konsep pendidikan moral dan spiritual dalam surat...

119
i KONSEP PENDIDIKAN MORAL DAN SPIRITUAL DALAM SURAT ALI IMRAN AYAT 133-135 SKRIPSI Disusun Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Oleh : ANANTA BAYU KRISNANDAR NIM: 111-12-052 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016

Upload: others

Post on 28-Jan-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

KONSEP PENDIDIKAN MORAL DAN SPIRITUAL

DALAM SURAT ALI IMRAN AYAT 133-135

SKRIPSI

Disusun Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh :

ANANTA BAYU KRISNANDAR

NIM: 111-12-052

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2016

ii

iii

iv

v

vi

MOTTO

Bukanlah Harta Yang Menjadikanmu Dicintai Oleh Allah SWT,

Namun Iman Dan Takwamulah Yang Menyebabkan Engkau Dicintai-

Nya

vii

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT

skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Bapak Sidik Istanto dan Ibu Sri Sudarsi yang senantiasa memberikan nasehat

dan yang telah mendidikku dari kecil sampai menikmati kuliah S1 di IAIN

Salatiga ini, serta tidak lelah mendoakan tanpa henti untuk menjadi pribadi

yang bermanfaat untuk sesama.

2. Kakak serta adik tercinta Rifki Yudha Rasyid, Anaga Tiger Setyawan, Anjani

Dewi Pangestuti dan Arcsindha Chika Riffiani yang selalu memberikan

semangat untuk terus menjadi pribadi yang tangguh.

3. Keluarga besar Bapak Kusnan (alm) serta Ibu Sarti, Siti Sangadah, Siti Jamiah,

Muhammad Supyan serta Nahnul Karim yang banyak memberikan limpahan

do‟a, motifasinya serta materi.

4. Mas Imam Agus Arafat, Slamet Ikhwan Lukmanto, Wahyu Najib Fikri dan

seluruh teman yang selalu menemani dalam setiap langkah ketika masa kuliah.

5. Sahabat baik Andika Sapriyanto, Riko Ilham Ramadhan, Ali Murtadho,

Muhammad Fathoni serta Oz Dahlan yang senantiasa mendukung serta

mengingatkan ketika salah.

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan banyak rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya

Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi

Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan

hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafaatnya di

hari kiamat kelak. Segala syukur penulis panjatkan sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Konsep Pendidikan Moral dan

Spiritual Dalam Surat Ali Imran Ayat 133-135.”

Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar S1 Fakultas

Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari

bahwa masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Penulis menyadari bahwa

tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi

ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M.Pd. Selaku dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. Selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam

4. Bapak Muh. Hafidz, M.Ag. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

mencurahkan pikiran, tenaga, dan pengorbanan waktunya dalam upaya

membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

ix

x

ABSTRAK

Krisnandar, Ananta Bayu. 2017. Konsep Pendidikan Moral dan Spiritual Dalam

Surat Ali Imran Ayat 133-135.

Kata kunci: Konsep, Pendidikan, Moral, Spiritual

Dalam prespektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai

orang secara beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori

yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks

akademik merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat memperkaya khazanah

berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan itu sendiri.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditemukan bahwa pendidikan

dicanangkan untuk mengembangkan potensi moralitas dan potensi spiritual dari

tiap-tiap individu. Sementara itu dalam kebijakan nasional, antara lain ditegaskan

bahwa pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan asasi dalam proses

bangsa dan negara. Dalam hal ini nilai-nilai moralitas dan spiritual sangatlah

penting diterapkan kepada setiap individu melalui pendidikan moral dan

pendidikan spiritual.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai pendidikan moral

dan spiritual serta mengetahui sekaligus mengamalkan bagaimana nilai-nilai

pendidikan moral spiritual yang terkandung dalam Q.S. Ali Imran: 133-135.

Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: 1) Bagaimana nilai-

nilai pendidikan moral dan spiritual yang terkandung dalam Q.S. Ali Imran: 133-

135. 2) Bagaimana implementasi nilai pendidikan moral spiritual dalam kajian

Q.S. Ali Imran: 133-135.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library reserch),

yaitu suatu bentuk penelitian terhadap literatur dengan pengumpulan data atau

informasi dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-135 dengan bantuan buku-

buku yang berkaitan tentang moral dan spiritual, yang ada di perpustakaan dan

materi pustaka yang lainnya. Metode pengumpulan data yang penulis gunakan

adalah analisis deskriptif dan content analysis.

Berdasarkan telaah dari literature, maka hasil penelitian menunjukkan

bahwa: 1. Nilai-nilai pendidikan moral yang terkandung dalam surat Ali Imran

ayat 133-135, antara lain: berinfaq dalam keadaan luang maupun sempit, menahan

amarah, memaafkan kesalahan orang lain, bersegera kepada ampunan Allah,

bersegera kepada surga serta memperbanyak istighfar. 2. Implementasi

pendidikan moral spiritual dalam kehidupan sehari-hari yang terkandung dalam

surat Ali Imran ayat 133-135, antara lain: sedekah, infaq, sabar, memberi maaf,

taubat, bersegera dalam mengerjakan kebaikan serta memperbanyak istighfar.

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

HALAMAN BERLOGO ................................................................................. ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... v

MOTTO............................................................................................................ vi

PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii

ABSTRAK ....................................................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian........................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian......................................................................... 7

E. Definisi Operasional ...................................................................... 8

F. Metode Penelitian .......................................................................... 11

G. Sistematika Penulisan .................................................................... 13

BAB II KOMPILASI AYAT

A. Redaksi Ayat dan Terjemahan Surat Ali Imran Ayat 133-135 ...... 15

B. Makna Mufrodat............................................................................. 15

C. Kandungan Surat Ali Imran Ayat 133-135 .................................... 25

1. Kandungan Surat Ali Imran Secara Umum .............................25

xii

2. Kandungan Surat Ali Imran Ayat 133-135 .............................26

BAB III ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH AYAT

A. Surat Ali Imran Ayat 133-135 ....................................................... 32

B. Asbabun Nuzul .............................................................................. 35

C. Munasabah Ayat .......................................................................... 40

1. Munasabah Ayat ................................................................... 41

2. Munasabah Surat .................................................................... 48

BAB IV PEMBAHASAN

A. Nilai-nilai Pendidikan Moral Dan Spiritual dalam Surat Ali Imran

Ayat 133-135 ................................................................................. 51

B. Implementasi Nilai-nilai PendidikanMoral Dan Spiritual dalam

Pendidikan Formal ........................................................................ 71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................... 98

B. Saran .............................................................................................. 100

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 101

RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................ 104

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam prespektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan

dimaknai orang secara beragam, bergantung pada sudut pandang masing-

masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran

pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah,

bahkan dapat memperkaya khazanah berfikir manusia dan bermanfaat

untuk pengembangan itu sendiri. Untuk mengetahui definisi pendidikan

dalam prespektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal dan

operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003

tentang SISDIKNAS, yakni:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara (Samani, 2011: 26).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditemukan bahwa pendidikan

dicanangkan untuk mengembangkan potensi moralitas dan potensi

spiritual dari tiap-tiap individu. Sementara itu dalam kebijakan nasional,

antara lain ditegaskan bahwa pembangunan karakter bangsa merupakan

kebutuhan asasi dalam proses bangsa dan negara. Dalam hal ini nilai-nilai

moralitas dan spiritual sangatlah penting diterapkan kepada setiap individu

melalui pendidikan moral dan pendidikan spiritual.

2

Pada taraf permulaan ini, perlu adanya penunjukan bahwasanya

moral benar-benar ada, dan orang tidak dapat memungkirinya. Adanya

keyakinan tentang moral dan keharusannya itu dapat dilihat dalam

kehidupan sehari-hari. Kalau diteliti secara seksama lagi, nampak bahwa

moral berarti acuan bahwa hidup itu mempunyai arah tertentu meskipun

arah tersebut pada saat ini belum dapat dipahami atau dilihat sepenuhnya

(Poespoprodjo, 1988: xvii).

Moral dipandang sebagai suatu struktur pemikiran bukan isi.

Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik

ataupun apa yang buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir

sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Penalaran-

penalaran inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap

kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan

salah, akan lebih memberi penjelasan daripada memperhatikan perilaku

seseorang atau bahkan mendengar pernyataan bahwa sesuatu itu salah

(Budiningsih, 2013: 25).

Masalah moral adalah masalah yang pertama-tama muncul pada

diri manusia, secara ideal maupun real dan masalah moral adalah masalah

normatif. Dengan perubahan zaman yang semakin maju, secara otomatis

juga telah merombak tatanan kehidupan dalam masyarakat. Dapat diambil

contoh bahwa pada zaman dahulu dalam proses pembelajaran antara murid

dan guru saling menghormati dan menghargai. Berbeda dengan kehidupan

3

remaja pada zaman sekarang yang modern dan pluralistik telah

memberikan warna yang bervariasi dalam berbagai segi.

Pola berpikir yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living

tradition) mencakup beberapa faktor yang saling terkait. Menyebut di

antaranya adalah sistem pendidikan dan pengajaran, pengasuhan anak

dalam keluarga, pengaruh lingkungan, pemikiran keagamaan, setting sosial

dan pelatihan intelektual. Masing-masing dari sekian banyak aspek

tersebut tidak berdiri dengan sendirinya namun saling berkaitan. Sistem

etika ataupun moral, sebenarnya lebih luas cakupannya daripada hanya

terfokus pada konsep-konsep keagamaan. Oleh karena itu, nilai-nilai moral

secara eksplisit atau implisit erat berkaitan dengan sosiologi (Abdullah,

1995: 143).

Menurut Poespoprodjo, (1988: 102), mengatakan bahwa moralitas

adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata

bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas

mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia. Moralitas

dapat bersifat objektif ataupun subjektif. Moralitas objektif memandang

perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan, bebas

lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela dari pengaruh-pengaruh pihak

pelaku. Lepas dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat

mempengaruhi atau menguasai penguasaan diri dan bertanya apakah orang

yang sepenuhnya menguasai dirinya diizinkan dengan sukarela

menghendaki perbuatan tersebut. Sedangkan moralitas subjektif adalah

4

moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi

pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai individu. Hal tersebut juga

dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya, pendidikannya,

kematangan emosionalnya dan sifat-sifat pribadi lainnya.

Selain dua sifat moralitas di atas, pembagian moral masih sangat

beragam, salah satunya adalah moralitas intrinsik dan ektrinsik. Moralitas

intrinsik memandang perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap

bentuk hukum positif.

Moralitas ektrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan

sebagai sesuatu yang diperintahkan ataupun dilarang oleh seseorang yang

berkuasa, atau oleh hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari

Tuhan (Poespoprodjo, 1988: 103).

Dalam lingkungan pendidikan saat ini, pencanangan akan

pendidikan moral dan spiritual sangat ditekankan. Alasan penekanan

pendidikan moral dan spiritual tersebut adalah mengingat banyak sekali

pelanggaran-pelanggaran moral yang terjadi. Salah satu penyebab

pelanggaran-pelanggaran tersebut ialah minimnya nilai spiritual pada diri

seseorang.

Pendidikan moral adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh yang

dilakukan oleh seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para

siswanya. Pendidikan moral telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan

yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional dan

pengembangan etika siswa. Hal tersebut merupakan upaya proaktif yang

5

dilakukan baik sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa

mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etika dan nilai-nilai kinerja,

seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, ketabahan, tanggung jawab serta

menghargai diri sendiri dan orang lain (Samani, 2011: 43).

Sedangkan pendidikan spiritual, menurut Gunarsa, (1981: 69),

adalah pembersihan jiwa atau perjalanan menuju Allah, atau istilah-istilah

lain atau yang ditemukan dalam terminologi sufisme. Adapun dalam buku-

buku pendidikan spiritual, secara umum, seluruhnya dituangkan pada satu

wajah yang sama yakni perpindahan dari jiwa yang kotor menuju jiwa

yang bersih, dari akal yang belum tunduk pada syariat menuju akal yang

sesuai dengan syariat, dari hati yang keras dan berpenyakit menuju hati

yang tenang dan sehat. Singkatnya ialah dari yang kurang sempurna

menuju yang lebih sempurna dalam kebaikan dan mengikuti Rasulullah

baik perkataan, tingkah laku dan keadaannya.

Pendidikan spiritual merupakan bagian pendidikan yang

memberikan pengaruh kuat pada kepribadian seseorang, menjadikan

cenderung kepada kebaikan, berhias dengan sifat-sifat mulia, berpegang

teguh dalam pribadi dan tingkah laku kepada akhlak mulia dengan teguh

dan konsisten, senang membantu yang lain dan cinta akan tolong

menolong serta senantiasa memohon dan berlindung kepada Allah

(Hurlock, 1993:43).

Dalam kerangka sudut pandang seperti itu, akan sangat menarik

untuk mengkaji hubungan pendidikan moral dan spiritual dengan ajaran

6

Islam. Dalam ajaran Islam itu sendiri sangat banyak diterangkan mengenai

anjuran untuk memiliki moral yang baik, serta mampu memahami nilai-

nilai spiritual keagamaan. Anjuran untuk memiliki moral serta spiritual

yang baik salah satunya terdapat dalam Q.S Ali Imran ayat 133-135 yang

berbunyi:

Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan

kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk

orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan

hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan juga orang-orang yang

menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai

orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila

mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat

Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi

yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak

meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Dari ayat di atas, sangat banyak makna tersirat yang menyinggung

mengenai permasalahan moral dan spiritual. Kajian dari ayat tersebut

7

adalah mengenai konsep keimanan atau aqidah dan juga mengenai konsep

perbuatan atau akhlak.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis terdorong untuk

mengkaji lebih dalam tentang “Konsep Pendidikan Moral dan Spiritual

Dalam Surat Ali Imran Ayat 133-135.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan gambaran masalah di atas, maka rumusan masalahnya

adalah sebagai berikut:

1. Apa saja nilai-nilai pendidikan moral dan spiritual yang terkandung

dalam Q.S. Ali Imran: 133-135?

2. Bagaimana implementasi nilai pendidikan moral spiritual dalam

pendidikan formal sesuai kajian Q.S. Ali Imran: 133-135?

C. Tujuan Penelitian

Adapun dalam tujuan ini yang ingin dicapai dalam skripsi ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan nilai-nilai pendidikan moral dan spiritual yang

terkandung dalam Q.S. Ali Imran: 133-135.

2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan moral spiritual

dalam pendidikan formal sesuai kajian Q.S. Ali Imran: 133-135.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan atau manfaat penelitian yang ingin dicapai oleh

penulis dalam penulisan ini ialah:

8

1. Untuk menambah wawasan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca

pada umumnya.

2. Agar dapat memberikan gambaran bagi pembaca akan pentingnya nilai

moral spiritual yang perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik

sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.

3. Memberikan pengetahuan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi

pembaca untuk selalu menjaga akhlak mulia dan melaksanakannya.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kekeliruan pembaca dalam memahami istilah

dalam judul penelitian ini, maka peneliti menjelaskan definisi-definisi

operasionalnya. Beberapa istilah yang dianggap perlu untuk dijelaskan

antara lain sebagai berikut:

1. Konsep

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2007:198) konsep berarti

rancangan atau buram surat dan lannya; ide atau pemikiran yang

diabstrakkan dalam pemikiran konkret. Bahri, (2008: 30) mengemukakan

dalam bukunya Pemberdayaan Masyarakat: “Konsep dan Aplikasi” bahwa

konsep adalah satuan arti yang sejumlah objek yang mempunyai ciri yang

sama. Orang yang mempunyai konsep mampu mengadakan abstraksi

terhadap objek-objek yang dihadapi, sehingga objek-objek ditempatkan

dalam golongan tertentu. Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang

dalam bentuk representasi mental tak berperaga.

9

Konsep juga berarti ide abstrak yang dapat digunakan untuk

mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya

dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata (Daroeso, 1986:5).

Menurut Singarimbun dan Effendi (1989:34) konsep ialah abstraksi

mengenai fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah

karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.

2. Pendidikan

Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2007:211)

berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan)

mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Menurut UU No. 20 Tahun 2003

tentang SISDIKNAS, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara (Samani, 2011:26).

Memelihara dan memberi latihan, ajaran, bimbingan mengenai

akhlak dan kecerdasan pikiran: didikan: hasil didikan; bingung, bodoh

(Zubaidi, 2002:12). Pendidikan adalah menjadikan pengajaran di sekolah

makin bersifat kegiatan belajar, dan pendidikan di luar sekolah terprogram

dan produktif, untuk menuju tercapainya seutuhnya dengan segala

kekayaan kepribadiannya, cara mengaturnya yang kompleks dan dalam

segala kewajibannya sebagai perorangan, keluarga dan anggota

10

masyarakat, sebagai penduduk dan penghasil atau penemu teknik-teknik

dan pemimpin yang kreatif, serta masyarakat yang terus belajar, yaitu

masyarakat yang anggotanya tidak lagi asyik mencari pengetahuan sekali

saja untuk lama-lamanya sepanjang hidupnya, tetapi harus belajar

membangun suatu badan pengetahuan untuk seumur hidup yang senantiasa

berkembang yaitu “belajar untuk hidup” (Hartono, 2002:7).

3. Moral

Kata moral berasal dari kata “mores” (Bahasa Latin) yang berarti

tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 2007:205). Moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan

larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar (Budiningsih,

2013:24).

Moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang

timbul karena adanya interaksi antara individu-individu di dalam

pergaulan” (Daroeso, 1986:22).

4. Spiritual

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2007:226) spiritual

berarti berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin).

Spiritualitas merupakan dimensi yang berbeda dari perbedaan individu.

Sebagai dimensi yang berbeda, spiritualitas membuka pintu untuk

memperluas pemahaman kita tentang motivasi manusia dan tujuan hidup

manusia serta cara untuk mengejar dan usaha untuk mencapai kepuasan

diri (Piedmont, 2001: 9).

11

Spiritual juga memiliki pengertianpencarian arti dalam kehidupan

dan pengembangan dari nilai-nilai dan sistem keoercayaanseseorang yang

mana akan terjadi konflik bila pemahamannya dibatasi (Hanafi, 2005: 4)

F. Metode Penelitian

1. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah

jenis penelitian kepustakaan (library reserch), yaitu suatu bentuk

penelitian terhadap literatur dengan pengumpulan data atau informasi

dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-135 dengan bantuan buku-

buku yang berkaitan tentang moral dan spiritual, yang ada di

perpustakaan dan materi pustaka yang lainnya.

Sebagai bahan parameter analisis perbandingan yang dimaksud

dengan library research adalah penelaahan kepustakaan yakni

penelitian yang berusaha mencari teori-teori, konsep-konsep

generalisasi yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang

akan dilakukan.

Dari sisi lain, penelitian kepustakaan adalah studi yang

sumbernya digali dari buku-buku, disertai dengan indek penerbitan

berkala (majalah atau surat kabar), sistem penyimpanan dan pencarian

informasi (Furchan, 1982: 98).

