korelasi antara kadar il-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

69
BAGIAN PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG PROPOSAL PENELITIAN AKHIR Dipresentasikan: Kamis 10 Mei 2012 Judul : Korelasi antara kadar interleukin-1 serum dengan aktivitas 1

Upload: medishad

Post on 29-Jul-2015

375 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

sub bagian reumatologi

TRANSCRIPT

Page 1: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

BAGIAN PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND

RS. Dr. M. DJAMIL PADANG

PROPOSAL PENELITIAN AKHIR

Dipresentasikan:

Kamis 10 Mei 2012

Judul : Korelasi antara kadar interleukin-1 serum dengan

aktivitas penyakit pada penderita artritis reumatoid

Bidang Studi : Sub bagian Reumatologi

Pembimbing : dr. Najirman SpPD-KR

Pelaksana : Medis had

Lama Penelitian : 6 (enam) bulan

Tempat Penelitian : Rumah Sakit Dr. M Djamil Padang

1

Page 2: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT karena atas rahmat- Nya penulis

dapat menyelesaikan penulisan proposal penelitian akhir dengan judul “Korelasi

antara kadar interleukin-1 serum dengan aktivitas penyakit pada penderita Artritis

Reumatoid.” Proposal penelitian akhir ini merupakan persyaratan dalam

menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis di Bagian Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Unand/ RS dr. M. Djamil Padang

Penulis menyadari bahwa penulisan proposal penelitian akhir ini masih jauh

dari sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca demi kesempurnaan proposal penelitian ini.

Akhirnya izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf

pengajar di Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unand/ RS Dr. M Djamil Padang

khususnya kepada dr. Najirman SpPD-KR yang telah memberikan bimbingan

ataupun arahan dalam menyelesaikan proposal penelitian akhir ini.

Padang, Mei 2012

Penulis

2

Page 3: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………….…………………………….......

DAFTAR ISI………………………………….……………………….…............

DAFTAR GAMBAR……...……………………...………………….….……….

DAFTAR TABEL……………………………………………………..….……...

BAB I PENDAHULUAN…………………….…………………….….….........

1.1 Latar belakang…………………………………………………..........

1.2 Identifikasi masalah……………………………………….....……….

1.3 Tujuan penelitian……………………………………………….........

1.3.1 Umum…………………………………………...…........

1.3.2 Khusus………………………………………..….……….

1.4 Hipotesis penelitian……………………………………….…............

1.5 Manfaat penelitian……………………………………….……..........

1.6 Kerangka pemikiran…………………………………….….………

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN……………………………….…………

2.1 Definisi artritis reumatoid……………………………….…………..

2.2 Etiologi artritis reumatoid…………………………….……..……….

2.3 Patogenesis artritis reumatoid…………………………….………….

2.4 Peran sitokin pada patogenesis artritis reumatoid…….……..……….

Ha

l

i

ii

iv

v

1

1

5

5

5

5

6

6

7

8

8

10

14

3

Page 4: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

2.5 Disease activity scale 28 (DAS 28) pada artritis reumatoid….………

BAB III METODE PENELITIAN………………………………………............

3.1 Desain penelitian………………………………………………..........

3.2 Tempat dan waktu penelitian……………………………..….………

3.3 Pemilihan sampel……………………………………….…..……….

3.4 Kriteria inklusi dan kriteria ekslusi…………………….….….……..

3.5 Cara kerja……………………………………………….……………

3.6 Analisis data statistik………………………………….….…………..

3.7 Klasifikasi variabel dan definisi operasional………….….…………..

3.8 Kerangka penelitian…………………………………….……............

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………..…….………..

16

20

23

23

23

23

24

25

26

27

30

31

4

Page 5: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peran sitokin dalam patogenesis artritis rheumatoid…………………

Gambar 2. Peran sentral IL-1 dalam pathogenesis AR………………………….

Gambar 3: Pemeriksaan VAS……………………………………………….......

Ha

l

16

20

22

5

Page 6: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sitokin-sitokin yang terlibat dalam patologi AR…………………........

Ha

l

17

.

6

Page 7: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta

melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu

penyakit autoimun yang menyebabkan kerusakan struktur yang besar, dengan tingkat

agresifitas penyakit yang berbeda-beda serta memiliki dampak terhadap kualitas

hidup pasien yang terkena(1,2). Penyakit ini menimbulkan kecacatan yang akan

menjadi masalah sosial dan ekonomi pada penderitanya. Artritis reumatoid dalam

waktu yang lama mempunyai prognosis yang buruk, dimana akan menimbulkan

kecacatan (80 %) setelah 20 tahun dan dapat mengurangi angka harapan hidup 3- 18

tahun(3).

Patologi yang mendasari penyakit AR memberikan manifestasi klinis yang

beragam dan mencakup keterlibatan sendi serta berbagai organ diluar persendian.

Inflamasi terlihat pada banyak jaringan dan salah satu yang dominan adalah sinovitis

serta pembentukan pannus sebagai akibat proses inflamasi kronik dan

proliperasi sel(4).

Prevalensi AR didunia diperkirakan sekitar 1-2 % populasi dengan insiden

tertinggi terjadi pada wanita usia 40- 50 tahun dan wanita tiga kali lebih sering

dibanding pria. Prevalensi di Asia dan Afrika lebih rendah dibandingkan dengan di

Amerika atau Eropa. Beberapa penelitian yang dilakukan di Asia dan Amerika,

7

Page 8: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

ditemukan bahwa penderita AR di Cina dan jepang berjumlah sekitar 0,2 %- 0,3 %

sedangkan pada beberapa penduduk asli Amerika ditemukan insiden yang sangat

tinggi yaitu lebih dari 5 %, hal ini menunjukkan bahwa AR merupakan penyakit yang

terkait dengan faktor genetik sehingga manifestasi dan progresifitas penyakit ini

untuk masing-masing etnis didunia berbeda-beda. Sedangkan di Indonesia Prevalensi

AR diperkirakan sekitar 0,2 - 0,3 % untuk yang berumur di atas 15 tahun (1,5,6).

Terjadinya artritis reumatoid berawal dari suatu antigen yang berada pada

membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut antigen akan diproses oleh

antigen presenting cells (APC). Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya

akan dilekatkan pada CD4(+) limfosit T dan selanjutnya akan mengaktivasi sel

limfosit T. Selain sebagai penyaji antigen sel APC juga mengeluarkan sitokon-sitokin

proinflamasi seperti interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosis

factor-α (TNF- α) yang akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan dari sendi(4,7).

