kppod brief mar apr 2013

24
 Edisi  maret-april 2013 KPPOD Membangun Indonesia dari Daerah  www .kppod.org Kesejahteraan Buruh dan Daya Saing Perusahaan B eberapa tahun belakangan ini, kinerja perekonomian Indonesia banyak mendapatkan  pujian. Dengan pertumbuhan 6,3%, tertinggi kedua setelah Cina, tahun 2012  produk domestik bruto Indonesia mencapai Rp 8.241,86 triliun. Pemerintah juga boleh berbangga karena demi membantu perekonomian global, Indonesia mampu membeli obligasi IMF senilai 1 miliar dollar AS (Rp 9,4 triliun). Demi memacu  pertumbuhan ekonomi dan menarik investor asing, pemerintah senang mempromosikan upah murah pekerja sebagai keunggulan komparatif di pasar global. Menarik investor memang keharusan, mengingat penduduk miskin di Indonesia mencapai 28.594.600, atau 11,6% dari  penduduk, dan tingkat pengangguran mencapai 6,14% atau 7.244.956 orang (BPS: 2012). Namun apakah upah buruh murah masih patut untuk d adikan bahan promosi untuk menarik investor? Nasib buruh kita masih memprihatinkan. Dari 112,8 juta orang yang bekerja (per Februari 2012), baru 42,1 juta orang bekerja di sektor formal dan 70,7 juta orang masih di sektor informal yang minim perlindungan sosial dengan upah rendah. Setiap tangal 1 Mei, buruh sedunia termasuk di Indonesia, memperingati hari buruh disertai tuntutan kesejahteraan dan perubahan kebakan perburuhan melalui aksi demonstrasi. Ini menandakan pemerintah masih kurang memperhatikan nasib  buruh. Isu aktual yang selalu didengungkan adalah upah buruh, karena upah adalah pangkal menuju kesejahteraan. Namun tampaknya upah minimum buruh di Indonesia tidak memungkinkan untuk sejahtera. Dalam menetapkan UMP/K,  belum semua daerah menyesuaikan dengan kebutuhan hidup layak (KHL). Meski UMP/K telah ditetapkan, namun praktiknya belum semua perusahaan mematuhi. Upaya penegakan hukum adalah tugas pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan memaksa, sementara buruh hanya bisa menekan melalui aksi-aksinya. Satu pertanyaan yang sulit dawab adalah, “Bisakah buruh menjadi sejahtera?” Hidup  berkecukupan tanpa menghawati rkan masa depan tampaknya masih sebatas angan- angan bagi sebagian besar buruh di Indonesia. Bagi mereka yang bekerja selama 8 jam hanya mendapat upah sesuai UMP , dan jika ingin lebih harus bekerja lembur. Bagi pekerja kontrak, pemutusan kontrak kerja selalu menghantui. Bagi yang sudah berumahtangga, harus bergelut dengan kebutuhan anak istri, biaya sekolah, kesehatan, dan sebagainya. Faktanya belum semua perusahaan yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan buruh. Mensejahterakan buruh bukanlah perkara mudah ditengah persoalan yang menghimpit perusahaan. Pengusaha harus bersiasat menekan biaya demi menjaga daya saing. Tidak kurang dari 55,5 juta pekerja kita hanya berpendidikan SD atau lebih rendah, hal yang mengakibatkan produktivitas buruh di Indonesia dinilai rendah. Pemerint ah harus se rius mengatasi masalah ini agar kompete nsi pekerja dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja dan memperoleh upah layak. Disamping persoalan produktivitas, lemahnya daya saing perusahaan di Indonesia juga disebabkan oleh insesiensi - biaya logistik, pungutan ilegal, birokrasi lambat, dan lainnya. Pemerintah harus serius menuntaskan pekerjaan rumahnya, seperti penyediaan infrastruktur, pungutan liar , birokrasi lamban, kepastian hukum, dan jaminan pasokan energi, yang merupakan kendala utama peningkatan daya saing. Jika masalah ini teratasi, tentu daya saing produk Indonesia meningkat sehingga pengusaha bisa membayar remunerasi buruh jauh lebih baik dari sekarang. Saat buruh hidup lebih sejahtera, konsumsi akan meningkat, dan perusahaan akan meningkatkan produksinya, dan penerimaan negara dari pajak akan meingkat untuk membiayai pembangunan.

Upload: stevano-andreas

Post on 13-Apr-2018

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 1/24

Edisi maret-april 2013

KPPOD

Membangun Indonesia dari Daerah 

 www.kppod.org 

Kesejahteraan Buruh danDaya Saing Perusahaan

Beberapa tahun belakangan ini, kinerja perekonomian Indonesia banyak mendapatkan

 pujian. Dengan pertumbuhan 6,3%, tertinggi kedua setelah Cina, tahun 2012 produk domestik bruto Indonesia mencapai Rp 8.241,86 triliun. Pemerintah jugaboleh berbangga karena demi membantu perekonomian global, Indonesia mampumembeli obligasi IMF senilai 1 miliar dollar AS (Rp 9,4 triliun). Demi memacu

 pertumbuhan ekonomi dan menarik investor asing, pemerintah senang mempromosikan upahmurah pekerja sebagai keunggulan komparatif di pasar global. Menarik investor memangkeharusan, mengingat penduduk miskin di Indonesia mencapai 28.594.600, atau 11,6% dari

 penduduk, dan tingkat pengangguran mencapai 6,14% atau 7.244.956 orang (BPS: 2012). Namunapakah upah buruh murah masih patut untuk dadikan bahan promosi untuk menarik investor?

Nasib buruh kita masih memprihatinkan. Dari 112,8 juta orang yang bekerja (perFebruari 2012), baru 42,1 juta orang bekerja di sektor formal dan 70,7 juta orangmasih di sektor informal yang minim perlindungan sosial dengan upah rendah.Setiap tangal 1 Mei, buruh sedunia termasuk di Indonesia, memperingati hari buruhdisertai tuntutan kesejahteraan dan perubahan kebakan perburuhan melalui aksidemonstrasi. Ini menandakan pemerintah masih kurang memperhatikan nasib buruh. Isu aktual yang selalu didengungkan adalah upah buruh, karena upahadalah pangkal menuju kesejahteraan. Namun tampaknya upah minimum buruh

di Indonesia tidak memungkinkan untuk sejahtera. Dalam menetapkan UMP/K, belum semua daerah menyesuaikan dengan kebutuhan hidup layak (KHL). MeskiUMP/K telah ditetapkan, namun praktiknya belum semua perusahaan mematuhi.Upaya penegakan hukum adalah tugas pemerintah sebagai pihak yang memilikikekuasaan memaksa, sementara buruh hanya bisa menekan melalui aksi-aksinya.

Satu pertanyaan yang sulit dawab adalah, “Bisakah buruh menjadi sejahtera?” Hidup berkecukupan tanpa menghawatirkan masa depan tampaknya masih sebatas angan-angan bagi sebagian besar buruh di Indonesia. Bagi mereka yang bekerja selama 8 jamhanya mendapat upah sesuai UMP, dan jika ingin lebih harus bekerja lembur. Bagi pekerjakontrak, pemutusan kontrak kerja selalu menghantui. Bagi yang sudah berumahtangga,harus bergelut dengan kebutuhan anak istri, biaya sekolah, kesehatan, dan sebagainya.Faktanya belum semua perusahaan yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan buruh.

Mensejahterakan buruh bukanlah perkara mudah ditengah persoalan yangmenghimpit perusahaan. Pengusaha harus bersiasat menekan biaya demi menjagadaya saing. Tidak kurang dari 55,5 juta pekerja kita hanya berpendidikan SD ataulebih rendah, hal yang mengakibatkan produktivitas buruh di Indonesia dinilairendah. Pemerintah harus serius mengatasi masalah ini agar kompetensi pekerjadapat memenuhi kebutuhan pasar kerja dan memperoleh upah layak. Disampingpersoalan produktivitas, lemahnya daya saing perusahaan di Indonesia juga disebabkanoleh insesiensi - biaya logistik, pungutan ilegal, birokrasi lambat, dan lainnya.

Pemerintah harus serius menuntaskan pekerjaan rumahnya, seperti penyediaaninfrastruktur, pungutan liar, birokrasi lamban, kepastian hukum, dan jaminan pasokanenergi, yang merupakan kendala utama peningkatan daya saing. Jika masalah ini

teratasi, tentu daya saing produk Indonesia meningkat sehingga pengusaha bisamembayar remunerasi buruh jauh lebih baik dari sekarang. Saat buruh hidup lebihsejahtera, konsumsi akan meningkat, dan perusahaan akan meningkatkan produksinya,dan penerimaan negara dari pajak akan meingkat untuk membiayai pembangunan.

Page 2: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 2/24

2

EDITORIAL

Ketenagakerjaan dan Peran Pemda

DAFTAR ISI

Susunan Redaksi

KPPODBrief   edisi ini hadir dengan topik yang selalu memancingpolemik sengit dalam kehidupan politik dan ekonomi kita:ketenagakerjaan. Sejak jaman kolonial hingga Indonesia menginjakusia merdekanya menjelang 70 tahun, polemik itu bertahan dan boleh

 jadi akan senantiasa menjadi masalah permanen.

Tentu ada beragam dimensi dan perspektif dalam membaca isuketenagakerjaan. Pada dimensi politik, isu ketenagakerjaan bukanlahisu teknis tetapi bertransformasi dan menggumpal sebagai isugerakan, isu politik itu sendiri. Pada dimensi ekonomi, rasionalitasteknokratik dalam hitung-hitungan upah buruh selalu menyisakan

trade-o   antara orientasi kesejahteraan buruh dengan sisi pertimbanganproduktivitas. Gampang untuk diujar, namun sulit sekali mencari titikakur antara segitiga hubungan upah, kesejahteraan dan produktivitas.

Edisi ini hendak hadir dengan angle isu, dari sisi aktor: peran Pemda.Di sana bergabung antara pembacaan menurut dimensi politik danekonomi. Semangat utama yang menyirati berbagai tulisan dalamedisi ini adalah seruan untuk Pemda menyadari tanggung jawabnyauntuk—meminjam nomenklatur desentralisasi--mengurus bidangketenagakerjaan. Selama ini Pemda terkesan hanya menjadi pihakyang mengatur dan bahkan menyalahkan pihak pekerja/buruh ataupun pelaku usaha, padahal tanggung jawabnya jelas mendasar.

Pemda, melalui instrumen regulasi (Perda), skal (APBD) dananeka program jelas memegang tanggung jawab konstitusionalatas kehidupan Warganya. Mandat itu membawa keterikatan bagiPemerintah/Pemda dalam menjamin hak hidup layak bagi warganya,

 bahkan ketika keterbatasan kapasitas menghantui mereka untukmenuai kewajiban tersebut.

Berdasar mandat Konstitusi tersebut, sejumlah regulasi di era otonomimengatur jabaran kewajiban dan domain tugas level pemerintahandi tingkat lokal tersebut. UU No.32 tahun 2004 memasukan isuketenagakerjaan sebagai urusan wajib daerah. Sementara PP No.38Tahun 2007 merinci urusan wajib tersebut ke dalam sejumlah deskripsi

tugas: dari kebakan hingga pengendalian dalam hal pembinaanhubungan industrial, jaminan sosial tenaga kerja, penempatan tenagakerja dalam dan luar negeri hingga fasilitasi peningkatan produktivitastenaga kerja. Bahkan, lebih makro lagi adalah menjamin terciptanyaiklim berusaha yang kondusif agar mesin ekonomi berputar tenang danproduktif. Semua itu jelas jauh dari sekedar tugas rutin menetapkan(baca: menaikkan) upah minimum setiap tahunnya.

Namun, bagaimana realisasi dari mandat wajib tersebut? Berbagaitulisan dalam edisi KPPODBrief ini hendak mengangkat problem dantantangan yang ada, sekaligus apresiasi atas sejumlah pencapaianyang ada. Kepada semua realitas itu, mari kita berkaca, utamanya

pihak Pemda sendiri, untuk bisa terus memperbarui komitmen danmeningkatkan kapasitas guna menenuai mandat utamanya bagipeningkatan kesejahteraan rakyat di daerahnya.

Selamat membaca.

 Pemimpin Redaksi:Robert Endi Jaweng

 Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito

 Sta Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza

 Elizabeth Karlinda Illinia Ayudhia Riyadi

Distribusi:Regina Retno Budiastuti

 Kurniawaty SeptianiAgus Salim

 Tata Letak: Rizqiah D

 Winantyo

Alamat Redaksi:Permata Kuningan Building 10th Fl.

 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9CGuntur Setiabudi

 Jakarta Selatan 12980Phone : +62 21 8378 0642/53

Fax : +62 21 8378 0643www.kppod.org

http://perda.kppod.org

http://pustaka.kppod.org

Artikel ......................................... 3

Review Regulasi .......................... 7

Dari Daerah .............................. 10

Opini .......................................... 13

Laporan Diskusi Publik ........... 18

Agenda KPPOD ........................ 20

Seputar Otonomi ...................... 21

Sekilas KPPOD .........................22

Page 3: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 3/24

3

Instrumen Non-Upah sebagai Jalan Lain Peningkatan Kesejahteraan Buruh:Potret Lemahnya Komitmen Kebakan Pemda

Oleh: Boedi Rheza Peneliti KPPOD

Sebagai salah satu Negara yang termasuk di dalam jajaran Negara-negara dengan tingkat

 perekonomian yang cukup maju, Indonesia masih memiliki permasalahan yang cukupkrusial untuk diatasi yaitu kemiskinan. Di Tahun 2012 terdapat sekitar 12% penduduk

 yang berada dibawah garis kemiskinan, dengan standar pendapatan kurang dari 1 dollarUS perhari (BPS, 2012). Sementara menurut Bank Dunia, dengan standar penduduk miskin adalah

 penduduk dengan pendapatan kurang dari 2 dollar US perhari, jumlah penduduk miskin di Indonesialebih besar lagi yaitu mencapai 50% dari penduduk. Dengan permasalahan kemiskinan yang cukuptinggi, diperlukan suatu pemecahan yaitu penciptaan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerjamerupakan tanggung jawab Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Penciptaan lapangankerja dapat terwujud melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif. Dengan iklim investasi

 yang kondusif, maka investor akan menanamkan modalnya dan tercipta lapangan pekerjaan

Namun penciptaan iklim investasi kondusif ini

masih dihadang oleh beberapa masalah, dari aspek

ketenagakerjaan, seperti tingkat produktivitas tenaga

kerja yang rendah dan masih terjadinya konik

ketenagakerjaan. Serial studi KPPOD sejak tahun 2001

menemukan kendala iklim investasi di daerah yang

hingga kini belum terselesaikan adalah persoalan

ketenagakerjaan. Studi KPPOD juga menemukan

 bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja yang tersebar

di wilayah kabupaten, masih rendah, sementara biaya

tenaga kerja semakin meningkat (KPPOD: 2006). Patut

disadari, tingkat produktivitas tenaga kerja merupakan

salah satu factor bagi penciptaan iklim investasi di

daerah.

