirannya dapat membuat kredit bermasalah di perbankan mengalami peningkatan.

Tantangan penting lainnya yang juga perlu mendapat perhatian adalah semakin meningkatnya capital inflows

berjangka waktu pendek sejalan dengan terus membaiknya kinerja perekonomian Indonesia. Akibatnya, sistem keuangan

kita menjadi semakin rentan terhadap pembalikan arus dana secara serentak dan tiba-tiba (sudden reversal). Oleh karena

itu, sangat penting untuk tetap menjaga kepercayaan investor dengan terus mendorong bekerjanya disiplin pasar yang

efektif yang didukung oleh perbaikan dalam governance di sektor keuangan. Dalam kaitan ini, hasil Financial Sector

Assessment Program (FSAP) yang telah berlangsung pada akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010 diharapkan dapat

dijadikan sebagai salah satu referensi penting dalam melakukan langkah-langkah perbaikan di sektor keuangan ke depan,

termasuk di industri perbankan.

Dengan mengetahui peluang dan tantangan yang dihadapi oleh sektor keuangan sebagaimana dikemukakan di

atas, ke depan diharapkan sektor keuangan akan berkembang lebih maju dan terhindar dari gejolak risiko yang berlebihan.

Oleh karena itu, penguatan surveillance harus tetap dilakukan termasuk dengan terus memperbarui tools dan method-

ologies yang digunakan dalam rangka deteksi dini. Akhirnya, semoga KSK berhasil menjalankan misinya dalam

mengkomunikasikan kepada publik tentang hasil-hasil surveillance terhadap perkembangan stabilitas sistem keuangan

saat ini dan prospeknya ke depan.

Jakarta, 31 Maret 2010

DEPUTI GUBERNUR BANK INDONESIA

Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad

Page 10: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

viii

Page 11: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

1

Gambaran Umum

Gambaran Umum

Page 12: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

2

Gambaran Umum

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 13: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

3

Gambaran Umum

Ketahanan sektor keuangan selama semester II 2009 dapat terjaga dengan

cukup baik. Hal itu didukung oleh kondisi makroekonomi yang cukup

kondusif, antara lain ditandai dengan rendahnya inflasi dan suku bunga,

serta terjaganya volatilitas nilai tukar rupiah. Sementara itu, perbankan

sebagai industri yang mendominasi sektor keuangan tetap menunjukkan

kinerja yang positif, antara lain tercermin pada rasio permodalan (CAR)

dan profitabilitas yang cukup tinggi, kualitas aktiva produktif yang cukup

terjaga, dan kondisi likuiditas yang relatif terkendali. Di pasar saham dan

pasar obligasi keadaan juga relatif membaik dibandingkan semester

sebelumnya. Namun demikian, masih terdapat beberapa sumber

instabilitas yang terus diwaspadai, antara lain, masih belum berakhirnya

krisis ekonomi global, rendahnya penyaluran kredit dan meningkatnya

capital inflows berjangka waktu pendek. Ke depan, langkah-langkah

mitigasi risiko perlu terus diperkuat agar stabilitas sistem keuangan tetap

terjaga dengan prospek yang positif.

Gambaran Umum

1. SUMBER-SUMBER INSTABILITAS

1.1. Krisis Ekonomi Global Belum Sepenuhnya

Pulih

Krisis ekonomi global belum sepenuhnya berakhir.

Sementara belum pulih, muncul pula beberapa

permasalahan baru yang dapat memicu peningkatan

instabilitas di tingkat global, antara lain krisis fiskal di

Yunani. Oleh karena itu, kewaspadaan yang tinggi masih

tetap perlu dijaga agar efek domino yang ditimbulkan oleh

krisis atau permasalahan global tersebut tidak

menimbulkan kerawanan di sektor keuangan dan

perekonomian domestik.

1.2. Lambannya Pertumbuhan Kredit

Paska krisis ekonomi global, pertumbuhan kredit

perbankan mengalami perlambatan yang signifikan,

terutama kredit dalam bentuk valuta asing (valas). Selama

tahun 2009, total kredit hanya tumbuh sekitar 10% (yoy).

Hal ini perlu mendapat perhatian serius karena rendahnya

penyaluran kredit berpotensi menimbulkan instabilitas.

Secara makro, dengan menurunnya pertumbuhan kredit,

pertumbuhan ekonomi ke depan dapat tertekan. Secara

mikro, penurunan pertumbuhan kredit dapat

menyebabkan sektor korporasi dan rumah tangga menjadi

semakin sulit untuk mendapatkan pendanaan untuk

Page 14: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

4

Gambaran Umum

membiayai kegiatan usaha. Hal ini pada gilirannya dapat

menurunkan kemampuan pembayaran kembali hutang

(debt repayment capacity) oleh korporasi dan rumah

tangga yang menjadi debitur bank. Baik jalur makro

maupun mikro, keduanya berpotensi mendorong

peningkatan kredit bermasalah (NPL) di perbankan.

1.3. Meningkatnya Capital Inflows Berjangka

Waktu Pendek

Capital inflows berjangka waktu pendek semakin

banyak mengalir ke Indonesia. Hal itu tidak saja karena

tingkat imbal hasil yang ditawarkan oleh instrumen

keuangan Indonesia masih cukup menarik, namun juga

karena semakin membaiknya sovereign rating sejalan

dengan tetap baiknya kinerja perekonomian Indonesia di

tengah tekanan krisis global. Peningkatan capital inflows

berjangka waktu pendek ini perlu diwaspadai karena

sangat rentan terhadap risiko pembalikan dana secara

serentak dan tiba-tiba (sudden reversal) yang berpotensi

mengganggu stabilitas keuangan.

1.4. Kemungkinan Peningkatan Risiko

Operasional

Risiko operasional dapat muncul antara lain karena

bencana alam dan fraud. Dengan semakin seringnya

bencana alam seperti gempa bumi dan banjir menimpa

Indonesia akhir-akhir ini, sangat penting dipersiapkan

contingency plan yang memadai agar infrastruktur

keuangan tetap dapat berfungsi dalam segala kondisi

sehingga potensi kerugian dapat diminimalisir. Selain itu,

dengan semakin tergantungnya sektor keuangan terhadap

teknologi sistem informasi, antara lain tercermin pada

meluasnya penggunaan kartu ATM dan internet banking,

maka langkah-langkah pengamanan dan mitigasi risiko

terjadinya fraud perlu mendapat prioritas penting.

1.5. Kondisi Sektor Riil dan Infrastruktur

Kondisi sektor riil masih belum terlalu

menggembirakan meskipun kinerja korporasi dan rumah

tangga terlihat mulai membaik dibandingkan dengan

situasi pada saat puncak krisis global pada triwulan IV

2008. Namun demikian, tantangan baru terus

bermunculan, termasuk pemberlakuan ASEAN China Free

Trade Agreement (ACFTA) pada awal 2010. Sementara itu,

kondisi infrastruktur juga masih masih belum memuaskan,

antara lain tercermin pada masih belum lancarnya jaringan

distribusi yang dapat memicu terjadinya inefiensi atau

ekonomi biaya tinggi. Permasalahan-permasalahan yang

dihadapi sektor riil ini apabila terjadi terus menerus dan

tidak dicarikan jalan keluarnya, dalam jangka panjang

berpotensi menimbulkan instabilitas di sektor keuangan.

1.6. Lemahnya Perlindungan Hukum

Instabilitas di sektor keuangan dapat muncul apabila

para pembuat dan pelaksana kebijakan tidak mendapat

perlindungan hukum yang memadai. Tanpa perlindungan

hukum yang jelas, apabila terjadi krisis yang memerlukan

langkah-langkah pengambilan keputusan yang segera

atau berdampak luas, maka tidak akan ada pejabat publik

di sektor keuangan yang bersedia melakukannya. Hal ini

sangat perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang

terkait agar stabilitas sistem keuangan dapat tetap terjaga

dari waktu ke waktu.

2. MITIGASI RISIKO

2.1. Memperkuat Permodalan

Langkah mitigasi risiko yang paling penting adalah

meningkatkan permodalan. Perbankan Indonesia juga

menggunakan pendekatan memperkuat permodalan

sebagai salah satu cara untuk memitigasi risiko. Hal itu

antara lain terlihat dengan kewajiban bank umum untuk

Page 15: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

5

Gambaran Umum

memenuhi modal inti minimum sebesar Rp100 miliar pada

akhir 2010. Sebelumnya, pada akhir 2008, bank umum

wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp80 miliar

dan hal tersebut telah terpenuhi. Meskipun pada akhir

Desember 2009 masih terdapat beberapa bank yang belum

memenuhi ketentuan modal inti minimum sebesar Rp100

miliar, namun belajar dari pengalaman pemenuhan modal

inti minimum sebesar Rp80 miliar, pada waktunya

kewajiban ini akan dapat dipenuhi oleh seluruh bank

umum.

2.2. Meningkatkan Penyisihan Penghapusan

Aktiva Produktif (PPAP)

Membentuk PPAP adalah salah satu cara yang cukup

efektif guna memitigasi risiko kredit. Selama tahun 2009,

perbankan telah membentuk tambahan PPAP sebesar

Rp12,7 triliun. Dengan demikian, meskipun rasio NPL gross

industri perbankan naik dari 3,2% (Desember 2008)

menjadi 3,3% (Desember 2009), namun rasio NPL net

menurun dari 0,8% menjadi hanya 0,3%.

Meskipun pembentukan PPAP dapat digunakan

untuk memitigasi risiko kredit, perlu dijaga agar jumlah

PPAP yang dibentuk tidak berlebihan atau terlalu sedikit.

Jumlah yang berlebihan mengakibatkan bank kehilangan

potensi pendapatan, namun kalau terlalu sedikit akan

kurang efektif sebagai alat mitigasi risiko.

2.3. Memperkuat Manajemen Risiko dan Good

Governance

Memperkuat manajemen risiko dan good

governance di sektor keuangan merupakan salah satu cara

untuk memitigasi risiko. Terkait dengan hal itu, program

sertifikasi manajemen risiko terus dilanjutkan di perbankan.

Sementara itu, pengawas bank juga wajib mengikuti

program sertifikasi tersendiri dan menerapkan Risk Based

Supervision dalam melakukan pengawasan dan

pemeriksaan bank. Pada sisi lain, perbankan terus didorong

untuk meningkatkan kualitas governance, tidak saja untuk

memenuhi ketentuan Bank Indonesia, namun juga untuk

memungkinkan berjalannya disiplin pasar (market

discipline).

Agar mitigasi risiko dari sisi manajemen risiko dan

good governance dapat efektif, perbankan seyogyanya

tidak berorientasi hanya pada perolehan sertifikasi atau

pemenuhan aspek formal semata. Justru prakteknya dalam

bisnis sehari-hari jauh lebih penting.

2.4. Memperkuat Surveillance

Mitigasi risiko oleh otoritas dilaksanakan dengan

memperkuat micro dan macroprudential. Microprudential

dilakukan kepada individual bank atau lembaga keuangan

untuk memastikan terpenuhinya aspek kehati-hatian

(prudential regulation), baik melalui onsite maupun offsite

supervision. Sementara itu, macroprudential juga ditujukan

untuk pemenuhan aspek kehati-hatian namun dilakukan

pada tingkat industri secara aggregat.

Untuk memperkuat microprudential sebagaimana

dikemukakan sebelumnya, pengawas juga mengikuti

program sertifikasi. Sementara, untuk memperkuat

macroprudential, secara terus menerus dilakukan

perbaikan terhadap tools dan methodologies yang

digunakan dalam surveillance, antara lain yang terkait

dengan stress testing, analisis probability of default,

transition matrices, serta mekanisme early warning lainnya.

Salah satu cara untuk memperkuat tools dan

methodologies yang digunakan dalam surveillance adalah

dengan memanfaatkan hasil penilaian dari Financial Sector

Assessment Program (FSAP) yang dilakukan pada bulan

September/Oktober 2009 (first mission) dan pada bulan

Februari/Maret 2010 (second mission).

Page 16: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

6

Gambaran Umum

3. PROSPEK STABILITAS SISTEM KEUANGAN

Prospek stabilitas sistem keuangan ke depan

diperkirakan akan tetap positif. Meskipun krisis global

belum sepenuhnya berakhir dan tantangan-tantangan

semakin meningkat, namun terdapat beberapa alasan yang

melatarbelakangi perkiraan positifnya prospek ke depan

tersebut. Pertama, proses pemulihan dari krisis global terus

berlangsung. Sementara itu, di dalam negeri kinerja

perekonomian sampai saat ini cukup baik dan diperkirakan

akan tetap terjaga ke depan. Hal ini pada gilirannya akan

mendorong perbankan semakin aktif menyalurkan kredit.

Dengan meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan,

dunia usaha akan semakin bergairah melakukan kegiatan

bisnis sehingga berdampak positif terhadap perekonomian

secara keseluruhan.

Kedua, rating Indonesia, baik untuk sovereign rating

maupun rating untuk bank-bank besar menunjukkan

adanya peningkatan, sehingga semakin dekat dengan

peringkat investasi (investment grade). Hal ini akan

mendorong semakin banyaknya investor yang akan

menanamkan dananya (capital inflows) ke Indonesia.

Meskipun pada saat ini mayoritas dana yang masuk adalah

berjangka waktu pendek, namun dengan langkah-langkah

pendalaman keuangan (financial deepening) yang pada

saat ini sedang terus dilakukan, diharapkan akan cukup

banyak tersedia instrumen keuangan yang berjangka

waktu yang lebih panjang sehingga dapat meminimalisir

risiko sudden reversal. Dengan demikian, prospek ke depan

stabilitas sistem keuangan diperkirakan akan lebih baik.

Ketiga, perbankan telah semakin berhati-hati dalam

menjalankan usahanya, serta terlihat semakin berupaya

menerapkan good governance dengan baik. Dengan

demikian, ke depan perbankan diperkirakan akan semakin

sadar dengan risiko sehingga akan selalu lebih

mengedepankan langkah-langkah mitigasi risiko sebelum

mengambil keputusan bisnis.

Selanjutnya, sejak tahun 2010 ke depan, perbankan

akan mulai menerapkan standar-standar internasional,

termasuk implementasi Basel II serta PSAK No.50 dan 55.

Selain itu, tindak lanjut dari hasil penilaian FSAP

diperkirakan akan membuat sektor keuangan dan

perbankan Indonesia semakin berkualitas sehingga

semakin bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Agar prospek positif stabilitas sistem keuangan ke

depan tersebut dapat terwujud, sangat diperlukan

kerjasama dan dukungan dari semua pihak terkait,

termasuk penciptaan kondisi yang kondusif dari sisi hukum,

politik dan keamanan.

Page 17: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

7

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Bab 1Kondisi Makroekonomidan Sektor Riil

Page 18: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

8

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 19: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

9

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

1.1. KONDISI MAKROEKONOMI

Memasuki semester II 2009 perekonomian dunia

mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan..... Hal tersebut

didukung oleh berjalannya proses stabilisasi di pasar

keuangan, dukungan stimulus ekonomi, dan suku bunga

yang rendah. Selain itu, mulai pulihnya keyakinan konsumen

dan sektor bisnis, terutama sebagai pengaruh dari pesatnya

pemulihan ekonomi berbasis permintaan domestik seperti

yang terjadi di Cina, semakin memperkuat proses pemulihan

ekonomi global. Dengan berbagai perbaikan tersebut laju

kontraksi ekonomi dunia mulai melambat.

Kondisi perekonomian negara maju, khususnya

negara kelompok G3 (Amerika Serikat, Jepang, dan

negara-negara Eropa yang menggunakan Euro sebagai

mata uangnya), juga kian membaik. Pemulilhan ekonomi

Selama semester II 2009 stabilitas makroekonomi Indonesia tetap terjaga.

Daya tahan permintaan domestik yang kuat, industri perbankan yang

tetap stabil, ekspektasi pemulihan ekonomi global yang semakin optimis,

serta respon kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif menjadi

faktor-faktor pendukung tetap terjaganya perekonomian Indonesia di

tengah-tengah tekanan krisis global. Kondisi ini mendorong

perekonomian Indonesia tumbuh lebih baik dibandingkan negara lainnya

yang sebagian besar mencatat kontraksi. Ke depan, perekonomian

Indonesia berpotensi untuk terus membaik, seiring dengan semakin

kuatnya keyakinan konsumen dan dunia usaha, menurunnya persepsi

risiko, dan semakin kondusifnya kondisi perekonomian global. Namun,

beberapa faktor risiko dari dalam dan luar negeri seperti potensi kenaikan

harga minyak dunia, lemahnya daya saing sektor industri dan

pembangunan infrastruktur yang masih tersendat, perlu terus dicermati.

Kondisi Makroekonomi dan Sektor RiilBab 1

berlanjut sebagai dampak pemberian paket stimulus fiskal

pemerintah. Secara umum konsumsi masyarakat

membaik tercermin dari tren keyakinan konsumen

kelompok negara G3 yang meningkat. Dari sisi produksi,

Grafik 1.1Keyakinan Konsumen Negara G3

Current ConditionLeft Scale

Future ExpectationRight Scale

Source : Bloomberg (Japan-Economic Watchers Survey, Euro-IFO Survey,US-Univ. Michigan Survey)

Index, ma3mIndex, ma3m

0

20

40

60

80

100

120

0

20

40

60

80

100

120

JapanJapan

USUS

EuroEuro

JanMarMei Jul SepNovJanMarMei Jul SepNovJanMarMei Jul SepNovJanMarMei Jul SepNovJanMarMei Jul SepNovJanMarMei Jul SepNov2007 2008 2009 2007 2008 2009

Page 20: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

10

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

perbaikan terlihat dari indikator Purchasing Manager Index

(PMI) dan Industrial Production (IP) Index yang berada

dalam tren yang meningkat. Namun demikian, proses

pemulihan ekonomi di negara maju masih dibayangi oleh

berbagai faktor risiko seperti masih tingginya angka

pengangguran dan belum optimalnya perbaikan tingkat

pendapatan.

pemulihan ekonomi di sektor riil. Kegiatan ekonomi dunia

mulai meningkat. Pertumbuhan ekonomi di negara

berkembang Asia terjadi lebih cepat dibandingkan

kawasan lain dan menjadi motor penggerak perekonomian

dunia.

Pemulihan perekonomian global tampaknya tidak

terlepas dari keberhasilan perbaikan kinerja di sektor

keuangan, antara lain ditandai oleh kembali naiknya harga

aset di pasar keuangan global serta kembali masuknya

aliran neto modal asing ke bursa saham Asia. Mulai

membaiknya kinerja pasar keuangan global ini kemudian

berkontribusi positif bagi peningkatan optimisme

Sementara itu, membaiknya beberapa indikator

sektor riil di negara maju, seperti tren penurunan jumlah

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor non pertanian

AS, terus memberikan tanda perbaikan ekonomi yang

dapat menurunkan kontraksi pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan The ADP National Employment Report,

jumlah PHK di sektor non pertanian AS dari Desember

2009 ke Januari 2010 adalah sebanyak 22.000 orang,

turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebanyak

61.000 orang.

Grafik 1.2Purchasing Manager Index (PMI) dan

Industrial Production (IP) Index Negara G3

Index, 50 =neutral % yoy, ma 3m

Sumber : Bloomberg

PMIManuf US

IP US

PMI Manuf JPN

IP JPN

PMI Manuf EUIP EU

25

30

35

40

45

50

55

60

-38

-33

-28

-23

-18

-13

-8

-3

2

7

Jan Jul Jan Jul Jan Jul Jan Jul Jan Jul Jan Jul2007 2008 2009 2007 2008 2009

Grafik 1.3Aliran Modal ke Pasar Saham Asia

Juta USD

Sumber : Bloomberg

-1.3

-0,8

-0,3

0,2

0,7

1,2

Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt2008 2009

Rata-rata Bergerak 1 MingguRata-rata Bergerak 4 Minggu

Grafik 1.4Pertumbuhan Ekonomi Dunia

Sumber : IMF (WEO Okt-09)

%

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

10

2006 2007 2008 2009I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

PDB Dunia

PDB Negara Maju

PDB Negara Berkembang

Grafik 1.5Perkembangan Jumlah PHK

Sektor Non Pertanian AS

2009

Ribu Orang

Sumber : The ADP National Employment Report, Januari 2010

Total NonFarm Private

(50)

-

50

100

150

200

250Service providing

Goods producing

Sep Okt Nov Des Jan

Page 21: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

11

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

yang menunjang serta didukung pula oleh respon

kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif. Struktur

perekonomian Indonesia mayoritas ditopang oleh

permintaan domestik khususnya konsumsi rumah tangga.

Selama periode kontraksi pertumbuhan ekonomi global,

konsumsi rumah tangga Indonesia masih tumbuh pada

level tinggi, didorong oleh relatif stabilnya daya beli

masyarakat serta keyakinan konsumen yang masih

terjaga. Dengan demikian, meskipun terjadi gejolak

perekonomian global, namun daya tahan permintaan

domestik yang kuat mampu menopang kegiatan ekonomi

sehingga perekonomian Indonesia tidak terkoreksi terlalu

dalam.

Dengan tren perbaikan tersebut, berdasarkan

proyeksi terakhir International Monetary Fund (IMF),

pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2009

diperkirakan hanya akan mengalami kontraksi sebesar

0,8%, lebih baik dibandingkan proyeksi sebelumnya yang

diperkirakan akan terkontraksi hingga lebih dari 1%.

Sementara pada tahun 2010, perekonomian dunia

diperkirakan akan mampu mencatat pertumbuhan positif

sebesar 3,9%.1

Tabel 1.1Indikator Ekonomi Dunia

World Output: 3,0 (0,8) 3,9 4.3Advanced Economies 0,5 (3,2) 2.1 2.4

United States 0,4 (2,5) 2.7 2.4Emerging & Developing Countries 6,0 2,0 6.0 6.3

Consumer Price:Advanced Economies 3,4 0,1 1.3 1.5Emerging & Developing Countries1) 9,2 5,2 5.4 4.4

LIBOR2)

US Dollar Deposit 3,0 1,1 0.7 1.8Euro Deposit 4,6 1,2 1,3 2.3Yen Deposit 1,0 0,7 0,6 0.7

Oil Price (USD) - rata-rata3) 36,4 (36,1) 22.6 7.9

Kategori 2008 2009

(%)(%)(%)(%)(%)Proyeksi

2010 2011

Sumber: World Economic Outlook - Januari 2010

1 Sumber: World Economic Outlook - Januari 2010

Di bandingkan banyak negara lainnya,

perekonomian Indonesia pada tahun 2009 secara umum

menunjukkan kinerja yang cukup baik. Meskipun

penurunan tidak dapat dihindari, pertumbuhan ekonomi

tahun 2009 masih dapat mencapai 4,5% sehingga

menjadikan Indonesia salah satu dari sedikit negara di

dunia yang masih mencatat pertumbuhan positif.

Tetap tumbuhnya ekonomi Indonesia di tengah

tekanan krisis global dipengaruhi oleh karakteristik

struktur perekonomian dan sistem keuangan Indonesia

Grafik 1.6Pertumbuhan PDB Beberapa Negara Emerging Market

Sumber : CEIC

%

(11,00)

(8,00)

(5,00)

(2,00)

1,00

4,00

7,00

10,00

13,00

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009Q2 Q3 Q4 Q1Q2Q3Q4 Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4 Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4 Q1Q2Q3Q4 Q1Q2Q3Q4 Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3

IndonesiaSingapuraThailand

Korea SelatanChinaIndia

Grafik 1.7Rasio Konsumsi Rumah Tangga terhadap

Beberapa Ukuran Pendapatan (Output) Domestik (%)

%

50

55

60

65

70

75

80Konsumsi RT / Total Pendapatan Siap Dibelanjakan (%), kiriKonsumsi RT / PDB (%), kiriKonsumsi RT / Permintaan Domestik (%), kiri

1988 1989 19901991 1992 19931994 1995 1996 1997 19981999 2000 2001 2002 20032004 2005 2006 20072008

Page 22: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

12

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Sementara itu, karakteristik sistem keuangan

Indonesia, khususnya industri perbankan yang relatif

bersifat sederhana dengan instrumen yang masih

tergolong tradisional, membuat perbankan dan sistem

keuangan domestik menjadi terlindung dari dampak

negatif krisis keuangan global. Aspek lain yang juga

mendukung ketahanan perekonomian domestik ini adalah

respon kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif.

Penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas,

kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF)

yang diterapkan dengan lebih fleksibel, serta

kesinambungan kebijakan fiskal yang tetap terjaga

membuat berbagai kebijakan yang ditempuh menjadi lebih

optimal dalam merespon tekanan gejolak ekonomi global.

Peningkatan aktivitas ekonomi, khususnya di

negara-negara emerging Asia yang mengalami proses

pemulihan lebih cepat, menyebabkan naiknya permintaan

terhadap barang-barang ekspor terutama yang berbasis

sumber daya alam. Kondisi ini berdampak kepada kembali

naiknya harga-harga komoditas di pasar internasional

meskipun masih lebih rendah dibandingkan harga tahun

sebelumnya. Harga minyak dunia yang sempat menurun

tajam hingga mencapai USD41,7/barel pada bulan Januari

2009, mulai bergerak pada semester II 2009 dan naik

hingga level USD79,4/barel pada Desember 2009.

Kenaikan harga minyak ini kemudian diikuti oleh kenaikan

harga komoditas lainnya seperti alumunium, tembaga,

timah, beras dan kopi.

Kenaikan permintaan dan kenaikan harga komoditas

mendorong naiknya kinerja ekspor. Meskipun secara

tahunan masih mencatat pertumbuhan negatif, ekspor

non-migas mencatat pertumbuhan positif sebesar 17,6%

pada triwulan IV 2009, sejalan dengan membaiknya

permintaan dunia. Sementara itu, di sisi impor terjadi

kontraksi yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penurunan

kebutuhan bahan baku impor untuk industri yang

berorientasi ekspor maupun menurunnya impor barang-

barang konsumsi.

Secara keseluruhan, kinerja sektor eksternal

Indonesia lebih baik dari prakiraan semula. Pada tahun

2009, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami

surplus sebesar USD12,5 miliar. Posisi cadangan devisa

Grafik 1.8Indeks Harga Beberapa Komoditas

Sumber : BI

0

100

200

300

400

500

600

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Minyak Tembaga

Timah EmasMinyak Sawit KopiBeras Aluminium

Grafik 1.9Nilai Ekspor Non-Migas Indonesia

Juta USDJuta USD

Sumber : BI

0

2000

4000

6000

8000

10000

2006 2007 2008 20090

2000

4000

6000

8000

10000ManufacturingMining and QuarryingAgriculture, Hunting, FishingTotal

Grafik 1.10Pertumbuhan Ekspor Impor

%

(60)

(40)

(20)

-

20

40

60

80

Ekspor

Impor

2007 2008 2009Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov

Page 23: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

13

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

mencapai USD66,1 miliar atau setara dengan 6,5 bulan

pembayaran impor dan utang luar negeri Pemerintah.

Sejalan dengan perkembangan NPI tersebut, nilai tukar

rupiah bergerak menguat dengan volatilitas yang semakin

rendah.

Dibandingkan akhir semester I 2009, pada akhir

semester II 2009 nilai tukar rupiah menguat sekitar 8%

hingga mencapai Rp9.404 per USD. Selama paruh kedua

2009, penguatan tertinggi terjadi pada triwulan IV 2009

yaitu dengan rata-rata sebesar Rp9.467 per USD.

Sementara itu, rata-rata volatilitas pergerakan nilai tukar

rupiah terhadap USD selama semester II 2009 adalah

0,36%, atau lebih rendah dibandingkan rata-rata volatilitas

semester sebelumnya yang sebesar 0,65%.2 Dengan

perkembangan tersebut, selama semester II 2009, nilai

tukar rupiah menguat cukup tinggi dibandingkan nilai

tukar mata uang negara Asia dan mata uang utama dunia

lainnya, kecuali terhadap nilai tukar mata uang Korea

Selatan.

Di sektor keuangan, optimisme terhadap pemulihan

kondisi ekonomi global serta kondisi perekonomian

domestik yang masih terjaga, pada gilirannya kembali

mendorong aliran masuk modal asing ke pasar keuangan

Indonesia. Kinerja pasar keuangan domestik kembali

membaik. Kondisi ini antara lain ditandai oleh peningkatan

kinerja pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan

(IHSG) pada akhir semester II 2009 berada pada level

2.534,36 atau meningkat dibandingkan akhir semester

sebelumnya yang berada pada level 2.026,78. Peningkatan

kinerja pasar saham domestik ini sejalan dengan

peningkatan kinerja pasar saham regional dan negara maju

lainnya. Sementara itu, secara sektoral, selama semester II

2009, kenaikan indeks harga saham tertinggi adalah pada

sektor Industri Dasar (Basic Industry) yang meningkat

sebesar 41,9% dari 192,9 pada akhir Juni 2009 menjadi

273,93 pada akhir Desember 2009.

Grafik 1.11Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (IDR/USD)

Sumber : Bloomberg

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

14.000

2007 2008 2009

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112

Rata-rata bulananRata-rata triwulananRata-rata semesteran

Grafik 1.12Plot Hasil Estimasi IDR/USD

(31 Des 08 s.d 30 Des 09)

Sumber : Bloomberg

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

14.000

2007 2008 2009

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112

Rata-rata bulananRata-rata triwulananRata-rata semesteran

Grafik 1.13Perkembangan Nilai Tukar Mata Uang Dunia

2009

Indeks

30 Juni 2009 = 100Peningkatan indeks = Apresiasi nilai tukar

85

90

95

100

105

110

115

Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

IDR SGD THB PHP

KRW EUR JPY

2 Volatilitas dihitung dengan menggunakan metode Exponential Weighted Moving Aver-age (EWMA) dengan time horizon 1 minggu ke depan dan tingkat kepercayaan 95%.

Page 24: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

14

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Kecenderungan apresiasi nilai tukar dan berbagai

kebijakan yang diambil oleh Pemerintah di masa krisis

untuk menjaga pasokan dan distribusi komoditas bahan

pangan menyebabkan inflasi«volatile food tercatat cukup

rendah dibandingkan pola historisnya. Perkembangan ini

berdampak kepada penurunan tekanan inflasi. Pada

Desember 2009 inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK)

tercatat sebesar 2,78% (yoy) atau menurun dibandingkan

inflasi Juni 2009 yang sebesar 3,65% (yoy). Dibandingkan

negara ASEAN lainnya, tingkat inflasi di Indonesia

tergolong masih cukup tinggi, terutama jika dibandingkan

dengan Malaysia dan Singapura. Meskipun demikian, iklim

investasi di Indonesia diperkirakan masih cukup menarik.

Hal ini karena tingkat imbal hasil penanaman dana di

Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan tingkat inflasi,

meskipun secara bertahap BI rate mengalami penurunan

sejak akhir tahun 2008. Secara riil tingkat bunga di

Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan beberapa

negara ASEAN lainnya, termasuk terhadap AS.

Ke depan, perekonomian Indonesia diperkirakan

akan terus membaik, meskipun masih terdapat berbagai

faktor risiko dan potensi ketidakpastian yang perlu terus

dicermati. Upaya percepatan momentum pertumbuhan

untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi masih akan

dihadapkan pada berbagai tantangan, antara lain potensi

kenaikan harga minyak dunia dan kelemahan daya saing

sektor industri di tengah-tengah peningkatan iklim

persaingan usaha terkait mulai diberlakukan ACFTA. Selain

itu, meskipun sudah terdapat indikasi menurun, angka

pengangguran yang masih cukup tinggi di AS dan Eropa

Grafik 1.14Indeks Harga Saham Global

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

2006 2007 2008 2009

SingaporeNYANew YorkIndonesiaNikkei

Sumber: Bloomberg

Grafik 1.15Indeks Harga Saham Sektoral

Sumber : Bloomberg

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

2006 2007 2008 20090

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000Basic Industry

Financial

Infrastructure

Manufacture

Mining

Property

Consumer

Grafik 1.16Perkembangan Inflasi ASEAN-5

Grafik 1.17Tingkat Bunga Riil Indonesia

y.o.y %

Sumber : CEIC

(5)

0

5

10

15

Jan Jun Nov Apr Sep Feb Jul Des2007 2008 2009

Filipina Singapura

Thailand Malaysia

Indonesia

Persen

Sumber : Bloomberg dan CEIC

-8,00

-6,00

-4,00

-2,00

0,00

2,00

4,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009

IndonesiaASSingapura

Page 25: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

15

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

dapat menjadi faktor risiko yang terus membayangi proses

pemulihan ekonomi dunia dan berimplikasi pada prospek

perekonomian domestik.

2. KONDISI SEKTOR RIIL

Seiring dengan berangsur membaiknya permintaan

domestik dan kondisi ekonomi global, di sektor riil mulai

terlihat adanya tanda-tanda perbaikan sejak awal semester

II 2009. Membaiknya permintaan eksternal mendorong

pertumbuhan sektor-sektor tradables, yaitu industri

pengolahan (subsektor makanan, minuman dan

tembakau, subsektor tekstil, subsektor kimia, dan

subsektor alat angkutan, mesin dan peralatannya), sektor

pertanian (subsektor perkebunan), dan sektor

pertambangan (subsektor pertambangan nonmigas).

Sementara itu, stabilnya permintaan domestik menjadi

pendorong bertumbuhnya sektor-sektor non-tradables

yaitu sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan

komunikasi dan sektor bangunan.

Dalam perkembangannya, pada triwulan IV 2009,

sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel

dan restoran menunjukkan perbaikan kinerja yang

signifikan. Pertumbuhan tahunan (yoy) sektor industri

pengolahan meningkat dari 1,3% pada triwulan III 2009

menjadi 4,2% pada triwulan IV 2009. Sementara, sektor

perdagangan, hotel dan restoran tumbuh sebesar 4,17%

(yoy) pada triwulan IV 2009, setelah tumbuh negatif

0,23% (yoy) pada triwulan III 2009.

Membaiknya kinerja di sektor industri pengolahan

tercermin dari peningkatan indeks dan utilisasi kapasitas

produksi sektor industri, serta beberapa indikator dari sisi

permintaannya, seperti perkembangan ekspor sektor

industri dan perkembangan penjualan mobil dan motor.

Sementara itu, dari sisi pembiayaan, dari awal tahun

sampai dengan akhir triwulan III 2009, kredit perbankan

yang disalurkan kepada sektor industri menunjukkan tren

yang melambat. Namun, pada triwulan IV 2009

pembiayaan dari perbankan pada sektor industri mulai

Grafik 1.18Indeks Produksi dan Utilisasi Kapasitas Produksi

Sektor Industri

Indeks (%)

95

100

105

110

115

120

2007 2008 20091 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

60

70

80

90Utilisasi Kapasitas Produksi (rhs)Indeks Produksi

Grafik 1.19Pertumbuhan Nilai Ekspor Sektor Industri dan

Pertumbuhan PDB Industri

Grafik 1.20Pertumbuhan Penjualan Mobil & Motor dan

Pertumbuhan PDB Industri

(%, yoy) (%, yoy)

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

-80

-40

0

40

80

120

gPDB Industri

gPenjualan Mobil (rhs)

gPenjualan Motor (rhs)

(%,yoy)(%,yoy)

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 42007 2008 2009

-40

-20

0

20

40

60

80gPDB Industri

gNilai Ekspor Sektor Industri (rhs)

Page 26: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

16

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

membaik, meskipun belum signifikan karena masih di

bawah rata-rata pertumbuhan keseluruhan tahun 2009.

