konsep pembelajaran apresiasi seni

28
1 KONSEP PEMBELAJARAN APRESIASI SENI Oleh: Bandi Sobandi Kegiatan apresiasi tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Setiap saat kita sering melihat dan mengamati hasil-hasil karya orang lain yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, jenis, dan media yang sangat beragam. Penciptaan benda- benda tersebut disuguhkan oleh penciptanya untuk memenuhi tuntutan para konsumen agar dinikmati dan dihargai sebagai produk budaya. Kegiatan apresiasi seni dalam konteks pendidikan dapat dilakukan dalam kegiatan pembelajaran di kelas atau di luar kelas. Kegiatan apresiasi terhadap karya seni di dalam kelas dapat dilakukan dengan membahas karya seni baik secara lisan atau tulisan. Sedangkan kegiatan kegiatan apresiasi di luar sekolah, para siswa diajak untuk menonton film proses berkesenian, mengunjungi pameran atau pertunjukan seni, kunjungan ke museum, kunjungan ke pasar seni, atau kunjungan ke sentra-sentra kerajinan yang ada di sekitar lingkungan sekolah. Kegiatan ini bertujuan untuk menanamkan sikap dan kebiasaan kritis dan saling menghargai antar sesama. A. Definisi Apresiasi Seni Apresiasi merupakan kegiatan mental individu dalam proses penilaian. Pandangan lain mengenai istilah ini ditujukkan kepada khalayak sebagai proses pertukaran pemikiran yang berhubungan untuk mengagumi suatu nilai. Bahkan pada saat ini apresiasi sering digunakan pada istilah ekonomi (dari bahasa Latin, price atau prex yang berarti harga). Hal ini tentunya tidak hanya digunakan pada kontek penghargaan terhadap orang tapi pada sesuatu benda atau peristiwa yang telah, sedang, dan yang akan terjadi. Secara etimologis, perkataan “apresiasi” berasal dari kata appreciation (Inggris), appreciatie (Belanda), dan menurut kamus-kamus dalam bahasa Inggris di antaranya” to appreciate, yaitu bentuk kata kerjanya, berarti to judge the value of; understand or enjoy fully in the right way (Oxford). Sementara itu, istilah

Upload: trinhliem

Post on 27-Dec-2016

283 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: konsep pembelajaran apresiasi seni

1

KONSEP PEMBELAJARAN APRESIASI SENI

Oleh: Bandi Sobandi

Kegiatan apresiasi tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Setiap saat

kita sering melihat dan mengamati hasil-hasil karya orang lain yang diwujudkan

dalam berbagai bentuk, jenis, dan media yang sangat beragam. Penciptaan benda-

benda tersebut disuguhkan oleh penciptanya untuk memenuhi tuntutan para

konsumen agar dinikmati dan dihargai sebagai produk budaya.

Kegiatan apresiasi seni dalam konteks pendidikan dapat dilakukan dalam

kegiatan pembelajaran di kelas atau di luar kelas. Kegiatan apresiasi terhadap

karya seni di dalam kelas dapat dilakukan dengan membahas karya seni baik

secara lisan atau tulisan. Sedangkan kegiatan kegiatan apresiasi di luar sekolah,

para siswa diajak untuk menonton film proses berkesenian, mengunjungi pameran

atau pertunjukan seni, kunjungan ke museum, kunjungan ke pasar seni, atau

kunjungan ke sentra-sentra kerajinan yang ada di sekitar lingkungan sekolah.

Kegiatan ini bertujuan untuk menanamkan sikap dan kebiasaan kritis dan saling

menghargai antar sesama.

A. Definisi Apresiasi Seni

Apresiasi merupakan kegiatan mental individu dalam proses penilaian.

Pandangan lain mengenai istilah ini ditujukkan kepada khalayak sebagai proses

pertukaran pemikiran yang berhubungan untuk mengagumi suatu nilai. Bahkan

pada saat ini apresiasi sering digunakan pada istilah ekonomi (dari bahasa Latin,

price atau prex yang berarti harga). Hal ini tentunya tidak hanya digunakan pada

kontek penghargaan terhadap orang tapi pada sesuatu benda atau peristiwa yang

telah, sedang, dan yang akan terjadi.

Secara etimologis, perkataan “apresiasi” berasal dari kata appreciation

(Inggris), appreciatie (Belanda), dan menurut kamus-kamus dalam bahasa Inggris

di antaranya” to appreciate, yaitu bentuk kata kerjanya, berarti to judge the value

of; understand or enjoy fully in the right way (Oxford). Sementara itu, istilah

Page 2: konsep pembelajaran apresiasi seni

2

“Apresiasi” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1988: 46) adalah: “1

kesadaran thd nilai-nilai seni dan budaya; 2 penilaian (penghargaan) thd

sesuatu…”. Berdasarkan pendapat tersebut maka apresiasi seni dapat diartikan

sebagai upaya untuk menyadari akan nilai-nilai (estetika) yang terdapat pada

sesuatu (misalnya orang, benda, atau peristiwa) untuk diberikan penghargaan atau

penilaian mengenai kualitas sesuatu tersebut.

Apresiasi seni adalah pemahaman dan pengenalan, pertimbangan, dan

penilaian yang tepat tentang hal ihwal seni. Kegiatan apresiasi seni merupakan

penikmatan seni Lebih lanjut, apresiasi berarti pengenalan nilai pada tingkatan

nilai yang lebih tinggi. Apresiasi merupakan jawaban seseorang yang sudah

matang dan sudah berkembang ke arah nilai yang lebih tinggi, sehingga ia siap

untuk melihat dan mengenal nilai dengan tepat, dan menjawabnya dengan hangat

dan simpatik (Derlan, 1987: 5). Pendapat ini dipertegas Emmons dan McCullough

(2004: 231) dalam The Psychology of Gratitude bahwa apresiasi sebagai: “the act

of estimating the qualities of things according to their true worth,”“grateful

recognition,”“sensitive awareness or enjoyment,” and “an increase in value.”

Pendapat senada diungkapkan Soeharjo (2005: 169) bahwa:

Apresiasi seni adalah menghargai seni lewat kegiatan pengamatan yang

menimbulkan respon terhadap stimulus yang berasal dari karya seni

sedemikian sehingga menimbulkan rasa keterpesonaan pada awalnya, diikuti

dengan penikmatan serta pemahaman bagi pengamatnya

Kegiatan apresiasi dapat mengembangkan dan mengantarkan seseorang

untuk melihat keindahan karya seni. Ini merupakan kegiatan perasaan dan emosi

bahkan apresiasi ini merupakan kegiatan mental secara aktif. Hal ini dipertegas

Rollo May (Alisyahbana, 1983: 81) bahwa mengapresiasi terhadap suatu kreasi

baru atau hasil seni juga merupakan suatu creative act. Pendapat yang senada

dikemukakan Osborne (1970: 204) dalam The Appreciation of Art bahwa: “

Appreciation is an active mental operation, demanding intense effort of

concentration in the exercise of skilled faculties of percipience”.

Page 3: konsep pembelajaran apresiasi seni

3

Apresiasi seni sebagai suatu definisi dapat dideskripsikan dengan model

persepsi estetik yang membangun hubungan antara berbagai variabel. Pernyataan

tersebut diformulasikan sebagai berikut:

Sumber: Chang (1980), http://www lastplace.com/aestheticmodel.htm

Model formulasi di atas menunjukkan bahwa dalam proses pengamatan

seni merupakan kegiatan yang kompleks. Namun demikian, formulasi di atas

dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi merupakan merupakan hubungan

timbal balik antara pencipta seni (seniman) dengan pengamat seni (apresiator).