Di sisi lain, konik ketenagakerjaan yang masih

terjadi. Konik ketenagakerjaan kebanyakan berpangkal

pada tuntutan peningkatan kesejahteraan buruh melalui

peningkatan KHL dan upah minimum. Yang menjadi

persoalan adalah dalam menyuarakan aspirasinya,

para buruh cenderung bertindak anarkis serta tidak

mematuhi prosedur yang berlaku. Unjuk rasa buruh

yang disertai tindakan yang anarkis juga disebabkanlemahnya penegakan hukum dari aparat. Inti persoalan

konik ketenagakerjaan selama ini adalah kesejahteraan

 buruh yang masih rendah. Namun apakah kesejahteraan

 buruh hanya menjadi tanggungjawab pelaku usaha saja?

Lantas dimana tanggung jawab negara (pemda) untuk

peningkatan kesejahteraan buruh? Negara (Daerah) juga

harus bertanggungjawab atas kesejahteraan buruh.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, dan

mengidentikasi peran Pemda dalam meningkatkan

kesejahteraan buruh, dilakukan penelitian terhadap

peran pemda dalam mensejahterakan buruh. Penelitian

ini dilakukan dengan studi kasus di dua lokasi dan

tinjauan regulasi ketenagakerjaan terhadap perda

ketenagakerjaan di 28 daerah. Dua daerah yang

dadikan studi kasus adalah Kota Batam dan Kota

Surabaya. Kota Batam terpilih karena sebagai salah satu

sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

di Indonesia yang memberlakukan kebakan insentif

pajak khusus untuk mendorong realisasi investasi sektor

riil, terutama industri export oriented. Sedangkan Kota

Surabaya terpilih karena kuatnya gerakan buruh dalam

menyuarakan tuntutan mereka lewat berbagai bentuk

unjuk rasa sehingga diharapkan melalui studi ini dapat

diidentikasi akar permasalahan ketenagakerjaan dari

perspektif serikat buruh.

Instrumen Perbaikan Kesejahteraan Hidup Buruh

Secara garis besar ada dua instrumen yang bisa

digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan buruh

yaitu, instrumen upah dan non upah. Instrumen

upah sudah sangat jelas menggambarkan mekanisme

reward  yang diterima buruh setelah menyelesaikan

pekerjaannya. Salah satu bentuk dari instrumen upah

ini adalah Upah Minimum yang ditetapkan di setiap

daerah. Kebakan upah minimum pada hakekatnya

lebih dilandasi pokok pikiran guna memenuhi hak asasi

 buruh untuk menerima upah dan untuk hidup layaksesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Sebenarnya,

pemahaman terhadap penetapan upah minimum yang

dikeluarkan oleh pemerintah mengenai keharusan

perusahaan adalah untuk membayar upah sekurang-

kurangnya sama dengan ketetapan upah minimum

kepada buruh yang paling rendah tingkatannya.

Penetapan upah minimum dipandang sebagai sarana

atau instrumen kebaksanaan sesuai untuk mencapai

kepantasan hubungan kerja.

Sementara instrumen non upah adalah instrumen

- instrumen yang tidak berbentuk upah namun lebih

kepada memberikan jaminan-jaminan sosial kepada

tenaga kerja. Salah satu contoh instrumen non upah

adalah penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional

(SJSN). Secara garis besar, SJSN ini meliputi dua program

Artikel

Page 4: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 4/24

4

utama, yakni Program Jaminan Kesehatan Nasional dan

Program Jaminan Kesejahteraan Nasional. Program

 jaminan kesehatan nasional digelar berdasarkan prinsip

ekuitas, yaitu kesamaan dalam mendapatkan pelayanan

kesehatan yang lebih baik dan asuransi sosial. Program

ini dikelola oleh BPJS dan mulai diberlakukan sejak

2014. Untuk mendukung program ini diberlakukan

sistem iuran yang di kenakan pada perusahaan atautenaker sedangkan bagi yang tidak mampu, iuran

akan dibayarkan oleh pemerintah. Program jaminan

kesejahteraan nasional meliputi jaminan kecelakaan,

 jaminan hari tua, jaminan pension, dan jaminan

kematian.

Kebakan Pemda terkait Ketenagakerjaan

Peningkatan kesejahteraan Buruh, tidak hanya

merupakan kewajiban pengusaha, namun juga

kewajiban Pemda. Dengan meningkatnya Salah satunya

melalui instrumen non-upah. Tujuan dari instrumennon upah ini adalah untuk redistribusi pendapatan dan

solidaritas sosial di masyarakat. Untuk mewujudkan

hal tersebut, dapat diterapkan melalui pembuatan

perda ketenagakerjaan yang memuat instrumen non

upah tersebut. Realisasi peran Pemda dalam upaya

pembangunan infrastuktur sosial untuk peningkatan

produktivitas serta penyelenggaraan instrument

non-upah bagi tenaga kerja membutuhkan panduan

pelaksanaan dan legitimasi yang tertuang dalam

Peraturan Daerah (Perda) ketenagakerjaan. Ironisnya,

 belum semua daerah memiliki Perda yang khusus

mengatur tentang ketenagakerjaan. Bahkan, substansi

yang diatur dalam Perda ketenagakerjaan di daerah

 juga belum memuat aturan tentang peran dan tanggung

 jawab Pemda dalam penyelenggaraan instrument non-

upah untuk peningkatan kesejahteraan hidup tenaga

kerja.

Hanya sedikit Pemda yang mengatur instrument

pengupahan

Daerah umumnya tidak mengatur detail mekanisme

pemberian upah maupun komponen non upah yang

harus diberikan oleh perusahaan, karena hal tersebut

langsung mengacu pada ketentuan pusat. Peran Pemda

dalam instrumen pengupahan ini dapat diterapkan

melalui penetapan Perda mengenai pengupahan. Dalam

hal ini kewajiban penyusunan struktur dan skala upah

 bagi perusahaan adalah hal yang bisa dilakukan oleh

Pemda sebagai upaya untuk memberikan kerangka legal

dalam penetapan upah di tingkat perusahaan. Review

terhadap Perda di 28 daerah memperlihatkan, hanya tiga

daerah, yakni Yogyakarta, Pasuruhan, dan Karawang,yang memiliki perda mengenai pengaturan upah tenaga

kerja. Perda Kota Yogyakarta No 13 tahun 2009 tentang

penyelenggaraan tenaga kerja sebagai contohnya,

mengatur mengenai perlindungan pengupahan dan

kewajiban penyusunan struktur dan skala upah bagi

perusahaan. Apabila perda ini diterapkan dengan

 baik, dan diikuti daerah lain, tentunya problem terkait

pengupahan bisa diminimalisir.

Instrumen Non-Upah masih kurang digunakan untuk

Peningkatan Kesejahteraan PekerjaPeningkatan kesejahteraan hidup pekerja tidak

dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan instrumen

upah yang dibayarkan pelaku usaha kepada para pekerja

saja, tetapi juga perlu didukung oleh peran pemerintah

secara aktif melalui berbagai instrumen non upah.

Penyelenggaraan instrumen non upah ini seyogyanya

menjadi tanggung jawab dari Pemda disertai dengan

adanya dukungan dari pelaku usaha. Merujuk pada

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan

Daerah Kabupaten/Kota, maka setidaknya terdapat

empat program dan fasilitas instrumen non-upah yang

menjadi tanggung jawab Pemda dalam penyelenggaraan

instrument non-upah sebagai upaya lain peningkatan

kesejahteraan hidup buruh, seperti program pelatihan

tenaga kerja, program penyelenggaraan usaha swasta.

Peran Pemda dalam penyelenggaraan instrumen

non-upah untuk peningkatan kesejahteraan tenaga

kerja masih minim. Ironisnya, sejauh ini keterlibatan

pemerintah dalam melaksanakan instrumen-instrumen

non upah masih sangat kurang. Dalam pelaksanaannya,

program-program tersebut tidak berjalan dengan efektifkarena ketiadaan regulasi berlandaskan hukum yang

secara jelas mengatur pelaksanaan instrumen-instrumen

non upah tersebut. Dengan kata lain, perbaikan

kesejahteraan pekerja selama ini hanya bertumpu pada

instrumen upah yang dibebankan kepada pihak pelaku

usaha. Kondisi ini terjadi pada dua kota yang menjadi

fokus penelitian dalam studi ini, yaitu Kota Batam dan

Surabaya.

Kebanyakan Perda mengatur tentang retribusi

pelayanan perizinan

Berdasarkan hasil identikasi terhadap perda

ketenagakerjaan di 28 daerah, diketahui bahwa umumnya

hanya mengatur pelayanan administrasi perizinan dan

masih bersifat pungutan, seperti seperti pelayanan

Artikel

Instrumen PerbaikanKesejahteraan Hidup Buruh

Instrumen Upah Instrumen Non Upah

Pemenuhan AspekJaminan Sosial

PanganLayanan

KesehatanSandang danPerumahan

PendidikanUsaha dan Kerja

Diagram I.

Instrumen perbaikan kesejahteraan hidup buruh

Page 5: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 5/24

5

perizinan penempatan tenaga kerja, penyelenggaraan

 bursa kerja, wajib lapor ketenagakerjaan, penyimpangan

waktu kerja, pengawasan pemakaian mesin, pesawat,

instalasi dan bahan.

Sebagian besar perda yang mengatur berbagai

pungutan atas pelayanan dan perinan tersebut memiliki

kebermasalahan dalam kejelasan standar prosedur, biaya

dan waktu pelayanan. Hal ini menyebabkan banyak bermunculan problem ketenagakerjaan dan pengaturan

perlindungan pengupahan dan kewajiban penyusunan

struktur dan skala upah bagi perusahaan. Tidak hanya

itu cukup banyak Perda tentang pelatihan tenaga kerja

seperti penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja yang

dapat dilakukan oleh Pemda maupun swasta namun

lebih mengatur pungutan-pungutan untuk pendirian

 balai latihan kerja dan kewajiban perusahaan untuk

melakukan pelatihan.

Kebakan proteksionis ketenagakerjaan melanggarkesatuan wilayah ekonomi

Intervensi Pemda dalam hal ketenagakerjaan

tidak langsung pada mekanisme penentuan upah,

namun lebih pada penciptaan kesempatan kerja melalui

upaya proteksionisme tenaga kerja. Dalam upaya

mengurangi pengangguran di daerahnya, beberapa

Pemda menerapkan kebakan yang mewajibkan setiap

perusahaan yang menjalankan perusahaan di daerah

tersebut untuk menggunakan tenaga kerja lokal disekitar

perusahaan tersebut.

Contoh proteksi kepada tenaga kerja daerah adalah

yang dilakukan oleh Kota Cimahi, melalui Perda Kota

Cimahi No. 6 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan

ketenagakerjaan. Perda ini mengatur bahwa setiap

perusahaan memiliki kewajiban memberikan prioritas

 bagi tenaga kerja lokal untuk bekerja dengan tetap

memperhatikan kemampuan yang dibutuhkan oleh

perusahaan tersebut. Sebenarnya, perda yang mewajibkan

perusahaan untuk memprioritaskan tenaga kerja lokal

untuk diperkerjakan merupakan bentuk pelanggaran

terhadap amanat yang terkandung di dalam pasal 4 UU

Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam

pasal tersebut, dinyatakan bahwa seluruh warga NegaraIndonesia berhak mendapatkan kesempatan yang

sama untuk memperoleh pekerjaan di seluruh wilayah

Indonesia. Adanya Perda yang memprioritaskan

tenaga kerja lokal untuk diperkerjakan pada akhirnya

membatasi kesempatan bagi tenaga kerja dari luar

daerah untuk memperoleh suatu pekerjaan di daerah

tersebut.

Namun ada pula upaya pemda untuk perlindungan

kepada tenaga kerja yang memiliki kebutuhan khusus.

Sebagai contoh adalah kebakan Pemda Kota Cilegon

dalam Perda Kota Cilegon No. 6 Tahun 2005 tentang

retribusi pelayanan bidang ketenagakerjaan. Perda

tersebut mewajibkan kepada perusahaan untuk

menerima tenaga kerja yang memiliki keterbatasan

kemampuan (disabilities) minimal 1 orang diantara

100 orang yang memenuhi kualikasi. Dengan Perda

tersebut Pemda mengupayakan terciptanya keadilan

 bagi semua masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan

termasuk bagi tenaga kerja yang memiliki keterbatasan

kemampuan

Peran Pemda dalam Hubungan Industrial

Peran Pemda melalui Dinas Tenaga Kerja (Disnaker)sangat diperlukan dalam upaya mencapai kesepakatan

untuk mengatasi perselisihan hubungan industri antara

pihak pekerja dan pelaku usaha. Perselisihan atau

perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan

pekerja/buruh atau serikat buruh terjadi karena

adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan,

perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan

perselisihan antar serikat pekerja (SP)/buruh dalam satu

perusahaan. Keempat perselisihan yang telah disebutkan

sebelumnya, memiliki alur penyelesaian yang berbeda- beda karena dilihat dari jenis perselisahan dan akibat

yang ditimbulkan oleh masing-masing perselisihan.

Tetapi pada prinsipnya semua jenis perselisihan harus

diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah/

secara bipartid.

