konservasi mangrove berdasarkan pendekatan masyarakat

47
KONSERVASI MANGROVE BERDASARKAN PENDEKATAN MASYARAKAT Di susun oleh: Fajar ramadhan (201410320311009) FAKULTAS PERTANIAN-PETERNAKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG TAHUN 2014

Upload: jharz-nagh-smataygcalucheerfuleveryday

Post on 29-Sep-2015

230 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

okee kan

TRANSCRIPT

KONSERVASI MANGROVE BERDASARKAN PENDEKATAN MASYARAKAT

Di susun oleh: Fajar ramadhan (201410320311009)

FAKULTAS PERTANIAN-PETERNAKANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANGTAHUN 2014

BAB IPENDAHULUANA. Latar belakangSalah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainya (Pramudji, 2000). Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan , yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem mangrove.Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obatobatan, alat dan teknik penangkapan ikan. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Di beberapa daerah wilayah pesisir di Indonesia sudah terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya. Hutan mangrove telah dirubah menjadi berbagai kegiatan pembangunan seperti perluasan areal pertanian, pengembangan budidaya pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya.Kegiatan pembangunan tidak perlu merusak ekosistem pantai dan hutan mangrovenya, asalkan mengikuti penataan yang rasional, yaitu dengan memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem pesisir dan lautan dengan menata sempadan pantai dan jalur hijau dan mengkonservasi jalur hijau hutan mangrove untuk perlindungan pantai, pelestarian siklus hidup biota perairan pantai (ikan dan udang, kerang, penyu), terumbu karang, rumput laut, serta mencegah intrusi air laut. (Wiryodarmodjo, 1982)Salah satunya model pendekatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk didalamnya adalah sumberdaya hutan mangrove adalah pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat. Selama ini, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dikontrol kuat oleh negara yang pengelolaannya selalu didelegasikan kepada pengusaha besar, jarang kepada rakyat kecil. Pemerintah sepertinya kurang percaya bahwa rakyat mampu mengelola sumberdaya alam yang ada di lingkungannya. Berdasarkan hal di atas, maka makalah ini mencoba menguraikan bangaimana konservasi mangrove berdasarkan pendekatan masyarakat yang berada di kawasan ekosistem mangrove.

B. Rumusan masalahBerdasarkan latar belakang diatas maka di peroleh rumusan masalah sebagai berikut:1. Bagaimana upaya konservasi ekosistem mangrove berdasarkan pendekatan masyarakat ?C. Tujuan penulisanBerdasarkan rumusan masalah di atas, maka diperoleh tujuan sebagai sebagai berikut:1. Menjelaskan tentang cara konservasi ekosistem mangrove berdasarkan pendekatan masyarakat