Proses hubungan tersebut terjadi melalui media penyampai pesan yaitu karya seni

antara kedua belah pihak.

Seni hanya ada dalam fikiran dan pilihan para pengamat. Secara

psikologis, ada faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, di antaranya

AA = art appreciation

ro = mental set or readiness of observer

ra = mental set or readiness of artist

P = psychophysical stimuly and mental reactions

U = the Uncionscious, including the irrational

Kf = knowledge of social origin that facillitates liking a specific

something

Kd = knowledge of social origin that debilitates liking a specific

something

If = personal individual perceptual and Cognitive framework that

facilitates liking something

Id = personal “preferences” that debilitate liking something

t = time

m = medium (-a) used

G = goal of the art work

M = material manipulation or transformation (technique)

o = observer‟s

a = artist‟s

Page 4: konsep pembelajaran apresiasi seni

4

budaya, seks, usia, pendidikan kesenian secara formal, politik, ekonomi dan

system nilai. Faktor persepsi kognitif dalam seni adalah ketidaksadaran dan

psychophysical mekanika sensori pada badan manusia. Disini ada juga yang

mempengaruhi yaitu factor waktu dan material (bahan) yang digunakan dalam

membuat karya seni. Beberapa faktor estetika diidentifikasi dari adanya variable

yang mengikutinya seperti: kebosanan (boredom), nilai keheranan (surprise

value), keakraban (familiarity), kebaruan (novelity) dan kenangan

(nostalgia)(Chang, 1980, http://www lastplace.com/whatisartfrom.htm).

Keseluruhan faktor di atas berinteraksi dalam otak pengamat sehingga

pengamat dengan segera mereaksi karya seni dengan meletakan perhatiannya.

Perasaannya bisa berupa perasaan suka atau tidak suka. Dapat dikatakan, secara

intuitif jalan untuk mengetahui tentang yang disukainya. Hal ini dapat dilakukan

melalui kegiatan apresiasi seni

B. Dimensi Apresiasi

Kegiatan apresiasi merupakan suatu kegiatan yang kompleks. Hal ini dapat

dikaji dari berbagai dimensi. Menurut Osborn (1970) bahwa apresiasi sebagai

suatu sikap attitudes), apresiasi sebagai suatu aksi (actions)

1. Apresisi sebagai Sikap

Apresiasi seni sering didefiniskan dalam istilah kebiasaan (habits) dan

suatu keahlian (skills), tetapi definisi apresiasi secara lengkap seharusnya

mengandung suatu sikap atau perasaan tentang seni yang membawa individu

kepada sesuatu atau pengalaman dengan seni. Harold Osborne meyakini bahwa

apresiasi dapat mengembangkan kebiasaan mental berupa perhatian (attention)

dan ketertarikan (interest) secara bersama-sama membawanya dengan keahlian

yang dituntut dalam keahlian dan kemampuann untuk diperlihatkan dalam nuansa

yang berbeda.

Pengembangan pengetahuan dan pengalaman diperlukan untuk

memperkaya tujuan apresiasi yang meliputi respek untuk para ahli, penilaian

produk yang dihasilkan oleh kemampuan para ahli, perasaan/pemahaman

Page 5: konsep pembelajaran apresiasi seni

5

mengenai -”emotions function cognitively”- untuk aturan yang dimainkan oleh

seni rupa dalam kebudayaan manusia, dan rasa toreransi bagi perbedaan orang-

orang, kelompok, budaya, gambar dan objek/benda.

Oleh karena itu, permulaan apresiator memerlukan waktu dan berusaha

meningkatkan keterampilan dalam menilai dan mengetahui tentang seni secara

menyeluruh. Para apresiator membawa orang baru untuk menjadi seorang ahli

dalam menanggapi karya seni dan menjadi ahli untuk meneliti karya seni.

2. Apresiasi sebagai suatu prilaku (action)

Perkembangan mental dapat dilatih melalui studi apresiasi seni yang

meliputi: memusatkan perhatian, mengenal peredaan, pemahaman kontekstual dan

penilaian. Guru juga diharapkan aktif dalam mengapresiasi dan keterlibatanya

dalam kehidupan seni. Mereka yakin bahwa struktur pengalaman dalam kelas

melayaninya sebagai model seni yang dapat dikembangkan pada masa datang.

Selanjutnya, ada yang mungkin dipadukan untuk dalam mencari seni melalui

kegiatan membacanya, mengumpulkan karya, dan ekspresi sosial dengan sikap

positif dan partisipasi. Keterampilan apresiasi seni telah dikembangkan dan

dimulai atas dasar pengetahuan, apresiator baru yang menemukan penguatan

dalam melakukan aktivitas apresiasi. Apresiasi seni ini berlangsung alamiah

dalam interaksi, rekonstruksi, dan keberlangsungannya.

Suatu kajian keindahan dan apresiasi dibahas Rollin McCraty and Doc

Childre (Emmons dan McCullough, 2004: 237) yang memaparkan pandangan

apresiasi dalam tilikan psikologi dengan The Grateful Heart The

Psychophysiology of Appreciation. Secara skematik, gambaran mengenai

apresiasi terlihat pada pola ritmik hati selama pengamatan berlangsung.

Page 6: konsep pembelajaran apresiasi seni

6

Gambar 2

Pola ritmik emosi selama psychophysiological (Sumber: Emmons, R. A. & McCullough, M.E. (Ed.) (2004: 237)

Gambar di atas menjelaskan pada kita bahwa pola ritmik hati manusia

dalam kondisi marah, santai dan memberikan apresiasi. Pada bagian kiri grafik

menunjukkan rata-rata perubahan denyut hati dengan ukuran per menit.

Sementara, pada bagian kanan grafik menunjukkan perbedaan hati dengan power

spectral density (PSD). Marah dikarakteristikan dengan rendahnya frekuensi,.

Keadaan pola irama hati rata-rata meningkat. Sebagai suatu hubungan yang dapat

kita lihat berkaitan dengan kekuatan spektrum pada bagian kanan, ritme selama

marah pada awalnya sangat rendah dengan prekuensi (0.0033–0.04 hertz), yang

digabungan sympathetic nervous system activity.

Keadaan santai (rileks) menghasilkan frekuensi yang tinggi dengan paling

irama amplitudo paling bawah, menunjukkan pengurangan tiupan ke luar dengan

Page 7: konsep pembelajaran apresiasi seni

7

sendirinya. Kasus ini meningkatkan kekuatan dalam frekuensi tinggi (0.15–0.4

hertz) pada kekuatan spektrum yang diamati, merefleksikan ditambahkan

parasympathetic activity (the relaxation response). Secara kontras, terkandung

menopang emosi positif seperti suatu apresiasi yang diasosiasikan dengan

tingginya aturan, kehalusan, seperti gelombang pola ritme hati (coherence).

Hubungan kekuatan spektrum dapat kita lihat secara psikologis dengan, arah

bagian puncak dalam frekuensi rendah (0.04–0.15 hertz), yang dipusatkan sekitar

0.1 hertz. Hal ini menunjukkan sistem perluasan getaran, dengan ditingkatkanya

synchronization dengan sympathetic dan parasympathetic branches dari sistem

nervous, dan antara pola ritme hati, pernapasan, dan ritme tekanan darah.

