konsep dan definisi konsumsi

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep dan Definisi Konsumsi Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Dumairy, 2004). Pengeluaran konsumsi masyarakat/rumah tangga merupakan salah satu variabel makro ekonomi. Pengeluaran konsumsi seseorang adalah bagian dari pendapatan yang dibelanjakan. Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua orang dalam suatu negara dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran konsumsi masyarakat negara yang bersangkutan. Menurut Rahardja (2001), pengeluaran konsumsi terdiri atas konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi masyarakat atau rumah tangga (household consumption). Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah semua pembelian barang dan jasa oleh rumah tangga yang tujuannya untuk dikonsumsi selama periode tertentu dikurangi neto penjualan barang bekas. Untuk menduga pengeluaran konsumsi rumah tangga digunakan data pendukung antara lain:

Upload: yogix-thetroubleshooter

Post on 21-Oct-2015

156 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

definisi konsumsi

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep dan Definisi Konsumsi

Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang

dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang

yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan,

pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan

atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat

untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Dumairy, 2004).

Pengeluaran konsumsi masyarakat/rumah tangga merupakan salah satu

variabel makro ekonomi. Pengeluaran konsumsi seseorang adalah bagian dari

pendapatan yang dibelanjakan. Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua

orang dalam suatu negara dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran konsumsi

masyarakat negara yang bersangkutan. Menurut Rahardja (2001), pengeluaran

konsumsi terdiri atas konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi

masyarakat atau rumah tangga (household consumption).

Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah semua pembelian barang dan jasa

oleh rumah tangga yang tujuannya untuk dikonsumsi selama periode tertentu

dikurangi neto penjualan barang bekas. Untuk menduga pengeluaran konsumsi rumah

tangga digunakan data pendukung antara lain:

1. Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan kelompok makanan dan bukan makanan.

2. Indeks harga konsumen (IHK) untuk masing-masing kelompok komoditi dan jasa

dari bagian statistik harga konsumen.

3. Jumlah penduduk dari proyeksi hasil survey penduduk antar sensus.

2.2. Teori Konsumsi

2.2.1. Teori Konsumsi John Maynard Keynes

Dalam teorinya Keynes mengandalkan analisis statistik, dan juga membuat

dugaan-dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi kasual.

Pertama dan terpenting Keynes menduga bahwa, kecenderungan mengkonsumsi

marginal atau MPC (marginal propensity to consume) jumlah yang dikonsumsi dalam

setiap tambahan pendapatan adalah antara nol dan satu. Kecenderungan

mengkonsumsi marginal merupakan rekomendasi kebijakan Keynes untuk

menurunkan pengangguran yang kian meluas. Kekuatan kebijakan fiskal, untuk

mempengaruhi perekonomian seperti ditunjukkan oleh pengganda kebijakan fiskal

muncul dari umpan balik antara pendapatan dan konsumsi. Kedua, Keynes

menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan, yang disebut kecenderungan

mengkonsumsi rata-rata atau APC (average propensity to consume), turun ketika

pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan, sehingga ia

barharap orang kaya menabung dalam proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan

mereka ketimbang si miskin. Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan

merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki

peranan penting. Keynes menyatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap

konsumsi hanya sebatas teori.

Dalam jangka pendek orang dapat berkonsumsi dengan menggunakan

tabungan yang lalu, sehingga jika ini terjadi maka orang tersebut telah melakukan

tabungan negatif (dissaving). Berdasarkan tiga dugaan ini, persamaan konsumsi

Keynes secara matematis ditulis sebagai berikut (Mankiw, 2003):

C = a + bY, a > 0, 0 < b < 1 ..................................................(2.1)

Keterangan:

C = Pengeluaran untuk konsumsi

a = Besarnya konsumsi pada tingkat pendapatan nol

b = Besarnya tambahan konsumsi karena tambahan pendapatan atau MPC

Y = Pendapatan untuk rumah tangga individu

Secara grafis, fungsi konsumsi Keynes digambarkan sebagai berikut:

C (konsumsi) Y=C

C

Co

0 Y (Pendapatan)

Gambar 2.1. Kurva Fungsi Konsumsi Keynes

Pada Gambar 2.1 fungsi konsumsi Keynes tidak melalui titik 0 tetapi melalui

titik C0. Konsekuensinya adalah apabila pendapatan nasional meningkat akan

memberikan dampak penurunan terhadap APC. Jika hal ini terjadi maka dalam fungsi

konsumsi Keynes akan terlihat pertama, peningkatan pendapatan masih diikuti oleh

peningkatan konsumsi, kedua, pada saat garis konsumsi C memotong garis 0Y maka

peningkatan pendapatan akan diiringi penurunan APC.