BAB IIPEMBAHASAN1. Definisi mangroveMangrove berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan (Odum.1983). Di Suriname, kata mangrove pada mulanya merupakan kata yang umum dipakai untuk jenis Rhizophora mangle (Karsten 1890 dalam Chapman 1976). Di Portugal, kata mangue digunakan untuk menunjukkan suatu individu pohon dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di Perancis, padanan yang digunakan untuk mangrove adalah kata menglier. MacNae (1968) menggunakan kata mangrove untuk individu tumbuhan dan mangal untuk komunitasnya. Di lain pihak, Tomlinson (1986) dalam Wightman (1989) menggunakan kata mangrove baik untuk tumbuhan maupun komunitasnya, dan Davis (1940) dalam Walsh (1974) menyebutkan bahwa kata mangrove merupakan istilah umum untuk pohon yang hidup di daerah yang berlumpur, basah dan terletak di perairan pasang surut daerah tropis. Meskipun terdapat perbedaan dalam penggunaan kata, Mepham dan Mepham (1985) dalam Wightman (1989) menyatakan bahwa pada umumnya tidak perlu dikacaukan dalam penggunaan kontekstual dari kata-kata tersebut. Beberapa ahli mengemukakan definisi hutan mangrove, seperti Soerianegara dan Indrawan (1982) menyatakan bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizophora sp), lacang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp) dan lain-lain. Kusmana (2002), mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Menurut Steenis (1978), yang dimaksud dengan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut. Nybakken (1988), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove disebut juga Coastal Woodland (hutan pantai) atau Tidal Forest (hutan surut)/hutan bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat di daerah tropika(Saenger, 1983) 2. Fungsi dan manfaat hutan mangroveSaenger (1983); Salim (1986); dan Naamin (1990) menyatakan bahwa fungsi ekosistem mangrove mencakup: fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut; dan mengolah bahan limbah. Fungsi biologis ; tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi, sebagai sumber bahan bakar (arang kayu bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping itu, ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule (Pratikto dkk., 2002). Karena karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Disamping itu, ekosistem mangrove juga merupakan penghasil detritus dan merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground), serta daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya. Juga sebagai pemasok larva ikan, udang, dan sebagai tempat pariwisata. Menurut Hardjosento (1981) dalam Saenger (1983), hasil dari hutan mangrove dapat berupa kayu, bahan bangunan, chip, kayu bakar, arang kulit kayu yang menghasilkan tanin (zat penyamak) dan lain-lain. Selanjutnya Saenger, (1983) juga merinci hasil-hasil produk dari ekosistem hutan mangrove berupa : a. Bahan bakar; kayu bakar, arang dan alkohol. b. Bahan bangunan; balok perancah, bangunan, jembatan, balok rel kereta api, pembuatan kapal, tonggak dan atap rumah. Tikar bahkan pagar pun menggunakan jenis yang berasal dari hutan mangrove. c. Makanan; obat-obatan dan minuman, gula alkohol, asam cuka,obat-obatan. d. Perikanan; tiang-tiang untuk perangkap ikan, pelampung jaring, pengeringan ikan, bahan penyamak jaring dan lantai. e. Pertanian, makanan ternak, pupuk dsb. f. Produksi kertas; berbagai macam kertas Hutan mangrove merupakan sumber daya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin, 1991). Manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya : Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang Pengendali intrusi air laut Habitat berbagai jenis fauna Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang Pembangun lahan melalui proses sedimentasi Pengontrol penyakit malaria Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air) Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lainSecara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi Dahuri (2004). Fungsi ekologis ekosistem hutan adalah sebagai berikut : a. Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang, b. Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan, c. Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir, d. Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organik, e. Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan seperti : cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya, f. Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan3. Penyebab kerusakan ekosistem mangroveSeperti kita ketahui, hutan mangrove merupakan tipe ekosistem peralihan darat dan laut yang mempunyai multi fungsi, yaitu selain sebagai sumberdaya potensial bagi kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi, sosial juga merupakan pelindung pantai dari hempasan ombak. Oleh karena itu dalam usaha pengembangan ekonomi kawasan mangrove seperti pembangkit tenaga listrik, lokasi rekreasi,pemukiman dan sarana perhubungan serta pengembangan pertanian pangan, perkebunan,perikanan dan kehutanan harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya wilayah pesisir. Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya mangrove terus meningkat. Secara garis besar ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu : 1. Faktor manusia, yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan, 2. Faktor alam, seperti : banjir, kekeringan dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil (Tirtakusumah, 1994). Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan (Perum Perhutani 1994), antara lain : a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah. b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa ditebang. c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove. d. Adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional.

Tekanan pada ekosistem mangrove yang berasal dari dalam, disebabkan karena pertumbuhan penduduk dan yang dari luar sistem karena reklamasi lahan dan eksploitasi mangrove yang makin meningkat telah menyebabkan perusakan menyeluruh atau sampai tingkat-tingkat kerusakan yang berbeda-beda. Dibeberapa tempat ekosistem mangrove telah diubah sama sekali menjadi ekosistem lain. Terdapat ancaman yang semakin besar terhadap daerah mangrove yang belum diganggu dan terjadi degradasi lebih lanjut dari daerah yang mengalami tekanan baik oleh sebab alami maupun oleh perbuatan manusia (UNDP/UNESCO 1984). Menurut Soesanto dan Sudomo (1994) Kerusakan ekosistem mangrove dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain : 1. Kurang dipahaminya kegunaan ekosistem mangrove. 2. Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang bertempat tinggal dekat atau sebagai bagian dari ekosistem mangrove. 3. Karena pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan lingkungan hidup.

