konveksi atmosfer.docx
DESCRIPTION
Proses konveksi adalah faktor yang mempengaruhi curah hujan karena berperan dalam proses pembentukan butiran awan dan hujan konveksi. Sebagian besar radiasi matahari terserap di permukaan bumi yang berakibat pemanasan di permukaan. Dengan demikian lapisan di permukaan bumi lebih panas sehingga menimbulkan paket udara tidak stabil dan mengalami proses konveksi. Suhu paket udara menurun bila terangkat ke atas, hal ini diakibatkan proses adiabatik. Proses perubahan wujud uap air menjadi butiran awan akan melepas panas laten saat terjadi kondensasi.TRANSCRIPT
KONVEKSI DALAM ATMOSFER
Makalah Energi
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fisika Lingkungan
Disusun Oleh :
Nama : Rahayu Agustia
NPM : 140310100041
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses konveksi adalah faktor yang mempengaruhi curah hujan karena
berperan dalam proses pembentukan butiran awan dan hujan konveksi. Sebagian
besar radiasi matahari terserap di permukaan bumi yang berakibat pemanasan di
permukaan. Dengan demikian lapisan di permukaan bumi lebih panas sehingga
menimbulkan paket udara tidak stabil dan mengalami proses konveksi. Suhu
paket udara menurun bila terangkat ke atas, hal ini diakibatkan proses adiabatik.
Proses perubahan wujud uap air menjadi butiran awan akan melepas panas laten
saat terjadi kondensasi.
Indonesia merupakan wilayah dengan proses konveksi yang paling aktif di
dunia dan proses ini merupakan salah satu faktor yang mendominasi cuaca dan
iklim di wilayah ini. Hal ini terjadi karena wilayah benua-maritim Indonesia, yang
berada di khatulistiwa, menerima energi radiasi matahari yang besar sehingga
merupakan daerah surplus energi dan uap air, yang keduanya merupakan bahan
bakar utama dari konveksi.
Dengan efek koriolis yang kecil, wilayah ini diatur terutama oleh
kesetimbangan hidrostropik antara gaya gravitasi dan buoyancy, sehingga
dinamika di wilayah ini banyak didominasi oleh gelombang (stabil) dan konveksi
(tidak stabil). Wilayah ini juga merupakan daerah konvergensi inter-tropis
(ITCZ), di mana konveksi terkait erat dengan dan merupakan penggerak dari
sirkulasi global. Selain itu, efek titik-panas dari daratan pulau-pulau yang
dikelilingi lautan, sirkulasi angin darat-laut, dan topografi pegunungan, semuanya
sangat mendorong terjadinya proses konveksi. Tidak mengherankan jika wilayah
benua-maritim Indonesia merupakan salah satu penghasil awan dan hujan terbesar
di dunia.
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sabagai
berikut:
1. Apa itu konveksi atmosfer ?
2. Bagaimana proses konveksi mempengaruhi curah hujan ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui proses konveksi yang terjadi di atmosfer
2. Mengetahui pemanfaatan proses konveksi untuk menambah curah hujan
1.4 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan
pengetahuan kepada pembaca mengenai proses konveksi yang terjadi pada
atmosfer yang sangat berperan dalam proses pembentukan awan sehingga
mempengaruhi curah hujan
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Konveksi
Dalam ilmu fisika, istilah konveksi menggambarkan suatu proses
perpindahan energi kalor yang terjadi melalui perpindahan massa/partikelnya.
Tetapi, dalam ilmu sains atmosfer, konveksi didefinisikan secara lebih spesifik,
yaitu pergerakan vertikal dari massa udara yang disebabkan oleh perbedaan
kerapatan massa udara.
Teori konveksi telah dikenal sejak Archimedes yang mengatakan bahwa
apabila sebuah benda yang lebih ringan dari pada suatu zat cair dipaksa masuk ke
dalamnya, benda itu akan terdorong ke atas dengan gaya yang sama dengan
perbedaan antara beratnya dan berat dari zat cair yang digantikannya. Gaya
dorong ke atas ini dikenal juga sebagai gaya apung (buoyancy).
Proses konveksi terjadi karena perbedaan relatif antara berat suatu massa
udara terhadap massa udara di sekelilingnya, dimana massa udara yang lebih berat
akan turun ke bawah sedangkan massa udara yang lebih ringan akan terdorong ke
atas. Jadi, gaya yang paling berperan dalam proses konveksi adalah gaya tarik
bumi (gravitasi). Massa udara dapat menjadi lebih ringan karena suhunya lebih
tinggi sehingga kerapatannya menjadi lebih rendah, atau karena mengandung uap
air (H2O) yang mempunyai berat yang lebih ringan daripada udara.
