krisis tiroid

28
LI Kemala Andini P(04011181419052) HIPERTIROIDISME 2.1 Definisi , epidemiologi dan etiologi hipertiroid Penyakit hipertiroidism merupakan bentuk tiroktoksikosis yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki. 1 Tanda dan gejala penyakit hipertiroid yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, dan disertai dermopati meskipun jarang. 2 Patogenesis penyakit hipertiroid sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme tersebut. 4 Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves’ dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR- Ab) dengan kadar bervariasi. Pada penyakit Graves’, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibodi. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan

Upload: kemalaandini

Post on 28-Jan-2016

322 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

smg membantu...

TRANSCRIPT

LI Kemala Andini P(04011181419052)

HIPERTIROIDISME

2.1 Definisi , epidemiologi dan etiologi

hipertiroid

Penyakit hipertiroidism merupakan bentuk tiroktoksikosis yang paling sering dijumpai

dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada

perempuan dari pada laki-laki.1 Tanda dan gejala penyakit hipertiroid yang paling mudah

dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi

kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, dan disertai dermopati

meskipun jarang.2

Patogenesis penyakit hipertiroid sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.

Diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme tersebut.4

Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves’ dikelompokkan ke dalam penyakit

autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin

Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi. Pada

penyakit Graves’, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam

kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi

terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH

didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid,

dikenal dengan TSH-R antibodi. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah

mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit.

Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya

hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves’. 3,4,5

Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu

tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan TSH reseptor (TSH-R). 4 Disamping itu

terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid

dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita

dan kelenjar tiroid penderitapenyakitGraves’.1,2

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila

terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-

molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen

pada limfosit T.

Gambar.2.1.

Patogenesis penyakit Graves’ 3

Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLA-

DR3 pada ras kaukasia, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras cina dan HLA-B17 pada orang

kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid

autoimun seperti penyakit Graves’. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan

merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat

pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia

enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang

dengan autoantigen kelenjar tiroid.4

Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-

R antibodi pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut penyakit

Graves’. Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin

yang bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya

penyakit tiroid autoimun.4

Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa

manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat

menimbulkan penyakit tiroid autoimun. Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode

akut penyakit Graves’, namun sampai saat ini belum ada hipotesis dugaan yang memperkuat

tersebut. Terjadinya opthtalmopati Graves’ melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan

antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan

tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin

yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita,

sehingga menyebabkan

pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.

Dermopati Graves’ (miksedemapretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam

jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi

glikosaminoglikans. 4

Hormon tiroid mempengaruhi hampir seluruh sistem pada tubuh, termasuk pada

pertumbuhan dan perkembangan, fungsi otot, fungsi Sistem Syaraf Simpatik, Sistem

Kardiovaskular dan metabolisme karbohidrat.5 Homorn tiroid dapat mempengaruhi

metabolisme karbohidrat baik pada kadar hormon yang meningkat (hipertiroid) ataupun

menurun (hipotiroid).

Penyakit Graves’ merupakan penyebab paling umum hipertiroidisme.1 Sekitar 60%

hipertiroidism disebabkan oleh penyakt Graves’. Tirotoksikosis dengan sendirinya adalah

diabetogenik.6 Variabel intoleransi glukosa dapat terjadi hingga 50% dari pasien

tirotoksokosis dengan kejadian diabetes terjadi pada 2-3%, ketika hipertiroid terjadi pada

individu normal. Perubahan metabolik mungkin terjadi sebagai akibat dari hipertiroidisme

dan berkontribusi terhadap penurunan kontrol glikemik. 6

Meskipun resiko terjadinya diabetes melitus hanya berkisar 2-3% pada individu yang

menderita hipertiroidisme namun jika ini dijumpai akan mempengaruhi dan

menyebabkan sulitnya mengontrol glukosa darah oleh karena dua kondisi metabolik yang

terjadi secara bersamaan. Berbagai perubahan metabolisme dapat terjadi selama kondisi

hipertiroid dan hal ini dapat mempengaruhi status glukosa darah. Perubahan-perubahan

tersebut diantaranya adalah pada kondisi hipertiroid, waktu pengosongan lambung

menjadi lebih cepat. Absorpsi glukosa pada saluran cerna juga ikut meningkat termasuk

aliran darah di vena portal. Ketika beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan sekresi