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

12

Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan

dikaji dalam permasalahan. Karena sifat dari penelitian literatur,

maka datanya bersumber dari literatur. Adapun yang menjadi

sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku tafsir Al-

Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133-135.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah

buku-buku yang berisi tentang kajian moral dan spiritual yang

membantu dalam pembahasan skripsi ini yang ada di dalamnya.

3. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data dari pengumpulan data yang telah

dilakukan penulis menggunakan analisis data sebagai berikut:

a. Deskriptif

Sebagai pembahasan yang bersifat literatur, maka segala sesuatu

yang berhubungan dengan topik pembahasan hasil penelitian secara

apa adanya sejauh yang penulis peroleh. Adapun teknik deskriptif

yang penulis pergunakan adalah analisis kualitatif, dengan analisis

ini akan diperoleh gambaran sistematika mengenai isi buku untuk

diteliti isinya.

b. Content Analysis

Metode ini digunakan untuk memperoleh pemahaman isi dan

makna dari berbagai data dalam penelitian, yang analisis ini

menghendaki objektifitas, pendekatan sistematik dan generalisasi,

13

baik yang mengarah pada isi maupun yang mengarah pada makna,

terutama dalam perbuatan dan penarikan kesimpulan.

G. Sistematika Penelitian

Sistematika yang dimaksud oleh penulis di sini adalah gambaran

singkat tentang subtansi pembahasan secara garis besar. Agar dapat

memberi gambaran yang lebih jelas tentang keseluruhan isi dari skripsi,

maka penulis membagi sistematika ke dalam lima bab sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menjabarkan

mengenai pokok permasalahan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah,

Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi

Operasional, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian.

BAB II : Kompilasi ayat-ayat. Dalam bab ini penulis menguraikan

kajian umum tentang konsep moral spiritual, dilanjutkan penghimpunan

segala ayat-ayat yang berhubungan dengan konsep moral spiritual yang

terkandung dalam Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-135

BAB III : Asbabun Nuzul dan Munasabah. Dalam bab ini

menguraikan tentang sebab-sebab turunnya ayat dan sebab-sebab

munculnya hadits yang menerangkan tentang pendidikan moral spiritual,

selain itu di dalam bab ini juga menerangkan ayat-ayat ataupun hadits-

hadits yang berhubungan dengan ayat atau hadits yang berkaitan dengan

pendidikan moral spiritual.

14

BAB IV : Pembahasan. Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang

nilai pendidikan moral spiritual yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat

Ali Imran ayat 133-135 yang meliputi: Pengertian Moral dan Spiritual,

Nilai-nilai Moral dan Spiritual yang Terkandung Dalam Al-Qur‟an Surat

Ali Imran Ayat 133-135 serta Pokok-pokok Nilai Moral Spiritual Dalam

Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-135.

BAB V : Merupakan kesimpulan dari seluruh uraian yang telah

dikemukakan dan merupakan jawaban dari permasalahan tulisan ini.

15

BAB II

KOMPILASI AYAT

A. Redaksi Ayat dan Terjemahan Surat Ali Imran Ayat 133-135

(133) Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada

surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-

orang yang bertakwa.(134) (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya,

baik di waktu lapang maupun sempit, dan juga orang-orang yang menahan

amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang

yang berbuat kebajikan. (135) Dan (juga) orang-orang yang apabila

mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat

Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang

dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak

meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

B. Makna Mufradat

1. Mufradat ayat 133

16

اسازػ berasal dari kata سسػح –سسع ي – سسع yang berarti

bersegera, cepat, lekas (Yunus, 2007:168). Dalam ayat ini menegaskan

bahwa Allah menyeru kepada umat manusia untuk menyegerakan diri

kepada ampunan Allah dan kepada surgaNya.

berasal dari kata هغفس yang artinya menutupi غفسا –يغفس –غفس

sesuatu (Yunus, 2007:298). Ampunan berarti pembebasan dari hukuman

atau tuntutan. Dalam ayat ini diterangkan bahwasanya kita diperintahkan

untuk menyegerakan diri dalam meraih ampunan Allah. Al-Razi

(2000:199) berpendapat, tidak ada jalan untuk meraih ampunan Allah

selain melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.

زتا –يسب –زب berasal dari kata زتكن yang memiliki arti

mengasuh, memimpin (Munawwir, 1997:462). Allah adalah Ar-Rabb,

pemelihara seluruh makhlukNya. Bentuk tarbiyah Allah kepada

makhlukNya ialah, Allah membimbing para manusia untuk beriman,

Allah memberi taufik mereka untuk mencintai iman, lalu Allah

sempurnakan iman mereka serta Allah hilangkan segala penghalang

antara diri mereka dan imannya (As-Sa‟di, 2006:39).

جح berasal dari kata جا –يجي –جي yang artinya menutup

(Yunus, 2007:92). Alasan kenapa disebut demikian ialah karena pohon-

pohon yang ada di dalamnya sangat lebat sehingga dapat digunakan untuk

berteduh di bawahnya. “Jannah” dalam bahasa Indonesia diartikan

sebagai taman yang di dalamnya terdapat pohon-pohon (Makhluf,

17

1998:74). Dalam ayat ini Allah juga memerintahkan kita untuk meraih

surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-

orang bertakwa.

ى –أزض berasal dari kata ػسضا أزاضى –أزض yang artinya

tanah, bumi (Yunus, 2007:38). Bumi adalah sesuatu yang dianggap ada

oleh manusia di dunia ini. Dalam agama Islam, proses penciptaan bumi

ini dapat dilihat dalam surat Al-Anbiya ayat 30 yang artinya, “Dan apakah

orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu

keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan

keduanya, dan dari air kami ciptakan sesuatu yang hidup. Maka

mengapakah mereka tiada juga beriman?” Dari ayat tersebut dapat

diambil kesimpulan bahwasanya Allah menciptakan bumi dan langit

dalam satu kesatuan.

اخ وا واء yang berasal dari kata الس اخ -الس سو yang artinya

langit (Yunus, 2007:180). Dalam ayat ini Allah menegaskan kepada umat

manusia bahwa ampunan Allah itu seluas langit dan bumi. Serta ampunan

tersebut diberikan kepada setiap orang yang bertakwa.

ا –يؼد –ػد yang berasal dari kata أػدخ ػد yang artinya

menyediakan (Yunus, 2007:256). Dalam ayat ini Allah menyediakan

kepada umat Allah yang bertakwa berupa ampunan dan surga yang sangat

luas.

18

kata tersebut berarti orang yang bertakwa. Takwa berasal للوتميي

dari kata ق ليا –لايح –يمى – اليح – ق – yang berarti takut,

menjaga, melindungi dan memelihara (Yunus, 2007:504). Sesuai dengan

makna estimologis tersebut, maka takwa dapat diartikan sebagai sikap

memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama

Islam secara utuh dan konsisten. Dalam ayat ini orang-orang yang

bertakwa telah dijanjikan oleh Allah bahwa mereka akan mendapatkan

balasan yaitu surga.

2. Mufradat ayat 134

ى فم فك –فك berasal dari kata ي فك –فك –فالا –ي فما –ي

yang berarti berkurang dan juga dapat berarti hilang atau pergi (Yunus,

2007:463). “An-nafaqah” dalam bahasa Indonesia disebut dengan nafkah.

Nafkah adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan oleh seseorang

untuk keperluan hidup orang lain. Dalam ayat ini dijelaskan salah satu

ciri-ciri orang bertakwa adalah orang yang menafkahkan hartanya baik

diwaktu senang maupun diwaktu susah. Karakter pertama orang-orang

yang bertakwa adalah gemar menginfakkan hartanya. Dalam ayat

tersebut, al-maf‟ul bih (obyek) pada kata “yunfiquuna” tidak disebutkan.

Tidak adanya al-maf‟ul bih itu menunjukkan bahwa infak yang mereka

lakukan itu mencakup semua infak yang terpuji (Asy-Syiddiqy,

2000:136).

19

آء ز –يسس –سس berasal dari kata ألسس ج -سس هسس yang berarti

mudah, senang, gembira (Yunus, 2007:169). Maksud dari kata mudah

tersebut ialah tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam

mengerjakan sesuatu. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak ada batasan

dalam berinfak. Namun tentu saja infak yang dikeluarkan juga mengikuti

kondisi, besar ketika kaya, kecil ketika kekurangan. Akan tetapi besar

kecilnya nilai infak tidak berdasarkan banyak atau sedikit jumlah yang

dikeluarkan melainkan dari sisi keikhlasannya.

آء س الض berasal dari kata ا –يضس –ضس ا –ضس ز –ضس ضس

yang berarti melarat (Yunus, 2007:226). Kata ini berarti “al-„usr” yang

berarti sulit. Maksud dari kata sulit ialah memerlukan banyak tenaga

maupun pikiran dalam mengerjakan sesuatu. Dalam ayat ini diterangkan

bahwasanya berinfak tidak hanya bisa dilakukan ketika dalam keadaan

lapang saja, akan tetapi juga bisa ketika dalam keadaan sempit. Alasannya

ialah tidak ada batasan jumlah dalam berinfak. Yang menjadi kadar besar

kecilnya nilai infak adalah dari keikhlasannya.

كظها –كظوا –يكظن –كظن berasal dari kata الكظويي yang

berarti menahan (Yunus, 2007:377). Kalimat الكظويي الغيع dalam ayat

di atas bersifat ma‟tuf atau bersambung dengan kalimat sebelumnya.

Adanya perbedaan shigah dari yang sebelumnya berbentuk al-fi‟l menjadi

al-fa‟il mengandung makna li al-istimraar yang berarti keadaan yang

berlangsung terus-menerus. Artinya, perilakunya yang dapat menahan

20

sesuatu itu tidak dilakukan hanya sekali, melainkan telah menjadi bagian

dari karakter yang melekat pada diri mereka.

غضثا –ة يغض –غضة berasal dari kata الغيع yang berarti

marah (Yunus,2007:297). Secara istilah غضة adalah perubahan dalam

diri atau emosi yang dibawa oleh kekuatan dan rasa dendam demi

menghilangkan gemuruh di dalam dada. Kata الغيع adalah marah yang

paling besar karena definisi dari kata tersebut ialah kemarahan yang

teramat sangat. Dalam ayat ini kriteria kedua dari predikat orang yang

bertakwa adalah orang yang mampu menahan amarahnya.

ػفافا –ػفح –ػفا –يؼف –ػف berasal dari kata الؼافيي yang

berarti menghapus atau menghilangkan (Yunus, 2007:272). Dalam ayat

ini karakter ketiga dari predikat orang bertakwa adalah memberi maaf atas

kesalahan orang lain. Menurut Asy-Syiddiqy (2000:97), memaafkan

orang yang berbuat salah atas dirinya lebih utama dari pada membalas

kesalahannya, walaupun sebenarnya berhak untuk menghukum atau

membalasnya. Memaafkan orang yang bersalah akan membukakan

ampunan Allah. Ayat ini bukan berarti melarang terhadap orang yang

berbuat dzalim, tetapi apabila memberi maaf bisa lebih bermanfaat, maka

nilainya jauh lebih baik karena termasuk kedalam kategori sabar.

الاس –اس berasal dari kata الاس yang berarti manusia (Yunus,

2007:436). Di dalam al-Qur‟an manusia disebut dalam berbagai macam,

antara lain al-insaan yang berarti suka, senang, al-abd berarti mannusia

21

sebagai hamba Allah, dan bani adam yang berarti keturunan Nabi Adam

(Makhluf, 1998:93). Dalam al-Qur‟an telah disebutkan bahwa manusia

adalah makhluk yang paling mulia dam memiliki berbagai macam potensi

serta memperoleh petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di

dunia dan akhirat (Rahmat, 1996:64). Dibandingkan dengan makhluk

lainnya, manusia mempunyai kelebihan. Kelebihan itulah yang

membedakan manusia dengan makhluk lain. Kelebihan manusia adalah

memiliki akal dan hati sehingga manusia dapat memahami ilmu yang

diturunkan Allah, berupa al-Qur‟an. Dengan ilmu manusia mampu

berbudaya. Allah menciptakan manusia sebaik-baiknya. Oleh karena itu

ilmu yang dimiliki manusia dilebihkan dibanding dengan makhluk lain.

حثا –يحة –حة berasal dari kata يحة yang berarti mengasihi,

mencintai (Yunus, 2007:95). Dalam KBBI, (2007:16) kata cinta diartikan

sebagai perasaan kasih dan sayang kepada sesuatu atau orang lain. Arti

cinta dalam Islam sendiri ialah sesuatu yang suci. Dari ayat di atas

dijelaskan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Maksud kebajikan di sini ialah orang-orang yang menafkahkan hartanya

disetiap waktu, orang-orang yang mampu menahan amarahnya serta orang

yang mau memaafkan kesalahan orang lain.

yang berasal dari kata هحسيي adalah kata jamak dari kata الوحسيي

حسا –يحسي –حسي yang memiliki arti berbuat baik atau kebaikan

(Yunus, 2007:103). Dalam terminologi agama Islam, ihsan berarti

22

menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu

membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa

sesungguhnya Allah melihat perbuatannya. Ihsan juga mempunyai arti

melakukan ibadah dengan khusyuk, ikhlas dan yakin bahwa Allah

senantiasa mengawasi apa yang dilakukan (Ash-Shiddieqy, 2000:201).

3. Mufradat ayat 135

Kata فاحشح berasal dari kata فحشا –يفحش –فحش yang berarti

keji (Yunus, 2007:308). Menurut bahasa artinya perbuatan atau kejahatan

yang menimbulkan aib besar. Sedangkan menurut istilah, keji adalah

perbuatan yang melanggar norma susila. Dalam ayat ini, dijelaskan

bahwa kriteria orang bertakwa selanjutnya adalah orang yang senantiasa

mengingat Allah ketika ingin berbuat maksiat dan menganiaya diri

sendiri.

Kata ظلوآ berasal dari kata هظلوح –ظلوا –ظلوا –يظلن –ظلن

yang berarti aniaya, menganiaya (Yunus, 2007:248). Kata ظلوآ

merupakan bentuk kata benda pelaku (fa‟il) yang terbentuk dari kata ظ–

م –ل yang berarti tidak bercahaya atau gelap. Dholim menurut istilah

adalah meletakkan sesuatu atau perkara bukan pada tempatnya. Dholim

memiliki persamaan kata dengan baghy yang berarti melanggar hak orang

lain, akan tetapi makna dzalim mencakup lebih luas artian. Asal makna

kata dholim adalah aniaya dan melampaui batas yang telah ditentukan.

Dalam ayat ini Allah menyeru kepada manusia untuk selalu mengingat

23

Allah dan memohon ampunan-Nya apabila hendak berbuat dholim atau

menganiaya diri sendiri maupun orang lain.

ذكسا -يركس –ذكس berasal dari kata ذكسا yang artinya mengingat,

memperhatikan, mengenang (Yunus, 2007:134). Di antara pengertian

dzikir terdapat pengertian interpretasi yaitu menyebut, menuturkan,

mengingat dan menjaga. Dzikir dalam artian istilah adalah ucapan yang

dilakukan dengan lidah, atau mengingat Allah dengan hati, dengan ucapan

atau ingatan yang mensucikan Allah dengan memuji dan menyanjung atas

sifat Allah yang sempurna dan menunjukkan kebesaran. Dalam ayat ini

Allah menyeru kepada umat manusia untuk selalu mengingat Allah

apabila hendak berbuat keji serta ingin menganiaya diri sendiri maupun

orang lain, sehingga umat tersebut dapat meredam amarah tersebut.

ا berasal dari kata فاستغفس yang berarti غفسا –يغفس –غفس

menutup (Yunus, 2007:298). Istighfar adalah bentuk masdar dari

“istighfaro – yastaghfiru”. Al-ghofru memiliki arti as-satru yang berarti

menutup. Sedangkan menurut terminologinya, istighfar memiliki arti

permohonan ampun dari manusia selaku hamba yang memiliki sifat

ketergantungan kepada Allah. Permohonan ampun ini ditujukan hanya

kepada Allah dan tidak kepada yang lainnya serta bersifat langsung tanpa

melalui perantara, sehingga merupakan permohonan ampun yang amat

murni. Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia, selain untuk

senantiasa mengingat Allah, juga senantiasa memohon ampun kepada

24

Allah atas dosa-dosa yang telak dilakukannya, sehingga akan menjadi

pribadi yang lebih baik.

ا –يصس –صس berasal dari kata يصس صس yang artinya mengikat

(Yunus, 2007:214). Maksud kata mengikat di sini sama halnya dengan

tidak meneruskan sesuatu. Dalam ayat di atas diterangkan bahwasanya

kategori orang bertakwa, salah satunya ialah mereka yang tidak

meneruskan perbuatan-perbuatan keji.

ى yang berarti mengetahui ػلن ـ يؼلن ـ ػلوا berasal dari kata يؼلو

sesuatu (Yunus, 2010:277). Dedeng Rosidin mengutip dari Al-Maraghi

menjelaskan bahwa kata „allama dengan alhamahu (memberi ilham),

maksudnya Allah memberi ilham kepada Nabi Adam untuk mengetahui

jenis-jenis yang telah diciptakan beserta zat, sifat dan nama-namanya.

Sedangkan Ash-Shawi, menjelaskan dengan makna alqa (memberikan

atau menuangkan), maksudnya Allah memberikan atau menuangkan ilmu

ke dalam hati Nabi Adam. Secara konteks, „allama menunjukkan adanya

tadrij (tahapan), bahwa penyampaian itu dilakukan melalui tahap demi

tahap. Akan tetapi, pada ayat ini menunjukkan secara sekaligus. Secara

struktur, „allama mempunyai dua objek, baik disebut ataupun tidak. Jika

dilihat dari jabatan kata dalam kalimat, tersusun dari fi‟il (pekerjaan), hal

ini berarti menunjukkan pada pekerjaan mengajar, atau proses belajar

mengajar yang didalamnya terdapat teknik dan metode mengajar. Fa‟il

(yang melakukan pekerjaan), di sini berarti menunjukkan pengajar (guru)

yang melakukan pekerjaan mengajar. Maf‟ul bih pertama (objek pertama)

25

menunjukkan murid yang menerima pelajaran, dan maf‟ul bih kedua

(objek kedua) menunjukkan materi yang diajarkan. Jadi, dalam ta‟lim

tersirat beberapa unsur penting, yaitu guru, murid, proses pembelajaran

dan materi pelajaran (Imani, 2008:301).

C. Kandungan Surat Ali Imran Ayat 133-135

1. Kandungan Surat Ali Imran Secara Umum

Surah Ali Imran (keluarga Imran) adalah surah ke-3 dalam al-

Qur‟an. Surah Ali Imran (bersama surah Al-Baqarah) juga memiliki

nama lain Az-Zahrawan yang berarti dua yang cemerlang, karena

kedua surah tersebut menyingkapkan hal-hal yang menurut Al-Qur‟an

disembunyikan oleh para ahli kitab, seperti kejadian dan kelahiran

Nabi Isa dan kedatangan Nabi Muhammad. Alasan lain mengapa

disebut Az-Zahrawan ialah karena isi kandungan dua surah tersebut

mencakup keseluruhan ajaran Islam, di antaranya akidah, akhlak,

hukum, kisah orang terdahulu dan sebagainya (Al-Jumanatul,

2007:34).