4. Silvofishery sebagai salah satu bentuk konservasi mangrove berdasarkan pendekatan masyarakatPendekatan teknis yang dilakukan dalam kegiatan Perhutanan Sosial adalah dengan sistem silvofishery (Perum Perhutani,1993). Sistem ini merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah yang cukup efektif dan ekonomis. Aspek keuntungan yang diperoleh dengan model silvofishery ini antara lain dapat meningkatkan lapangan kerja (aspek sosial), dapat mengatasi masalah pangan dan energi (aspek ekonomi) serta kestabilan iklim mikro dan konservasi tanah (aspek ekologi).Pola ini dipandang sebagai pola pendekatan teknis yang dianggap cukup baik, karena selain petani dapat memanfaatkan lahan untuk kegiatan pemeliharaan ikan, pihak Perum Perhutani secara tidak langsung menjalin hubungan kerja sama yang saling menguntungkan. Pola silvofishery yang digunakan adalah pola komplangan (Gambar 1) dan empang parit (Gambar 2) (Perum Perhutani, 1994; Sumarhani, 1994; Amir, dkk, 1994). Perhutanan Sosial yang dilakukan oleh Perum Perhutani merupakan program pembangunan, pemeliharaan dan pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara optimal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perbaikan lingkungan dan kelestariannya yang pelaksanaannya terbatas dikawasan hutan. Berdasarkan pengertian tersebut diharapkan Perhutanan Sosial dapat memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan tekanan sosial budaya penduduk di sekitar hutan yang berakibat turunnya produktivitas lahan dan fungsi hutan maupun kualitas lingkungan biofisik di sekitarnya. Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 60.2/Kpts/DIR/1988 merupakan Pedoman Pelaksanaan Perhutanan Sosial. Penggarap empang dianggap sebagai mitra sejajar dalam pembangunan hutan atas dasar saling menguntungkan. Perhutanan Sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pola agroforestry. Agroforestry merupakan suatu alternatif yang cukup efektif dalam upaya untuk menyatukan kepentingan antara kehutanan dengan masyarakat sekitar hutan, khususnya Kelompok Tani Hutan sehingga terjalin hubungan mitra pembangunan yang harmonis yang saling menguntungkan. Dalam sistem agroforestry,penggunaan lahan pada dasarnya dititikberatkan pada salah satu usaha tanaman pangan, peternakan atau kehutanan (Setiawan 1991). Jika tanaman kehutanan dikombinasikan dengan pertambakan ikan atau udang disebut silvofishery. Tujuan kegiatan Perhutanan Sosial di hutan mangrove ini sama halnya dengan di kawasan hutan produksi, yaitu : untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memelihara ekosistem hutan mangrove. Hal ini dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan teknis dan non teknis.

1. Pendekatan Teknis

Gambar 1. Pola Komplangan

Keterangan : a. pintu air 2 buah (pintu masuk dan keluar) b. tanggul pemisah c. areal bertegakan hutan dengan pasang surut bebas d. empang pemeliharaan ikan

Keuntungan : -cahaya matahari yang menyinarinya cukup baik-dapat diterapkan budidaya semi intensif-perkembangan hutan dan ikan tidak saling menghambat

Hambatan : -membutuhkan biaya investasi untuk pembuatan empang

Gambar 2 Pola empang paritKeterangan : a. pintu air untuk pemeliharaan ikan b. saluran air pasang surut bebas untuk hutan c. empang tempat pemeliharaan ikan lebar maksimum 5 meter d. areal tegakan hutan dengan pasang surut bebas e. tanggul

