konsep etos kerja islami dalam perspektif pendidikan...

221
i KONSEP ETOS KERJA ISLAMI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Oleh: RIF’AH MUNAWAROH NIM 11111047 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2016

Upload: dongoc

Post on 06-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

KONSEP ETOS KERJA ISLAMI

DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam

Oleh:

RIF’AH MUNAWAROH

NIM 11111047

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2016

ii

iii

iv

v

vi

MOTTO

Bekerja Itu Ibadah, Berprestasi Itu Indah

(Tasmara, 2002:73)

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan

sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu

akan menemui-Nya.” (Q.S. Al-Insyiqaq: 6)

vii

PERSEMBAHAN

Atas rahmat dan ridho Allah Swt, skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Bapakku, Sutarna, dan ibuku, Durotul Basaroh, dengan segala perjuangan,

do‟a, keringat pengorbanan, kesabaran dan cinta kasih yang membentuk diriku

menjadi seorang perempuan yang tegar dalam mengarungi kehidupan yang

penuh liku. Semoga Allah Swt memberikan umur panjang, kesehatan, dan

kesakinahan dalam hubungan bapak dan ibu, serta semoga Allah Swt

memasukkan mereka ke dalam golongan penghuni surga.

2. Adikku, Riza Gunawan, yang selalu memberikan dukungan, perhatian, dan

pengertian, utamanya dalam proses pembuatan skripsi ini. Semoga Allah Swt

memberi kelancaran agar dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik,

tercapai apa yang dicita-citakan, dan yang terpenting semoga Allah Swt

menjadikanmu anak saleh yang dapat meninggikan derajat keluarga.

3. Kekasihku, Slamet Setiawan, yang tak pernah henti memberikan motivasi,

semangat dan dukungan dalam mengarungi masa-masa sulit dalam hidupku,

serta tak pernah lelah menasehatiku agar menjadi seorang perempuan yang

lebih dewasa dan bijaksana. Semoga Allah Swt senantiasa menjagamu dan

meridhoi niat baik kita untuk segera bersatu dalam ikatan suci pernikahan.

viii

KATA PENGANTAR

Terucap syukur kepada Allah Swt Yang Maha Sempurna beserta Asmaul

HusnaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu

persyaratan wajib untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Srata Satu Pendidikan

Islam (S.Pd.I) Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Tak lupa sholawat serta

salam semoga tercurahkan kepada Baginda Rasulullah saw.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menemui hambatan, tetapi

dengan rahmat-Nya dan perjuangan penulis serta bantuan berbagai pihak sehingga

skripsi ini terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan banyak

terima kasih atas segala nasehat, bimbingan, dukungan, dan bantuannya kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

IAIN Salatiga.

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Kajur PAI IAIN Salatiga.

4. Ibu Maslikhah, S.Ag., M.Si. selaku pembimbing skripsi yang telah

memberikan bimbingan, pengarahan, dan sumbangan pemikiran terbaiknya

dalam masa bimbingan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

5. Bapak M. Gufron, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik yang selalu

memberikan bimbingan dan motivasi untuk menjadi yang terbaik.

ix

6. Segenap dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga yang

telah banyak memberikan hikmah dan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis

selama di bangku perkuliahan.

7. Bapak dan Ibuku tercinta, yang selalu memberikan dukungan baik moril

maupun materi serta dengan tulus dan ikhlas mengetuk pintu langit berdoa

untuk kelancaran dalam menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.

8. Keluarga Besar Biro Konsultasi Psikologi Tazkia khususnya Tim Majelis

Do‟a Mawar Allah yeng telah memberikan banyak pengalaman dan pelajaran

berharga bagi penulis.

9. Ibu Dr. Muna Erawati, M.Si., yang telah memotivasi penulis untuk selalu

optimis dalam meraih kesuksesan.

10. Para pustakawan di IAIN Salatiga, yang telah memberikan pelayanan dalam

menggali wacana selama proses perkuliahan, khususnya Mbak Fera dan

Mbak Devi yang telah mendukung kelancaran pencarian bahan pustaka

selama pembuatan skripsi penulis.

11. Saudara-saudaraku seperjuangan di KOPMA “FATAWA” IAIN Salatiga,

yang telah memberikan pengalaman dalam berorganisasi.

12. Sahabat-sahabatku, Evi Triyani, Rini Riftiyani, Nur Anisah, Ratih Siti Nur

Jannah, Yuli Hastuti, Ika Khusnul Fadhilah, Al Milatul Mizza yang telah

memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

13. Rekan-rekanku di kelas PAI B angkatan tahun 2011, kelompok KKL, kelompok

PPL, kelompok KKN yang telah memberikan banyak pengalaman berharga selama

perkuliahan.

x

xi

ABSTRAK

Munawaroh, Rif‟ah. 2015. Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan

Islam. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan

Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing:

Maslikhah, S.Ag., M.Si.

Kata Kunci: Etos Kerja Islami, Pendidikan Islam, Guru dan Siswa

Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang bukan

hanya berorientasi pada materi tetapi lebih jauh bekerja merupakan ibadah. Etos

kerja Islami sebagai karakter kerja memiliki pandangan utuh tentang dunia dan

akhirat, materi dan non materi, serta jasmani dan rohani. Peneliti tertarik untuk

mengkaji tentang etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam. Peneliti

secara khusus mencari implikasi etos kerja Islami pada pendidikan Islam.

Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka pertanyaan utama yang ingin

dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana konsep etos kerja Islami?,

(2) Bagaimana konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam?, (3)

Bagaimana implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam pendidikan

Islam?.

Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka (library research),

yaitu meneliti tentang Konsep Etos Kerja Islami dan Konsep Pendidikan Islam

dari berbagai literatur. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari sumber data

primer yaitu data utama berupa buku-buku tentang etos kerja Islami dan

pendidikan Islam dan sumber data sekunder yaitu data pendukung dari data

primer yang berhubungan secara tidak langsung dengan permasalahan penelitian.

Pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Metode analisis data

dengan analisis deduktif, induktif, dan sintesis. Analisis deduktif memaparkan

teori-teori secara umum kemudian ditarik sesuai permasalahan penelitian. Analisis

induktif dengan membuat kesimpulan hasil penelitian berdasarkan temuan-temuan

dari pembahasan terhadap permasalahan dalam penelitian. Analisis sintesis

dengan menggabungkan antarkonsep untuk ditemukan hubungan antarkomponen.

Hasil penelitian menunjukkan (1) Konsep etos kerja Islami menunjukkan

bahwa bekerja merupakan fitrah dan amanah yang esensinya iman, ilmu, dan

amal. Bekerja dilakukan dengan semangat jihad, menempatkan tujuan utama

bekerja bukan berupa materi, melainkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri

kepada Allah Swt; (2) Konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan

Islam merupakan konsep yang memiliki pandangan utuh tentang iman, ilmu, dan

amal, kerja dan ibadah, materi dan non materi. Hal ini selaras dengan pendidikan

Islam yang berlandaskan prinsip kesatuan dan keseimbangan untuk menciptakan

insan kamil; (3) Implikasi etos kerja Islami bagi guru dan siswa dalam pendidikan

Islam merupakan spirit yang dapat melahirkan performa kerja profesional dan

religius. Etos kerja Islami bagi guru dan siswa dapat membangkitkan motivasi

mengajar-belajar yang dilandasi keyakinan bahwa mengajar-belajar merupakan

fitrah, amanah, dan ibadah yang dijiwai semangat jihad untuk mengintegrasikan

iman, ilmu, dan amal dalam mencapai tujuan pendidikan Islam.

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN BERLOGO ............................................................................ ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................. iii

NOTA PEMBIMBING ............................................................................... iv

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... v

MOTTO ...................................................................................................... vi

PERSEMBAHAN ....................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ................................................................................ viii

ABSTRAK .................................................................................................. xi

DAFTAR ISI ............................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................... . 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Fokus Masalah ..................................................................... 8

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8

D. Kegunaan Penelitian ........................................................... 9

E. Metode Penelitian ................................................................ 10

F. Penegasan Istilah ................................................................. 13

G. Sistematika Penulisan .......................................................... 15

xiii

BAB II KONSEP ETOS KERJA ISLAMI ........................................... 17

A. Etos Kerja ............................................................................ 17

1. Pengertian Etos Kerja ..................................................... 17

2. Sumber Etos Kerja .......................................................... 19

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja ............... 24

4. Ciri-ciri Etos Kerja Tinggi .............................................. 29

5. Ciri-ciri Etos Kerja Rendah ............................................ 33

B. Etos Kerja Islami ................................................................. 34

1. Pengertian Etos Kerja Islami .......................................... 34

2. Sumber Etos Kerja Islami ............................................... 38

3. Prinsip-prinsip Etos Kerja Islami .................................... 44

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Islami .... 56

5. Pedoman Sikap Pekerja Beretos Kerja Islami ................ 61

6. Karakteristik Etos Kerja Islami ...................................... 65

BAB III KONSEP PENDIDIKAN ISLAM ........................................... 78

A. Pengertian Pendidikan Islam ............................................... 78

B. Dasar Pendidikan Islam ....................................................... 84

1. Dasar Pandangan Terhadap Manusia .............................. 88

2. Dasar Pandangan Terhadap Masyarakat ......................... 89

3. Dasar Pandangan Terhadap Alam Semesta .................... 89

4. Dasar Pandangan Terhadap Ilmu Pengetahuan .............. 90

5. Dasar Pandangan Terhadap Akhlak ................................ 92

C. Tujuan Pendidikan Islam ..................................................... 93

xiv

D. Karakteristik Pendidikan Islam ........................................... 95

1. Karakteristik Filosofis .................................................... 95

2. Karakteristik Substansi ................................................... 97

3. Karakteristik Aplikatif .................................................... 102

E. Domain Pendidikan Islam ................................................... 105

1. Guru ................................................................................ 105

2. Siswa ............................................................................... 119

3. Materi Pendidikan Islam ................................................. 124

4. Metode Pendidikan Islam ............................................... 128

5. Alat dan Media Pedidikan Islam ..................................... 135

6. Lembaga Pendidikan Islam ............................................. 137

BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................... 141

A. Konsep Etos Kerja Islami .................................................... 141

1. Perpaduan Berbagai Konsep dalam Etos Kerja Islami ... 141

2. Etos Kerja Islami Melahirkan Kerja yang Religius ........ 149

B. Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan

Islam .................................................................................... 154

1. Etos Kerja Islami dalam Diri Insan Kamil ..................... 155

2. Etos Kerja Islami dalam Karakteristik Pendidikan Islam 160

3. Etos Kerja Islami dalam Diri Guru ................................. 166

4. Etos Kerja Islami dalam Diri Siswa ................................ 171

xv

C. Implikasi Etos Kerja Islami dalam Pendidikan Islam .......... 175

1. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Guru Profesional

dan Religius .................................................................... 176

2. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Karakter Insan

Kamil pada Siswa ........................................................... 181

BAB V PENUTUP ................................................................................ 191

A. Kesimpulan .......................................................................... 191

B. Saran .................................................................................... 192

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 194

LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................... 198

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ........................................................... 198

Lampiran 2 Nota Penunjukan Pembimbing ............................................. 199

Lampiran 3 Jurnal Konsultasi Skripsi ...................................................... 200

Lampiran 4 Daftar Nilai SKK .................................................................. 202

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bekerja merupakan kewajiban bagi manusia dalam mengarungi

kehidupan di dunia. Setiap orang memiliki pandangan, sikap, kebiasaan yang

berbeda dalam bekerja. Pandangan, sikap, kebiasaan seseorang terhadap kerja

inilah yang dinamakan etos kerja (Buchori, 1994:6). Terbentuknya etos kerja

didorong atau dimotivasi oleh berbagai faktor. Dorongan kebutuhan dan

aktualisasi diri, nilai-nilai yang dianut, keyakinan atau ajaran agama tertentu

dapat berperan dalam proses terbentuknya etos kerja (Asifudin, 2004:30). Etos

kerja yang dimotivasi oleh ajaran agama, lebih khusus yaitu oleh nilai-nilai

ajaran Islam disebut sebagai etos kerja Islami.

Etos kerja Islami merupakan sebuah spirit yang harus mendarah daging

dalam diri pribadi muslim. Allah Swt tidak akan mengubah keadaan seseorang

atau suatu kaum apabila ia tidak berusaha mengubahnya sendiri, yaitu dengan

bekerja. Sebagaimana penjelasan firman Allah Swt dalam Surah Ar-Ra‟du ayat

11 berikut ini:

Artinya:

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga

mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S.

Ar-Ra‟du: 11).

2

Etos kerja Islami berbeda dengan etos kerja secara umum. Etos kerja

secara umum melahirkan semangat kerja yang berorientasi untuk memperoleh

kepuasan duniawi, sedangkan etos kerja Islami bukan sekadar melahirkan

semangat kerja yang berorientasi pada materi atau kepuasan duniawi,

melainkan lebih jauh kerja sebagai ibadah yang tujuannya untuk memperoleh

ridho Allah Swt.

Tasmara (2002) mengemukakan bahwa etos kerja Islami dimotivasi

oleh semangat jihad dan tauhid. Semangat jihad mendorong seorang muslim

untuk bekerja dengan kesungguhan yang luar biasa. Sedangkan tauhid dalam

etos kerja seorang muslim menjadi daya pendorong agar terus berkreasi tanpa

merasa takut terhadap apapun kecuali Allah Swt. Iman yang menghujam dalam

dirinya tampak pada amal shalih yang memberikan rahmat bagi alam

sekitarnya (Tasmara, 2002:39). Etos kerja seorang muslim idealnya digerakkan

oleh dorongan iman dan semangat jihadnya, kemudian diolah dengan daya

nalar yang tajam (Tasmara, 2002:58).

Seorang yang beretos kerja Islami selalu kecanduan untuk beramal

shalih, suatu perbuatan disebut sebagai amal shalih apabila perbuatan itu

dilakukan dengan niat ibadah kepada Allah Swt (Sastrahidayat, 2009:12). Oleh

karena itu, Tasmara (2002:73-135) mengemukakan 25 ciri seorang yang

kecanduan beramal sholih sebagai karakteristik etos kerja Islami. Karakteristik

etos kerja Islami tersebut tampak pada perilakunya sehari-hari, seperti:

menghargai waktu, jujur, istiqomah, bertanggungjawab, memiliki semangat

perubahan, kecanduan belajar dan mencari ilmu, berorientasi pada

3

produktivitas, senang bersilaturahmi, dan lain-lain. Luth (2001:39-40)

selanjutnya menjelaskan karakteristik seorang yang memiliki etos kerja Islami

yaitu ia bekerja semata-mata karena Allah Swt, bekerja keras, dan memiliki

cita-cita tinggi.

Etos kerja Islami menurut Asifudin (2004:96) merupakan salah satu

wujud pemahaman Islam kaffah, di antaranya yaitu menyeluruh dan seimbang

dalam mengerjakan ibadah mahdhah maupun ibadah dalam arti luas seperti

bekerja. Etos kerja Islami memberikan dorongan amat kuat agar kerja sebagai

ibadah disikapi dan diperlakukan sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (ibadah

mahdhah) (Asifudin, 2004:57). Pemahaman tersebut membawa akibat

dipraktekkannya etos kerja Islami dalam seluruh dimensi aktivitas kehidupan,

baik aktivitas ubudiyah maupun keduniaan; baik aktivitas berkenaan dengan

hablumminallah maupun hablumminannas (Asifudin, 2004:52-53). Etos kerja

Islami yang melahirkan keyakinan bahwa bekerja sebagai ibadah, merupakan

penjabaran dari tujuan hidup manusia. Tujuan hidup manusia ialah semata-

mata untuk mengabdi kepada Allah Swt., sebagaimana dijelaskan dalam firman

Allah Swt Surah Adz-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi:

Artinya:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat:56).

Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang selaras dengan tujuan

hidup manusia, yaitu menjadikan hamba Allah Swt yang paling taqwa

(Achmadi, 1987:90). Hamba Allah Swt yang paling taqwa merupakan gelar

4

yang akan didapatkan oleh seorang muslim yang senantiasa beribadah kepada

Allah Swt. Ibadah yang dimaksud yaitu mengabdikan diri kepada Allah Swt

dalam berbagai aspek kehidupan agar memperoleh ridho-Nya (Faridi,

1982:79). Beribadah kepada Allah Swt dalam berbagai aspek kehidupan atau

disebut ibadah dalam arti luas merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai

pendidikan Islam, sebab pendidikan Islam menuntut keseimbangan dalam

aspek duniawi ukhrawi; jasmani rohani; individu dan kemaslahatan

masyarakat; ilmu agama dan ilmu duniawi, serta teori dan praktik (Hafidz dan

Kastolani, 2009:58-67). Ibadah harus dipahami secara komprehensif; tidak

hanya terbatas pada melakukan ritual-ritual agama secara pasif saja, melainkan

juga meliputi segala aspek kegiatan: iman, berfikir, merasa dan bekerja

(Achmadi, 1987:90).

Ibadah dalam arti luas merupakan sarana untuk melaksanakan misi

khalifatullah fil ardhi. Manusia sebagai khalifatullah fil ardhi dibekali dengan

potensi-potensi atau fitrah. Fitrah pada manusia tidak lain adalah sifat-sifat

Allah Swt yang ditiupkannya kepada manusia sebelum lahir (Langgulung,

2004:50). Sifat-sifat Allah itu disebut dalam Al-Qur‟an sebagai nama-nama

yang indah atau Asmaul Husna. Pengembangan sifat-sifat Allah setinggi-

tingginya sesuai kemampuan manusia merupakan cara untuk mengantarkan

manusia pada keberhasilan melaksanakan misi khalifatullah fil ardhi yang

mampu memakmurkan alam dan membawa rahmah bagi alam sekitarnya.

Tujuan tertinggi pendidikan Islam dari berbagai uraian di atas

sesungguhnya adalah untuk menghasilkan insan kamil. Insan kamil adalah

5

manusia yang utuh jasmani, akal, dan rohani, berguna bagi dirinya dan

masyarakat serta gemar mengamalkan ajaran Islam dalam hubungannya

dengan Allah Swt dan sesama manusia serta dapat mengambil manfaat dari

alam untuk kepentingan hidup di dunia dan akhirat (Daradjat, 2011:29).

Konsep etos kerja Islami memiliki keselarasan dengan pendidikan

Islam. Keselarasan tersebut di antaranya dapat dilihat dari pandangan keduanya

yang komprehensif. Etos kerja Islami memandang kerja bukan sekadar untuk

memperoleh kepuasan duniawi, melainkan lebih jauh ialah untuk mendapatkan

ridho Allah Swt. Sejalan dengan pandangan tersebut, pendidikan Islam

memiliki pandangan yang menyeluruh dalam aspek duniawi ukhrawi; jasmani

rohani; individu dan kemaslahatan masyarakat; ilmu agama dan ilmu duniawi,

serta teori dan praktik.

Pandangan yang menyeluruh dalam pendidikan Islam dapat pula dilihat

dari substansi pendidikan Islam yang utuh, yaitu meliputi pendidikan

keimanan, pendidikan amal, pendidikan ilmiah, pendidikan akhlak, dan

pendidikan sosial. Substansi tersebut marupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan dan membentuk pola hubungan sebagai berikut: iman adalah

pondasi akhlak yang mulia, akhlak yang mulia menjadi pondasi ilmu yang

benar, ilmu yang benar menjadi pondasi amal yang shalih (Aly dan Munzier,

2003:72-73). Pola hubungan yang demikian juga terdapat dalam konsep etos

kerja Islami. Etos kerja Islami bersumber dari keimanan kepada Allah Swt

sehingga berbuah pada keyakinan bahwa kerja adalah ibadah. Keyakinan

bahwa kerja adalah ibadah melahirkan performa kerja yang penuh

6

kesungguhan, semangat yang luar biasa, dan hasil yang optimal. Performa

kerja yang penuh kesungguhan ini dilandasi dengan etika yang mulia; sikap

yang berlandaskan nilai-nilai yang dikehendaki oleh Allah Swt, sebab

kesadaran bahwa bekerja merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt dan

merasa selalu dalam pengawasan-Nya. Seorang yang beretos kerja Islami

dalam bekerja juga berlandaskan pada ilmu, oleh karena itu membuahkan kerja

yang profesional.

Insan kamil sebagai manusia yang ingin diupayakan atau dihasilkan

oleh pendidikan Islam, merupakan sosok manusia yang memiliki karakteristik

etos kerja Islami. Insan kamil yaitu manusia yang utuh secara jasmani, akal,

dan rohani. Etos kerja Islami apabila dilihat dari karakteristiknya mampu

mengembangkan ketiga dimensi tersebut secara utuh. Dari segi jasmani, etos

kerja Islami melahirkan karakter manusia yang memperhatikan kesehatan,

karena dengan jasmani yang sehat maka akan membuahkan kerja yang optimal.

Selanjutnya, dari segi akal akan menumbuhkan karakter manusia yang rasional,

ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang

baik, disiplin, dan profesional. Etos kerja Islami dari segi rohani akan

membentuk manusia yang bekerja dengan kejujuran dan akhlak yang mulia

atas dasar keyakinan bahwa kerja merupakan wujud pengabdian dirinya kepada

Allah Swt, kerja merupakan amanat dari Allah Swt yang dipikulkan padanya

serta ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt.

Etos kerja Islami diperlukan dalam proses pendidikan Islam, hal ini di

antaranya dapat dilihat dari domain guru dan siswa. Guru dalam pendidikan

7

Islam misalnya, di antaranya disyaratkan mempunyai kepribadian yang mulia,

seperti mandiri dan dewasa. Kepribadian yang mandiri dan dewasa tentunya

dimiliki oleh seorang yang menghayati etos kerja Islami dalam melaksanakan

setiap aktivitasnya. Seorang guru selanjutnya memiliki tugas selain mengajar

dan mendidik siswa, juga bertugas sebagai fasilitator, motivator, dan manager

atau pemimpin. Guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya tersebut hendaknya

didasarkan pada niat ikhlas karena Allah Swt, memiliki jiwa melayani, serta

memiliki karakter yang patut untuk diteladani siswa, seperti sabar, jujur,

disiplin, bertanggungjawab, percaya diri, konsisten, senang memperkaya

wawasan keilmuan, pandai mengelola waktu dan akhlak mulia yang lainnya.

Karakter seorang guru dalam perspektif pendidikan Islam seperti

dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya

selain harus profesional, juga harus berlandaskan keikhlasan semata-mata

untuk mengabdi kepada Allah Swt. Guru dengan karakter demikian tentu tidak

akan terlahir jika hanya mempraktikkan etos kerja secara umum yang

berorientasi materi saja, melainkan harus dengan mempraktikkan etos kerja

Islami.

Etos kerja Islami hendaknya juga dimiliki oleh siswa, sebab ia adalah

manusia yang akan diupayakan oleh pendidikan Islam agar menjadi insan

kamil. Etos kerja Islami seperti telah diuraikan di atas memiliki karakteristik

insan kamil, yaitu karakter yang utuh jasmani, akal, dan rohani. Etos kerja

Islami memiliki prinsip bahwa bekerja adalah ibadah, oleh karenanya dalam

perspektif siswa bekerja diterjemahkan sebagai belajar, sehingga belajar adalah

8

ibadah. Apabila siswa mampu menempatkan belajar sebagai ibadah, maka ia

akan terdorong untuk menciptakan prestasi yang setinggi-tingginya. Belajar

yang diinsyafi sebagai ibadah bukan hanya akan membuahkan prestasi pada

siswa, tetapi lebih dari itu akan tumbuh karakter insan kamil dalam dirinya.

Siswa dengan karakter insan kamil tentunya membutuhkan peran guru yang

memiliki pandangan utuh dalam bekerja, yaitu guru yang mempraktikkan etos

kerja Islami.

Berdasarkan pada permasalahan tersebut, maka penulis berkeinginan

untuk menggali lebih dalam konsep etos kerja Islami kaitannya dengan

pendidikan Islam, sehingga judul yang penulis ambil dalam penelitian ini yaitu

“Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam”.

B. Fokus Masalah

Fokus masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Konsep Etos

Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam”. Fokus masalah tersebut

dapat dirinci dalam sejumlah pertanyaan berikut:

1. Bagaimana konsep etos kerja Islami?

2. Bagaimana konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam?

3. Bagaimana implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam

pendidikan Islam?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep etos kerja Islami.

9

2. Untuk mengetahui konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan

Islam.

3. Untuk mengetahui implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa

dalam pendidikan Islam.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan atau manfaat dari hasil penelitian yang penulis harapkan

adalah:

1. Teoretik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi khasanah keilmuan pendidikan Islam, antara lain berupa

temuan keselarasan antara konsep etos kerja Islami dengan tujuan

pendidikan Islam yaitu untuk membentuk insan kamil.

2. Praktis

a. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai motivasi untuk

melaksanakan tugas secara profesional karena tumbuh kesadaran dalam

dirinya bahwa tugas yang dipikulnya merupakan amanat dari Allah Swt.

b. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai motivasi untuk

belajar dengan giat, dan lebih jauh lagi timbul dalam dirinya sebuah

semangat untuk berprestasi karena semata-mata untuk beribadah kepada

Allah Swt.

c. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah

wawasan untuk mengupayakan timbulnya etos kerja khususnya terhadap

guru dan siswa.

10

d. Bagi peneliti sendiri, hasil penelitian ini selain dapat mengembangkan

wawasan keilmuan juga sebagai motivasi agar lebih bersemangat dalam

beramal di dunia, utamanya dalam rangka membagi ilmu pengetahuan

kepada orang lain atas dasar ibadah kepada Allah Swt.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian ini didasari oleh beberapa hal pokok

agar dapat digunakan untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah yang

ada dalam penelitian ini, antara lain: jenis penelitian, sumber data, metode

pengumpulan data, dan metode analisis data.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka (library

research), yaitu menghimpun data dari berbagai literatur, tidak terbatas pada

buku-buku tetapi dapat juga berupa bahan-bahan dokumentasi, majalah-

majalah, koran-koran, dan lain-lain. Literatur-literatur tersebut di dalamnya

dapat ditemukan berbagai teori, hukum, dalil, prinsip-prinsip, pendapat,

gagasan, dan lain sebagainya yang dapat dipergunakan untuk menganalisis

dan memecahkan masalah yang diselidiki (Nawawi, 1995:30). Dalam

penelitian ini penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Meneliti literatur-literatur tentang etos kerja Islami dan pendidikan Islam

sebagai objek kajian utama penelitian.

b. Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan berkaitan dengan ”Konsep

Etos Kerja Islami” dalam literatur-literatur tentang etos kerja Islami dan

11

“Konsep Pendidikan Islam” dalam literatur-literatur tentang pendidikan

Islam.

c. Memaparkan berbagai teori tentang “Konsep Etos Kerja Islami” dan

“Konsep Pendidikan Islam”, kemudian ditarik kesimpulan dari beberapa

teori yang sesuai dengan pokok permasalahan dalam penelitian.

d. Menganalisis pokok permasalahan dengan cara menguraikan “Konsep

Etos Kerja Islami”, kemudian mencari perspektif “Pendidikan Islam”

terhadap “Konsep Etos Kerja Islami”, dan implikasi “Etos Kerja Islami

dalam Pendidikan Islam”, khususnya ditinjau dari domain guru dan

siswa.

e. Menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan fokus masalah dalam

penelitian.

2. Sumber Data

Data-data yang terkait dengan penelitian ini dikumpulkan melalui

studi pustaka. Penulis dalam penelitian ini menggunakan 2 sumber data

yaitu sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan dikaji

sebagai bahan rujukan dalam penelitian. Data primer dalam penelitian ini

adalah buku-buku yang membahas etos kerja Islami dan pendidikan

Islam.

12

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data pendukung dari data primer.

Data sekunder diambil dari sumber-sumber yang lain, yaitu dengan cara

mengumpulkan data dari buku, internet, dan informasi lainya yang

berhubungan secara tidak langsung dengan permasalahan dalam

penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode

dokumentasi. Metode dokumentasi dilakukan dengan menyelidiki benda-

benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan,

notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya (Arikunto, 2010:201). Penulis

dalam penelitian ini menggunakan benda-benda tertulis yaitu buku-buku

etos kerja Islami, pendidikan Islam dan buku-buku lainnya yang relevan

dengan permasalahan yang dibahas.

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah:

a. Deduktif

Metode deduktif adalah metode berfikir yang berangkat dari

pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak dari yang umum itu

kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus (Hadi, 1981:42). Metode

deduktif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan berbagai teori

tentang konsep etos kerja Islami dan konsep pendidikan Islam kemudian

13

ditarik kesimpulan dari beberapa teori yang sesuai dengan pokok

permasalahan dalam penelitian.

b. Induktif

Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta-

fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian ditarik

generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1981:42). Metode ini

digunakan untuk membuat kesimpulan hasil penelitian berdasarkan

temuan-temuan dari pembahasan terhadap fokus masalah dalam

penelitian ini.

c. Sintesis

Sintesis yaitu metode untuk mencari kaitan antara satu kategori

dengan kategori lainnya, kemudian kaitan satu kategori dengan kategori

lainnya diberi nama/ label lagi (Moleong, 2009:289). Metode ini

digunakan untuk menganalisis mengenai konsep etos kerja Islami,

perspektif pendidikan Islam terhadap konsep etos kerja Islami, dan

implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam pendidikan

Islam.

F. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul penelitian, maka

penulis memberikan pengertian dan batasan penelitian ini, yaitu:

1. Etos Kerja Islami

Etos kerja adalah sikap terhadap kerja, pandangan terhadap kerja,

kebiasaan kerja, ciri-ciri tentang cara bekerja atau sifat-sifat mengenai cara

14

bekerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok atau suatu bangsa

(Buchori, 1994:6). Etos kerja menurut Asifudin (2004:27) adalah karakter

dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang terpancar dari sikap hidup

manusia yang mendasar terhadapnya. Etos kerja menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan

keyakinan seseorang atau suatu kelompok (Tim Penyusun Kamus Pusat

Bahasa, 2007:309-310).

Etos kerja Islami dapat didefinisikan sebagai sikap kepribadian yang

melahirkan keyakinan sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk

memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga

sebagai manivestasi dari amal sholih dan oleh karenanya mempunyai nilai

ibadah yang sangat luhur (Tasmara, 2002:27). Asifudin (2004:234)

menjabarkan etos kerja Islami sebagai karakter dan kebiasaan manusia

berkenaan dengan kerja, terpancar dari sistem keimanan atau aqidah Islam

yang merupakan sikap hidup mendasar terhadapnya. Etos kerja Islami

menurut Anoraga (2009:29) adalah suatu pandangan dan sikap bahwa kerja

bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi dan kepuasan lahiriah saja,

tetapi yang lebih hakiki kerja merupakan perintah Allah Swt sehingga di

sinilah sumber motivasi yang bisa membimbing dan memberi arahan

semangat pengabdian.

Etos kerja Islami menurut penulis dalam penelitian ini adalah

karakter dan kebiasaan berkaitan dengan kerja yang terpancar dari

keyakinan bahwa bekerja itu bukan sekadar untuk memperoleh kepuasan

15

lahiriah atau duniawi, tetapi yang lebih hakiki bekerja sebagai ibadah dalam

rangka memperoleh ridho Allah Swt.

2. Pendidikan Islam

Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk mengembangkan fitrah

manusia dan sumber daya insani menuju terbentuknya insan kamil sesuai

dengan norma Islam (Achmadi, 1987:9). Pendidikan Islam menurut

Marimba (1989:23) adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan

hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian muslim.

Tafsir (2008:32) menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan

terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin dalam

segala aspeknya.

Berdasarkan pada definisi di atas, maka pengertian pendidikan Islam

menurut penulis dalam penelitian ini adalah bimbingan untuk

mengembangkan fitrah manusia berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam menuju

terbentuknya kepribadian muslim dalam hubungannya dengan Allah Swt,

dengan sesama manusia, serta dengan alam sekitar.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini berisi lima bab untuk membahas Konsep Etos Kerja Islami

dalam Perspektif Pendidikan Islam, sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini memuat tentang latar belakang masalah, fokus

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

16

BAB II KONSEP ETOS KERJA ISLAMI

Pada bab ini membahas tentang etos kerja dan etos kerja Islami.

Pembahasan mengenai etos kerja meliputi pengertian, sumber,

faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja, ciri-ciri etos kerja

tinggi dan etos kerja rendah. Selanjutnya pembahasan mengenai

etos kerja Islami meliputi pengertian, sumber, prinsip-prinsip etos

kerja Islami, faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja Islami,

pedoman sikap pekerja beretos kerja Islami, dan karakteristik etos

kerja Islami.

BAB III KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

Pada bab ini berisi tentang pengertian pendidikan Islam, dasar

pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, karakteristik

pendidikan Islam, dan domain pendidikan Islam.

BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas tentang konsep etos kerja

Islami, konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan

Islam, dan implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa

dalam pendidikan Islam.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi beberapa kesimpulan

dan beberapa saran.

17

BAB II

KONSEP ETOS KERJA ISLAMI

A. Etos Kerja

1. Pengertian Etos Kerja

a. Pengertian Bahasa

Etos kerja secara etimologi berasal dari kata etos dan kerja. Kata

etos berasal dari kata dalam bahasa Yunani ethos yang artinya ialah ciri,

sifat, atau kebiasaan, adat istiadat atau juga kecenderungan moral,

pandangan hidup yang dimiliki seseorang, suatu kelompok atau suatu

bangsa (Buchori, 1994:6). Kata etos dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial

(Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2007:309). Etos dalam kamus

sosiologi memiliki arti nilai-nilai dan ide-ide dari suatu kebudayaan atau

karakter umum suatu kebudayaan (Soekanto, 1983:106). Arti kata etos

dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia adalah watak dasar suatu

masyarakat, sedangkan perwujudan luarnya adalah struktur dan norma

sosial (Wiradi, 2004:218).

Kata kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya kegiatan

melakukan sesuatu; yang dilakukan atau sesuatu yang dilakukan untuk

mencari nafkah; mata pencaharian (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,

2007:554). Kerja dalam arti luas adalah semua bentuk usaha yang

18

dilakukan manusia, baik dalam hal materi atau non materi, intelektual

atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan

atau keakhiratan (Sofyan, 2010:76). Asifudin (2004:58) mengemukakan

arti kerja kepada tiga hal: Pertama, kerja merupakan aktivitas bertujuan

maka dengan sendirinya dilakukan secara sengaja; Kedua, pengertian

kerja dalam konteks ekonomi adalah penyelenggaraan proses produksi

maka merupakan upaya memperoleh hasil. Pengertian kerja di sini

mencakup pula konteks keagamaan, oleh karenanya pengertian hasil

dapat bersifat transenden dan non materil, di samping bersifat materil;

dan Ketiga, kerja itu mencakup kerja bersifat fisik dan non fisik atau

kerja batin. Kesimpulannya, kerja menurut Asifudin (2004:59) berarti

aktivitas bertujuan memperoleh hasil, mencakup kerja lahir dan batin.

Penjelasan mengenai kerja lahir dan batin ini secara lebih rinci adalah

sebagai berikut:

Kerja lahir merupakan aktivitas fisik, anggota badan, termasuk

panca indera seperti melayani pembeli di toko, mencangkul di

kebun, mengajar di sekolah, menjalankan sholat, dan mengawasi

anak buah bekerja. Kerja batin, ada dua macam: pertama, kerja

otak, seperti belajar, berpikir kreatif, memecahkan masalah,

menganalisis, dan mengambil kesimpulan, kedua kerja qalb,

seperti berusaha menguatkan kehendak mencapai cita-cita,

berusaha mencintai pekerjaan dan ilmu pengetahuan, sabar dan

tawakal dalam rangka menghasilkan sesuatu (Asifudin, 2004:59).

As‟ad (2003:47) sejalan dengan pengertian kerja menurut Asifudin

(2004) tersebut, mengemukakan bahwa kerja merupakan aktivitas

manusia baik fisik maupun mental yang pada dasarnya merupakan

bawaan dan mempunyai tujuan yaitu mendapat kepuasan.

19

b. Pengertian Istilah

Pengertian etos kerja secara terminologi dapat dilihat dari

beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Etos kerja menurut

Buchori (1994:6) adalah sikap terhadap kerja, pandangan terhadap kerja,

kebiasaan kerja, ciri-ciri tentang cara bekerja atau sifat-sifat mengenai

cara bekerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok atau suatu bangsa.

Buchori (1994:7) selanjutnya menjelaskan bahwa: “Etos kerja adalah

bagian dari tata nilai (value system)”. Etos kerja menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan

keyakinan seseorang atau suatu kelompok (Tim Penyusun Kamus Pusat

Bahasa, 2007:309-310). Asifudin (2004:27) mengemukakan bahwa etos

kerja merupakan karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang

terpancar dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadapnya. Sikap

hidup mendasar ini terbentuk dari dorongan kebutuhan dan aktualisasi

diri, nilai-nilai yang dianut, serta keyakinan atau ajaran agama (Asifudin,

2004:30).

Etos kerja berdasarkan uraian di atas menurut penulis dapat

disimpulkan sebagai sikap, pandangan, karakter, kebiasaan berkenaan

dengan kerja, atau dapat juga diartikan sebagai semangat yang menjadi ciri

khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok dalam bekerja.