Surah ini dinamakan Ali Imran karena di dalamnya mencakup

kisah keluarga Imran yang di dalam kisah itu juga disebutkan kelahiran

Nabi Isa, persamaan kejadiannya dengan Nabi Adam, kenabian dan

mukjizatnya, serta disebutkan pula kelahiran Maryam binti Imran (Al-

Jumanatul, 2007:36).

Tujuan dan tema surat Ali Imran ini adalah:

26

a. Surat ini membahas tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT,

Al-Qur‟an dan kitab-kitab sebelumnya, janji dan ancamaa Allah serta

balasan kepada orang-orang yang berbuat dzolim.

b. Menceritakan tentang keluarga Imran, keutamaan-keutamaan apa

saja yang dimiliki keluarga ini serta kisah Isa Al-Masih putra

Maryam.

c. Bantahan Allah tentang pendapat-pendapat ahli kitab yang keliru,

menjelaskan tentang kelebihan umat isllam dibandingkan dengan

umat lain serta keharusan menjaga kesatuan ayat.

d. Mengisahkan tentang peristiwa perang badar dan uhud,

penjelasan tentang sabar dan tawakal sebagai pangkal dari

kemenangan, perintah untuk bertakwa dan larangan melakukan riba

serta penjelasan tentang berbagai sifat-sifat orang munafik (Asy-

Syaikh, 2003:24).

2. Kandungan Surat Ali Imran ayat 133-135

Surat Ali Imran ayat 133, menjelaskan tentang seruan Allah

kepada mukmin agar berpacu meraih ampunan dari segala dosa dan

menempuh jalan ke surga sebagai imbalan beribadah dan beramal

soleh selama di dunia. Pada ayat tersebut juga diterangkan mengenai

gambaran surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang hanya

diberikan kepada orang-orang bertakwa.

Menurut Ar-Razi, (2000:203) berpendapat bahwa tidak ada jalan

untuk meraih maghfirah selain melaksanakan perintah dan menjauhi

27

larangan Allah. Para ahli ushul fiqih menyimpulkan bahwa bersegera

meraih ampunan itu hukumnya wajib, karena tidak ada perintah paksa

selain wajib segera dipenuhi. Dengan demikian jalan menuju

keselamatan abadi adalah menjauhi segala yang dilarang dan menaati

segala yang diperintahkan.

Jadi, dalam ayat ini mengandung pemahaman bahwa Allah

menyeru kepada umat mukmin untuk segera memohon ampunan

kepada Allah atas segala dosa yang telah ia perbuat. Adapun cara

meraih ampunan tersebut dengan cara melaksanakan segala perintah

dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Hal demikian itulah salah satu

jalan menuju keselamatan abadi yaitu surga.

Surat Ali Imran ayat 134, menjelaskan tentang karakter orang-

orang bertakwa yang akan mendapat balasan surga. Ayat ini

berhubungan dengan ayat sebelumnya yang akan menjelaskan siapa

saja orang bertakwa yang akan masuk surga.

Pada awal ayat ini bisa berfungsi sebagai penjelas dari orang-

orang bertakwa dan menerangkan sifat orang bertakwa yang mendapat

jaminan surga. Orang yang bertakwa memiliki sifat baik, bukan hanya

terhadap Allah, tetapi juga dalam kehidupan sosial, tidak hanya

menggunakan badan, tetapi juga menggunakan harta. Dalam ayat ini

diterangkan tentang karakteristik orang bertakwa yang pertama ialah

mereka yang berinfak dengan harta karena Allah, baik diwaktu sempit

maupun luas. Nilai infak tidak dipandang dari besar kecilnya jumlah

28

yang diberikan, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh keikhlasannya

(Asy-Syiddiqy, 2000:93).

Kemudian, karakteristik orang bertakwa yang kedua adalah

mereka yang mampu menahan amarahnya ketika melihat orang yang

tidak ia sukai, meskipun sebenarnya mereka memiliki kekuasaan untuk

meluapkan amarahnya tersebut. Menahan marah memang terlihat

mudah, akan tetapi dalam prakteknya sangat susah untuk diterapkan.

Orang yang mampu menahan amarahnya akan memiliki derajat yang

lebih tinggi dibanding dengan mereka yang melontarkan amarahnya

karena mereka memiliki kekuasaan. Menahan amarah itu sendiri

mengarah pada pengendalian diri terhadap lisan, sikap dan tindakan.

Maka dari itu Allah menjanjikan balasan surga kepada orang yang

mampu menahan amarahnya.

Karakteristik orang bertakwa ketiga adalah orang-orang yang

dengan ikhlas memaafkan kesalahan orang lain. Orang yang dapat

menahan amarahnya belum tentu terbebas dari rasa sakit hati bahkan

rasa dendam. Mukmin yang baik bukan hanya mereka yang dapat

menahan amaranya, akan tetapi juga mereka yang mampu memaafkan

kesalahan orang lain. Memaafkan orang lain terutama pada orang yang

berbuat salah dinilai lebih mulia daripada menjatuhkan hukuman

ataupun membalas kesalahannya. Hal ini bukan berarti melarang untuk

melawan pada orang yang berbuat dzalim, akan tetapi kalau

29

memaafkan bisa lebih bermanfaat maka nilainya lebih baik karena

termasuk dalam kategori sabar (Shihab, 2002:265).

Jadi, dalam ayat ini mengandung pemahaman tentang

karakteristik orang-orang yang mendapat jaminan surga yang telah

dijanjikan Allah kepada orang yang bertakwa. Kategori orang

bertakwa tersebut adalah, orang yang berinfaq diwaktu luang dan

sempit, orang yang mampu menahan amarahnya padahal sebenarnya ia

memiliki kuasa untuk melontarkannya, serta orang yang mampu

memaafkan kesalahan orang lain dengan ikhlas. Itulah ketiga

karakteristik orang yang dicintai oleh Allah SWT, karena Allah

mencintai kebijakan.

Surat Ali Imran ayat 135, masih menjelaskan tentang kriteria

orang yang mendapat jaminan masuk surga oleh Allah. Sifat serta

sikap orang yang bertakwa selanjutnya dijelaskan Allah dalam ayat ini.

Karakteristik pertama orang yang bertakwa dalam ayat ini adalah

mereka yang selalu mengingat Allah ketika hendak atau sedang

melakukan perbuatan keji. Menurut Shihab, (2002:268) mengatakan

bahwa melakukan perbuatan keji mengandung arti, melakukan dosa

besar seperti zina, perbuatan dosa yang berdampak negatit terhadap

orang lain, perbuatan dosa yang berdampak negatif pada diri sendiri

serta perbuatan maksiat yang amat dibenci Allah. Dengan senantiasa

mengingat Allah pasti akan menjadi solusi untuk tidak berbuat keji.

30

Mengingat Allah disini dapat diaplikasikan dengan berdzikir,

mengingat ciptaan Allah serta mengingat ancaman Allah.

Karakter kedua adalah mereka yang memohon ampun kepada

Allah, karena tidak ada yang dapat memberikan ampunan selain Allah.

Orang yang bertakwa atau orang yang akan mendapat jaminan surga

akan segera mengingat Allah juga dalam arti sadar akan kesalahan

yang terlanjur dilakukan. Pada saat itu pula mereka memohon ampun

kepada Allah dengan bertaubat. Perlu disadari bahwa tidak ada

manusia yang terlepas dari dosa, disadari atau tidak, besar atau kecil,

pasti semua orang pernah melakukan perbuatan dosa. Seorang mukmin

bukan berarti tidak pernah berbuat salah, tetapi mukmin sejati adalah

mereka yang berbuat salah, kemudian mereka segera memohon

ampunan kepada Allah, karena mereka tahu tidak ada yang mampu

memberikan ampunan kecuali Allah SWT. Itulah alasan kenapa Allah

menjanjikan surga kepada orang bersifat seperti ini.

Kemudian, karakter ketiga adalah mereka yang tidak meneruskan

perbuatan kejinya karena mereka tahu kalau itu adalah perbuatan salah.

Setelah diberi kabar gembira oleh Allah yang memiliki ampunan luas,

maka pada penghujung ayat ini ditekankan syarat untuk mendapat

surga tetap berlaku. Ampunan akan tercurah bagi mereka yang berbuat

dosa, sekalipun itu dosa yang sangat besar, apabila mereka tidak

meneruskan perbuatannya, alias mereka menghentikan kesalahan yang

sudah terlanjur dilakukan. Dengan demikian ampunan Allah akan

31

diberikan kepada yang bertaubat dengan catatan tidak mengulangi

perbuatan dosa tersebut (Shihab, 2002:272).

Jadi, dapat disimpulkan dalam ayat ini mengandung pemahaman

tentang lanjutan karakteristik orang-orang yang mendapat jaminan

surga yang telah dijanjikan Allah kepada orang yang bertakwa.

Karakteristik orang-orang tersebut adalah, mereka yang selalu

mengingat Allah ketika hendak atau sedang melakukan perbuatan keji,

mereka yang memohon ampun kepada Allah, karena tidak ada yang

dapat memberikan ampunan selain Allah serta mereka yang tidak

meneruskan perbuatan kejinya karena mereka tahu kalau itu adalah

perbuatan salah.

32

BAB III

ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH AYAT

A. Surat Ali Imran ayat 133-135

Surah Ali Imran (keluarga Imran) adalah surah ke-3 dalam al-Qur‟an.

Surah Ali Imran (bersama surah Al-Baqarah) juga memiliki nama lain Az-

Zahrawan yang berarti dua yang cemerlang, karena kedua surah tersebut

menyingkapkan hal-hal yang menurut Al-Qur‟an disembunyikan oleh para

ahli kitab, seperti kejadian dan kelahiran Nabi Isa dan kedatangan Nabi

Muhammad. Alasan lain mengapa disebut Az-Zahrawan ialah karena isi

kandungan dua surah tersebut mencakup keseluruhan ajaran Islam, di

antaranya akidah, akhlak, hukum, kisah orang terdahulu dan sebagainya.

Surah Ali Imran ini tergolong dalam surah Madaniyah karena

diturunkan setelah peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah.

Surah ini terdiri dari 200 ayat dimana ayat 1-91 terdapat dalam juz 3

sedangkan ayat 92-200 terdapat dalam juz 4.

Surah ini dinamakan Ali Imran karena di dalamnya mencakup kisah

keluarga Imran yang di dalam kisah itu juga disebutkan kelahiran Nabi Isa,

persamaan kejadiannya dengan Nabi Adam, kenabian dan mukjizatnya,

serta disebutkan pula kelahiran Maryam binti Imran (Al-Jumanatul,

2007:36).

Surah Ali Imran ini banyak sekali kandungan di dalamnya, baik

tentang akidah, akhlak, hukum dan sebagainya. Berikut daftar kandungan

surah Ali Imran dari ayat per ayat:

33

a. Ayat 1-9 menjelaskan tentang Al-Qur‟an dan kitab-kitab sebelumnya.

b. Ayat 10-17 menjelaskan tentang ancaman Allah kepada orang-orang

kafir dan pengaruh harta benda dunia akhirat.

c. Ayat 18-22 menjelaskan tentang pernyataan tentang keesaan dan

keadilan Allah, agama yang diridhoi-Nya, serta balasan bagi orang

yang ingin mencelakakan nabi.

d. Ayat 23-32 menjelaskan tentang orang Yahudi yang berpaling dari

hukum Allah, bukti kekuasaan dan kebenaran Allah, larangan

berpihak kepada orang kafir, serta bukti cinta kepada Allah.

e. Ayat 33-44 menjelaskan tentang keutamaan keluarga Imran,

f. Ayat 45-63 menjelaskan tentang Isa Al-Masih putra Maryam binti

Imran.

g. Ayat 64-68 menjelaskan tentang ajakan kepada agama tauhid.

h. Ayat 69-78 menjelaskan tentang sikap ahli kitab terhadap agama

Islam serta keburukan-keburukan orang Yahudi.

i. 79-92 menjelaskan tentang seorang nabi tidak akan menyuruh

manusia untuk menyembah dirinya serta janji para nabi tentang

kenabian Muhammad SAW.

j. Ayat 93-99 menjelaskan tentang bantahan-bantahan Allah terhadap

kekeliruan orang Yahudi terhadap makanan dan ahli kitab terhadap

rumah ibadah.

k. Ayat 100-115 menjelaskan tentang keharusan menjaga persatuan serta

kelebihan umat Islam dari umat lainnya.

34

l. 116-120 menjelaskan tentang perumpamaan harta yang dinafkahkan

orang kafir serta larangan menjadikan orang Yahudi sebagai orang

kepercayaan.

m. Ayat 121-131 menjelaskan tentang sabar dan tawakal kepada Allah,

larangan berbuat riba dan perintah untuk bertakwa kepada Allah.

n. Ayat 132-148 menjelaskan tentang perintah taat kepada Allah dan

Rasulullah serta sifat-sifat orang yang bertakwa.

o. Ayat 149-151 menjelaskan tentang peringatan supaya waspada

terhadap ajakan orang kafir.

p. Ayat 152-158 menjelaskan tentang sebab kekalahan umat Islam dalam

perang Uhud serta perintah untuk berkurban dan berjihad.

q. Ayat 159-164 menjelaskan tentang sifat Nabi Muhammad SAW.

r. Ayat 165-175 menjelaskan tentang sifat-sifat orang munafik dan

pahala bagi orang yang mati syahid.

s. Ayat 176-179 menjelaskan tentang ayat untuk menentramkan hati

Nabi Muhammad SAW.

t. Ayat 180-189 menjelaskan tentang kebakhilan dan dusta serta

balasannya.

u. Ayat 190-195 menjelaskan tentang manfaat selalu mengingat Allah

dan merenungkan ciptaan-Nya.

v. Ayat 196-200 menjelaskan tentang kesenangan sementara bagi orang-

orang kafir dan kebahagiaan abadi bagi orang mukmin.

35

Terkhusus ayat 133-135 dalam surah Ali Imran ini menjelaskan

tentang berbagai anjuran untuk menyegerakan dalam meraih ampunan

Allah, kriteria atau ciri-ciri orang bertakwa dan larangan untuk berbuat

keji dan dholim. Pembahasan ayat 133-135 ini lebih mengarah kepada

acuan untuk meraiih maghfiroh dari Allah serta enam karakteristik

penghuni surga antara lain:

a. Bertakwa, takwa sebagaimana yang telah kita ketahui bersama yaitu

menjaga diri dari azab Allah dengan mengerjakan apa yang

diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.

b. Menginfakkan harta disaat lapang maupun sempit, penghuni surga

menunaikan apa saja yang diperintahkan untuk diinfakkan seprti

zakat, shodaqoh, dan tidak lupa nafkah bagi keluarga.

c. Menahan amarah.

d. Memaafkan kesalahan orang lain.

e. Senantiasa mengingat Allah dan memohon ampunan apabila

melakukan perbuatan dosa.

f. Tidak meneruskan perbuatan dosa ketika mereka mengetahui bahwa

perbuatan tersebut adalah dosa (Bachmid, 2008:224).

B. Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhofah dari kata “asbab” dan

“nuzul”. Asbab berasal dari bentuk jamak sabab yang berarti sebab.

Sedangkan kata an-nuzul adalah masdar dari kata nazala yang berarti

menurunkan sesuatu atau kejadian sesuatu. Secara etimologi asbabun

36

nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu.

Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa

disebut asbabun nuzul, namun dalam pemakaiannya ungkapan asbabun

nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar

belakangi turunnya Al-Qur‟an, seperti halnya asbab al-wurud yang secara

khusus dipergunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadits (Rosihon,

2000:60).

Sedangkan secara terminologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab

yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat Al-Qur‟an kepada Nabi

Muhammad SAW karena ada suatu peristiwa yang membutuhkan

penjelasan atau pertanyaan yang membutuhkan penjelasan (Buchori,

2005:33).

Bentuk-bentuk peristiwa yang melatar belakangi turunnya Al-Qur‟an

sangat beragam, di antaranya berupa konflik sosial seperti ketegangan

yang terjadi antara suku Aus dan suku Khazraj, kesalahan besar seperti

kasus seorang sahabat yang menjadi imam ketika sedang dalam keadaan

mabuk, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi

Muhammad SAW baik tentang sesuatu yang telah lewat, sedang dan yang

akan terjadi. Persoalan apakah semua ayat dalam Al-Qur‟an memiliki

asbabun nuzul atau tidak ternyata masih menjadi perdebatan antara para

ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak semua ayat Al-Qur‟an

turun memiliki asbabun nuzul. Sehingga ayat tersebut turun tanpa ada

sebab yang melatar belakanginya (ibtida‟). Dan ulama yang lain

37

berpendapat bahwa, ayat Al-Qur‟an diturunkan dengan dilatar belakangi

oleh suatu sebab atau peristiwa (ghair ibtida‟). Pendapat tersebut hampir

merupakan konsensus para ulama. Akan tetapi, ada yang mengatakan

bahwa sejarah Bangsa Arab sebelum Al-Qur‟an merupakan latar belakang

yang mendominasi sebab turunnya Al-Qur‟an, sementara riwayat-riwayat

asbabun nuzul merupakan latar belakang dalam lingkup kecil. Artinya

bahwa pendapat tersebut menganggap bahwa, semua ayat Al-Qur‟an

memiliki sebab-sebab yang melatar belakanginya (Rosihon, 2000:67).

Pada kesempatan ini, penulis akan menjelaskan asbabun nuzul dari

topik pembahasan yaitu tentang surat Ali Imran ayat 133-135. Buchori,

(2005:62) menyebutkan bahwa, pernah dikisahkan dari Abdurrahman bin

Ghannam Al-Daws bahwa sahabat Mu‟adz bin Jabal mendatangi

Rasulullah dengan mengatakan ada pemuda tampan sedang menangis

seperti sedang kehilangan ibunya. Pemuda itu lalu dipanggil masuk oleh

Rasulullah. Kemudian Rasulullah bertanya, “Apa yang membuatmu

menangis anak muda?”. Kemudian pemuda itu menjawab, “Bagaimana

aku tidak menangis ya Rasulullah, aku telah melakukan dosa besar yang

kurasa tidak mungkin diampuni Allah.” Rasulullahpun langsung bertanya,

“Apakah engkau mempersekutukanNya?”. “Aku berlindung kepada Allah

supaya aku tidak menyekutukanNya.” jawab pemuda itu. “Apakah engkau

membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah untuk membunuhnya?”

tanya Rasulullah selanjutnya.

