konservasi tanah

49
KONSERVASI TANAH oleh Ir. Bambang Setiahadi Tujuan dan Sasaran Konservasi tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Pemakaian istilah konservasi tanah sering diikuti dengan istilah konservasi air.Meskipun keduanya berbeda tetapi saling terkait.Ketika mempelajari masalah konservasi sering menggunakan kedua sudut pandang ilmu konservasi tanah dan konservasi air.Secara umum, tujuan konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan secara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Sasaran konservasi tanah meliputi keseluruhan sumber daya lahan, yang mencakup kelestarian produktivitas tanah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendukung keseimbangan ekosistem. Teknik Konservasi Tanah Teknik konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butir-butir hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti pemberian bahan organik atau dengan cara meningkatkan penyimpanan air,dan mengurangi laju aliran permukaan sehingga menghambat material tanah dan hara terhanyut (Agus et al., 1999).Manusia mempunyai keterbatasan dalam mengendalikan erosi sehingga perlu ditetapkan kriteria tertentu yang diperlukan dalam tindakan konservasi

Upload: tyaranuril

Post on 25-Nov-2015

322 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

KONSERVASI TANAHolehIr. Bambang SetiahadiTujuan dan SasaranKonservasi tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Pemakaian istilah konservasi tanah sering diikuti dengan istilah konservasi air.Meskipun keduanya berbeda tetapi saling terkait.Ketika mempelajari masalah konservasi sering menggunakan kedua sudut pandang ilmu konservasi tanah dan konservasi air.Secara umum, tujuan konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan secara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi.Sasaran konservasi tanah meliputi keseluruhan sumber daya lahan, yang mencakup kelestarian produktivitas tanah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendukung keseimbangan ekosistem.Teknik Konservasi TanahTeknik konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butir-butir hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti pemberian bahan organik atau dengan cara meningkatkan penyimpanan air,dan mengurangi laju aliran permukaan sehingga menghambat material tanah dan hara terhanyut (Agus et al., 1999).Manusia mempunyai keterbatasan dalam mengendalikan erosi sehingga perlu ditetapkan kriteria tertentu yang diperlukan dalam tindakan konservasi tanah.disertakan dalam merancang teknik konservasi tanah adalah nilai batas erosi yang masih dapat diabaikan (tolerable soil loss).Ketiga teknik konservasi tanah secara vegetatif, mekanis dan kimia pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu mengendalikan laju erosi, namun efektifitas, persyaratan dan kelayakan untuk diterapkan sangat berbeda. Oleh karena itu pemilihan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan.Teknik konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan tanaman/vegetasi maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat laju aliran permukaan,peningkatan kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifattanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi.Teknik konservasi tanah secara mekanis atau disebut juga sipil teknis adalah upaya menciptakan fisik lahan atau merekayasa bidang olah lahan pertanian hingga sesuai dengan prinsip konservasi tanah sekaligus konservasi air. Teknik ini meliputi: guludan, pembuatan teras gulud, teras bangku, teras individu, teras kredit, pematang kontur, teraskebun, barisan batu, dan teras batu. Khusus untuk tujuan pemanenan air, teknik konservasi secara mekanis meliputi pembuatan bangunan resapan air, rorak, dan embung (Agus et al., 1999).Teknik konservasi tanah secara kimiawi adalah setiappenggunaan bahan-bahan kimia baik organik maupun anorganik,yang bertujuan untuk memperbaiki sifat tanah dan menekan laju erosi.Teknik ini jarang digunakan petani terutama karena keterbatasanmodal, sulit pengadaannya serta hasilnya tidak jauh beda denganpenggunaan bahan-bahan alami. Bahan kimiawi yang termasukdalam kategori ini adalah pembenah tanah (soil conditioner), bahan-bahan ini diaplikasikan ke tanah dengantujuan untuk memperbaiki struktur tanah melalui peningkatan stabilitasagregat tanah, sehingga tahan terhadap erosi.

KONSERVASI TANAH SECARA VEGETATIFPengertianPada dasarnya konservasi tanah secara vegetatif adalah segalabentuk pemanfaatan tanaman ataupun sisa-sisa tanaman untukmengurangi erosi. Tanaman ataupun sisa-sisa tanaman berfungsisebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujanmaupun terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff), sertameningkatkan peresapan air ke dalam tanah.Kanopi berfungsi menahan laju butiran air hujan dan mengurangitenaga kinetik butiran air dan pelepasan partikel tanah sehinggapukulan butiran air dapat dikurangi. Air yang masuk di sela-sela kanopi(interception) sebagian akan kembali ke atmosfer akibat evaporasi.Fungsi perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butir air hujanmerupakan hal yang sangat penting karena erosi yang terjadi diIndonesia penyebab utamanya adalah air hujan. Semakin rapatpenutupannya akan semakin kecil risiko hancurnya agregat tanah olehpukulan butiran air hujan.Batang tanaman juga menjadi penahan erosi air hujan dengancara merembeskan aliran air dari tajuk melewati batang (stemflow)menuju permukaan tanah sehingga energi kinetiknya jauh berkurang.Batang juga berfungsi memecah dan menahan laju aliran permukaan.Jika energi kinetik aliran permukaan berkurang, maka daya angkutmaterialnya juga berkurang dan tanah mempunyai kesempatan yangrelatif tinggi untuk meresapkan air.Beberapa jenis tanaman yangditanam dengan jarak rapat, batangnya mampu membentuk pagarsehingga memecah aliran permukaan. Partikel tanah yang ikutbersama aliran air