Sel limfosit T yang teraktivasi, selain mengeluarkan sitokin-sitokin

proinflamasi juga akan merangsang monosit, makrofag dan sinovial fibroblast untuk

memproduksi sitokin proinflamasi seperti (IL-1), (IL-6) dan (TNF- α) yang juga

akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan sendi(4,7). Pada proses inflamasi aktivitas

sitokin-sitokin proinflamasi tersebut juga akan meningkatkan sintesis protein fase

akut dihati. C-reaktif protein (CRP) merupakan salah satu dari protein fase akut yang

paling sensitif dan dapat digunakan sebagai indikator inflamasi ataupun kerusakan

sendi(8)

8

Page 9: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Hubungan yang saling mempengaruhi dari berbagai sitokin terutama IL-1 dan

TNF- α mempunyai peranan penting dalam proses patofisiologi inflamasi dan

destruksi jaringan pada AR. Sitokin berperan dalam proses tersebut melalui

pengaruhnya pada sel endotel, sinoviosit, kondrosit, osteoklas dan sel-sel lainnya

yang akan menghasilkan berbagai kolagenase, sitokin lain, kemokin ataupun berbagai

prostanoid(9).

Interleukin-1 adalah mediator utama pada inflamasi sinovium, pembentukan

pannus dan merupakan sitokin yang paling penting pada destruksi tulang dan tulang

rawan sendi pada AR, disamping akibat terjadinya kegagalan perbaikan pada tulang

dan tulang rawan sendi tersebut. Goldring (2003) dalam suatu penelitiannya

mengemukakan bahwa IL-1 memegang peranan penting dalam mencetuskan dan

memperberat inflamasi sinovium dan juga berpengaruh secara langsung terhadap sel-

sel tulang dan tulang rawan sehingga dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan

sendi(4). Penelitian Dayer (2003) menyatakan bahwa IL-1 merupakan sitokin

proinflamasi penting yang berkontribusi terhadap manifestasi klinis AR(9). Penelitian

Kay dkk (2004) dan Strand dkk (2004) juga menyatakan bahwa IL-1 merupakan

sitokin yang memegang peranan penting dalam patogenesis AR(10,11). Sitokin ini

menginduksi proliperasi sel-sel sinovium dan meningkatkan produksi matrix

metalloproteinase (MMP) oleh kondrosit dan sel sinovium yang dapat mengakibatkan

degradasi rawan sendi. Sitokin ini juga menghambat repair rawan sendi melalui

penghambatan sintesis protein matriks(9).

9

Page 10: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

MacNaul dkk (1990) dalam suatu penelitiannya menyimpulkan bahwa IL-1

merupakan sitokin yang poten dalam menginduksi pelepasan matriks

metalloproteinase (MMP) dari sinovial fibroblast dan kondrosit (12). Sementara itu

penelitian Shingu dkk (1993) menyatakan bahwa keseimbangan antara MMP dan

tissue inhibitor matriks metalloproteinase (TIMP) merupakan faktor yang penting

dalam terjadinya kerusakan sendi. Pada artritis reumatoid terjadi ketidakseimbangan

antara kedua protein tersebut dimana interleukin-1 menginduksi pembentukan MMP

dan sebaliknya menghambat pembentukan TIMP(13).

Selain itu juga IL-1 merangsang differensiasi osteoklast yang dapat

menyebabkan aktivitas resorpsi tulang meningkat melebihi pembentukan tulang.(14,15)

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa IL-1 merupakan stimulator yang kuat

dalam pembentukan oksida nitrit yang dapat memperberat inflamasi dan kerusakan

sendi pada pasien AR(16,17)

Disease activity scores 28 ( DAS 28) merupakan suatu instrumen pemeriksaan

yang dapat digunakan untuk menilai keaktifan proses inflamasi sendi pada pasien

AR. Adapun penilaian yang dilakukan adalah dengan menggunakan variabel klinis

dan laboratorium. Pemeriksaan DAS 28 mempunyai keakuratan yang tinggi dan dapat

digunakan untuk menilai aktivitas ataupun progresifitas penyakit AR, selain itu juga

beberapa penelitian menunjukkan bahwa keaktifan proses inflamasi pada sendi

ternyata tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan variabel klinis atau

laboratorium saja(18,19).

10

Page 11: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Welsing dkk (2001) dalam suatu penelitiannya mendapatkan hubungan yang

kuat antara aktivitas penyakit dengan kerusakan sendi dan perubahan kapasitas

fungsional pada pasien AR. Welsing dkk (2004) juga mendapatkan hubungan antara

aktivitas penyakit dengan progresifitas penyakit AR yang dinilai secara radiologi(20,21)

Mengingat begitu sentralnya peran IL-1 pada proses terjadinya AR maka

penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan antara kadar IL-1 serum dengan

aktivitas penyakit pada penderita AR yang dinilai dengan menggunakan DAS 28.

1.2 Identifikasi masalah

Apakah terdapat korelasi antara kadar IL-1 serum dengan hs-CRP dan DAS

28 pada penderita AR

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Umum

Mengetahui korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pada

penderita AR.

1.3.2 Khusus

1. Mengetahui kadar IL-1 serum, hs-CRP serum dan nilai DAS 28 pada

penderita AR.

2. Mengetahui korelasi antara kadar IL-1 serum dengan DAS 28 pada

penderita AR.

11

Page 12: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

3. Mengetahui korelasi antara kadar IL-1 serum dengan hs-CRP pada

penderita AR.

1.4 Hipotesis penelitian

Terdapatnya korelasi positif antara kadar IL-1 serum dengan hs-CRP dan

DAS 28 dan pada penderita AR.

1.5 Manfaat penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui korelasi positif antara

kadar IL-1 serum dengan DAS 28 pada penderita AR yang telah mendapat

terapi standar, sehingga dapat digunakan untuk menilai aktivitas penyakit AR

dan untuk menambah pengetahuan yang menjadi dasar untuk penelitian

dimasa yang akan datang.

12

Page 13: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

13

Page 14: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Keterangan Kerangka Pemikiran

Terjadinya artritis reumatoid berawal dari suatu antigen yang berada

pada membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut antigen akan diproses oleh

antigen presenting cells (APC). Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya

akan dilekatkan pada CD4(+) limfosit T dan selanjutnya akan mengaktivasi sel

limfosit T. Selain sebagai penyaji antigen sel APC juga mengeluarkan sitokon-sitokin

proinflamasi seperti interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosis

factor-α (TNF- α) yang akan menyebabkan peningkatan aktivitas osteoklas, sinoviosit

dan kondrosit yang akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan dari sendi.

Sel limfosit T yang teraktivasi, selain mengeluarkan sitokin-sitokin

proinflamasi juga akan merangsang monosit, makrofag dan sinovial fibroblast untuk

memproduksi sitokin proinflamasi seperti (IL-1), (IL-6) dan (TNF- α) yang akan

menyebabkan peningkatan aktivitas osteoklas, sinoviosit dan kondrosit yang juga

akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan sendi.