2.2.2. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Permanen

Teori dengan hipotesis pendapatan permanen dikemukakan oleh Milton

Friedman. Menurut teori ini pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi 2

yaitu pendapatan permanen (permanent income) dan pendapatan sementara

(transitory income). Pengertian dari pendapatan permanen adalah:

1. Pendapatan yang selalu diterima pada setiap periode tertentu dan dapat

diperkirakan sebelumnya, misalnya pendapatan dari gaji, upah.

2. Pendapatan yang diperoleh dari semua faktor yang menentukan kekayaan

seseorang (yang menciptakan kekayaan).

Pengertian pendapatan sementara adalah pendapatan yang tidak bisa

diperkirakan sebelumnya (Guritno, 1998).

Friedman menganggap tidak ada hubungan antara pendapatan sementara

dengan pendapatan permanen, juga antara konsumsi sementara dengan konsumsi

permanen, maupun konsumsi sementara dengan pendapatan sementara. Sehingga

MPC dari pendapatan sementara sama dengan nol yang berarti bila konsumen

menerima pendapatan sementara yang positif maka tidak akan mempengaruhi

konsumsi. Demikian pula bila konsumen menerima pendapatan sementara yang

negatif maka tidak akan mengurangi konsumsi (Suparmoko, 2001).

Dalam bentuk matematis fungsi konsumsi dengan hipotesis pendapatan

permanen dapat dituliskan sebagai berikut (Reksoprayitno, 2000: 155):

Cp = kYp .......................................................................................................(2.2)

Di mana:

Cp = Konsumsi permanen

Yp = Pendapatan permanen

k = Angka konstanta yang menunjukkan bagian pendapatan

permanen yang dikonsumsi, ini berarti 0<k<1

Secara grafis fungsi konsumsi dengan hipotesis pendapatan permanen ditunjukkan

seperti pada Gambar 2.2:

Consumption of C1 Y first period A Budget Y2(t+i2) Line D H J J3

E I J2

Y1 C1 J1

C2 F G C2

O B Consumption of Y2 Y1(t+i) Second period

Gambar 2.2. Kurva Fungsi Konsumsi dengan Permanent Income Hypothesis

Gambar 2.2. menunjukkan gambar indifference curves dan budget line.

Konsumen ingin memperoleh kepuasan yang maksimum dengan mengkonsumsi

barang sesuai dengan anggarannya. Kepuasan maksimum akan tercapai saat

kemiringan kurva indiferen (slope indifference curves) sama dengan garis anggaran

(budget line). Dalam teori perilaku konsumen, indifference curves menggambarkan

dua barang yang dikonsumsi, dalam teori Permanent Income Hypotesis dua barang

yang dikonsumsi tersebut ditukar dengan konsumsi pada periode pertama dan

konsumsi pada periode kedua. Budget line diumpamakan sebagai garis pendapatan.

Ada tiga faktor yang mempengaruhinya, yaitu pendapatan pada periode pertama,

pendapatan pada periode kedua dan tingkat bunga. Pada Gambar 2.2 dapat dilihat

bahwa:

1. OA = OB = Jumlah total pendapatan untuk periode satu dan periode kedua

2. OD = Pendapatan periode pertama

3. AD = Pendapatan periode kedua yang didiscount

4. OF = Pendapatan periode kedua

5. FB = Pendapatan periode pertama yang ditambah bunga (i).

6. Pada saat pendapatan periode pertama Y1, konsumen mengkonsumsi barang pada

periode satu sebesar C1. Sisanya DE disimpan. Pada periode kedua, ketika

pendapatan hanya mencapai Y2, agar kepuasan maksimum, ia akan

mengkonsumsi sebesar C2.

7. Pada saat itu C2 > Y2, hal ini dapat terjadi karena konsumen menggunakan saving

pada periode pertama sebesar FG → FG = DE + bunga. Jadi sekarang konsumen

mencapai kepuasan yang maksimum selama dua periode, pertama ia

mengkonsumsi sebesar C1 dan pada periode kedua mengkonsumsi sebesar C2.

8. Dengan kata lain, hipotesis Friedman menjelaskan bahwa konsumsi pada saat ini

tidak tergantung pada pendapatan saat ini tetapi lebih pada Expected Normal

Income (rata-rata pendapatan normal) yang disebut sebagai permanent income.

2.2.3. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Siklus Hidup

Teori dengan hipotesis siklus hidup dikemukaan oleh Albert Ando, Richard

Brumberg dan Franco Modigliani. Dalam modelnya ketiga tokoh ini menerangkan

bahwa pola pengeluaran konsumsi masyarakat didasarkan kepada kenyataan bahwa

pola penerimaan dan pola pengeluaran konsumsi seseorang pada umumnya

dipengaruhi oleh masa dalam siklus hidupnya. Karena orang cenderung menerima

penghasilan/pendapatan yang rendah pada usia muda, tinggi pada usia menengah dan

rendah pada usia tua, maka rasio tabungan akan berfluktuasi sejalan dengan

perkembangan umur mereka yaitu orang muda akan mempunyai tabungan negatif

(dissaving), orang berumur menengah menabung dan membayar kembali pinjaman

pada masa muda mereka, dan orang usia tua akan mengambil tabungan yang

dibuatnya di masa usia menengah.