permukaan akan mengendap di bawah batangdan lama-kelamaan akan membentuk bidang penahan aliranpermukaan yang lebih stabil.Keberadaan perakaran mampu memperbaiki kondisi sifat tanahyang disebabkan oleh penetrasi akar ke dalam tanah, menciptakanhabitat yang baik bagi organisme dalam tanah, sebagai sumberbahan organik bagi tanah dan memperkuat daya cengkeramterhadap tanah (Foth, 1995, Killham, 1994, Agus et al., 2002).Perakarantanaman juga membantu mengurangi air tanah yang jenuh oleh airhujan, memantapkan agregasi tanah sehingga lebih mendukungpertumbuhan tanaman dan mencegah erosi, sehingga tanah tidakmudah hanyut akibat aliran permukaan, meningkatkan infiltrasi, dankapasitas memegang air.Jenis-Jenis Konservasi Tanah Secara VegetatifTeknik konservasi tanah secara vegetatif yang akan diuraikandalam monograf ini adalah: penghutanan kembali (reforestation),wanatani (agroforestry) termasuk didalamnya adalah pertanamanlorong (alley cropping), pertanaman menurut strip (strip cropping), striprumput (grass strip) barisan sisa tanaman, tanaman penutup tanah(cover crop), penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalahpergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dantumpang gilir (relay cropping).Dalam penerapannya, petani biasanya memodifikasi sendiriteknik-teknik tersebut sesuai dengan keinginan dan lingkunganagroekosistemnya sehingga teknik konservasi ini akan terusberkembang di lapangan. Keuntungan yang didapat dari system vegetatif ini adalah kemudahan dalam penerapannya, membantumelestarikan lingkungan, mencegah erosi dan menahan aliranpermukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian bahanorganik tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani darihasil sampingan tanaman konservasi tersebut.1. Penghutanan kembaliPenghutanan kembali (reforestation) secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan. Penghutanan kembali juga berpotensi untuk peningkatan kadar bahan organic tanah dari serasah yang jauh di permukaan tanah dan sangat mendukung kesuburan tanah. Penghutanan kembali biasanya dilakukan pada lahan-lahan kritis yang diakibatkan oleh bencana alam misalnya kebakaran, erosi, abrasi, tanah longsor, dan aktivitas manusia seperti pertambangan, perladangan berpindah, dan penebangan hutan.Hutan mempunyai fungsi tata air yang unik karena mampu menyimpan air dan meredam debit air pada saat musim penghujan dan menyediakan air secara terkendali pada saat musim kemarau (sponge effect). Penghutanan kembali dengan maksud untukmengembalikan fungsi tata air, efektif dilakukan pada lahan dengan kedalaman tanah >3 m. Tanah dengan kedalaman 3%) di setiap pulau di Indonesia lebih luas dari lahan datar (< 3%).Praktek Pertanian yang Kurang BijakTingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan tanaman semusim tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada lahan yang berlereng > 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan. Secara keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi luas 31,5 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002), namun penggunaannya diperebutkan oleh pertanian, pemukiman, industri, pertambangan, dan sektor lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian terdesak ke lahanlahan berlereng curam.Laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budi daya pertanian yang tidak disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah yang banyak dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap sebagai bagian penting dari pertanian.Faktor Kebijakan dan Sosial- EkonomiRendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan teknologi, tetapi lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Hudson (1980) menyatakan bahwa walaupun masih ada kekurangan dalam teknologi konservasi dan masih ada ruang untuk perbaikan teknis, hambatan yang lebih besar adalah masalah politik, sosial, dan ekonomi.Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan yang ada belum memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan. Selaras dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama pembangunan pertanian lebih ditujukan pada peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan agak tertinggalkan. Padahal aspek tersebut berdampak jangka panjang bagi pembangunan pertanian di masa mendatang.Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial juga sering menghambat penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan dan hak atas lahan, fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk. Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi alasan bagi mereka untuk mengabaikan konservasi tanah.Konversi lahan pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian (Abdurachman 2004). Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama terkait dengan lemahnya peraturan dan sistem perundangundangan. Selain itu, faktor teknis dan ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan dengan alasan mudah dan murah.PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KONSERVASI TANAHDegradasi tanah diartikan sebagai suatu proses, fenomena atau transformasi yang menurunkan kualitas tanah, yang menyebabkan sifat-sifat fisika, kimia atau biologi tanah menjadi kurang sesuai untuk pertanian (Arshad et al. 1998). Oleh karena itu, konservasi tanah dimaksudkan untuk melindungi tanah dari pengrusakan oleh proses degradasi tersebut. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) tentang konservasi tanah di Indonesia terus berkembang sesuai dengan makin bervariasinya jenis dan intensitas degradasi.Perkembangan Penelitian Konservasi TanahSejarah perkembangan iptek dan penelitian tanah di Indonesia diawali pada tahun 1905, bertepatan dengan berdirinya Laboratorium voor Vermeerdering de Kennis van den Bodem (Laboratorium untuk Perluasan Pengetahuan tentang Tanah), yang sekarang menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kegiatan pengembangan ilmu tanah waktu itu mencakup pula penelitian erosi dan konservasi tanah. Namun, penelitian konservasi tanah yang lebih terprogram dan terorganisasi baru dikembangkan pada tahun 1969/1970 dengan dibentuknya Bagian Konservasi Tanah pada Lembaga Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. Secara kronologis, garis besar sejarah perkembangan penelitian konservasi tanah dapat dipilah dalam beberapa kurun waktu sebagai berikut.Periode 1970-1980Dalam periode ini pengembangan iptek dan penelitian konservasi tanah didominasi oleh kegiatan di laboratorium dan rumah kaca, didukung dengan beberapa kegiatan penelitian lapangan. Kegiatan penelitian diarahkan untuk mengkompilasi berbagai data fisika dan konservasi tanah serta menguji berbagai metode dan teknologi dasar konservasi tanah dan air, termasuk penggunaan soil conditioner. Dalamperiode ini juga dikembangkan tekniksimulasi dan pemodelan, seperti rainfall simulator, Universal Soil Loss Equation (USLE), dan RUSLE (Revised USLE) (Abdurachman et al. 1984; Abdurachman 1989; Abdurachman dan Kurnia 1990).Beberapa inovasi iptek utama yang dihasilkan dalam periode ini adalah: (1) nilai faktor erodibiltas tanah-tanah Indonesia (Kurnia dan Suwardjo 1984), (2) nilai faktor pertanaman dan tindakan pengendalian erosi (Abdurachman et al. 1984), (3) penggunaan soil conditoner, (4) tingkat erosi tanah pada berbagai lahan pertania, (5) teknologi pengelolaan bahan organik, (6) teknologi pengolahan tanah, (7) teknologi pengendalian erosi, dan (8) teknologi rehabilitasi tanah.Periode 1980-2002Dalam periode ini, iptek dan penelitian konservasi tanah lebih diarahkan pada kegiatan lapangan dengan melibatkan petani, dan didukung dengan penelitian rumah kaca dan laboratorium. Kegiatan penelitian dan pengembangan konservasi tanah pada masa ini cukup aktif dan luas, karena didukung oleh berbagai kerja sama dalam dan luar negeri. Kegiatan utamanya antara lain (Abdurachman dan Agus 2000; Agus et al. 2005) : (1) Proyek Penyelamatan Hutan Tanah dan Air di DAS Citanduy, 1982-1988; (2) Proyek Penelitian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P3HTA/ UACP) di DAS Jratunseluna dan Brantas, 1984-1994; (3) Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis di Yogyakarta (YUADP), 1992-1996; (4) Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara, 1986-1995; (5) Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi Tanah untuk Mengatasi Peladangan Berpindah, 1990-1993; (6) Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering-UFDP (Upland Farmers Development Project) di Jawa Barat, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur, 1993-2000; (7) Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering, di DAS Cimanuk, 1995-2000; (8) Managing of Soil Erosion Consortium (MSEC) di Jawa Tengah, 1995-2004; dan (9) Penelitian Multifungsi Pertanian, antara lain untuk memformulasikan kebijakan pembangunan pertanian dan tata guna lahan, 2000-2005.Kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut menghasilkan berbagai teknologi dan sistem usaha tani konservasi (SUT), termasuk model kelembagaan dan sistem diseminasinya. Beberapa rekomendasi pengelolaan lahan juga dihasilkan, seperti formulasi dan pemilihan jenis tanaman sesuai kemiringan lereng, SUT pada wilayah pegunungan, dan SUT lahan kering beriklim kering. Bahkan Permentan No. 47/2006 tentang Pedoman Budidaya pada Lahan Pegunungan, pada hakekatnya merupakan kristalisasi, penjabaran, dan aplikasi dari hampir seluruh kegiatan atau program penelitian dan pengembangan konservasi tanah pada periode ini.Periode 2002-2007Pada periode ini, kegiatan penelitian konservasi tanah berkurang karena tidak banyak lagi penelitian konservasi yang melibatkan petani pada areal yang luas. Kegiatan lebih banyak berupa desk-work, memanfaatkan data yang telah terkumpul untuk menyusun baku mutu tanah, pemodelan konservasi tanah, buku petunjuk konservasi tanah, dan sebagainya. Pada periode ini juga diupayakan pengembangan dan diseminasi iptek Prima Tani di berbagai lokasi, terutama pada lahan kering beriklim basah. Kegiatan lain diarahkan pada upaya perakitan teknologi dan rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi, seperti lahan bekas tambang, lahan tercemar, bekas longsor, termasuk lahan yang tergenang lumpur di Sidoarjo.Perencanaan Konservasi TanahWilayah Indonesia yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke memiliki tanah dan unsur-unsur iklim yang sangat beragam, sehingga tingkat bahaya erosi pun berbeda-beda antara satu wilayah dengan lainnya. Oleh karena itu, data dan informasi tentang jenis dan besaran faktor-faktor penyebab erosi sangat penting sebagai dasar perencanaan konservasi tanah yang efektif dan efisien.Secara umum, faktor-faktor penyebab erosi dapat digambarkan dengan persamaan umum erosi (USLE, Wischmeier dan Smith1978). Untuk wilayah Indonesia, nilai faktor erosi dapat dihitung dengan rumus-rumus yang ditemukan dari hasil penelitian di berbagai stasiun percobaan, antara lain penghitungan nilai erosivitas (Abdurachman 1989), nilai erodibilitas (Abdurachman 1989), dan faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) yang dihitung menggunakan rumus Morgan. Beberapa percobaan lapangan yang dilakukan sejak tahun 1970-an telah menghasilkan nilai C untuk berbagai jenis tanaman (Abdurachman et al. 1984). Faktor tindakan konservasi tanah dihitung de-ngan rumus 5 (Tabel 1). Nilai faktor P dan CP hasil percobaan Lembaga Penelitian Tanah telah dipublikasikan (Abdurachman et al. 1984) dan digunakan dalam penelitian dan perencanaan konservasi tanah.Untuk keperluan perencanaan konservasi tanah atau perluasan areal pertanian, metode prediksi erosi USLE dapat digunakan dengan hasil yang baik (Abdurachman 1997). Penilaiannya adalah dengan membandingkan jumlah tanah tererosi dengan batas ambang erosi atau tolerable soil loss.