C. Tujuan dan Fungsi Apresiasi Seni

1. Tujuan Apresiasi Seni

Tujuan apresiasi seni diungkapkan Derlan (1987: 16) bahwa apresiasi seni

pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan apa yang disebut dengan

“pengalaman estetis”. Penikmatan seni yang terarah, sadar dan bertujuan akan

menghasilkan pengalaman tersebut. Seperti halnya dengan pergaulan yang akrab

dengan karya seni, pengalaman-pengalaman itu didapatkan. Hal ini dipertegas

Soedarso (1990:79) yang menyebutkan bahwa tujuan pokok penyelenggaran

apresiasi seni adalah untuk menjadikan masyarakat (siswa) “melek seni” sehingga

dapat menerima seni sebagai mestinya.

Tujuan apresiasi seni dalam kurikulum pendidikan umum adalah untuk

memperkenalkan siswa terhadap seni dan lebih jauhnya dapat memahami nilai-

nilai dan aturan dalam kehidupan budayanya. Hal ini ditegaskan Rice (1997)

dalam Art Appreciation (http://www.uncg.edu/art/courses/rwrice/360/AAprec.

htm) bahwa:

The goal of the teaching of art appreciation as a part of general education

in the college curriculum has been to introduce students to art, hoping to

convey an understanding of the value and role of art in our culture. But

appreciating art is a much more complicated and personal enterprise that

may require more than an introduction…. It is the attitudes and actions

within those definitions that create the dynamics of discovery for the

Page 8: konsep pembelajaran apresiasi seni

8

individual who appreciates. Teaching and learning about art are processes

of discovery, and the “findings” will impact the individual‟s future

interactions with art. Clearly, coming to value and understand or appreciate

art is a complex undertaking.

Pandangan di atas juga menujukkan bahwa selain kegiatan apresiasi seni

merupakan sesuatu yang kompleks dan memerlukan usaha secara individual untuk

tidak hanya sekedar mengenalnya, tapi perlu mempelajarinya dengan seksama.

Apresiasi juga merupakan sikap dan perbuatan yang diartikan sebagai dinamika

dari penemuan individu yang melakukan apresiasi. Mengajar dan belajar tentang

seni merupakan proses penemuan dan suatu penemuan yang akan mempengeruhi

individu dalam berinteraksi dengan seni di masa datang. Tentunya hal ini akan

mendatangkan suatu nilai dan pemahamanan atau apresiasi seni sebagai suatu

perbuatan yang kompleks.

Respon terhadap seni akan menggugah rasa kepuasan. Melalui kegiatan

menikmati seni secara sempurna akan mengalami suatu kepuasan penginderaan

dan akan memperoleh pengalaman melalui imajinasinya. Partisipasi aktif dari

pengamat dalam berdialog dengan seni harus dikembangkan karena apresiasi seni

adalah hasil dari pada partisipasi sikap dari si pengamat sendiri. Suatu karya seni

mempunyai nilai estetis hanya apabila menimbulkan respon positif pada pihak

pengamat melalui kegiatan mengamati dan menterjemahkan pesan itu menjadi alat

komunikasi antara seniman dengan pengamat seni.

2. Fungsi Apresiasi Seni

Ada dua fungsi dari kegiatan apresiasi seni. Fungsi pertama adalah agar

kita dapat meningkatkan dan memupuk kecintaan kepada bangsa sendiri dan

sekaligus kecintaan kepada sesama manusia. Sedangkan fungsi kedua bersifat

khusus, ada hubungannya dengan kegiatan mental kita yaitu penikmatan,

penilaian, empati dan hiburan.

Apresiasi seni juga besar manfaatnya bagi ketahanan budaya Indonesia. Dalam

seni budaya pendukung kebudayaan yang merasa lemah akan lebih suka

mengimpor ide-ide dari luar yang dirasanya lebih tinggi nilainya. Dampak

perkembangan informasi dan komunikasi modern pada era global dewasa ini telah

Page 9: konsep pembelajaran apresiasi seni

9

menerjang budaya kita sehingga kita seakan-akan tidak mampu lagi menahan

serbuan pengaruh budaya asing yang dengan bebas masuk ke tengah-tengah

budaya kita. Salah satu upaya agar tidak banyak lagi dipengaruhi budaya asing

antara lain dengan meningkatkan apresiasi seni terhadap seni budaya sendiri.

D. Tingkatan Apresiasi

Kemampuan apresiasi seni dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung

seperti aspek pengetahuan dan pengalaman estetik Apresiasi terhadap karya seni

bagi orang banyak akan memiliki kesamaan jika orang-orang tersebut telah

memiliki kemampuan pemahaman yang sama terhadap karya itu dan memiliki

pemikiran kritis untuk menentukan penilaiannya. Dengan demikian, tingkat

pengalaman estetik seseorang akan banyak menentukan tingkat kemampuan

apresiasi bagi seseorang. Apresiasi seseorang dikatakan benar dan mempunyai

tingkatan apresiasi yang tinggi apabila telah mendekati kebenaran seperti nilai

yang terkandung dalam karya seni yang diamatinya.

Kemampuan setiap orang dalam mengapresiasi karya seni sangatlah

beragam. Ini disebabkan karena latar belakang wawasan, pengalaman dan rasa

estetis yang beragam pula. Berkaitan dengan hal tersebut Tabrani (1998: 20-23)

menguraikan tingkatan apresiasi sebagai berikut:

a. Kejutan (surprise)

Kerjutan akan terjadi ketika kita berhadapan dengan sesuatu karya pada

“pandangan pertama” sehingga jatuh cinta. Ini sebagai akibat ciri-kreasi karya

yang iseng dan novel.

b. Empati

Dalam apresiasi seni terjadi pula proses empati, yaitu si pengamat turut serta

merasakan ungkapan, curahan hati seniman penciptanya. Turut serta

merasakan suka duka, pikiran, perasaan, pandangan hidup dan watak yang

tercermin dalam karya seni tersebut. Empati merupakan proses intuitif diiringi

rasa-indah-estetis (feeling into form) yang berada antara sadar-ambang sadar.

Dengan demikian, empati berhubungan dengan estetik dan bentuk.

Page 10: konsep pembelajaran apresiasi seni

10

c. Rasa-Betul-Estetis

Mereka yang terlau rasionil akan mendapat kesulitan mencapai empati, tapi

mereka masih dapat mencapai Rasa-Betul-Estetis melalui proses rasionil. Bagi

apresiator umum sudah cukup sampai pada Rasa-Betul-Estetis, tapi bagi para

mahasiswa seni perlu dilengkapi dengan intuitif dan kreatif.

d. Simpati

Simpati berhubungan dengan etika dan isi pesan/content/fungsi suatu karya.

