konsep captive mind dan kaitannya dengan...

155

Click here to load reader

Upload: dinhnga

Post on 24-Apr-2019

288 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN

DISKURSUS ALTERNATIF TERHADAP EUROSENTRISME

DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED FARID ALATAS

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

ANITA

NIM : 1110015000015

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/ 2014 M

Page 2: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak
Page 3: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak
Page 4: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak
Page 5: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

i

ABSTRAK

ANITA, 1110015000015, Konsep Captive Mind dan Kaitannya dengan

Diskursus Alternatif Terhadap Eurosentrisme dalam Sosiologi Pemikiran Syed

Farid Alatas. Program Studi Pendidikan IPS, Konsentrasi Sosiologi dan

Antropologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014

Skripsi ini bertujuan menjelaskan konsep captive mind yang dikemukakan

Syed Hussein Alatas, dan kaitannya dengan pemikiran Syed Farid Alatas tentang

diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme dalam Sosiologi. Teori yang

digunakan adalah Captive mind atau imitasi tidak kritis atas ilmu sosial Barat

yang dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas, serta fenomena Eurosentrisme yang

dikemukakan oleh Samir Amin dan Immanuel Wallerstein. Untuk mengumpulkan

data, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang menggunakan

banyak buku dan artikel dalam jurnal ilmiah. Penulis melakukan analisis atas

temuan konsep yang terdapat dalam karya Syed Farid Alatas.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya keterkaitan yang mendalam

antara konsep captive mind dan imperialisme akademik yang dikemukakan Syed

Hussein Alatas, dengan diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme yang

dikemukakan Syed Farid Alatas. Alatas menghimpun gagasan ilmuwan Dunia

Ketiga yang berusaha keluar dari dominasi Orientalisme dan Eurosentrisme.

Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas merupakan koreksi terhadap jenis-jenis

ilmu pengetahuan yang diperkenalkan sejak era kolonial. Diskursus alternatif ini

terdiri dari indigenisasi ilmu sosial; penyeruan ilmu sosial otonom; seruan

kreativitas intelektual Endogen; dekolonisasi ilmu sosial; sakralisasi ilmu sosial;

teori post-kolonial; nasionalisasi ilmu sosial; teori memutuskan hubungan; dan

deschooling. Pada tataran praktis, Alatas mengajak para pengajar sosiologi di

universitas berkreasi dengan kurikulum pengajaran sosiologi di tempatnya

mengajar. Alatas mengajak ilmuwan memasukkan unsur ilmu pengetahuan non-

Barat secara seimbang dalam perkuliahan, tanpa harus menghilangkan pengajaran

teoritis ilmuwan Eropa secara intoto.

Kata Kunci : Captive mind, Eurosentrisme, diskursus alternatif, Syed Farid

Alatas

Page 6: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak
Page 7: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat

hijab yang telah disingkapkan-Nya, penulis memperoleh ilmu serta karunia-Nya

yang tak terhingga untuk dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Konsep

Captive Mind dan Kaitannya dengan Diskursus Alternatif Terhadap

Eurosentrisme dalam Sosiologi Pemikiran Syed Farid Alatas”. Shalawat dan

salam juga terucap pada junjungan mulia, Nabi besar Muhammad SAW, beserta

keluarganya, sahabatnya, keturunannya, dan kita sebagai ummatnya yang

memperoleh syafaatnya di Yaumul akhir. Aamiin, Allahumma aamiin.

Sesungguhnya penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat menjadi

pembuka jalan untuk meneliti berbagai konsep dalam disiplin ilmu sosial, yang

digunakan sebagai pengembangan teori dan konsep sosiologi di seluruh dunia.

Semoga penelitian terhadap karya seorang tokoh Sosiologi kontemporer ini dapat

memperoleh tempat dalam disiplin ilmu Sosiologi secara khususnya, dan ilmu

sosial secara umumnya. Penulis juga mengharapkan agar penulisan skripsi ini

dapat memberi inspirasi dalam menemukan akar kekeliruan pengadopsian ilmu

sosial Barat di Indonesia, dan melakukan antisipasi atas fenomena negatif

tersebut.

Penyusunan laporan penelitian ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang

membantu sejak awal penelitian hingga penyusunan laporan ilmiah berbentuk

skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Syed Farid

Alatas yang menjadi tajuk utama penelitian ini, beserta semua guru besar serta

kerabat yang membantu dalam pengumpulan data yang sulit diperoleh di

Indonesia. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Nulena Rifa’i, M.A, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Jakarta.

2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sosial FITK UIN Jakarta.

Page 8: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

iv

3. Drs. Syaripulloh, M.Si, dosen pembimbing dan orang tua yang selalu

memberi motivasi kepada penulis untuk terus belajar dan berkarya melalui

pena.

4. Dr. Muhammad Arif, M.Pd dan Dr. Ulfah Fajarini, M.Si sebagai penguji

sidang munaqasyah yang memberikan arahan kepada penulis agar skripsi

ini dapat menjadi lebih baik.

5. Mbak Septi Rostika (mahasiswa pascasarjana UGM) yang telah

memberikan akses jurnal online Universitas Gajah Mada. Berkat akses

inilah makalah-makalah dalam jurnal seluruh dunia diperoleh penulis.

6. Mahaguru yang terhimpun dalam The Center for Gender Studies; ibu Dr.

Dinar Dewi Kania, ibu Tetra, bunda Rita Hendrawati Soebagyo, M.Si,

Ummi Suci Susanti, ibu Anita Syaharudin, pak Dr. Wendi Zarman, ust.

Kholili Hasib, M.A, Sakinah Fithriyah, kak Sarah Mantovani, teh Rira

Nurmaida, kak Nunu Karlina.

7. Kak Azeza Ibrahim Rizki (kak Eza) yang sering direpotkan untuk singgah

ke Ciputat dalam menerjemahkan beberapa jurnal ilmiah dari Bahasa

Inggris ke Bahasa Indonesia.

8. Guru besar pada Kuliah Filsafat Syed Muhammad Naquib al-Attas

angkatan 1, ust Adnin Armas, M.A, beserta semua rekan seangkatan.

Karena kalianlah hijab filsafat Islam yang begitu tebal dapat disingkapkan.

9. Akhwat KFA 1, kak Fathia, kak Rahmatika, kak Ayu, kak Zae, kak Zirah,

dan kak Iin, yang selalu memberi motivasi dalam menuntut ilmu.

10. Ust Nirwan Syafrin, M.A, Ph.D, yang telah membimbing belajar bahasa

Arab dasar serta kajian kitab Islam dan Sekularisme karya Prof. S.M.N Al-

Attas. Serta do’a dari santri Pondok Pesantren Husnayain Kabandungan

Sukabumi Jawa Barat.

11. Saudara-saudari di Singapura, akak Siti Raudhah Jamil dan akak Siti

Aisyah Jamil yang membantu penulis mengakses beberapa data di

Singapura yang sulit ditemukan di Indonesia.

Page 9: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

v

12. Rekan-rekanku di facebook, spesial atas ilmu dari Prof. Dr. Mulyadhi

Kartanegara, Prof. Dr. Wan Muhammad Nur Wan Daud, Prof. Dr. Khalif

Muammar dan lain-lain.

13. Spirit dan semangat dari yang lainnya, rekan-rekan HMJ Pendidikan IPS,

teman-teman Sosiologi dan Antropologi angkatan 2010, teman-teman di

pembibitan mahasiswa Duta Dewantara I.

14. Keluarga: Ayah saya Rahmat Syam, ibu saya (almh) Wartinah, (alm) Bang

Muhammad Taufan, bang Ade Kurniawan, Ayunda (Megawati), dan Iam

(Muhammad Ilham Nur Huda Syam) yang tak pernah putus memberikan

do’a dan motivasi kepada penulis untuk senantiasa taat kepada Allah dan

Rasulnya dalam berkarya.

Terakhir, harapan penulis semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna

ini dapat bermanfaat bagi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta. Masukan saran yang membangun akan

penulis terima dengan senang hati demi penyempurnaan karya di masa yang akan

datang.

Jakarta, 24 Juli 2014

Anita

Page 10: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

vi

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ......................................................................................................... i

ABSTRACK ..................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................ 8

C. Pembatasan Masalah ............................................................... 9

D. Perumusan Masalah ................................................................ 9

E. Tujuan Penelitian .................................................................... 9

F. Manfaat Penelitian ................................................................ 10

BAB II KAJIAN TEORITIK

A. Teori Captive Mind ............................................................... 11

B. Sejarah Sosiologi sebagai Disiplin Ilmu ................................ 22

C. Permasalahan Eurosentrisme dalam Ilmu Sosial .................... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian .................................................. 49

B. Metode Penelitian ................................................................. 49

C. Prosedur Penelitian ............................................................... 53

BAB IV KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN

ALTERNATIF TERHADAP EUROSENTRISME DALAM

SOSIOLOGI

A. Konsep Captive Mind Syed Hussein Alatas dan Kaitannya

dengan Kebergantungan Akademik Syed Farid Alatas .......... 68

Page 11: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

vii

B. Melepaskan Eurosentrisme dalam Sosiologi dengan Diskursus

Alternatif .............................................................................. 76

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................ 135

B. Saran .................................................................................. 136

Daftar Pustaka ................................................................................................ 138

Biodata Penulis

Lampiran-lampiran

Page 12: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Rincian Proses Pembuatan Skripsi .......................................... 49

Tabel 2 : Buku yang Dihasilkan Syed Farid Alatas ................................ 60

Tabel 3 : Makalah Syed Farid Alatas yang Diterbitkan pada Jurnal di

Seluruh Dunia ............................................................................ 61

Page 13: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu pengetahuan sarat dengan nilai tertentu (value laden).1 Inilah

pendapat kalangan yang melihat realitas bahwa ilmu dilahirkan dari sebuah

masyarakat, dan setiap masyarakat memiliki konsep, nilai, tradisi, serta

kepercayaanya sendiri. Dengan nilai tersebut, ilmu pengetahuan dapat

dikendalikan oleh penciptanya baik secara nyata maupun tersembunyi. Pencipta

ilmu dapat menggerakkan setir, menentukan arah dan tujuan atau mungkin dapat

menabrak dan melindas segala hal yang menghalangi tujuannya.

Kenyataan ini terjadi sekarang. Banyak akademisi yang melihat bahwa

science kontemporer yang menghasilkan berbagai teknologi untuk memudahkan

pekerjaan manusia juga memiliki maksud terselubung. Maksud tersebut terlihat

dari upaya menjadikan manusia tergantung pada sebuah „alat‟ atau „barang‟ yang

mungkin bukanlah kebutuhannya. Dengan ketergantungan tersebut manusia akan

terus mencari sejauh mana suatu alat atau barang dapat tercipta dalam rangka

memuaskan keinginannya yang sebenarnya tak akan ada puasnya.

Pada saat itulah motif hegemoni dalam science menjadi tampak. Berbagai

perusahaan berlomba-lomba menciptakan alat untuk melestarikan sistem

konsumsi dan menjadikan seseorang berada dalam narasi sebagai „konsumen

abadi‟. Teknologi modern yang diciptakan untuk pembebasan manusia dari kerja,

ternyata telah menjadi alat perbudakan baru.2 Fungsi teknologi modern berubah

menjadi alat kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan. Manusia

modern kini telah tertawan oleh ciptaannya sendiri.

1 Value Laden adalah istilah yang lazim digunakan ahli dalam memandang persoalan ilmu

yang telah disisipi nilai tertentu. Ilmu modern tidaklah bebas nilai (value free), namun telah secara

halus disusupi oleh worldview masyarakat Barat. Lih. Dinar Kania Dewi, “Studi Komparatif

Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas,” Disertasi pada Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Bogor, 2012, h. 1-7, tidak

dipublikasikan. 2 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), h.

265.

Page 14: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

2

Keadaan yang sama juga terjadi dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Seruan positivisme yang telah dua abad lebih berkumandang mulai ditinggalkan.

Sebagaimana diketahui, positivisme pertama kali digagas oleh August Comte

(1798-1857), yang disebut sebagai Bapak Sosiologi.3 Ilmu sosial tidak berjalan

seperti mesin yang bersifat mekanistis seperti yang dikemukakan ilmuwan

positivisme. Ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari nilai-nilai yang

membelenggunya. Yang terkenal dalam hal ini adalah seorang teoritis post-

strukturalis, Michel Foucault pada tahun 1980. Dalam buku Power/Knowledge:

Selected Interviews and Other Writings, Foucault menyatakan bahwa pengetahuan

adalah kuasa, artinya pengetahuan mempunyai kekuatan untuk mengonstruksi

kenyataan, mendisiplinkan bahkan menormalkan yang dianggap menyimpang.4

Sebelum karya Foucault yang fenomenal tersebut, telah ada teori Jurgen

Habermas yang dijabarkan dalam buku Knowledge and Human Interest. Menurut

Habermas, sistem pengetahuan ada pada level objektif, sedangkan minat dan

kepentingan manusia adalah fenomena subjektif.5 Lebih lanjut Habermas

menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sarat dengan kepentingan tertentu. Tradisi

positivisme menyembunyikan kepentingan teknis, humaniora menyembunyikan

kepentingan komunikatif, sedangkan kritis menyembunyikan kepentingan

emansipatoris.6

Kepentingan yang terdapat dalam sebuah ilmu pengetahuan dapat berarti

sebagai upaya pelestarian hegemoni Negara tertentu pada Negara lain. Pelestarian

hegemoni tersebut diciptakan dengan melakukan dikotomi seperti Barat-Timur,

Pusat-Pinggiran, Maju-Berkembang. Dikotomi superior dan inferior ini

menghasilkan pola pikir yang salah terhadap Negara berkembang atau penyebutan

lain adalah Negara Dunia Ketiga. Negara Dunia Pertama sebagai Pusat

3 Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 4. 4 Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, (New

York: Pantheon, 1980). 5 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosial Modern, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2011), h. 185. 6 Oki Rahadianto Sutopo, “Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global” dalam Jurnal

Sosiologi Masyarakat, Vol. 16, no. 2, Juli 2011, h. 201.

Page 15: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

3

mengendalikan politik dan ekonomi Dunia melalui ilmu pengetahuan yang telah

disisipkan ideologi tertentu.

Negara Dunia Ketiga sebagai inferior tidak dapat berbuat banyak karena

standarisasi ketat telah diciptakan oleh Negara Pusat. Ilmuwan Negara Dunia

Ketiga sebagai pinggiran akhirnya memproduksi pengetahuan berdasarkan

standarisasi yang telah ditetapkan. Negara pinggiran hanya mampu menjadi

bayang-bayang dominasi ilmu pengetahuan Negara pusat. Keadaan ini terus

berlanjut ketika ilmuwan Negara pinggiran secara tidak sadar menjadi pelestari

sistem Dunia. Mereka tanpa bisa berbuat banyak menerima hal tersebut dan

menerapkannya dalam dunia pendidikan maupun kebijakan lain di Negaranya.

Pada dasarnya menurut Syed Farid Alatas, proses produksi pengetahuan

tidak terpisah dari kondisi sosial yang menjadi tempat keberlangsungannya.

Kekuatan-kekuatan utama Ilmu Sosial adalah Amerika Serikat, Inggris, dan

Perancis. Hal ini menurut Alatas dikarenakan:

1. Banyak Ilmu Sosial berbentuk makalah ilmiah yang diterbitkan

melalui peer-reviewed journal, buku, kertas kerja dan penelitian.

2. Memiliki jangkauan ide dan informasi global yang termuat dalam

karya tersebut.

3. Memiliki kemampuan mempengaruhi Ilmu Sosial Negara-negara lain

karena karya-karya mereka dikonsumsi.

4. Mendapat banyak pengakuan, penghormatan, dan prestise di dalam

dan Luar Negeri. 7

Selanjutnya Alatas tidak menyebutkan Jerman sebagai salah satu kekuatan

utama ilmu sosial, hal ini disebabkan Jerman hanya menghasilkan dominasi

global pengarang dibandingkan aliran dalam Ilmu Sosial.

Sejak paruh abad ke-19, pada tingkat abstrak dan teoritis ide-ide

negara tersebut banyak diimpor, dipasarkan, dan dikonsumsi Universitas-

universitas di Asia. Ilmuwan sosial di Asia cenderung terpengaruh

pembagian kerja Ilmu Sosial global dengan mempelajari masyarakatnya

sendiri dan hanya berkutat dengan riset empiris terkait kebijakan. Karya

mereka akhirnya hanya memberi kontribusi pas-pasan terhadap teori.

Akhirnya muncul kebergantungan pada ide-ide jurnal ilmiah dari negara-

negara tersebut. Kebergantungan akademis tersebut dilestarikan pada

7 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap

Eurosentrisme, (Bandung: Mizan, 2010), dalam prakata.

Page 16: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

4

pengajaran Ilmu Sosial di seluruh Universitas dengan meminggirkan

konsep lokal, regional dan ulayat.8

Berbagai pernyataan ini akhirnya memunculkan pertanyaan;

1. Dimanakah posisi pengetahuan yang dikonstruksikan oleh ilmuwan

non-Barat atau ilmuwan di negara-negara Dunia Ketiga yang terletak

di Timur dan Selatan?

2. Bagaimana relasi kuasa antara pengetahuan pusat dengan pinggiran

dan apa dampaknya?

3. Apakah memungkinkan membangun pengetahuan alternatif untuk

menciptakan relasi yang lebih adil antara ilmu sosial pusat dan

pinggiran?9

Jawaban dari pertanyaan tersebut dituangkan Syed Farid Alatas dalam

berbagai buku dan jurnal. Dalam karya tersebut Alatas menggambarkan

permasalahan ilmu sosial di Asia dan menggagas diskursus alternatif untuk

menghapus dominasi ilmu pengetahuan tersebut. Seruan alternatif yang

dikemukakan Alatas tidak terlepas dari peran intelektual dua ilmuwan besar yaitu

sosiolog Syed Hussein Alatas yang merupakan ayahnya dan filosof Syed

Muhammad Naquib Al-Attas yang merupakan pamannya. Sebagaimana diketahui,

kedua ilmuwan tersebut telah bersuara lantang melakukan perlawanan terhadap

Orientalisme dan Eurosentrisme sejak tahun 1960-an. Bahkan hingga kini Syed

Muhammad Naquib Al-Attas masih menelurkan berbagai karya untuk

menciptakan ilmu pengetahuan otonom bagi Muslim kepulauan Melayu.

Adapun kenyataannya kini, Orientalisme dan Eurosentrisme ilmu sosial

Barat termasuk Sosiologi tidak lagi bersifat rasis dengan mengatakan masyarakat

non-Barat mundur-progresif dan biadab-beradab. Sebaliknya mereka justru

menjadikan pemikir non-Barat berada dalam posisi marginal. Posisi ini seringkali

tidak disadari oleh para sarjana non-Barat. Atau mungkin disadari namun

seringkali merasa tidak berdaya dalam menghadapi kenyataan demikian. Banyak

diantara mereka yang akhirnya hanya sekedar mengetahui keadaan tanpa

berupaya mengubah kondisi.

8 Ibid., 9 Oki, Op.Cit., h. 201.

Page 17: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

5

Alatas memberi saran kepada para sarjana yang tidak dapat berbuat

banyak di tingkat struktural atau dalam level kebergantungan akademik, yang tak

bisa bertanggung jawab terhadap berbagai institusi (penentu kebijakan) maupun

negara. Menurutnya, ada yang dapat dilakukan para sarjana pada level intelektual

atau teoritis. Pada level ini, tradisi pengetahuan dan berbagai praktek budaya Non-

Barat harus dipertimbangkan para sarjana sebagai sumber potensi konsep dan

teori ilmu sosial, yang akan mengurangi kebergantungan akademik pada kekuatan

ilmu sosial Barat.

I suggest that we as scholars cannot do much at the structural or

material level of academic dependency as we are neither in charge of

institutions nor the state. However, there is more that can be done at the

intellectual or theoretical level. At this level, non-Western knowledge

traditions and cultural practices should all be considered potential

sources of social science theories and concepts, which would decrease

academic dependence on the world social science powers.10

Dalam berbagai buku dan jurnal, Alatas tidak melakukan kritik satu

persatu teori Barat dan memunculkan diskursus alternatif terhadap semua teori

yang ada. Dalam karya-karya tersebut Alatas berupaya mengimbagi Ilmu Sosial

yang Eurosentris serta menghilangkan sebuah cara berpikir yang ter-

Eurosentrisme-kan yaitu, captive mind (benak terbelenggu).11

Alatas menghimpun

dan menelaah karya berbagai sosiolog dan ilmuwan sosial di Asia yang

menyerukan gagasan untuk keluar dari kondisi tersebut.

Diskursus alternatif pada dasarnya telah lama ada dalam Ilmu sosial.

Banyak sarjana yang telah menghabiskan waktu untuk berkonsentrasi

memecahkan persoalan Orientalisme, Eurosentrisme, Imperialisme akademik, dan

lain sebagainya. Hanya saja karena terjebak pada pola yang diciptakan Barat

melalui Eurosentrisme, banyak ilmuwan tidak dapat mengetahui perkembangan

10 Alatas, The Definition and Types Alternative Discourses, pp. 139. 11 Captive Mind merupakan istilah yang disebut Syed Hussein Alatas dalam beberapa

jurnal. Dalam skripsi ini, istilah Captive mind merujuk pada frasa „benak terbelenggu‟, sesuai

dengan frasa yang disebut penerjemah buku Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu

Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme. Penjelasan lanjut mengenai Captive mind

terdapat pada bab II.

Page 18: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

6

ilmu pengetahuan di sekitarnya. Semua itu karena yang terlihat di depan matanya

sebuah hal spektakuler yang diciptakan oleh ilmu sosial termasuk Sosiologi Barat.

Hingga kini dalam berbagai buku dan jurnal, masih banyak ilmuwan sosial

yang terjebak dengan riset mengenai masyarakatnya sendiri. Anehnya dalam riset

tersebut mereka sangat mengandalkan berbagai teori yang dikemukakan ilmuwan

Negara-negara Barat. Padahal secara sadar maupun tidak, mereka justru

melestarikan persoalan Eurosentrisme yang telah berusaha dipecahkan oleh

banyak ilmuwan lainnya.

Banyak sosiolog di Indonesia, misalnya menjadi tak mandiri dan hanya

menjadi penerima pasif agenda riset, metode, dan ide-ide dari Negara pusat

penguasa ilmu sosial.12

Hal ini terlihat dari kebergantungan pada gagasan, media,

teknologi pendidikan, bantuan pelatihan, investasi pendidikan, dan lain

sebagainya. Sebagai contohnya adalah maraknya jurnal ilmiah yang didasarkan

pada standarisasi yang ditetapkan Negara pusat. Gagasan yang dikemukakan

dalam jurnal tersebut lebih banyak mengutip teori-teori ilmuwan Barat yang

terkadang dipaksakan dalam masyarakat Indonesia.

Bapak Sosiologi Indonesia, Selo Soemardjan tahun 1980-an pernah

menyatakan bahwa masyarakat Indonesia pada tahun 2012 akan mengalami

sekularisasi. Hal ini tak terelakkan, karena menurutnya Indonesia pada saat itu

telah mengalami proses industrialisasi. Menurutnya pula, dominasi ilmu

pengetahuan dan teknologi akan mereduksi peran agama dalam proses

pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan sosial.13

Adapun pada dasarnya sudah terlihat secara jelas kemana arah pemikiran

guru besar Sosiologi di Universitas Indonesia ini. Cara berpikir seperti ini

terpengaruh dengan aliran positivisme dalam filsafat. Menurut aliran ini

sekularisme merupakan keharusan sejarah dalam masyarakat rasional. Seperti

sebuah mesin, terjadi mekanisasi dalam masyarakat yang meniscayakan

sekularisasi dalam sebuah kemajuan teknologi.

12 Alatas, Op.Cit., h. 55. 13 Kuntowijoyo, Op.Cit., h. 273.

Page 19: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

7

Namun menurut Kuntowijoyo, fenomena sekularisasi takkan terjadi jika

masyarakat Indonesia tidak terjebak pada ilmu sosial Barat yang menafikkan

peran agama. Karena fenomena sekularisasi yang terjadi di Barat nyatanya telah

menyebabkan kekacauan dalam sistem nilai dan norma masyarakat. Masyarakat

Barat mengalami kekosongan hebat dan menjalani hidup tanpa makna. Menurut

Kuntowijoyo, masyarakat Barat mengalami kekalutan hidup akibat dari proses

sekularisasi, proses dereligionisasi.14

Menurut Kuntowijoyo, “Cita-cita sekularisme pada tahun 1970-an adalah

bukti historis bagaimana pengaruh ilmu-ilmu sosial Barat kepada para

cendekiawan Dunia Ketiga”.15

Namun pada tahun 1980-an, tradisi keilmuwan

mencoba membalikkan tesis dengan memasukkan nilai dan norma agama ke

dalam ilmu-ilmu sosial yang sekuler. Hal ini dikarenakan banyak sarjana yang

ketika tinggal beberapa waktu di Amerika mempelajari buku-buku Islam dalam

bahasa Barat, dan bertransformasi menjadi “senjata intelektual” untuk

menghadapi perdebatan intelektual sekuler.16

Hingga kini waktulah yang membuktikan kebenaran teori yang

dikemukakan Selo Soemardjan. Sekularisasi memang tampak dalam beberapa sisi

kehidupan masyarakat, misalnya dalam dunia politik, ekonomi, dan budaya.