Keuntungan : -cahaya matahari yang menyinari cukup baik-biaya penyempurnaan empang parit dapat dilaksanakansecara bertahap setiap pemeliharaanHambatan :-pemeliharaan ikan kurang terintegrasi-lebar parit terbatas sehingga cahaya matahari yang menyinari tidak cukup banyak 2. Pendekatan Non Teknis Dalam melaksanakan pendekatan non teknis ini perlu dibentuk suatu organisasi penggarap kawasan hutan ialah Kelompok Tani Hutan (KTH), dimana para petani penggarap membangun hutan mangrove bersama-sama dengan kelompoknya dan membentuk program kerja yang akan di laksanakannya. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, perlu adanya pembentukan organisasi dan tanggung jawab masing-masing seksi dari kelompok tani hutan. KTH ini perlu pula dilengkapi dengan koperasi sebagai wadah penyediaan sarana produksi pertanian atau sarana pengolahan hasil. Untuk mempermudah pembinaan petani empang parit, para petani dikelompokkan dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) dan diberikan penyuluhan secara intensif. Tugas dari Kelompok Tani Hutan (KTH) antara lain : Melaksanakan tanaman hutan disetiap lokasi garapan masing-masing. Ikut menerbitkan pemukiman/perambah dalam kawasan hutan mangrove gotong royong memperbaiki saluran air yang dangkal untuk memperlancar pasang surut air laut dan aliran sungai Secara rutin mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan yang dihadapi, diantaranya cara budidaya ikan, udang,kepiting dikawasan hutan mangrove Disamping itu melakukan usaha koperasi simpan pinjam, pelayanan saprodi, pemasaran hasil ikan dan pengembangan pengolahan ikan. Produksi ikan dari silvofishery seluruhnya menjadi hak penggarap anggota KTH. 5. Pendekatan bottom up dalam rangka konservasi hutan mangroveUsaha pemulihan ekosistem mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah sering kita lihat. Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan ataupun dari Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat masih cenderung dijadikan obyek, bukan subyek dalam upaya pembangunan Dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas; sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down. Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek tersebut, yaitu saat dana telah habis tentu saja pelaksana proyek tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung jawabnya. Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut. Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang mengawasinya, sehingga mereka dapat mengambil atau memotong hutan mangrove tersebut secara bebas. Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek. Begitulah pengertian yang ada pada benak masyarakat pesisir yang dekat dengan hutan mangrove yang telah mereka rehabilitasi (Savitri dan Khazali, 1999). Seyogyanya upaya pemulihan ekosistem mangrove adalah atas biaya pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan lain-lain. Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir. Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai kuli, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lain-lain. Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Dari sini akan tergambar andaikata ada sekelompok orang yang bukan anggota masyarakat yang ikut menanam mangrove tersebut ingin memotong sebatang mangrove saja, maka merka tentu akan ramai-ramai mencegah atau mengingatkan bahwa mereka menebang pohon tanpan ijin. Ini merupakan salah satu contoh kasus kecil dalam perusakan hutan mangrove yang telah dihijaukan, kemudian dirusak oleh anggota masyarakat lainnya yang bukan anggota kelompoknya. Pelaksanaan konservasi atau rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat setempat biasa dikenal dengan istilah bottom up.Menurut Sudarmadji (2001) Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya; karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka bersama. Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam jangka panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom up relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatan top down dalam pelaksanan pemulihan ekosistem, selain itu pemerintah atau pemilik modal tidak terlalu berat melakukannya, karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses pelaksanaan pemulihan tersebut, dan pada masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan demikian pelaksanaan suatu proyek dengan pendekatan bottom up atau menumbuhkan adanya partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan proses pendidikan pada masyarakat secara tidak langsung (Savitri dan Khazali, 1999).