Pemda diharapkan dapat menjadi mediator yang

adil dan netral untuk memimpin negosiasi antara

pihak pekerja dan pelaku usaha dalam menghadapi

perselisihan yang terjadi. Kemampuan Pemda sebagai

mediator untuk mengakomodasi dua kepentingan yang

 bertolak belakang antara pihak pekerja dan pelaku usaha

sangat penting untuk menjamin timbulnya keadilan dan

kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Keberhasilan

Pemda dalam memimpin mediasi akan menciptakan

rasa aman sehingga akan berdampak pada penciptaan

iklim usaha yang kondusif. Hal ini penting sebagai salah

satu wujud upaya untuk meningkatkan kesejahteraan

para pekerja dengan tetap memperhatikan daya saing

dan kemampuan ekonomi pelaku usaha.

Sayangnya, terkait dengan Perda hubungan

industrial, lebih banyak ditemukan pengaturan tentang

pengawasan norma kerja, keselamatan dan kesehatan

kerja, perlindungan terhadap tenaga kerja wanita.Namun kebanyakan perda tersebut justru memuat

pungutan yang membebani pelaku usaha. Salah satu

contoh baik kebakan Pemda dalam mengatur hubungan

industrial adalah Perda Kota Cimahi No.6 Tahun 2010

adanya aturan yang tegas dalam mengatur hubungan

lembaga kerjasama tripartite dan dewan pengupahan,

serta adanya survei yang dilakukan secara tripartite 4

kali dalam setahun untuk menetapkan nilai KHL. Upaya

untuk memaksimalkan lembaga tripartite tersebut dapat

dilakukan dengan adanya komunikasi yang terjalin

secara terus menerus dan pelibatan dari semua pihak

terkait untuk mendiskusikan berbagai permasalahan

terkait ketenagakerjaan termasuk didalamnya

mekanisme penetapan upah dan non upah yang sesuai

dengan kesepakatan bersama antara semua pihak terkait

Artikel

Page 6: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 6/24

6

melalui mekanisme hubungan tripartite.

Peran pemda dalam meningkatkan produktivitas

Tenaker masih kecil

  Dalam upaya peningkatan produktivitas

pekerja, diperlukan komitmen dan peran aktif Pemda

untuk menyelenggarakan berbagai jenis program

pelatihan yang dibutuhkan. Peningkatan produktivitas

pekerja sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya

perbaikan esiensi dan efektivitas kegiatan produksi.

Tingkat produktivitas pekerja dipengaruhi oleh

keterampilan sesuai dengan tingkat pendidikan yang

dimilikinya. Faktanya, bursa pasar tenaga kerja di

Indonesia saat ini masih didominasi oleh para pencari

kerja lulusan SLTA yang notabene masih minim dalam

hal keterampilan dan keahlian yang dimiliki.

Ironisnya, sejauh ini Pemda kurang memberikan

perhatian yang besar terhadap realisasi pembangunan

infrastruktur sosial melalui penyelengaraan pelatihan bagi para pencari kerja. Sebagai contoh, Pemkot Batam

melalui Disnaker masih belum memprioritaskan

anggaran yang memadai bagi penyelenggaraan

pendidikan dan pelatihan untuk para pencari kerja,

sebagaimana yang terlihat pada tabel  berikut ini.

Pelatihan tenaga kerja cukup penting untuk

meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Penyelenggara

pelatihan ini dapat dari pemda maupun swasta. Di banyak daerah, pelatihan tenaga kerja ini, sering

kali diadakan oleh perusahaan. Padahal penyediaan

pelatihan tenaker merupakan salah satu kewajiban

Pemda untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja. Ini

semakin menunjukkan adanya pengalihan tanggung

 jawab dari Pemda kepada perusahaan.

Dari sisi regulasi, cukup banyak Perda

ketenagakerjaan yang mengatur tentang pelatihan bagi

tenaga kerja. Namun, kebanyakan pengaturan dalam

perda-perda tersebut lebih menitikberatkan pada

 besarnya pungutan yang harus dibayarkan pengusahauntuk memperoleh izin penyelenggaraan pelatihan,

pengesahan sertikasi latihan keterampilan dan uji

keterampilan kejuruan. Tentunya hal ini kontraproduktif

terhadap upaya peningkatan produktivitas tenaga

kerja. Semestinya aturan yang ada harus memberikan

insentif kepada pelaku usaha yang mau melakukan

pelatihan ketenagakerjaan. Penyelenggaraan pelatihan

 bagi tenaga kerja, khususnya yang belum bekerja,

semestinya menjadi tanggung jawab Pemda, yang dalam

pelaksanannya bisa saja bekerjasama dengan pelaku

usaha dalam Perda Kabupaten Mojokerto Nomor 4

Tahun 2009, dicantumkan bahwa pelatihan kerja akan

dilaksanakan oleh DLKD (Dewan Latihan Kerja Daerah)

yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan

pekerja. Namun, ternyata biaya penyelenggaraan latihan

oleh DLKD ini dibebankan kepada pihak perusahaan.

Hal ini mengindikasikan terjadinya pengalihan tanggung

 jawab Pemda terhadap pihak pelaku usaha.

Catatan Penutup

Meskipun masih sedikit daerah yang membuat

kerangka regulasi untuk meningkatkan kesejahteraanpekerja, namun ada beberapa daerah sudah membuat

Perda ketenagakerjaan yang mengatur tentang

komponen upah dan non-upah dalam upaya menjamin

terciptanya kesejahteraan bagi para pekerja. Keberadaan

perda tersebut mereeksikan komitmen Pemda terhadap

upaya mewujudkan jaminan kesejahteraan

pekerja. Namun, aturan yang dibuat perlu

mempertimbangkan karakteristik dari masing-

masing perusahaan yang ada di daerah

tersebut, seperti kemampuan nansial, sektor

ekonomi dan skala usaha yang berbeda-bedaantara perusahaan yang satu dengan lainnya.

Aturan lanjutan juga diperlukan untuk

mengatur fasilitas-fasilitas kesejahteraan yang

disediakan perusahaan-perusahaan dengan

karakteristik khusus.

Studi ini  juga menunjukkan bahwa sejauh

ini, perda ketenagakerjaan yang dibuat daerah

 belum mengatur secara tegas pola kemitraan

antara pemda, perusahaan, dan tenaga

kerja/serikat pekerja. Sementara disisi lain komitmen

Pem da masih rendah dalam upaya peningkatan

produktivitas buruh. Terkait hal ini dirasakan perluadanya kebakan daerah yang mengatur secara tegas

 besarnya alokasi anggaran untuk program-program

peningkatan produktivitas pekerja..

Yang terakhir, perlu adanya peraturan

ketenagakerjaan yang dapat memberikan kejelasan

mengenai pembagian porsi tanggung jawab Pemda dan

pelaku usaha dalam meningkatkan kesejahteraan tenaga

kerja dalam bentuk instrument non-upah. Penyediaan

instrumen non-upah dalam bentuk bantuan sosial di

 berbagai aspek merupakan sebuah bentuk investasi

sosial yang menguntungkan dalam jangka panjangyang dilandasi oleh dua pilar utama, yakni redistribusi

pendapatan dan solidaritas sosial.

---o0o---

Artikel

NO. NAMA KEGIATANREALISASI

(Rp)PERSEN

(%)

1.Peningkatan Pelayanan AdministrasiPerkantoran

364.221.428 45.38

2. Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur 131.165.000 16.34

3. Peningkatan Kualitas dan Disiplin Aparatur 48.937.750 6.1

4.Pelatihan dan peningkatan keterampilanTenaga Kerja

71.426.000 8.9

5.Operasional Dewan Pengupahan Kota danLKS Tripartut

79.951.000 9.96

6.Operasional penyelesaian HubunganIndustrial

36.814.000 4.58

7. Monitoring dan Evaluasi TK 70.037.000 8.72

JUMLAH 802.552.178 100%

Page 7: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 7/24

7

Kondisi penduduk menurut mata pencaharian

terdiri dari: pertanian (33,98%), industri pengolahan(24,69%), listrik, gas dan air (0,41%) perdagangan,hotel dan restoran (17,79%) pertambangan dan galian(0,38%). Bangunan (5,21%), keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (0,33%), pengangkutan dan komunikasi(6,66%) serta jasa (10,55%). Berdasarkan data, pendudukKab. Pasuruan cukup banyak yang bergantung darisektor industri pengolahan (24,69%), hal tersebutmenunjukkan bahwa permasalahan perburuhanmenjadi salah satu isu penting yang harus diperhatikanoleh Pemda setempat dalam upayanya meningkatkanperekonomian daerah dan mensejahterakan masyarakat.

Melihat pentingnya isu perburuhan ini, Kab.Pasuruan memberikan kebakan khusus melaluipenetapan Peraturan Daerah No. 22 Tahun 2012 tentangSistem Penyelenggaraan Ketenagakerjaan di KabupatenPasuruan. Secara garis besar Perda ini mengatur segala

aspek terkait pelayanan ketenagakerjaan termasuk di

dalamnya hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pekerja/ buruh, pengusaha dan Pemerintah daerah (Pemda).

RINGKASAN ISI PERDA

Pembentukan Perda ini ditujukan sebagai upayapengaturan ketenagakerjaan yang menyeluruh dankomprehensif yang mencakup pembangunan sumberdaya manusia peningkatan produktivitas dan dayasaing tenaga kerja, upaya perluasan kesempatankerja, pelayanan penempatan tenaga kerja danpembinaan hubungan industrial serta perlindungantenaga kerja. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa sistem

penyelenggaraan ketenagakerjaan di Kab. Pasuruan bertujuan: a) terwujudnya perencanaan tenaga kerja; b) terwujudnya sistem pelatihan kerja nasional diDaerah; c) terwujudnya kebakan produktivitas kerja;d) terwujudnya penyediaan dan pendayagunaan

Review Regulasi: Perda Kab. Pasuruan No. 22 Tahun 2012 tentang SistemPenyelenggaraan Ketenagakerjaan di Kabupaten Pasuruan

Oleh: Sri MulyatiPeneliti KPPOD

Kabupaten Pasuruan dikenal sebagai salah satu kawasan perindustrian, daerah pertaniandan perikanan, serta tempat tujuan wisata yang memiliki aneka jenis potensi bisniscukup menjanjikan bagi para penduduknya. Dengan luas wilayah 147.401,50 (3,13%luas Propinsi Jawa Timur), penduduk Kab. Pasuruan tercatat 1.510.261 jiwa (laki-laki

747.376 jiwa dan perempuan 762.885 jiwa (2010 BPS)). Artinya kepadatan penduduk Pasuruhanmencapai 1.024,59 jiwa/km2.

Dokumentasi KPPOD

Review Regulasi

Page 8: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 8/24

8

tenaga kerja; e) terwujudnya perlindungan dankesejahteraan tenaga kerja; dan terwujudnya

harmonisasi antara pekerja, pengusaha dan pemerintah.

ANALISIS ISI

Perda merespon kebutuhan pengusaha dan tenaga

kerja

Perda ini memberikan hal positif dan pembelajaranpenting bagi daerah lain dalam upaya meminimalisir

konik ketenagakerjaan. Materi yang diatur dalam Perda

ini telah mengacu pada ketentuan perundnag-undangan

yang berlaku. Sejumlah peraturan perundang-undangan

pusat yang menjadi konsideran pembentukan Perda ini

adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga

Kerja, UU no. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah dan Peraturan Pemerintah terkait perlindungan

tenaga kerja termasuk upah dan pelatihan tenaga kerja.

Selama ini penerapan perda terkaitpenyelenggaraan ketenagakerjaan di beberapa

daerah umumnya lebih didominasi oleh pengaturan

yang bersifat pungutan, namun perda ini telah

mengatur upaya-upaya perlindungan ketenagakerjaan

yang lebih komprehensif. Perda ini mengatur

perlindungan bagi tenaga kerja di Kab. Pasuruan

melalui tersedianya kesempatan bagi pekerja/buruh

untuk mendapatkan pekerjaan dan meningkatkan

kompetensi kerja dengan mengikuti berbagai pelatihan

kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan.

Prioritas kepada tenaga kerja lokal sebagai upayaminimalisasi angka pengangguran 

Terkait dengan kesempatan kerja, perda ini

menjamin bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan

kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan,

atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan

yang layak di dalam atau di luar negeri dan mendapatkan

 jabatan sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat,

minat dan kemampuan dengan memperhatikan harkat

dan martabat, hak asasi dan perlindungan hukum (Psl. 19).

Hal yang menarik dalam perlindungan ketenaga-

kerjaan lainnya adalah berupa kewajiban bagiperusahaan untuk memberikan kesempatan terhadap

tenaga kerja lokal dengan lebih mengutamakan

warga sekitar sesuai dengan kebutuhan perusahaan

tanpa mengesampingkan standar kompetensi tenaga

kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan . Untuk itu

maka dalam merekrut tenaga kerja, perusahaan tetap

 berkoordinasi dengan SKPD terkait secara terbuka dan

transparan (Psl.26). Ketentuan untuk memprioritaskan

tenaga kerja yang berada di sekitar perusahaan sebagai

upaya untuk mengurangi angka pengangguran yang

mencapai 36.828 orang (Dinsosnakertrans, 2011).

Di satu sisi upaya proteksi terhadap tenaga kerja

lokal ini terkadang menuai protes dari pengusaha

karena dinilai menghambat hak perusahaan (asas free

internal trade)  untuk mendapatkan tenaga kerja yang

sesuai dengan keinginan dan kualikasi perusahaan

namun di sisi lain, kebakan proteksi ini merupakan

salah satu upaya Pemda untuk melindungi tenaga kerja

lokalnya dan sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi

pengangguran sepanjang tetap mengacu pada

ketentuan perundang-undangan yang berlaku (tidak

menetapkan kuota tertentu) dan tetap menyesuaikan

dengan kualikasi tenaga kerja yang dibutuhkan olehperusahaan. Bagi perusahaan, salah satu keuntungan

yang didapat dari perusahaan dengan kebakan ini

adalah tersedianya kebutuhan tenaga kerja yang dekat

dengan tempat produksi memberikan kemudahan

dan biaya murah dibandingkan harus mencari di luar

daerah sehingga operasionalisasi menjadi lebih efektif

dan esien.