Selanjutnya Modigliani menganggap penting peranan kekayaan (assets)

sebagai penentu tingkah laku konsumsi. Konsumsi akan meningkat apabila terjadi

kenaikan nilai kekayaan seperti karena adanya inflasi maka nilai rumah dan tanah

meningkat, karena adanya kenaikan harga surat-surat berharga, atau karena

peningkatan dalam jumlah uang beredar. Sesungguhnya dalam kenyataan orang

menumpuk kekayaan sepanjang hidup mereka, dan tidak hanya orang yang sudah

pensiun saja. Apabila terjadi kenaikan dalam nilai kekayaan, maka konsumsi akan

meningkat atau dapat dipertahankan lebih lama. Akhirnya hipotesis siklus kehidupan

ini akan berarti menekan hasrat konsumsi, menekan koefisien pengganda, dan

melindungi perekonomian dari perubahan-perubahan yang tidak diharapkan

Suparmoko, 2001). Secara grafik teori konsumsi dengan hipotesis siklus hidup dapat

dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini.

Gambar 2.3. Kurva Fungsi Konsumsi dengan Hipotesis Siklus Hidup

Gambar 2.3 menjelaskan bahwa pada tahap I pada usia 0 tahun hingga t0

tahun seseorang melakukan pengeluaran konsumsinya dalam kondisi dissaving. Pada

usia t0 tahun hingga usia t1 tahun digambarkan bahwa pada usia tersebut sebenarnya

seseorang sudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi kondisinya masih

ada ketergantungan dengan orang lain. Tahap II , pada usia t1 tahun hingga usia t2

tahun menunjukkan orang berkonsumsi sepenuhnya dalam kondisi saving artinya

pengeluaran konsumsinya sudah tidak lagi tergantung pada orang lain. Dan pada

tahap III, ketika seseorang pada usia tua (sudah tidak produktif) di mana orang

tersebut tidak mampu lagi bekerja menghasilkan pendapatan sendiri, sehingga

seseorang tersebut dapat dikatakan bahwa orang berkonsumsi kembali dalam kondisi

dissaving.

2.2.4. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Relatif

James Duesenberry dalam bukunya Income, Saving and The Theory of

Consumer Behavior mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat

ditentukan oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya. Pendapatan

berkurang, konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluaran untuk konsumsi.

Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi, terpaksa mengurangi besarnya

saving. Apabila pendapatan bertambah maka konsumsi mereka juga akan bertambah,

tetapi bertambahnya tidak terlalu besar. Sedangkan saving akan bertambah besar

dengan pesatnya. Kenyataan ini terus kita jumpai sampai tingkat pendapatan tertinggi

yang pernah dicapai, tercapai kembali. Sesudah puncak dari pendapatan sebelumnya

telah dilalui, maka tambahan pendapatan akan banyak menyebabkan bertambahnya

pengeluaran untuk konsumsi, sedangkan dilain pihak bertambahnya saving tidak

begitu cepat (Reksoprayitno, 2000).

Dalam teorinya, Duesenberry menggunakan dua asumsi yaitu:

1. Selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya

pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran yang dilakukan

oleh orang sekitarnya.

2. Pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya pola pengeluaran seseorang

pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat

penghasilan mengalami penurunan (Guritno, 1998).

Bentuk fungsi konsumsi masyarakat menurut Duesenberry adalah sebagai

berikut:

C / Yt = f [ Y / Y* ] ………………………………………..................(2.3)

Di mana:

Yt = pendapatan pada tahun t

Y* = pendapatan tertinggi yang pernah dicapai pada masa lalu

Bentuk fungsi tersebut dapat dijelaskan dengan kurva seperti pada Gambar 2.4 .

Gambar 2.4. Kurva Fungsi Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Relatif

CL menunjukkan besarnya pengeluaran konsumsi jangka panjang. Apabila

pendapatan sebesar OYo, maka besarnya pengeluaran konsumsi yang terjadi adalah

BYo, apabila pendapatan mengalami penurunan dari OY0 menjadi OY1, maka

pengeluaran konsumsi tidak langsung turun ke titik E pada kurva pengeluaran jangka

panjang (C) namun ke titik A pada kurva pengeluaran konsumsi jangka pendek C1.

Dalam hal ini pada saat terjadinya penurunan pendapatan, pengeluaran konsumsi

rumah tangga tidak turun drastis melainkan bergerak turun secara perlahan.