6. Hasil yang diharapkan mengenai konservasi mangrove berdasarkan masyarakatHutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan yang mempunyai berbagai macam fungsi dan manfaat mulai dari fungsi ekonomis dan ekologis terdapat pada hutan mangrove. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan juga memiliki pontesial sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Namun kini hutan mangrove banyak yang telah mengalami degradasi akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestarianya. Hutan mangrove telah dirubah menjadi berbagai kegiatan pembangunan seperti perluasan areal pertanian, pengembangan budidaya pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya yaitu faktor manusia yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan hutan mangrove, kurangnya pengetahuan masyarakat akan berbagai manfaat dan fungsi hutan mangrove, kebutuhan manusia yang tidak terbatas dan adanya sifat manusia yang ingin lebih dan tidak puas akan kebutuhannya menjadikan alam menjadi korban. Untuk harapan kedepanya melalui rehabilitasi atau konservasi mangrove berdasarkan masyarakat, masyakat menjadi lebih mengerti akan berbagai manfaat dan fungsi hutan mangrove, pemerintah juga harus melibatkan masyarakat dalam pengembangan wilayah, khusnya rehabilitasi hutan mangrove dan seyogyanya pemulihan ekosistem mangrove atas biaya pemerintah, sedangkan perencaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatnya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat. Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir. Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme ini masyarakat tidak akan lagi merasa dianggap sebagai kuli, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mareka merasa merencakan penananam dan lain-lain. Jadi apabila terdapat anggota kelompok masyarakat lain yang merusak hutan, maka mereka secara ramai-ramai akan menindak tegas oknum yang merusak ekosistem mangrove. Ekositem mangrove juga dapat menghadirkan fungsi ekonomis bagi masyarakat yang dapat mensejahterakan masyarkat, disini pemerintah diharapkan turut ikut serta dengan mensosialisasikan melalui perum perhutani bagaimana meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat tanpa merusak kelestarian hutan mangrove yaitu melalui silvofishery yang memadukan tanaman kehutanan dalam hal ini mangrove dikombinasikan dengan pertambakan ikan atau udang. Silvofishery dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove sekaligus memelihara ekosistem hutan mangrove. Dengan begitu secara bekerlanjutan masyarkat akan turut berpartisipasi melindungi dan merawat ekosistem hutan mangrove.

BAB IIIPENUTUPA. SimpulanDari pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:1. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang memiliki manfaat ganda (ekologi dan ekonomi) dan sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik sudah semakin kritis ketersediaannya, sehingga perlu menjadi perhatian kita bersama untuk tetap menjaga kelestariannya, untuk generasi sekarang dan yang akan datang.2. Pemulihan ekosistem mangrove yang telah rusak dapat direstorasi secara alami tetapi memerlukan waktu yang cukup lama3. Hutan mangrove memiliki dua manfaat yaitu manfaat ekonomi dan manfaat ekologis. Manfaat ekologis hutan mangrove diantaranya adalah Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang Pengendali intrusi air laut Habitat berbagai jenis fauna Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang Pembangun lahan melalui proses sedimentasi Pengontrol penyakit malaria Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air) Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding hutan lain Sedangkan untuk manfaat ekonomi, mangrove memiliki manfaat diantaranya adalaha. Bahan bakar; kayu bakar, arang dan alkohol. b. Bahan bangunan; balok perancah, bangunan, jembatan, balok rel kereta api, pembuatan kapal, tonggak dan atap rumah. Tikar bahkan pagar pun menggunakan jenis yang berasal dari hutan mangrove. c. Makanan; obat-obatan dan minuman, gula alkohol, asam cuka, obat-obatan. d. Perikanan; tiang-tiang untuk perangkap ikan, pelampung jaring, pengeringan ikan, bahan penyamak jaring dan lantai. e. Pertanian, makanan ternak, pupuk dsb. f. Produksi kertas; berbagai macam kertas 4. Kerusakan hutan mangrove secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yaitu 1. Faktor manusia yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan, 2. Faktor alam, seperti banjir, kekeringan dan hama penyakit, yang merupakan faktor relatif kecil.5. Sistem perhutanan sosial ( model sylvofishery ) merupakan salah satu sistem yang diterapkan dalam rangka konservasi ekosistem mangrove berbasis masyarakat. Memiliki dua pendekatan yaitu pendekatan secara teknis dan pendekatan non teknis6. Pendekatan bottom up merupakan pendekatan yang menekankan keikutsertaan masyarakat dalam upaya konservasi mangrove secara aktif dan berkelanjutan dengan pemerintah sebagai fasilitator konservasi mangrove. Masyarakat dengan sepunuhnya mengelola dan melindungi kawasan mangrove secara mandiri dengan tetap pada pengawasan pemerintah