Simpati berarti “feeling with”. Ini merupakan penjabaran intusisi yang sudah

mulai merasakan meningkatnya perasan-hanyut. Jika kita merasa simpati pada

seseorang maka kita seakan-akan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh

orang itu dam jika kita memusatkan diri pada suatu hasil seni, maka kita

memproyeksikan diri kita ke dalam bentuk hasil seni itu, dan perasaan kita

ditentukan oleh apa yang kita ketemukan di sana, oleh dimensi yang kita

dapatkan.

e. Rasa- Benar-Etis

Orang yang terlalu rasional akan mendapat keslitan mencapai simpati, tapi

mereka masih dapat mencapai Rasa-Benar-Etis karena etika bisa didekati

dengan ilmu pengetahuan.

f. Terpesona

Umumnya Empati lebih dahlu dari Simpati. Suatu karya mump membawa

apresiator menjadi Empati dan Simpati hingga terjadinya integrasi rasa-indah-

estetis (feeling into-nya empati) dengan rasa-hanyut (feeling with-nya Simpati)

maka karya tersebut akan segera membawa apresiator tersebut mencapai rasa

apresiasi terpesona. Transformasi suatu karya yaitu suatu perasaan yang

timbul bila berhadapan dengan suatu karya yang integral dan jujur.

f. Terharu

Proses ini terjadi ditandai proses penghayatan yang merupakan peleburan

sadar-ambang sadar-tak sadar menjadi satu kesatuan.

Page 11: konsep pembelajaran apresiasi seni

11

Pendapat lain berkaitan dengan tahapan apresiasi dikemukakan Bastomi

(1981/1982: viii-ix) bahwa tahapan apresiasi, yaitu: kegiatan mengamati, kegiatan

menghayati, kegiatan mengevaluasi, dan kegiatan berapresiasi.

a. Kegiatan Mengamati

Pada tahap kegiatan ini pengamat melakukan reaksi terhadap rangsangan

yang datang dari objek. Bentuk kegiatan yang dilakukan pengamat berupa

observasi, meneliti dan menganalisa, menilai objek, sehingga terjadi tanggapan

tentang objek itu. Kebenaran tanggapan itu tergantung pada sifat kritis dan

kecermatan pengamat dalam mengindera proyek, walaupun selama itu terjadi

kegiatan psikologis, yang tidak pasti disadari oleh pengamat, bahwa ia sedang

mengindera sebuah objek.

b. Kegiatan Menghayati

Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan penghayat adalah mengadakan

seleksi terhadap objek sehingga terjadi proses penyesuaian antara nilai yang

terkandung di dalam objek dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh

penghayat. Pada tahap ini penghayat dapat menerima nilai-nilai estetis yang

terkandung di dalam objek itu, namun demikian ada kalanya penghayat

menerimanya tanpa kesadaran dan tanpa kritik, sehingga seluruh objek diterima

sepenuhnya. Sikap emosional yang dialami oleh penghayat seperti itu oleh

Theodor Lipps disebut impati (empathy).

c. Kegiatan Mengevaluasi

Kegiatan ini dapat dilaksanakan apabila pelakunya dapat mengukur bobot

seni yang dievaluasinya. Kemampuan mengukur bobot ini biasanya dengan

disertai kemampuan memberi kritik pada seni. Biasanya, orang yang mengerti

seluk-beluk tentang seni, misalnya kritikus, mampu memisahkan antara yang baik

dan yang tidak baik dengan sikap objektif dengan menggunakan kriteria tertentu

sebagai tolok ukur penilaian suatu karya yang dievaluasinya.

d. Kegiatan Berapresiasi

Pada tahap kegiatan berapresiasi perasaan seseorang telah tergetar oleh

seni dan hanyut bersama-sama seni itu. Apresiator merasa bahwa dirinya berada

Page 12: konsep pembelajaran apresiasi seni

12

di dalam karya itu, artinya ia seakan-akan merasakan sendiri apa yang dirasakan

oleh pencipta dapat memproyeksikan diri ke dalam bentuk hasil seni, perasaannya

ditentukan oleh apa yang diketemukan di dalamnya.

Herbert Read di dalam The meaning of art menyatakan, bahwa orang

seperti itu telah simpati (sympathy) pada suatu hasil seni. Orang yang telah jatuh

simpati pada sebuah hasil seni, ia berada di antara sadar dan tidak sadar terhadap

objek yang dihayati, kesadarannya diiringi rasio untuk mengevaluasi dan memberi

kritik kepada seni itu, namun demikian rasio yang sadar itu tidak mengurangi rasa

simpati, melainkan justru menambahnya. Jika demikian halnya, maka orang itu

telah mempunyai apresiasi yang benar pada suatu hasil seni.

Sikap apresiatif menjadikan orang dapat menghargai sebenarnya nilai yang

ada di dalam kandungan seni. Timbal baliknya orang itu dapat menghargai

perasaan sendiri, sehingga dapat mencapai kenikmatan dan kepuasan karenanya.

Nilai seni adalah nilai seseorang, penghargaan pada hasil seni sama dengan

penghargaan kepada orang yang menciptanya. Dengan demikian, sikap apresiatip

banyak berhubungan dengan sikap sosial, sebab berapresiasi pada suatu hasil seni

akan menuju kearah berkomunikasi kepada penciptanya, baik langsung mupun

tidak lngung dan hasil seni itu sebagai penghubungnya.

E. Skenario Pengembangan Apresiasi Seni

Celement dan Smith (1968) mengemukakan empat tipe cara merespon

karya seni, yaitu:

1. Emotional response: Karya seni disusun oleh keinginan perasaan setiap saat

dengan respon sujektif. Aspek ini banyak disukai oleh wanita dari pada pria,

variabel tanggapan ditunjukkan oleh perasaan individu yang memasuki karya

seni.

2. Association response: Seni sebagai batu loncatan untuk angan-angan dan

menunjukan suatu hubungan (asosiasi) dengan masa kanak-kanak,

pemahaman keagamaan atau sesuartu hubungan yang memungkinkan ataupun

tidak terhadap karya seni. Pada aspek ini maksud melihat karya seni sebagai

Page 13: konsep pembelajaran apresiasi seni

13

sebuah cerita, monolog dan kadang-akadang dilakukan dialog dengan karya

seni tersebut, kemiripan yang sama seperti orang tua, konservatif fdan suatu

pulihan untuk mewakili suatu perumpamaan.

3. Novelity response: Karakteristik ini muncul dengan dengan rasa seni yang luar

biasa (unnusual), kadang-kadang mengejutkan. Aspek ini ditandai dengan

sebuah keinginan untuk mengumpulkan perbedaan yang besar dari gaya seni

dan suatu kemampuan untuk menganalisis kualitas desain dari suatu karya

oleh perasaan untuk karya seni, ketertarikan dalam mengidentifikasi objek

yang diwakili dalam karya seni merupakan sebuah kekuatan untuk

mempertahankan seni modern dan ketertarikan dalam pandangan baru.

4. “Aesthetic” response: Hidup dan kuatnya apresiasi dibawa untuk menguatkan

tanggapan emosional yang ditemukan dalam karya seni. Segi ini menyangkut

hilangnya sesuatu dengan sendirinya, empati, terletak pada gambar, untuk

memahami kualitas desain, untuk menunjukan hasrat dan ketertarikan

terhadap karya seni, bentuk kesamaan rasa dari orang tua dan tujuan untuk

menggunakan uang untuk karya seni dalam kehidupan di masa datang.

