konsep dasar obginsos

Upload: nazhar-farhan

Post on 08-Jan-2016

121 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Konsep Dasar Obginsos

TRANSCRIPT

KONSEP DASAR OBGINSOSDiajukan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh Dr. Farid. dr., Ir., SpOG(K)., M.Kes., MHKes

Disusun oleh:Isni YuliantiD3E613003 Mery Tarlina D3E613005Risma PertiwiD3E613009

AKADEMI KEBIDANAN MEDIKA OBGINBANDUNG2015KONSEP DASAR OBGINSOS

A. OBSTETRI DAN GINEKOLOGISOSIALObstetri Ginekologi Sosial: Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara alat dan fungsi reproduksi dengan lingkungannya, terutama lingkungan sosial.1. Masalah Obstetri dan Ginekologi Sosial di IndonesiaTidak ada angka tepat mengenai kematian maternal di Indonesia karena belum adanya sistem pendaftaran wajib untuk kelahiran dan kematian. Menurut taksiran kasar, angka kematian maternal ialah 6-8 per 1000 kelahiran, angka ini sangat tinggi dibanding negara-negara maju. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor-faktor lain di luar pelayanan kebidanan yang memegang peranan dalam penentuan angka tersebut, yaitu kekurangan gizi dan anemi, paritas tinggi, dan usia lanjut pada ibu hamil.Angka kematian perinatal yang terdapat di kepustakaan juga tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Angka tersebut berkisar 77,3 sampai 137,7 per 1000. Hans E. Monintja menyimpulkan : Lebih dari separuh dari kematian perinatal ialah bayi lahir mati Angka kematian perinatal bayi BBLR lebih daripada 2x angka kematian bayi cukup bulan Kematian dalam 24 jam pertama sekitar 37% dari angka kematian neonatal dini.Selain itu, masalah pelayanan kesehatan yang tidak merata juga belum terpecahkan. Masyarakat desa belum dapat merasakan pelayanan adekuat. Meskipun pemerintah telah mengadakan Puskesmas Keliling di daerah terpencil dan sulit dijangkau, namun persalinan oleh dukun dan di rumah masih merupakan cara persalinan terbanyak yang dilakukan oleh masyarakat.