insulin bisa terjadi pada kondisi hipertiroid, studi- studi lainnya melaporkan level insulin baik

diperifer dan sirkulasi portal justru normal atau meningkat. Sebenarnya kondisi ini bisa

tertutupi oleh karena adanya sekresi insulin yang meningkat termasuk juga degradasi dari

insulin tersebut. Pada hipertiroid insulin clearen meningkat hingga 40%. Kondisi yang

berlama-lama dari gangguan fungsi tiroid ini juga akan menyebabkan gangguan fungsi dari

sel beta sehingga akan menurunkan produksi insulin oleh pankreas dan respon insulin

terhadap glukosa. 6

Produksi glukosa endogenous meningkat dengan beberapa

mekanisme:

• Meningkatnya prekursor glukoneogenik dalam bentuk laktat,

glutamin dan alanin dari otot rangka dan gliserol dari jaringan lemak.

• Meningkatnya konsentrasi free fatty acid (FFA) plasma yang bisa

menstimulasi hepatik glukoneogenesis.

• Meningkatnya glikogenolisis oleh karena inhibisi dari sintesa glikogen

• Upregulasi dari protein transporter glukosa atau GLUT-2 pada membran

plasma hepatosit

• Meningkatnya sekresi dan efek glukagon serta adrenalin terhadap sel-sel hati

Gambar.2.2 Pengeluaran hormon tiroid pada berbagai

sistem organ pada penyakit Graves’ 6

Penggunaan glukosa di jaringan adiposa meningkat pada pasien hipertiroid ini

dibuktikan melalui percobaan isolasi jaringan adiposa dari tikus dan pasien hipertiroid

menunjukkan sensitifitas dari transpor glukosa dan penggunaannya terhadap insulin yang

normal, meningkat atau menurun.14,15 Variabilitas hasil ini mungkin sebagai reflek terhadap

perbedaan regional pada jaringan adiposa yang terisolasi.16 Peningkatan ambilan glukosa

dan pembentukan laktat terhadap oksidasi glukosa dan proses penyimpanan pada

kondisi hipertiroid.

Kondisi ini disebabkan karena meningkatnya insulin basal, stimulasi GLUT1,

GLUT4, meningkatnya respon glikogenolisis terhadap stimulasi beta adenergik,

meningkatnya aktivitas heksokinase dan fosfofruktokinase serta menurunnya sensitifitas

sintesa glikogen terhadap insulin. 6

Gambar 2.3 Pengaruh pengeluaran hormon

tiroid di otot pada penyakit Graves’.

Sampai saat ini belum ada didapatkan angka yang pasti insidensi dan prevalensi

penyakit Graves’ di Indonesia. Sementara di Amerika Serikat Sebuah studi yang dilakukan di

Olmstead Country Minnesota diperkirakan kejadian kira-kira 30 kasus per 100.000 orang

per tahun . Prevalensi tirotoksikosis pada ibu adalah sekitar 1 kasus per 500 orang. Di antara

penyebab tirotoksikosis spontan, penyakit Graves’ adalah yang paling umum 3. Penyakit

Graves’ merupakan 60-90% dari semua penyebab tirotoksikosis di berbagai daerah di

dunia. Dalam Studi Wickham di Britania Raya, dilaporkan 100-200 kasus per 100.000

penduduk per tahun.

Insidensi pada wanita di Inggris telah dilaporkan 80 kasus per 100.000 orang per

tahun. Pada populasi umum prevalensi gangguan fungsi hormon tiroid diperkirakan 6% 3.

Wengjun Li dkk (2010) dari Fakultas Kedokteran Universitas Shanghai- Cina, meneliti

tentang hubungan penyakit Graves’ dan Resistensi insulin (RI), pada 27 subjek penyakit

Graves’ terjadi gangguan metabolisme glukosa sebesar 63,0 % dengan RI 44,4 %. 21 Chih

H C dkk (2011) dari Divisi endokrin dan metabolik, bagian Penyakit Dalam, Kaohsiung

Veterans General Hospital, Kaohsiung-Taiwan meneliti tentang RI pada pasien

hipertiroidism sebelum dan sesudah pengobatan hipertiroid dan dijumpai adanya perbaikan

RI pada pasien yang mendapat pengobatan selama 3-7 bulan (Journal of Thyroid Research

2011).