F. Hubungan Seniman, Karya Seni dan Apresiator

Fungsi penciptaan seni dapat berfungsi sebagai fungsi pribadi dan fungsi

social. Secara pribadi, seniman melakukan proses penciptaan seni untuk

memeroleh sumber kepuasan panca indera dan intelektual. Bagi kreator ini seni

seperti lukisan, patung, atau pahatan, keramik, dan sebagainya dapat memiliki

beberapa arti dan fungsi. Ia dapat merupakan latihan keterampilan, dapat pula

merupakan komentar terhadap masyarakat, anggapan keagamaan, pandangan

hidup, kepercayaan dan lain-lain. Sementara itu, bagi masyarakat sebagai

penghayat (apresiator) dengan mengenal seni, mereka dapat memetik isi pesan

dari seniman melalui karya seni tersebut. (Lihat Gambar 1)

Proses apresiasi ini akan berjalan dengan baik jika pengamat seni

mengenal dengan baik kepada pencipta seni (seniman), karakteristik karya seni

(ide, wujud dan teknik) penciptaan seni dan mengenal dirinya sebagai pengamat

Page 14: konsep pembelajaran apresiasi seni

14

seni. Hal ini mengingat bahwa proses apresiasi ini berkaitan antara pencipta seni

karya seni dan penikmat seni tersebut. Untuk mengatasi kesenjangan antara

pencipta dan penikmat seni maka kehadiran kritik seni dapat membantu

kesenjangan ini.

Bentuk apresiasi terdiri dari apresiasi kreatif dan apreasi afektif. Pada

tataran apresiasi kreatif membawa pengamat untuk menggunakan rasio dalam

menanggapi persoalan yang dihadapinya sedangkan apresiasi afektif lebih

melibatkan perasaan sehingga pengamat merasa dan mengalami empati dan

memperoleh rasa puas dari pada orang yang hanya melakukan apresiasi kreatif.

Persoalan yang timbul dalam hal ini adalah bagaimana upaya yang

dilakukan agar masyarakat mau mengikuti/menyaksikan pertunjukan atau

informasi agar terbentuk “attending” yaitu bersiap untuk menerima, seperti

kesiapan untuk mendengarkan atau melihat, menentukan kecerahan/kejernihan

dalam persepsi. Pemusatan dari organ perasaan kadang-kadang juga menyertainya

(Kartono, 1987: 34).

G. Apresiasi Seni dalam Konteks Pendidikan dan Pembelajaran

Proses kegiatan ini sangat kompleks. Kemampuan mengapresiasi seni

memerlukan penguasaan berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, agar guru dan

siswa memiliki kemampuan tersebut maka mereka perlu menguasai berbagai

pengetahuan tentang seni, seniman, teknik berkarya, teori estetika, sejarah seni

dan kritik. Hal ini sejalan dengan pendapat Jansen (Rice, 1997) bahwa:

Like integrated humanities courses, art appreciation courses are often

reduced to rote and require some knowledge of many fields of art--the

artist‟s knowledge of technique, the aesthetician‟s understanding of theory,

the historians description of contexts, and the critic‟s assessment of

contemporary relevance.

Apresiasi adalah suatu proses dan pada akhirnya melahirkan sikap dalam

mencermati seni. Sikap adalah sesuatu yang tidak tumbuh dengan begitu saja.

Sikap bisa terbentuk setelah berulang-ulang. Sikap (atitude) adalah

Page 15: konsep pembelajaran apresiasi seni

15

kecenderungan untuk memberi respon, baik positif maupun negatif, terhadap

orang-orang, benda-benda atau situasi-situasi tertentu (Kartono, 1987: 35).

Berdasarkan pandangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa untuk

mengembangkan sikap apresiasi dapat ditempuh melalui proses pendidikan.

Upaya ini dapat membina siswa untuk dapat menghayati, menikmati, menghargai

serta menilai suatu karya seni. Melalui kegiatan ini diharapkan anak-anak sebagai

penerus perjuangan bangsa mampu memiliki kecintaan untuk menghargai karya-

karya seni dan budaya bangsanya di masa yang akan datang.

Pembinaan apresiasi seni rupa pada jenjang pendidikan sekolah dasar

dapat dikatakan bukan sesuatu yang terlalu dini, mengingat bahwa interaksi anak

dengan seni rupa sudah dimulai sejak pendidikan prasekolah, di Taman Kanak-

Kanak. Sejak itulah proses apresiasi sudah dimulai. Hal yang perlu diperhatikan

adalah bagaimana cara yang tepat sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

Pada masa sekarang dan yang akan datang, pengembangan pendidikan

apresiasi seni adalah keniscayaannya. Pendidikan apresiasi seni perlu mendapat

tempat yang layak dalam kurikulum serta proses pembelajaran di sekolah. Hal ini

ditegaskan Mendiknas (2002: 3) bahwa:

Dengan pendidikan apresiasi seni, para peserta didik kita akan mampu

menghargai dan menikmati seni secara optimal. Dengan pendekatan

apresiasi, siswa akan dapat merangsang estetiknya dalam kehidupan sehari-

hari, dengan penuh nalar, apresiasi dan cinta damai. Lebih jauh lagi, dengan

apresiasi seni diharapkan peserta didik akan terangsang kesadaran

spiritualitas mereka melaui proses merasakan dan menikmati keindahan

Sang Pencipta dan ciptaan-Nya.

Peranan Pendidikan kesenian, khususnya seni rupa, memberikan

kontribusi terhadap perkembangan peserta didik baik secara fisik maupun

kejiwaan (psikis). Hal ini dikemukakan oleh Feldman (1967: 2-3) bahwa: “… art

continous satisfy (1) our individual needs for personal expression, (2) our social

needs for display, celebration, and communication, and (3) our physical needs for

utilitarian structures an objectives.”. Pandangan yang senada diungkapkan Elliot

Eisner (Fisher, 1978: 24) bahwa: “ The environment is most important in

Page 16: konsep pembelajaran apresiasi seni

16

determening asrtiscstic aptitudes in both production and appreciation. Therefore

the teacher and the curriculum are important in “effecting artistic learning”.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan

pembelajaran pendidikan seni rupa tidak hanya mengembangkan pertumbuhan

aspek fisik, namun juga mengembangkan aspek kejiwaan anak seperti kreativitas,

sensitivitas, fantasi, kehalusan perasaan dan sebagainya. Hal ini akan terjadi bila

ada keseimbangan antara pengalaman berkarya dan kegiatan apresiasi.

Kegiatan apresiasi sebagai hasil dari proses pendidikan seni rupa menurut

pandangan Read (1958: 2) terbagi atas:

A. The activity of self-expression-the individual‟s innate need to

communicate his thoughts, feelings and emotions to other people.

B. The activity of observation-the individual‟s desire to record his sense

impressions, to clarify his conceptual knowledge to build up his memory,

to construct things which aid his practical activities.

C. The creativity of appreciation-the response of the individual to the modes

of expression which other people addres or have addressed to him, and

generally the individual‟s response to values in the world of facts-the

qualitative reaction to the quantitative result of activities A and B.

Berdasarkan pendapat di atas, pendidikan seni rupa memiliki tiga kegiatan

pokok. Pertama berupa kegiatan ekspresi diri bagi individu yang ingin

menyampaikan ide atau gagasan, perasaan dan emosinya kepada fihak lain.

Kedua, kegiatan observasi yang mendasari sesorang untuk meningkatkan

kemampuan dan fotensinya. Kegiatan ini membantu pemahamannya terhadap

nilai-nilai pengetahuan yang menuntun dirinya. Sedangkan kegiatan ketiga,

apresiasi, lahir dari tanggapan seseorang atas dasar-dasar nilai faktual dalam

kegiatan ekspresi dan observasi.