2. Sumber Etos Kerja

Sumber etos kerja menurut kesimpulan Siswanto (2012) berdasarkan

pengamatannya terhadap berbagai hasil penelitian ada tiga hal, yaitu: nilai-

20

nilai religius, nilai-nilai budaya, serta ideologi masyarakat. Penjelasan

mengenai sumber-sumber tersebut adalah sebagai berikut:

a. Nilai-Nilai Religius

Sebagian analisis menguraikan bahwa sumber utama bagi etos

kerja yang baik adalah keyakinan religius, dan agaknya memang terdapat

hubungan yang signifikan antara ajaran-ajaran agama dengan etos kerja

suatu masyarakat. Tesis Weber mengungkapkan adanya pengaruh ajaran

agama, dalam hal ini sekte Protestant Calvinist di Eropa terhadap

kegiatan ekonomi para penganutnya, masalah perkembangan suatu

masyarakat dengan sikap mereka terhadap makna kerja. Doktrin-doktrin

dalam agama Protestant Calvinist menekankan kerja keras adalah suatu

keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan; pekerjaan

sebagai suatu panggilan jiwa bagi manusia, sehingga kerja merupakan

kewajiban hidup yang sakral. Paradigma penting Weber adalah bahwa

masalah development dan underdevelopment dari suatu etnis atau suatu

bangsa adalah masalah dimiliki atau tidaknya etos kerja yang sesuai

dengan pembangunan. Semakin tinggi etos kerja yang dimanifestasikan

dalam kemampuan mereka untuk bekerja keras serta hidup hemat dan

sederhana, semakin besar kemungkinan mereka berhasil dalam usaha-

usaha pembangunan. Jika etnis atau bangsa memiliki etos kerja yang

rendah maka sebaliknya yang akan terjadi (Siswanto, 2012:228).

Penemuan Weber tersebut banyak mempengaruhi ahli-ahli ilmu

sosial yang lain. Bellah adalah salah satu ilmuwan yang terpengaruh.

21

Bellah dalam penelitiannya tentang agama Tokugawa memperlihatkan

bagaimana dua jenis kegiatan religius (Budhisme dan Konfusianisme)

telah menguatkan nilai-nilai dasar tentang prestasi dan partikularisme.

Keduanya menjadikan hubungan-hubungan partikularistik dengan

bersifat sakral dan menitikberatkan pentingnya prestasi yang tinggi

dalam melaksanakan kewajiban sebagai syarat penyelamatan religius

(Siswanto, 2012:229).

Budhisme Zen, menurut Bellah sangat menghargai kegiatan

produktif. “Hari tanpa kerja berarti hari tanpa makan” merupakan aturan

pertama dalam kehidupan kuil Zen. Kerja adalah sesuatu yang suci

karena dipandang paling tidak sebagai sebagian dari upaya membalas

rahmat yang diterima. Hal yang paling utama di dalam hidup seseorang

adalah ketekunan dan loyalitas pada pekerjaan. Di samping itu terdapat

pula nilai-nilai sakral yang sangat dipegang dan dihormati oleh bangsa

Jepang yang terkandung dalam konsep girl (kewajiban), bungen (status),

na (kehormatan), dan jisel (semangat tentang waktu). Akar-akar budaya

ini telah membantu tercapainya sukses Jepang. Kini Jepang merupakan

bangsa non Barat yang telah mentransformasikan dirinya menjadi satu

bangsa industri modern. Sedangkan inti ajaran Konfusianisme yang berisi

keutamaan loyalitas, nasionalisme, kolektivisme sosial, dan kepentingan

akan teknologi, menjadi dasar hidup masyarakat di negara Hongkong,

Korea, Singapura dan Taiwan. Keempat negara tersebut di kawasan Asia

22

dikenal sebagai The Four Small Dragon of Asia (Siswanto, 2012:229-

230).

Ajaran yang merupakan dasar etos kerja bagi agama Hindu,

terkandung dalam dharma. Masyarakat Hindu punya kewajiban untuk

menaati hukum karmayoga, suatu norma yang menyatakan bahwa

bekerja sesuai dengan swadharma masing-masing merupakan inti dari

yadnya (ibadah) (Siswanto, 2012:231).

Agama Islam juga memiliki konsep-konsep yang merupakan

acuan bagi etos kerja. Agama Islam menggariskan syariah (hukum

sakral) sebagai sumber aturan dalam berperilaku beserta sumber panutan

yang mengajarkan kesetiaan dan ketekunan. Hal ini dipertegas oleh

penelitian dan tulisan yang disampaikan, antara lain oleh: Sobari dalam

Siswanto (2012:230) yang berkesimpulan bahwa keshalihan merupakan

sumber energi, pendorong gairah kerja. Ia bukan sekadar lahan subur

bagi tumbuhnya etos kerja, melainkan etos kerja itu sendiri. Muahimin

dalam Siswanto (2012:230) menyatakan bahwa norma dalam Islam

merupakan bagian dari sistem nilai yang mewajibkan manusia untuk

bekerja keras.

b. Nilai-Nilai Budaya

Etos kerja di samping berasal dari nilai-nilai religius, juga

bersumber dari nilai-nilai budaya. Koentjaraningrat dalam Siswanto

(2012:231) mengatakan, bahwa sistem nilai budaya atau cultural value

systems dan sikap atau attitudes menyebabkan timbulnya pola-pola cara

23

berpikir tertentu pada warga suatu masyarakat dan sebaliknya pola-pola

cara berpikir ini yang mempengaruhi tindakan-tindakan dan kelakuan

mereka, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam hal membuat

keputusan-keputusan yang penting dalam hidup. Artinya, sistem nilai

budaya dan sikap yang dimiliki mempengaruhi terhadap etos kerja setiap

individu sebagai anggota masyarakat maupun terhadap suatu masyarakat

sebagai suatu lembaga (Siswanto, 2012:231).

c. Ideologi Masyarakat

Etos kerja di samping berasal dari nilai religius dan nilai-nilai

budaya, juga bersumber dari ideologi yang dimiliki masyarakat.

Masyarakat Barat berhasil mengembangkan industri dengan sains sebagai

dasar utamanya karena cara berpikir mereka yang cenderung

merasionalisasikan persoalan. Masyarakat Jepang demikian pula, mereka

tidak ragu-ragu untuk belajar dan meniru dari orang lain sepanjang itu

bermanfaat dan tidak merugikan mereka.

Bangsa Indonesia juga sesungguhnya telah memiliki pijakan yang

kuat untuk membina etos kerja yang menunjang kemajuan. Bangsa

Indonesia di samping memiliki sikap hidup yang religius, juga

mempunyai Pancasila sebagai dasar-dasar nilai luhur yang tak pernah

kering. Pancasila sebagai etos kebudayaan nasional menegaskan, bahwa

nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat meresapi serta menjiwai

kehidupan manusia Indonesia baik dalam bidang kelembagaannya

maupun dalam kelakuan individualnya. Nilai-nilai yang terkandung

24

dalam Pancasila yaitu budi pekerti, gotong royong, dan keadilan

merupakan dasar etos kerja yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia.

Kini tinggal bagaimana bangsa Indonesia memanfaatkan gagasan-

gagasan etos kerja yang dilandasi nilai luhur dalam Pancasila tersebut ke

dalam gagasan-gagasan pembangunan. Pentingnya etos kerja yang tinggi

bagi keberhasilan pembangunan nasional tidak lagi dapat disangkal

(Siswanto, 2012:231-232).

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai religius yang

bersumber dari agama, nilai-nilai kebudayaan, serta ideologi suatu bangsa

atau masyarakat mampu menjiwai karakter kerja dari suatu kelompok

masyarakat, bangsa maupun perseorangan, sehingga ketiganya menjadi

sumber bagi terbentuknya etos kerja.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja

Manusia adalah makhluk biologis, sosial, intelektual, dan spiritual

yang berjiwa dinamis. Oleh karena itu, manusia dalam hidupnya termasuk

dalam kehidupan kerjanya sering mengalami kesukaran untuk

membebaskan diri dari pengaruh faktor-faktor tertentu, baik yang bersifat

internal maupun eksternal. Faktor yang bersifat internal timbul dari faktor

psikis, misalnya: dorongan kebutuhan, frustasi, suka atau tidak suka,

persepsi, emosi, kemalasan, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang bersifat

eksternal datangnya dari luar, seperti: faktor fisik, lingkungan alam,

pergaulan, budaya, pendidikan, pengalaman dan latihan, keadaan politik,

25

ekonomi, imbalan kerja, serta janji dan ancaman yang bersumber dari ajaran

agama (Asifudin, 2004:33).

Anoraga (2005) mengemukakan ketenangan dan kegairahan bekerja

seorang karyawan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Faktor kepribadian dan kehidupan emosional sendiri, termasuk dalam

faktor ini adalah kesesuaian tugas yang dipegangnya dengan kemampuan

dan minatnya;

b. Faktor luar, yang terdiri dari faktor job security, kemungkinan untuk

mendapat kemajuan, lingkungan kerja, relasi dengan teman sekerja, relasi

dengan pimpinan, dan gaji.

1) Job security, maksudnya pekerjaan yang dipegang merupakan

pekerjaan yang tetap, jadi bukan pekerjaan yang mudah digeser-

geser, diungkit, diganti, dan lain sebagainya. Adanya kemungkinan

akan dirumahkan, diberhentikan, digeser, merupakan faktor pertama

yang mengurangi ketenangan dan kegairahan kerja seorang

karyawan. Artinya karyawan tersebut dalam situasi yang demikian

akan hanya bekerja secara rutin saja, sekadar melakukan tugas sehari-

hari, sedangkan produktivitas, kreativitas, inisiatif sangat kurang

optimal, karena konsentrasi terbagi secara naluriah;

2) Kemungkinan/kesempatan untuk mendapat kemajuan;

3) Kondisi kerja yang menyenangkan. Suasana lingkungan kerja yang

harmonis, tidak tegang merupakan syarat bagi timbulnya gairah. Juga

suasana lingkungan kerja tidaklah suram;

26

4) Good working companion atau rekan sekerja yang baik. Hubungan

sosial yang ada di antara karyawan merupakan faktor yang cukup

penting untuk dapat menimbulkan kegairahan kerja. Adanya

ketegangan yang muncul dalam hubungan ini mudah sekali

menimbulkan akibat yang kurang baik bagi gairah kerja. Dalam hal

ini faktor kepribadian seringkali menonjol, yang merupakan faktor

yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi harmoni

dalam hubungan sosial antarkaryawan, demikian juga latar belakang

kebudayaan dan adat kebiasaan karyawan;

5) Hubungan dengan pimpinan atau faktor pimpinan yang baik.

Pimpinan yang baik ini akan menimbulkan rasa hormat dan

menghargai dari karyawan kepadanya. Dalam hal ini faktor

kepemimpinan merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak

langsung mempengaruhi hubungan baik antara pimpinan dengan

karyawan atau bawahan;

6) Kompensasi, gaji atau imbalan. Faktor ini walaupun pada umumnya

tidak menempati urutan-urutan paling atas, tetapi masih merupakan

faktor yang mudah mempengaruhi ketenangan dan kegairahan kerja

karyawan. Tingginya gaji atau imbalan merupakan sesuatu yang

relatif. Bagi seorang karyawan yang baru akan memasuki suatu

perusahaan, maka imbalan yang akan diterima pada umumnya

diperbandingkan dengan imbalan yang mungkin diterima dari

perusahaan-perusahaan lain. Perbedaan yang mencolok dapat

27

menggoyahkan gairah, tetapi menurut penelitian umumnya masih

bisa dipatahkan oleh faktor kemungkinan maju (Anoraga, 2005:85).

Lebih lanjut As‟ad (2003) menjelaskan faktor-faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja adalah faktor psikologis, sosial, fisik, dan

finansial, yaitu sebagai berikut:

a. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan

karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap

kerja, bakat, dan keterampilan;

b. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi

sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasannya, maupun

karyawan yang berbeda jenis pekerjaan;

c. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik

lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan,

pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan

ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan

karyawan, umur, dan sebagainya;

d. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan

serta kesejahteraan karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji,

jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan,

promosi dan sebagainya (As‟ad, 2003:115-116).

Faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja berdasarkan uraian di

atas menurut penulis dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor-faktor yang

mendorong etos kerja dan faktor-faktor yang menghambat etos kerja.

28

Faktor-faktor yang mendorong maupun menghambat etos kerja dapat dibagi

menjadi faktor yang berasal dari dalam diri yang disebut faktor internal dan

faktor yang berasal dari luar yang disebut faktor eksternal.

a. Faktor yang mendorong etos kerja, yaitu hal-hal atau suatu kondisi yang

dapat mendorong semangat kerja seseorang atau suatu kelompok.

1) Faktor internal pendorong etos kerja, seperti: kondisi kesehatan yang

baik; usia produktif; memiliki kepribadian produktif; kesesuaian

antara tugas atau pekerjaan yang dihadapi dengan kemampuan atau

keterampilannya; terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan khususnya

kebutuhan akan rasa aman, afiliasi dan cinta, pengakuan dan

penghargaan, serta aktualisasi diri; kondisi emosi tertentu seperti

ketika sedang bahagia.

2) Faktor eksternal pendorong etos kerja, seperti: pemimpin yang mampu

memberi inspirasi dan menggugah semangat bawahannya; hubungan

dengan atasan dan dengan sesama teman kerja yang baik; adanya

kesempatan untuk maju atau mendapat promosi; gaji, tunjangan,

jaminan sosial yang sesuai; kondisi fisik lingkungan yang baik, seperti

perlengkapan kerja, pencahayaan, sirkulasi udara.

b. Faktor yang menghambat etos kerja, yaitu hal-hal atau kondisi yang

menghambat semangat kerja seseorang atau suatu kelompok.

1) Faktor internal penghambat etos kerja, seperti: kondisi kesehatan yang

buruk; memiliki kepribadian vested interest yaitu sikap penuh

keraguan, cemas, iri, cemburu, dan suka meremehkan; kebutuhan akan

29

rasa aman, afiliasi dan cinta, penghargaan dan pengakuan serta

aktualisasi diri yang tidak terpenuhi; kejenuhan dan kelelahan yang

dipaksakan.

2) Faktor eksternal penghambat etos kerja, seperti: pemimpin yang tidak

dapat mengorganisir sistem kerja dengan baik dan tidak mampu

menjadi teladan bagi bawahannya; hubungan dengan atasan dan

dengan sesama rekan kerja yang buruk; tidak ada kesempatan untuk

maju atau mendapat promosi; gaji, tunjangan, jaminan sosial yang

tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan; kondisi lingkungan

fisik, seperti penerangan dan sirkulasi udara yang buruk, fasilitas yang

tidak memadai, penataan ruang kerja yang buruk atau tidak tepat, dan

sebagainya.

4. Ciri-Ciri Etos Kerja Tinggi

Ciri-ciri orang yang beretos kerja tinggi menurut Asifudin (2004:38)

pada umumnya memiliki sifat-sifat berikut ini: (1) aktif dan suka bekerja

keras; (2) bersemangat dan hemat; (3) tekun dan profesional; (4) efisien dan

kreatif; (5) jujur, disiplin, dan bertanggungjawab; (6) mandiri; (7) rasional

serta mempunyai visi yang jauh ke depan; (8) percaya diri namun mampu

bekerjasama dengan orang lain; (9) sederhana, tabah dan ulet; (10) sehat

jasmani dan rohani.

Shalih (2009) menjelaskan bahwa karakter orang yang berhasil

mencapai puncak karir dalam dunia kerja adalah sebagai berikut:

30

a. Jujur, yaitu sikap menyampaikan apa adanya tanpa kepentingan untuk

menambah atau mengurangi, lurus hati, bersikap tidak curang, serta

menjauhkan diri dari segala bentuk kebohongan;

b. Berpandangan jauh ke depan, yaitu berpikir ke masa depan; mampu

memprediksi serta mampu merencanakan pencapaian masa depan;

c. Dapat memberi inspirasi, artinya ia mampu mendorong dan menjadi

sumber motivasi bagi munculnya sebuah pemikiran baru pada pihak lain;

d. Kompeten, yaitu kemampuan dan kecakapan diri yang unggul. Artinya ia

memiliki keinginan kuat untuk melakukan hal-hal yang dapat

meningkatkan kemampuan diri, bertekad untuk menguasainya, dan

bersedia mengembangkan segala kemampuan;

e. Adil, yaitu kemampuan seseorang untuk menempatkan sesuatu sesuai

dengan tempatnya, mampu bertindak secara profesional, serta mampu

memperlakukan seseorang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang

dimilikinya;

f. Mendukung, yaitu sikap suka mendorong, memotivasi, dan membantu

pencapaian ambisi, keinginan, dan tujuan orang lain dengan penuh itikad

baik dan membangun persahabatan demi kesuksesan bersama;

g. Berpandangan luas, yaitu kemampuan untuk berpikir, melihat, serta

menilai sesuatu secara menyeluruh dan utuh. Kemampuan tersebut

didukung dengan pertimbangan segala aspek dari berbagai sudut

pandang; baik buruk, benar salah, manfaat mudarat, halal haram, dan

sebagainya;

31

h. Cerdas, artinya mampu berpikir dan bersikap strategis, jeli, visioner, serta

memiliki semangat tinggi dalam mewujudkan tujuan dan keberhasilan;

i. Terus terang, yaitu sikap terbuka dalam mengungkapkan pikiran dan

emosi. Tidak ada keraguan dalam mengungkapkan sikap yang dia yakini

benar, walaupun terasa pahit. Menjauhkan diri dari sikap menggerutu,

menilai sesuatu secara sembunyi-sembunyi, dan dari konflik dalam

bekerjasama dengan orang lain;

j. Berani, yaitu tidak takut terhadap resiko, berani bertanggungjawab, dan

bersedia menerima resiko;

k. Dapat diandalkan, yaitu konsistensi dalam mengapresiasikan kerja dan

kesetiaan dalam mengabdikan diri pada pekerjaan sehingga tumbuhlah

sikap kepercayaan orang lain terhadap dirinya;

l. Dapat bekerjasama, yaitu melakukan pekerjaan dalam sebuah

kebersamaan dengan orang lain secara sinergis, saling membantu, saling

menghormati, penuh kesadaran dan semangat demi kesuksesan bersama;

m. Kreatif, artinya dalam sepak terjangnya memiliki beragam variasi

sehingga tidak membosankan dan selalu memunculkan hal-hal baru;

n. Peduli pada orang lain, yaitu sikap perhatian kepada orang lain dan

memperlakukan mereka dengan rasa segan, hormat, serta menghargai;

o. Tegas, yaitu sikap seseorang yang dibangun atas dasar keyakinan dan

prinsip yang kuat sehingga tidak ragu-ragu dan tidak mudah goyah oleh

berbagai godaan yang menghadang;

32

p. Matang, yaitu sikap dewasa, bijaksana, serta tenang dalam mengambil

keputusan dan menyikapi setiap permasalahan;

q. Berambisi, yaitu berkeinginan keras untuk mencapai sesuatu dengan

penuh semangat dan antusiasme. Orang yang berambisi memiliki rasa

percaya diri tinggi, dinamis, mau mengambil resiko, spontan, bersedia

untuk mengarahkan, mandiri, mempunyai lebih banyak ide

duibandingkan dengan jam kerjanya sendiri;

r. Loyal, yaitu sikap setia kepada seseorang, gagasan, atau pekerjaan. Sikap

ini terkadang disertai sikap berani berkorban untuk organisasi atau

kelompok di mana dia menjadi bagian di dalamnya. Seorang yang loyal

berkomitmen untuk memberikan yang terbaik;

s. Mampu mengendalikan diri, yaitu mampu mengelola emosinya dengan

baik dan dapat menahan untuk tidak menunjukkan emosinya secara

berlebihan;

t. Independen, yaitu sikap mandiri, bebas dari segala pengaruh, tidak

tergantung pada orang lain, dan penuh percaya diri (Shalih, 2009:165-

178).

Ciri-ciri orang yang memiliki etos kerja tinggi berdasarkan uraian di

atas dapat disimpulkan yaitu: aktif dan suka bekerja keras; bersemangat dan

hemat; tekun dan profesional; mandiri dan independen; efisien dan kreatif;

jujur, disiplin, dan bertanggungjawab; loyal; rasional serta mempunyai visi

yang jauh ke depan; percaya diri; berani terus terang dan berani mengambil

33

resiko; dapat bekerjasama dan peduli dengan orang lain, dapat memberi

inspirasi; adil; sederhana; tabah dan ulet; serta sehat jasmani dan rohani.

5. Ciri-Ciri Etos Kerja Rendah

Individu atau kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja yang

rendah atau negatif, maka akan menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri;

b. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia;

c. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh

kesenangan;

d. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan;

e. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup (Mutaqin, 2010:15).

Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat,

akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan

situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja

yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyarat yang mutlak, yang harus

ditumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka

pandangan dan sikap kepada manusia untuk menilai tinggi terhadap kerja

keras dan sungguh-sungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-

asalan, tidak berorientasi terhadap mutu atau kualitas yang semestinya.

Nitisemito dalam Mutaqin (2010:15) mengatakan bahwa indikasi turun atau

rendahnya semangat dan kegairahan kerja antara lain:

a. Turun atau rendahnya produktivitas;

b. Tingkat kemangkiran naik;

34

c. Tingkat perputaran buruh yang tinggi;

d. Tingkat kerusuhan yang naik;

e. Kegelisahan dimana-mana;

f. Tuntutan yang sering terjadi; dan

g. Pemogokan.

Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-

ciri etos kerja yang rendah yaitu berupa pandangan-pandangan yang negatif

terhadap kerja, seperti: kerja dipandang sebagai beban, kerja merupakan

penghambat kesenangan, kerja dilakukan dengan terpaksa dan dihayati

hanya sebagai bentuk rutinitas. Etos kerja rendah juga dapat dilihat dari

indikasi-indikasi praktek di lapangan, seperti: rendahnya produktivitas,

kemangkiran naik, terjadi kerusuhanan dan kegelisahan dimana-mana,

tuntutan yang sering terjadi, dan pemogokan.

B. Etos Kerja Islami

1. Pengertian Etos Kerja Islami

a. Pengertian Etos Kerja dalam Bahasa Al-Qur’an

Etos kerja Islami dalam bahasa Al-Qur‟an termuat dalam istilah

amal shalih. Kata amal (عول) biasa diterjemahkan “pekerjaan”. Kata ini

digunakan oleh Al-Qur‟an untuk menggambarkan perbuatan yang

dilakukan dengan sadar oleh manusia dan jin (Shihab, 1997:479).

Kemudian kata shalih (صالح) terambil dari akar kata shaluha (صلح)

yang dalam kamus-kamus bahasa Al-Qur'an dijelaskan maknanya

35

sebagai antonim kata fasid (فاسد), yang berarti “rusak”. Dengan

demikian, kata shalih diartikan sebagai “tiadanya/terhentinya kerusakan

(Shihab, 1997:479).

Shalih juga diartikan sebagai “bermanfaat dan sesuai”. Amal

shalih adalah pekerjaan yang apabila dilakukan, maka suatu kerusakan

akan terhenti atau menjadi tiada; atau dapat juga diartikan sebagai suatu

pekerjaan yang dengan melakukannya diperoleh manfaat dan kesesuaian.

Seorang yang shalih adalah yang aktivitasnya mengakibatkan

terhindarnya mudarat, atau yang pekerjaannya memberikan manfaat

kepada pihak-pihak lain, dan atau pekerjaannya sesuai dengan petunjuk-

petunjuk Ilahi, akal sehat, dan adat istiadat yang baik (Shihab, 1997:480).

Kesimpulannya, etos kerja Islami yang secara bahasa Al-Qur‟an yaitu

amal shalih, merupakan karakter berkaitan dengan kerja dimana

pekerjaan itu harus dilakukan dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi,

akal sehat, dan adat istiadat yang baik, serta menghindari segala bentuk

kemudaratan.

Etos kerja Islami menurut Asifudin (2004) digali dan dirumuskan

berdasarkan konsep iman, ilmu dan amal shalih. Suatu kerja atau

perbuatan meskipun memberikan manfaat keduniaan bagi orang lain,

namun tanpa disertai iman pada pelakunya, kerja itu tidak akan

membuahkan pahala di akhirat. Allah Swt bila menyebut perkataan الذيي

عولا dalam ayat Al-Qur‟an selalu menyambungkannya dengan اها

36

Sebagaimana tercantum dalam firman Allah Swt sebagai .الصالحاث

berikut:

Artinya:

Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam

kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan

amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran

dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-

„Asr: 1-3).

Artinya:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan

amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka

karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai- sungai

di dalam syurga yang penuh kenikmatan. (Q.S. Yunus: 9).

Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan bahwa iman dan amal shalih

merupakan satu rangkaian yang berkaitan erat dan tidak terpisahkan.

Tidak ada amal shalih tanpa iman, dan iman akan menjadi mandul bila

tidak melahirkan amal shalih. Ilmu ternyata menjadi landasan sekaligus

jembatan yang harus ada bagi iman dan amal shalih. Ilmu adalah bagian

dari kewajiban yang bersifat keagamaan karena diwajibkan bagi setiap

muslim untuk mencarinya. Maka dengan kalimat yang lain, menurut

Kastolani dan Hafidz (2009) iman adalah pondasi akhlak yang mulia,

37

akhlak yang mulia menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar

menjadi pondasi amal yang shalih.

b. Pengertian Istilah

Etos kerja Islami dapat didefinisikan sebagai sikap kepribadian

yang melahirkan keyakinan sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan

saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya,

melainkan juga sebagai manifestasi dari amal shalih dan oleh karenanya

mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur (Tasmara, 2002:27). Asifudin

(2004:234) menjabarkan etos kerja Islami sebagai karakter dan kebiasaan

manusia berkenaan dengan kerja, terpancar dari sistem keimanan atau

aqidah Islam yang merupakan sikap hidup mendasar terhadapnya. Etos

kerja Islami menurut Anoraga (2009:29) adalah suatu pandangan dan

sikap bahwa kerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi dan

kepuasan lahiriah saja, tetapi yang lebih hakiki kerja merupakan perintah

Allah Swt sehingga di sinilah sumber motivasi yang bisa membimbing

dan memberi arahan semangat pengabdian.

Etos kerja Islami berdasarkan uraian mengenai pengertian secara

bahasa dan istilah di atas dapat disimpulkan sebagai karakter dan kebiasaan

berkaitan dengan kerja yang terpancar dari keyakinan bahwa bekerja itu

bukan sekadar untuk memperoleh kepuasan lahiriah atau duniawi, tetapi

yang lebih hakiki bekerja sebagai ibadah dalam rangka memperoleh ridho

Allah Swt.

38

2. Sumber Etos Kerja Islami

Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang

berorientasi bukan hanya sekadar pada hasil materi tetapi lebih dalam dari

itu bekerja merupakan ibadah dalam rangka meraih ridho Allah Swt. Ridho

Allah Swt merupakan tujuan tertinggi bagi seorang yang beretos kerja

Islami. Oleh karena itu, munculnya etos kerja Islami pada diri seseorang

bersumber dari keimanan kepada Allah Swt. Manusia yang beriman maka

akan meyakini dengan sepenuh hati dan melaksanakan apa yang

diperintahkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Perintah-perintah untuk

beramal atau bekerja beserta keutamaan-keutamaannya banyak dimuat

dalam Al-Qur‟an dan hadits. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang memuat tentang

perintah dan keutamaan bekerja di antaranya akan diuraikan di bawah ini:

Artinya:

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga

mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S.

Ar-Ra‟du: 11).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa nasib atau keadaan manusia tidak

akan berubah menjadi lebih baik apabila mereka tidak mengubahnya dengan

tangan mereka sendiri, yaitu dengan bekerja untuk memperbaiki

kehidupannya sendiri, orang-orang di sekitarnya, maupun untuk

lingkungannya. Apa yang telah diusahakannya, maka itulah yang akan

didapatkannya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah An-Najm ayat

39-42 berikut ini:

39

Artinya:

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa

yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan

diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya

dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada

Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). (Q.S. An-Najm: 39-42).

Manusia tidak memperoleh ganjaran kecuali terhadap pekerjaan dan

usahanya sendiri. Tidak pula pekerjaan orang lain dapat ditambahkan

kepadanya, juga pekerjaannya tidak dapat dikurangi dan diberikan kepada

orang lain. Kehidupan dunia merupakan kesempatan yang diberikan kepada

manusia untuk bekerja. Jika ia meninggal dunia, hilanglah kesempatan itu

dan terputuslah pekerjaannya atau amalnya, kecuali tiga perkara yaitu anak

shalih yang mendo‟akan orang tuanya, sedekah jariyah, dan ilmu yang

bermanfaat. Sedikit apapun pekerjaan seseorang, tidak akan disia-siakan

oleh Allah Swt. Dengan konsep ini, nilai-nilai kemanusiaan akan terealisir

dalam diri manusia yang didasarkan atas eksistensinya sebagai makhluk

utama, bertanggungjawab, dan independen. Ia diberi kesempatan bekerja

dan memanen hasilnya. Maka akan terwujudlah ketentraman yang

bersendikan keadilan (Mursi, 1997:60).

Allah Swt dalam penggalan ayat di atas berfirman: Dan bahwasanya

kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). Maksud ayat tersebut,

tidak ada jalan kecuali jalan yang akan berakhir pada Tuhan, tidak ada

tempat mencari keselamatan diri kecuali kepada-Nya, dan tidak ada tempat

40

kembali kecuali rumah-Nya, baik berupa kenikmatan surga maupun

kesengsaraan neraka. Esensi ayat tersbut pada hakikatnya mempunyai nilai-

nilai dan dampak-dampak bagi proses pembentukan emosi manusia. Ketika

manusia merasa bahwa akhir sari segala sesuatu adalah Allah Swt, maka

sejak perjalanannya ia akan menyadari tentang akhir dari kehidupannya.

Nilai-nilai tersebut akan mendasari setiap pekerjaannya dan kemudian ia

akan berusaha menyelaraskan diri dengan nilai-nilai tersebut (Mursi,

1997:60).

Manusia diberikan bekal berupa kesempurnaan fisik, akal dan juga

ruh, maka bekal tersebut harus digunakan untuk bekerja dengan penuh

kesungguhan sehingga dapat meninggikan martabatnya di mata Allah Swt

dan di mata sesama manusia. Allah Swt juga menyediakan hamparan

kekayaan alam di bumi untuk diolah supaya dapat menunjang kehidupan

manusia.

Artinya:

Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka

adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami

keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka

makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan

anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya

mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan

41

oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?

(Q.S. Yasin: 33-35).

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt telah menganugerahkan

potensi-potensi di lingkungan alam untuk diolah dan dimanfaat manusia.

Kekayaan alam yang menghampar barulah sebuah potensi dan belum akan

mendatangkan manfaat yang berarti apabila manusia tidak bekerja untuk

mengolahnya.

Artinya:

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di

muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-

banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu‟ah: 10).

Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah Swt menghendaki

keseimbangan dalam kehidupan manusia. Allah Swt menghendaki

manusia memikirkan akhirat dan juga memikirkan dunia, Allah Swt

menghendaki keduanya diraih dengan cara yang seimbang tanpa memisah-

misahkan keduanya. Dalam mengerjakan segala urusan akhirat maupun

urusan dunia, Allah Swt menganjurkan untuk mengerjakannya secara

efisien dan menghargai waktu. Sebagaimana diperintahkan dalam surah

Al-Insyirah ayat 7 yang berbunyi:

Artinya:

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),

kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Q.S.

Al-Insyirah: 7).

42

. ...

Artinya:

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia

menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam

membuat) kebaikan ... . (Q.S. Al-Baqarah:148).

Allah Swt dalam surah Al-Baqarah ayat 148 tersebut

memerintahkan agar manusia berlomba-lomba dalam beramal shalih. Hal

itu menunjukkan bahwa Islam memberikan dorongan yang kuat kepada

para pemeluknya untuk bekerja giat sehingga membolehkan bahkan

menyuruh mereka untuk berkompetisi dan melakukan pekerjaan-pekerjaan

yang baik, tentunya dengan cara yang baik dan sehat.

Artinya:

Dan (orang-orang beriman yaitu) orang-orang yang memelihara

amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Q.S. Al-

Mu‟minun: 8).

Amanat dalam ayat tersebut diartikan sebagai apa saja yang

diamanatkan kepada mereka (orang-orang beriman). Adapun janji adalah

semua janji mereka, baik kepada Allah Swt maupun kepada sesama

manusia. Janji dan amanah dalam ayat tersebut mencakup segala sesuatu

yang menjadi konsensus tugas dan tanggung jawab manusia, baik dalam

urusan agama maupun urusan dunia. Sedangkan amanah lebih luas

daripada janji, maka setiap janji pasti amanah (Asifudin, 2004:126).

Amanah pada dasarnya dapat berupa apa saja yang diamanatkan oleh

Allah Swt. Jadi, amanah dapat berupa amaliah wajib agar diamalkan,

amaliah yang dilarang agar dihindari, dapat berupa benda konkrit seperti

43

tangan, kaki, mulut, panca indera, anak, isteri dan suami; dan dapat berupa

sesuatu yang abstrak seperti ilmu, kekuasaan, jabatan, kepercayaan, waktu,

pekerjaan, dan lain sebagainya (Asifudin, 2004:127). Kesimpulannya,

pekerjaan adalah termasuk amanah Allah Swt yang dititipkan kepada

manusia, oleh karena itu manusia harus bertanggung jawab terhadap

pekerjaannya.

Perintah dan keutamaan-keutamaan bekerja selain dimuat dalam

Al-Qur‟an, juga terdapat dalam hadits Rasulullah saw, misalnya hadits

yang mengajarkan tentang kerja keras berikut ini:

ل هللا صلى هللا علي سلن −رضي هللا عنه −عي الوقدام عي رس

، قال: ها أكل أحد طعاها قط خيزا هي أى يأكل هي عول يد

د دا إى بى هللا .كاى يأكل هي عول يد − −عليه السالم

Artinya:

Dari Al-Miqdam ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda:

“Tidak seorangpun makan makanan yang lebih baik daripada

memakan hasil kerja tangannya. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud

as. makan dari hasil kerja tangannya”. (H.R. Bukhari, no. 979).

Hadits tersebut menyiratkan pesan bahwa dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya manusia diperintahkan untuk bekerja, karena sesuatu

yang diperoleh atas usaha atau kerja dari tangannya sendiri adalah lebih

mulia kedudukannya dibanding dengan meminta-minta. Perbuatan ini

bahkan telah dicontohkan oleh para Nabi seperti Nabi Daud as.

Berdasarkan pada uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

Al-Qur‟an dan hadits memerintahkan manusia untuk bekerja.

44

Kebahagiaaan atau kesengsaraan yang diterima manusia baik di dunia

maupun kelak di akhirat tergantung dari usaha, amal atau kerja yang

dilakukannya. Manusia diberikan kesempatan untuk beramal atau bekerja

di dunia hanya sebentar saja, ketika maut telah menjemput maka tak akan

ada yang dapat diusahakannya lagi. Oleh karenanya, hamparan kekayaan

alam yang dianugerahkan Allah Swt di bumi harus diolah dengan sebaik-

baiknya sebagai sarana memperoleh bekal akhirat. Bekerja adalah amanah,

maka dianjurkan agar bekerja dengan sungguh-sungguh dan berkompetisi

secara sehat serta menghargai waktu. Nilai-nilai inilah yang di antaranya

dapat menjadi sumber keyakinan umat muslim untuk bersemangat dalam

bekerja dengan menghayati etos kerja Islami.

3. Prinsip-prinsip Etos Kerja Islami

a. Kerja adalah Ibadah

Ibadah menurut bahasa berarti taat, tunduk, merendahkan diri dan

menghambakan diri, sedangkan pengertian ibadah menurut istilah berarti

penghambaan diri yang sepenuhnya untuk mencapai keridhoan Allah Swt

(Tono, dkk., 1998:2). Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan

menjadi dua, yaitu ibadah mahdhah atau ibadah ritual atau ibadah khusus

dan ibadah grairu mahdhah atau ibadah luar ritual atau ibadah umum

(Syahyuti, 2011:47).

Ibadah mahdhah memiliki tiga prinsip: keberadaannya harus

berdasarkan adanya perintah dalil, tata caranya harus mencontoh

Rasulullah saw., dan asasnya taat. Tata pelaksanaannya tidak dapat

45

diubah dan tidak dapat pula diimprovisasi. Ibadah mahdhah sering pula

disebut sebagi ibadah dalam arti sempit, yaitu aktivitas atau perbuatan

yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Kondisi, cara, tahapan, dan

urutannya telah ditentukan. Ibadah ini menjalin relasi seorang hamba

dengan Allah Swt secara langsung tanpa dicampuri hubungannya dengan

manusia lain. Ibadah mahdhah ini contohnya seperti: seperti wudhu,

tayamum, shalat, puasa, haji (Syahyuti, 2011:47).

Ibadah ghairu mahdhah di samping memiliki dimensi hubungan

hamba dengan Allah Swt, juga mencakup hubungan atau interaksi antara

hamba dengan makhluk lainnya atau relasi horizontal dengan lingkungan

sekitarnya. Prinsip-prinsip ibadah ini adalah tata pelaksanaannya tidak

kaku, bersifat rasional, dan berasas manfaat. Selama hal itu bermanfaat,

maka boleh dilakukan. Yang tergolong ibadah ini adalah segala bentuk

kebaikan untuk menjaga hidup, seperti makan, minum, mencari nafkah,

dan seterusnya. Ibadah-ibadah muamalah ini berbentuk interaksi

antarmanusia yang dijalankan secara sungguh-sungguh dengan

berpedoman pada Al-Qur‟an dan hadits. Jika dalam ibadah mahdhah

dilarang untuk berkreasi, dalam muamalah manusia sangat dianjurkan

untuk berkreasi sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang telah

ditetapkan (Syahyuti, 2011:48). Walaupun antara ibadah mahdhah dan

ibadah ghairu mahdhah memiliki perbedaan dalam tata cara

pelaksanaannya, namun keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu

46

mencari ridho Allah Swt. Oleh karena itu, keduanya memiliki kedudukan

yang sama penting.