Namun hingga saat ini, di tahun 2014 justru masyarakat Indonesia mengalami fase

baru, yakni fase dimana masyarakat mulai merindukan keteraturan yang

diciptakan oleh agama. Masyarakat Indonesia kini menjadi lebih religius, terbukti

dengan maraknya berbagai lembaga yang mengatasnamakan agama dalam

kehidupan sosial. Hal ini dikarenakan telah terjadi transformasi nilai normatif

menjadi sebuah kebiasaan dalam masyarakat.

Keniscayaan sekularisasi dalam masyarakat modern yang dikemukakan

Selo Soemardjan dapat dijadikan contoh bahwa efek Eurosentrisme memang

melekat dalam berbagai karya sosiolog di Indonesia. Banyak sosiolog yang

melupakan satu hal, bahwa tidak selamanya teori relevan untuk digunakan

ditempat lain. Ini juga merupakan bukti bahwa ilmu sosial Barat tidak berlaku

14 Ibid., h. 274. 15 Ibid., h. 525. 16 Ibid., h. 527.

Page 20: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

8

secara universal. Oleh karena itu diperlukan upaya dari ilmuwan Negara Dunia

Ketiga untuk melepaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu mengenai

masyarakat. Berbagai cara yang ditempuh menurut Alatas dapat berupa:

indigenisasi atau ulayatisasi ilmu sosial; penyeruan ilmu sosial otonom atau

nativis; seruan kreativitas intelektual Endogen; dekolonisasi ilmu sosial;

sakralisasi ilmu sosial; teori post-kolonial; nasionalisasi ilmu sosial; teori

memutuskan hubungan; deschooling, dan lain-lain.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Captive Mind (benak terbelenggu) merupakan sebuah fenomena yang

terjadi pada para akademisi di Dunia Ketiga. Fenomena ini memiliki ciri

para ilmuwan Dunia Ketiga yang meniru tanpa sikap kritis ilmu sosial

yang berasal dari Barat.

2. Eurosentrisme merupakan fenomena dalam ilmu sosial termasuk sosiologi

di Negara Dunia Ketiga sebagai Negara pinggiran/periphery, yang

menyebabkan terjadinya dominasi ilmu sosial dari Eropa dalam arti

budaya terus ada dalam perkembangan sosiologi di Dunia Ketiga.

3. Dikotomi Barat-Timur, Maju-Berkembang, Pusat-Pinggiran yang secara

tersirat ada dalam ilmu sosial merupakan bagian dari upaya melestarikan

konsep superior-inferior dalam ilmu sosial.

4. Negara pusat ilmu sosial yang terdiri atas Amerika Serikat, Inggris,

Perancis, dan Jerman menciptakan kebergantungan akademik dan

pembagian kerja ilmu sosial global. Hal ini menyebabkan ilmuwan Dunia

Ketiga terus menjadi peneliti empiris hanya di negaranya saja, sedangkan

ilmuwan Barat sebagai pusat menjadi teoretikusnya.

5. Terdapat teori-teori yang berasal dari negara pusat ilmu pengetahuan yang

tidak relevan yang ketika diterapkan dalam ilmu sosial di Asia.

6. Para ilmuwan yang menyadari permasalahan Eurosentrisme dalam ilmu

sosial termasuk sosiologi berupaya melepaskan keadaan tersebut dengan

Page 21: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

9

diskursus alternatif yang terdiri atas upaya indigenisasi ilmu sosial;

penyeruan ilmu sosial otonom atau nativis; seruan kreativitas intelektual

Endogen; dekolonisasi ilmu sosial; sakralisasi ilmu sosial; teori post-

kolonial; nasionalisasi ilmu sosial; teori memutuskan hubungan;

deschooling, dan lain-lain.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, ditemukan

berbagai realitas yang terjadi dalam ilmu sosial termasuk sosiologi di Negara

Timur-Berkembang-Pinggiran. Berangkat dari kenyataan tersebut, penelitian ini

mengarahkan batasan studi pada teori captive mind yang pertama kali digagas

Syed Hussein Alatas, serta kaitannya dengan diskursus alternatif dalam

menghadapi Eurosentrisme yang dikemukakan Syed Farid Alatas.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana penjelasan tentang konsep captive mind yang digagas oleh

Syed Hussein Alatas?

2. Bagaimana penjelasan tentang diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme

dalam sosiologi yang dikemukakan Syed Farid Alatas?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan

penelitian ini adalah:

1. Mengetahui penjelasan tentang konsep captive mind yang digagas oleh

Syed Hussein Alatas.

2. Mengetahui penjelasan tentang diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme

dalam sosiologi yang dikemukakan Syed Farid Alatas.

Page 22: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

10

F. Manfaat Hasil Penelitian

Berdasarkan tujuan tersebut, diharapkan diperoleh interpretasi atas

pemikiran Syed Farid Alatas mengenai alternatif Eurosentrisme dalam Sosiologi.

Sedangkan manfaat atau kegunaan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Manfaat penyusunan laporan penelitian bagi peneliti, adalah:

1) Menjawab keingintahuan peneliti mengenai konsep Captive Mind

yang dikemukakan Syed Hussein Alatas, serta diskursus alternatif

terhadap Eurosentrisme dalam Sosiologi yang merupakan

pemikiran Syed Farid Alatas.

2) Menunjukan hasil temuan peneliti supaya dikenal oleh banyak

pihak dan membuat hasil penelitian menjadi lebih bermakna.

b. Bagi pembaca, dengan adanya informasi dari penelitian ini diharapkan

bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasannya seputar

fenomena Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Selain itu membuat

pembaca termotivasi dalam menciptakan alternatif dalam sosiologi

serta bersikap kritis terhadap ilmu pengetahuan Eurosentris dari Barat.

c. Bagi peneliti lain, diharapkan penelitian ini menjadi contoh yang lebih

baik lagi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi mahasiswa dapat menimbulkan sikap hormat-kritis terhadap ilmu

pengetahuan yang sarat nilai dan diimpor dari Barat.

b. Bagi UIN Jakarta, diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang filsafat, sosiologi dan

ilmu sosial secara umum.

c. Bagi Jurusan, dapat menjadi acuan dalam pengembangan teori serta

pengajaran ilmu sosial yang lebih ulayat.

Page 23: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

11

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Konsep Captive Mind1

Frasa “captive mind” pada dasarnya telah dikemukakan oleh Czeslaw

Milosz (1931-2004) dengan bukunya yang berjudul The Captive Mind. Dalam

buku yang pertama kali terbit pada tahun 1953, Milosz memulai diskusi tentang

ketidakpuasannya terhadap novel karya Stanisław Ignacy Witkiewicz.2 Buku yang

ditulis Milosz ini terbatas pada upayanya dalam menggambarkan situasi politik di

Polandia setelah perang Dunia kedua. Frasa yang digunakannya dalam judul buku

tersebut tidak menyentuh konteks gagasan yang diperbincangkan dalam skripsi

ini.

Pada dasarnya konsep captive mind adalah korban Orientalisme dan

Eurosentrisme yang memiliki ciri, cara berpikir yang didominasi pemikiran Barat

dengan cara meniru dan tidak kritis.3 Pemikiran tersebut masuk dalam semua

tingkatan aktivitas ilmiah, mempengaruhi latar belakang masalah, analisis

abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan interpretasi.

Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh sosiolog Malaysia yang bernama Syed

Hussein Alatas pada tahun 1972 (sebenarnya sejak tahun 50-an) dengan judul

jurnal ilmiah The Captive Mind in Development Studies. Tulisan ini mengarah

pada konseptualisasi pengetahuan di Negara berkembang yang didominasi Barat.

1 Dalam skripsi ini, captive mind merupakan salah satu konsep kunci yang dikemukakan

Syed Farid Alatas. Sejauh penelusuran yang dilakukan penerjemah buku “Alternative Discourses

in Asian Social Science: Responses to Eurocentrism” melalui google.books, google scolars, dan

laman Indonesia dengan cara googling, tidak ditemukan padanan baku untuk konsep kunci ini.

Secara umum entri laman dan buku yang memuat captive mind, tidak memadankan frasa tersebut. Dengan menimbang gagasan yang telah dituangkan Syed Hussein Alatas dalam beberapa jurnal,

penulis menyimpulkan menggunakan frasa “captive mind” sebagai benak terbelenggu yaitu sifat

atau mentalitas membebek para sarjana dengan mengacu pada sebuah nilai. 2 Tinjauan sekilas mengenai buku Czeslaw Milosz yang berjudul The Captive Mind dapat

diakses di https://www.goodreads.com/book/show/145660.The_Captive_Mind. Penelusuran

mengenai buku Czeslaw Milosz ini dan beberapa karyanya yang lain dilaksanakan pada tanggal 13

April 2014. Pen. 3 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap

Eurosentrisme, (Bandung: Mizan Publika, 2010), h. 34.

Page 24: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

12

Syed Hussein Alatas pertama kali menjabarkan masalah terbelenggunya

pikiran akademisi Dunia Ketiga pada tahun 1956. Syed Hussein Alatas melihat

terjadi “impor besar-besaran gagasan dari dunia Barat ke masyarakat Timur” yang

dilakukan tanpa pertimbangan matang terhadap konteks sosial sejarah sebagai

masalah fundamental kolonialisme. Menurutnya pula, pola pikir bangsa-bangsa

jajahan ternyata paralel dengan imperialisme dalam bidang ekonomi dan politik.

Oleh karena itu konteks yang melahirkan captive mind dapat disebut sebagai

imperialisme akademis.4

Selanjutnya dalam tulisan awal di Jurnal The Captive Mind in

Development Studies, Syed Hussein Alatas mengutip sebuah artikel dalam jurnal

The Annals of The American Academy of Political and Social Science, yang

berjudul “The Professor Abroad”. Artikel ini ditulis oleh Edward W. Weidner,

seorang profesor dalam Ilmu politik.

… the problems of exchange arrangements he noted the following: (a) the

American professor prefers his own American teaching methods; (b) the

American professor takes with him his own lecture, laboratory and

seminar notes, relying on them without a great deal of modification; (c)

many of the course contents of American university are not relevant to

developing areas; (d) propositions considered to have the force of

universal laws are often not applicable to the host country’s social system;

(e) from the viewpoint of less developed countries, research by American

and other foreign scholars has not been very satisfactory.5

Weidner mendiskusikan beberapa hal mengenai para profesor Amerika yang lebih

menyukai metode pengajaran versi Amerika, yakni; profesor Amerika yang

menggunakan perkuliahan, laboratorium dan catatan seminarnya sendiri tanpa

banyak melakukan modifikasi; banyak dari isi kuliah di Universitas Amerika yang

tidak relevan dengan Negara berkembang, proposisi yang dianggap memiliki

kekuatan hukum universal sering tidak berlaku untuk sistem sosial negara tuan

rumah; dari sudut pandang negara-negara berkembang, penelitian oleh sarjana

Amerika dan lainnya belum memuaskan.

4 Ibid., h. 35. 5 Syed Hussein Alatas, “The Captive Mind in Development Studies: Some Negleted

Problems and The Need for an Autonomous Social Science Tradition in Asia, Social Science

Journal,” Vol. 24. No. 1 tahun 1972, pp. 9.

Page 25: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

13

Captive Mind didefinisikan sebagai “pikiran meniru yang tidak kritis,

terdominasi sumber-sumber eksternal yang menyimpang dari perspektif

independen”. Sumber eksternal datang dari ilmu sosial dan humaniora Barat yang

tiruan tak kritisnya mempengaruhi aktivitas ilmiah seperti pemilihan masalah,

konseptualisasi, analisis, generalisasi, deskripsi, eksplanasi, dan interpretasi.

Karakteristik seorang yang terjangkiti captive mind adalah tak mampu kreatif dan

memunculkan masalah secara orisinal, tak mampu menentukan metode analisis

yang orisinil, dan terkunci dari isu utama masyarakat ulayat. Captive mind dilatih

oleh ilmu sosial Barat, membaca karya-karya teoritis Barat, dan dididik terutama

oleh pengajar Barat baik di Negara Barat sendiri atau pusat pendidikan lokal yang

menerapkan standar kurikulum Barat.

Where in Western civilization do we come across even a single

mind trained entirely in the science from the Orient, reading books from

the Orient by Oriental author, going to a university run along an Oriental

tradition, taught predominantly by Oriental teachers, directly or indirectly

by means of their books, dependent on libraries overwhelmingly stocked

with Oriental books, using an Oriental language for higher study? The

counter part of the captive mind doesnot exist in the West.6

Pada dasarnya komunitas peneliti Negara Timur terbagi menjadi dua:

Pertama, bekerja sebagai orang dalam (insider), dan Kedua bekerja sebagai orang

luar (outsider). Secara simultan mereka bekerja pada institusi sebagai insider

dalam sebuah paradigma atau model penelitian tertentu. Disebut sebagai outsider

karena mereka sering terpinggirkan dan dipandang sebagai wakil dari suatu

kelompok minoritas atau kelompok kepentingan lawan.7

Menurut Syed Hussein Alatas, “impor besar-besaran gagasan dari dunia

Barat ke masyarakat Timur” yang dilakukan tanpa pertimbangan matang terhadap

konteks sosial sejarah sebagai masalah fundamental kolonialisme. Pola pikir

masyarakat jajahan menurutnya searah dengan imperialisme ekonomi dan politik

yang selanjutnya menghasilkan imperialisme akademis. Barat juga mengklaim

6 Syed Hussein Alatas, “The Captive Mind and Creative Development: Continuing

Debate,” International Social Sciences Journal, Vol. XXVI, No. 4, 1974, pp. 691. 7 Linda Tuhiwal Smith, Dekolonisasi Metodologi, (Yogyakarta: InsistPress, 2005). Dalam

pendahuluan buku ini, Linda menjelaskan bentuk penjajahan pemikiran yang dilakukan bangsa

Barat sebagai kekuatan Ilmu Sosial kepada suku bangsa Maori, yang menjadi lyan (other).

Page 26: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

14

kepemilikan cara-cara bangsa terjajah dalam mengetahui tamsil bangsanya, lalu

pada saat bersamaan menampik orang-orang yang menciptakan dan

mengembangkan gagasan-gagasannya, bahkan mengakuinya bahwa itu adalah

miliknya.

Lebih dari itu, Barat menolak kemungkinan masyarakat Timur bisa

menciptakan budaya dan Nation sendiri. Cara pandang imperialisme tersebut

diabadikan melalui infiltrasi pengetahuan: menghimpun penduduk bangsa

terjajah, mengklasifikasikan dan merepresentasikan dengan segala macam cara

Barat, lalu lewat kacamata Barat dikembalikan lagi pada masyarakat Timur

sebagai bangsa terjajah.

Makalah tentang gagasan captive mind yang dikemukakan Syed Hussein

Alatas dimulai dengan efek demonstrasi (demonstration effect) yang

dikembangkan James Duesenberry (1949) dalam kaitannya dengan perilaku

konsumen.8 Istilah ini dipahami sebagai peningkatan pengeluaran konsumen

dengan cara mengorbankan tabungan untuk sesuatu yang diyakini bernilai tinggi,

dan mampu mempertahankan harga diri karena utilitas barang sersebut. Dorongan

tersebut bergantung pada frekuensi kontak yang sering kali terjadi. Semakin tinggi

kontak terhadap barang yang dinilai tinggi tersebut, semakin kuat pula efek dari

Demonstrasi pola konsumsi. Dengan demikian hal ini menjadi ancaman serius

terhadap keberlangsungan pola konsumsi yang dimaksud, terlebih jika ternyata

barang yang dikonsumsi tidak memiliki kegunaan yang sepadan.

Konsumsi pengetahuan ilmu sosial memiliki keyakinan bahwa

pengetahuan Barat berada pada posisi yang superior. Menurut gagasan efek

demonstrasi, peningkatan pendapatan akan meningkatkan konsumsi, karena

konsumen berusaha mengikuti pola konsumsi orang-orang yang gaya hidupnya

ingin mereka tiru. Kunci utama dalam asimilasi pengetahuan dari Barat adalah

keyakinan atas utilitas dan keunggulan. Efek demonstrasi ini memiliki ciri: (a)

seringnya berhubungan dengan pengetahuan Barat, (b) erosi atau lemahnya

pengetahuan lokal atau ulayat, (c) prestise tinggi yang dinisbatkan pada

8 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind in Development, Op.Cit., pp. 10.

Page 27: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

15

pengetahuan impor, dan (d) konsumsi seperti ini sebenarnya tidak perlu rasional

dan bernilai.9

Syed Hussein Alatas menggambarkan captive mind dari peniruan telaah

pembangunan Barat. Captive mind terdapat dalam berbagai aktivitas seperti

abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, penempatan masalah, pemahaman, dan

penguasaan data. “The corpus of Social Science, scientific knowledge and

intellectual activity concerning developing areas may be grouped, for our present

purpose, under the following headings: abstraction, generalization,

conceptualization, problem-setting, explanation, and the understanding and

mastery of data.”10

Masalah lain dalam bidang pembangunan adalah kesalahan penilaian

disebabkan ketidakakraban data dan kebutaan terhadap konteks. Contohnya

adalah pandangan Hagen bahwa menggali dengan cangkul bagi masyarakat Asia

Tenggara adalah “proses yang canggung”. Menurut Syed Hussein Alatas, Hagen

tidak memahami fungsi cangkul dalam konteks yang tepat. Cangkul digunakan

masyarakat Asia Tenggara dibandingkan sekop karena permukaan tanah yang

berbukit-bukit dengan lereng yang bertingkat-tingkat. Oleh karena itu kegagalan

Hagen dalam melihat kegunaan cangkul merupakan hal yang serius dalam bidang

antropologi.

… Hagen did not understand the function of the South-East Asian

hoe in its context. Here the changkol (hoe in Malay) is a much more

efficient tool than the spade. In the terrace cultivation of rice on mountain

slopes, where one must sometimes scrape the descending banks of a

terrace downwards, the changkol and not the spade is the efficient tool.

The manipulative potential of the changkol is much higher than that of the

spade. With it one can dig a hole and at the same time scrape the sides

with much greater ease. It is efficient for digging as well as trimming. It is

suitable for the delicate construction required in padi cultivation.

Furthermore it can dig much faster than a spade. Thus Hagen had ignored

the anthropological principle that the function of a tool is to be judged by

reference to its context.11

9 Ibid., pp. 10-11. 10 Ibid., pp. 12. 11 Ibid., pp. 15.

Page 28: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

16

Dalam telaah pembangunan, hal ini justru ditiru dan diasimilasi oleh

captive mind dan akhirnya berdampak pada rencana pembangunan yang buruk.

Captive mind tidak memiliki kreativitas dan kemampuan untuk memecahkan

masalah secara orisinil dengan ditandai pandangan yang terpecah, teralienasi, dari

isu-isu sosial utama dan tradisi bangsanya sendiri serta merupakan hasil dominasi

Barat atas seluruh dunia. Captive mind adalah fenomena khas didunia berkembang

yang terlihat dari pikiran tiruan yang tidak kreatif akibat didominasi peradaban

luar, yaitu Barat.

Pengembangan ini mengambil bentuk “efek demonstrasi yang tidak kritis”

yakni kekuatan penggerak dibalik asimilasi teori, konsep, tafsir Barat, dengan

keyakinan dan keunggulan dalam agenda riset. Namun sebenarnya apa yang ditiru

dalam hal tersebut menunjukkan kualitas inferior, karena hanya dapat meniru

sesuatu yang berada dalam jangkauannya. Akibatnya konstruksi yang dihasratkan

bukanlah “Istana intelektual yang mengesankan, tetapi sekedar gubuk di sebelah

pojok”. Keterbelengguan itu menjadi masalah yang lebih besar ketika apa yang

membuatnya terbelenggu tidak disadari. Padahal menurutnya seorang dapat saja

mengadopsi post-strukturalisme Perancis dengan mendomestikkannya, tanpa

harus terjebak captive mind.12

Contoh lain adalah anggapan bahwa masyarakat praindustri tidak dapat

menghargai waktu dengan baik. “Time is money”, inilah ungkapan yang

seringkali terlontar pada masyarakat industri yang akan membawa pada

keuntungan materi. Masyarakat pra-industri seperti di Asia Tenggara memiliki

kebiasaan ketika hendak berladang menunggu matahari naik dan selesai sebelum

matahari terbenam. Selain itu, masyarakat juga sering bersantai dan mengobrol

dengan rekannya di pematang sawah, sembari beristirahat. Hal ini dianggap

sebagai proses yang terlalu membuang waktu dan mengakibatkan masyarakat

terus terbelakang serta tidak mengalami kemajuan secara ekonomi.

Anggapan bahwa tradisi adat tidak memiliki konsep waktu modern adalah

suatu kekeliruan. Mengutip pernyataan Herskovits, Syed Hussein Alatas memberi

penjelasan bahwa konsep waktu dapat dilihat dari sisi yang lain. Masyarakat akan

12 Alatas, Diskursus Alternatif, Op.Cit., h. 37-38.

Page 29: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

17

menjadi tepat waktu saat menepati janji, tepat waktu saat berbuka puasa, saat

melakukan shalat Jumat, membaca doa sehari-hari saat fajar dan petang. Agama

Islam yang menjadi mayoritas di banyak negara, menghargai nilai waktu. Al-

Qur‟an berisi judul surat, (Al-Asr) “Demi Waktu”. Nilai pengukuran waktu diakui

jauh sebelum jam modern digunakan.13

Selain itu di antara umat Islam terdapat

cabang pengetahuan yang disebut Ilmu hisab, ilmu penghitungan dan pengukuran.

Apresiasi terhadap pengukuran waktu yang dihubungkan dengan agama

bukan hanya ada pada atribut agama Islam. Sejak dahulu kala, masyarakat

tradisional telah menghargai pengukuran dan ketepatan waktu. Mereka

memperhatikan segala perubahan yang terjadi. Perubahan adalah salah satu

komponen dalam waktu. Perubahan kebiasaan diperlukan bagi mereka yang

belum terbiasa. Dengan begitu mereka tidak harus bingung dengan perubahan

dalam nilai-nilai, atau perubahan konsepsi waktu itu sendiri.14

Gagasan Syed Hussein Alatas mengenai “captive mind” dilanjutkan

dengan jurnal yang terbit pada tahun 1976 dengan judul “The Captive Mind and

Creative Development”. Dalam jurnal ini Syed Hussein Alatas menggambarkan

karakteristik captive mind, yaitu:

1. Captive mind merupakan produk dari lembaga tinggi pendidikan, baik di

dalam maupun luar negeri, dengan cara berpikir yang didominasi oleh

pemikiran Barat dengan cara meniru tidak kritis.

2. Captive mind adalah pikiran tidak kreatif yang tidak mampu mengangkat

masalah ulayat.

3. Captive mind tidak mampu merancang metode analisis yang independen.

4. Captive mind tidak mampu memisahkan antara sesuatu yang partikular dan

universal. Captive mind mengadaptasi universalisme yang disematkan

pada pengetahuan ilmiah meski tidak sesuai dengan konteks lokal.

5. Captive mind terfragmentasi dalam sebuah pandangan.

6. Captive mind terasing dari isu utama masyarakat.

7. Captive mind terasing dari tradisi nasionalnya sendiri.

8. Captive mind tidak disadari oleh para ilmuwan, sehingga dia tidak

berusaha keluar dari kondisi tersebut

9. Captive mind tidak setuju dengan analisis kuantitatif yang memadai tetapi

mengamati sesuatu secara empiris.

13 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind in Development, Op.Cit., pp. 16. 14 Ibid., pp. 16-17.

Page 30: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

18

10. Captive mind adalah hasil dari dominasi Barat ke seluruh dunia.15

Namun peniruan tidak selamanya salah jika didasarkan pada sikap kritis

para ilmuwan. Masyarakat dapat berkembang secara konstruktif jika terjadi

asimilasi melalui imitasi dalam prosedur teknologi dengan pengetahuan ilmiah

yang valid dan sesuai konteks sosial. Pada kenyataannya tidak ada masyarakat,

bahkan peradaban yang dapat berkembang dengan menciptakan segala sesuatunya

sendiri. Ketika sesuatu ditemukan efektif dan berguna, hal itu dapat diadopsi dan

diasimilasi ke dalam kebudayaan. Karena imitasi konstruktif adalah bagian dari

kehidupan sosial yang tidak pernah dapat dipisahkan.