Diseminasi dan Pemanfaatan TeknologiPada kurun waktu 1982-2005, telah dilaksanakan berbagai kegiatan diseminasi dan pemanfaatan teknologi konservasi pada proyek-proyek konservasi seperti tersebut di atas. Teknologi konservasi yang diterapkan antara lain adalah teras bangku, teras gulud, strip rumput, mulsa, dan pertanaman lorong (alley cropping). Teknik konservasi yang paling banyak diadopsi adalah teras bangku, karena sejak tahun 1975 teknik konservasi ini telah menjadi bagian dari kegiatan penghijauan setelah diterbitkannya Inpres Penghijauan (Mangundikoro 1985). Teknik pertanaman lorong banyak diteliti dan didiseminasikan antara lain untuk menguji berbagai jenis tanaman yang cocok untuk tanaman pagar, dan mempelajari kontribusi serta kompetisi tanaman pagar terhadap tanaman lorong (Haryati et al. 1995; Abdurachman 2003).Teknik pengendalian degradasi tanah telah dipublikasikan dalam buku, prosiding, dan petunjuk teknis. Teknologi konservasi tanah yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku antara lain adalah teknologi konservasi tanah mekanik (Dariah et al. 2004), teknologi konservasitanah vegetatif (Santoso et al. 2004), teknologi konservasi tanah pada budi daya sayuran dataran tinggi (Kurnia et al. 2004), dan teknologi pengendalian erosi lahan berlereng (Abdurachman et al. 2005).Prospek ke DepanPengetahuan dan teknologi konservasi tanah yang lebih komprehensif makin diperlukan sejalan dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan degradasi tanah dan lahan sebagai konsekuensi pesatnya pembangunan nasional yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan lahan. Oleh karena itu, teknologi pengendalian erosi saja tidak cukup, karena dewasa ini degradasi tanah tidak hanya diakibatkan oleh erosi, seperti halnya pada 40-50 tahun yang lalu. Degradasi tanah sudah merambah ke proses pencemaran residu bahan-bahan agrokimia dan limbah industri, aktivitas penambangan, kebakaran hutan, dan konversi lahan pertanian.Pencemaran tanah oleh bahan-bahan agrokimia belum sepenuhnya dapat diatasi, meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi pengadaan (impor), peredaran, dan penggunaan senyawa kimiawi. Di lapangan, penggunaan bahan-bahan agrokimia terus meningkat dari tahun ke tahun (Soeyitno dan Ardiwinata 1999). Pembakaran hutan yang masih terus berlangsung belum mampu dicegah dengan pelarangan penggunaan api untuk pembukaan lahan.Upaya lain yang mendesak untuk segera ditangani adalah pengendalian degradasi daerah tangkapan hujan (water catchment area) dan pengendalian konversi lahan pertanian. Keduanya menimbulkan hambatan besar bagi pembangunan pertanian, berupa penurunan produksi pertanian nasional, di samping kerugian besar bagi keluarga tani, masyarakat, dan pemerintah daerah.Informasi tersebut di atas mengindikasikan bahwa ke depan, teknologi dan kebijakan konservasi tanah dalam arti luas masih perlu dicari dan dikembangkan lebih lanjut. Teknologi pengendalian erosi sudah tersedia, namun diseminasinya perlu ditingkatkan agar dapat diterima dan diadopsi oleh pengguna lahan (Abdurachman dan Hidayat 1999).KONSERVASI TANAH DALAMKERANGKA REVITALISASI PERTANIANKonservasi tanah sangat penting untuk mengatasi degradasi lahan yang merupakan salah satu dari empat ancaman utama terhadap pelaksanaan RPPK, khususnya pada sektor pertanian di mana ketahanan pangan menjadi salah satu pilar utama. Keempat ancaman tersebut adalah: (1) pelandaian dan stagnasi produktivitas padi akibat kemandegan implementasi inovasi teknologi, (2) ketidakstabilan produksi padi akibat cekaman hama dan penyakit serta iklim, (3) degradasi sumber daya pertanian, terutama lahan dan air, serta (4) konversi lahan pertanian.Kebijakan dan Strategi Revitalisasi Pertanian RPPK yang dicanangkan oleh Presiden pada Juni 2005 merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, serta menjaga kelestarian sumber daya alam (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2005). Dalam RPPK ditetapkan tiga butir kebijakan dan strategi umum, yaitu:1. Pengurangan kemiskinan dan kegureman, pengurangan pengangguran, serta pencapaian skala ekonomi usaha PPK, terutama melalui pengelolaan pertanahan, tata ruang dan keagrariaan, fasilitasi pengembangan kesempatan kerja dan berusaha di luar usaha tani, pengembangan agroindustri pedesaan, diversifikasi kegiatan produksi, serta pengembangan infrastruktur dan kelembagaan usaha tani.2. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi dan distribusi PPK, terutama melalui praktek pertanian yang baik (good agriculture practice), pengembangan usaha baru dan multiproduk, agroindustri pedesaan, infrastruktur, kelembagaan usaha tani, pengembanganakses terhadap berbagai hambatan usaha dan sumber ekonomi biaya tinggi, serta perlindungan usaha atas persaingan tidak adil.3. Pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan, terutama melalui pengelolaan konservasi, pertanahan, tata ruang dan keagrariaan, serta mendorong pengembangan usaha, penerapan teknologi dan kelembagaan yang ramah lingkungan, serta penegakan hukum.Ketiga butir kebijakan dan strategi tersebut terkait erat dengan aspek konservasi tanah, yaitu terkendalinya proses degradasi lahan, sehingga sistem pertanian menjadi berkelanjutan dan masyarakat lebih sejahtera .Peran Konservasi TanahPeran konservasi tanah dalam RPPK antara lain dinyatakan dalam butir (3) dan (2) tersebut di atas. Dalam butir (3), jelas dinyatakan bahwa pengelolaan konservasi merupakan strategi utama dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan.Selanjutnya pada butir (2) ditegaskan strategi utama dalam peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi dan distribusi, serta praktek usaha pertanian yang baik. Dalam usaha ini, pengelolaan konservasi tanah menjadi komponen utama yang perlu diperhatikan