2.2 Gambaran Klinis

Pada penyakit Graves’ terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan

ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat

hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis

yang berlebihan.5 Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin

banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat,

palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi otot.2,3,5 Manifestasi ekstratiroidal berupa

oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.

Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot,

fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam

mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari

penyakit Graves’ antara lain adalah tri tunggalhipertitoidisme, goiter difus dan

eksoftalmus.2,3 Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum

ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat

banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama

penyakit Graves’ dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak- anak, terjadi

peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Sedangkan pada

penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah

manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea d’effort,

tremor, nervous dan penurunan berat badan. 3,4,7,

2.2 Komplikasi

Oftalmopati Graves’ terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler

disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita

sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan)

dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia.

Pembesaran otot- otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI.

Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus

yang akan menimbulkan kebutaan. 3,4,7

2.4 Pemeriksaan laboratorium

Autoantibodi tiroid, TgAb, dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves’

maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit

Graves’.4 Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau

pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. Untuk dapat

memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves’ dan hipertiroidisme umumnya, perlu

mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan

kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin

(T4) dan tri- iodotironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating

hormon (TSH).

Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya

ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pada penyakit

Graves’, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan

perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid

menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar

hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi.

Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap

hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar

TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar

T4 bebas (free T4/FT4).

2.5 Pengobatan.

Walaupun mekanisme autoimun merupakan faktor utama yang berperan

dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves’, namun penatalaksanaannya terutama

ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme.2,7

Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme

akibat penyakit Graves’, yaitu: Obat anti tiroid, pembedahan dan terapi

yodium radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat

ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon

atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya. 2,7

2.5.1 Obat Antitiroid:Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.

Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan

nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah

tiamazol yang isinya sama dengan metimazol. Obat golongan tionamid mempunyai efek

intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi

biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi

iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan

menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah

menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada

metimazol).20 Atas dasar kemampuan menghambat konversi T4 ke T3 ini, PTU lebih dipilih

dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer.

Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih

panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosisi tunggal.17 Belum ada

kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan yang

optimal dengan OAT.18 Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid

(PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat

berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.

Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid

biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis,

diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Regimen umum

terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu,

dosis dikurangi menjadi 50-200 mg, 1 atau2kali sehari. Propiltiourasil mempunyai kelebihan

dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga

efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves’.

Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis

tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama

1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5-20 mg perhari.18 Ada juga pendapat

ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi

umumnya dosis PTU dimulai dengan 3 x 100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai

dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis

dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons

pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan

metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid

dan kadar T4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek

perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu

dengan memperhatikan faktor- faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum

obat, aktivitas fisis dan psikis.

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek

samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis

yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam

beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat

sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi

alternatif yaitu yodium radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan

sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.17

Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat

Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity

dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum

memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi

hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek

samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang

terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti I131 atau operasi.

Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba diganti dengan

obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.17

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves’

adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi

pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan

biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai

respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid.19 Kemudian dosis

diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan

eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. 1

Sumber: Efendi, DL. 2014. "Penyakit Hipertiroid".

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39717/4/Chapter%20II.pdf.

Krisis Tiroid dan Tata Laksana

Krisis tiroid merupakan suatu keadaan hipertiroid yang mengalami eksaserbasi sehingga

mengancam kehidupan yang ditandai dengan dekompensasi dari satu atau lebih system organ,

dengan keadaan status hipermetabolik. Krisis tiroid dapat muncul akibat penanganan hipertiroid

yang tidak adekuat. Penyakit Grave menjadi penyebab terbanyak kasus krisis tiroid ditandai

dengan pembesaran kelenjar yang difus, dan dapat dijumpai bruit (peningkatan aliran darah dan

vaskularitas).

Skema 1. Algoritma Hipertiroidisme

Etiologi

Penyebab paling sering tirotoksitosis pada krisis tiroid ialah penyakit grave. Penyakit

grave dimediasi oleh antibody reseptor tirotropin yang menstimulasi sintesis hormone tiroid

menjadi berlebihan dan tidak terkendali(T3 dan T4). Kebanyakan kejadian ini dijumpai pada

wanita muda, namun dapat juga muncul pada semua jenis kelamin dan umur.