Berbagai kebijakan Pemerintah untuk mendorong

perkembangan sektor riil, dalam hal ini sektor industri,

telah memberikan hasil-hasil yang positif, terutama untuk

meningkatkan ketahanan sektor industri dari dampak

negatif krisis ekonomi global. Kebijakan Pemerintah

tersebut antara lain mencakup program penggunaan

produk dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa

pemerintah, program restrukturisasi mesin/peralatan

industri tekstil dan alas kaki, serta pembatasan impor pada

produk makanan, alas kaki, pakaian, mainan anak dan

elektronika. Kebijakan yang pro sektor riil, dalam rangka

mendorong tumbuhnya sektor industri yang dilakukan

pemerintah, juga terlihat dari pemberian stimulus fiskal

berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP).

Stimulus fiskal yang diberikan pemerintah mampu diserap

sebesar 29,4% oleh sektor industri.

Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran,

membaiknya kinerja terutama didorong oleh

meningkatnya subsektor perdagangan besar akibat

peningkatan kinerja ekspor-impor yang didukung oleh

perbaikan daya beli masyarakat. Perbaikan tersebut terlihat

pada perkembangan indikator penuntun (leading indicator)

yang sudah memasuki fase ekspansi hingga satu triwulan

ke depan. Begitu pula dengan Composite Prompt Indicator

sektor perdagangan yang menunjukkan tren membaik

sampai dengan pertengahan triwulan IV 2009.

Grafik 1.21Pertumbuhan Kredit Sektor Industri Pengolahan dan

Pertumbuhan PDB Industri

(%, y-o-y) (%, y-o-y)

0

1

2

3

4

5

6

7

2007 2008 2009 2010

gPDBIndustrigKreditPengolahanRiil (rhs)Rata-rata gKreditPengolahanRiil (rhs)

I II III IV I II III IV I II III IV I-20

-10

0

10

20

30

40

Grafik 1.22Leading Indicator Sektor Perdagangan, Hotel dan

Restoran

Grafik 1.23Composite Prompt Indicator Sektor Perdagangan,

Hotel dan Restoran

Grafik 1.24Indeks Penjualan Eceran

Composite Indicators :CPI, Hotel Occupancy Jakarta,IPI Machinery Equipments,IPI Paper Products,IPI Rubber Plastic Products,Exhange Rate, Visitors Arrival at 13 Main Gates

avg fase kontraksi : 15,2 bulanavg fase ekspansi : 19,2bulan

98

99

99

100

100

101

101

102

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

gPDBPerdag

CLI

(%, yoy) (%, yoy)

-2

0

2

4

6

8

10

2008 2009 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

-20

-10

0

10

20

30

40gPDB Perdagangan

gSPE_BI (cma, rhs)

(%, yoy) Index

r=0.961

-2

0

2

4

6

8

10

2008 2009 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

-2,0

-1,5

-1,0

-0,5

0,0

0,5

1,0

1,5gPDB Perdagangan

Composite Prompt Perdagangan (rhs)

Page 27: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

17

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

keuangan perusahaan-perusahaan non keuangan yang

tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) setelah sebelumnya

mendapat tekanan cukup signifikan pada semester I 2009.

Perbaikan kinerja perusahaan tersebut dapat diamati dari

naiknya Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE)

apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun

sebelumnya.

Mulai pulihnya kondisi korporasi Indonesia antara

lain terlihat dari perkembangan current ratio (aset likuid

dibagi utang likuid) dan inventory turn over ratio

(persediaan dibagi penjualan total). Selama periode

laporan, current ratio mengalami peningkatan sementara

inventory turn over ratio menurun. Peningkatan current

ratio mencerminkan perbaikan kondisi likuiditas korporasi,

sementara penurunan inventory turn over ratio

mengindikasikan bahwa korporasi mampu mengelola

inventory dengan lebih efisien. Namun demikian,

collection period tampaknya tidak berubah signifikan.

Grafik 1.25Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen Domestik

Indeks

140,0

130,0

120,0

110,0

100,0

90,0

80,0

70,0

60,0

Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini

Indeks Ekspektasi KonsumenIndeks Keyakinan Konsumen

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1122008 2009 20102007

Optimis

Pesimis

Grafik 1.26Pertumbuhan ROA dan ROE

Perusahaan Non Financial Go Public

Tw1 Tw2Tw3 Tw4 Tw1 Tw2Tw3 Tw4 Tw1 Tw2Tw3 Tw4Tw1 Tw2Tw3 Tw4Tw1 Tw2Tw3 Tw4 Tw1 Tw2Tw3 Tw4Tw1 Tw2Tw3-300

-200

-100

0

100

200

300

400

500

600

700

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

-200

-100

0

100

200

300

400ROA (kiri)

ROE (kanan)

Grafik 1.27Indikator Kunci Keuangan Korporasi

Current Ratio

ROA

ROE

Inventory Turn OverRatio

Collection Period

DER

0

1

2

3

4

5

2008:Q3

2009:Q3

Daya beli masyarakat yang membaik mendorong

peningkatan konsumsi masyarakat baik untuk barang-

barang tahan lama maupun barang-barang habis pakai.

Indikasi membaiknya kinerja sektor perdagangan juga

tercermin dari Indeks Penjualan Eceran yang sampai

dengan akhir triwulan IV 2009 berada dalam tren yang

meningkat.

Sementara itu, sejalan dengan pemulihan kondisi

ekonomi global, selama semester II 2009, konsumsi rumah

tangga masih tumbuh pada level yang cukup tinggi

didorong oleh daya beli masyarakat yang relatif stabil dan

tingkat keyakinan konsumen yang masih terjaga.

Membaiknya ekspor dan tetap tingginya konsumsi

rumah tangga pada gilirannya mendorong kinerja sektor

korporasi. Hal ini dapat diamati dari membaiknya kinerja

Dari sisi pembiayaan, terdapat indikasi sektor

korporasi lebih mengandalkan modal sendiri dan

cenderung mengurangi pinjaman dana dari pihak ketiga,

baik itu perbankan maupun penerbitan obligasi dan surat

berharga lainnya. Hal ini dapat diamati dari cenderung

turunnya rasio debt to equity ratio (DER) dan rasio total

debt to total aset (Debt/TA).

Page 28: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

18

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Grafik 1.29Probability of Default (PD) Perusahaan Non Keuangan yang Go Public

Probability of Default

Jumlah

0

50

100

150

200

250

0.0-0.1 0.1-0.2 0.2-0.3 0.3-0.4 0.4-0.5 0.5-0.6 0.6-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9 0.9-1.0

201

5 4 4 0 0 1 0 0

23

Probability of Default

Jumlah

0

50

100

150

200

250

0.0-0.1 0.1-0.2 0.2-0.3 0.3-0.4 0.4-0.5 0.5-0.6 0.6-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9 0.9-1.0

193

11 1 4 2 1 1 0 1

24

Grafik 1.28Perkembangan DER dan Debt/TA

Perusahaan Non Financial Go Public

Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw30,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

1,40

1,60

1,80

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

DER Debt/TA

Grafik 1.30Rasio Kewajiban Neto Valas

terhadap Ekuitas Konglomerasi

%

(150)

(100)

(50)

0

50

100

150

R Z AD AK AN AM A AI N F AC AL AO S K M AE AQ I T Q AR W

Rasio kewajiban neto valasthp equity > 25%

Sementara itu, ke depan diperkirakan akan terjadi

peningkatan risiko kredit terutama bagi sektor korporasi

yang berorientasi ekspor dan terpengaruh dengan adanya

ACFTA. Potensi peningkatan risiko kredit tercermin pada

Probability of Default (PD) perusahaan-perusahaan non

keuangan yang telah go public yang cenderung naik. Hasil

estimasi menunjukkan bahwa jumlah perusahaan dengan

PD lebih besar dari 0,5 akan meningkat dari 24 perusahaan

pada September 2009 menjadi 27 perusahaan pada

September 2010.

Selain risiko kredit, perusahaan-perusahaan di sektor

riil juga berpotensi menghadapi risiko nilai tukar. Hal itu

antara lain karena terdapat sekitar 16 konglomerasi besar

yang memiliki rasio kewajiban neto valas terhadap modal

lebih dari 25%, bahkan 2 diantaranya memiliki rasio lebih

dari 100%. Selain itu, hasil stress test terhadap 46

konglomerasi besar di Indonesia per September 2009,

menunjukkan apabila nilai tukar rupiah melemah menjadi

Rp17.000 per USD, terdapat potensi risiko terganggunya

kinerja 1 konglomerasi sehingga permodalannya turun

sebesar 80%. Oleh karena itu, konglomerasi perlu

melakukan langkah-langkah mitigasi risiko yang tepat

untuk mencegah kerugian apabila terjadi shock pada nilai

tukar.

Meskipun selama semester II 2009 kinerja sektor riil

mulai membaik, ke depan masih terdapat beberapa

tantangan yang cukup berat, antara lain terkait dengan

stabilitas sistem keuangan dan ketahanan perekonomian.

Kondisi pasar keuangan global yang belum stabil

Page 29: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

19

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Persentasepengurangan ekuitas

IDR/USD

10.000 10.500 11.000 11.500 12.000 12.500 13.000 13.500 14.000 14.500 15.000 15.500 16.000 16.500 17.000

Tabel 1.2Pengaruh Pelemahan Nilai Tukar Rupiah terhadap Ekuitas Konglomerasi

Jumlah korporasiJumlah korporasiJumlah korporasiJumlah korporasiJumlah korporasiyg ekuitasnya terbebaniyg ekuitasnya terbebaniyg ekuitasnya terbebaniyg ekuitasnya terbebaniyg ekuitasnya terbebani

10% 2 6 6 7 7 8 8 7 7 8 5 4 220% 2 2 4 6 5 4 2 2 5 4 630% 1 2 1 1 4 5 3 2 3 240% 1 2 1 1 3 4 4 350% 1 1 1 360% 1 2 170% 1 2 180% 190%

100% 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

11111 11111 33333 77777 99999 1111111111 1414141414 1717171717 1717171717 1818181818 1818181818 1919191919 1919191919 1919191919 1919191919

berpotensi memicu kemungkinan pembalikan aliran modal

asing apabila indikator-indikator pemulihan ekonomi

khususnya di negara maju kembali melemah. Hal ini

diperkirakan dapat mengganggu stabilitas sistem

keuangan domestik. Selain itu, berbagai permasalahan

mikro struktural di sektor riil yang belum selesai seperti

lemahnya daya saing sektor industri dan pembangunan

infrastruktur yang masih tersendat perlu terus dicermati

khususnya dalam menghadapi persaingan pasar yang

semakin ketat menyusul pemberlakuan ACFTA.

Page 30: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

20

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 31: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

21

Bab 2 Sektor Keuangan

Bab 2Sektor Keuangan

Page 32: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

22

Bab 2 Sektor Keuangan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 33: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

23

Bab 2 Sektor Keuangan

Sektor KeuanganBab 2

2.1. STRUKTUR SISTEM KEUANGAN INDONESIA

Selama semester laporan, tidak terdapat perubahan

yang signifikan pada struktur sistem keuangan Indonesia.

Industri perbankan yang terdiri dari bank umum dan bank

perkreditan rakyat (BPR) masih tetap mendominasi dengan

pangsa sekitar 80% dari total asset sektor keuangan.

Sementara, pangsa industri keuangan lainnya seperti

asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, sekuritas

dan pegadaian relatif masih rendah.

Sejalan dengan itu, total aset bank umum mengalami

peningkatan sebesar Rp224,3 triliun (9,7%) menjadi

Rp2.534,1 triliun pada akhir Desember 2009. Dengan

adanya merger antara 2 bank besar, maka sekitar 70%

aset perbankan tidak lagi dikuasai oleh 15 bank besar

(sebagaimana dilaporkan pada KSK edisi-edisi sebelumnya)

namun oleh 14 bank besar. Sementara, pasar keuangan

Selama semester II 2009, sektor keuangan Indonesia terus bertumbuh

dan terjaga stabilitasnya. Hal itu ditopang oleh cukup kondusifnya

perekonomian domestik serta mulai terlihatnya tanda-tanda pemulihan

perekonomian global. Perbankan sebagai industri yang mendominasi

sektor keuangan Indonesia masih tetap menunjukkan kinerja yang positif,

meskipun dari sisi pelaksanaan fungsi intermediasi terlihat belum

menggembirakan. Sementara itu, kinerja pasar saham dan pasar SUN

terus membaik sehingga meningkatkan minat investor baik domestik

maupun asing untuk terus melakukan penanaman.

non bank selama semester II 2009 juga menunjukkan

perkembangan yang cukup baik. Hal ini terlihat dari Indeks

Harga Saham Gabungan (IHSG) yang meningkat 25,04%

menjadi 2.534,36, sedangkan Indeks IDMA Harga Surat

Utang Negara (SUN) naik 4,02% menjadi 94,33.

Grafik 2.1Komposisi Aset Lembaga Keuangan

1,1%

8,8%3,1%

4,4% 2,7% 0,4%

79,5%

Bank Umum Komersial

Bank Perkreditan Rakyat

Perusahaan Asuransi

Dana Pensiun

Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan Sekuritas

Pegadaian

Page 34: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

24

Bab 2 Sektor Keuangan

2. 2. KETAHANAN SEKTOR KEUANGAN

Salah satu indikator yang digunakan dalam menilai

ketahanan sektor keuangan adalah Indeks Stabilitas

Keuangan√(Financial Stability Index atau FSI).1 Selama

semester laporan, ketahanan sektor keuangan terus

membaik, tercermin pada penurunan FSI dari 1,94 (Juni

2009) menjadi 1,91 (Desember 2009). Dengan demikian

proyeksi FSI sebesar 1,90 pada akhir 2009 dapat dikatakan

tercapai. Perbaikan FSI ini didukung oleh kualitas kredit

perbankan yang relatif terkendali, serta penurunan

volatilitas di pasar saham dan pasar SUN.

Sebagaimana dikemukakan pada KSK edisi-edisi

sebelumnya, batas indikatif maksimum FSI adalah 2,00.

Sebagai perbandingan, pada saat krisis global berimbas

kepada Indonesia, FSI menunjukkan angka tertinggi

sebesar 2,43 pada bulan November 2008. Sementara, pada

saat puncak krisis 1997/1998, angka FSI terlihat jauh lebih

tinggi, yaitu mencapai 3,23.

Patut pula dicatat bahwa FSI sebesar 1,94 pada Juni

2009 merupakan untuk pertama kalinya FSI berada di

bawah 2,00 setelah krisis global. Sebelumnya, sepanjang

paruh pertama 2009 (s.d. bulan Mei), FSI selalu berada di

atas 2,00. Namun, sejak Juni 2009 s.d. Februari 2010, FSI

selalu konsisten di bawah 2,00 dengan angka terendah

sebesar 1,90 pada bulan Januari dan Februari 2010.

Perkembangan FSI dari waktu ke waktu ini memperlihatkan

semakin terjaganya stabilitas keuangan.

Dengan kondisi global maupun domestik yang secara

umum mulai membaik, FSI pada akhir semester I (Juni)

2010 diproyeksikan berada pada rentang 1,59-2,16

dengan baseline sebesar 1,87. Proyeksi tersebut didasarkan

pada perkiraan bahwa meskipun risiko kredit perbankan

masih akan mengalami peningkatan, namun stabilitas di

pasar saham dan pasar SUN diperkirakan akan semakin

terus membaik. Meningkatnya stabilitas di kedua pasar

tersebut tidak terlepas dari ekspektasi semakin

membaiknya fundamental ekonomi dan semakin dekatnya

sovereign rating Indonesia pada peringkat investasi

(investment grade).

1 Metodologi dan pendekatan yang digunakan dalam menghitung FSI dapat dilihat padaKSK No. 8 Maret 2007 dan No. 9 September 2008.

2.3. PERBANKAN

2.3.1. Pendanaan dan Risiko Likuiditas

Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK)

Sampai dengan akhir semester II 2009, perbankan

Indonesia masih mengandalkan DPK sebagai sumber

pendanaan (funding). Apabila dilihat dari rentang waktu

yang lebih panjang, sejak tahun 2000, dominasi DPK

sebagai sumber dana bank rata-rata mencapai

86,04%.Sedangkan sumber lainnya, seperti Surat Berharga

yang diterbitkan, Pinjaman yang diterima, dan Modal,

masing-masing hanya dengan pangsa rata-rata sebesar

0,95%, 1,24%, dan 11,77%.

Grafik 2.2Indeks Stabilitas Keuangan (Financial Stability Index)

Krisis 1997/1998 : 3,23

Krisis Global (Nov 2008) : 2,43MiniKrisis 2005 : 2,33

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

3,50

2,16

1,59

1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9

19961997 1998 19992000 2001 20022003200420052006 2007 20082009 2010

Des2009: 1.91

Jun 2010(p): 1.87

FSI 1996 - 2010

Share DPK (%)

Deposito

Tabungan

Modal

GiroPinjaman

SuratBerharga

1.000

900

800

700

600

500

400

300

200

100

-2000 2001 2002 2003 2004 2005 200920082006 2007

89

88

87

86

85

84

83

82

Grafik 2.3Komposisi Sumber Dana Perbankan (Rp T)

Page 35: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

25

Bab 2 Sektor Keuangan

memberikan return yang tinggi. Sementara untuk

komponen giro, karena paling likuid sehingga mudah

ditarik atau dilakukan switching apabila diperlukan.

Per Desember 2009, DPK yang berhasil dihimpun

oleh perbankan mencapai Rp1.973,0 triliun atau dalam

satu semester terakhir naik sebesar Rp148,8 triliun (8,2%).

Kenaikan tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan

pencapaian pada paruh pertama tahun yang sama yang

hanya sebesar Rp71,0 triliun (4,1%). Hal itu

mengindikasikan bahwa kondisi perekonomian yang terus

membaik semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat

terhadap perbankan.

Peningkatan DPK yang terjadi selama periode laporan

bersumber dari semua komponen (giro, tabungan, dan

deposito). Diantara ketiga komponen tersebut, tabungan

menyumbang kenaikan yang terbesar, yaitu Rp90,5 triliun

atau 17,6%, diikuti oleh deposito dan giro masing-masing

sebesar Rp39,6 triliun (4,6%) dan Rp18,8 triliun (4,2%).

2 Primary Reserves diasumsikan terdiri dari Kas dan Giro pada BI. Sementara, SecondaryReserves terdiri dari SBI, Penempatan pada BI lainnya (Fasbi/FTK), dan SUN (trading danAvailable for Sale). Sedangkan Tertiary Reservesterdiri dari SUN (Hold to maturity).

Sementara itu, tren penguatan Rupiah pada tahun

2009 tampaknya mendorong meningkatnya preferensi

masyarakat untuk menanamkan dananya di perbankan

dalam bentuk valuta asing (valas). Kemungkinan besar hal

ini memiliki motivasi untuk profit taking pada saat rupiah

melemah. Sejalan dengan itu, selama semester II 2009,

DPK valas naik sebesar USD5,1 miliar atau Rp24,7 triliun.

Peningkatan tersebut terjadi pada semua komponen,

namun terlihat lebih besar dalam bentuk deposito dan giro.

Untuk komponen deposito, diperkirakan karena mampu

Kecukupan Likuiditas

Peningkatan sumber dana yang cukup signifikan,

terlebih pada saat pertumbuhan kredit relatif lamban,

memberikan ruang gerak yang cukup besar bagi

perbankan untuk meningkatkan penempatannya pada

aset likuid. Sepanjang semester II 2009 alat likuid bank

yang terdiri dari primary reserves secondary reserves, dan

tertiary reserves meningkat sebesar Rp34,2 triliun (5,1%).2

Dibandingkan dengan semester sebelumnya, kenaikan ini

masih lebih tinggi. Pada paruh pertama 2009 perbankan

hanya mampu meningkatkan penempatan pada aset likuid

sebesar Rp23,1 triliun (3,5%).

Selama periode laporan, kenaikan alat likuid yang

cukup signifikan terjadi pada bulan Desember 2009 seiring

dengan peningkatan tajam DPK. Hal tersebut antara lain

dipicu oleh pemberlakuan GWM dengan kewajiban

membentuk secondary reserves sebesar 2,5% sejak

Oktober 2009 yang mendorong perbankan untuk

memupuk alat likuid berupa SBI dan SUN. Namun

Grafik 2.4Perkembangan DPK per Komponen

Rp T

350

400

450

500

550

600

650

700

Des Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des2008 2009

600

700

800

900

1.000Giro (lhs)

Tabungan (lhs)

Deposito (rhs)

2007

Grafik 2.5DPK Valas - Kurs IDR/USD

RupiahUSD Miliar

22

26

30

34

38

42

Des Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des2007 2008 2009

8.000

9.000

10.000

11.000

12.000

13.000DPK valas (lhs)

Kurs (rhs)

Page 36: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

26

Bab 2 Sektor Keuangan

kecenderungan perbankan melakukan profit taking atas

kepemilikan SUN sejak pertengahan semester II 2009

mengakibatkan kepemilikan SUN oleh perbankan turun

sekitar 9,4%

Berdasarkan jenisnya, kenaikan alat likuid perbankan

selama semester II 2009 bersumber dari peningkatan

primary reserves sebesar Rp27,3 triliun (21,0%) dan

secondary reserves selain SUN sebesar Rp25,9 triliun

(6,4%), khususnya berupa Fasbi/FTK. Peningkatan alat

likuid yang didominasi oleh instrumen dengan jangka

waktu yang lebih pendek mengindikasikan tingginya motif

berjaga-jaga perbankan dalam mengantisipasi kebutuhan

likuiditas.

pendek. Oleh karena itu, guna meminimalisir risiko

likuiditas, bank akan memelihara alat likuid dalam jumlah

tertentu. Salah satu indikator yang menunjukkan

terpeliharanya kondisi likuiditas dengan baik adalah rasio

alat likuid3 terhadap kewajiban segera yang dalam hal ini

diasumsikan sebesar non core deposits (NCD)4. Rasio ini

menunjukkan kemampuan bank untuk dapat memenuhi

kewajiban likuiditas dalam jangka pendek.

Selama tahun 2009, rasio alat likuid ini terus

membaik. Setelah sempat mencapai titik terendah karena

imbas krisis global pada tahun 2008, yaitu sebesar 84,9%,

maka pada akhir Desember 2009, rasio ini mencapai

Grafik 2.7Pangsa Alat Likuid per Kelompok Bank

Grafik 2.8Rasio Alat Likuid

Grafik 2.6Alat Likuid Bank

Rp T

0

90

180

270

360

450

500

550

600

650

700

750

Des Mar Jun Sep Des2008 2009

Primary Reserves Secondary Reserves

Tertiary Reserves TOTAL AL (rhs)

Sementara itu, kepemilikan alat likuid oleh bank

dengan total aset di atas Rp15 triliun tampaknya masih

mendominasi, yaitu dengan pangsa sebesar 85,72% dari

total alat likuid perbankan. Secara umum, secondary

reserves merupakan komponen alat likuid yang paling

diminati dengan pangsa yang mencapai lebih dari 50%.

Diantara komponen secondary reserves, penempatan pada

SBIadalah yang tertinggi.

Pada dasarnya, kepemilikan alat likuid diperlukan

bank sebagai antisipasi terhadap kebutuhan likuiditas,

khususnya yang bersifat segera dan yang berjangka waktu

TA <1 T TA 1-5 T TA 5-15 T TA >15 T

0,71% 4,18%9,39%

85,72%

3 Alat likuid yang diperhitungkan dalam rasio ini terdiri dari kas dan penempatan pada BI.4 NCD terdiri dari 30% giro + 30% tabungan + 10% deposito s.d 3 bulan.

60

120

180

0

100

200

300

400

Jul '08 Okt'08 Jun '09 Des'09

Rp T

Alat Likuid NCD Alat Likuid/NCD

%

Des '07

147,7

119,3

102,592,0

84,9

101,495,4

97,6109,1

109,2

107,8

104,7

114,6

Page 37: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

27

Bab 2 Sektor Keuangan

sebesar 114,6% atau telah melampaui batas minimum

100%. Angka rasio ini juga membaik jika dibandingkan

dengan kondisi pada awal tahun 2009.

Pasar Uang Antar Bank (PUAB)

Seiring dengan membaiknya kondisi likuiditas

perbankan, aktivitas bank pada PUAB juga membaik.

Secara umum, transaksi PUAB, baik Rupiah maupun Valas

selama semester II 2009, lebih baik dibandingkan dengan

periode yang sama tahun 2008 (pada saat terimbas krisis

global), dan semester I 2009.

Namun, data yang ada menunjukkan bahwa volume

PUAB pada triwulan akhir 2009 menunjukkan penurunan.

Hal itu antara lain akibat tingginya likuiditas harian

perbankan sehingga kebutuhan untuk bertransaksi di

PUAB menjadi rendah. Volume transaksi yang relatif rendah

tersebut terus berlanjut hingga akhir tahun, dipengaruhi

beberapa faktor, yaitu: (i) kembali masuknya uang kartal

pasca hari Raya Idul Fitri sehingga mayoritas pelaku pasar

mengalami ekses likuiditas dengan penyebaran yang lebih

merata, (ii) adanya kucuran dana Pemerintah terutama

untuk pembiayaan proyek menjelang akhir tahun, dan (iii)

perbankan kembali mengantisipasi penarikan kartal

menjelang libur Natal dan Tahun Baru dengan menjaga

ketersediaan likuiditas harian di FTK dan FASBI.

Sementara itu, sepanjang semester laporan tidak

terlihat adanya transaksi antar bank di luar batas

kewajaran. Rata-rata harian volume transaksi PUAB Rupiah

terus meningkat meskipun pada triwulan akhir 2009 sedikit

menurun. Sedangkan pada PUAB valas, rata-rata harian

volume transaksi terus meningkat, meskipun belum

kembali ke level sebelum terimbas krisis global pada tahun

2008.

Grafik 2.9Volume Transaksi O/N PUAB DN (Rata-rata per hari)

Grafik 2.10Suku Bunga PUAB Pagi O/N

USD JutaRp T

Jan'08 Jun'08 Nov'08 Apr'09 Sept'090

4

8

12

0

100

200

300

400

500

PUAB Rupiah PUAB Valas

%

Sk. Bunga O/N Terendah Sk. Bunga O/N Tertinggi

Rata-rata TertimbangSk. Bunga O/N

BI rate

01/05/09 03/11/09 05/18/09 07/24/09 10/01/09 12/04/095

6

7

8

9

10

Di sisi lain, suku bunga transaksi PUAB Rupiah juga

cukup terkendali dengan tingkat fluktuasi yang wajar.

Selama semester laporan, tidak terdapat transaksi dengan

suku bunga transaksi yang jauh di atas atau di bawah rata-

rata tertimbang suku bunga PUAB. Sejak pertengahan

tahun 2009, rata-rata tertimbang suku bunga PUAB Rupiah

overnight cenderung berada di bawah BI rate. Secara

keseluruhan, kondisi PUAB ini mencerminkan bahwa risiko

likuiditas industri perbankan cukup terkendali.

Grafik 2.11Suku Bunga PUAB O/N Sore

%

01/05/09 03/11/09 05/18/09 07/24/09 10/01/09 12/04/09

5

6

7

8

9

10Sk. Bunga O/N Terendah Sk. Bunga O/N Tertinggi

Rata-rata TertimbangSk. Bunga O/N

BI rate

Page 38: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

28

Bab 2 Sektor Keuangan

adalah karena aktivitas ekonomi yang melambat sebagai

dampak dari krisis global.

Namun demikian, Kredit Investasi (KI) masih tumbuh

dengan cukup baik. Selama 2009, KI tumbuh sebesar

16,4% atau secara nominal meningkat Rp42 triliun.

Mengingat KI merupakan kredit jangka menengah/

panjang untuk pembelian barang-barang modal, adanya

pertumbuhan yang cukup besar menunjukkan bahwa

prospek ekonomi ke depan masih dipandang positif oleh

perbankan.

2.3.2. Perkembangan dan Risiko Kredit

Perkembangan Kredit

Sama halnya dengan kondisi pada paruh pertama

2009, selama semester II pertumbuhan kredit juga masih

belum menggembirakan. Hal ini cenderung berlawanan

dengan pertumbuhan DPK yang terlihat masih cukup

tinggi. Bahkan penyaluran kredit yang cukup besar baru

terjadi pada dua bulan terakhir di tahun 2009 dengan

jumlah sekitar Rp60 triliun. Akibatnya, selama 2009 kredit

hanya bertumbuh 10%, atau jauh di bawah target sesuai

Rencana Bisnis Bank (RBB) sekitar 15%. Rendahnya

penyaluran kredit ini, sebagaimana yang akan dijelaskan

kemudian, disebabkan oleh beberapa faktor, terutama

sebagai imbas krisis global yang tercermin pada rendahnya

pertumbuhan kredit untuk modal kerja, industri

pengolahan dan kredit untuk korporasi, serta

pertumbuhan negatif kredit valas.

Sepanjang tahun 2009, kredit perbankan lebih

banyak disalurkan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif.

Sekitar 54% dari total peningkatan kredit selama tahun

tersebut ditujukan untuk kredit Konsumsi. Sementara

sumbangan Kredit Modal Kerja (KMK), yang merupakan

kredit produktif, hanya sebesar 14%. Selama 2009 KMK

hanya tumbuh 2,7%, padahal selama dua tahun

sebelumnya (2007 dan 2008), KMK mampu bertumbuh

sekitar 28%. Penurunan pertumbuhan KMK tersebut

Sementara itu, perlambatan aktivitas ekonomi juga

berdampak pada menurunnya penyaluran kredit untuk

sektor Industri Pengolahan. Selama 2009, kredit untuk

sektor ini hanya mampu bertumbuh sebesar 8,8%, padahal

pada tahun 2008 mampu bertumbuh sebesar 32%.

Sepanjang 2009 kredit valas bertumbuh negatif

17,4%. Hal itu terutama karena aktivitas ekspor/impor

Grafik 2.12Pertumbuhan Kredit dan DPK (% yoy)

%

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

G_Kredit

G_DPK

Grafik 2.13Pertumbuhan Kredit Per Jenis Penggunaan

2009

2008

2007

KMK

KI

KK

%

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0

28,6%

28,4%2,7%

23,2% 37,4%

16,4%

24,9%

29,9%19,0%

Grafik 2.14Pertumbuhan Kredit Per Sektor Ekonomi

%

-20

0

20

40

60

80

100

Pertanian

Pertambangan

Industri Listrik Konstruksi

Perdagangan

Pengangkutan

JasaDuniaUsaha

JasaSosial

Lain-lain

2007

20082009

16,1%9,3%

33,1%

17,0%8,2%

15,2%

-1,0%

18,8%32,9%

-8,8%

Page 39: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

29

Bab 2 Sektor Keuangan

korporasi diperkirakan juga karena adanya alternatif yang

lebih luas bagi perusahaan besar dalam memperoleh

sumber pembiayaan, seperti penerbitan obligasi atau

saham. Kedua opsi ini lebih murah dibandingkan dengan

kredit mengingat suku bunga kredit perbankan yang masih

relatif tinggi, rata-rata di atas 13%.

Selain karena faktor permintaan, perlambatan

pertumbuhan kredit ditengarai juga dipengaruhi oleh

kebijakan internal perbankan (faktor penawaran).

Beberapa bank, terutama yang memiliki keterkaitan

dengan bank-bank luar negeri, dalam rangka

mengantisipasi dan memitigasi dampak krisis global

memilih untuk melakukan konsolidasi dan pembenahan

internal, antara lain dengan restrukturisasi kredit. Hal ini

antara lain tercermin dari menurunnya jumlah kredit

bermasalah di sektor Industri Pengolahan yang seharusnya

meningkat jumlahnya sebagai dampak dari krisis global.

Risiko Kredit

Perlambatan pertumbuhan kredit tidak terlepas dari

meningkatnya risiko kredit, tercermin dari kecenderungan

meningkatnya jumlah kredit bermasalah di perbankan.

Secara umum, kondisi ini merupakan imbas dari krisis

global. Tidak mengherankan bahwa perbankan menjadi

lebih selektif dalam menyalurkan kredit karena potensi

menjadi kredit bermasalah mengalami peningkatan.

Setelah mencapai puncaknya pada Juli 2009,

perlahan-lahan tekanan risiko kredit yang ditunjukkan oleh

peningkatan NPL, mulai menunjukkan penurunan pada

semester II. Sejalan dengan prospek perekonomian yang

mulai membaik, serta program restrukturisasi kredit yang

relatif berhasil, tekanan risiko kredit perbankan mulai

berkurang. Untuk memitigasi risiko kredit, perbankan

membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif

(PPAP) kredit yang cukup besar. Selama tahun 2009, terjadi

peningkatan PPAP kredit tercatat sebesar Rp12,7 triliun,

yang mengalami penurunan sejalan dengan memburuknya

kondisi perekonomian beberapa negara mitra dagang

utama Indonesia. Hubungan erat antara kredit valas

dengan kegiatan ekspor/impor ini antara lain terlihat dari

hasil uji korelasi antara pertumbuhan kredit valas dengan

kegiatan ekspor/impor yang menunjukkan koefisien

korelasi yang sangat tinggi, yaitu sebesar 0,92. Meskipun

kredit valas bertumbuh negatif, namun kredit dalam rupiah

masih bertumbuh cukup tinggi√mencapai 16,5%.

Sementara itu, perbankan juga semakin cenderung

memfokuskan penyaluran kreditnya untuk kredit Mikro,

Kecil dan Menengah (MKM). Selama 2009, kredit MKM

berhasil tumbuh sebesar 16,3% sedangkan kredit Non

MKM atau kredit korporasi (kredit dengan nominal diatas

Rp5 miliar) hanya tumbuh sebesar 4%. Penyaluran kredit

MKM didominasi oleh Kredit Kecil yaitu kredit dengan nilai

nominal antara Rp50 juta s.d Rp500 juta. Selain karena

imbas krisis global, perlambatan pertumbuhan kredit

Grafik 2.16Pertumbuhan Kredit MKM dan Non MKM

%

2007 2008 2009

22,5%26,1%

16,3%

30,8%35,0%

4,0%

0

5

10

15

20

25

30

35

40

MKM Non MKM

Grafik 2.15Pertumbuhan Kredit Per Valuta

%

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

50

200720082009

Rupiah Valas Total

24,0%

33,2%

16,5%

36,8%

20,4%

-17,4%

26,5% 30,5%

10,0%

Page 40: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

30

Bab 2 Sektor Keuangan

Grafik 2.20Rasio NPL Sektor Perdagangan

Grafik 2.18Rasio NPL Per Sektor Ekonomi

Grafik 2.19Rasio NPL Sektor Industri Pengolahan

Kredit yang risikonya cenderung meningkat selama

tahun 2009 adalah untuk sektor Perdagangan, restoran

dan hotel. Dari total Rp5,7 triliun peningkatan jumlah NPL

perbankan selama tahun tersebut, sektor ini menyumbang

sebesar Rp4,2 triliun kenaikan jumlah NPL. Meskipun

terdapat kenaikan jumlah NPL, ternyata pertumbuhan

kredit untuk sektor ini masih cukup besar mencapai Rp41,7

triliun. Hal itu menunjukkan bahwa aktivitas usaha

perdagangan, restoran dan hotel masih cukup menggeliat

di tengah krisis ekonomiglobal. Namun demikian,

peningkatan jumlah NPL tersebut menyebabkan rasio NPL

sektor ini yang telah sempat turun hingga menjadi dibawah

4% pada akhir tahun 2008 kembali meningkat menjadi

di atas 4% di penghujung tahun 2009. Selain itu, seluruh

sub sektor Perdagangan, restoran dan hotel mengalami

peningkatan risiko kredit seperti tercermin dari

peningkatan rasio NPL nya.

sehingga rasio NPL net turun cukup signifikan dari 0,8%

pada akhir tahun 2008 menjadi 0,3% pada akhir 2009.