Syed Hussein Alatas menyatakan imitasi konstruktif dengan beberapa ciri,

yaitu:

1. Didasarkan pada pilihan yang sadar dan rasional;

2. Mendukung seruan dan nilai-nilai yang ada;

3. Menangkap masalah pada adopsi inovasi;

4. Menganggap ketika tidak mengadopsi akan menghambat perkembangan

masyarakat;

5. Meningkatkan pemahaman fenomena sekitarnya inovasi;

6. Tidak mengganggu aspek lain dari kehidupan sosial yang dianggap lebih

berharga;

7. Tidak menciptakan kesenjangan besar yang merugikan usaha tersebut;

8. Memasuki sistem nilai kolektif dalam arti bahwa hal tersebut diakui

berharga oleh sebagian besar orang; dan

9. Hal itu bukan efek dari manipulasi oleh kelompok eksternal yang

termotivasi oleh kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan

adopter tersebut.16

Konsep captive mind adalah sebuah imitasi negatif, yaitu imitasi yang

menunjukkan karakteristik berbeda dari imitasi konstruktif. Imitasi tersebut bukan

berasal dari perkara politik atau ideologi, melainkan fenomenologis. Apa yang

didefinisikan sebagai captive mind adalah bentuk perbudakan intelektual dan

15 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind and Creative, Op.Cit., pp. 691. 16 Ibid., pp.692.

Page 31: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

19

ketergantungan pada kelompok eksternal melalui media seperti buku, lembaga,

radio, pers, televisi, konferensi dan pertemuan ilmiah.17

Masalah lain yang besar dari captive mind menurut Syed Hussein Alatas

adalah ketidakmampuan dalam membedakan hal yang universal dan partikular.

Ketika captive mind mempelajari ilmu-ilmu dari Barat, fenomena yang terjadi di

Barat sering dianggap universal. Keadaan ini yang akhirnya menghasilkan

„imperialisme metodologis‟. Hal ini mengasumsikan bahwa apa yang baik di satu

tempat dapat berlaku ditempat lain. Selanjutnya pada taraf tertentu diharapkan

Negara berkembang mengikuti jejak yang sama seperti Negara dunia pertama

dalam mencapai kemajuan. Misalnya dalam kasus urbanisasi, disarankan agar

semua masyarakat non-Barat melewati tahapan yang sama dari fase urbanisasi

seperti yang dialami dunia Barat.18

Sebagaimana diketahui, imperialisme tidak terbatas hanya pada aspek-

aspek politik atau ekonomi dari proses sejarah. Imperialisme dalam arti politik

dan sejarah dapat berarti penaklukan satu orang dengan yang lain untuk

memperoleh keuntungan yang dominan. Menurut Alatas, ciri-ciri umum dari

imperialisme adalah sebagai berikut:

1. Eksploitasi: Ada eksploitasi yang mengontrol kekuatan untuk

menundukkan orang-orang yang didominasi.

2. Ada bentuk pengawasan: Orang-orang yang didominasi dianggap seperti

bangsal dalam sistem pengawasan. Mereka diajarkan hal-hal tertentu,

mereka diminta untuk melakukan hal-hal tertentu, mereka terorganisir

dalam tujuan dan maksud-maksud tertentu, serta diatur oleh kekuatan yang

menundukkan mereka.

3. Kesesuaian: Kekuatan dominan menundukkan orang-orang yang

didominasi agar sesuai dengan aspek-aspek tertentu dari hidup, organisasi,

dan aturan mereka.

4. Orang-orang yang didominasi akan terus memainkan peran sekunder.

17Ibid. 18Ibid., pp. 695.

Page 32: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

20

5. Adanya rasionalisasi intelektual yang merupakan upaya untuk menjelaskan

imperialisme sebagai tahap yang diperlukan dalam kemajuan manusia, dan

bahwa usaha kekuatan imperialis adalah untuk membudayakan rakyat di

bawah kendalinya.

6. Penguasa imperialis: Negara yang ditundukkan memiliki bakat sebagai

bangsa inferior.19

Pemikiran ini tidak hanya terbatas pada urbanisasi, tetapi secara luas

diterapkan ke negara lain, seperti masalah kehidupan beragama. Kecenderungan

masyarakat Barat modern adalah menjadi semakin sekuler. Keadaan ini dianggap

akan dialami juga masyarakat dunia ketiga ketika mengalami modernisasi.

Terdapat anggapan dari para positivis bahwa cepat atau lambat, masyarakat non-

Barat juga akan menanggalkan agamanya. Ketika mereka telah mengembangkan

industri sebagaimana yang telah Barat lakukan, mereka dianggap juga akan

meninggalkan metafisika. Berdasarkan teori positivisme, perkembangan dunia

non-Barat sejajar dengan apa yang dialami Barat. Dalam hal ini tidak ada

pertimbangan atas kemungkinan lainnya.

Karena indoktrinasi yang kuat, ilmuwan yang terjangkiti captive mind

tidak mampu menilai secara kritis kebenaran atas usulan pembangunan secara

paralel. Di negaranya ia akan melakukan penelitian yang berorientasi pada

penurunan dan perusakan unsur-unsur budaya tradisional, karena orientasi ini

populer di Negara Barat. Contoh lain dari captive mind adalah gagasan tentang

ilmu sosial yang bebas nilai (value free). Padahal dalam kenyataannya sulit

memisahkan antara kebenaran yang objektif dari sebuah interpretasi dalam

penelitian.

Syed Hussein Alatas memberikan sebuah analogi ringan atas fenomena

captive mind dalam dunia akademik. Dalam makalahnya yang berjudul The

Development of an Autonomous Social Science Tradition in Asia: Problems and

Prospect, dia menyatakan bahwa ilmuwan harus selektif memilih hidangan yang

disajikan dalam piring akademik. Ilmuwan harus memperhatikan bagaimana cara

19 Syed Hussein Alatas, “Intellectual Imperialism: Definition, Traits, and Problems,”

Southeast Asian Journal of Social Science Vol. 28 Number 1, 2000, pp. 23-24.

Page 33: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

21

makanan ini dimasak beserta bahan-bahan untuk membuatnya. Seperti efek

samping dari makanan cepat saji, banyak resep intelektual impor yang

mempengaruhi kesehatan konsumen.20

Para ilmuwan kadang terburu-buru mengakses data empiris yang

memancing mereka menjadi imitator. Mereka tidak mengakrabkan diri dengan

latar belakang sejarah dan budaya masyarakat mereka sendiri. Mereka secara

penuh mengandalkan dokumen yang diterbitkan dan monografik yang ditulis oleh

ilmuwan Barat. Dengan demikian, mereka tidak mampu untuk melampaui

pernyataan umum atau penyajian data kuantitatif. Studi mereka tetap tidak

menyentuh masalah prinsipil, mereka tidak berhasil untuk mengungkap masalah

yang lebih dalam pada masyarakat Asia. Meskipun ada studi yang cukup faktual

berorientasi pada negara, tetapi para ilmuwan gagal untuk mengidentifikasi

masalah yang signifikan yang terkait dengan negara atau wilayah.21

Studi lebih lanjut mengenai captive mind dinyatakan Syed Hussein Alatas

dalam sebuah buku mengenai corak kehidupan masyarakat Melayu, Jawa, dan

Filipina. Dalam buku yang berjudul “The Myth of The Lazy Native: a Study of

The Image of The Malays, Filipinos, and Javanese from The 16th to The 20th

Century and Its Function in The Ideology of Colonial Capitalism,22

Syed Hussein

Alatas mengkritik stigma “pribumi malas”23

yang terlanjur disematkan kepada

masyarakat Melayu, Filipina, dan Jawa selama berabad-abad. Sebagaimana

20 Syed Hussein Alatas, “The Development of an Autonomous Social Science Tradition

in Asia: Problems and Prospect,” Asian Journal of Social Science, 30 (1), pp. 150. 21 Ibid., pp. 151. 22 Lebih lanjut mengenai mitos pribumi malas diungkapkan Syed Hussein Alatas dalam

buku yang diterjemahkan dengan judul Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu, dan

Filipina dalam Kapitalisme Kolonial. Lih: Syed Hussein Alatas, The Myth of The Lazy Native: a

Study of The Image of The Malays, Filipinos, and Javanese from The 16th to The 20th Century and

Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism, (London: Frank Cass and Company Limited,

1977). 23 Syed Husin Ali dalam sebuah jurnal mengenang masa-masa hidupnya bersama Syed

Hussein Alatas. Pada tahun 1965 dalam sebuah kajian ilmiah dengan orientalis yang dibentuk

Sutan Taqdir Alisjahbana, Syed Hussein Alatas menjadi salah satu pemakalah dalam acara

tersebut. Dalam rencana kajian kedua Hussein Alatas memberi gagasan mengenai tema diskusi

berikutnya. Dalam kesempatan itu dia kemudian menggagas Image of Man mengenai stigma

bahwa orang pribumi memiliki watak malas. Syed Husin Ali memperkirakan bahwa sejak saat

itulah gagasan untuk menerbitkan buku yang menjadi masterpiece dari karya Syed Hussein Alatas

muncul. Lih. Syed Husin Ali, “Syed Hussein Alatas (1928-2007)”, dalam Jurnal Akademika 73

Mei 2008, h. 142.

Page 34: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

22

diketahui, mitos ini berkembang di kalangan para pelancong, peneliti, bahkan

kolonialis dari Barat yang mengunjungi masyarakat di wilayah tersebut pada Era

penjajahan. Stigma ini didasarkan oleh pendapat mereka mengenai ketangkasan

yang kurang dimiliki masyarakat wilayah tersebut ketika menjadi pekerja di

sebuah perkebunan. Mereka juga membandingkan etos kerja masyarakat pribumi

yang dianggap kurang terampil, berbeda dengan etos kerja yang dimiliki

masyarakat Eropa yang terbiasa bekerja pada sektor industri.

Sebagai seorang sosiolog dan sejarawan, Syed Hussein Alatas menyatakan

bahwa stigma yang disematkan pada masyarakat di wilayah tersebut merupakan

sebuah kekeliruan. Menurut Syed Hussein Alatas, stigma malas tersebut dilandasi

penolakan masyarakat Melayu, Filipina, dan Jawa untuk bekerja sebagai buruh

perkebunan milik para kolonialis. Stigma yang berkembang selama beberapa abad

juga dinyatakan oleh para kolonialis yang memiliki kepentingan pada masyarakat

di wilayah itu. Namun stigma ini sudah terlanjur melekat pada masyarakat di

wilayah itu, dan ketika mitos ini berkembang pada peneliti dikalangan pribumi,

captive mind sesungguhnya telah melekat pada diri peneliti tersebut.

B. Sejarah Sosiologi Sebagai Disiplin Ilmu

Kelahiran sosiologi tidak terlepas dari latar belakang pengalaman sejarah

Barat. Banyak hal yang tidak diakui sosiologi modern dalam perkembanganya,

seperti pengaruh teori sosiologi yang dikemukakan Ibn Khaldun selama beberapa

abad sebelumnya. Selama ini paradigma dalam sosiologi juga tidak terlepas dari

pengaruh berbagai ilmuwan sosiologi klasik. Sebagaimana diketahui, Paradigma

pertama diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang berjudul The

Structur of Scientific Revolution pada tahun 1962. Kuhn menentang asumsi yang

berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan

yang kumulatif. Baginya ilmu pengetahuan berkembang secara revolusioner.24

Paradigma dalam sebuah disiplin ilmu pengetahuan dapat terpecah menjadi

beberapa bagian. Ritzer menyatakan bahwa paradigma merupakan kesamaan

24 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali

Press, 2007), h. 3.

Page 35: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

23

pandangan tentang apa yang menjadi pokok persoalan dari cabang ilmu serta

kesamaan metode dan instrumen yang digunakan sebagai persyaratan analisa.25

Dalam sosiologi, Ritzer membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian yaitu

paradigma fakta sosial, paradigma perilaku sosial, dan paradigma definisi sosial.

Sosiologi berasal dari bahasa latin, socius yang artinya kawan dan logos

yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang

mempelajari hubungan antara teman dan teman, yaitu hubungan antara seorang

dengan seorang, seorang dengan golongan maupun golongan dengan golongan.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, sosiologi atau ilmu

masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial,

termasuk perubahan-perubahan sosial.26

Orang yang pertama kali memakai istilah

atau pengertian sosiologi adalah Auguste Comte. Dialah yang dianggap sebagai

bapak sosiologi.

Sosiologi Barat juga dilahirkan di tengah-tengah persaingan pengaruh

filsafat dan psikologi. Emile Durkheim, dengan paradigma fakta sosial berupaya

melepaskan sosiologi dari filsafat positif August Comte dan Herbert Spencer.

Dalam buku yang berjudul Suicide (1951) dan The Rule of Sociological Method,

(1964), Durkheim berupaya memaparkan metode empiris dan hasil penelitian

empiris sebagai fenomena sosial. Peranan Durkheim yang terpenting adalah atas

upayanya merumuskan objek studi sosiologi. Menurut Durkheim pokok persoalan

yang harus dipelajari dalam disiplin sosiologi adalah fakta sosial (social fact).

Fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide.

Teori yang tergabung dalam fakta sosial adalah teori fungsionalisme struktural,

teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro.27

Weber, seorang sosiolog menyatakan bahwa tindakan manusia tanpa

kecuali, pantas dikategorikan sebagai tidakan sosial. Tindakan ini harus penuh

dengan arti. Menurut Weber, sosiologi harus menafsirkan dan memahami

(interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial. Teori

25 Ibid., h. 7. 26 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,

(Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 4. 27 Ritzer, Sosiologi Ilmu, Op.Cit., h. 21.

Page 36: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

24

yang tergabung dalam paradigma tindakan sosial adalah teori aksi (action theory),

interaksionisme simbolik, (symbolic interaktionism), dan fenomenologi

(phenomenology).28

B.F. Skinner merupakan pembuka eksemplar dalam paradigma definisi

sosial. Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran

behaviorisme ke dalam sosiologi. Paradigma ini memusatkan perhatian pada

hubungan individu dengan lingkungannya. Teori yang tergabung dalam

paradigma ini adala Behavioral Sociology dan Teori Exchange.29

Penggunaan istilah sosiologi pertama kali oleh August Comte menjadi

dasar peletakan sosiologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Namun sebenarnya

jauh sebelum era Comte telah ada Ibn Khaldun, yang telah mengadakan penelitian

tentang masyarakat di Tunisia. Melalui buku yang berjudul Muqaddimah, Ibn

Khaldun menjelaskan mengenai tipe masyarakat yang terdiri dari masyarakat

Badui dan masyarakat kota. Ibn Khaldun juga menjelaskan mengenai pola

perubahan sosial dalam masyarakat perkotaan.

Namun nama Ibn Khaldun sebagai peletak dasar disiplin ilmu tentang

masyarakat tak dikenal, bahkan oleh para akademisi di Dunia Ketiga. Hal ini

terkait erat dengan pola pikir Eurosentrik yang hinggap pada ilmu sosial yang

akan dijelaskan selanjutnya. Perkembangan sosiologi dunia selalu beranjak pada

perkembangan sosiologi di Barat sejak era Comte. Perkembangan sosiologi itu

tidak terlepas dengan sejarah yang mendasari lahirnya berbagai teori tersebut,

misalnya munculnya teori Comte mengenai positivisme terlahir oleh latar

belakang revolusi Perancis. Pada era itu kekuatan agama Kristen sebagai

kebenaran mutlak mulai terganti dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh

karena itu positivisme selalu beriringan dengan liberalisme, humanisme, dan

sekularisme.

Era berikutnya yaitu saat Durkheim mencoba menganalisa masyarakat dari

fakta yang ada. Durkheim kemudian meneliti fenomena bunuh diri dan agama

masyarakat primitif. Dengan penelitian tersebut Durkheim menemukan bahwa

28 Ibid., h. 43. 29 Ibid., h. 73.

Page 37: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

25

masyarakatlah yang memisahkan sesuatu yang sacred dan profane. Berbeda

dengan Durkheim, Marx melihat ada ketimpangan sosial dalam masyarakat

kapitalis. Hal ini disebabkan sistem kapitalis yang selalu menindas kaum buruh

yang menjadi pekerjanya. Selain itu Marx juga menyatakan bahwa agama

merupakan candu yang dapat membuat orang tidak menyadari kelasnya. Weber

dalam bukunya tentang Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, menyatakan

bahwa kapitalisme dapat berawal dari semangat agama Kristen sekte Calvinis.

Hal inilah yang menjadi dasar awal teori klasik dalam sosiologi. Selama

beberapa abad, teori yang dikemukakan tokoh-tokoh ini menjadi Grand theory

dalam sosiologi. Pada era-era selanjutnya perkembangan sosiologi mengikuti apa

yang terjadi pada masyarakat dan berlandaskan berbagai teori tokoh-tokoh

tersebut. Berbagai teori yang berkembang berada di seputar upaya

menyempurnakan atau mengkritik berbagai teori yang dikemukakan tokoh

tersebut.

Sosiologi modern lahir pada permulaan abad ke-20, tepatnya di Amerika

Serikat dan Kanada. Gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara.

Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota

industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain-lain. Konsekuensi dari gejolak

sosial tersebut adalah terjadinya perubahan besar pada masyarakat yang tak

terelakkan lagi. Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk

berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala

Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang

sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.

Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern

cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan

masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta demi fakta sosial yang muncul.

Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat

secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian

(research) dalam sosiologi. Dengan berkembangnya ilmu sosiologi modern, maka

lahirlah berbagai jenis ilmu sosiologi antara lain sosiologi hukum, sosiologi

industri, sosiologi pedesaan, sosiologi perkotaan, sosiologi pendidikan, sosiologi

Page 38: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

26

Islam, sosiologi seni, sosiologi informasi dan masih banyak jenis ilmu sosiologi

lainnya. Semua jenis ilmu sosiologi ini muncul seiring dengan dinamika

masyarakat karena objek dari disiplin ilmu ini adalah masyarakat itu sendiri.

Perkembangan sosiologi dunia terpusat pada fenomena dalam masyarakat

Barat. Misalnya dalam analisa perubahan sosial seringkali terpaku pada perubahan

yang terjadi pada masyarakat Barat itu sendiri. Ketika dibawa dalam masyarakat

Dunia Ketiga, berbagai hal itu sering irelevan dengan kenyataan. Misalnya dalam

analisa perubahan masyarakat desa menuju kota, setiap teori yang berkenaan

dengan masyarakat Urban tak dapat menjadi acuan utama sistem masyarakat

Indonesia. Modernisasi yang diharapkan masuk ke pedesaan di Indonesia

seringkali tidak cocok, karena mengakibatkan terjadinya cultural leg dalam

masyarakat Desa yang tidak siap dengan proses modernisasi.

Ilmuwan sosial Dunia Ketiga juga menjadikan Barat sebagai tolak ukur

kemajuan. Teori pembangunan yang digunakan menggunakan standarisasi yang

ditetapkan Negara Dunia Pertama. Nilai-nilai yang mendasari kemajuan Barat

juga diadopsi tanpa ada upaya penyaringan. Akhirnya nilai-nilai moral pada

masyarakat Indonesia seringkali rusak dengan masuknya paham liberalisme. Hal

ini banyak disadari oleh para ilmuwan dan sosiolog. Namun seringkali hal ini tak

dihiraukan karena yang terlintas dalam bayangan para ilmuwan adalah sebuah

konsep kemajuan „ala‟ Barat. Padahal kemajuan yang terdapat dalam masyarakat

Barat seringkali menanggalkan nilai-nilai religiusitas dan mengedepankan

penghambaan terhadap dunia. Hal ini jelas bertentangan dengan budaya

masyarakat Indonesia yang religius dan berketuhanan.

Di Indonesia, perkembangan sosiologi tidak terlepas dari para penganut

mazhab Chicago (mazhab Amerika). Pola pengembangan ini mengakibatkan riset

dalam sosiologi banyak dilandasi metode kuantitatif. Perkembangan sosiologi

yang mengedepankan unsur pengembangan sebuah teori banyak ditinggalkan.

Sehingga pola yang terbentuk menjadikan akademisi ilmu sosial Indonesia banyak

berkutat pada riset empiris tanpa banyak melakukan modifikasi atas teori-teori

yang menjadi persoalan epistemologis ilmu pengetahuan.

Page 39: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

27

C. Permasalahan Eurosentrisme dalam Ilmu Sosial

Eurosentrisme didefinisikan sebagai sebuah konstruksi teoritis mengenai

sejarah dunia yang membuat Eropa, berkat keunikan, keunggulan dan “takdirnya”

harus menanggung “beban manusia kulit putih” berupa ekspansionisme melalui

beragam bentuk. Immanuel Wallerstein dalam jurnal yang berjudul “Eurocentrism

and its Avatars: The Dilemmas of Social Science”, menyatakan bahwa

Eurosentrisme merasuk dalam setiap aktivitas ilmiah melalui ilmu pengetahuan.

Wallerstein juga tidak merasa heran dengan fenomena Eurosentrisme pada tingkat

Universitas. Karena menurutnya, Ilmu sosial adalah produk dari sistem dunia

modern, dan Eurosentrisme adalah konstitutif dari geoculture dunia modern.

“Social science is a product of the modern world-system, and Eurocentrism is

constitutive of the geoculture of the modern world.”30

Ilmu sosial juga muncul sebagai tanggapan terhadap masalah Eropa, pada

suatu titik dalam sejarah ketika Eropa mendominasi seluruh sistem dunia. Ilmu

sosial Eurosentris mempengaruhi dunia pengetahuan seperti halnya yang telah

mempengaruhi politik dari sistem dunia. Eropa yang dimaksudkan Wallerstein

lebih sebagai budaya daripada sebagai ekspresi kartografis. Diskusi selama

beberapa puluh tahun terakhir mengenai Eurosentrisme mengacu pada ekspresi

Eropa Barat dan Amerika Utara. Menurutnya disiplin ilmu sosial hingga tahun

1945 hanya didominasi oleh lima Negara, yaitu Perancis, Inggris, Jerman, Italia,

dan Amerika Serikat. Bahkan hingga saat ini, meskipun telah terjadi penyebaran

ilmu sosial, sebagian besar ilmuwan sosial di seluruh dunia tetap didominasi oleh

orang-orang Eropa.31

Dalam jurnal yang sama, Wallerstein juga mengibaratkan Eurosentrisme

seperti hidra raksasa yang kepalanya memiliki banyak avatar32

. Ketika ilmuwan

30 Immanuel Wallerstein, Eurocentrism and It’s Avatar, Keynote address at the ISA East

Asian Regional Colloquium, „The Future of Sociology in East Asia‟, 22–23 November 1996,

Seoul, Korea, co-sponsored by the Korean Sociological Association and International Sociological

Association, http://www.iwallerstein.com/wp-content/uploads/docs/NLREURAV.PDF, pp. 93. 31Ibid.. 32 Avatar (berasal dari bahasa India, Awatara) adalah istilah untuk menyebut perwujudan

Dewa dalam dunia manusia. Dalam kamus Oxford, Avatar didefinisikan sebagai “A manifestation

of a deity or released soul in bodily form on earth; an incarnate divine teacher atau An

incarnation, embodiment, or manifestation of a person or idea.