Bekerja merupakan suatu upaya manusia untuk mempertahankan

kelangsungan hidupnya. Bekerja dalam pandangan Islam bukan sekedar

untuk mendapatkan materi, tetapi lebih jauh dan lebih dalam. Bekerja

sebagai upaya mewujudkan firman Allah Swt sebagai bagian dari

keimanannya. Dengan demikian bekerja sebagai aktivitas yang mulia.

Bekerja adalah sarana untuk melaksanakan perintah-perintah Allah Swt.

Zakat, infaq, dan sedekah tidak mungkin dapat terlaksana jika kita tidak

bekerja. Bekerja juga merupakan wujud syukur atas nikmat dan karunia

Allah Swt kepada manusia di dunia ini. Lebih jauh lagi, bekerja

merupakan wujud pemenuhan perintah Allah Swt atas amanat yang

dibebankan kepada manusia yaitu sebagai khalifah di bumi, yang

bertugas untuk mengolah seluruh potensi alam raya ini untuk

kemakmuran manusia. Oleh karena itu, bekerja dalam pandangan Islam

termasuk ibadah, dalam artian segala aktivitas yang dilakukan bernilai

kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari‟at, serta ditujukan dalam

rangka mencari ridho-Nya.

Prinsip ini artinya bekerja bukan sekadar berorientasi pada materi,

tetapi juga imateri. Bekerja akan bernilai ibadah apabila dilakukan

dengan ikhlas dilandasi niat semata-mata mencari keridhoan Allah Swt.

Hasil kerja berupa materi bukanlah tujuan akhir, melainkan hasil tersebut

adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga akan dapat

47

melaksanakan perintah-perintah Allah Swt selama di dunia termasuk

melaksanakan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, haji. Ibadah-ibadah

mahdhah tersebut tidak mungkin dapat terlaksana apabila manusia tidak

bekerja. Kerja dengan penuh keikhlasan tentunya akan dihiasi dengan

kebaikan-kebaikan disetiap langkahnya. Pada hakikatnya, setiap kerja

yang dilakukan dengan kebaikan, sesuai perintah Allah Swt dan tidak

melanggar ketentuan-ketentuan yang telah dibuat-Nya serta bertujuan

untuk meraih ridho-Nya adalah termasuk ibadah.

b. Kerja Didasarkan Prinsip Keseimbangan

Hakikat ajaran Islam melarang sikap dan perilaku keterlaluan

dalam beragama. Nabi Muhammad saw. sendiri dalam kehidupan sehari-

harinya selalu memanfaatkan waktu untuk melakukan kerja dan

perbuatan mulia, baik berupa ibadah mahdhah, menunaikan kewajiban

untuk diri sendiri dan keluarga, berbuat baik kepada sesama, dakwah,

mengajar, dan lain-lain (Asifudin, 2004:64). Larangan Rasulullah saw.

tentang perilaku berlebihan dalam beragama ini termuat dalam hadits

berikut:

عن انس بن مالك رض قال: جاء ثالثة رهط الى بيوت ازواج

ا اخبروا بي ص. فلم بي ص يسالون عن عبادة الن هم ,الن كان

بي ص؟ قد غ , تقالوها م من ما له ر ف فقالوا: و اين نحن من الن تقد

ر ا انا ؟ذنبه وما تأخ و قال ,فانى اصلى الليل ابدا ,قال احدهم: ام

هر و ال افطر ساء ,آخر: انا اصوم الد و قال آخر: انا اعتزل الن

48

ج ابدا انتم الذين قلتم :هللا ص اليهم فقال فجاء رسول ,فال اتزو

لكنى اصوم و ,كذا و كذا؟ اما و هللا انى الخشاكم هلل و اتقاكم له

ساء ,افطر و اصلى و ارقد ج الن تى ,و اتزو فمن رغب عن سن

نى.فليس م

Artinya:

Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: “Ada tiga orang sahabat

yang mendatangi rumah isteri-isteri Rasulullah saw. untuk

bertanya tentang ibadah Nabi saw. Ketika mereka diberitahukan

tentang ibadahnya seakan-akan mereka menganggapnya sedikit,

mereka berkata: „Dimana posisi kita dibanding Rasulullah saw.?.

Allah Swt telah mengampuni baginya dosa-dosanya yang

terdahulu dan yang akan datang‟. Salah seorang mereka berkata:

„Adapun aku akan shalat malam selamanya‟. Orang yang lain

berkata: „Aku akan puasa sepanjang masa dan tak pernah

berhenti puasa‟. Orang yang satunya lagi berkata: „Aku akan

menghindari perempuan dan tidak menikah selamanya‟. Maka

Rasulullah saw. kemudian mendatanginya dan berkata: „Apakah

kalian yang berkata begini dan begini? Demi Allah Swt,

sesungguhnya akulah yang paling takut kepada Allah Swt. dan

paling bertakwa kepada-Nya, hanya saja aku berpuasa dan

berbuka, aku shalat dan aku tidur dan aku menikahi wanita-

wanita. Maka barang siapa yang tidak senang terhadap

sunnahku, maka ia bukanlah golonganku‟.” (H.R. Bukhari, no.

2.039).

Prinsip keseimbangan ini apabila dikaikan dengan etos kerja

Islami menurut Asifudin (2004:57) menimbulkan implikasi yang

memberikan dorongan amat kuat agar kerja sebagai ibadah disikapi dan

diperlakukan sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (ibadah mahdhah).

Posisi aktivitas keduniaan yang disukai Allah Swt adalah sama-sama

diperintahkannya, seperti halnya penegasan diperintahkannya shalat,

zakat, puasa, dan sebagainya. Oleh karena itu, etos kerja yang baik di

49

berbagai bidang kehidupan juga wajib ditegakkan dalam kehidupan

sehari-hari umat Islam.

Prinsip keseimbangan dalam etos kerja Islami menurut penulis

yaitu manusia dalam hidupnya di dunia bukan hanya sekadar

mementingkan ibadah ritual semata, melainkan juga harus bekerja

dengan penuh kesungguhan, karena bekerja termasuk ibadah yang sama-

sama diperintahkan oleh Allah Swt. Bekerja merupakan sarana atau alat

untuk mengumpulkan bekal di akhirat, selain itu dengan bekerja maka

ibadah mahdhah dapat terlaksana, seperti halnya haji membutuhkan

biaya untuk dapat melaksanakannya. Biaya tersebut tentunya didapat

melalui bekerja. Prinsip ini juga berimplikasi pada dipraktikkannya etos

kerja Islami dalam berbagai aspek kehidupan, baik urusan dunia dan

akhirat, jasmani dan rohani, intelektual dan fisik, dan pasangan-pasangan

lainnya secara menyeluruh sesuai porsinya.

c. Kerja Dilandasi Ilmu

Sumber ilmu yang mendasari etos kerja Islami adalah wahyu dan

keteraturan hukum alam yang merupakan hasil penelitian akal. Ilmu

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yaitu sebagai landasan atau

jembatan iman dan aman shalih, maka ilmu aqly dipandang amat penting

dalam Islam. Akal menjangkau daya yang dapat dipakai untuk

memahami realitas konkrit dan ghaib. Realitas konkrit dipahami oleh

pikiran, sedangkan realitas ghaib atau spiritual oleh qalbu. Pengertian

seperti ini penting untuk dipahami supaya orang tidak lagi

50

mempertentangkan akal dengan iman, karena pemahaman dengan akal

dapat mencakup pemberdayaan iman terhadap objek yang memang harus

diimani. Akal melakukan penalaran sehingga sampailah pada kesimpulan

bahwa alam ini diatur oleh Tuhan dengan hukum alam yang diciptakan-

Nya. Hukum alam ini dalam bahasa Islam disebut sebagai sunnatullah

(Asifudin, 2004:114).

Keilmuan sehubungan dengan sunnatullah ini secara langsung

atau tidak langsung menuntut serta medidik orang Islam agar bekerja

rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek, menggunakan

perencanaan yang baik, adil, teratur, disiplin, dan profesional, serta

menghindari sikap-sikap yang merupakan lawan atau kebalikan dari

sikap-sikap tersebut.

d. Kerja Dijiwai Semangat Jihad dan Tauhid

Jihad secara etimologi Bahasa Arab adalah berasal dari kata

jaahada, yujaahidu, mujaahadan dan jihaadan yang artinya bekerja

sepenuh hati (Mansur, 1982:9). Jihad menurut Tasmara (2002:36) berarti

suatu sikap yang sungguh-sungguh dalam berikhtiar dengan

mengerahkan seluruh potensi diri untuk mencapai suatu tujuan atau cita-

cita. Faridi (1982:138) mengemukakan mengenai arti jihad sebagai

perjuangan atau bersungguh-sungguh, yaitu segala macam bentuk usaha

yang dilakukan untuk menegakkan yang benar dan menumbangkan yang

salah.

51

Jihad apabila diterjemahkan sebagai bersungguh-sungguh,

semangat tersebut merupakan ruh yang universal. Bersifat universal

artinya tidak hanya orang Islam yang mempunyai semangat

kesungguhan tersebut. Orang kafir sekalipun pasti akan memperoleh apa

yang ia inginkan selama memiliki kesungguhan untuk berusaha. Bedanya

dengan semangat kerja dalam Islam ialah kaitannya dengan niat serta

cara meraihnya. Bagi orang Islam, bekerja merupakan kewajiban yang

hakiki dalam rangka menggapai ridho Allah Swt sehingga kesadaran

seperti ini disebut sebagai jihad fi sabilillah. Orang kafir bersungguh-

sungguh dalam bekerja untuk kesenangan duniawi semata, bahkan

bersungguh-sungguh untuk memuaskan nafsu (Tasmara, 2002:37).

Bangsa Jepang adalah salah satu contoh bangsa yang memiliki semangat

jihad yang mereka terjemahkan dalam satu kata magis: keizen. Keizen

adalah semangat untuk terus-menerus melakukan perbaikan yang

melibatkan setiap orang, mulai dari pimpinan puncak, para manager,

sampai pada pekerja lapangan (Tasmara, 2002:41). Keizen harus

diterapkan juga oleh orang Islam dalam segala urusannya baik dunia dan

akhirat, jasmani dan rohani, serta intelektual dan fisik dengan niat

mencari ridho Allah dalam bentuk kemasan jihad.

Makna jihad dalam kaitannya dengan bekerja, berikhtiar, atau

mewujudkan suatu cita-cita menjadi satu kekuatan yang secara abadi

harus terus menerus menyala serta digali potensinya sehingga mampu

mengeluarkan energi yang signifikan. Jihad bukan sekedar teriakan

52

penuh semangat, melainkan ada muatan batin yang mendorong

kesungguhan luar biasa untuk melahirkan perbuatan kreatif (Tasmara,

2002:39). Semangat jihad inilah yang mampu menjadi pendorong bagi

seorang muslim agar mewujudkan apa yang menjadi angan-angan,

harapan ataupun ide-ide pemikirannya menjadi perbuatan nyata.

Semangat jihad adalah jiwa etos kerja seorang muslim yang

berfungsi sebagai sumber motivasi untuk beramal shalih. Jihad

merupakan bagian dari 3 rangkaian mutiara yang berulang kali

disebutkan dalam Al-Qur‟an, yaitu: iman, hijrah, dan jihad. Seorang yang

beriman tidak mungkin puas dengan keadaan yang statis. Dia ingin selalu

menunjukkan perbaikan dari waktu ke waktu, sebagaimana pesan-pesan

yang disampaikan dalam makna hijrah. Akan tetapi kualitas iman dan

semangat perubahan tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya

jihad, yaitu kesungguhan untuk membuktikannya dalam kehidupan nyata

(Tasmara, 2002:39). Jihad adalah penggerak dan pendorong bagi seorang

muslim untuk mengubah diri dan dunia dalam rangka meraih ridho Allah

Swt.

Jihad memiliki fondasi ketauhidan bahwa tidak ada Ilah

melainkan Allah Swt. Ilah berarti sesuatu yang disembah, sesuatu yang

menguasai diri, yang dapat memberikan perlindungan sehingga

menyebabkan diri terikat kepanya. Ilah bisa berarti apa saja yang

menguasai diri manusia dengan begitu hebatnya sehingga menjadi

belenggu bagi dirinya. Harta, tahta, dan wanita bisa menjadi Ilah apabila

53

manusia sangat bergantung padanya dan seluruh hidupnya terpenjara

oleh tujuan terhadapnya (Tasmara, 2002:47).

Ilah bagi seorang yang memiliki etos kerja Islami tentu hanya

Allah Swt semata. Ikrar ketauhidan ini merupakan cara Allah untuk

memuliakan sekaligus membebaskan manusia dari segala bentuk

penghambaan serta keyakinan yang akan meruntuhkan martabat dirinya

sebagai makhluk yang memiliki potensi rohani khususnya pada berbagai

bentuk tahayul, ideologi, science, dan bahkan teknologi (Tasmara,

1994:19). Ikrar ketauhidan ini menjadi daya pendorong seorang muslim

untuk terus berkreasi tanpa merasa takut terhadap segala pemikiran yang

bersifat tahayul (Tasmara, 2002:43). Tauhid ini melahirkan dan

mendorong etos kerja melalui cara dirinya berani untuk berpikir secara

kritis dan merdeka, hati yang lapang, dan karenanya tidak merasa

tertekan oleh apapun. Sikap yang mandiri dan bersih dari takhayul

mendorong seorang yang beretos kerja Islami untuk tampil menjadi

pribadi yang sangat proaktif, penuh inisiatif dan kreativitas (Tasmara,

2002:44). Tauhid melahirkan pula “kesadaran diri” (self awarness) yang

sangat kuat sehingga seorang yang ber-etos kerja Islami mampu

mengendalikan diri, mampu mendayagunakan seluruh potensi dirinya

secara proporsional, dan mampu melakukan pilihan-pilihan dengan

memakai tolok ukur kebenaran yang diyakini (Tasmara, 2002:45).

Manusia mempunyai fitrah sebagai subjek (khalifatullah fil

ardhi), sehingga dia tidak boleh melawan fitrahnya sendiri untuk menjadi

54

objek benda lain selain Allah Swt. Seorang pribadi yang memiliki etos

kerja Islami tersebut sangat bahagia untuk menjadi pelayan Allah Swt.

Kalimat iyyaaka na‟budu yang ia ucapakan menjadi semacam gelora

untuk mengerahkan seluruh potensi dirinya untuk membuktikan

pelayanannya kepada Allah Swt. Semangat iyyaaka na‟budu menjadi

motivasi besar di dalam hatinya untuk melayani, mengembangkan, dan

memberikan manfaat bagi seluruh makhluk (Tasmara, 2002:47). Mereka

yang ber-etos kerja Islami memiliki prinsip hidup yaitu tauhid: prinsip

yang teguh dan tidak tergoyahkan karena akarnya menghujam ke seluruh

sanubarinya, kemudian tampak pada amal shalih yang memberikan

rahmat bagi alam sekitarnya (Tasmara, 2002:49). Semangat jihad yang

tumbuh dari tauhid inilah yang seharusnya menjadi etos kerja setiap

muslim dimanapun berada.

Jihad dan tauhid sebagai jiwa etos kerja Islami menurut penulis

dalam penelitian ini adalah sebuah kesungguhan, semangat yang luar

biasa yang mendorong seseorang untuk beramal shalih dalam rangka

memperoleh ridho Allah Swt. Semangat yang luar biasa ini dilandasi oleh

keyakinan akan tidak adanya Ilah melainkan Allah Swt sehingga

termanifestasi pada kebebasan untuk bekerja atau berkreasi dengan

mendayagunakan seluruh potensi yang diberikan Allah Swt secara

proporsional tanpa takut oleh apapun kecuali Allah Swt. Etos kerja Islami

dengan dijiwai jihad dan tauhid ini berbuah pada keberanian untuk

55

berpikir maupun bekerja secara kritis, kreatif dan merdeka dilandasi

pengabdian penuh kepada Allah Swt.

e. Kerja dengan Meneladani Sifat-sifat Ilahi serta Mengikuti Petunjuk-

petunjuk-Nya.

Manusia sebagai khalifatullah fil ardhi dibekali dengan potensi-

potensi atau fitrah. Fitrah pada manusia tidak lain adalah sifat-sifat Allah

Swt yang ditiupkannya kepada manusia sebelum lahir (Langgulung,

2004:50). Sifat-sifat Allah itu disebut dalam Al-Qur‟an sebagai nama-

nama yang indah atau Asmaul Husna. Sifat-sifat Allah harus diteladani

manusia supaya potensi-potensi dirinya mewujud dalam perbuatan nyata

yang serupa dengan sifat-sifat Allah dalam porsi kemanusiaannya. Sifat

al-Khaliq (Maha Pencipta) pada Allah misalnya, dapat dijabarkan oleh

manusia dalam bentuk sifat kreatif. Gabungan sifat ar-Rabb, al-

Mudabbir, al-Musawwir, al-Muqaddir dan al-Khaliq pada Allah Swt

menunjukkan Dia memiliki sifat Maha Sempuna dalam bekerja. Manusia

mempunyai potensi untuk mengembangkan karakteristik etos kerja tinggi

dengan meneladani sifat Maha Sempurna Allah Swt tersebut dalam

bekerja, seperti aktif, berencana, efisien, efektif, disiplin, profesional,

ilmiah, kritis, konstruktif, dan sebagainya. Allah Maha Kuasa (al-Malik)

dengan kekuasaan tidak terbatas dan Allah Maha Pengatur (al-

Mudabbir), manusia juga mempunyai potensi untuk memimpin dan

mengembangkan manajemen di bidang usaha, politik, sosial dan lain-lain

(Asifudin, 2004:123).

56

Keistimewaan orang yang beretos kerja Islami aktivitasnya

dijiwai oleh dinamika aqidah dan motivasi ibadah. Bekerja dengan niat

mencari ridho Allah Swt amat erat kaitannya dengan ihsan, sedangkan

makna ihsan sangat luas, antara lain sehubungan dengan kerja artinya

bekerja harus optimal atau sebaik mungkin. Ihsan di sini amat

mendukung pengembangan sikap percaya diri, kemandirian sekaligus

mendorong suka bekerjasama dengan orang lain dengan pengawasan

malaikat. Orang yang beretos kerja Islami juga memiliki ciri-ciri yang

tercakup dalam konsep amanah. Amanah menjadi salah satu prinsip

akhlak yang utama dalam Islam. Konsep amanah ini mewujud kepada

sikap moral seperti: menjaga mutu kerja, menepati janji, jujur, dan lain

sebagainya (Asifudin, 2004:124-125).

Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa etos

kerja Islami harus dilandasi prinsip-prinsip: kerja merupakan ibadah, kerja

memiliki kedudukan yang sama dengan ibadah-ibadah mahdhah, kerja harus

dilandasi ilmu, kerja dijiwai dengan semangat jihad dan tanpa takut terhadap

apapun kecuali Allah Swt, serta kerja dengan meneladani sifat-sifat Allah

Swt sesuai kadar kemanusiaan dan mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Islami

a. Faktor Pendorong

Hal-hal yang dapat mendorong seorang muslim untuk menghayati

dan mempraktikkan etos kerja Islami selain karena faktor pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan seperti pengakuan dan aktualisasi diri, faktor

57

lingkungan kerja, serta berbagai faktor yang bersifat keduniaan yang

lainnya, juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat transenden. Faktor

tersebut ialah janji-janji yang Allah Swt kabarkan dalam firman-Nya.

Allah Swt menjanjikan pahala bagi umatnya yang beriman kepada-Nya

dan mengamalkan dalam perbuatan yang nyata. Allah Swt juga berjanji

akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang bekerja

dengan disertai iman. Janji Allah Swt tersebut dimuat dalam firman Allah

Swt dalam Surah An-Nahl ayat 97 berikut ini:

Artinya:

Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki

maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya

akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan

sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan

pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

(Q.S. An-Nahl: 97).

b. Faktor Penghambat

Etos kerja Islami merupakan karakter berkaitan dengan kerja yang

bersumber dari keyakinan Islam, tepatnya keyakinan Islam tentang kerja.

Keyakinan Islam sebagai sumber etos kerja Islami ternyata tidak cukup

membuat etos kerja Islami ini dimiliki oleh semua umat muslim. Ada

beberapa sebab yang menghambat dihayatinya etos kerja Islami oleh

umat muslim, di antaranya sebagi berikut:

58

1) Pandangan dikotomis antara ibadah dan kerja

Salah satu penyebab keterpurukan dunia Islam adalah

menguatnya tradisionalisme, yakni cara pandang dikotomis terhadap

ibadah dan kerja. Tradisionalisme secara sederhana dapat dijelaskan

sebagai lahirnya semacam pandangan umum di kalangan masyarakat

bahwa ibadah adalah persoalan ukhrawi dan pekerjaan sehari-hari

adalah urusan duniawi (atau setidaknya kurang bernilai ibadah),

yang masing-masing memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda.

Pendeknya, karena keduanya diyakini memiliki dimensi atau nilai

yang berbeda, maka prioritas terhadap keduanya juga harus

dibedakan (Irkhami, 2014:171).

2) Pandangan keliru tentang makna zuhud

Zuhud adalah perilaku terpuji, tapi maknu zuhud sering

dikelirukan dan disalahtafsirkan sebagai sikap menolak segala hal

duniawi. Mereka menolak segala hal yang enak dan menyenangkan,

tidak mempedulikan makan dan minum, berpakaian seadanya, dan

tidak memikirkan harta kekayaan. Mereka takut terperdaya oleh

pesona dunia (Syahyuti, 2011:166).

Kehidupan dunia memang berpotensi besar melalaikan atau

melengahkan manusia. Dalam Surah Al-Hadid ayat 20 disebutkan

bahwa kehidupan dunia itu semata-mata permainan dan hiburan

yang melalaikan, hanyalah kesenangan bagi orang yang terperdaya,

dan seterusnya. Namun hakikatnya, ayat ini bukan kecaman terhadap

59

dunia yang menjadikan seseorang harus mengutuk dan

mengabaikannya, melainkan gambaran kehidupan duniawi orang-

orang hedonis yang melalaikan agama (Syahyuti, 2011:166-167).

Zuhud tidaklah identik dengan melarat. Zuhud adalah kepuasan

hati dengan apa yang diberikan Allah Swt. Tak ada ikatan hati

kepada harta dan hal-hal yang bersifat material lainnya. Harta hanya

sampai di “tangan”, tidak sampai di “hati” (Syahyuti, 2011:167).

Artinya sekaya apapun seseorang itu, ia tidak akan terperdaya atau

menjadi budak dari hartanya. Ia tidak takut hartanya berkurang

dengan berbagi kepada orang yang tidak mampu dan anak yatim. Ia

justru gemar bersedekah, karena ia meyakini harta hanyalah titipan

dan di dalam harta tersebut ada bagian untuk orang-orang yang

berhak menerimanya. Oleh karena itu, orang kaya sangat bisa

melakukan zuhud.

3) Paham jabariyah

Paham jabariyah sebenarnya dibagi menjadi dua golongan, yaitu

golongan ekstrim dan moderat. Golongan ekstrim berpandangan

bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa;

manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri

dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatannya adalah

dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.

Manusia menurut paham ini hanya merupakan wayang yang

digerakkan dalang (Nasution,1986:33-34). Sedangkan golongan

60

moderat berpandangan, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-

perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik,

tetapi manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-

perbuatan itu.

Paham jabariyah yang masih melekat pada sebagian umat

muslim dimasa kini adalah sisa-sisa dari paham jabariyah ekstrim,

meskipun tidak seekstrim seperti yang telah dijelaskan di atas.

Kalangan jabariyah dimasa kini ialah mereka yang kurang bisa

memahami makna takdir. Mereka mencampurkan takdir mubram

dengan takdir mu‟allaq. Takdir mubram adalah ketentuan Allah Swt

tanpa campur tangan manusia, misalnya gempa bumi serta

berputarnya siang dan malam. Sebaliknya, takdir mu‟allaq adalah

ketentuan Allah Swt yang digantungkan atas jalan usaha (ikhtiar)

dan do‟a, artinya ada peran manusia di dalamnya. Dalam konteks

takdir mu‟allaq, manusia harus berusaha dengan kemampuan dan

pengetahuan yang dimiliki kemudian hasilnya diserahkan kepada

Allah Swt (Syahyuti, 2011:168).

Ciri orang yang berpaham jabariyah di masa kini antara lain

tidak rasional, negatif, dan pesimis terhadap dunia (Syahyuti,

2011:167). Paham ini juga berimplikasi pada kekeliruan dalam

memaknai tawakal. Tawakal sering disalahartikan sebagai menyerah

dan pasrah tanpa mau berusaha mengubah nasib (Syahyuti,

2011:79). Padahal, arti tawakal yang sebenarnya ialah berusaha dan

61

berikhtiar dengan sungguh-sungguh setelah itu baru menyerahkan

hasilnya kepada Allah Swt, bukan bermakna meninggalkan ikhtiar

dan usaha, kemudian hanya berpasrah pada nasib atau dapat

diistilahkan kalah sebelum berperang.

Etos kerja Islami berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan

bahwa dalam praktik-praktik kehidupan umat Islam keyakinan tentang kerja

dalam pandangan Islam yang bersumber dari janji-janji Allah Swt di dalam

firman-Nya dapat menjadi pendorong umat Islam untuk menghayati etos

kerja Islami. Penghayatan etos kerja Islami juga mengalami beberapa

hambatan, di antaranya disebabkan oleh: (1) pandangan bahwa ibadah

berorientasi ukhrawi sedangkan kerja berorientasi duniawi; (2) pandangan

yang keliru mengenai makna zuhud sebagai sikap menolak kesenangan

dunia, harta, dan hal-hal yang bersifat materi lainnya; (3) pandangan yang

negatif tentang takdir, yaitu takdir dipahami sebagai kehendak Allah Swt

yang membuatnya merasa tidak punya daya dan upaya sehingga berdampak

pada sikap pasrah sebelum berusaha.

5. Pedoman Sikap Pekerja Beretos Kerja Islami

Seorang pekerja muslim yang mampu menghidupkan etos kerja

Islami dalam hatinya dan dalam kerjanya, akan mampu menampilkan cara

kerja yang terbaik. Seorang yang bekerja dengan etos kerja Islami haruslah

memiliki pedoman bersikap dan bertingkahlaku yang berdasarkan nilai-nilai

sikap terbaik yaitu akhlakul karimah. Dengan berpegang pada pedoman

sikap dalam bekerja, seorang pekerja akan memberikan penampilan

62

terbaiknya. Pedoman bersikap tersebut menurut Shalih (2009:157-163)

antara lain sebagai berikut:

a. Bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai kejujuran. Menghayati

sepenuhnya bahwa kejujuran merupakan jati diri yang akan

menghantarkan kepada kedudukan terpuji;

b. Meyakini sepenuhnya bahwa setiap kebohongan, pemalsuan dan

penipuan merupakan bentuk pengkhianatan. Sikap tersebut dapat

merendahkan martabat dirinya sebagai hamba Allah Swt dan merusak

perusahaan atau instansi;

c. Mampu menghadirkan Allah Swt dalam dunia kerja. Selalu merasa

dilihat dan dinilai oleh Allah Swt sehingga tumbuh kesadaran bahwa

Allah Swt hanya akan menerima pekerjaan yang dilakukan secara bersih

dan sungguh-sungguh;

d. Selalu memegang teguh tanggung jawab tugas yang telah diamanahkan

pada dirinya. Menjauhkan diri dari segala bentuk penyelewengan dan

pengkhianatan terhadap kontrak kerja, sumpah jabatan, dan/atau

kesepakatan yang telah dibuat dalam setiap rangkaian kerja;

e. Memiliki etika yang tinggi, menghargai semangat kerja kelompok, dan

ikut aktif dalam membina kualitas kelompoknya;

f. Memelihara semangat dan gairah yang sangat tinggi untuk memberikan

pelayanan prima;

63

g. Tidak pernah mengomersilkan jabatannya, memanipulasi, dan

memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, karena hal itu merupakan

pengkhianatan terhadap amanah Allah Swt;

h. Memiliki semangat pengorbanan, senantiasa mencintai, serta

mendahulukan kepentingan perusahaan atau instansi dan orang lain di

atas kepentingan pribadi;

i. Mampu membangun hubungan baik dengan setiap rekan kerja,

karyawan, dan pimpinan;

j. Berusaha untuk dapat berempati kepada setiap orang, yaitu dengan

menjadi pendengar yang baik, selalu tampil dengan wajah berseri, serta

penuh senyuman;

k. Mempunyai jiwa kepemimpinan yang unggul. Menunjukkan keteladanan

sehingga dirinya menjadi panutan, baik di lingkungan kerja maupun

dalam pergaulan di masyarakat;

l. Menjadikan semangat musyawarah sebagai ciri kepribadian dalam

menyelesaikan berbagai persoalan kerja;

m. Proaktif, harmonis, dan turut serta dalam memberikan kontribusi untuk

meningkatkan kualitas sumber insani, baik individual maupun kolektif;

n. Memelihara kualitas lingkungan kerja yang kondusif, menghindari segala

bentuk pergunjingan, situasi konflik, serta perbuatan yang mengganggu

organisasi dan wibawa perusahaan atau instansi;

64

o. Merasakan misi sebagai duta perusahaan atau instansi dalam pergaulan di

masyarakat. Dengan misi tersebut tumbuhlah citra positif masyarat

terhadap perusahaan atau instansi;

p. Mempertimbangkan dengan segala kebijaksanaan dalam ketenangan hati

dan kebersihan pikiran akan setiap pengambilan keputusan;

q. Menyadari sepenuhnya bahwa berdisiplin tinggi dan memenuhi peraturan

perusahaan merupakan bagian hakiki dari sikap dan cara kerja profesinal;

r. Melaksanakan setiap tugas dengan standar kualitas tinggi sesuai visi dan

misi perusahaan atau instansi;

s. Bekerja secara inovatif, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-

perubahan untuk mencapai peningkatan kualitas diri, terbuka dengan

gagasan baru, dan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan berbagai

persoalan secara cepat, tepat, dan akurat;

t. Berupaya sekuat tenaga dan dengan segala kemampuan untuk

mengembangkan diri dalam mendukung upaya pengembangan dan

keberhasilan kerja.

Seseorang yang menghayati etos kerja Islami dalam aktivitas

kerjanya, berdasarkan pada uraian di atas maka harus berpegang pada

pedoman sikap yang mulia, seperti: bersikap dan bertindak atas dasar

kejujuran, menolak segala bentuk kebatilan karena hal itu dapat

merendahkan martabatnya sebagai hamba Allah Swt, selalu merasa diawasi

Allah Swt dalam setiap aktivitas kerjanya, selalu memegang teguh tanggung

jawab tugas yang telah diamanahkan, mendahulukan kepentingan pekerjaan

65

di atas kepentingan pribadi, membangun hubungan yang baik dengan

atasan, rekan kerja, dan setiap orang di sekitarnya, menunjukkan

keteladanan di lingkungan kerja maupun di masyarakat, proaktif, harmonis

dan turut serta memberikan kontribusi bagi orang lain maupun instansi

kerjanya, memelihara lingkungan kerja yang kondusif, mengambil

keputusan secara bijaksana, mampu beradaptasi dengan perubaha-

perubahan, terbuka pada gagasan baru, serta selalu mengembangkan

kemampuan diri demi kemajuan kerjanya.

6. Karakteristik Etos Kerja Islami

Tasmara (2002) mengemukakan karakteristik etos kerja Islami ke

dalam 25 ciri orang yang kecanduan beramal shalih. Ciri-ciri orang yang

memiliki etos kerja islami akan tampak dalam sikap dan perilakunya yang

kecanduan untuk beramal shalih, yaitu bekerja itu ibadah dan berprestasi itu

indah. Dua puluh lima ciri etos kerja Islami menurut Tasmara (2002) adalah

sebagai berikut:

a. Kecanduan Terhadap Waktu

Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang

menghayati, memahami, dan merasakan betapa berharganya waktu. Satu

detik berlalu tidak mungkin dia kembali. Waktu merupakan deposito

paling berharga yang dianugerahkan Allah Swt secara gratis dan merata

kepada setiap orang. Apakah dia orang kaya atau miskin, penjahat atau

orang alim akan memperoleh jatah deposito waktu yang sama, yaitu 24

jam atau 1.440 menit atau sama dengan 86.400 detik setiap hari.

66

Tergantung kepada masing-masing manusia bagaimana dia

memanfaatkan depositonya tersebut (Tasmara, 2002:73).

b. Memiliki Moralitas yang Bersih (Ikhlas)

Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya

kerja Islami itu adalah nilai keikhlasan. Ikhlas yang diambil dari bahasa

Arab mempunyai arti: bersih, murni (tidak terkontaminasi), sebagai

antonim dari syirik (tercampur). Ibarat ikatan kimia air (H2O), dia

menjadi murni karena tidak tercampur apapun, dan bila sudah tercampur

sesuatu (misalnya CO2) komposisinya sudah berubah dan dia bukan lagi

murni H2O. Kata ikhlas dapat disejajarkan dengan sincere (bahasa Latin

sincer: pure) yang berarti suasana atau ungkapan tentang apa yang benar

yang keluar dari hati nuraninya yang paling dalam (based on what is

truly and deeply felt, free from dissimulation). Mereka yang disebut

mukhlis melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa motivasi lain

kecuali bahwa pekerjaan itu merupakan amanat yang harus ditunaikan

dengan sebaik-baiknya (Tasmara, 2002:78-79).

c. Memiliki Kejujuran

Seorang yang jujur di dalam jiwanya terdapat komponen nilai ruhani

yang memantulkan berbagai sikap yang berpihak kepada kebenaran dan

sikap moral yang terpuji (morally upright). Perilaku jujur adalah perilaku

yang diikuti oleh sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.

Kejujuran dan integritas adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

67

Seorang yang jujur harus siap menghadapi resiko dan segala akibat

dengan gagah berani (Tasmara, 2002:80-81).

d. Memiliki Komitmen

Komitmen berasal dari bahasa Latin committere, to connect, entrust-

the state of being obligated or emotionally impelled, artinya adalah

keyakinan yang mengikat (aqad) sedemikian kukuhnya sehingga

membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan

perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya (i‟tiqad). Orang yang

memiliki komitmen tidak mengenal kata menyerah. Ciri-ciri orang yang

memiliki komitmen antara lain sebagai berikut:

1) Siap berkorban demi sesuatu yang lebih penting;

2) Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar;

3) Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan

penjabaran pilihan-pilihan (Tasmara, 2002:85).

e. Istiqomah atau Kuat Pendirian

Pribadi muslim yang profesional dan berakhlak memiliki sikap

konsisten (dari bahasa Latin consistere; harmony of conduct or practice

with profession; ability to be asserted together without contradiction),

yaitu kemampuan untuk bersikap secara taat asas, pantang menyerah, dan

mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus

berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya. Mereka mampu

mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif. Tetap teguh

pada komitmen, positif dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan

68

situasi yang menekan. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri

yang kuat dan memiliki integritas serta mampu mengelola stres dengan

tetap penuh gairah (Tasmara, 2002:86).

f. Disiplin

Erat kaitannya dengan konsisten adalah sikap berdisiplin (Latin:

disciple, discipulus, murid, mengikuti dengan taat), yaitu kemampuan

untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam

situasi yang sangat menekan. Pribadi yang disiplin sangat hati-hati dalam

mengelola pekerjaan serta penuh tanggung jawab dalam memenuhi

kewajibannya. Pandangannya terarah pada hasil yang akan diraih,

sehingga mampu menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang.

Mereka pun juga mempunyai daya adaptabilitas atau keluwesan untuk

menerima inovasi atau gagasan baru (Tasmara, 2002:88).

g. Konsekuen dan Berani Menghadapi Tantangan

Ciri lain dari pribadi muslim yang memiliki budaya kerja adalah

keberaniannya menerima konsekuensi dari kuputusannya. Bagi mereka,

hidup adalah pilihan (life is a choice) dan setiap pilihan merupakan

tanggung jawab pribadinya. Mereka tidak mungkin menyalahkan pihak

manapun karena pada akhirnya semua pilihan merupakan tanggung

jawab pribadinya (Tasmara, 2002:89).

h. Memiliki Sikap Percaya Diri (Self Confidence)

Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian, dan tegas dalam

bersikap serta berani mengambil keputusan yang sulit walaupun harus

69

membawa konsekuensi berupa tantangan atau penolakan. Sikap percaya

diri dapat kita lihat dari beberapa ciri kepribadiannya yang antara lain

sebagai berikut :

1) Mereka berani menyatakan pendapat atau gagasannya sendiri

walaupun hal tersebut beresiko tinggi, misalnya menjadi orang yang

tidak populer atau malah dikucilkan.

2) Mereka mampu menguasai emosinya; ada semacam self regulation

yang menyebabkan dia tetap tenang dan berpikir jernih walaupun

dalam tekanan yang berat (working under pressure).