Kewajiban penetapan struktur skala upah oleh

perusahaan sebagai jaminan perlindungan upah yang

adil bagi tenaga kerja/buruh Jaminan untuk mendapatkan upah yang adil,

terlihat dari ketentuan dalam perda yang mengatur

 bahwa setiap pekerja/buruh berhak mendapatkan

penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak

 bagi kemanusiaan sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan dan mewajibkan pengusaha untuk menyusun

struktur dan skala upah dengan memperhatikan

golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan

kompetensi (Psl.38). Dengan adanya ketentuan tersebut

 bagi perusahaan mempunyai dasar hukum jelas ketika

menetapkan struktur skala upah. Sedangkan bagi

pekerja/buruh adanya struktur skala upah yang jelas dari

perusahaan, akan medatangkan rasa aman dalam bekerja

dan kepastian hukum yang pasti akan diberlakukannya

suatu kebakan. Bila ketentuan tersebut, dilaksanakan

oleh perusahaan secara konsisten, maka tentunya akan

dapat meminimalisir perselisihan yang bersumber

dari ketidakpuasan akan penetapan upah pekerja.

Meskipun demikian, masih terdapat beberapa pasal

dalam Perda ini yang perlu diberikan perhatian khusus, salah

satunya adalah ketentuan yang tertuang dalam Pasal 32 ayat

1 butir d. Dalam pasal tersebut, tercantum kewajiban bagi

perusahaan penyedia jasa tenaga kerja untuk menyetorkanuang kepada bank Pemerintah dalam bentuk deposito sebesar

Rp 250.000.000,00 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

izin operasional. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan

penyelewengan karena ketiadaan kejelasan keperluan dana

tersebut. Selain itu, kewajiban bagi perusahaan untuk

memberikan berbagai bentuk perlindungan (pasal 33 ayat 2

butir a) dan menyediakan fasilitas kesejahteraan bagi tenaga

kerja juga berpotensi menghambat pengembangan dunia

usaha, terutama sektor UMKM. Hal ini disebabkan karena tidak

adanya aturan mengenai kriteria skala usaha perusahaan yang

diwajibkan untuk menyediakan berbagai bentuk perlindungan

dan fasilitas kesejahteraan bagi tenaga kerja tersebut.

Kemitraan sejajar antara perusahaan dan pekerja

Pandangan bahwa perusahaan dan pekerja/

Review Regulasi

Page 9: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 9/24

9

 buruh sebagai mitra kerja yang sejajar merupakan

sesuatu yang harus terus diupayakan perwujudannya,

tercermin dalam muatan materi yang diatur

dalam perda ini. Sehingga, apabila terjadi konik

antar pihak, harus diselesaikan dalam kerangka

hubungan yang sejajar dan adil. Hubungan antar

keduanya tidak dapat dipisahkan karena memiliki

hubungan erat yang saling membutuhkan.Ketentuan mengenai hubungan industrial, yang

diatur dalam perda ini dapat meminimalisir konik

ketenagakerjaan. Kewajiban untuk membentuk dan

mengoptimalkan Lembaga Tripartit dan Dewan

Pengupahan yang diatur dalam perda ini memberi

kerangka aturan main dalam upaya-upaya penyelesaian

konik antar pihak. Selain Lembaga Kerjasama Tripartit

Kabupaten, Perda ini membentuk juga Lembaga

Kerjasama Tripartit sektoral (LKTS) yang dilaksanakan

oleh Bupati selaku ketuanya. Adapun jumlah anggota

LKTS tersebut diatur maksimal 8 orang, yang terdiridari Ketua, Sekretaris dan anggota yang mewakili unsur

Pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/

serikat buruh (Psl. 45). Adapun terkait perselisihan

hubungan industrial, pemogokan kerja, PHK,

dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Dalam perda ini, Pemda juga mewajibkan

pengusaha untuk menyediakan fasilitas kesejahteraan

 buruh/pekerja, seperti penyediaan fasilitas ibadah dan

menjamin setiap pekerja/buruh berhak mendapatkan

perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,

hygiene perusahaan, lingkungan kerja, kesusilaan,

pemeliharaan moril kerja, serta perlakuan yang sesuaidengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai

agama dan sebagaimana diatur dalam perundang-

undangan ketenagakerjaan (Psl.33).

Tinjauan terhadap perda ini juga perlu diberikan

terutama pada ketentuan yang mengatur tentang

 besaran prosentase kenaikan upah minimum bagi

pekerja yang sudah menikah atau berkeluarga dan/

atau sudah memiliki masa kerja 1 tahun (pasal

37 ayat 4) dan prosentase besaran penggantian

perumahan serta pengobatan dan perawatan dalam

perhitungan uang penggantian hak (pasal 54 ayat 4

 butir c). Penetapan besaran prosentase yang diatur

dalam Perda berpotensi menimbulkan beban biaya

tinggi, terutama bagi perusahaan-perusahaan skala

UMKM dengan kemampuan nansial terbatas. Oleh

karena itu, sebaiknya besaran prosentase ditetapkan

dengan mempertimbangkan kemampuan nasialmasing-masing perusahaan berdasarkan kesepakatan

antara perusahaan dengan pekerja yang diatur dalam

perjanjian kerja bersama (PKB).

Penutup

Dengan berbagai ketentuan yang diatur dalam

perda ini diharapkan dapat memenuhi harapan

Pekerja/buruh akan adanya pemenuhan hak-hak

pekerja sesuai dengan ketentuan Perundang-

undangan. Dengan perda ini ada kepastian aturan

dalam bekerja tanpa harus dihantui adanya PHKsepihak, atau adanya ketentuan upah yang tidak jelas

dan merugikan pekerja/buruh. Begitu pula dengan

perusahaan yang mengharapkan adanya peningkatan

produktivitas seiring dengan adanya kenaikan skala upah.

Diantara sejumlah ketentuan penyelenggaraan

ketenagakerjaan di daerah yang selalu menuntut adanya

pungutan baik kepada pengusaha maupun tenaga

kerja, Perda Kab. Pasuruan No. 22 Tahun 2012 dapat

memberikan pembelajaran bersama kepada daerah lain

 bahwa penciptaan kondisi yang sehat dalam bekerja

lebih diutamakan melalui adanya pengaturan yang jelas

dan tegas akan semua kebakan terkait ketenagakerjaan.Adanya sosialisasi kebakan secara terus menerus

kepada pekerja/buruh dan pengusaha dalam wadah

lembaga kerjasama tripartit sektoral dapat menjadi

salah satu upaya memberikan pemahaman bersama

kepada semua pihak atas kebakan yang diterapkan

oleh Pemda. Dengan begitu diharapkan masing-masing

pihak dapat mengetahui dan melaksanakan peran dan

tanggungjawabnya sesuai ketentuan yang berlaku.

--o0o--

Review Regulasi

Saat ini KPPOD memiliki koleksi sekitar 20.000 Perda dalam versi elektronik

menyangkut topik ekonomi/investasi di daerah (Pajak, Retribusi, Perijinan, dll).

Untuk melihat daftar koleksi tersebut, silahkan akses http://perda.kppod.org.

Bagi individu/korporasi/organisasi yang akan memesan koleksi kami, dapat

menelusuri prosedur dan syarat pemesanan yang tertera pada menu layanan

submenu pemesanan perda.

Terima kasih

Bagian Keperpustakaan

Page 10: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 10/24

10

Serial studi KPPOD sejak tahun 2001 menemukankendala iklim investasi di daerah yang hingga kini

 belum terselesaikan adalah persoalan ketenagakerjaan.Studi KPPOD juga menemukan bahwa tingkat

produktivitas tenaga kerja yang tersebar di wilayahkabupaten, masih rendah, sementara biaya tenaga kerjasemakin meningkat (KPPOD, 2006). Permasalahantersebut, ternyata juga dihadapi oleh Kota Batam,sebagai daerah yang perekonomian berbasis industrydengan jumlah tenaga kerja yang bersar. Penyebabutama berbagai konik ketenagakerjaan yang saat inimarak terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesiaadalah kesejahteraan buruh yang masih rendah. Namun,apakah kesejahteraan buruh hanya menjadi tangggung

 jawab pelaku usaha? Lantas, dimana tanggung jawabpemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh?

Persoalan ketenagakerjaan meningkat sejalan denganpertumbuhan ekonomi dan investasiPertumbuhan ekonomi Kota Batam dari tahun

2007 hingga 2011 meningkat sebesar 30 persen denganpertumbuhan investasi sebesar 13 persen. Sektor yang

paling berkontribusi dalam pembentukan PDRB ditahun 2011 adalah industri pengolahan (58%) danperdagangan, hotel dan restoran (28%). Hal tersebutmenunjukkan bahwa perekonomian Kota Batam

didominasi oleh sektor sekunder dan tersier dannilainya pun terus meningkat. Dominasi ini juga terlihatdari jumlah perusahaan di wilayah tersebut. Sebesar 60persen perusahaan yang ada bergerak di sektor industri,perdagangan dan perhotelan dengan jumlah tenaga kerjasebanyak 208.571 (66% dari jumlah total tenaga kerja).

Dengan jumlah tenaga kerja mencapai 319.054orang, data Disnaker menunjukkan bahwa sepanjangtahun 2011 telah terjadi 170 kasus perselisihan hubunganindustrial (PHI) yang dilaporkan ke Disnaker KotaBatam. Jumlah tenaga kerja yang terlibat pada kasustersebut pun cukup banyak yakni 714 orang. Namun,

 jumlah anggaran yang dialokasikan untuk penyelesaian

kasus tersebut hanya Rp 36 juta. Artinya, rata-ratasetiap kasus mendapatkan anggaran sebesar Rp 210.000.Hal ini sangat disayangkan mengingat sedikitanyaanggaran untuk penyelesaian kasus dapat mempersulitDisnaker untuk menyelesaikan kasus tersebut. Jika

Peran Pemda dalam Peningkatan ProduktivitasTenaga Kerja di Kota Batam

 Oleh: Elizabeth Karlinda Peneliti KPPOD

Sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia, Kota Batam merupakandaerah yang ditujukan menjadi tempat penanaman investasi baik asing maupun domestik. Halini menjadi kesempatan besar bagi Pemkot Batam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatBatam mengingat penanaman modal tentunya akan menyerap banyak tenaga kerja. Namun hal ini

tidaklah semudah membalik telapak tangan, mengingat ada sejumlah permasalahan yang dihadapi daerahdalam menarik investasi.

Sumber: Satu Negeri.Com

Dari Daerah

Page 11: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 11/24

11

kasus PHI tersebut sulit diselesaikan, akibatnya iklim berusaha di Kota Batam menjadi kurang kondusif.

Upah belum dapat mensejahterakan pekerjamendorong penurunan produktivitas

Sesuai dengan pasal 89 ayat (2) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, nilai UMK yangditetapkan mengacu pada hasil survei kebutuhan hidup

layak (KHL) dimana nilai tersebut ditetapkan di atasatau paling tidak sama dengan nilai KHL. Namun, padapraktiknya dari tahun 2007 hingga 2011, UMK Batamditetapkan di bawah nilai KHL hasil survei. PenetapanUMK di atas nilai KHL baru terjadi pada tahun 2012 dan2013. Melalui perjuangan yang cukup panjang diiringidengan aksi-aksi unjuk rasa dari para buruh, maka UMKBatam tahun 2012 ditetapkan sebesar Rp 1.402.000,00di atas hasil surver KHL sebesar Rp 1.302.992. Begitupula di tahun 2013, UMK ditetapkan sebesar Rp2.040.000,00 lebih tinggi 7,37 persen dari KHL-nya.

Selama ini, besarnya upah sesuai UMK yangditerima buruh sulit untuk mencukupi kebutuhansehari-hari. Mereka pun sulit bekerja optimal danproduktif jika kebutuhan dasar hidup tidak tercukupisehingga mereka bekerja dalam keadaan tidak senang.Untuk menyiasatinya, mereka mengulur-ulur waktupekerjaan sehingga tugas tersebut dikerjakan diluar jamkantor (lembur) agar mendapat uang tambahan. Kondisiini memperlihatkan produktivitas buruh masih rendah.

Penetapan UMK Batam 2013 meningkat 43 persendari tahun sebelumnya. Namun, menurut para buruhdi daerah tersebut peningkatan upah yang cukup besartersebut tidak serta merta memperbaiki kesejahteraanhidup para buruh. Hal ini terjadi karena sebelumpemberlakuan kenaikan UMK, harga-harga barangkebutuhan pokok terus mengalami kenaikan, karena

tidak ada upaya pemerintah untuk mengendalikanharga-harga di pasar sehingga harga tersebut dibiarkanterus melambung tinggi. Dengan demikian, meskipunkenaikan UMK tinggi, daya beli buruh tidak meningkatsehingga kesejahteraan buruh pun belum meningkat.

Belum ada peraturan daerah yang mengaturmengenai pengupahan

UMK diberikan kepada para pekeja lajang yang baru bekerja kurang dari enam bulan di suatu perusahaan. Jika nominal UMK meningkat, maka pekerja lain yangtelah bekerja lebih dari enam bulan juga menginginkankenaikan upah. Inilah yang dikenal dengan istilah upahsundulan. Jika UMK meningkat tanpa diikuti dengankenaikan upah pekerja lain yang masa kerjanya lebihlama, maka hal ini akan menimbulkan kecemburuanantar pekerja dalam perusahaan tersebut. Akibatnya,produktivitas pekerja lain akan sulit ditingkatkan.

Kekisruhan terkait penentuan upah sundulanini tidak pelu terjadi jika setiap perusahaan telahmenetapkan struktur dan skala upah buruh, sebagaimanayang diamanatkan dalam Keputusan Menteri(Kepmen) No.49 Tahun 2004. Ironisnya, hampir seluruhperusahaan di Kota Batam belum mempunyai strukturdan skala upah yang mengatur besarnya kenaikan upah bagi para pekerja dengan karakteristik yang berbeda, baik dari posisi kerja ( job desk), tingkat pendidikan,

pengalaman maupun masa kerja. Tidak hanya itu, padapraktiknya sangat jarang perusahaan berunding denganserikat buruhnya mengenai kenaikan upah sundulan ini.

Penetapan struktur dan skala upah berbeda-bedaantar perusahaan tergantung pada sektor usaha dan

karakteristik produk yang dihasilkannya. Meskipundemikian, perlu adanya regulasi khusus dari pemdayang dapat dijadikan acuan dan panduan dalampenetapan struktur dan skala usaha tersebut. Sanksitegas berupa pemberian denda maupun pencabutan izinusaha juga pelu diterapkan bagi perusahaan yang belummemiliki struktur dan skala upah dengan demikian,diharapkan pihak pengusaha memiliki kesadaan

tinggi mengenai pentingnya hal tersebut sebagaiacuan penetapan besaran kenaikan upah sundulan.