Page 40: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

28

tidak hati-hati, upaya yang dilakukan dalam mengkritik Eurosentrisme justru

dapat memperkuat cengkramannya pada komunitas ilmuwan. Menurutnya pula

llmu sosial mengungkapkan Eurosentrisme dalam beberapa cara, yaitu

berdasarkan 1) historiografinya, 2) klaim universalismenya, 3) asumsinya tentang

peradaban Barat yang begitu istimewa, 4) Orientalisme yang menjadi dasarnya

dalam memandang Timur, dan 5) upayanya dalam memaksakan teori kemajuan.33

Pada masalah historiografi, Wallerstein menganalisa asal mula sejarah

yang menyatakan bahwa keunikan bangsa Eropa dimulai sejak abad ke enam

belas. Dengan sebuah revolusi besar yang dapat menggulingkan rezim selama

puluhan abad, Eropa berprestasi dengan membentuk tata dunia baru yaitu

modernisasi. Dalam analisa yang berbeda, Enrique Dussel menyebut bahwa

modernitas yang mendasari Eurosentrisme lahir lebih awal, yaitu pada tahun

1492. Modernitas berasal dari kota-kota bebas pada abad pertengahan Eropa yang

menjadi pusat kreativitas. Modernitas juga lahir ketika Eropa berada dalam posisi

siap untuk memajukan diri dalam mengeksplorasi, menaklukkan, dan menjajah

bangsa lainnya.34

Meskipun Eurosentrisme memiliki beberapa inkarnasi, namun dengan

historis, ekonomi, budaya dan politik yang khas, sensibilitas bangsa Eropa mampu

menentukan karakter keseluruhan politik dunia. Meera Sabaratnam

menggambarkannya dalam kerangka konseptual dan filosofis mengenai

pembangunan pengetahuan tentang epistemologi dasar khas Barat. Oleh karena itu

dia setuju dengan avatar Eurosentrisme yang disebut Wallerstein, namun

mengelompokannya dalam permasalahan budaya, epistemik, dan sejarah.35

Avatar Eurosentrisme dalam sejarah diwujudkan melalui dua cara, yaitu

Pertama melalui asumsi bahwa Eropa adalah subjek utama Sejarah Dunia, seperti

yang dibahas oleh kelompok penelitian Studi Subaltern. Kecenderungan

sejarawan melihat munculnya kapitalisme dan industrialisasi di Barat sebagai

33 Ibid.. pp. 94. 34 Enrique Dussel, “Eurocentrism and Modernity: Introdution to The Frankfurt Lectures”,

boundary 2, Vol. 20, No. 3, The Postmodernism Debate in Latin America, 1993, pp.66. 35 Meera Sabaratnam, Avatars of Eurocentrism in the Critique of the Liberal Peace,

Published in Security Dialogue, Vol. 44, June 2013, No. 3, page 259-278, Post-print version, pp. 3.

Page 41: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

29

penggerak sejarah utama di dunia. Sebaliknya, menurut mereka masyarakat non-

Barat dianggap sebagai orang yang berada di „luar sejarah‟ atau tertinggal dari

perkembangan sejarah Barat. Versi sejarah lama dan baru dari Eurosentrisme juga

memahami berbagai belahan dunia yang semakin kurang „berkembang‟, atau

kurang „modern‟.36

Kerangka ini dibangun pada perbedaan ontologis yang membagi „Barat‟ /

„internasional‟ dari „non-Barat‟ / „lokal‟. Menurut Sabaratnam pembagian ini

merupakan filosofi mendasar dari literatur kritis yang bergulat dengan hubungan

antara „liberal‟ dan „lokal‟. „Lokal atau ulayat‟ adalah ruang yang ditandai dengan

„konteks adat, tradisi dan perbedaan dalam pengaturan sehari-hari‟. Penekanan

yang dimaksudkan jelas untuk membedakan konteks ruang budaya „adat atau

tradisi‟ otentik „hidup non-Barat‟ dengan ruang budaya Barat modern yaitu

„liberal‟ dan „rasional‟.37

Selain itu, penilaian dan evaluasi keilmuan Barat berhubungan erat dengan

prestasi yang dicapai oleh para intelektual dalam membentuk sejarah. Menurut

Sabaratnam, para ilmuwan Barat tanpa malu-malu memuliakan prestasi yang

mereka raih, mereka kemudian menjadi sejarawan untuk mereka sendiri, mereka

mengusulkan kehebatan mereka sendiri, dan mereka menyatakan dan merayakan

kualitas yang unik dari cara hidup mereka sendiri. Tindakan akhir dari

kesombongan ini adalah klaim bahwa masyarakat Amerika merupakan “akhir dari

sejarah dan akhir evolusi sosial”. 38

Mereka menyatakan bahwa tidak ada tahap

lebih lanjut dari kemajuan manusia, kecuali perbaikan yang tak berujung dalam

teknologi.

Selanjutnya para penulis Barat tidak mempertimbangkan adanya orang-

orang bagian lain dari dunia dalam bidang etika, seni, ilmu pengetahuan dan

teknologi. Hal ini merupakan bentuk ketidaktahuan ilmuwan atas kontribusi

intelektual orang yang hidup di luar batas-batas Eropa. Menurut Sabaratnam, hal

ini disebabkan oleh pendidikan yang sempit atau parokial. Mereka juga

36 Ibid., pp. 4. 37 Ibid., pp. 10-13. 38 Claude Alvares, A Critique of Eurocentric Social Science and the Question of

Alternatives, Economic and Political Weekly, Vol XLVI, May 28, 2011, pp. 74.

Page 42: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

30

beranggapan bahwa ketika mengakui kontribusi intelektual pihak lain akan

mengecilkan klaim Barat dalam pengembangan diri. Hal ini merupakan bawaan

dari rasa superioritas budaya Barat yang telah ada sejak masa pencerahan.39

Avatar Eurosentrisme yang kedua menurut Wallerstein menyatakan bahwa

pemikiran Eropa pada beberapa abad terakhir telah sangat universalis. Hal ini

dikarenakan kejayaan budaya ilmu yang didominasi oleh bangsa Eropa. Filsafat

Newtonian-Cartesian menjadi suatu hal yang sangat berpengaruh dalam kajian

ilmu sosial di seluruh dunia. Konsepnya adalah bahwa dunia ini diatur oleh

hukum determinis yang mengambil bentuk proses keseimbangan linear. Dengan

hal tersebut ilmu pengetahuan dimungkinkan dapat memprediksi negara dalam

satu kesatuan sistem.40

Ilmu sosial Eropa dengan klaim universalisme menegaskan bahwa apa pun

yang terjadi di Eropa pada abad keenam belas hingga kesembilan belas mewakili

pola yang berlaku di seluruh dunia. Universalisme adalah pandangan bahwa

terdapat kebenaran ilmiah yang berlaku dalam semua ruang dan waktu.

“Universalism is the view that there exist scientific truths that are valid across all

of time and space.”41

Namun gagasan universalisme atau proposisi dalam ilmu-ilmu sosial

merupakan suatu kepalsuan. Hal ini dikarenakan konsep universal tersebut

merupakan ciptaan manusia yang dapat goyah dan tidak stabil. Gagasan bahwa

makhluk tidak sempurna dapat menciptakan pengetahuan sempurna merupakan

bentuk kemustahilan metodologis dan sebuah kontradiksi. Teori Universalisme

selalu diserang dengan alasan bahwa dalam situasi, waktu, dan tempat tertentu

sebuah teori tidak selamanya sesuai dengan fakta yang ada. Prestasi progresif

umat manusia yang semu dan relatif dapat diubah. Dan pada kenyataannya teori-

teori yang diduga universal sebenarnya tidak universal, karena itu merupakan

representasi dari pola historis Barat yang membuatnya seolah-olah tampak

universal.

39Ibid.. 40 Walerstein, Avatar, Op.Cit., pp. 96. 41 Ibid..

Page 43: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

31

Pada avatar Eurosentrisme selanjutnya yaitu peradaban, Wallerstein

membandingkannya dengan karakteristik sosial yang kontras yaitu primitif atau

barbarisme. Menurut Wallerstein, Eropa modern menganggap dirinya lebih

beradab dari bangsa lainnya. Padahal menurutnya terminologi “beradab” bukanlah

suatu hal yang telah disepakati di antara orang-orang Eropa sendiri. Untuk

beberapa orang, peradaban tercakup dalam „modernitas‟, yaitu berjalan seiring

kemajuan teknologi dengan munculnya produktivitas dan keyakinan budaya serta

kemajuan bersejarah. Bagi orang lain, peradaban dapat berarti peningkatan

otonomi „individu‟ vis-a-vis semua aktor sosial lainnya seperti keluarga,

masyarakat, negara, dan lembaga-lembaga keagamaan. Bagi orang yang lain,

peradaban dapat berarti perilaku non-brutal dalam kehidupan sehari-hari. Dan

bagi yang lainnya, peradaban dapat berarti penurunan atau penyempitan lingkup

kekerasan yang sah dan perluasan definisi atas kekejaman.42

Terminologi peradaban juga menghadirkan seperangkat nilai sekuler-

humanis ke atas puncak hirarki ilmu pengetahuan. Para ilmuwan sosial telah

memasukkan nilai-nilai tersebut dalam definisi mereka mengenai masalah sosial.

Mereka telah memasukkan seperangkat nilai ini ke dalam konsep-konsep yang

mereka tentukan untuk menganalisis masalah dan digunakan sebagai indikator

untuk mengukur konsep tertentu. Para ilmuwan sosial juga menegaskan bahwa

mereka berusaha menjadi „value free’. Mereka mengklaim tidak melakukan

distorsi data terkait situasi sosial-politik yang mereka alami. Tetapi untuk menjadi

bebas nilai tidak berarti bahwa nilai-nilai, dalam arti keputusan tentang

signifikansi historis dari fenomena yang diamati akan hilang sama sekali.43

Ciri selanjutnya adalah Orientalisme. Orientalisme mengacu pada

karakteristik peradaban non-Barat. Orientalisme merupakan kebalikan dari konsep

peradaban, yang menjadi tema utama dalam diskusi publik sejak tulisan Anouar

Abdel-Malek dan Edward Said mengemuka. Orientalisme merupakan modus

pengetahuan yang mengklaim akar peradaban di Eropa pada Abad Pertengahan,

ketika beberapa intelektual Kristen mengatur tugas agama-agama non-Kristen

42 Ibid., pp. 97. 43 Ibid., pp. 96.

Page 44: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

32

untuk mengkaji teks keagamaan. Mereka mendasarkan diri pada premis kebenaran

iman Kristen dengan keinginan untuk mengubah orang-orang kafir.44

Orientalis melihat diri mereka sebagai orang-orang yang rajin

menyampaikan apresiasi simpatik kepada peradaban non-Barat dengan studi

ilmiah dari teks untuk memahami (verstehen) kebudayaan oriental. Menurut

Wallerstein, budaya yang mereka pahami merupakan konstruksi sosial oleh

seseorang yang berasal dari budaya yang berbeda. Validitas konstruksi ini

kemudian diserang pada beberapa tingkatan yang berbeda. Bentuk penyerangan

yang dilakukan adalah dengan anggapan bahwa konsep para orientalis tidak sesuai

dengan realitas empiris, para orientalis juga mengemukakan sesuatu yang abstrak

sehingga terlalu banyak menghapus realitas empiris, dan terakhir adalah para

orientalis bergerak atas ekstrapolasi dari prasangka Eropa.45

Pada dasarnya menurut Bryan S. Turner, perdebatan mengenai

Orientalismelah yang melahirkan Oksidentalisme. Oksidentalisme berisikan

penolakan tak langsung terhadap warisan modernisasi. Menurut Said sebagaimana

dikutip Turner, periode postkolonial masih mengandung dominasi kultural pada

Dunia Ketiga. Oleh karena itu, muncul berbagai sikap defensif oleh para

fundamentalis dalam memandang modernisasi. Sikap ini mencakup klaim akan

kebenaran tradisi dibandingkan dengan pengetahuan yang diwarisi, diimpor oleh

pengetahuan asing.46

Menurut Wallerstein, cara terakhir untuk menegaskan cengkraman

Eurosentrisme ke dalam aktivitas ilmiah adalah dengan memasukkan konsep

kemajuan (Progress). Realitas kemajuan yang tak terhindarkan adalah tema dasar

masa Pencerahan Eropa. Teori kemajuan dalam ilmu sosial menjadi penjelasan

yang mendasari sejarah dunia. Bahkan menurut Wallerstein teori kemajuan

menjadi motor penggerak semua ilmu sosial terapan. Setelah Perang Dunia

Kedua, „pembangunan negara-negara terbelakang‟ adalah rubrik yang dijadikan

44 Ibid., pp. 99. 45 Ibid., pp. 100. 46 Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Teori Barat: Bongkar Wacana Atas Islam

Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media,

2008), h. 29.

Page 45: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

33

pembenaran oleh ilmuwan sosial untuk melakukan reorganisasi sosial dan politik

Dunia non-Barat.47

Pada tahun 1960-an, ilmuwan Amerika yaitu Walter W. Rostow

mengemukakan tentang The Stages of Economic Growth48

yang biasa disebut

sebagai teori lima tahap pembangunan Ekonomi suatu Negara. Menurut Rostow

tahap paling primitif dari sistem ekonomi suatu Negara adalah ketika struktur

hirarki mobilitas sosial dan vertikal masyarakat masih sangat rendah. Pada masa

itu, produktivivtas kerja manusia juga lebih rendah bila dibandingkan dengan

tahapan pertumbuhan berikutnya. Tahap pertumbuhan ini disebut Rostow dengan

masyarakat tradisional (The Traditional Society), ditandai dengan ketergantungan

pada alam yang masih sangat tinggi.

Tahap kedua menurut Rostow adalah Pra-kondisi tinggal landas atau The

Precondition for Take-off. Pada masa ini tingkat investasi pada masyarakat lebih

tinggi dari tahap tradisional. Masyarakat juga sudah mulai melakukan

pembangunan secara dinamis. Model perkembangan ini merupakan hasil revolusi

industri. Perubahan ini memiliki konsekuensi pada perkembangan sektor

pertanian. Tahap ketiga adalah Tinggal landas atau The Take-off Society. Pada

tahapan ini pertumbuhan ekonomi suatu Negara mulai dinamis. Karakteristik

utama dari era ini adalah pertumbuhan dari dalam Negeri yang berkelanjutan dan

tidak membutuhkan dorongan dari luar.

Tahap keempat adalah menuju kedewasaan pembangunan atau The Drive

to Maturity, ditandai oleh investasi yang terus-menerus antara 40 hingga 60

persen. Dalam tahap ini mulai bermunculan industri dengan teknologi baru. Ini

merupakan konsekuensi dari kemakmuran ekonomi dan sosial. Tahap terakhir

adalah Era konsumsi tinggi atau The Age of High Mass-Consumption. Pada tahap

ini, sebagian besar masyarakat hidup makmur secara ekonomi. Orang-orang yang

hidup di masyarakat itu mendapat kemakmuran. Menurut Rostow, saat ini

47 Wallerstein, Op.Cit., pp. 100. 48 W.W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A Non-Communist

Manifesto (Cambridge: Cambridge University Press, 1960), Chapter 2, "The Five Stages of

Growth--A Summary," pp. 4-16, https://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/ipe/rostow.htm. Artikel

ini diakses pada tanggal 2 Juli 2014.

Page 46: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

34

masyarakat yang sedang berada dalam tahapan ini adalah masyarakat Barat dan

Utara.

Model yang dikembangkan Rostow tersebut merupakan pengalaman

ekonomi yang dilalui oleh masyarakat Barat selama beberapa abad. Konsep

kemajuan yang tertanam pada masyarakat era konsumsi tinggi menegaskan

kecenderungan Barat dalam mengontrol pertumbuhan ekonomi suatu Negara di

seluruh dunia. Dan hingga puluhan tahun berikutnya, teori Rostow masih

memiliki tempat yang kuat dalam sistem ekonomi Negara berkembang. Negara

yang berkembang terus berupaya untuk mengejar ketertinggalannya dengan

standar yang telah dilalui oleh Barat.

Selain Wallerstein, dalam buku yang berjudul Eurocentrism, Samir Amin

juga menggambarkan bagaimana Eurosentrisme merupakan sebuah distorsi

penting dan sistematis yang mempengaruhi teori-teori dan ideologi di dunia

kontemporer. Amin mendefinisikan Eurosentrisme sebagai sebuah teori sejarah

dunia yang menempatkan Eropa sebagai suatu yang unik dan superior.49

Dalam Prakata, Amin menyatakan bahwa dalam buku tersebut dia

melakukan kritik terhadap apa yang dinamakan sebagai kulturalisme. “In this

work, I propose a critique of what can be called “culturalism.” I define

culturalism as an apparently coherent and holistic theory based on the hypothesis

that there are cultural invariants able to persist through and beyond possible

transformations in economic, social, and political systems.50

Amin

mendefinisikan kulturalisme sebagai teori yang terlihat koheren serta holistis,

yang didasarkan pada hipotesis bahwa invarian budaya mampu bertahan dari

kemungkinan transformasi di bidang ekonomi, sosial dan sistem politik.

Selain itu, Amin juga melakukan kajian kritis terhadap modernisme yang

menjadi cikal bakal ilmu sosial yang Eurosentris. Menurut Amin, modernitas

dibangun pada prinsip bahwa manusia, secara individu dan kolektif (masyarakat)

membuat sejarah mereka sendiri. Alasan tersebut dikombinasikan dengan

perjuangan emansipasi yang membuka jalan untuk berdemokrasi, serta

49 Alatas, Op.Cit., h. 31. 50 Samir Amin, Eurocentrism, (Newyork: Monthly Review Press, 2011), dalam Prakata.

Page 47: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

35

menyiratkan sekularisme, pemisahan agama dengan Negara, dan atas dasar itulah

terjadi reformasi di bidang politik. Modernitas merupakan produk kapitalisme

yang baru lahir dan berkembang dalam hubungan erat dengan ekspansi ke seluruh

dunia.51

Amin juga menolak pandangan Eurosentrik yang secara sempit

memposisikan perkembangan sejak era Yunani dan Romawi dengan feodalisme

Kristen dan sistem kapitalis Eropa. Amin menyajikan reinterpretasi tentang peran

sejarah yang penting dimainkan oleh dunia Arab Islam.

Menurut Amin, Modernitas merupakan produk kapitalisme yang baru lahir

dan berkembang setelah terjadi ekspansi ke seluruh dunia. Hukum-hukum dasar

yang mengatur ekspansi kapitalisme menyebabkan ketimpangan pertumbuhan

ekonomi pada tingkat global secara asimetris. Masyarakat di pinggiran terjebak

pada ketidakmungkinan untuk menjadi bagian dari masyarakat pusat. Pada

gilirannya, hal ini mempengaruhi distorsi terhadap modernitas, seperti yang ada

dalam dunia kapitalis. Budaya kapitalisme dibentuk dan dikembangkan oleh

internalisasi persyaratan realitas asimetris ini. Klaim universalisme secara

sistematis dikombinasikan dengan argumen kulturalis, dalam hal ini yang

Eurosentrik.

Tak heran jika modernitas akhirnya memaksa reinterpretasi atas keyakinan

agama. Hal ini sejalan dengan prinsip utama rasionalisme, bahwa manusia

merupakan pencipta yang dapat membuat sejarah mereka sendiri. Kulturalisme

Eurosentrik menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari revisi terhadap

agama. Revisi agama tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip Reformasi

Protestan yang merupakan penyebab utama transformasi sosial, seperti yang

diutarakan Max Weber dalam bukunya yang berjudul “The Protestan Ethic and

The Spirit of Capitalism”. Padahal menurut Amin, hal tersebut merupakan bentuk

Cristianophilia.52

Menurut Amin ada dua periode dalam sejarah yang memiliki dampak

penting dalam pembentukan dunia modern. Periode pertama dimulai sejak era

Pencerahan (Renaissance), pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas yang juga

51Ibid.. 52Ibid., h. 26.

Page 48: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

36

merupakan awal mula kelahiran modernitas dan kapitalisme, dan Periode Kedua

menyangkut karakter borjuis, yang merupakan efek dari modernitas.53

Periode

Renaissance menandai awal kesadaran Eropa mengenai gagasan penaklukan

dunia oleh bangsa mereka sendiri. Oleh karena itu mereka mengembangkan rasa

“superioritas mutlak” kepada bangsa lain. Bangsa Eropa yakin sebagai satu-

satunya pihak yang memiliki keuntungan tersebut. Dan mulai saat itulah menurut

Amin, Eurosentrisme mengkristal.54

Salah satu jenis jawaban mereka atas klaim ini adalah bahwa bangsa Eropa

telah melakukan sesuatu yang berjasa dan berbeda dari orang-orang di bagian lain

dunia. Hal ini disebut sebagai keajaiban Eropa yang tidak dapat dilakukan oleh

bangsa lain. Sejak Renaissance, Eropa telah meluncurkan revolusi industri dengan

pertumbuhan yang berkelanjutan. Selain itu, mereka juga telah meluncurkan

modernitas atau kapitalisme, birokratisasi, dan prinsip kebebasan individu.

Kemunculan kapitalisme di Eropa juga mengisyaratkan dimensi

rasionalitas yang disematkan sejak masa Yunani. Yunani memunculkan filsafat

rasional sedangkan Timur dianggap tidak mampu membebaskan diri dari

metafisika. Oleh sebab itu filsafat Islam yang menguasai dunia direndahkan

sekedar menjadi perantara warisan Yunani ke Eropa. Padahal pada kenyataannya

filsafat Islam telah mampu berdiri megah ditengah kegelapan yang melanda Eropa

selama puluhan Abad. Bahkan dapat dipastikan bahwa modernisasi yang terjadi

pada masyarakat Eropa merupakan akibat maju dan berkembangnya filsafat Islam.

Filsafat Islam dan India tidak dianggap “filsafat” oleh sekolah filsafat

Barat karena keduanya menolak untuk memberikan alasan keunggulan atau

keutamaan sebagai alat untuk mencapai kebenaran mutlak. Filsafat Islam diberi

label “teologi”, sedangkan filsafat India diturunkan ke bidang “agama”,

(sebagaimana yang dipahami di Barat). Namun, filsafat Barat sendiri mendasarkan

tempatnya sendiri pada asumsi sebagai fundamentalis, agama atau teologis.

53 Ibid., pp. 13. 54Ibid., pp. 152-153.

Page 49: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

37

Akhirnya filsafat diidentifikasi seluruhnya dan semata-mata dengan para filsuf

Barat.55

Pada tingkat dogmatis, para reformis besar agama Kristen akhirnya

mengemukakan gagasan untuk kembali ke sumber ajaran agama yang dianggap

telah lama menyimpang. Atas semangat ini, mereka merehabilitasi Kitab

Perjanjian Lama yang menyebabkan sekte Katholik Ortodoks terpinggirkan. Para

reformis juga mengemukakan semangat teologi pembebasan, yaitu sebuah upaya

mengkontekstualisasikan ajaran agama Kristen sesuai dengan keadaan sosial yang

berlaku. Teologi pembebasan semakin berkembang pesat seiring dengan perluasan

kajian tafsir dengan metode hermeneutika pada Alkitab.

Pada era Renaissance pula Kristen-Barat meninggalkan perdebatan lama

tentang perdamaian antara iman dan akal yang mengemuka sejak masa kegelapan

(The Dark Ages). Mereka tidak menyangkal iman dalam bidang spiritual, namun

menegaskan kecenderungan baru bahwa Tuhan telah memberikan emansipasi

pada manusia untuk mengatur sejarahnya. Tuhan diibaratkan sebagai pembuat

jam, dan alam ini seperti jarum jam yang berjalan dengan sendirinya tanpa campur

tangan pencipta di dalamnya. Dengan kekuatan rasio dan inderanya, manusia

dapat mengatur segala kehidupannya di dunia. Keadaan ini dianggap sebagai cikal

bakal pemisahan agama dari kehidupan sosial. Banyak manusia yang akhirnya

mengedepankan kebebasan individu dan emansipasi bermasyarakat, yang

mengambil risiko untuk menciptakan hukum dan membuat masa depannya

sendiri.

Dengan klaim universalisme, penafsiran ulang secara besar-besaran juga

disematkan pada kitab suci berbagai agama. Sebuah reaksi awal adalah untuk

menerima pluralitas dari wahyu yang masing-masing memiliki nilai kebenaran.

Mereka juga mengungkapkan bahwa klaim atas kebenaran setiap agama bersifat

nisbi, karena setiap agama dianggap memiliki kebenaran yang sama, namun

diungkapkan secara berbeda. Reaksi ini mendorong pendekatan sinkretis pada

tingkat esoterik. Setiap agama dipaksa menerima terminologi ini. Padahal a priori

tidak menghalangi atau menyiratkan kesatuan dasar metafisika agama-agama.

55 Alvares, Op.Cit., pp. 77.

Page 50: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

38

Pada awalnya, mereka semua mengambil peran sebagai “orang terpilih”, dan

mitologi yang berisi ajaran agama adalah satu-satunya penjelasan yang benar

mengenai penciptaan. Dewa-dewa maupun Tuhan mereka merupakan satu-

satunya yang nyata, orang lain keliru atau telah disesatkan. Masing-masing agama

memiliki keyakinan bahwa agamanya memiliki klaim atas kebenaran.

Hal ini juga terjadi pada tiga agama yang memiliki pola monoteistik.

Banyak ilmuwan yang berupaya mencari titik temu antara Yudaisme, Kristen, dan

Islam. Ketika terjadi kemajuan dalam ilmu arkeologi, sejarah dan tafsir, para

ilmuwan menemukan suatu hal yang disebut sebagai akar-mitologi ketiga agama

tersebut. Menurut para ilmuwan, pada dasarnya ketiga agama tersebut memiliki

akar-mitologi yang sama, yaitu pada kisah Air Bah di Timur Tengah, seperti yang

tertera dalam epos Gilgamesh.56

Menurut Amin, ketiga agama tersebut lahir pada saat godaan sinkretisme

sangat besar. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa beberapa agama dipinjam dari

agama dan peradaban lain, seperti Kristen yang dipinjam dari agama Mesir kuno,

Yudaisme dipinjam dari keyakinan di Timur kuno (Baal dan lain-lain), dan Islam

melakukan hal yang sama dengan keyakinan yang masih ada di jazirah Arab.