agar tercapai tingkat produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Tanpa konservasi tanah, dapat terjadi erosi pada lahan tanaman pangan sampai 14-15 mm/tahun, seperti di Putat, Jawa Tengah, dan di Punung, Jawa Timur (Abdurachman et al. 1985), Demikian juga pada lahan tanaman pangan yang berlereng 14% di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al. 1985). Mengingat pentingnya konservasi tersebut dalam RPPK khususnya dan pembangunan pertanian pada umumnya, maka selain aspek teknis di lapangan juga perlu didukung sistem kelembagaan yang tegas, seperti regulasi dan instansi pemerintah yang diberi mandat untuk melaksanakan program konservasi, terutama pada lahan pertanian.Penetapan Lahan Pertanian AbadiRPPK mengamanatkan perlunya penetapan, penegasan, dan penegakan hukum bagi tersedianya lahan pertanian abadi, yang terdiri atas 15 juta ha lahan beririgasi dan 15 juta ha lahan kering. Penetapan ini merupakan salah satu strategi operasional, dengan tujuan utama untuk mengendalikan konversi lahan pertanian.Keberadaan lahan abadi tersebut dipandang akan mampu mendukung pemantapan ketahanan pangan dan peningkatan volume ekspor hasil pertanian. Namun jelas, lahan abadi tersebut harus dilengkapi dengan instrumen konservasi tanah yang efektif agar tidak berubah menjadi lahan tidur dan terbengkalai. Penetapan lahan abadi merupakan manifestasi dari kebijakan pemerintah dalam pengelolaan konservasi lahan pertanianPenetapan lahan sawah abadi 15 juta ha harus didasarkan atas kriteria yang jelas, baik dari aspek teknis maupun aspek hukum, budaya dan sosial, serta dilakukan secara bertahap. Sekarang ini luas sawah baku di Indonesia hanya 7,78 juta ha (BPS 2003), dengan kualitas bervariasi dari sawah irigasi teknis sampai sawah tadah hujan. Dengan menggunakan kriteria biofisik lahan, produktivitas, indeks pertanaman, dan status irigasi, lahan sawah yang layak dijadikan sawah abadi hanya 3,3 juta ha (Abdurachman 2004).Sementara ini, areal pertanian lahan kering cukup luas, yaitu 39,6 juta ha (BPS 2004), terdiri atas tegalan (15,6 juta ha), pekarangan (5,7 juta ha), perkebunan (18,3 juta ha), lahan kayu-kayuan (10,4 juta ha), serta lahan terlantar (10,2 juta ha). Dengan demikian, menemukan lahan kering abadi 15 juta ha tidak sulit, cukup dengan memilih lahan pertanian yang sudah ada saat ini.STRATEGI KONSERVASI TANAH DI INDONESIAUpaya konservasi tanah tidak dapat diserahkan hanya kepada inisiatif dan kemampuan petani saja, karena berbagai keterbatasan, terutama permodalan, selain kurang memahami pentingnya konservasi. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting dan menentukan. Demikian juga strategi yang dipilih untuk mensukseskan implementasinya di lapangan sangat menentukan keberhasilan. Strategi tersebut meliputi lima hal sebagai berikut.Strategi 1 Penyiapan Teknologi KonservasiTeknologi konservasi tanah yang tepat guna, berupa teknologi pengendalian erosi dan longsor, sudah tersedia. Beberapa di antaranya telah dipublikasikan dalam berbagai media cetak berupa buku, jurnal, dan prosiding. Yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan dan menyusunnya dalam buku teknologi atau menyediakan file elektronis, sehingga dapat diakses dengan mudah oleh penyuluh dan calon pengguna lainnya. Teknologi untuk mengendalikan pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, polusi oleh limbah pertambangan dan industri, serta konversi lahan masih perlu diteliti dan dikembangkan lebih lanjut.Strategi 2 Percepatan DiseminasiUpaya penelitian konservasi tanah selama ini belum didukung oleh sistem diseminasi yang handal. Teknologi pengendalian erosi lebih banyak diterapkan pada proyek reboisasi dan penghijauan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan. Sasaran utaman proyek tersebut adalah kawasan hutan, terutama pada DAS bagian hulu, sedangkan konservasi wilayah pertanian hanya terbatas pada penghijauan lahan pertanian di DAS hulu. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan terhadap materi, program, dan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat pusat dan daerah. Untuk mendukung pembenahan ini, penelitian konservasi tanah perlu diarahkan kepada pencarian metode diseminasi teknologi yang tepat, di samping penelitian teknologinya sendiri.Salah satu program Departemen Pertanian yang dapat dijadikan wadah percepatan diseminasi teknologi konservasi adalah Prima Tani, yang salah satu tujuannya adalah mempercepat diseminasi inovasi pertanian (Abdurachman 2006b, 2006c). Prima Tani merupakan model pembangunan pedesaan yang mengintegrasikan berbagai program pertanian, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran secara sinergis, yang juga bertujuan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi desa berupa sumber daya manusia dan lahan. Jadi secara filosofis, semangat Prima Tani sangat dekat dengan semangat konservasi sumber daya. Oleh karena itu, melalui Prima Tani, teknologi konservasi tanah berpeluang diterapkan di lahan petani sebagai percontohan. Lebih jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani sebagai suatu model pembangunan pertanian yang berawal dari desa, dan merupakan tonggak baru sejarah pembangunan pertanian (Abdurachman 2007).Teknologi konservasi dapat pula didiseminasikan melalui peraturan, seperti dengan penetapan Permentan 47 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Dalam Permentan tersebut dengan tegas ditetapkan strategi dan teknologi konservasi tanah dan air menurut karakteristik lahan dan iklim secara spesifik lokasi. Secara substansial, Permentan tersebut disusun dan merupakan kristalisasi serta sari pati hasil pembelajaran dari berbagai program penelitian dan pengembangan konservasi sejak puluhan tahun yang lalu.Strategi 3: Reformasi Kelembagaan Konservasi TanahPada