2. Upaya Obsginsos di IndonesiaSarana upaya pelayanan kesehatan di Indonesia meliputi :1) Primary Health Care/ Pelayanan Kesehatan DasarDalam Sistem Kesehatan Nasional tahun 1982 dinyatakan bahwa pelayanan kesehatan dasar merupakan upaya mendekatkan pelayanan pada masyarakat, khususnya untuk ibu hamil yang tinggal di pedesaan2) Safe Motherhood InitiativeTahun 1988 diadakan workshop nasional mengenai Safe Motherhood yang melibatkan pemerintah dengan 17 lintas sektor terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat nasional/internasional dan masyarakat agar berkembang kesamaan persepsi dan komitmen bersama untuk upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian IBU (PP AKI)3) Bidan di DesaTahun 1989 kebijakan pemerintah diberlakukan dengan menempatkan 1 bidan di tiap desa sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan. Pondok Bersalin Desa (Polindes) dikembangkan sebagai tempat melahirkan. Bidan desa juga mendapat pengetahuan dasar dan pembidanaan tentang pelayanan kebidanan4) Gerakan Sayang Ibu (GSI)Pada Desember 1996 dicanangkan sebagai wadah kemitraan antara pemerintah pusat sampai pedesaan dengan masyarakat dengan tujuan Percepatan Penurunan AKI. GSI kabupaten memberikan kebijakan politis dengan keterlibatan lintas sektor terkait, sedangkan GSI kecamatan dan pedesaan melakukan operasionalisasi bantuan penanganan masalah sosial, seperti biaya dan transportasi. Dikembangkan pula Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi5) Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan Menuju INDONESIA SEHAT 2010Dicanangkan pada 1 Maret 1999 dengan pola dasar Paradigma Sehat, bersifat promotif preventif proaktif dengan dukungan pelayanan kuratif rehabilitatif dalam pemeliharaan kesehatan komprehensif. Target Indonesia Sehat 2010 adalah penurunan AKI dari 450/100.000 KH (tahun 1988) menjadi 125/100.000 KH di tahun 2010 bidan desa di tiap desa perawatan kehamilan 95% persalinan tenaga kesehatan 90% penanganan ibu risiko tinggi dan komplikasi persalinan 80% ketersediaan informasi mengenai KB 90% Toksoid Tetanus pada ibu hamil 90%6) Making Pregnancy SaferDalam rencana Strategi Nasional tahun 2001-2010 oleh Depkes, pada tahun 2000 mengacu tuujuan global yaitu menurunkan AKI sebesar 75% pada tahun 2015 menjadi 115/100.000 KH dan menurunkan AKB menjadi kurang dari 35/1000 KH7) Pedoman Manajemen Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif 24 jam di tingkat Kecamatan dan Kabupaten/ Kota.Merupakan kebijakan Depkes tahun 2005 melalui pengembangan Puskesmas PONED dan Rumah Sakit PONEK 24 jam. RS Kabupaten dengan Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi dan Anak bertanggung jawab membina wilayah dalam pelayanan kebidanan serta sebagai RS rujukan primer mendukung Puskesmas di tingkat Kecamatan8) DESA SIAGA ( Desa Siap Antar Jaga)Dibentuk tahun 2006 dengan 4 kegiatan utama yaitu :a. Notifikasi ibu hamilb. Tabungan ibu bersalin/ Tabulin, dana sosial ibu bersalin/Dasolinc. Transportasid. Ketersediaan donor darahPengendalian pelayanan Obstetri Ginekologi seyogyanya merupakan suatu bagian dari system yang mempunyai kehendak meningkatkan mutu terus menerus. Pada kenyataannya ketidakpuasan pasien yang berupa tuntutan terus meningkat, diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Upaya yang direncanakan untuk mengurangi dampak kelemahan pelayanan ialah dengan membentuk manajemen risiko klinik (clinical risk management). Melalui upaya ini diharapkan identifikasi kelemahan dapat diketahui secara dini dan diredam dengan maksud meningkatkan mutu secara keseluruhan (Wiknjosastro, 2003).Ruang lingkup MRK ditujukan terutama bidang Obstetri, namun dapat diperluas pada ginekologi dan perinatal. Kegiatan kelompok ini ialah berkaitan dengan masalah (risiko) : identifikasi risiko, analisa risiko/masalah, pengendalian risiko, pendanaan risiko. Risiko tersebut berkembang secara bertahap, sehingga kelompok kerja harus bersikap proaktif. Dengan demikian diperlukan kepemimpinan dan organisasi yang mantap, dimana dapat bekerja sama dengan pimpinan namun bersifat tegas (Wiknjosastro, 2003).Tujuan identifikasi risiko menelaah kesalahan yang terjadi pada pelayanan Obstetri Ginekologi. Seharusnya penyidikan langsung dilakukan begitu diketahui adanya kesalahan (risiko). Risiko dapat menyangkut : kematian, kesakitan atau efek samping yang memerlukan penyidikan (Wiknjosastro, 2003).Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat saat ini dirasakan bahwa dengan pendekatan Obstetri Ginekologi Klinik saja tidak mungkin dapat menyelesaikan masalah kesehatan reproduksi secara paripurna, karena ada keterbatasan, baik dalam pengertian Falsafah, Wawasan maupun Garapannya. Untuk itu perlu dikembangkan Obstetri Ginekologi Sosial. Sesuai dengan tahap perkembangannya kita sekarang mengenal tiga keilmuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, yaitu Obstetri Ginekologi Klinik, Obstetri Ginekologi Sosial dan Kesehatan Reproduksi sendiri (Martaadisoebrata, 2009).Pada saat Obstetri Ginekologi Sosial dikembangkan, sebetulnya tujuan pertama adalah untuk mengingatkan para dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan (SpOG) akan adanya ketimpangan antara perkembangan ilmu dan bioteknologi yang dianut para klinisi dengan hasil yang dicapai dalam penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. Di satu pihak perkembangan ilmu bioteknologi menghasilkan subspesialisasi seperti Feto Maternal, Onkologi Reproduksi dan Fertiliti Endokrinologi Reproduksi, di lain pihak angka kematian/kesakitan ibu/ anak masih tetap tinggi, demikian juga dengan prevalensi STD/HIV/AIDS (Martaadisoebrata, 2009).Obstetri Ginekologi Sosial juga ingin mengingatkan akan adanya pengaruh timbul balik antara proses biomedis reproduksi serta hasil penanganannya, dengan faktor sosial. Karena itu para klinisi digugah agar mau memperluas wawasan, baik secara konseptual maupun implementasinya. Di sini sengaja digunakan istilah memperluas wawasan, bukan mengubah, karena adanya ObGinSos (Obstetri Ginekologi Sosial) tidak bermaksud untuk menghilangkan Obstetri Ginekologi Klinik. Seorang Obstetri Ginekologi Sosial harus tetap seorang klinisi yang mahir. Hanya saja wawasannya diperluas, dengan pengertian bahwa bidan maupun SpOG tersebut harus memikirkan bagaimana kemampuan kliniknya, di samping bermanfaat bagi setiap wanita sebagai individu, dapat pula dimanfaatkan secara efektif dan efisien, oleh sebagian besar masyarakat yang memerlukannya (Martaadisoebrata, 2009)