Pembangunan rusunawa oleh Pemda sebagai upayapeningkatan kesejahteraan buruh

Dalam upaya peningkatan kesejahteraan buruh,pemkot Batam bekerja sama dengan KementerianPerumahan Rakyat (Kemenpera) dan JaminanSosial Tenaga Kerja (Jamsostek) membangun rumahsusun sederhana sewa (rusunawa). Pembangunanrusunawa ini sebagai upaya untuk menurunkan biaya transportasi buruh sehingga diharapkan buruhtidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuktransportasi dan biaya tersebut dapat digunakanuntuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya.

Berdasarkan hasil inventarisasi Kemenperayang dilaksanakan tahun 2005-2011, di Kota Batamterdapat empat twin block  (TB) yang telah diserahkankepada penghuni yakni di Muka Kuning dan TanjungUcang Batam. Namun, pembangunan rusunawa inidinilai belum efektif oleh para buruh. Mereka kecewakarena bangunan tersebut bukan hak milik pribadi.Selama ini yang mereka butuhkan bukan rumah sewa,melainkan rumah susun sederhana milik (rusunami).Dengan bangunan yang bersertikat hak milik,kesejahteraan buruh di masa mendatang lebih terjamin.

Komitmen Pemda untuk meningkatkan produktivitaspekerja.

Pemda juga berkewajiban untuk terlibat dalamupaya peningkatan produktivitas tenaga kerja di daerah.Hal ini membutuhkan komitmen dan peran aktif Pemdauntuk menyelenggarakan berbagai program pelatihan.Sayangnya, sejauh ini belum ada perhatian yang besar dai pemda terkait program pelatihan tersebut.Dengan keterbatasan anggaran disnaker, dimana padatahun 2011 hanya 8,9 persen yang diberikan untukpelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja,program pelatihan tersebut belum sepenuhnya efektif.Selain hanya diselenggarakan selama satu minggu, bentuk pelatihan yang diselenggarakan pun hanyasebatas pelatihan umum, seperti pelatihan las dasar,montir, dan kewirausahaan. Keterbatasan waktupenyelenggaraan pelatihan tersebut menyebabkantransfer pengetahuan yang diberikan kurang optimal.

Keterbatasan anggaran, menyulitkan pemdauntuk penyelenggaraan program pelatihan untukmeningkatkan keahlian dan produktivitas para pekerja.Sebagai alternatif solusinya, pemda akan memungutretribusi IMTA (Izin Memperkerjakan Tenaga Asing)dimana hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan berbagai program peningkatan produktivitas. Tiapperusahaan yang memperkerjaan tenaga asing, wajibmembayar US$ 100 per tenaga kerja. Izin yang baru

mulai diberlakukan pada tahun 2013, ditargetkanhasil retribusi yang tekumpul pada tahun ini sebesarRp 20 Milyar. Menurut Kepala Disnaker Kota Batam,pemberlakuan IMTA ini, ditujukan untuk mengurangitenaga kerja asing sehingga investasi yang masuk lebih

Dari Daerah

Page 12: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 12/24

12

 banyak menyerap tenaga kerja lokal, bukan asing.Hasil IMTA pun digunakan untuk meningkatkanproduktivitas dan daya saing pekerja lokal.

Dalam upaya peningkatan produktivitas pekerjamelalui kebakan IMTA, Disnaker Batam sedang berupaya untuk mendorong sistem sertikasi keahliankerja. Meskipun di tingkat nasional sudah ada BadanNasional Sertikasi Profesi (BNSP), namun masih banyak

kegiatan yang belum dipublikasikan secara menyeluruhdan belum menyentuh hingga tingkat daerah. Olehkarena itu, dibutuhkan lembaga pelatihan bersertikasikhusus untuk melahirkan para pekerja bersertikasidimana keahliannya diakui dalam pasar tenaga kerjalokal maupun internasional. Dengan sertikat yangdimiliki setiap pekerja, pekerja diharapkan dibayarsesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Programpeningkatan produktivitas tenaga kerja tersebutmerupakan salah satu bentuk dorongan dari Disnaker.Disamping mendorong dari pihak pekerja, Disnaker jugamendorong pihak perusahaan agar untuk melakukanprogram peningkatan produktivitas tenaga kerja. Oleh

karena itu, kedepan para pengusaha pun didorong untukmerekrut para pekerja yang telah bersertikasi tersebut.

Program peningkatan kesejahteraan pekerja olehperusahaan

Beberapa program pernah diselenggarakan olehperusahaan. Misalnya, program beasiswa untuk anakpara buruh. Namun, beasiswa tersebut hanya diberikankepada para buruh yang memiliki upah di bawah Rp1.000.000. Padahal saat itu, UMK Batam sudah mencapai

Rp 1.500.000 sehingga tidak ada anak buruh yangmenerima beasiswa tersebut. Selain itu, pada tahun2011 juga pernah dibentuk koperasi buruh denganskala besar untuk menjual berbagai kebutuhan hiduppara buruh dengan harga yang murah. Namun dalampelaksanaannya, koperasi tersebut tidak bejalan dengan baik mengingat para pengurusnya adalah perwakilan buruh dan pengusaha, dimana mereka memiliki

pekerjaan utama. Akibatnya, mereka sulit membagi waktuantara pekerajaan utama dengan mengurus koperasiyang akhirnya pengelolaan koperasi tidak berjalandengan optimal dan koperasi tersebut harus ditutup.

Catatan AkhirHingga saat ini, program-program yang

diselenggarakan dalam rangka peningkatankesejahteraan buruh, baik yang diselenggarakan olehpemerintah maupun perusahaan, belum menyentuhsubstansi permasalahan yang dialami oleh buruh. Olehkarena itu, perlu adanya aturan baku yang mengaturhubungan antara pemerintah, perusahaan dan buruh

agar terjadi sinergisasi kebakan. Keberhasilan upayapeningkatan kesejahteraan buruh pun bergantungpada Pemda dalam membuat program yang efektifsehingga tercipta sinergi yang baik antara Pemda,pelaku usaha dan buruh. Sinergi yang baik antarpihak yang terkait dapat memberikan jaminanperlindungan serta kesejahteraan bagi para buruhsehingga produktivitas diharapkan dapat meningkat.

--o0o--

Dari Daerah

Page 13: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 13/24

13

Perspektif hak asasi tersebut memiliki pendasaranlosis yang kuat. Menyitir konstatasi JeremmyBentham--sekedar menukil satu nama yang meletakanfondasi perspektif hak dasar ini-- Pemerintah memangkutanggung jawab untuk menjamin the welfare of their

citizens, yang dalam topik bahasan KPPODBrief ini berarti pekerjaan dilihat sebagai sebagai instrumenpenyejahteraan dan membuka akses keadilan inklusif bagi segenap warga negara.

Pemda, lewat instrumen regulasi (Perda), skal(APBD) dan aneka program (PPUS, dll.), tidak sajadituntut untuk berperan sebagai institusi alternatiftatkala warga negara belum mampu menyantunidirinya atau hanya menjadi substitusi ketika pasar(pelaku usaha) terbukti gagal bekerja (market failure)menyediakan lapangan kerja atau menyejahterakan buruh/tenaga kerjanya, tetapi memang dalam dirinya

Negara itu menjadi pihak yang sesejatinya bertanggung jawab guna menjamin terpenuhinya hak hidup layakwarga sebagai esensi makna keadilan.

Pertanyaan yang hendak diulas kemudianadalah: bagaimana Pemda melihat tanggung jawab

Ketenagakerjaan di Era Otonomi:Kritik atas Disfungsi Pemda dalam Melaksanakan Urusan Daerah

Oleh: Robert Endi Jaweng

  Direktur Eksekutif KPPOD

Mandat UUD 1945 prihal tanggung jawab konstitusional Negara atas kehidupan Warganyamembawa keterikatan bagi Pemerintah/Pemda dalam menjamin hak hidup layak setiap orangdi negeri ini. Instrumen utama guna memastikan jaminan hidup layak tersebut, antaralain, berupa ketersediaan lapangan kerja dan akses terbuka bagi warga untuk bekerja atau

memasuki pasar kerja. Implikasi mandat wajib ini pada gilirannya menempatkan Negara sebagai subjekhukum yang bertanggung jawab atas masalah ketenagakerjaan, baik yang melibatkan pihak swasta sebagai

 penyedia lapangan kerja maupun lapangan kerja yang disiapkan Negara sendiri.

konstitusional tersebut? Benarkan mereka menyadaridan berkomtimen untuk menenuai mandat wajibnya,atau justru menggeser mandat tersebut menjadi bebanpelaku usaha, seolah ikhtiar penyediaan lapangankerja memang sejatinya kewajiban sektor bisnis? Lebih

spesik lagi dalam konteks desentralisasi, sejauh manaPemda memenuhi uraian-tugas yang menjadi domainurusan daerah seperti digariskan UU No.32/2004 danPP No.38/2007? Guna menjawab sebagian pertanyaantersebut, bahasan tulisan ini akan mengangkat polakebermasalahan maupun capaian di daerah denganmerujuk berbagai hasil studi maupun pencermatanlapanagan penulis sendiri.

Urusan Wajib, Pengingkaran NegaraKerangka regulasi pokok yang mengatur

prihal otonomi daerah, yakni UU No.32 Tahun 2004,

menepatkan bidang ketenagakerjaan sebagai salah satuurusan wajib Pemda. Hal ini jelas logis jika mengingatarahan konstitusi di atas yang menempatkan soal kerja/lapangan kerja menjadi masalah sentral di mana Pemdasebagai bagian pranata pemerintahan bertanggung

Sumber : hp://www.memobee.com

Opini

Page 14: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 14/24

14

Opini

No.PokokUrusan

Rincian tugas

1 Perencanaan/Kebakan

1. Penanggungjawab urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.2. Pelaksanaan kebakan pusat dan provinsi, penetapan kebakan daerah, pembinaan dan

pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala

kabupaten/kota.3. Perencanaan tenaga kerja daerah kabupaten/kota, pembinaan perencanaan tenaga kerjamikro pada instansi/ tingkat perusahaan, pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasiketenagakerjaan skala kabupaten/kota.

2 PelatihanProduktivitasTenaga Kerja

1. Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala kabupaten/kota.2. Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota.3. Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah kabupaten/kota.4. Penyelenggaraan perizinan/ pendaaran lembaga pelatihan serta pengesahan kontrak/perjajian

magang dalam negeri.5. Koordinasi pelaksanaan sertikasi kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja skala

kabupaten/kota

3 PenempatanTenaga Kerja

Dalam Negeri

1. Penyebarluasan informasi pasar kerja dan pendaaran pencari kerja (pencaker) dan lowongankerja.

2. Penyusunan, pengolahan dan penganalisisan data pencaker dan data lowongan kerja skalakabupaten/kota.3. Pemberian pelayanan informasi pasar kerja, bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna

tenaga kerja skala kabupaten/kota.4. Fasilitasi penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala

kabupaten/kota.5. Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/

kota.

4 PenempatanTenaga KerjaLuar Negeri

1. Pelaksanaan penyuluhan, pendaaran dan seleksi calon TKI di wilayah kabupaten/kota.2. Pengawasan pelaksanaan rekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota.3. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang

pelaksanaannya di wilayah kabupaten/kota.4. Penerbitan rekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS di wilayah kabupaten/kota.

5 HubunganIndustrial dan Jaminan SosialTenaga Kerja

1. Penerbitan dan pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh danpendaaran perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaanpenyedia jasa pekerja/buruh.

2. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupanperusahaan di wilayah kabupaten/kota.

3. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala kabupaten/kota.

4. Penyusunan dan pengusulan formasi serta melakukan pembinaan mediator, konsiliator, arbiterdi wilayah kabupaten/kota.

5. Bimbingan aplikasi pengupahan di perusahaan skala kabupaten/kota.6. Penyusunan dan pengusulan penetapan upah minimum kabupaten/kota kepada gubernur.7. Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah kabupaten/kota.8. Pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di perusahaan skala kabupaten/kota.9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala

kabupaten/kota.10. Verikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Buruh skala kabupaten/kota.11. Pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala kabupaten/kota dan

melaporkannya kepada provinsi.12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga-

lembaga ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan hasil verikasi.

6 PembinaanKetenagakerjaan

1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.2. Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala

kabupaten/kota.3. Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/

kota.4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap perusahaan dan pengusaha yang

melanggar norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.5. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi,

keselamatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota.6. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan

kesehatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota.

(Cuplikan sejumlah Urusan Pemda Kab/Kota menurut PP No.38/2007)

Tabel 1: Perencanaan hingga Pembinaan Ketenagakerjaan

Page 15: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 15/24

15

 jawab mewujudkannya. Pada tingkat instrumentasikebakan, UU tersebut diterjemahkan lebih operasionallewat PP No.38 Tahun 2007 yang mengatur pembagianurusan Pusat dan Daerah, termasuk dalam hal ketenaga-kerjaan yang dibagi antarlevel pemerintahan (Pusat,Propinsi, dan Kabupaten/Kota).

Khusus yang menjadi domain Pemda Kabupaten/

Kota, irisan sebagian urusan yang dibagi oleh beleidpenting dalam tata desentralisasi tersebut dapatdiringkas dalam tabel berikut.

Melihat deskripsi tugas di atas, secara legal-formalsesungguhnya masalah tenaga kerja dan faktor pengaruhinti bagi penciptaan kesempatan kerja berada padatangan Pemda. Meskipun dalam praktiknya penyediaanlapangan kerja hampir mutlak dilakukan pihak swasta,Pemda memegang peran secara langsung maupun taklangsung bagi terbukanya pasar kerja, produktifnyatenaga kerja, meningkatnya kesejahteraan tenaga kerja,dst. Melalui instrumen kebakan (regulasi, skal) danprogram yang dimilikinya, Pemda berkesempatanmengkapitalisasi segala modal dan sumber dayatersebut bagi misi perbaikan kondisi hidup layakwarganya, termasuk efek-ganda yang berpengaruh atasangkatan kerja yang belum terserap dunia kerja ataupun yang tidak dalam usia produktif.