Penyakit grave memiliki antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating

Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi. Limfosit T akibat penyakit

Graves’, mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang

selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut.

Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid

sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibodi.

Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan

kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis

terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.

Ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal

peroxidase (TPO) dan TSH reseptor (TSH-R),selain itu terdapat pula suatu protein dengan BM

64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan

dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit

Graves’.

Skema 2. Regulasi Hormon Orang Normal dengan Penderita Graves’ Disease

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang

oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul

permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada

limfosit T.

Penyebab jarang krisis tiroid termasuk hipersekresi karsinoma tiroid, thyrothropin-

secreting pituitary adenoma, teratoma, HCG-secreting hydatiform mole. Penyebab lain antara

lain interferon alfa dan interleukin 2, terpapar iodin, dan pemberian amiodaron. Pemberian

interferon alfa dan interleukin 2 dapat mengganggu ikatan tiroksin dengan globulin sehingga

meningkatkan kadar tiroksin bebas.

Penyebab tirotoksitosis yang paling sering dijumpai adalah hiperaktivitas kelenjat tiroid

yakni meningkatnya kadar hormone tiroid bebas. Peningkatan tiroid bebas dibarengi dengan

penekanan kadar tirotropin, sehingga serum tirotropin umumnya tidak terdeteksi, terkecuali

pada pituitary thyrothripin-secreting adenoma. Selain itu, peningkatan sensitivitas terhadap

katekolamin akibat suatu stressor juga dapat memacu munculnya krisis tiroid.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis utama dari krisis tiroid yakni:

1. Demam

2. Sinus takikardia atau variasi aritmia, dan dapat dijumpai gagal jantung kongestif

3. Gejala susunan saraf pusat(gelisah, bingung, delirium,dan koma.

4. Gejala gastrointestinal (muntah, diare)

5. Penurunan berat badan

Kondisi Penderita

Skema 3. Proses Terjadinya Krisis Tiroid

Penurunan berat badan merupakan salah satu gejala yang paling banyak dijumpai pada

pasien krisis tiroid. Pada hipertiroid, penderitanya kehilangan berat badan meskipun asupan

kalori yang masuk cukup. Keadaan ini disebabkan oleh hipermetabolisme, ketidakseimbangan

antara produksi energy dan energy yang digunakan sehingga menyebabkan peningkatan

produksi panas dan pembuangan panas. Manifestasinya penderita hipertiroid tidak tahan dengan

keadaan panas dan mengeluarkan keringat berlebihan disertai mudah lelad dan lemah otot.

Selain tanda-tanda diatas, pasien hipertiroid maupun tirotoksikosis akan mengalami

ketidakstabilan emosi, kegelisahan, kecemasan, kebingungan, dan bahkan koma. Gejala

gastrointestinal yang dijumpai termasuk peningkatan frekuensi pergerakan usus yang

menyebabkan pembuangan isi usus lebih cepat. Pada sistem reproduksi, khususnya wanita, akan

terjadi perubahan pada siklus menstruasi. Pada pria dapat terjadi penurunan libido dan

ginekomastia.

Gejala kardiorespirasi pada penderita tirotoksikosis antara lain palpitasi dan sesak saat

beraktivitas, selain itu juga dapat mengalami nyeri dada yang identic dengan angina pectoris,

hal ini muncul akibat meningkatnya kebutuhan oksigen dan spasme arteri coroner. Selain itu

dijumpai juga takikardia serta tekanan darah naik.

Diagnosis

Pada keadaan krisis tiroid, pola peningkatan kadar T4 dan T3 bebas dengan penekanan

kadar tirotropin (kurang dari 0.05 μU/mL) sebanding dengan kadar hormon tersebut pada

tirotoksikosis. Setelah sintesis hormon tiroid, kelenjar tiroid utamanya mensekresikan T4.