38

Kemudian pemuda itu menjawab, “tidak ya Rasulullah.” Rasulpun

menjawab, “Kalau begitu Allah akan mengampuni dosa-dosamu meskipun

dosamu itu sebesar gunung yang menjulang tinggi ke langit.” Namun

dengan tangis yang teramat keras pemuda itu berkata, “Dosaku lebih besar

dari gunung itu.” “Allah akan mengampuni dosamu meski sebesar tujuh

bumi beserta lautan dan semua yang ada padanya.” hibur Rasulullah

sambil tersenyum. “Namun ya Rasul, dosaku lebih besar daripada itu.”

jawab pemuda tersebut. Kemudian Rasul dengan sabarnya bersabda,

“Allah tetap akan mengampuni dosamu sekalipun sebesar langit berikut

bintang gemintang dan singgasanaNya.”

Kembali pemuda itu dengan memelas berkata, “Dosaku lebih besar

dari itu ya Rasulullah.” “Wahai pemuda! Apakah dosa-dosamu lebih besar

dari Tuhanmu?” jawab Rasulullah. Maka tersungkurlah pemuda itu dan

berkata, “Subhanallah, tidak ada yang lebih besar dari Tuhanku.” “Kalau

begitu, dosa apa yang telah engkau perbuat?” sergah Rasulullah. Lalu

dengan penuh air mata pemuda itu bercerita, “Sudah tujuh tahun ini

pekerjaanku adalah menncuri kain kafan mayat yang baru meninggal

untuk dijual di pasar. Pada suatu hari ada seorang anak gadis Anshor

meninggal dunia. Setelah dikubur dan ditinggalkan keluarganya, kudatangi

dan kugali kubur tersebut dan kulucuti kain kafannya. Kutinggalkan maya

itu dengan keadaan telanjang di bibir kuburan dan aku bergegas pulang

membawa jarahanku. Di rumah, aku membayangkan betapa mulusnya

tubuh mayat itu, sampai aku tergoda melihatnya kembali. Ketika melihat

39

mayat telanjang itu aku tidak dapat menguasai diriku sehingga aku

menggaulinya. Ketika itu, aku seolah mendengar suara yang mengatakan,

„Wahai pemuda, celakalah engkau di hadapan penghisab pada hari kiamat

kelak, tempatmu adalah di neraka.‟ Seketika aku terkejut dan takut sekali.

Bagaimana pendapatmu ya Rasulullah?”

Dengan terkejut Rasulullah berkata, “Enyahlah engkau dari sisiku, aku

takut akan terbakar bersama apimu!” Pemuda itu seketika pergi

meninggalkan Rasulullah dengan wajah yang sangat amat memelas. Ia

pergi mengasingkan diri ke suatu tempat. Selama empat puluh hari ia

menangis terus menerus memohon ampun kepada Allah, “Ya Allah,

ampunilah segala kesalahanku dan berilah wahyu kepada nabi-Mu. Jika

Engkau tidak mengampuniku, maka berikanlah segera siksaan yang

menghancurkanku di dunia ini, tetapi selamatkan aku dari siksaMu ketika

hari kiamat nanti.”

Rupanya taubat pemuda tersebut telah diampuni oleh Allah dengan

diturunkannya Q.S. Ali Imran ayat 133-136. Setelah menerima wahyu itu,

Rasulullah bersama para sahabat bergegas mencari pemuda itu. Akhirnya

pemuda itu ditemukan di antara dua batu gelap dalam keadaan lemah

dengan mata yang begitu sembabnya karena banyak menangis. Rasulullah

yang mulia kemudian menghampirinya dan membersihkan debu-debu

yang menempel di kepalanya dan bersabda, “Aku ingin memberikan kabar

gembira kepadamu, bahwa engkau sekarang adalah hamba Allah yang

dibebaskan dari api neraka.” Kemudian Rasulullah berpaling kepada para

40

sahabat yang mengikutinya dan berkata, “Beginilah seharusnya kalian

menyertai dosa yang kalian lakukan, seperti yang dilakukan oleh pemuda

ini.”

C. Munasabah Ayat

Secara etimologi, munaasabah berasal dari bahasa arab yang berasal

dari kata nasaba – yunasibu – munasabahan yang berarti keserupaan.

Munasabah juga berarti muqorobah atau kedekatan dan kemiripan. Hal ini

tentunya bisa terjadi antara dua hal atau lebih, sedangkan kemiripan

tersebut dapat terjadi pada seluruh unsur-unsurnya dapat juga terjadi pada

sebagainya saja.

Sedangkan secara terminologis, munaasabah adalah ilmu yang

mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan

lafal-lafal umum dengan lafal-lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang

terkait dengan hubungan sebab akibat, illat dan ma‟lul, serta kemiripan

dan pertentangan ayat (ta‟aarudh).

Dalam pengertian istilah, munaasabah diartikan sebagai ilmu yang

membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur‟an atau dengan kalimat

lain. Munaasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali

rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal.

Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia Ilahi,

sekaligus sanggahannya bagi mereka yang meragukan Al-Qur‟an sebagai

wahyu (Ash Shiddiqy, 1965:95).

41

Dalam pembahasan ini, penulis akan menjabarkan munasabah, baik

munasabah ayat dengan ayat yag lain dalam satu surat dan juga

munasabah surat dengan surat yang lain, sesuai dengan pembahasan yang

penulis kaji. Munasabah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Munasabah Ayat

a. Q.S Ali Imran ayat 132 dan 133

132. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. 133.

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada

surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk

orang-orang bertakwa (al-Karim, 1996:53).

Sebagian orang berfikir bahwa mukmin adalah orang yang tidak

berdosa. Padahal kedua ayat tersebut menyebutkan bahwa orang-

orang bertakwa mungkin saja melakukan perbuatan buruk,

sehingga Allah menyeru kepada orang-orang mukmin untuk

senantiasa mentaati Allah dan RasulNya, serta untuk senantiasa

menyegerakan diri terhadap ampunan Allah kalau-kalau pernah

melakukan perbuatan dosa, baik yang disengaja maupun tidak.

Pada ayat 132 Allah menyuruh umat manusia hanya untuk taat

kepada Allah dan Rasul yang akan dibalas dengan rahmat Allah.

Kemudian Allah melanjutkan seruan di ayat selanjutnya untuk

42

melengkapi penjelasan kepada manusia agar menyegerakan diri

kepada ampunan Allah dan kepada surgaNya. Ampunan dan surga

Allah tersebut hanya ditujukan kepada umatNya yang bertaka.

Penjelasan orang-orang yang bertakwa dijelaskan dalam ayat

selanjutnya yakni ayat 134 (Ash Shiddiqy, 1965:162).

Dalam ayat 133 disebutkan bahwa وااخ ػسضا الزض الس

yang artinya, “Surga yang luasnya seluas langit dan bumi”

dimaksudkan sebagai kabar akan keluasan surga tersebut.

Sebagaimana firman-Nya yang mensifati perlengkapan surga dalam

Q.S. Ar-Rahman ayat 54 yang berbunyi:

Yang artinya, “Mereka berkata di atas permadani yang sebelah

dalamnya dari sutera. Dan buah-buahan di surga itu dapat (dipetik)

dari dekat.”

Ayat 54 Q.S. Ar-Rahman tadi adalah salah satu dari sekian banyak

ayat yang menggambarkan atau mensifati keadaan surga sebagai

mana disebutkan dalam potongan Q.S. Ali Imran ayat 133 di atas.

Ayat 133 Q.S Ali Imran di atas juga terdapat kemiripan dengan

firman Allah yang lain yakni Q.S. Al-Hadiid ayat 21:

43

Yang artinya, “Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan

ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan

bumi.”

b. Q.S. Ali Imran ayat 133 dan 134

Selanjutnya Allah menyebutkan sifat para penghuni surga dalam

firmanNya:

133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan

kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan

untuk orang-orang bertakwa. 134. (Yaitu) orang-orang yang

menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan

juga orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan

(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat

kebajikan (al-Karim, 1996:53).

Dalam dua ayat diatas disebutkan bahwa, pada ayat pertama, Allah

menyuruh kepada umat manusia untuk menyegerakan diri kepada

ampunan Allah dan kepada surga yang sangat luas. Ampunan dan

surga Allah tersebut hanya diperuntukkan kepada umatnya yang

bertakwa. Pada ayat pertama ini tidak ada penjelasan mengenai

44

siapa saja yang dimaksud orang-orang bertakwa tersebut.

Kemudian Allah menjelaskannya di dalam ayat selanjutnya yaitu

ayat 134. Yang dimaksudkan Allah tentang orang-orang bertakwa

adalah mereka yang menginfakkan harta mereka dalam keadaan

apapun, baik susah maupun senang, kaya maupun miskin, sempat

atau tidak sempet dan sebagainya. Kategori orang bertakwa

selanjutnya ialah mereka yang mampu menahan amarahnya. Perlu

kita ketahui bahwa, tidak mudah mengendalikan amarah, karena

ketika marah, hawa nafsulah yang mengendalikan kita, maka dari

itu Allah menjajikan surga bagi orang yang mampu menahan

amarahnya. Kategori orang bertakwa selanjutnya ialah mereka

yang memaafkan kesalahan orang lain. Memaafkan kesalahan

orang lain juga bukan suatu hal yang mudah. Memafkan di sini

haruslah benar-benar dengan ikhlas tanpa ada niatan untuk

membalas sedikitpun. Masih ada lagi kategori orang yang bertakwa

yang dimaksudkan oleh Allah, tetapi kategori tersebut dijelaskan

dalam ayat selanjutnya.

Dalam ayat 134 disebutkan آء س الص آء ى في السس فم yang الريي ي

memiliki arti, “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya,

baik di waktu lapang maupun sempit.” Potongan ayat di atas

mengisyaratkan kepada kita untuk senantiasa berinfak, baik pada

waktu senang maupun susah, dalam keadaan suka maupun

terpaksa, sehat maupun sakit, dan dalam keadaan apapun. Hal

45

tersebut senada dengan firman Allah yang lain dalam Q.S. Al-

Baqarah ayat 274 yang berbunyi:

Yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang menginfakkan hartanya

pada malam dan siang hari, secara rahasia maupun terang-

terangan.”

Dalam Q.S. Ali Imran ayat 134 juga terdapat potongan ayat yang

berbunyi الكاظويي الغيع الؼافيي ػي الاس yang artinya, “Dan

orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan kesalahan

orang lain.” Artinya, jika mereka marah, maka mereka menahan

dan mengendalikan amarahnya tetrsebut dan tidak

melampiaskannya. Selain itu mereka dengan ikhlas memberikan

maafnya kepada orang yang telah berbuat aniaya terhadapnya.

Dalam potongan ayat ini, terdapat makna yang senada dari

potongan ayat pada Q.S. Asy Syuura ayat 37 yang berbunyi:

Yang artinya, “... dan apabila mereka marah, mereka segera

memaafkannya.”

c. Q.S. Ali Imran ayat 134 dan 135

46

134. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di

waktu lapang maupun sempit, dan juga orang-orang yang menahan

amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai

orang-orang yang berbuat kebajikan. 135. Dan (juga) orang-orang

yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri

sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-

dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain

dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya

itu, sedang mereka mengetahui.” (al-Karim, 1996:53).

Kategori orang bertakwa yang akan mendapat balasan surga dari

Allah masih berlanjut di ayat 135. Dalam ayat 135 di atas,

dijelaskan siapa saja yang termasuk dalam kategori orang

bertakwa. Mereka adalah orang yang senantiasa mengingat Allah

ketika akan ataupun sedang berbuat keji dan aniaya terhadap

dirinya sendiri. Ketika mereka mengingat Allah dalam keadaan

tersebut, maka sudah bisa dipastikan mereka tidak akan

meneruskan perbuatannya. Namun apabila sudah terlanjur dalam

melakukan perbuatan tersebut, maka hendaknya untuk segera

mengingat kepada Allah dan memohon ampunan kepadaNya.

47

Banyak ayat yang serupa dengan ayat ini, antara lain, dalam Q.S.

An-Nisa ayat 110 yang berbunyi:

Artinya, “Dan barang siapa mengerjakan kejahatan dan

menganiaya diri sendiri, kemudian ia memohon ampunan kepada

Allah, niscaya ia akan mendapatinya, Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.”

Dalam firman yang lalin juga disebutkan,

Artinya, “Katakanlah, „Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas

terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa terhadap

rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa

semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.” (Q.S. Az-Zumar: 53).

Dalam ayat 135 di atas terdapat potongan ayat yang berbunyi ن

ى yang berarti, “sedang mereka mengetahui.” Maksud dari يؼلو

unkapan tersebut menurut Abdullah bin „Ubaid bin „Umair ialah,

“Mereka mengetahui bahwa siapa yang bertaubat kepada Allah,

niscaya Allah akan menerima taubatnya.” Potongan ayat tersebut

48

seperti firman Allah yang lain dalam surah At-Taubah ayat 104

yang berbunyi:

Artinya, “Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah akan

menerima taubat darihamba-hambaNya?”

d. Q.S. Ali Imran ayat 135 dan 136

135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan

keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu

memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang

dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak

meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. 136.

Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga

yang didalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di

dalamnya, dan itu sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang

beramal (al-Karim, 1996:53).

49

Terkait dengan ayat sebelumnya, ayat 136 ini memberikan

penjelasan dari ayat 135 mengenai balasan apakah yang akan

diperoleh bagi orang-orang yang bertakwa. Jelas disebutkan bahwa

balasan yang diperoleh mereka ialah surga. Selain menjelaskan

mengenai balasan bagi orang bertakwa, ayat ini juga menjelaskan

tentang gambaran surga. Dijelaskan bahwa terdapat sungai-sungai

yang mengalir di dalam surga tersebut. Selain itu, Allah juga

menjanjikan kepada orang-orang bertakwa bahwasanya mereka

akan kekal di dalam sana.

2. Munasabah Surat

Surat-surat yang ada di dalam Al-Qur‟an mempunyai munasabah,

sebab surat yang datang kemudian menjelaskan tentang beberapa hal

yang disbutkan secara global pada surat sebelumnya. Dapat diambil

contoh banwasanya surat Al-Baqarah memberikan banyak sekali

perincian serta penjelasan terhadap surat Al-Fatihah (Asy-Syiddiqy,

1965:104).

Dalam pembahasan ini, Q.S. Ali Imran yang merupakan urutan

selanjutnya dari Q.S. Al-Baqarah, yang memberikan penjelasan lebih

lanjut mengenai nikmat yang akan Allah berikan kepada umatNya

yang bertakwa serta ancaman Allah terhadap orang-orang kafir karena

pengaruh harta dunia, yang disajikan secara global. Contoh dari

munasabah surat dari surat Al-Fatihah sampai surat Ali Imran, sebagai

berikut:

50

Yang artinya, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha

Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Fatihah: 2-3). Dari ayat ke

dua surat Al-Fatihah itu kemudian di jelaskan lebih lanjut di dalam

surat Al-Baqarah ayat 152 yang berbunyi:

Yang artinya, “Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu, niscaya aku

ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu

mengingkari (nikmat)-Ku.” Ayat ini adalah salah satu contoh dari

sekian banyak ayat yang memberikan penjelasan lebih lanjut dari surat

sebelumnya. Dalam ayat ini Allah menggambarkan betapa mulianya

Dia, karena Allah telah memberikan nikmat yang tak terhitung kepada

umat-umatNya. Kemudian di dalam surat selanjutnya yakni surat Ali

Imran juga terdapat banyak ayat yang senada mengenai perincian

tentang nikmat yang akan Allah berikan kepada orang orang yang

bertakwa. Misalnya dalam surat Ali Imran ayat 15 berikut:

51

Artinya, “Katakanlah, „Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang

lebih baik dari yang demikian itu?‟ untuk orang-orang yang bertakwa

kepada Allah, pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di

bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka

dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta diridhoi Allah. Dan Allah

Maha Melihat hamba-hambaNya.” (Rosiihon, 2000:65).

52

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Nilai-nilai Pendidikan Moral Dan Spriritual dalam Surat Ali Imran

Ayat 133-135

Moral atau dalam bahasa lain disebut sebagai kesusilaan adalah

keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat

untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar. jadi

pendidikan moral ditujukan untuk memagari manusia dari melakukan

perbuatan yang buruk yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada

baik itu dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pendidikan berkarakter moral adalah kunci untuk perbaikan sosial

dan kemajuan peradaban bangsa yang menjunjung tinggi integritas nilai

dan kemanusiaan. Harapan dari pendidikan berkarakter moral adalah cara

berpikir mengenai proses kepedulian dan penerapan dalam pendidikan.

Suatu model meliputi teori atau sudut pandang mengenai bagaimana

manusia berkembang secara moral dan mengenai sejumlah strategi atau

prinsip untuk membantu perkembangan moral. Dengan demikian suatu

model dapat membantu untuk memahami dan melakukan pendidikan

moral (Budiningsih, 2003:7).

Sedangkan spriritual, berasal dari bahasa Inggris yaitu

“spirituality” kata dasar spirit berarti roh, jiwa, semangat. Kata spirit

sendiri berasal dari kata Latin yaitu “spiritus” yang memiliki arti luas atau

53

dalam, keteguhan hati atau keyakinan, energi atau semangat serta

kehidupan (Hurlock, 1993:12).

Spiritual memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas,

hanya saja spiritualitas dapat dimengerti dengan membahas kata kunci

yang sering muncul ketika orang-orang menggambarkan arti spiritualitas

bagi mereka. Kata kunci yang bisa dipertimbangkan antara lain, meaning

(makna), values (nilai-nilai), transcedence (transsedensi), connecting

(bersambung) dan becoming (menjadi).

Pendidikan spiritual adalah pembersihan jiwa atau perjalanan

menuju Allah, atau istilah-istilah lain atau yang ditemukan dalam

terminologi sufisme. Adapun dalam buku-buku pendidikan spiritual,

secara umum, seluruhnya dituangkan pada satu wajah yang sama yakni

perpindahan dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang bersih, dari akal yang

belum tunduk pada syariat menuju akal yang sesuai dengan syariat, dari

hati yang keras dan berpenyakit menuju hati yang tenang dan sehat.

Singkatnya ialah dari yang kurang sempurna menuju yang lebih sempurna

dalam kebaikan dan mengikuti Rasulullah baik perkataan, tingkah laku dan

keadaannya.

Setiap permasalahan yang hadir hendaklah dikembalikan atau

dicarikan solusi didalam al-Quran maupun hadis, supaya tidak salah dalam

memutuskan suatu permasalahan. Dalam hal ini Allah telah memberikan

pelajaran mengenai nilai moral dan spiritual yang terdapat dalam surat Ali

54

Imran ayat 133-135 kepada manusia untuk menerapkan nilai-nilai moral

dan spiritual tersebut. Adapun nilai-nilai tersebut antara lain:

1. Nilai-nilai Moral

a. Berinfaq di saat sempit dan lapang

Infaq berasal dari kata nafaqa yang memiliki arti keluar. Dari akar

inilah muncul istilah nifaq-munafiq yang berarti orang yang keluar dari

ajaran Islam. Infaq maknanya jauh lebih umum dibanding dengan zakat

dan sedekah. Infaq itu sendiri berarti membelanjakan harta, uang ataupun

bentuk kekayaan yang lain, yang bersifat wajib maupun yang bukan wajib.