Konveksi memainkan peran yang penting dalam perpindahan dan
distribusi massa dan energi di dalam medium atmosfer. Konveksi juga
memungkinkan pembentukkan awan dan hujan, yang merupakan salah satu mata
rantai dalam siklus hidrologi, yang penting bagi kehidupan di muka bumi. Proses
konveksi merupakan penggerak utama dari sirkulasi atmosfer dan berperan dalam
kesetimbangan radiasi-awan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika proses
konveksi mempengaruhi hampir semua variabel atmosfer.
2.2 Proses Pembentukan Awan
Udara di sekeliling kita banyak mengandung uap air. Tidak terhitung
banyaknya gelembung udara yang terbentuk oleh busa laut secara terus-menerus
dan menyebabkan partikel-partikel air terangkat ke langit.Partikel-partikel yang
disebut dengan aerosol inilah yang berfungsi sebagai perangkap air dan
selanjutnya akan membentuk titik-titik air. Selanjutnya aerosol ini naik ke
atmosfer, dan bila sejumlah besar udara terangkat ke lapisan yang lebih tinggi,
maka ia akan mengalami pendinginan dan selanjutnya mengembun. Kumpulan
titik-titik air hasil dari uap air dalam udara yang mengembun inilah yang terlihat
sebagai awan. Makin banyak udara yang mengembun, makin besar awan yang
terbentuk.
Gambar 2.1 Proses Pembentukan Awan
Dalam atmosfer tetes awan terbentuk pada aerosol yang berfungsi sebagai
inti kondensasi atau inti pengembunan. Kecepatan pembentukan tetes tersebut
ditentukan oleh banyaknya inti kondensasi. Proses dimana tetes air dari fasa uap
terbentuk pada inti kondensasi disebut pengintian heterogen. Adapun
pembentukan tetes air dari fasa uap dalam suatu lingkungan murni yang
memerlukan kondisi sangat jenuh (supersaturation) disebut pengintian homogen.
Pengintian homogen yaitu pembekuan pada air murni hanya akan terjadi pada
suhu dibawah -40 °C. Akan tetapi dengan keberadaan aerosol sebagai inti
kondensasi maka pembekuan dapat terjadi pada suhu hanya beberapa derajat
dibawah 0°C.
Inti kondensasi adalah partikel padat atau cair yang dapat berupa debu,
asap, belerang dioksida, garam laut (NaCl) atau benda mikroskopik lainnya yang
bersifat higroskopis, dengan ukuran 0,001 – 10 mikrometer.
Secara singkat proses kondensasi dalam pembentukan awan adalah
sebagai berikut :
Udara yang bergerak ke atas akan mengalami pendinginan secara adiabatik
sehingga kelembaban nisbinya (RH) akan bertambah, tetapi sebelum RH
mencapai 100 yaitu sekitar 78 ondensasi telah dimulai pada inti
kondensasi yang lebih besar dan aktif. Perubahan RH terjadi karena
adanya penambahan uap air oleh penguapan atau penurunan tekanan uap
jenuh melalui pendinginan.
Tetes air kemudian mulai tumbuh menjadi tetes awan pada saat RH
mendekati 100 Karena uap air telah digunakan oleh inti-inti yang lebih
besar dan inti yang lebih kecil kurang aktif tidak berperan maka volume
tetes awan yang terbentuk jauh lebih kecil dari jumlah inti kondensasi.
Tetes awan yang terbentuk umumnya mempunyai jari-jari 5 – 20 mm.
Tetes dengan ukuran ini akan jatuh dengan kecepatan 0,01 – 5 cm/s sedang
kecepatan aliran udara ke atas jauh lebih besar sehingga tetes awan
tersebut tidak akan jatuh ke bumi. Bahkan jika kelembaban udara kurang
dari 90 aka tetes tersebut akan menguap. Untuk dapat jatuh ke bumi tanpa
menguap maka diperlukan suatu tetes yang lebih besar yaitu sekitar 1 mm
(1000 mikrometer), karena hanya dengan ukuran demikian tetes tersebut
dapat mengalahkan gerakan udara ke atas (Neiburger, et. al., 1995).
Jadi perbedaan antara tetes awan dan tetes hujan adalah pada ukurannya.