Diperkirakan 80% dari T3 yang bersirkulasi berasal dari monodeiodinasi T4 di jaringan perifer,

dimana hanya 20% T3 yang aslinya disekresikan oleh kelenjar tiroid. Baik T4 dan T3 berikatan

denagn protein: thyroxine-binding globulin, transthyretin, dan albumin. Hanya fraksi kecil dari

hormon, 0.025% T4 dan 0.35% T3 dalam bentuk bebas dan tidak terikat, oleh karena

pemeriksaan laboratorium T3 total dan T4 total, pengukuran tersebut terutama untuk

konsentrasi hormon yang berikatan dengan protein, sehingga dapat dipengaruhi oleh kondisi

yang dapat mempengaruhi ikatan protein. Thyroxin-binding globulin meningkat pada keadaan

hepatitis dan kehamilan, dan pada pasien yang mendapat estrogen, opiat. Sebagai tambahan,

banyak obat yang mengganggu ikatan protein, termasuk heparin, furosemid, fenitoin,

karbamazepin, diazepam, salisilat, dan obat-obat NSAID, oleh karena gangguan ini berefek

pada kadar hormon tiroid total, konsentrasi hormon bebas lebih baik dalam mendiagnosis

tirotoksikosis.

Kadar serum total dan konsentrasi T3 bebas meningkat pada kebanyakan pasien

tirotoksikosis oleh karena peningkatan produksi T3 tiroidal dan konversi ekstra tiroidal dari T4

menjadi T3 lebih cepat. Gambaran laboratorium lain yang mungkin berhubungan dengan

tirotoksikosis termasuk hiperglikemia, hiperkalsemia, leukositosis, abnormalitas enzil liver,

peningkatan kadar alkalin fosfatase, dan peningkatan glikogenolisis. Hiperkalsemia ringan dan

peningkatan alkalin fosfatase dapat muncul oleh karena hemokonsentrasi dan hormon tiroid itu

sendiri yang dapat menstimulasi resorpsi tulang.

Fungsi adrenokortikal juga dipengaruhi oleh tirotoksikosis. Tirotoksikosis mempercepat

metabolisme kortisol endogen/eksogen dengan menstimulasi degradasi glukokortikoid yang

umumnya dilakukan oleh enzim hati D4,5steroid reduktase. Dan karenanya, kortisol dan steroid

lain, termasuk kortikosteron, deoksikortikosteron, dan aldosteron dimetabolisme dengan lebih

cepat, namun dalam keadaan tirotoksikosis, baik degradasi dan produksi kortisol harus

meningkat, sehingga tercapai kadar kortisol darah yang normal/meningkat. Pada keadaan krisis

tiroid, kadar kortisol yang normal, dapat memberikan interpretasi sebagai indikasi adanya

inssufisiensi adrenal. Kortikosteroid dan hormon adrenokortikotropin menghambat tiroid

dengan cara meningkatkan klirens iodium dan menghambat TSH pada hipofisis, oleh karena itu

sering dijumpai pada krisis tiroid, terlihat insufisiensi adrenal, hal ini dikarenakan degradasi dari

kortisol dan steroid dipercepat.

Pengobatan

Penatalaksanaan medis dari krisis tiroid terdiri dari suatu rangkaian pengobatan yang

bertujuan untuk menghentikan sintesis hormon yang baru di kelenjar tiroid, menghambat

pelepasan hormon yang disimpan dari kelenjar tiroid, dan menghambat efek hormon tiroid di

jaringan perifer dengan cara pencegahan konversi dari T4 menjadi T3;

mengendalikan/mengontrol simptom adrenergik yang berhubungan dengan tirotoksikosis, dan

mengontrol dekompensasi sistemik dengan terapi suportif.

Urutan terapi pada krisis tiroid sangat penting, sehubungan dengan penggunaan

thionamide dan terapi yodium. Pada kebanyakan pasien, menghambat sintesis hormon tiroid

yang baru dengan thionamide harus dilakukan terlebih dahulu sebelum terapi iodin dilakukan,

untuk mencegah stimulasi pembentukan/sintesis hormon tiroid baru yang hal ini dapat muncul

jika iodine diberikan terlebih dahulu, namun waktu penundaan pemberian agen antitiroid dan

pemberian yodium masih merupakan kontroversi, dan hanya dapat diberikan dalam waktu 30-

60 menit.

Obat antitiroid; dalam hal ini tionamid, telah digunakan untuk pengobatan tirotoksikosis

sejak pengenalan klasifikasi obat ini tahun 1943. Dua spesifik kelas obat antitiroid adalah

tiourasil dan imidazol. Propiltiourasil (PTU) adalah tiourasil, sementara methimazole dan

karbimazole adalah imidazole. Walaupun PTU dan metimazol digunakan sangat luas di US,

karbimazol hanya umum dijumpai di eropa. Karbimazol dimetabolisme sangat cepat menjadi

metimazole.