Dari pengamatan yang dilakukan Duesenberry mengenai pendapatan relatif

secara memungkinkan terjadi suatu kondisi yang demikian, apabila seseorang

pendapatannya mengalami kenaikan maka dalam jangka pendek tidak akan langsung

menaikkan pengeluaran konsumsi secara proporsional dengan kenaikan pendapatan,

akan tetapi kenaikan pengeluaran konsumsinya lambat karena seseorang lebih

memilih untuk menambah jumlah tabungan (saving), dan sebaliknya bila pendapatan

turun seseorang tidak mudah terjebak dengan kondisi konsumsi dengan biaya tinggi

(high consumption).

2.3. Fungsi Konsumsi

Dalam teori makro ekonomi dikenal berbagai variasi tentang model fungsi

konsumsi. Fungsi konsumsi yang paling dikenal dan sangat sering ditemukan dalam

buku-buku makro ekonomi adalah fungsi konsumsi Keynesian, yaitu:

C = f (Y) ......................................................................................................(2.4)

Atau,

C = f (Y-T) ..................................................................................................(2.5)

Persamaan ini menyatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari disposable

income. Hubungan antara konsumsi dan disposable income disebut consumption

function (Mankiw, 2003).

Keynes menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat tergantung

(berbanding lurus) dengan tingkat pendapatannya. Secara lebih spesifik, Keynes

memasukkan komponen MPC ke dalam persamaan konsumsinya seperti yang telah

diuraikan pada persamaan (2.1) sebelumnya.

Teori daur hidup (life-cycle) yang terutama dikembangkan oleh Franco

Modigliani, melihat bahwa individu merencanakan perilaku konsumsi dan tabungan

mereka untuk jangka panjang dengan tujuan mengalokasikan konsumsi mereka

dengan cara terbaik yang mungkin selama masa hidup mereka. Tabungan dipandang

sebagai akibat dari keinginan individu untuk menjamin konsumsi di hari tua. Fungsi

konsumsi yang dikembangkan berdasarkan teori daur hidup adalah:

C = aWR + cYL ..........................................................................................(2.6)

di mana WR merupakan kekayaan riil, a adalah kecenderungan mengkonsumsi

marjinal dari kekayaan, YL merupakan pendapatan tenaga kerja dan c adalah

kecenderungan mengkonsumsi marjinal dari pendapatan tenaga kerja.

Milton Friedman dengan teori pendapatan permanennya mengemukakan

bahwa orang menyesuaikan perilaku konsumsi mereka dengan kesempatan konsumsi

permanen atau jangka panjang, dan bukan dengan tingkat pendapatan mereka yang

sekarang (Dornbusch and Fisher, 2004). Dalam bentuk yang paling sederhana,

hipotesis pendapatan permanen dari perilaku konsumsi berpendapat bahwa konsumsi

itu adalah proporsional terhadap pendapatan permanen, yaitu:

C = cYP .......................................................................................................(2.7)

di mana YP merupakan pendapatan permanen. Dari persamaan (2.7), konsumsi

bervariasi menurut proporsi yang sama dengan pendapatan permanen. Kenaikan 5%

dalam pendapatan permanen akan menaikkan konsumsi sebesar 5%. Lebih jauh

hipotesis Friedman menjelaskan bahwa konsumsi pada saat ini tidak tergantung pada

pendapatan saat ini tetapi pada expected normal income (rata-rata pendapatan

normal). Bentuk lain fungsi konsumsinya adalah:

C = f (YP,i)...................................................................................................(2.8)

di mana YP adalah permanent income dan i adalah real interest rate.

Berbagai teori modern tentang konsumsi lebih jauh mengkombinasikan

pembentukan ekspektasi melalui pendekatan pendapatan permanen dan pendekatan

daur hidup yang menggunakan variabel kekayaan dan demografis (Dornbusch and

Fisher, 2004). Suatu fungsi konsumsi modern yang disederhanakan akan menjadi:

C = aWR + bθYD + b(1 – θ) YD-1 ..............................................................(2.9)

di mana WR adalah kekayaan riil, YD adalah pendapatan disposable tahun ini, YD-1

adalah pendapatan disposable tahun lalu. Persamaan (2.9) memperlihatkan peranan

kekayaan yang mempunyai pengaruh penting terhadap pengeluaran konsumsi.