B. RUANG LINGKUP KESEHATAN REPRODUKSIKebijakan Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia menetapkan bahwa Kesehatan Reproduksi mencakup 5 (lima) komponen/program terkait, yaitu Program Kesehatan Ibu dan Anak, Program Keluarga Berencana, Program Kesehatan Reproduksi Remaja, Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, dan Program Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut. Pelaksanaan Kesehatan Reproduksi dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan siklus hidup (life-cycle approach) agar diperoleh sasaran yang pasti dan pelayanan yang jelas berdasarkan kepentingan sasaran/klien dengan memperhatikan hak reproduksi mereka.Saat ini, kesehatan reproduksi di Indonesia yang diprioritaskan baru mencakup empat komponen/program, yaitu: Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir, Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi Remaja, serta Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS. Pelayanan yang mencakup empat komponen/program tersebut disebut Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE). Jika PKRE ditambah dengan pelayanan Kesehatan Reproduksi untuk Usia Lanjut, maka pelayanan yang diberikan akan mencakup seluruh komponen Kesehatan Reproduksi, yang disebut Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK).1. KIE - KESEHATAN REPRODUKSITujuh aspek penting yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan setiap kegiatan KIE Kesehatan Reproduksi, yaitu:1) KeterpaduanKegiatan KIE Kesehatan Reproduksi dilaksanakan secara terpadu. Keterpaduan dapat berupa keterpaduan dalam aspek sasaran, lokasi, petugas penyelenggara, dana, maupun sarana.2) MutuMateri KIE Kesehatan Reproduksi haruslah bermutu, artinya selalu didasarkan pada informasi ilmiah terbaru, kebenarannya dapat dipertanggung jawabkan, jujur serta seimbang (mencakup keuntungan & kerugian bagi sasaran), sesuai dengan media dan jalur yang dipergunakan untuk menyampaikannya, jelas dan terarah pada kelompok sasaran secara tajam (lokasi, tingkat sosial-ekonomi, latar belakang budaya, umur), tepat guna dan tepat sasaran.3) Media dan JalurKegiatan KIE Kesehatan Reproduksi dapat dilaksanakan melalui berbagai media (tatap muka, penyuluhan massa/kelompok, dan lain-lain) dan jalur (formal, informal, institusional, dan lain-lain) sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Pemilihan media dan jalur ini dilakukan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-masing media dan jalur sesuai dengan kondisi kelompok sasaran dan pesan yang ingin disampaikan.4) Efektif (berorientasi pada Penambahan Pengetahuan dan Perubahan Perilaku Kelompok Sasaran)Kegiatan KIE yang efektif akan memberi dua hasil, yaitu:a. penambahan pengetahuan, danb. perubahan perilaku kelompok sasaran.Pesan-pesan KIE Kesehatan Reproduksi harus berisi informasi yang jelas tentang pengetahuan dan perilaku apa yang diharapkan akan mampu dilakukan oleh kelompok sasaran.5) Dilaksanakan Bertahap, Berulang dan Memperhatikan Kepuasan SasaranPenyampaian materi dan pesan-pesan harus diberikan secara bertahap, berulang-ulang dan bervariasi, sesuai dengan daya serap dan kemampuan kelompok sasaran untuk melaksanakan perilaku yang diharapkan. Oleh karena itu, materi perlu diolah sedemikian rupa agar akrab dengan kondisi dan lingkungan kelompok sasaran melalui pemilihan bahasa, media, jalur dan metode yang sesuai.6) MenyenangkanPerkembangan terakhir dunia komunikasi menunjukkan bahwa kegiatan KIE paling berhasil jika dilaksanakan dengan cara penyampaian yang kreatif dan inovatif sehingga membuat kelompok sasaran merasa