Didalam kelenjar tiroid, tionamid menghalangi proses coupling oleh tiroperoksidase.

Tionamid juga mempunyai efek menghambat fungsi dan pertumbuhan dari sel folikular tiroid.

Diluar dari kelenjar tiroid, PTU, tetapi bukan metimazol, menghambat konversi dari T4 menjadi

T3. Tionamid juga mempunyai peran klinis yang penting untuk menekan antibodi reseptor

antitirotropin dan menurnkan molekul-molekul imunologis seperti ICAM-1 dan IL-2. Obat

antitiroid juga menginduksi apoptosis dari limfosit intratiroidal dan menurunkan ekspresi HLA

antigen kelas II.

Metimazol memiliki waktu paruh yang lebih panjang dari PTU, sehingga frekuensi

pemberiannya lebih sedikit. Obat-obat lain juga dapat dipertimbangkan dalam pengobatan krisis

tiroid. PTU mempunyai efek tambahan yang menguntungkan yaitu menghambat konversi dari

T4 menjadi T3. Durasi aksi dari metimazole lebih panjang, sehingga dapat diberikan dengan

frekuensi lebih sedikit, dibandingkan dengan pemberian 3-4x PTU. Penulis merekomendasikan

pemberian dosis krisis tiroid PTU adalah 800-1200 mg/hari yang terbagi atas 200-300 mg setiap

6 jam. Dosis untuk metimazole adalah 80-100 mg/hari terbagi atas dosisi 20-25 mg setiap 6 jam

(sekali stabil, frekuensi dari dosis dapat diturunkan menjadi 1-2x sehari). Pemberian kedua obat

ini melalui oral, namun, metimazol dan PTU juga dapat diberikan per rektal. Pemberian agen ini

intravena juga dapat dipertimbangkan sejak ditemukan bahwa farmakokinetik obat ini

cenderung sama baik untuk oral ataupun intravena.

Banyak penelitian menunjukkan efektivitas dari sediaan suppositoria agen obat-obat ini.

Bentuk sediaan enema memberikan hasil yang lebih baik dari segi bioavailabilitas dan

efektivitas daripada sediaan suppositoria, namun kedua sediaan ini mempunyai efek terapeutik

yang sebanding.

Efek samping yang sering dijumpai dari obat antitiroid termasuk abnormalitas

pengecapan, pruritus, urtikaria, demam dan arthralgia. Efek sampin yang lebih jarang dan lebih

serius adalah agranulositosis, hepatotoksisitas, dan vaskulitis, dapat dipertimbangkan pemberian

granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) untuk pengobatan dari agranulositosis yang

disebabkan oleh pengobatan antitiroid.

Settingan pengobatan krisis tiroid, terapi iodin melengkapi efek dari terapi tionamid.

Terapi tionamid menurunkan sintesis dari produksi hormon yang baru; terapi idone

menghambat pelepasan hormon yang disimpan, dan menurunkan transportasi iodida dan

oksidasi di sel folikular. Penurunan ini, dikarenakan peningkatan dosis iodida inorganik yang

dikenal sebagai efek “Wolff- Chaikoff” atau menghambat proteolisis tiroglobulin. Kenaikan

kecil dari iodida yang tersedia, menyebabkan peningkatan pembentukan hormon tiroid, namun,

jumlah besar iodida eksogen menghambat pembentukan hormon. Pada konsentrasi iodida lebih

dari 1μmol/L, proses iodinasi dihambat. Walaupun efek pemberian ini dapat berguna, kelenjar

tiroid akhirnya akan lolos (escape) setelah administrasi iodide paling tidak dalam 48 jam, hal ini

dikarenakan kelenjar tiroid akhirnya akan lolos dari penghambatan ini. Proses ini terjadi oleh

karena sistem transportasi iodida menyesuaikan diri dengan konsentrasi iodida yang lebih tinggi

melalui modulasi aktivitas simporter natrium-iodida (Escape effect). Walaupun iodide efektif

menurunkan kadar hormon tiroid dengan cepat, biasanya dalam waktu 7-14 hari, kebanyakan

efek ini akan hilang (escape) dan akan kembali ke keadaan hipertiroid dalam 2-3 minggu, jika

tidak ada pengobatan lain diberikan, oleh karena itu penggunaan iodide untuk mengobati

tirotoksikosis masih terbatas, dan oleh sebab itu hanya digunakan pada tirotoksikosis berat/

krisis tiroid dengan kombinasi dengan terapi tionamid.