Kegiatan apresiasi dapat dilakukan dengan baik dalam praktek

pembelajaran bila siswa dan guru memiliki pengetahuan hal ihwal karya seni

dengan baik. Gaitskell (1975: 454) memaparkan hal tersebut bahwa:

Stated simply, art appreciation implies knowing and having information

about art works and using such knowledge as a basis for discriminating,

interpretating, dan judging. Knowledge about art refers to informations

surrounding the work of art (names, dates, places) as well as to facts

concering physical details (subject matter, media, color) taken from the

Page 17: konsep pembelajaran apresiasi seni

17

worls itself. Knowledge about art olso invorves those concepts of design,

technique, and style that the teacher feels enable the student to „read” a

painting, sculpture, or building with some acuity

Kegiatan apresiasi yang dilaksanakan di sekolah-sekolah bermanfaat

dalam memupuk anak didik untuk mencintai budaya bangsa dan sesamanya.

Dengan mengenali secara seksama hasil-hasil seni tersebut mereka dapat

mengenali para penciptanya, dan karena seni memiliki aspeknya yang regional

(khususnya seni tradisional) dan juga yang universal sifatnya (seni modern),

maka seni dapat memupuk kecintaan kepada bangsa sendiri sekaligus kecintaan

terhadap sesama manusia. Dengan demikian, konsep pilar pembelajaran to life to

gether yang dicanangkan oleh WHO diharapkan dapat tercapai melalui kegiatan

pembelajaran pendidikan seni rupa melalui proses apresiasi.

Proses kreativitas dalam berekspresi menunjukkan keberadaan manusia

yang diakhiri dengan ada hubungannya dengan kemampuan apresiasi. Berkaitan

dengan hal itu, ada beberapa faktor penting yang menghubungkan kreativitas dan

apresiasi, yaitu: “...(1) physical and mental potentiality, (2) motivation, (3) skill in

use of materials and tools, (4) self-expression, (5) imagination, (6) discrimination

and perception, and (7) emotionalized feelings” (Klausmeier, 1953: 350).

Kemampuan fisik dan mental perlu dimiliki oleh individu dalam

menjalankan tugasnya. Guru perlu memiliki kesadaran untuk berperan dalam

menggali dan fotensi yang dimiliki siswa. Hal yang tidak kalah pentingnya, guru

perlu memberikan motivasi kepada siswa untuk berekspresi dan mengapresiasi.

Bagaimanakah apresiasi dapat ditingkatkan di dalam kelas? Klausmeier

(1953: 359-360) memaparkan upaya tersebut sebagai berikut:

...The display area or bulletin board may be a work of art in itself, used to

teach visual discrimination, artistic imagination, and aesthetic judgment. The

selection of pictures and materials for the display, along with use of color

and arrangement of the materials, builds appreciation when carefully

directed by the teacher. Further, when student committees take responsibility

for decorating the bulletin board once or twice per month and when

someone who understands art leads a discussion of the students' work, a

level of creativity in use of art materials may be assured. Student assistance

in procuring and arranging flowers, in arranging the furniture, and in

Page 18: konsep pembelajaran apresiasi seni

18

decorating the whole room may help create interest in the visual arts. Each

classroom teacher may encourage coöperative effort in beautifying the room

and may lead informal discussion of the work as a means of building student

preference for the better types.

Menurut pendapat di atas, apresiasi seni dapat ditingkatkan dalam kegiatan

belajar di dalam kelas dengan cara: a) memajang/memamerkan karya seni pada

papan buletin, b) kegiatan pembelajaran dilakukan dengan mengkaji perbedaan

berkaitan dengan keindahan, imajinasi artistik dan penilaian estetik, c) guru

mengarahkan siswa dalam memilih gambar atau bahan yang akan dipajang, d)

pemajangan karya dilakukan rutin misalnya satua atu dua bulan sekali, e) kegiatan

diskusi dilakukan dalam memahami karya, dan f) guru membantu siswa

membangun pengalaman berharga melalui kegiatan diskusi.

Ada dua rekomendasi hasil pertemuan yang membahas revisi kurikulum

Seni Rupa (fine art) pada tahun 1958 di Amerika yang dihasilkan oleh American

Council of Learned Societies . Adapun membuat dua rekomendasi tersebut adalah:

(1) that the basic approach be crative, allowing student in studios and

workshops to be personally involved and (2) that historical matter be

incorporates ti develove the student‟s sense of heritage in arts. Instead of

survey courses, an attempt should be made to involeve the student in the

studi of ar as it represects various epochs and cultures and as if might affect

his or her own creativity. Critical judgement is to be developed by practice

and by seing good examples, reading, and hearing about original works.

(McNeil, 1990: 356)

Isi rekomendasi di atas mengandung pengertian bahwa pendidikan seni

rupa dapat membuat peserta didik memiliki kemampuan kreativitas melalui

kegiatan praktek di studio secara mandiri serta melalui pendidikan seni dapat

meningkatkan apresiasi siswa terhadap warisan budaya bangsa dengan cara

meningkatkan kemampuan kritik melalui praktek, melihat-lihat contoh, membaca,

dan mendengarkan (tanggapan orang lain) tentang pekerjaannya.

Selanjutnya, kontek apresiasi dalam kegiatan pembelajaran diungkapkan

Read (1958: 239) bahwa seni sebagai bagian dari wilayah pembelajaran perlu

dikembangkan dengan empat pendekatan yaitu: apresiasi, kreasi, informasi dan

Page 19: konsep pembelajaran apresiasi seni

19

teknik. Kemampuan apresiasi merupakan kemampuan yang kompleks yang

memadukan antara nalar dengan sikap sehingga mampu memberikan suatu

penilaian. Hal ini ditegaskan Best (1985: 33) bahwa:

Artistic appreciation, like understanding in any sphere, allows for the

indefinitife but not unlimited possibility of interpretation, and of an

extension of concepts which give sence to interpretation and judgement. In

short, knowledge of any kind rest on conceps and human judgement (which)

derives its sence from the shared arts, language, attitudes, and activities of a

culture.

Dari beberapa pengertian di atas maka apresiasi dalam bidang pendidikan

seni rupa dapat diterangkan sebagai pengenalan, pemahaman, penikmatan tepat

terhadap unsur-unsur dan nilai-nilai seni yang terkandung dalam karya seni

sehingga tumbuh kegairahan terhadapnya serta kenikmatan yang timbul sebagai

akibat semua itu.

H. Model Pembelajaran Apresiasi Seni

Perkembangan model pembelajaran apresiasi seni sejalan dengan

perkembangan tuntutan masyarakat, khususnya dunia pendidikan. Pengembangan

model-model pembelajaran apresiasi ada yang dilakukan oleh fihak sekolah secara

formal (lihat model 1) dan ada pula yang dilakukan oleh beberapa institusi

kalangan swasta yang memberikan beberapa alternatif pada “kebekuan”

pendidikan seni saat ini (model 2, 3, 4 dan 5).

1. Model SCAA (Student Centered Art Appreciation)

Model Student Centered Art Appreciation (SCAA) adalah model apresiasi

seni yang dikembangkan oleh Max Darby di Victoria, Australia. Model ini

merupakan hasil sintesis pemikiran dari para peneliti pendidikan seni seperti

Feldman (1970), Mittler (1980). Eisner (1972, 1979), Larnier (1987), dan

Chapman (1978). Ragam pendekatan dari pendapat para peneliti tersebut

digunakan Darby dengan empat pendekatan umum dari kritik seni, yaitu:

Deskripsi (description), Analisis (Analysis), Interpretasi (Interpretation), dan

Penilaian (Judgement). Feldman meletakan pentingnya pertimbangan yang

Page 20: konsep pembelajaran apresiasi seni

20

diperlukan untuk menghindari pembuatan keputusan dengan cepat, semantara itu

Mittler dan Lanier terkenal dengan pentingnya respons siswa.