Namun di antara tiga agama samawi, kedekatan antara Yudaisme dan Islam

dianggap yang paling jelas.

Amin memiliki kesamaan dengan para ilmuwan mengenai pendapat bahwa

Islam merupakan Arabisasi dari Yudaisme. Hal tersebut didasarkan bukan hanya

karena ajaran, hukum, dan ritual yang sebagian besar mirip dengan Yudaisme.

Arabisasi Yudaisme dimulai sebelum pengiriman pesan dari para Nabi yang

merupakan Muslim. Dalam sejarah Islam serta dalam Al-Qur‟an, seorang yang

hanif bernama Abraham tidak menyatakan dirinya sebagai orang Yahudi. Karena

hal ini pula, Islam telah muncul dengan sendirinya sebagai agama yang

diturunkan kepada umat manusia dari awal sejak diwahyukan kepada manusia

pertama yang bernama Adam. Islam ada sebelum Tuhan berbicara melalui wahyu

yang diturunkan melalui Nabi Muhammad.57

56Amin, Op.Cit., pp. 30-31. 57Ibid., pp. 33.

Page 51: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

39

Islam muncul bersamaan dengan penyatuan politik di Jazirah Arab yang

sebelumnya terbagi dalam berbagai suku bangsa yang saling bermusuhan.

Menurut beberapa sejarawan Arab, monoteisme yang dibawa Islam menggantikan

pluralitas Dewa kesukuan yang merupakan kendaraan dalam pembentukan bangsa

Arab.58

Kecenderungan yang dominan di antara orang-orang Arab adalah untuk

memesan Islam untuk diri mereka sendiri, sehingga memungkinkan masyarakat di

luar Arab dapat ditaklukkan. Jika praktek ini berlangsung, tak ayal Islam akan

menjadi agama yang secara eksklusif menjadi milik bangsa Arab. Namun keadaan

ini tidak terjadi, karena Islam membawa nilai-nilai universal yang dapat diadopsi

oleh seluruh umat manusia. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa Islam

merupakan rahmat bagi semesta alam.

Apa yang dimiliki Islam sebaliknya tidak dimiliki agama lainnya termasuk

Kristen. Secara kesejarahan Kristen dikembangkan dalam dunia kosmopolitan

Kekaisaran Romawi di mana budaya Helenistik mengalami kemenangan. Selain

itu perkembangan Kristen untuk menjadi agama yang besar sangat lambat dan

dipenuhi dengan pertikaian yang panjang. Menurut Amin, hal ini dikembangkan

atas gagasan bahwa Kristen pada dasarnya tidak dibentuk dalam kontinuitas

dengan Yudaisme. Amin menambahkan bahwa Kristen bukan agama yang

menjadi kelanjutan Yudaisme, melainkan merupakan pecahannya. Perselisihan

panjang antara Kekaisaran Romawi Barat dan Timur juga menjadi sejarah yang

tidak dapat dipisahkan. Selain itu selama puluhan abad ketika dominasi gereja

begitu kuat dengan sokongan kekuatan politik, segala bentuk penyimpangan versi

gereja menjadi sesuatu yang wajib dimusnahkan.

Banyak buku sejarah Barat yang mengisahkan kejadian demi kejadian

pada masa kegelapan Eropa. Bentuk kekuatan gereja begitu besar sehingga segala

sesuatu yang tidak sesuai oleh dogma dianggap sebagai penyimpangan (heresy).

Para ilmuwan yang mencoba mengembangkan ilmu pengetahuan harus

mendasarkan dirinya pada doktrin gereja. Ketika hal itu tidak sesuai dengan

prinsip dalam kitab suci, maka para ilmuwan diberi hukuman yang berat dengan

cara dipancung maupun dibakar hidup-hidup. Hal ini didasarkan pada alasan

58Ibid., pp. 34.

Page 52: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

40

bahwa para ilmuwan telah menentang kehendak Tuhan, oleh karena itu hukuman

diberikan atas nama Tuhan.

Hal ini pula yang akhirnya mendasari semangat kelahiran kembali dan

pemurnian agama yang dilakukan Luther King sehingga lahir sekte Kristen

Protestan. Semangat Renaissance kemudian dikembangkan di Negara Inggris,

Perancis, Belanda, dan Jerman.59

Namun saat itu Katholik Ortodoks cenderung

kaku dan menghindari re-interpretasi agama, tapi beberapa waktu kemudian

mereka akhirnya membuka diri untuk melakukan re-interpretasi dogma.

Kekristenan modern kemudian beradaptasi dengan transformasi sosial.

Kekristenan modern akhirnya menjadi agama tanpa dogma.

Sama halnya dengan peradaban Kristen, kaum Yahudi Diaspora yang

tinggal di Eropa juga terpengaruh oleh transformasi radikal dalam masyarakat dan

konsep-konsep baru tentang hubungan antara masyarakat dan agama. Moses

Mendelssohn, pada abad kedelapan belas melakukan langkah membuat sebuah

revolusi dalam Yudaisme di mana masyarakat Kristen terlibat di dalamnya. Moses

menafsirkan Taurat secara bebas, tidak lagi sebagai hukum wajib, tetapi hanya

sebagai sumber inspirasi yang dapat diambil oleh semua orang. Mendelssohn juga

berkomitmen untuk melakukan sekularisasi pada ajaran Yahudi. Asimilasi yang

dilakukan akhirnya menyelamatkan kaum Yahudi dari serangan Kristen Eropa

selama Revolusi Perancis.

Terlihat secara nyata bahwa Revolusi industri bangsa Eropa yang

membawa pada kemajuan teknologi dihasilkan melalui usaha untuk mendamaikan

iman dan akal. Sedangkan kemajuan di kalangan umat Islam sebaliknya menuntut

diberlakukannya ajaran Islam secara murni.60

Fakta bahwa Islam adalah agama

dan bukan proyek sosial juga nampak dari keberhasilan historisnya. Sebagai

sebuah agama, Islam mampu beradaptasi pada masyarakat yang berbeda dari masa

ke masa. Menurut Amin, Islam merupakan bagian integral dari perubahan, baik

kemajuan dan kemunduran yang dialami masyarakatnya. Pengalaman ini berbeda

59 Ibid., pp. 44-45. 60 Ibid., pp. 50-51.

Page 53: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

41

dengan yang apa yang telah terjadi di dunia Kristen. Menurut Amin, Kristen tidak

diragukan lagi telah melakukan revolusi agama, bukan sekedar revolusi sosial.61

Secara umum Islam dibentuk oleh klaim historis bahwa Allah merupakan

penguasa sejati masyarakat. Prinsip hakimiyyah, (Allah adalah pembuat hukum)

diperkenalkan kembali oleh para fundamentalis Muslim. Selain itu, Islam

memiliki klaim yang kuat atas metode penafsiran Kitab Suci Al-Qur‟an. Sebuah

hal yang tidak dimiliki agama lain yang memberikan kekuatan bahwa sejak masa

Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul, kitab suci Al-Qur‟an tidak pernah

mengalami perubahan, bahkan penafsiran yang menyimpang. Oleh karena itu

upaya yang dilakukan untuk melakukan interpretasi ulang terhadap ayat-ayat Al-

Qur‟an menjadi sesuatu yang sangat dipertentangkan di kalangan ulama Muslim,

mengingat secara historis Al-Qur‟an tidak memiliki kecacatan sejarah seperti

kitab suci lainnya.

Secara umum anggapan bahwa hanya dengan melakukan re-interpretasi

ulang ajaran agama demi memperoleh kemajuan, tidak dapat diterapkan dalam

agama Islam. Hal ini terjadi ketika metafisika Islam berkembang pada masa

kekhilafahan Abbasiyah, jauh sebelum bangsa Eropa menuai hasil dari masa

pencerahan. Pada masa itu, peradaban dengan kekuatan teknologi kaum Muslim

telah tercipta. Mereka melakukan pengembangan teknologi dengan mendasarkan

semangatnya untuk menggali hikmah dari ayat-ayat Al-Qur‟an.

Hal yang berbeda dialami para ilmuwan Eropa di masa kegelapan. Mereka

wajib mengikuti kehendak gereja dalam memandang ilmu pengetahuan.

Celakanya mereka menemukan bahwa ada kesalahan Bible dalam memandang

sains, misalnya pada teori geosentris yang selama puluhan abad menjadi pegangan

pihak gereja. Kemudian Nicholaus Copernicus mengemukakan kembali teori

bahwa bumi bukan merupakan pusat tata surya, melainkan matahari sebagai

pusatnya. Penerusnya, Giordanou Bourno dibakar hidup-hidup dan Galileo Galilei

61Ibid., pp. 61.

Page 54: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

42

mengalami penyiksaan seumur hidup karena dianggap telah menyalahi kehendak

Tuhan.62

Keadaan ini secara tidak langsung menepis anggapan bahwa hanya dengan

menanggalkan ajaran agama, kemajuan sains akan diperoleh. Kesalahan ini

muncul dari prasangka bahwa hanya Barat yang dapat menciptakan modernitas,

sementara orang-orang Muslim terjebak dalam tradisi abadi yang membuat

mereka tidak mampu memahami pentingnya perubahan. Hal ini diperkuat dengan

argumen yang dikemukakan Weber bahwa hanya sekte Kristen Calvinis yang

mampu menghasilkan spirit kapitalisme.

Anggapan lain yang muncul adalah prinsip-prinsip Eurosentris yang

disematkan bahwa hanya dengan melalui jalur kapitalisme, kemajuan akan

diperoleh. Padahal semakin radikal revolusi borjuis yang terjadi pada masyarakat

kapitalisme, semakin kuat pula pernyataan sekularisme.63

Hal inilah yang

dinyatakan Amin sebagai periode kedua modernitas, yaitu sebuah periode dimana

karakter borjuis tercipta yang merupakan efek dari modernitas. Munculnya

kapitalisme dan modernitas merupakan dua aspek dari satu realitas yang sama.

Pada saat itu, Etika pada diri manusia menghilang dikarenakan prinsip bahwa

manusia merupakan satu-satunya penentu sejarah. Atas prinsip tersebut, mereka

berwenang untuk berperilaku seolah-olah berada di hutan, mereka tidak

bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan mereka.64

Globalisasi pengetahuan dan budaya Eurosentris juga secara terus-menerus

meneguhkan kembali pandangan Barat tentang dirinya sebagai pusat pengetahuan

legitimate, penentu apa saja yang digolongkan sebagai pengetahuan dan sumber

pengetahuan „beradab‟.65

Bangsa Eropa memaksakan nilai dan norma peradaban

mereka kepada orang-orang non-Eropa. Hal ini merujuk pada pola peradaban dan

62 Teori heliosentris menggantikan teori geosentris yang dipopulerkan filsuf selama

puluhan abad. Selama Renaissance, para ilmuwan Barat dan orang-orang yang dianggap

bertentangan dengan doktin gereja mengalami inquisisi atau inquision (penyiksaan). Bentuk

inquisisi tersebut terdiri dari pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh

manusia, pemotongan lidah, penghancuran kepala, pengebor vagina, dan lain-lain. Lih. Adian

Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta,

Gema Insani Press, 2005). 63Amin, Op.Cit., pp. 57. 64 Ibid., pp. 17. 65 Smith, Op.Cit., h. 85.

Page 55: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

43

nilai-nilai sekuler-humanis. Ketika memaksakan dirinya pada skala dunia,

kapitalisme juga telah menciptakan dua klaim universalisme, yaitu Pertama, pada

tingkat analisis ilmiah dan Kedua, pada tingkat elaborasi dari proyek ciptaan

manusia.66

Selain Wallerstein dan Samir Amin, Manuel Vargas, seorang ilmuwan dari

Amerika Latin juga mengkritik berkembangnya Eurosentrisme dan berupaya

membebaskan Amerika Latin dengan sebuah gagasan yang bernama Filsafat

Pembebasan. Menurutnya, filsafat pembebasan yang akan diusung juga harus

benar-benar terlepas dari pola filsafat yang mengandung unsur Eurosentris. Para

ilmuwan Amerika latin juga harus berupaya melepaskan diri dari dominasi

Eurosentrisme sejak masa kolonial. Eurosentrisme menurutnya juga memiliki

empat aspek, yaitu: dialektis, kontekstual, pedagogis, dan praktis.67

Pada periode sejak tahun 1945, kesadaran politik bangsa Asia dan Afrika

telah mempengaruhi dunia pengetahuan seperti halnya yang telah mempengaruhi

politik dari sistem dunia. Pada saat itu Eurosentrisme dari ilmu sosial telah

mengalami serangan yang parah. Serangan itu berlandaskan pada logika bahwa

jika ilmu sosial membawa kemajuan pada abad kedua puluh satu, ia harus

mengatasi warisan Eurosentris yang telah mendistorsi analisis dan kapasitasnya

dalam menangani masalah dunia kontemporer. Saat melakukan ini, komunitas

ilmuwan non-Barat harus berhati-hati dalam melihat bentuk Eurosentrisme,

karena sebagaimana diketahui, Eurosentrisme merupakan hidra raksasa yang

kepalanya memiliki banyak avatar. Jika ilmuwan tidak hati-hati, upaya untuk

melawannya dapat menjadi batu sandungan. Upaya dalam mengkritik

Eurosentrisme dengan tempat Eurosentris justru dapat memperkuat

cengkeramannya pada komunitas ilmuwan.68

Menurut Wallerstein, hingga kini terdapat klaim anti Eurosentrisme yang

merupakan serangan terhadap ide dasarnya. Serangan ini memiliki beberapa ciri,

yaitu: Pertama, bahwa apa pun yang dilakukan Eropa, peradaban lain juga dalam

66 Amin, Op.Cit., pp. 102. 67 Manuel Vargas, Eurocentrism and The Philosophy of Liberation, APA Newsletter on

Hispanic/Latino Issues No. 4 (2), 2005, pp. 8-17. 68 Wallerstein, Op.Cit., pp. 94.

Page 56: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

44

proses melakukan hal itu, sampai saat ketika Eropa menggunakan kekuatan

geopolitik untuk mengganggu proses di bagian dunia yang lain. Kedua, bahwa apa

yang Eropa lakukan tidak lebih dari kelanjutan dari apa yang orang lain sudah

lakukan untuk waktu yang lama, dan untuk sementara ini Eropa berdiri lebih ke

depan. Ketiga, bahwa Eropa memiliki konsekuensi berbahaya bagi ilmu

pengetahuan dan dunia politik.69

Namun menurut Wallerstein dua argumen pertama mengandung unsur

„anti-Eurosentrisme namun Eurosentris‟. Pandangan sejarah modern sangat

Eurosentris dalam anti-Eurosentrisme, karena ia menerima makna nilai dari Eropa

yaitu pengakuan atas sebuah „prestasi besar‟. Secara tidak langsung para ilmuwan

menerima klaim dari Barat dan berniat melakukan hal yang sama meskipun

dengan cara sedikit berbeda. Pendapat ini untuk beberapa alasan mungkin

disengaja oleh para ilmuwan Barat, karena hal ini dapat mengganggu

perkembangan masyarakat non-Barat. Pernyataan selanjutnya bahwa bukan hanya

orang Eropa yang dapat melakukan hal itu, juga mengandung bias Eurosentris.

Hal ini menurut Wallerstein merupakan pendapat yang lemah dalam menentang

Eurosentrisme, dan benar-benar memperkuat konsekuensi terburuk pemikiran

Eurosentris dalam pengetahuan sosial.70

Baris kedua oposisi terhadap Eurosentrisme adalah analisis yang

menyangkal bahwa ada sesuatu yang benar-benar baru dengan apa yang Eropa

lakukan. Argumen dimulai dengan menunjukkan sejarah pada Abad Pertengahan,

Eropa Barat berada dalam posisi marginal, perifer, wilayah lain benua Eurasia,

yang peran sejarah dan budayanya berada di bawah dunia lain seperti Arab atau

Cina. Hal ini tidak diragukan lagi merupakan sebuah kebenaran. Namun dalam

beberapa waktu berikutnya sebuah lompatan cepat dibuat oleh Eropa modern

dalam pembangunan struktur pengetahuan dunia. Menurut Wallerstein, pada

beberapa abad sebelum keterpurukannya, Eropa modern justru telah mempelajari

kebijaksanaan yang dapat diterapkannya secara sukses.71

69 Ibid., pp. 101-102. 70 Ibid., pp. 102. 71 Ibid., pp. 104.

Page 57: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

45

Selanjutnya Wallerstein menyatakan bahwa ilmuwan non-Barat harus

mulai mempertanyakan asumsi bahwa apa yang Eropa lakukan merupakan bentuk

prestasi yang positif. Menurutnya juga, ilmuwan harus pro-aktif dan melibatkan

diri dalam membuat pertimbangan hati-hati tentang peradaban kapitalis selama

sejarah hidupnya. Para ilmuwan non-Barat juga harus merenungkan dan menilai

apakah „plus‟ yang dihasilkan kapitalisme memang lebih besar daripada

„minusnya‟. Karena menurutnya sistem kapitalis bukan merupakan bukti atas

kemajuan manusia. Sebaliknya, dia menganggap bahwa sistem kapitalisme

merupakan gangguan dalam sejarah yang sangat eksploitatif.72

Selanjutnya Wallerstein menyatakan bahwa argumen ketiga lebih tepat

digunakan sebagai dasar pijakan dalam melawan Eurosentrisme.73

Dia juga lebih

memilih untuk mempertimbangkan kembali gagasan yang tidak universal dalam

doktrin universal yang muncul dari sistem sejarah dunia modern kapitalis.

Menurutnya, apa yang secara khusus ada dalam struktur pengetahuan modern

lebih merupakan konsep „dua budaya‟. Tidak ada sistem bersejarah lainnya yang

telah melembagakan perceraian antara ilmu pengetahuan dengan filsafat dan

humaniora. Setiap argumen yang memperkuat pemisahan ini dari dua budaya

merupakan penopang Eurosentrisme. Oleh karena itu, jika seseorang menyangkal

kekhususan dunia modern, mereka harus mempertimbangkan cara untuk

merekonstruksi struktur pengetahuan modern. Dalam dua puluh tahun terakhir ini,

legitimasi perceraian ilmu pengetahuan dan filsafat telah ditantang untuk pertama

kalinya secara signifikan. Gerakan ekologi, misalnya menjadi isu sentral yang

mendasari serangan umum terhadap Eurosentrisme.74

Lebih lanjut Enrique Dussel memberi beberapa cara yang dapat dilakukan

komunitas ilmuwan non-Barat dalam menghadapi Eurosentrisme. Menurutnya

kita harus kritis dengan tradisi intelektual pribumi yang selama ini telah

mengemuka.

1. Dussel tidak menyarankan suatu “wacana alternatif” karena menurutnya

dapat menyebabkan seseorang menganggap keberadaan lanjutan dari

72Ibid., pp. 105. 73Ibid., pp. 101. 74Ibid., pp. 106-107.

Page 58: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

46

wacana mainstream. Menurutnya lebih baik membayangkan wacana

plural, bukan alternatif.

2. Reorientasi serius perlu dilakukan terhadap pemikir yang bukan berasal

dari lembaga akademis budaya Eropa atau Amerika, tetapi berasal dari

daerah kita sendiri. Budaya meminjam tradisi akademik Barat harus secara

bertahap diganti dengan percaya diri dengan tradisi kita sendiri.

3. Sebagai latihan praktis, mendorong penulisan karya tanpa menggunakan

atau mengutip sumber buku Barat. Jika itu tidak mungkin dapat dilakukan

segera, kita dapat mengurangi tingkat kutipan dari para sarjana Barat dan

meningkatkan tingkat kutipan dari sarjana non-Barat. Lebih baik lagi,

mendorong siswa untuk menulis makalah tanpa mengacu pada sumber-

sumber yang tak akan ada habisnya.

4. Banyak kejelasan juga akan tersedia jika kita mendorong penggunaan yang

lebih ketat atau pelabelan atas ilmu-ilmu sosial. Gunakan kata-kata

“sosiologi Eropa” ketika membahas pekerjaan sosiologis dari Eropa atau

sosiologi Iran atau Islam atau sosiologi Amerika, dll, ketika membahas

yang lainnya. Ini akan membawa keseimbangan dan mengkonfirmasi

gagasan bahwa ethnoscience ilmu sosial Eropa, setara dengan

ethnosciences lainnya. Hal itu mungkin baik untuk Eropa, tapi tidak

berguna dan tidak berarti bagi kita.

5. Metodologi positivis Euro-Amerika yang berpengaruh pada ilmu sosial

harus dikritisi, bahkan ketika tidak diperlukan sama sekali dapat dilempar

keluar dari jendela. Hal ini penting menurut Dussel karena bertujuan agar

universitas sebagai pusat kreatif pengetahuan dapat dihormati. Universitas

harus dilihat bukan sekedar sebagai pusat untuk berinteraksi. Hal ini tidak

mengesampingkan penyebaran seluruhnya, atau konservasi pengetahuan

yang berguna dan valid, tapi merupakan kesadaran bahwa tindakan

penyebaran akan selalu membatasi pendekatan kreatif.

6. Metodologi penelitian harus menyertakan media dialog yang jauh lebih

beragam ketimbang ketergantungan hanya pada kuliah dan buku teks.

Buku teks di zaman kita adalah simbol dari degenerasi pengetahuan.

Page 59: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

47

Menurut Dussel, buku teks adalah bentuk kontribusi yang aneh dari

Universitas di era modern. Ketergantungan pada pengetahuan dalam buku

teks tidak dapat ditempatkan pada pijakan yang sama dengan teks yang

tertera dalam Al-Quran misalnya.

7. Perlu ada keseimbangan ilmuwan sosial Barat dalam melakukan penelitian

di Universitas pribumi. Gagasan mengenai penelitian paralel harus

disepakati agar peneliti kita dapat melakukan penelitian yang sama di

perguruan tinggi mereka pada struktur masyarakat berbeda.

8. Ilmuwan dapat menolak beberapa proposal yang hadir dan melakukan

perdebatan untuk menciptakan ilmu sosial Barat yang lebih “inklusif”.

Para ilmuwan dapat memasukkan fakta-fakta dari dunia non-Barat ke

dalam kerangka kerja di mana Barat terus mendominasi. Tindakan tersebut

tidak akan mengubah apa pun karena ilmuwan non-Barat tetap akan

meninggalkan suprastruktur secara utuh.75

Pemeriksaan kritis dilakukan pada kerangka teori yang ada dalam ilmu-

ilmu sosial yang diajarkan dan diteliti di berbagai perguruan tinggi dunia non-

Barat. Selain itu, diusulkan pula kekritisan tersebut bukan hanya didasarkan pada

isinya, tetapi juga berasal dari asumsi dan metodologi yang telah diimpor dari

tradisi akademis Eropa. Kritik atas Eurosentrisme dalam ilmu sosial diterima

dengan baik ketika keberanian atau tekad di kalangan akademisi di perguruan

tinggi non-Barat mengemuka. Para ilmuwan non-Barat juga harus siap untuk

keluar dari asumsi yang akan memungkinkan mereka melakukan penelitian di luar

kerangka keasyikan kepentingan akademis Barat.76

Para ilmuwan juga harus mempertimbangkan fakta bahwa World Report

Ilmu Sosial UNESCO pada tahun 2010 menyimpulkan bahwa untuk semua tujuan

praktis, penelitian ilmu sosial non-Eropa yang kwalitasnya sangat signifikan

ternyata jarang dikutip. Laporan tersebut misalnya menunjukkan bahwa Amerika

Utara mengutip nol penelitian dari kawasan Asia dan Afrika. Imperialisme politik

mungkin menemukan perlawanan sengit hari ini (Iran, Vietnam, Afghanistan, dan

75 Alvares, Op.Cit., pp. 80-81. 76Ibid., pp. 72.

Page 60: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

48

Mesir), tetapi ternyata imperialisme akademis belum memperoleh perlawanan

yang sepadan.77

Keadaan sebaliknya ditunjukkan pada fakultas di hampir semua

Universitas seluruh dunia. Seperti yang telah dijelaskan dalam subbab pertama

Bab II skripsi ini, mentalitas membebek (captive mind) justru dimiliki oleh

sebagian besar ilmuwan Negara non-Barat. Mereka bahkan menjadi sukarelawan

atau tanpa sadar terus membayar kehormatan pada tujuan dan metodologi ilmu

sosial yang berlaku di kalangan akademisi Barat. Output yang dihasilkan pada

hari ini bahkan terus-menerus mencerminkan keprihatinan dari sarjana Barat.