Namun, alih-alih bekerja dalam logika wajardemikian, tendensi umum di banyak daerah justrumemunculkan tipologi masalah yang menunjukangerak kontras dalam realitas faktualnya. Pada sebagiankasus, Pemda bahkan memerankan diri sebagai faktornegatif bagi pencapaian misi yang diamanat Konstitusidan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada.

Halaman-halaman selanjutnya dalam rubrik ini akan berisi daar masalah yang secara langsung maupun taklangsung mengarahkan hulu sebabnya ke pihak Pemda,di mana sebagian besarnya justru kontradiktif denganatau paling tidak mendistorsi tugas-tugas sebagaimanayang ditampilkan dalam Tabel 1 di atas.

Pertama, pada tataran makro, laju penciptaanlapangan kerja adalah fungsi dari bergerak dantumbuhnya suatu perekonomian. Tidak ada suatulapangan kerja, terutama di sektor formal, yang bisatercipta tanpa ada pertambahan nilai yang dihasilkandari suatu tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebagian ahlimencatat, dalam standar normal, suatu pertumbuhanyang berkualitas diperkirakan akan membawa dampak bagi terbukanya kesempatan kerja baru untuk 200hingga 300 ribu tenaga kerja. Suatu pertumbuhan berkualitas, atau sering juga disebut pertumbuhancum pemeraatan, selain terjadi karena pengaruh faktorkonsumsi masyarakat atau belanja pemerintah tapiterutama pula didorong investasi swasta yang jauhlebih banyak membawa input ke dalam mesin produksi.

Dalam konteks itu, tak banyak pilihan lain bagipemda kecuali mendorong ekonomi berputar, denganinvestasi sebagai titik tumpu. Bukan pemda yang bertugas berinvestasi, apalagi bagi daerah yang belanja

modalnya jauh lebih rendah dari belanja birokrasi,namun pelaku usaha swasta atau BUMN/D. Tugaspemda adalah menjamin iklim berusaha yang kondusif,membuka segala sumbatan, serta menghadirkan

lingkungan yang nyaman bagi semua orang untuk berproduksi secara optimal. Sejauh mana pemdamampu membenah sisi kebakan dan tata kelola bagilayanan dunia usaha akan menentukan daya saingdaerahnya dalam hal menarik investasi (realisasi)maupun mengembangkan usaha yang sudah ada(existing investment). Inilah peran kepemerintahan

yang kian terasa krusial di era perekonomian moderndewasa ini.

 Jika bertolak dari cara pandang di atas,kecenderungan umum yang terjadi adalah Pemdatidak sepenuhnya menyadari dan berkomitmen untukmenata aspek kepemerintahannya bagi penciptaanlingkungan usaha yang kondusif. Studi TKED yangsudah dipublikasi secara luas oleh KPPOD (2011) ataustudi-studi terkait lainnya menunjukan kebermasalahanserius pada ketersediaan dan kualitas berbagaiprasyarat pembentuk lingkungan usaha: dari tatakelola infrastruktur sik hingga kapasitas birokrasi itusendiri dalam membuat regulasi usaha dan mendesainkelembagaan yang efektif bagi pelayanan investasi.Deregulasi dan debirokratisasi belum berjalan baik,sementara program nyata bagi pengembangan usaha belum mengalirkan dampak signikan bagi peningkatanproduktivitas. Tantangan utama berusaha di negeriini masih belum beranjak dari problem inesiensi dankorupsi yang tinggi, menggenapi masalah mendasarlainnya terkait dinamika ekternal regional/global.

Kedua, berkenan masalah ketenagakerjaan,lemahnya komitmen dan kapasitas Pemda dalammenjamin lingkungan berusaha ditandai kontribusiyang rendah dalam merealisaikan berbagai tugas yang

digariskan sebagai domain urusan daerah di atas. Boleh jadi, pemda bahkan tidak menyadari adanya tugas wajibtersebut, setidaknya jika melihat kecenderungan merekayang selalu melempar tangung jawab pemenuhannyakepada pihak swasta, mencari kambing hitam jikaterjadi persoalan, seolah Pemda berdiri sebagai pihak“luar” dalam konstruksi hubungan tenaga kerja danperusahaan atau berlagak sebagai pahlawan yangmencoba menengahi para pihak bertikai sembarimenangguk keuntungan politik dengan mamainkansentimen keberpihakan dan dinamika lapangan yangada.

Mari kita lihat, misalnya, tugas generik pemdasebagai “penanggungjawab urusan pemerin-tahan bidang ketenagakerjaan”. Tanggung jawab yangdiamanatkan PP No.38 Tahun 2007 tersebut membawapemda kepada keterikatan akan kewajiban untukmenjamin terbukanya lapangan kerja lewat kehadiraninvestasi, memadainya produktivitas tenaga kerja untuk bisa memenuhi standar tuntutan pekerjaan terkait, sertameningkatnya kesejahteraan para pekerja. Tentu sajatak realistis untuk membayangkan Pemda mengerjakandan memnuhi sendiri semua kewajiban tersebut, namuntetap saja tanggung jawab akhir berpulang kepadapemda. Di sinilah tantangannya: mengintrodusir

kebakan yang tepat untuk mendorong pelaku usaha bisa berusaha dengan tenang, tenaga kerja mampu bekerja secara produktif, menjamin kesejahteraantenaga kerja baik lewat instrumen upah (peran pelaku

Opini

Page 16: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 16/24

16

usaha) maupun non-upah (peran pelaku usaha danpemda).

Dalam kenyataan, bagaimana perwujudan tugasgenerik tersebut? Peningkatan produktivitas nyarishanya menjadi urusan perusahaan dan pekerja itusendiri. Program pengembangan usaha yang disediakanPemda dalam bentuk pelatihan tenaga kerja tidak

 berjalan optimal dan irrelevan dengan jenis kebutuhandunia kerja. Selain itu, sebagaimana temuan TKED2011, program yang sejatinya lebih dibutuhkan olehskala usaha mikro-kecil-menengah itu justru “salahsasaran” lantaran banyak dimanfaatkan skala usaha besar. Banyak pula pemda yang justru tidak memilikiprogram peningkatan produktivitas yang jelas, tidakmemiliki kelembagaan Balai Latihan Kerja (BLK), tidakmemiliki aloksi dana khusus bagi diklat persiapan bagimasyarakat agar siap memasuki pasar kerja.

Lebih celaka lagi, alih-alih memfasilitasi programpengembangan usaha bagi peningkatan produktivitaswarga agar siap memasuki pasar kerja atau memperkuatkapasitas dan daya saingnya, sebagian Pemda justrumenjadikan program yang dilakukan Swasata sebagailahan pungutan. Di Kota Pekan-baru, misalnya, lewatPerda No.4 Tahun 2002 mengenakan pungutan yangwajib dibayar pelaku usaha sebagai dana peningkatankualitas tenaga kerja sebesar Rp 500.000 per orangsetiap kali perusahaan melakukan kontrak pengadaantenaga kerja. Hal ini disinsentif bagi perusahaan,sekaligus potensial menimbulkan pungutan tambahan jika perusahaan tersebut sudah menyeleng-garakansendiri program terkait. Studi KPPOD 2013 jugamenemukan cukup banyak daerah yang memiliki Perda

yang mengatur tentang pelatihan bagi tenaga kerja.Namun, kebanyakan regulasi tersebut menitikberatkanpada besaran pungutan yang dibayarkan pengusahauntuk memperoleh izin penyelenggaraan pelatihan,pengesahan sertikasi latihan keterampilan, atauuji keterampilan kejuruan. Dalam Perda KabupatenMojokerto No. 4 Tahun 2009, misalnya, diatur bahwapelatihan kerja akan dilaksanakan Dewan Latihan KerjaDaerah (DLKD) yang terdiri dari unsur pemerintah,pengusaha dan pekerja. Namun, ternyata biayapenyelenggaraan latihan ini dibebankan kepada pihakperusahaan--suatu wujud pengalihan tanggung jawabPemda terhadap pihak pelaku usaha, bahkan tak sejalandengan semangat hubungan industrial yang baik.

Ketiga, kasus yang banyak memantik polemik dansering disertai unjuk rasa buruh adalah prihal upah,utamanya upah minimum. Di negeri ini, sebagiamanpula di sebagian negara lainnya, upah bukan hasilmekanisme pasar tetapi ditetapkan Pemerintah.Konsepnya, penetapan suatu tingkatan upah didasarkankepada sejumlah fungsi, antara lain, untuk menjaminkehidupan ayak bagi pekerja dan keluarganya,mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang,dan menjadi instrumen insentif untuk mendorongpeningkatan produktivitas pekerja. Di sini, jelas

telihat segitiga hubungan antara upah, produktivitas,kesejahteraan. Namun, dalam praktikya variabelproduktivitas “dimakan” oleh dominasi pertimbangankesejahteraan sebagaimana tercermin dalam indikator

kebutuhan hidup layak (KHL), termasuk gunamerespon pengaruh yang disebabkan kenaikan harga barang di pasar (Bappenas, 2010: 61).

Tentu saja tidak seorang pun pengusaha yangtidak bahagia jika upah minimum bisa menjadi faktormeningkatkan taraf hidup pekerja sesuai dengankebutuhannya. Buruh yang sejahtera niscaya menjadi

rahmat bagi semua anak bangsa, tak kecuali pelakuusaha. Namun, dari sudut peran Pemda, prosespenetapan upah itu tk mencerminkan keseimbanganperan Negara dalam meletakan secara tepat kebakanpenetapan dmaksud. Selain kritik atas substansi danpehitungan upah (diulas pada rubrik lain dalamKPPODBrief ini), masalah yang tidak kalah pentingadalah soal kerangka waktu penetapan upah yangharus dilakukan setiap tahun, cara yang ditempuhpekerja yang tak jarang anarkis dalam mendesakantuntutan mereka, serta sikap Kepala Daerah yang amatpolitis dalam menetapkan upah yang tak jarang berbedadari rekomendasi dari Dewan Pengupahan Daerah. Jika merujuk tugas yang digariskan PP No.38 Tahun207 di atas, jelas Pemda belum sepenuhnya menaatitugas melaksanakan isi kebakan pusat dalam prosespenetapan kebakan di daerahnya, termasuk kebakanpenetapan upah dengan merujuk Keppres No.107Tahun 2004.

Keempat, dalam hal peningkatan kesejahteraan,selain problem seputar penetapan upah tadi, soal yang takkalah seriusnya datang dari pemenuhan instrumen non-upah. Jika upah sepenuhnya berada dalam tanggunganpelaku usaha, pemda memiliki kewajiban hukum untukmeningkatkan kesejahteraan pekerja melalui instrumen

non-upah. Untuk menjalankan tanggung jawab tesebut,Pemda memliki instrumen regulasi dan skal, atau pundiskresi mengembangkan program kreatif melalui kerjasama dengan pihak ketiga lainnya. Kategori non-upahini menurut PP No.38 Tahun 2007 maupun UU No.13Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah berupakepesertaan jaminan sosial tenaga kerja, yang mestidibaca sebagai bentuk minimal yang wajib diperhatikanPemda.

Faktanya, jaminan sosial itu kembali dibebankankepada para pelaku usaha, sementara Pemda sudahmerasa sukses menenuai kewajibannya jika sudahmembuat Perda sebagai payung hukum. Bahkan,seperti diulas pada rubrik lain, studi KPPOD mengenaiinstrumen non-upah menunjukan hanya sedikit Pemdayang bisa disebut sebagai contoh baik dalam penyediaankerangka regulasi. Bahkan, alih-alih mengatur jaminansosial, keberadan regulasi tersebut hanya menjadiinstrumen pungutan. Melalui Perda No.13 Tahun 2003dan SK Bupati No.04-05 Tahun 2004, Pemda KabupatenSerang mengatur ausransi kecelakaan di luar jam kerja/hubungan kerja. Selain kritik atas defenisi jam kerjadan katgeori hubungan kerja (bandingkan dengan UUNo.13 Tahun 2013), paket regulasi tersebut mengatursebagian premi asuransi (sebesar 25%) sebagai sumber

pendapatan asli (PAD) bagi Pemda bersangkutan.Kelima, terkait penempatan tenaga kerja dalam

negeri yang berimplikasi diskriminasi terhadap para“pendatang”. Proteksionisme tenaga kerja lokal dan

Opini

Page 17: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 17/24

17

Opini

penetapan kuota pemakaian tenaga kerja dari luardaerah yang boleh bekerja di perusahaan setempatsepintas mencerminkan rasa tanggung jawab Pemdadalam memberikan perlindungan atas tenaga kerja dan jaminan pekerjaan yang diutamakan bagi warganya.Kita bisa pula membaca arah kebakan demikian sebagaiwujud upaya menanggulangi eksternalitas negatif

dari permasalahan ketenagakerjaan yang bukan tidakmungkin rentan/beresiko secara sosial-politik lantarantidak digunakannya penduduk setempat dalam formasikaryawan di kantor atau pabrik—suatu fenomena yangsering pula terjadi di banyak lokasi.

Namun, sebagaimana terlihat dalam kasus yangdominan terjadi di kabupaten/kota di Propinsi Riaumaupun secara sporadis di belahan wilayah lainnya,proteksionisme tersebut justru mengarah kepadadiskriminasi lantaran porsi pelrindungan berlebihantersebut telah menghambat hak dasar rakyat untuk bergerak menacari sumber penghidupan di mana pundi seantero negeri ini. Asas terbuka dalam pasar kerja

dalam kerangka kesatuan wilayah ekonomi nasional,di mana ada jaminan kesamaan kesempatan danperlakuaan jelas dicederai jika sejak proses seleksi danpromosi sudah dikenakan batasan putera daerah dansegala kategori subyektif lainnya tanpa mengindahkansyarat komptensi yang tentu menjadi standar kerja(produktivitas, dll) pada sisi kepentingan pelaku usaha.

Kelima, terkait penempatan tenaga kerja luar negeriyang diamanatkan sebagai irisan tugas daerah, jelasterlihat rendahnya perhatian Pemda setempat. Boleh jadimereka menempatkan tugas tersebut sebagai urusannasional lantaran terkait dengan dimensi internasional.