senang atau terhibur. Penyampaian yang kreatif dan inovatif ini dilakukan melalui pendekatan "pendidikan yang menghibur" (edu-tainment), yang merupakan kombinasi dari education (pendidikan) dan entertainment (hiburan). Metode ini bersifat mengajak kelompok sasaran berfikir melalui rangsangan rasional sehingga mendapat informasi yang bermanfaat (sebagai hasil kegiatan pendidikan) sekaligus diberi rangsangan emosional berupa hiburan menarik yang membuat mereka merasa senang (terhibur).Bentuk-"edu-tainment" yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan KIE Kesehatan Reproduksi ini antara lain berupa dongeng, humor, lagu, drama, komik, lomba, kuis dan lain-lain.7) BerkesinambunganSemua kegiatan KIE tidak berhenti pada penyampaian pesan-pesan saja, namun harus diikuti dengan tindak lanjut yang berkesinambungan. Artinya, setelah kegiatan KIE dilaksanakan, perlu selalu diikuti penilaian atas proses (apakah telah dilaksanakan sesuai rencana?) dan penilaian atas hasil (apakah pengetahuan dan perilaku kelompok sasaran telah berubah?) untuk menyiapkan kegiatan berikutnya.2. PELAKSAAN PROGRAM KESEHATAN REPRODUKSIBeberapa masalah yang dialami dalam pelaksanaan program kesehatan reproduksi adalah sebagai berikut:1) Tingkat pengambil keputusanProgram kesehatan reproduksi pada saat ini belum merupakan prioritas program pemerintah. Anggaran pembangunan untuk kesehatan reproduksi belum bertambah. Hal ini sangat berpengaruh terhadap anggaran yang tersedia untuk program kesehatan reproduksi.2) KoordinasiKoordinasi program antar sektor masih belum berjalan seperti yang diharapkan. Untuk itu perlu dibentuk wadah koordinasi program kesehatan reproduksi di semua tingkat administrasi pemerintah seperti pembentukan Komisi Kesehatan Reproduksi di tingkat nasional.3) Kebijakan otonomi daerahDengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, BKKBN kabupaten/kota digabungkan dengan dinas lain seperti dengan dinas kependudukan dan catatan sipil, dinas pemberdayaan masyarakat, dinas pemberdayaan perempuan, dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan kewenangan, fungsi dan dukungan sumber daya akan semakin berkurang.4) Tingkat pelaksanaanProgram dan kegiatan Kesehatan Reproduksi dengan pendekatan komprehensif masih belum diketahui oleh para pelaksana di fasilitas pelayanan kesehatan dasar, walaupun pelayanan konvensional yang dilaksanakan berbagai sektor sudah dijalankan oleh pelaksana lapangan. Di masa depan, diharapkan fasilitas pelayanan dasar mampu melaksanakan pelayanan kesehatan reproduksi secara komprehensif, terintegrasi dan terkoordinasi sehingga masyarakat dapat merasakan manfaatnya.5) Pencapaian indikatorJumlah indikator yang ingin ditangani oleh setiap sektor cukup banyak dan tingkat pencapaiannya berbeda-beda. Keadaan ini kurang menguntungkan untuk pencapaian program Kesehatan Reproduksi secara nasional. Nilai indikator yang dapat digunakan oleh setiap sektor adalah dengan "strong indicators" yang digunakan WHO ditambahkan dengan indikator lain yang sesuai dengan kebutuhan komponen. Kondisi yang diharapkan adalah disepakatinya indikator minimal yang harus dicapai oleh program Kesehatan Reproduksi dan disesuaikan dengan Milenium Development Goals. Indikator tersebut adalah:a. Maternal Mortality Ratio,b. Child Mortality Rate,c. Total Fertility Rate,d. Prevalensi infeksi HIV pada umur 15-24 tahun menurun sebesar 20%,e. Setiap orang mampu melindungi dirinya dari penularan PMS dan HIV/AIDS,f. Peningkatan peran serta masyarakat dalam penanganan kesehatan reproduksi, dang. Human Development Index (HDI).