Jika sebuah awan tumbuh secara kontinyu, maka puncak awan akan
melewati isoterm 0 °C. Tetapi sebagian tetes-tetes awan masih berbentuk
cair dan sebagian lagi berbentuk padat atau kristal-kristal es jika terdapat
inti pembekuan. Jika tidak terdapat inti pembekuan, maka tetes-tetes awan
tetap berbentuk cair hingga mencapai suhu -40 °C bahkan lebih rendah
lagi.
Jenis-jenis awan berdasarkan ketinggiannya dapat dlihat pada gambar berikut :
Gambar 2.2 Jenis-jenis awan berdasarkan ketinggian
Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis
awan Cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dangan bentuknya yang seperti bunga
kol. Awan Cumulus terjadi karena proses konveksi. Secara lebih rinci awan
Cumulus terbagi dalam 3 jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus
yang baru tumbuh ; Cumulus, dan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan Cumulus yang
sangat besar dan mungkin terdiri beberapa awan Cumulus yang bergabung
menjadi satu.
Gambar 2.3 Jenis awan Cumulus (Cu)
2.3 Awan Dingin dan Awan Hangat
Berdasarkan suhu lingkungan fisik atmosfer dimana awan tersebut
berkembang, awan dibedakan atas awan dingin (cold cloud) dan awan hangat
(warm cloud). Terminologi awan dingin diberikan untuk awan yang semua
bagiannya berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah titik beku
yaitu (< 00C), sedangkan awan hangat adalah awan yang semua bagiannya berada
diatas titik beku ( > 00C).
Awan dingin kebanyakan adalah awan yang berada pada daerah lintang
menengah dan tinggi, dimana suhu udara dekat permukaan tanah saja bisa
mencapai nilai <00C. Di daerah tropis seperti halnya di Indonesia, suhu udara
dekat permukaan tanah sekitar 20-300C, dasar awan mempunyai suhu sekitar
180C. Namun demikian puncak awan dapat menembus jauh ke atas melampaui
titik beku, sehingga sebagian awan merupakan awan hangat, sebagian lagi
diatasnya merupakan awan dingin. Awan semacam ini disebut awan campuran
(mixed cloud).
Gambar 2.4 awan dingin dan awan panas berdasarkan suhu lingkungan fisik
atmosfer
2.4 Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Dingin
Pada awan dingin hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es. yang
berkembang membesar melalui dua cara yaitu deposit uap air atau air super dingin
(supercooled water) langsung pada kristal es atau melalui penggabungan menjadi
butiran es. Keberadaan kristal es sangat penting dalam pembentukan hujan pada
awan dingin, sehingga pembentukan hujan dari awan dingin sering juga disebut
proses kristal es.
Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah titik-titik air,
dan terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu yang sumbunya
berada di bawah titik beku, awan itu membeku menjadi kristal es kecil-kecil.
Udara sekelilingnya yang tidak begitu dingin membeku pada kristal tadi. Dengan
demikian kristal bertambah besar dan menjadi butir-butir salju. Bila menjadi
terlalu berat, salju itu turun. Bila melalui udara lebih hangat, salju itu mencair
menjadi hujan. Pada musim dingin salju jatuh tanpa mencair.
2.5 Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Hangat
Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik oleh aktivitas konveksi
ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan gunung atau bukit), maka
pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 - 0,1 mikron) yang banyak
beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation
nucleus) yang menyebabkan uap air tersebut mengalami pengembunan.Sumber
utama inti kondensasi adalah garam yang berasal dari golakan air laut. Karena
bersifat higroskofik maka sejak berlangsungnya kondensasi, partikel berubah
menjadi tetes cair (droplets) dan kumpulan dari banyak droplets membentuk
awan. Partikel air yang mengelilingi kristal garam dan partikel debu menebal,
sehingga titik-titik tersebut menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan
sebagai hujan.
(Sumber : http://rst.gsfc.nasa.gov/sect14/sect141d.html)
Gambar 2.5 Tipikal ukuran diameter tetes hujan (Rain Drop), Tetes awan (Cloud
Droplet) dan inti kondensasi (Condensation Nucleus)
Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei : GN : 0,1 - 5
mikron) maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30
mikron, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40 - 50 mikron. Dalam gerak turun ia
akan lebih cepat dari yang lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena
sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil,
bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan
penggabungan).
Ilustrasi proses tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense)
dalam awan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.6 Ilustrasi Proses Tumbukan dan Penggabungan
Kererangan Gambar :
A. Tetes-tetes awan (droplets) yang berukuran kecil bergerak naik keatas terbawa
gerakan udara secara vertikal (updraft); sementara itu sudah ada tetes awan yang
menjadi partikel berukuran lebih besar (Giant Nuclei) yang karena beratnya
melebihi berat dari udara sehingga sudah mulai bergerak jauh ke bawah.