tahun 2005, dalam struktur organisasi Departemen Pertanian dibentuk kelembagaan eselon I baru, yaitu Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, dengan Permentan No. 299 tahun 2005. Hal ini memberikan harapan akan lebih tertibnya pengelolaan lahan dan air, walaupun mandat konservasi tanah masih diletakkan pada tingkat jabatan yang relatif rendah (eselon III), yaitu Subdit Rehabilitasi, Konservasi, dan Reklamasi Lahan.Makin cepatnya laju degradasi lahan pertanian, yang mengancam keberlanjutan dan tingkat produksi pertanian, menuntut adanya politik pemerintah yang lebih tegas, antara lain dengan meninjau ulang posisi kelembagaan konservasi tanah. Mandat konservasi tanah di Departemen Pertanian seyogianya dilaksanakan oleh suatu kelembagaan setingkat eselon II (Direktorat Konservasi Tanah), di bawah Ditjen PLA, bahkan lebih baik lagi dibentuk Direktorat Jenderal Konservasi Tanah. Dengan demikian akan ada kelembagaan khusus yang bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang konservasi tanah, yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.Strategi 4: Relokasi Program Konservasi TanahProgram konservasi tanah selama ini dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan, dengan nama Reboisasi dan Penghijauan hingga tahun 2002. Kemudian pada tahun 2003 digalakkan gerakan masyarakat yang disebut Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional (Gerhan). Hingga tahun 2006, untuk merehabilitasi lahan 2,1 juta ha digunakan anggaran Rp8,586 triliun atau Rp4 juta/ha, yang bersumber dari dana reboisasi (Kartodihardjo 2006). Namun, hanya 2,1% dari anggaran tersebut yang digunakan untuk pembuatan konstruksi teknis konservasi mekanis, seperti teras dan saluran drainase, sehingga dampak program tersebut tampaknya belum cukup berarti, terutama untuk konservasi lahan pertanian. Berdasarkan kenyataan tersebut, seyogianya program konservasi lahan pertanian dikelola oleh kelembagaan konservasi di Departemen Pertanian yang dikoordinasikan dengan program Dinas Pertanian di provinsi dan kabupaten. Dengan demikian, konservasi lahan pertanian akan mendapat perhatian lebih besar, dan Departemen Kehutanan dapat memfokuskan programnya pada penanganan konservasi kawasan hutan.Strategi 5: Pelaksanaan Program PendukungUpaya konservasi lahan pertanian perlu didukung perbaikan perencanaan dan implementasi programnya, antara lain berupa program sebagai berikut.Peningkatan Kesadaran MasyarakatHasil penelitian di DAS Citarum dan DAS Kaligarang menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan baru mengenal 2-4 jenis fungsi lahan pertanian, yaitu penghasil produk pertanian, pemelihara pasokan air tanah, pengendali banjir, dan penyedia lapangan kerja. Padahal fungsi lahan pertanian bagi kemanusiaan mencapai 30 jenis.Sehubungan dengan hal tersebut, penggalakan konservasi tanah harus meliputi pula advokasi pentingnya pertanian beserta fungsi gandanya. Dalam jangka pendek, promosi dapat dilakukan melalui seminar dan simposium serta media cetak dan elektronis. Dalam jangka panjang, sasaran advokasi bukan saja masyarakat umum, tetapi juga pelajar dan mahasiswa melalui kurikulum pokok dan ekstra-kurikuler.Penguatan Kelembagaan PenyuluhanKondisi kelembagaan penyuluhan saat ini kurang kondusif untuk pembangunan pertanian secara umum, lebih-lebih untuk pengembangan konservasi tanah. Hal ini terjadi terutama setelah diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah, yang antara lain mengalihkan pengelolaan urusan penyuluhan pertanian dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten. Namun dengan diterbitkannya UU No 16/2006 tentang penyuluhan diharapkan fungsi penyuluhan akan lebih baik, apalagi dengan digabungnya penyuluhan pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam satu wadah. Salah satu hal yang perlu diupayakan adalah pengadaan tenaga penyuluh konservasi tanah lapangan yang terlatih dan dibekali pengetahuan dan teknologi konservasi yang memadai.Penegakan HukumRUU Konservasi Tanah masih dalam proses ke arah pengesahan menjadi undang-undang. Namun sebenarnya berbagai peraturan/perundangan yang berkaitan dengan masalah kerusakan lahan pertanian, terutama konversi lahan ke nonpertanian, sudah banyak diberlakukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan Peraturan Daerah. Masalah yang mengemuka adalah lemahnya penegakan hukum terutama karena penerapan law-enforcement yang kurang tegas.Advokasi Penanggung JawabKonservasi Perlu dilakukan advokasi intensif kepada masyarakat luas untuk menjelaskan bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh generasi bangsa Indonesia.KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKANDari uraian di atas dapat ditarik beberapa butir kesimpulan sebagai berikut:1. Lahan pertanian di Indonesia telah dan terus mengalami degradasi, yang mengancam keberlanjutan sistem pertanian, ketahanan pangan, kesejahteraan petani, dan kelestarian lingkungan. Proses degradasi juga mengancam keberhasilan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, serta menjaga kelestarian sumber daya alam. Namun upaya pemerintah dalam pengendalian degradasi lahan pertanian belum optimal, sementara petani belum mampu mengatasinya sendiri.2. Jenis degradasi tanah yang dominan adalah erosi yang disebabkan oleh tingginya faktor-faktor pendorong, yaitu kemiringan lahan, curah hujan, kepekaan tanah terhadap erosi, dan kebiasaan bertani tanpa teknik pengendalian erosi. Jenis degradasi lain adalah pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, longsor, dan konversi lahan pertanian.3. Iptek konservasi tanah berkembang sejalan dengan perkembangan penelitian dan meningkatnya jenis dan intensitas degradasi tanah. Teknologi pengendalian erosi cukup tersedia, namun diseminasi dan adopsinya oleh pengguna belum