Selain itu juga sel limfosit T yang teraktivasi akan merangsang proliperasi

serta aktivitas sel limfosit B untuk memproduksi antibodi yang nantinya akan

membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan mengendap pada membran

sinovium, sehingga kondisi ini dapat memperberat inflamasi serta kerusakan sendi.

14

Page 15: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi Artritis Reumatoid

Artritis reumatoid adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan

terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan

persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar penderita

menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan

menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi progresif yang

menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon

sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola

morbiditas penyakit ini, sampai sekarang etiologi AR yang sebenarnya tetap belum

dapat diketahui dengan pasti, akan tetapi diyakini bahwa proses imunologi dan

peradangan yang berkaitan dengan destruksi sendi telah terjadi pada tahap yang

sangat dini dalam perjalanan penyakit AR(7,22,23). Proses peradangan tersebut terutama

menyerang tulang rawan sendi, tulang pada tepi sendi serta tulang subkondral dan

periartikular. Secara umum terjadi tiga bentuk kerusakan tulang pada AR Osteopenia

juxtra articular terjadi pada bagian proksimal dan distal dari sendi yang terkena. Erosi

15

Page 16: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

fokal terjadi pada tulang subkondral dan tepi sendi dan bentuk ketiga adalah

terjadinya osteoporosis sistemik(24).

Diagnosis AR tidak begitu sulit untuk ditegakkan pada kasus-kasus yang

sudah jelas. Akan tetapi pada masa permulaan penyakit,seringkali gejala AR tidak

bermanifestasi dengan jelas sehingga kadang timbul kesulitan dalam menegakkan

diagnosis. Artritis reumatoid dini (ARD) menjadi masalah sangat penting karena jika

diagnosis terlewatkan dan tidak mendapat terapi yang adekuat, maka akan

menyebabkan terjadinya peradangan berkelanjutan dan mengakibatkan terjadinya

kerusakan sendi yang progresif(7,22).

Menurut American College of Rheumatology/European League Against

Rheumatism classification 2010 ( ACR/ EULAR 2010 ) diagnosis AR dapat

ditegakkan pada pasien yang memenuhi minimal 6 dari 10 skor yang didapatkan dari

penjumlahan kategori A-D(25).

A. Keterlibatan sendi (bengkak atau nyeri)

1 sendi besar 0

2 - 10 sendi besar 1

1- 3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar ) 2

4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar ) 3

> 10 sendi ( setidaknya 1 sendi kecil ) 5

B. Pemeriksaan serologi ( setidaknya 1 hasil pemeriksaan )

RF negatif dan ACPA negatif 0

RF positif rendah atau ACPA positif rendah 2

16

Page 17: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

RF positif tinggi atau ACPA positif tinggi 3

C. Reaksi fase akut ( setidaknya 1 hasil pemeriksaan )

Normal CRP dan normal LED 0

Abnormal CRP dan abnormal LED 1

D. Lama keluhan

< 6 minggu 0

> 6 minggu 1

2.2. Etiologi artritis reumatoid

Walaupun faktor genetik, hormon sex, infeksi dan umur serta faktor stres

oksidan dan merokok telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola

morbiditas penyakit AR, sampai sekarang etiologi AR yang sebenarnya tetap belum

dapat diketahui dengan pasti, akan tetapi diyakini bahwa proses imunologi dan

peradangan yang berkaitan dengan destruksi sendi telah terjadi pada tahap yang

sangat dini dalam perjalanan penyakit AR(7,22,23). Beberapa faktor yang diduga sebagai

penyebab AR adalah sebagai berikut:

1. Faktor genetik

Faktor genetik memegang peranan penting pada AR, hal ini terlihat pada

tingginya insidensi AR pada kembar monozigot 12-15% dibandingkan dizigot.

Artritis reumatoid juga diturunkan dari seorang ibu ke anaknya hingga 50-60%

Sampai saat ini masih sulit menentukan gen mana yang menentukan berat ringanya

17

Page 18: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

AR, meskipun diketahui bahwa gen penyebab AR adalah HLA. Dari scan genomik

yang dilaporkan gen penentu terkait dengan AR adalah HLA-DRB1, DR4, DR1

dengan allele yang berbeda-beda pada masing-masing ras. Perbedaan HLA inilah

yang membedakan manifestasi klinik AR berat atau tidak. Pasien yang mengemban

HLA-DR4 memiliki risiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit AR sedangkan pada

kelompok HLA-DRB1 memiliki risiko relatif 7,5- 15,7 : 1 untuk menderita penyakit

AR(5,7,27)

Sementara itu beberapa penelitian pada bangsa tertentu yaitu Yunani dan

Pakistan sebagaimana yang dilaporkan Boki KA (1993) dan Hameed K (1997)

mendapatkan sebaliknya. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa tidak terdapat

hubungan antara HLA-DR4 dengan tingkat keparahan AR pada bangsa yunani dan

juga tidak terdapat hubungan antara HLA-DRB1 dengan tingkat keparahan AR pada

bangsa pakistan(28,29).

Penelitian yang dilakukan oleh Huizinga dkk (2005) menunjukkan bahwa

HLA-DRB1 tidak memiliki kerterkaitan secara umum dalam aktivitas pasien AR,

tetapi hanya berkaitan dengan aktivitas pasien AR yang memiliki antibodi anti

CCP(30).

Penelitian Van der Helm-van Mil dkk (2006) juga menunjukkan bahwa

HLA-DRB1 bukanlah suatu faktor yang secara mandiri menentukan progresifitas

pasien AR, tetapi berhubungan dengan anti-CCP yang positif sehingga dapat

digunakan sebagai marker imunoreaktivitas(31).

2. Faktor umur dan infeksi

18

Page 19: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Umur menjadi faktor risiko terjadinya AR karena pada umur muda kerentanan

individu terhadap infeksi sangat tinggi dan diketahui bahwa infeksi dan timbulnya

autoimunitas terkait erat. Hal ini dibuktikan pada umur muda bila terkena paparan

patogen maka timbul respon imun yang ditimbulkan limfosit yang berlebihan. Infeksi

dan autoimunitas telah diketahui sejak lama prosesnya melalui beberapa mekanisme

berikut ini(5):

1. Infeksi menganggu self tolerance dengan pelepasan self epitope

2. Infeksi dapat secara langsung melepas sitokin dan kemokin yang merupakan

regulator sel-sel inflamasi. Dimana sitokin dapat berperan merangsang

pertumbuhan, differensiasi, dan sebagai faktor kemotaksis terhadap sel T serta

mengatur ekspresi molekul MHC.