Padahal PP No.38 Tahun 2007 menggariskan sebagiantugas terkait ke Kabupaten/Kota: (1) pelaksanaanpenyuluhan, pendaaran dan seleksi calon TKI diwilayah kabupaten/kota; pengawasan pelaksanaanrekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota; (3)fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateraldan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannyadi wilayah kabupaten/kota; serta (4) penerbitanrekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS diwilayah kabupaten/kota.

Kita mencatat, proses penempatan tenaga kerja itusendiri tidak semata soal ujungnya prihal penempatandi luar negeri atau ketika sesorang itu menjadi buruhmigran tetapi melwati rangkaian panjanag di dalamnegeri. Bahkan, sebagaimana ditulis dalam CatatanKebakan SMERU (2012), BNP2TKI menilai bahwasekitar 80% masalah yang dialami TKI itu terjadi di dalamnegeri. Masalah pendataan calon TKI hingga penipuanoleh perusahaan jasa penyalur jelas bermula dan banyakterjadi desa-desa. Demikian pula, masalah penyiapankapasitas jelas berada dalam tanggung jawab pembinaanPemda, setidaknya memantau proses persiapan yangdiselenggarakan pihak penyalur. Sebaliknya, pada sisilain, pemda jelas berkepentingan terhadap tanaga kerjaluar negeri ini lantaran devisa yang dikirim ke daerah

asal mereka jelas besar: di Kabupaten Blitar saat inirasio remitansinya terhadap PDRB adalah 6,3% bahkanmencapai 24,3% di Kabupaten Lombok Barat (Bachtiar,2001).

Maslaah maupun potensi di atas belumsepenuhnya menyadarkan Pemda untuk mengambillangkah kebakan yang signikan bagi penataanadministrasi, persiapan/pelatihan keahlian hinggaperlindungan atas berbagai praktik curang perusahaan jasa penyalur. SMERU mencatat, dari penilaian atas 127Perda di 155 Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan

ketenagakerjaan luar negeri, sebanyak 121 Perda (95%) justru menitikbertakan pengaturan pada sisi pungutan(retribusi): sejak pendaaran sebagai calon TKI danpengurusan rekomendasi bagi keprleuan pembatanpaspor. Semua ini bertentangan dengan Pasal 38 ayat(1) UU No.13 Tahun 2003 maupun wujud pengabaianatas mandat PP No.38 Tahun 207. Pada sisi lain--meskihanya ditemukan pada 6 Perda (5%)-- apresiasi jelaspatut diberikan kepada 3 kabupaten (Jember, LombokTimur dan Cianjur) yang tidak mengatur pungutantetapi berfokus kepada pengaturan perlindungan danprosedur penempatan.

Catatan Akhir

Tulisan ini memang hadir dalam semangatuntuk menyadarkan pemda dari politik pembiaranmereka atas pemenuhan tugas wajibnya dalam urusanketenagakerjaan. Negara mesti berimbang menjagadinamika pengurusan bidang strategis tersebut lantarantak kalah banyak pula urusan yang sesungguhnyamenjadi domain pemerintah/Pemda. Mengawasipelaku usaha dalam memenuhi kewajibannya adalahtugas wajib Pemda, seperti halnya wajib bagi merekauntuk memberi jaminan dan pelrindungan maksinal bagi buruh. Namun, kencang bersuara dan tegas

menjatuhkan sanksi kepada pihak lain harus diimbangidengan komitmen dan kemampuan mereka dalammemenuhi irisan urusan yang menjadi bagian tugasnya.

Kita menyadari bahwa negara memilikiketerbatasan, termasuk dalam soal kapasitas skal,untuk menjalankan segala amanat yang ada. Justrudalam situasi terbatas demikian mestinya muncultantangan untuk kreatif dalam mencari terobosankebakan, termasuk menggandeng pihak ketiga, bahkandalam konteks hubungan industrial menjalin kolaborasidengan pengusaha dan pekerja, melakukan upayasinerjis bersama. Selaksa upaya inovatif mesti dajakiketika Negara sendiri tidak mampu atau pun tak cukupahli menjalankan sendiri pemenuhan kewajibannya.

Semua itu hanya akan bisa dimulai jika pemdaterlebih dahulu menyadari kewajiban mereka,memahami mandat yang digariskan berbagai peraturanperundang-undangan, tidak mamainkan poilitikpembiaran sebagaimana yang ada selama ini. Semua itu juga bisa terwujud jika pemda membebaskan diri daricara kerja rejim pungutan yang alih-alih memberikanperlindungan kepada pekerja dan mendorong iklimusaha yang kondusif agar perusahaan bekerja produktif justru mengenakan pungutan atas segala sesuatu yang berhubungan dengan pemda, bahkan termasuk atas

tugas yang menjadi kewajiban Negara itu sendiri.Berbagai peta masalah di atas menjadi petunjuk jalan kemana arah pencarian solusi ke depan.

--o0o--

Page 18: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 18/24

18

“Instrumen Non-Upah sebagai Jalan Lain Peningkatan Kesejahteraan Buruh:Potret Lemahnya Komitmen Kebakan Pemda”

Oleh: Rizqiah DarmawiasihPeneliti KPPOD

Temuan dari studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukanPemerintah daerah kurang peduli terhadap upaya peningkatan kesejahteraan buruh hal iniditunjukan dengan banyaknya Perda yang mengatur retribusi dan perizinan, mengatur mengenaiberbagai pungutan atas pelayanan dan perinan di bidang ketenagakerjaan daerah namun,

kebanyakan tidak ada kejelasan standar prosedur, biaya dan waktu pelayanan. Hal ini menarik untukdidiskusikan dalam suatu forum publik. Berangkat dari hasil temuan tersebut KPPOD Menyelenggarakandiskusi publik dengan tema “Instrumen Non-Upah sebagai jalan lain peningkatan Kesejahteraan Buruh:Potret Lemahnya Komitmen Kebakan Pemda”. Acara yang dilaksanakan pada Hari senin, 18 Maret 2013bertempat di ruang ATC Apindo ini dihadiri oleh 41 peserta yang berasal dari berbagai kalangan, baikPemerintah pusat (BAPPENAS, Kemenakertrans, Kemenperindag), Pelaku Usaha (Apindo), Lembagadonor (SEADI-USAID), serta Media Massa.

Diskusi Publik yang berlangsung selama 2 jamini di awali dengan pemaparan hasil studi KPPODmengenai Instrumen Non-Upah sebagai jalan lainpeningkatan kesejahteraan buruh: Potret lemahnyakomitmen kebakan Perda. Hasil studi KPPOD dipresentasikan oleh Illinia Ayudhia Riyadi yang mewakilitim peneliti KPPOD. Kemudian, DR. H. HasanuddinRachman MIM menyampaikan presentasi berjudul“Sinkronisasi Kebakan Daerah Terkait Upah dan Non-Upah Instrumen Kesejahteraan Pekerja Improvement”.Kemudian dilanjutkan dengan presentasi oleh Ir.

Dinarsitus, MBA yang menjelaskan tentang topik yangsama namun berdasarkan titik pandang pemerintah.Setelah mendengar presentasi dari tiga pembicara,agenda dilanjutkan dengan diskusi terbuka yangmelibatkan penonton.

Berdasarkan hasil identikasi tim KPPODterhadap beberapa perda ketenagakerjaan, diketahui bahwa kebakan/regulasi terkait ketenagakerjaan yangada di daerah umumnya hanya mengatur pelayananadministrasi perizinan dan masih bersifat pungutan.Daerah umumnya tidak mengatur detail mekanismepemberian upah maupun komponen non upah yangharus diberikan oleh perusahaan, karena hal tersebutlangsung mengacu pada ketentuan pusat. Peraturanketenagakerjaan yang dibuat daerah lebih mengaturperizinan dan kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap

perusahaan.Hasil identikasi terhadap beberapa perda juga

menunjukkan bahwa sejauh ini, perda ketenagakerjaanyang dibuat daerah belum mengatur secara tegas polakemitraan antara pemda, perusahaan, dan tenaga

Laporan Diskusi Publik 

Dokumentasi KPPOD

Page 19: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 19/24

19

kerja/serikat pekerja. Masih maraknya aksi buruh di beberapa daerah menunjukkan pola kemitraan antaraPemda, perusahaan dan tenaga kerja yang diwadahidalam hubungan tripartite masih belum berjalan secaraoptimal dan belum mampu meminimalisir konikketenagakerjaan yang terjadi tersebut. Salah satu peranPemda sebagai regulator mampu membuat kebakandaerah yang dapat menjadi acuan dan landasan hukum

kuat untuk menghasilkan solusi tepat ketika ada konikyang terjadi antara pihak perusahaan dengan tenagakerja.

Hal ini didukung dengan pernyataan dari DR.H. Hasanuddin Rachman MIM yang merupakanperwakilan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia, beliaumenyampaikan bahwa tercapainya fungsi kerjasamatripartit yang sehat dalam kaitannya dengan standar-standar perburuhan didasarkan pada keyakinan bahwahal tersebut didukung oleh dialog yang bersifat analogpada tingkat nasional dan memuat suatu ketentuandengan tujuan spesik, yaitu membentuk lembaga-lembaga guna memastikan dilakukannya konsultasi

antara wakil-wakil pemerintah, pengusaha dan pekerja.LKS Tripartit itu sendiri adalah lembaga konsultasi dankomunikasi antara wakil-wakil pemerintah, pengusahadan pekerja untuk memecahkan masalah-masalah bersama dalam bidang ketenagakerjaan, lembaga inididirikan di tingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten atauKotamadya.

Bapak Yudi perwakilan dari Federasi Serikat PekerjaMetal Indonesia mempertanyakan apakah kenaikanupah buruh formal sangat berpengaruh dengan buruhinformal , hal ini dawab oleh Illinia sebagai perwakilan

dari tim peneliti KPPOD bahwa Pemerintah harusmenciptakan iklim agar pertumbuhan ekonomi dapatdinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terutamaoleh penduduk miskin. Oleh karena itu, kebakan dan

program yang memihak orang miskin perlu difokuskankepada sektor ekonomi riil (misalnya; pertanian,perikanan, manufaktur, usaha kecil menengah),terutama di sektor informal yang menjadi tulangpunggung orang miskin. Penciptaan iklim investasiyang kondusif juga penting sebagai insentif untukmenarik aliran modal ke suatu daerah dalam rangkapenciptaan lapangan kerja yang diharapakan mampu

menyerap tenaga kerja baru dalam jumlah besar. Hal inimerupakan sebuah langkah penting untuk mengurangiangka pengangguran secara signikan di suatu daerah.

Menurut Illinia perlu adanya pemberlakuankebakan pengupahan berdasarkan mekanisme protsharing (bagi hasil) keuntungan antara pengusahadengan pekerja. Untuk merealisasikan hal tersebut,pemerintah daerah harus berperan aktif untukmendorong adanya transparansi keuangan dari pihakpelaku usaha. Adanya transparansi dalam hal pelaporankondisi nansial perusahaan akan memudahkan proses bagi hasil yang terjadi pihak pelaku usaha dan pekerja.Besarnya prosentase bagi hasil dapat ditentukan

 berdasarkan hasil kesepakatan antara kedua belahpihak dengan melibatkan Pemda sebagai mediator.Hal ini juga diperjelas oleh Ditjen PHI dan Jamsos

yang sangat mengapresiasi hasil Penelitian Tim PenelitiKPPOD mengenai sinkronisasi Kebakan DaerahTerkait Instrumen Upah dan Non- Upah dalam rangkaPeningkatan Kesejahteraan Buruh. Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 telah diatur bahwa kebakanpengupahan yang melindungi pekerja/buruh meliputi:Upah Minimun, Upah kerja lembur, Upah tidak masukkerja Karena berhalangan, upah tidak masuk kerjaKarena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya,upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan

upah, hal-hal yang diperhitungkan dengan upah danlain sebagainya. Guna pelaksanaan penetapan upahminimum telah diatur melalui Peraturan Menteri TenagaKerja No. 01 Tahun 1999 Jo Keputusan Menteri No. 226Tahun 2000 tentang Upah Minimum dan PeraturanMenteri No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen danPelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan HidupLayak. Filoso  penetapan Upah Minimum adalahsebagai jaring pengaman (Safety Net) agar upahtidak merosot sampai pada level terendah yang dapatmempengaruhi produktitas pekerja/buruh. Setelah berlakunya Otonomi Daerah penetapan Upah Minimummenjadi kewenangan Gubernur.

Berlakunya Kepres No. 107 Tahun 2004 tentangDewan Pengupahan sangat strategis untuk dimanfaatkandaerah-daerah sebagai salah satu instrumenpenyusunan kebakan pengupahan, mengingat bahwatugas dewan pengupahan yang diatur Kepres tersebutadalah dalam rangka memberikan saran pertimbangankepada Gubernur dalam rangka: penetapan UpahMinimum/Upah Minimum Sektoral, penerapan sistempengupahan Provinsi atau Kabupaten/Kota danPenyiapan bahan perumusan pengembangan systemPengupahan Nasional. Selain pemberlakuan KepresNo. 107 Tahun 2004 tersebut, bahwa insrumen lainyang dapat dimanfaatkan dalam rangka peningkatankesejahteraan perkerja/buruh adalah melalui Peraturan

Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama sebagai saranauntuk merundingkan dan menyepakati pengaturanpengupahan yang berlaku di perusahaan.

--o0o--

Laporan Diskusi Publik 

Page 20: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 20/24

20

Kegiatan KPPOD Terkini

Agenda KPPOD

1. Penguatan Kapasitas dan Ekspose Publik KPPODdalam Meningkatkan Advokasi Perbaikan TataKelola Ekonomi di Indonesia

Program ini merupkan kerjasama KPPOD denganSEADI (Support for Economic Analysis Development inIndonesia)-USAID. Kegiatan berlangsung dari bulan

 Juni 2012 hingga Juni 2013 ini terdiri dari beberapakegiatan utama, yakni Penelitian Tematik dari untukmemperdalam temuan hasil penelitian TKED, penguatankapasitas pemerintah daerah melalui pelatihanpenyusunan perda, forum bisnis, serta publikasi.