Formula oral dari iodine inorganik termasuk larutan lugol dan saturated solution of

potassium iodide. Dosis untuk sediaan ini (krisis tiroid) adalah 0.2 sampai 2 gram perhari,

dengan 4-8 tetes larutan lugol (20 drops/ml, 8 mg iodine/tetes) setiap 6-8 jam dan 5 tetes

saturated solution of potassium iodide (20 tetes/mL, 38 mg iodide/tetes) setiap 6 jam.

Pemberian agen kontras teriodinasi peroral, asam iopanoic, dan sodium ipodate, mempunyai

efek multipel pada hormon tiroid di perifer dan didalam kelenjar tiroid. Agen kontras teriodinasi

ini kompetitif menghambat enzim 5 monodeiodimnase tipe 1 dan 2 di hati, otak, dan tiroid,

menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga menyebabkan penurunan kadar T3 sangat

cepat. Agen ini juga dijumopai menghambat ikatan T3 dan T4 pada reseptor seluler. Pada krisis

tiroid, sodium ipodate (3087 mg iodine/500 mg kapsul) diberikan 1 sampai 3 gram/hari,

biasanya, asam iopanoic diberikan dengan dosis 1 gram setiap 8 jam untuk 24 jam pertama,

diikuti degnan 500 mg dua kali sehari. Agen antitiroid yang efektif ini, tidak dipasarkan secara

komersial lagi.

Mengontrol manifestasi kardiovaskular dari tirotoksikosis, merupakan bagian penting dari

manajemen tirotoksikosis. Perubahan manifestasi kardiovaskular pada tirotoksikosis muncul

dikarenakan efek hormon tiroid yang berbeda pada jantung dan vaskularisasi sistemik. Hormon

tiroid menurunkan resistensi vaskular sistemik melalui aksi vasodilator langsung di otot polos

dan pelepasan nitrit oksida oleh endotel atau endothelial derived vasodilators lain. Efek dari

hormon tiroid terhadap jantung sebagian besar disebabkan oleh efek genomik dari T3 yang

berikatan dengan reseptor nukleus spesifik. Hal ini berperan besar dalam memodulasi struktur

jantung dan kontraktilitas. Spesifiknya, T3 mengaktivasi transkripsi rantai berat miosin-alfa

(MHC-alfa), dan menekan transkripsi dari rantai berat miosin-beta (MHC-beta). Protein

miofibril, yang merupakan komposisi dari filamen tebal miosit jantung. T3 juga meregulasi

produksi protein retikulum sarkoplasma, calcium-activated ATPase, fosfolamban, selain itu, T3

juga mempunyai efek nongenomik, dengan mempengaruhi status sodium, potassium dan kanal

kalsium.

Penghambat beta, penting untuk mengontrol aksi perifer dari hormon tiroid. Penggunaan

antagonis reseptor beta-adrenergik dalam penatalaksanaan krisis tiroid pertama kali dilaporkan

pada tahun 1966 dengan menggunakan obat-obatan pronetalol. Tidak lama kemudian,

propranolol menjadi obat beta bloker yang palin sering digunakan di US. Pada krisis tiroid,

propranolol digunakan dalam dosis 60-80 mg setiap 4 jam, atau 80-120 mg setiap 4 jam. Onset

aksi setelah pemberian oral membutuhkan waktu 1 jam. Untuk efek lebih cepat, propranolol

dapat diberikan parenteral, dengan bolus 0.5 sampai 1 mg dalam 10 menit diikuti dengan 1

sampai 3 mg dalam waktu 10 menit. Esmolol juga dapat diberikan parenteral dengan dosis 50-

100 μg/kg/menit. Dosis propranolol memerlukan dosis yang relatif lebih besar (ie:

tirotoksikosis) oleh karena metabolisme obat lebih cepat, dan mungkin dikarenakan reseptor

jantung beta-adrenergik lebih banyak. Pemberian beta-bloker intravena harus dilakukan dengan

monitoring yang tepat. Propranolol dengan dosis besar (> 160 mg/hari) dapat menurunkan kadar

T3 sebanyak 30%. Efek ini, dimediasi oleh inhibisi 5 monideiodinase. Oleh karena propranolol

memiliki waktu paruh yang pendek, dosis lebih besar dengan frekuensi lebih sering diperlukan.