terlaksana dengan baik.4. Pada tataran kebijakan pemerintah, masalah utama yang dihadapi adalah lemahnya kelembagaan dan program konservasi tanah di Departemen Pertanian, yang seyogianya memiliki kemampuan tinggi untuk mengatasi meningkatnya masalah degradasi lahan pertanian. Pada tataran lapangan, masalah yang perlu diatasi adalah yang berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi, budaya, dan hukum.Dalam kerangka mendukung RPPK khususnya dan pembangunan pertanian pada umumnya, diperlukan strategi dan implikasi kebijakan sebagai berikut:1. Meningkatkan program penelitian dan pengembangan teknologi konservasi, terutama untuk mengendalikan pencemaran tanah, kebakaran hutan, dan konversi lahan pertanian.2. Mempercepat diseminasi teknologi pengendalian erosi dan longsor, antara lain melalui Prima Tani, yaitu program pembangunan pertanian yang berawal dari desa, yang antara lain bertujuan memasyarakatkan inovasi pertanian.3. Meningkatkan posisi kelembagaan konservasi tanah di Departemen Pertanian dari Subdirektorat (Eselon III) menjadi Direktorat Jenderal Konservasi Tanah dan Air. Dengan demikian, akan ada kelembagaan yang kuat untuk memberikan bahan-bahan pertimbangan kepada Menteri Pertanian, melaksanakan penyiapan rumusan dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang konservasi tanah.4. Mengalihkan program konservasi dan rehabilitasi lahan pertanian dari Departemen Kehutanan ke Departemen Pertanian. Di satu sisi, lahan-lahan pertanian akan dapat dibina danditingkatkan produktivitasnya melalui kebijakan dan fasilitasi satu kelembagaan saja, yaitu Departemen Pertanian. Di sisi lain, masalah degradasi kawasan hutan akan dapat diatasi dengan lebih efektif oleh Departemen Kehutanan.5. Melaksanakan program-program pendukung, yaitu: (a) peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pertanian dengan multifungsinya, (b) penguatan kelembagaan penyuluhan pertanian, termasuk pengadaan tenaga khusus penyuluh konservasi tanah, (c) penegakan hukum dalam perkara yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian,dan (d) advokasi intensif kepada masyarakat luas untuk memberikan penjelasan bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh generasi bangsa Indonesia.PENUTUPSumber daya lahan Nusantara merupakan anugerah dan amanat dari Tuhan Yang Maha Pemurah kepada seluruh bangsa Indonesia. Amanat ini seharusnya dipertanggungjawabkan dengan cara memelihara dan mengoptimalkan pendayagunaannya untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan, Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sumberdaya lahan pertanian dan kawasan hutan digunakan secara tidak rasional, sering ditujukan hanya untuk memperoleh keuntungan jangka pendek semata. Hal ini menimbulkan dampak buruk berupa penurunan produktivitas pertanian, bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan berkepanjanganApabila cara-cara mengelola sumber daya lahan tersebut tidak diperbaiki sesuai karakteristik masing-masing lahan maka ancaman malapetaka pasti akan bertambah besar. Hal ini telah diperingatkan pada 14,5 abad yang lalu, dalam Alquran: QS 30: 41:Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).Semoga peringatan keras ini menggugah kesadaran dan kearifan kita semua, dan ke depan seyogianya kita lebih waspada dan bijak dalam mengelola sumber daya alam yang dititipkan kepada kita sekalian, bangsa Indonesia.DAFTAR PUSTAKAAbdurachman, A., S. Abuyamin, dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan tanah dan tanaman untuk usaha konservasi tanah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 3: 7-11.Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 4: 41-46.Abdurachman, A. 1989. Rainfall Erosivity and Soil Erodibility in Indonesia: Estimation and Variation with Time. Doctorate Thesis. University of Ghent, Belgium. 195 hlm.Abdurachman, A. dan U. Kurnia. 1990. Estimasi indeks erodibilitas tanah dengan menggunakan teknik simulasi hujan di laboratorium. Pemberitaan Penelitin Tanah dan Pupuk 9: 38-45.Abdurachman, A. 1997. Penggunaan RUSLE untuk menduga erosi tanah pada lahan pertanian di Indonesia. Lokakarya Penetapan Model Pendugaan Erosi Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.Abdurachman, A. dan A. Hidayat, 1999. Pengelolaan sumber daya lahan dan air untuk mendukung pembangunan pertanian. Seminar Nasional Sektor Pertanian sebagai Andalan Ekonomi Nasional. Jakarta 26-27 Juli 1999.Abdurachman, A. dan F. Agus. 2000. Pengembangan teknologi konservasi tanah pasca NWMCP. hlm. 25-38. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 2-3 September 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.Abdurachman, A. 2003. Strategi dan arah ke depan penelitian dan pengembangan sumber daya lahan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim, 14-15 Oktober 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.Abdurachman, A. 2004. Pengendalian konversi lahan sawah secara komprehensif. Makalah pada Round Table Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan Pertanian,14 Desember 2004.Abdurachman, A., Sutono, dan N. Sutrisno 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan kering berlereng. hlm. 101-140 . Dalam Abdurachman et. al. (Eds). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan.Abdurachman, A. 2006a. Strategi mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 24 (5): 99-105.Abdurachman, A. 2006b. Prima Tani: Membangun agroindustri pedesaan dengan inovasi teknologi dan kelembagaan agribisnis. Sinar Tani edisi 23-29/08- 2006. No. 3164 Tahun XXXVI.Abdurachman, A. 2006c. Prima Tani: Peluang emas bagi pemanfaatan iInovasi pertanian. Agrotek. Edisi Agustus- September 2006. Opini: 32-33.Abdurachman, A. 2007. Tonggak sejarah pembangunan pertanian. Sinar Tani. Edisi 2007. No. Tahun XXXVII. hlm. 20.Agus, F. dan E. Husen 2004. Tinjauan umum multifungsi pertanian. Seminar Nasional Multifungsi Pertanian dan Ketahanan Pangan. Bogor. 