Dalam surat Ali Imran ayat 134 disebutkan ى في فم الريي ي

آء آء السس س الض yang artinya orang-orang yang menafkahkan hartanya,

baik di waktu lapang maupun sempit. Infaq berarti mengeluarkan sesuatu

(harta) untuk suatu kepentingan yang baik, maupun kepentingan yang

buruk. Ini sesuai firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 36, bahwa orang-

orang kafirpun menginfaqkan hartanya untuk menghalangi jalan Allah.

Artinya: Sesungguhnya orang kafir menafkahkan harta mereka untuk

menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta

mereka itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan

dikalahkan. Dan ke jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.

55

Sedangkan menurut istilah, infaq adalah mengeluarkan sebagian

harta untuk sesuatu kepentingan yang diperintahkan oleh Allah, seperti

menginfaqkan harta untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Rasyid,

2009:26).

Infaq ini bukan lagi merupakan kewajiban yang bersifat sunnah,

seperti yang dipahami masyarakat luas. Infaq ini merupakan kewajiban

yang bersifat fardhu kifayah, karena harus dikeluarkan baik itu dalam

keadaan kesempitan maupun dalam keadaan lapang.

Infaq menurut istilah para ulama diartikan sebagai perbuatan atau

sesuatu yang diberikan oleh seseorang untuk menutupi untuk menutupi

kebutuhan orang lain, baik berupa harta, makanan, dan lain sebagainya.

Juga mendermakan atau memberikan sesuatu kepada orang lain

berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah semata.

Infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan

manusia. Dengan demikian infaq memiliki cakupan lebih luas

dibandingkan dengan zakat. Dalam kategorisasinya, infaq dapat

diumpamakan dengan alat-alat transportasi umum, karena hibah, waqaf,

wasiat, nazar, pemberian nafkah kepada keluarga, pemberian hadiah,

kafarah (berupa harta) karena melanggar sumpah adalah termasuk infaq.

Dari kategori tersebut, merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik

kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima. Dengan kata lain,

pengertian infaq adalah kegiatan penggunaan harta secara konsumtif,

yakni pengeluaran atau pembelanjaan harta untuk memenuhi kebutuhan,

56

bukan secara produktif yang mana penggunaan harta diputar untuk

dikembangkan lebih lanjut secara ekonomis (Syarifuddin, 2010:62).

Dalam pandangan Islam, orang yang berinfaq ini akan memperoleh

keberuntungan yang berlipat ganda, baik itu di dunia maupun di akhirat

kelak. Hal ini sesuai firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 261-262

yang berbunyi:

Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) oleh orang-orang yang

menafkahkan harta ke orang lain di jalan Allah SWT adalah serupa dengan

sebutir benih yang menumbuhkan tujuh batang dan seratus butir. Allah

SWT melipat gandakan (pahala) setiap bagi siapa yang Dia kehendaki.

Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berinfaq dapat

dikategorikan ke dalam nilai moral, karena dengan adanya infaq dari

orang-orang dermawan dapat membantu menciptakan persatuan serta

terciptanya kerukunan. Selain itu, dengan berinfaq, juga dapat

menumbuhkan tali persaudaraan antar manusia, karena dengan berinfaq

akan tercipta rasa saling peduli, tolong-menolong serta toleransi. Di sisi

57

lain, dengan derinfaq, Allah telah menjanjikan pahala yang berlipat-lipat

ganda, yang dengan pahala tersebut dapat menolong seseorang untuk di

kehidupan akhirat kelak.

b. Menahan Amarah

Marah dalam bahasa Arab berasal dari kata “ghodziba” yang

berarti geram, emosi yang meluap, panas hati. Secara istilah “ghodziba”

adalah perubahan dalam diri atau emosi yang dibawa oleh kekuatan dan

rasa dendam demi menghilangkan gemuruh di dalam dada. Kata الغيع

adalah marah yang paling besar karena definisi dari kata tersebut ialah

kemarahan yang teramat sangat.

Kalimat الكاظويي الغيع dalam surat Ali Imran ayat 134 memiliki

arti menahan amarah. Kalimat tersebut sangatlah luas maknanya, sehingga

perlu banyak penjelasan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa, sebagian

ulama mengatakan bahwa Allah menciptakan amarah dari api neraka dan

menjadikannya sebagai tabiat bagi manusia. Maka seringkali seseorang

menghendaki sesuatu namun tidak terpenuhi, amarahnya akan menyala-

nyala dan bergejolak. Ini akan terjadi apabila seseorang tersebut marah

kepada orang yang lebih rendah dan ia merasa mampu untuk

memarahinya.

Menurut al-Shan‟ani, (2004:52), mengatakan bahwa hakikat marah

adalah pergolakan jiwa yang terlihat pada jasad untuk membalas sesuatu.

58

Dalam hal ini, marah sangat berdampak buruk apabila seseorang tidak

dapat mengendalikan amarahnya.

Marah adalah gejolak hati yang muncul lantaran beberapa sebab,

apabila marahnya dalam urusan duniawi, hanya terbawa hawa nafsu bukan

karena kebenaran, maka terdapat kiat-kiat dalam menahan amarah. Yang

pertama adalah berdo‟a. Do‟a adalah senjata yang ampuh bagi seorang

muslim. Di tangan Allah segala taufik dan petunjuk. Allah mampu

menunjuki seseorang kepada jalan yang benar. Dialah penolong untuk

membersihkan jiwa dari noda-noda kotoran akhlak yang tercela. Allah

berfirman dalam surat al-Mu‟min ayat 60 yang berbunyi

Artinya: Dan Tuhanmu berkata, “ Berdoalah kalian, niscaya akan Aku

kabulkan”.

Allah telah menjanjikan akan mengabulkan segala sesuatu, termasuk

memohon kepada-Nya agar dijauhkan dari sifat amarah.

Kedua, senantiasa berdzikir kepada Alalh. Ingat kepada Allah

adalah obat kerasnya hati, dengan dzikir akan mendorong takutnya kepada

Allah dan berakhir pada ketaatan kepada-Nya. Maka mengingat Allah

ketika sedang marah akan mendorong pelakunya untuk segera kembali

pada adab dan akhlak mulia. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 24

Artinya: dan ingatlah Rabbmu jika kamu lupa.

Ketiga, orang yang hendak marah, hendaklah mengubah posisinya,

jika sedang berdiri maka duduklah, apabila belum hilang juga amarahnya,

59

bisaa dengan berbaring atau meninggalkan tempat. Dari Abu Dzar r.a

Rasulullah saw bersabda:

ال اذا غضة أحدكن الغضة لائن فليجلس, فاى ذة ػ

فليضطجغ

Artinya: “Apabila seseorang di antara kallian marah, sedangkan ia berdiri

maka hendaklah duduk. Apabila belum hilang juga (amarahnya) maka

hendaklah ia berbaring.” (HR. Abu Dawud no 4782) (Hikam, 2001:40).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, nilai moral kedua sesuai

kandungan surat Ali Imran ayat 133-135 ialah menahan amarah. Banyak

sekali dampak positif yang bisa diambil dari menahan amarah. Mungkin

menahan amarah terlihat sangan sepele, akan tetapi menahan marah dapat

dijadikan tolak ukur kuat atau tidaknya kesabaran seseorang. Dengan

bisanya seseorang menahan amarah, maka dapat dikatakan bahwa

seseorang tersebut memiliki kualitas kesabaran yang baik, begitu pula

sebaliknya, apabila seseorang masih susah dalam menahan amarahnya,

maka dapat dikatakan bahwa kesabaran seseorang tersebut masih bisa

dikatakan rapuh.

c. Memaafkan kesalahan orang lain.

Maaf dalam bahasa arab berasal dari kata „afa yang berarti

menghapus atau menghilangkan. Jadi memaafkan mengandung pengertian

menghapus luka atau bekas-bekas luka yang terdapat dalam hati. Dengan

memaafkan kesalahan orang lain berarti hubungan antara orang yang

bermasalah kembali harmonis dan baik. Hal tersebut karena luka yang

terdpat dalam hati, utamanya orang yang memberikan maaf, telah sembuh.

60

Kalimat الؼافيي ػي الاس dalam surat Ali Imran ayat 134

memiliki arti memaafkan kesalahan orang lain. Sebagai umat manusia

tentunya sangat tidak bisa untuk menghindari perbuatan yang salah yang

menyebabkan orang lain terluka. Memang tidak enak sekali jika seseorang

telah melakukan perbuatan salah, terlebih lagi tidak meminta maaf. Namun

terkadang juga terdapat orang yang telah meminta maaf akan tetapi tidak

bisa dimaafkan. Atau juga terdapat orang yang meminta maaf telah

dimaafkan terlebih dahulu oleh orang yang disakiti.

Filosofis maaf dalam Islam menurut Ibnu Qaidimah dalam Minhaju

Qashidin yaitu sebenarnya seseorang mempunyai hak, akantetapi ia

melepaskannya, tidak menuntut balasan atau denda atasnya. Islam

mengajak umatnya untuk saling memaafkan karena manusia dalam

kesehariannya tidak akan luput dari yang namanya kesalahan. Orang yang

memberi maaf akan memiliki keistimewaan yang tinggi dihadapan Allah

SWT, seperti yang termaktub dalam al-Qur‟an surat asy-Syura ayat 40

yang berbunyi:

Artinya: Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya

atas (tanggungan) Allah.

Terkadang amat sangat sulit bagi seseorang untuk memaafkan

kesalahan orang lain, apalagi kalau kesalahan tersebut merupakan

kesalahan yang besar yang biasanya sampai menyakiti hatinya. Akan

tetapi, apabila seseorang tersebut terlalu lama menyimpan rasa benci,

61

dendam dan marah dihatinya, maka orang tersebut tidak akan pernah

menikmati indahnya saling memaafkan sesama makhluk Allah SWT.

Menurut Qarni (2007:97), memaafkan orang yang berbuat salah

atas dirinya lebih utama dari pada membalas kesalahannya, walaupun

sebenarnya berhak untuk menghukum atau membalasnya. Memaafkan

orang yang bersalah akan membukakan ampunan Allah. Ayat ini bukan

berarti melarang terhadap orang yang berbuat dzalim, tetapi apabila

memberi maaf bisa lebih bermanfaat, maka nilainya jauh lebih baik

karena termasuk kedalam kategori sabar.

Islam sangat mendorong umat muslim untuk memiliki sifat pemaaf.

Sifat ini muncul karena keimanan, ketakwaan, pengetahuan dan wawasan

mendalam seorang muslim tentang Islam. Seorang muslim menyadari

bahwa sifat pemaaf tersebut adalah sifat yang menguntungkan, terutama

membuat hati lapang dan tidak dendam terhadap orang yang berbuat salah

kepadanya, sehingga jiwanya menjadi tenang dan tentram. Apabila

seseorang tersebut bukanlah seorang yang pemaaf, tentu akan menjadi

orang yang pendendam. Dendam yang tidak terbalas menjadi beban bagi

dirinya dan menyebabkan penyakit yang berbahaya karena membawa

kegelisahan dan tekanan negatif bagi orang yang bersangkutan. Hanya

orang bodoh yang tidak mau memiliki sifat pemaaf ini. Sebagaimana

firman Allah dalam surat al-A‟raaf ayat 199 yang berbunyi:

62

Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang mengerjakan yang baik

serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.

Sikap pemaaf yang menjadi tradisi muslim jauh lebih baik dari

sedekah yang diberikan dengan diiringi oleh ucapan atau sikap yang

menyakitkan bagi orang yang menerimanya. Seorang muslim bukan hanya

dituntut untuk memberikan maaf. Mereka juga diperintahkan untuk

berbuat baik kepada orang yang berbuat salah kepadanya. Mereka yang

mampu berbuat demikian mendapat kedudukan tinggi, pujian serta pahala

yang baik dari Allah SWT. Allah berfirman dalam surat asy-Syura ayat 40

yang berbunyi:

Artinya: Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka

barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas

(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang

yang dzolim.

Suka memberi maaf kepada orang yang berbuat salah merupakan

ciri dari orang yang bertakwa. Orang yang demikian akan memaafkan

orany yang berbuat salah kepadanya, meskipun yang bersalah tidak pernah

meminta maaf kepadanya. Sikap pemaaf perlu melekat pada diri seorang

muslim dan menjadikan akhlak karimahnya sebagai buah iman, takwa dan

ibadahnya kepada Allah. Dengan sikap pemaaf, seorang muslim akan

dicintai oleh Allah dan disenangi manusia (Shihab, 2002:254).

63

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, nilai moral ketiga

dalam kandunga surat Ali Imran ayat 133-135 setelah berinfaq dan

menahan amarah ialah memaafkan kesalahan orang lain. Orang yang dapat

menahan amarahnya belum tentu terbebas dari rasa sakit hati bahkan rasa

dendam. Mukmin yang baik bukan hanya mereka yang dapat menahan

amaranya, akan tetapi juga mereka yang mampu memaafkan kesalahan

orang lain. Memaafkan orang lain terutama pada orang yang berbuat salah

dinilai lebih mulia daripada menjatuhkan hukuman ataupun membalas

kesalahannya.

2. Nilai-nilai Spiritual

a. Bersegera kepada ampunan Allah

Bersegera kepada ampunan Allah telah Allah perintahkan kepada

hamba-Nya. Ampunan Allah adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh

orang mukmin, karena hanya orang mukmin yang sadar bahwa manusia

tidak pernah luput dari dosa. Senantiasa memohon ampunan kepada Allah

sama halnya ia senantiasa memperbaharui taubatnya.

Kalimat آ الى هغفسج هي زتكن سازػ dalam surat Ali Imran ayat

133 memiliki arti, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu.”

memiliki banyak sekali penjelasan serta faidahnya. Sebagai seorang

mukmin, ampunan Allah adalah suatu hal yang sangat dinanti-nantikan.

Karena dengan hal tersebut dapat membawa kenyamanan dalam hidup,

pola hidup akan tertata dengan rapi serta memiliki sikap pemaaf dan bijak

64

sana. Selain hal tersebut seseorang yang senantiasa memohon ampunan

kepada Allah akan dicintai oleh-Nya, karena ia akan selalu mengingat

Allah, baik ketika melakukan kesalahan atau tidak.

Ayat lain yang senada dengan ayat di atas adalah, firman Allah

dalam surat al-Hadid ayat 21 yang berbunyi:

Artinya: Berlomba-lombalah kamu dalam (mendapatkan) ampunan dari

Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan

kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah

karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan

Allah mempunyai karunia yang besar.

Ampunan dalam bahasa Arab berasal dari kata “gafara” yang

artinya menutupi sesuatu (Yunus, 2007:298). Ampunan berarti

pembebasan dari hukuman atau tuntutan. Dalam ayat ini diterangkan

bahwasanya kita diperintahkan untuk menyegerakan diri dalam meraih

ampunan Allah. Al-Razi (2001:199) berpendapat, tidak ada jalan untuk

meraih ampunan Allah selain melaksanakan perintah dan menjauhi

larangan Allah.

Makna bersegera kepada ampunan Allah adalah bergegas bertaubat

kepada Allah dengan “taubatan nasuh”, meninggalkan perbuatan dosa,

65

diiringi dengan penyesalan dan tekat kuat untuk tidak mengulanginya. Dan

apabila dosa yang dilakukan terkait dengan hak manusia, wajib baginya

mengembalikan hak-hak saudaranya atau meminta keridhoannya. Allah

berfirman dalam surat at-Thahrim ayat 8 yang berbunyi:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan

taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhanmu akan

menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam

surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.

Taubat itu sendiri berasal dari kata “taba” yang artinya kembali.

Sedangkan menurut istilah, taubat itu berarti kembali mendekatkan diri

kepada Allah, setelah menjauh dari-Nya. Taubat juga bisa diartikan sebuah

keinginan, kegandrungan, kebutuhan akan Allah SWT, maupun segala

sesuatu yang dapat membuat seseorang lebih mengenal-Nya. Oleh karena

itu, landasan bertaubat adalah kembalinya seorang hamba dari

kemaksiatan menuju ketaatan kepada Allah, dengan menjalankan apa yang

diperintahkan serta menjauhi larangan-Nya (Saputra, 2009:58).

Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan bahwa nilai spiritual

pertama yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 133-135 adalah

menyegerakan diri kepada ampunan Allah. Karena dengan hal tersebut

jiwa seseorang akan merasa lebih dekat kepada Sang Pencipta. Selain itu,

orang yang senantiasa memohon ampunan kepada Allah, akan mendapat

66

balasan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, sesuai yang dijanjikan

oleh Allah SWT.

b. Menyegerakan diri kepada surga Allah

Surga dalam bahasa Arab berasal dari kata “janna” yang artinya

menutup. Alasan kenapa disebut demikian ialah karena pohon-pohon yang

ada di dalamnya sangat lebat sehingga dapat digunakan untuk berteduh di

bawahnya. “Jannah” dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai taman

yang di dalamnya terdapat pohon-pohon (Makhluf, 1998:74).

Sedangkan menurut istilah, surga adalah suatu tempat kediaman

yang disediakan oleh Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa

kepada-Nya sebagai balasan kepada mereka. Balasan tersebut adalah

balasan atas keimanannya yang benar dan amal perbuatannya yang shalih.

Kalimat آ الى هغفسج هي زتكن سازػ جح dalam surat Ali

Imran ayat 133 memiliki arti, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan

dari Tuhanmu dan kepada surga.” Perintah bersegera kepada ampunan

Allah dan surga Allah menunjukkan bahwa waktu seorang mukmin sangat

berharga untuk meraih kebaikan-kebaikan, meraih ampunan Allah dan

surga-Nya. Seseorang akan sangat menyesal ketika maut menjemput,

sedangkan sementara waktu yang demikian panjang disia-siakan dari

memohon ampunan Allah dan dari menempuh jalan kepada surga-Nya.

Dalam al-Qur‟an terdapat sangat banyak ayat yang menjelaskan

tentang surga. Salah satu dari ayat tersebut adalah surat al-Bayyinah ayat 8

yang berbunyi:

67

Artinya: balasan mereka di sisi Tuhannya adalah surga „Adn yang mengalir

di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.

Allah ridho kepadanya dan merekapun ridho kepada Allah. Yang demikian

itu adalah (balasan ) bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya.

Bersegera kepada surga, memiliki makna bersegera menempuh

segala sebab yang mengantarkan kepada surga berupa iman dan amal

sholih. Bersegera kepada surga juga memiliki makna bersegera untuk

berserah diri dan tunduk kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya,

memurnikan ibadah hanya karena Allah serta bersegera menyambut semua

seruan Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat al-

Anfal ayat 24 yang berbunyi:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan

Rasul-Nya, apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi

kehidupan kepada kamu.

Apabila seseorang menyegerakan dirinya kepada surga Allah, maka

ia akan sangat banyak mendapat faidah. Sebagai seorang muslim, surga

adalah tujuan utama ia dalam berbuat amal kebaikan, karena dengan amal

kebaikan tersebutlah yang nanti akan menghantarkannya kepada surga.