3. Infeksi dapat merangsang produksi sitokin Th1

4. Beberapa mikroba proteinnya ditemukan sebagai superantigen yang dapat

secara selektif mengaktivasi sel T

5. Infeksi dapat melepaskan sitokine like interferon

6. Infeksi diduga merangsang proses autoimun melalui proses molekul mimikri

yaitu kesamaan protein antigen dan agen infeksi, sehingga antibodi yang

terbentuk yang seharusnya hanya untuk agen infeksi, bereaksi pula dengan

protein antigen dari tubuh.

Sampai saat ini agen spesifik penyebab AR juga belum diketahui. Beberapa

bakteri yang diduga sebagai penyebab AR berupa superantigen, mikoplasma, herpes

19

Page 20: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

virus, parvo virus, retro virus, beberapa kelompok jamur dan Ebsten bar virus (EBV)

merupakan infeksi yang banyak ditemukan antibodi pada penderita AR(5).

3. Faktor hormonal

Berbagai observasi telah menimbulkan dugaan bahwa hormon seks

merupakan salah satu faktor predisposisi penyakit ini. Prevalensi AR diketahui tiga

kali lebih banyak diderita kaum wanita dibandingkan dari kaum pria. Rasio ini dapat

mencapai 5:1 pada wanita usia subur. Demikian pula remisi seringkali dijumpai pada

pasien AR yang sedang hamil. Walaupun masih banyak kontroversi dalam hal ini,

beberapa observasi telah menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral atau

penggunaan preparat estrogen eksternal bagi wanita yang telah menopause

menyebabkan terjadinya penurunan insiden penyakit ini(5,7).

4. Faktor stres oksidan dan merokok.

Banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi timbulnya AR, selain infeksi,

stres oksidan dan bahan kimia, merokok meningkatkan kepekaan individu terkena

AR. Kelompok perokok dilaporkan manifestasi kliniknya lebih berat, ditandai oleh

pemeriksaan serologi yang memberikan hasil seropositif dan kerusakan sendi erosif.

Pada perokok, sel bronkoalveolarnya mengandung banyak citrulline, sehingga diduga

perokok mempunyai risiko menderita AR meningkat 20 kali dibanding pada populasi

yang tidak merokok(5).

20

Page 21: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Penelitian yang dilakukan oleh Rasker SPL dkk (2006) mendapatkan bahwa

rokok meningkatkan pembentukan anti-CCP antibodi pada pasien AR dengan HLA-

DRB1(32).

2.3. Patogenesis artritis reumatoid

Patogenesis AR dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada

membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut, antigen akan diproses oleh APC

yang terdiri dari berbagai jenis fibroblast like sinovial, sel dendritik atau makrofag.

Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada CD4(+), suatu

subset sel limfosit T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Sel limfosit T yang

teraktivasi akan merespon antigen yang dipresentasikan dengan cara memproduksi

sitokin proinflamasi berproliperasi, sel-sel efektor, merangsang sel endotel dengan

meningkatkan ekspresi adhesi molekul sehingga sel-sel inflamasi bermigrasi ke

jaringan perivaskuler yang akhirnya menimbulkan peradangan dan kerusakan sendi.(5)

Selain sebagai penyaji antigen sel APC yang diperankan oleh makrofag, sel

denritik, fibroblast like sinovial dan sel Limfosit B, sel ini juga mengeluarkan

mediator proinflamasi, aktivasi komplemen, aktivasi faktor koagulasi, mensekresi

enzim proteolitik seperti proteases, lisosim, elastase kolagenase(5).

Sel Limfosit T yang teraktivasi juga merangsang makrofag untuk

meningkatkan aktivitas fagositosis dan merangasang terjadinya proliperasi serta

aktivitas sel limfosit B untuk memproduksi antibodi(33). Takemura dkk (2001)(34)

dalam suatu penelitianya mengemukakan bahwa limfosit T dan limfosit B berperan

21

Page 22: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

penting dalam terjadinya AR dan sel limfosit B juga berperan sebagai APC yang

dapat mengaktivasi sel limfosit T. Edwards dkk (2004)(33), Panayi GS ( 2005 )(35) juga

mengemukakan bahwa sel limfosit B berperan penting dalam patogenesis AR.

Setelah berikatan dengan antigen sesuai,antibodi yang dihasilkan oleh

Limfosit B akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke

dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan

menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan membebaskan komplemen C5a.

Komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan

permeabilitas vascular juga menarik lebih banyak sel PMN yang memfagosit

kompleks imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi sel mast dan

pembebasan radikal oksigen, leukotriene, enzim lisosomal, prostaglandin,

kolagenase, stromelysin yang semuanya bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi

dan kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang(3,33).

Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T ke dalam

membran sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan

elemen yang paling bersifat destruktif pada patogenesis AR. Pannus merupakan

jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang

berproliperasi dan jaringan mikrovaskular. Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen

dan proteoglikan rawan sendi serta tulang sehingga dapat menghancurkan struktur

persendian. Jika proses pembentukan pannus tidak terhenti baik karena pengobatan

atau remisi spontan, proses ini akan menyebabkan terjadinya ankilosis(3,33).

22

Page 23: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab

dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau

komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses

destruksi sendi akan berlangsung terus(7)

2.4. Peran sitokin pada patogenesis artritis reumatoid

Sitokin adalah golongan protein /glikoprotein/polipeptida yang larut yang

diproduksi oleh sel limfosit, makrofag, sel dendrit, fibroblast like sinovial, sel B, sel

T, sel endotel dan sel imunologi yang lain. Sitokin berfungsi sebagai sinyal inter

seluler yang mengatur hampir semua proses biologis antara lain aktivasi,

pertumbuhan, proliperasi, differensiasi sel yang dapat menimbulkan inflamasi(5).

Synovial mediator ataupun sitokin yang dihasilkan akibat adanya aktivasi

berbagai sel imunokompeten mengaktivasi endotel vaskuler, dan sel-sel inflamasi

lainnya yang akhirnya sel-sel tersebut mensekresi sitokin. Berbagai sitokin terlibat

pada kerusakan dan inflamasi sendi pada AR seperti yang terlihat pada gambar dan

tabel dibawah ini.

23

Page 24: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Gambar 1. Peran sitokin dalam patogenesis artritis reumatoid(4)

Tabel 1. Sitokin-sitokin yang terlibat dalam patologi AR(36)

24

Page 25: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

25

Page 26: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Interleukin-1 merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalam

pathogenesis AR. Sitokin ini merupakan stimulator yang kuat sel-sel fibroblast

sinovium, osteoklas dan kondrosit(3,5). Goldring (2003) dalam suatu penelitiannya

mengemukakan bahwa IL-1 memegang peranan penting dalam mencetuskan dan

memperberat inflamasi sinovium dan juga berpengaruh secara langsung terhadap sel-

sel tulang dan tulang rawan sehingga dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan

sendi(4). Penelitian Dayer (2003) menyatakan IL-1 merupakan sitokin proinflamasi

penting yang berkontribusi terhadap manifestasi klinis AR(9). Penelitian Kay dkk

(2004) dan Strand dkk (2004) juga menyatakan bahwa IL-1 merupakan sitokin yang

memegang peranan penting dalam patogenesis AR(11,12).