C. STRATEGI DAN PESAN UTAMA KIE KESEHATAN REPRODUKSI1. Strategi KIE Kesehatan ReproduksiUpaya Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Kesehatan Reproduksi memiliki 2 (dua) tujuan yaitu : (a) peningkatan pengetahuan, (b) perubahan perilaku kelompok sasaran/klien tentang semua aspek Kesehatan Reproduksi. Dengan tercapainya dua tujuan ini, diharapkan dapat membantu tercapainya tujuan akhir kegiatan pelayanan kesehatan reproduksi, yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Ada 3 (tiga) strategi yang biasa digunakan sebagai dasar melaksanakan kegiatan KIE Kesehatan Reproduksi, yaitu :1) Advokasi: Mencari dukungan dari para pengambil keputusan untuk melakukan perubahan tata nilai atau peraturan yang ada untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan reproduksi, sehingga tujuan KIE Kesehatan Reproduksi (peningkatan pengetahuan yang diikuti perubahan perilaku) dapat tercapai. Kelompok sasaran untuk strategi advokasi ini biasa dikenal dengan istilah "kelompok sasaran tersier". Bentuk operasional dari strategi advokasi ini biasanya berupa pendekatan kepada pimpinan/ institusi tertinggi setempat.2) Bina Suasana : Membuat lingkungan sekitar bersikap positif terhadap tujuan KIE Kesehatan Reproduksi yang ingin dicapai yaitu peningkatan pengetahuan yang diikuti perubahan perilaku. Strategi ini biasanya digunakan untuk kelompok sasaran para pimpinan masyarakat dan/atau orang-orang yang mempunyai pengaruh besar terhadap pengetahuan dan perilaku kelompok sasaran utama. Kelompok sasaran untuk strategi bina suasana ini biasa dikenal dengan istilah "kelompok sasaran sekunder". Bentuk operasional dari strategi ini biasanya berupa pelatihan, sosialisasi program, pertemuanpertemuan, yang dapat memanfaatkan metode komunikasi modern dan formal maupun metode sederhana (tatap muka) dan informal.3) Gerakan Masyarakat : Membuat pengetahuan kelompok sasaran utama (yaitu mereka yang memiliki masalah) meningkat yang diikuti dengan perubahan perilaku mereka sehingga dapat mengatasi masalah yang dihadapi. Kelompok sasaran untuk strategi Gerakan Masyarakat ini umumnya merupakan kelompok sasaran utama dan dikenal dengan istilah "kelompok sasaran primer", yaitu mereka yang pengetahuan dan perilakunya hendak diubah. Bentuk operasional dari strategi ini biasanya berupa tatap muka langsung atau penyuluhan kelompok, dan lebih sering memanfaatkan metode komunikasi yang lebih sederhana dan informal, misalnya melakukan latihan bagi kader-kader PKK dan kader Posyandu sehingga mereka menjadi tahu tentang Kesehatan Reproduksi atau pelayanan Kesehatan Reproduksi yang tersedia sehingga dapat memberi tahu masyarakat di lingkungannya untuk memanfaatkan pelayanan tersebut. Untuk melaksanakan strategi Gerakan Masyarakat dan Bina Suasana, perlu memperhatikan 5 (lima) aspek berikut:a. Pesan inti yang ingin disampaikan (APA);b. Kelompok yang akan menjadi sasaran penyampaian pesan tersebut (SIAPA);c. Pengetahuan yang diharapkan diketahui oleh kelompok sasaran;d. Perilaku yang diharapkan mau/bisa diterima dan dilakukan kelompok sasaran;e. Cara apa yang paling tepat untuk mencapai kelompok sasaran tersebut (jalur dan media)Dengan memperhatikan empat aspek yang pertama, dapat menentukan APA pesan inti yang akan disampaikan, SIAPA kelompok sasaran yang akan dituju, pengeTAHUan yang diharapkan diketahui oleh kelompok sasaran, dan perilaku yang diharapkan MAU diterima dan dapat dilakukan oleh kelompok sasaran. Setelah empat aspek pertama dipenuhi, Mahasiswa kemudian dapat menentukan aspek yang ke lima yaitu cara apa yang paling sesuai untuk melaksanakan kegiatan dengan memilih JALUR dan MEDIA penyampaian yang paling tepat. Semua kegiatan KIE Kesehatan Reproduksi di Indonesia selalu mengacu kepada 5 (lima) pelayanan yang terkait dalam Kesehatan Reproduksi, yaitu Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir, Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi Remaja, Pencegahan dan Penanggulangan PMS termasuk HIV/AIDS.2. Kegiatan Kie Kesehatan ReproduksiPada tingkat pelayanan dasar maka kegiatan operasional KIE Kesehatan Reproduksi terbagi 2 (dua), yaitu: Kegiatan di dalam gedung Puskesmas dan di luar gedung Puskesmas.1) Kegiatan KIE di dalam gedung PuskesmasBentuk kegiatan di dalam gedung Puskesmas dapat berupa:a. Penyampaian pesan secara langsung (Tatap Muka).Tatap muka langsung untuk perorangan dapat berlangsung saat memeriksa pasien baik di klinik KIA/KB Puskesmas maupun saat kunjungan pasien di ruangan Puskesmas Rawat Inap. Tatap muka langsung untuk kelompok dapat dilakukan kepada pasien dan/atau keluarganya yang sedang berada di ruang tunggu Puskesmas. Kegiatan tatap muka langsung ini memiliki peluang besar sekali untuk berhasil jika dilakukan dengan benar karena pesan dapat disampaikan dengan diikuti penjelasannya. Cara tersebut juga dapat menyampaikan keterampilan (bukan hanya pengetahuan) dalam bentuk peragaan atau demonstrasi cara melakukan sesuatu (misalnya cara memasang kondom, cara sederhana untuk menilai ada/tidaknya anemia dengan melihat kelopak mata dan lidah, dsbnya). Dalam melaksanakan kegiatan ini perlu diupayakan adanya komunikasi dua arah, yaitu dengan memberi kesempatan pada sasaran untuk bertanya, atau menanyakan kembali kepada sasaran, untuk menilai apakah pesan telah benar-benar dipahami dan sasaran benar-benar mengetahui isi pesan.