Atenolol juga dapat digunakan pada tirotoksikosis, dengan rentang dosis 50-200 mg/ hari,

namun mungkin membutuhkan dua kali sehari untuk mencapai kontrol yang adekuat. Agen oral

lain yang dapat digunakan antara lain metoprolol 100-200 mg/hari dan nadolol 40-80 mg/hari.

Kontraindikasi relatif penggunaan antagonis reseptor antagonis termasuk riwayat gagal jantung

yang berat dan dijumpai penyakit penyempitan jalan nafas.

Salah satu komplikasi kardiovaskular dari tirotoksikosis adalah atrial fibrilasi, yang

muncul pada 10%-35% kasus. Isu penggunaan antikoagulan pada atrial fibrilasi dalam settingan

tirotoksikosis masih kontroversi. Pada suatu studi retrospektif, pasien tirotoksikosis dengan

atrial fibrilasi, tidak dalam keadaan status embolik, dibandingkan dengan pasien yang memiliki

atrial fibrilasi dikarenakan penyebab lain. Konsensus mengatakan bahwa pada pasien tirotoksik

yan gmengalami atrial fibrilasi, terapi antitrombotik dilakukan jika dijumpai faktor resiko untuk

stroke. Usia dan penyakit jantung merupakan faktor resiko tromboemboli pada krisis tiroid, oleh

karena itu, warfarin atau aspirin mungkin dapat digunakan. Pasien tirotoksik membutuhkan

dosis warfarin lebih kecil daripada pasien eutiroid oleh karena peningkatan klirens faktor

koagulasi bergantung-vitamin K.

Glukokortikoid, termasuk dalam hal ini deksametason dan hidrokortison, juga telah

digunakan untuk mengobati krisis tiroid, oleh karena obat ini mempunyai efek menghambat

konversi dari T4 menjadi T3, oleh karena itu glukokortikoid efektif mengurangi kadar T3

sebagai terapi adjuvantivus. Dan juga glukokortikoid, digunakan pada krisis tiroid, untuk

mengobati kemungkinan adrenal insufisiensi relatif. Beberapa studi menemukan kadar serum

kortisol yang rendah pada pasien dengan krisis tiroid. Pada pasien dengan tirotoksikosis,

pengobatan dengan glukokortikoid merupakan standar pengobatan oleh karena kejadian adrenal

insufisiensi relatif, atau kemungkinan misdiagnosis penyakit addison atau insufisiensi renal.

Dosis glukokortikoid pada krisis tiroid dapat menggunakan hidrokortison 100 mg intravena

setiap 8 jam, dengan penurunan dosis (tappering off) sejalan dengan perbaikan gejala klinis

krisis tiroid.

Pengobatan faktor pencetus krisis tiroid merupakan bagian yang penting, mengingat

bahwa faktor pencetus yang paling sering dijumpai adalah infeksi. Jika faktor pencetus tidak

dijumpai, maka pencarian lebih jauh untuk kemungkinan sumber infeksi dianjurkan pada pasien

krisis tiroid yang demam; hal ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah, urin, kultur dahak,

dan radiografi dada atau CT non-kontras. Antibiotik empirik tidak dianjurkan tanpa ada bukti

dijumpai sumber infeksi. Pengobatan penyakit yang mendasari harus dilakukan sejalan dengan

pengobatan tirotoksikosis itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Ginting, Ananda W. 2013. “Krisis Tiroid”, ikaapda.com/resources/Endokrin/Reading/krisis-tiroid.pdf. Universitas Sumatera Utara: Medan (diunduh pada tanggal 22 Desember 2015 pukul 19.00 WIB).

Setiati, Siti, dkk (ed). 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6 Jilid 1 Halaman 129-152 dan 213-282. Interna Publishing: Jakarta.

Setiati, Siti, dkk (ed). 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6 Jilid 2Halaman 2455-2463. Interna Publishing: Jakarta.

Tanto, Chris, dkk (ed). 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 2 Halaman 787-789. Media Aesculapius: Jakarta.