Sebagian besar ilmu sosial masa kini di Universitas-universitas non-Eropa tidak

lebih dari studi ceroboh untuk mengkaji kembali korpus pengetahuan sosiologis

yang telah mati. Padahal korpus ini dihasilkan dalam menanggapi persepsi Eropa

yang etnosentris selama beberapa abad.

Salah satu konsekuensi utama dari keadaan tersebut adalah efeknya pada

mahasiswa yang mendaftar di Universitas di berbagai negara. Mereka datang

untuk melihat standar yang ditentukan dalam program-program asing. Mereka

tidak berpikir tentang sistem pengetahuan warisan mereka atau makna yang

melekat pada unsur-unsur penting dari budaya mereka. Mereka dibentuk seperti

burung beo yang mengadopsi satu set kosa kata, slogan, kategori dan konsep-

konsep yang diberikan. Mereka juga belajar untuk dapat memuntahkan hal itu

kembali dengan percaya diri, ketika bertemu dengan para dosen dan professor di

perkuliahan. Kompetensi dan kepercayaan diri diperoleh oleh mereka dari

indokrinasi yang diterima secara tidak kritis. Akhirnya pada suatu kesempatan

ketika mereka menjadi seorang dosen, mereka akan kembali melestarikan sistem

pengetahuan yang sama. Seperti inilah budaya keilmuwan tercipta di Negara non-

Barat.

77Ibid., pp. 71.

Page 61: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

49

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah Teori Captive Mind yang pertama kali

dicetuskan oleh Syed Hussein Alatas tahun 1970-an dalam kaitannya dengan

gagasan alternatif terhadap Eurosentrisme yang merupakan teori dari Syed Farid

Alatas. Pada berbagai jurnal dan buku karya Syed Farid Alatas, terdapat berbagai

pemikiran yang mengkritik Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Setelah itu Syed

Farid Alatas menggagas diskursus alternatif dalam menghadapi ilmu pengetahuan

Eurosentris.

Waktu penelitian ini terhitung sejak bulan Januari hingga Juli 2014 dengan

perincian sebagai berikut:

Tabel 1

No Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7

1. Seminar Proposal Skripsi x

2. Revisi Proposal Skripsi x

3. Menyerahkan proposal skripsi ke

pembimbing x x

4. Bimbingan Bab I, Bab II, dan Bab

III x x x

5. Penelitian x x x x x

6. Bimbingan Bab IV dan Bab V x x x

7. Ujian Referensi x

Rincian Proses Pembuatan Skripsi

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka (library

research). Menurut Mary W. George dalam buku The Elements of Library

Research sebagaimana dikutip Kania, penelitian pustaka adalah penelitian yang

Page 62: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

50

melibatkan pengidentifikasian dan pengalokasian sumber-sumber yang

menyediakan informasi faktual atau pendapat pakar berkaitan dengan pertanyaan

penelitian.1

Menurut Moh. Nazir dalam buku Metode Penelitian, menelusuri literatur

yang ada serta menelaahnya secara tekun merupakan kerja kepustakaan yang

sangat diperlukan dalam mengerjakan penelitian.2 Survei terhadap data yang telah

ada dapat dikerjakan sebelum atau setelah masalah penelitian dipilih. Setelah itu

Moh. Nazir menyatakan bahwa:

Dengan mengadakan survei terhadap data yang telah ada, si

peneliti bertugas menggali teori-teori yang telah berkembang dalam

bidang ilmu yang berkepentingan, mencari metode-metode serta teknik

penelitian, baik dalam mengumpulkan data atau dalam menganalisis data

yang pernah digunakan oleh peneliti-peneliti terdahulu; memperoleh

orientasi yang lebih luas dalam permasalahan yang dipilih, serta

menghindari terjadinya duplikasi-duplikasi yang tidak diinginkan.3

Sebelum menelusuri literatur serta menelaah studi yang ada pada

Perpustakaan, peneliti harus mengenal perpustakaan secara baik. Pengenalan ini

dimaksudkan agar peneliti mudah dalam proses selanjutnya. Pengenalan ini

menurut Nazir termasuk dalam sistem pelayanan, sistem penyusunan literatur, dan

klasifikasi buku yang dianut perpustakaan tersebut.4

Sumber utama dalam perpustakaan terdiri dari kartu katalog perpustakaan,

dan buku referensi. Katalog perpustakaan berisi nama pengarang, judul publikasi,

edisi, kota terbit, nama penerbit, tahun, koleksi, dan anotasi. Sedangkan buku

referensi adalah petunjuk informasi dalam bahan bacaan. Referensi berasal dari

bahasa Inggris, reference yang berasal dari to refer, yang berarti menunjuk pada

bacaan tertentu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia referensi memiliki tiga definisi

yaitu: (1) Sumber acuan (rujukan petunjuk); (2) Buku-buku yang dianjurkan oleh

1 Dinar Kania Dewi, “Studi Komparatif Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan

Syed Muhammad Naquib Al-Attas,” Disertasi pada Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Bogor, 2012, h. 1-7, tidak dipublikasikan.Dinar Kania, Op.Cit., h. 73.

2 Moh. Nazir, Metode Penelitian Cet. Ketujuh, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 93. 3 Ibid.. 4 Ibid., h. 93-94.

Page 63: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

51

dosen kepada mahasiswanya untuk dibaca; dan (3) Buku-buku perpustakaan yang

tidak boleh dibawa ke luar, harus dibaca di tempat yang telah disediakan.5

Selain buku referensi, digunakan sumber-sumber seperti:

1. Buku teks (text book) yang merupakan tulisan ilmiah yang diterbitkan

dalam interval waktu yang tidak menentu.

2. Jurnal adalah majalah ilmiah yang berisi tulisan ilmiah atau hasil seminar

yang diterbitkan Himpunan Profesi Ilmiah.

3. Periodikal yang merupakan majalah ilmiah yang diterbitkan secara berkala

oleh lembaga yang berisi penelitian yang dikerjakan.

4. Buletin adalah tulisan ilmiah pendek yang terbit secara berkala berisi

catatan-catatan ilmiah atau petunjuk-petunjuk ilmiah tentang suatu

kegiatan operasional.

5. Bibliografi adalah buku yang berisi judul-judul artikel yang membahas

bidang ilmu tertentu.

Setidaknya ada empat ciri utama penelitian kepustakaan yang perlu

diperhatikan oleh mahasiswa atau calon peneliti dan keempat ciri itu akan

mempengaruhi sifat dan cara kerja penelitian yaitu:6

1. Peneliti berhadapan langsung dengan teks atau data angka dan bukan

dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata (eye witness)

berupa kejadian, orang, atau benda lainnya. Teks memiliki sifat-sifatnya

sendiri dan memerlukan pendekatan tersendiri pula. Kritik teks merupakan

metode yang biasa dikembangkan dalam studi fisiologi. Jadi perpustakaan

adalah laboratorium peneliti kepustakaan dan oleh karena itu teknik

membaca teks (buku, artikel, dan dokumen) menjadi bagian yang

fundamental dalam penelitian kepustakaan.

2. Data pustaka bersifat siap pakai (ready mode): peneliti tidak kemana-mana

kecuali hanya berhadapan langsung dengan bahan sumber yang sudah

tersedia di perpustakaan. Seperti orang belajar naik sepeda, orang tak perlu

membaca buku artikel atau buku tentang bagaimana teori naik sepeda,

5 Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1183. 6 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2008), h. 4-5.

Page 64: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

52

begitu pula halnya dengan riset pustaka. Untuk melakukan riset pustaka,

orang tidak perlu menguasai ilmu perpustakaan. Satu-satunya cara untuk

belajar menggunakan perpustakaan dengan tepat ialah langsung

menggunakannya. Meskipun demikian, calon peneliti yang ingin

memanfaatkan jasa perpustakaan, tentu masih perlu mengenal seluk-beluk

studi perpustakaan untuk kepentingan penelitian atau pembuatan makalah.

3. Data perpustakaan umumnya sumber sekunder artinya: bahwa peneliti

memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan

pertama di lapangan.

4. Bahwa kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Peneliti

berhadapan dengan info statis: tetap artinya kapanpun ia datang dan pergi

data tersebut tidak akan berubah karena ia sudah merupakan data “mati”

yang tersimpan dalam rekaman tertulis (teks, angka, gambar, rekaman tape

atau film).

Jika digolongkan menurut asal sumbernya, Data dapat dibagi menjadi dua,

yaitu:7

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari lembaga atau institusi

tertentu.

Data primer dalam penelitian ini adalah karya-karya yang ditulis oleh Syed

Farid Alatas, terutama dalam buku Alternative Discourses in Asian Social

Science: Responses to Eurocentrism atau Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial

Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme, serta berbagai jurnal terkait. Beberapa

karya dari Syed Farid Alatas atau pakar-pakar lain turut memperkaya skripsi ini.

Literatur disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan teori Captive mind,

Eurosentrisme dalam sosiologi digunakan sebagai sumber pelengkap. Penelitian

ini merupakan interpretasi terhadap berbagai bacaan tersebut.

Syahrin Harahap, dalam bukunya yang berjudul Metodologi Studi Tokoh

Pemikiran Islam, mengkategorikan jenis penelitian ini sebagai studi tokoh. Hal ini

7 Bagong Suyanto dan Sutinah, Ed, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Prenada Media

Group, 2011), h. 55.

Page 65: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

53

dikarenakan studi tokoh merupakan pengkajian secara sistematis pemikiran atau

gagasan seseorang. Pengkajian tersebut meliputi latar belakang internal, eksternal,

pengembangan pemikiran, kekuatan pemikiran, kontribusi bagi jamannya dan

jaman sesudahnya. Studi tokoh juga tidak hanya dilakukan pada seorang tokoh

yang telah meninggal, namun dapat juga dikaji pada tokoh yang masih hidup.8

C. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan seorang

peneliti untuk mencapai tujuan penelitian. Menurut Kania, kegiatan tersebut

terdiri dari lima tahapan, yaitu: pembuatan rancangan penelitian, pengumpulan

data, pembacaan dan kategorisasi data, interpretasi dan analisis data, serta

penulisan laporan penelitian.9

1. Pembuatan Rancangan Penelitian

Pada tahapan ini dilakukan pembuatan proposal penelitian yang mencakup

latar belakang, perumusan masalah, menentukan tujuan dan kegunaan

hasil penelitian, pengumpulan data awal, serta metodologi yang digunakan

dalam penelitian guna menjawab masalah yang diajukan.

2. Pengumpulan Data

Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data primer maupun sekunder.

Data primer berasal dari buku maupun jurnal yang ditulis Syed Farid

Alatas. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pengumpulan data yang

terkait dengan topic penelitian mengenai alternatif terhadap Eurosentrisme

dalam Ilmu Sosiologi, dan mengenai teori captive mind.

3. Pembacaan dan Kategorisasi Data

Membaca dan mencatat informasi merupakan bagian yang penting dalam

studi kepustakaan.10

Data yang ditemukan dari berbagai sumber

dikumpulkan dan dipahami secara mendalam untuk menemukan

pemikiran atau gagasan sesuai topik yang diajukan. Setelah itu data

8 Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, (Jakarta: Prenada Media

Group, 2011), h. 6-8. 9 Kania, Op.Cit., h. 81-82. 10 Nazir, Op.Cit., h. 103.

Page 66: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

54

dikategorikan dalam topik yang lebih khusus atau kategori-kategori

sehingga akan memudahkan proses interpretasi dan analisis data.11

4. Interpretasi dan Analisis Data

Pada tahap ini peneliti menganalisa temuan dengan melakukan

interpretasi. Interpretasi merupakan metode yang digunakan untuk

mencapai pemahaman yang benar mengenai fakta, data, dan gejala analisis

kritis deskriptif. Interpretasi merupakan landasan bagi hermeneutika.

5. Penulisan Laporan Penelitian

Laporan penelitian ditulis setelah tahapan demi tahapan dilalui dalam

proses penelitian. Laporan ditulis berdasarkan standar penulisan karya

ilmiah pada jenjang Sarjana di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

Jakarta.

11 Kania, Op.Cit., h. 82.

Page 67: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

55

BAB IV

KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN ALTERNATIF

TERHADAP EUROSENTRISME DALAM SOSIOLOGI

A. Konsep Captive Mind Syed Hussein Alatas dan Kaitannya dengan

Konsep Kebergantungan Akademik Syed Farid Alatas

1. Biografi Singkat Syed Farid Alatas

Syed Farid Alatas merupakan seorang tokoh sosiologi kontemporer yang

ahli dalam bidang sejarah sosiologi, sosiologi sebagai ilmu sosial, sosiologi

agama, dan dialog antar agama. Syed Farid Alatas juga merupakan penulis yang

aktif dalam menghimpun gagasan tokoh-tokoh ilmu sosial Dunia Ketiga. Gagasan

yang dihimpunnya tersebut terdapat dalam berbagai karyanya. Karya-karya yang

dihasilkannya selama dua puluh tahun belakangan, kaya dengan diskursus

alternatif untuk membebaskan ilmu sosial dari belenggu Eurosentrisme dan

Orientalisme.

Syed Farid Alatas ibn Hussein Alatas lahir pada tanggal 29 Juni 1961 di

Belanda pada saat ayahnya masih menempuh studi. Ayahnya merupakan sosiolog

besar Melayu yang lahir di Bogor, Jawa Barat, yaitu Syed Hussein Alatas, dan

ibunya Datin Zaharah Alatas, dikenal sebagai ibu rumah tangga yang peduli

terhadap masalah lingkungan. Syed Farid Alatas merupakan anak sulung yang

memiliki dua orang adik perempuan yang bernama Datin Sharifah Munirah dan

Sharifah Mastura. Kakeknya dari pihak ayah bernama Syed Ali al-Attas yang

merupakan keturunan bangsawan di kesultanan Johor, Malaysia. Sedangkan

neneknya Sharifah Raquan al-„Aydarus, merupakan keturunan Raja Sunda dari

Sukapura.

Nenek buyutnya Ruqayah Hanum, berasal dari Kaukasia, wilayah utara

Turki yang kini disebut Georgia (Rusia). Ruqayah Hanum merupakan salah satu

wanita yang dihadiahkan sultan Turki Utsmani kepada Abu Bakar Alkhalil

Ibrahim Shah, sultan Johor yang pertama. Sultan Abu Bakar kemudian menikah

dengan Khadijah Hanum, sedangkan Ruqayah Hanum dinikahkan dengan

Page 68: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

56

adiknya, Ungku Abdul Majid.1 Selain itu dia juga memiliki seorang buyut yang

bernama Muhsin bin Muhammad al-Attas yang merupakan ulama yang tidak

hanya dikenal di Nusantara, melainkan juga di jazirah Arab. Muhsin bin

Muhammad al-Attas datang dari Yaman mendakwahkan Islam ke Nusantara di

sekitar Pekalongan, Bogor, dan Johor.

Selain dikenal sebagai keturunan ulama dan pemimpin, Syed Farid Alatas

juga merupakan habaib (keturunan Rasulullah) ke-38 dari jalur Imam Ahmad.

Silsilah keluarganya dapat dilacak melalui silsilah sayyid dalam keluarga

Ba‟Alawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai pada Imam Hussein, cucu

Nabi Muhammad SAW.

Syed Farid Alatas juga merupakan keponakan dari Syed Muhammad

Naquib (S.M.N) Al-Attas, seorang pakar dalam berbagai disiplin ilmu seperti

teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, serta sastra. S.M.N Al-Attas merupakan

pendiri International Institute of Islamic Tought and Civilization (ISTAC) di

Malaysia. Seperti kakaknya Syed Hussein Alatas, S.M.N. Alatas juga merupakan

seorang penulis yang produktif dan otoritatif dalam berbagai bidang keilmuwan.

Hingga kini S.M.N Al-Attas telah menghasilkan 27 buah buku, 400 makalah pada

seminar di seluruh dunia, dan puluhan jurnal lainnya.2 Karya yang dihasilkannya

seputar epistemologi pendidikan Islam, metafisika Islam, hingga rekonstruksi

sejarah Nusantara yang bias Orientalisme dan Eurosentrisme.

Secara umum Syed Hussein Alatas dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas

terkenal berkat sumbangannya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kedua

ilmuwan ini juga dikenal jeli dalam memandang persoalan keterpurukan Negara-

negara Dunia Ketiga yang disebabkan pengadopsian pengetahuan Barat yang sarat

nilai tertentu tanpa sikap kritis. Mereka tanpa ragu membongkar akar kerusakan

peradaban Barat, dan berupaya membentuk ilmu sosial otonom bagi bangsa Non-

1 Abd Jalil Borham, Pengaruh Khilafah Othmaniyyah Turki Dalam Pentadbiran Kerajaan

Johor Bagi Memartabatkan Sebuah Negara Islam Merdeka Di Asia Tenggara, Makalah pada

Simposium Isu-Isu Sejarah dan Tamadun Islam (SISTI 2011) Peringkat Kebangsaaan di Sudut

Wacana ATMA, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor pada 8-10 April, 2011.

http://umpir.ump.edu.my/3355/1/JOHOR_TURKI.pdf 2 Dinar Kania Dewi, “Studi Komparatif Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan

Syed Muhammad Naquib Al-Attas,” Disertasi pada Program Doktor Pendidikan Islam Universitas

Ibn Khaldun Bogor, Bogor, 2012, h. 105, tidak dipublikasikan.

Page 69: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

57

Barat. Mereka berdua juga merupakan pakar sejarah Nusantara. Gagasan yang

dikemukakan Syed Hussein Alatas kemudian hadir dalam beberapa jurnalnya

yang secara langsung mengkritik mentalitas membebek dari kalangan ilmuwan

dunia ketiga. Gejala mental ini disebutnya sebagai keterbelengguan pikiran

(captive mind). Selanjutnya Syed Hussein Alatas menyerukan agar para ilmuwan

keluar dari imperialisme akademis tersebut dan memberi gagasan alternatif

dengan ilmu sosial otonom bagi bangsa Non-Barat.

Sedangkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas merupakan seorang

ilmuwan kontemporer yang menghasilkan karya besar dalam metafisika Islam.

S.M.N. Al-Attas juga melakukan analisa mendalam tentang kemunduran yang

dialami umat Islam.3 Berdasarkan analisa Wan Muhammad Nor Wan Daud,

setidaknya Al-Attas menyumbangkan tiga pemikiran besar yang akan

mempengaruhi perjalanan sejarah Muslim, diantaranya adalah Pertama, masalah

terpenting yang dihadapi oleh umat Islam kini ialah masalah ilmu pengetahuan;

kedua, ilmu pengetahuan modern tidak netral karena dipengaruhi oleh pandangan

keagamaan, kebudayaan, dan filsafat yang mencerminkan kesadaran dan

pengalaman Barat; dan ketiga, umat Islam perlu mengislamkan ilmu pengetahuan

masa ini dengan mengislamkan simbol-simbol linguistik tentang hakikat dan

kebenaran.4 Al-Attas juga menyatakan bahwa seorang Muslim harus memiliki

pandangan alam (worldview) seorang Muslim, agar dapat melihat fenomena da

noumena secara utuh.

Lebih lanjut, Syed Farid Alatas mengakui bahwa kepakaran dan

ketokohannya dalam disiplin ilmu sosial tidak terlepas dari pengaruh latar

belakang keluarganya. Sejak awal proses pendidikannya, bakat intelektual secara

turun menurun tumbuh kepada Syed Farid Alatas dari kedua ilmuwan tersebut.

Menurut Alatas, penanaman intelektualitas dari sang ayah telah diperolehnya

sejak dini. Syed Hussein Alatas memberi pemahaman yang mendalam tentang

betapa seriusnya masalah peniruan dan benak terbelenggu (captive mind) dalam

berbagai bidang keilmuwan Dunia Ketiga. Pada saat itulah terbentuk

3 Ibid., h. 104. 4 Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Satu

Huraian Konsep Asli Islamisasi. h. 259.

Page 70: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

58

ketidaksukaan Alatas terhadap mentalitas membebek yang ada pada kebanyakan

ilmuwan.5

Pengaruh pemikiran ayahnya terlihat dalam berbagai karya yang

dihasilkannya. Alatas sering mengangkat kembali teori captive mind yang

dicetuskan oleh ayahnya. Pemikirannya juga terlihat sejalan dengan ayahnya

dalam memandang persoalan ilmu sosial. Namun disatu sisi, Alatas juga

melakukan pengembangan terhadap karya ayahnya tersebut dengan melakukan

riset ke berbagai negara Dunia Ketiga, guna mencari berbagai pemikiran ulayat

yang berkembang dikalangan ilmuwan non Barat. Selanjutnya pemikiran yang

berupaya lepas dari fenomena Orientalisme dan Eurosentrisme tersebut dihimpun

ke dalam gagasan yang bernama diskursus alternatif.

Pengaruh intelektual dari pamannya dapat pula terlihat dalam karya Syed

Farid Alatas. Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebelum terbitnya karya Edward

Said mengenai Orientalisme, telah lama menjelaskan masalah Orientalisme yang

mendasari studi Islam di dalam dunia Melayu Asia Tenggara dan di Luarnya. Al-

Attas selanjutnya memperkenalkan gagasan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” yang

berpengaruh dalam filsafat kontemporer. Al-Attas juga berupaya melepaskan

historiografi ranah Melayu dari tangan kolonialis.

Karya-karya dan pengaruh kedua ilmuwan ini selanjutnya mempengaruhi

berbagai makalah, buku, dan karya lainnya yang ditulis oleh Syed Farid Alatas.

Karya-karya ini menjadi jembatan awal bagi upaya melepaskan dominasi

pengetahuan Barat dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk sosiologi.

Berbagai karya ini berupaya membongkar kerusakan epistemologi ilmu

pengetahuan yang diterapkan atau diadopsi negara Dunia Ketiga dalam berbagai

disiplin ilmu tersebut.

Alatas memfokuskan dirinya pada analisa mengenai teori Ibn Khaldun dan

Jose Rizal. Pengaruh intelektual Syed Hussein Alatas hadir ketika Alatas

mengkaji tentang teori Rizal. Sebagaimana diketahui, dalam satu buah bab

khusus, Syed Hussein Alatas pernah membahas pemikiran Rizal mengenai stigma

5 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap

Eurosentrisme, (Bandung: Mizan, 2010), h. ix.

Page 71: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

59

pribumi malas yang disematkan para pelancong, penjajah dari Barat sejak abad

ke-16. Mengutip pendapat Rizal, Alatas menyatakan bahwa hal tersebut

merupakan sebuah kekeliruan dan kebutaan terhadap konteks masyarakat lokal.

Kini Alatas menjadi Kepala Departemen Studi Melayu dan Associate

Professor di Departemen Sosiologi di National University of Singapore.6 Di NUS

Alatas mengajar sejak tahun 1992. Sebelumnya Alatas mengajar di Departemen

Kajian Asia Tenggara, University of Malaya sejak tahun 1989 sampai dengan

tahun 1992. Hingga saat ini Alatas masih bekerja pula di komite eksekutif

Asosiasi Sosiologi Internasional United Nation Educational, Scientific, and

Cultural Organization (UNESCO).

Alatas meraih gelar Doktornya dalam bidang Sosiologi dari John Hopkins

University pada tahun 1991. Disertasinya mengambil penelitian di Malaysia dan

Indonesia dengan judul The Rise of Democratic and Authoritarian POST - States:

the Case of Indonesia and Malaysia. Disertasi ini kemudian diterbitkan ulang

menjadi sebuah buku oleh Palgrave Macmillan dengan judul Democracy and

Authoritarianism in Indonesia and Malaysia: The Rise of The Post-colonial State.

Kerangka teori dari disertasinya didasarkan pada studi sejarah munculnya

kekuatan-kekuatan kelas dominan yang membentuk rezim di Malaysia dan

Indonesia. Sebagaimana diketahui, keduanya muncul sebagai negara pasca-

kolonial yang demokratis. Namun, di Indonesia proses demokrasi justru

dihentikan sama sekali setelah satu dekade kemerdekaan diperoleh. Pada saat itu

bentuk negara otoriter muncul. Berbeda dengan di Indonesia, Alatas menyebut

bahwa Malaysia justru masih mempertahankan fungsi sistem demokrasi pada

struktur Negaranya. Arti penting dari studi ini terletak pada kenyataan bahwa

belum ada pekerjaan komparatif yang dilakukan ilmuwan pada negara bagian di

Malaysia dan Indonesia. Selain itu, beberapa karya tentang keadaan di kedua

negara cenderung berfokus pada isu-isu yang tidak secara langsung terkait dengan

pertanyaan tentang asal-usul negara pasca-kolonial. Awal kemunculan demokrasi

di negara-negara pasca-kolonial tidak dijelaskan sepenuhnya.

6 On the Future of Islamic Intellectualism: Interview with Dr. Syed Farid Al Attas. Artikel

ini diakses pada tanggal 16 Januari 2014. http://www.interactive.net.in/node/30.