A.Interleukin 1

Interleukin-1 adalah mediator utama pada inflamasi sinovium dan

pembentukan pannus, dengan cara mengaktifkan monosit-makrofag, limfosit T dan

limfosit B. interleukin-1 juga menginduksi ekspresi molekul adesi, sel sitokin

lainnya, kemokin dan reseptor kemokin, faktor angiogenik dan mediator inflamasi

seperti PGE2 dan oksida nitrit(9). Penelitian Abbot dkk (1992) mendapatkan bahwa IL-

1 memegang peranan penting dalam komunikasi antar sel dan meningkatkan ekspresi

molekul adesi pada jaringan sendi pasien AR sedangkan Sakurai dkk (1995) dan

Vuolteenaho dkk (2003) dalam suatu penelitiannya mendapatkan bahwa IL-1

merupakan stimulator yang kuat dalam pembentukan oksida nitrit pada pasien-pasien

AR(16,17,37).

26

Page 27: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Selain itu juga sitokin ini merupakan sitokin yang penting pada destruksi

tulang dan rawan sendi pada AR, disamping akibat terjadinya kegagalan perbaikan

pada tulang dan rawan sendi tersebut. Interleukin-1 menginduksi proliperasi sel-sel

sinovium dan meningkatakan produksi MMP oleh kondrosit dan sel sinovium

sehingga mengakibatkan degradasi rawan sendi. Sitokin ini juga menghambat repair

rawan sendi melalui penghambatan sintesis protein matriks(4). Terdapat dua

mekanisme utama yang menerangkan bagaimana peran jaringan sinovium terhadap

terjadinya kerusakan rawan sendi. Mekanisme pertama adalah secara tidak langsung

melalui pengaruh sitokin dan mediator lainnya yang dilepaskan sinovium

menyebabkan disregulasi kondrosit. Mekanisme kedua adalah jaringan sinovium AR

mempengaruhi remodeling rawan sendi secara langsung dan dipengaruhi faktor yang

dihasilkan oleh sinovium AR yang mampu menghancurkan matriks rawan sendi(4).

MacNaul dkk (1990) dalam suatu penelitiannya menyimpulkan bahwa IL-1

merupakan sitokin yang poten dalam menginduksi pelepasan matriks

metalloproteinase (MMP) dari sinovial fibroblast dan kondrosit (12). Sementara itu

penelitian Shingu dkk (1993) menyatakan bahwa keseimbangan antara MMP dan

tissue inhibitor matriks metalloproteinase (TIMP) merupakan faktor yang penting

dalam terjadinya kerusakan sendi. Pada artritis reumatoid terjadi ketidakseimbangan

antara kedua protein tersebut dimana interleukin-1 menginduksi pembentukan MMP

dan sebaliknya menghambat pembentukan TIMP(13).

Penelitian Hofbauer dkk (1999) dan Collin osdoby (2001) menyatakan bahwa

IL-1 dapat merangsang osteoklastogenesis dengan cara menginduksi ekspresi

27

Page 28: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

receptor activator of nuclear factor-Ќβ ligand (RANKL)(38,39). Interleukin-1 juga

meregulasi produksi Osteoprotegerin (OPG) suatu natural inhibitor terhadap

RANKL. Osteoprotegerin menghambat differensiasi osteoklast dengan cara

berikatan dengan RANKL, sehingga mencegah RANKL untuk berikatan dengan

RANK. Pada kondisi fisiologis, faktor yang menyebabkan differensiasi dan aktivasi

osteoklast seimbang dengan faktor anti-inflamasi dan imunoregulator, sehingga

resorbsi tulang berjalan seimbang dengan pembentukan tulang(24).

Gambar 2. Peran sentral IL-1 dalam pathogenesis AR(9)

2.5 Disease activity scale 28 (DAS 28) pada artritis reumatoid

Interleukin-1 dan TNF- α merupakan sitokin utama pada penyakit AR yang

dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan sendi dengan tingkat agresifitas

penyakit yang berbeda-beda serta memiliki dampak terhadap kualitas hidup pasien

28

Page 29: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

yang terkena. Disease activity scores 28 ( DAS 28) merupakan suatu instrumen

pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menilai keaktifan proses inflamasi sendi

pada pasien AR. Vanriel dkk (1992), Felson dkk (1993) dalam suatu penelitiannya

mengatakan bahwa DAS 28 berguna untuk mengukur aktivitas penyakit AR(40,41).

Pemeriksaan DAS 28 mempunyai keakuratan yang tinggi dan dapat

digunakan untuk menilai aktivitas ataupun progresifitas penyakit AR sebagaimana

yang dilaporkan oleh Prevo dkk (1995) dalam suatu longitudinal studinya (42). Selain

itu juga beberapa penelitian menunjukkan bahwa keaktifan proses inflamasi pada

sendi ternyata tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan variabel klinis atau

laboratorium saja(18,19).

Welsing dkk (2001) dalam suatu penelitiannya mendapatkan hubungan yang

kuat antara aktivitas penyakit dengan kerusakan sendi dan perubahan kapasitas

fungsional pada pasien AR. Welsing dkk (2004) juga mendapatkan hubungan antara

aktivitas penyakit dengan progresifitas penyakit AR yang dinilai secara radiologi(20,21).

Pemeriksaan Disease activity scale 28 dilakukan dengan cara menilai adanya

pembengkakan dan derajat nyeri pada 28 sendi yaitu sendi bahu, siku, pergelangan

tangan, Metacarpophalangeal (I,II,III,IV,V), Proksimal interphalangeal(I,II,III,IV,V)

dan sendi lutut. Derajat nyeri pada AR diukur dengan menggunakan suatu instrumen

yang disebut Visual Analogue Scale (VAS). Instrumen VAS terdiri dari sebuah garis

horisontal sepanjang 100 mm. Titik pangkal garis merupakan skala nol yang berarti

tidak nyeri, sedang titik ujung adalah untuk derajat nyeri paling hebat yang dirasakan

penderita. Pada garis VAS penderita diminta memberikan tanda sepanjang garis

29

Page 30: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

tersebut untuk dapat memberikan gambaran terbaik derajat nyeri yang dirasakannya.