Konsumsi adakalanya tidak sesuai dengan yang diharapkan, hal ini terjadi

karena keterbatasan anggaran. Fisher mencoba membuat persamaan yang

menganalisis tentang batas anggaran untuk konsumsi pada dua periode, yaitu: pada

periode pertama, tabungan sama dengan pendapatan dikurangi konsumsi:

S = Y1 – C1 ................................................................................................ (2.10)

dalam periode kedua, konsumsi sama dengan akumulasi tabungan (termasuk bunga

tabungan) ditambah pendapatan periode kedua, yaitu:

C2 = (1 + r)S + Y2 ......................................................................................(2.11)

di mana r adalah tingkat bunga riil, variabel S menunjukkan tabungan atau pinjaman

dan persamaan ini berlaku dalam kedua kasus. Jika konsumsi pada periode pertama

kurang dari pendapatan periode pertama, berarti konsumen menabung dan S lebih

besar dari nol. Jika konsumsi periode pertama melebihi pendapatan periode pertama,

konsumen meminjam dan S kurang dari nol. Untuk menderivasi batas anggaran

konsumen, maka kombinasi persamaan (2.10) dan persamaan (2.11) menghasilkan

persamaan:

C2 = (1 + r) (Y1 – C1) + Y2 .........................................................................(2.12)

persamaan ini menghubungkan konsumsi selama dua periode dengan pendapatan

dalam dua periode.

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi

Banyak ahli yang telah menguraikan pendapatnya mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi konsumsi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dan faktor

faktor yang mempengaruhi konsumsi tersebut telah dijabarkan ke dalam suatu fungsi

konsumsi yang terangkum dalam persamaan (2.1) sampai dengan (2.12) tersebut

di atas.

Begitu pentingnya bahasan tentang konsumsi sehingga banyak ahli lainnya

yang turut membahas tentang determinan konsumsi. Misalnya, Spencer (1977),

menurutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi diantaranya adalah

pendapatan disposable yang merupakan faktor utama, banyaknya anggota keluarga,

usia anggota keluarga, pendapatan yang terdahulu dan pengharapan akan pendapatan

di masa yang akan datang.

Menurut Samuelson (1999) bahwa faktor-faktor pokok yang mempengaruhi

dan menentukan jumlah pengeluaran untuk konsumsi adalah pendapatan disposable

sebagai faktor utama, pendapatan permanen dan pendapatan menurut daur hidup,

kekayaan dan faktor permanen lainnya seperti faktor sosial dan harapan tentang

kondisi ekonomi di masa yang akan datang.

Parkin (1993) sependapat dengan teori ahli-ahli lainnya bahwa pengeluaran

konsumsi rumah tangga ditentukan oleh banyak faktor. Namun menurut Parkin yang

paling penting dari faktor-faktor yang menentukan pengeluaran konsumsi hanya dua,

yaitu: pendapatan disposable dan pengharapan terhadap pendapatan di masa yang

akan datang (expected future income).

Nicholson (1991) menyatakan bahwa persentase pendapatan yang

dibelanjakan untuk pangan cenderung turun jika pendapatan meningkat. Kondisi ini

menunjukkan adanya hubungan yang terbalik antara persentase kenaikan pendapatan

dengan persentase pengeluaran untuk pangan. Keadaan ini lebih dikenal dengan

Hukum Engel (Engel’s Law).

Dalam hukum Engel dikemukakan tentang kaitan antara tingkat pendapatan

dengan pola konsumsi. Hukum ini menerangkan bahwa pendapatan disposable yang

berubah-ubah pada berbagai tingkat pendapatan, dengan naiknya tingkat pendapatan

maka persentase yang digunakan untuk sandang dan pelaksanaan rumah tangga

adalah cenderung konstan. Sementara persentase yang digunakan untuk pendidikan,

kesehatan dan rekreasi semakin bertambah.

Godam (2007) menyebutkan terdapat 3 penyebab perubahan konsumsi, yaitu:

1. Penyebab Faktor Ekonomi

a. Pendapatan

Pendapatan yang meningkat tentu saja biasanya otomatis diikuti dengan

peningkatan pengeluaran konsumsi. Contoh: seseorang yang tadinya makan

nasi beras kualitas rendah ketika mendapat pekerjaan yang menghasilkan gaji

yang besar akan meninggalkan nasi beras kualitas rendah menjadi nasi beras

kualitas tinggi. Orang yang tadinya makan sehari dua kali bisa jadi tiga kali

ketika dapat tunjangan tambahan dari pabrik.

b. Kekayaan

Kekayaan secara eksplisit maupun implisit, sering dimasukan dalam fungsi

konsumsi agregat sebagai faktor yang menentukan konsumsi. Seperti dalam

hipotesis pendapatan permanen yang dikemukakan oleh Friedman, Albert

Ando dan Franco Modigliani menyatakan bahwa hasil bersih (net worth) dari

suatu kekayaan merupakan faktor penting dalam menentukan konsumsi. Orang

kaya yang punya banyak aset riil biasanya memiliki pengeluaran konsumsi

yang besar.

c. Tingkat Bunga

Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi yang tinggi karena

orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga tetap tabungan atau

deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan banyak uang.

d. Perkiraan Masa Depan

Orang yang was-was tentang nasibnya di masa yang akan datang akan menekan

konsumsi. Biasanya seperti orang yang mau pensiun, punya anak yang butuh

biaya sekolah, ada yang sakit butuh banyak biaya perobatan, dan lain

sebagainya.