B. Partikel Besar (GN) ini bertindak sebagai "pengumpul" tetes-tetes awan yang
lain, karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih
kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan
penggabungan).
C. Semakin banyak tetes lain yang tertumbuk dan bergabung, maka partikel
tersebut akan semakin besar ukurannya, dan lama kelamaan akan terbelah
membentuk partikel (GN) baru.
D. Proses ini berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan,
dan bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara
autokonversi atau reaksi berantai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan,
dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut, secara fisik terlihat dasar awan
menjadi lebih gelap. Hujan turun dari awan bila melalui proses tumbukan dan
penggabungan, droplets dapat berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000
mikron atau lebih besar. Pada keadaan tertentu partikel-partikel dengan spektrum
GN tidak tersedia, sehingga proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai,
karena proses tumbukan dan penggabungan tidak terjadi.
2.6 Klasifikasi Hujan
Hujan juga dapat terjadi oleh pertemuan antara dua massa air, basah dan
panas. Tiga tipe hujan yang umum dijumpai didaerah tropis dapat disebutkan
sebagai berikut:
1. Hujan konvektif ( convectional storms )
Tipe hujan ini disebabkan oleh adanya beda panas yang diterima
permukaan tanah dengan panas yang diterima oleh lapisan udara diatas
permukaan tanah tersebut. Sumber utama panas di daerah tropis adalah berasal
dari matahari. Beda panas ini biasanya terjadi pada akhir musim kering yang
menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi sebagai hasil proses kondensasi
massa air basah pada ketinggian di atas 15 km.
2. Hujan Frontal ( frontal/ cyclonic storms )
Tipe hujan yang umumnya disebabkan oleh bergulungnya dua massa
udara yang berbeda suhu dan kelembaban. Pada tipe hujan ini, massa udara
lembab yang hangat dipaksa bergerak ketempat yang lebih tinggi. Tergatung pada
tipe hujan yang dihasilkanya, hujan frontal dapat dibedakan menjadi hujan frontal
dingin dan hangat. Hujan badai dan hujan monsoon adalah tipe hujan frontal yang
lazim dijumpai.
3. Hujan Orografik ( Orographic storms )
Jenis hujan yang umum terjadi didaerah pegunungan, yaitu ketika massa
udara bergerak ketempat yang lebuh tinggi mengikuti bentang lahan pegunungan
sampai saatnya terjadi proses kondensasi. Tipe hujan orografik di anggap sebagai
pemasok air tanah, danau, bendungan, dan sungai karma berlangsung di daerah
hulu DAS.
2,7 Presipitasi berdasarkan mekanisme dominan dari gerak vertikal :
1. Presipitasi stratiform.
Yaitu presipitasi dari awan stratifom yang terbentuk karena gerak vertikal
yang kontinu dan menyebar luas.Hal ini terjadi karena kenaikan frontal atau
orografik atau konvergensi dalam skala besar.
Presipitasi dari awan stratiform tumbuh dari proses kristal es. Awan ini
mempunyai kadar air lebih rendah sehingga koalisensi tidak efektif. Masa hidup
awan relatif lama. Jika suhu lingkungan awan mencapai -15 0C, maka proses
kristal es dapat menyebabkan presipitasi.
2. Presipitasi konvektif.
Yaitu presipitasi dari awan konvektif karena kondisi udara yang tidak
stabil yang menyebabkan gerak vertikal tetapi terlokalisir dalam skala yang tidak
luas. Hujan yang terjadi umumnya tiba-tiba dan sangat lebat (heavy shower) tetapi
terjadi dalam waktu yang singkat. Dalam awan konvektif waktu presipitasi lebih
pendek tetapi kadar air lebih tinggi dari stratiform sehingga koalisensi sangat
berperan menghasilkan hujan.
Jadi mekanisme presipitasi antara awan stratiform dan awan konvektif
sangat berbeda.Sebagai pendekatan, hujan kontinu dapat dipandang sebagai
keadaan mantap (steady-state process) dimana besaran awan dapat berubah
dengan ketinggian tetapi konstan terhadap waktu pada ketinggian
tertentu.Sebaliknya, hujan shower dapat didekati sebagai sistem dimana sifat-sifat
awan berubah dengan waktu tetapi konstan terhadap ketinggian pada waktu
tertentu.