3) Mereka memiliki independensi yang sangat kuat sehingga tidak

mudah terpengaruh oleh sikap orang lain walaupun pihak lain adalah

mayoritas. Baginya, kebenaran tidak selalu dicerminkan oleh

kelompok yang banyak (Tasmara, 2002:89-90).

i. Kreatif

Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau

gagasan baru dan asli (new and original: using or showing use of tha

imagination to create new ideas or things) sehingga diharapkan hasil

kinerjanya dapat dilaksanakan secara efisien, tetapi efektif (Tasmara,

2002:91).

j. Bertanggungjawab

Bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan merupakan ciri

bagi muslim yang bertaqwa. Amanah adalah titipan yang menjadi

tanggungan, bentuk kewajiban atau utang yang harus kita bayar dengan

70

cara melunasinya sehingga kita merasa aman atau terbebas dari segala

tuntutan (Tasmara, 2002:94-95).

k. Bahagia Karena Melayani

Melayani atau menolong seseorang merupakan bentuk kesadaran dan

kepeduliannya terhadap nilai kemanusiaan. Memberi pelayanan dan

pertolongan merupakan investasi yang kelak akan dipetik

keuntungannya, tidak hanya di akhirat, tetapi di duniapun mereka sudah

merasakannya (Tasmara, 2002:96).

l. Memiliki Harga Diri

Harga diri (dignity, self esteem) merupakan penilaian menyeluruh

mengenai diri sendiri, bagaimana ia menyukai pribadinya, harga diri

mempengaruhi kreatifitasnya, dan bahkan apakah ia akan menjadi

seorang pemimpin atau pengikut (Tasmara, 2002:100).

m. Memiliki Jiwa Kepemimpinan

Kepemimpinan berarti kemampuan untuk mengambil posisi dan

sekaligus memainkan peran (role) sehingga kehadiran dirinya

memberikan pengaruh pada lingkungan (Tasmara, 2002:102).

n. Berorientasi ke Masa Depan

Seorang pribadi muslim yang memiliki etos kerja tidak akan berkata,

”ah, bagaimana nanti”, tetapi dia akan berkata, ”nanti bagaimana?”, dia

tidak mau berspekulasi dengan masa depan dirinya. Dia harus

menetapkan sesuatu yang jelas dan karenanya seluruh tindakannya

diarahkan kepada tujuan yang telah dia tetapkan (Tasmara, 2002:105).

71

o. Hidup Berhemat dan Efisien

Dia akan selalu berhemat karena seorang mujahid adalah seorang

pelari marathon, lintas alam, yang harus berjalan dan ari jarak jauh.

Karenanya, akan tampaklah dari cara hidupnya yang sangat efisien di

daam mengeloa setiap ”resources” yang dimilikinya. Dia menjauhkan

sikap yang tidak produktif dan mubazir karena mubazir adaah sekutunya

setan yang mahajelas. Dia berhemat bukanlah dikarenakan ingin

memupuk kekayaan sehingga melahirkan sikap kikir individualistis,

melainkan dikarenakan ada satu reserve bahwa tidak selamanya waktu itu

berjalan secara lurus, ada up and down, sehingga berhemat berarti

mengestimasikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang

(Tasmara, 2002:105).

p. Memiliki Jiwa Wiraswasta (Entrepreneurship)

Dia memiliki jiwa wiraswasta yang tinggi, yaitu kesadaran dan

kemampuan yang sangat mendalam (ulil abab) untuk melihat segala

fenomena yang ada di sekitarnya, merenung, dan kemudian bergelora

semangatnya untuk mewujudkan setiap perenungan batinnya dalam

bentuk yang nyata dan realistis(Tasmara, 2002:107).

q. Memiliki Jiwa Bertanding (Fastabiqul Khoirot)

Semangat bertanding merupakan sisi lain dari citra seorang muslim

yang memiliki semangat jihad. Panggilan untuk bertanding dalam segala

lapangan kebajikan dan meraih prestasi, dihayatinya dengan penuh rasa

tanggung jawab (Tasmara, 2002:109).

72

r. Mandiri

Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada

jiwa yang merdeka, sedangkan jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam

penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu

mengaktualisasikan asset, kemampuan, serta potensi Ilahiahnya yang

sungguh sangat besar nilainya (Tasmara, 2002:114).

s. Haus Mencari Ilmu

Seorang yang mempunyai wawasan keilmuan tidak pernah cepat

menerima sesuatu sebagai taken for granted, karena sikap pribadinya

yang kritis dan tak pernah mau menjadi kerbau jinak, yang hanya mau

manut kemana hidungnya ditarik. Dia sadar bahwa dirinya tidak boleh

ikut-ikutan tanpa pengetahuan karena seluruh potensi dirinya suatu saat

akan diminta pertanggungjawaban dari Allah Swt (Tasmara, 2002:116).

t. Memiliki Semangat Perantauan

Mereka ingin memjelajahi hamparan bumi, memetik hikmah,

mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa budaya manusia. Jiwa

perantauannya mengantarkan dirinya untuk mampu mandiri,

menyesuaikan diri, dan pandai menyimak dan menimbang budaya orang

lain. Hal ini menyebabkan dirinya berwawasan universal, tidak

terperangkap dalam fanatisme sempit, apalagi kauvinisme yang merasa

bahwa hanya bangsa dan negaranya sajalah yang paling unggul

(Tasmara, 2002:120).

73

u. Memperhatikan Kesehatan dan Gizi

Etos kerja Islami adalah etos yang erat kaitannya dengan cara dirinya

memelihara kebugaran dan kesegaran jasmaninya. Mens sana in corpore

sano, bagi seorang muslim bukanlah hanya sebagai motto olah raga,

tetapi dia bagian dari spirit atau gemuruh jiwanya, meronta dan haus

untuk berprestasi. Salah satu persyaratan untuk menjadi sehat adalah cara

dirinya untuk memilih dan menjadikan konsumsi makanan sehat dan

bergizi, sehingga dapat menunjang dinamika kehidupan dirinya dalam

mengemban amanah Allah Swt (Tasmara, 2002:123).

v. Tangguh dan Pantang Menyerah

Izin Allah Swt adalah sunnatullah yang berlaku universal. Bukan

milik ummat Islam saja tapi milik siapapun. Siapa yang menolak sunnah

maka dia telah menolak nikmat Allah Swt. Maka, bekerja keras, ulet, dan

pantang menyerah adalah ciri dan cara dari kepribadian muslim yang

mempunyai etos kerja. Keuletan merupakan modal yang sangat besar di

dalam menghadapi tantangan dan tekanan (pressure), sebab sejarah telah

banyak membuktikan betapa banyak bangsa yang mempunyai sejarah

pahit, namun akhirnya dapat keluar dengan berbagai inovasi, kohesivitas

kelompok, dan mampu memberikan prestasi yang tinggi bagi

lingkungannya (Tasmara, 2002:125).

w. Berorientasi pada Produktifitas

Seorang muslim akan selalu berorientasi pada cara kerja yang

efisien, artinya selalu membuat perbandingan antara jumlah keluaran

74

(performance) dibandingkan dengan energi (waktu tenaga) yang dia

keluarkan (produktifitas: keluaran yang dihasilkan berbanding dengan

masukan dalam bentuk waktu dan energi). Cara kerja yang efisien ini

menjadi orientasi seorang yang beretos kerja Islami karena ia sangat

menghargai arti waktu sebagi aset, dia tidak akan membiarkan waktu

terbuang tanpa arti (Tasmara, 2002:129).

x. Memperkaya Jaringan Silaturahmi

Bersilaturrahmi berarti membuka peluang dan sekaligus mengikat

simpul-simpul informasi dan menggerakkan kehidupan. Manusia yang

tidak mau atau enggan bersilaturrahmi untuk membuka cakrawala

pergaulan sosialnya atau menutup diri dan asyik dengan dirinya sendiri,

pada dasarnya dia sedang mengubur masa depannya. Dia telah mati

sebelum mati. Bersilaturrahmi dapat membuat panjang umur, maksudnya

panjang umur bukanlah berapa lama seseorang akan hidup tetapi

seberapa bermakna dia memanfaatkan hidup (Tasmara, 2002:131).

y. Memiliki Semangat Perubahan (Spirit Of Change)

Pribadi yang memiliki etos kerja Islami sangat sadar bahwa tidak

akan ada satu makhluk pun di muka bumi ini yang mampu mengubah

dirinya kecuali dirinya sendiri. Betapapun hebatnya seseorang untuk

memberikan motivasi, hal itu hanyalah kesia-sian belaka, bila pada diri

orang tersebut tidak ada keinginan untuk dimotivasi (Tasmara,

2002:134).

75

Karakteristik etos kerja Islami menurut Luth (2001:39-40) mencakup

tiga hal yaitu niat ikhlas karena Allah Swt, kerja keras, dan memiliki cita-

cita tinggi, yang diuraikan sebagai berikut:

a. Niat Ikhlas karena Allah Swt Semata

Niat ikhlas merupakan landasan dalam segala aktivitas. Niat semata-

mata karena Allah Swt akan memberi kesadaran bahwa: (a) Allah Swt

sedang memantau atau mengawasi kerja manusia, (b) Allah adalah tujuan

dari segala yang ingin diraih atau dilakukan, (c) segala yang diperoleh

wajib disyukuri, (d) rezeki harus digunakan dan dibelanjakan di jalan

yang benar, dan (e) menyadari apa saja yang diperoleh atau dimiliki

manusia pasti ada pertanggungjawaban kepada Allah Swt (Luth,

2001:39).

b. Kerja Keras (al-Jiddu fi al-„Amal)

Islam memerintahkan agar bekerja keras, maksudnya bekerja dengan

sungguh-sungguh, sepenuh hati, jujur, dan mengusahakan sesuatu dengan

cara-cara yang halal. Kerja dengan cara yang demikian merupakan kerja

yang didasarkan pada prinsip jihad, yaitu bekerja dengan kesungguhan

hati semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Orang yang bekerja

keras dikelompokkan sebagai mujahid di jalan Allah Swt (Luth,

2001:40).

c. Memiliki Cita-Cita yang Tinggi (al-Himmah al-„Aliyah)

Cita-cita yang tinggi harus ditanamkan dalam diri setiap manusia

dalam bekerja. Seorang pekerja tidak boleh puas hanya dengan menjadi

76

bawahan seumur hidupnya, tetapi ia harus mempunyai cita-cita yang

tinggi agar suatu saat menjadi pemilik, majikan, atau bos dari pekerjaan

yang digelutinya (Luth, 2001:40). Cita-cita yang tinggi ini juga

berimplikasi pada kerja keras yang harus dilakukan oleh seorang yang

ingin mewujudkan cita-cita tersebut. Ia harus berusaha dengan penuh

kesungguhan agar mencapai hasil yang maksimal pada setiap aktivitas

atau kerja yang ia lakukan sehingga cepat atau lambat cita-cita tersebut

akan terwujud menjadi kenyataan.

Shalih (2009:63) menyebutkan tentang karakteristik etos kerja Islami

ini dengan istilah 10 ciri bekerja dengan hati nurani, yaitu sebagai berikut:

a. Mengawali kerja dengan niat yang baik dan benar;

b. Menjaga agama Allah Swt dalam bekerja;

c. Menghadirkan Allah Swt dalam setiap pekerjaan;

d. Menggunakan hati nurani dalam menentukan sikap saat bekerja;

e. Menampilkan sikap taqwa dalam bekerja;

f. Ikhlas dalam bekerja;

g. Menampilkan cara kerja yang terbaik (amal prestatif);

h. Memunculkan syukur prestatif;

i. Menjalin silaturahmi dan merajut ukhuwah (kerja sama);

j. Menampilkan pelayanan prima (service excellent).

Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

karakteristik etos kerja Islami dapat dilihat dari sikap-sikap yang tampak

sebagai buah dari keyakinan berkenaan kerja sebagai ibadah. Orang yang

77

telah menancapkan keyakinan dalam hatinya bahwa kerja merupakan

ibadah, maka akan memperlihatkan sikap-sikap sebagaimana yang

disebutkan Tasmara (2002) dalam 25 ciri orang yang kecanduan amal

shalih, kemudian yang disebutkan Luth (2001) dalam 3 karakteristik etos

kerja Islami, dan yang disebutkan Shalih (2009) dalam 10 ciri bekerja

dengan hati nurani.

78

BAB III

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Pendidikan Islam

1. Pengertian Bahasa

Pendidikan Islam secara etimologi berasal dari kata-kata bahasa

Arab yang pada umumnya digunakan untuk menunjukkan istilah

pendidikan, yaitu: tarbiyah, ta‟lim dan ta‟dib.

Istilah tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu: Pertama, rabba yarbu

yang artinya bertambah dan tumbuh. Kedua, rabiya yarba yang artinya

menjadi besar. Ketiga, rabba yarubbu yang artinya memperbaiki,

menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara (Nahlawi, 1992:31).

Ketiga asal kata tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang

tercakup dalam makna tarbiyah terdiri atas empat unsur, yaitu:

a. Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah manusia;

b. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan;

c. Mengarahkan seluruh kelengkapan manusia yang beraneka ragam

(terutama akal budinya) menuju kesempurnaan;

d. Melaksankan pendidikan secara bertahap sesuai perkembangan anak

(Nahlawi, 1992:32).

Tafsir (2008:29) berdasarkan pada uraian mengenai empat unsur

tarbiyah tersebut, menyimpulkan bahwa pendidikan menurut term tarbiyah

79

adalah pengembangan seluruh potensi siswa secara bertahap menurut ajaran

Islam.

Istilah ta‟lim berasal dari kata „allama yang berarti mengajar

(pengajaran), yaitu transfer ilmu pengetahuan (Bawani dan Anshori,

1991:72). Menurut Jalal (1988:27), proses ta‟lim lebih universal dibanding

dengan proses tarbiyah. Ta‟lim merupakan proses yang membawa kepada

tazkiah (pensucian), yaitu pensucian dan pembersihan diri manusia dari

segala kotoran dan menjadikan diri itu berada dalam suatu kondisi yang

memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala hal

yang bermanfaat untuk diketahui. Ta‟lim tidak hanya berhenti pada

pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari taklid (Jalal,

1988:29). Ta‟lim mencakup pengetahuan teoritis, mengulang kajian secara

lisan, dan menyuruh melaksanakan pengetahuan itu. Ta‟lim mencakup pula

aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang

dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik (Jalal, 1988:30).

Istilah ta‟dib berasal dari kata addaba yang artinya mendidik yang

lebih tertuju pada penyempurnaan akhlak atau budi pekerti (Achmadi,

1987:4). Attas (1996:61-62) mendefinisikan ta‟dib sebagai pengenalan dan

pengakuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia

tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan

penciptaan sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan

pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan

kepribadian. Pengertian ini menurut Tafsir (2008:29), intinya ta‟dib

80

merupakan usaha agar orang mengenali dan mengakui tempat Tuhan dalam

kehidupan ini. Definisi tersebut menurut Tafsir (2008:29) selain panjang,

abstrak, sulit dipahami, juga sulit dioperasionalkan.

Berdasarkan pada ketiga pengertian pendidikan Islam secara

etimologi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan

merupakan upaya untuk menumbuh kembangkan potensi atau fitrah

manusia dalam aspek pengetahuan, keterampilan praktis, dan akhlak agar

manusia mencapai kesempurnaannya.

Islam secara etimologi dan menurut Al-Qur‟an berarti penyerahan

diri dan kepatuhan (Nahlawi, 1992:36). Pokok-pokok ajaran Islam

disimpulkan oleh kalangan ulama terdiri dari tiga komponen, yaitu: Islam,

iman, dan ihsan. Ada juga yang mengistilahkan tiga pokok ajaran tersebut

dengan: aqidah, syari‟ah, dan akhlak. Lain lagi menyebutnya dengan:

aqidah, ibadah, dan mu‟amalah (Kaelany, 2000:31).

Aspek Islam yaitu berupa penyerahan diri kepada Allah Swt, Tuhan

Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, dan Maha Esa. Penyerahan itu diikuti

dengan kepatuhan dan ketaatan untuk menerima dan melakukan apa saja

yang diperintah dan dilarang-Nya. Tunduk pada aturan dan undang-undang

yang diturunkan kepada manusia melalui hamba pilihan-Nya (para rasul).

Aturan dan undang-undang yang dibuat oleh Allah Swt itu dikenal dengan

istilah syari‟ah (Kaelany, 2000:31). Untuk memudahkan pemahaman

terhadap syari‟ah Islam yang luas dan global, ulama membagi syari‟ah itu

dalam dua segi mendasar, yaitu: (1) Segi amalan sebagai sarana bagi orang-

81

orang muslim mendekatkan diri kepada Tuhannya (hablum minallah)

disebut ibadah; (2) Segi amal usaha dalam menjalin hubungan sesama

manusia (hablum minannas) dan hubungannya dengan lingkungan, alam

semesta disebut muamalah (Kaelany, 2000:33). Pembagian syari‟ah ke

dalam dua segi di atas hanya untuk memudahkan pemahaman manusia.

Iman sebagai pokok ajaran Islam yang berikutnya, memiliki

pengertian kepercayaan kepada Allah Swt Tuhan Yang Maha Esa. Esensi

iman bukan sekadar hanya percaya akan adanya Allah Swt dan

mengucapkan kalimat syahadatain secara lisan, tetapi iman harus

diwujudkan dalam tindakan nyata yaitu berupa amal shalih. Amal shalih

adalah refleksi dari iman, yang mencakup ibadah dalam arti ubudiyah atau

ibadah khusus dan ibadah dalam arti luas. Pengertian ibadah secara

eksklusif lebih berdimensi hubungan vertikal yang syarat, cara dan polanya

telah digariskan oleh Allah Swt dan rasul-Nya. Ini kalau ditinjau dari arti

yang pertama yang lebih bersifat ritual. Namun dalam pengertian luas dan

universal, ibadah adalah segala kegiatan manusia beriman yang dilakukan

dengan ikhlas dan bertujuan untuk mencapai ridho Allah Swt. Dalam

pengertian terakhir ini terdapat korelasi yang erat dengan tujuan penciptaan

manusia agar segala aktivitas hidupnya berorientasi pengabdian kepada

Allah Swt semata (ibadah). Peran manusia sebagai khalifah untuk

menguasai, mengelola, dan memakmurkan dunia ini sehingga menjadi dunia

yang damai, aman, dan penduduk yang sejahtera, pada hakikatnya tercakup

dalam pengertian ibadah secara luas. Seluruh kegiatan hidup orang beriman

82

dengan demikian akan bernilai amal shalih jika bermotivasi dan bertendensi

ikhlas mencapai keridhoan Allah Swt (Kaelany, 2000:99-100).

Ihsan secara bahasa artinya berbuat baik, bagus, kebajikan, dan

shalih, sedangkan secara istilah artinya meyakini dan merasakan Allah Swt

senantiasa mengawasi, memperhatikan gerak-gerik dan segala aktivitas

dalam kehidupan. Dengan ihsan diharapkan semua perilaku dan aktivitas

seorang muslim bukan saja dilakukan dengan keindahan dan kebaikan

secara lahir, melainkan sungguh-sungguh dilandasi iman. Dengan ihsan juga

seorang muslim akan melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi

manusia. Sikap ihsan, dengan kata lain akan menampilkan seseorang

menjadi muslim yang memiliki akhlakul karimah atau akhlak mulia. Akhlak

mulia ini contohnya meliputi akhlak terhadap Allah Swt, seperti: taqwa,

tawakal, bersyukur atas segala nikmat dan bersabar atas segala musibah, dan

sebagainya; akhlak kepada diri sendiri seperti: jujur, ikhlas, istiqamah,

sabar, disiplin, dan lain-lain; akhlak terhadap orang lain seperti: berbakti

kepada orang tua, tolong-menolong, bermusyawarah dalam memecahkan

persoalan dengan masyarakat, dan lain sebagainya; serta akhlak kepada

alam semesta seperti: memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya, tidak

merusak alam dan mengeksploitasinya secara berlebihan (Kaelany,

2000:54-60).

Islam menurut uraian di atas dapat disimpulkan sebagai agama yang

berisikan tiga ajaran pokok, yaitu: (1) Dimensi Islam atau syari‟ah yang

berisikan ajaran tentang hablumminallah dan hablumminannas; (2) Dimensi

83

iman atau aqidah yang berisikan ajaran tentang kepercayaan kepada Allah

Swt yang diwujudkan dalam amal shalih; serta (3) Dimensi ihsan atau

akhlak yang berisikan ajaran tentang perilaku mulia yang didasarkan pada

iman.

2. Pengertian Istilah

Pengertian pendidikan Islam secara terminologi telah banyak

dikemukakan oleh para ahli. Pendidikan Islam menurut Achmadi (1987:10)

adalah segala usaha untuk mengembangkan fitrah manusia dan sumber daya

insani menuju terbentuknya insan kamil sesuai dengan norma Islam. Insan

kamil yang dimaksud dalam pengertian tersebut adalah muttaqiin yang

terefleksikan dalam perilaku baik, dalam hubungannya dengan Tuhan,

dengan sesama manusia, maupun dengan alam. Sejalan dengan pengertian

ini, Daradjat (2011:29) menjelaskan insan kamil sebagai manusia utuh

rohani jasmani, dapat hidup dan berkembang dengan wajar dan normal

karena taqwanya kepada Allah Swt. Makna insan kamil yang demikian

mengandung arti bahwa pendidikan Islam diharapkan menghasilkan

manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat serta senang dan gemar

mengamalkan serta mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan

dengan Allah Swt dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil

manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan

hidup di dunia dan di akhirat nanti (Daradjat, 2011:29).

Pendidikan Islam menurut Marimba (1989:23) adalah bimbingan

jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju

84

terbentuknya kepribadian muslim. Kepribadian muslim adalah kepribadian

yang seluruh aspek-aspeknya yaitu baik tingkah laku luarnya, kegiatan-

kegiatan jiwanya maupun filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukkan

pengabdian dan penyerahan diri kepada Tuhan.

Tafsir (2008:32) menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah

bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi Muslim semaksimal

mungkin dalam segala aspeknya. Definisi yang digunakan ini menyangkut

pendidikan yang dilakukan di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah,

serta menyangkut aspek jasmani, akal, dan hati subjek didik.

Berdasarkan pada pengertian terminologi pendidikan Islam menurut

para ahli tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan pendidikan Islam adalah bimbingan untuk mengembangkan fitrah

manusia berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam menuju terbentuknya

kepribadian muslim dalam hubungannya dengan Allah Swt, dengan sesama

manusia, serta dengan alam sekitar.

B. Dasar Pendidikan Islam

Dasar pendidikan adalah pandangan yang mendasari seluruh aktivitas

pendidikan baik dalam rangka penyusunan teori perencanaan maupun

pelaksanaan pendidikan. Dasar pendidikan merupakan nilai-nilai tertinggi yang

dijadikan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa di mana pendidikan

itu berlaku. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan dasar pendidikan Islam

ialah pandangan hidup yang Islami atau biasa disebut pandangan hidup muslim

yang pada hakikatnya merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden,

85

universal, dan eternal (Achmadi, 1987:76). Sumber dari nilai-nilai luhur dalam

Islam ialah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw. (Achmadi, 1987:77). Maka

pendidikan Islam juga bersumber dari nilai-nilai luhur dalam Al-Qur‟an dan

Sunnah Rasulullah saw. Allah Swt berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 122

dan Surah Al-Anbiya‟ ayat 7, sebagai berikut:

Artinya:

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan

perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara

mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka

tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila

mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga

dirinya. (Q.S. At-Taubah: 122).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa umat Islam tidak dianjurkan untuk

semuanya ikut berangkat dalam peperangan, melainkan harus ada sebagaian

dari mereka yang mendalami pengetahuan tentang Islam sehingga akan terlahir

cendekiawan-cendekiawan muslim yang dapat menjaga kekokohan umat dan

agama Islam. Ayat tersebut juga menekankan pentingnya ilmu tentang agama

sebagai bekal kehidupan. Manusia yang memiliki wawasan keagamaan luas

tidak akan tersesat hidupnya baik dunia sampai di akhirat. Betapa pentingnya

ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam menuntun hidup manusia, Allah Swt

menyuruh kepada manusia untuk bertanya atau meminta petunjuk kepada

86

orang yang berilmu apabila ia tidak mengerti tentang sesuatu hal, sebagaimana

dijelaskan dalam Surah Al-Anbiya‟: 7 berikut ini:

Artinya:

Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika

kamu tiada mengetahui. (Q.S. Al-Anbiya‟: 7).

Nilai-nilai dalam Al-Qur‟an yang berkaitan dengan pendidikan Islam

adalah pendidikan yang menyeluruh. Pendidikan Islam ialah pendidikan

keimanan, ilmu, amal, akhlak, dan sosial. Maka pendidikan Islam adalah

pendidikan keimanan, pendidikan ilmiah, pendidikan amaliah, pendidikan

akhlak, dan pendidikan sosial (Hafidz dan Kastolani, 2009:68). Hal itu

tergambar dalam firman-Nya dalam surah Al-„Asr ayat 1-3.

Artinya:

Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan

nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati

supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-„Asr: 1-3).

Berdasarkan pada ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses

pendidikan meliputi pendidikan keimanan yang harus dipraktikkan dalam

bentuk amal shalih. Pendidikan Islam dalam ayat tersebut juga berupa

pendidikan sosial dan akhlak. Pendidikan sosial yaitu berupa saling menasehati

dalam kebenaran, kemudian saling menasehati dalam kesabaran, dan sabar

adalah simbol pendidikan akhlak dalam Islam.

87

Sunnah Rasulullah saw. menjadi sumber kedua bagi pendidikan Islam

sesudah Al-Qur‟an, maksudnya adalah perkataan Rasulullah saw. dan

perbuatannya, dan apa yang dipersetujuinya terhadap sahabat-sahabat melalui

perkataan atau diam dan senyap, serta sifat-sifat jasmani dan akhlaknya.

Sunnah telah membawa perkara-perkara yang sesuai dengan yang dibawa Al-

Qur‟an, dan sunnah datang untuk menentukan perkara-perkara yang disentuh

Al-Qur‟an secara umum. Dalam sunnah atau hadits Rasulullah saw. dijelaskan

tentang pentingnya pendidikan Islam. Manusia mulia yang akan memperoleh

kenikmatan surga bukan hanya manusia yang senantiasa rajin beribadah dalam

artian shalat dan mengaji, melainkan juga manusia yang hidupnya diisi dengan

proses pencarian ilmu yang dapat menjadikan dirinya sebagai insan taqwa.

Oleh karena itu, Rasulullah saw. menyebutkan bahwa orang yang mencari ilmu

yaitu ilmu yang bermanfaat, akan dimudahkan jalannya dalam memasuki

surga, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

هي سلك طزيقايلتوس في ل هللا قال: عي أبى زيزة أى رس

علوا,سل هللا ل طزيقا إلى الجت

Artinya:

Dari Abu Hurairah radhiallahu‟anhu, sesungguhnya Rasulullah

shallallahu‟alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa menempuh jalan

untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke

surga”. (H.R. Muslim, no. 1.888).

Sunnah Rasulullah saw. dalam hubungannya dengan pendidikan Islam

menggunakan dua pendekatan, yaitu: Pertama, bersifat positif artinya berpusat

88

pada dasar-dasar yang sesuai dan kuat bagi akhlak yang mulia dan bertujuan

menanamkan kemuliaan. Kedua, bersifat penjagaan artinya menghindarkan

manusia dari segala macam keburukan, baik bersifat individual atau sosial, dan

menjaga masyarakat dari bahaya perpecahan (Syaibany, 1979:432).

Dasar pendidikan Islam yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah

tersebut, oleh Jalaluddin (2001) diperinci menjadi lima, yaitu: dasar pandangan

terhadap manusia, dasar pandangan terhadap masyarakat, dasar pandangan

terhadap alam semesta, dasar pandangan terhadap ilmu pengetahuan, dan dasar

pandangan terhadap akhlak.

1. Dasar Pandangan Terhadap Manusia

Manusia memiliki sejumlah potensi untuk berkembang dan

dikembangkan. Dalam kaitan ini pendidikan Islam menilai manusia

didasarkan atas prinsip-prinsip pemikiran bahwa:

a. Manusia adalah ciptaan Allah Swt yang paling mulia. Manusia

diciptakan pada hakikatnya adalah untuk mengabdi kepada Allah Swt;

b. Manusia dalam hidupnya diamanatkan untuk menjadi hamba Allah Swt

dan sekaligus khalifah guna memakmurkan kehidupan di bumi;

c. Manusia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, kemampuan untuk

belajar dan mengembangan diri;

d. Manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi jasmani, rohani, dan ruh

(fitrah ketauhidan);

e. Manusia bertumbuh dan berkembang ditentukan oleh potensi bawaan dan

pengaruh lingkungannya;

89

f. Manusia memiliki sifat fleksibel (keluwesan) dan memiliki kemampuan

untuk mengubah serta mengembangkan diri (Jalaluddin, 2001:83-84).

2. Dasar Pandangan Terhadap Masyarakat

Manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk

sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri, dengan mengabaikan

keterlibatannya dengan kepentingan pergaulan antarsesamanya dalam

kehidupan bermasyarakat. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemikiran

tentang masyarakat mengacu kepada penilaian bahwa:

a. Masyarakat merupakan kumpulan individu yang terikat oleh kesatuan

dari berbagai aspek, seperti: latar belakang budaya, agama, tradisi,

kawasan lingkungan, dan lain-lain;

b. Masyarakat yang terbentuk dalam keragaman adalah sebagai ketentuan

dari Allah Swt, agar dalam kehidupan terjadi dinamika sosial dalam

bentuk interaksi antarsesama manusia yang menjadi warganya;

c. Setiap masyarakat memiliki identitas sendiri yang secara prinsip berbeda

satu sama lain;

d. Masyarakat merupakan lingkungan yang dapat memberi pengaruh pada

pengembangan potensi individu (Jalaluddin, 2001:84-85).

3. Dasar Pandangan Terhadap Alam Semesta

Manusia dalam peranannya sebagai khalifah Allah Swt diamanatkan

untuk menciptakan kemakmuran di bumi tempat manusia itu hidup. Alam

semesta memang diciptakan Allah Swt untuk dimanfaatkan manusia atas

90

petunjuk penciptanya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka pemikiran

tentang alam semesta mengacu pada prinsip bahwa:

a. Lingkungan alam baik berupa lingkungan sosial maupun lingkungan fisik

atau benda budaya dan benda alam mempengaruhi pendidikan, sikap, dan

akhlak;

b. Lingkungan alam termasuk juga jagat raya adalah bagian dari ciptaan-

Nya;

c. Setiap wujud di alam semesta terbentuk dari dua unsur, yaitu unsur

materi dan non materi, nyata dan ghaib, dunia dan akhirat;

d. Alam senantiasa mengalami perubahan menurut ketentuan hukum yang

diatur oleh Penciptanya (sunnatullah);

e. Alam terwujud dalam dinamika gerak yang teratur dan terkendali oleh

suatu tatanan yang menyatu pada sunnatullah;

f. Alam merupakan sarana yang diperuntukkan bagi manusia sebagai upaya

meningkatkan kemampuan diri sejalan dengan potensi yang dimilikinya

(Jalaluddin, 2001:85-86).

4. Dasar Pandangan Terhadap Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil produksi dari

pengembangan nalar dan kreasi manusia dalam upaya mengembangkan diri

dan membentuk peradaban. Pendidikan Islam memandang ilmu

pengetahuan dan teknologi betapapun canggihnya, secara hakiki harus

terikat pada nilai-nilai tertentu. Pemikiran yang dijadikan dasar pandangan

ini meliputi prinsip-prinsip sebagai berikut:

91

a. Pengetahuan merupakan pengembangan dari kemampuan nalar manusia

yang potensi dasarnya bersumber dari anugerah Allah Swt;

b. Pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui usaha (belajar, meneliti,

atau eksperimen) atau melalui penyucian diri serta pendekatan kepada

Allah Swt. Pengetahuan diperoleh dari kesungguhan usaha disebut ilm

al-kash (acquired knowledge) sedangkan yang diperoleh dari pendekatan

diri hingga memperoleh bimbingan Allah Swt disebut ilm ladunni

(perennial knowledge);

c. Pengetahuan merupakan potensi manusia yang dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan kehidupan diri maupun masyarakat;

d. Pengetahuan terbentuk melalui nalar dan pengindraan;

e. Pengetahuan manusia memiliki kadar dan tingkatan yang berbeda sesuai

dengan objek, tujuan, dan metode yang digunakan;

f. Pengetahuan yang paling utama adalah pengetahuan yang berhubungan

dengan Allah Swt, perbuatan-Nya serta makhluk-Nya;

g. Pengetahuan manusia pada hakikatnya adalah hasil penafsiran dan

pengungkapan kembali segala bentuk permasalahan yang berkaitan

dengan hukum-hukum Allah Swt (sunnatullah) dan ciptaan-Nya;

h. Pengetahuan yang hakiki adalah pengetahuan yang didasari oleh kaidah-

kaidah dan nilai akhlak, karena akan dapat mendatangkan ketentraman

batin. Sehubungan dengan ini maka pengetahuan yang bernilai adalah

pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia lahir

dan batin sesuai petunjuk Allah Swt (Jalaluddin, 2001:86-87).

92

5. Dasar Pandangan Terhadap Akhlak

Pendidikan Islam memandang pembinaan akhlak merupakan faktor

penting dalam pendidikan. Keutamaan akhlak sebagai sarana puncak dalam

pendidikan Islam. Arah sasaran pencapaian target tersebut agar dapat

dipenuhi, maka perlu dirumuskan prinsip-prinsip yang menjadi dasar

pandangan terhadap akhlak, yaitu:

a. Akhlak termasuk faktor yang diperoleh dan dipelajari;

b. Akhlak lebih efektif dipelajari dan dibentuk melalui teladan dan

pembiasaan yang baik;

c. Akhlak dipengaruhi oleh faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi

masyarakat, serta adat istiadat, dan cita-cita atau pandangan hidup.

Akhlak tidak selalu terpelihara, kebaikan dan keburukan berpengaruh

bagi pembentukan akhlak;

d. Akhlak sejalan dengan fitrah dan akal sehat manusia, yaitu cenderung

kepada yang baik;

e. Akhlak mempunyai tujuan akhir yang identik dengan tujuan akhir ajaran

Islam, yaitu untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat;

f. Akhlak yang mulia merupakan realisasi dari ajaran Islam;

g. Akhlak berintikan tanggung jawab terhadap amanat Allah Swt, sehingga

dinilai berdasarkan tolok ukur yang diisyaratkan Allah Swt dalam ajaran

Islam (Jalaluddin, 2001:88).

Dasar pendidikan Islam berdasarkan uraian di atas merupakan

pandangan yang mendasari segala aktivitas pendidikan yang bersumber dari

93

nilai-nilai luhur dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw. Ada lima prinsip

utama yang menjadi kerangka acuan dalam penyusunan dasar pendidikan

Islam, yaitu dasar pandangan terhadap manusia, dasar pandangan terhadap

masyarakat, dasar pandangan terhadap alam semesta, dasar pandangan

terhadap ilmu pengetahuan, dan dasar pandangan terhadap akhlak. Berdasarkan

prinsip-prinsip utama yang dijadikan acuan dasar pendidikan Islam tersebut,

dapat dilihat bahwa pendidikan Islam dalam segala aspeknya senantiasa

dihubungkan dengan konsep ajaran Islam, khususnya kaitannya dengan hakikat

penciptaan dan amanat Ilahiyat.

C. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan Islam menurut pendapat beberapa ahli adalah

sebagai berikut:

Achmadi (1987:90) mengemukakan bahwa tujuan tertinggi dan terakhir

pendidikan Islam pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan

peranannya diciptakan oleh Allah Swt. Tujuan tertinggi dan terakhir menurut

Achmadi (1987:90-92) adalah sebagai berikut:

1. Menjadikan hamba Allah Swt yang paling taqwa. Tujuan ini sejalan dengan

tujuan hidup manusia yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt.

Pengertian ibadah yang dimaksud di sini tidak terbatas pada ritual-ritual

gama secara pasif saja, melainkan juga meliputi segala aspek kegiatan yaitu:

iman, berfikir, merasa, dan bekerja;

94

2. Mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ardhi yang mampu

memakmurkan alam sekitar dan mampu mewujudkan rahmah bagi alam

sekitarnya;

3. Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai

akhirat, baik individu maupun masyarakat. Kebahagiaan hidup dunia dan

akhirat hanya akan dicapai dengan ilmu.

Tujuan umum pendidikan Islam menurut Abrasyi (1970:1-4) adalah

pembinaan akhlak, persiapan kehidupan dunia dan akhirat, penguasaan ilmu,

dan keterampilan bekerja dalam masyarakat.

Tujuan umum pendidikan Islam menurut Tafsir (2008:51) ialah muslim

yang sempurna, atau manusia yang taqwa, atau manusia yang beribadah kepada

Allah Swt. Kategori muslim sempurna adalah sebagai berikut:

1. Jasmani yang sehat dan kuat, ciri-cirinya yaitu: sehat, kuat,

berketeramapilan;

2. Akal yang cerdas, ciri-cirinya yaitu: mampu menyelesaikan masalah secara

cepat dan tepat, mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah dan filosofis,

memiliki dan mengembangkan sains, memiliki dan mengembangkan

filsafat;

3. Hati yang taqwa kepada Allah Swt ciri-cirinya yaitu: dengan sukarela

melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya, hati yang

berkemampuan berhubungan dengan alam gaib (Tafsir, 2008:50).