Menurut pernyataan Darby (Marsh, 1992: 4) tujuan apresiasi seni adalah:

1) encourage students to consider and develop their own values, opinions and

views, via personal response.

2) encourage students to develop the ability to describe, analyse, interpret and

compare different kinds of images and objects.

3) encourage student to make an aesthetic response to their own environment

and its everyday objects and experience, including those not traditionally

acknowledged to be artwork.

4) the process be an active one and not passive and that it be practical ie in

some ways integrated with art making.

Model SCCA ini menurut Darby memiliki kekhasan dan memberikan

kontribusi dalam hal: (a) dia menekankan kegiatan siswa melalui respon individu

(personal responses) dan pengalaman individu (personal preference) siswa; dan

(b) model ini mungkin untuk dilakukan dalam proses ini dapat dibawa ke dalam

kelas.

Berdasarkan model di atas, Marsh mempraktekan model apresiasi seni

dengan mengadopsi model SCCA. Dia mempraktekan model ini pada St. Clare

College bagi siswa yang berusia 12 sampai 17 tahun. Berdasarkan uji coba

model tersebut disimpulkan bahwa model ini sangat memuaskan bagi tujuan

penelitian dan diharapkan dapat menolong siswa memperoleh pemahaman yang

lebih baik dan apresiasi pada karya seni.

2. Model Apresiasi Seni Rupa untuk Remaja (ASuRA)

Model ini dikembangkan Yayasan Seni Cameti (YSC) di Yogyakarta.

Lembaga swasta ini memiliki kepedulian akan pendidikan seni bagi anak-anak

dengan membuat suatu program Apresiasi Seni Rupa untuk Remaja (ASuRA)

bagi siswa SLTP.

Penyelenggaraan program ini dilaksanakan selama tiga tahun (2000-2003)

melalui kegiatan kolaborasi dengan fihak sekolah untuk mengajarkan seni rupa.

Pada tahun pertama, proses pembelajaran apresiasi dilakukan oleh seniman dalam

kegiatan ekstrakurikuler; kemudian pada tahun kedua, pembelajaran apresiasi

Page 21: konsep pembelajaran apresiasi seni

21

yang melibatkan seniman (kriya, pelukis, komikus, pegrafis, dan teater) sebagai

guru seni yang dilakukan pada kegiatan intrakurikuler; dan pada tahun ketiga,

program berikutnya masih dalam kegiatan intrakurikuler YSC mencoba

memperkenalkan siswa untuk memaknai benda-benda yang ada di sekitar siswa

dengan difasilitasi oleh para seniman sebagai konsultan (Neni, 2001: 8-10).

3. Model PAS (Program Apresiasi Seni)

Program ini merupakan bentuk kegiatan rintisan yang dilakukan atas kerja

sama antara pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhamadiyah

Surakarta dengan STSI Surakarta (perancang modul), UPI (penyedia Tutor),

Majelis Dikdasmen PDM Surakarta dan Karang Anyar, serta The Ford Fondation.

PAS menekankan pada tujuan untuk menumbuhkan minat dan penghargaan siswa

terhadap kesenian, merangsang kemampuan dan keterlibatan siswa untuk

berkesenian, serta mendorong siswa untuk memanfaatkan pengalaman seninya

dalam kehidupan sehari-hari (Khisbiyah, Y. dan Sabardila, A., 2004: 173).

Pelakanaan program ini dilakukan dalam bentuk kegiatan: 1) Roundtable

Discussion yang diiluti para pakar (budayawan, etnomusikolog, dan pengusus

Dikdasmen PDM Surakarta dan Karanganyar), 2) Training for Tutor, 3) Pentas

Seni.

4. Model Pembelajaran Apresiasi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)

Model program pembelajaran kesenian ini diselenggarakan Dewan

Kesenian Jakarta (DKJ) dengan sasaran para siswa SMU. Model ini dikenal juga

dengan Apresiasi Seni Pertunjukan (ASP) (Gong No. 70/VII/2005: 10).

Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan apresiasi para siswa

melalui Kegiatan ekstrakurikuler. Cara yang ditempuh ada dua model, yaitu:

Model pertama bersifat proaktif dengan cara mendatangi sekolah-sekolah untuk

mengandakan pertunjukan. Kemudian dilakukan diskusi yang dipandu oleh

presenter (seniman). Model kedua dilakukan dengan mengundang sekolah-

sekolah untuk mengunjungi dan menyaksikan pertunjukan di gedung kesenian,

kemudian dilakukan dialog dan diskusi. Selanjutnya, ditawarkan pula program

Page 22: konsep pembelajaran apresiasi seni

22

pelatihan kesenian para siswa, mereka sangat responsif sehingga banyak sekolah

yang mendaftarkan diri. Akan tetapi, biaya DKJ terbatas (Riantiarno, 2002: 4-5).

5. Model Pendidikan Seni Nusantara (PSN)

Program PSN merupakan sebuah metode pendidikan alternatif. Model ini

mulanya dikembangkan di Jawa Barat kemudian menyebar ke hampir seluruh

pelosok nusantara. Program yang dilakukan lembaga ini adalah memberikan

workshop/pelatihan kepada para guru kesenian, menerbitkan modul pembelajaran

(Tekstil, Musik Popular, Gong (SMP), dan Topeng, Dawai untuk SMA) dan

materi audio visual berbentuk VCD.

Page 23: konsep pembelajaran apresiasi seni

23

LATIHAN

Untuk mengetahui pemahaman Anda terhadap materi yang telah dipelajari,

silahkan Anda mengejakan latihan

1. Bagaiman definisi apresiasi seni menurut Anda?.

2. Jelaskan hubungan apresiasi seni antara seniman, karya seni, dan apresiator

3. Sebutkan tingkatan apresiasi

4. Bagaimana cara untuk meningkatkan apresiasi dalam proses pembelajaran di

dalam kelas

5. Uraikan karakteristik perbedaan model pembelajaran apresiasi seni

RANGKUMAN

Apresiasi seni adalalah kemampuan mental manusia dalam memberikan

tanggapan, penilaian dan penghargaan terhadap karya seni sehingga menimbulkan

rasa terpesona dengan penikmatan dan pemahamannya.

Sikap apresiasi merupakan dimensi sikap yang mencakup pengetahuan dan

keterampilan serta perhatian. Apresiasi juga berdimensi prilaku yang perlu dilatih

secara terus menerus karena tingkat apresiasi tiap orang berbeda-beda. Oleh

karena itu untuk mengembangkan tingkat apresiasi ini perlu dibina sejak anak usia

dini agar dalam dirinya tertanam pemikiran yang kritis serta kebiasan saling

menghargai. Hal ini

Tujuan apresiasi adalah untuk menghasilkan pengalaman estetis serta

mengenalkan nilai-nilai budaya. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi apresiasi

seni untuk mencintai budaya dan sesama dan secara khusus dapat menikmati,

menilai , dan menghargai karya seni.