Studi Tematik: Empat topik studi tematikmerupakan pendalaman dari studi Tata Kelola EkonomiDaerah yang telah dilakukan KPPOD sebelumnya.Hingga saat ini, ada tiga topik yang telah selesaidikerjakan oleh KPPOD. Topik pertama terkait denganhubungan antara korupsi, belanja pemerintah daerah disektor infrastruktur dan kualitas infrastruktur daerah.

Topik kedua terkait peraturan daerah khusunya disektor perikanan tangkap. Topik ketiga (dalam prosesnalisasi) terkait dengan isu buruh.

Lokalatih untuk Peningkatan Kapasitas Pemdadalam Pembuatan Peraturan Daerah: Kegiatan ini telahdilaksanakan pada 29-31 Desember 2013 di Hotel GrandCemara, Jakarta Pusat. Lokalatih tersebut mengangkattema ‘Penguatan Kapasitas Pemda dan DPRD dalamPembuatan Perda’ dalam pelatihan tersebut dihadirioleh beberapa perwakilan Pemerintah daerah, yaitudari Bangka, Pontianak, Majene, Sukabumi, Kolaka,

Tanggerang selatan, Lampung Selatan, PadangPariaman, Batang, Banjar dan Jambi.

Bisnis Forum: Kegiatan ini direncanakandilaksanakan pada akhir bulan Juni 2013. Bisnis forummerupakan kegiatan yang mempertemukan antara

 beberapa Pemda dengan investor potensial. Pemerintahdiberi kesempatan untuk mempresentasikan potensiinvestasi daerahnya dihadapan forum bisnis.

2. Penguatan Iklim Investasi bagi PeningkatanRantai Nilai Usaha Kakao

Program ini mencoba mengangkat komoditas kakaodengan alasan kakao sebagai komoditas utama eksporIndonesia sekaligus komoditas yang menjadi program

pemerintah pusat (Kementerian Pertanian) melaluiGernas Pro Kakao. Program dilaksanakan di dua daerah,Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur danKabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat.

Pada bulan November 2012, telah dilakukan kick o   meeting  dan penelitian awal (need assessment) di duadaerah tersebut. Selanjutnya, pada tanggal 5 Februari

2013 telah diadakan Focus Group Discussion (FGD) diSikka dan tanggal 14 februari 2013 di Majene, yangdihadiri oleh perwakilan petani, Dinas kehutanandan perkebunan, pengepul besar, Lembaga SwadayaMasyarakat (LSM), Akademisi, Perusahaan Agro food,dan Unit Pengolahan Hasil dan seluruh stakeholder terkait.

3. Survei Pembobotan Prosedur (Area, Bidang, danIndikator) pembentuk Indeks Good Governence Provinsi di Indonesia 2013.

Program ini merupakan kerjasama KPPOD denganKemitraan. Tujuan kegiatan ini adalah merumuskanpembobotan prosedur pembentuk Indeks Good

Governence   Provinsi di Indonesia. Dalam programini KPPOD melakukan wawancara kepada pihakpemerintah pusat,, Ombudsman, Komisi PemberantasanKorupsi (KPK), Akademisi, juga Pemerintah daerah-yang diwakilkan oleh Badan Perencanaan PembangunanDaerah (Bappeda) Jawa Barat, Bappeda Banten,Lembaga Swadaya Masyarakat, juga media massa danpelaku usaha.

4. Penyusunan Instrumen needs assessment  gunamendorong penerapan prinsip integritas dalampenyelenggaraan proses barang/jasa.

Kegiatan ini ditujukan untuk merumuskanprinsip-prinsip integritas yang sesuai dengan kondisidi Indonesia dan mengembangkan model insentifapa yang dapat mendorong pelaku usaha untukmenginternalisasi prinsip-prinsi integritas tersebutdalam penyelenggaraan, pengadaan barang/jasa.Pelaksanaan needs assessment  ini dilakukan melaluiFGD di 5 Propinsi yaitu DIY, Jawa Barat, Jawa Timur,Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.

***

Dengan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi

 publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelolaekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah. Saat ini, KPPODbekerjasama dengan lembaga beberapa donor sedang melaksanakan beberapa kegiatan sebagai berikut

Page 21: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 21/24

21

Ikhtisar Otonomi Maret-April 2013

Sanksi Penundaan DAU untuk Daerah

Pemerintah pusat menyampaikan keputusan untukmenunda pencairan dana alokasi umum (DAU) kepada 17kab/kota yang terlambat mengesahkan APBD 2013. Namun,menurut Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng,sanksi berupa penundaan DAU itu terlalu berat bagidaerah. Pasalnya, DAU merupakan instrumen yang sangatpenting bagi pembangunan. Artinya, yang merasakandampak sanksi adalah masyarakat. Padahal, elite birokrasidan DPRD adalah penyebab utamanya. Seharusnya sanksilebih spesik kepada pihak yang bertanggung jawab atasketerlambatan. Misalnya dengan penundaan gaji atau

 bahkan sampai pemotongan gaji pejabat pemda dan DPRD.Mencermati daerah yang terkena sanksi baik tahun

ini maupun tahun sebelumnya adalah daerah tertinggal.Artinya, daerah tersebut membutuhkan fasilitas danpengawasan yang lebih intensif dari pemerintah provinsidan pemerintah pusat. Penyebab keterlambatan bisadisebabkan kombinasi rendahnya kompetensi birokrasidaerah, tarik-ulur kepentingan politik antara eksekutif danlegislatif, serta keterlibatan DPRD membahas APBD sampaisatuan tiga. Satuan tiga artinya, sampai jenis kegiatan,

 besarnya anggaran, dan lokasi program. Padahal DPRDseharusnya cukup membahas soal pokok-pokok umumdan program saja. Rendahnya kompetensi birokrasi, antaralain tampak dari kenyataan bahwa biro hukum dan badan

keuangaan daerah tidak semuanya diisi oleh personil yangmemiliki kompetensi di bidang pengelolaan keuanganpublik secara utuh.

Pilkada secara serentakPanitia Kerja RUU Pemilihan Kepala Daerah Komisi II

DPR dan Pemerintah sepakat pilkada dilaksanakan serentak.Waktu pelaksanaan pilkada serentak, paling tidak terdapatdua usulan, yakni pertama dengan pola pengelompokandan kedua dengan penyelenggaraan bersamaan denganpemilu presiden.

Dengan pola pengelompokan, pilkada akan dibagi

menjadi dua waktu pelaksanaan, tahun 2015 dan 2018.Pilkada serentak 2015 diusulkan diikuti 279 daerah, yaknidaerah yang seharusnya melaksanakan pilkada pada 2013-2015. Adapun pilkada serentak 2018 diikuti 244 daerah yangseharusnya menyelenggarakan pilkada pada 2016-2018.Selanjutnya pilkada dilakukan setiap lima tahun setelah2015 dan lima tahun setelah 2018 dan seterusnya. Pilihankedua, pilkada serentak dimulai 2019. Penyelenggaraanpilkada dilakukan bersamaan dengan pemilu presidensehingga disebut pemilu eksekutif yang dilaksanakansetelah pemilu legislatif.

Dinasti politik/ kekerabatan politikSirkulasi elite dalam konteks pergantian

kepemimpinan politik adalah salah satu syarat bagiterwujudnya iklim demokrasi yang sehat. Fenomenadinasti politik dinilai berpotensi menghambat jalannya

sirkulasi politik terbuka dan partisipatif. Hal ini khususnya

terekam dalam pilkada langsung. Petahana kepala daerahcenderung berupaya mempertahankan kekuasaan denganmelimpahkan dukungan kepada kerabatnya dalam pilkada.Data hasil kontestasi politik di tingkat lokal mencatat, tidaksedikit kerabat petahana sukses memenanginya. Gejala inidinilai publik cukup mengkhawatirkan karena memicupraktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Untuk mencegah dinasti politik tersebut, pemerintahtelah mewacanakan dalam RUU Pemda yang menyebutkan,kerabat kepala daerah dilarang maju dalam pilkada sebelumada jeda satu periode jabatan (5 tahun) sejak kerabatnyayang menjadi kepala daerah lengser. Usulan pembatasanini disambut baik oleh masyarakat, bahkan sepakat jika

pembatasan diperluas dalam satu wilayah provinsi.Artinya, selain dilarang maju dalam pilkada di daerah yangdipimpin kerabatnya yang akan lengser, kerabat kepaladaerah sekaligus dilarang maju dalam pilkada daerah laindi provinsi yang sama.

Fenomena ini menunjukkan bahwa fungsi partaipolitik masih lemah, termasuk dalam hal rekrutmen politik.Demokrasi elektoral menjadikan partai politik hanya

 berorientasi memenangkan calon dalam pilkada. Akibatnya,pilkada tak ubahnya ajang pertarungan popularitas semata,

 bukan pertarungan integritas dan kapabilitas calon.

Kesejahteraan buruhPemerintah daerah (pemda) kurang peduli terhadappeningkatan kesejahteraan buruh melalui instrumennon-upah. Kebanyakan peraturan daerah (perda) masihterjebak pada rezim pungutan, baik yang mengaturretribusi maupun perizinan terkait ketenagakerjaan yang

 justru membebani pengusaha. Perda tersebut cenderungmengalihkan tanggung jawab dalam peningkatan kualitasdan produktivitas buruh. Seperti halnya perda di beberapadaerah lebih banyak mengatur pungutan untuk pendirian

 balai latihan kerja dan kewajiban perusahaan melakukanpelatihan tenaga kerja. Komitmen pemda dalampeningkatan produktivitas buruh juga sangat rendah.

Rendahnya alokasi anggaran pemda untuk kegiatanpelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerjamerupakan salah satu bukti. Peningkatan kesejahteraan

 buruh tak semata menjadi tanggung jawab pengusaha.Negara dalam hal ini pemda, punya tanggung jawab ataskesejahteraan buruh.

Sebagai contoh, Prov. Yogyakarta dan Kab. Karawangyang memiliki perda pengaturan upah tenaga kerja,seperti di DIY yang mengatur perlindungan pengupahanserta kewajiban penyusunan struktur dan skala upah bagiperusahaan. Bila pemda lain mencontoh perda tersebut dan

 juga perda yang mengatur hubungan industrial dengan

 baik, maka dipastikan iklim investasi di daerah akan bertumbuh. Karena dengan meningkatnya kesejahteraan buruh maka rakyat miskin akan berkurang.

--- o0o ---

Seputar Otonomi

Page 22: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 22/24

22

WILAYAH ISU KPPOD

SEKILAS KPPOD

Sebagai tindak lanjut hasil Seminar Nasional “Menyelamatkan Otonomi Daerah”

yang diselenggarakan KPEN (Komite Pemulihan Ekonomi Nasional), CSIS (Center for

Strategic and International Studies) dan LPEM-FEUI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi

dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) pada tanggal 7 Desember

2000, para penyelenggara secara intensif membahas dan menyepakati pembentukan

suatu lembaga independen pemantauan pelaksanaan otonomi daerah yang di

kemudian hari bernama Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).

Dalam perkembangannya, sejumlah institusi lain ikut bergabung melalui

kesertaan para gur pimpinannya sebagai unsur pendiri: Sekolah Tinggi Manajemen

Prasetiya Mulya, The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, dan Suara Pembaruan. Melihat

latar belakang institusi pendiri tersebut, dapat dikatakan kelahiran KPPOD

merupakan hasil eksperimentasi kerjasama dunia bisnis, akademik, dan media

massa sebagai tiga pilar penting dalam formasi sosial di Indonesia dewasa ini.

Sebagai dasar pemikiran yang menyemangati kerja-kerja profesionalnya,

KPPOD memaknai desentralisasi dan otonomi daerah sebagai kebakan yang

 bertujuan mengubah struktur tata kelola pemerintahan dari sentralisme menjaditerdesentralisasi, sekaligus menggeser pola pembangunan yang didominasi negara

menuju kesempatan yang lebih terbuka bagi masyarakat dan dunia usaha. Maka

pada setiap kebakan pemerintah haruslah tercermin suatu komitmen nyata untuk

mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan daerah.

Mengalir pada pilihan wilayah isu, KPPOD menaruh fokus sentral pemantauannya

pada segala hal terkait kebakan dan pelayanan publik di bidang ekonomi dan

kebakan desentralisasi/otonomi daerah secara umum. Dengan menggunakan

pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik),

KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata

kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah.

--o0o--

1. Reformasi Regulasi Usaha:

2. Reformasi Birokrasi Perijinan:

3. Desentralisasi dan Manajemen Fiskal:

4. Isu-isu Strategis Otda lainnya:

Mendorong deregulasi melalui upaya rasionalisasi jumlah dan atau jenis Perijinan usaha maupun pungutan

(pajak/retribusi) di daerah.

Mendorong debirokratisasi melalui upaya efisiensi business process (pengurusan) perijinan lewat kelembagaan

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah.

Studi dan advokasi kebijakan desentralisasi fiskal yang mendukung kemandirian daerah dan perbaikankualitas tata kelola keuangan di daerah (APBD) yang pro-prtumbuhan ekonomi dan kesejahteraan publik.

Pemekaran daerah, kerja sama antar-daerah, rencana pembangunan daerah, pemilihan kepala daerah, dsb.

PEMBANGUNAN

EKONOMI

 TATA KELOLA

EKONOMI DAERAH

 TATA KELOLA

KEUANGAN DAERAH

Page 23: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 23/24

Terbit 1 kali tiap 2 bulan, dengan jumlah 2000 eksemplar dan didistribusikan ke

Gebernur, Bupati, Walikota seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat, Asosiasi Bisnis,

Kedutaan Besar, NGO, Perguruan Tinggi dll

Biaya iklanl  Full color cover depan dalam satu halaman Rp. 7.500.000,-

l Full color cover belakang luar satu halaman Rp. 5.500.000,-

l Full color cover belakang dalam satu halaman Rp. 4.000.000,-

l One color cover satu halaman isi Rp. 3.500.000,-

l One color cover setengah halaman isi Rp. 2.000.000,-

Tarif Pemasangan Iklan

di KPPODBrief 

Page 24: KPPOD Brief Mar Apr 2013

7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013

http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 24/24

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Regional Autonomy Watch

Permata Kuningan Building 10th Fl.

Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C

Guntur Setiabudi, Jakarta Selatan 12980

Phone : +62 21 8378 0642/53, Fax : +62 21 8378 0643

http://www.kppod.org, http://perda.kppod.org, http://pustaka.kppod.org