Nata (1997:53-54) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam

meliputi: (1) Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka

95

bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan

dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan; (2) Mengarahkan manusia

agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan

dalam rangka beribadah kepada Allah Swt, sehingga tugas tersebut terasa

ringan dikerjakan; (3) Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia

tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya; (4) Membina dan

mengarahkan potensi akal, jiwa, dan jasmaninya sehingga ia memiliki ilmu,

akhlak, dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung

tugas pengabdian dan kekhalifahannya; serta (5) Mengarahkan manusia agar

dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Berdasarkan pada uraian mengenai tujuan pendidikan Islam oleh para

ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut

penulis adalah untuk membentuk insan kamil, yaitu dengan membina potensi

akal, ruh, dan jasmani manusia sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan

keterampilan untuk mendukung tugas pengabdian (ibadah) dan

kekhalifahannya, agar ia dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

D. Karakteristik Pendidikan Islam

1. Karakteristik Filosofis Pendidikan Islam

a. Penciptaan yang Bertujuan

Islam memandang pendidikan sebagai proses yang suci untuk

merealisasikan tujuan asasi manusia dalam kehidupan nyata yaitu

beribadah kepada Allah Swt dalam makna yang luas. Pendidikan dalam

hal ini merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam, yang ruang

96

lingkupnya adalah alam semesta, pusatnya adalah manusia, dan

tujuannya adalah kehidupan yang beriman (Hafidz dan Kastolani,

2009:45).

b. Kesatuan yang Menyeluruh

Refleksi prinsip kesatuan dalam filsafat Islam tampak pada proses

pendidikan. Pertama, prinsip kesatuan perkembangan individu dalam

kerangka perkembangan masyarakat dan dunia. Kedua, prinsip kesatuan

umat manusia yang merupakan karakteristik universalitas dalam

pendidikan Islam. Ketiga, prinsip kesatuan pengetahuan yang mencakup

berbagai disiplin ilmu dan seni (Aly dan Munzier, 2003:58).

c. Keseimbangan

Prinsip keseimbangan dalam Islam tercermin dalam pendidikan

Islam, seperti keseimbangan antara teori dan praktik, ucapan dan

perbuatan, pengetahuan kemanusiaan yang berguna bagi individu dan

yang berguna bagi masyarakat, serta pengetahuan yang fardhu „ain dan

yang fardhu kifayah dalam semua lapangan pengetahuan, baik

keagamaan maupun keduniaan (Aly dan Munzier, 2003:62). Allah Swt

mencela orang-orang yang hanya mengatakan sesuatu tanpa

mengamalkannya, sebagaimana tercantum dalam surah Ash-Shaff ayat 2-

3 sebagai berikut:

97

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan

sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi

Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu

kerjakan. (Q.S Ash Shaff: 2-3).

Prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam telah meletakkan

segala sesuatu sesuai dengan batasnya dan menghitung segala sesuatu

sesuai dengan ukurannya, sehingga tidak mencederai ukuran dan

kehidupan. Prinsip yang demikian diletakkan karena pendidikan Islam

adalah pendidikan untuk hidup dengan penuh keimanan menuju

keridhoan Allah Swt (Aly dan Munzier, 2003:65).

Karakteristik filosofis pendidikan Islam seperti telah diuraikan di

atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam dicirikan sebagai: Pertama,

pendidikan yang berupaya merealisasikan tujuan penciptaan manusia yaitu

untuk beribadah kepada Allah Swt dalam arti yang luas; Kedua, pendidikan

Islam menekankan prinsip kesatuan antara umat manusia maupun kesatuan

dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan; Ketiga, pendidikan Islam

menekankan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan.

2. Karakteristik Substansi Pendidikan Islam

a. Pendidikan Keimanan

Substansi pendidikan Islam yang paling utama adalah pendidikan

keimanan. Keimanan yang dimaksud adalah keimanan dengan

manivestasi amal perbuatan yang nyata, dengan menjadikan hidup dan

kehidupan di dunia ini bernilai ibadah, bertaqwa yang sebenarnya, dan

berakhlak mulia dalam rangka mendapatkan hidayah dan ridho dari Allah

98

Swt (Zainuddin, 1991:101). Keimanan yang demikian tujuannya agar

kehidupan individu itu bermakna, aktivitasnya mempunya tujuan,

motivasi untuk belajar dan bekerja berkembang secara terus-menerus,

akhlaknya menjadi tinggi, jiwanya menjadi suci dan senantiasa menjadi

cakap untuk menjadi khalifatullah fil ardhi (Hafidz dan Kastolani,

2009:70).

Iman adalah pondasi akhlak yang mulia, akhlak yang mulia

menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar menjadi pondasi amal

yang shalih (Aly dan Munzier, 2003:72-73). Oleh karena itu, iman adalah

yang pertama dan terutama dalam ajaran Islam yang harus tertancap

dalam diri individu, sehingga pendidikan keimanan merupakan pondasi

dari ilmu pengetahuan dan aspek-aspek pendidikan yang lainnya serta

merupakan pedoman dan pandangan hidup seorang muslim. Sehingga

dalam memahami, mendalami, dan menyelidiki ajaran Islam, menghayati

dan mengamalkannya harus berlandaskan iman yang kuat.

b. Pendidikan Amaliah

Pendidikan Islam menegaskan tentashalihng pentingnya aspek

amaliah, karena pendidikan Islam menganjurkan belajar dengan selalu

mengaplikasikannya dalam tindakan, tidak hanya menghafal teori-teori

yang tidak mampu membawa pada amal shalih dalam kehidupan nyata

(Hafidz dan Kastolani, 2009:30). Amal shalih pada hakikatnya

merupakan salah satu pintu masuk ke dalam substansi pendidikan Islam,

di samping merupakan buah utama dari ilmu yang benar, akhlak yang

99

mulia, dan pendidikan sosial kemasyarakatan yang dapat

dipertanggungjawabkan. Pendidikan amaliah mencakup segala sesuatu

yang dimuat dalam pendidikan keterampilan, yang tercermin dalam

perbuatan yang bermanfaat kepada umat manusia dalam kehidupan ini

dan perbuatan yang dapat menjamin keberlangsungan ilmu pengetahuan

sebagai upaya untuk menguasai seluruh alam semesta, mengambil

manfaat dari bumi yang telah diberikan, serta membuat potensi,

kekayaan, dan kandungan bumi menjadi bermanfaat bagi individu,

masyarakat, dan umat manusia seluruhnya (Hafidz dan Kastolani,

2009:84).

c. Pendidikan Ilmiah

Substansi pendidikan Islam yang lain ialah ilmu pengetahuan,

dimulai dengan keterampilan membaca dan menulis. Pendidikan

keterampilan baca tulis dilanjutkan dengan pengetahuan kemanusiaan

yang dimulai dari pengetahuan tentang jiwa manusia sampai kepada

lingkungan sosial sepanjang masa dan di setiap tempat, kemudian

pengetahuan tentang lingkungan fisik dan fenomena-fenomena alam.

Pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan bersifat komprehensif karena

lahir dari prinsip kesatuan yang merupakan aspek penting di dalam

konsep Islam. Atas dasar itu Islam mendorong manusia untuk

mempelajari setiap pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya,

masyarakat, dan semua umat manusia, baik dalam lingkungan

100

pengetahuan keagamaan maupun pengetahuan sosial, kealaman, ataupun

pengetahuan lainnya (Aly dan Munzier, 2003:85).

Islam sangat mendorong untuk mempergunakan akal sampai

batas kemampuannya, dan mencela dengan keras orang yang tidak

mempergunakan akal dan rasionalnya (Hafidz dan Kastolani, 2009:102).

Akal dapat digunakan manusia untuk memperoleh dan mempelajari ilmu,

dimana Islam memuliakan manusia untuk mempelajari ilmu yang

bermanfaat baginya, masyarakat, dan umat manusia seluruhnya.

Pendidikan Islam juga berdasarkan ilmu pengetahuan, dan ilmu

pengetahuan merupakan materi yang paling dalam dan dipergunakan

sebagai pondasi dalam pengembangan ilmu, keterampilan, dan

pandangan manusia. Buah dari ilmu yang baik adalah terwujudkan insan

yang paling taqwa sebagai tujuan utama pendidikan Islam (Hafidz dan

Kastolani, 2009:101)

d. Pendidikan Akhlak

Pendidikan akhlak merupakan bagian besar dalam substansi

pendidikan Islam. Posisi ini terlihat dari kedudukan Al-Qur‟an sebagai

referensi paling penting tentang akhlak bagi kaum muslimin: individu,

keluarga, masyarakat, dan umat (Aly dan Munzier, 2003:89). Akhlak

adalah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan

meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan

wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan

(Zainuddin, 1991:102). Akhlak merupakan buah Islam yang bermanfaat

101

bagi manusia dan kemanusiaan, serta membuat hidup dan kehidupan

menjadi baik. Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi

individu dan masyarakat. Tanpa akhlak masyarakat manusia tidak akan

berbeda dari kumpulan binatang (Aly dan Munzier, 2003:89).

Manusia hendaknya mengikuti dan mempraktikan nilai-nilai yang

ada dalam asmaul husna sesuai kemampuan dan kekuatannya (Hafidz

dan Kastolani, 2009:108). Selain mengambil nilai-nilai asmaul husna

sebagai pedoman akhlak mulia, manusia juga harus mengambil teladan

dari akhlak yang dicontohkan Rasulullah saw. selama hidupnya.

Pendidikan akhlak dalam Islam sangat berkaitan dengan tujuan utama

pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam untuk mewujudkan insan

paling taqwa, melaksanakan tugas khalifatullah fll ardhi, serta persiapan

kehidupan dunia dan akhirat membutuhkan akhlak yang mulia, supaya

manusia senantiasa berpegang teguh pada kebaikan dan menjauhkan diri

dari kemungkaran (Hafidz dan Kastolani, 2009:110).

e. Pendidikan Sosial

Pendidikan sosial dalam Islam menempati posisi yang penting

karena manusia adalah makhluk sosial sesuai dengan ciptaan Allah Swt.

Allah Swt sebagai dzat pencipta dan sembahan manusia, dan Islam

sebagai rahmat lil „alamiin tidak datang hanya untuk satu individu,

masyarakat tertentu, tetapi untuk seluruh individu, masyarakat, dan

seluruh generasi di setiap masa dan tempat. Allah Swt mewariskan bumi

dan mengamanatkannya kepada setiap muslim dan menjadikan sosial

102

sebagai watak Islam dan watak generasi muda Islam. Maka tidak heran

jika Islam memusatkan perhatiannya pada pengembangan tradisi sosial

yang benar bagi individu, menanamkan perasaan dan kesadaran sebagai

keluarga, anggota masyarakat, individu dan masyarakat dunia yang luas

(Hafidz dan Kastolani, 2009:124).

Berdasarkan pada uraian mengenai karakteristik substansi

pendidikan Islam di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik

pendidikan Islam yaitu meliputi: Pertama, pendidikan keimanan yang

berfungsi sebagai landasan bagi kehidupan manusia dalam rangka

menjalankan tugas sebagai khalifatullah fil ardhi; Kedua, pendidikan akhlak

sebagai wujud dari keimanan yang dimiliki manusia serta akhlak sebagai

kemuliaan sikap dari insan yang paling taqwa; Ketiga, pendidikan ilmiah

sebagai sarana untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik; Keempat,

pendidikan sosial sebagai sarana untuk mengembangkan tanggung jawab

individu terhadap manusia lain atau masyarakat banyak, sehingga sekaligus

sebagai sarana mewujudkan insan yang paling taqwa serta mewujudkan

tugas khalifatullah fil ardh.

3. Karakteristik Aplikatif Pendidikan Islam

a. Kewajiban Belajar

Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Banyak

ayat, hadis, dan realitas sejarah dalam kehidupan Rasulullah saw. dan

ulama salaf menunjukkan kewajiban untuk menuntut ilmu dan

menjadikan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dalam

103

menuntut ilmu, sesuai dengan wataknya dan manfaat yang akan diambil

bagi dirinya dan masyarakatnya (Hafidz dan Kastolani, 2009:134).

b. Kesinambungan Pendidikan

Karakteristik ini berkaitan dengan prinsip keluasan ilmu

pengetahuan. Pendidikan Islam mengasumsikan bahwa pengetahuan

merupakan proses yang berkembang terus sepanjang masa hingga akhir

zaman, bukan proses yang terbatas, dan tidak seorangpun dapat mencapai

akhir proses itu (Aly dan Munzier, 2003:103). Perkembangan ilmu

pengetahuan lahir karena banyaknya pembahasan dan pengkajian secara

terus-menerus. Tidak ada batas akhir bagi manusia untuk menggali

pengetahuan, karena “di atas setiap orang yang berpengetahuan masih

ada Yang Maha Tahu”. Manusia dengan umurnya yang terbatas, tidak

mungkin mampu meliput semua ilmu pengetahuan, baik keagamaan

maupun keduniaan (Aly dan Munzier, 2003:104).

Setiap anggota masyarakat hendaknya mengambil spesialisasi

yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu, sehingga pengetahuan

mereka menjadi lengkap. Setiap ilmu yang bermanfaat, apapun lapangan

dan disiplinnya, merupakan ilmu fardhu kifayah yang wajib digeluti oleh

sebagian anggota masyarakat agar yang lain tidak memikul beban.

Seluruh masyarakat muslim akan berdosa jika lalai dalam merencanakan

spesialisasi disipin-disiplin yang diperlukan bagi pengembangan

masyarakat (Aly dan Munzier, 2003:104).

104

c. Pemerataan Kesempatan Belajar

Setiap muslim dalam masyarakat mempunyai hak yang sama

untuk memperoleh pendidikan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan

perempuan, antara orang Arab dan selain Arab, dan tidak ada perbedaan

pula antara orang berkulit hitam dan putih, kecuali hanyalah kadar amal

dan usaha yang mereka lakukan dengan kesempatan yang sama bagi

semua. Amal dan usaha adalah tolok ukur pembeda antara orang-orang

mukmin dalam mencapai tujuan risalah Islam, seperti bertaqwa, berjihad,

dan menuntut ilmu. Orang-orang yang bertaqwa adalah paling mulia

dalam pandangan Allah Swt (Aly dan Munzier, 2003:105). Kesempatan

untuk belajar dalam Islam diberikan kepada semua individu dan lapisan

masyarakat, baik yang sempurna maupun kurang sempurna. Setiap

individu memiliki hak belajar yang sama atas negara dan masyarakat

(Hafidz dan Kastolani, 2009:141).

d. Cara Memperoleh Pengetahuan

Pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berkenaan dengan

cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan serta pengalaman.

Anggapan dasarnya ialah setiap manusia dilahirkan dengan membawa

fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan kemampuan yang

berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal tersebut kemudian dia

belajar: mula-mula melalui hal-hal yang dapat ditangkap dengan panca

inderanya sebagai jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari hal-hal

yang dapat ditangkap indera kepada hal-hal yang abstrak, dan dari yang

105

dapat dilihat kepada yang dapat difahami (Aly dan Munzier, 2003:106-

107).

Manusia dilahirkan tanpa berpengetahuan dan bahwa

pengetahuan yang dimilikinya merupakan hasil perolehan. Manusia

setelah dilahirkan mulai memasuki proses belajar melalui interaksi

dengan lingkungannya. Manusia mulai belajar melalui pendengaran dan

penglihatan; atau dengan kata lain melalui panca indera, proses

pengalaman dan penelitian (Aly dan Munzier, 2003:107).

e. Aturan Moral dalam Penggunaan Pengetahuan

Aturan-aturan moral dalam penggunaan pengetahuan merupakan

karakteristik paling penting dari pendidikan akhlak. Pengetahuan apapun,

baik keagamaan maupun keduniaan, teoritis maupun praktis, ibarat pisau

bermata dua yang dapat digunakan pemiliknya untuk berlaku munafik

dan berkuasa atau berbuat kebaikan dan mengabdi kepada kepentingan

umat manusia. Oleh sebab itu, Islam mementingkan ilmu yang

bermanfaat dan memperhatikan penggunaannya bagi kepentingan

individu dan masyarakat, sebaliknya, Islam melarang mempelajari

pengetahuan yang berbahaya seperti sihir serta penggunaannya dalam

hal-hal yang membahayakan manusia dan tidak bermanfaat bagi mereka

(Aly dan Munzier, 2003:109).

Uraian mengenai karakteristik aplikatif pendidikan Islam di atas

kesimpulannya yaitu: (1) Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap

muslim; (2) Setiap muslim hendaknya memiliki spesialisasi disiplin ilmu;

106

(3) Setiap muslim berhak untuk belajar, tanpa membedakan jenis kelamin,

ras, suku, warna kulit, golongan; (4) Pengetahuan diperoleh manusia

melalui alat indera; dan (5) Pengetahuan yang boleh dipelajari ialah yang

bermanfaat dan tidak membahayakan.

E. Domain Pendidikan Islam

Domain pendidikan Islam mencakup unsur-unsur penting yang

berperan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Domain pendidikan Islam yang

akan dibahas yaitu meliputi: guru, siswa, materi, metode, media dan lembaga

pendidikan Islam.

1. Guru

a. Pengertian Guru

Guru adalah orang dewasa yang tugas atau pekerjaannya selain

mengajar, juga mendidik siswa (Purwanto, 2007:138). Mengajar ialah

memberikan pengetahuan atau melatih kecakapan-kecakapan atau

keterampilan-keterampilan kepada siswa, sedangkan mendidik ialah

membentuk budi pekerti dan watak siswa. Pada hakikatnya mengajar dan

mendidik ialah satu kesatuan, siapa yang mengajar ia juga mendidik, dan

siapa hendak mendidik, harus juga mengajar. Menurut Purwanto

(2007:150) pendidikan lebih luas dari pengajaran. Pendidikan merupakan

pendidikan keseluruhan; merupakan pembentukan kepribadian,

sedangkan pengajaran adalah salah satu alat usaha dari pendidikan

keseluruhan.

107

Guru dalam bahasa Jawa adalah orang yang digugu (diindahkan)

dan ditiru, digugu dalam arti piwulange (ajarannya) diperhatikan dan

diindahkan oleh siswa, serta ditiru dalam arti perilaku guru akan selalu

diikuti oleh siswa dan masyarakatnya karena guru sebagaimana ulama

adalah pewaris sifat dan perilaku Rasulullah saw., yaitu sebagai uswatun

hasanah (contoh atau teladan yang baik) (Roqib, 2009:36). Menurut

Abrasyi (1993:136), guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi

seorang siswa, karena ia yang memberi santapan jiwa dengan ilmu dan

pendidikan akhlak.

b. Syarat-Syarat Guru

Syarat-syarat menjadi guru yang baik dalam konteks pendidikan

Islam, menurut Daradjat (2011) secara umum hendaknya bertaqwa

kepada Allah Swt, berilmu, sehat jasmaninya, baik akhlaknya,

bertanggungjawab, dan berjiwa nasional, sebagaimana uraian berikut:

1) Taqwa Kepada Allah Swt

Guru sesuai dengan tujuan pendidikan Islam, tidak mungkin

mendidik anak agar bertaqwa kepada Allah Swt, jika ia sendiri tidak

bertaqwa kepada-Nya. Sebab guru adalah teladan bagi siswanya

sebagaimana Rasulullah saw. menjadi teladan bagi umatnya. Sejauh

mana seorang guru mampu memberi teladan baik kepada siswa-

siswanya sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik

mereka menjadi generasi penerus bangsa yang mulia (Daradjat,

2011:41).

108

2) Berilmu

Keilmuan guru ini salah satunya dibuktikan dengan ijazah

yang dimiliki. Ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu

bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan

kesanggupan tertentu yang diperlukan untuk suatu jabatan. Guru pun

harus mempunyai ijazah supaya ia diperbolehkan mengajar

(Daradjat, 2011:41).

3) Sehat Jasmani

Kesehatan jasmani kerapkali dijadikan salah satu syarat bagi

mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru yang mengidap

penyakit menular umpamanya sangat membahayakan kesehatan

siswa-siswa. Guru yang berpenyakit di samping itu juga tidak akan

bergairah dalam mengajar (Daradjat, 2011:41).

4) Berkelakuan Baik

Budi pekerti guru sangat penting dalam pendidikan watak

siswa. Guru harus menjadi suri teladan, karena siswa suka meniru.

Tujuan pendidikan Islam di antaranya ialah membentuk akhlak baik

pada anak dan ini hanya mungkin jika guru itu berakhlak baik pula.

Akhlak yang harus dimiliki oleh guru di antaranya: mencintai

jabatannya sebagai guru, bersikap adil terhadap semua siswanya,

berlaku sabar dan tenang, berwibawa, gembira, manusiawi,

bekerjasama dengan guru-guru lain, serta bekerja sama dengan

masyarakat (Daradjat, 2011:41).

109

5) Berjiwa Nasional

Bangsa Indonesia terdiri dari beratus suku bangsa yang

berlainan bahasa dan adat istiadat. Guru bertugas untuk menanamkan

jiwa kebangsaan atau nasionalisme dalam diri siswa untuk

menyatukan berbagai perbedaan tersebut. Guru agar mampu

menanamkan nasionalisme dalam diri siswa maka harus memiliki

jiwa nasional (Daradjat, 2011:42).

c. Sifat-Sifat Guru

Syarat-syarat guru seperti uraian di atas adalah syarat-syarat yang

umum, yang berhubungan dengan jabatan guru di dalam masyarakat.

Salah satu syarat umum tersebut ialah guru harus berkelakuan baik,

artinya seorang guru harus memiliki sikap, watak, dan sifat-sifat yang

baik. Abrasyi (1993:137-139) menyebutkan bahwa sebaiknya guru dalam

Islam memiliki sifat-sifat berikut ini:

1) Bersifat zuhud, maksudnya tidak mengutamakan materi, mengajar

dilakukan karena mencari keridhoan Allah Swt. Gaji bagi seorang

pendidik adalah diperbolehkan, akan tetapi perlu diingat bahwa

menerima gaji tersebut bukan tujuan semata-mata. Gaji tersebut

merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam

rangka beribadah kepada Allah Swt dan mendekatkan diri kepada-

Nya sebagi tujuan hakiki;

2) Bersih tubuhnya sehingga penampilan lahiriahnya menyenangkan

dan bersih jiwanya artinya tidak suka melakukan dosa-dosa besar;

110

3) Ikhlas atau tidak ria dan bersikap jujur dalam pekerjaan;

4) Bersifat pemaaf, yakni harus memiliki sifat pemaaf terhadap siswa-

siswanya, banyak bersabar, berkepribadian dan memiliki harga diri,

menjaga kehormatan, dan menghindarkan hal-hal yang hina;

5) Bersifat kebapakan, yakni mencintai siswanya seperti mencintai

anaknya sendiri;

6) Mengetahui karakter siswa, mencakup pembawaan, kebiasaan,

perasaan, dan pemikiran.

Sifat-sifat guru sebagaimana disimpulkan oleh Tafsir (2008:84)

yaitu: kasih sayang kepada siswa, lemah lembut, rendah hati,

menghormati ilmu yang bukan pegangannya, adil, menyenangi ijtihad,

konsekuen antara perkataan dengan perbuatan, dan sederhana.

Selanjutnya menurut Purwanto (2008:143-146), seorang guru yang baik

memiliki sifat-sifat: adil, percaya dan suka kepada siswa-siswanya, sabar

dan rela berkorban, berwibawa, penggembira atau humoris, bersikap baik

terhadap guru-guru lainnya, serta bersikap baik terhadap masyarakat.

Seorang guru menurut Gunawan (2014) harus memiliki

kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi

teladan bagi siswa, dan berakhlak mulia. Kepribadian tersebut apabila

dijabarkan adalah sebagai berikut:

1) Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil, yang indikatornya

bertindak sesuai norma hukum dan norma sosial. Bangga sebagai guru

dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma;

111

2) Memiliki kepribadian yang dewasa, dengan ciri menampilkan

kemandirian dalam bertindak sebagai guru yang memiliki etos kerja;

3) Memiliki kepribadian yang arif, yang ditunjukkan dengan tindakan

yang bermanfaat bagi siswa, sekolah, dan masyarakat, serta

menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak;

4) Memiliki kepribadian yang berwibawa, yaitu perilaku yang

berpengaruh positif terhadap siswa dan memiliki perilaku yang

disegani;

5) Memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan, dengan menampilkan

tindakan yang sesuai norma religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas,

suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani siswa

(Gunawan, 2014:196).

d. Tugas Guru

Tugas guru bukan hanya mengajar (transfer of knowledge) saja,

tetapi juga sekaligus mendidik, yaitu aktualisasi sifat-sifat Ilahi manusia

dengan cara aktualisasi potensi-potensi manusia untuk mengimbangi

kelemahan-kelemahan yang dimiliki. Oleh karena itu, tugas-tugas guru

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Sebagai pengajar (mu‟allim) yang bertugas merencanakan program

pengajaran, dan melaksanakan program yang telah disusun, serta

mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian (evaluasi) setelah program

dilaksanakan;

112

2) Sebagai pendidik (murabbi) yang mengarahkan siswa pada tingkat

kedewasaan yang berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan

Allah Swt menciptakannya;

3) Sebagai pemimpin (manager) yang memimpin dan mengendalikan

diri sendiri dan siswa serta masyarakat terkait yang menyangkut

upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan,

dan antisipasi atas program yang telah dilakukan (Roestiyah dalam

Gunawan, 2014:170).

Tugas dan kewajiban guru menurut Al-Ghazali sebagaimana

dikutip Zainuddin (1991) dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Mengikuti Jejak Rasulullah saw. dalam Tugas dan Kewajibannya

Seorang guru hendaknya menjadi wakil dan pengganti

Rasulullah saw. yang mewarisi ajaran-ajarannya dan

memperjuangkan dalam kehidupan masyarakat di segala penjuru

dunia, demikian pula perilaku, perbuatan dan kepribadian seorang

guru harus mencerminkan ajaran-ajarannya, sesuai dengan

akhlaknya. Seorang guru seharusnya menilai tujuan dan tugas

mengajarnya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah Swt

semata. Pandangan ini dapat dilihat dari dua segi: pertama, sebagai

tugas kekhalifahan dari Allah Swt; kedua, sebagai pelaksanaan tugas

ibadah kepada Allah Swt untuk mencari ridho-Nya dan mendekatkan

diri kepada-Nya. Tugas demikian dimaksudkan agar seorang guru

tidak menilai tugasnya hanya sekadar untuk mencari gaji dan

113

kekayaan belaka. Gaji bagi seorang guru adalah diperbolehkan, akan

tetapi perlu diingat bahwa menerima gaji tersebut bukan tujuan

semata-mata. Gaji tersebut merupakan sarana untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya dalam rangka beribadah kepada Allah Swt dan

mendekatkan diri kepada-Nya sebagai tujuan hakiki (Zainuddin,

1991:59-60).

2) Memberikan Kasih Sayang Terhadap Siswa

Seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua

orangtua siswanya, yaitu mencintai siswanya seperti memikirkan

keadaan anaknya. Hubungan psikologis antara guru dan siswanya,

seperti hubungan naluriah antara kedua orangtua dan anaknya,

sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan

berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran

(Zainuddin, 1991:61).

3) Menjadi Teladan bagi Siswa

Seorang guru hendaklah mengerjakan apa yang

diperintahkan, menjauhi apa yang dilarangnya dan mengamalkan

segala ilmu pengetahuan yang diajarkannya, karena perkataan dan

tindakan guru merupakan teladan bagi siswanya. Oleh karena itu,

seorang guru harus benar-benar dapat digugu dan ditiru, artinya

segala tutur katanya, segala anjurannya, segala nasehat-nasehatnya

harus benar-benar dapat dipercaya, harus benar-benar dapat

digunakan sebagai pegangan, sebagai pedoman, dan segala gerak

114

geriknya, segala tingkah lakunya harus benar-benar menjadi contoh

(Zainuddin, 1991:62).

4) Menghormati Kode Etik Guru

Setiap guru haruslah menjaga dan memelihara kode etik guru

dalam rangka membantu kemajuan proses pendidikan dan

pengajaran pada umumnya. Kode etik tersebut misalnya seorang

guru tidak boleh melamar suatu pekerjaan; bahwa suatu kontrak

harus dipenuhi hingga selesainya, guru tidak boleh mencampuri

urusan guru lain kecuali dimintai pertolongan, menjaga rahasia siswa

kecuali dipandang perlu untuk disampaikan kepada orang lain

dengan seizin dari yang bersangkutan, sorang guru tidak boleh

mengkritik teman sejawatnya kecuali dengan jujur dan tertulis serta

resmi, dan sebagainya (Zainuddin, 1991:63).

e. Kode Etik Guru

Kode etik guru dalam Islam menurut Al-Kanani dalam Gunawan

(2014) yaitu meliputi: kode etik yang berkaitan dengan diri sendiri, kode

etik yang berkaitan dengan pelajaran, dan kode etik yang berkaitan

dengan siswa.

1) Kode Etik Guru yang Berkaitan dengan Diri Sendiri

a) Guru hendaknya insyaf akan pengawasan Allah Swt terhadap

segala perkataan dan perbuatannya, ia memegang amanat yang

diberikan Allah kepadanya. Oleh karena itu, ia tidak boleh

115

menghianati amanat itu, justru ia tunduk dan merendahkan diri

kepada Allah Swt;

b) Guru hendaknya memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk

pemeliharaannya ialah dengan tidak mengajarkan ilmu kepada

orang yang menuntut ilmu hanya untuk kepentingan dunia semata;

c) Guru hendaknya bersifat zuhud, artinya hendaknya ia tidak tamak

terhadap kesenangan dunia;

d) Guru hendaknya tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan

ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta prestise,

atau kebanggan atas orang lain;

e) Guru hendaknya menjauhi mata pencaharian yang hina dalam

pandangan syara‟, menjauhi situasi yang dapat mendatangkan

fitnah, dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan

harga dirinya di mata orang banyak;

f) Guru hendaknya memelihara syiar-syiar Islam, seperti

melaksanakan shalat jama‟ah di masjid, mengucapkan salam, serta

menjalankan amar ma‟ruf nahi mungkar;

g) Guru hendaknya rajin melaksanakan hal-hal yang disunahkan oleh

agama, baik secara lisan maupun perbuatan, seperti membaca Al-

Qur‟an, berzikir, dan shalat tengah malam;

h) Guru hendaknya memelihara akhlak mulia dalam pergaulannya,

dan menghindarkan diri dari akhlak tercela sehingga menjadi

teladan dan panutan;

116

i) Guru hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan

hal-hal yang bermanfaat, seperti membaca dan menulis;

j) Guru hendaknya selalu belajar dan bersikap terbuka terhadap

masukan apapun yang bersifat positif dari manapun datangnya

(Gunawan, 2014:181-182).

2) Kode Etik Guru yang Berhubungan dengan Pelajaran

a) Guru sebelum berangkat untuk mendidik hendaknya suci dari

hadas dan kotoran, serta mengenakan pakaian yang baik;

b) Guru selalu berdo‟a terlebih dahulu sebelum berangkat ke tempat

mengajar dan di sepanjang perjalanan selalu berzikir kepada Allah

Swt;

c) Guru ketika di dalam ruang belajar mengambil posisi tempat yang

membuatnya terlihat oleh semua siswa;

d) Guru sebelum memulai pelajaran hendaknya membaca sebagian

ayat Al-Qur‟an dan kemudian membaca basmalah, agar

memperoleh berkah dalam mengajar;

e) Guru hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai hirarki nilai,

kemuliaan, dan kepentingannya, serta berupaya mendasarkan

materi pelajaran dengan Al-Qur‟an dan hadits;

f) Guru hendaknya selalu mengatur volume suaranya sehingga tidak

terlalu keras ataupun terlalu pelan;

117

g) Guru hendaknya memperhatikan tata cara penyampaian materi

pelajaran yang baik, sehingga apa yang disampaikan mudah

dicerna oleh siswa;

h) Guru hendaknya selalu menanamkan akhlak terpuji kepada siswa,

termasuk menegur siswa yang berbuat tercela, baik di dalam

maupun di luar ruangan belajar;

i) Guru hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahasan,

menyampaikan pelajaran, dan menjawab pertanyaan;

j) Guru harus berusaha mempersatukan hati siswanya antara satu

dengan lainnya, khususnya jika ada siswa baru;

k) Guru hendaknya menutup setiap akhir pelajaran dengan kalimat

wallahu a‟lam (Allah Swt Yang Maha Tahu), yang menunjukkan

penyerahan kembali segala urusan kepada Allah Swt;

l) Guru hendaknya tidak mengajar bidang studi yang tidak

dikuasainya, ini adalah salah satu wujud memuliakan ilmu

(Gunawan, 2014:183-184).

3) Kode Etik Guru yang Berkaitan dengan Siswa

a) Guru hendaknya mengajar dengan niat mencari ridho Allah Swt,

menyebarkan ilmu, menghidupkan syara‟, menegakkan kebenaran

dan melenyapkan kebatilan, serta memelihara kemaslahatan umat;

b) Guru hendaknya tidak menolak untuk mengajar siswa yang tidak

mempunyai niat tulus dalam belajar;

118

c) Guru hendaknya mencintai siswanya seperti ia mencintai dirinya

sendiri;

d) Guru hendaknya memotivasi siswanya agar menuntut ilmu seluas

mungkin;

e) Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang

mudah dimengerti, dan berusaha agar siswanya dapat memahami

pelajaran;

f) Guru hendaklah melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar

mengajar yang dilakukannya;

g) Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua siswanya;

h) Guru hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan

siswanya, seperti apabila ada siswa yang sakit, ia menjenguknya,

dan apabila ada yang kehabisan bekal, hendaklah ia

membantunya;

i) Guru hendaknya terus memantau perkembangan siswanya, baik

intelektual maupun akhlaknya (Gunawan, 2014:184-185).

Uraian mengenai guru di atas dapat disimpulkan bahwa guru

menurut penulis dalam penelitian ini adalah orang dewasa yang bertugas

untuk mengupayakan perkembangan potensi siswa, baik jasmani maupun

rohani melalui proses pengajaran. Istilah guru yang terkadang muncul pada

pembahasan selanjutnya dalam penelitian ini maknanya disamakan dengan

pengertian guru tersebut, dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam

memaknai setiap bagian dalam penelitian ini.

119

Tugas seorang guru yaitu sebagai pengajar, guru dan pemimpin,

yang berlandaskan keteladanan terhadap sifat-sifat Rasulullah saw.

Selanjutnya, syarat seorang guru yaitu umur sudah dewasa, sehat jasmani,

bertaqwa, berilmu, dan berakhlak mulia. Kode etik yang harus ditaati oleh

guru yaitu berupa etika yang berkaitan dengan diri sendiri; berupa

persyaratan akhlak guru, etika berkaitan dengan pelajaran yaitu mengenai

adab dalam proses belajar mengajar, serta etika yang berkaitan dengan siswa

yaitu mengenai sikap seorang guru terhadap siswa.

2. Siswa

a. Pengertian dan Hakikat Siswa

Siswa dalam perspektif pendidikan Islam merupakan orang yang

belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang

masih perlu dikembangkan. Siswa merupakan makhluk Allah Swt yang

memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf

kematangan baik bentuk, ukuran, maupun pertimbangan bagian-

bagiannya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak,

perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan (Rasyidin

dan Nizar, 2005:47).

Siswa memerlukan bimbingan orang lain; dalam hali ini ialah

guru, untuk membantu mengarahkan dan mengembangkan potensi yang

dimiliki, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Oleh karena itu,

pemahaman konkrit tentang siswa perlu diketahui oleh guru, supaya

dapat membantu pelaksanaan tugas dan fungsinya melalui berbagai

120

aktivitas kependidikan. Siswa pada hakikatnya memiliki beberapa

karakteristik yang perlu dipahami oleh guru, yaitu sebagai berikut:

1) Siswa bukan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya

sendiri. Hal ini penting untuk dipahami oleh guru agar perlakuan

terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan

pendidikan orang dewasa, baik dalam aspek metode mengajar,

materi yang diajarkan, sumber bahan yang digunakan, dan lain

sebagainya;

2) Siswa adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi

perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini perlu diketahui

agar aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat

pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh

siswa;

3) Siswa adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang

menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.

Kebutuhan tersebut di antaranya adalah kebutuhan biologis, kasih

sayang, rasa aman, harga diri, aktualisasi diri dan sebagainya;

4) Siswa adalah makhluk Allah Swt yang memiliki perbedaan

individual, baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun

lingkungannya. Hal ini penting untuk dipahami guru, karena

menyangkut bagaimana pendekatan yang sesuai dengan aneka ragam

sikap dan perbedaan tersebut dalam suasana yang dinamis, tanpa

harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau kelompok;

121

5) Siswa merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan

rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan

dan pembiasaan melalui proses pendidikan. Sedangkan unsur rohani

meliputi dua daya, yaitu daya akal dan rasa. Daya akal dipertajam

melalui proses pendidikan dengan mengasah daya intelektualitasnya

melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa

dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah. Konsep ini

bermakna bahwa proses pendidikan Islam hendaknya dilakukan

dengan memandang siswa secara utuh;

6) Siswa adalah manusia yang memiliki potensi yang dapat

dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Tugas guru di sini

adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan

tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa

melepaskan tugas kemanusiaannya; baik secara vertikal maupun

horizontal (Rasyidin dan Nizar, 2005:48-50).

b. Sifat-Sifat Ideal Siswa

Sifat-sifat ideal yang harus dimiliki oleh siswa misalnya:

berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang

tinggi, sabar, tabah, tidak mudah putus asa dan lain sebagainya (Rasyidin

dan Nizar, 2005:52). Berkenaan dengan sifat-sifat ideal tersebut, Al-

Ghazali sebagaimana dikutip Rasyidin dan Nizar (2005:52-53)

merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki siswa menjadi sepuluh

macam sifat, yaitu:

122

1) Belajar dengan niat ibadah, konsekuensi dari sikap ini siswa akan

senantiasa mensucikan diri dengan akhlakul karimah dalam

kehidupan sehari-harinya, serta berupaya meninggalkan akhlak yang

rendah (tercela);

2) Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding

ukhrawi dan sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua

dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk

melaksanakan amanat-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal;

3) Bersikap tawadhu‟ (rendah hati);

4) Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari

berbagai aliran;

5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun ilmu

agama;

6) Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran

yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak);

7) Mempelajari suatu ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada

ilmu yang lainnya;

8) Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari;

9) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi;

10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu

ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat, membahagiakan,

mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup di dunia dan

akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya.