2. Penyebab Faktor Demografi

a. Komposisi Penduduk

Dalam suatu wilayah jika jumlah orang yang usia kerja produktif banyak maka

konsumsinya akan tinggi. Bila yang tinggal di kota ada banyak maka konsumsi

suatu daerah akan tinggi juga. Bila tingkat pendidikan sumber daya manusia

di wilayah itu tinggi-tinggi maka biasanya pengeluaran wilayah tersebut

menjadi tinggi.

b. Jumlah Penduduk

Jika suatu daerah jumlah orangnya sedikit sekali maka biasanya konsumsinya

sedikit. Jika orangnya ada sangat banyak maka konsumsinya sangat banyak

pula.

3. Penyebab/Faktor Lain

a. Kebiasaan Adat Sosial Budaya

Suatu kebiasaan di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat konsumsi

seseorang. Di daerah yang memegang teguh adat istiadat untuk hidup

sederhana biasanya akan memiliki tingkat konsumsi yang kecil. Sedangkan

daerah yang memiliki kebiasaan gemar pesta adat biasanya memiliki

pengeluaran yang besar.

b. Gaya Hidup Seseorang

Seseorang yang berpenghasilan rendah dapat memiliki tingkat pengeluaran

konsumsi yang tinggi jika orang itu menyukai gaya hidup yang mewah dan

gemar berhutang baik kepada orang lain maupun lembaga keuangan bank

(kredit).

Perkembangan ekonomi yang terjadi mengakibatkan bertambahnya variabel

yang dapat mempengaruhi pengeluaran konsumsi selain hal di atas antara lain:

1). Selera

Di antara orang-orang yang berumur sama dan berpendapatan sama, beberapa

orang dari mereka mengkonsumsi lebih banyak daripada yang lain. Hal ini

dikarenakan adanya perbedaan sikap dalam penghematan (thrift).

2). Faktor sosial ekonomi

Faktor sosial ekonomi misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan dan keadaan

keluarga. Biasanya pendapatan akan tinggi pada kelompok umur muda dan terus

meninggi dan mencapai puncaknya pada umur pertengahan, dan akhirnya turun

pada kelompok tua. Demikian juga dengan pendapatan yang disisihkan (tabungan)

pada kelompok umur tua adalah rendah. Hal ini berarti bagian pendapatan yang

dikonsumsi relatif tinggi pada kelompok muda dan tua, tetapi rendah pada umur

pertengahan. Dengan adanya perbedaan proporsi pendapatan untuk konsumsi

diantara kelompok umur, maka naiknya umur rata-rata penduduk akan mengubah

fungsi konsumsi agregat.

3). Keuntungan/Kerugian capital

Keuntungan kapital yaitu dengan naiknya hasil bersih dari kapital akan mendorong

tambahnya konsumsi, sebaliknya dengan adanya kerugian kapital akan

mengurangi konsumsi.

4). Tingkat harga

Naiknya pendapatan nominal yang disertai dengan naiknya tingkat harga dengan

proporsi yang sama tidak akan mengubah konsumsi riil. Bila seseorang tidak

mengubah konsumsi riilnya walaupun ada kenaikan pendapatan nominal dan

tingkat harga secara proposional, maka ia dinamakan bebas dari ilusi uang (money

illusion) seperti halnya pendapat ekonomi kasik. Sebaliknya bila mereka

mengubah konsumsi riilnya maka dikatakan mengalami “ilusi uang” seperti yang

dikemukakan Keynes.

5). Barang tahan lama

Barang tahan lama adalah barang yang dapat dinikmati sampai pada masa yang

akan datang (biasanya lebih dari satu tahun). Adanya barang tahan lama ini

menyebabkan timbulnya fluktuasi pengeluaran konsumsi. Seseorang yang

memiliki banyak barang tahan lama seperti: lemari es, perabotan, mobil, sepeda

motor, tidak membelinya lagi dalam waktu dekat. Akibatnya pengeluaran

konsumsi untuk jenis barang seperti ini cenderung menurun pada masa (tahun)

yang akan datang. Pengeluaran konsumsi untuk jenis barang ini menjadi

berfluktuasi sepanjang waktu, sehingga pada periode tersebut pengeluaran

konsumsi secara keseluruhan juga berfluktuasi.