Manfaat menyegerakan diri kepada surga antara lain ialah; pertama, ia

akan senantiasa mengingat Allah. Alasan ini karena, seseorang yang

68

mengidam-idamkan surga, pasti tidak pernah lupa untuk mengingat siapa

pencipta dari surga tersebut. Apabila seseorang benar-benar menginginkan

surga, sudah dapat dipastikan ia akan mengingat Allah kapanpun dan

dimanapun ia berada.

Faedah kedua bagi orang yang menyegerakan diri kepada surga

ialah, ia pasti memiliki akhlak yang terpuji. Hal tersebut beralasan sebab,

setiap orang yang menginginkan surga, pasti ia akan senantiasa melakukan

kebaikan-kebaikan, entah itu untuk diri sendiri, orang lain maupun

lingkungan. Perangai orang yang benar-benar menginginkan surga, pasti

tidak akan melenceng dari apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

Sebab itulah orang yang menyegerakan diri kepada surga memiliki akhlak

yang terpuji.

Faedah yang ketiga bagi orang yang menyegerakan diri kepada

surga yakni, ia akan dicintai oleh Allah serta orang-orang disekitarnya.

Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, sedangkan orang

yang menyegerakan diri kepada surga pasti senantiasa berbuat kebaikan.

Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 135 yang berbunyi:

...

Artinya: ...dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai spiritual kedua

yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 133-135 adalah

menyegerakan diri kepada surga Allah. Dengan menyegerakan diri kepada

surga, maka seseorang secara langsung maupun tidak langsung telah

69

menjalankan kebaikan-kebaikan, yang mana kebaikan-kebaikan tersebut

dapat menubuhkan rasa cinta seseorang kepada Allah. Selain

menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, dengan kebaikan-kebaikan itu

pula, seseorang akan merasakan kenyamanan dalam jiwa serta kelak

kebaikan-kebaikan tersebut akan mengantarkan ia kepada surga, sesuai apa

yang ia idamkan.

c. Memperbanyak istigfar

Istighfar menurut bahasa adalah bentuk masdar dari “istighfara-

yastaghfiru”. Akar katanya dari “ghofara” yang berarti menutup. “Al-

ghofru” artinya “as-satru” (menutup). “Al-ghofru” artinya mengenakan

sesatu yang melindungi dari kotoran (Qardawi, 2006:15).

Sedangkan menurt terminologi, istighfar adalah permohonan

ampunan dari manusia selaku hamba yang memiliki sifat ketergantungan

kepada Allah. Permohonan ini ditujkan semata-mata kepada Allah, tidak

kepada yang lainnya dan bersifat langsung tanpa melalui perantara,

sehingga merupakan permohonan ampunan yang amat murni. Artinya,

permohonan ampunannya itu tumbuh dari hati nuraninya untuk mencapai

hubungan yang bersifat murni dengan Allah dan karena ketakutannya akan

ditimpa cobaan ataupun nasib buruk, karena menyadari dirinya berdosa

kepada Allah.

Beristighfar haruslah diniatkan untuk mendapatkan ampunan Allah,

tidak hanya untuk dosa saat ini, tetapi juga dosa masa lalu serta dosa pada

masa yang akan datang. Hal tersebut merupakan kewaspadaan batin,

70

karena dosa kesombongan meskipun seberat debu ternyata dapat

menyebabkan seseorang tidak masuk surga, terlebih lagi dalam diri

seseorang masih banyak berbagai macam dosa. Istighfar dapat diibaratkan

sebagai sabun pencuci yang dapat menghapus dosa. Dengan membiasakan

istighfar, maka setiap ada dosa sedikit, dosa tersebut akan dapat terhapus

sebelum terlanjur berkarat dalam hati dan jiwa serta dapat menjadi noda

yang sulit hilang yang senantiasa terbawa kemanapun ia pergi seumur

hidupnya (Majdi, 2011:21-22).

Dengan seringnya beristighfar, seseorang akan banyak menjumpai

faedah-faedah di dalam kehidupannya. Faedah-faedah istighfar yang

pertama adalah; akan dihapus kejelekannya dan diangkat derajatnya. Allah

berfirman dalam surat an-Nisa‟ ayat 110 yang berbunyi:

Artinya: Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya

diri sendiri, kemudian ia mohon ampunan kepada Allah, niscaya ia

mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Allah akan mengampuni dosa

hamba-Nya yang sering melakukan keburukan, dengan catatan orang

tersebut meminta ampunan kepada Allah.

Faedah kedua dari memperbanyak istighfar adalah dihapuskannya

dosa dan kesalahannya. Setiap dosa pasti meninggalkan noda hitam pada

hati. Noda hitam tersebut dapat hilang dengan seseorang memperbanyak

istighar. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya bila seorang mukmin

71

melakukan dosa, pada hatinya timbul satu noda hitam. Bila dia bertobat,

berhenti dari maksiat dan beristighfar, niscaya akan bersih hatinya.” (HR.

Ahmad).

Faedah ketiga dari beristighfar adalah terkabulnya do‟a yang

dipanjatkan seseorang kepada Allah. Istighfar merupakan sebab

terkabulnya sebuah do‟a. Dengan beristighfar, seorang hamba akan

semakin mengagungkan dan membesarkan Tuhannya. Allah berfirman

dalam surat Hud ayat 61 yang berbunyi:

Artinya: Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh

berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan

bagimu selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan

menjadikanmu pemakmurnya, karena itu memohonlah ampunan-Nya,

kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat

(rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do‟a hamba-Nya).

Dengan beristighfar, do‟a seseorang akan dikabulkan oleh Allah, karena

secara tidak langsung orang tersebut merasa rendah di hadapan Allah, dan

ia meninggikan Allah serta mengagunggkan-Nya (Majdi, 2011:133).

Dalam kehidupan sosial, istighfar merupakan proses pembelajaran

seseoang secara terus-menerus dan berkelanjutan pada diri individu dan

dalam masyarakat untuk membiasakan dirinya dalam bersikap, menjaga

tingkah laku dan ucapan yang sekiranya akan menyakiti orang lain. Hal

72

tersebut beralasan karena, apabila seseorang berbuat dosa kepada Allah,

maka ia akan diberi ampunan jika dia benar-benar bertaubat. Sedangkan

jika seseorang berbuat dosa kepada orang lain, maka dia harus berusaha

meminta maaf di dunia. Karena dalam suatu riwayat pernah diceritakan,

ada seorang hamba yang terhambat masuk surga karena adanya tuntutan

dari orang lain yang pernah ia sakiti semasa hidup di dunia (Tebba,

2009:110).

Dari uraian tersebut, dapat diambil simpulan bahwa nilai spiritual

ketiga yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 133-135 ialah

memperbanyak istighfar. Nilai-nilai istighfar memberikan prespektif yang

sangat luar biasa baik dalam hubungan antara manusia dengan Tuhannya

maupun antara sesama manusia. Hubungan manusia dengan Tuhannya

akan berjalan dengan baik, karena orang tersebut merasa tidak ada hargaya

di hadapan Allah, sehingga Allah menyukai orang tersebut dan

mengabulkan do‟a yang ia panjatkan. Dalam hubungan sosial, juga akan

berlaku dengan penuh kerukunan, karena hubungan sesama manusia yang

banyak beristighfar memiliki kepribadian yang sopan, menjaga tingkah

laku serta lisannya.

B. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Moral Spiritual dalam

Pendidikan Formal

1. Berinfaq Dalam Keadaan Lapang Maupun Sempit

Penerapan nilai moral spiritual yang terkandung dalam surat Ali

Imran ayat 133-135 pertama adalah berinfaq dalam keadaan apapun. Allah

73

telah memberikan rezeki kepada umatnya dengan bermacam-macam

kebaikan, diantaranya ialah kesehatan, harta, keluarga, imlu dan kebaikan-

kebaikan yang lainnya. Rezeki tersebut diberikan kepada manusia oleh

Allah sebagai bekal hidup manusia untuk melangsungkan kehidupannya di

muka bumi. Semua rezeki yang diturunkan oleh Allah bersifat halal, akan

tetapi cara yang ditempuh untuk memperoleh rezeki tersebutlah ada yang

melewati jalan haram. Rezeki yang diturunkan oeh Allah untuk seseorang,

sesungguhnya rezeki itu juga terdapat hak-hak untuk orang lain dan harus

menginfaqkan sebagian dari rezeki tersebut apabila ingin menjadi orang

yang bertakwa.

Allah SWT sering kali menyeru kepada umat-Nya untuk

menginfaqkan sebagian hartanya untuk orang lalin, terlebih yang

membutuhkan. Selain akan mendapat balasan surga serta pahala yang

berlipat ganda, berinfaq adalah sesuatu yang sangat penting daam

kehidupan di dunia, karena dapat menumbuhkan rasa sosial tinggi,

toleransi serta membantu menyejahterakan kehidupan seseorang di dalam

tatanan masyarakat. Di sini dapat diketahui poin-poin apa saja yang dapat

diperoleh dari berinfaq baik orang yang berinfaq maupun orang yang

menerima infaq:

a. Untuk mengangkat kehidupan orang-orang fakir untuk hidup yang

lebih layak.

b. Supaya tidak nampak perbedaan yang terlalu mencolok antara yang

kaya dengan yang miskin. Kemiskinan adalah salah satu faktor dalam

74

mengerjakan perbuatan yang tidak disukai Allah, seperti dengan

kemiskinan mereka akan mencuri, dengan kemiskinan mereka akan

melakukan segala cara hanya sekedar untuk dapat makan serta terlebih lagi

dengan kemiskinan, tidak sedikit orang yang menjual agama Allah SWT.

Demikian tadi sebagian kecil alasan kenapa Allah memerintahkan umat-

Nya untuk berinfaq.

c. Kehidupan dalam masyarakat tanpa ada yang berinfaq, yang kaya

akan semakin tidak terkontrol dalam membelanjakan hatranya, sedangkan

yang miskin akan menjua dirinya bahkan agamanya. Dari hal ini akan

terjadi revolusi kelaparan, yaitu orang-orang miskin akan memberontak.

d. Dengan Alah memerintahkan umat-Nya untuk berinfaq, maka

kehidupan orang-orang yang memiliki harta lebih akan lebih aman, karena

dengan mereka berinfaq, secara tidak langsung mereka telah mengurangi

faktor yang menyebabkan kejahatan.

Dengan alasan-alasan di atas, maka al-Qur‟an memaksa manusia

untuk berinfaq disetiap waktu serta di manapun ia berada. Allah tidak

memberikan batasan jumlah dalam berinfaq, maka dari itu tidak ada alasan

seseorang untuk tidak menginfaqkan sebagian hartanya. Apabila seseorang

sedang berada dalam keadaan sempit atau kekurangan harta, sedang ia

ingin sekali berinfaq, ia akan tetap dapat melakukannya. Sedangkan

apabila seseorang berada dalam keadaan luang atau memiliki harta yang

lebih, alangkah baiknya ia memberikan infaq dengan cakupan lebih.

Kualitas berinfaq bukanlah dilihat dari segi banyak atau sedikitnya jumlah

75

yang ia keuarkan, melainkan ikhlas atau tidaknya seseorang tersebut dalam

mengeluarkan infaq.

Banyak sekali cara Alah yang disebutkan di dalam al-Qur‟an untuk

menumbuhkan semangat seseorang untuk mengeluarkan hartanya untuk

berinfaq. Cara-cara tersebut antara ain:

a. Allah memberikan penjelasan kepada manusia bahwa harta yang

mereka miliki sesungguhnya bukanlah hartanya, melainkan hanya titipan

Alah semata. Sebenarnya manusia di muka bumi ini tidak memiliki apa-

apa, karena yang mereka dapatkan saat ini hanyalah berupa titipan. Dari

situlah Allah menerangkan kepada manusia untuk mengeluarkan sebagian

hartanya untuk berinfaq, karena apabila seseorang tidak mengeluarkan apa

yang diperintahkan Allah, maka suatu saat akan tiba waktunya harta orang

tersebut akan diambil oleh Allah.

b. Allah menjelaskan kepada umat manusia bahwa apabila mereka

mengeluarkan infaq, maka Allah akan mengganti apa yang dikeluarkan

tersebut hingga berlipat-lipat ganda. Cara inilah yang dilakukan Allah

untuk menumbuhkan semangat umat-Nya untuk berinfaq. Allah

menjanjikan akan mengganti dengan hal yang lebih baik apabila seseorang

mau berinfaq.

c. Allah memebrikan penjelasan kepada manusia untuk memberikan

pinjaman kepada Allah dengan cara yang baik. Hal tersebut bukan berarti

Allah tidak mampu dan tidak punya, melainkan inilah cara Allah yang

paling lembut karena yang namanya hutang pasti akan dikembalikan.

76

Maka dari itu seseorang tidak perlu khawatir mengeluarkan infaq, karena

Alah akan mengganti apa yang mereka keluarkan bahkan akan dilipat

gandakan.

Dengan berinfaq, sesungguhnya orang yang pertama menerima

kebaikan dari berinfaq tersebut bukanlah orang yang menerima infaq,

melainkan orang yang mengeluarkannya. Hal tersebut karena, apabila

seseorang berniat ingin berinfaq, sebeum apa yang diinfaqkan sampai

kepada seseorang yang akan menerima, infaq tersebut terlebih dahulu akan

sampai kepada Allah dan Allah sendiri yang akan menerimanya serta

Allah sendiri yang akan menggantinya.

Pendidikan formal seperti SD, SMP serta SMA pada zaman

sekarang memiliki basis yang mengarah kepada pendidikan karakter.

Dalam pendidikna berkarakter, banyak sekali lembaga pendidikan yang

memberikan pelajaran moral kepada peserta didik. Dari hal tersebut,

lembaga pendidikan formal dapat menerapkan salah satu nilai moral

spiritual yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 133-135 yakni

tentang berinfaq. Lembaga pendidikan formal dapat menerapkannya

dengan berbagai cara serta inovasi-inovasi menarik sehingga siswa tidak

akan merasa keberatan untuk mengeluarkan infaq. Penerapan infaq

tersebut bisa dilakukan dengan cara misalnya, mewajibkan siswa untuk

mengeluarkan infaq yang tertuju untuk pembangunan masjid, setiap hari

Jumat dengan catatan tidak ada batasan jumlah nominalnya.

77

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pentingnya berinfaq

bukan hanya ditujukan untuk orang yang menerimanya, akan tetapi juga

kepada orang yang mengeluarkan infaq. Hal tersebut beralasan karena,

orang yang berinfaq akan mendapat balasan lebih dari Allah baik di dunia

maupun di akhirat kelak. Alasan lain agar seseorang mau mengeuarkan

infaq adalah, agar terciptanya rasa aman, karena dengan berinfaq maka

secara tidak langsung ia telah mengurangi angka kejahatan. Selain itu,

dengan berinfaq juga akan tercipta rasa harmonis di lingkungan

masyarakat, karena tidak ada kesenjangan ekonomi yang begitu mencolok.

2. Menahan amarah

Marah merupakan luapan emosi yang tidak terkendali, diantara

penyebabnya adaah tersinggungnya harga diri. Dengan tidak disadari, bila

amarah terus dibiarkan, akan dapat merusak jasmani dan rohani.

Mengumbar amarah sama halnya akan mencelakai diri sendiri. Hal

tersebut karena, apabila seseorang melontarkan amarahnya kepada orang

lain, maka akan menumbuhkan rasa dendam dari orang tersebut dan tidak

menutup kemungkinan kalau suatu saat orang tersebut akan membalas apa

yang ia dapatkan.

Dengan melontarkan amarahnya, sesaat orang akan merasa lega

dan puas, akan tetapi melontarkan amarah bukanlah solusi yang paling

baik dalam menyikapi suatu hal. Bahkan dengan melontarkan amarah

dapat dikatakan adalah keputusan yang salah. Hal itu beralasan sebab,

dengan melontarkan amarah, maka akan berakibat tidak bisanya

78

mengontrol akal sehat, sehingga orang tersebut akan lepas kendali,

sehingga mampu berujung membahayakan, baik orang yang melontarkan

amarah dan juga orang yang dimarahi.

Banyak sekali faktor-faktor yang dapat menyebabkan orang berani

melontarkan amarah, di antara penyebab tersebut adalah:

a. Rasa bangga berlebihan terhadap diri sendiri. Terlalu berlebihan

dengan berbangga akan diri sendiri tentunya akan berdampak tidak baik,

karena dengan terlalu bangga, seseorang tidak bisa dengan baik dalam

menerima kritikan. Mereka merasa bahwa pendapatnya adalah apa yang

paling benar, sehingga apabila orang lain mengkritiknya, mereka akan

marah karena tidak terima akan kritikan.

b. Status sosial yang tinggi. Status sosial tinggi apabila tidak

diterapkan dengan baik di dalam tatanan masyarakat akan berdampak

negatif, karena seseorang merasa bahwa ia memiliki kuasa akan status

sosia tersebut daam masyarakat. Kekuasaan itulah yang menyebabkan

seseorang akan lebih mudah melontarkan amarahnya kepada orang yang

lebih rendah ststus sosialnya.

c. Keturunan. Orang yang merasa bahwa ia berasal dari keularga

ningrat, cenderung memiliki sifat yang arogan. Hal itu karena mereka

merasa memiliki pelindung yang akan melindunginya apabila ia

melakukan kesalahan. Mereka akan bebas melontarkan amarahnya dengan

anggapan tidak ada yang berani melawannya karena ia berasal dari

79

keluarga yang berada. Padahal perlu diketahui bahwa derajat manusia

dimata Allah adalah sama, hanya iman dan takwa yang membedakannya.

d. Harta. Harta merupakan pangkal permusuhan utama apabila tidak

digunakan sesuai fungsinya. Harta dapat membangkitkan kemarahan jika

tidak diikat atau tidak diarahkan dengan nilai-nilai Islam. Dengan harta,

seseorang merasa memiliki segalanya, termasuk kekuasaan untuk berbuat

apapun yang ia kehendaki. Banyak sekali orang yang berselisih hanya

karena masalah harta. Oleh sebab itu, perasaan bangga pada seseorang

yang berdampak negatif itu perlu dikendalikan dengan nilai-nilai Islam.

Marah mengakibatkan hilangnya kontrol akal sehat, sehingga

sistem kontrol akal sehatnya lepas tak terarah. Marah dapat menjauhkan

peran akal dan agama dalam kehidupan manusia, sehingga ia tidak dapat

memandang, berpikir dan memilih dengan baik. Bahkan marah dapat

menjadikan pelakunya buta dan bisu dari segala nasihat dan peringatan

yang disampaikan kepadanya. Kemudiaan lahirlah perbuatan-perbuatan

yang tidak terkontrol, seperti melukai seseorang bahkan sampai

membunuhnya.