b. Penyampaian pesan secara tidak langsung.Bentuk kegiatan ini biasanya berupa pemutaran kaset lagu-lagu atau video hiburan yang diselingi pesanpesan singkat, atau pemasangan poster/media cetak lain, dalam lingkungan fasilitas pelayanan Puskesmas. Bentuk kegiatan ini dapat pula ditujukan kepada sasaran perorangan berupa pembagian selebaran atau leaflet kepada setiap pengunjung. Kegiatan ini juga memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah, yaitu dengan menghadirkan petugas untuk memulai pembicaraan dengan kelompok sasaran, misalnya dengan menanyakan atau membahas isi pesandalam kaset/video yang diputar, poster yang dipasang atau leaflet yang dibagikan. Dengan adanya pembicaraan antara mahasiswa dengan sasaran tersebut, sekaligus terjadi komunikasi dua arah berupa saling bertanya antara petugas dan sasaran, sehingga dapat dilakukan penilaian apakah pesan telah benar-benar dipahami oleh sasaran.2) Kegiatan KIE di luar gedung PuskesmasBentuk kegiatan dapat berupa :a. Penyampaian pesan untuk kelompok kecilProses kegiatan tatap muka untuk kelompok di luar gedung Puskesmas tidak banyak berbeda dengan di dalam gedung Puskesmas, hanya saja kelompok sasaran yang ditemui biasanya adalah kelompok yang kecil dan khusus. Kelompok khusus ini seringkali merupakan kelompok sasaran sekunder atau yang memiliki pengaruh terhadap sasaran utama, misalnya kelompok ibu-ibu PKK, kelompok pengajian, persatuan orang tua murid dan guru dan lain-lain. Kelompok khusus ini dapat juga merupakan kelompok sasaran utama, misalnya pertemuan kelompok remaja, paguyuban KB, kelompok ibuibu pengunjung Posyandu, keluarga yang dikunjungi di rumah dan lain-lain. Kegiatan tatap muka dengan kelompok kecil ini juga memiliki peluang besar sekali untuk berhasil karena jika pesan tersampaikan dengan benar maka akan dapat mendorong kelompok sasaran sekunder untuk meneruskan pesan-pesan itu kepada kelompok sasaran utama. Dalam melaksanakan kegiatan ini perlu komunikasi dua arah yaitu dengan memberi kesempatan pada sasaran untuk bertanya. Mahasiswa juga dapat mencoba meminta peserta untuk mengulang kembali pesan yang disampaikan (parafrasing) untuk menilai pemahaman sasaran tehadap pesan dan menilai kemampuan sasaran untuk meneruskan pesan dengan tepat.b. Penyampaian pesan untuk kelompok besar.Proses ini mencakup penyampaian pesan kepada orang dalam jumlah sangat banyak dan biasanya tidak memungkinkan terjadi komunikasi dua arah. Karena tidak mungkin melakukan komunikasi dua arah untuk menilai apakah sasaran benar-benar memahami isi pesan, maka kegiatan KIE kesehatan reproduksi untuk kelompok besar ini memerlukan persiapan khusus terutama dalam penciptaan pesannya, pesan yang disampaikan harus singkat, menarik, mudah diingat dan mudah dilakukan.

D. KEBIJAKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA1. Pemerintah, masyarakat termasuk remaja wajib menciptakan lingkungan yang kondusif agar remaja dapat berprilaku hidup sehat untuk menjamin kesehatan reproduksinya.2. Setiap remaja mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang berkualitas termasuk pelayanan informasi dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.3. Upaya kesehatan reproduksi remaja harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan remaja dengan disertai upaya pendidikan kesehatan reproduksi yang seimbang.4. Upaya pendidikan kesehatan reproduksi remaja dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal, dengan memberdayakan para tenaga pendidik dan pengelola pendidikan pada sistem pendidikan yang ada.5. Upaya kesehatan remaja harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan berkesinambungan melalui prinsip kemitraan dengan pihak-pihak terkait serta harus mampu membangkitkan dan mendorong keterlibatan dan kemandirian remaja.

E. STRATEGI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA1. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja disesuaikan dengan kebutuhan proses tumbuh kembang remaja dengan menekankan pada upaya promotif dan preventif yaitu penundaan usia perkawinan muda dan pencegahan seks pranikah.2. Pelaksanaan pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan terpadu lintas program dan lintas sektor dengan melibatkan sektor swasta serta LSM, yang disesuaikan dengan peran dan kompetensi masing-masing sektor sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam Pokja Nasional Komisi Kesehatan Reproduksi.3. Pembinaan kesehatan reproduksiremaja dilakukan melalui pola intervensi di sekolah mencakup sekolah formal dan non formal dan di luar sekolah dengan memakai pendekatan pendidik sebaya atau peer conselor.4. Pemberian pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui penerapan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) atau pendekatan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Integratif di tingkat pelayanan dasar yang bercirikan peduli remaja dengan melibatkan remaja dalam kegiatan secara penuh.5. Pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui integrasi materi KRR ke dalam mata pelajaran yang relevan dan mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler seperti : bimbingan dan konseling, Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) dan Usaha Kesehatan Sekolah.6. Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi remaja bagi remaja di luar sekolah dapat diterapkan melalui berbagai kelompok remaja yang ada di masyarakat seperti karang taruna, Saka Bhakti Husada (SBH), kelompok anak jalanan di rumah singgah, kelompok remaja mesjid/gereja, kelompok Bina Keluarga Remaja.Kebijakan Depkes dalam Kesehatan Reproduksi RemajaAdapun kebijakan Departemen Kesehatan dalam KRR adalah sebagai berikut: Pembinaan KRR meliputi remaja awal, remaja tengah, remaja akhir. Pembinaan KRR dilaksanakan terpadu lintas program dan lintas sektoral. Pembinaan KRR dilaksanakan melalui jaringan pelayanan upaya kesehatan dasar dan rujukannya. Pembinaan KRR dilakukan pada 4 daerah tangkapan, yaitu rumah, sekolah, masyarakat, dan semua pelayanan kesehatan. Peningkatan peran serta orang tua, unsur potensial keluarga, serta remaja sendiri.

DAFTAR PUSTAKA Tim Revisi Field Lab Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2013. Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) KESEHATAN REPRODUKSI. Fk.uns.ac.id/static/filebagian/KESPRO.pdf. Diunduh pada tanggal 26 Agustus 2014 pukul 17.51 WIB United Nations Population Fund, 2005, Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia, Jakarta: UNFA. Nursal, 2005. Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia. Jakarta. Kemenkes, Dirjen bina gisi dan KIA.2011.Kebijakan dan program kementrian kesehatan dalam pelaksanaan PKH. Yogyakarta