BAB III
PEMBAHASAN
Curah hujan sangat bergantung pada bagaimana proses konveksi. Dengan
cara mempengaruhi proses fisika yang terjadi dalam awan, kita dapat mennambah
curah hujan sehingga proses terjadinya hujan menjadi lebih efektif.
Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana lingkungan
awan tersebut berada. Untuk bagian awan dingin, curah hujan akan bertambah jika
proses pembentukan es di dalam awan juga semakin efektif. Proses pembentukan
es dalam awan akan semakin efektif jika awan disemai dengan menggunakan
bahan semai berupa perak iodida (Agl).
Untuk bagian awan hangat, upaya dilakukan dengan menambahkan
partikel higroskopik dalam spektrum Ultra Giant Nuclei (UGN : berukuran lebih
dari 5 mikron ) ke dalam awan yang sedang dalam masa berkembang atau matang
sehingga proses hujan dapat segera dimulai serta berkembang ke seluruh awan.
Penambahan partikel dengan spektrum CCN (Cloud Condencation Nucleus) : Inti
Kondensasi Awan) tidak perlu dilakukan, karena partikel dengan spektrum ini
sudah disediakan sendiri oleh alam. Dengan demikian awan tidak perlu dibuat,
karena dengan tersedianya CCN awan dapat terbentuk dengan sendirinya bila
kelembaban udara cukup. Pada kondisi tertentu, dengan masuknya partikel
higroskopik berukuran UGN kedalam awan, maka proses hujan (tumbukan dan
penggabungan) dapat dimulai lebih awal, durasi hujan lebih lama, dan daerah
hujan pada awan semakin luas, serta frekuensi hujan di tanah semakin tinggi. Dari
sinilah didapatkan tambahan curah hujan.
Injeksi partikel berukuran UGN ke dalam awan memberikan dua manfaat
sekaligus, yang pertama adalah mengefektifkan proses tumbukan dan
penggabungan sehingga menginisiasi (mempercepat) terjadinya proses hujan, dan
yang kedua adalah mengembangkan proses hujan ke seluruh daerah di dalam
awan. Bahan semai yang digunakan adalah bahan yang memiliki sifat higroskopik
dalam bentuk super fine powder (berbentuk serbuk yang berukuran sangat halus),
paling sering digunakan adalah NaCl, atau bisa juga berupa CaCl2 atau Urea.
Berikut menggambarkan perbedaan antara sekuens pertumbuhan awan
yang tidak disemai dengan awan yang disemai :
Gambar 3.1 sekuens pertumbuhan awan yang tidak disemai
Gambar 3.2 sekuens pertumbuhan awan yang disemai
BAB IV
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah :
Proses konveksi terjadi karena perbedaan relatif antara berat suatu massa
udara terhadap massa udara di sekelilingnya, dimana massa udara yang lebih berat
akan turun ke bawah sedangkan massa udara yang lebih ringan akan terdorong ke
atas. Jadi, gaya yang paling berperan dalam proses konveksi adalah gaya tarik
bumi (gravitasi). Massa udara dapat menjadi lebih ringan karena suhunya lebih
tinggi sehingga kerapatannya menjadi lebih rendah, atau karena mengandung uap
air (H2O) yang mempunyai berat yang lebih ringan dari pada udara.
Konveksi memainkan peran yang penting dalam perpindahan dan
distribusi massa dan energi di dalam medium atmosfer. Konveksi juga
memungkinkan pembentukkan awan dan hujan, yang merupakan salah satu mata
rantai dalam siklus hidrologi, yang penting bagi kehidupan di muka bumi. Proses
konveksi merupakan penggerak utama dari sirkulasi atmosfer dan berperan dalam
kesetimbangan radiasi-awan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika proses
konveksi mempengaruhi hampir semua variabel atmosfer.
DAFTAR PUSTAKA
Bayong, T.H.K, 1999. Klimatologi. Bandung : Institut Teknologi
Bandung..
Bayong, T.H.K, 1988. Proses Mikrofisis Dan Modifikasi Awan. Seminar
Hujan Buatan, Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
BPPT, 2004. Jurnal Sains Dan Teknologi Modifikasi Cuaca. Jakarta.
Satiadi, Didi dkk. Mekanisme Pemicuan Proses Konveksi Berdasarkan
Data Observasi Koto Tabang. Pdf. Dirgantara-Lapan.
SIP, Mahmudin. 2005. Model 1-D Pertumbuhan Butiran Awan Konveksi
Di Daerah Bandung. Tesis Oceanography and Atmospheric Sciences.
Bandung : Institut Teknologi Bandung
http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/
Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/semua.html (diakses pada tanggal
3 November 2013)