6). Kredit

Kredit yang diberikan oleh sektor perbankan sangat erat hubungannya dengan

pengeluaran konsumsi yang dilakukan rumah tangga. Adanya kredit menyebabkan

rumah tangga dapat membeli barang pada waktu sekarang dan pembayarannya

dilakukan di kemudian hari. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa adanya

fasilitas kredit menyebabkan rumah tangga akan melakukan konsumsi yang lebih

banyak, karena apa yang mereka beli sekarang harus dibayar dengan penghasilan

yang akan datang. Konsumen akan memperhitungkan beberapa hal dalam

melakukan pembayaran dengan cara kredit, misalnya tingkat bunga, uang muka

dan waktu pelunasannya. Tingkat bunga tidak merupakan faktor dominan dalam

memutuskan pembelian dengan cara kredit, sebagaimana faktor-faktor yang lain

seperti uang muka dan waktu pelunasan. Kenaikan uang muka akan menurunkan

jumlah uang yang harus dibayar secara kredit. Sedangkan semakin panjang waktu

pelunasan akan meningkatkan jumlah uang yang harus dibayar dengan kredit

(Suparmoko, 2001).

7). Inflasi

Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga barang secara umum

(Mankiw, 2000; Mishkin, 2004). Penyebab terjadinya inflasi dapat dilihat dari

beberapa sisi yaitu: sisi permintaan, sisi penawaran, atau campuran antara

keduanya. Secara umum, penyebab terjadinya inflasi dapat diidentifikasi menjadi

3, yakni tarikan permintaan (Demand Pull Inflation), desakan biaya (Cost Push

Inflation) atau karena inflasi negara lain yang tersalur melalui jaringan

perdagangan (imported inflation). Proses dinamika harga ini dapat berlangsung

secara natural melalui mekanisme pasar, maupun karena kebijakan. Salah satu

contoh pergerakan harga yang diakibatkan oleh kebijakan adalah kebijakan

kenaikan harga bahan bakar yang memicu kenaikan harga-harga barang dan jasa

(administered price).

Menurut Ahmad Jamli, (2001: 35) inflasi juga akan menimbulkan efek-efek

berikut kepada individu dan masyarakat yaitu:

a. Inflasi akan menurunkan pendapatan riil masyarakat berpendapatan tetap.

b. Inflasi akan mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang.

c. Memperburuk pembagian kekayaan.

d. Mempengaruhi distribusi pendapatan (equity effect)

e. Mempengaruhi alokasi faktor produksi serta produk nasional (efficiency effect

dan output effect).

8). Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)

Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Keynes bahwa faktor utama dari

konsumsi rumah tangga adalah pendapatan mutlak. Di dalam penelitian ini

pendapatan mutlak tersebut digambarkan oleh PDRB, karena PDRB jika dibagi

dengan jumlah penduduk merupakan pendapatan perkapita. Hal ini dilakukan agar

tidak terjadi efek multikolinearitas dengan faktor penduduk yang juga diukutsertakan.

PDRB baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan pada dasarnya

merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha kegiatan

ekonomi dalam suatu daerah/wilayah pada periode tertentu, atau merupakan jumlah

nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas

dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung

menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar

harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung

menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. Ada dua

metode yang dapat dipakai untuk menghitung PDRB, yaitu metode langsung dan

metode tidak langsung.

a. Metode Langsung

Penghitungan didasarkan sepenuhnya pada data daerah, hasil penghitungannya

mencakup seluruh produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh daerah

tersebut. Pemakaian metode ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan.

a) Pendekatan Produksi

PDRB merupakan jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) atau nilai barang dan

jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu wilayah/region

dalam suatu periode tertentu, biasanya satu tahun. Sedangkan NTB adalah Nilai

Produksi Bruto (NPB/Output) dari barang dan jasa tersebut dikurangi seluruh

biaya antara yang digunakan dalam proses produksi.

b) Pendekatan Pendapatan

PDRB adalah jumlah seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor

produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah/region dalam

jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Berdasarkan pengertian tersebut,

maka NTB adalah jumlah dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan

keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak

langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB ini termasuk pula komponen

penyusutan dan pajak tak langsung neto.

c) Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah jumlah seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk konsumsi

rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan

modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor neto, di dalam suatu

wilayah/region dalam periode tertentu, biasanya satu tahun. Penghitungan NTB

bertitik tolak pada penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi.

b. Metode Tidak Langsung

Menghitung nilai tambah suatu kelompok ekonomi dengan mengalokasikan nilai

tambah nasional ke dalam masing-masing kelompok kegiatan ekonomi pada

tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar

pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.

Pemakaian kedua metode pendekatan di atas tergantung pada data yang tersedia.

Kenyataannya, kedua metode tersebut saling mendukung, karena metode langsung

akan mendorong peningkatan kualitas data daerah, sedang metode tidak langsung

akan merupakan koreksi dalam pembanding bagi data daerah.

2.5. Tinjauan Penelitian Sebelumnya

1. Susanti (2000) mengemukakan perkembangan rata-rata pengeluaran konsumsi

rumah tangga di Provinsi Aceh periode 1986–1998 sebesar 5,2% per tahun.

Pertumbuhan PDRB berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi rumah

tangga. Hal ini ditunjukkan dengan hasil regresi yaitu C = 409,160 + 0,617897

PDRB. Sehingga membuktikan bahwa setiap perubahan pada pendapatan memberi

efek terhadap perubahan konsumsi.