Pemeriksaan laju endap darah (LED) juga dilakukan pada pasien yang akan diskoring

pemeriksaan DAS 28.(43)

Gambar 3: Pemeriksaan VAS(43)

Pemeriksaan Disease activity scale 28 mempunyai nilai berkisar antara 0-9,4.

Aktivitas penyakit AR dikatakan rendah jika nilai DAS 28 kecil dari 3,2 , aktivitas

penyakit sedang jika nilai DAS 28 3,2 sampai 5,1 dan aktivitas berat penyakit AR

tinggi jika DAS 28 besar dari 5,1(44). Prevo dkk(1996) mendapatkan bahwa nilai DAS

28 kecil dari 1,6 merupakan pertanda remisi pada pasien AR sedangkan Fransen

dkk(2004) mendapatkan lebih kecil dari 2,6.(45,46). Selain itu juga DAS 28 dapat

digunakan untuk menilai keberhasilan terapi sebagaimana yang dilaporkan oleh

Broeder dkk (2002), Vanriel dkk (2005) bahwa DAS 28 dapat digunakan sebagai

suatu instrumen yang dapat dipakai untuk titrasi penurunan dosis obat pasien AR

yang diterapi dengan anti TNF-α ataupun agen biologis(47,48).

BAB III

METODE PENELITIAN

30

Page 31: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

3.1 Desain penelitian

Penelitian dengan desain cross sectional yang bersifat deskriptif analitik.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bangsal dan Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit

Dr. M Djamil Padang selama 6 bulan.

Tabel 3.1 jadwal penelitian

Kegiatan Bulan

I

Bulan

II

Bulan

III

Bulan

IV

Bulan

V

Bulan

VI

Persiapan X

Pengumpulan data X X X X X X

Analisis data X

Penulisan Hasil X

3.3 Pemilihan sampel

Subjek penelitian adalah pasien yang sudah dikenal dan memenuhi kriteria

AR menurut American College of Rheumatology/European League Against

Rheumatism classification 2010, yang dirawat di bangsal dan Poliklinik Penyakit

Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang. Pengambilan sampel dilakukan secara

konsekutif.

31

Page 32: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Besar sampel ditetapkan dengan mengunakan rumus besar sampel untuk

korelasi tunggal(49)

n : Besar sampel penelitian

Zα : Tingkat kemaknaan yang dinilai tergantung α. Untuk penelitian ini α= 0,05,

maka Zα= 1,96

Zβ : Power penelitian yang nilainya tergantung kepada β. Untuk penelitian ini β=

0,8, maka nilai Zβ= 0,842

r : Perkiraan koefisien korelasi. Untuk penelitian ini r= 0,5

Dari perhitungan rumus besar sampel di atas didapatkan jumlah sampel

29,020 dan digenapkan menjadi 30 sampel.

3.4 Kriteria inklusi dan kriteria ekslusi.

3.4.1 Kriteria inklusi

1. Pasien yang memenuhi kriteria American College of

Rheumatology/European League Against Rheumatism classification 2010

2. Setuju untuk ikut penelitian.

3.4.2 Kriteria ekslusi

32

2

Zα + Zβ n = + 3 0,5 ln(1+r)/(1-r)

Page 33: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

1. Pasien yang menderita penyakit kronik/ inflamasi lain.

2. Pasien dengan systemic lupus erythromatosus (SLE )

3. Pasien yang menderita arthritis psoariatrik

4. Pasien yang menderita Mixed Connected Tissue Disease (MTDC)

5. Pasien yang menderita Sistemik sklerosis

6. Pasien yang menderita Sjogren’s sindrom

7. Penyakit autoimun lain.

3.5 Cara kerja.

Pemeriksaan IL-1 dilakukan dengan menggunakan metode pengujian

enzyme imunosurbent assay (ELISA).

Pemeriksaan DAS 28: Dilakukan dengan menilai 28 sendi terhadap

adanya pembengkakan dan nyeri pada sendi bahu, siku, pergelangan

tangan, MCP (I,II,III,IV,V), PIP (I,II,III,IV,V) dan sendi lutut.

Dihitung total pembengkakan dan nyeri dari 28 sendi kemudian

dilakukan pemeriksaan hs-CRP dan VAS.

Dilakukan perhitungan DAS 28 berdasarkan rumus (50):

DAS 28 = 0,56 x√(nyeri sendi) + 0,28 x√(pembengkakan sendi) +

0,36 x ln hs-CRP + 0,014 x VAS + 0,96

Nyeri pada sendi: nilai 0 jika tidak terasa nyeri, nilai 1 jika terasa nyeri

pada sendi.

33

Page 34: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Pembengkakan pada sendi: Nilai 0 jika tidak terdapat pembengkakan

sendi, dan nilai 1 jika terdapat pembengkakan sendi.

Nilai DAS 28:

o DAS < 3,2 : aktivitas penyakit AR rendah

o DAS 3,2-5,1 : aktivitas penyakit AR sedang

o DAS > 5,1 : aktivitas penyakit AR tinggi

3.6 Analisis data statistik

Data numerik dituliskan dalam bentuk rerata, sedangkan data kategorik

dituliskan dalam bentuk frekuensi. Korelasi antara data numerik dengan numerik

berdistribusi normal diuji dengan pearson sedangkan apabila tidak berdistribusi

normal diuji dengan spearmen. Kekuatan korelasi menurut sofiyudin tahun 2009(51):

r = 0,00 - 0,19 : sangat lemah

r = 0,20 – 0,39 : korelasi lemah

r = 0,40 – 0,59 : korelasi sedang

r = 0,60 – 0,79 : korelasi kuat

r = 0,80 – 1,00 : korelasi sangat kuat

analisis data dilakukan dengan menggunakan sofware SPSS 15, dikatakan bermakna

jika p < 0,05.

3.7 Klasifikasi variabel dan definisi operasional

3.7.1 Klasifikasi variabel

34

Page 35: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

Variabel yang diteliti pada penelitian ini:

Variabel independent:

o Jenis kelamin

o Umur

o Interleukin-1

Variabel dependent:

o DAS 28

o hs-CRP

3.7.2 Definisi operasional

1. Artritis reumatoid merupakan suatu penyakit otoimun, ditandai dengan terdapatnya

sinovitis erosif simetris yang terutama mengenai jaringan persendian. Diagnosis AR

dinyatakan berdasarkan kriteria American College of Rheumatology/European

League Against Rheumatism classification 2010: Kriteria AR dapat ditegakkan

apabila pasien memenuhi minimal 6 dari 10 skor yang didapatkan dari penjumlahan

kategori A-D.