Dari hal tersebut, menahan marah amat sangat penting dilakukan,

untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti melukai orang

dan bahkan sampai membunuhnya. Ketika marah mencekam, hendaknya

seseorang tidak mengikutinya, ada baiknya apabila seseorang berusaha

untuk menahan diri, meredakan serta mengendalikannya. Dengan

80

kekuasaan diri mampu menahan amarah, maka akibat buruk yang mungkin

muncul dari amarah tersebut akan dapat dihindari.

Nabi Muhammad saw memerintahkan untuk menghilangkan sebab

yang dapat menciptakan kemarahan, meredakannya dan mencegah dampak

buruknya. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan seseorang untuk dapat

menahan amarahnya, antara lain:

a. Mengubah posisi duduk atau berbaring. Rasulullah bersabda,

“Apabila salah seorang dari kamu marah, sedangkan ia daam keadaan

berdiri, maka hendaklah ia duduk agar hilang kemarahan darinya. Bila

tidak maka berbaringlah.” (HR. Ahmad).

b. Membaca ta‟awwudz. Memohon perlindungan dan berdo‟a kepada

Allah dari godaan syetan adalah cara yang paling mudah dilakukan untuk

dapa menahan amarah. Sulaiman bin Shurad berkata, “Suatu ketika aku

duduk di sisi Nabi saw. Ketika itu ada dua orang yang sedang bertengkar.

Salah seorang dari mereka wajahnya menjadi merah dan urat nadi lehernya

menegang karena marah, maka Nabi saw bersabda, “Aku ajari kalian suatu

kalimat. Seandainya ia mau mengucapkannya, niscaya akan hilang apa

yang dirasakan. Ucapkanlah, “Aku berlindung kepada Allah dari syetan.”

Niscaya hilang apa yang dirasakan.” Salah seorang berkata kepada yang

lain (yang sedang marah), “Sungguh Nabi saw telah bersabda, “Bacalah

ta‟awwudz.” Namun justru lelaki itu membalas, “Memangnya aku ini

gila?” (HR. Bukhori dan Muslim).

81

c. Mengambil wudhu. Rasulullah saw bersabda, “Setan merupakan

makhuk yang tercipta dari api, sedang api akan padam dengan air. Oleh

sebab itu, jika seorang di antara kaian sedang marah, hendaklah kalian

berwudhu.” (HR. Ahmad).

d. Diam. Rasulullah bersabda, “Berilah peajaran dan selalu berbuatlah

dalam hal yang dapat menggembirakan orang lain. Janganlah kalian

mempersulit orang lain dan jika salah seorang di antara kalian marah,

maka hendaknya ia diam.” (HR. Ahmad).

Banyak sekali keutamaan-keutamaan yang dapat diambil dari

menahan marah. Marah dapat mempengaruhi goncangan-goncangan

syaraf, di antaranya ketika marah, akan menyebabkan tekanan darah

meningkat, dari tekanan darah ini dapat mengakibatkan pecahnya

pembuluh darah di otak, dan mengakibatkan keumpuhan. Maka dari itu,

pentingnya menahan marah bukan hanya untuk tujuan akhirat saja,

melainkan juga berdampak positif bagi tubuh seseorang.

Rasulullah saw sangat menganjurkan umatnya untuk dapat

mengendalikan amarah, karena banyak sekali keutamaan yang akan

didapatkan dari hal tersebut. Selain dapat membuat tubuh menjadi sehat,

keutamaan lain dari sisi tujuan akhirat antara lain sebagai berikut:

a. Jaminan surga oleh Allah. Rasulullah bersabda, “Jangan marah

bagimu surga.” (HR. At-Thabrani).

b. Dibanggakan di hari kiamat kelak. Rasulullah bersabda, “Barang

siapa dapat menahan marahnya di saat ia mampu untuk meuapkannya,

82

niscaya Alah akan memanggilnya di hari kiamat di antara para pemuka

makhluk. Kemudian ia disuruh memilih bidadari yang disukainya.” (HR.

Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi).

c. Selamat dari murka Allah SWT. Abdullah bin Amru berkata, “Aku

bertanya kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, apakah yang dapat

menghindarkanku dari murka Alah?” Rasulullah menjawab, “Jangan

marah.” (HR. Ahmad). (Saputra, 2009:127).

Demikian tadi adalah derajat orang yang dapat mengendalikan

amarahnya, sehingga banyak manfaat yang diperolehnya. Baik dari segi

dunia maupun akhirat.

Nilai moral spiritual kedua yang dapat diterapkan lembaga

pendidikan formal dalam membentuk karakter peserta didik sesuai surat

Ali Imran ayat 133-135 adalah menahan amarah. Lembaga pendidikan

formal dapat melakukan penerapan tersebut kepada anak didik dengan

cara, menguji kesabaran, memberikan pengertian tentang bahaya marah

atau mengadakan seminar tentang marah dengan mengundang ahli dalam

bidangnya. Dengan hal tersebut maka akan tercipta siswa dengan karakter

penyabar, karena merka telah mengetahui tentang bahaya yang dapat

dihasilkan dari amarah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pentingnya menahan

amarah bukan hanya bermanfaat bagi orang lain, akan tetapi juga bagi diri

sendiri. Hal tersebut beralasan, selain tidak akan mencelakai seseorang

dengan luapan amarah, seseorang dapat menjaga kesehatan jasmani,

83

karena dengan marah dapat menyebabkan penyakit tekanan darah tinggi.

Dari segi akhirat, menahan marah sangat memiliki banyak keutamaan, di

antaranya, mendapat jaminan surga, dibanggakan oeh Allah ketika kelak di

hari kiamat serta terhindar dari murka Allah SWT.

3. Memaafkan kesalahan orang lain

Dalam ajaran Islam, terdapat hal yang lebih dianjurkan dari sekedar

meminta maaf. Hal tersebut adalah memberi maaf, baik sebelum diminta

maupun setelah diminta. Sebagaimana sifat Allah, al-„afuw atau Maha

Pemaaf, manusia juga memiliki sifat tersebut. Sebagai mana diterangkan

dalam surat Al-Baqarah ayat 52, yang berbunyi:

Artinya: “Kemudian setelah itu Aku maafkan kesalahanmu agar kamu

bersyukur.”

Memberi maaf lebih utama daripada meminta maaf. Hal tersebut

bukan berarti orang yang memberi maaf mempunyai sifat pengecut, akan

tetapi dengan alasan, Allah akan memuliakan orang-orang yang bersedia

untuk memaafkan setiap kesalahan orang lain. Bahkan Allah telah

menyiapkan banyak sekali pahala untuk orang yang memberi maaf

tersebut. Sudah dapat dipastikan bahwa dengan memberi maaf, tidak akan

ada kerugian jika kita berbuat baik dengan memberi maaf kepada sesama.

Dengan memberi maaf, ada banyak kebaikan yang dapat diambil, salah

satunya amarah akan tertahan serta hilangnya rasa dendam dalam diri

seseorang.

84

Dengan memberi maaf, seseorang secara tidak langsung telah

mengikuti perilaku Nabi Muhammad saw. Mengikuti etika dan kesopanan

yang diajarkan Nabi Muhammad, tentu saja sangat mulia dibanding kan

seseorang mengikuti pola pikirnya. Seorang muslim hendaknya

mengetahui bahwa dengan memberikan maaf ia akan mendapatkan

kemuliaan dari Allah dan semua orang akan menghormatinya serta orang

yang menjelekkannya akan datang kepadanya untuk meminta maaf. Allah

berfirman dalam surat Al-Fussilat ayat 34 yang berbunyi:

Artinya: “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-

tiba orang yang berada di antaramu dan di antaranya terdapat permusuhan

seolah-olah telah menjadi teman setia.

Memberi maaf sejatinya lebih utama dari orang yang meminta

maaf. Keutamaan-keutamaan orang yang memberi maaf antara lain adalah:

a. Menyelesaikan perselisihan. Dengan memberi maaf terlebih

dahulu, maka perselisihan akan selesai, karena seorang yang memberi

maaf telah mengikhlaskan apa yang diperebutkan. Dengan memaafkan,

seseorang telah berusaha memadamkan api amarah yang ada pada dirinya.

Hal tersebut akan menjadikan dirinya menjadi pribadi yang memiliki

kebesaran jiwa, untuk lebih mementingkan kepentingan bersama, di atas

kepentingan sendiri.

85

b. Menghilangkan benci dan dendam. Seseorang yang memaafkan

kesalahan orang lain, secara tidak langsung, ia telah menghilangkan rasa

benci dan dendam terhadap orang yang melakukan kesalahan. Ia akan

memiliki hati yang tenang dan mencoba tidak mengingat perselisihan yang

terjadi dengan orang lain. Dengan hal itu, seseorang akan lebih tenang

serta dapat dengan mudah memikirkan hal lain yang lebih bermanfaat

tanpa beban, dari pada mengingat kesalahan orang lain.

c. Menyambung tali persaudaraan. Perselisihan terkadang membuat

hubungan antar teman, tetangga bahkan keluarga menjadi terputus, karena

masing-masing dari mereka merasa paling benar dalam suatu

permasalahan. Memberi maaf merupakan salah satu jalan, mencairkan

kebaikan tersebut dan membuat pihak yang bermasalah menyadari bahwa

pertikaian tidak akan menyelesaikan masalah, namun justru akan berakibat

fatal karena dapat memutuskan tali persaudaraan. Maka dari itu memberi

maaf adalah jalan yang paling benar untuk tetap terjaga tali persaudaraan

di antara mereka.

d. Memperkokoh persatuan umat. Perbedaan karakter, pola pikir dan

ilmu yang dimiliki manusia, kadang menimbulkan benturan dalam

pergaulan. Dengan belajar menjadi pribadi pemaaf, niscaya akan terjadi

saling menghormati perbedaan pendapat, saling memberi dan menerima

serta dengan sendirinya persatuan umat akan lebih kokoh.

e. Menenangkan hati. Berbuat kesalahan pada orang lain, berakibat

terus-menerus akan dihantui perasaan bersalah. Dengan memaafkan orang

86

lain, seseorang telah melakukan satu perbuatan baik, yaitu berusaha

memberikan ketenangan hati kepada orang lain, agar tidak terus-menerus

memikirkan kesalahannya. Selain itu, akan mendapatkan perlakuan yang

sama, ketika ia sendiri yang berbuat salah, karena sejatinya manusia tidak

ada yang luput dari kesalahan.

Nilai moral spiritual ketiga yang terkandung dalam surat Ali Imran

ayat 133-135 adalah memaafkan kesalahan orang lain. Lembaga

pendidikan formal dapat menerapkan nilai tersebut kepada peserta didik,

karena banyak sekali hikah yang akan didapat apabila seorang peserta

didik memiliki sifat tersebut. Banyak sekali cara yang dapat dilakukan

lembaga pendidikan dalam mentransfer nilai ini kepada peserta didik.

Misalnya, pendidik senantiasa memaafkan kesalahan peserta didik. Hal

tersebut mungkin terlihat sepele, akan tetapi apabila diterapkan, maka

secara tidak langsung, peserta didik akan meniru sifat baik tersebut.

Dari hal di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan memberi maaf,

seseorang tidak akan kehilangan harga dirinya, melainkan dia akan

dimuliakan Allah dan akan diangkat derajatnya. Selain itu, dengan

memberi maaf, seseorang secara tidak langsung telah berpartisipasi dalam

menjaga persatuan umat, menyambung tali persaudaraan serta

menenangkan hati dan pikiran. Orang yang senang memberi maaf, sama

halnya telah meniru atau menjalankan sunnah Nabi Muhammad, karena

salah satu sifat Nabi Muhammad adalah pemaaf.

4. Menyegerakan diri pada ampunan Allah

87

Dalam syariat Islam, bersegera untuk melakukan kebaikan sangat

dianjurkan. Bahkan untuk melakukan kebaikan, Allah menyerunya dalam

surat al-Baqarah ayat 148 yang berbunyi:

Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia

menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat)

kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan

kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas

segala sesuatu.

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Allah menyukai hamba-Nya

yang menyegerakan dalam hal kebaikan. Bukan hanya kebaikan akhirat,

namun juga kebaikan untuk dunianya. Banyak sekali kebaikan-kebaikan

yang bisa dilakukkan atau dikerjakan oleh manusia. Salah satunya ialah

menyegerakan diri kepada ampunan Allah.

Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 133 yang

berbunyi:

Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan

kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk

orang-orang yang bertakwa.”

Imam Ibnu Qayyim berkata, “Menyegerakan diri kepada ampunan Allah

dari dosa adalah kewajiban dan tidak boleh ditunda. Jika menunda

88

bertaubat, maka seseorang telah berbuat maksiat karena telah menunda

taubat tersebut. Bila bertaubat dari dosa, maka maka masih tersisa darinya

taubat yang lain yaitu taubat dari sikap menunda taubat itu. Hal yang

demikian ini jarang sekali terbetik dallam jiwa pelaku taubat. Mereka

beranggapan bahwa, apabila ia bertaubat dari dosa, tidak ada dosa lagi

yang tersisa darinya. Padaha mereka masih harus bertaubat atas dosa

penundaan taubat itu sendiri. Mereka tidak selamat dari dosa ini, kecuali

dengan melakukan taubat secara umum dari dosa yang mereka ketahui

maupun yang tidak mereka ketahui (Saputra, 2009:62).

Menyegerakan diri kepada ampunan Allah merupakan teladan yang

harus dimiliki oleh setia muslim. Seseorang terkadang lalai akan apa yang

mereka kerjakan. Segala sesuatau yang mereka kerjakan bisa saja salah

satunya adalah perbuatan yang bisa menyebabkan dosa. Tanpa mereka

sadari, mereka telah melakukan kesalahan yang berujung pada dosa. Dari

sinilah, pentingnya menyegerakan diri kepada ampunan Allah sangatlah

utama, karena dengan seseorang senantiasa memohon ampunan kepada

Allah, maka dosa yang mereka kerjakan telah diampuni oleh Allah.

Seorang muslim dilarang mengulangi kesalahannya, setelah mereka

memohon ampunan kepada Allah. Hal tersebut beralasan karena, mereka

sama saja mempermainkan ampunan Allah serta menyepeekan Sang

Pemberi Ampunan yaitu Allah SWT. Dalam bertaubat atau memohon

ampunan Allah, terdapat unsur atau cara praktis yang bisa seseorang

89

lakukan, supaya mereka tidak terjerumus kembali kepada dosa yang sama.

Kiat-kitat atau cara tersebut antara lain:

a. Meninggalkan kemaksiatan secepatnya. Taubat tidak akan ada

maknanya, apabila seseorang masih terus menjalankan kemaksiatan yang

mereka sesali serta tidak meninggalkannya. Apabila seseorang telah

berniat bertaubat, maka seseorang tersebut harus siap meninggalkan

kemaksiatan tersebut secepatnya.

b. Memperbanyak istighfar. Dengan seseorang memperbanyak

istighfar, seseorang tersebut akan lebih mudah mendapatkan ampunan dari

Allah. Seseorang yang beristighfar, mereka harus benar-benar

menujukannya untuk Allah semata, karena tidak ada yang mampu

mengampuni dosa selain Allah SWT.

c. Mengubah lingkungan, cara bergaul dan memilih teman. Seseorang

yang benar-benar mengharapkan ampunan Allah, utamanya memilih

lingkungan hidup yang baik, yang jauh dari tempat kemaksiatan serta

bergaul dengan orang-orang yang baik pula. Lingkungan serta teman

bergaul amat sangat mempengaruhi seseorang dalam melakukan

perbuatan, entah itu perbuatan baik atau sebaliknya perbuatan buruk.

Apabila seseorang yang ingin bertaubat berada di dalam lingkungan yang

dekat dengan kemaksiatan, maka bisa dipastikan taubatnya akan susah

dilaksanakan, karena banyaknya godaan yang menghampirinya. Maka dari

itu, anjuran memilih lingkungan serta teman bergaul sangat diutamakan

bagi orang yang mengharap ampunan dari Allah.

90

d. Mengiringi perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Mengiringi

keburukan dengan kebaikan secara tidak langsung dapat mengikis

keburukan-keburukan yang telah seseorang kerjakan. Seorang muslim,

apabila ia melakukan dosa, hendaklah segera mengiringinya dengan

perbuatan baik, seperti sholat, puasa, sedekah, istighfar, dzikir dan lain

sebagainya.

Dengan menyegerakan diri kepada ampunan Allah, seseorang akan

banyak sekali mendapatkan keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut

antara lain:

a. Allah akan segera mengampuni dosanya. Tentu saja, apabia

seseorang menyegerakan diri kepada ampunan Allah, maka seseorang

tersebut akan lebih cepat mendapakan ampunan tersebut. Lain halnya

apabila seseorang menunda-nunda untuk memohon ampun, maka Allah

juga akan menunda ampunan-Nya untuk orang tersebut.

b. Mendapatkan ketenangan hati. Seseorang yang senantiasa

memohon ampunan kepada Allah, hidupnya akan jauh lebih terarah serta

memiliki ketenangan diri. Kebanyakan dari mereka tidak merasa was-was

akan datangnya kematian, karena mereka senantiasa meminta ampun

kepada Allah ketika mereka melakukan perbuatan dosa. Sehingga, apabila

maut datang menghampiri mereka, mereka mati dalam keadaan telah

diampuni oleh Allah SWT.

c. Mendapat jaminan surga. Allah menjanjikan surga bagi orang-

orang yang bertakwa. Kategori orang bertakwa, salah satunya adalah

91

mereka yang menyegerakan diri kepada ampunan Allah. Apabila mereka

telah menyegerakan diri kepada ampunan Allah, maka surga akan menjadi

tempatnya kelak ketika di akhirat.

Nilai moral spiritual yang keempat sesuai surat Ali Imran ayat 133-

135 adalah bersegera kepada ampunan Allah. Nilai moral spiritual ini akan

sangat baik apabila diterapkan ke dalam sistem pendidikan karakter.

Membentuk siswa dengan karakter seperti ini akan menciptakan generasi

masa depan yang Islami, karena apabila seseorang sudah dididik sejak

kecil akan rasa takut kepada Allah, maka mereka akan senantiasa

mengerjakan amal baik dan menjauhi larangan Allah. Mereka akan

senantiasa memohon ampun kepada Allah apabila melakukan kesalahan.

Lembaga pendidikan formal dapat menerapkannya dengan berbagai cara,

misalnya mengatur jadwal setiap minggu sekali untuk pengadaan tausiyah

singkat, dari tausiyah tersebut, pendidik memberikan penjelaan tentang

hikmah dan keutamaan dari memohon ampunan kepada Allah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dengan

menyegerakan diri kepada ampunan Allah, hidup seseorang akan jauh

lebih terarah serta memiliki ketenangan hati yang besar. Hal tersebut

beralasan karena, dengan segera memohon ampunan Allah, mereka tidak

merasa takut ketika maut datang kapan saja. Selain itu, dengan

menyegerakan diri kepada Allah, seseorang akan lebih mawas diri serta

sadar untuk tidak lagi jatu ke lubang kemaksiatan yang sama. Seseorang

92

akan lebih memiliki kehati-hatian diri yang besar akan perbuatan dosa,

sehingga mereka menjaga sikap, tingkah laku serta lisannya dengan baik.