123

c. Tugas dan Kewajiban Siswa

Tugas dan kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan dan

dikerjakan oleh setiap siswa menurut Abrasyi (1993:147-148) di

antaranya adalah sebagai berikut:

1) Sebelum mulai belajar, siswa didik harus terlebih dahulu

membersihkan hatinya dari segala sifat buruk, karena belajar dan

mengajar adalah termasuk ibadah;

2) Niat belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwanya dengan

fadhilah, mendekatkan diri kepada Allah Swt, bukan untuk

menonjolkan diri dan berbangga diri;

3) Hendaknya bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air untuk

mencari ilmu ke tempat yang jauh sekalipun;

4) Jangan terlalu sering menukar guru, kecuali dengan pertimbangan

yang matang;

5) Hendaklah ia menghormati guru, memuliakannya karena Allah Swt,

dan berupaya menyenangkan hatinya;

6) Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, dan jangan

melakukan suatu aktivitas dalam belajar kecuali atas petunjuk dan

izin guru;

7) Memaafkan guru apabila mereka bersalah, terutama dalam

menggunakan lidahnya;

8) Bersungguh-sungguh dan tekun belajar;

124

9) Siswa wajib saling mengasihi dan menyayangi di antara sesamanya

sebagai wujud untuk memperkuat rasa persaudaraan;

10) Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya;

11) Siswa hendaknya senantiasa mengulang pelajaran dan menyusun

jadwal belajar dengan baik guna meningkatkan kedisiplinan

belajarnya;

12) Menghargai ilmu dan bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai

akhir hayat.

Siswa berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai anak

yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi untuk dikembangkan. Ia

hakikatnya memiliki perbedaan dengan individu lain, mempunyai berbagai

kebutuhan dan periode perkembangan yang harus pahami dan diupayakan

oleh guru.

3. Materi Pendidikan Islam

Materi dalam pendidikan Islam yaitu semua ilmu yang berasal dari

Allah Swt. Ilmu tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu

perennial knowledge (pengetahuan abadi) dan acquired knowledge

(pengetahuan yang diperoleh). Pengklasifikasian tersebut dimaksudkan

sekadar untuk membedakan cara atau proses perolehannya, bukan untuk

memisahkan keduanya.

125

a. Ilmu Pengetahuan Abadi yang Bersumber dari Al-Qur’an dan

Sunnah (Perennial Knowledge)

Ilmu pengetahuan abadi ini secara esensial tidak mengalami

perkembangan dan perubahan. Tetapi dalam penjabarannya dan

pemahamannya mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan

perkembangan zaman. Isi kandungan ilmu ini secara garis besar meliputi:

aqidah, syari‟ah, dan akhlak.

1) Aqidah

Aqidah secara etimologi berarti keyakinan hidup dan secara

khusus berarti iman yakni kepercayaan dalam hati, diikrarkan dengan

lisan, dan diamalkan dengan perbuatan (anggota badan). Objek materi

pembahasan aqidah pada umumnya ialah rukun iman yang enam

yakni: iman kepada Allah Swt, kepada malaikat, kepada kitab-kitab

Allah Swt, kepada rasul-rasul Allah Swt, kepada hari akhir, serta iman

kepada qadha dan qadar. Aqidah merupakan landasan paling utama

bagi hidup dan kehidupan manusia yang akan memberikan motivasi

dan pengendali aktivitas manusia. Oleh karena itu, aqidah harus

ditanamkan kepada siswa sejak dini (Achmadi, 1992:81-82).

2) Syari‟ah

Syari‟ah secara etimologi berarti jalan, dan secara terminologi

berarti suatu sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan antara

manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan denga alam.

Syari‟ah menurut Achmadi (1992:83) mencakup dua aspek yaitu:

126

hubungan secara langsung antara manusia dengan Allah yang disebut

ibadah khusus (vertikal) dan hubungan manusia dengan sesama

manusia yang disebut mu‟amalah ma‟annas.

3) Akhlak

Akhlak ialah segala tuntunan dan ketentuan Allah Swt yang

membimbing watak, sikap, dan tingkah laku manusia agar bernilai

luhur sesuai dengan fitrahnya. Secara rinci akhlak dalam Islam dibagi

menjadi:

a) Akhlak manusia terhadap Al-Khaliq (Allah Swt);

b) Akhlak manusia terhadap dirinya sendiri;

c) Akhlak manusia terhadap sesama manusia;

d) Akhlak manusia terhadap alam lingkungannya (flora dan fauna)

(Achmadi, 1992:83).

Akhlak yang cakupannya sangat luas itu, maka sesungguhnya

syari‟ah juga termasuk akhlak. Namun Achmadi (1992) berpendapat

syari‟ah dikhususkan dalam bidang tersendiri atas dasar pertimbangan

bahwa ketentuan syari‟ah lebih tegas, termasuk sangsi hukumnya,

sedangkan akhlak dalam pembidangan ini pada umumnya tidak

disertai sangsi hukum yang jelas. Sifat akhlak hanya mengetuk hati

nurani manusia untuk menentukan sikap dan perbuatan sesuai dengan

bimbingan Ilahi. Pertimbangan individu di sini sangat menentukan,

oleh karenanya hanya imanlah yang dapat memanggil hati nurani

manusia untuk menerima dan melakukan ketentuan tersebut secara

127

ikhlas. Akhlak yang telah dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari dan

telah menjadi milik seseorang akan membentuk watak, dan watak

yang telah dijiwai akhlak Islami akan memperkokoh iman seseorang.

Demikian hubungan iman, akhlak, dan watak yang merupakan tugas

pendidikan Islam untuk mengembangkannya (Achmadi, 1992:83).

b. Ilmu Pengetahuan yang Diperoleh (Acquired Knowledge)

Wilayah kajian ilmu ini ialah meliputi manusia sendiri, sejarah,

dan alam semesta. Ilmu perolehan ini dapat diklasifikasikan menjadi

ilmu-ilmu berikut ini:

1) Imajinatif (seni), meliputi: seni dan arsitektur Islam, bahasa, sastra;

2) Ilmu-ilmu intelektual, meliputi: studi sosial, filsafat, pendidikan,

ekonomi, ilmu politik, sejarah, peradaban Islam (termasuk paham-

paham Islam tentang politik, ekonomi, kehidupan sosial, perang dan

damai), geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, antropologi;

3) Ilmu-ilmu alam, meliputi: filsafat ilmu pengetahuan, matematika,

statistik, fisika, kimia, ilmu-ilmu kehidupan, astronomi dan ilmu

ruang, dan sebagainya;

4) Ilmu terapan, meliputi: rekayasa dan teknologi (sipil, mesin, dan

sebagainya), obat-obatan, dan sebagainya;

5) Ilmu-ilmu praktis, meliputi: perdagangan, administrasi umum, ilmu

perpustakaan, ilmu kerumahtanggaan, ilmu komunikasi, dan

sebagainya (Achmadi, 1992:84).

128

Berdasarkan uraian di atas, materi atau isi pendidikan Islam

walaupun secara kasat mata dipisahkan menjadi perennial knowledge dan

acquired knowledge, namun keduanya ialah satu kesatuan. Keduanya

harus diajarkan secara utuh sebagai satu kesatuan dengan tujuan untuk

menambah ketaqwaan siswa. Perennial knowledge dalam pengajarannya

harus diserta penjelasan dari temuan-temuan dalam acquired knowledge,

supaya muatannya selalu mengikuti perkembangan zaman. Acquired

knowledge harus dilandasi dengan ajaran-ajaran di dalam perennial

knowledge, supaya tidak menjadi ilmu yang melenceng dari ketentuan-

ketentuan Islam.

4. Metode Pendidikan Islam

Metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa

dan membangkitkan semangat dapat ditemukan dalam Al-Qur‟an dan

Sunnah Nabi saw. Metode-metode tersebut menurut Nahlawi (1992)

meliputi: metode hiwar, metode kisah, metode amtsal, metode keteladanan,

metode pengamalan dan pembiasaan, metode „ibrah dan ma‟uidhah, serta

metode targhib dan tarhib.

a. Metode Dialog (Hiwar) Qur’ani dan Nabawi

Dialog (hiwar) adalah percakapan silih berganti antara dua pihak

atau lebih mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada

satu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Bahan

pembicaraan di dalam percakapan itu tidak dibatasi; dapat digunakan

berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu, dan lain-lain. Hiwar

129

mempunyai dampak yang dalam bagi pembicara dan juga bagi pendengar

pembicaraan itu. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:

pertama, dialog itu berlangsung secara dinamis karena kedua pihak

terlibat langsung dalam pembicaraan, sehingga tidak membosankan;

kedua, pendengar tertarik untuk mengikuti pembicaraan secara terus-

menerus karena ingin tahu kesimpulannya; ketiga, metode ini dapat

membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa; keempat,

jika hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak dan tuntunan Islam,

maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat itu akan memberikan

pengaruh positif bagi peserta yaitu berupa pendidikan akhlak, sikap

dalam bicar, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya (Nahlawi,

1992:284-285).

Metode hiwar menurut Nahlawi (1992) terdapat dalam Al-Qur‟an

dan Sunnah Nabi saw. Hiwar yang terdapat dalam Al-Qur‟an misalnya

hiwar Khitabi atau Ta‟abudi, merupakan metode dialog yang diambil

dari dialog antara Tuhan dan hamba-Nya di dalam Al-Qur‟an (Nahlawi,

1992:290). Hiwar yang berasal dari Sunnah Nabi adalah metode dialog

yang digunakan Rasulullah saw. untuk mendidik para sahabat-

sahabatnya. Rasulullah saw. menghendaki agar para sahabatnya yang

memulai pertanyaan (Nahlawi, 1992:323).

b. Metode Kisah Qur’ani dan Nabawi

Kisah dalam pendidikan Islam mempunyai fungsi edukatif yang

sangat penting. Hal ini disebabkan kisah Qur‟ani dan Nabawi memiliki

130

beberapa keistimewaan yang membuatnya mempunyai dampak

psikologis dan edukatif yang sempurna, rapi, dan luas jangkauannya

seiring dengan perkembangan zaman. Metode kisah dikatakan amat

penting karena alasan antara lain sebagai berikut:

1) Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar

untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya;

2) Kisah Qur‟ani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena

penampilan tokoh kisah itu disajikan secara mengena, sesuai dengan

tempatnya, fungsi dan upaya pencapaian tujuan edukatif dari

penyajiannya;

3) Kisah Qur‟ani mendidik perasan keimanan dengan cara: (a)

membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, ridho, cinta; (b)

mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu

puncak yaitu kesimpulan kisah; (c) melibatkan pembaca atau

pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional

(Nahlawi, 1992:331-335).

Kisah-kisah Nabawi tidak berbeda dengan kisah-kisah Qur‟ani,

akan tetapi ditinjau dari segi tujuannya merupakan sebuah rincian atau

pengkhususan dari tujuan kisah Qur‟ani. Kisah-kisah Nabawi itu seperti

tentang keikhlasan dalam beramal shalih, menganjurkan bersedekah dan

mensyukuri nikmat Allah Swt (Nahlawi, 1992:344-347).

131

c. Metode Perumpamaan (Amtsal)

Allah Swt ada kalanya mengajari umatnya dengan membuat

perumpamaan, misalnya dalam Surah Al-Ankabut ayat 41 Allah Swt

mengumpamakan sesembahan atau Tuhan orang kafir dengan sarang

laba-laba, ayat tersebut berbunyi:

Artinya:

Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-

pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat

rumah. Dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah

rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (Q.S. Al-Ankabut:

41).

Metode perumpamaan seperti dalam ayat-ayat Al-Qur‟an juga

dapat digunakan oleh guru dalam mengajar. Pengungkapannya tentu

sama dengan metode kisah, yaitu dengan cara ceramah atau membaca

teks. Kebaikan metode ini antara lain sebagai berikut:

1) Mempermudah siswa dalam memahami konsep yang abstrak, ini

terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda konkrit seperti

kelemahan Tuhan orang kafir diumpamakan dengan sarang laba-laba;

2) Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat

dalam perumpamaan tersebut;

132

3) Merupakan pendidikan agar dapat berpikir logis dalam menggunakan

perumpamaan itu. Perumpamaan yang dibuat harus mampu

memperjelas konsep, bukan sebaliknya;

4) Amtsal Qur‟ani dan Nabawi dapat memberikan motivasi kepada

pendengarnya untuk melakukan amal baik dan menjauhi segala

kemungkaran (Nahlawi, 1992:355-362).

d. Metode Teladan

Siswa cenderung meneladani gurunya; ini diakui oleh semua ahli

pendidikan, baik Barat maupun Timur. Dasarnya ialah karena secara

psikologis anak memang senang meniru; tidak saja yang baik, yang jelek

pun ditirunya. Sifat siswa itu diakui dalam Islam. Umat meneladani Nabi

saw.; Nabi saw. meneladani Al-Qur‟an. Keteladanan dalam pandangan

Islam dapat dipetik beberapa konsep, di antaranya yaitu:

1) Metode pendidikan Islam berpusat pada keteladanan. Kepala sekolah,

guru, dan semua aparat sekolah merupakan teladan bagi siswa di

sekolah. Dalam pendidikan masyarakat, teladan itu adalah para

pemimpin masyarakat, misalnya para da‟i;

2) Teladan untuk umat Islam khususnya para guru adalah Rasulullah

saw. Guru tidak boleh mengambil tokoh yang diteladani selain

Rasulullah saw., sebab beliau adalah teladan yang baik. Rasulullah

saw. meneladankan bagaimana kehidupan yang dikehendaki Tuhan,

karena Rasulullah saw. adalah penafsir ajaran Tuhan (Nahlawi,

1992:366-367).

133

Manusia secara psikologis memang membutuhkan tokoh teladan

dalam hidupnya; ini adalah sifat pembawaan. Taqlid (meniru) adalah

salah satu sifat pembawaan manusia. Peneladanan itu ada dua macam,

yaitu sengaja dan tidak sengaja. Keteladan yang tidak sengaja di

antaranya adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat

keikhlasan, sedangkan keteladanan yang disengaja seperti memberikan

contoh membaca yang baik, mengerjakan shalat yang benar. Keteladanan

yang disengaja ialah keteladanan yang memang disertai penjelasan atau

perintah agar meneladani. Dalam pendidikan Islam, kedua keteladanan

tersebut sama pentingnya (Nahlawi, 1992:372).

e. Metode Pengamalan dan Pembiasaan

Islam adalah agama yang menuntut pemeluknya supaya

mengerjakan amal shalih. Sebagian ulama salaf mengatakan, bahwa ilmu

akan berkurang dengan tidak mengamalkan, menyerukan, dan

mengerjakannya kepada orang-orang. Oleh karena itu, dalam dunia

pendidikan, metode “learning by doing” atau dengan jalan

mengaplikasikan teori dengan praktik sangat terkesan dalam jiwa,

mengokohkan ilmu di dalam kalbu dan menguatkan dalam ingatan

(Nahlawi, 1992:375-376).

Suatu amalan sebaiknya dilakukan secara terus-menerus supaya

menjadi sebuah kebiasaan. Maka dalam pendidikan Islam digunakan

metode pembiasaan untuk pembinaan sikap. Anak-anak yang dibiasakan

bangun pagi misalnya, akan berpengaruh dalam segala aktivitas

134

hidupnya. Ia akan mengerjakan pekerjaan lain pun cenderung pagi-pagi

atau lebih awal. Ahli-ahli pendidikan sepakat untuk membenarkan

metode pembiasaan sebagai salah satu upaya yang baik dalam

pembentukan manusia dewasa (Tafsir, 2008:144). Metode pengamalan

dan pembiasaan dapat menggugah akhlak yang baik pada jiwa siswa

sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih istiqamah, karena

merasakan dirinya sukses dalam perbuatan dan pekerjaannya.

f. Metode Pelajaran (‘Ibrah) dan Nasehat (Mau’idhah)

„Ibrah dan i‟tibar adalah suatu kondisi psikis yang

menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang

dihadapi dengan menggunakan nalar sehingga kesimpulannya dapat

mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya atau dengan kata lain „ibrah

ialah suatu kondisi yang memungkinkan manusia sampai dari

pengetahuan konkrit kepada pengetahuan yang abstrak (Nahlawi,

1992:390). Adapun ma‟uidhah adalah nasehat yang lembut yang diterima

oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya (Nahlawi,

1992:403).

g. Metode Janji (Targhib) dan Hukuman (Tarhib)

Targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat

yang disertai bujukan. Tarhib adalah ancaman dari Allah Swt atas dosa

yang dilakukan, dengan maksud untuk menumbuhkan rasa takut pada

hamba-Nya. Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam berbeda dengan

metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Barat. Perbedaan

135

utamanya ialah targhib dan tarhib berdasarkan ajaran Allah Swt,

sedangkan ganjaran dan hukuman bersandarkan hukuman dan ganjaran

duniawi. Perbedaan antara targhib dan tarhib dengan ganjaran dan

hukuman di antaranya sebagai berikut:

1) Targhib dan tarhib mengandung aspek iman, sedangkan ganjaran dan

hukuman tidak mengandung aspek iman;

2) Targhib dan tarhib secara operasional lebih mudah dilaksanakan

daripada metode ganjaran dan hukuman karena materi targhib dan

tarhib sudah ada dalam Al-Qur‟an dan Sunnah, sedangkan ganjaran

dan hukuman harus ditemukan sendiri oleh guru;

3) Targhib dan tarhib lebih universal, dapat digunakan kepada siapa saja

dan di mana saja, sedangkan jenis hukuman dan ganjaran harus

disesuaikan dengan orang tertentu dan tempat tertentu;

4) Targhib dan tarhib di pihak lain lebih lemah daripada ganjaran dan

hukuman, karena ganjaran dan hukuman lebih nyata dan langsung

waktu itu juga, sedangkan pembuktian targhib dan tarhib kebanyakan

ghaib dan diterima nanti (di akhirat) (Tafsir, 2008:147).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode-metode

dalam pendidikan Islam seperti metode hiwar, metode kisah, metode

amtsal, metode keteladanan, metode pengamalan dan pembiasaan, metode

„ibrah dan ma‟uidhah, serta metode targhib dan tarhib, semuanya bertujuan

untuk membentuk kepribadian siswa berdasarkan nilai-nilai Islam.

136

5. Alat dan Media Pendidikan Islam

Alat pendidikan dalam banyak kasus menjadi rancu karena

dipersamakan dengan media pendidikan. Alat dapat disebut dengan

hardware atau perangkat keras, yang berfungsi untuk menyajikan pesan,

seperti: LCD, Komputer, Televisi, VCD, speaker, dan sebagainya.

Sedangkan media pendidikan yaitu bahan atau perangkat lunak (software)

yang di dalamnya mengandung pesan-pesan yang perlu disajikan,

contohnya: video, film, slide power point, rekaman, musik, dan lain

sebagainya (Roqib, 2009:69).

Alat dan media pendidikan dengan perkembangan teknologi saat ini

bukan hanya berperan sebagai alat bantu belaka bagi guru, tetapi juga

sebagai alat penyalur pesan dari guru kepada siswa. Media pendidikan

sebagai salah satu sumber belajar yang dapat menyalurkan pesan akan

membantu mengatasi hambatan psikologis, fisik, kultural, dan lingkungan.

Media pendidikan juga dapat membantu perbedaan gaya belajar, cacat

tubuh, atau hambatan jarak geografis, minat, intelegensi, keterbatasan daya

indera, jarak waktu, dan lain-lain (Roqib, 2009:70).

Dalam perspektif pendidikan Islam, kewajiban membuat media

dengan memanfaat perkembangan iptek dan keharaman mengacuhkannya

adalah bagian dari aktualisasi amar ma‟ruf nahi mungkar. Perkembangan

teknologi walaupun memiliki dua sisi yang saling bertentangan; positif dan

negatif, akan tetapi guru harus mampu mengambil sisi positifnya, yaitu

137

mengambil yang penting dan bermanfaat bagi pengembangan proses

pendidikan Islam (Roqib, 2009:71).

Pada masa sekarang, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, proses belajar mengajar tidak dapat dilepaskan dari media

modern. Guru dapat memanfaatkan teknologi modern untuk membuat media

sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih menarik. Guru, misalnya

dapat memanfaatkan jaringan internet untuk membuat blog atau website

yang berisi materi pembelajaran yang dibutuhkan dan dapat diakses oleh

peserta didik serta masyarakat umum. Power point juga dapat digunakan

oleh guru untuk menyampaikan materi pelajaran secara lebih ringkas,

menarik, dan mudah dipahami siswa, apalagi jika dilengkapi dengan musik,

bagan, grafik, gambar, bahkan video.

6. Lembaga Pendidikan Islam

Lembaga pendidikan merupakan suatu institusi, media, forum, atau

situasi dan kondisi tertentu yang memungkinkan terselenggaranya proses

pembelajaran, baik secara terstruktur maupun secara tradisi yang telah

diciptakan sebelumnya (Roqib, 2009:121). Lembaga pendidikan secara garis

besar dibagi menjadi tiga: (1) lembaga pendidikan formal; (2) lembaga

pendidikan informal; (3) lembaga pendidikan non formal, yaitu sebagai

berikut:

a. Lembaga Pendidikan Formal

Lembaga pendidikan formal seringkali dilekatkan dengan

lembaga sekolah yang memiliki tujuan, sistem, kurikulum, gedung,

138

jenjang, dan jangka waktu yang telah tersusun rapi dan lengkap. Sekolah

didirikan dengan maksud untuk menyampaikan pendidikan dan ilmu

pengetahuan dengan sistem yang teratur dan metode yang sistematik.

Guru melaksanakan pembinaan, pendidikan, dan pengajaran di lembaga-

lembaga pendidikan formal ini dengan dibekali pengetahuan tentang

siswa, serta memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas

kependidikan. Fungsi sekolah dalam konsep Islam adalah sebagai media

merealisasikan pendidikan berdasarkan tujuan pemikiran, aqidah, dan

syari‟ah demi terwujudnya penghambaan (pengabdian) kepada Allah

Swt, sikap mengesakan-Nya serta mengembangkan segala potensi atau

fitrahnya sehingga manusia terhindar dari berbagai penyimpangan

(Kaelany, 2000:251-252).

b. Lembaga Pendidikan Informal

Lembaga pendidikan informal yaitu keluarga sebagai lingkungan

pendidikan pertama yang berperan penting dalam membentuk

kepribadian anak. Rumah keluarga muslim merupakan benteng utama

tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan Islam. Keluarga muslim

maksudnya adalah keluarga yang mendasarkan aktivitasnya pada

pembentukan keluarga yang sesuai dengan syari‟ah Islam. Di dalam

rumah itu anak akan dididik antara lain agar ia dapat mendirikan syari‟ah

Islam. Di dalam keluarga itu juga diharapkan dapat terwujud ketentraman

psikologis jika kedua suami istri bersatu di atas landasan kasih sayang

sehingga anak-anak pun akan tumbuh dalam suasana bahagia, percaya

139

diri, tenteram, kasih sayang serta jauh dari kekacauan (Kaelany,

2000:250).

c. Lembaga Pendidikan Non Formal

Lembaga pendidikan non formal keberadaannya berada di luar

sekolah atau di masyarakat, dan masyarakat itulah yang mengkondisikan

dan menjadi guru atau pendidik sekaligus sebagai subjek didik. Lembaga

pendidikan non formal misalnya pesantren dan masjid.

1) Pesantren

Pesantren adalah lingkungan masyarakat tempat para santri

menuntut ilmu (Sri Sutjianingsih dan Sutrisno Kutoyo dalam Saerozi,

2013:7). Ciri-ciri khas pesantren yang membedakannya dengan

lembaga pendidikan lainnya adalah: (1) adanya pondok tempat tinggal

kiai dan santrinya; (2) adanya masjid sebagai tempat kegiatan ibadah

dan belajar-mengajar (pengajian); (3) santri bertempat tinggal secara

tetap dalam waktu yang relatif lama (bermukim); (4) kiailah yang

menjadi tokoh sentral dalam pesantren; dan (5) yang diajarkan adalah

kitab-kitab Islam klasik sebagai kelanjutan dari pengajian Al-Qur‟an

(Dhofier, 1983:44).

2) Masjid

Aktivitas pertama Rasulullah saw. ketika di Madinah adalah

membangun masjid, karena masjid merupakan suatu tempat yang

dapat menghimpun berbagai jenis kegiatan kaum muslimin. Masjid

selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga digunakan seluruh umat

140

muslim untuk membahas dan memecahkan persoalan hidup,

bermusyawarah untuk mewujudkan berbagai tujuan, menjauhkan diri

dari kerusakan, serta menghadang berbagai penyelewengan aqidah.

Sesuatu yang sudah mulai terlupakan pada zaman ini, dahulu masjid

digunakan sebagai markas besar tentara, dan merupakan pusat

pendidikan yang mengajak manusia pada keutamaan, kecintaan pada

pengetahuan, kesadaran sosial, serta sebagai sarana dalam mengisi

hati kaum muslimin dengan kekuatan spiritual serta berzikir

mengingat dan mendekatkan diri kepada-Nya (Kaelany, 2000:250).

Lembaga pendidikan Islam seperti yang telah diuraikan di atas,

masing-masing memiliki peranan yang amat penting bagi perkembangan

siswa. Keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama, seharusnya

mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran Islam yang berfungsi sebagai

pedoman moral anak dalam bergaul dengan masyarakat luar. Sekolah atau

madrasah merupakan pendidikan formal yang wajib ditempuh siswa sebagai

bekal masa depannya. Pesantren maupun masjid sebagai lembaga

pendidikan non formal sekaligus keagamaan yang diperlukan oleh anak

dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang ajaran Islam serta

mempertebal keimanan.

141

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Konsep Etos Kerja Islami

1. Perpaduan Berbagai Konsep dalam Etos Kerja Islami

Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang

berorientasi bukan sekadar pada aspek materi tetapi lebih dalam dari itu

untuk mengabdi kepada Allah Swt sehingga ridho-Nya dapat diraih. Etos

kerja Islami memiliki prinsip di antaranya bahwa bekerja itu harus

sepenuh hati karena merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt.

Bekerja sebagai wujud pengabdian kepada Allah Swt termasuk ibadah

dalam arti luas, maka umat muslim hendaknya menyeimbangkan

hidupnya dengan beribadah mahdhah dan juga bermuamalah, hablum

minallah dan hablumminannas. Beribadah mahdhah seperti shalat,

memang diwajibkan atas umat muslim, tetapi Islam tidak menghendaki

manusia yang mengisi seluruh waktunya dengan hanya beribadah

mahdhah, mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat, dan

melalaikan tugas-tugasnya sebagai khalifah Allah Swt untuk menciptakan

kemakmuran di muka bumi.

Etos kerja Islami menempatkan kerja sebagai aktivitas yang mulia.

Kerja sebagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang

bersifat duniawi sekaligus sarana untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.

142

Etos kerja Islami menempatkan hasil materi bukan sebagai tujuan

tertinggi dalam bekerja, melainkan hanya sebatas sarana untuk mencapai

kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu, tujuan tertinggi dari kerja seorang

muslim yang beretos kerja Islami ialah pengabdian kepada Allah Swt

dengan sepenuh jiwa, pikiran, dan fisik untuk meraih ridho-Nya. Supaya

dengan ridho Allah Swt tersebut, manusia dimasukkan dalam golongan

penghuni surga. Konsep-konsep dalam etos kerja Islami begitu moderat

dalam memposisikan kerja dalam kehidupan manusia.

a. Bekerja Sesuatu yang Fitrah dan Amanah

Manusia diciptakan Allah Swt dengan segenap potensi, baik

ruhani, jasmani, maupun akal. Potensi-potensi tersebut yang

membedakan manusia dari binatang dan memperoleh kedudukan

sebagai makhluk yang paling mulia. Manusia dengan bekerja maka

potensi dalam dirinya akan berkembang secara optimal, karena

bekerja merupakan aktualisasi diri (Syahyuti, 2011:147). Artinya,

dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya. Islam berpandangan

bahwa manusia hanya dapat memanusiakan dirinya dengan iman,

ilmu, dan amal (Tasmara, 2002:4). Iman akan menjadi nyata dengan

adanya amal yang dihiasi moral yang luhur yang dapat membawa ke

jalan yang lurus. Jalan yang lurus akan diperoleh melalui ilmu. Oleh

karena itu, seorang muslim dalam bekerja harus dilandasi dengan

iman dan ilmu yang dapat membawa kepada jalan yang lurus, supaya

manusia dapat memanusiakan dirinya.

143

Manusia sebagai makhluk yang paling mulia, maka amanat

untuk memakmurkan bumi pun dilimpahkan kepadanya. Gelar

khalifatullah fil ardhi atau khalifah Allah Swt di bumi membawa

konsekuensi bagi manusia untuk bekerja dengan penuh kesungguhan,

bukan kerja yang asal-asalan apalagi hanya bermalas-malasan.

Manusia dianjurkan untuk bekerja giat dan berkompetisi dalam

melakukan pekerjaan yang baik, sebagaimana telah disebutkan dalam

surat Al-Baqarah ayat 148, artinya: “... Maka berlomba-lombalah

kamu dalam (berbuat) kebaikan ....”. Hanya dengan bekerja dengan

penuh kesungguhan manusia dapat menundukkan dunia dan

menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat terbaik (khairu

ummah) yang bermanfaat bagi lingkungannya.

Bekerja merupakan perintah Allah Swt yang banyak termuat

dalam firman-Nya. Salah satunya dalam Q.S. Ar-Ra‟du ayat 11

dijelaskan bahwa Allah Swt tidak akan mengubah keadaan suatu

kaum hingga mereka sendiri yang mengubahnya. Ayat ini

menyiratkan perintah Allah Swt kepada umat manusia untuk bekerja

agar mereka dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dengan

kehidupan yang lebih baik maka manusia dapat meninggikan

martabatnya.

b. Bekerja adalah Ibadah

Tugas setiap manusia dan juga jin ialah ibadah;

menghambakan diri kepada Allah Swt. Ibadah sebagai tugas hidup

144

adalah mencakup semua aspek kehidupan (ucapan, perbuatan, dan

lain-lain) yang diizinkan oleh Allah Swt dan dilaksanakan dengan

ikhlas untuk mendapatkan ridho Allah Swt. Ibadah dalam pengertian

khusus (terminologi fiqh) berarti perbuatan atau upacara dalam

melaksanakan hubungan langsung dengan Allah Swt. Termasuk dalam

pengertian ini adalah rukun Islam yang lima. Ibadah dalam arti khusus

utamanya rukun Islam yang lima telah diatur tata caranya secara pasti

(Faridi, 1982:87-88). Ibadah baik sebagai tugas hidup maupun ibadah

ritual memiliki kedudukan yang sama pentingnya dan harus dilakukan

seluruhnya tanpa meninggalkan salah satu di antaranya.

Bekerja adalah salah satu aspek dari kehidupan manusia yang

berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan guna

mempertahankan kelangsungan hidup. Bekerja merupakan sarana

untuk memanusiakan manusia dan meninggikan martabatnya di

hadapan Allah Swt. Bekerja adalah termasuk ibadah, apabila

dilaksanakan dengan ikhlas, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang

dikehendaki Allah Swt dan tujuan tertingginya untuk meraih ridho

Allah Swt. Bekerja sebagai ibadah berarti kerja yang dilakukan

didasarkan pada keimanan kepada Allah Swt sehingga bekerja

termasuk amal shalih. Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan pahala

orang yang beramal shalih, seperti tertulis dalam firman Allah Swt

surah Al-Kahfi ayat 30 berikut ini:

145

Artinya:

Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal shalih,

tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang

yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. (Q.S. Al-

Kahfi: 30).

Bekerja sebagai ibadah yaitu menghambakan diri kepada Allah

Swt. Bekerja dalam rangka menghambakan diri kepada Allah Swt

Yang Maha Mulia lagi Sempurna tentunya tidak boleh asal-asalan,

melainkan harus dilaksanakan dengan ikhlas, sepenuh hati, dan penuh

kesungguhan. Bekerja sebagai ibadah harus diiringi oleh tujuan untuk

menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, kemudian melahirkan suatu

peningkatan atau perbaikan untuk meraih nilai yang lebih bermakna.

Bekerja sebagai ibadah merupakan bukti pengabdian dan rasa syukur

umat muslim untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi agar

mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi

diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos terbaik

(Tasmara, 2002:25).

Bekerja merupakan ibadah, maka sebagai muslim jangan

sampai terjebak hanya pada ibadah ritual saja dan menganggap kerja

hanya sebagai aktivitas duniawi yang tidak bernilai ibadah. Anggapan

tersebut tentunya tidak benar. Islam merupakan agama yang kaffah,

mementingkan urusan dunia dan akhirat, hablumminallah dan

hablumminannas, aqidah dan syari‟ah, jasmani dan rohani, individu

146

dan sosial, serta pasangan-pasangan yang lainnya. Sifat menyeluruh

dan seimbang ini dipertegas oleh Al-Qur‟an dan hadits. Dalam Surah

Al-Jumu‟ah ayat 9 dijelaskan bahwa: “Apabila kamu selesai

mengerjakan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah

karunia Allah”. Ayat ini menegaskan bahwa manusia yang bertakwa

bukan sekadar yang mengerjakan ibadah ritual melainkan juga

bermuamalah. Rasulullah saw. selanjutnya dalam hadits juga

menjelaskan bahwa beliau tidak menyukai sikap yang berlebihan,

karena beliau orang yang paling takut kepada Allah Swt saja berpuasa

dan berbuka, shalat dan tidur serta menikahi wanita-wanita. Islam

agama yang kaffah, menghendaki pemeluk-pemeluknya untuk

melaksanakan tuntunan agama secara menyeluruh dan seimbang.

c. Bekerja adalah Rangkaian Iman, Hijrah, dan Jihad

Jihad bukan hanya semata-mata dikaitkan dengan perang

secara fisik. Jihad secara umum maknanya adalah kesungguhan untuk

mengerahkan segala kekuatan atau potensi dirinya di dalam

melaksanakan sesuatu dan meninggikan martabat dirinya sebagai

manusia yang mengemban misi sebagai rahmatan lil „alamin

(Tasmara, 2002:37). Oleh karena itu, secara sederhana jihad diartikan

sebagai bersungguh-sungguh. Allah Swt bahkan memberikan jaminan

pertolongan serta jalan keluar bagi mereka yang bersungguh-sungguh

dalam segala hal, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt

surah Al-Ankabut ayat 69 sebagai berikut:

147

Artinya:

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan)

Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka

jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar

beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Ankabut:

69).

Jihad dalam kaitannya dengan kerja islami merupakan

semangat yang bergemuruh dalam setiap pekerjaan yang dilakukan

karena keterpanggilan untuk mendapatkan rahmat dan ridho Allah

Swt. Jihad merupakan bagian dari tiga rangkaian mutiara yang secara

berulang disebutkan di dalam Al-Qur‟an, yaitu rangkaian iman, hijrah,

dan jihad. Iman harus dihidupkan dalam bentuk adanya perubahan

(hijrah). Kualitas iman dan semangat perubahan tidak mungkin dapat

terwujud kecuali dengan adanya jihad, yaitu kesungguhan untuk

membuktikan dalam kehidupan yang nyata (Tasmara, 2002:39).

Bekerja adalah ibadah, ini artinya bekerja harus dilaksanakan

dengan penuh kesungguhan, mengerahkan segala daya dan upaya

secara maksimal, serta dengan semangat yang luar biasa. Bekerja

dengan semangat jihad juga merupakan proyeksi dari keimanan

seorang muslim. Keimanan dalam dirinya membawa keyakinan bahwa

Allah Swt senantiasa mengawasi kerja yang ia lakukan. Keyakinan ini

akan terproyeksikan pada sikap jujur dalam bekerja serta mampu

menghindarkan diri dari sikap-sikap curang atau negatif dalam

bekerja. Kesimpulannya, bekerja dengan semangat jihad ialah bekerja

148

dengan penuh kesungguhan untuk melahirkan perubahan-perubahan

yang lebih baik disetiap waktu, karena Allah Swt selalu mengawasi

kerja yang ia lakukan.

d. Materi Bukan Sekadar Hasil Kerja

Bekerja dalam konteks etos kerja Islami bukan sekadar

berorientasi pada materi, tetapi juga imateri sebagai tujuan tertinggi.

Hasil kerja berupa materi bukanlah tujuan akhir, melainkan hasil

tersebut adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga

akan dapat melaksanakan perintah-perintah Allah Swt selama di dunia

termasuk melaksanakan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, haji.

Ibadah-ibadah mahdhah tersebut tidak mungkin dapat terlaksana

apabila manusia tidak bekerja.

Haji misalnya, membutuhkan biaya yang besar untuk dapat

menunaikannya. Biaya tersebut didapat melalui bekerja tentunya.

Zakat juga demikian, zakat fitrah misalnya, hanya dapat dikeluarkan

oleh seorang muslim yang mampu untuk membayarkannya. Zakat mal

dapat dikeluarkan oleh seorang muslim apabila telah mencapai nisab

dan haul. Nisab tentunya dicapai apabila telah memenuhi kadar

tertentu, artinya orang yang dapat mengeluarkan zakat mal tergolong

orang yang berharta. Ini artinya, materi atau harta bukan sekadar

bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan manusia selama hidup di

dunia. Apalagi harta dipandang sebagai sesuatu yang negatif, karena

dapat membuat manusia lalai dan terlena. Anggapan ini memang

149

benar adanya, yaitu apabila seorang yang berharta tersebut

menganggap harta sebagai tujuan hidupnya, ia takut kehilangannya,

dan menjadi budak hartanya. Harta bagi seorang muslim seharusnya

ditempatkan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah Swt dan

mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat, sehingga tercapailah

tujuan tertinggi dari bekerja yaitu mendapatkan ridho Allah Swt agar

memasukkan ke dalam golongan penghuni surga.