Page 72: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

60

Selanjutnya di NUS, Alatas kemudian meraih gelar professor berkat

berbagai karyanya dalam bidang ilmu sosial termasuk sosiologi. Alatas tercatat

telah menerbitkan berbagai buku dan menulis secara luas dalam jurnal

internasional. Berbagai buku yang telah dihasilkan diantaranya adalah:

Democracy and Authoritarianism in Indonesia and Malaysia: The Rise of The

Colonial States tahun 1997, seperti yang telah disebutkan. Alternative Discourses

in Asian Social Science: Responses to Eurosentrism (2006). Alatas juga menjadi

editor dalam Asian Inter-Faith Dialogue: Perspektive of Religion, Education and

Social Cohesion (2003) dan jurnal Asian Anthropology (2005). Karya-karya

ilmiah Alatas juga telah dipublikasikan dalam berbagai jurnal terkemuka di

seluruh dunia, seperti Current Sociology, Teaching Sociology, Antropologi

Indonesia, The European Legacy, American Studies International, dan lain-lain.

Kini, Syed Farid Alatas menetap di Singapura bersama tiga orang anaknya

yang bernama Syed Imad Alatas, Sharifah Afra Alatas, dan Syed Ubaidillah

Alatas serta istrinya. Istri Alatas merupakan seorang wanita keturunan Iran yang

bernama Mojgan Shavarebi. Mojgan Shavarebi juga dikenal aktif sebagai

penerjemah bahasa Persia ke bahasa Inggris.

2. Karya Akademik Syed Farid Alatas

Berdasarkan sumber Google Cendekia Juni 2014, ditemukan lebih dari 100

karya Alatas yang tercakup dalam buku, jurnal, dan lainnya. Buku yang

dihasilkannya adalah sebagai berikut:

Tabel 2

No. Judul Buku Nama Penerbit Tahun

Terbit

1. Applying Ibn Khaldūn: The Recovery of a Lost

Tradition in Sociology

Routledge 2014

2. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia:

Tanggapan terhadap Eurosentrisme

Mizan 2010

3. A Special Issue on Globalization and Religious

Resurgence: Asian Responses

Blackwell 2007

4. Alternative Discourses in Asian Social Science:

Responses to Eurocentrism

Sage 2006

Page 73: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

61

5. Islam, Democratization and Civil Society in

Indonesia and Malaysia

University of

Hong Kong

2002

6. The Rhetorics of Social Science in Developing

Societies

Centre for

Advanced Studies

1998

7. Democracy and Authoritarianism in Indonesia and

Malaysia: The Rise of the Post-colonial State

Palgrave

Macmillan

1997

8. Keadaan Sosiologi Masyarakat Melayu

Association of

Muslim

Professionals

1997

9. The Post-colonial State: Dual Functions in the

Public Sphere

Department of

Sociology, NUS

1994

10. The Status of Feminist Theory in Malaysia, Universiti Sains

Malaysia

1994

11. Some Problems of Indigenization

Department of

Sociology, NUS

1992

12. The Rise of Democratic and Authoritarian Post-

Colonial States: The Cases of Indonesia and

Malaysia (thesis Ph.D)

John Hopkins

University

1991

13. Ibn Khaldun and the Ottoman Modes of

Production

Blackwell 1990

Buku yang dihasilkan Syed Farid Alatas

Sementara itu makalah yang diterbitkan dalam berbagai jurnal karya Syed

Farid Alatas adalah sebagai berikut:

Tabel 3

No. Judul Makalah Nama Jurnal Tahun

Terbit

1. Ibn Khaldun and the Good Madina Islam and Civilisational

Renewal (ICR) 4 (4)

2013

2. Is Religious Intolerance Going

Mainstream in Indonesia?

Global Asia 8 (4), 40-43 2013

3. Paper Prophethood, the Ahl al-Bayt and

the Ideal of Excellence in Nursi‟s

Thought, P Alatas, S Farid

International Bediüzzaman

Symposium Papers

(English)

2013

4. Ibn Khaldūn The Wiley-Blackwell

Companion to Major

Social Theorists: Classical

2011

Page 74: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

62

Social

5. La Convocatoria Hacia los Discursos

Alternativos en las Ciencias Sociales de

Asia

Informe Sobre las Ciencias

Sociales en el Mundo, 177

2011

6. On Eurocentrism and Laziness: The

Thought of José Rizal

Global Asia 6 (1), 96-100 2011

7. Teaching Social Theory as Alternative

Discourse

Economic and Political

Weekly 46, 48-54

2011

8. 16 The Definition and Types of

Alternative Discourses

De-Westernizing

Communication Research:

Altering Questions and

Changing

2010

9. A definição e os Tipos de Discursos

Alternativos

Revista Estudos Históricos

23 (46), 225-245

2010

10. Academic Dependency in the Social

Sciences: Structural Reality and

Intellectual Challenges, SF Alatas, K

Sinha-Kerkhoff

Delhi: Manohar 2010

11. Intellectual and Structural Challenges to

Academic Dependency

Academic Dependency in

the Social Sciences, 333

2010

12. Rejecting Islamism and the Need for

Concepts from Within the Islamic

Tradition

Islamism: Contested

Perspectives on Political

Islam, 87-92

2010

13. Religion and Reform: Two Exemplars for

Autonomous Sociology in the Non-

Western Context

The ISA Handbook of

Diverse Sociological

Traditions, 29

2010

14. The Call for Alternative Discourses in

Asian Social Sciences

World Social Science

Report: Knowledge

Divides (pp. 171Á172)

Paris: (UNESCO)

2010

15. The Definition and Types of Alternative

Discourse

Estudos Históricos (Rio de

Janeiro) 23 (46), 225-245

2010

16. The Definition and Types of Alternative

Discourses, w: Burawoy

Chang, Fei-yu Hsieh (red.)

2, 139-157

2010

17. An Agenda for Nursi Studies: Towards

the Construction of a Social Theology

Asian Journal of Social

Science 38 (4), 523-531

2010

18. 9 Ideology and Utopia in the Discourse

on Civil Society in Indonesia and

Malaysia

Islam and Politics in

Southeast Asia, 165

2009

19. A World of Anthropologies: Paradigms Asian Journal of Social 2008

Page 75: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

63

and Challenges for the Coming Century,

J Van Bremen, E Ben-Ari, SF Alatas, S

Yamashita, J Bosco, JS Eades

Science 36, 121-127

20. Contemporary Muslim Revival: The Case

of “Protestant Islam”

The Muslim World 97 (3),

508-520

2007

21. The Historical Sociology of Muslim

Societies Khaldunian Applications

International Sociology 22

(3), 267-288

2007

22. The Role of Human Sciences in the

Dialogue Among Civilizations

East Meets West:

Civilizational Encounters

and the Spirit of

Capitalism in East Asia

2007

23. Paper Justice, Balance and the Social

Order in the Thought of Bediuzzaman

Said Nursi P ALATAS, S Farid

International Bediüzzaman

Symposium Papers

(English)

2007

24. A Khaldunian Exemplar for a Historical

Sociology for the South

Current Sociology 54 (3),

397-411

2006

25. Editorial Introduction: The Idea of

Autonomous Sociology Reflections on

the State of the Discipline

Current Sociology 54 (1),

5-6

2006

26. Eurocentrism and the Need to Rethink

the Teaching of the Social Sciences

Forum Komunikasi 6 (1),

124-129

2006

27. From Jāmi'ah to University

Multiculturalism and Christian–Muslim

Dialogue

Current Sociology 54 (1),

112-132

2006

28. Ibn Khaldun and Contemporary

Sociology

International sociology 21

(6), 782

2006

29. Islam and the Science of Economics The Blackwell Companion

to Contemporary Islamic

Thought, 587-606

2006

30. Knowledge and Education in Islam,

Secularism and Spirituality: Seeking

Integrated Knowledge and Success in

Madrasah Education in Singapore

2006

31. This is a List of Books Received for

Review by Sociology between May and

June 2006, SF Alatas, S Alladi

Venkatesh, R Kassimir, E Barman, L

Biggs

SAGE 40 (6), 1229-1233 2006

32. Asian Anthropology, E Ben-Ari, J van

Bremen, SF Alatas

Routledge 2005

Page 76: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

64

33 Covering Islam: Challenges and

Opportunities for Media in the Global

Village

Centre for Research on

Islamic and Malay Affairs

2005

34. Ideology and Utopia in the Thought of

Syed Shaykh Al-Hady

Faculty of Arts and Social

Sciences, Department of

Sociology, NUS

2005

35. Is Objective Reporting on Islam

Possible? Contextualizing the Demon

Covering Islam:

Challenges and

Opportunities for Media in

the Global Village, 41

2005

36. Islam and Modernization, Islam in

Southeast Asia: Political, Social and

Strategic Challenges for the Challenges

for the 21st Century

Singapore: Institute of

Southeast Asian Studies

2005

37. The „Alawiyyah Tariqah: A Preliminary

Outline

JCAS Symposium Series,

225-247

2005

38. 11 Indigenization

Asian Anthropology, 227 2004

39. Asian Anthropology

Routledge 2004

40. The Meaning of Alternative Discourses:

Illustrations from Southeast Asia

Asia in Europe. Europe in

Asia, 57-78

2004

41. Paper Islam and Dialogue Among

Civilizations: Prerequisites and

Preparations, P ALATAS, S Farid

International Bediüzzaman

Symposium Papers

(English)

2004

42. Academic Dependency and the Global

Division of Labour in the Social Sciences

Current Sociology 51 (6),

599-613

2003

43. Anthropology, Sociology, and Other

Dubious Disciplines 1: Immanuel

Wallerstein, Syed Farid Alatas, Christoph

Brumann, Craig Calhoun, John R Hall,

TN Madan

Current Anthropology 44

(4), 453-465

2003

44. Asian Interfaith Dialogue: Perspectives

on Religion, Education and Social

Cohesion, SF Alatas, LT Ghee, K Kuroda

Centre for Research on

Islamic and Malay Affairs

and the World Bank

2003

45. India and the Future of the Human

Sciences in Asia

Emerging Asia:

Challenges for India and

Singapore, Delhi:

Manohar, 157-167

2003

46. Islamic Education and Multiculturalism: International Workshop on 2003

Page 77: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

65

the Origins of the Modern University Multicultural Education in

Southeast Asian Nations:

Sharing Experiences,

University of Indonesia,

Depok.

47. Pengkajian Ilmu-Ilmu Sosial: Menuju ke

Pembentukan Konsep Tepat

Antropologi Indonesia 72,

1-23

2003

48. Eurocentrism and the Role of the Human

Sciences in the Dialogue Among

Civilizations

The European Legacy 7

(6), 759-770

2002

49. Sociology of the Malays The Making of Singapore

Sociology: Society and

State, 289-319

2002

50. The Development of an Autonomous

Social Science Tradition in Asia:

Problems and Prospects

Asian Journal of Social

Science 30 (1), 150-157

2002

51. 15 The Idea of Alternative Discourses New Horizons in

Sociological Theory and

Research: the Frontiers of

Sociology.

2001

52. Alternative Discourses in Southeast Asia

Sari 19, 49-67 2001

53. Introduction to the Political Economy of

Ibn Khaldun

The Islamic Quarterly 45

(4), 307-324

2001

54. Islam, Ilmu-Ilmu Sosial, dan Masyarakat

Sipil

Antropologi Indonesia 66,

13-22

2001

55. Reflections on Alternative Discourses

from Southeast Asia

Singapore: Center for

Advanced Studies and

Pagesetters Service Pte

2001

56. Teaching Classical Sociological Theory

in Singapore: The Context of

Eurocentrism

Teaching Sociology, 316-

331

2001

57. The Study of the Social Sciences in

Developing Societies: Towards an

Adequate Conceptualization of

Relevance

Current Sociology 49 (2),

1-19

2001

58. Academic Dependency in the Social

Sciences: Reflections on India and

Malaysia

American Studies

International, 80-96

2000

59. Alatas and Shari‟ati on Socialism: Essays in Honour of 2000

Page 78: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

66

Autonomous Social Science and

Occidentalism, Local and Global Social

Transformation in Southeast Asia

Professor Syed Hussein

Alatas

60. An Introduction to the Idea of Alternative

Discourses in Non-Western Countries: A

Further Elaboration

Current

Anthropology 21(5)

2000

61. Development Theory: The Case of

Islamic Economics

The Muslim Ummah:

Challenges, Directions and

Reflections. 15

2000

62. Colonization of the Social Sciences and

the Structure of Academic Dependency

Replika 1999

63. L'origine della Niqabat al-Asraf nella

storia dell'Islam, AR Alamarvedasti, SF

Alatas

Oriente Moderno 79 (2),

297-322

1999

64. Peranan Negara dan Pembangunan: ke

Arah Sebuah Teori Negara Kleptokratis

Akademika 54 (1) 1999

65. The Discourse on Indigenization:

Definitions, Criteria, and Pitfalls

Pagesetters Services PTE

Limited

1999

66. The Ṭarīqat Al-'Alawiyyah and The

Emergence of the Shi'i School In

Indonesia And Malaysia

Oriente Moderno, 323-339 1999

67. Paradigms, Theories, Frameworks,

Incommensurability, and Theory

Ladenness, F Alatas, KP Mohanan

Centre for Advanced

Studies, University of

Singapore

1998

68. Hadhramaut and the Hadhrami Diaspora:

Problems in Theoretical History

Hadhrami Traders,

Scholars and Statemen in

the Indian Ocean 1750s-

1960s ...,

1997

69. Islam and Counter Modernism: Towards

Alternative Development Paradigms

Islamic Political Economy

in Capitalist-

Globalization: An agenda

for Change

1997

70. The Post-Colonial State: Dual Functions

in the Public Sphere

Humboldt Journal of

Social Relations, 285-307

1997

71. The Theme of “Relevance” in Third

World Human Sciences

Singapore Journal of

Tropical Geography 16

(2), 123-140

1996

72. Western Theory and Asian Realities: A

Critical Appraisal of the Indigenization

Theme

Asia Pacific Regional

Conference of Sociology,

Philippine Social Science

1996

Page 79: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

67

Center, Quezon City

73. Dependency, Rhetorics and the

Transnational Flow of Ideas in the Social

Sciences

Goethe-Institute

International Seminar on

Cultural and Social

Dimensions of Market

Expantion, Labuan

1995

74. The Sacralization of the Social Sciences:

A Critique of an Emerging Theme in

Academic Discourse

Archives de Sciences

Sociales des Religions, 89-

111

1995

75. Agama dan Ilmu-ilmu Sosial Jurnal Ulumul Qur‟an Vol.

5

1994.

76. Appendix; MAJOR THEMES AND

RECOMMENDATIONS, SF Alatas, K

Kinyanjui, SH Lee, TH Yoo

Culture and Development,

291-298

1994

77. Part I Culture And Development in a

New Era And In a Transforming World;

Indigenization and Social Science: The

Role of Culture in Development

Culture and Development,

79-110

1994

78. A Khaldunian Perspective on the

Dynamics of Asiatic Societies

Comparative Civilizations

Review, 29-51

1993

79. On the Indigenization of Academic

Discourse

Alternatives, 307-338 1993

80. The Asiatic Mode of Production and the

Formative Turkic and Iranian States in

Modern Times

Central Asian Survey 12

(4), 473-496

1993

81. Theoretical Perspective on the Role of

State Elites in South Asian Development

Comparative

SoutheastAsia 14 (4)

1993

82. Notes on Race and Class in Malaysia Journal of Muslim

Minority Affairs 12 (1),

115-126

1991

83. An Islamic Common Market and

Economic Development

Islamic Culture 1, 28-38 1987

84. Reflections on the Idea of Islamic Social

Science

Comparative Civilizations

Review, 60-86

1987

85. Notes on Various Theories Regarding the

Islamization of the Malay Archipelago

The Muslim World 75 (3-

4), 162-175

1985

86. Pour Sortir de l‟Eurocentrisme en

Sciences Sociales

87. The Problem of Academic Dependency:

Latin America and the Malay world

Page 80: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

68

88. Colleagues, Postgraduate Students and

Other Scholars are Invited to Review One

or More of the Works Listed Below.

89. Paper Dialogue for Peace and Harmony:

A Human Sciences Approach1

Makalah Syed Farid Alatas yang telah diterbitkan oleh Jurnal di seluruh dunia

3. Konsep Captive Mind (Benak Terbelenggu) Syed Hussein Alatas dan

Kaitannya dengan Konsep Kebergantungan Akademik Syed Farid Alatas

Seperti yang telah dijelaskan pada bab II, Captive mind secara resmi

dikemukakan Syed Hussein Alatas kepada publik pada tahun 1972, namun

sebenarnya teori ini telah diperkenalkan pada Konferensi “Society for

International Development” ke-11 di kota New Delhi, India pada tanggal 14-17

November 1969.7 Secara umum captive mind merupakan gejala mentalitas

membebek yang ada pada diri ilmuwan non-Barat dengan cara mengadopsi tanpa

kritis ilmu sosial yang berasal dari Barat. Mereka menganggap sebagian besar

teori yang berasal dari Eropa memiliki kualitas superior dan universal, sehingga

dapat digunakan sebagai pisau analisis permasalahan sosial di negara mereka.

Mengutip tulisan Syed Hussein Alatas, Syed Farid Alatas mengemukakan

bahwa captive mind berasal dari efek demonstrasi yang diakibatkan intensitas

pertemuan ilmuwan non-Barat dengan karya ilmuwan Barat. Semakin sering

ilmuwan bersentuhan dengan ilmu sosial Barat, semakin kuat pula dominasi

captive mind pada diri ilmuwan tersebut. Syed Hussein Alatas dalam Jurnal yang

berjudul Captive Mind in Development Studies sebenarnya menyatakan bahwa

bentuk imitasi atau peniruan pada ilmu sosial Barat tidak selamanya bernilai

negatif, melainkan ada yang berupa imitasi konstruktif. Namun fenomena seorang

ilmuwan yang telah terjangkiti captive mind tidak dapat memilah-milih mana teori

yang dapat diterapkan, dan mana yang memiliki bias Eurosentris serta tidak cocok

bila diterapkan pada negara mereka.

7 Syed Hussein Alatas, “The Development of an Autonomous Social Science Tradition in

Asia: Problems and Prospect,” Asian Journal of Social Science, 30 (1), pp. 150.

Page 81: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

69

Syed Hussein Alatas kemudian menyatakan bahwa fenomena captive mind

pada diri ilmuwan berhubungan erat dengan imperialisme akademis. Sebagaimana

diketahui, Imperialisme akademis merupakan fenomena yang sejajar dengan

imperialisme politik dan ekonomi.8 Umumnya, imperialisme dipahami sebagai

kebijakan dan praktek dominasi politik dan ekonomi kolonial oleh negara-negara

yang lebih maju sejak abad ke-16 melalui penaklukan militer. Imperialisme

akademik paling terasa dialami ilmuwan pada masa kolonial. Oleh karena itu jika

didefinisikan dengan cara ini, imperialisme setara dengan kolonialisme. Namun

saat ini, bentuk imperialisme akademis tidak dipaksakan oleh Barat melalui

dominasi kolonial, tetapi diterima dengan sukarela dan antusias oleh para ilmuwan

di wilayah koloni.

Imperialisme akademis dimulai dengan pengaturan dan kontrol langsung

dari sekolah, universitas dan tempat penerbitan oleh para imperialis. Dengan

demikian struktur politik dan ekonomi imperialis dihasilkan dari struktur yang

paralel dengan cara berpikir orang-orang tertindas. Masih dalam kutipan yang

sama, Alatas kemudian menyatakan enam ciri struktur paralel tersebut, yaitu dapat

dilihat dari eksploitasi, pengawasan, kesesuaian, peran sekunder intelektual dan

cendekiawan yang didominasi, rasionalisasi misi peradaban, dan bakat inferior

ilmuwan dari negara asal yang mengkhususkan diri dalam studi di wilayah

koloni.9

Pada periode pasca-kolonial, manajemen kontrol yang diterapkan

imperialis kepada bangsa terjajah kemudian berkembang dengan memasukkan

unsur ilmu pengetahuan sebagai penguatnya. Para imperialis kemudian

membudidayakan dan menerapkan disiplin ilmu seperti sejarah, linguistik,

geografi, ekonomi, sosiologi dan antropologi di negara-negara koloni. Selanjutnya

setelah bangsa-bangsa yang terjajah mampu mendeklarasikan diri dengan

kemerdekaan, efek imperialisme ini tidak hilang dengan seketika, namun berubah

menjadi bentuk yang lain.

8 Ibid., pp. 285 9 Syed Farid Alatas, “Academic Dependency Academic Dependency and the Global

Division of Labour in the Social Sciences,” Current Sociology Journal, November 2003, Vol.

51(6), pp. 601, dan Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 51.

Page 82: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

70

Neo-imperialisme akademik merupakan bentuk imperialisme kolonialis

kepada bangsa terjajah setelah masa kemerdekaan. Kontrol monopoli dan

pengaruh atas sifat dan arus ilmu sosial Barat tetap utuh meskipun kemerdekaan

politik telah dicapai. Bentuk pendekatan yang dilayangkan pada studi ilmu-ilmu

sosial dapat dilihat dengan berbagai bentuk, yaitu berdasarkan jenis metaanalisis

dan pendekatan masalah berkisar dari epistemologis ke empiris. Kemudian

metateori atau studi refleksif ilmu-ilmu sosial juga melibatkan studi tentang

konteks sosial, budaya, sejarah, serta akar filsafat mereka.10

Alatas menggambarkan fenomena ini berkembang dalam sebuah proyek

penelitian Bangsa Barat untuk mengabadikan hegemoninya pada bangsa non-

Barat. Melalui proyek yang bernilai besar, Barat berupaya mengawasi jalannya

pemerintahan, ekonomi, politik, sosial dan budaya di negara-negara eks-koloni.

Dalam hal ini Alatas mengutip contoh paling terkenal dari proyek penelitian ilmu

sosial karena memiliki nilai besar yaitu, „Proyek Camelot‟ dengan hibah hingga

US$ 6 juta.11

Penggunaan contoh ini tidak berarti bahwa seluruh proyek penelitian

di Amerika dan Eropa memiliki tujuan untuk melestarikan imperialisme

akademis. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sifat ilmu sosial di dunia adalah

pola pengembangan dan perluasan ilmu sosial yang merupakan refleksi dari

perkembangan di Amerika dan negara-negara Eropa.

Saat ini kekuatan untuk mempertahankan dominasi terus dilaksanakan

dalam bentuk kontrol atas perdagangan buku, selektif dalam promosi sarjana,

penindasan dan mendiskreditkan ide dari tradisi intelektual lainnya.12

Bentuk

imperialisme akademik ini selanjutnya menghasilkan sebuah fenomena yang

membuat bangsa terjajah tidak dapat keluar dari posisinya sebagai bangsa terjajah.

Inilah yang kemudian disebut Alatas sebagai kebergantungan akademik

(academic dependency). Namun dikatakannya, bahwa kebergantungan akademik

saja tidak cukup untuk menjelaskan fenomena dominasi ilmu sosial Eropa di

negara Dunia Ketiga. Karena kebergantungan lembaga dan teori sarjana di negara-

10 Syed Farid Alatas, “Academic Dependency in the Social Sciences: Reflections on India

and Malaysia,” American Studies International , June 2000, Vol. XXXVIII, No. 2, pp. 80. 11 Alatas, Op.Cit., Academic (a), pp. 600. Alatas, Diskursus, Op.Cit., pp. 48-49. 12 Alvares, Op.Cit., pp. 75.

Page 83: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

71

negara berkembang pada ilmu sosial Barat juga telah menghasilkan pendekatan

meniru ide-ide dan konsep dari Amerika Serikat dan sampai batas tertentu,

Inggris, Perancis dan Jerman. Padahal, relevansi ilmu-ilmu sosial untuk negara-

negara berkembang yang mengadopsi ilmu sosial Barat telah dipertanyakan.

Ilmu-ilmu sosial juga diimpor dan ditanamkan di wilayah pinggiran tanpa

pengakuan latar belakang sejarah yang berbeda dan keadaan sosial masyarakat

tersebut. Dampak yang terjadi adalah, meski telah memperoleh emansipasi politik,

kebergantungan intelektual dari bekas koloni pada model Amerika dan Eropa

akhirnya terus lestari. Alatas mengutip pendapat Oomen bahwa teori

kebergantungan akademik mengakui ketidakseimbangan produksi ilmu-ilmu

sosial pada masyarakat dan pembagian kerja yang dihasilkan antara produsen dan

konsumen dari pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, tidak menjadi kebetulan

bahwa kekuatan ekonomi yang besar juga akan menjadi kekuatan yang besar

dalam ilmu sosial.