Sedangkan rasio NPL gross hanya naik tipis dari 3,2%

menjadi 3,3% untuk periode yang sama.

Sampai dengan pertengahan tahun 2009,

peningkatan risiko kredit terutama bersumber dari kredit

untuk sektor Industri Pengolahan, yang terdiri dari

beberapa subsektor seperti tekstil dan kayu yang sangat

rentan terhadap kondisi perekonomian global. Dengan

memburuknya perekonomian global, rasio NPL gross kredit

sektor Industri Pengolahan sempat melonjak hingga 7,6%

pada Juli 2009. Namun dengan berbagai langkah yang

dilakukan oleh perbankan, termasuk restrukturisasi kredit

dan memperlambat penyaluran kredit ke sektor tersebut

sehingga pertumbuhan kreditnya turun 3,8% selama

tahun 2009, berhasil menurunkan rasio NPL hingga

menjadi 5%, yang merupakan rasio NPL sektor Industri

Pengolahan terendah sejak krisis 1997.

Grafik 2.17Perkembangan NPL

PPAP (rhs)NPL Nominal (rhs)

(%) (triliun)

NPL Gross

NPL Net (lhs)

-

1

2

3

4

5

6

7

8

9

2006 2007 2008 200930

35

40

45

50

55

60

65

70

75

%

0

1

2

3

4

5

6

7

8

3,2

0,1

3,64,1

2,4 2,2

4,4

2,6

5,0

1,8

Des07Des08Des09

Pertanian Pertambangan

Industri Listrik Konstruksi

Perdagangan

Pengangkutan

JasaDuniaUsaha

JasaSosial

Lain-lain

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

0

5

10

15

20

25

30

35

40

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Page 41: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

31

Bab 2 Sektor Keuangan

Sementara itu, pertumbuhan kredit Konsumsi yang

masih cukup baik sepanjang tahun 2009 tidak terlepas

dari risikonya yang masih relatif rendah, terlihat dari rasio

NPL yang stabil pada kisaran 2,6%. Kredit Konsumsi (KK)

yang antara lain terdiri dari Kredit Kepemilikan Rumah

(KPR) dan kredit kepemilikan kendaraan bermotor

dipandang berisiko relatif rendah karena memiliki agunan

yang jelas yaitu rumah dan kendaraan bermotor yang nilai

pengembaliannya relatif baik. Namun, risiko yang cukup

besar dari kredit Konsumsi terlihat pada kartu kredit.

Pembentukan PPAP kredit yang cukup besar selama

tahun 2009 disertai dengan rasio permodalan yang cukup

besar menjadi buffer bagi perbankan dalam menghadapi

potensi peningkatan risiko kredit. Hal ini tercermin dari

hasil stress test risiko kredit dengan menggunakan asumsi

terjadinya pergeseran tiap kolektibilitas kredit satu level

ke tingkat kolektibilitas yang lebih rendah dengan

prosentase yang sama. Pergeseran tiap kolektibiltas sebesar

50% ke level di bawahnya akan menurunkan CAR

perbankan sebesar 66 bps. Namun, apabila terjadi

pergeseran tiap kolektibilitas satu level ke bawahnya

sebesar 40% atau lebih, akan terdapat bank yang

berpotensi CARnya turun menjadi di bawah 8%

Grafik 2.21Rasio NPL Sub Sektor Perdagangan

Grafik 2.22Rasio NPL Per Jenis Penggunaan

Grafik 2.23Rasio NPL Kredit Konsumsi

Grafik 2.24Stress Test Risiko Kredit

%

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

2007 2008 2009

Pembelianbrg dg DN

Distribusi Perdag.eceran

Restoran,hotel

Lainnya

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

KMK KI KK

3.7

6.6

3.13.4 3.8

2.5

3.83.3

2.6

Dec07Dec08Des09

Setelah sempat turun pada kuartal pertama 2009

karena adanya penghapusbukuan kredit bermasalah, rasio

NPL kartu kredit kembali menunjukkan tren meningkat

pada semester II. Persyaratan pemberian kartu kredit yang

relatif mudah dan ketiadaan agunan diperkirakan menjadi

faktor utama yang menyebabkan risiko kartu kredit lebih

tinggi dibandingkan dengan kredit konsumsi lainnya.

%

0

2

4

6

8

10

12

14

KPR Kartu Kredit Lainnya

Dec-07

Dec-08

Dec-09

3,0%

12,1%

1,9%2,3%

10,8%

1,6%2,3%

10,8%

1,5%

%

15,00

16,00

17,00

18,00

19,00

- 66 bps

CAR awal Shock10%

Shock20%

Shock130%

Shock40%

Shock50%

2.3.3. Risiko Pasar

Membaiknya beberapa faktor pasar seperti suku

bunga, nilai tukar dan harga SUN berdampak pada

Page 42: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

32

Bab 2 Sektor Keuangan

Struktur maturity aset perbankan memperlihatkan

adanya kecenderungan aset rupiah untuk bergerak ke

jangka waktu yang lebih panjang dengan posisi long yang

meningkat. Sebaliknya, untuk aset valas terjadi

kecenderungan untuk meningkatkan posisi jangka pendek

dengan peningkatan posisi short, sejalan dengan

kecenderungan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap USD.

Ke depan perbankan harus berhati-hati terhadap potensi

peningkatan suku bunga sejalan dengan meningkatnya

pertumbuhan ekonomi yang biasanya juga diikuti oleh

peningkatan laju inflasi.

Dibandingkan dengan risiko pasar yang lain, risiko

suku bunga relatif lebih besar. Hal ini ditunjukkan oleh

hasil stress test bahwa CAR industri perbankan berpotensi

turun sekitar 100 bps bila terjadi penurunan suku bunga

sampai dengan 5%.Namun, jika suku bunga meningkat

4% atau lebih, akan terdapat bank yang CARnya turun

menjadi di bawah 8%.

menurunnya tekanan risiko pasar perbankan selama

semester II 2009. Dengan kondisi perekonomian ke depan

yang diperkirakan akan semakin membaik, risiko pasar

perbankan diharapkan akan semakin terkendali.

Sejak Agustus 2009, BI rate stabil sebesar 6,5% yang

merupakan level terendah sejak diperkenalkannya rate

tersebut pada Juli 2005. BI rate yang rendah diikuti pula

oleh penurunan suku bunga perbankan, walaupun dengan

akselerasi yang berbeda. Secara umum, suku bunga yang

stabil akan mengurangi risiko pasar perbankan. Dengan

struktur maturity yang cenderung liability sensitive pada

jangka pendek dan asset sensitive pada jangka panjang,

perbankan lebih rentan terhadap risiko kenaikan suku

bunga. Oleh karena itu, trend penurunan suku bunga

akhir-akhir ini membuat tekanan risiko suku bunga

terhadap perbankan menjadi semakin rendah.

Grafik 2.25Maturity Profile Rupiah

Grafik 2.27Stress Test Risiko Suku Bunga

Grafik 2.26Maturity Profile Valas

T Rp

Jun08 Des08

Jun09 Des09

(600)

(400)

(200)

0

200

400

600

sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bln 6 - 12 bln > 12 bln

Billion USD

(15)

(10)

(5)

0

5

10

Jun08 Des08

Jun09 Des09

sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bln 6 - 12 bln > 12 bln

- 100 bps

15,00

16,00

17,00

18,00

19,00

CAR awal Shock 1% Shock 2% Shock 3% Shock 4% Shock 5%

%

Sementara itu, risiko nilai tukar industri perbankan

juga relatif terjaga. Apresiasi nilai tukar rupiah terhadap

USD yang terjadi selama semester laporan membuat

perbankan cenderung memelihara posisi long sebagai

antisipasi terhadap kemungkinan depresiasi nilai tukar

rupiah ke depan. Risiko nilai tukar akan meningkat apabila

bank-bank memiliki posisi short pada saat rupiah

mengalami depresiasi. Upaya mitigasi risiko nilai tukar yang

Page 43: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

33

Bab 2 Sektor Keuangan

perbaikan harga SUN. Selama semester II 2009, Indeks

IDMA menunjukkan kenaikan harga SUN sebesar 4,02%

menjadi 94,33. Disisi lain, eksposur bank terhadap SUN

portofolio trading juga relatif rendah, hanya sebesar 4,6%

dari total SUN perbankan. Rendahnya risiko pasar yang

terkait harga SUN portofolio trading terlihat dari stress test

yang menunjukkan bahwa secara umum perbankan masih

mampu untuk mengatasi risiko penurunan harga SUN

sampai dengan 25% yang berpotensi menurunkan CAR

perbankan sebesar 10 bps. Dengan kata lain, apabila harga

SUN turun lebih dari 25%, akan ada bank yang CARnya

turun menjadi di bawah 8%. Pembatasan kepemilikan SUN

portofolio trading merupakan langkah mitigasi risiko yang

dilakukan bank untuk menghindari kerugian karena risiko

penurunan harga SUN.

dilakukan bank adalah dengan membatasi penempatan

dalam valas seperti tercermin dari rasio agregat Posisi

Devisa Netto (PDN) industri perbankan yang berada

dibawah 5%, jauh di bawah batas ketentuan maksimum

20%.

Grafik 2.28Net Open Posistion (Overall)

%

0

4

8

12

BUSN Campuran BPD Persero Asing SELURUH

Des07 Des08

Jun09 Des09

Dengan demikian, secara umum industri perbankan

memiliki risiko nilai tukar yang relatif rendah. Hal itu juga

diperkuat oleh hasil stress test risiko nilai tukar yang

menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar rupiah sebesar

Rp5.000 malah berpotensi meningkatkan CAR industri

perbankan sebesar 1,5 bps sejalan dengan kecenderungan

perbankan memelihara PDN dengan posisi long.....

Grafik 2.29Stress Test Risiko Nilai Tukar

Selanjutnya, risiko pasar yang disebabkan penurunan

harga SUN, yang mendominasi surat-surat berharga yang

dipegang bank, relatif menurun seiring dengan trend

Grafik 2.30Pangsa SUN

%

0

10

20

30

40

50

60

HTM AFS Trading

Des07Des08Des'0944,4%

45,7%

9,9%

56,93%

36,91%

6,16%

49,2%46,2%

4,6%

Grafik 2.31Stress Test Risiko Penurunan Harga SUN

- 10 bps

15,00

16,00

17,00

18,00

19,00

%

CAR awal Shock 5% Shock10%

Shock15%

Shock20%

Shock25%

+1.5 bps

%

15,00

16,00

17,00

18,00

19,00

CAR awal Shock1000

Shock2000

Shock3000

Shock4000

Shock5000

Page 44: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

34

Bab 2 Sektor Keuangan

Walaupun laba meningkat, ROA turun tipis dari 2,7%

pada akhir semester I menjadi 2,6% pada akhir semester

II 2009. Hal ini karena tambahan keuntungan yang

dihasilkan relatif lebih kecil dibandingkan kenaikan aset

selama periode tersebut. Sementara itu dari sisi efisiensi

usaha, sepanjang semester II 2009 hanya sedikit perbaikan,

terlihat dari angka Rasio Biaya Operasional Pendapatan

Operasional (BOPO) yang turun tipis dari 82,2% (Juni 2009)

menjadi 81,6% (Desember 2009).

2.3.4. Profitabilitas dan Permodalan

Profitabilitas

Meskipun selama 2009 kredit mengalami

perlambatan pertumbuhan, hal itu tidak mengurangi

kemampuan bank menghasilkan profit, bahkan lebih tinggi

dibandingkan dengan laba yang berhasil diperoleh pada

tahun 2008. Perbankan juga berhasil menekan dampak

risiko, terutama risiko kredit, yang sempat meningkat

sampai dengan pertengahan 2009. Salah satu faktor yang

tampaknya mendorong peningkatan profitabilitas adalah

upaya bank untuk memperlebar spread ditengah tren

penurunan BI rate. Upaya memperlebar spread itu menjadi

semakin mudah dilakukan setelah adanya kesepakatan

sejumlah bank terutama bank besar pada bulan Agustus

2009 untuk menurunkan suku bunga simpanan agar

mendekati BI rate. Meskipun tujuan akhir kesepakatan

tersebut adalah untuk mendorong pertumbuhan kredit,

namun menjelang tujuan akhir itu tercapai, perbankan

telah menikmati dampak positifnya dari sisi kenaikan

profitabilitas.

Sejalan dengan itu, selama semester II 2009

perbankan berhasil membukukan laba bersih setelah

pajak sebesar Rp21,9 triliun. Pencapaian ini meningkat

secara signifikan (79,6%) dibandingkan periode yang

sama tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp12,2 triliun.

Dengan demikian, laba bersih perbankan selama tahun

2009 tercatat sebesar Rp45,2 triliun atau naik 47,7%

dibandingkan tahun 2008.

Grafik 2.32ROA per Kelompok Bank

%

ROA Des-08 ROA Des-09

0

1

2

3

4

5

Persero SwastaDevisa

Swasta NonDevisa

BPD KCBA Campuran

Grafik 2.33BOPO per Kelompok Bank

%

0

20

40

60

80

100

Persero SwastaDevisa

Swasta NonDevisa

BPD KCBA Campuran

BOPO Des-08 BOPO Des-09

Sumber utama laba perbankan adalah laba

operasional, khususnya yang berasal dari pendapatan

bunga. Selama semester laporan, industri perbankan

secara rata-rata berhasil mencatatkan Net Interest Income

L/R Operasional 17,7 12,2 29,9 18,8 21,1 39,9

L/R Non Operasional 7,2 11,0 18,3 12,7 9,2 21,9

L/R Sebelum Pajak 24,9 23,3 48,2 31,5 30,3 61,8

L/R Setelah Pajak 18,4 12,2 30,6 23,3 21,9 45,2

Tabel 2.1Perkembangan Profitabilitas Perbankan

Sm-I Sm-II Total Sm-I Sm-II TotalRp T

2008 2009

Page 45: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

35

Bab 2 Sektor Keuangan

(NII) sebesar Rp11,0 triliun per bulan atau meningkat

dibandingkan semester sebelumnya dengan rata-rata

sebesar Rp10,6 triliun per bulan. Diantara pendapatan

bunga, pendapatan bunga kredit masih memegang

pangsa yang terbesar dan cenderung meningkat. Per

Desember 2009 pangsa pendapatan bunga kredit

mencapai 75,08% dari total pendapatan bunga bank, atau

meningkat dibandingkan posisi Juni 2009 sebesar 72,7%.

Mengingat pertumbuhan kredit justru menurun, maka

peningkatan peranan pendapatan bunga kredit tampaknya

lebih karena pangsa sumber pendapatan bunga lainnya

(bunga penempatan pada BI, bunga SSB, dan bunga

lainnya) mengalami penurunan.

kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio atau CAR)

perbankan sepanjang semester II 2009 sebesar 17,3%,

atau turun tipis dibandingkan rata-rata CAR semester

sebelumnya yang mencapai 17,5%. Penurunan tipis rasio

permodalan bank pada semester laporan disebabkan oleh

peningkatan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)

yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan modal

bank. Dari sisi modal, terdapat kenaikan sebesar 8,7%

yang bersumber dari peningkatan modal inti (7,8%) seiring

dengan kenaikan laba perbankan. Sementara, dari sisi

ATMR terjadi peningkatan sebesar 8,4% yang berasal dari

kenaikan ATMR kredit seiring mulai positifnya

pertumbuhan kredit menjelang akhir tahun 2009.

Grafik 2.35Pangsa Pendapatan Bunga Bank

Grafik 2.36Modal, ATMR, dan CAR

Grafik 2.34L/R Bulanan

2009

Rp T

-2

0

2

4

6

8

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

L/R Operasional L/R Non Operasional L/R Setelah Pajak

%

-

20

40

60

80

Jun 09 Sept 09 Des 09

BISSBKREDITLAINNYA

72,70 73,9875,08

8,87 8,19 7,754,87 4,73 4,60

13,56 13,11 12,57

Permodalan

Hingga akhir tahun 2009 perbankan mampu

menjaga permodalan dengan cukup baik. Rata-rata rasio

%Rp T

-

400

800

1.200

1.600

2.000

15

16

17

18

Des Mar Jun Sep Des2009

Modal ATMR CAR (kanan)

Dari sisi kelompok bank terlihat bahwa CAR yang

lebih tinggi dipelihara oleh kelompok Kantor Cabang Bank

Asing (KCBA) dan bank campuran, diikuti oleh kelompok

bank swasta non devisa. Sementara itu, CAR yang lebih

rendah terlihat pada kelompok bank Persero. Kondisi ini

antara lain karena selama 2009, peningkatan kredit lebih

banyak dilakukan oleh kelompok bank Persero, sementara

KCBA dan bank campuran lebih memilih untuk

mengurangi pertumbuhan kredit sejalan dengan krisis

global yang dihadapi kantor pusat atau bank induknya di

luar negeri.

Page 46: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

36

Bab 2 Sektor Keuangan

yang telah dikemukakan sebelumnya, juga telah dilakukan

integrated stress test, interbank stress test, dan macro

credit risk stress test.

Integrated Stress Test

Dengan rasio permodalan yang relatif tinggi, secara

umum perbankan Indonesia masih cukup mampu

menghadapi peningkatan tekanan risiko ke depan. Hal ini

tercermin dari hasil integrated stress test menggunakan

skenario 5 yang cukup berat (penurunan setiap

kolektibilitas kredit masing-masing 50%, penurunan harga

SUN 25%, peningkatan suku bunga 3% dan depresiasi

rupiah sebesar Rp5000), CAR agregat industri perbankan

Indonesia diperkirakan masih berada di atas 16%.

Meskipun demikian, secara individu terdapat beberapa

bank yang memiliki potensi untuk mengalami tekanan

pada beberapa skenario tertentu. Untuk menghindari hal

tersebut, peranan manajemen risiko bank menjadi penting

untuk melakukan berbagai langkah antisipasi dan mitigasi

risiko sehingga kerugian dapat dihindarkan.

Grafik 2.37CAR Per Kelompok Bank

Grafik 2.38CAR Hasil Integrated Stress Test

Sementara itu, terkait dengan ketentuan yang

mensyaratkan modal inti bank umum minimum sebesar

Rp100 miliar pada akhir 2010, dapat dikemukakan bahwa

pada akhir semester II 2009, terdapat 11 bank dengan

modal inti di bawah persyaratan minimum tersebut.

Namun, penting dicatat bahwa jumlah bank dengan modal

inti di bawah Rp100 miliar terus menurun dibandingkan

semester sebelumnya yang mencapai 15 bank.

Berdasarkan pengalaman pemenuhan modal inti minimum

sebesar Rp80 miliar pada tahun 2008, diperkirakan pada

akhir 2010 seluruh bank umum akan mampu memenuhi

ketentuan modal inti minimum sebesar Rp100 miliar

tersebut.

Ke depan, perlu diwaspadai peningkatan risiko yang

dapat menekan permodalan bank. Untuk mengetahui

seberapa besar tekanan risiko terhadap permodalan bank

telah dilakukan beberapa jenis stess test. Selain stress test

yang bersifat sensitivity analysis untuk risiko kredit dan

risiko pasar (suku bunga, nilai tukar dan harga SUN) seperti

%

CAR Des-08 CAR Des-09

0

7

14

20

28

35

Persero SwastaDevisa

Swasta NonDevisa

BPD KCBA Campuran

Tabel 2.2Skenario Integrated Stress Test

Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5

Penurunan Kolektibilitas Kredit 10% 20% 30% 40% 50%Penurunan Harga SUN 20% 20% 25% 25% 25%Peningkatan Sk Bunga 1,0% 1,5% 2,0% 2,5% 3,0%Depresiasi IDR 3000 3000 4000 5000 5000

%

15,0

15,5

16,0

16,5

17,0

17,5

18,0

18,5

Awal Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5

17,8%

17,4%17,2%

17,0%16,7%

16,5%

Page 47: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

37

Bab 2 Sektor Keuangan

dan telah mengalami beberapa kali review dalam rangka

pengembangan. Bahkan dalam Financial Sector

Assessement Program (FSAP), macro credit risk stress test

ini termasuk salah satu aspek yang juga direview.

Perkembangan terakhir, dalam kerangka FSAP, telah

dikembangkan suatu model dynamic panel data

menggunakan data kuartalan dari 122 bank selama

periode 1995-2009 (s.d September). Hasil estimasi

menunjukkan bahwa risiko kredit perbankan Indonesia

secara signifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan riil GDP,

real effective exchange rate, dan riil BI rate.

2.4. LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK DAN

PASAR MODAL

2.4.1. Perusahaan Pembiayaan

Sebagaimana diketahui, Perusahaan Pembiayaan (PP)

merupakan salah satu jenis lembaga keuangan bukan bank

yang berfungsi melakukan pembiayaan melalui berbagai

jenis pembiayaan, antara lain pembiayaan konsumen, sewa

guna usaha, anjak piutang dan kartu kredit.

Rebound pasar keuangan dan cukup baiknya

pertumbuhan perekonomian domestik pada semester II

2009 mampu mendorong ekspansi pembiayaan oleh PP

yang sempat terkontraksi pada semester sebelumnya.

Selama semester laporan, total aset PP naik sebesar 7,81%

menjadi Rp174,44 triliun. Sementara, kegiatan

pembiayaan PP naik sebesar 8,06% menjadi Rp142,54

Grafik 2.39Interbank Stress Test

Interbank stress test

Interbank stress test ditujukan untuk menilai dampak

contagion risk karena adanya transaksi antar bank.

Kegagalan suatu bank dapat berdampak pada bank lain

sepanjang bank-bank tersebut saling bertransaksi dalam

jumlah signifikan sehingga kegagalan bayar oleh bank

peminjam dapat menimbulkan kerugian dan selanjutnya

menekan permodalan dari bank yang memberikan

pinjaman. Dua metode yang sering digunakan adalah

single failure method dan multiple failure method.

Menggunakan data per akhir Desember 2009, hasil

interbank stress testing berdasarkan single failure method

menunjukkan terdapat 8 bank yang akan menjadi pemicu

contagion risk. Kegagalan bank-bank ini berpotensi

membuat rasio permodalan (CAR) 10 bank lainnya akan

menurun menjadi di bawah 8%. Sementara itu,

berdasarkan multiple failure method, hanya 2 bank yang

menjadi pemicu, sedangkan dampaknya berpotensi

mengakibatkan CAR 8 bank lain akan tertekan menjadi di

bawah 8%.

Bank

Pem

icu

Bank Kena Dampak

D E I J K L O P Q R

CFBAGHMN

Macro credit risk stress test

Macro credit risk stress test dilakukan untuk

mengetahui dampak perubahan berbagai faktor

makroekonomi terhadap risiko kredit (NPL) perbankan.

Stress test ini dilaksanakan secara rutin sejak tahun 2005

Grafik 2.40Kegiatan Usaha Perusahaan PembiayaanRp T

7,81%

8,06%

2,505%

8,35%

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

160,00

180,00

200,00

Aset Pembiayaan Pendanaan Modal

Des'08 Jun'09 Des'09

Page 48: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

38

Bab 2 Sektor Keuangan

Grafik 2.41Komposisi Nominal Pembiayaan PP

triliun yang didukung oleh kenaikan pendanaan dan modal

masing-masing sebesar 2,55% dan 8,35%.

Kenaikan pembiayaan PP terutama pada kegiatan

pembiayaan konsumen yang pangsanya terhadap total

pembiayaan naik dari 62,34% (Juni 2009) menjadi 65,28%

(Desember 2009). Perkembangan tersebut meningkatkan

potensi risiko konsentrasi pembiayaan oleh PP. Hal ini pada

gilirannya akan mempengaruhi kinerja perbankan karena

sumber dana utama PP adalah pinjaman perbankan.

Grafik 2.42Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan

Des'08 137,237 50,680 2,221 1,145 83,191Jun'09 131,905 46,655 2,005 1,012 82,234Des'09 142,539 46,528 2,027 930 93,054

Pembayaran (Dalam Miliar Rp)

0

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

140,000

160,000

TotalPembiayaan

Sewa GunaUsaha

AnjakPiutang

Kartu Kredit PembiayaanKonsumen

pangsa 65,28%naik 13,16%

pangsa 32,64%turun 0,27%

pangsa 1,42%naik1,12%

pangsa 0,65%turun8,07%

naik 8,06%

Meskipun perbankan merupakan sumber dana

utama pembiayaan PP, namun mulai terlihat adanya upaya

mencari alternatif sumber pembiayaan lain, terutama

melalui penerbitan obligasi. Selama semester II 2009,

sumber dana PP yang bersumber dari pinjaman perbankan

domestik hanya meningkat 8,74% menjadi Rp53,11 triliun,

sedangkan sumber dana pinjaman perbankan luar negeri

turun 7,16% menjadi Rp36,13 triliun. Sementara itu,

penerbitan obligasi oleh PP meningkat 18,28% menjadi

Rp13,60 triliun. Dalam kaitan ini, tercatat 6 PP yang

menerbitkan obligasi yaitu: Astra Sedaya Finance, Federal

International Finance, Indomobil Finance Indonesia, Adira

Dinamika Mulfinance, Summit Oto Finance dan Oto

Multiartha yang seluruhnya melakukan pembiayaan

konsumen khususnya dalam rangka membiayai pembelian

kendaraan bermotor.

0

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

140,000

Pinjaman BankDomestik

Pinjaman BankLuar Negeri

Surat Berharga ygDiterbitkan

Total SumberDana*

Des'08

Jun'09

Des'09

18,28%

-- 7,16%

8,74%

* Total Sumber Dana: SSB, Pinjaman Subordinasi dn total Pinjaman Dalam dan Luar Negeri

2,55%

Dalam Miliar Rp

Sementara itu, selama semester II 2009 kinerja PP

meningkat cukup pesat terlihat pada kenaikan ROA dan

ROE sehingga kembali mendekati level pada akhir tahun

2008. Peningkatan kinerja terutama didukung kenaikan

penjualan kendaraan bermotor. Berdasarkan data dari

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia

(GAIKINDO), penjualan kendaraan bermotor tercatat

sebesar 483,548 unit pada tahun 2009 atau melebihi

target sebesar 7,5% atau 33,548 unit, dipicu oleh

tingginya penjualan sepeda motor pada bulan Agustus

dan Oktober 2009. Pada sisi lain, PP juga tetap mampu

mempertahankan efisiensi usaha sebagaimana terlihat

pada rasio BOPO yang stabil pada level sekitar 74%.

Asset 168,455 161,813 174,442Debt (pinjaman/Obligasi) 121,348 112,686 115,555Kewajiban 136,059 126,895 134,354Equity 32,395 34,918 40,088Profit Before Tax 8,818 5,010 10,421Profit After Tax 6,372 3,789 7,827ROA 0,05 0,03 0,06ROE 0,27 0,14 0,26BOPO 0,75 0,74 0,74Debt/Equity 3,75 3,23 2,88Kewajiban/Equity 4,20 3,63 3,35

Tabel 2.3Rasio-rasio Keuangan Perusahaan Pembiayaan

Des - 08 Jun - 09 Des - 09Dalam Rp Miliar

Page 49: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

39

Bab 2 Sektor Keuangan

Dalam kaitannya dengan perbankan, pada akhir

tahun 2009 terdapat 14 PP yang terafiliasi dengan bank.

Dari 14 PP tersebut, 10 PP merupakan anak perusahaan

bank dengan penyertaan > 50%. Hampir seluruh kegiatan

usaha PP yang terafiliasi dengan bank terkonsentrasi pada

pembiayaan konsumen. Selama semester II 2009, dari 14

PP yang terafiliasi dengan bank, 4 PP mengalami kenaikan

nominal NPL, namun hanya 2 PP yang mengalami kenaikan

rasio NPL. Sementara itu, apabila dikaitkan dengan

perkembangan pembiayaan yang dilakukan oleh PP yang

terafiliasi dengan bank, terdapat 2 PP yang mengalami

pertumbuhan pembiayaan pesat yaitu masing-masing naik

sebesar 231,43% dan 202,41%. Namun demikian, rasio

NPL dan nominal NPL masing-masing PP tersebut

mengalami penurunan.

2.4.2. Perusahaan Asuransi

Perkembangan industri asuransi berkaitan erat

dengan kesadaran berasuransi masyarakat. Masih

rendahnya tingkat pendapatan menjadi faktor penting

yang menentukan kesadaran berasuransi. Secara umum,

kinerja industri asuransi di Indonesia meningkat. Namun,

dari sisi penetrasi tetap rendah.

Pertumbuhan pembiayaan PP pada semester II 2009

yang meningkat ternyata diikuti oleh kenaikan tipis

(0,18%) nominal NPL sehingga menjadi Rp2,83 triliun.

Namun demikian, dari sisi rasio NPL, terlihat penurunan

dari 2,05% (Juni 2009) menjadi 1,91% (Desember 2009).

Penurunan ini terutama didorong oleh kegiatan

pembiayaan anjak piutang yang mengalami penurunan

nominal NPL dan rasio NPL. Sementara itu, pesatnya

pertumbuhan kegiatan pembiayaan konsumen juga diikuti

oleh peningkatan nominal NPL, meskipun dari sisi rasio

NPL mengalami penurunan dari 2,10% (Juni 2009) menjadi

2,01% (Desember 2009).

Tabel 2.5Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan

Sewa Guna Usaha 716,35 743,03 730,03Anjak Piutang 262,41 247,82 126,34Kartu Kredit 43,02 44,08 40,84Pembiayaan Konsumen 1575,63 1789,27 1932,14Total Pembiayaan 2597,41 2824,20 2829,34

% NPL% NPL% NPL% NPL% NPL Des - 08Des - 08Des - 08Des - 08Des - 08 Jun - 09Jun - 09Jun - 09Jun - 09Jun - 09 Des - 09Des - 09Des - 09Des - 09Des - 09

Sewa Guna Usaha 1,39% 1,52% 1,50%Anjak Piutang 11,50% 11,86% 5,93%Kartu Kredit 3,41% 3,91% 3,93%Pembiayaan Konsumen 1,82% 2,10% 2,01%Total Pembiayaan 1,83% 2,05% 2,05%

Tabel 2.4Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan

Des - 08 Jun - 09 Des - 09Nominal NPL Dlm Rp Miliar

% NPL

Jun»09 Des»09 Sem II 09

Perubahan Nominal NPL (Dalam Ribuan Rp)

Sewa GunaUsaha

AnjakPiutang Kartu Kredit Pembiayaan

Konsumen

PertumbuhanKegiatan

Pembiayaan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

0,14%

0,00%

0,00%

0,00%

5,61%

0,03%

0,48%

0,00%

0,01%

0,07%

28,60%

1,70%

0,67%

88,67%

0,10%

0,06%

7,58%

0,06%

3,90%

0,00%

0,37%

0,00%

0,01%

0,05%

19,81

1,51%

0,55%

88,67%

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

8.653

-

0*

-8.003.813

-

0

-

-

-

-

-

-

-

0

-

-

-

-

0

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

34,47%

231,43%

12,61%

-2,91%

-13,50%

27,33%

-0,55%

9,61%

9,27%

22,14%

202,41%

-9,15%

10,53%

28,73%

*penurunan %NPL dikarenakan kenaikan pembiayaan

-46.748

-46.748

-7.489.613

-361.946

777.232

56.210.684

-354.513

-343.042

8.653

15.446

-

84.019

3.154.369

0

Page 50: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

40

Bab 2 Sektor Keuangan

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia termasuk

negara yang memiliki persentase penetrasi asuransi paling

rendah. Berdasarkan data Business Monitor International

(BMI), persentase penetrasi industri asuransi umum dan

asuransi jiwa di Indonesia masing-masing sebesar 0,54%

dan 1,18%, atau hampir sama dengan angka persentase

penetrasi industri asuransi di Filipina. Di kawasan Asia

Tenggara, persentase penetrasi asuransi jiwa secara umum

lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penetrasi

asuransi umum (asuransi kerugian dan reasuransi). Hal

tersebut terutama karena sejak tahun 2003 berkembang

produk inovasi asuransi jiwa yang mengaitkan produk

asuransi konvensional (pertanggungan) dengan produk

investasi (linked products) sehingga semakin menarik minat

masyarakat dibandingkan asuransi umum.

asuransi yang melambat dari masing-masing sekitar

30,8%, 40,0% dan 32,2% pada tahun 2007 menjadi

masing-masing menjadi 6,5%, 16,0% dan 4,5% pada

tahun 2008. Disamping itu, pada tahun 2008 klaim yang

dibayar meningkat pesat yaitu 41,6% dibandingkan

dengan sebesar 27,8% pada tahun sebelumnya.

Akibatnya, rasio klaim yang dibayar terhadap gross premi

meningkat dari sebesar 50% (2007) menjadi sekitar 61%

(2008).

Grafik 2.46Kinerja Industri Asuransi: Klaim - Premi

Grafik 2.44Penetrasi Asuransi Jiwa Beberapa Negara

Grafik 2.45Kinerja Industri Asuransi: Aset - Gross Premi - Investasi

Grafik 2.43Penetrasi Asuransi Umum Beberapa Negara

Australia

China

Hongkong

Korea Selatan

Indonesia

Malaysia

Philipina

Singapura

Thailand

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Australia

China

Hongkong

Korea Selatan

Indonesia

Malaysia

Philipina

Singapura

Thailand

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5

Krisis global berdampak negatif terhadap kinerja

industri asuransi Indonesia. Hal itu terlihat dari

pertumbuhan aset, gross premi dan investasi industri

0

50

100

150

200

250

Aset,trl Rp Gross Premi,trl Rp Investasi,trl Rp

2006 2007 2008

0

20

40

60

80

100

Klaim dibayar,trl Rp Gross Premi,trl Rp Klaim dibayar/GrossPremium,%

2006 2007 2008

Melambatnya perkembangan kinerja industri

asuransi terutama karena melambatnya kinerja asuransi

jiwa yang pangsanya mendominasi industri asuransi. Pada

tahun 2008, aset asuransi jiwa hanya meningkat 0,2%

atau jauh melambat dibandingkan dengan kenaikan pada

tahun sebelumnya sebesar 43,8%. Selain itu, kegiatan

investasi asuransi jiwa selama 2008 juga mengalami

Page 51: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

41

Bab 2 Sektor Keuangan

penurunan yaitu sebesar 1,4%. Meskipun aset hanya

meningkat tipis dan investasi mengalami penurunan,

namun klaim yang dibayar oleh asuransi jiwa pada tahun

2008 meningkat tajam sekitar 60%. Akibatnya, pada

tahun 2008, profit asuransi jiwa mengalami penurunan

sebesar 68,4%, padahal tahun sebelumnya mengalami

peningkatan sebesar 25,8%. Dengan perkembangan

tersebut, modal asuransi jiwa turun sebesar 24,2% (2008)

setelah naik sebesar 22,0% (2007).