A. Keterlibatan sendi

1 sendi besar 0

2 - 10 sendi besar 1

1- 3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar ) 2

4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar ) 3

> 10 sendi ( setidaknya 1 sendi kecil ) 5

35

Page 36: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

B. Pemeriksaan serologi ( setidaknya 1 hasil pemeriksaan )

a. RF negatif dan ACPA negatif 0

b. RF positif rendah atau ACPA positif rendah 2

c. RF positif tinggi atau ACPA positif tinggi 3

C. Reaksi fase akut ( setidaknya 1 hasil pemeriksaan )

a. Normal CRP dan normal LED 0

b. Abnormal CRP dan abnormal LED 1

D. Lama keluhan

a. < 6 minggu 0

b. > 6 minggu 1

2. Interleukin-1 adalah protein dengan berat 17-kd yang selain sebagian besar

dihasilkan oleh makrofag dan monosit juga dihasilkan oleh sel endotel, limfosit B,

limfosit T yang teraktivasi dan sinovial fibroblast. Kadar interleukin-1 diukur

dengan menggunakan metode ELISA. Dikatakan normal apabila kadarnya < 37

pg/ml.

3. DAS 28 adalah suatu instrumen yang digunakan untuk menilai aktivitas penyakit

pada penderita AR

4. Umur dinyatakan dalam tahun

5. Jenis kelamin dibagi atas dua kelompok yaitu perempuan dan laki-laki.

6. hs-CRP adalah suatu protein fase akut yang dihasilkan oleh hati dan meningkat

kadarnya apabila terjadi inflamasi ataupun kerusakan jaringan. Kadar hs-CRP

36

Page 37: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

serum diukur dengan menggunakan metode ELISA. Dikatakan normal apabila

kadarnya < 10 mg/l.

7. Nyeri merupakan sensasi subjektif yang dirasakan penderita sebagai rasa tidak

nyaman pada sendi.

8. Visual analogue scale (VAS) adalah instrumen untuk mengukur derajat nyeri.

Penilaian derajat nyeri dilakukan terhadap sensasi nyeri pada sendi. Penderita

diminta memberikan tanda sepanjang garis horisontal pada skala 0-10 cm. titik

pangkal garis nilainya 0 berarti tidak adal nyeri dan skala 10 adalah nyeri paling

kuat menurut persepsi penderita. Penderita diminta memberikan tanda sepanjang

garis VAS untuk memberikan gambaran derajat nyeri yang dirasakannya.

Intensitas dari nyeri adalah:

Tidak nyeri : skala 0 cm

Ringan : skala 1-3 cm

Sedang : skala 4-6 cm

Berat : skala 7-10 cm

3.8 Kerangka penelitian

37

Pasien artritis rheumatoid( Yang telah mendapat terapi standar )

Page 38: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

DAFTAR PUSTAKA

38

1. Jenis kelamin2. Umur3. hs-CRP4. VAS

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

hs-CRP Pemeriksaan DAS 28

Analisis

Interleukin-1

Analisis

Page 39: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

1. Waldburger JM, Firestein GS. Reumatoid arthritis epidemiology, pathology

and phatogenesis. In: Primer on the rheumatic diseases. Editor: klippel JH. 13

edition. Arthritis foundation. Atlanta. 2008; 122-31.

2. Furst DE, Breedveld FC, Kalden JR, et al. updated concensus statement on

biological agents for the treatment of rheumatic disease, 2009. Ann Rheum

Dis 2010; 69(Suppl I):i2–i29.

3. Choy EH, Panayi GS. Cytokine pathways and joint inflammation in

rheumatoid arthritis. N England J med 2001;344:907-16

4. Goldring SR. Patogenesis of bone and cartilage destruction in rheumatoid

arthritis. Rheumatology 2003;42(suppl.2):ii11-ii16.

5. Yuliasih. Imunopatogenesis artritis reumatoid. Kumpulan makalah temu

ilmiah reumatologi Jakarta 2009;32-44.

6. Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD. The epidemiology

of rheumatoid arthritis in Indonesia. Br J Rheumatol 1993; 32: 537–540.

7. Daud R. Artritis reumatoid. Dalam : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor

Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta

2006:1184-92.

8. Gabay C, Kusner I. Acute-phase protein and other systemic responses to

inflammation. N England J med 1999;340(6):448-54.

9. Dayer JM. The pivotal role of interleukin-1 in the clinical manifestation of

rheumatoid arthritis. Rheumatology 2003;42(Suppl.2):ii3-ii10.

39

Page 40: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

10. Kay J, Calabrese L. The role of interleukin-1 in the pathogenesis of

rheumatoid arthritis. Rheumatology 2004;43(Suppl. 3):iii2–iii9

11. Strand V, Kavanaugh AF. The role of interleukin-1 in bone resorpsion in

rheumatoid arthritis. Rheumatology 2004;43(suppl.3):iii10-16.

12. MacNaul KL, Chartrain N, Lark M, Tocci MJ, Hutchinson NI. Discoordinate

expression of stromelysin,collagenase,and tissue inhibitor of

metalloproteinases1 in rheumatoid human synovial fibroblasts: synergistic

effects of interleukin-1 and tumor necrosis factor-alpha on stromelysin

expression. J Biol Chem 1990;265:17238-45.

13. Shingu M, Nagai Y, Isayama T, Naono T, Nobunaga M, Nagai Y. The effects

of cytokines on metalloproteinase inhibitors (TIMP) and collagenase

production by human chondrocytes and TIMP production by synovial cells

and endothelial cells. Clin Exp Immunol 1993;94:145-9.

14. Gravellese EM, Goldring SR. Cellular mechanism and the role of citokines in

bone erotions in rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 2000;43:2143-51.

15. Tak PP, Bresnihan B. The patogenesis and prevention of joint damage in

rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 2000;43(12): pp2619-33.

16. Vuolteenaho K, Moilanen T, Moilanen E et al. Regulation of nitric oxide

production in osteoarthritic and rheumatoid cartilage. Scand J Rheumatol

2003;32:19–24

40

Page 41: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

17. Sakurai H, Kohsaka H, Liu MF, Higashiyama H, Hirata Y,Kanno K, et al.

Nitric oxide production and inducible nitricoxide synthase expression in

inflammatory arthritides. J Clin Invest 1995; 96:2357 – 63.

18. Fransen J, Vanriel PL. disease activity score and the EULAR response

criteria. Ann Rheum Dis 2005;23:93-9

19. Heijde V, Vanthof M, Vanriel PL et al. Judging disease activity in clinical

practice in rheumatoid arthritis: first step in development a disease activity

scores. Ann Rheum Dis 1999;49:916-20.

20. Welsing PMJ, Gestel AM, Swinkels HL. The relationship between disease

activity,joint destruction, and functional capacity over the course of

rheumatoid arthritis. Arthritis & Rheumatism 2001;44(9):2009–17

21. Welsing PMJ, Landewe RBM, Vanriel LC. The relationship between disease

activity and radiologic progression in patients with rheumatoid arthritis.