Model pembelajaran apresiasi yang telah ada berkembang di antaranya

model Student Centered Art Appreciation (SCAA), Model Apresiasi Seni Rupa

untuk Remaja (AsuRA), Program Apresiasi Seni (PAS), Model Pembelajaran

Apresiasi Dewan Kesenian Jakarta, dan Model Pendidikan seni Nusantara (PSN)

Page 24: konsep pembelajaran apresiasi seni

24

TES FORMATIF 1

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memilih a, b, c, atau

d pada jawaban yang paling benar

1. Kemampuan mental manusia dalam memahami, mengenal,

mempertimbangkan, menilai dan menghargai karya seni disebut….

a. Apresiasi seni

b. Kreasi seni

c. Fungsi seni

d. Tujuan seni

2. Dimensi apresiasi sebagai sikap (attitudes) sering didefinisikan aspek…,

kecuali:

a. Kebiasaan

b. Keahlian

c. Perhatian

d. Penilaian

3. Hubungan apresiasi merupakan timbal balik antara pencipta seni dengan

penikmat seni melalui penyampai pesan, yaitu…

a. Media seni

b. Teknik seni

c. Karya seni

d. Wujud seni

4. Tujuan apresiasi pokok penyelenggaraan apresiasi seni adalah untuk

menjadikan masyarakat (siswa) “melek seni” sehingga dapat menerima seni

sebagai mana mestinya. Pernyataan tersebut ikemukakan oleh….

a. Sahman

b. Sudarso

c. Derlan

d. Popo Iskandar

Page 25: konsep pembelajaran apresiasi seni

25

5. Yang tidak termasuk scenario pengembangan apresiasi seni menurut Celement

dan Smith (1986) dalam merespon karya seni adalah…

a. Emotional response

b. Association response

c. Aesthetid response

d. Expressional response

6. Alat yang digunakan untuk mengapresiasi seni adalah….

a. kreasi seni

b. ekspresi seni

c. kritik seni

d. teknik seni

7. Model pembelajaran apresiasi yang melibatkan seniman (kriya, pelukis,

komikus, pegrafis dan teater) dalam kegiatan ekstrakurikuler, intrakurikuler,

adalah….

a. SCAA

b. ASuRA

c. PAS

d. PSN

8. Model pembelajaran kritik ini menggunakan ragam pendekatan kritik seni ,

yaitu deskripsi, analisis, interpretasi dan penilaian.

a. SCAA

b. ASuRA

c. PAS

d. PSN

9. Tujuan apresiasi seni dalam kurikulum pendidikan umum adalah untuk

memperkenalkan siswa terhadap seni dan jauhnya memahami nilai-nilai dan

aturan dalam kehidipan budayanya. Pernyataan ini dikemukakan oleh….

a. Rice

b. Osborne

c. Rolo May

Page 26: konsep pembelajaran apresiasi seni

26

d. Chang

10. Setelah kita menyaksikan karya fotografi suasana orang yang ditimpa gempa

bumi di Klaten Jawa Tengah ini (gambar di bawah ini), maka perasaan kita

hanyut seolah-olah musibah tersebut terjadi pada diri kita sendiri.

Sumber: PR, Edisi 28 Mei 2006

Kenyataan tersebut merupakan wujud tingatan apresiasi yaitu.…

a. empati

b. simpati

c. terpesona

d. kejutan

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, S. T. (1983). Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat.

Bastomi, S. (1981/1982). Landasan Berapresiasi Seni Rupa. Semarang: Proyek

Peningkatan Perguruan Tinggi IKIP Semarang.

Best, D. (1985). Feeling and Reason in the Arts. George Alen and Unwin.

Chang, R. (1980). “Philosophic Approaches to an Art Psychology”.

Commentaries on the Psychology of Art. Unpublished. Tersedia: http://

www. lastplace.com/Journal/philosart.htm. [6 Oktober 2005].

Chang, R. (1980). What is “Art”. Tersedia: di http://www lastplace.com/

whatisartfrom.htm. [17 Desember 2005].

Page 27: konsep pembelajaran apresiasi seni

27

Emmons, R. A. & McCullough, M.E. (Ed.) (2004). The Psychology of Gratitude.

New York: Oxford University Press.Tersedia: http:/www.questia.com. [28

Mei 2005].

Fisher, E. F. (1978). Aesthetic Awareness and the Child. Illionis: F. E. Peaccock

Publishers, Inc.

Gaitskell, C. D. and Gaitskell, M. R. (1954). Art Education During Adolescence.

New York: Harcourt, Brace and Company.

Jansen, C. R. (Stokrocki, M. (Ed). (1995). Scenarios of Art Apreciation. In New

Waves of Research in Art Education. Reports Seminar for Research in Art

Education. Michigan Iniversity. ED 395 871 Tersedia: http:/eric.ed.gov/

ERICDOCs/data/ericdocs2/content_storage_01/ 0000000b/80/26/94/c1.pdf.

[30 Agustus 2005].

Kartono, K dan Gulo, D. (1978) Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya.

Khisbiyah, Y. dan Sabardila, A. (Ed) (2004). Pendidikan Apresiasi, Wacana dan

Praktik untuk Toleransi Pluraisme Budaya. Surakarta: Pusat Studi Budaya

dan Perubahan Sosial Universitas Muhamadiah bekerja sama dengan The

Ford Fondation.

Klausmeier, H. J. (1953) Principles and Practices of Secondary School Teaching.

New York: Harper & Brothers.

Margaret, M. (1992). “Art Appreciation in Practice in Sydney, Austalia”. Reports-

Evaluative/Feasibility. ED 354 172. Tersedia: http:/eric.ed.gov/ERICDOCs/

data/ ericdocs2/content_storage_01/0000000b/80/24/f1/ca.pdf. [30 Agustus

2005].

Neni, Y. W. (200..). “Jurnal Program Apresiasi Seni rupa untuk Remaja (AsuRA).

Yogyakarta: Yayasan Seni Cameti. 14, Agustus – Oktober 2004.

Osborne, H. (1970). The Art of Appreciation. London: Oxford University Press.

Read, H. (1958) Education Through Art. London: Faber and Faber

Riantiarno, A.R. (2002). “Program Apresiasi Dewan Kesenian Jakarta”. Makalah

pada Semiloka Nasional Pendidikan Apresiasi Seni: Merayakan

Keanekaragaman Budaya Nusantara Kerja sama Pust Studi Budaya UMS

dan Ford Foundation di Hotel Lor In Solo pada tanggal 28-30 Juli 2002.

Rice, R. W. (1997). Art Appreciation. (Online). In Art 360 Foundation of Art

Education. Tersedia: http://www.uncg.edu/art/ courses/rwrice/360/AAprec.

htm [4 Maret 2006].

Smith, M. R. (1995). “Using Art Criticism to Examine Meaning in Today‟s Visual

Imagery”. Conference Paper in Eyes on the Future: Converging Image,

Ideas, an Instruction Selected Eadings from tehe Annual Confrece of

Iternatioal Visual Literacy Association (27th

, Chicago, October 18-22,

1995). ED 391517. 351-360.

Soedarso SP. (1990) Tinjauan Seni Sebuah Pengantar untuk Apresiasi Seni.

Yogyakarta: Saku Dayar Sana Yogyakarta.

Page 28: konsep pembelajaran apresiasi seni

28

Soehardjo, A. J. (2005). Pendidikan Seni, dari Konsep sampai Program. Malang:

Balai Kajian Seni dan Desain Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra

Universitas Negeri Malang.