Grafik 2.47Kinerja Asuransi Jiwa - Triliun Rp

Grafik 2.48Arus Kas PP Patungan

meningkat 19,4% atau lebih tinggi dari tahun 2007 yang

meningkat 17,8%.

Namun demikian, krisis global tetap berdampak

terhadap pendapatan investasi yang selanjutnya

mendorong perlambatan kenaikan profit. Pada tahun

2008, kenaikan profit asuransi kerugian dan reasuransi

hanya sebesar 9,4%, padahal pada tahun 2007

kenaikannya mencapai 25,5%. Akibatnya, modal hanya

meningkat 6,8% selama 2008, atau jauh lebih rendah

dibandingkan kenaikan modal pada tahun 2007 sebesar

21,2%.

2.4.3. Pasar Modal

Portfolio Investasi Asing

Selama semester II 2009, minat investor asing untuk

melakukan penanaman jangka pendek pada aset

keuangan rupiah tetap tinggi. Hal ini terlihat dari

meningkat pesatnya inflows asing melalui penanaman

pada SBI, SUN dan saham dengan jumlah total sebesar

Rp52,38 triliun, padahal pada semester I 2009 hanya

berjumlah Rp15,85 triliun. Peningkatan terutama terdapat

pada SBI dan SUN yang masing-masing naik sebesar

Rp23,49 triliun dan Rp19,78 triliun. Sementara itu, investor

asing juga cukup aktif bertransaksi saham di bursa

domestik sehingga menimbulkan net beli saham sebesar

Rp9,11 triliun.

Aset Investasi Modal Profit

2006 2007 2008

0

20

40

60

80

100

120

0

20

40

60

80

100 2006 2007 2008

Jiwa Kerugian Reasuransi ProgramAsuransi Sos

danJamsostek

AsuransiPNS,TNI,

POLRI

Sebaliknya, kinerja asuransi umum (kerugian dan

reasuransi) tetap meningkat cukup besar. Hal itu antara

lain terlihat dari perkembangan aset dan investasi yang

tetap mengalami kenaikan. Pada tahun 2008 peningkatan

aset asuransi kerugian dan reasuransi hanya sedikit

melambat yaitu 16,8% dibandingkan tahun sebelumnya

sebesar 19,2%. Sementara kegiatan investasinya

2006 2007 2008

Aset Investasi Modal Profit0

5

10

15

20

25

30

35

Grafik 2.49Kinerja Asuransi Kerugian dan Reasuransi - Triliun Rp

Page 52: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

42

Bab 2 Sektor Keuangan

ekonomi dan rendahnya inflasi domestik, disamping imbas

positif rebound bursa global dan regional.

Sejak akhir semester I 2009, pasar keuangan global

dan regional mengindikasikan pemulihan yang terutama

dipicu oleh adanya rincian stimulus fiskal dan paket

penyelamatan sektor perbankan Amerika Serikat (AS).

Selanjutnya, pada semester II 2009, optimisme investor

terhadap pemulihan pasar keuangan global meningkat.

Hal itu antara lain didukung oleh sentimen positif

membaiknya kinerja keuangan beberapa emiten global

(seperti JPMorganChase dan Intel), serta menguatnya data

fundamental ekonomi AS, antara lain berupa tren kenaikan

produktivitas tenaga kerja non pertanian, kenaikan

penjualan industrial ritel, kenaikan indeks manufaktur dan

menguatnya indeks harga produsen.

Di bursa domestik, penguatan IHSG didukung oleh

sentimen positif kenaikan GDP (yoy) domestik dari 4,04%

pada triwulan II menjadi 4,21% pada triwulan III 2009,

dan kenaikan sovereign rating Indonesia oleh Moody»s

menjadi Ba2. Penguatan IHSG tersebut kemudian disertai

turunnya potensi risiko likuiditas pasar sebagaimana

tercermin pada turunnya volatilitas IHSG dari 29,24 (Juni

2009) menjadi 18,45 (Desember 2009). Namun,

dibandingkan dengan indeks bursa regional, IHSG tetap

berfluktuasi moderat sehingga mendukung minat investor

untuk terus melakukan penanaman.

Dengan perkembangan tersebut, porsi kepemilikan

asing pada SBI naik dari 9,01% (Juni 2009) menjadi

17,29% (Desember 2009). Sementara, porsi kepemilikan

asing pada SUN naik dari 16,70% menjadi 19,49%.

Selanjutnya, porsi saham asing meningkat dari 24,33%

menjadi 26,01% pada periode yang sama. Terjadinya

inflows berjangka pendek ini berkontribusi pada

penguatan nilai rupiah yang selama semester II 2009

menguat sekitar 8,5%.

Grafik 2.51Inflows Asing dan Pertumbuhan :

Nilai Tukar Rp/US$, IDMA Indeks, IHSG

Grafik 2.50Penanaman Investor Asing: SBI - SUN - Saham

Tabel 2.6Pertumbuhan Indeks Bursa Regional

Rp T

-18,00

-14,00

-10,00

-6,00

-2,00

2,00

6,00

10,00

14,00

18,00SBI SUN SAHAM

2008 2009Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4

-10,00

-5,00

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2008 2009

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

Rp/US$ (%) IDMA Indeks (%)IHSG (%) TOTAL INFLOWS (trlRp)

Pasar Saham

Pada semester II 2009, IHSG berlanjut bullish yang

ditandai dengan menguatnya IHSG 25,04% menjadi

2.534,36 yang didukung oleh cukup baiknya pertumbuhan

Pertumbuhan

Des - 08 Jun - 09 Des - 09 Sem II»09 Des08 - Des09

IHSG 1.355,41 2.026,78 2.534,36 25,04% 86,98%FSSTI 1.761,56 2.333,14 2.897,62 24,19% 64,49%SET 449,96 597,48 734,54 22,94% 63,25%KLCI 876,75 1.075,24 1.272,78 18,37% 45,17%PCOMP 1.872,85 2.437,99 3.052,68 25,21% 63,00%NKY 8.859,56 9.958,44 10.546,44 5,90% 19,04%Hang Seng 14.387,48 18.378,73 21.872,50 19,01% 52,02%KOSPI 1.124,47 1.390,07 1.682,96 69,09% 49,65%NYA 5.757,05 4.249,21 7.184,96 69,09% 24,80%UKX 4.434,17 5.905,15 5.412,88 -8,34% 22,07%DJIA 8.776,39 8.447,00 10.428,05 23,45% 18,82%

Page 53: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

43

Bab 2 Sektor Keuangan

Grafik 2.52Perkembangan IHSG & Indeks Global Regional

(Di indekskan dengan 31 Desember 2005)

Secara sektoral, penguatan indeks terutama terdapat

pada saham-saham sektor aneka industri, industri dasar

dan konsumsi yang masing-masing meningkat 44,51%,

41,99% dan 35,42%. Indikasi mulai membaiknya

perekonomian AS mendorong positifnya gambaran

prospek ekspor Asia. Sementara itu, meningkatnya harga

minyak mencapai USD81,04 per barel pada Oktober 2009

dari level terendah selama setahun yaitu USD33,98 per

barel pada Februari 2009 turut menguatkan optimisme

investor terhadap saham-saham sektor pertambangan.

Penguatan saham sektor industri dasar terutama dipicu

oleh bencana alam gempa bumi di dalam negeri yang

mendorong kenaikan permintaan barang industri dasar.

Rendahnya inflasi dan stabilnya suku bunga selama

semester II 2009 berdampak positif terhadap prospek

kinerja perbankan domestik. Sejalan dengan itu, pada

tahun 2009 sebagian besar harga saham-saham

perbankan domestik menguat. Diantara 14 saham

perbankan, saham-saham perbankan yang harganya

menguat selama semester laporan adalah BCA, CIMB

Niaga, Permata, Panin, Mandiri, Bukopin, BRI, BNI dan

OCBC NISP.

0,20

0,70

1,20

1,70

2,20

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2008 2009

IHSG FSSTI SET KLCIPCOMP NKY Hang Seng KOSPI

FTSE NYA DJIA

%

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Indonesia Malaysia

Jepang Singapore

Thailand Hongkong

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2008 2009

Grafik 2.53Volatilitas Beberapa Indeks Bursa Asia

Tabel 2.7Pertumbuhan Indeks Sektoral

Grafik 2.54% Perubahan Harga Saham Bank

%

-40,00

-20,00

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

160,00

Sem II'09 Sem I'09

BCAMega

NiagaPermata

PaninBII

MandiriBukopin

BRIDanamon

BNINISP

Namun demikian, selama tahun 2009 peranan pasar

saham dalam pembiayaan sektor riil tetap rendah. Di pasar

saham, penanaman yang dilakukan investor tampaknya

lebih dalam rangka memperoleh capital gain jangka

Pertumbuhan

Des - 08 Jun - 09 Des - 09 Sem II»09 Des-08 - Des-09

IHSG 1.355,41 2.026,78 2.534,36 25,04% 86,98%

Indeks Sektor Keuangan 176,33 243,66 301,42 23,71% 70,94%

Indeks Sektor Pertanian 918,77 1.527,00 301,42 -80,26% -67,19%

Indeks Sektor Industri Dasar 134,99 192,92 273,93 41,99% 102,93%

Indeks Sektor Konsumsi 326,84 495,73 671,31 35,42% 105,39%

Indeks Sektor Properti 103,49 144,79 146,80 1,39% 41,85%

Indeks Sektor Pertambangan 877,68 1.848,54 2.203,48 19,20% 151,06%

Indeks Sektor Infrastruktur 490,35 610,53 728,53 19,33% 48,57%

Indeks Sektor Perdagangan 148,33 217,84 275,76 26,59% 85,91%

Indeks Sektor Aneka Industri 214,94 416,21 601,47 44,51% 179,84%

Page 54: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

44

Bab 2 Sektor Keuangan

pendek. Secara umum, pertumbuhan pembiayaan melalui

pasar saham adalah rendah, terlihat dari nilai emisi saham

yang hanya naik 2% menjadi Rp419,65 triliun selama

semester II 2009, sedangkan selama semester I hanya naik

1%. Sementara itu, jumlah perusahaan yang melakukan

emisi saham hanya bertambah 12 menjadi 497

perusahaan. Kenaikan indeks harga saham lebih banyak

didukung oleh aktifnya transaksi oleh nasabah dalam

rangka memperoleh capital gain jangka pendek.

Akibatnya, kapitalisasi pasar meningkat pesat yaitu sebesar

87,64% selama tahun 2009.

baiknya outlook ekonomi domestik yang disertai kenaikan

sovereign rating Indonesia oleh Moody»s menjadi Ba2

membentuk sentimen positif yang mendukung

menguatnya perkembangan harga SUN seri FR untuk

seluruh tenor.

Secara rata-rata, harga SUN mencapai level tertinggi

pada akhir semester II 2009 yaitu 105,79 (14 Desember)

dan menyentuh level terendah pada semester I 2009 yaitu

90,26 (3 Maret). Harga rata-rata bulanan SUN tenor

menengah (5-7 tahun) dan panjang (> 7 tahun) menguat

paling signifikan yaitu masing-masing sebesar 1.362 bps

dan 1.632 bps, sementara SUN tenor pendek (< 5 tahun)

hanya menguat sebesar 407 bps.

Grafik 2.57Harga Rata-rata SUN Bulanan

Grafik 2.56Perkembangan Harga SUN Benchmark Seri FR

Grafik 2.55Nilai kapitalisasi & Nilai Emisi

(Dalam Triliun Rp)

0

500

1000

1500

2000

2500N Kap (BEI)

N Emisi

IHSG (RHS)

0,00

500,00

1000,00

1500,00

2000,00

2500,00

3000,00

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2008 2009

Pasar Surat Utang Negara

Pada semester II 2009 IDMA indeks (indeks harga

SUN) naik sekitar 4,02% mencapai 94,33. Ekspektasi akan

stabilnya suku bunga domestik ke depan dan cukup

70

75

80

85

90

95

100

105

110

115

FR0030 FR0051 FR0036

FR0044 FR0047 FR0050

2009

25Jun

2Jul

9Jul

16Jul

23Jul

30Jul

6Ags

13Ags

20Ags

27Ags

3Sep

10Sep

17Sep

24Sep

1Okt

8Okt

15Okt

22Okt

29Okt

5Nov

12Nov

19Nov

26Nov

3Des

10Des

17Des

24Des

31Des

60,00

70,00

80,00

90,00

100,00

110,00

120,00

Jangka Pendek < 5 tahun Jangka Menengah 5 s.d. 7 tahun

Jangka Panjang > 7 tahun Rata2x bulanan

2008 2009Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Melambatnya kenaikan harga SUN pada semester II

2009 terutama karena terbatasnya capital gain seiring

stabilnya suku bunga domestik. Stabilnya suku bunga

domestik juga membuat minat investor tetap bertahan

untuk bertransaksi SUN yang selanjutnya berdampak positif

terhadap likuiditas pasar. Hasil perhitungan Value at Risk

(VaR) menunjukkan bahwa pada semester II 2009 potensi

risiko likuiditas SUN untuk seluruh tenor menurun,

terutama untuk SUN tenor menengah dan panjang.

Page 55: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

45

Bab 2 Sektor Keuangan

perbankan tetap sebagai investor utama SUN. Sementara

itu, dari segi tenor, likuiditas pasar SUN tetap

terkonsentrasi pada SUN jangka pendek.

Grafik 2.59Maturity Profile SUN (Des 2009)

Grafik 2.60Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi

Grafik 2.58Yield 10 Tahun Surat Utang Pemerintah

Beberapa Negara

Dari segi likuiditas pasar, penerbitan SUN meningkat

10,66% menjadi Rp581,74 triliun. Seiring dengan

penerbitan tersebut, minat investor asing terhadap SUN

juga meningkat, terlihat dari kenaikan kepemilikan SUN

oleh investor asing sebesar 22,87% Pada sisi lain,

Tabel 2.8Perhitungan Var Menurut Tenor SUN

0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

4.500

Jangka Pendek

Jangka MenengahJangka Panjang

2009Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Tabel 2.9Kepemilikan SUN

Rp T

-

10

20

30

40

50

60Fixed RateVariable Rate

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

2020

2021

2022

2023

2024

2025

2026

2027

2028

2029

2030

2031

Sementara itu, turunnya suku bunga domestik hanya

sedikit mendorong penerbitan obligasi korporasi. Selama

semester II 2009 nilai emisi obligasi korporasi di pasar

modal meningkat sekitar 8,14% menjadi Rp175,33 miliar.

Sementara itu, nilai obligasi korporasi yang beredar

(outstanding) naik 10,14% menjadi Rp88,33 triliun. Secara

keseluruhan, pada tahun 2009 terdapat 27 emiten yang

menerbitkan obligasi korporasi dengan nilai Rp27,22

triliun. Namun, sebagian besar penerbitan obligasi

korporasi tersebut adalah dalam rangka refinancing (18

perusahaan), di samping untuk pendanaan perusahaan

pembiayaan (6 perusahaan).

(Emisi & Posisi Trl Rp) (Emiten)

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

176

177

178

179

180

181

182

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des20092008

Emisi (LHS)Posisi (LHS)

Emiten (RHS)

Tenor

Jan 09 1.271 3.287 3.944Feb 09 1.282 3.331 4.026Mar 09 1.271 3.307 4.029Apr 09 1.218 3.232 3.913Mei 09 1.209 3.213 3.897Jun 09 1.197 3.196 3.916Jul 09 1.198 3.198 3.911Ags 09 1.192 3.198 3.903Sep 09 1.168 3.136 3.761Okt 09 0.654 1.659 2.591Nov 09 0.457 1.230 1.961Des 09 0.332 0.853 1.506

JangkaPendek

JangkaMenengah

JangkaPanjang

Perbankan 258,75 254,36 -4,39BI 23,01 22,5 -0,51Reksadana 33,11 45,22 12,11Asuransi 55,83 72,58 16,75Asing 87,61 108 20,39Dana Pensiun 32,98 37,5 4,52Sekuritas 0,53 0,46 -0,07Lainnya 33,87 41,12 7,25Total 525,69 581,74 56,05

Kepemilikan SBN (Nominal)

Rp T Des - 08 Des - 09 Change

Page 56: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

46

Bab 2 Sektor Keuangan

Grafik 2.62Nilai Aktiva Bersih per Jenis Resadana - Triliun RpGrafik 2.61

Perkembangan Reksadana

Reksadana

Tren penurunan suku bunga domestik kembali

meningkatkan minat investor terhadap reksadana. Hal itu

tercermin pada meningkatnya jumlah reksadana dari 575

(Juni 2009) menjadi 610 (Desember 2009).

Di samping itu, peningkatan Nilai Aktiva Bersih (NAB)

reksadana terus berlanjut sehingga selama semester II 2009

tercatat kenaikan sebesar 18,40%. Kenaikan NAB

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des550

560

570

580

590

600

610

620

2009

NAB, trl Rp Jumlah Saham/Unit-Miliar Jumlah Reksadana

40,00

35,00

30,00

25,00

20,00

15,00

10,00

5,00

0,00

Saham Ps. Uang Ps. Uang

Pendapatan Tetap Terproteksi IndeksETF-Saham ETF-Pendapatan Tetap Syariah

2009Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

terutama terdapat pada reksadana pasar uang dan

reksadana pendapatan tetap yang masing-masing

meningkat sebesar 51,74% dan 33,75% menjadi Rp5,22

triliun dan Rp18,31 triliun. Sementara itu, kinerja reksadana

Exchange Traded Funds-saham (ETF-saham) dan ETF-

pendapatan tetap yang relatif baru terlihat mengalami

penurunan.

Page 57: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

47

Bab 2 Sektor Keuangan

Indikator Ketahanan Likuiditas PerbankanBoks 2.1

Isu mengenai ketahanan likuiditas perbankan

semakin sering dibahas terutama sejak terjadinya krisis

keuangan global tahun 2008. Krisis tersebut telah

menyebabkan mengetatnya likuiditas perbankan dalam

waktu singkat. Sebelumnya, tekanan terhadap

likuiditas dianggap terutama karena mismatch tenor

antara sisi sumber dana dengan sisi penggunaan dana

bank, sehingga strategi pengelolaan risiko likuiditas

cenderung fokus pada pemeliharaan likuiditas dalam

rangka mengantisipasi terjadinya mismatch tersebut.

Namun, krisis keuangan global memberikan

pelajaran berharga bahwa likuiditas bank bisa hilang

dengan segera karena jatuhnya nilai aset keuangan.

Oleh karena itu, di dunia internasional dewasa ini

sedang dikembangkan beberapa indikator ketahanan

likuiditas agar tidak hanya fokus terhadap mismatch

tenor, namun juga terhadap eksposur aset-aset

keuangan yang ada pada bank. Tulisan ini

memperlihatkan hasil uji coba penerapan indikator-

indikator tersebut pada perbankan di Indonesia.

Salah satu indikator yang sedang dikembangkan

adalah Core Funding Ratio (CFR). Indikator ini menilai

ketahanan likuiditas bank berdasarkan pangsa dari

sumber dana bank yang merupakan core funding yang

mencakup simpanan individual dan institusi

berdasarkan tenor terhadap total pendanaan bank

termasuk komitmen pinjaman antar bank. Formula

yang digunakan untuk perhitungan CFR sebagai

berikut:

Total deposito berjangka institusi dengan kelompok tenor tertentu + Total simpanan individu

Total Sumber Dana + 50% komitmen pinjaman antar bank

Tabel Boks 2.1.1Core Funding Ratio 14 Bank Besar

CFR 1 bln CFR 3 bln CFR 6 bln CFR 12 bln

BANK 1 0,73 0,68 0,65 0,47BANK 2 0,72 0,67 0,65 0,62BANK 3 0,55 0,50 0,47 0,39BANK 4 0,83 0,79 0,79 0,77BANK 5 0,64 0,59 0,58 0,55BANK 6 0,88 0,84 0,83 0,83BANK 7 0,70 0,67 0,66 0,65BANK 8 0,93 0,91 0,90 0,89BANK 9 0,69 0,61 0,58 0,56BANK 10 0,88 0,86 0,86 0,86BANK 11 0,73 0,72 0,72 0,72BANK 12 0,69 0,57 0,50 0,34BANK 13 0,60 0,59 0,59 0,58BANK 14 0,52 0,45 0,42 0,31

Berdasarkan formula tersebut di atas terlihat

bahwa CFR lebih menekankan ketahanan likuiditas

sisi sumber dana, dan belum mempertimbangkan

sebelumnya, hal itu terutama karena perhitungan CFR

tidak memperhitungkan eksposur aset-aset keuangan

bank. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,

potensi risiko likuiditas yang terdapat pada eksposur

aset-aset keuangan bank.

Hasil uji coba perhitungan CFR menggunakan

data 14 bank besar di Indonesia menunjukkan bahwa

beberapa bank memiliki rasio sumber dana

mengendap lebih dari satu tahun dengan pangsa

melebihi 50% dari total sumber dana bank. Hal ini

mengindikasikan bahwa secara umum bank besar

memiliki sumber dana yang relatif stabil. Pada

beberapa bank besar, khususnya yang berperan

sebagai transaction banks, dana yang relatif stabil

terutama didukung oleh simpanan individu yang

relatif besar.

Namun demikian, angka CFR saja tentunya

belum dapat mengindikasikan ketahanan likuiditas

bank secara keseluruhan. Sebagaimana dikemukakan

Page 58: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

48

Bab 2 Sektor Keuangan

Grafik Boks 2.1.1Core Funding Ratio 14 Bank Besar

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

rasio 1 bulan rasio 3 bulan rasio 6 bulan rasio 12 bulan

BANK 1 BANK 2 BANK 3 BANK 4 BANK 5

BANK 6 BANK 7 BANK 8 BANK 9 BANK 10BANK 11 BANK 12 BANK 13 BANK 14

dikembangkan indikator Net Stable Funding ratio

(NSFR) yang pada dasarnya mengidentifikasi

ketahanan likuiditas bank berdasarkan kemampuan

sumber dana yang berjangka waktu lebih panjang

(dana stabil) untuk mendanai eksposur bank pada

aset-aset keuangan termasuk yang bersifat kontinjen

yang bersumber dari kewajiban dan komitmen.

Berdasarkan pendekatan tersebut, formula untuk

perhitungan NSFR sebagai berikut:

Total Sumber Dana Jangka Panjang

Total Penanaman Pada Aset Keuangan

Menurut formula NSFR tersebut, yang

termasuk sumber dana jangka panjang adalah modal

dan kewajiban bank yang diharapkan akan stabil

sebagai sumber dana untuk paling tidak selama 1

tahun dalam kondisi stress. Dengan demikian,

sumber dana jangka panjang mencakup: (1) modal

(common stocks); (2) preferred stocks dengan jatuh

tempo 1 tahun; (3) kewajiban dengan jatuh waktu

lebih dari 1 tahun; dan (4) deposito berjangka

dengan tenor <1 tahun yang tidak dapat ditarik

walau bank mengalami masalah terkait dengan

internal likuiditas bank itu sendiri (bersifat

idiosyncratic). Sementara itu, penanaman pada aset

keuangan mencakup kredit yang diberikan, surat-

surat berharga dan eksposur derivatif.

Berdasarkan uji coba menggunakan data 14

bank besar, hasil perhitungan NSFR menunjukkan

angka rasio yang melebihi 1. Artinya, likuiditas bank

cukup tersedia dalam rangka mendukung penanaman

pada eksposur aset-aset keuangan bank, atau dengan

kata lain ketahanan likuiditas bank cukup terjaga.

Namun demikian, indikator NSFR ini juga perlu dibaca

secara hati-hati mengingat instrumen penanaman

bank yang merupakan alternatif kredit di Indonesia

sangat terbatas sehingga hasil perhitungan NSFR

hampir selalu melebihi angka 1.

Setelah memperhatikan hasil uji coba tersebut

di atas tampaknya masih diperlukan kajian lebih lanjut

dan lebih mendalam untuk menemukan indikator

yang lebih pas dalam menilai ketahanan likuiditas

bank, terutama dalam konteks Indonesia.

Tabel Boks 2.1.2NSFR 14 Bank Besar

2008 2009

BANK 1 1,87 1,86BANK 2 2,36 2,34BANK 3 2,10 2,02BANK 4 2,21 2,24BANK 5 1,87 2,20BANK 6 3,04 2,98BANK 7 2,66 3,00BANK 8 2,41 3,06BANK 9 2,25 2,23BANK 10 2,91 2,88BANK 11 2,65 3,09BANK 12 1,75 1,69BANK 13 2,75 2,70BANK 14 1,77 1,93

Grafik Boks 2.1.2NSFR 14 Bank Besar 2008-2009

-

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

3,502008 2009

BANK 1BANK 2

BANK 3BANK 4

BANK 5BANK 6

BANK 7BANK 8

BANK 9BANK 10

BANK 11BANK 12

BANK 13BANK 14

Page 59: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

49

Bab 2 Sektor Keuangan

Kinerja BancassuranceBoks 2.2

Bancassurance merupakan bentuk kerjasama

antara asuransi (baik asuransi umum maupun asuransi

jiwa) dengan bank untuk memasarkan produk asuransi.

Kerjasama ini membantu perusahaan asuransi untuk

meningkatkan volume usaha, sekaligus membantu

bank meningkatkan pelayanan kepada nasabah guina

mendapatkan loyalitas mereka. Bentuk kerjasama yang

dicakup bancassurance beragam, antara lain

pemberian referensi oleh pegawai bank kepada

nasabah mengenai produk asuransi tertentu,

pemberian informasi/penjelasan sampai dengan

nasabah menutup asuransi, penerbitan produk yang

terintegrasi antara produk bank dengan produk

asuransi, dan kepemilikan saham perusahaan asuransi.

Kerjasama bancassurance terus meningkat

jumlahnya. Sebagai contoh, pada tahun 2007 terdapat

55 perusahaan asuransi yang bekerja sama dengan 22

bank. Jumlah ini berkembang sehingga pada tahun

2008 menjadi 62 perusahaan asuransi dan 24 bank.

Kerjasama dengan perusahaan asuransi umum

lazimnya terkait dengan fasilitas pembiayaan yang

diberikan kepada nasabah seperti asuransi kebakaran

untuk kredit pemilikan rumah (KPR). Sementara itu,

kerjasama dengan perusahaan asuransi jiwa biasanya

berupa pertanggungan atas suatu peristiwa seperti

kematian, kecelakaan diri dan kesehatan. Selanjutnya,

sebagai inovasi produk asuransi jiwa, dihasilkan produk

asuransi jiwa konvensional yang dikaitkan dengan

produk investasi, baik yang memiliki return pasti

(endowment) maupun yang memiliki return tidak pasti

(unit link).

Berdasarkan data terkini, jumlah produk yang

ditawarkan melalui kerjasama bancassurance

meningkat cukup signifikan dari 685 pada akhir 2008

menjadi 831 pada September 2009. Walaupun jumlah

polis menurun, jumlah pertanggungan meningkat

sekitar 14% sehingga premi meningkat sekitar 38%.

Hal ini akan mendorong peningkatan fee based income

di perbankan. Pada tahun 2008, fee based income dari

bancassurance mencapai sekitar Rp1,1 triliun,

sementara pada 2009 (s.d. September) fee based

income telah mencapai Rp0,92 triliun.

Kerjasama bancassurance masih cenderung

terkonsentrasi pada penawaran produk asuransi

konvensional, misalnya produk asuransi konvensional

yang terkait dengan kartu kredit (credit shields).

Sementara itu, untuk penawaran produk unit link relatif

terbatas. Dari total produk asuransi yang ditawarkan

melalui bancassurance, penawaran produk unit link

hanya sekitar 12%.

Sementara itu, fee based income dari penawaran

produk unit link tampak cukup menarik, meskipun

belum sebesar fee based income yang berasal dari

produk asuransi konvensional. Per September 2009,

fee based income yang diterima bank dari penawaran

produk unit link sebesar Rp207,7 miliar dengan rasio

31/12/2008 685 11.043.562 10.049.969 399.684,1 18.633,4 1.105,431/03/2009 731 9.253.448 8.420.259 407.434,5 9.448,8 316,230/06/2009 747 9.516.788 8.615.027 444.301,7 15.090,2 432,730/09/2009 831 9.620.975 8.743.860 456.159,1 25.641,2 918,6

Tabel Boks 2.2.1Perkembangan Kegiatan Bancassurance

Posisi Jumlah Jumlah Jumlah Nilai Premi Diterima Fee BasedLaporan Produk Polis Nasabah Pertanggungan (ytd) Income

1 = Rp 1 miliar

Page 60: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

50

Bab 2 Sektor Keuangan

Total Bancassurance 831 9.620.975 8.743.860 456.159,1 25.641,2 918,6Unit link 101 418.017 356.543 36.742,7 3.544,7 207,7Bancassurance 730 9.202.958 8.387.317 419.416,5 21.903,9 710,9 Tanpa Unit Link

Tabel Boks 2.2.1

Bancassurance Dengan atau Tanpa Unit Link

Kriteria Jumlah Jumlah Jumlah Total Premi Fee basedProduk Polis Nasabah Pertanggungan Diterima(ytd) income (ytd)

1 = Rp 1 miliar

pertanggungan terhadap premi sebesar 10,4%,

sedangkan fee based income yang diterima bank dari

penawaran produk asuransi konvensional adalah

Rp710,9 miliar dengan rasio pertanggungan terhadap

premi sebesar 19,2%.

Dapat ditambahkan bahwa relatif masih

terbatasnya penawaran produk unit link melalui

bancassurance terutama karena perusahaan asuransi

lebih memilih untuk menawarkan produk unit link

secara langsung kepada nasabah. Di samping itu,

mengingat produk unit link memiliki unsur investasi

beberapa bank masih merasa perlu untuk meninjau

kesesuaian risiko produk tersebut dengan profil risiko

nasabah bank.

Page 61: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

51

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Bab 3Infrastruktur Keuangandan Mitigasi Risiko

Page 62: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

52

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 63: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

53

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

3.1. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN

Sampai dengan akhir tahun 2009 nilai transaksi

sistem pembayaran non tunai masih didominasi transaksi

Sistem BI-RTGS (Bank Indonesia-Real Time Gross

Settlement) yang mencapai 91%. Hal ini semakin

mengukuhkan peran Sistem BI-RTGS sebagai Systemically

Important Payment System (SIPS) dalam memproses dan

menyelesaikan transaksi bernilai besar seperti transaksi

pasar uang antar bank, transaksi serah dana dari

perdagangan sekuritas, transaksi valas sisi rupiah,

settlement dana dari operasi moneter/operasi pasar

terbuka, transaksi pembayaran pemerintah, dan sarana

settlement untuk penyelenggaraan kliring.

Sementara itu, dari sisi volume transaksi, frekuensi

transaksi sistem pembayaran non tunai terbesar dilakukan

dengan alat pembayaran menggunakan kartu (APMK),

yaitu sebesar 94,9%. Ini meliputi kartu kredit, kartu ATM

dan kartu ATM/Debet. Dengan semakin majunya

perkembangan teknologi pembayaran dalam bentuk card-

based, masyarakat menjadi semakin terbiasa

menggunakan APMK termasuk dalam melakukan transaksi

sehari-hari dan bernilai kecil (micro payments).

Fenomena semakin diminatinya APMK sebenarnya

baru mulai terlihat sejak tahun 2006. Hal itu karena sampai

Selama semester II 2009 infrastruktur keuangan Indonesia berkembang

dengan cukup baik sehingga dapat mendukung stabilitas keuangan dan

moneter yang pada akhirnya memberikan kontribusi positif pada kegiatan

perekonomian. Hal itu antara lain terlihat dari kemajuan-kemajuan yang

dicapai oleh sistem pembayaran yang merupakan salah satu infrastruktur

pokok sektor keuangan. Sementara itu, agenda Financial Sector

Assessment Program (FSAP) telah terlaksana sesuai rencana sehingga

diharapkan dapat berkontribusi positif terhadap pengembangan

infrastruktur keuangan serta langkah-langkah mitigasi risiko yang

diperlukan.

Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi RisikoBab 3

Grafik 3.1Perkembangan Nominal Transaksi (Miliar)

2005 2006 2007 2008 2009

50.000.000,00

40.000.000,00

30.000.000,00

20.000.000,00

10.000.000,00

-

RTGS APMK SKN

Page 64: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

54

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

yang semakin baik dan realisasi belanja pemerintah pusat

yang turun akibat beban subsidi energi yang turun drastis.

dengan tahun 2005, proporsi nilai nominal transaksi Sistem

Kliring Nasional-Bank Indonesia (SKN-BI) masih lebih besar

dibandingkan APMK. Namun sejak tahun 2006, nilai

transaksi APMK sudah melebihi transaksi SKN-BI. Dari sisi

volume, transaksi SKN-BI juga semakin turun seiring

dengan semakin diminatinya APMK yang ditandai dengan

tren meningkatnya proporsi volume transaksi.

Grafik 3.2Perkembangan Volume Transaksi (Ribuan)

3.1.1. Sistem BI-RTGS

Perkembangan Transaksi

Hingga akhir semester II 2009 total nilai dan volume

transaksi Sistem BI-RTGS mencapai Rp17,3 ribu triliun dan

5,9 juta transaksi. Setelah sempat mengalami

pertumbuhan negatif pada semester sebelumnya, pada

semester II 2009 baik nilai maupun volume transaksi Sistem

BI-RTGS tumbuh positif masing-masing sebesar 4,1% dan

15,2%. Hal itu didorong peningkatan transaksi nasabah

sebesar 16,7% antara lain dipicu oleh hari raya dan

peningkatan pengeluaran perusahaan pada akhir tahun.

Bila dibandingkan dengan periode yang sama pada

tahun sebelumnya dari sisi volume terdapat peningkatan

sebesar 10%, namun dari sisi nominal mengalami

penurunan sebesar 11%. Penurunan tersebut terutama

disebabkan transaksi pengelolaan moneter dan transaksi

pemerintah yang tumbuh negatif masing-masing 34,7%

dan 30,7% sejalan dengan transmisi kebijakan moneter

Grafik 3.3Perkembangan Transaksi Sistem BI-RTGS

Selama Tahun 2009

Aktivitas Operasional dan Manajemen Likuiditas

Kinerja sistem BI-RTGS selama semester II 2009 tetap

stabil dengan persentase penyelesaian transaksi mencapai

lebih dari 99%. Namun demikian, mengingat gangguan

pada aplikasi sistem dan jaringan komunikasi data

merupakan kondisi-kondisi yang berpotensi menyebabkan

sistem RTGS mengalami system down, perlu dipersiapkan

langkah-langkah mitigasi risiko operasional melalui

pemeliharaan dan pengembangan sistem, termasuk

ujicoba Business Continuity Plan (BCP)/Disaster Recovery

Plan (DRP) secara berkala.