Arthritis & Rheumatism 2004;50(7): 2082–93

22. Suryana BP. Diagnosis dan penatalaksanaan artritis reumatoid dini. Kumpulan

makalah temu ilmiah reumatologi Jakarta 2009;45-8.

23. American College of Rheumatology Subcommittee on Rheumatoid Arthritis

Guidelines: Guidelines for the Management of Rheumatoid Arthritis 2002

Update. Arthritis Rheum 2002; 46 (2):pp 328--46

24. Suryana BP. Keseimbangan sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi pada

destruksi sendi reumatoid. Kumpulan makalah temu ilmiah reumatologi

Jakarta 2008;1-4.

41

Page 42: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

25. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ et al. 2010 Rheumatoid Arthritis

Classification Criteria. An American College of Rheumatology/European

League Against Rheumatism Collaborative Initiative.Arthritis Rheum

2010;62( 9): pp 2569–2581

26. Arnett F, Edworthy S, Bloch D, et al. American rheumatism association 1997

revised criteria for classification of rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum

1997;31:315-24.

27. Dewi S. Diagnosis dan penatalaksanaan artritis rheumatoid. Kumpulan

makalah temu ilmiah reumatologi Jakarta 2009;15-21.

28. Boki K A , Drosis A A , Tzioufas G A , et al: Examination of HLA-DR4 as a

severity marker for rheumatoid arthritis in Greek patients . Ann Rheum Dis

1993 ;52:517

29. Hameed K , Bowman S , Kondeatis E , et al: The association of HLADRB

genes and the shared epitope with rheumatoid arthritis in Pakistan . Br J

Rheumatol 1997;36 : 1184.

30. Huizinga TW, Amos CI, van der Helm-van Mil AH, Chen W, van Gaalen FA,

Jawaheer D, et al. Refining the complex rheumatoid arthritis phenotype based

on specificity of the HLA–DRB1 shared epitope for antibodies to citrullinated

proteins. Arthritis Rheum 2005;52:3433–8.

31. Van der Helm-van Mil A H , Verpoort K N , Breedveld F C , et al: T he HLA-

DRB1 shared epitope alleles are primarily a risk factor for anticyclic

citrullinated peptide antibodies and are not an independent risk factor for

42

Page 43: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

development of rheumatoid arthritis . Arthritis Rheum 2006; 54(4) : pp1117-

21 ,

32. Linn-Rasker S P , van der Helm-van Mil A H , van Gaalen F A , et al:

Smoking is a risk factor for anti-CCP antibodies only in rheumatoid arthritis

patients who carry HLA-DRB1 shared epitope alleles. Ann Rheum Dis 2006;

65 : 366.

33. Edwards JC, Szczepanski L, szechinki J et al. Efficacy of B cell-targeted

therapy with rituximadb in patient with rheumatoid arthritis. N Engl J Med

2004;350:2572-81.

34. Takemura S, Klimiuk PA, Braun A, et al: T cell activation in rheumatoid

synovium is B cell dependent. J. Immunol 2001;167:4710-18.

35. Panayi GS: B cells: a fundamental role in the pathogenesis of rheumatoid

arthritis? Rheumatology 2005;44(Suppl. 2):ii3-ii7.

36. Mc innes IB, Schett georg. Cytocines in the phatogenesis of rheumatoid

arthritis. Natures review immunology 2007;429-42.

37. Abbot SE, Kaul A, Stevens CR, Blake DR. Isolation and culture of synovial

microvascular endothelial cells. Characterization and assessment of adhesion

molecule expression. Arthritis Rheum 1992;35:401–6.

38. Hofbauer LC, Lacey DL, Dunstan CR, Spelsberg TC, Riggs BL,Khosla S.

Interleukin-1β and tumor necrosis factor-α, but not interleukin-6, stimulate

osteoprotegerin ligand gene expression in human osteoblastic cells. Bone

1999;25:255–9.

43

Page 44: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

39. Collin-Osdoby P, Rothe L, Anderson F, Nelson M, Maloney W, Osdoby P.

Receptor activator of NF-kappa B and osteoprotegerin expression by human

microvascular endothelial cells, regulation by inflammatory cytokines, and

role in human osteoclastogenesis. J Biol Chem 2001;276:20659–72.

40. Vanriel LC. Provisional guidelines for measuring disease activity in clinical

trials on rheumatoid arthritis. British Journal of Rheumatology 1992;31:793-6

41. Felson DT, Aderson JJ, Boers M et al. The American College of

Rheumatology preliminary core-set of disease activity measures for

rheumatoid arthritis clinical trials. Arthritis Rheum 1993;36:729-40.

42. Prevo ML, Leuwen MA, Kuper HH. Modified disease activity scores that

include twenty-eight-joint count: development validation in a prospective

longitudinal study of patient with rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum

1995;38:44-8.

43. Curtis LA, Morrell TD. Pain Management in the Emergency Department.

EBMedPractice 2006;8(7):1-28.

44. Fransen J, Stucki G, Piet LCM. Rheumatoid Arthritis Measures. Arthritis &

Rheumatism 2003;49(5S):S214–S224.

45. Prevoo M, Van gestel AM, Vanthof M et al. Remission in a prospective study

of patients with rheumatoid arthritis. american rheumatism association

preliminary remission criteria in relation to the disease activity score. British

Journal of Rheumatology 1996;35:1101-1105.

44

Page 45: korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pasien dengan artritis reumatoid

46. Fransen J, Creemers MCW, Vanriel LC. Remission in rhematoid arthritis:

agreement of sisease activity scores (DAS 28) with the ARA preliminary

remission criteria. Rheumatology 2004;43:1252-55.

47. Broeder AA, Creemer MCW, Vangestel AM. Dose titration using the disease

activity scores (DAS 28) rheumatoid arthritis patients treated with anti TNF-α.

Rheumatology 2002;41:638-42.

48. Vanriel LCM, Fransen J.DAS28: a useful instrument to monitor infliximab

treatment in patients with rheumatoid arthritis. Arthritis Research & Therapy

2005; 7:189-19.

49. Maldiyano B, Moeslichan S, Sastroasmoro S. Perkiraan besar sampel. Dalam:

Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Editor: Sastroasmoro S, Ismael S.

Edisi III. Sagung seto. Jakarta 2010:302-31.

50. Aletaha D, Nell V, Stamm T.Acute phase reactants add little to composite

disease activity indices for rheumatoid arthritis: validation of a clinical

activityscore. Arthritis Research & Therapy 2005; 7(4):R796-806.

51. Dahlan MS. Hipotesis korelatif. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan.

Salemba medika. Jakarta 2009;4:155-174.

45