5. Menyegerakan diri kepada surga Allah

Menyegerakan diri kepada surga sama halnya memiliki arti,

menyegerakan diri kepada kebaikan yang mengantarkan seseorang kepada

surga. Ruang lingkup kebaikan sangatlah luas, tidak hanya terbatas pada

satu ibadah tertentu. Entah itu ibadah mahdhah atau ibadah murni seperti

sholat, puasa, zakat dan sebagainya, maupun ibadah ghoiru mahdhah

seperti makan, tolong-menolong, tersenyum dan sebagainya, keduanya

sama-sama akan mendapat pahala yang akan menghantarkan seseorang ke

surga apabila mereka mengerjakannya.

Terkadang seseorang lupa akan apa yang akan dihasilkan dari buah

mereka berbuat kebaikan. Itulah salah satu alasan mengapa seseorang

susah atau bahkan enggan melakukan kebaikan. Padahal, apabila mereka

mengetahui buah dari kebaikan tersebut, mereka pasti akan semangat

untuk melakukan kebaikan-kebaikan itu. Salah satu contoh buah dari

menyegerakan kebaikan, misalnya seseorang segera melakukan sholat

ketika waktunya tiba, maka ia tidak akan merasa terburu-buru dalam

mengerjakan sholatnya. Lain halnya, apabila seseorang menunda kebaikan,

maka mereka akan tergesa-gesa dalam melakukan kebaikan tersebut, serta

hasilnya akan jauh dari maksimal.

Bergegas melakukan kebaikan sering kali terasa sangat berat,

karena seseorang tidak hanya sekedar melakukan kebaikan, namun lebih

93

dari itu mereka melakukan kebaikan dengan segera. Sikap segera

melakukan kebaikan ini biasanya lebih membutuhkan pengorbanan-

pengorbanan dari sekedar melakukan kebaikan seperti pada umumnya.

Namun dengan pengorbanan tersebut, Allah telah menyiapkan keutamaan

yang akan mereka raih. Keutamaan-keutamaan tersebut adalah:

a. Indikator baiknya kualitas iman seseorang. Dengan menyegerakan

diri kepada kebaikan, dapat diketahui bahwa keimanan seseorang tersebut

dalam kategori baik. Hal tersebut karena, orang yang memiliki kualitas

iman yang baik, tidak akan menunda-nunda kebaikan, karena mereka

mengetahui apabila mereka menundanya, maka Allah juga akan menunda

kebaikan untuknya. Apabila seseorang menyegerakan diri untuk berbuat

kebaikan, maka Allah akan menyegerakan pula kebaikan untuknya,

bahkan kebaikan-kebaikan Allah untuk orang tersebut akan berlipat-lipat

ganda. Hal tersebut, hanya dimiliki oeh orang yang memiliki keteguhan

iman akan balasan Allah atas apa yang seseorang kerjakan.

b. Penyebab terkabulnya do‟a. Do‟a seseorang yang senantiasa

menyegerakan diri akan kebaikan, akan lebih cepat didengar dan

dikabukan oleh Allah SWT. Alasannya ialah, Allah mencintai orang-orang

yang berbuat kebaikan, sedang apabila Allah telah mencintai seseorang,

maka segala sesuatu yang dimintanya pasti akan dikabulkan. Segala do‟a

pasti baik, maka dari itu pasti Allah akan mengabulkannya.

c. Anugerah besar dan jalan menuju surga. Tentu saja, setiap

seseorang yang berbuat baik, tidak lain yang menjadi tujuan akhirnya

94

adalah keridhoan Allah untuk meridhoinya masuk ke surga-Nya. Anugerah

serta surga Allah dibentangkan atau disediakan bagi siapa saja yang

beriman kepada-Nya dan yang menyegerakan diri kepada kebaikan.

Bergegas melakukan kebaikan adalah salah satu ciri-ciri muslim yang

senantiasa bertakwa kepada Allah. Predikat takwa inilan yang akan

mengantarka orang tersebut ke dalam surga Allah.

d. Dicintai Allah dan makhluk ciptaan-Nya. Seseorang dengan sifat

gemar akan kebaikan pasti akan sangat dicintai oleh Allah dan

makhluknya. Orang lain pasti akan senang bergaul dengan orang yang

gemar kepada kebaikan, karena mereka sadar bahwa apabila mereka

bergaul dengan orang yang berbuat kebaikan, mereka tidak perlu merasa

khawatir dar merasa dirugikan. Karena sifat orang yang gemar akan

kebaikan, tidak mungkin akan memanfaatkan orang lain demi mengejar

apa yang ia inginkan.

Nilai pendidikan moral spiriyual keenam dari surat Ali Imran ayat

133-135 ialah menyegerakan diri kepada kebaikan yang menghantarkan

mereka ke surga. Seseorang dengan karakter seperti ini tidak akan

menyimpang dari norma-norma, baik norma agama maupun norma dalam

bermasyarakat. Lembaga pendidikan formal tentu perlu menerapkan nilai

ini untuk menunjang karakter baik peserta didik. Lembaga pendidikan

dapat mengajarkan amal kebaikan seperti, jujur, disiplin, tanggung jawab

dan lain sebagainya. Penerapan tersebut tidak perlu dilakukan dengan

memaksa siswa, akan tetapi cukup dengan pendidik mampu menerapkan

95

nilai tersebut baik di belakang siswa, terlebih lagi di depannya. Apabila

peserta didik sudah menerapkannya, timbullah keinginan dari siswa untuk

meniru kebaikan-kebaikan tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, menyegerakan diri kepada

surga sama halnya dengan menyegerakan diri kepada kebaikan yang

menghantarkannya pada surga. Dengan kebaikan-kebaikan itulah

seseorang akan dimudahkan oeh Allah untuk masuk ke surga-Nya. Selain

itu banyak sekali keutamaan-keutamaan yang telah disediakan Allah untuk

mereka. Keutamaan tersebut antara lain, Allah akan meneguhkan

keimanannya, Allah akan mengabulkan do‟anya, Allah akan menurunkan

anugerahnya dan memasukkannya ke surga kelak serta Allah dan ciptaan-

Nya akan mencintainya.

6. Memperbanyak istighfar

Memperbanyak istighfar dilakukan untuk memohon ampunan

semata kepada Allah SWT. Beristigfar dilakukan bukan hanya untuk dosa

saat ini, akan tetapi juga untuk dosa masa lalu dan dosa yang akan datang

juga. Memperbanyak istighfar merupakan kewaspadaan dari seseorang,

karena mereka takut akan ada dosa yang tertinggal pada dirinya meskipun

dosa tersebut hanya sebesar biji sawi. Dengan dosa yang sekecil itulah,

seseorang akan terhambat jalannya menuju surga Allah SWT. Maka dari

itulah, pentingnya memperbanyak istighfar harus sangat diperhatikan,

karena dengan memperbanyak istighfar, dosa seseorang akan menjadi

hilang dan akan memudahkan jalannya menuju surga.

96

Seseorang apabila hendak beristighfar tidak hanya sekedar

melafadzkannya begitu saja, akan tetapi ada syarat serta etika yang yang

harus diperhatikan. Syarat dan etika tersebut di antaranya ialah:

a. Niat yang benar, yang semata-mata ditujukan kepada Allah SWT.

Karena Allah tidak akan menerima amal perbuatan manusia, kecuali jika

amal itu dilakukan dengan ikhlas semata untuk-Nya.

b. Apabila seseorang hendak beristighfar, maka lisan dan hati secara

serempak melakukannya. Sehingga tidak boleh lidahnya berkata,”Aku

ingin beristighfar kepada Allah.”, namun hatinya tetap ingin melakukan

maksiat.

c. Suci. Di antara adab yang melengkapi istighfar, seseorang lebih

baik dalam keadaan suci apabila ingin melakukannya, sehingga ia berada

dalam posisi yang sempurna, baik dari segi lahir maupun batin.

d. Apabila seseorang hendak beristighfar, maka mereka harus

melakukannya didasari dengan rasa takut akan Allah serta kekuasaan-Nya.

Perasaan takut kepada Allah serta mengharap hanya kepada Allah inilah

salah satu indikator bahwa dosa seseorang akan diampuni-Nya.

e. Memilih waktu yang tepat. Seseorang yang ingin beristighfar lebih

dianjurkan memilih waktu yang baik dan tepat. Di antara waktu yang baik

tersebut adalah sepertiga malam atau waktu menjelang subuh, setelah

sholat serta ketika ia bersujud kepada Allah.

97

Selain dengan beristighfar dosa seseorang diampuni oleh Allah, ada

banyak keutamaan di balik beristighfar. Di antara keutamaan tersebut

adalah:

a. Allah akan menghapus kejelekannya serta akan diangkat

derajatnya. Dengan banyak beristighfar, Allah akan meninggikan

derajatnya, karena istighfar adalah salah satu kebaikan yang secara tidak

langsung meninggikan Allah. Maka dari itu Allah akan membalas dengan

meninggikan deraja orang yang mau memperbanyak istighfar.

b. Dimudahkan dalam segala urusan. Rasulullah saw bersabda,

“Barang siapa membiasakan diri beristighfar, Allah akan memberikan

jalan keluar baginya dalam setiap kesulitan, akan memberikan

kebahagiaan dari setiap kesusahan dan akan memberi rezeki dari arah yang

tidak disangka-sangka.” (HR. Ibnu Majah).

c. Allah akan merahmatinya. Beristighfar adalah salah satu cara untuk

mendapatkan rahmat dari Allah. Dengan banyak beristighfar, maka Allah

juga akan lebih sering menurunkan rahmatnya untuk orang yang banyak

beristighfar. Rahmat Allah sangatlah luas maknanya, salah satu rahmat

Allah adaah ampunan-Nya yang seluas angit dan bumi.

d. Membersihkan noda hitam dalam diri seseorang. Apabila seseorang

meakukan kesalahan, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, maka

Allah akan mengampuninya. Akan tetapi, orang tersebut masih

meninggalkan noda hitam dalam dirinya, maka dari itu memperbanyak

istighfar sangat dianjurkan, karena dapat membersihkan noda tersebut.

98

Nilai moral spiritual keenam yang terkandung dalam surat Ali

Imran ayat 133-135 adalah memperbanyak istighfar. Memperbanyak

istighfar banyak sekali keutamaannya, antara lain diampuni dosanya,

dimudahkan segala urusan, dirahmati oleh Allah dan lain sebagainya. Dari

keutamaan-keutamaan tersebut, karakter baik pasti akan melekat pada diri

seseorang, apabila seseorang menerapkan pada dirinya. Dalam lembaga

pendidikan formal, pembentukan karakter melalui nilai ini sangat mudaah

diterapkan, karena istighfar tidak perlu mengeluarkan materi dalam

melakukannya. Pendidik hanya perlu memberikan penjelasan kepada siswa

agar membiasakan diri mereka untuk beristighfar. Salah satu cara yang

bisa dilakukan seorang pendidik adalah, mengajari bagaimana cara-cara

beristighfar. Cara lain adalah, apabila seorang siswa melakukan kesalahan,

maka bisa memberikan hukuman berupa mengucapkan istighfar. Dari cara

itu, istighfar akan mudah diterapkan dalam lembaga pendidikan formal

yang berbasis pendidikan karakter.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, memperbanyak

istighfar bukan hanya dapat menghapus dosa yang dilakukan saat itu, akan

tetapi juga dapat menghapus dosa pada masa lalu dan masa yang akan

datang. Selain dapat menghapus dosa, memperbanyak istighfar juga akan

menyebabkan seseorang menjadi tinggi derajatnya, mendapat rahmat dari

Allah, dilapangkan rezekinya, dimudahkan segala urusannya serta

dihapuskan noda hitam yang ada pada dirinya. Anjuran beristighfar agar

dilakukan dengan tata cara yang benar serta etika yang baik, antara lain

99

niat lurus semata karena Allah, suci, senada antara lisan dan hati, merasa

takut akan Allah serta memilih waktu yang tepat.

100

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Nilai-nilai Pendidikan Moral Dan Spiritual yang Terkandung

dalam Surat Ali Imran ayat 133-135

Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada

baba-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

nilai-nilai pendidikan moral dan spiritual dalam surat Ali Imran

ayat 133-135. Di antara nilai-nilai moral dan spiritual tersebut

adalah:

a. Berinfaq di waktu luang dan sempit

b. Menahan amarah

c. Memaafkan kesalahan orang lain

d. Menyegerakan diri kepada ampunan Allah SWT

e. Menyegerakan diri kepada surga

f. Memperbanyak istighfar

2. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Moral Spiritual dalam

Pendidikan Formal Sesuai Kajian Surat Ali Imran ayat 133-135

Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada

baba-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

implementasi pendidikan moral dan spiritual dalam surat Ali Imran

ayat 133-135. Di antara implementasi tersebut adalah:

101

a. Berinfaq di waktu luang maupun sempit. Allah SWT sering kali

menyeru kepada umat-Nya untuk menginfaqkan sebagian hartanya

untuk orang lalin, terlebih yang membutuhkan.

b. Menahan amarah. Marah mengakibatkan hilangnya kontrol akal

sehat, sehingga sistem kontrol akal sehatnya lepas tak terarah. Dari

hal tersebut, menahan marah amat sangat penting dilakukan, untuk

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti melukai orang

dan bahkan sampai membunuhnya.

c. Memaafkan kesalahan orang lain. Memberi maaf lebih utama

daripada meminta maaf. Sudah dapat dipastikan bahwa dengan

memberi maaf, tidak akan ada kerugian jika kita berbuat baik

dengan memberi maaf kepada sesama.

d. Menyegerakan diri kepada ampunan Allah. Menyegerakan diri

kepada ampunan Allah merupakan teladan yang harus dimiliki oleh

setia muslim. Seseorang terkadang lalai akan apa yang mereka

kerjakan. Tanpa mereka sadari, mereka telah melakukan kesalahan

yang berujung pada dosa. Dari sinilah, pentingnya menyegerakan

diri kepada ampunan Allah sangatlah utama, karena dengan

seseorang senantiasa memohon ampunan kepada Allah, maka dosa

yang mereka kerjakan telah diampuni oleh Allah.

e. Menyegerakan diri kepada surga Allah. Menyegerakan diri kepada

surga sama halnya memiliki arti, menyegerakan diri kepada

kebaikan yang mengantarkan seseorang kepada surga.

102

f. Memperbanyak Istighfar. Memperbanyak istighfar dilakukan untuk

memohon ampunan semata kepada Allah SWT. Beristigfar

dilakukan bukan hanya untuk dosa saat ini, akan tetapi juga untuk

dosa masa lalu dan dosa yang akan datang juga. Maka dari itulah,

pentingnya memperbanyak istighfar harus sangat diperhatikan,

karena dengan memperbanyak istighfar, dosa seseorang akan

menjadi hilang dan akan memudahkan jalannya menuju surga.

B. Saran

Dari pembahasan diatas maka penulis akan memberikan saran

bagi dunia pendidikan formal bahwa, pendidikan karakter yang

bersumber dari al-Qur‟an dan al-Hadits harus terus dilaksanakan serta

ditingkatkan, khususnya dalam pemberian pendidikan moral dan

spiritual terhadap anak didik. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah

dalam surat Ali Imran ayat 133-135 tentang teladan-teladan yang dapat

diajarkan kepada peserta didik.

Banyak sekali nilai moral dan spiritual yang terkandung dalam

surat Ali Imran ayat 133-135 yang sangat pantas diberikan kepada

peserta didik, karena mampu memupuk sifat terpuji sejak dini. Sifat-

sifat tersebut adalah berinfaq, menahan amarah, memberi maaf,

memohon ampunan kepada Allah, berbuat amal kebaikan serta

memperbanyak istighfar.

103

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, 1995. Filsafat Kalam Di Era Postmodernisme.

Yogjakarta: Pustaka Pelajar

Al-Habsyi, Muhammad Bagir, 2002. Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur‟an,

As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama (Buku Kedua). Bandung:

Mizan

Al-Razi, Muhammad, 2000. Menghias Diri Dari Akhlak Terpuji.

Yogjakarta: Mitra Pustaka

Asy-Syiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi, 1995. Sejarah dan Pengantar

Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang

Asy-Syiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi, 2000. Tafsir Al-Qur‟anul Majid

An-Nuur. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra

Bachmid, Ahmad Saiful, 2008. Sejarah Al-Qur‟an. Jakarta: Rebal Publika

Bahri, Efri S, 2008. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep dan Aplikasi.

Jakarta: FAM Publishing

Buchori,Didin Saefudin, 2005. Pedoman Memahami Kandungan Al-

Qur‟an. Bogor: Granaand Pustaka

Budiningsih, C Asri, 2013. Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta

Daroeso, Bambang, 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral

Pancasila. Semarang: Aneka Ilmu

104

Departemen Agama RI,1996. Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemahannya.

Semarang: Karya Toha Putra

Faiz, Al-Jumanatul, 2007. Filsafat Kalam. Bandung: Remaja Rosdakarya

Gunarsa, Singgih, 1981. Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Mulia

Hartono Agung, 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka

Cipta

Hurlock, Elisabeth B, 1993. Perkembangan Spiritual Anak. Jakarta:

Erlangga

Imani, Allamah Kamal Fakih dan Tim Ulama, 2008. Tafsir Nurul Qur‟an.

Jakarta: Al-Huda

KBBI, 2007. Jakarta: Balai Pustaka

Majdi, Muhammad Asy-Syahawi, 2011. The Secret of Istighfar. Jakarta:

Gema Insani

Makhluf, Ahmad, 1998. Indahnya Surga. Semarang: Citra Abadi

Munawwir, Ahmad Warson, 1997. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.

Surabaya: Pustaka Progresif

Piedmont, Ralph L, 2001. Skala Spiritual Transendensi. Bandung: Pustaka

Jaya

105

Poespoprojo, 1988. Filsafat MoralKesusilaan Dalam Teori Praktek.

Bandung: Remadja Karya

Qarni, „Aidh, 2007. Tafsir Muyyasar. Jakarta: Qisthi Press

Rasyid, Sulaiman, 2009. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo

Rosihon, Anwar,2000. Ulum Al-Qur‟an. Bandung: Pustaka Setia

Samani, Muchlas, 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.

Bandung: Remaja Rosdakarya

Saputra, Toyyib Sah, 2009. Aqidah Akhlak. Semarang: Toha Putra

Shihab, M Quraish, 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati

Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi, 1989. Metode Penelitian Survey.

Jakarta: PT Pustaka LP3ES

Syarifudin, Amir. 2010. Garis-garis Besar Fikih. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group

Tebba, Sudirman, 2009. Meraih Sukses dan Bahagia Dengan Istighfar.

Banten: Pustaka Irvan

Yunus, Mahmud, 2007. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT Mahmud

Yunus Wa Durriyyah

Zubaidi, H Achmad, 2002. Pendidikan Kewarga Negaraan. Yogjakarta:

Paradigma

106

107