2. Etos Kerja Islami Melahirkan Kerja yang Religius

Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang

bersumber dari keyakinan Islam terhadap kerja, di mana sumber tersebut

dimuat dalam Al-Qur‟an dan hadits. Keyakinan-keyakinan terhadap kerja

yang Islami dapat melahirkan cara-cara kerja yang Islami pula.

a. Produktivitas Tinggi sebagai Proyeksi Hati yang Bersyukur

Seorang muslim seharusnya akan menghindari sikap mubadzir.

Dengan penghayatan ini tumbuhlah sikap yang konsekuen dalam

bentuk perilaku yang selalu mengarah pada cara kerja yang efisien.

Sikap seperti ini merupakan modal dasar dalam upaya menjadikan

dirinya sebagai manusia yang selalu berorientasi kepada nilai-nilai

produktif. Kerja yang efisien dan berorientasi pada produktivitas ini

karena pribadi muslim sangat menghayati arti waktu sebagai aset, ia

tidak mungkin membiarkan waktu berlalu tanpa arti. Penghargaan

terhadap waktu ialah salah satu wujud rasa syukur atas limpahan

nikmat yang Allah Swt berikan kepadanya.

150

b. Bekerja secara Profesional sebagai Proyeksi Nilai Keikhlasan

Bekerja yang dilakukan dengan penuh keikhlasan, yang

orientasi utamanya ialah meraih ridho Allah Swt maka akan

membuahkan kerja yang profesional. Keikhlasannya untuk

mengabdikan diri kepada Allah Swt akan melahirkan cara-cara kerja

yang profesional yang tentunya disukai oleh Allah Swt. Ia dalam

bekerja di antaranya akan memiliki sikap jujur, konsisten, disiplin,

bertanggungjawab, melayani. Sikap-sikap tersebut ia lakukan secara

ikhlas, tanpa ada pamrih apapun. Meskipun dengan sikap kerja yang

demikian ia akan mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan

atau hasil yang tidak sesuai harapan, ia akan tetap menerimanya

dengan senang hati, sebab ia ikhlas dalam kerjanya. Ia yakin, dengan

keikhlasannya Allah Swt akan memberikan balasan yang lebih indah.

Balasan indah baik berupa kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan

berupa surga di akhirat.

c. Kerja Datang dari Cinta sebagai Wujud Pengabdian

Bekerja sebagai wujud pengabdian kepada Allah Swt tentunya

akan dilakukan dengan sepenuh hati dan cinta yang mendalam, supaya

Allah Swt berkenan memberikan ridho-Nya. Ketika seseorang

mengagumi orang lain yang diharapkan akan menjadi kekasihnya,

maka ia akan melakukan apapun dengan sepenuh cinta untuk dapat

memilikinya. Begitupun dengan bekerja, apabila ia sadar bahwa

bekerja merupakan ibadah; pengabdian diri kepada Allah Swt, maka

151

ia akan melakukan kerja dengan sepenuh cinta, supaya Allah Swt juga

mencintainya, mengabulkan do‟anya dan memberikan ridho-Nya.

d. Bekerja dalam Balutan Kompetisi dan Tolong Menolong

Allah Swt memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba atau

berkompetisi (tanafus) di manapun keberadaannya untuk menjadi

hamba yang gemar berbuat kebajikan (Fitriantoro, 2011:28). Semua

ini menunjukkan etos persaingan dalam kualitas kerja yang Islami.

Dalam kaitannya dengan kerja, Islam memerintahkan supaya seorang

muslim dalam bekerja memiliki semangat untuk berkompetisi agar

memperoleh hasil yang terbaik. Kompetisi yang dilakukan harus

dilandasi dengan akhlak yang mulia, bukan kompetisi yang dilakukan

dengan cara curang.

Kompetisi dalam bekerja juga dibarengi dengan sikap saling

tolong menolong (ta‟awun). Seorang muslim walaupun berada dalam

sebuah kompetisi kerja, namun tetap mengutamakan untuk menolong

rekan kerja yang membutuhkan bantuannya. Ia memiliki prinsip,

dengan memudahkan urusan orang lain maka Allah Swt akan

memudahkan segala urusan dirinya. Oleh karena itu, dengan memberi

pertolongan kepada rekan kerjanya, ia akan menjadi seorang yang

memiliki citra baik di hadapan semua orang. Jika ia berhasil dalam

kerjanya, misalnya memperoleh promosi atau kenaikan pangkat,

semua orang di sekitarnya akan ikut senang. Kebaikannya kepada

152

orang-orang di sekitarnya menumbuhkan kecintaan mereka kepada

dirinya serta mampu menghantarkan pada kesuksesan kerjanya.

e. Bekerja secara Sempurna (Itqan)

Kualitas kerja yang itqan yaitu hasil pekerjaan yang dapat

mencapai standar ideal pekerjaan secara teknis. Kerja secara itqan

ntuk itu memerlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal.

Islam menganjurkan umatnya agar terus menambah atau

mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih (Fitriantoro, 2011:19).

Seorang muslim yang bekerja dengan landasan itqan selalu

berusaha mengerjakan segala sesuatu secara sempurna atau dengan

standar tinggi. Ia tidak mau bekerja secara asal-asalan, bekerja harus

itqan. Kerja secara itqan membutuhkan ilmu yang mumpuni, karena

kesempurnaan atau idealitas tidak mungkin dicapai dengan

pengetahuan yang terbatas terhadap pekerjaannya. Ia harus ahli dalam

bidangnya; mengetahui apa yang ia kerjakan sampai ke akar-akarnya

dan terus-menerus melakukan perbaikan agar memperoleh hasil yang

lebih baik disetiap waktunya.

f. Bekerja dengan Kreatif dan Gigih sebagai Wujud Sikap Tawakal

Seorang muslim yang kreatif dan gigih dalam kerjanya

memiliki ciri-ciri: motivasi untuk berprestasi yang kuat, komitmen

yang kuat terhadap pekerjaannya, serta penuh inisiatif dan optimisme

(Tasmara, 2002:91-92). Bekerja secara kreatif dan gigih merupakan

wujud sikap tawakal.

153

Seorang muslim yang memiliki sikap tawakal, dalam bekerja

akan berusaha dengan sungguh-sungguh dan ia yakin akan usahanya

tersebut. Setiap kali semangat kerjanya mulai redup ia berdzikir

kepada Allah Swt untuk menumbuhkan dorongan semangat pada

dirinya. Setiap kali diterpa badai tantangan dalam kerjanya, ia segera

memperbaiki dan membenahi diri. Dalam segala hal ia tidak pernah

mencari kambing hitam, ia tidak akan mencari-cari alasan kegagalan

dirinya dengan cara menyalahkan orang lain. Ia menyadari bahwa

apapun yang terjadi dalam kerjanya harus ia hadapi dengan penuh

tanggung jawab. Tidak ada kata pesimis dalam hidupnya. Baginya

melihat sesuatu secara pesimis dan negatif hanya akan menambah

beban dan bukan akan mendapatkan penyelesaian dari persoalan yang

dihadapinya.

g. Zuhud dan Tawadhu

Zuhud bukan berarti menolak segala sesuatu yang bersifat

duniawi. Zuhud dalam konteks etos kerja Islami ialah kepuasan hati

dengan apa yang diberikan Allah Swt. Tidak ada ikatan hati kepada

harta dan hal-hal yang bersifat material lainnya. Harta hanya sampai

di “tangan”, tidak sampai di “hati” (Syahyuti, 2011:167). Harta bagi

seorang muslim merupakan sarana, bukan tujuan. Harta merupakan

sarana untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Seorang muslim yang

zuhud tidak akan terperdaya oleh harta, karena harta merupakan

sarana untuk ia dapat melaksanakan ibadah dan meraih kebahagiaan

154

akhirat. Harta bukanlah tujuan ia bekerja, bukan pula tujuan dari

hidupnya.

Kezuhudan seorang muslim juga diiringi dengan sikap

tawadhu. Tawadhu adalah sikap merendah tanpa menghinakan diri

(Syahyuti, 2011:154). Tawadhu akan mengangkat derajat seseorang,

bahkan mengangkat derajat suatu kaum dan menyelamatkan mereka

di dunia dan akhirat. Tawadhu adalah salah satu akhlak mulia yang

menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati, dan ketinggian

derajat pemiliknya (Syahyuti, 2011:155). Tawadhu dalam kaitannya

dengan kerja ialah sikap yang senantiasa rendah hati, merasa bahwa ia

bukan siapa-siapa meskipun memiliki kedudukan tinggi dalam

pekerjaannya. Orang yang rendah hati maka hati dan pikirannya selalu

terbuka terhadap gagasan-gagasan atau ide-ide baru. Hal inilah yang

akan membawa kemajuan pesat pada orang yang memiliki sikap

tawadhu. Tampak di luar biasa-biasa saja, namun dibalik tampilan

luarnya tersimpan sesuatu yang luar biasa.

B. Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam

Etos kerja Islami hakikatnya adalah iman dan amal. Etos kerja Islami

akan membuahkan kerja yang dilandasi oleh keimanan kepada Allah Swt.

Kerja yang dilandasi keimanan pada Allah Swt ini akan menciptakan

keyakinan pada diri seorang muslim bahwa bekerja merupakan ibadah, yaitu

dalam segala aktivitasnya diarahkan untuk mencapai ridho Allah Swt. Konsep

iman dan amal juga merupakan bagian dari karakteristik pendidikan Islam.

155

Pendidikan Islam berupaya membentuk manusia yang beriman dan beramal

shalih. Pendidikan Islam selalu menganjurkan amal shalih, yaitu belajar

dengan diaplikasikan dalam tindakan, tidak semata-mata menghafal teori-

teori dan pengetahuan yang tidak mampu membawa pada amal shalih yang

nyata. Artinya, baik pendidikan Islam maupun etos kerja Islami menekankan

pada konsep iman dan amal. Etos kerja Islami dalam pandangan pendidikan

Islam akan dijelaskan pada uraian di bawah ini.

1. Etos Kerja Islami dalam Diri Insan Kamil sebagai Tujuan Pendidikan

Islam

Etos kerja Islami merupakan karakter atau semangat berkenaan

dengan kerja yang bukan sekadar didorong oleh tujuan untuk memperoleh

hasil materi, tetapi yang lebih dalam ialah dorongan untuk memperoleh

hasil imateri yaitu kebahagiaan di akhirat. Artinya, etos kerja Islami ialah

semangat kerja yang berorientasi pada aspek duniawi dan ukhrawi. Etos

kerja Islami secara sederhana dapat dikatakan sebagai semangat kerja yang

dilandasi keyakinan bahwa dunia harus diraih dalam genggaman untuk

bekal meraih kebahagiaan di akhirat.

Etos kerja Islami mencakup unsur-unsur yang saling terintegrasi,

yaitu berupa iman, ilmu, dan amal shalih. Islam berpandangan bahwa

manusia hanya dapat memanusiakan dirinya dengan iman, ilmu, dan amal

(Tasmara, 2002:4). Iman akan menjadi nyata dengan adanya amal yang

dihiasi moral yang luhur yang dapat membawa ke jalan yang lurus. Jalan

yang lurus akan diperoleh melalui ilmu. Oleh karena itu, seorang muslim

156

dalam bekerja harus dilandasi dengan iman dan ilmu yang dapat membawa

kepada jalan yang lurus, supaya manusia dapat memanusiakan dirinya.

Etos kerja Islami akan menjadikan seseorang bersemangat dan

bergairah untuk bekerja karena ia meyakini bahwa setiap pekerjaannya

merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt. Seorang yang beretos

kerja Islami memiliki keyakinan bahwa ia harus berprestasi dalam

kerjanya, ia harus bekerja dengan semangat tinggi dan memperoleh hasil

yang selalu meningkat. Ia yakin jika bekerja dengan niat ikhlas karena

Allah Swt, melakukan kerja dengan baik dan tidak melanggar ketentuan-

Nya maka Allah Swt akan meridhoi apa yang ia kerjakan, sehingga Allah

Swt akan mencatatnya sebagai amal shalih yang merupakan tabungan

untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.

Etos kerja Islami selain berpandangan bahwa aktivitas kerja itu

sendiri akan mendatangkan balasan berupa kebahagiaan di akhirat, juga

memiliki pandangan bahwa hasil dari aktivitas kerja yang dilakukan yaitu

berupa materi, merupakan sarana yang dapat digunakan untuk lebih

mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sehingga orang yang beretos kerja

Islami disetiap kerjanya selalu diiringi gemuruh semangat untuk mencapai

hasil yang maksimal dan selalu berusaha untuk meningkatkan hasil. Materi

yang dihasilkan dari kerjanya selain ia gunakan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan sandang papan pangan, juga ditabung untuk bekal di

akhirat. Tabungan akhirat itu diperoleh misalnya dari sedekah yang ia

157

keluarkan, infaq, wakaf, serta amal-amal lainnya yang dapat ia lakukan

karena materi yang dimilikinya.

Orang yang beretos kerja Islami bergairah untuk mendapat hasil

materi, namun materi bukanlah tujuan dari kerjanya. Materi itu

digunakannya sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah

Swt, jadi keridhoan Allah Swt merupakan tujuan yang ingin ia capai. Bagi

seorang yang beretos kerja Islami, ibadah ritual seperti shalat belumlah

cukup untuk memenuhi tabungan akhirat. Ia memiliki keyakinan harus

menjadi orang yang sukses dalam kerjanya supaya ia dapat bermanfaat

bagi orang banyak. Dengan kesuksesannya ia dapat berbagi rezeki dengan

orang yang kurang mampu; ia dapat mendirikan yayasan sosial, panti

asuhan, lembaga pendidikan, yang dapat menolong saudara-saudaranya

yang kurang beruntung. Harta yang dimiliki bukanlah untuk dinikmati

sendiri, melainkan ia gunakan untuk kebahagiaan banyak orang. Bagi

orang yang beretos kerja Islami, seluruh aktivitas hidup ialah ibadah.

Mengamalkan rukun Islam yang lima ialah ibadah, bermuamalah untuk

kemaslahatan umat juga ialah ibadah.

Seorang yang beretos kerja Islami seperti uraian di atas merupakan

sosok manusia yang memiliki kepribadian utuh. Ia bekerja secara

profesional dengan dilandasi iman, ilmu, dan amal shalih. Ia bekerja selain

untuk mendapat hasil duniawi yang maksimal, juga berorientasi untuk

mendapat kebahagiaan akhirat atas ridho Allah Swt melalui pekerjaan

yang ia lakukan. Orientasi ukhrawi dalam kerja ini membutuhkan

158

kecerdasan secara ruhani atau dapat dikatakan orang yang beretos kerja

Islami benar-benar menghidupkan iman dalam hatinya.

Hati atau kalbu yang dipenuhi iman memiliki tanda-tanda seperti:

bila ia shalat maka khusyuk dalam shalatnya, bila ia mengingat Allah Swt

maka hatinya menjadi tenang, bila disebut nama Allah Swt bergetar

hatinya, bila dibacakan ayat-ayat Allah Swt mereka bersujud dan

menangis (Tafsir, 2008:46). Dari situlah akan muncul manusia yang

berpikir dan bertindak sesuai dengan kehendak Allah Swt. Orang yang

beretos kerja Islami senantiasa menghadirkan Allah Swt disetiap kerjanya,

ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt. Oleh karena itu, etos kerja

Islami dapat menjadi spirit bagi terbentuknya kepribadian manusia yang

utuh atau insan kamil.

Insan kamil ialah manusia yang ingin dihasilkan oleh pendidikan

Islam. Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk manusia yang dapat

mendayagunakan seluruh potensi dirinya baik jasmani, akal maupun

ruhani yang dapat menunjang tugas pengabdian (ibadah) dan kekhalifahan

di muka bumi. Manusia yang dapat mendayagunakan jasmani, akal serta

ruhaninya untuk membangun hubungan dengan Allah Swt, bermanfaat

bagi sesama manusia dan alam sekitarnya adalah hakikatnya insan kamil

tersebut.

Pendidikan Islam utamanya di madrasah atau sekolah, dalam

mengupayakan terbentuknya Insan kamil membutuhkan berbagai usaha

yang bersifat praktis. Insan kamil bukan hanya manusia yang cerdas

159

karena memiliki banyak teori, melainkan manusia yang mampu

melakukan tindakan yang nyata baik untuk dirinya, orang-orang di

sekitarnya, dan masyarakat luas, karena Islam mengajarkan iman yang

dibuktikan dengan amal shalih. Maka tindakan pun harus dilandasi dengan

akhlak mulia yang bersumber dari keimanan kepada Allah Swt, supaya

tidak terjun ke dalam tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan agama.

Etos kerja Islami jika diinternalisasikan pada manusia yang terlibat

dalam proses berlangsungnya pendidikan Islam, maka dapat mendobrak

semangat untuk bertindak atau bekerja dengan giat karena keimanannya

kepada Allah Swt. Etos kerja Islami apabila dihayati oleh guru maka akan

menimbulkan semangat untuk mendidik siswa maupun mengemban tugas

lainnya secara maksimal karena ia selalu merasa diawasi Allah Swt dan ia

ingin kerjanya dapat dicatat sebagai amal shalih. Etos kerja Islami apabila

dihayati oleh siswa maka akan melahirkan siswa yang tekun dan semangat

belajar, aktif dalam kegiatan-kegiatan yang positif, serta berakhlak mulia.

Etos kerja Islami dalam pendidikan Islam merupakan spirit untuk

mengupayakan terbentuknya insan kamil. Sebab etos kerja Islami

berlandaskan iman dan amal, begitupun dengan pendidikan Islam.

Pendidikan Islam mengajarkan pendidikan keimanan dan juga amal. Etos

kerja Islami merupakan semangat untuk bekerja yang besumber dari

keimanan kepad Allah Swt. Sehingga etos kerja Islami adalah spirit yang

menjadi penggerak proses berlangsungnya pendidikan Islam untuk

membentuk insan kamil.

160

2. Etos Kerja Islami dalam Karakteristik Pendidikan Islam

a. Karakteristik Filosofis Pendidikan Islam

Etos kerja Islami berlandaskan prinsip bahwa kerja merupakan

bagian dari tugas hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah Swt.

Kerja dalam etos kerja Islami dipandang secara menyeluruh, yaitu

kerja bertujuan untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan sekaligus

sebagai sarana untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat karena

bekerja merupakan ibadah. Kerja selain itu juga berdasarkan prinsip

keseimbangan, artinya dalam kehidupan manusia di dunia tidak boleh

berlebih-lebihan dalam beribadah ritual ataupun berlebihan dalam

bekerja. Segala sesuatu yang berlebihan akan membawa pada

keburukan. Ibadah ritual maupun muamalah hendaknya dilaksanakan

sesuai porsinya. Pada waktu bekerja misalnya, ketika sedang sibuk

bekerja dan pekerjaannya masih menumpuk, kemudian terdengar

kumandang adzan, maka pekerjaan yang bertumpuk itu harus

ditinggalkan terlebih dahulu dan bersegera untuk menunaikan shalat,

setelah selesai melaksanakannya bersegera pula untuk kembali pada

pekerjaan tersebut.

Prinsip etos kerja Islami yang menempatkan kerja sebagai

bagian dari ibadah merupakan prinsip yang dapat dijadikan alat untuk

merealisasikan salah satu dari karakteristik filosofis pendidikan Islam.

Pendidikan Islam memiliki karakteristik sebagai sarana untuk

merealisasikan tugas hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah Swt

161

dan sebagai khalifah Allah Swt di bumi. Pendidikan Islam dalam

mengupayakan pembentukan manusia yang dapat merealisasikan tugas

hidupnya maka dibutuhkan alat yang tepat. Alat tersebut salah satunya

ialah etos kerja Islami, karena etos kerja Islami merupakan semangat

untuk bekerja dengan tujuan untuk memperoleh ridho Allah Swt. Etos

kerja Islami akan menumbuhkan kerja yang penuh semangat dan

kesungguhan karena kerjanya merupakan wujud pengabdian kepada

Allah Swt. Kerja itu sendiri merupakan sarana untuk merealisasikan

tugas manusia sebagai khalifah Allah Swt. Tugas sebagai khalifah

tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerja atau amal dalam

kehidupan yang nyata. Oleh karena itu, etos kerja Islami mampu

melahirkan kerja yang penuh kesungguhan dan dengan kerja itu

mampu mewujudkan tugas untuk beribadah atau mengabdi kepada

Allah Swt dan sebagai khalifah Allah Swt di bumi.

Prinsip menyeluruh adalah karakteristik pendidikan Islam yang

berikutnya. Pendidikan Islam menghargai dan memandang penting

semua pengetahuan yang berguna bagi individu dan masyarakat, tanpa

membeda-bedakan antara ilmu keagamaan dan ilmu keduniaan. Etos

kerja Islami dalam pendidikan Islam dapat menjadi spirit yang

menggerakkan pola pikir dan tindakan yang bersifat menyeluruh. Etos

kerja Islami mengandung semangat kerja yang orientasinya tidak

memisahkan antara duniawi dan ukhrawi, maupun materi dan imateri.

Etos kerja Islami mendorong seseorang untuk menjadikan kerja

162

sebagai sarana mempertahankan kelangsungan hidup di dunia

sekaligus sarana mengumpulkan bekal untuk kebahagiaan di akhirat.

Etos kerja Islami dapat membentuk cara pandang yang menyeluruh

sebagaimana prinsip pendidikan Islam.

Pendidikan Islam selain berlandaskan pada prinsip menyeluruh

juga menghendaki adanya keseimbangan. Pendidikan Islam

menghendaki keseimbangan antara teori dan praktik, ucapan dan

perbuatan, pendidikan Islam menekankan asas penerapan praktis dan

manfaat bagi individu dan masyarakat dalam menghadapi realitas

hidup (Aly dan Munzier, 2003:63). Pendidikan Islam juga membuat

keseimbangan antara pengembangan kecenderungan spiritual dan

pemenuhan kebutuhan material serta sosial (Aly dan Munzier,

2003:65). Pendidikan Islam selain itu juga membuat keseimbangan

antara kemaslahatan individu dan kemaslahatan masyarakat, dengan

tanpa mengabaikan salah satunya (Aly dan Munzier, 2003:65).

Etos kerja Islami seperti halnya pendidikan Islam juga

berlandaskan prinsip keseimbangan, utamanya dalam hal urusan

duniawi dan ukhrawi serta materi dan imateri. Etos kerja Islami

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya berpandangan bahwa antara

kerja dengan ibadah ritual hendaknya seimbang sesuai porsinya

masing-masing. Pandangan bahwa kerja semata-mata hanya

berorientasi materi tanpa adanya nilai spiritual yang terlibat di

dalamnya tidak tepat menurut pandangan etos kerja Islami. Kerja

163

dalam pandangan etos kerja Islami memiliki nilai ibadah, maka kerja

sebagai ibadah hendaknya disikapi dan diperlakukan sebagaimana

ibadah-ibadah lainnya (Asifudin, 2004:57). Menurut Asifudin (2004),

posisi aktivitas keduniaan yang disukai Allah Swt adalah sama-sama

diperintahkan oleh-Nya, seperti halnya penegasan diperintahkannya

shalat, zakat, puasa, dan ibadah-ibadah ritual lainnya.

Prinsip keseimbangan dalam etos kerja Islami merupakan

prinsip yang mendukung salah satu prinsip yang menjadi karakteristik

pendidikan Islami. Prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam di

antaranya ialah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan materi dan

pengembangan spiritual. Demikian juga dengan etos kerja Islami, yang

pada intinya menghendaki keseimbangan antara urusan duniawi dan

ukhrawi atau materi dan spiritual. Artinya, etos kerja Islami dalam hal

prinsip keseimbangan berjalan selaras dengan pendidikan Islam. Oleh

karena itu, penghayatan etos kerja Islami dalam pendidikan Islam

dapat memudahkannya untuk merealisasikan prinsip keseimbangan

tersebut.

b. Karakteristik Substansi Pendidikan Islam

Etos kerja Islami dibangun dari beberapa konsep yang ada di

dalamnya. Konsep yang paling menonjol ialah iman dan amal. Konsep

iman dalam etos kerja Islami berupa keyakinan akan keberadaan Allah

Swt yang telah menciptakan manusia dengan berbagai potensi dan

memberi tugas serta amanat kepada manusia untuk beribadah dan

164

menjadi khalifah Allah Swt di bumi. Keyakinan tersebut kemudian

diwujudkan dalam kerja yang penuh kesungguhan dengan tujuan

memperoleh ridho Allah Swt. Kerja dengan penuh kesungguhan inilah

wujud nyata dari konsep amal dalam etos kerja Islami. Konsep amal

tersebut dijiwai dengan semangat jihad, oleh karena itu dalam setiap

kerjanya selalu dilakukan dengan penuh kesungguhan disertai

gemuruh semangat yang luar biasa. Etos kerja Islami selain konsep

iman dan amal, juga memiliki konsep etika yang diwujudkan dalam

etika kerja. Etika kerja secara sederhana merupakan pedoman sikap

yang menjadi rambu-rambu dalam bekerja. Etika kerja Islami

merupakan pedoman sikap agar setiap kerja yang dilakukan tampak

elok dan tidak melanggar ketentuan Allah Swt.

Konsep iman, amal, serta etika dalam etos kerja Islami

merupakan bagian dari substansi pendidikan Islam. Ada lima substansi

pendidikan Islam, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan amaliah,

pendidikan ilmiah, pendidikan akhlak, dan pendidikan sosial.

Substansi pendidikan Islam tersebut, saling berkaitan satu sama lain

dan membentuk pola hubungan sebagai berikut: iman adalah pondasi

akhlak yang mulia, akhlak yang mulia menjadi pondasi ilmu yang

benar, ilmu yang benar menjadi pondasi amal yang shalih (Aly dan

Munzier, 2003:72-73). Maka etos kerja Islami merupakan spirit dalam

pendidikan keimanan, pendidikan amaliah, dan pendidikan akhlak di

dalam pendidikan Islam. Etos kerja Islami terutama selaras dengan

165

pendidikan amaliah. Spirit dalam etos kerja Islami dapat membawa

pengaruh positif pada pendidikan amaliah. Etos kerja Islami

merupakan karakter atau semangat kerja yang berorientasi bukan

sekadar pada aspek materi tetapi yang lebih dalam ialah mencapai

ridho Allah Swt. Karakter kerja yang demikian perlu dihayati dalam

pendidikan amaliah, supaya tercipta amal atau perbuatan nyata yang

berlandaskan ibadah kepada Allah Swt sehingga amal tersebut akan

selalu pada koridor yang benar sesuai yang dikehendaki Allah Swt.

c. Karakteristik Aplikatif Pendidikan Islam

Pendidikan Islam memandang belajar sebagai suatu kewajiban,

tanpa membedakan antara laki-laki maupun perempuan. Seorang

muslim baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki kegigihan

untuk menuntut ilmu. Pendidikan Islam menghendaki agar setiap

muslim ahli dalam disiplin ilmu tertentu, karena begitu luasnya ilmu

pengetahuan sehingga tidak mungkin setiap manusia dengan

keterbatasan kemampuan yang dimiliki dapat mempelajari seluruh

ilmu pengetahuan. Pendidikan Islam juga menghendaki agar setiap

manusia belajar secara terus menerus selama hidupnya, sebab ilmu

pengetahuan dan teknologi selalu berkembang.

Pendidikan Islam berpandangan bahwa setiap muslim dalam

masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan,

tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, antara orang Arab

dan selain Arab, dan tidak ada perbedaan pula antara orang berkulit

166

hitam dan putih, kecuali hanyalah kadar amal dan usaha yang mereka

lakukan dengan kesempatan yang sama bagi semua. Amal dan usaha

adalah tolok ukur pembeda antara orang-orang mukmin dalam

mencapai tujuan risalah Islam, seperti bertaqwa, berjihad, dan

menuntut ilmu. Orang-orang yang bertaqwa adalah paling mulia dalam

pandangan Allah Swt (Aly dan Munzier, 2003:105).

Kegigihan seorang muslim untuk belajar secara terus-menerus

selama hidup, kemudian untuk mempelajari suatu disiplin ilmu

sehingga menjadi ahli dalam bidang tersebut, maka diperlukan

kemauan dan semangat yang luar biasa. Kemauan dan semangat yang

luar biasa merupakan spirit dalam etos kerja Islami, sehingga etos

kerja Islami merupakan spirit yang harus dimiliki seorang muslim

dalam proses belajar selama ia hidup maupun dalam menekuni suatu

disiplin ilmu. Etos kerja Islami harus senantiasa dihayati oleh seorang

muslim utamanya dalam proses belajar, karena pendidikan Islam

memandang manusia sama rata dalam hal kesempatan memperoleh

pendidikan, kecuali berdasarkan usaha dan amal yang dilakukan.

3. Etos Kerja Islami dalam Diri Seorang Guru

Etos kerja Islami merupakan karakter atau semangat berkaitan

dengan kerja yang berlandaskan keyakinan bahwa kerja bukan hanya

untuk memperoleh hasil materi, tetapi lebih dari itu kerja adalah ibadah;

tugas hidup manusia untuk mengabdikan diri kepada Allah Swt yang

semata-mata untuk mendapatkan ridho dari-Nya. Keyakinan bahwa

167

bekerja merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt membawa akibat

pada semangat kerja yang luar biasa dalam setiap aktivitas yang dilakukan.

Seorang yang memiliki etos kerja Islami selalu ingin bekerja dengan

mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya, karena ia bekerja dengan

dijiwai semangat jihad. Ia bekerja dengan penuh semangat dan

kesungguhan demi performa kerja yang terbaik. Performa kerja yang

terbaik adalah bentuk rasa syukurnya kepada Allah Swt yang telah

membekali dirinya dengan segenap potensi atau fitrah dan kekayaan alam

yang menghampar luas.

Bekerja dengan mengerahkan seluruh potensi untuk menghasilkan

performa kerja yang maksimal sebagai wujud pengabdian kepada Allah

Swt merupakan sikap yang harus dimiliki oleh seorang guru. Guru dalam

pendidikan Islam dituntut untuk memiliki sifat atau kepribadian yang

dewasa, dengan ciri menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai

guru yang memiliki etos kerja (Gunawan, 2014:196). Etos kerja Islami

maka dari itu merupakan karakter yang harus ada dalam diri guru,

utamanya guru dalam lembaga pendidikan Islam. Etos kerja Islami yang

dihayati oleh guru akan melahirkan performa kerja yang terbaik dalam

menjalankan tugasnya sebagai guru.

Etos kerja Islami yang berlandaskan keyakinan bahwa kerja adalah

ibadah, akan melahirkan performa kerja dengan karakteristik di antaranya:

bekerja dengan ikhlas karena ingin mendapat ridho Allah Swt semata,

jujur, bertanggungjawab, istiqamah dan kuat pendirian, disiplin, memiliki

168

harga diri, berani menghadapi tantangan, percaya diri, bahagia karena

melayani, mandiri, berorientasi kemasa depan, pandai mengelola waktu,

ketagihan menuntut ilmu.

Karakteristik kerja seperti itu selaras dengan karakter yang harus

dimiliki oleh seorang guru. Abrasyi (1993:137) di antaranya mengatakan

bahwa guru sebaiknya memiliki sifat ikhlas atau tidak ria dan bersikap

jujur dalam pekerjaan, sederhana, banyak bersabar, berkepribadian dan

memiliki harga diri, menjaga kehormatan, dan menghindarkan hal-hal

yang hina. Sifat-sifat ini sama dengan karakter etos kerja Islami yaitu

bekerja dengan ikhlas semata-mata hanya mengharap ridho Allah Swt,

jujur, memiliki harga diri, hidup berhemat dan efisien. Guru salah satunya

bertugas sebagai fasilitator bagi siswa, maka ia harus memiliki jiwa

melayani, dan jiwa melayani ini merupakan karakterstik etos kerja Islami.

Seorang guru menurut Gunawan (2014:196) harus memiliki

kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan

bagi siswa, dan berakhlak mulia. Kepribadian tersebut selaras dengan

karakteristik etos kerja Islami. Seorang guru memiliki kepribadian mantap,

stabil dan dewasa selaras dengan karakteristik etos kerja Islami seperti

bertanggungjawab, mandiri, istiqamah dan kuat pendirian. Kemudian

seorang guru yang berwibawa selaras dengan karakteristik etos kerja

Islami yaitu memiliki harga diri, dan seorang guru yang menjadi teladan

ialah ia yang memiliki akhlak mulia, seperti jujur, ikhlas, suka menolong,

disiplin, percaya diri, dan sikap-sikap lainnya yang merupakan akhlak

169

mulia. Sikap-sikap guru yang patut untuk diteladani ini juga selaran

dengan karakteristik-karakteristik etos kerja Islami.

Etos kerja Islami berlandaskan prinsip bahwa bekerja selain

dilandasi dengan iman, juga harus menggunakan penalaran, sehingga

membuahkan kerja yang rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai

iptek, menggunakan perencanaan yang baik, adil, teratur, disiplin, dan

profesional. Bekerja bagi seorang guru memerlukan sikap yang

berlandaskan penalaran tersebut. Seorang guru oleh karenanya dalam

menyampaikan materi pendidikan Islam utamanya tentang aqidah, syari‟ah

maupun akhlak hendaknya disertai dengan penjelasan yang bisa dipahami

secara rasional oleh siswa dan disesuaikan dengan konteks perkembangan

ilmu penetahuan dan teknologi. Etos kerja Islami akan melahirkan

performa kerja yang rasional, ilmiah, profesional, serta mengikuti

perkembangan teknologi dengan tetap berpegang teguh pada etika kerja

Islami.

Etos kerja Islami berpandangan bahwa kerja memiliki orientasi

bukan hanya pada hasil materi, tetapi yang lebih dalam ialah untuk meraih

ridho Allah Swt. Pandangan ini selaras dengan pandangan yang

dikehendaki pendidikan Islam, yaitu:

Seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas

mengajarnya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah Swt

semata. Dan ini dapat dipandang dari dua segi: pertama, sebagai

tugas kekhalifahan dari Allah Swt; kedua, sebagai pelaksanaan

tugas ibadah kepada Allah Swt untuk mencari ridho-Nya dan

mendekatkan diri kepada-Nya. Tugas demikian dimaksudkan agar

seorang guru tidak menilai tugasnya hanya sekadar untuk mencari

gaji dan kekayaan belaka. Gaji bagi seorang guru adalah

170

diperbolehkan, akan tetapi perlu diingat bahwa menerima gaji

tersebut bukan tujuan semata-mata. Gaji tersebut merupakan sarana

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka beribadah

kepada Allah Swt dan mendekatkan diri kepada-Nya sebagi tujuan

hakiki (Zainuddin, 1991:59-60).

Etos kerja Islami dengan demikian selaras dengan pandangan

mengenai tugas seorang guru dalam pendidikan Islam. Keselarasan

tersebut sangat tampak dalam pandangan terhadap nilai atau posisi harta di

dalam kerja. Materi atau harta merupakan sarana untuk memenuhi

kebutuhan hidup dalam rangka beribadah kepada Allah Swt dan

mendekatkan diri kepadanya. Pandangan seperti ini mendorong guru untuk

menampilkan sikap yang mulia dan performa kerja yang optimal karena ia

mengharap ridho Allah Swt, dan bukan karena tujuan memperoleh harta

atau materi.

Etika kerja Islami merupakan pedoman sikap dalam etos kerja

Islami. Etos kerja Islami adalah karakter atau semangat kerja yang

bersumber dari ajaran Islam. Etos kerja Islami berdasarkan pandangan ini,

dalam hal performa kerja memiliki pedoman sikap supaya kerja yang

dilakukan tetap berada dalam koridor ajaran Islam. Etika kerja seorang

yang beretos kerja Islami di antaranya yaitu: memegang teguh kejujuran

karena ia sadar dengan kejujuran maka akan meninggikan martabatnya di

hadapan Allah Swt; mengemban tugas dengan penuh tanggung jawab dan

menolak segala bentuk penyelewengan kerja karena ia sadar bahwa Allah

Swt selalu mengawasi apa yang ia kerjakan; menjalankan tugas dengan

disiplin, inovatif, kreatif, dan memiliki standar tinggi dalam kerjanya; serta

171

menjalin hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang terlibat

dalam pekerjaannya.

Etika kerja Islami hendaknya dimiliki oleh guru dalam pendidikan

Islam. Guru dalam pendidikan Islam juga terikat oleh kode etik yang

selaras dengan etika kerja Islami sebagaimana dijelaskan di atas. Kode etik

guru salah satunya menurut Gunawan (2014:181) ialah guru hendaknya

insyaf akan pengawasan Allah Swt terhadap segala perkataan dan

perbuatannya, ia memegang amanat yang diberikan Allah kepadanya. Oleh

karena itu, ia tidak boleh mengkhianati amanat itu, justru ia tunduk dan

merendahkan diri kepada Allah Swt. Kode etik guru dalam pendidikan

Islam tersebut selaras dengan etika kerja dalam etos kerja Islami.

Keduanya, baik etika dalam etos kerja Islami maupun kode etik guru

dalam pendidikan Islam berlandaskan pada sikap tunduk dan merendahkan

diri pada Allah Swt dalam setiap tindakannya; melaksanakan tugas

dengan kejujuran dan tanggung jawab sebab ia kerja adalah amanat yang

diberikan Allah Swt pada manusia dan Allah Swt selalu mengawasi

terhadap segala perkataan dan perbuatan manusia.