Kondisi likuiditas Sistem BI-RTGS secara umum cukup

longgar, tercermin dari indikator penggunaan likuiditas

sistem (liquidity usage indicator) yang berada pada kisaran

30% s.d. 35%.1 Sementara itu, indikator turn over ratio

menunjukkan angka rata-rata sebesar 1,4.2 Angka rasio

ini mengindikasikan bahwa dalam melakukan transaksi

1 Liquidity Usage Indicator menunjukkan tingkat keketatan penggunaan likuiditas padalevel sistem RTGS. Indikator tersebut memiliki range nilai dari 0 s.d. 1. Semakin mendekati1 berarti likuiditas sistem semakin ketat.

2 Turn over ratio merupakan perbandingan antara outgoing transaction yang diselesaikanterhadap saldo rekening bank yang tersedia pada awal hari. Rasio turn over tinggi dapatdiartikan bahwa bank lebih banyak membayar kewajibannya dengan menunggu incomingtransfer dari bank lain dibandingkan menggunakan modalnya sendiri

2.000.000

1.500.000

1.000.000

500.000

02005 2006 2007 2008 2009

RTGS APMK SKN

4.000

3.000

2.000

1.000

-

Nilai1.400

1.200

1.000

800

600

400

200

-Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Nilai (Triliun) Volume (Ribu)

Volume

Page 65: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

55

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

dengan transaksi Sistem BI-RTGS, pertumbuhan positif

transaksi SKNBI terutama karena dipicu oleh hari raya

dan peningkatan pengeluaran perusahaan pada akhir

tahun.

Grafik 3.4Perkembangan Transaksi SKN BI Selama tahun 2009

melalui Sistem BI-RTGS, para peserta umumnya

mengandalkan incoming transfer dari bank lain.

Selama semester II 2009, terdapat bank peserta yang

memanfaatkan fasilitas likuiditas intrahari Sistem BI-RTGS

(FLI-RTGS) karena meningkatnya volume transaksi Sistem

BI-RTGS pada bank peserta tersebut. Penyediaan FLI

merupakan upaya mitigasi risiko yang disediakan Bank

Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan

sementara bank yang terjadi selama jam operasional Sistem

BI-RTGS guna mengatasi kemacetan pembayaran

(gridlock). Upaya pencegahan gridlock terlihat semakin

baik serta didukung oleh semakin dekatnya pemenuhan

target sebaran nilai transaksi sesuai throughput guideline

(30%:30%:40%) dengan realisasi selama semester II 2009

mencapai 39%:37%:24%. Kelompok bank yang masih

memiliki sebaran nilai transaksi di bawah target berpotensi

mengalami penumpukan transaksi pada akhir hari,

sehingga perlu diimbangi dengan manajemen likuiditas

akhir hari yang baik.

Sementara itu, upaya mitigasi risiko transaksi

pembayaran sisi rupiah dari transaksi perdagangan valuta

asing antar-bank pada sistem BI-RTGS dilakukan melalui

implementasi Payment-versus-Payment (PvP) Link. Uraian

lebih lanjut tentang PvP Link terdapat pada Boks 3.1.

3.1.2. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia

(SKNBI)

Perkembangan Transaksi

Aktivitas transaksi SKNBI mengalami peningkatan

nilai dan volume masing-masing sebesar Rp811,2 triliun

dan 42,3 juta transaksi atau naik 8,4% dan 5,7% selama

semester II 2009. Kondisi ini berbeda dengan semester

sebelumnya yang tumbuh negatif. Namun demikian, jika

dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun

sebelumnya, nominal dan volume mengalami penurunan

masing-masing sebesar 5,2% dan 2,2%. Sama halnya

Aktivitas Operasional dan Manajemen Likuiditas

Sebagaimana sistem BI-RTGS, kinerja SKNBI hingga

akhir semester II 2009 juga tetap stabil dengan prosentase

penyelesaian transaksi (settled transactions) mencapai lebih

dari 99%. Selama tahun 2009 telah dilakukan uji coba

penggunaan infrastruktur back-up baik untuk sistem BI-

RTGS maupun SKNBI sebanyak 4 (empat) kali dengan

menggunakan beberapa skenario uji coba sebagai

antisipasi terhadap gangguan atau keadaan darurat baik

pada Sistem BI-RTGS maupun SKNBI.

Secara umum, kondisi likuiditas SKNBI dapat dilihat

dari penyediaan prefund (cash maupun collateral) sebagai

syarat mengikuti kliring yang terpenuhi dengan baik oleh

seluruh peserta kliring sepanjang semester II 2009. Untuk

menekan potensi risiko reputasi terhadap instrumen kliring

akibat penerbitan cek dan bilyet giro kosong yang

cenderung memiliki tren meningkat secara tahunan, perlu

dukungan peranan perbankan dalam penatausahaan

Daftar Hitam Nasional (DHN). Pengelolaan DHN yang

terintegrasi dan bersifat online diharapkan dapat

Nilai Volume

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

10

8

6

4

2

-

Nilai (Triliun) Volume (Juta)160

140

120

100

80

60

40

20

-

Page 66: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

56

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

memitigasi risiko dan meningkatkan peran cek/bilyet giro

sebagai alat pembayaran nasional. Pada akhir Desember

2009, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Sistem

Informasi Daftar Hitam Nasional (SIDHN) dengan tujuan

untuk efisiensi penerbitan daftar hitam secara nasional.

3.1.3. Industri Kartu ATM dan ATM/Debet

Hingga akhir semester II 2009 penggunaan kartu

ATM dan ATM/Debet memiliki nilai dan volume transaksi

masing-masing Rp914 triliun dan 840 juta transaksi.

Setelah sempat mengalami pertumbuhan negatif pada

semester I 2009, nilai transaksi kartu ATM dan ATM/Debet

mengalami pertumbuhan sebesar 2% seiring dengan

meningkatnya pengeluaran nasabah pada hari raya dan

akhir tahun.

Sementara itu, volume transaksi kartu ATM dan ATM/

Debet terus tumbuh positif. Bahkan selama semester II

2009 terdapat kenaikan sebesar 16%, sebagai suatu

pertanda peningkatan minat masyarakat dalam

menggunakan kartu ATM dan ATM/Debet untuk transaksi

penarikan uang tunai maupun transaksi belanja. Namun

demikian, angka nominal ini masih lebih rendah

dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang

sama pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan yang lebih

rendah ini menjadi tantangan dalam mendorong

terwujudnya interoperability di antara perusahaan

switching kartu ATM dan ATM/Debet. Hal ini sangat

diperlukan untuk menciptakan efisiensi pasar dan untuk

semakin menjangkau masyarakat yang unbankable.

Perkembangan teknologi dan informasi yang

semakin luas meningkatkan risiko pada instrumen

pembayaran nasional termasuk kartu ATM dan ATM/Debet.

Kasus fraud Kartu ATM dan ATM/Debet yang mencuat

pada awal tahun 2010 (lihat Boks 3.2) perlu diantisipasi

dengan segera oleh pihak-pihak terkait, antara lain dengan

mempercepat penerapan teknologi chip pada Electronic

3.1.4. Industri Kartu Kredit

Meskipun sempat mengalami pertumbuhan negatif

pada semester sebelumnya, aktivitas transaksi kartu kredit

selama semester II tahun 2009 mengalami peningkatan

nilai dan volume masing-masing sebesar Rp74 triliun dan

95 juta transaksi atau naik 17% dan 8%. Bila dibandingkan

dengan periode yang sama tahun sebelumnya, terdapat

kenaikan secara nominal dan volume masing-masing

sebesar 27% dan 8%. Pertumbuhan positif transaksi kartu

kredit terutama didorong peningkatan transaksi belanja

nasabah karena gencarnya promosi dari para penerbit

kartu kredit, serta meningkatnya konsumsi pada hari raya

dan akhir tahun.

Data Capture (EDC) dan kartu ATM melalui penetapan

standar nasional.

Grafik 3.5Perkembangan Transaksi Kartu Debet Selama Tahun 2009

Grafik 3.6Perkembangan Transaksi Kartu Kredit Selama tahun 2009

200

150

100

50

0

200

150

100

50

0

Nilai Volume

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Nilai (Triliun) Volume (Juta)

15,00

10,00

5,00

-

20

10

-Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Nilai (Triliun) Volume (Juta)

Nilai Volume

Page 67: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

57

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Dalam rangka implementasi teknologi chip dalam

kartu kredit untuk minimalisasi risiko (fraud), sejak bulan

Oktober 2009 Bank Indonesia telah melakukan monitoring

dan pertemuan secara intensif dengan para penerbit kartu

kredit dan meminta para penerbit melaporkan

perkembangan kesiapan implementasi chip secara berkala

(2 mingguan) kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, mulai

awal bulan Desember 2009, monitoring dan pertemuan

dengan penerbit terkait kesiapan implementasi teknologi

chip tersebut semakin sering dilakukan, sedangkan periode

laporan perkembangan yang sebelumnya satu kali dalam

dua minggu diubah menjadi tiap minggu.

3.1.5. Industri Uang Elektronik/Electronic Money

Transaksi dengan menggunakan uang elektronik (e-

money) selama semester II 2009 mengalami peningkatan

baik dari sisi nilai maupun frekuensi transaksi dibandingkan

semester sebelumnya. Nilai transaksi selama semester II

2009 sebesar Rp331 miliar atau meningkat 76%,

sedangkan frekuensi transaksi sebesar 10,4 juta atau

meningkat 49%. Pertumbuhan uang elektronik yang

masih berfluktuasi mengindikasikan perlunya penetapan

standar nasional uang elektronik sehingga tercipta

interoperability antar penerbit uang elektronik dan efisiensi

pasar.

3.2. PERKEMBANGAN FINANCIAL SECTOR

ASSESSMENT PROGRAM (FSAP)

Sebagaimana dilaporkan dalam KSK edisi

sebelumnya, Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan

Financial Sector Assessment Program (FSAP) pada tahun

2009/2010. FSAP ini dilaksanakan dalam 2 tahap.

Tahap pertama (first mission) telah dilaksanakan pada

tanggal 29 September s.d 16 Oktober 2009 dengan

melibatkan 20 orang assessor dari IMF dan World Bank.

Secara keseluruhan selama tahap pertama ini telah

dilakukan sekitar 200 pertemuan dengan berbagai pihak,

dan secara umum dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Pada akhir misi pertama ini, asssessor telah menyampaikan

preliminary assesssment secara detil kepada masing-

masing otoritas termasuk Bank Indonesia dan Departemen

Keuangan. Hasil preliminary assessment terhadap standard

internasional di sektor perbankan, moneter dan sistem

pembayaran cukup beragam dan terdapat beberapa

temuan pokok (major findings) yang perlu didiskusikan

secara intensif dengan berbagai otoritas dalam rangka

penyusunan action plan. Sebagai tindak lanjut dari hasil

preliminary assessment telah dilaksanakan beberapa

kegiatan, antara lain roundtable discussion dengan

berbagai stakeholders, serta menyampaikan tanggapan

tertulis terhadap hasil preliminary assesssment pada bulan

Desember 2009.

Salah satu aspek penting infrastruktur sistem

keuangan yang dinilai dalam first mission adalah

pelaksanaan Sistem BI-RTGS. Pelaksanaan assessment

dilaksanakan dengan mengacu pada Core Principles for

Systemically Important Payment System (CP-SIPS) yang

dikeluarkan oleh Bank for International Settlements (BIS).

CP-SIPS tersebut merupakan acuan dalam

penyelenggaraan sistem yang termasuk kategori SIPS dan

digunakan secara internasional. Berdasarkan hasil

preliminary assessment, secara umum sistem pembayaran

Grafik 3.7Perkembangan Transaksi E-Money Selama tahun 2009

80,0

60,0

40,0

-

20,0

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Nilai (Ribu) Volume (Miliar)

2.500

2.000

1.500

-

500

1.000

Nilai Volume

Page 68: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

58

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

nasional dinilai telah memenuhi Core Principles for

Systemically Important Payment Systems (CP-SIPS). Namun

demikian, assessor juga memberikan beberapa

rekomendasi, antara lain:

- Perlunya suatu ketentuan dengan hirarki yang lebih

tinggi untuk mengatur netting settlement seperti

Undang-undang Sistem Pembayaran Nasional. Saat

ini semuanya masih diatur dalam Peraturan Bank

Indonesia.

- Peningkatan peranan sistem pembayaran non tunai

sebagai alat pembayaran nasional yang didukung

dengan pengembangan atas infrastruktur

pembayaran elektronik secara nasional yang dibarengi

dengan edukasi masyarakat mengenai alat

pembayaran elektronik.

- Perlu upaya untuk mendorong efisiensi infrastruktur

(infrastructure sharing) seperti jaringan switching ATM

dan debet yang terintegrasi.

Selanjutnya, pada tanggal 24 Februari s.d 10 Maret

2010 telah dilakukan assessment tahap kedua (second

mission) dengan jumlah assessor sebanyak 14 orang dari

IMF dan World Bank. Khusus pembahasan stress testing

dilakukan lebih awal yaitu sejak tanggal 18 Februari 2010.

Selain konfirmasi terhadap hasil preliminary assessment,

fokus utama misi tahap kedua adalah melakukan finalisasi

dan mengintegrasikan berbagai aspek yang terkait dengan

analisis terhadap stability dan development. Untuk itu

dilakukan sejumlah pertemuan dengan berbagai pihak.

Pada akhir misi tahap kedua, assessor menyampaikan FSAP

Aide Memoire, Draft FSAP Technical Notes dan revisi dari

penilaian terhadap beberapa standard untuk ditanggapi

oleh semua otoritas terkait.

Setelah second mission selesai, tahapan berikutnya

adalah penyampaian tanggapan terhadap FSAP Aide

Memoire dan beberapa dokumen lainnya oleh otoritas

terkait pada bulan April 2010, yang diikuti dengan finalisasi

Financial System Stability Assessment (FSSA) dan Financial

Sector Assessment (FSA) oleh asssessor pada bulan Juli

2010. Setelah itu, keseluruhan hasil assessment akan

difinalisasi pada IMF/World Bank Board meeting pada bulan

Agustus 2010.

Pelaksanaan FSAP ini diharapkan dapat

menghasilkan rekomendasi yang berkualitas, berorientasi

ke depan, positif, dan konstruktif, sehingga dapat dijadikan

acuan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam

kerangka pengaturan dan pengawasan sektor keuangan.

Adanya FSAP diharapkan akan meningkatkan transparansi

dan akuntabilitas kebijakan pemerintah dan Bank

Indonesia di sektor keuangan, serta memperkuat daya

tahan sistem keuangan Indonesia terhadap guncangan

(shock), baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Page 69: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

59

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Implementasi Payment-versus-Payment (PvP) LinkBoks 3.1

Bank Indonesia dan Hong Kong Monetary

Authority (HKMA) pada hari Senin tanggal 25 Januari

2010 telah bersama-sama mengimplementasikan

Payment-versus-Payment (PvP) Link antara sistem

penyelesaian transaksi real time untuk Rupiah di

Indonesia, yaitu Sistem Bank Indonesia√Real Time Gross

Settlement (BI-RTGS) dan sistem penyelesaian transaksi

real time untuk Dollar Amerika Serikat di Hong Kong,

yaitu United States Dollar Clearing House Automated

Transfer System (USD CHATS). PvP Link dioperasikan

di Indonesia oleh Bank Indonesia dan di Hong Kong

oleh Hong Kong Interbank Clearing Limited, yang

merupakan lembaga yang dimiliki bersama oleh HKMA

dan asosiasi bank di Hong Kong.

PvP Link yang merupakan tambahan fasilitas

dalam Sistem BI-RTGS ditujukan untuk memitigasi risiko

kegagalan setelmen (settlement risk) dari transaksi

perdagangan Dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah

antar-bank di Indonesia dengan menjamin

penyelesaian secara simultan dari Dollar Amerika

Serikat di Hong Kong dan Rupiah di Indonesia. Dengan

PVP Link, bank-bank di Indonesia dapat memitigasi

counterparty risk dari transaksi valuta asing serta

meningkatkan efisiensi operasional melalui

penyelesaian transaksi pada zona waktu Asia.

Implementasi infrastruktur ini bagi bank-bank

di Indonesia juga mendatangkan manfaat berupa

dapat dengan segera memperoleh dan memanfaatkan

IDR dan USD dari transaksi perdagangan USD/IDR. Hal

itu dapat terjadi karena kedua mata uang diselesaikan

secara real-time dan simultan dalam zona waktu Asia.

Disamping itu, dengan PvP Link ini bank-bank pelaku

pasar USD/IDR dapat memiliki pilihan counterparty

yang lebih luas karena tidak lagi dibatasi dengan

counterparty trading limit yang merepresentasikan FX

settlement risk. PvP Link juga dapat dimanfaatkan

peserta sebagai market guidance (seperti informasi real

time perdagangan di pasar modal), membantu

pengukuran/perbaikan credit line di antara market

player dan menciptakan kondisi terbentuknya market-

based price quotation. Dengan demikian, pada

gilirannya diharapkan dapat diciptakan sistem

pembayaran dan setelmen dana antar-bank di

Indonesia yang lebih aman, handal dan efisien.

Berikut adalah gambaran mekanisme transaksi

USD-IDR dengan PVP Link dan tanpa PVP Link:

Page 70: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

60

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Mekanisme transaksi USD-IDR tanpaPVP Link

Mekanisme transaksi USD-IDR PVP Link

Bank APerdagangan Valas

Bank B(1)

Indo

nesi

aA

mer

ika

Serik

at

Transfer IDR

per-dealticket

BI-RTGS

DebitBank A

KreditBank B

Advis Debit(2a)

(4)

USD

Set

tlem

ent I

nfo

AdvisKredit

FEDWIRE (US-RTGS)

KreditBank Kores

pondenBank A

DebitBank Kores

pondenBank B

(3)Adv

isKr

edit

Bank KorespondenBank A

Bank KorespondenBank B

Perin

tah

Tran

sfer

USD

per

-dea

l tic

ket

Mel

alui

SW

IFT

(2b)

Tran

sfer

USD

«Proses 2a» tidak bersama dengan «Proses 3» potensi terjadinya FX Settlement/Herstatt Risk

Matching processPVP Link

Indonesia Hongkong

Bank X Bank Y

Holdfund

Step 4Hold fundsIn IDR RTGS

Step 1Initiate PvP(Sell IDR)

IDR RTGSIDR

CCPMP**

BI

Step 3Matching of

Pvp

Step 1

IDRCCPMP** Step 2

Correspondentof Bank X in IHK

Correspondentof Bank Y in IHK

Bank B Bank A

Holdfund

Step 4Hold funds

In USD CHATS

Step 5*

Step 2Initiate PvP(Sell USD)

USDCAHTS

(opeatedby HKICL

SettlementInstitution

(HSBC)

- Step 5 will be done in the IDR and USD RTGS rspectively in a synchronised Manner.** CCPMP - Cross Currency Payment Matching Processor

Message flow

Payment flow

Step 5*Effect fundstransfer inIDR RTGS

Effect fundstransfer in

USD CHATS

Page 71: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

61

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Kasus Fraud pada Kartu ATM dan ATM/DebetBoks 3.2

Menyadari pentingnya menjaga faktor keamanan

dalam industri Alat Pembayaran dengan Menggunakan

Kartu (APMK), Bank Indonesia telah menetapkan

kewajiban penerbit, acquirer dan prinsipal untuk terus

meningkatkan keamanan teknologi, pengelolaan risiko

operasional dan kewajiban pelaporan. Hal itu diatur

di dalam Peraturan Bank Indonesia No.11/11/PBI/2009

tanggal 13 April 2009 tentang Penyelenggaraan

Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan

Kartu dan Surat Edaran Bank Indonesia No.11/10/DASP

tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan

Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan

Kartu.

Untuk mencegah meluasnya kasus fraud pada

kartu ATM dan ATM/Debet yang terjadi pada awal

tahun 2010, Bank Indonesia telah melakukan berbagai

tindakan, antara lain pembentukan tim task force yang

terdiri dari bank-bank yang terkena kasus skimming

dan switching company. Tugas task force tersebut

adalah memfasilitasi industri perbankan untuk

mempermudah identifikasi dan melakukan langkah

preventif yang diperlukan dalam menangani kasus

fraud yang terjadi. Selain itu juga akan dibentuk forum

teknis antara Kepolisian, Bank Indonesia dan pihak

terkait. Pembentukan forum teknis tersebut

merupakan sarana pertukaran informasi tentang tindak

pidana kejahatan, baik yang menyangkut uang palsu

maupun kejahatan di bidang Sistem Pembayaran non

tunai dalam rangka untuk mempercepat penangangan

suatu tindak kejahatan.

Di samping itu, Bank Indonesia meminta bank-

bank untuk terus meningkatkan pengawasan terhadap

fisik mesin ATM, khususnya yang berada di luar kantor

cabang untuk memastikan tidak terpasang alat

mencurigakan, dan memonitor transaksi yang tidak

biasa dilakukan nasabah. Selain itu, Bank Indonesia

juga mengingatkan bank-bank untuk memitigasi risiko

fraud di dalam penyelenggaraan kegiatan ATM/Debet

antara lain dengan menyusun Standard Operating

Procedure (SOP) yang memadai, melaksanakan

transaksi sebagaimana SOP, termasuk melakukan

monitoring dan menerapkan prinsip kehati-hatian

dalam proses pemilihan merchant maupun evaluasi

terhadap merchant. Sementara itu, upaya pencegahan

fraud yang dapat dilaksanakan oleh perbankan dalam

rangka peningkatan keamanan bertransaksi

menggunakan kartu ATM di mesin ATM antara lain

adalah pemasangan anti skimmer, CCTV, PIN cover,

serta monitoring pengamanan dan kebersihan di

lingkungan mesin ATM.

Tidak kalah pentingnya adalah agar bank terus

menerus melakukan edukasi kepada nasabah

mengenai pentingnya pengamanan PIN dengan

mengingatkan nasabah untuk mengubah PIN secara

berkala dan tidak terpancing memberikan PIN kepada

pihak lain. Selain itu, nasabah juga hendaknya

memperhatikan kondisi fisik ATM dan alat Electronic

Data Capture (EDC) dan lingkungan sekeliling, serta

segera melaporkan kepada bank terdekat dan atau

kepada pihak berwajib jika terdapat hal-hal yang

mencurigakan.

Page 72: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

62

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Mitigasi Risiko Kartu KreditBoks 3.3

Dalam rangka meningkatkan keamanan

penyelenggaraan kegiatan kartu kredit sejak tahun

2006 Bank Indonesia telah mencanangkan kewajiban

untuk mengimplementasikan teknologi chip pada kartu

kredit. Dengan Peraturan Bank Indonesia No.11/11/

PBI/2009 dan Surat Edaran No.11/10/DASP tanggal 13

April 2009, Bank Indonesia menetapkan implementasi

teknologi chip mulai tanggal 1 Januari 2010 pada

semua kartu kredit yang diterbitkan oleh Penerbit di

Indonesia dan mesin pemroses transaksi atau Electronic

Data Capture (EDC).

Dengan demikian, semua transaksi yang

dilakukan di wilayah Indonesia harus telah

menggunakan teknologi chip. Namun demikian,

teknologi sebelumnya, yaitu magnetic strip masih dapat

digunakan apabila ada kartu kredit yang diterbitkan

oleh Penerbit Luar Negeri melakukan transaksi di

Indonesia atau apabila kartu kredit Indonesia

digunakan bertransaksi di luar negeri. Penggunaan

teknologi chip ini akan meningkatkan keamanan

karena mempunyai kemampuan enkripsi yang lebih

canggih dan sulit dipalsukan serta mempunyai

operating system sendiri sehingga dapat diprogram

untuk security yang lebih canggih.

Selain itu, Bank Indonesia juga terus mendorong

peranan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) sebagai

bagian dari Self Regulatory Organisation (SRO) untuk

berperan lebih aktif membuat rambu-rambu

pelaksanaan kegiatan dan menjadi fasilitator yang

menjembatani regulator dan industri. AKKI juga secara

rutin melakukan pertemuan dengan Bank Indonesia

untuk melakukan update isu-isu yang menjadi

perhatian serta langkah-langkah yang telah dilakukan,

seperti merchant gesek tunai, dan lain-lain. Tidak

hanya dengan AKKI, Bank Indonesia juga mengadakan

pertemuan secara berkala dengan penyelenggara

kartu kredit untuk mendapatkan informasi

perkembangan industri.

Untuk meningkatkan efektivitas pemantauan

penyelenggaraan kartu kredit, Bank Indonesia

melakukan upaya penyusunan dashboard industri

kartu kredit yang berisi indikator-indikator yang

menggambarkan kinerja industri. Penyusunan

dashboard ini dilakukan bekerja sama dengan AKKI

sebagai perwakilan dari industri.

Page 73: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

63

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Bab 4Prospek SistemKeuangan Indonesia

Page 74: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

64

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 75: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

65

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

4.1. PROSPEK EKONOMI DAN PERSEPSI RISIKO

Perekonomian Indonesia diprakirakan berada pada

fase pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Setelah

mencapai titik terendahnya pada triwulan II 2009 yakni

4,1%, pertumbuhan ekonomi mengalami akselerasi pada

triwulan-triwulan berikutnya. Keyakinan berlanjutnya tren

akselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut dibuktikan

dengan realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2009

yang mencapai 5,4%, jauh lebih tinggi dari perkiraan

sebelumnya, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan

ekonomi tahun 2009 mencapai angka 4,5%.

Prospek ekonomi domestik juga diprakirakan akan

semakin membaik. Ekonomi diprakirakan akan tumbuh

pada kisaran 5,0%√5,5% pada tahun 2010. Membaiknya

prospek pertumbuhan tersebut disebabkan oleh kondisi

eksternal yang lebih kondusif sejalan dengan mulai

pulihnya ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia

Secara umum, prospek sistem keuangan Indonesia menunjukkan arah

yang positif. Hal tersebut didukung oleh prakiraan pertumbuhan ekonomi

Indonesia yang membaik disertai dengan stabilitas harga yang tetap

terjaga, serta masih tetap menariknya imbal hasil dari instrument keuangan

yang diterbitkan Indonesia. Sementara itu, profil risiko perbankan ke depan

diperkirakan akan tetap terkendali dengan melakukan berbagai langkah

mitigasi risiko untuk meminimalkan potensi-potensi kerawanan di sektor

keuangan.

Prospek Sistem Keuangan IndonesiaBab 4

berpotensi meningkat lebih tinggi jika berbagai hambatan

dalam penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan dapat

segera diselesaikan, dan jika Indonesia dapat

memanfaatkan peluang ekspor dari peningkatan

kerjasama perdagangan regional terutama dalam skema

ACFTA.

Grafik 4.1Perbandingan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa Kelompok Negara

PertumbuhanDunia

Negara Maju NegaraBerkembang

ASEAN-5 Indonesia-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

5

6

2009* 2010*2008

*) Semua angka untuk tahun 2009 dan 2010 merupakan proyeksi dari World Economic Outlook update, IMF,publikasi tanggal 8 Juli 2009, kecuali untuk Indonesia yang berdasarkan angka proyeksi dari Asia PacificConcensus bulan Juli 2009.

Page 76: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

66

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Di sisi harga, inflasi tahun 2009 tercatat hanya

sebesar 2,78% yang merupakan angka terendah selama

10 tahun terakhir. Meskipun perlambatan ekonomi turut

berperan dalam menahan peningkatan laju inflasi, upaya

Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar

memegang peranan penting dalam menurunkan

ekspektasi inflasi. Di samping itu, kebijakan Pemerintah

untuk menurunkan harga BBM dan biaya transportasi

cukup signifikan dalam mendorong rendahnya laju inflasi.

Sejalan dengan itu, inflasi tahun 2010 diprakirakan akan

tetap terkendali dan berada pada kisaran sasaran sebesar

5+1%. Proyeksi inflasi tersebut antara lain tidak terlepas

dari terjaganya stabilitas nilai tukar rupiah dan tidak adanya

kebijakan strategis Pemerintah yang mendorong

perkembangan harga dalam negeri.

menyebabkan cukup besarnya aliran masuk dana asing.

Persepsi investor terhadap nilai tukar rupiah juga relatif

terjaga tercermin dari stabilnya pergerakan indikator»premi

swap yang mengindikasikan minimalnya potensi tekanan

terhadap rupiah. Selanjutnya, imbal hasil investasi dalam

rupiah masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara

lain di kawasan Asia, sehingga masih menjadi daya tarik

bagi investor asing untuk berinvestasi pada instrumen

rupiah..

Grafik 4.2Persepsi Risiko Indonesia

Sementara itu, persepsi risiko terhadap

perekonomian Indonesia membaik. Investor asing masih

menganggap kondisi ekonomi Indonesia relatif baik dan

menarik untuk investasi. Mayoritas indikator persepsi risiko

Indonesia menunjukkan perkembangan yang lebih baik,

antara lain tercermin pada pergerakan Credit Default Swap

(CDS) yang mengalami penurunan bila dibandingkan

dengan posisi pada awal semester II 2009. Disamping itu,

sovereign rating Indonesia juga sudah meningkat menjadi

Ba2 (menurut Moody»s) atau menjadi BB+ (menurut Fitch)

dengan outlook yang membaik dari stabil menjadi positif

(antara lain menurut Standard & Poor). Kondisi tersebut

4.2. PROFIL RISIKO PERBANKAN: TINGKAT DAN

ARAH

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa selama

semester II 2009, Stabilitas Sistem Keuangan menunjukkan

tren yang membaik. Hal itu terlihat dari Financial Stability

Index (FSI) yang menurun dari 1,94 (Juni 2009) menjadi

1,91 (Desember 2009). Perbaikan FSI kemudian berlanjut

pada tahun 2010 dengan posisi akhir Februari pada tingkat

1,90. Pada akhir semester I 2010, FSI diproyeksikan pada

kisaran 1,59-2,16 dengan baseline sebesar 1,87. Hal ini

didukung oleh prakiraan akan semakin membaiknya

kondisi ekonomi makro ke depan yang mendorong

semakin terkendalinya NPL serta semakin rendahnya

volatilitas IHSG dan yield SUN. Dengan demikian, secara

keseluruhan kondisi sektor keuangan pada tahun 2010

Tabel 4.1Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi

PDB (%, yoy) 4,4 4,0 4,2 5,4 4,5 5,0 - 5,5 6,0 - 6,5

Inflasi (%, yoy) 7,9 3,7 2,6 2,78 2,78 5 + 1 5 + 1

20092010*

T1 T2 T3 T4

* Angka proyeksi Bank Indonesia

2009 2011*

150

300

450

600

750

900

1,5

3,0

4,5

6,0

7,5

9,0

Yield Spread Global Bond RI vs US T-Note

CDS Ind (RHS)

EMBIG Spread (RHS)

bps%

Risk Worsen

Sumber: Bloomberg

Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan2009 2010

Page 77: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

67

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

diperkirakan akan relatif lebih baik dibandingkan tahun

2009.

Perbaikan dalam stabilitas sektor keuangan tersebut

didukung oleh cukup kuatnya kinerja perbankan. Hal ini

tercermin pada CAR industri perbankan yang mencapai

17,4% pada akhir Desember 2010. Selama semester

laporan, CAR mencapai puncaknya pada September 2009,

yaitu 17,7%. Sejalan dengan cukup kuatnya kinerja

perbankan, pada bulan Januari 2010, Fitch menaikkan

rating beberapa bank besar di Indonesia dari BB menjadi

BB+, sedangkan Moody»s meng-upgrade outlook industri

perbankan Indonesia dari negatif menjadi stabil.

Dari sisi risiko pasar, ke depan diperkirakan akan tetap

berada pada tingkat yang moderat dengan arah yang

cenderung stabil. Suku bunga yang menurun, nilai rupiah

yang meningkat, dan harga SUN yang membaik membuat

tekanan risiko pasar terhadap perbankan cukup terkendali.

Dengan struktur maturity yang cenderung liability sensitive

pada jangka pendek dan asset sensitive pada jangka

panjang, maka tren penurunan suku bunga yang terjadi

saat ini berdampak positif pada kinerja keuangan

perbankan. Faktor lain yang mendukung terkendalinya

risiko pasar adalah terbatasnya risiko nilai tukar. Hal ini

karena perbankan cenderung memelihara Posisi Devisa

Neto (PDN) yang cukup rendah (hanya sekitar 4,1%) atau

jauh lebih rendah dari batas yang diperbolehkan

(maksimum 20% dari modal).

Sementara itu, risiko likuiditas perbankan juga berada

pada level yang moderat dengan kecenderungan yang

relatif stabil. Penilaian tersebut didasarkan pada cukup

besarnya alat likuid yang dimiliki bank karena rendahnya

penyaluran kredit yang diikuti dengan semakin

membaiknya pelaksanaan manajemen risiko likuiditas

perbankan. Selain itu, perkembangan suku bunga dan

transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) selama semester

laporan menunjukkan tidak ada tekanan yang signifikan

yang bersumber dari kondisi likuiditas bank. Namun,

kehati-hatian perlu terus ditingkatkan mengingat

mayoritas sumber dana perbankan di Indonesia berjangka

waktu pendek sehingga rawan terhadap mismatch,

sementara krisis global telah membuktikan bahwa risiko

likuiditas sangat sulit untuk dikelola.

Jenis risiko yang tampaknya cukup berpotensi

menimbulkan tekanan terhadap stabilitas perbankan

adalah risiko kredit. Meskipun data yang ada

menunjukkan bahwa risiko ini cukup terkendali dan

bahkan dari sisi rasio NPL net terdapat penurunan dalam

satu tahun terakhir, namun ke depan diperkirakan akan

sedikit meningkat meskipun masih pada tingkat moderat.

Hal-hal yang mendasari perkiraan ini antara lain adalah,

pertama, krisis global belum sepenuhnya berakhir

sehingga masih mungkin menyisakan dampak berupa

peningkatan risiko kredit. Kedua, dengan mulai

membaiknya kondisi perekonomian, pertumbuhan kredit

biasanya akan meningkat, sehingga kalau terlalu cepat

bertumbuh dapat berpotensi meningkatkan risiko kredit.

Ketiga, jumlah kredit dengan kolektibilitas Dalam

Perhatian Khusus (golongan 2) masih cukup besar, yaitu

sekitar Rp82,4 triliun per Desember 2009. Apabila kondisi

ekonomi tiba-tiba memburuk sehingga misalnya 25% dari

kredit Dalam Perhatian Khusus bergeser menjadi kredit

bermasalah, hasil simulasi menunjukkan bahwa rasio NPL

gross perbankan akan meningkat menjadi 4,7% dan CAR

akan menurun menjadi sekitar 16,5%. Untuk memitigasi

risiko kredit ini, kehati-hatian sangat perlu dijaga oleh

perbankan, termasuk dengan segera membentuk PPAP

secukupnya.

Tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah risiko

operasional. Adanya fraud Kartu ATM dan ATM/Debet

yang terjadi pada beberapa bank pada Januari 2010

menunjukkan bahwa perbankan memang perlu

memberikan perhatian yang sepadan terhadap risiko

Page 78: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

68

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

operasional sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Basel

2. Sebagai industri yang sangat tergantung pada sumber

daya manusia dan sistem informasi teknologi, perbankan

akan selalu terekspose dengan risiko operasional. Dengan

terus meningkatkan kemampuan manajemen risiko, ke

depan perbankan diharapkan akan semakin berhasil dalam

melakukan deteksi dini (early warning) dan selalu siap

dengan langkah-langkah mitigasi untuk risiko operasional

apabila diperlukan.

4.3. POTENSI KERAWANAN YANG PERLU

DIWASPADAI

Secara umum perekonomian domestik dan global

telah semakin membaik sehingga dampak dari krisis global

diharapkan akan semakin berkurang. Dengan demikian,

diharapkan prospek sektor keuangan Indonesia ke depan

akan semakin stabil. Sementara itu, perbankan diharapkan

akan tetap konsisten melaksanakan prinsip kehati-hatian

agar dapat melindungi kepentingan semua pihak,

termasuk nasabah dan masyarakat luas.

Salah satu dampak krisis global yang sampai saat ini

masih terus dirasakan adalah melambatnya pertumbuhan

kredit perbankan. Mengingat peranan industri perbankan

dalam sektor keuangan sangat dominan, dengan

menurunnya pelaksanaan fungsi intermediasi,

perekonomian menjadi kurang mendapat dukungan

pembiayaan dari perbankan untuk melakukan kegiatan-

kegiatan yang bersifat produktif. Hal ini pada gilirannya

dapat membuat sektor korporasi terganggu aktivitas

usahanya, dan apabila terjadi terus menerus akan

berpotensi memicu peningkatan kredit bermasalah (NPL).

Dibandingkan dengan kondisi pada puncak krisis

global pada triwulan IV tahun 2008, sektor keuangan

domestik terlihat semakin stabil. Beberapa isu yang sempat

muncul pada saat krisis, seperti segmentasi Pasar Uang

Antar Bank (PUAB), secara umum telah teratasi. Namun,

meningkatnya capital inflows berjangka pendek yang

akhir-akhir ini terus masuk ke Indonesia memerlukan

pemantauan secara ketat untuk mencegah terjadinya

sudden reversal.

Sementara itu, salah satu perkembangan baru dalam

krisis global yaitu krisis fiskal yang melanda Yunani, juga

perlu mendapat perhatian, meskipun hasil penelitian

menunjukkan dampaknya terhadap Indonesia diperkirakan

cukup kecil.

Di luar perkembangan global, terdapat beberapa

agenda nasional yang perlu dikelola dengan baik agar

dapat mencegah munculnya kerawanan-kerawanan yang

Grafik 4.3Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah

Risiko Likuiditas Risiko KreditRisiko Pasar

StrongAcceptableWeak StrongAcceptableWeak StrongAcceptableWeak

Risk Control System (RCS)

Hig

hM

oder

ate

Low

Inhe

rent

Ris

k

SukuBunga

NilaiTukar

HargaSUN

Sem I - 2009

Outlook

Page 79: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

69

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

tidak perlu terjadi di sektor keuangan. Implementasi Basel

II dan standar akuntansi internasional yang di Indonesia

dituangkan dalam PSAK No.50 dan 55 merupakan agenda

penting yang persiapannya telah dilakukan sejak jauh hari.

Implementasi yang baik dari kedua agenda penting itu

akan membawa perbankan nasional selangkah lebih maju

sehingga akan meningkatkan posisi Indonesia di mata

dunia internasional.

Salah satu aspek yang tidak kalah pentingnya dalam

meminimalisir potensi kerawanan adalah memberikan

perlindungan hukum bagi para pembuat dan pelaksana

kebijakan di sektor keuangan yang menjalankan tugasnya

dengan itikad baik dan semata-mata demi kepentingan

masyarakat luas. Tanpa perlindungan yang memadai, akan

sangat sulit untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas

sistem keuangan yang menjadi harapan semua pihak.

Page 80: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

70

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 81: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

71

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

Ar t ike l

Page 82: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

72

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 83: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

73

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

Artikel I

Persaingan Pasar, Margin Bunga danStabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

Anna Retnawati1

Makalah ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi margin bunga pada perbankan di Indonesia.

Sampel pada pengujian meliputi 125 bank umum pada periode 2001-2007. Kerangka konseptual yang melandasi

makalah ini merupakan model dasar yang dikembangkan oleh Ho and Saunders (1981) serta Maudos dan Guevara

(2004) yang memasukkan biaya operasi sebagai salah satu penentu margin bunga perbankan. Dengan

menggunakan pendekatan panel data satu tahap (balanced panel one step method), hasil temuan makalah ini

menunjukkan bahwa tingkat persaingan, biaya operasi rata-rata, dan efisiensi merupakan faktor-faktor yang

lebih menentukan besaran margin bunga perbankan dibandingkan dengan indikator ketidakpastian atau risiko.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa masalah tingginya margin bunga di Indonesia lebih dikarenakan oleh faktor

internal bank dan persaingan pada pasar perbankan.

KeywordsKeywordsKeywordsKeywordsKeywords: competition; bank interest margin; financial stability

JEL Classification CodesJEL Classification CodesJEL Classification CodesJEL Classification CodesJEL Classification Codes: L11; G21; E30

1 Departemen Akuntansi √ Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya. Penulis dapatdihubungi pada: [email protected] atau [email protected].

1. LATAR BELAKANG

Dengan peran dan fungsinya sebagai lembaga

perantara dan penyalur dana (financial intermediary),

sektor perbankan mempunyai peran yang strategis dalam

perekonomian. Hasil survey Levine (1997) menunjukkan

bahwa intermediasi keuangan yang baik sangat

menunjang pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya,

margin bunga (net interest margin) dapat dijadikan sebagai

indikator efisiensi suatu sistem perbankan. Biaya

intermediasi yang efisien, ditunjukkan dengan margin suku

bunga yang rendah, juga mencerminkan efektivitas

kebijakan moneter dan stabilitas keuangan (Hadad et al.,

2003), serta sistem perbankan yang kompetitif (Saunders

and Schumacher, 2000). Dan sebaliknya, biaya intermediasi

yang tinggi akan mengurangi insentif bagi para pelaku

ekonomi.

Dengan fungsinya tersebut, sudah selayaknya fungsi

intermediasi dilakukan dengan biaya yang murah dan

terjangkau dalam rangka mencapai kesejahteraan

Abstract

Page 84: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

74

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

komponen dasar, yaitu: tingkat persaingan pasar dan risiko

(Ho dan Saunders, 1981), serta biaya operasi (Maudos dan

Guevara, 2004). Pembahasan mengenai hal ini dimulai oleh

studi yang dilakukan oleh Ho dan Saunders (1981) yang

memodelkan bank sebagai lembaga intermediasi murni2.

Mereka menyimpulkan bahwa terdapat empat hal penting

yang menentukan tingkat margin bunga suatu bank, yaitu:

risiko pasar, struktur pasar (sebagai proksi persaingan),

struktur permodalan, dan ukuran (transaksi) bank.

Model awal yang dikembangkan oleh Ho dan

Saunders ini diuji pada perbankan Amerika Serikat dengan

menggunakan pendekatan dua tahap (two step approach).

Pertama adalah dengan meregresi margin bunga individual

bank dengan variabel-variabel spesifik yang tidak

terjelaskan secara teoretis, seperti: bunga implisit,

oportunitas biaya cadangan (reserve), dan default

premium. Konstanta dari regresi ini mencerminkan estimasi

komponen margin murni (pure spread), yaitu komposisi

margin yang tidak dapat dijelaskan oleh karakteristik

spesifik bank. Pada langkah ke-dua, dilakukan regresi pada

pure spread terhadap volatilitas suku bunga. Konstanta

yang dihasilkan menangkap pengaruh struktur pasar

terhadap pure spread, sedangkan koefisien pada variabel

penjelas mengukur sensitivitas pure spread terhadap

fluktuasi suku bunga. Model yang dikembangkan oleh Ho

dan Saunders telah terbukti secara empiris pada perbankan

negara-negara OECD termasuk Amerika Serikat dan Eropa

(Saunders and Schumacher, 2000), serta Amerika Latin

(Brock dan Rojas, 2000; Martínez dan Mody, 2004; Gelos,

2006; dalam Maudos dan Solis, 2009).

Secara teoretis, model Ho dan Saunders ini

berkembang dengan modifikasi seperti yang dilakukan

oleh: Angbanzo (1997) yang mulai mendiversifikasikan

risiko ke dalam dua jenis yaitu risiko kredit dan risiko bunga;

Maudos dan Guevara (2004) yang memasukkan biaya

masyarakat. Semakin rendah margin bunga, diharapkan

semakin rendah biaya sosial yang harus ditanggung

masyarakat terhadap kegiatan intermediasi. Namun

demikian, fakta yang berkembang menyatakan bahwa

Indonesia merupakan salah satu negara dengan margin

bunga yang tinggi di dunia. Tentu saja ini membawa

dampak yang kurang baik pada sektor perekonomian

secara keseluruhan.

Literatur menyebutkan bahwa tingkat suku bunga

ditentukan baik oleh faktor internal seperti efisiensi kinerja,

maupun eksternal bank seperti tingkat konsentrasi pasar

(Ho dan Saunder, 1991; Maudos dan Guevara, 2004).

Berdasar uraian tersebut, maka makalah ini akan

menganalisis tingkat margin bunga pada perbankan

Indonesia. Hasil dari kajian ini dapat memberikan signal

bagi pembuat kebijakan dalam hal mengevaluasi apakah

margin bunga telah optimal dari sudut pandang bank

sebagai entitas bisnis dan lembaga intermediasi. Selain itu,

lebih lanjut Hawtrey dan Liang (2008) menyatakan bahwa

margin bunga yang tinggi mencerminkan lingkungan dan

peraturan perbankan yang kurang memadai. Sehingga,

hasil kajian ini juga dapat memberikan manfaat dalam

memberikan rekomendasi terkait hal tersebut.

Tulisan ini akan dibagi dalam beberapa bagian.

Bagian pertama menjelaskan latar belakang permasalahan.

Bagian kedua menguraikan tinjauan pustaka. Bagian ketiga

menjelaskan metode penelitian dan data yang digunakan,

serta definisi operasional variabel. Bagian keempat

merupakan pembahasan serta temuan yang didapat guna

menjawab permasalahan penelitian. Bagian terakhir

merupakan simpulan dan rekomendasi kebijakan.

2. KAJIAN LITERATUR

2.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Margin

Bunga: Tinjauan Teoretis dan Empiris

Dalam melakukan analisis terhadap margin

bunga, literatur mengklasifikasikan faktor ke dalam tiga 2 Tidak memasukkan kegiatan bank dalam fee-based income.

Page 85: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

75

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

operasi bank ke dalam model serta menggunakan Indeks

Lerner sebagai ukuran langsung tingkat persaingan; serta

Carbó dan Rodríguez (1997) yang memperluas model Ho

dan Saunders dengan memasukkan kegiatan lain pada

bank selain intermediasi.

Secara eksplisit, makalah ini akan menggunakan

model yang dikembangkan oleh Maudos dan Guevara

(2004) dan mengujinya pada kasus perbankan di Indonesia.

Kontribusi Maudos dan Guevara merupakan salah satu

yang paling fundamental. Sudah umum dipahami bahwa

penentu margin bunga bukan hanya terkait sisi eksternal

(struktur pasar dan risiko pasar) tetapi juga sisi internal

atau manajemen bank itu sendiri. Sehingga, dalam teorinya

Maudos dan Guevara memasukkan unsur biaya operasi

sebagai penentu margin bunga. Mereka mengujikan model

yang dikembangkannya tersebut pada perbankan di Eropa

pada periode 1992-2000. Lebih lanjut, mereka mengukur

secara langsung indikator persaingan ke dalam Indeks

Lerner. Mereka menyimpulkan bahwa meningkatnya

persaingan antar-bank menyebabkan menurunnya margin

bunga, yang berarti semakin rendahnya biaya intermediasi

yang harus ditanggung oleh pelaku perekonomian.

Bukti empiris model Ho dan Saunders di Amerika

Latin menyebutkan bahwa konsentrasi dan struktur pasar

perbankan signifikan mempengaruhi margin bunga di

Argentina, Chile, Colombia, Mexico and Peru (Martínez

and Mody, 2004). Selain itu, bank asing lebih efisien dalam

biaya menghasilkan margin bunga yang lebih rendah

daripada bank domestik. Selanjutnya, Gelos (2006)

menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

terhadap tingkat margin bunga di Amerika Latin dengan

negara berkembang lainnya. Dengan menggunakan 85

negara sampel, termasuk 14 negara Amerika Latin, Gelos

berkesimpulan bahwa margin bunga di Amerika Latin lebih

tinggi karena lemahnya persaingan sehingga

menyebabkan bank kurang efisien dan suku bunga relatif

tinggi.

2.2. Kerangka Konseptual: Model

Teori dasar determinan margin bunga yang

dikembangkan oleh Ho dan Saunders (1981)

mengasumsikan bank sebagai entitas yang melakukan

fungsi intermediasi murni dan selalu meminimumkan risiko

(risk-averse). Dalam menjalankan fungsinya tersebut, bank

berusaha untuk dapat menarik simpanan dan

menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman. Dalam

dua kegiatan tersebut, tentu saja terdapat asimetri

informasi sehingga bank harus menetapkan suku bunga

simpanan (rD) dan suku bunga pinjaman (rL) secara optimal

sehingga tidak mengalami kelebihan permintaan pinjaman

dan sebaliknya kekurangan supply simpanan. Sehingga,

bank menetapkan suku bunganya (simpanan dan pinjaman

= a dan b) relatif terhadap suku bunga pasar (r):

.................................................... (1)

Sehingga, margin suku bunga (spread = s) dapat dituliskan

sebagai:

....................................... (2)

Selanjutnya, kekayaan awal (initial wealth) bank

ditentukan dari selisih antara aktiva (pinjaman = L dan surat

berharga pasar uang bersih = M) dengan kewajibannya

(simpanan = D). Sehingga, ini dapat dituliskan sebagai:

........... (3)

Dimana L0 √ D0 adalah persediaan kredit bersih (net credit

inventory = I0).

Adanya kritik dari Lerner (1981) menyebabkan

adanya modifikasi model asli dari Ho dan Saunders terkait

biaya produksi pada kegiatan intermediasi. Biaya operasi

bank selanjutnya diasumsikan sebagai fungsi dari simpanan

(C(D)) dan pinjaman (C(L)) yang terjadi. Sehingga

persediaan kredit bersih dituliskan sebagai (C(I)) = (C(L)) +

(C(D)). Dengan asumsi ini kekayaan bank dituliskan

menjadi:

Page 86: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

76

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

........... 4)

Dimana:

adalah keuntungan rata-rata persediaan

kredit bersih;

adalah keuntungan rata-rata

dari kekayaan awal bank;

adalah risiko rata-rata dari persediaan kredit bersih; dengan

asumsi tidak ada risiko pada simpanan sehingga

dan .

dan mencerminkan tingkat ketidakpastian

yang dihadapi oleh bank, yaitu: risiko suku bunga pasar

dan risiko kredit, yang mana keduanya terdistribusi secara

acak ( dan ) .

Sebagai entitas bisnis, bank juga berusaha untuk

selalu memaksimumkan utilitasnya. Utilitas dalam hal ini

diasumsikan sebagai kekayaan yang diharapkan (expected

wealth). Dengan menggunakan metode penyelesaian

Taylor, ekspektasi terhadap utilitas kekayaan dinotasikan

menjadi Derivasi lengkap tentang hal

ini dapat dilihat pada Maudos dan Guevara (2004, p.2263-

2264). Sementara hasil penyelesaian a dan b dari derivasi

tersebut pada kondisi order pertama adalah:

bahwa yang menjadi faktor penentu margin bunga

perbankan adalah:

a. Tingkat persaingan yang tinggi di pasar. Dalam model

ini ditentukan oleh β yaitu elastisitas permintaan

pinjaman dan supply simpanan. Semakin tinggi hasil

β bank semakin mempunyai kesempatan untuk

menetapkan margin yang tinggi karena kekuatan

pasarnya. Sementara α/β memroksi kemungkinan

profit implisit monopoli pada margin bank.

b. Biaya operasi. Munculnya variabel ini secara langsung

dalam model merupakan temuan dari Maudos dan

Guevara (2004). Ini dilandasi oleh pemikiran bahwa

bank yang bekerja dengan biaya yang tinggi tentu

saja akan mencari jalan untuk menutup biaya tersebut

yang salah satunya didapatkan melalui penetapan

margin pendapatan yang tinggi (interest revenue).

c. Tingkat aversi terhadap risiko ( ). Semakin

tinggi tingkat aversi sebuah bank maka bank

cenderung akan menetapkan margin yang tinggi.

d. Volatilitas suku bunga pasar ( ). Semakin tinggi

volatilitas suku bunga pasar maka semakin tinggi

risiko pasar dan bank cenderung akan semakin tinggi

menetapkan margin karena bank harus bekerja

dengan biaya yang lebih besar.

e. Risiko kredit( ). Semakin tinggi risiko terhadap

pengembalian kredit maka bank semakin tinggi akan

menetapkan margin.

ººº (5)

Sehingga margin bunga optimal (s = a + b) adalah:

............. (6)

Berdasarkan turunan model yang dikembangkan Ho

dan Saunders (1981) tersebut, maka dapat diuraikan

Page 87: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

77

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

f. Interaksi antara risiko pasar dan risiko kredit ( ).

g. Ukuran bank. Dalam model variabel ini

digambarkan oleh (L+D) dan (L+2L0). Justifikasi dari

hal ini adalah semakin besar tingkat operasi sebuah

bank maka akan semakin tinggi tingkat potensial

kerugiannya. Tingkat potensial loss akan semakin

besar apabila pinjaman yang diberikan oleh bank

semakin besar.

Model yang disajikan di atas mengasumsikan bank

beroperasi secara tradisional, sehingga hanya

menghasilkan spread murni dari hasil kegiatan pinjaman

dan simpanan. Namun pada kenyataannya, terdapat

faktor-faktor lain yang menentukan margin bunga seperti

aspek regulasi sehingga umum dilakukan penambahan

variabel dalam model (Maudos dan Geuvara, 2004).

Variabel penjelas margin bunga tambahan pada makalah

ini antara lain:

a. Bunga implisit. Variabel ini digunakan untuk

menangkap besarnya beban lain (additional expenses)

yang ditanggung oleh bank selain beban bunga atas

simpanan (interest expense).

b. Oportunitas memegang cadangan. Tanda yang

diharapkan pada variabel ini adalah positif. Semakin

tinggi aktiva likuid yang dipegang oleh bank

menyebabkan bank membutuhkan margin bunga

yang tinggi untuk mempertahankan target

pendapatannya. Berbeda halnya apabila bank

melakukan diversifikasi portofolio pada aktiva

likuidnya semisal pada surat-surat berharga jangka

pendek. Pada kasus ke-dua bank akan memperoleh

imbalan berupa pendapatan bunga (di luar pinjaman

yang diberikan).

c. Kualitas manajemen. Kualitas manajemen yang baik

dicerminkan dari kemampuan mengelola aktiva yang

menguntungkan (profitable) dengan biaya yang

murah. Sehingga tanda dari variabel ini diharapkan

negatif terhadap margin bunga; semakin tinggi

kualitas manajemen sebuah bank maka bank

cenderung membebankan bunga yang rendah.

3. METODOLOGI DAN DATA

3.1. Teknik Analisis

Dalam perkembangannya, terdapat dua pendekatan

dalam melakukan analisis terhadap model margin bunga

yang dikembangkan oleh Ho dan Saunder (1981). Pertama

adalah dengan menggunakan pendekatan dua tahap (two-

stage) seperti yang dilakukan oleh Ho dan Saunder (1981)

serta Saunder dan Schumacher (2000). Dalam pendekatan

ini, pada tahap pertama pengaruh variabel determinan

margin bunga yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam

model teoretis dikontrol untuk memperoleh estimasi

margin bunga murni. Sedangkan pada tahap kedua, hasil

analisis margin bunga murni dengan variabel

determinannya dijelaskan dengan menggunakan model

teoretis. Penerapan model ini memiliki keuntungan dimana

margin bunga murni dapat diestimasi. Namun, untuk

mengestimasinya diperlukan data runtut waktu (time

series) yang panjang (Maudos dan Guevara, 2004).

Kedua adalah pendekatan satu tahap (single stage)

seperti diaplikasikan oleh McShane dan Sharpe (1985);

Angbanzo (1997); dan Maudos dan Guevara (2004).

Dalam pendekatan ini, semua variabel dimasukkan dalam

satu model analisis. Variabel determinan ini meliputi

variabel yang dijelaskan dalam model teoretis maupun

tambahan variabel lainnya yang menjelaskan aspek lainnya

dalam pendekatan pertama.

Mengingat periode penelitian ini hanya

menggunakan data mulai tahun 2001 hingga 2007, maka

pendekatan pertama (two-stage) tidak mungkin dilakukan.

Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut,

penelitian ini akan menggunakan pendekatan kedua.

Adapun pendekatan ekonometrik yang akan digunakan

untuk menganalisis margin bunga dalam penelitian ini

adalah pendekatan panel data. Secara umum model panel

Page 88: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

78

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

data dapat disampaikan sebagai berikut:

ºººººººº.... (7)

Dimana i merupakan indeks bank, dan t merupakan indeks

waktu. Dalam model tersebut juga melibatkan variabel

boneka (dummy) untuk mempertimbangkan penggunaan

instrumen suku bunga Bank Indonesia (SBI) dalam

kebijakan moneter di Indonesia yang dimulai sejak tahun

2005. Ini digambarkan sebagai DUMBIRate»2005-2007.

ηi, merupakan variabel dampak individual (unobserved

heterogeneity). Variabel ini dibutuhkan dalam analisis

(SIZE). Sedangkan variabel tambahan meliputi: pembayaran

suku bunga implisit (IIP), biaya oportunitas memegang

cadangan (RESERVE), dan kualitas manajemen bank

(EFFICIENCY). Adapun penjelasan lebih detail tentang

definisi operasional dan proksi masing-masing variabel

akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

Dengan memasukkan variabel-variabel di atas,

maka merupakan:

itidxitit uDUMBIRateXNIM ++++= − ηγγγ 200720051 ''

ditX γ'

ditX γ' ititititit CreditRiskYSDMSDRiskAverAOCMarkCon 65432 5/3 γγγγγ ++++=

ititititit EFFICIENCYRESERVEIIPSIZECreditRiskYSDMSD 1110987 *5/3 γγγγγ +++++

karena penelitian ini menggunakan panel data bank

sehingga tidak mungkin untuk melibatkan semua variabel

yang dapat menjelaskan perbedaan pada margin bunga

pada masing-masing bank. Dengan kata lain, penelitian

ini akan menggunakan model fixed effect seperti yang

digunakan oleh Maudos dan Guevara (2004). Sementara

itu, uit ~ N(0, σu2) merupakan error yang diasumsikan acak

(random) dan tidak berkorelasi ketika waktu atau bank

tidak sama (E[uit ujs] = 0 if i ≠ j or t ≠ s) serta σu2 diasumsikan

konstan.

Xit adalah vektor variabel determinan untuk margin

suku bunga. Berdasarkan model teoretis yang dijelaskan

pada bagian sebelumnya bahwa variabel determinan

meliputi variabel determinan margin bunga murni dan

variabel yang dapat menyebabkan ketidaksempurnaan

(imperfection determinant variables). Adapun variabel inti

meliputi: struktur pasar (MarkCon), biaya operasi rata-rata

(AOC), tingkat keengganan terhadap risiko (RiskAver);

volatilitas suku bunga pasar (SD3M/SD5Y), risiko kredit

(CreditRisk), hubungan antara risiko kredit dan risiko pasar

(SD3M/SD5Y*CreditRisk); dan rata-rata ukuran dari

operasional bank atau volume dari kredit yang diberikan

Pengujian pada makalah ini juga menggunakan tes

spesifikasi Hausman yang digunakan untuk melihat apakah

penggunaan model fixed effect adalah paling efisien.

Hausman test lazim digunakan dalam penggunaan metode

data panel untuk melihat alternatif model yang lebih

efisien. Selain itu, penggunaan Hausman test juga

memastikan bahwa model efisien yang dipilih juga akan

memberikan hasil yang konsisten. Penjelasan lebih rinci

dari Hausman test dan hipotesis tes-nya dapat dilihat pada

Baltagi (2005, pp. 66 √ 70).

3.2. Variabel

Model teoretis yang dijelaskan sebelumnya

memerlukan proksi untuk dapat dilakukan pengukuran

dan pemenuhan datanya. Berdasarkan model tersebut,

terdapat tujuh variabel yang dapat menjelaskan variasi

pada margin bunga ditambah dengan tiga variabel penjelas

lainnya. Variabel tersebut meliputi: struktur pasar; biaya

operasi, aversi terhadap risiko, volatilitas suku bunga pasar,

risiko kredit, interaksi risiko kredit dan risiko pasar, ukuran

bank, bunga implisit, oportunitas memegang cadangan,

dan kualitas manajemen.

Page 89: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

79

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

(monopoli). Indeks Herfindahl yang digunakan

meliputi Herfindahl pada kredit dan deposito. Indeks

Herfidahl didefinisikan sebagai penjumlahan kuadrat

dari pangsa pasar3. Total deposito dan total kredit

yang disalurkan digunakan sebagai proksi aktivitas

bank.

Perhitungan Indeks Lerner menggunakan pendekatan

Maudos dan Guevara (2004) dimana tingkat harga

dihitung dengan menggunakan estimasi terhadap

harga rata-rata dari produk bank (diproksi dengan total

aset) sebagai rasio dari total pendapatan dan total aset.

Secara matematis, indeks Lerner dapat ditulis:

i

iii

p

MCpLERNER

−=

Harga produk (pi) adalah pendapatan total

(pendapatan bunga ditambah pendapatan

operasional lain) dibagi total aset. Sedangkan MC

adalah biaya marjinal yang merupakan biaya

tambahan untuk menghasilkan satu unit tambahan

output. Adapun MC diperoleh dengan melakukan

estimasi fungsi biaya. Fungsi biaya yang diestimasi

adalah fungsi biaya dengan satu output dan tiga

harga input. Masing-masing fungsi biaya dari bank

ºººººº. (8)

Dimana: TC merupakan biaya total, y merupakan

kredit, w1 merupakan harga tenaga kerja, w2

merupakan harga modal fisik, w3, merupakan harga

deposit4. Dengan menggunakan koefisien yang

didapat dari estimasi fungsi biaya tersebut, maka MC

dapat dihitung. Secara matematis, MC dapat ditulis:

Adapun turunan dari logaritma total biaya terhadap

logaritma output dapat dihitung dengan menggunakan

fungsi biaya pada persamaan (8).

Hubungan antara struktur pasar dengan margin

bunga adalah positif. Artinya, apabila pasar semakin

terkonsentrasi (persaingan tidak sempurna) maka

margin bunga cenderung semakin tinggi.

b.b.b.b.b. Biaya OperasionalBiaya OperasionalBiaya OperasionalBiaya OperasionalBiaya Operasional: biaya operasional rata-rata diproksi

dengan menggunakan rasio beban operasi terhadap

total aset.

c.c.c.c.c. Tingkat Keengganan (Aversi) terhadap Risiko Tingkat Keengganan (Aversi) terhadap Risiko Tingkat Keengganan (Aversi) terhadap Risiko Tingkat Keengganan (Aversi) terhadap Risiko Tingkat Keengganan (Aversi) terhadap Risiko :

Mengikuti pendekatan yang digunakan oleh

a.a.a.a.a. Struktur Pasar Struktur Pasar Struktur Pasar Struktur Pasar Struktur Pasar : Struktur pasar diukur dengan Indeks

Herfindahl dan Lerner. Indeks Herfindahl digunakan

untuk mengukur tingkat konsentrasi pasar. Semakin

indeks mendekati 0 semakin rendah konsentrasinya

(perfect competition) dan sebaliknya angka 1

menunjukkan konsesntrasi pasar yang tinggi

secara individu diestimasi untuk setiap tahun dengan

menggunakan model fixed effect. Dalam estimasi

tersebut, restriksi dari homogenitas linier dalam harga

input dilakukan dengan menormalisasi total biaya dan

harga input dengan satu harga input terpilih. Fungsi

biaya dapat disampaikan sebagai berikut:

3

lnw

TC+

+

+

+++

3

2

3

15

3

24

2

13

2

210 lnlnlnln)(ln2

1ln

w

w

w

w

w

w

w

wyy αααααα

+

+

+

3

29

3

18

2

3

27

2

3

16 lnlnlnlnln

2

1ln

2

1

w

wy

w

wy

w

w

w

wαααα

=

+

++=

3

29

3

1821 lnlnln.

ln

ln

w

w

w

wy

y

TCαααα

yd

TC

y

TCMC

ln

ln.∂

=

3 Indeks Herfindahl dapat ditulis: 2

1 i

N

i

sH ∑=

= , dimana H adalah indeks Herfindahl, s

adalah pangsa pasar, dan N merupakan jumlah bank.

4 w1 = harga tenaga kerja = beban personalia / total aktiva;w2 = harga modal fisik = (beban operasi √ beban personalia) / aktiva tetap;w3 = harga simpanan = beban bunga / total simpanan.

Page 90: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

80

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

McShane dan Sharpe (1985) serta Maudos dan

Guevara (2004), variabel ini diproksi menggunakan

rasio kapitalisasi yaitu rasio antara total ekuitas dan

total aktiva. Hubungan antara variabel ini dengan

margin bunga diharapkan positif. Semakin tinggi

keengganan suatu bank dalam mengambil risiko,

yang ditunjukkan dengan rasio kapitalisasi yang

tinggi, maka bank cenderung menetapkan margin

bunga lebih tinggi untuk mengompensasi tingginya

pembiayaan ekuitas jika dibandingkan dengan

pembiayaan dari luar (debt).

d.d.d.d.d. Volatilitas Suku Bunga Volatilitas Suku Bunga Volatilitas Suku Bunga Volatilitas Suku Bunga Volatilitas Suku Bunga : Ketidakpastian yang terjadi

dalam model teoretis digambarkan oleh varian suku

bunga pasar. Dalam model empiris, proksi untuk

variabel ini diperoleh dari penghitungan volatilitas

suku bunga pasar yang biasanya dilakukan melalui

pengukuran standar deviasi. Makalah ini

menggunakan pengukuran standar deviasi tahunan

yang diperoleh melalui data bulanan suku bunga

antar-bank periode 3 bulan (SD3M). Selain itu, juga

digunakan parameter suku bunga obligasi publik

jangka waktu menengah (SD5Y).

e.e.e.e.e. Risiko Kredit Risiko Kredit Risiko Kredit Risiko Kredit Risiko Kredit : Risiko kredit digunakan untuk

menangkap kemungkinan gagal bayar (provision of

insolvency) yang biasanya dibebankan pada suku

bunga operasi (pinjaman). Variabel ini diproksi dengan

rasio pinjaman terhadap total aset (Maudos dan

Guevara, 2004). Variabel ini diharapkan positif

dengan alasan semakin besar bank memberikan

kredit maka semakin besar risiko kredit yang harus

ditanggung.

f.f.f.f.f. Interaksi antara Risiko Kredit dan Risiko Pasar Interaksi antara Risiko Kredit dan Risiko Pasar Interaksi antara Risiko Kredit dan Risiko Pasar Interaksi antara Risiko Kredit dan Risiko Pasar Interaksi antara Risiko Kredit dan Risiko Pasar :

Interaksi antara risiko kredit dan risiko pasar diproksi

dengan mengalikan SD3M dengan risiko kredit.

g.g.g.g.g. Ukuran Bank Ukuran Bank Ukuran Bank Ukuran Bank Ukuran Bank : diproksi dengan nilai logaritma dari

pinjaman yang diberikan.

Variabel penjelas lain yang digunakan dalam menentukan

margin bunga murni adalah:

h.h.h.h.h. Bunga Implisit Bunga Implisit Bunga Implisit Bunga Implisit Bunga Implisit : diproksi dengan beban operasi minus

pendapatan non-bunga per total aset. Tanda positif

diharapkan dari variabel ini.

i.i.i.i.i. Biaya Oportunitas dari CadanganBiaya Oportunitas dari CadanganBiaya Oportunitas dari CadanganBiaya Oportunitas dari CadanganBiaya Oportunitas dari Cadangan : diproksi dengan

menggunakan rasio cadangan cair (kas dan setara

kas) per total aset.

j.j.j.j.j. Kualitas Manajemen Kualitas Manajemen Kualitas Manajemen Kualitas Manajemen Kualitas Manajemen : Kualitas manajemen yang baik

dicerminkan melalui komposisi aktiva yang

menguntungkan (profitable) dan komposisi

kewajiban yang berbiaya rendah. Variabel ini diproksi

dengan menggunakan rasio beban operasi per laba

operasi. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan kualitas

manajemen yang kurang baik, sehingga

menghasilkan margin bunga yang rendah. Tanda

negatif diharapkan dari variabel ini.

3.3. Data dan Sumber Data

Sampel yang digunakan adalah 125 bank umum

yang beroperasi pada periode 2001-2007. Periode

observasi dimulai tahun 2001 dengan alasan bank sudah

beroperasi secara normal setelah terjadinya krisis 1997-

1998. Dengan demikian tidak perlu melakukan eliminasi

sampel terkait data-data yang sifatnya outlier.

Data diperoleh melalui Direktori Perbankan

Indonesia, yang memuat laporan keuangan tahunan bank.

Karena, makalah ini bertujuan untuk menangkap perilaku

margin bunga pada bank secara individual, maka data

keuangan yang digunakan sebagai sampel berasal dari

laporan keuangan bank bukan konsolidasi. Estimasi data

dilakukan secara balanced panel.

Data suku bunga pasar diambil dari data bulanan

JIBOR (Jakarta Inter-bank Offered Rate) untuk periode

2001-2007. Data serupa untuk menangkap volatilitas suku

bunga obligasi berjangka waktu lima tahun didapatkan

dari Bapepam LK.

Page 91: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

81

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

4. HASIL DAN ANALISIS

4.1. Deskripsi Sampel

Total sampel yang digunakan belum mencapai semua

bank umum di Indonesia, namun sudah meliputi lebih dari

90 persen total aktiva perbankan di masing-masing

periode. Pengambilan sampel pada semua bank umum

tidak dimungkinkan karena terdapat entitas yang tidak

mempunyai data secara lengkap, sehingga dieliminasi.

Eliminasi juga dilakukan terhadap entitas yang mengalami

kegagalan/likuidasi dan penggabungan usaha selama

kurun waktu 2001-2007.

(2) Biaya operasi mengalami penurunan bertahap selama

periode observasi menunjukkan kinerja perbankan

Indonesia yang mengalami perbaikan.