B. SaranHutan mangrove merupakan sumber daya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Hutan mangrove merupakan salah satu sumber kehidupan dari berbagai sumber kehidupan yang ada di bumi, hutan mangrove lebih banyak menghasilkan oksigen (O2) dibanding berbagai tipe hutan lainya. Oleh karena itu, kita harus melestarikan kembali hutan yang ada di bumi ini salah satunya hutan mangrove dengan melalui berbagai upaya konservasi. Konservasi yang efektif merupakan konservasi yang melibatkan masyarakat untuk melestarikan hutan mangrove, melalui pendakatan masyarakat kita bisa mensosialisasikan tentang pentingnya mangrove bagi kehidupan di masa yang akan datang dan sekaligus memanfaatkan hutan mangrove untuk menghasilkan pendapatan tanpa merusak lingkungan contohnya dengan silvofishery yang menggabungkan budidaya perikanan seperti budidaya udang dengan pengelolaan hutan. Untuk menciptakan konservasi yang berkelanjutan berdasarkan pendekatan masyarakat diperlukan pemerintah yang mengedepankan masyarakat. Dalam konservasi mangrove, pemerintah harus secara penuh menyerahkan pengelolaan mangrove kepada masyarakat agar masyarakat secara tidak langsung memiliki tanggung jawab dan merasa memiliki mangrove sehingga tercipta rasa ingin melindungi. Dalam hal ini, Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan pengawas dalam konservasi mangrove melalui perhutani. Perhutani juga harus aktif dalam membina masyarakat agar tercipta konservasi berdasarkan masyarakat yang bekelanjutan.

C. Daftar pustakaAmir, S., Soekirman, dan M. Baini. 1995. Peranan Proyek STEP Dalam Peningkatan Partisipasi Masyarakatdalam Pengelolaan Hutan Mangrove, Studi Kasus Pantai Labu, DeliSerdang, Sumatera Utara. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus1994.

Chapman, V.J.1976. Mangrove Vegetation. J. Cremer Publ. Leuterhausen,Germany.Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. Golar, 2002. Presfektif Pengolahan Hutan Berbasis masyarakat: Antara Harapan dan Kenyataan . Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kolaboratif. Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Kusmana, C.2002. Pengelolaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove SecaraBerkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta,6-7Agustus 2002.Kusmana, C.2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan PantaiPasca Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutanmangrove Pasca sunami, Medan, April 2005.

Macnae, W.1968. A General Account of the fauna and flora of Mangroveswamps and forest in the Indo West Pacific region. Adv. Mor. Biol. 6: 73-270.Naamin, N. 1991. Penggunaan Hutan Mangrove untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan Kerugian. Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Hutan Mangrove MAB Indonesia LIPI. Bandar Lampung. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia,Jakarta. Odum, E.P. 1983. Basic Ecology. Sounders College Publishing. Perum Perhutan. 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove dengan Pendekatan Sosial Ekonomi pada Masyarakat Desa di Pesisir Pulau Jawa. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994. Pramudji. 2002. The mangrove forest in Indonesia : the role of mangrove, problems and management. Osean XXV 1 : 12-20Wirjodarmodjo, H . 1978. Pengelolaan hutan payau cilacap. Prosiding seminar ekosistem hutan mangrove : 72-80Pratikto, W. 2002. Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi Resiko terhadap Bahaya Tsunami. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta. Saenger.1983. Global Status of Mangrove Ekosistem, IUCN Commission onEcology Papers, No. 3. 1983.Salim, E.1986.Pengelolaan Hutan Mangrove Berwawasan Lingkungan:Makalah dalam Pidato Pengarahan Diskusi Panel Daya Guna dan BatasLebar Jalur Hijau mangrove, Ciloto 27 Pebruari 1986.Savitri, L.A. dan M. Khazali. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme. Subing, H. Z. 1995. Pengembangan Wilayah Pantai Terpadu dalam Rangka Pembangunan Daerah. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994. Setiawan, A. 1991. Agroforestry sebagai suatu alternatif Pola Penggunaan Lahan Kering di Prpvinsi Lampung, Tecnical Notes, Vol III (1). Steenis, V.C. 1978. Flora. Pradnya Paramita. Jakarta. Tirtakusumah, R. 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove Jawa Barat dan Beberapa Pemikiran untuk Tindak Lanjut. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994. UNDP/UNESCO.1984. Regional Project-Research and Training Pilot Programme on Mangrove Ecosystems in Asia and The Pasific, Bogor 8 - 9 Oktober 1984.