4. Etos Kerja Islami dalam Diri Siswa

Etos kerja Islami apabila dihayati ke dalam diri seseorang maka

dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki karakter unggul dengan

dilandasi keimanan yang kuat. Etos kerja Islami mampu mengembangkan

dimensi-dimensi yang ada dalam diri manusia, yaitu jasmani, akal dan

rohani. Etos kerja Islami dari segi jasmani, melahirkan karakter manusia

172

yang memperhatikan kesehatan dan gizi. Etos kerja Islami dari sisi akal

akan menumbuhkan karakter manusia yang rasional, ilmiah, proaktif,

kreatif, menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang baik, adil,

teratur, disiplin, dan profesional. Etos kerja Islami dari segi rohani akan

membentuk manusia yang bekerja dengan kejujuran dan akhlak yang

mulia atas dasar keyakinan bahwa kerja merupakan wujud pengabdian

dirinya kepada Allah Swt, kerja merupakan amanat dari Allah Swt yang

dipikulkan padanya serta ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt.

Dimensi atau potensi dalam diri manusia dikembangkan oleh etos

kerja Islami secara utuh. Dimensi jasmani, akal dan rohani juga ada dalam

diri siswa. Siswa memiliki kebutuhan untuk mengembangkan dan

mengaktualisasikan dimensi-dimensi tersebut agar menjadi tindakan yang

nyata. Karakteristik etos kerja Islami tersebut menunjukkan bahwa

dimensi-dimensi dalam diri siswa dapat dikembangkan melalui

penghayatan terhadap etos kerja Islami.

Karakteristik yang dimiliki oleh seorang yang beretos kerja Islami

secara umum di antaranya ialah: bekerja ikhlas karena Allah Swt semata,

jujur, istiqamah dan kuat pendirian, disiplin, percaya diri,

bertanggungjawab, pandai mengelola waktu, memiliki harga diri, hidup

berhemat dan efisien, mandiri, kecanduan belajar dan menuntut ilmu,

memiliki semangat perantauan, tangguh dan pantang menyerah, memiliki

semangat perubahan, serta memperkaya jaringan silaturahmi (Tasmara,

2002:73-134). Karakteristik tersebut selaras dengan tugas dan kewajiban

173

yang harus dilakukan oleh siswa berdasarkan pendapat Abrasyi (1993:147-

148), yaitu di antaranya: belajar diniatkan untuk mendekatkan diri kepada

Allah Swt, bersedia meninggalkan keluarga untuk menuntut ilmu sampai

ke tempat yang jauh, bersungguh-sungguh dan tekun belajar, disiplin

untuk mengulang pelajaran dan menyusun jadwal belajar dengan baik,

membina hubungan yang baik dengan guru dan teman-temannya, serta

bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir hayat.

Etos kerja Islami melahirkan kerja yang ikhlas dengan niat semata-

mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Karakteristik tersebut selaras

dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh siswa, yaitu belajar dengan

niat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Etos kerja Islami membentuk

manusia yang memiliki semangat perantauan, hal ini selaras dengan

kewajiban siswa menurut Abrasyi (1993) tersebut yaitu bersedia

meninggalkan keluarga untuk menuntut ilmu sampai ke tempat yang jauh.

Etos kerja Islam juga membentuk seorang yang kecanduan untuk mencari

ilmu, di mana karakteristik ini selaras dengan tugas siswa menurut Abrasyi

(1993) yaitu bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir hayat. Etos

kerja Islami selanjutnya menumbuhkan karakter istiqamah dan kuat

pendirian, disiplin, pandai mengelola waktu, sebagaimana tugas dan

kewajiban siswa menurut Abrasyi (1993) yaitu bersungguh-sungguh dan

tekun belajar, disiplin untuk mengulang pelajaran dan menyusun jadwal

belajar dengan baik. Etos kerja Islami juga melahirkan karakteristik

seorang yang senang menjalin silaturahmi, hal ini sebagaimana kewajiban

174

siswa menurut Abrasyi (1993) yaitu agar dapat membina hubungan yang

baik dengan guru dan teman-temannya.

Etos kerja Islami bersumber dari keimanan kepada Allah Swt, dan

iman tidak cukup hanya diucapkan dalam perkataan dan diyakini dalam

hati. Iman harus dibuktikan melalui amal shalih. Amal shalih merupakan

setiap aktivitas yang diniatkan untuk mencari ridha Allah Swt. Oleh karena

itu, etos kerja Islami harus diwujudkan dalam kerja yang didasarkan niat

untuk beribadah kepada Allah Swt. Konsep iman dan amal dalam etos

kerja Islami merupakan bagian dari sifat-sifat ideal yang harus dimiliki

oleh siswa menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip Rasyidin dan Nizar

(2005:52-53) yaitu seorang peserta hendaknya mengenal nilai-nilai praktis

dari ilmu yang dipelajari. Artinya siswa bukan hanya sekadar memahami

dan meyakini ilmu yang dipelajari, tetapi juga harus mempraktikkannya

dalam kehidupan nyata agar membawa manfaat bagi sesama manusia dan

alam sekitar.

Etos kerja Islami berasal dari pandangan bahwa manusia dalam

urusan dunia dan akhirat harus memiliki keseimbangan. Islam tidak

menghendaki segala sesuatu yang berlebihan. Manusia yang

menghabiskan hidupnya untuk mengejar materi adalah tidak dikehendaki

oleh Allah Swt, sebaliknya, manusia yang seumur hidupnya mengisolasi

diri dari kehidupan bermasyarakat dan terus-menerus beribadah (dalam arti

ibadah ritual atau individu) juga tidak disukai Allah Swt. Allah Swt

menghendaki manusia untuk beribadah dan bekerja, mementingkan urusan

175

individu dan tidak meninggalkan urusan bermasyarakat, karena

sesungguhnya bekerja adalah termasuk ibadah. Dalam kaitannya dengan

pendidikan Islam, siswa hendaknya memiliki sifat mengurangi

kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi dan

sebaliknya. Siswa idealnya mampu memandang konsep dunia dan akhirat

sebagai satu kesatuan. Kebahagiaan akhirat ialah tujuan hidup manusia,

namun kebahagiaan akhirat tidak akan diraih tanpa kehidupan dunia yang

diisi dengan kemuliaan, karena dunia adalah jembatan menuju akhirat.

C. Implikasi Etos Kerja Islami Terhadap Guru dan Siswa dalam

Pendidikan Islam

Konsep etos kerja Islami berdasarkan uraian sebelumnya memiliki

keselarasan dengan komponen-komponen pendidikan Islam. Keselarasan

tersebut dapat dijadikan indikator mengenai keterlibatan etos kerja Islami

dalam mendukung kesuksesan proses pendidikan Islam. Beberapa uraian di

bawah ini kurang lebih akan membahas mengenai implikasi etos kerja Islami

terhadap guru dan siswa dalam pendidikan Islam. Pembahasan mengenai

implikasi etos kerja Islami dalam proses pendidikan Islam pada penelitian ini

hanya difokuskan terhadap domain guru dan siswa, dengan argumentasi

bahwa kedua domain tersebut merupakan sentral perhatian dalam proses

pendidikan Islam, tanpa mengesampingkan peranan domain pendidikan Islam

yang lain.

176

1. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Guru Profesional dan Religius

Etos kerja Islami berpandangan bahwa bekerja merupakan amanah

dari Allah Swt yang dipikulkan kepada manusia dalam perannya sebagai

khalifah di bumi. Hal ini tercantum dalam firman Allah Swt sebagai

berikut:

Artinya:

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,

bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul

amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan

dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu

amat zalim dan amat bodoh. (Q.S. Al-Ahzab: 72).

Artinya:

Dan (orang-orang beriman yaitu) orang-orang yang memelihara

amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Q.S. Al-

Mu‟minun: 8).

Bekerja sebagai amanah mengandung konsekuensi agar manusia

bekerja dengan penuh kesungguhan, berupaya mencapai hasil terbaik dan

sempurna sesuai kemampuannya, dan selalu merasa dalam pengawasan

Allah Swt. Bekerja sebagai amanah apabila dihayati oleh seorang guru

akan menimbulkan performa kerja yang terbaik dalam menjalankan

tugasnya. Guru dalam melaksanakan tugas mengajar dan mendidik siswa

akan berupaya untuk memberikan pelayanan terbaik, begitu pula dalam

berhubungan dengan teman sejawat, dengan atasan dan dengan

177

masyarakat, akan selalu menampakkan sikap dan perilaku yang bijaksana

dan bertanggungjawab sebagai wujud penghayatan bekerja yang amanah.

Kerja sebagai amanah dalam diri guru, mampu melahirkan akhlak

mulia dan tindakan-tindakan positif sebagai teladan bagi siswanya. Guru

yang menempatkan kerja sebagai amanah akan menampilkan akhlak mulia

seperti jujur, perkataannya sesuai dengan perbuatannya,

bertanggungjawab, sabar, disiplin, penuh kasih dengan siswanya, hal ini

akan menjadi akhlak yang patut untuk dijadikan teladan oleh siswa. Allah

Swt mencela orang yang hanya berbicara tanpa mempraktikkan dalam

tindakan nyata, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya berikut:

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan

sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi

Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

(Q.S Ash Shaff: 2-3).

Guru yang amanah akan menampilkan tindakan yang sesuai dengan

perkataannya. Ceramah-ceramahnya di dalam kelas bukan hanya menjadi

hiasan yang memperbagus penampilan mengajarnya, tetapi ia berani

berceramah atau memberikan nasehat karena hal itu sudah dilakukannya.

Seorang guru yang bekerja atas dasar amanah ialah sosok guru yang

memiliki integritas tinggi.

178

Etos kerja Islami berpijak pada keyakinan bahwa bekerja adalah

ibadah, bukti pengabdian dan rasa syukurnya atas segala karunia Allah

Swt. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 7 yang berbunyi:

Artinya:

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai

perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara

mereka yang terbaik perbuatannya. (Q.S. Al-Kahfi: 7).

Kerja yang diyakini sebagai ibadah akan melahirkan performa yang

penuh kecintaan dan keikhlasan sebagai wujud pengabdian diri kepada

Allah Swt. Guru apabila menanamkan dalam dirinya bahwa bekerja ialah

ibadah maka ia akan menjalankan tugas-tugasnya dengan hati senang dan

penuh kerelaan. Ia mengajar dihadapan siswanya dengan riang gembira

dan berusaha untuk mengerahkan segala kemampuan terbaiknya dalam

memberikan ilmu dan membentuk kepribadian siswa. Keyakinan akan

kerja sebagai ibadah mendorongnya untuk bekerja secara profesional,

yaitu dengan terus memperdalam disiplin ilmu yang menjadi kajiannya,

mengadakan inovasi-inovasi dalam proses belajar mengajar dengan siswa,

bersikap dan bertindak dengan penuh kejujuran dan integritas tinggi dalam

menjalankan tugasnya sebagai guru maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Etos kerja Islami berlandaskan iman dan amal yang dijiwai

semangat jihad. Keimanan dalam diri bahwa Allah Swt yang telah

menciptakan manusia dengan dibekali sejumlah potensi dalam rangka

menjalankan tugas ibadah dan menjadi khalifah di bumi mendorong

179

seorang yang beretos kerja Islami untuk melakukan amal shalih dalam

bentuk kerja yang dipenuhi gemuruh semangat untuk menjadi yang terbaik

dengan kerja yang penuh kesungguhan. Kerja yang dilandasi dengan iman

dan jihad bagi seorang guru akan melahirkan performa kerja yang

berusaha untuk selalu mengerahkan kemampuan terbaiknya, sebagai rasa

syukur atas segala potensi yang dikaruniakan Allah Swt kepadanya. Usaha

untuk mengerahkan segenap kemampuan terbaiknya itu ia wujudkan

dalam kerja yang profesional. Ia tampil sebagai pribadi yang selalu

bergairah dan penuh semangat baik ketika mengajar siswanya,

berhubungan dengan guru, dan dengan atasan. Ia selalu optimis dan

berpandangan positif dalam segala situasi. Apabila dalam menjalankan

tugasnya kemudian menemui kendala atau permasalahan, ia tidak berputus

asa dari rahmat Allah Swt dan terus berusaha untuk memperbaiki diri dan

keadaan.

Bekerja dijiwai semangat jihad bagi seorang guru akan melahirkan

semangat untuk berlomba-lomba mengukir prestasi gemilang sebagai

seorang guru. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah Al-

Baqarah ayat 148 berikut:

. ...

Artinya:

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia

menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam

membuat) kebaikan ... . (Q.S. Al-Baqarah:148).

Prestasi diraih dengan cara menampilkan kemampuan mengajar

terbaik, menampilkan guru yang berkepribadian mulia di hadapan

180

siapapun, atau bahkan dengan mengikuti berbagai karya-karya ilmiah yang

diperuntukkan bagi guru. Semangat jihad dalam diri seorang guru

membuatnya selalu bergairah untuk berkompetisi dalam rangka

menciptakan prestasi. Gairah kompetisi dalam dirinya bukan berarti ia

melupakan jiwa kepedulian dan tolong menolong terhadap sesama.

Etos kerja Islami menempatkan harta atau materi bukan sebagai

tujuan dari bekerja, melainkan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehingga manusia dapat beribadah ritual dengan khusyuk dan juga

dapat beribadah dalam arti luas untuk kemaslahatan orang banyak serta

lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Keyakinan seperti ini apabila

dipraktekkan oleh seorang guru akan melahirkan performa kerja yang

tidak menempatkan gaji sebagai orientasi atau tujuan ia bekerja. Gaji

bukanlah tujuan utama yang ingin ia raih dari tugasnya sebagai guru,

karena ia bertugas atas dasar ibadah.

Bekerja sebagai ibadah bukan juga berarti guru tidak boleh atau

tidak berhak menerima gaji. Gaji tetaplah dibutuhkan dan hak yang harus

diberikan kepada guru, karena dengan gaji tersebut guru dapat memenuhi

kebutuhan hidupnya. Guru dengan terpenuhi kebutuhan hidupnya

diharapkan menjadi salah satu faktor yang dapat memicu ketenangan

dalam beribadah ritual. Gaji sebagai sarana untuk beribadah secara luas

dan mendekatkan diri kepada Allah Swt, maka dengan gaji tersebut guru

yang beretos kerja Islami mampu memanfaatkannya untuk berbagi dengan

sesama, memberikan infaq, bahkan menyisihkan uang untuk tabungan haji.

181

Gaji yang dimanfaatkan bukan sekadar untuk memenuhi kepuasan duniawi

akan mampu menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah

Swt. Guru yang menghayati etos kerja Islami; yang menempatkan gaji

sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt, memiliki sikap yang

sederhana. Ia sederhana dalam berpenampilan dan gaya hidup.

Guru dengan karakter kerja yang amanah, bekerja dengan penuh

cinta dan keikhlasan sebagai wujud ibadah, menampilkan teladan sikap

dan perilaku mulia, bekerja dengan penuh gairah dan kesungguhan, serta

menjadikan gaji bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup melainkan

sekaligus sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt dan bersikap

sederhana, merupakan bekal untuk mengupayakan pembentukan siswa

yang memiliki karakter insan kamil.

2. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Karakter Insan Kamil pada

Siswa

Etos kerja Islami merupakan sebuah semangat kerja yang terpancar

dari keyakinan bahwa bekerja adalah amanah, bekerja adalah ibadah,

bekerja dijiwai semangat jihad, bekerja bukan sekadar berorientasi materi.

Bekerja dalam konteks siswa tentunya bukan memiliki pengertian sebagai

profesi atau suatu kegiatan untuk mencari nafkah, tetapi bekerja

diterjemahkan sebagai belajar. Belajar sama halnya dengan bekerja,

apabila dilakukan dengan niat ikhlas semata-mata untuk mendapat ridho

Allah Swt dan ditempuh dengan cara yang baik dan benar maka belajar

juga bernilai ibadah. Apalagi ketika ilmu pengetahuan sebagai hasil belajar

182

itu dapat membawa manfaat bagi kemaslahatan orang banyak; misalnya

dengan menghasilkan penemuan-penemuan terbaru bagi solusi kehidupan

manusia. Ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan orang

banyak merupakan salah satu amal yang masih akan mengalir pahalanya

meskipun orang tersebut sudah meninggal dunia.

Belajar yang dilakukan dengan niat ibadah merupakan jalan bagi

seseorang untuk memperoleh kemudahan memasuki syurga, sebagaimana

sabda Nabi saw. berikut ini:

هي سلك طزيقايلتوس ل هللا قال: عي أبى زيزة أى رس

علوا,سل هللا ل طزيقا إلى الجت في

Artinya:

Dari Abu Hurairah radhiallahu‟anhu, sesungguhnya Rasulullah

shallallahu‟alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa menempuh

jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya

jalan ke surga”. (H.R. Muslim, no. 1.888).

Hadits tersebut menjelaskan betapa orang yang menuntut ilmu

maka akan diberi kemudahan oleh Allah Swt untuk masuk surga. Ilmu

pengetahuan yang bermanfaat dan didapatkan atas keridhoan Allah Swt

dapat menjadi jalan penerang bagi kehidupan manusia. Aly dan Munzier

(2003:72-73) menjelaskan bahwa iman adalah pondasi akhlaq yang mulia,

akhlaq yang mulia menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar

menjadi pondasi amal yang shalih. Oleh karena itu, dengan ilmu

pengetahuan, manusia dapat membedakan mana yang merupakan amal

183

shalih yang harus dilakukan dan mana yang merupakan amal tercela yang

tidak boleh untuk dilakukan. Seorang yang berilmu akan senantiasa

menghiasi dirinya dengan amal shalih, sehingga amal tersebut menjadi

penuntun yang memudahkannya untuk masuk syurga.

Siswa yang memiliki semangat belajar atas dasar keyakinan bahwa

belajar adalah ibadah akan melahirkan sikap utuh dalam diri siswa. Belajar

yang selama ini hanya bertujuan pada hal-hal materi, seperti: belajar agar

menjadi juara kelas, agar dapat memasuki sekolah favorit, agar menjadi

juara olimpiade, agar nantinya menjadi orang sukses dan kaya raya, dan

berbagai tujuan duniawi lainnya yang terpisah sama sekali dari tujuan

hakiki seorang muslim dalam berbagai aktivitas kehidupannya, yaitu

beribadah dalam rangka memperoleh ridho Allah Swt. Etos kerja Islami

akan menimbulkan spirit belajar yang utuh dalam diri siswa; ia belajar

dengan mendasarkan niat semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt,

kemudian niat tersebut diwujudkan dalam praktik belajar yang

menghasilkan prestasi gemilang, dengan tujuan untuk meraih masa depan

gemilang yang diridhoi Allah Swt.

Etos kerja Islami dapat memotivasi siswa agar belajar dengan

mengintegrasikan aspek iman, ilmu, amal, dan akhlak, seperti dijelaskan

dalam surah Al-„Asr berikut ini:

184

Artinya:

Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam

kererugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan

amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran

dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-

„Asr: 1-3).

Ayat tersebut dalam konteks siswa, dapat dimaknai bahwa dalam

belajar harus dilandasi niat untuk beribadah kepada Allah Swt sebagai

bagian dari aspek keimanan. Iman akan mandul tanpa dipraktikkan dalam

wujud amal, maka dalam konteks siswa, ilmu yang dipelajari harus

dipraktikkan dalam tindakan yang nyata. Sebagai seorang siswa yang

terpelajar, dalam setiap tindakannya harus didasarkan kepada pengetahuan

yang benar, dan bukan sekadar ikut-ikutan saja. Tindakan yang didasarkan

pada pengetahuan yang benar akan melahirkan akhlak mulia. Sehingga

siswa yang dalam dirinya tertanam spiritetos kerja Islami akan memiliki

prestasi yang tinggi, akhlak yang mulia, serta yang terpenting hatinya

dilandasi keimanan kepada Allah Swt.

Etos kerja Islami memotivasi siswa agar memiliki keseimbangan

dalam hidup, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah Al-

Jumu‟ah ayat 10 sebagai berikut:

Artinya:

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di

muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-

banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu‟ah: 10).

185

Ayat tersebut dalam konteks siswa maknanya adalah masa belajar

siswa harus diisi dengan kesibukan baik yang berhubungan dengan urusan

dunia maupun akhirat. Belajar adalah kewajiban siswa, namun yang

dimaksud belajar bukan hanya sekadar belajar di sekolah, tetapi juga diisi

dengan belajar mengaji atau memperdalam ilmu-ilmu agama. Contoh yang

lainnya, selama belajar disekolah apabila telah memasuki waktu dhuhur

maka bersegera menunaikannya, bahkan lebih baik lagi jika dapat

menunaikan shalat dhuha ketika ada waktu luang selama di sekolah.

Aspek keseimbangan yang ada dalam konsep etos kerja Islami,

dalam konteks siswa dapat pula diartikan bahwa siswa dalam belajar

dianjurkan untuk selalu mengaplikasikan dalam tindakan, tidak hanya

semata-mata menghafal teori-teori dan pengetahuan yang tidak mampu

membawa pada amal shalih dalam kehidupan nyata. Hal ini dijelaskan

dalam firman Allah Swt surah An-Najm ayat 39 berikut ini:

Artinya:

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa

yang telah diusahakannya. (Q.S. An-Najm: 39).

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa teori dan pengetahuan apabila

tidak dipraktikkan dalam amal yang nyata maka hanya akan sia-sia, karena

manusia hanya akan memperoleh hasil yang positif apabila ia berusaha

atau beramal atau melakukan tindakan nyata. Misalnya, ketika siswa

mengetahui dan mengerti tentang syarat wajib shalat, rukun-rukunnya,

sunah-sunahnya, yang membatalkan serta keutamaaan-keutamaan shalat,

186

maka pengetahuan itu sepatutnya harus dipraktikkan dalam bentuk

pelaksanaan shalat lima waktu setiap hari.

Etos kerja Islami dalam diri siswa akan melahirkan keyakinan

bahwa belajar merupakan upaya untuk mengembangkan fitrah atau potensi

dalam dirinya. Siswa merupakan pribadi yang dibekali dengan potensi

jasmani, akal, dan rohani. Siswa dengan bimbingan guru akan berupaya

mengembangkan ketiga potensi tersebut secara utuh, sehingga dapat

menjadi bekal untuk mengamalkan ajaran Islam secara utuh pula, yaitu

mencakup hablumminallah dan hablumminannas.

Etos kerja Islami dalam mengembangan potensi jasmani, akan

melahirkan karakter siswa yang memperhatikan kesehatan fisik,

mempunyai kesadaran akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan.

Kesadaran untuk menjaga kesehatan timbul dari keyakinan bahwa dengan

tubuh yang sehat maka ia dapat berpikir jernih sehingga dapat menyaring

mana tindakan yang baik dan yang buruk. Pengembangan potensi akal

akan menumbuhkan karakter siswa yang rasional, ilmiah, proaktif, kreatif,

menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang baik, teratur, dan

disiplin. Seorang siswa harus memiliki karakter tersebut dalam rangka

menghadapi kencangnya arus globalisasi, dengan tetap bersandar pada

ajaran-ajaran Islam. Etos kerja Islami dari segi rohani akan membentuk

karakter siswa yang jujur, bertanggungjawab, dan dihiasi dengan berbagai

akhlak yang mulia atas dasar keyakinan bahwa belajar merupakan wujud

187

ibadah kepada Allah Swt, belajar merupakan amanat dari Allah Swt yang

dipikulkan padanya serta ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt.

Etos kerja Islami akan mendorong siswa untuk belajar dengan

tekun dan sungguh-sungguh, karena belajar adalah bagian dari jihad. Jihad

menurut Tasmara (2002:36) berarti suatu sikap yang sungguh-sungguh

dalam berikhtiar dengan mengerahkan seluruh potensi diri untuk mencapai

suatu tujuan atau cita-cita. Etos kerja Islami oleh karenanya akan

melahirkan semangat belajar dengan mengerahkan segenap kemampuan

siswa untuk mencapai prestasi gemilang yang diridhoi Allah Swt. Siswa

akan memiliki kesadaran untuk belajar dengan gigih karena Allah Swt

telah menganugerahkan segenap potensi dalam dirinya. Potensi tersebut

harus ia kembangkan semaksimal mungkin agar dapat mencapai cita-cita

yang ia impikan. Belajar dengan gigih untuk mengembangkan potensi

secara maksimal ialah wujud rasa syukurnya kepada Allah Swt atas

segenap potensi yang dianugerahkan dalam dirinya.

Etos kerja Islami harus diupayakan dalam diri siswa supaya

tumbuh siswa yang memiliki karakter belajar bukan hanya berorientasi

materi atau duniawi, belajar sebagai ibadah, belajar sebagai pengembangan

fitrah, dan belajar dengan semangat jihad. Siswa yang diupayakan

memiliki karakter demikian merupakan sarana untuk mewujudkan insan

kamil dalam dirinya. Oleh karena itu, upaya pembentukan etos kerja Islami

dapat dimulai dengan mengembangkan ketiga potensi manusia yaitu

jasmani, akal, dan rohani.

188

Upaya membentuk etos kerja Islami dari segi jasmani misalnya

melalui metode pembiasaan. Pembiasaan seperti sarapan sebelum

berangkat sekolah agar bersemangat dalam mengikuti kegiatan belajar

mengajar. Pembiasaan sarapan pagi ini juga ditanamkan nilai religius,

sehingga ia terbiasa sarapan bukan hanya untuk tujuan mengisi energi

tubuh. Siswa perlu ditanamkan kesadaran bahwa dengan sarapan maka

tubuh akan berenergi, pikiran menjadi jernih, dan jiwa menjadi tenang.

Jiwa yang tenang serta pikiran yang jernih akan melahirkan akhlak yang

mulia. Akhlak yang mulia sangat disukai Allah Swt dan bernilai pahala.

Pembiasaan untuk hidup bersih juga perlu ditanamkan dalam diri siswa,

seperti dengan membuat jadwal piket kelas dan juga kesadaran untuk

peduli pada lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.

Pembiasaan untuk hidup bersih ini juga disertai penanaman nilai-nilai

religius, seperti ditanamkan pemahaman bahwa kebersihan adalah

sebagian dari iman. Allah Swt menjadikan sesuatu yang bersih sebagai

syarat dalam beribadah kepada-Nya, misalnya, sebelum shalat

diperintahkan untuk membersihkan diri dengan cara berwudhu. Metode

pembiasaan dengan demikian, untuk mendisiplinkan siswa secara jasmani

hendaknya disertai penanaman pemahaman yang komprehensif mengenai

tindakan yang akan dibiasakan tersebut. Pemahaman tersebut meliputi

unsur duniawi dan ukhrawi.

Penanaman etos kerja Islami dari segi akal ialah upaya untuk

menumbuhkan pola pikir yang rasional, kreatif, inovatif dan memiliki

189

pandangan yang terbuka. Upaya ini salah satunya dapat dilakukan melalui

metode hiwar. Metode hiwar dilakukan untuk membahas materi pelajaran

dengan cara dialog atau diskusi. Tata cara dalam dialog atau diskusi dapat

merujuk pada dialog yang dimuat dalam Al-Qur‟an atau hadits. Dengan

merujuk tata cara dialog dalam Al-Qur‟an atau hadits, maka proses belajar

dengan metode hiwar ini akan sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Oleh

karena itu, dengan metode hiwar ini siswa diharapkan dapat terasah

nalarnya, memiliki wawasan yang lebih luas, dan memiliki sikap terbuka

dalam menerima pandangan dari orang lain serta tetap berlandaskan nilai-

nilai keislaman.

Cara menumbuhkan etos kerja Islami dari segi rohani siswa yaitu

dengan mengupayakan pembentukan sikap yang sadar akan pengawasan

Allah Swt, hal ini akan tercermin dalam sikap jujur, bertanggungjawab,

disiplin, percaya diri, dan akhlak mulia yang lainnya. Metode yang dapat

digunakan agar tumbuh sikap-sikap demikian dalam diri siswa di

antaranya yaitu metode keteladanan, serta targhib dan tarhib. Metode

keteladanan adalah dengan keteladanan yang diberikan oleh guru kepada

siswanya. Seorang guru baik perkataan maupun perbuatannya harus dapat

ditiru oleh siswa. Guru harus menampilkan perkataan yang mulia dan

perkataan itu sesuai dengan apa yang dilakukannya. Guru harus memiliki

sikap jujur, bertanggungjawab, disiplin, percaya diri, penuh kasih sayang,

sehingga sikap tersebut akan dicontoh oleh siswa. Kemudian metode

targhib dan tarhib yaitu berupa janji dan ancaman atau reward and

190

punishment yang diberikan oleh guru kepada siswa. Janji berupa pahala

dan surga apabila siswa melakukan tindakan terpuji, serta ancaman berupa

siksa di neraka apabila siswa melakukan tindakan tidak terpuji.

Etos kerja Islami melalui metode-metode tersebut diharapkan

tumbuh dalam diri siswa. Sehingga siswa bersemangat dalam belajar dan

menampilkan tindakan yang terpuji sebagaimana karakterik etos kerja

Islami. Tindakan terpuji yang ditampilkan siswa diniatkan untuk beribadah

kepada Allah Swt supaya ridho-Nya dapat diraih. Siswa yang menghayati

etos kerja Islami akan tampil sebagai seorang yang berprestasi secara

akademik dan ihsan dalam berperilaku.

191

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Etos kerja Islami ditinjau dari makna filosofis yaitu karakter kerja yang

berlandaskan keyakinan bahwa bekerja adalah fitrah dan amanah yang

esensinya iman, ilmu, dan amal, bekerja adalah ibadah, bekerja dijiwai

semangat jihad, dan materi bukan tujuan dari bekerja tetapi sarana untuk

lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Etos kerja Islami apabila

ditinjau dari hasil, akan melahirkan kerja produktif, profesional, penuh

kecintaan, kompetitif, berorientasi pada kesempurnaan, kreatif, gigih,

bertanggungjawab dan optimis yang berlandaskan sikap religius, ditandai

dengan rasa syukur, keikhlasan; pengabdian semata-mata kepada Allah

Swt, tolong menolong, sederhana dan tawadhu‟.

2. Etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam memiliki pandangan

utuh tentang iman, ilmu, dan amal, kerja dan ibadah, duniawi dan

ukhrawi, serta materi dan non materi. Pandangan utuh tersebut memiliki

keselarasan dengan pendidikan Islam, ditinjau dari karakter insan kamil

sebagai tujuan pendidikan Islam, prinsip kesatuan dan keseimbangan

antara iman, ilmu, dan amal sebagai karakteristik pendidikan Islam, kerja

yang berorientasi dunia dan akhirat sebagai karakter guru profesional dan

192

religius, serta pengembangan potensi secara utuh sebagai upaya

membentuk karakter insan kamil dalam diri siswa.

3. Implikasi etos kerja Islami bagi guru dan siswa dalam pendidikan Islam

merupakan spirit yang dapat melahirkan performa kerja profesional dan

religius. Etos kerja Islami bagi guru dan siswa dapat membangkitkan

motivasi mengajar-belajar yang dilandasi keyakinan bahwa mengajar-

belajar merupakan fitrah, amanah, dan ibadah, serta dijiwai semangat

jihad untuk mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal dalam mencapai

tujuan pendidikan Islam.

B. Saran

1. Guru

Guru hendaknya menghayati etos kerja Islami dalam melaksanakan

tugasnya, sehingga akan lahir semangat yang tinggi dan performa kerja

profesional dan religius, yaitu bekerja atas dasar keikhlasan untuk

beribadah kepada Allah Swt. Seorang guru adalah teladan bagi siswanya,

oleh karena itu menampilkan karakter pekerja yang beretos kerja Islami

merupakan salah satu cara memberikan keteladanan kepada peserta didik.

2. Siswa

Siswa hendaknya membiasakan diri untuk disiplin dan kerja keras

dalam belajar, baik di sekolah maupun di rumah. Siswa selain itu

hendaknya membiasakan diri untuk mengikuti pembelajaran di kelas

dengan penuh semangat dan antusiasme, dan menanamkan dalam dirinya

193

bahwa belajar dengan penuh semangat merupakan wujud pengabdian

kepada Allah Swt dan Allah Swt senantiasa mengawasi dirinya.

3. Sekolah

Sekolah hendaknya turut menciptakan suasana yang mampu

menghidupkan etos kerja Islami bagi seluruh warga sekolah. Bentuk

dukungan sekolah dalam mengupayakan terbentuknya etos kerja di

antaranya ialah dengan menyediakan sarana dan prasarana yang

memadahi. Tenaga kependidikan, seperti petugas akademik, petugas

perpustakaan, petugas kebersihan, juga harus menunjukkan etos kerja

yang tinggi dengan memberikan pelayanan yang prima.

194

DAFTAR PUSTAKA

Abrasyi, Mohd. Athiyah. 1993. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj. H.

Bustami A. Gani dan Djohar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang.

Achmadi. 1987. Ilmu Pendidikan Islam I. Salatiga: Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo.

. 1992. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:

Aditya Media.

Albani, Muhammad Nashiruddin. 2012a. Ringkasan Shahih Bukhari. Terj.

Rahmatullah dan Kamaluddin Sa‟adiyatulharamain. Jakarta: Pustaka

Azzam.

. 2012b. Ringkasan Shahih Muslim. Terj. Subhan dan Imran Rosadi.

Jakarta: Pustaka Azzam.

Aly, Hery Noer dan Munzier. 2003. Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska

Agung Insani.

Anoraga, Panji. 2009. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Asifudin, Ahmad Janan. 2004. Etos Kerja Islami. Surakarta: Muhammadiyah

University Press.

As‟ad, Moh. 2003. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.

Attas, Syed Muhammad Al-Naquib. 1996. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj.

Haidar Bagir. Bandung: Mizan.

Bawani, Imam dan Isa Anshori. 1991. Cendekiawan Muslim dalam Perspektif

Pendidikan Islam. Surabaya: Bina Ilmu.

Buchori, Mochtar. 1994. Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di

Indonesia. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.

195

Daradjat, Zakiyah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Departemen Agama. 1989. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putera.

Dhofier, Zamakhsyari. 1983. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup

Kyai. Jakarta: LP3ES.

Faridi, Miftah. 1982. Pokok-Pokok Ajaran Islam. Bandung: Perpustakaan Salman

ITB.

Fitrianto, Fajar Rian. 2011. Pengaruh Etos Kerja Islam Terhadap Kinerja

Karyawan PT BPRS Buana Mitra Perwira Purbalingga. Skripsi tidak

diterbitkan. Semarang: Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo.

Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbit

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Hafidz dan Kastolani. 2009. Pendidikan Islam: Antara Tradisi dan Modernitas.

Salatiga: STAIN Salatiga Press.

Irkhami, Nafis. 2014. Islamic Work Ethics: Membangun Etos Kerja Islami.

Salatiga: STAIN Salatiga Press.

Jalal, Abdul Fattah. 1988. Azas-Azas Pendidikan Islam. Terj. Herry Noer Ali.

Bandung: CV. Diponegoro.

Jalaluddin. 2001. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kaelany, H.D. 2000. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Jakarta: Bumi

Aksara.

Langgulung, Hasan. 2004. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi,

Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.

Luth, Thohir. 2001. Antara Perut dan Etos Kerja dalam Perspektif Islam. Jakarta:

Gema Insani.

196

Mansur, Sutan H.A.R. 1982. Jihad. Jakarta: Panji Masyarakat.

Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-

Ma‟arif.

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Mursi, Abdul Hamid. 1999. SDM yang Produktif: Pendekatan Al-Qur‟an dan

Sains. Jakarta: Gema Insani Press.

Mutaqin, Wawan Ridwan. 2010. Pengaruh Iklim Organisasi, Etos Kerja dan

Disiplin Kerja Terhadap Efektivitas Kinerja Organisasi di Politeknik

Kesehatan Surakarta. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: Program Studi

Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret.

Nahlawi, Abdurrahman. 1992. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam:

dalam Keluarga, di Sekolah, dan di Masyarakat. Terj. Herry Noer Ali.

Bandung: CV. Diponegoro.

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa

Perbandingan. Jakarta: UI Press.

Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.

. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Purwanto, Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Rasyidin dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka

Cipta.

Roqib, Muh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif

di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS.

197

Saerozi. 2013. Pembaruan Pendidikan Islam: Studi Historis Indonesia dan

Malaysia 1900-1942. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Saleh, Muwafik. 2009. Bekerja dengan Hati Nurani. Jakarta: Erlangga.

Sastrahidayat, Ika Rochdjatun. 2009. Membangun Etos Kerja dan Logika Berpikir

Islami. Malang: UIN Malang Press.

Shihab, M. Quraish. 1997. Tafsir AL-Qur‟an Al-Karim. Bandung: Pustaka

Hidayah.

Siswanto, Dwi. 2012. Urgensi Falsafah Penyuluhan Pembangunan dan Etos Kerja

dalam Pemberdayaan Masyarakat. Ilmiah CIVIS. II (I): 217-237.

Soekanto, Soerjono. 1983. Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press.

Sofyan, Mochlasin. 2010. Islam dan Etos Kerja: Tafsir Islam Transformatif

Perspektif M. Dawam Raharjo. Salatiga: STAIN Salatiga Press.

Syahyuti. 2011. Islamic Miracle of Working Hard: 101 Motivasi Islami Bekerja

Keras. Depok: Manna dan Salwa.

Syaibani, Omar Muhammad Al-Toumy. 1979. Falasafah Pendidikan Islam. Terj.

Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Tafsir, Ahmad. 2008. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka.

Tono, Sidik, M. Sularno, Imam Mujiono, dan Agus Triyanto. 1998. Ibadah dan

Akhlak dalam Islam. Yogyakarta: UII Press Indonesia.

Wiradi, Gunawan. 2004. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 5. Bekasi: Delta

Pamungkas.

Zainuddin. 1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.

198

199

200

201

202

203

204

205