(3) Risiko kredit terlihat menunjukkan peningkatan.

(4) Indikator ukuran (pinjaman yang diberikan bank)

menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Ini

mengindikasikan fungsi intermediasi yang semakin

baik.

Tabel A1.1:Definisi dan Nilai Rata-rata Variabel Penelitian

NIM%(dependen) Margin bunga, perbedaan antara pendapatan bungadan beban bunga per total asset dalam % 5,16 5,33 5,52 6,16 5,85 5,44 5,34

HerfLoan Indeks Herfindahl dari konsentrasi pasar nasionaldengan ukuran pinjaman bank 0,06 0,06 0,06 0,07 0,07 0,07 0,06

HerfDeposit Indeks Herfindal dari konsentrasi pasar nasionaldengan ukuran deposito bank 0,07 0,07 0,07 0,08 0,09 0,10 0,10

LERNER % Indeks Lerner dari kekuatan pasar 27,38 26,22 24,70 27,09 26,41 20,82 24,37AOC % Biaya operasi rata-rata 3,89 4,09 4,51 4,98 4,70 5,01 4,62RISKAVER % Derajat aversi risiko, diproksi menggunakan

rasio ekuitas/ total aktiva 15,29 13,24 13,39 13,64 13,54 17,26 15,13SD3M Standar deviasi dari tingkat suku bunga

pasar keuangan 3 bulanan 0,45 1,48 2,96 0,22 1,72 1,56 1,06SD5Y Standar deviasi dari suku bunga obligasi 5 tahunan 0,13 0,32 0,16 0,27 0,57 0,33 0,42CRERISK Risiko kredit, diproksi menggunakan rasio pinjaman/

total aktiva 53,09 51,30 54,28 53,25 49,11 47,09 46,67SD3M*CreditRisk Interaksi antara risiko kredit dan risiko pasar (SD3M) 0,24 0,76 1,61 0,12 0,84 0,73 0,49SD5Y*Credit Risk Interaksi antara risiko kredit dan risiko pasar (SD5Y) 0,07 0,16 0,09 0,14 0,28 0,16 0,20SIZE Ukuran, diproksi menggunakan pinjaman yang

diberikan (dalam logaritma) 6,19 6,09 6,03 5,92 5,78 5,69 5,64IIP % Pembayaran bunga implisit, didefinisikan sebagai rasio

biaya operasional bersih dari pendapatan non-bunga/total aktiva 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04 0,03 0,03

RESERVE % Biaya oportunitas dari cadangan bank, diproksimenggunakan rasio cadangan likuiditas/total aktiva 0,35 0,36 0,32 0,34 0,36 0,41 0,44

EFFICIENCY % Efisiensi (rasio beban operasi terhadap laba operasi)sebagai ukuran dari kualitas manajemen 308,80 401,46 398,41 698,58 398,52 133,61 -47,38

Jumlah Bank Ω 125 125 125 125 125 125 125

Simbol Definisi 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001

Sumber: Direktori Perbankan Indonesia, 2001 -2008.

Deskripsi singkat variabel dependen dan penjelas dari

keseluruhan sampel disajikan pada tabel 1. Dari tabel

tersebut terdapat beberapa indikasi penting yang dapat

disimpulkan, antara lain:

(1) Dari ke-tiga indikator persaingan (HerfLoan, HerfDep,

dan Lerner) selama 2001-2007 mengindikasikan

peningkatan iklim persaingan di pasar perbankan

Indonesia tidak dapat ditemukan karena indeks relatif

stabil.

(5) Rasio biaya operasi per laba operasi (efisiensi) tidak

menunjukkan tren yang jelas. Angka menunjukkan

negatif pada tahun 2001, ini berarti terdapat banyak

bank yang mengalami kerugian. Selanjutnya, rata-

rata tahunan terentang dari 133 persen hingga 698

persen (semakin tinggi nilai variabel ini semakin tidak

efisien kinerja bank). Ini menunjukkan kualitas

manajemen yang kurang baik, yang mana perbankan

Indonesia membutuhkan biaya operasi 1,33 hingga

Page 92: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

82

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

6,98 kali untuk menghasilkan satu satuan uang laba

operasi5.

4.2. Hasil Estimasi

Tabel 2 merupakan hasil estimasi yang telah

dilakukan. Secara umum, variabel penjelas mempengaruhi

margin bunga secara signifikan. Selain itu, hasil estimasi

juga menunjukkan tanda seperti yang diharapkan,

meskipun ada beberapa pengecualian.

Variabel konsentrasi pasar secara signifikan

berpengaruh positif terhadap margin suku bunga. Hal itu

ditunjukkan oleh Indeks Lerner dan Indeks Herfindahl

untuk kredit. Ini mengindikasikan bahwa semakin pasar

tidak sempurna (terkonsentrasi) maka bank cenderung

mengenakan margin bunga yang tinggi6. Namun, hasil

negatif ditunjukkan oleh Indeks Herfindahl untuk deposito.

Semua hasil estimasi menunjukkan biaya operasional

yang secara signifikan berpengaruh positif terhadap margin

bunga. Ini menunjukkan dengan semakin tingginya biaya

operasional rata-rata maka margin bunga juga semakin

tinggi pula. Pengaruh positif dan signifikan secara statistik

juga berlaku dalam hubungan margin bunga dan tingkat

keengganan terhadap risiko. Hal itu mengindikasikan

bahwa semakin suatu bank enggan mengambil risiko,

maka bank tersebut akan menetapkan margin bunga yang

lebih tinggi.

Risiko pasar (SD3M dan SD5Y) diharapkan

mempunyai tanda positif dalam mempengaruhi margin

bunga. Namun variabel ini secara statistik tidak signifikan

mempengaruhi margin bunga.

5 Apabila dibandingkan dengan data pada negara-negara Eropa, Indonesia untuk butirini sangat tidak efisien. Maudos dan Guevara (2004) dalam studinya mempunyai databahwa selama kurun waktu 1993-2000, rasio efisiensi perbankan Eropa berkisar padaangka 59 persen hingga 64 persen yang berarti untuk menghasilkan satu satuan uanglaba operasi hanya dibutuhkan biaya 0,59 hingga 0,64 kali.

6 Terkait dengan terkonsentrasinya pasar, terbukti indikator baik Herfindahl maupun Lernerpada perbankan Indonesia nilainya lebih tinggi (Herfindahl 0,06-0,07 dan Lerner 27%)dari pada indikator serupa di Eropa (Herfindal 0,03 dan Lerner 15%) yangmengindikasikan lebih terkonsentrasinya pasar.

Tabel A1.2:Determinan Margin Bunga, 2001 - 2007

MarkCon 0.075* 28.32 0.075* 28.31 0.613* 3.11 0.359** 2.13 -0.471* -4.85 -0.443* -4.94AOC 0.241* 12.08 0.239* 12.03 0.083* 3.01 0.088* 3.18 0.080* 2.92 0.079* 2.89RiskAver 0.009* 4.74 0.009* 4.73 0.007** 2.51 0.007** 2.50 0.008* 2.89 0.008* 2.83SD3M -0.0004 -1.17 -0.002* -2.42 0.001 1.26SD5Y 0.014* 2.17 0.000 0.04 0.006 1.29CreditRisk 0.030* 7.35 0.019* 3.39 0.060* 10.42 0.058* 10.11 0.059* 10.41 0.060* 10.64SD*CreditRisk 0.000 -0.01 -0.030* 2.68 -0.001 -0.46 0.006 0.38 -0.002 -0.64 0.007 0.44SIZE -0.011* -5.07 -0.010* -4.90 -0.011* -3.37 -0.008** -2.55 -0.011* -3.57 -0.012* -3.93IIP 0.530* 21.28 0.531* 21.27 0.074* 2.62 0.0790* 2.81 0.062** 2.22 0.066** 2.35RESERVE 0.004*** 1.92 0.005*** 1.93 0.007 1.55 0.007 1.60 0.008*** 1.84 0.007*** 1.74EFFICIENCY -0.003** -2.15 -0.002** -2.13 -0.003** -2.03 -0.003*** -1.83 -0.003** -2.17 -0.001** -2.14DUMBIRate 0.001 0.92 0.001 0.64 0.004*** 1.78 0.000 0.26 -0.011* -4.68 -0.008* -4.42Konstanta 0.059* 4.7 0.052* 4.40 0.044* 2.22 0.039** 1.97 0.125* 5.82 0.126* 5.85

Jumlah Observasi 871 Ω 871 Ω Ω871 Ω 871 Ω Ω871 Ω 871 ΩR2 0.7496 0.7492 0.4836 0.4795 0.493 0.4931Hausman Test 80.3* Ω 161.11* Ω Ω49.26* Ω 39.07* Ω Ω49.11* Ω 58.43* Ω

Note: Estimasi dilakukan dengan menggunakan metodel balance panel data. *;**;*** mengindikasikan signifikan pada 1;5; dan 10%

Total SampelTotal SampelTotal SampelTotal SampelTotal SampelVariabel Dependen: Variabel Dependen: Variabel Dependen: Variabel Dependen: Variabel Dependen: MarginMarginMarginMarginMargin Bunga (NIM) Bunga (NIM) Bunga (NIM) Bunga (NIM) Bunga (NIM)LernerLernerLernerLernerLerner Herfindahl LoanHerfindahl LoanHerfindahl LoanHerfindahl LoanHerfindahl Loan Herfindahl DepositHerfindahl DepositHerfindahl DepositHerfindahl DepositHerfindahl DepositKoefisienKoefisienKoefisienKoefisienKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat KoefisienKoefisienKoefisienKoefisienKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat ΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat KoefisienKoefisienKoefisienKoefisienKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat ΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat KoefisienKoefisienKoefisienKoefisienKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat

Page 93: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

83

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

Variabel SD5Y mempunyai tanda positif signifikan

apabila diestimasi dengan indikator struktur pasar indeks

Lerner. Dan SD3M hanya signifikan apabila diestimasi

dengan indikator struktur pasar indeks Herfindahl pinjaman

(HerfLoan). Itu pun tanda yang dihasilkan adalah negatif

yang berarti keluar dari teori yang seharusnya. Dengan

hasil ini dapat disimpulkan bahwa indikator risiko pasar

kurang memberikan hasil yang nyata dalam

mempengaruhi margin bunga pada perbankan Indonesia.

Hasil estimasi pada risiko kredit (CreditRisk)

memberikan hasil yang tegas bahwa secara statistik

variabel tersebut mempengaruhi margin bunga. Tanda

yang dihasilkannya pun positif. Kondisi ini berarti

mendukung teori yang mengasumsikan semakin besar

risiko kredit yang dihadapi oleh bank maka bank

cenderung menentukan margin bunga yang tinggi pula.

Sementara itu, variabel SIZE yang diharapkan

mempunyai tanda positif, secara signifikan menunjukkan

hasil yang berkebalikan. Secara teroretis, semakin besar

ukuran operasi bank, maka risiko kegagalan (loan default)

yang dihadapi oleh bank juga semakin besar sehingga bank

cenderung mengenakan margin bunga yang tinggi.

Namun, dengan tanda negatif berarti semakin besar

ukuran operasi, bank cenderung menentukan margin yang

lebih rendah. Ini sesuai dengan prinsip keeekonomian

(economies of scale). Hasil studi Maudos dan Guevara

(2004) di lima negara besar Eropa juga menunjukkan hal

yang sama.

Terkait dengan variabel penjelas tambahan, efficiency

sebagai indikator kualitas manajemen secara statistik

signifikan mempengaruhi margin bunga dengan tanda

negatif. Ini berarti semakin besar nilai variabel ini semakin

mengindikasikan ketidakefisienan. Dalam hal variabel

oportunitas biaya memegang cadangan (RESERVE), hasil

menunjukkan tanda positif; namun pada estimasi dengan

menggunakan struktur pasar indeks Herfindahl pinjaman

(HerfLoan) variabel ini secara statistik tidak signifikan.

Dari hasil estimasi, dapat diberikan suatu gambaran

umum bahwa perilaku margin bunga bank di Indonesia

lebih besar dipengaruhi oleh faktor struktur pasar dan

kinerja operasional individual bank. Hal ini dibuktikan

dengan jelas oleh signifikannya indikator yang mengukur

tentang hal tersebut (Lerner, AOC, dan Efficiency).

Sebaliknya, risiko pasar kurang berpengaruh (karena secara

statistik tidak signifikan).

LERNER 16,25AOC 39,85RiskAver 1,92SD5Y 0,31CREDITRISK 4,51SD5Y*CreditRisk 1,64SIZE -0,11IIP 25,76RESERVE 1,99EFFICIENCY -14,77

Tabel A1.3Elastisitas Titik dari Margin Suku Bunga terhadap

Determinannya

DETERMINAN POINT ELASTISITAS

Lebih lanjut, untuk mendukung penjelasan di atas,

akan dilakukan simulasi dengan menggunakan

penghitungan elastisitas terhadap faktor-faktor penjelas

margin bunga (determinan). Hasil penghitungan dapat

dilihat pada tabel 3. Tabel tersebut menggambarkan

pengaruh perubahan (dalam persen) margin bunga

sebagai pengaruh dari perubahan nilai faktor determinan

sebesar 10 persen. Sebagai contoh pada kasus biaya

produksi, dengan menurunkan biaya operasional bank

sebesar 10 persen maka pengaruhnya terhadap margin

bunga adalah terjadi penurunan sebesar 39,85 persen dari

kondisi exsisting. Dengan hasil tersebut maka dapat

dinyatakan bahwa selama periode observasi, variabel inilah

yang merupakan faktor yang berkontribusi terbesar.

Demikian juga, pengaruh tingkat persaingan juga

memberikan dampak perubahan yang signifikan terhadap

Note:Nilai dalam tabel mengindikasikan persentase variasi margin bunga dalam merespon setiappengingkatan determinan sebesar 10 persen, nilai tersebut didapat dari nilai rata-rata sampel,Elastisitas Titik =

Page 94: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

84

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

margin bunga sebesar 16,25 persen. Dari hasil ini dapat

disimpulkan bahwa perilaku margin bunga pada sektor

perbankan di Indonesia secara dominan dipengaruhi oleh

variasi dari biaya produksi (AOC) dan kualitas manajemen

bank (EFFICIENCY), serta tingkat persaingan (LERNER);

sementara faktor terkait risiko dan ketidakpastian (pasar

dan kredit) kurang dominan mempengaruhi. Dengan

demikian, dalam menentukan margin bunganya bank

cenderung lebih memperhatikan peta persaingan

perbankan dan kekuatan pasarnya daripada melihat risiko

dan ketidakpastian yang dihadapi (volatilitas suku bunga).

4.3. Margin Bunga di Indonesia: Apakah Itu

Optimal?

Secara umum analisis pada margin bunga

mengandung dua unsur yang saling bertolak belakang.

Sebagai lembaga intermediasi, margin bunga dipandang

sebagai biaya intermediasi. Sehingga, semakin tinggi

margin bunga semakin besar biaya yang harus ditanggung

masyarakat; dan itu membawa dampak yang kurang baik

dari sisi efektivitas kebijakan moneter dan stabilitas

keuangan. Salah satu hasil studi menyatakan, terutama di

negara sedang berkembang dimana pinjaman bank masih

menjadi sumber utama pembiayaan, margin bunga yang

tinggi akan menghambat investasi dan pertumbuhan

ekonomi secara keseluruhan (Martinez Peria and Mody,

2004). Selain itu, tingginya margin bunga dapat dijadikan

sebagai indikasi lemahnya regulasi perbankan dan adanya

asimetri informasi.

Di sisi yang lain, margin bunga yang tinggi

mengindikasikan profitabilitas yang tinggi. Ini dapat

meningkatkan kapitalisasi perbankan yang diharapkan

dapat menjadi peredam dalam menghadapi goncangan

(shock) negatif yang terjadi. Hal tersebut tentu saja

berpengaruh positif dalam hal bank sebagai entitas bisnis.

Pada kedua posisinya, bank harus berada pada posisi yang

optimal baik sebagai lembaga intermediasi maupun

sebagai entitas bisnis.

Dengan tingkat margin bunga tahunan rata-rata

sekitar 5 persen ini menunjukkan bahwa Indonesia

merupakan salah satu negara dengan margin bunga yang

tinggi. Dengan fakta tersebut, yang menjadi pertanyaan

adalah apakah penentuan harga (pricing) produk

perbankan (pinjaman dan simpanan) sudah menunjukkan

kewajaran? Atau ini justru menjadi indikasi adanya

ketidakwajaran dalam proses bisnis perbankan di

Indonesia. Maka bagian ini akan sedikit mendiskusikan

hal tersebut.

Pada sisi makro, sudah menjadi fakta umum bahwa

terjadi kekakuan suku bunga pada pasar pinjaman bank

di Indonesia. Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya

suku bunga acuan BI yang tidak diikuti dengan penurunan

suku bunga kredit sehingga proses intermediasi tidak dapat

berjalan dengan lancar7. Ataupun, walau suku bunga kredit

memiliki kecenderungan menurun, namun sebagian besar

suku bunga aktual bank masih lebih tinggi dibandingkan

dengan hasil estimasi. Hasil studi yang dilakukan oleh Bank

Indonesia menyebutkan bahwa sejalan dengan penurunan

suku bunga SBI, estimasi biaya intermediasi menunjukkan

nilai (rata-rata) yang lebih rendah 2,43 persen

dibandingkan dengan rata-rata berdasarkan data aktual

bank pada tahun 2003 (Hadad et. al, 2003). Kondisi

tersebut menunjukkan bahwa bank sebenarnya masih

memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga kredit,

yang diharapkan dapat menurunkan margin bunga dan

selanjutnya berdampak pada optimalnya biaya

intermediasi.

Terkait dengan kekakuan suku bunga kredit yang

terjadi di Indonesia, literatur menyebutkan collusive pricing

arrangement sebagai salah satu hipotesis penyebabknya

(Hannan dan Berger, 1991). Hipotesis ini sejalan dengan

7 Dalam hal ini penulis tidak dapat memberikan data aktual terkait rigiditas suku bungapinjaman; karena untuk itu perlu dilakukan studi tersendiri guna mengetahui berapalama penyesuaian suku bunga pinjaman bank seiring dengan turunnya suku bungaacuan BI, sehingga dapat diketahui dengan pasti derajat kekakuannya.

Page 95: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

85

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

hasil estimasi yang telah dilakukan. Hipotesis collusive

pricing arrangement memberikan argumen bahwa dengan

semakin terkonsentrasinya pasar maka bank cenderung

melakukan upaya kolusif dalam rangka menahan suku

bunga kredit tetap dalam hitungan yang tinggi untuk

mempertahankan pendapatannya. Hal ini sesuai dengan

hasil estimasi yang mana indeks Lerner secara statistik

positif dan signifikan mempengaruhi margin bunga

perbankan dengan tingkat elastisitas yang cukup besar

pula. Hal ini membawa implikasi pada kebijakan untuk

mengambil tindakan terkait regulasi konsentrasi pasar dan

kompetisi sektor perbankan.

Hasil lain terkait makalah ini adalah margin bunga

yang tinggi terindikasi disebabkan karena tingginya biaya

operasi bank. Data menunjukkan bahwa secara rata-rata

biaya overhead/ operasi bank menunjukkan kinerja yang

masih belum efisien terutama apabila dibandingkan

dengan negara-negara lain di Asia Tenggara yang berkisar

antara satu hingga dua persen (Hadad et. al, 2003);

sementara biaya operasi rata-rata bank di Indonesia

berkisar antara tiga hingga empat persen. Selain itu, beban

yang harus ditanggung bank dalam kegiatan

operasionalnya yang masih banyak mengandalkan cabang

dan belum menggunakan teknologi canggih juga

berpengaruh pada tingginya beban personalia. Hal ini

berkontribusi terhadap tingginya biaya operasi bank.

Hal penting yang dapat dicatat bagian ini adalah,

adanya indikasi ketidak-optimalan pada margin bunga

sektor perbankan di Indonesia. Indikasi penyebab dari

ketidakoptimalan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Adanya kekakuan pada penurunan suku bunga kredit

relatif terhadap suku bunga acuan. Ini menyebabkan

tingkat bunga kredit relatif lebih tinggi (pendapatan

bunga juga relatif lebih tinggi) daripada suku bunga

simpanan sehingga menyebabkan margin bunga

bank tinggi. Ini mengindikasikan tingginya biaya

intermediasi.

2. Biaya operasional pada tingkat individual bank tinggi.

Dengan kondisi ini bank menghadapi risiko

operasional yang tinggi sehingga cenderung untuk

mengompensasikan beban tersebut kepada

debiturnya sehingga penurunan suku bunga lebih

lanjut belum terjadi. Sebagai konsekuensinya, margin

bunga masih tetap tinggi.

3. Hal yang sama juga terjadi pada kualitas manajemen

yang kurang baik.

4. Sektor perbankan relatif terkonsentrasi sehingga

memungkinkan terjadinya collusive pricing

arrangement yang berdampak pada tingginya margin

bunga.

5. KESIMPULAN

Pada tataran internasional, Indonesia merupakan

salah satu negara dengan margin bunga yang tinggi. Oleh

karena itu dipandang perlu untuk melakukan studi untuk

mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

margin bunga pada sektor perbankan Indonesia. Hasil

temuan pada studi ini mengindikasikan tingginya margin

bunga yang secara dominan disebabkan oleh

terkonsentrasinya pasar, tingginya biaya operasional

perbankan, dan kurang memadainya kualitas manajemen

pada tingkat individual bank. Ketiga faktor tersebut,

dengan didukung elastisitasnya yang cukup signifikan

dalam memengaruhi margin bunga, sangat mendukung

dijadikan sebagai tolok ukur dan unsur penting yang perlu

dievaluasi dalam mengoptimalkan tingkat margin bunga

pada sektor perbankan Indonesdia.

Page 96: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

86

Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

Allen, L. 1988. The Determinants of Bank Interest Margins:

A Note. Journal of Financial and Quantitative Analysis

23. 231√235.

Angbanzo, L. 1997. Commercial Bank Net Interest

Margins, Default Risk, Interest Rate Risk and Off-

Balance Sheet Banking. Journal of Banking and

Finance. 21. 55√87.

Baltagi, B.H. 2002. Econometric Analysis of Panel Data.

Second Edition. England: John Wiley and Sons. Ltd.

Brock, P. Rojas Suarez, L. 2000.£Understanding the

Behavior of Bank Spreads in Latin America. Journal

of Development Economics. 63: 113-134.

Carbó, S., Rodríguez, F. 2007. The Determinants of Bank

Margins in European Banking. Journal of Banking &

Finance 31. 2043-2063.

Gelos, R., 2006. Banking Spreads in Latin America. IMF

Working Paper WP/06/44.

Hadad, M.D., Santoso, W., dan Dwityapoetra, S.B. 2003.

Studi Biaya Intermediasi Beberapa Bank Besar di

Indonesia: Apakah Bunga Kredit Bank Umum

Overpriced? Kertas Kerja Bank Indonesia. Oktober.

Hannan, T.H. dan Berger, A. 1991. The Rigidity of Prices:

Evidence from the Banking Industry. The American

Economic Review. Vol. 81, No. 4 (Sep.), pp. 938-945.

Hawtrey, K. dan Liang, H. 2008. Bank Interest Margins in

OECD Countries. North American Journal of

Economics and Finance. 19. 249√260.

Ho, T., & Saunders, A. 1981. The Determinants of Bank

Interest Margins: Theory and Empirical Evidence.

Journal of Financial and Quantitative Analysis, 16,

581√600.

Daftar Pustaka

Lerner, E. M. 1981.√The Determinants of Banks Interest

Margins: Theory and Empirical Evidence. Journal of

Financial and Quantitative Analysis, XVI(4), 601√602.

Levine, Ross. 1997.√Financial Development and Economic

Growth. Journal of Economic Literature. 35(2):688-

726.

Martinez Peria, M., Mody, A. 2004. How Foreign

Participation and Market Concentration Impact Bank

Spreads: Evidence from Latin America. Journal of

Money, Credit and Banking 36(3): 511-537.

Maudos, J. dan Guevara, F. 2004.ÄFactors Explaining the

Interest Margin in The Banking Sectors of The

European Union. Journal of Banking and Finance.

28(9), 2259√2281.

Maudos, J. dan Solis, L. 2009.√The Determinants of Net

Interest Income in the Mexican Banking System: An

Integrated Model. Journal of Banking and Finance.

33(10). 1920-1931.

McShane, R. dan Sharpe, I. 1985. A Time Series/Cross

Section Analysis of the Determi-nants of Australian

Trading Bank Loan/Deposit Interest Margins: 1962√

1981. Journal of Banking and Finance 9:115√136.

Saunders, A. dan Schumacher, L 2000.√The Determinants

of Bank Interest Rate Margins: An International Study.

Journal of International Money and Finance, 19, 813√

832.

..

Page 97: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

87

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

Artikel II

Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter TerhadapNon Performing Loan Ratio di Indonesia

Arief Budiman Simon1

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak terjadinya shock variabel moneter terhadap rasio

NPL di Indonesia. Studi empiris menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka pendek antara BI rate, inflasi,

nilai tukar, dan rasio NPL. Uji kausalitas Granger menunjukkan terjadinya bidirectional causality antara NPL dan

BI rate serta BI rate dan inflasi. Selain itu, unidirectional causality juga terjadi antara inflasi dan nilai tukar terhadap

NPL. Vector Auto Regression (VAR) juga memberikan hasil yang mendukung hipotesis awal bahwa shock variabel

moneter memiliki pengaruh yang kecil terhadap NPL. Hasil estimasi VAR dapat dilihat dari uji Impulse Response

dan Variance Decomposition. Hasil Impulse Response menunjukkan bahwa terjadinya shock pada inflasi dan

nilai tukar memberikan dampak positif terhadap perubahan NPL. Namun, di lain pihak NPL justru merespon

negative ketika terjadi shock pada suku bunga acuan. Hasil Variance Decomposition menunjukkan bahwa inflasi

dan suku bunga acuan (BI rate) memiliki kontribusi yang paling besar jika dibandingkan dengan kontribusi nilai

tukar.

Keywords: shock variabel moneter, BI rate, inflasi, nilai tukar, NPL, VAR.

JEL Classification: E51, G21

1 Penulis dapat dihubungi pada: [email protected] atau [email protected]

I. LATAR BELAKANG

Peran utama dari keberadaan lembaga keuangan

dalam suatu negara adalah fungsi intermediarisnya, yaitu

menyalurkan kembali dana yang telah dihimpun dari

masyarakat (Dana Pihak Ketiga) dalam bentuk pinjaman

atau kredit kepada sektor-sektor usaha riil dalam upaya

pengembangan atau ekspansi atas usahanya. Artinya,

melalui fungsi intermediasi tersebut, sektor keuangan

haruslah berperan sebagai agen dalam mempercepat

pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

Abstract

Page 98: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

88

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

Keadaan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah

kurang efisiensinya penyebaran dana melalui kredit

terhadap sektor yang membutuhkan sebagai dampak dari

krisis finansial global. Untuk memulihkan kembali sektor

perekonomian, saat ini pemerintah sedang melakukan

kebijakan ekonomi yang bersifat ekspansif mulai dari

penurunan pajak hingga menurunkan tingkat suku bunga.

Semua dilakukan dengan tujuan memperbesar proporsi

kredit untuk menjaga agar perekonomian tetap berjalan.

Walaupun suku bunga acuan telah turun sampai ke posisi

dibawah 7%, pada awalnya suku bunga kredit masih belum

mengalami penurunan. Hal ini berdampak pada penurunan

permintaan kredit. Namun diperkirakan dalam waktu dekat

suku bunga kredit akan mengalami penurunan. Hal ini

diungkapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan hasil survei

kepada pengelola 44 bank di Indonesia.

Lambatnya reaksi penurunan suku bunga kredit

setelah bank sentral menurunkan suku bunga acuannya

diperkirakan karena masih tingginya risiko kredit yang ada

di Indonesia. Hal ini menyebabkan perbankan lebih hati-

hati dalam mengucurkan dana yang telah dihimpun

sehingga para pihak yang membutuhkan dana untuk

melakukan siklus usaha menjadi kesulitan. Padahal

penurunan BI Rate pada akhirnya dimaksudkan untuk

menurunkan bunga kredit, sehingga akan mendorong

perbankan dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor yang

produktif, sehingga perekonomian Indonesia akan mampu

bertahan di tengah gelombang krisis global.

Ketika BI Rate sudah menyentuh 7,75%, penurunan

BI Rate ini baru direspons perbankan dengan menurunkan

bunga kredit sebesar 0,05% sejak awal tahun ini. Secara

umum, suku bunga kredit pada akhir Desember 2008

mencapai 14,2% dan pada pekan kedua Maret 2009 turun

tipis menjadi 13,93%. Hal ini memberikan gambaran

bahwa walaupun tingkat suku bunga acuan telah turun,

namun perbankan masih belum dapat percaya bahwa

penurunan tersebut juga diiringi penurunan risiko kredit.

sehingga akan meningkatkan kesejahteraan pada

masyarakat baik berupa pengadaan lapangan pekerjaan

baru di sektor riil maupun peningkatan produktivitas dan

pendapatan masyarakat.

Stabilitas sistem keuangan secara langsung memiliki

pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan produk

domestik bruto suatu negara. Hal ini dibuktikan dengan

keadaan pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika terjadi

krisis moneter di tahun 1997-1998. Pada saat itu depresiasi

rupiah yang besar telah mengakibatkan inflasi yang tinggi

selama lima bulan pertama tahun 1998. Selain itu kondisi

keuangan sistem perbankan makin merosot seiring dengan

makin dalamnya krisis ekonomi. Tekanan pada nilai tukar

dan cadangan devisa juga semakin berat dengan tidak

diakuinya kredit perdagangan dan kredit lainnya dari

perbankan Indonesia oleh bank-bank asing.

Salah satu kutipan mengenai definisi stabilitas sistem

keuangan yang dikutip oleh Bank Indonesia adalah :

∆ Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi

dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga,

alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik

dan mendukung pertumbuhan ekonomi.∆

Hal ini dapat uraikan bahwa stabilitas sistem

keuangan akan tercermin dari tingkat harga yang stabil,

alokasi dana yang tepat, serta pengelolaan risiko yang

minimum sehingga dapat mendukung pertumbuhan

ekonomi dengan baik. Kestabilan tingkat harga maupun

pengalokasian dana yang tepat dapat dicapai dengan

berbagai jalan kebijakan, salah satunya adalah kebijakan

moneter. Menurut Warjiyo dan Solikin (2003), kebijakan

moneter adalah kebijakan dari bank sentral dalam

mengendalikan variabel moneter untuk menggapai

perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan.

Perekonomian yang diinginkan dengan maksud untuk

meningkatkan pertumbuhan output dan atau

terpeliharanya stabilitas harga (Rahardja dan Manurung,

2001:359).

Page 99: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

89

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

Risiko kredit tercermin dari rasio non performing loan

atau yang biasa disebut dengan kredit macet. Perbankan

menilai bahwa pergerakan variabel moneter saat ini

sewaktu-waktu dapat mempengaruhi tingkat rasio kredit

macet sehingga institusi keuangan tersebut enggan

menurunkan suku bunga kreditnya secara signifikan. Data

tahun 2008 memperlihatkan bahwa pergerakan rasio NPL

di tahun tersebut stabil dan mengalami penurunan,

walaupun inflasi dan BI rate meningkat di pertengahan

tahun dan kembali menurun di akhir tahun 2008.

Studi ini bertujuan untuk meneliti dampak yang akan

ditimbulkan apabila terjadi shock terhadap variabel

moneter dalam perekonomian. Dampak yang dimaksud

adalah dampak yang akan ditimbulkan dari terjadinya

shock tersebut terhadap risiko kredit yang tercermin dari

rasio NPL. Shock variabel moneter yang dimaksud dalam

paper ini mencakup tingkat suku bunga acuan, inflasi, dan

nilai tukar. Selanjutnya akan diteliti tentang shock dari

masing-masing variabel tersebut dan dampaknya terhadap

pergerakan rasio NPL di Indonesia sehingga dapat diketahui

sasaran kebijakan moneter yang tepat untuk menurunkan

risiko kredit tersebut.

2. LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Stabilitas Keuangan

Sutton dan Tosovsky (dalam Arifin, 2007) dijelaskan

bahwa stabilitas keuangan adalah situasi dimana sistem

keuangan dapat: (i) mengalokasikan sumber daya secara

efisien ke dalam kegiatan produktif pada waktu yang

berbeda-beda; (ii) memprediksi dan mengukur risiko

finansial, dan (iii) menyerap shocks. Maksudnya, stabiltas

sistem keuangan meliputi efisiensi dan ketahanan sistem

keuangan yang notabene merupakan konsep yang

kompleks. Kestabilan sistem keuangan tidak hanya

bergantung pada institusi keuangan secara individu,

melainkan juga bergantung pada interaksi yang kompleks

antara lembaga keuangan, sektor riil, dan pasar keuangan.

Perbedaan stabilitas keuangan dari stabilitas moneter

mengacu pada stabilitas harga-harga secara umum.

Menurut Croket (dalam Arifin, 2007) financial instability

akan memberi dampak negatif pada efektivitas kebijakan

moneter (monetary stability) apabila perbankan tidak dapat

mentransmisikan kebijakan moneternya dengan baik.

Secara teoritis, pada ekonomi tertutup kebijakan moneter

memiliki kaitan erat dengan stabilitas keuangan. Hal ini

disebabkan pada ekonomi tertutup tidak ada faktor

eksternal yang dapat mempengaruhi kebijakan moneter

dalam neger sehingga pengaruh kebijakan moneter

terhadap stabilitas keuangan dalam negeri menjadi sangat

dominan. Sebaliknya, dalam perkonomian terbuka,

keterkaitan antara kebijakan moneter dengan stabilitas

keuangan menjadi semakin longgar. Hal ini disebabkan

adanya gangguan eksternal terhadap perekonomian dalam

negeri sehingga diperlukan kebijakan pendukung, yaitu

kebijakan fiskal, untuk meminimalisir kelonggaran

hubungan antara kebijakan moneter dengan stabilitas

sistem keuangan.

2.2. Suku Bunga

Suku bunga merupakan salah satu instrumen yang

digunakan dalam kebijakan moneter (Nopirin, 1992:46).

Sementara itu, Blanchard (2006:544) menyebutkan bahwa

suku bunga dapat digunakan sebagai nominal anchor

dalam kebijakan moneter jalur inflation targeting. Oleh

Grafik A2.1Pergerakan BI Rate, Inflasi, dan NPL di tahun 2008

14

12

10

8

6

4

2

01 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

BI Rate

Inflasi

NPL

Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Page 100: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

90

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

karena itu bank sentral lebih cenderung menggunakan

instrumen tersebut dibandingkan menggunakan money

supply. Suku bunga juga memiliki korelasi dengan tingkat

inflasi dan tingkat penggangguran. Hal tersebut dijelaskan

oleh Taylor dalam Taylor rule yang menyatakan bahwa

dalam usaha menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka

pendek dan mencapai laju inflasi yang rendah dalam

jangka panjang sebaiknya menggunakan suku bunga

sebagai instrumen utama. Rumus Taylor rule adalah sebagi

berikut :

............ 2.1

Dimana :

it : Suku bunga nominal

i* : Suku bunga nominal yang diharapkan (target)

π : Tingkat inflasi

π * : Tingkat inflasi yang diharapkan (target)

ut : Tingkat pengangguran

un : Tingkat pengangguran alami

a : Koefisien yang merefleksikan seberapa besar bank

sentral mempengaruhi inflasi daripada tingkat

pengangguran.

b : Koefisien yang merefleksikan seberapa besar bank

sentral mempengaruhi tingkat pengangguran relatif

terhadap inflasi.

Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa bank

sentral dapat menetapkan suku bunga saat ini dengan

suku bunga yang diharapkan (it = i*) jika inflasi saat ini

sama dengan inflasi yang diharapkan (π = π*) dan tingkat

pengangguran juga sama dengan pengangguran alami

(ut = un). Akan tetapi, jika inflasi yang terjadi lebih besar

dari yang diharapkan, maka bank sentral akan cenderung

untuk meningkatkan suku bunga nominal yang selanjutnya

dapat mendorong peningkatan jumlah pengangguran dan

menurunkan tingkat inflasi.

2.3. Inflasi

McEachern (2000:133-134) menyatakan bahwa

inflasi merupakan kenaikan terus menerus dalam tingkat

harga suatu perekonomian akibat adanya kenaikan

permintaan agregat atau penurunan penawaran agregat.

Inflasi yang timbul akibat kenaikan permintaan agregat

disebut dengan demand-pull inflation. Sedangkan inflasi

yang terjadi akibat penurunan penawaran agregat disebut

dengan cost-push inflation.

Secara umum, besaran inflasi dapat dihitung dengan

menggunakan indeks harga yang diukur dari Consumer

Price Index (CPI), Producer Price Index (PPI), atau NPL

Deflator (Miller, 2001:154). Nilai CPI diperoleh dari

perbandingan antara biaya seperangkat barang dan jasa

pada tahun tertentu dengan biaya seperangkat barang

dan jasa pada tahun dasar (Frank, 2004:140). PPI

merupakan penghitungan harga rata-rata barang dan jasa

yang diproduksi dan dijual oleh suatu perusahaan. NPL

deflator menunjukkan perubahan tingkat harga pada

semua barang dan jasa baru yang diproduksi dalam

perekonomian. NPL deflator dapat diperoleh dari

perbandingan antara NPL nominal dengan NPL riil pada

harga konstan (Nopirin, 1992:4).

2.4. Nilai Tukar

Blanchard (2006:378-382) menyebutkan bahwa nilai

tukar dapat dibedakan menjadi nilai tukar nominal dan

riil. Nilai tukar nominal (E) merupakan harga mata uang

dalam negeri relatif terhadap mata uang luar negeri.

Sedangkan nilai tukar riil ( )∈ diperoleh dari perbandingan

antara hasil kali nilai tukar nominal dan tingkat harga

domestik dengan tingkat harga luar negeri. Nilai tukar riil

dapat dirumuskan ke dalam persamaan berikut :

............ 2.2*P

EP∈=

Page 101: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

91

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

Samuelson (2001:319-320) menyebutkan bahwa

terdapat tiga macam sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai

tukar tetap, mengambang bebas, dan mengambang

terkendali. Sistem nilai tukar tetap adalah sistem

penentuan nilai mata uang asing dengan tingkat harga

yang ditetapkan oleh bank sentral. Sistem nilai tukar

mengambang bebas merupakan sistem penentuan nilai

mata uang asing dengan tingkat harga yang sepenuhnya

ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar.

Sedangkan sistem nilai tukar mengambang terkendali

merupakan sistem penentuan nilai mata uang asing

dengan mekanisme pasar yang disesuaikan dengan batas

pita intervensi yang ditetapkan bank sentral.

2.5. Penelitian Sebelumnya

Penelitian mengenai efek dari kebijakan moneter

terhadap pengambilan risiko kredit telah dilakukan oleh

Gabriel Jimenez, Banco de Espana di tahun 2008. Salah

satu dari kesimpulan penelitian tersebut adalah dalam

jangka pendek, tingkat suku bunga yang rendah akan

mengakibatkan total risiko kredit menurun dan

memperkecil kemungkinan terjadinya credit crunch.

Namun dalam jangka menengah, suku bunga yang rendah

akan menyebabkan total risiko kredit dalam suatu

perekonomian menjadi meningkat.

Penelitian mengenai respon suku bunga dan kredit

bank di Bali terhadap kebijakan moneter oleh R. Aga

Nugraha pada tahun 2007. Penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa perubahan suku bunga acuan

direspon secara cepat oleh suku bunga simpanan namun

direspon secara lambat oleh suku bunga pinjaman. Secara

umum, penurunan suku bunga lebih responsif

dibandingkan dengan kenaikkan suku bunga. Selain itu,

pertumbuhan ekonomi dan inflasi mempengaruhi

penyaluran kredit secara positif sementara suku bunga

acuan berpengaruh negatif.

3. METODOLOGI DAN DATA

3.1. Metode Analisa

3.1.1. Uji Akar-Akar Unit (Unit Root Test)

Estimasi model ekonometrik time series akan

menghasilkan kesimpulan yang tidak berarti, ketika data

yang digunakan mengandung akar unit (tidak stasioner).

Nonstationary seri akan menciptakan kondisi spurious

regression yang ditandai oleh tingginya koefisien

determinasi, R2 dan t statistic tampak signifikan, tetapi

penafsiran hubungan seri ini secara ekonomi akan

menyesatkan. Sebuah seri dikatakan stasioner, jika seluruh

moment dari seri tersebut (rata-rata, varians dan kovarians)

konstan sepanjang periode waktu. Augmented Dickey√

Fuller Test (ADF test) merupakan prosedur standar, untuk

menguji hipotesis nol (H0) adanya akar unit (seri tidak

stasioner) terhadap hipotesis alternatif (H1) sebuah seri

stasioner (Gujarati, 2008). Jika Yt adalah seri dengan

panjang lag p, maka:

Dimana :

∆Yt = Bentuk dari first difference

_0 = Intersep

Y = Variabel yang diuji stasioneritasnya

P = Panjang lag yang digunakan dalam model

_ = Error term

3.1.2. Penentuan Lag Optimal

Salah satu permasalahan yang terjadi dalam uji

stasioneritas adalah penentuan lag optimal. Haris (1995)

menjelaskan bahwa jika lag yang digunakan dalam uji

stasioneritas terlalu sedikit, maka residual dari regresi tidak

akan menampilkan proses white noise sehingga model

tidak dapat mengestimasi actual error secara tepat.

Akibatnya _ dan standar kesalahan tidak diestimasi secara

baik. Namun jika memasukkan terlalu banyak lag maka

dapat mengurangi kemampuan untuk menolak Ho karena

tambahan parameter yang terlalu banyak akan

mengurangi degress of freedom.

Page 102: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

92

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

Dalam penentuan lag optimal dengan menggunakan

beberapa kriteria informasi, maka dipilih kriteria yang

mempunyai final prediction error corection (FPE) atau

jumlah dari AIC, SIC, dan HQ paling kecil di antara berbagai

lag yang diajukan.

3.1.3. Uji Kausalitas Granger

Metode yang digunakan untuk menganalisis

hubungan kausalitas antar variabel yang diamati adalah

dengan uji Kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger

ditujukan untuk melihat arah hubungan antar variabel suku

bunga acuan, inflasi, nilai tukar dan non performing loan

ratio.

3.1.4. Uji Kointegrasi

Widarjono (2007) menjelaskan bahwa salah satu

pendekatan yang dapat digunakan dalam uji kointegrasi

adalah dengan metode Johansen. Uji kointegrasi metode

Johansen dapat dianalisis melalui model autoregressive

dengan ordo P yang ditunjukkan oleh persamaan berikut:

Dimana :

: vektor-k pada variabel-variabel yang tidak

stasioner

: vektor-d pada variabel deterministik

: vektor inovasi

Selanjutnya, persamaan tersebut dapat ditulis ulang

menjadi :

Dimana

Representasi teori Granger menyebutkan bahwa

koefisien matriks ∏ memiliki k<τ reduce rank yang

mempunyai τ×k matriks α dan β dengan rank τ , seperti

αβ=∏ dan tyβ ′ yang merupakan ( )0Ι . τ merupakan

bilangan kointegrasi (rank), sedangkan tiap kolom β

menunjukkan vektor kointegrasi. α lebih dikenal dengan

parameter penyesuaian pada VECM. Selanjutnya, metode

Johansen digunakan untuk mengestimasi matriks ∏ dari

unrestricted VAR dan untuk melakukan pengujian apakah

hasil reduced rank dapat diterima atau tidak.

Selanjutnya dalam pengujian reduce rank tersebut,

Johansen menggunakan dua tes statistik yang berbeda

yaitu trace test ( )traceλ dan maximum eigenvalue test

( )maxλ . Trace test menguji H0 pada persamaan kointegrasi

τ sebagai kointegrasi alternatif dari persamaan kointegrasi-

k, dimana k merupakan bilangan variabel endogen untuk.

Pengujian H0 melalui trace test dapat ditunjukkan melalui

persamaan berikut :

Dimana iλ merupakan eigenvalue terbesar dari

matriks ∏ . Sedangkan maximum eigenvalue test menguji

H0 pada persamaan kointegrasi sebagai kointegrasi

alternatif dari persamaan kointegrasi-k+1. Pengujian H0

melalui maximum eigenvalue test dapat ditunjukkan

melalui persamaan berikut :

3.1.5. Estimasi VAR

Metode Vector Autoregression (VAR) pertama kali

dikembangkan oleh Christoper Sims (1980). Kerangka

analisis yang praktis dalam model ini akan memberikan

informasi yang sistematis dan mampu menaksir dengan

baik informasi dalam persamaan yang dibentuk dari data

time series. Selain itu perangkat estimasi dalam model VAR

mudah digunakan dan diintepretasikan. Perangkat estimasi

ttptptt ByAyAy ∈++++= −− π........11

ty

t∈

ttit

p

i

itt Byyy ∈++∆Γ+∏=∆ −

=− ∑ π

1

1

1

∑=

−=∏p

i

i IA1

, ∑+=

−=Γp

ij

ji A1

( )∑+=

−−=k

ri

itr TkLR1

1log λτ

1max +kLR τ ( )1

1log +−−= rT λ

1,...,1,0;1 −=+−= kkLRkLR trtr τττ

Page 103: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

93

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

yang akan digunakan dalam model VAR ini adalah fungsi

impulse respon dan variance decompotition.

Ada beberapa keuntungan dari VAR (Gujarati,

1995:387) yaitu :

1. VAR mampu melihat lebih banyak variabel dalam

menganalisis fenomena ekonomi jangka pendek dan

jangka panjang.

2. VAR mampu mengkaji konsistensi model empirik

dengan teori ekonometrika.

3. VAR mampu mencari pemecahan terhadap persoalan

variabel runtun waktu yang tidak stasioner (non

stasionary ) dan regresi lancung ( spurious regresion )

atau korelasi lancung (spurious correlation ) dalam

analisis ekonometrika.

Unrestricted VAR adalah bentuk VAR yang tidak

terrestriksi. Bentuk restriksi ini terkait erat dengan

permasalahan kointegrasi dan hubungan teoritis. Jika data

yang digunakan di dalam pembentukkan VAR stasioner

pada tingkat level, bentuk VAR yang digunakan adalah

VAR tanpa restriksi. Jika data yang digunakan di dalam

pembentukkan VAR stasioner pada tingkat first difference,

bentuk VAR yang digunakan VAR in level.

3.1.6. Fungsi Impulse Response

Widarjono (2007) menjelaskan bahwa analisis

impulse response ini digunakan untuk melacak respons

dari variabel endogen di dalam sistem VAR karena adanya

goncangan (shocks) atau perubahan di dalam variabel

gangguan (e). Impulse response dalam penelitian ini

difokuskan untuk mengetahui respon RBI, INF, EXR, dan

NPL apabila terdapat shock uRBI, uINF, uEXR, dan uNPL.

3.1.7. Variance Decomposition

Analisis variance decomposition atau Forecast Error

decomposition of variance ini menggambarkan relatif

pentingnya setiap variabel di dalam sistem VAR karena

adanya shocks (Widarjono, 2007, hal. 383). Variance

decomposition berguna untuk memprediksi kontribusi

persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan

variabel tertentu di dalam sistem VAR. Dalam penelitian

ini, variance decomposition ditujukan untuk mengetahui

proporsi varians _RBI(n)2, _INF(n)2, σEXR(n)2, dan σNPL(n)2 karena

shock uRBI, uINF, uEXR, dan uNPL.

3.2. Data dan Definisi Variabel

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah

data sekunder berupa data time series dari bulan Juli 2005

sampai Juni 2009 yang dihimpun secara bulanan. Data

tersebut bersumber dari Statistik Indonesia terbitan Biro

Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Statistik Ekonomi dan

Keuangan Indonesia serta Statistik Perbankan Indonesia

yang telah diolah kembali.

Prosedur pengumpulan data dilaksanakan dengan

metode dokumenter. Semua data yang diperlukan dikutip

dari sumber-sumber yang telah disebutkan di atas. Setelah

itu, semua data didokumentasikan dengan berlandas pada

literatur-literatur yang mendukung.

Rasio Non Performing Loans (NPL) digunakan sebagai

indikator risiko kredit. Variabel moneter yang digunakan

mencakup suku bunga acuan Bank Indonesia(RBI), tingkat

inflasi Indonesia (INF), dan rata-rata nilai tukar Rupiah

terhadap dolar (EXR).

4. HASIL DAN ANALISIS

4.1. Uji Stasioneritas (Unit Root Test)

Berdasarkan uji akar unit, keseluruhan variabelnya

baru stasioner setelah didiferensiasikan pada orde pertama.

Uji dilakukan pada tingkat none. Berikut hasil dari uji akar

unit pada semua variabel pada first difference :

Page 104: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

94

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

4.2. PenentuanLag Length Optimal

Penentuan lag length optimal pada penelitian ini

menggunakan pemilihan kriteria informasi dengan metode

Final Prediction Error (FPE), Aike Information Criterion (AIC),

Schwarz Criterion (SC), dan Hannan-Quinn (HQ). Dari hasil

uji tersebut dapat diketahui bahwa Eviews 4.1 telah

merekomendasikan lag optimal pada model VAR tersebut.

Hasil menunjukkan bahwa jumlah lag optimal yang

direkomendasikan adalah lag 2. Proses pengujian dalam

penentuan lag length optimal pada penelitian ini

menggunakan perangkat lunak Eviews versi 4.1 seperti

pada tabel A.2.2 berikut ini:

pada persamaan Granger model 1. Hubungan kausalitas

satu arah pertama terjadi dari variabel Inflasi terhadap NPL

pada _ = 1%. Sedangkan hubungan kausalitas satu arah

kedua terjadi dari variabel NPL terhadap EXR (Nilai Tukar)

pada _ = 10%.RBI *-2.173943 0 -2.616203 -1.612320 -1.612320INF *-5.549012 0 -2.616203 -1.948140 -1.612320EXR *-6.134623 0 -2.616203 -1.948140 -1.612320NPL *-6.962101 0 -2.616203 -1.948140 -1.612320

Tabel A2.1Hasil Uji Akar Unit BerdasarkanADF Statistik

Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1Catatan : * Signifikan pada ± = 5%

VariabelADFt-Statistik Lag

MacKinnon Critical Value

1% 5% 10%

00000 6822951.6822951.6822951.6822951.6822951. 27.0872827.0872827.0872827.0872827.08728 27.2478727.2478727.2478727.2478727.24787 27.1471527.1471527.1471527.1471527.14715

Ω 11111 5137.7725137.7725137.7725137.7725137.772 19.8922019.8922019.8922019.8922019.89220 20.6951620.6951620.6951620.6951620.69516 20.1915320.1915320.1915320.1915320.19153

2 1868.948* 18.86278* 20.30811* 19.40158*

Ω 33333 2397.5452397.5452397.5452397.5452397.545 19.0659919.0659919.0659919.0659919.06599 21.1536921.1536921.1536921.1536921.15369 19.8442619.8442619.8442619.8442619.84426

Tabel A2.2Hasil Pengujian Lag Length Optimal

Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1

Model 1Model 1Model 1Model 1Model 1 LagLagLagLagLag FPEFPEFPEFPEFPE AIC SC HQ AIC SC HQ AIC SC HQ AIC SC HQ AIC SC HQ

4.3. Uji KausalitasGranger

Uji Granger menunjukkan bahwa terdapat dua

hubungan kausalitas dua arah pada persamaan Granger

model 1. Hubungan kausalitas dua arah pertama terjadi

dari variabel BI rate terhadap NPL (Non Performing Loans)

pada ± = 5%. Hubungan kausalitas dua arah kedua terjadi

dari variabel BI rate terhadap Inflasi pada ± = 5%.

Sedangkan terdapat dua hubungan kausalitas satu arah

4.4. Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui

kemungkinan terjadinya kestabilan jangka panjang (long

run equilibrium) diantara variabel-variabel yang diamati.

Uji kointegrasi dalam penelitian menggunakan pendekatan

Johansen.

Hipotesis Nol (Ho)Hipotesis Nol (Ho)Hipotesis Nol (Ho)Hipotesis Nol (Ho)Hipotesis Nol (Ho) ProbabilitasProbabilitasProbabilitasProbabilitasProbabilitas

RBI does not Granger Cause NPL 0.03637NPL does not Granger Cause RBI 0.02967Ω ΩRBI does not Granger Cause INF 2.9E-05INF does not Granger Cause RBI 0.04311Ω ΩNPL does not Granger Cause INF 0.47653INF does not Granger Cause NPL 0.00619Ω ΩRBI does not Granger Cause EXR 0.77023EXR does not Granger Cause RBI 0.40817Ω ΩNPL does not Granger Cause EXR 0.07135EXR does not Granger Cause NPL 0.30123Ω ΩINF does not Granger Cause EXR 0.99104EXR does not Granger Cause INF 0.58429

Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1

Tabel A2.3Pengujian Granger Causility

Page 105: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

95

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

4.5. Hasil Estimasi VAR bentuk Diferensi

Setelah dilakukan pengolahan data melalui model

VAR bentuk diferensi dengan menggunakan software E-

Views maka hasilnya dapat diketahui sebagai berikut :

Date: 09/10/09 Time: 18:53Sample(adjusted): 2005:10 2009:06Included observations: 45 after adjusting endpointsTrend assumption: No deterministic trendSeries: EXR INF NPL RBILags interval (in first differences): 1 to 2

Unrestricted Cointegration Rank TestHypothesized Trace 5 Percent 1 PercentNo. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Critical ValueNone 0.359428 37.47918 39.89 45.58At most 1 0.215207 17.43648 24.31 29.75At most 2 0.135099 6.531376 12.53 16.31At most 3 1.75E-06 7.88E-05 3.84 6.51 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates no cointegration at both 5% and 1% levels

Hypothesized Max-Eigen 5 Percent 1 PercentNo. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Critical ValueNone 0.359428 20.04270 23.80 28.82At most 1 0.215207 10.90510 17.89 22.99At most 2 0.135099 6.531297 11.44 15.69At most 3 1.75E-06 7.88E-05 3.84 6.51 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates no cointegration at both 5% and 1% levels

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b»*S11*b=I):EXR INF NPL RBI-0.000361 -0.743070 -0.483825 1.501823-0.000693 -0.339684 -1.459304 1.913761 0.000161 -0.152977 0.022388 -0.092750 0.000546 0.161579 -0.041575 -0.646878

Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1

Tabel A2.4Hasil Uji Kointegrasi

Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa tidak

terjadi hubungan kointegrasi dalam model pertama. Pada

tabel hasil estimasi uji kointegrasi dapat diketahui bahwa

nilai Trace Statistic dan Max Eigen Statistic masing-masing

lebih kecil daripada Critical Valuenya baik pada tingkat

5% maupun 1%. Setelah diketahui tidak terdapat

hubungan kointegrasi pada tiap variabel, maka dapat

dipastikan bahwa model yang digunakan adalah VAR

(Vector Auto Regression) bentuk diferensi.

Page 106: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

96

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

Tabel A2.5Hasil Estimasi VAR bentuk Diferensi

Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1

Pada umumnya, hasil koefisien pada persamaan VAR

di atas sulit untuk diintepretasikan sehingga banyak praktisi

menyarankan menggunakan impulse respon function.

4.6. Hasil Impulse Response

Pembahasan mengenai impulse response pada

persamaan VAR bentuk diferensi difokuskan pada respon

variabel NPL terhadap shock variabel BI rate, Inflasi, dan

Nilai tukar. Sumbu horisontal menunjukkan periode waktu,

dimana satu periode mewakili satu bulan. Sedangkan

sumbu vertikal menunjukkan perubahan NPL akibat shock

variabel tertentu, dimana perubahan ini dinyatakan dalam

bentuk presentase.

Grafik A2.2Respon NPL terhadap shock BI rate

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa shock

variabel BI rate direspon negatif dari periode kedua sebesar

-0,0946% terhadap NPL. Namun pada periode ketiga

terjadi respon positif 0,0148% dan terus meningkat pada

periode keempat hingga mencapai 0,0620%.Selanjutnya

secara bertahap menuju ke titik equilibrium pada periode

kesepuluh.

NPL merespon negatif terhadap shock BI rate di awal

periode, hal ini disebabkan karena pergerakan BI rate

mencerminkan tingkat risiko dalam perekonomian yang

bersangkutan. Ketika bank sentral meningkatkan BI rate

hal ini mencerminkan bahwa tingkat inflasi dalam

perekonomian tersebut mengalami kenaikkan.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

5

4

3

2

1

0

-1

-2

Sumber : Hasil Estimasi Menggunakan E-Views 4.1

Page 107: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

97

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

Dalam jangka pendek hal ini direspon oleh

perbankan dengan meningkatkan suku bunga kredit

sehingga permintaan terhadap kredit turun untuk

sementara waktu. Hal ini menyebabkan turunnya risiko

kredit yang tercermin dari rasio NPL. Namun seiring

berjalannya waktu, risiko kredit kembali meningkat karena

suku bunga kredit yang meningkat menyebabkan debitur

kesulitan dalam melunasi kreditnya. Respon NPL tersebut

kemudian berangsur-angsur kembali ketitik equilibrium

pada periode ke 10.

Dari gambar tersebut, diketahui bahwa NPL

merespon positif terhadap shock yang ditimbulkan oleh

inflasi. Ketika terjadi guncangan inflasi, maka nilai riil mata

uang yang bersangkutan akan menurun.

Hal ini karena jumlah uang yang beredar melebihi

jumlah barang. Merespon shock tersebut, terjadi

peningkatan pada rasio NPL di periode kedua sebesar

0,024% hingga puncaknya di periode ketiga sebesar

0,11%. Namun setelah periode ketiga, respon NPL kembali

melemah hingga akhirnya kembali ketitik ekuilibrium pada

periode ke 8 hingga periode akhir.

Grafik A2.3Respon NPL terhadap shock BI rate

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

5

4

3

2

1

0

-1

-2

Sumber : Hasil Estimasi Menggunakan E-Views 4.1

Grafik A2.4Respon NPL terhadap shock nilai tukar

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

5

4

3

2

1

0

-1

-2

Sumber : Hasil Estimasi Menggunakan E-Views 4.1

Respon NPL terhadap shock nilai tukar dalam jangka

pendek tidak begitu signifikan dan berangsur mulai stabil

di periode ke 7. Hal ini disebabkan karena sebagian besar

pinjaman atau kredit dalam bentuk mata uang asing adalah

pinjaman berjangka waktu panjang, sehingga shock nilai

tukar dalam jangka pendek kurang mendapat respon yang

signifikan oleh rasio NPL.

4.7. Hasil Variance Decomposition

Hasil variance decomposition pada persamaan VAR

bentuk diferensi difokuskan pada konstribusi shock variabel

BI rate, inflasi, dan nilai tukar terhadap rasio NPL. Hal ini

dapat dilihat pada tabel berikut:

PeriodPeriodPeriodPeriodPeriod S.E.S.E.S.E.S.E.S.E. D(EXR)D(EXR)D(EXR)D(EXR)D(EXR) D(INF)D(INF)D(INF)D(INF)D(INF) D(NPL)D(NPL)D(NPL)D(NPL)D(NPL) D(RBI)D(RBI)D(RBI)D(RBI)D(RBI)

1 442.8265 0.955048 0.573012 98.47194 0.0000002 453.4841 1.116010 0.961456 91.54621 6.3763213 474.5919 2.060039 9.818978 82.26012 5.8608654 477.3495 2.156521 9.693013 80.05429 8.0961735 478.3245 2.246004 9.757910 79.84434 8.1517496 478.5255 2.371952 9.928441 79.54892 8.1506897 478.5618 2.369469 9.927476 79.45191 8.2511468 478.5820 2.373806 9.926326 79.43735 8.2625219 478.5874 2.373860 9.929176 79.43450 8.26246010 478.5879 2.374554 9.929456 79.43149 8.264503

Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1

Tabel A2.6Hasil Estimasi VAR bentuk Diferensi

Page 108: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

98

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

Pada periode pertama varians NPL yang dijelaskan

oleh variabel itu sendiri sebesar 98,47%. Pada periode

kedua, varians NPL dapat dijelaskan oleh variabel itu sendiri

sebesar 91,54%. Sisanya dijelaskan oleh variabel BI rate

sebesar 6,37%, inflasi sebesar 0,9614% dan nilai tukar

sebesar 1,11%. Kontribusi variabel BI rate dalam

menjelaskan varians NPL mulai stabil dari periode ke empat

hingga periode ke sepuluh, yakni berkisar di tingkat 8%.

Sedangkan kontribusi variabel Inflasi terhadap varians

NPL mulai meningkat drastis di periode ke tiga di tingkat

9,81% dan besarnya stabil hingga periode ke sepuluh di

kisaran 9,92%.

Kontibusi variabel nilai tukar dimulai pada tingkatan

0,95% pada periode pertama dan kemudian meningkat

hingga kisaran 2,06% di periode ke tiga. Setelah itu tidak

mengalami perubahan yang signifikan hingga periode ke

sepuluh berada di tingkat 2,37%.

Kontribusi total ketiga variabel moneter tersebut

dalam jangka pendek terhadap perubahan NPL hanya

sebesar 21%. Sebanyak kurang lebih 79% varians NPL

dipengaruhi oleh variabel NPL sendiri. Variabel suku bunga

acuan hanya memiliki kontribusi sekitar 9%, begitu juga

dengan variabel inflasi. Sedangkan variabel nilai tukar

memiliki kontribusi terkecil, yakni sebesar 2% dalam

periode akhir.

4.8. Tinjauan Kualitatif

Selama kurun waktu 2008 √ 2009, suku bunga kredit

sangat lambat dalam merespon perubahan suku bunga

acuan. Hal ini diperkirakan karena perbankan masih ragu

terhadap tingkat risiko kredit di Indonesia sehingga respon

perubahan suku bunga kredit berjalan lambat. Selain itu,

kondisi ekonomi makro juga dinilai belum stabil dan dapat

menyebabkan risiko kredit meningkat, yang tercermin dari

rasio Non Performing Loans di Indonesia. Gambaran

kondisi hingga saat ini dapat diketahui dari grafik berikut

:

Laju rasio NPL dari kuartal ketiga tahun 2005 secara

positif merespon inflasi. Ketika laju inflasi mengalami

peningkatan di tahun 2006, NPL merespon hal serupa.

Begitu juga dengan pergerakan BI rate. Walaupun

terkadang respon NPL terhadap perubahan BI rate bersifat

negatif. Seperti pada pergerakan NPL, BI rate, dan inflasi

di tahun 2008 hingga 2009. Ketika inflasi mengalami

peningkatan, begitu juga dengan respon suku bunga

acuan yang mengikuti pergerakan inflasi, laju NPL

merespon negatif, mengalami penurunan dan kemudian

kembali meningkat di kuartal pertama dan kedua tahun

2009. Hal ini menjelaskan bahwa masih banyak faktor di

luar konteks variabel moneter yang mempengaruhi laju

NPL itu sendiri.

5. KESIMPULAN

Paper ini bertujuan untuk mengetahui dampak

terjadinya shock variabel moneter terhadap NPL di

Indonesia, dimana variabel moneter mencakup suku bunga

acuan, inflasi, dan nilai tukar. Tingkat suku bunga kredit

yang sulit untuk mengalami penurunan, diperkirakan

disebabkan oleh risiko kredit yang masih tinggi yang

tercermin dari rasio NPL. Guncangan variabel moneter

sendiri dikhawatirkan berdampak pada peningkatan NPL

sehingga perbankan makin enggan untuk menurunkan

tingkat suku bunga kreditnya.

Grafik A2.5Laju BI Rate, Inflasi, dan NPL sejak quartal 3 tahun 2005

hingga quartal 2 tahun 2009.

18BI Rate

Inflasi

NPL

Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Dalam Persen

16

14

12

10

8

6

4

2

01 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Page 109: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

99

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

Hasil uji kausalitas granger menyimpulkan bahwa

terdapat dua hubungan kausalitas dua arah, yakni antara

variabel NPL dengan BI rate dan antara variabel BI rate

dengan Inflasi. Hal ini mengindikasikan bahwa antara BI

rate dan NPL serta antara BI rate dengan tingkat inflasi

terdapat hubungan saling mempengaruhi. Sedangkan

hubungan kausalitas satu arah terjadi antara variabel inflasi

dengan NPL serta variabel nilai tukar dengan NPL. Hal ini

berarti baik variabel inflasi dan nilai tukar mempengaruhi

perubahan NPL namun NPL tidak memiliki pengaruh

terhadap perubahan nilai tukar maupun inflasi.

Uji kointegrasi menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan kointegrasi antara keempat variabel tersebut.

Sehingga disimpulkan bahwa hubungan antara variabel

NPL, BI rate, inflasi, dan nilai tukar hanya bersifat jangka

pendek dan dalam jangka panjang keempat variabel

tersebut tidak bergerak menuju equilibrium.

Hasil impulse response menunjukkan bahwa shock

variabel BI rate direspon negatif oleh NPL. Sedangkan shock

nilai tukar dan inflasi direspon positif oleh NPL walaupun

respon yang diberikan hanya hingga periode ketujuh,

setelah itu NPL mulai menuju kembali ke titik

keseimbangan.

Hasil varianve decomposition menunjukan bahwa

diantara ketiga variabel moneter tersebut, kontribusi

terbersar dalam mempengaruhi NPL dimiliki oleh variabel

BI rate dan inflasi yakni sebesar 9%. Sedangkan variabel

nilai tukar hanya berkontribusi sekitar 2%. Hal ini

menunjukkan bahwa sebenarnya pengaruh variabel

moneter dalam jangka pendek, dalam hal ini suku bunga

acuan, inflasi, dan nilai tukar, tidak begitu besar terhadap

perubahan risiko kredit yang dicerminkan melalui NPL.

Sehingga bentuk dari kebijakan moneter yang terfokus

dalam usaha menstabilkan tingkat harga tidak memiliki

dampak yang kuat dalam mempengaruhi risiko kredit dan

penyalurannya.

Dari hasil tersebut, maka disimpulkan dalam usaha

peningkatan penyaluran kredit dengan memaksimalkan

fungsi perbankan sebagai intermediaris dan mengurangi

risiko kredit, kurang dapat berjalan dengan memanfaatkan

salah satu jalur transmisi kebijakan moneter saja. Selain

itu, melihat kecilnya kontribusi variabel moneter yang

diteliti terhadap perubahan NPL, dimungkinkan terdapat

faktor lain yang lebih memiliki pengaruh dan kontribusi

besar dalam perubahan risiko kredit.

Page 110: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

100

Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia

Bank Indonesia. Berbagai tahun. Statistik Perbankan

Indonesia. Beberapa Nomor Penerbitan. Jakarta

Bank Indonesia, Berbagai tahun. Statistik Ekonomi

Keuangan Indonesia, Beberapa Nomor Penerbitan,

Jakarta.

Blanchard, Olivier. 2006. Macroeconomics. Fourth Edition.

Upper Saddle River, New-Jersey: Prentice-Hall, Inc

Frank, Robert H dan Ben S. Bernanke. 2004. Principles of

Macroeconomics. Second Edition. New York : Mc

Graw-Hill/Irwin.

Harris, Richard.1995.Cointegration Analysis in Econometric

Modelling.New York:Prentice Hall.

Jimenez, Gabriel dan Steven Ongena. 2008. Hazardous

Times for Monetary Policy: What Do Twenty-Three

Million Bank Loans Say About The Effects of Monetary

Policy on Credit Risk-Taking?. Banco de Espana.

Working Paper no.0833

McEachern, William A. 2000. Ekonomi Makro: Pendekatan

Kontemporer. Terjemahan. Sigit Triandaru. 2000.

Economics: a Contemporary Introduction. 2000.

Jakarta: Salemba Empat

Daftar Pustaka

Miller, Roger Leroy. 2001. Economics Today. 2001-2002

Edition. New York: Addison Wesley Longman Inc.

Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter Edisi 2. Yogyakarta: BPFE

UGM.

Nugraha, R. Aga. 2007. Respon Suku Bunga dan Kredit

Bank di Bali terhadap Kebijakan Moneter Bank

Indonesia. Bali : Bank Indonesia, Denpasar.

Rahardja, Pratama., Mandala Manurung. 2001. Teori

Makro Ekonomi : Suatu Pengantar. Jakarta : LPFE

Universitas Indonesia.

Sjamsul Arifin, Charles P.R. Joseph, dkk. (2007), IMF dan

Stabilitas Keuangan Internasional. Jakarta: Bank

Indonesia. Hal 11-15.

Warjiyo, Perry., Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di

Indonesia. Jakarta : PPSK Bank Indonesia.

Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi.

Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomi UII

«

..

Page 111: KSK No.14 Mar 2010-Revised Graphs

PENGARAH

Halim Alamsyah Wimboh Santoso Suhaedi

KOORDINATOR & EDITOR

Agusman

TIM PENYUSUN

Ardiansyah, Anto Prabowo, Linda Maulidina, Ratih A. Sekaryuni, Tirta Segara, Pungky

Purnomo, Boyke Wibowo Suadi, Ita Rulina, Wini Purwanti, Ida Rumondang, Noviati, Januar

Hafiz, Cicilia A. Harun, Sagita Rachmanira, Reska Prasetya, Heny Sulistyaningsih, Mestika

Widantri, Elis Deriantino, Hero Wonida

KOMPILATOR, LAYOUT & PRODUKSI

Boyke Wibowo Suadi

KONTRIBUTOR

Direktorat Pengawasan Bank 1

Direktorat Pengawasan Bank 2

Direktorat Pengawasan Bank 3

Direktorat Perbankan Syariah

Direktorat Kredit, BPR dan UMKM

Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan

Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan

Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter

Diserktorat Pengelolaan Moneter

Direktorat Pengelolaan Devisa

PENGOLAHAN DATA

Suharso I Made Yogi

Kajian Stabilitas KeuanganNo. 14, Maret 2010