2. Syahruddin (2001) meneliti tentang fungsi konsumsi kenyataannya di Sumatera

Barat. Hasilnya menunjukkan konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan setelah

dikurangi pajak, jumlah penduduk, jumlah harta lancar dan harta tetap yang

dimiliki. Variabel pajak merupakan variabel paling dominan, variabel penduduk,

harta lancar dan harta tetap merupakan variabel penerang. Ketiga variabel ini

berpengaruh positif. MPC untuk keseluruhan pengamatan sebesar 0,75.

3. Marsidin, R (2002) meneliti tentang determinan pengeluaran konsumsi rumah

tangga berstatus buruh/karyawan di Indonesia: analisis data SUSENAS 2000.

Hasilnya menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengeluaran

konsumsi dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu variabel ekonomi (gaji/upah)

dan variabel non ekonomi (karakteristik demografi, pendidikan dan kesehatan).

Berdasarkan analisis inferensial dengan model regresi double log diketahui bahwa

elastisitas pendapatan terhadap pengeluaran konsumsi tergantung dari pendidikan,

usia dan daerah tempat tinggal.

4. Isyani dan Hasmarini (2003) meneliti tentang konsumsi di Indonesia tahun 1989-

2002 (Tinjauan terhadap hipotesis Keynes dan Post Keynes). Hasilnya

menunjukkan bahwa berdasarkan model PAM, elastisitas jangka panjang lebih

besar dari jangka pendek. Artinya elastisitas jangka panjang tidak dipengaruhi lagi

oleh pengeluaran konsumsi sebelumnya. Pendapatan Nasional berpengaruh

terhadap hutang luar negeri Indonesia. Suku bunga riil dan konsumsi sebelumnya

berpengaruh secara signifikan terhadap konsumsi di Indonesia.

5. Nurhayati dan Rachman (2003) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

fungsi konsumsi masyarakat di Jawa Tengah tahun 2002. Hasilnya menunjukkan

bahwa PDRB berpengaruh positif pada tingkat α = 1% dengan nilai koefisien

sebesar 0,403. Hubungan tersebut sesuai dengan teori yang ada di mana fungsi

konsumsi menunjukkan hubungan antara tingkat konsumsi dan tingkat pendapatan

di mana jika pendapatan meningkat maka konsumsi juga akan meningkat.

6. Soemartini (2007) meneliti tentang Pengaruh variabel makro terhadap perubahan

konsumsi masyarakat Indonesia periode 200-2006. Hasilnya nilai MPC periode

1983.1-1996.1, mengalami perubahan yakni pada periode 1983.1-1988.4 disaat

kebijakan pemerintah (Pakto 1988) belum diberlakukan sebesar 0.6428, sedangkan

nilai MPC setelah berlakunya Pakto 1988, sebesar 0.6131. Pendapatan permanen

dan tingkat tabungan berpengaruh positif dan nyata terhadap pengeluaran

konsumsi. Nilai tukar riil, inflasi dan tingkat bunga tahun sebelumnya memberikan

pengaruh yang negatif dan nyata terhadap pertumbuhan konsumsi.

7. Khairani (2009) meneliti tentang determinan konsumsi masyarakat di Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan Pendapatan Nasional berpengaruh positif dan

signifikan terhadap konsumsi masyarakat di Indonesia dengan nilai MPC sebesar

0,431. Inflasi mempunyai hubungan yang positif terhadap variabel konsumsi

masyarakat. Tingkat suku bunga deposito berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap konsumsi masyarakat di Indonesia. Sumbangan pengeluaran konsumsi

masyarakat terhadap PDB adalah yang terbesar dengan porsi sebesar 60%.

8. Fauzana (2009) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran

konsumsi rumah tangga di Jawa Barat (1990-2003). Hasilnya menunjukkan bahwa

pengaruh tingkat pendapatan keluarga serta jumlah anggota keluarga lemah

terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga.

2.6. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan perumusan masalah, landasan teori dan berbagai penelitian

sebelumnya, maka dibentuk suatu kerangka pemikiran penelitian sebagai berikut:

Gambar 2.5. Kerangka Pikir Pengaruh Variabel Makro terhadap Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

2.7. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka dapat dirumuskan hipotesis yaitu:

1. PDRB berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, ceteris paribus.

2. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, ceteris paribus.

3. Kredit konsumsi berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, ceteris paribus.

4. Tingkat bunga kredit konsumsi berpengaruh negatif terhadap pengeluaran

konsumsi masyarakat kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, ceteris paribus.

PDRB

Penduduk

Kredit Konsumsi

Konsumsi Masyarakat

Kabupaten/Kota

Tingkat Bunga Kredit Konsumsi