12 Oktober 2004.Agus, F., R.L. Watung, Wahyuno, Irawan, A.R. Nurmanaf, Sutono, and S. Talaohu. 2005. Assessment of the multifunctionality of agriculture. Environmental aspects and community evaluation. Report of Phase I: Evaluation of Multifunctionality of Paddy Farming and Its Effects in ASEAN Countries. p. 93-154.Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residu insektisida di Jawa Barat. dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.Arshad, M., A. Khalid, and Z.A. Zahir. 1998. Degraded soils and organic matter. APO Seminar on Soil Degradation. Univ of Agriculture. Faisalabad, Pakistan, 19-24 October1998. p. 15.Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). 1998. Planning for Fire Prevention and Drought Management Project, Jakarta. BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika). 1994. Rainfall types in Indonesia. BMG. Jakarta BPS (Badan Pusat Statistik). 2003-2004. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budiastoro. 2004. Teknologi konservasi tanah mekanik. hlm. 109-132. Dalam Kurnia et. al. (Ed.). Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Dudal, R. 1980. An evolution of conservation needs p. 5-12. In R.P.C. Morgan (Ed). Soil Conservation, Problems and Aspects. John Wiley & Sons, USA.Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu insektisida pada ekosistem lahan sawah irigasi di Jawa Timur. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada Typic Eutropept di Ungaran, Jawa Tengah. Pemberitaan PenelitianTanah dan Pupuk 13: 40-50.Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1-34. Dalam Abdurachman, Mappaona dan Saleh (Ed.). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.Hudson, N. W. 1980. Social, Political and economics aspects of soil conservation. p. 45-54. In P.C. Morgan (Ed). Soil Conservation Problems and Aspects. John Wiley & Sons, USA. Irawan, B., S. Eriyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kirom, B. Rachman, dan B. Wiryono. 2001. Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Pencemaran pestisida pada agroekoistem lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.Jaya, A., S.E. Page, J.O. Rieley, S. Limin. and H.D.V. Bohn. 2000. Impact of forest fire on carbon storage in tropical peat lands. p. 106-113. In L.Rochefort and J.Y. Daigle (Eds). Sustaining Our Peatlands. Proc. of the 11th International Peat Congress, Quebec, Canada.Kartodihardjo, H. 2006. Masalah dan kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan. Makalah pada Diskusi Terbuka Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Kebijakan, operasionalisasi dan gagasan baru. Institut Pertanian Bogor. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Jakarta. hlm. 56.Kurnia, U. dan Suwardjo. 1984. Kepekaan erosi beberapa jenis tanah di Jawa menurut metode USLE. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 17-20.Kurnia, U., H. Suganda, D. Erfandi, dan H. Kusnadi. 2004. Teknologi konservasi tanah pada budi daya sayuran dataran tinggi. hlm. 133-150. Dalam Kurnia et. al. (Ed.). Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.Lal, R. 1985. Soil erosion and its relation to productivity in tropical soils. p. 237- 247. In S.A. El-Swaifi, W.C. Moldenhauer, and A. Lo (Eds.). Soil Erosion and Conservation. USA.Langdale, G.W., J.E. Box Jr, R.A. Leonard, A.P. Barnet, and W.G. Fleming. 1979. Corn yield reduction on eroded Southern Piedmont Soils. J. Soil and Water Conservation 34(1): 226-228.Mangundikoro, A. 1985. Watershed management in Indonesia. Proc. of the Symposium on Watershed and Conservation for Productive and Protective Uplands in ASEAN Region. College, Laguna, Philippines, 25-29 June 1984.Margrath, W.B. and P. Arens. 1989. The Cost of Soil Erosion in Java: A natural resources accounting approach. Environment Dep. Working Paper 18, 1989. World Bank.Musa, S. dan I. Parlan. 2002. The 1997/1998 forest fire experience in Peninsular Malaysia. Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatland. Kuala Lumpur, Malaysia, 19-21 March 2002. p. 8.Partosedono, R.S. 1977. Effects of Mans Activity on Erosion in Rural Environments and Feasibility Study for Rehabilitation. Publ. 113: 53-54. Paris. IAHS AISH. Parish, F. 2002. Peat-lands, biodiversity and climate change in SE Asia, an overview. Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands. Kuala Lumpur, Malaysia, 19-21 March 2002. p. 11.Santoso, D., J. Purnomo, I.G.P. Wigena dan E. Tuherkih. 2004. Teknologi konservasi tanah vegetatif. hlm. 77-108. Dalam Kurnia et. al. (Eds): Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.Soemarwoto, O. 1974. The soil erosion problem in Java. p. 361-364. Proc. First International Congress of Ecology. The Hague.Soeyitno, J. dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu pestisida pada agroekosistem tanaman pangan. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.Subagyo, H., N. Suharta dan A.B.Siswanto 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm. 21-66. Dalam Abdurachman et.al. (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Suwardjo, 1981 Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.Tim Peneliti Baku Mutu Tanah. 2000. Pengkajian Baku Mutu Tanah pada Lahan Pertanian. Laporan Akhir kerja sama antara Proyek Pengembangan Penataan Lingkungan Hidup Bappeldada Jakarta dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. No. 50/Puslittanak.Winoto, J. 2005. Kebijakan pengendalian alih fungsi tanah pertanian dan implementasinya. Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Bogor. hlm. 8.Wischmeier, W.H. and D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A Guide to Conservation Planning. USDA Agric. Hand Book 537, WashingtonDC.