Teori kebergantungan akademik atau teori kebergantungan ilmu sosial,

sebenarnya berasal dari Brazil pada tahun 1950-an. Para pendukungnya

menganjurkan bahwa sosiolog Brasil dan Amerika Latin perlu mengurangi

kebergantungan pada pusat sosiologi di Barat dan mengembangkan indigenisasi

sosiologi. Dengan perspektif ini, komunitas ilmuwan di Dunia Ketiga dapat

mendefinisikan masalah dan metode penelitian tidak berdasarkan standar yang

telah diunggulkan komunitas ilmuwan Eropa.13

Menurut Alatas, struktur

kebergantungan akademik dapat dipahami dengan dimensi sebagai berikut: (1)

kebergantungan pada ide-ide serta media ide (2) kebergantungan pada teknologi

pendidikan (3) kebergantungan pada bantuan untuk penelitian dan pengajaran (4)

kebergantungan pada investasi dalam pendidikan. Dalam buku Diskursus

Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia, Alatas menambahkan dimensi kebergantungan

ilmuwan sosial Dunia Ketiga pada permintaan Barat akan keterampilan mereka.14

Dalam sumber lainnya, Alatas kembali menambahkan dimensi kebergantungan

ilmuwan Dunia Ketiga pada pengakuan yang diterima dari ilmu sosial Barat.

13 Alatas, Ibid., pp. 83-84. 14 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 56.

Page 84: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

72

Struktur kebergantungan tersebut adalah kondisi umum pengetahuan di

negara Dunia Ketiga. Meskipun beberapa waktu belakangan masyarakat ilmiah

telah menyadari bias etnosentris dalam ilmu sosial Barat, namun upaya untuk

keluar dari masalah tersebut nyatanya belum nampak secara jelas. Keadaan ini

akhirnya mengakibatkan kebergantungan pada teori-teori dan konsep-konsep yang

dihasilkan dalam konteks latar belakang sejarah dan praktek-praktek budaya Barat

terus tercipta.15

Pola kebergantungan akademik ini juga dapat dianalisa lebih jauh sebagai

kebergantungan intelektual. Kebergantungan intelektual dapat dilihat dari segi

struktur kebergantungan akademik dan ide-ide yang diimpor dengan relevansi

yang bersangkutan. Struktur kebergantungan intelektual dapat dilihat dari

ketersediaan dana yang berasal dari negara Dunia Pertama, prestise yang melekat

pada penerbitan di jurnal Amerika dan Inggris, premi yang tinggi ditempatkan

pada pendidikan universitas Barat, serta sejumlah indikator lainnya.16

Kebergantungan intelektual ini disebabkan pemusatan perhatian pada karya

empiris yang membatasi diri pada kasus-kasus tunggal di negerinya sendiri,

sehingga kekurangan perspektif perbandingan, maka inovasi teoritis atau

konseptual memiliki konsep yang suram. Oleh karena itu upaya rekonstruksi Ilmu

Sosial harus melibatkan pluralisasi konseptual dalam konteks penghapusan

pembagian kerja global Ilmu Sosial.

Selanjutnya Alatas menyatakan bahwa masalah kebergantungan intelektual

di tingkat ide terkait erat dengan proses imitasi atau peniruan. Konsekuensi dari

kebergantungan ide adalah peniruan dalam pengajaran ilmu sosial, penelitian,

serta perencanaan dalam pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.

Kebergantungan intelektual pada ide-ide yang menimpa para ilmuwan Dunia

Ketiga, contohnya adalah ilmu-ilmu sosial di bekas koloni Inggris kemungkinan

akan didominasi oleh tradisi teoritis Anglo-Saxon.17

15 Alatas, Academic (b), pp. 84. 16 Alatas, Academic (b), pp. 81. 17 Syed Farid Alatas, Indigenization, Features and Problems, Asian Anthropology, 227,

2004, pp. 239.

Page 85: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

73

Terlepas dari kebergantungan pada ide-ide, ada juga masalah

kebergantungan pada media pengetahuan seperti buku dan jurnal. Tingkat

kebergantungan akademik dapat diukur dari struktur kepemilikan dan kontrol dari

jurnal internasional. Angka-angka terbesar dari jurnal ilmu sosial dibuat oleh

ilmuwan di Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Italia dan Inggris. Menurut

Garreau sebagaimana dikutip Alatas, lebih dari 80% artikel dalam jurnal ilmu

politik di negara-negara tersebut disumbangkan oleh para ilmuwan yang menjadi

anggota organisasi profesional dengan kewarganegaraan yang sama dengan

negara tempat jurnal diterbitkan.18

Fenomena ini akhirnya menyebabkan terjadi impor besar-besaran karya

akademik di seluruh dunia. Alatas menyatakan bahwa pada akhirnya di Malaysia

atau India jauh lebih mudah untuk mendapatkan karya yang diterbitkan di

Amerika Serikat dan Inggris, daripada di negara masing-masing. Meskipun ada

upaya-upaya untuk mengembangkan industri penerbitan di beberapa negara Dunia

Ketiga, penerbitan dan distribusi masih didominasi oleh kekuatan ilmu sosial.

Akibatnya, ilmu sosial di Dunia Ketiga menyesuaikan pemilihan masalah, bahasa

komunikasi, dan metode penelitian sesuai persyaratan yang dikemukakan negara

pusat. Selain itu masalah kebergantungan pada media ide berhubungan erat

dengan kebijakan ekonomi yang berasal dari negara-negara maju yang

mengakibatkan pembuat kebijakan atau akademisi di negara-negara berkembang

harus menerima resep yang diberikan negara pusat.

Para ilmuwan negara Dunia Ketiga mengalami kebergantungan pada

teknologi pendidikan. Pada 1960-an dan 1970-an ketika banyak jurnal utama

dalam ilmu sosial yang menerbitkan artikel menggunakan metode statistik

canggih, negara-negara kaya cenderung memiliki keunggulan komparatif karena

kurangnya fasilitas komputerisasi pada banyak negara Dunia Ketiga. Meskipun

hal ini sudah tidak tepat lagi dengan semakin mudahnya memperoleh teknologi

tersebut, kebergantungan pada teknologi pendidikan tetap berlangsung dengan

cara yang lain. Bahan ajar seperti film dan instrumen laboratorium terus diimpor,

karena kurangnya inovasi dalam penciptaan kurikulum dan bahan ajar. Hal ini

18 Alatas, Academic, Op.Cit., pp. 85.

Page 86: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

74

menurut Alatas disebabkan kurangnya dana dan fakta bahwa banyak pendidik di

negara Dunia Ketiga belajar di sekolah Barat, dan terus memanfaatkan Barat

untuk sumber daya mereka. 19

Selain itu, relasi kebergantungan ilmu-ilmu sosial juga terlihat dari

kedutaan besar, yayasan, lembaga pemerintah Barat yang sering mendirikan

pusat-pusat informasi mutakhir yang umumnya tidak tersedia pada universitas

lokal. Pusat-pusat informasi semacam itu mampu menyediakan banyak data dan

pengetahuan. Namun, pemilihan data akhirnya tetap menjadi hak prerogratif

organisasi asing yang menyediakan pelayanan.20

Kebergantungan pada bantuan untuk penelitian dan pengajaran juga terjadi

pada negara Dunia Ketiga. Lembaga Swadaya Masyarakat serta yayasan

perusahaan di Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Jerman memainkan peran

penting dalam pelatihan ilmuwan Dunia Ketiga dengan memberikan beasiswa,

dana penelitian ilmu sosial, dan menyediakan tenaga ahli untuk penelitian dan

pengajaran di lembaga negara berkembang. Dana-dana ini digunakan untuk

mensponsori penelitian, membiayai publikasi buku-buku lokal dan jurnal, serta

membeli keahlian dalam studi banding ke negara pusat.

Amerika Serikat misalnya, telah sangat aktif dalam memberikan bantuan

asing pada bidang pendidikan. Menurut Altbach, dana hibah untuk Perguruan

tinggi yang berdasarkan model Amerika telah didirikan di India, Indonesia, dan

Nigeria, serta di Amerika Latin. Sejumlah besar dana dan bantuan teknis telah

disediakan untuk mengembangkan universitas di negara-negara tersebut. Amerika

Serikat, Inggris, Perancis dan Jerman juga telah mensponsori studi bahasa dan

budaya di negara berkembang. Perancis sangat aktif mempromosikan bahasa

Perancis di bekas koloninya. Amerika Serikat juga aktif dalam membangun

lembaga pelatihan di negara berkembang. Namun keadaan ini mengakibatkan

lulusan mereka tidak mampu menemukan pekerjaan karena pelatihan yang mereka

jalani tidak berhubungan dengan kondisi lokal.21

19 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 86. 20 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 58. 21 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 87.

Page 87: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

75

Ilmuwan Dunia Ketiga mengalami kebergantungan pada permintaan atas

keterampilan mereka. Mereka enggan kembali ke negara asal dengan alasan

kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung keahlian mereka. Akhirnya

negara yang ditinggalkan kekurangan sumber daya manusia unggul yang memiliki

efektivitas tinggi. Keadaan ini terus lestari dengan upah yang berlimpah dari

negara pusat, yang sulit diberikan institusi di negara asal. Kebergantungan pada

pengakuan terhadap karya mereka juga menyebabkan banyak ilmuwan Dunia

Ketiga menyanggupi semua hal agar artikel yang mereka tulis memperoleh

pengakuan pada jurnal dunia. Mereka mengikuti semua prosedur yang ditetapkan

negara pusat, untuk mengejar kredit agar memperoleh kenaikan pangkat akademik

di negara asalnya.

Keadaan ini sebenarnya dapat diatasi oleh negara-negara di Dunia Ketiga.

Banyak cara yang dapat dilakukan komunitas ilmuwan Dunia Ketiga untuk

melepaskan kebergantungannya pada ilmu sosial Barat. Menurut Alatas

sebenarnya negara Dunia Ketiga memiliki cukup banyak buku, baik asing maupun

lokal yang memungkinkan sebuah ide menarik bisa diteliti dengan asumsi yang

disesuaikan dengan latar belakang kondisi setempat. Mengenai kebergantungan

pada teknologi pendidikan, hal ini akan menjadi masalah hanya sebatas bila

teknologi pendidikan sangat penting bagi pengembangan ilmu sosial. Tetapi di

negara berkembang nyatanya banyak daerah yang menarik dalam ilmu sosial,

sehingga penelitian dengan berasaskan teknologi menjadi tidak terlalu penting.

Analogi kebergantungan ekonomi tidak sepenuhnya tepat karena tidak ada

organisasi pendanaan riset yang setara dengan Bank Dunia atau IMF. Namun dana

ini memungkinkan syarat dan kondisi dari hibah fleksibel untuk diberikan pada

setiap negara di dunia. Para ilmuwan dapat memutuskan bidang penelitian serta

metode sesuai dengan kondisi lokal. Program yang dilayangkan di Indonesia

misalnya, dapat dengan mudah dimodifikasi agar lebih relevan dengan situasi

lokal, sementara pada saat yang sama memenuhi persyaratan dari program

tersebut.

Teori Captive Mind atau benak terbelenggu yang dikemukakan oleh Syed

Hussein Alatas merupakan landasan penting diskursus alternatif terhadap

Page 88: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

76

Eurosentrisme yang dikemukakan Syed Farid Alatas. Alatas menjadi penerus teori

captive mind yang dikemukakan Syed Hussein Alatas. Hampir setiap makalah

yang dikemukakan Alatas mengutip frasa captive mind beserta gejalanya, untuk

menganalisis fenomena Eurosentrisme dalam ilmu sosial di Negara-negara Dunia

Ketiga. Captive Mind hanya akan meluaskan penerapan ilmu sosial Amerika dan

Eropa ke konteks Asia tanpa mengadaptasi dengan tepat ide-ide atau teknik yang

diimpor. Para ilmuwan Asia merasa sangat memerlukan pengetahuan dari Barat

demi mempertahankan harga diri, terlepas dari manfaat objektifnya. Peniruan ilmu

sosial Barat menghinggapi semua tingkatan ilmiah, termasuk dalam memilih

masalah, analisis, abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi,

dan penafsiran.

Hingga kini, banyak ilmuwan yang berupaya melepaskan pengaruh negatif

captive mind, imperialisme akademik, dan kebergantungan intelektual dalam ilmu

sosial Dunia Ketiga. Berbagai upaya untuk melepaskan hal ini belum

menampakkan hasil yang menggembirakan. Analisis secara mendalam

menunjukkan bahwa masalah yang menimpa ilmu sosial tidak terlepas dari

fenomena lain yang ada dalam ilmu sosial. Fenomena tersebut ada dalam

tingkatan analisis dan metodologi yang telah menetapkan Eropa sebagai pusat

ilmu pengetahuan dunia. Fenomena ini adalah Eurosentrisme, sebuah istilah yang

telah dibahas pada bab II tentang fenomena dominasi Eropa dalam ilmu sosial di

seluruh dunia. Dalam skripsi ini, akan dipaparkan analisa Alatas untuk

menghadapi Eurosentrisme dalam ilmu sosial secara umumnya, dan sosiologi

secara khususnya.

B. Melepaskan Eurosentrisme dalam Sosiologi dengan Diskursus

Alternatif

1. Fenomena Eurosentrisme dalam Sosiologi

Eropa selama dua abad terakhir tidak diragukan lagi berada di puncak

dunia. Secara kolektif mereka merupakan negara dengan militer yang kuat dan

menikmati teknologi yang paling canggih. Mereka juga menjadi pencipta

teknologi yang dinikmati penduduk dunia. Fakta ini sebagian besar tampak tak

Page 89: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

77

terbantahkan, namun yang menjadi masalah adalah ketika diferensiasi kekuasaan

dan standar hidup bangsa Eropa diterapkan pada semua negara di seluruh dunia.

Salah satu yang memperkuat gagasan ini adalah pendapat bahwa Eropa telah

melakukan sesuatu yang berjasa dan berbeda dari orang-orang di bagian lain

dunia. Inilah yang telah disebutkan pada bab II sebagai bentuk „keajaiban Eropa‟.

Eropa telah meluncurkan revolusi industri yang mengakibatkan pertumbuhan

ekonomi yang berkelanjutan, mereka telah menciptakan modernitas, kapitalisme,

birokratisasi, serta kebebasan individu.

Ilmuwan Dunia Ketiga yang mengakui Eurosentrisme sebagai masalah

dalam studi politik dunia dan ingin mengatasinya, perlu untuk melakukan refleksi

terus-menerus terhadap perkembangan gejalanya pada ilmu sosial. Menurut

Wallerstein, tren unik yang Eropa peroleh kini merupakan warisan Kristen Abad

Pertengahan, warisan dunia Ibrani, atau warisan gabungan hal tersebut (Yudeo-

Kristen).22

Modernitas menjadi suatu kebanggan yang diperoleh Eropa dengan

perjuangan panjang. Proses revolusi besar-besaran dialami pada sejarah mereka,

dan menuntut perombakan berbagai bidang, seperti struktur budaya, agama, dan

nilai maupun norma yang berlaku dalam masyarakat. Secara kontekstual Alatas

akhirnya menemukan bahwa masalah politik, ekonomi, sejarah dan budaya Eropa

mempengaruhi setiap segi kemunculan teori sosiologi modern.

Sebagai teori struktural, teori modernisasi memiliki visi evolusi

perkembangan sosial, politik, dan ekonomi. Akar visi ini dapat ditemukan dalam

teori klasik dengan keyakinannya atas kemajuan dan peningkatkan kompleksitas

masalah sosial, ekonomi, dan politik. Versi psikologis teori modernisasi

mengklaim bahwa masyarakat Barat (Euro-Amerika) memiliki sifat-sifat

psikologis yang diperlukan dalam keberhasilan ekonomi. Ciri-ciri tersebut

termasuk kebutuhan tinggi untuk berprestasi dengan disertai rasionalitas ekonomi.

Menurut Alatas, pendukung utama pandangan ini adalah Hagen, McClelland,

Inkeles dan Smith. Menurut Inkeles dan Smith, kontak dengan lembaga-lembaga

22 Wallerstein, Op.Cit., pp. 98.

Page 90: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

78

modern menghasilkan orang-orang dengan sikap modern. Di antara sikap yang

dibahas oleh mereka adalah meningkatnya sekularisasi dalam masyarakat.23

Negara-negara terbelakang tidak dapat mengikuti jalan yang sama seperti

yang dilakukan oleh negara-negara maju karena hubungan evolusi sejarah dari

sistem kapitalis yang tidak merata. Hubungan kekuasaan yang tidak setara antara

Negara pusat dan negara pinggiran (terbelakang) tidak mengizinkan negara-

negara terbelakang untuk menjadi independen dan mandiri. Keterbelakangan ini

juga dapat dikaitkan dengan kebijakan negara-negara industri dan ekstensi mereka

dalam bentuk kelompok-kelompok elit di negara pinggiran. Selain itu, teori sistem

dunia melihat dunia sebagai satu kesatuan tunggal dengan pembagian kerja secara

hirearkis. Pendekatan teori sistem dunia ini menurut Alatas tepat digunakan untuk

mengkritik teori modernisasi karena kurangnya perhatian terhadap struktur

ekonomi dunia dan hubungan hirarkisnya.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab II, teori Modernisasi memberi

bentuk yang paling dikenal dengan karya Rostow. Dalam pengamatannya, secara

hirarkis Rostow membagi lima tahap perkembangan masyarakat yang harus

dilalui dalam rangka industrialisasi yang mempengaruhi studi pada sosiologi

pembangunan. Sementara lima tahap tersebut berasal dari pengalaman negara-

negara industri yang bahkan telah dipertanyakan. Pengamatan itu didasarkan oleh

pengalaman masyarakat Euro Amerika selama beberapa abad, yang tidak dialami

oleh masyarakat non-Eropa. Namun yang harus dipertanyakan adalah tahapan

pertumbuhan ini diadopsi oleh negara-negara terbelakang. Padahal hubungan

kekuasaan yang tidak setara antara negara-negara (industri) dan negara pinggiran

(terbelakang) tidak mengizinkan negara-negara terbelakang melampaui posisi

Eropa sebagai penguasa sistem dunia. Keterbelakangan yang dialami negara-

negara non-Barat juga dapat dikaitkan dengan kebijakan negara-negara industri

dan ekstensi mereka dalam sistem politik dunia.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dominasi pusat dan

pinggiran dalam sistem dunia tidak terlepas dari Eurosentrisme yang ada dalam

23 Syed Farid Alatas, “On The Indigenization of Academic Discourse, Alternatives:

Global, Local, Political,” Vol. 18, No. 3 (Summer 1993), pp. 309.

Page 91: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

79

ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Alatas beranggapan bahwa ilmu sosial dan

humaniora harus memperbaiki kesalahan-kesalahan dan distorsi dari wacana yang

telah terlanjur berkembang dalam masyarakat dunia. Ilmuwan non-Eropa harus

menyerang akar permasalahan yang menyebabkan mereka terus terbelakang. Akar

masalah ini adalah Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Ilmuwan Dunia Ketiga juga

harus menyelesaikan masalah di tingkat produksi pengetahuan dalam pengajaran

dan penelitian. Hal ini pada gilirannya berarti kebutuhan yang lebih besar untuk

interaksi, antara masyarakat ilmiah dalam berbagai peradaban.24

Dalam artikel yang berjudul “The Problem of Academic Dependency:

Latin America and the Malay World”, Alatas memberi perbedaan mendasar antara

teori Orientalisme yang sangat terkenal dalam menggambarkan hegemoni Timur

dan Barat yang dikembangkan para Orientalis (orang-orang yang mengkaji

pemikiran non Barat) dengan teori Eurosentrisme dalam Ilmu sosial.

Secara umum, konteks struktural Orientalisme dalam ilmu sosial saat ini

adalah masalah kebergantungan akademik, seperti yang telah dijelaskan pada

subbab sebelumnya. Menurut Alatas, kebergantungan akademik merupakan

masalah yang ada pada dua tingkat, yaitu tingkat struktural yang ditandai dengan

pembagian kerja tertentu dalam ilmu sosial global yang dikelola oleh kebijakan

dan peraturan oleh birokrat dan administrator, serta tingkat intelektual, yaitu

kebergantungan akademik yang berkaitan dengan alam ide.25

Dalam permasalahan

studi di Asia Tenggara, Alatas menemukan masalah baik di tingkat epistemologis

dan empiris dalam disiplin ilmu sejarah, antropologi, sosiologi dan psikologi. Atas

latar belakang inilah Alatas membuat tiga poin:

1. Yang pertama menyangkut perbedaan antara Eurosentrisme dan

Orientalisme. Orientalisme adalah manifestasi dari etnosentrisme yang

menjadi versi khusus Eropa dalam berbagai bidang studi yang peduli

dengan masalah “Orient”. Sedangkan Eurosentrisme merupakan fenomena

yang lebih besar dan ditemukan di kalangan akademisi dan non-akademisi.

Ketika teori dan karya empiris diterjemahkan menjadi “ilmiah”, dengan

24 Syed Farid Alatas, “The Role of Human Sciences in The Dialogue Among

Civilizations,” Development And Society, Volume 31 Number 2, December 2002, pp. 265. 25 Alatas, The Problem of Academic Dependency: Latin America and the Malay World,

pp. 274.

Page 92: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

80

perspektif Eurosentris, karya empiris mengambil bentuk orientasi

Orientalis yang menginformasikan karya akademis.

2. Kritik Orientalisme yang dikemukakan Edward Said biasanya

berhubungan dengan Timur Tengah dan secara khusus dengan studi Islam.

Tapi nyatanya kritik tersebut telah ada sebelum Said meluncurkannya.

Orientalisme telah dikatakan sebelumnya oleh AL Tibawi, Abdullah

Laroui, Anwar Abdel Malek, Talal Asad, SH Alatas, Fanon dan Césaire,

Pannikar, serta Romila Thapar. Semua tokoh tersebut menyatakan hal

yang sama, yaitu kerusakan akibat imperialisme dan kolonialisme. ....Biar

bagaimanapun kritik itu sebenarnya dimulai jauh lebih awal di Asia

Tenggara dalam karya pemikir dan pembaharu Filipina, José Rizal (1861-

1896).

3. Eurosentrisme seperti yang dimanifestasikan dalam ilmu-ilmu

sosial dan kegiatan manusia dalam bentuk Orientalisme tidak lagi

didasarkan pada dikotomi yang disebutkan di atas. Jika kita membatasi

definisi Orientalisme dengan dominasi dalam disiplin dan studi area, maka

kita dapat mengatakan bahwa Orientalisme telah melampaui hal tersebut.

Tapi masih ada cara di mana Orientalisme tetap dominan secara signifikan.

Hal ini berkaitan dengan marginalisasi teori non-Eropa dan konsep dalam

pengembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.26

Dalam pengertian terakhir ini, Alatas menyatakan bahwa Orientalisme

dalam sosiologi masih hidup hingga kini. Sosiologi yang baik membutuhkan

perhatian terhadap pembentukan konsep dan bangunan teori yang kokoh.

Sosiologi juga harus melepaskan dirinya dari kepentingan dan konteks budaya

Eropa. Namun kegagalan umum dari ilmu-ilmu sosial untuk memahami hal ini

justru telah mengakibatkan kelanjutan orientasi Orientalis dalam ilmu sosial,

seperti dalam bentuk marginalisasi non-Barat. Padahal marginalisasi ide-ide non-

Barat merupakan bentuk pengabaian tradisi non-Barat sebagai sumber teori dan

pembentukan konsep. Alasan dari proses marjinalisasi tersebut adalah dominasi

Orientalisme secara terus-menerus dalam ilmu sosial, termasuk sosiologi.

Secara umum Alatas menyusun kekhawatiran ilmu sosial di Dunia Ketiga

dengan perhatian sebagai berikut: Pertama-tama, ilmu-ilmu sosial harus

merumuskan masalah keterbelakangan. Kedua, perhatian ilmuwan ditujukan pada

peran masyarakat ilmiah untuk mengatasi masalah keterbelakangan. Ketiga,

masalah harus dirumuskan untuk menawarkan sebuah solusi. Solusi yang

26 Alatas, Ibid., pp. 274-275.

Page 93: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

81

disajikan adalah universalisasi atau internasionalisasi ilmu-ilmu sosial, yang

berarti penerimaannya pada negara di Dunia Ketiga. Selain itu terdapat berbagai

dikotomi yang mendasari ilmu sosial Barat, seperti dikotomi antara Estetika dan

ilmiah. Estetika mengacu pada lingkup pengalaman non-kognitif sementara ilmiah

merujuk pada penjelasan kognitif. Dikotomi ini dinyatakan dalam berbagai

oposisi lain seperti emosional dibandingkan dengan rasional, intuisi dibandingkan

dengan pengetahuan, keindahan dibandingkan dengan kebenaran, subjektivitas

dibandingkan dengan objektivitas, dan simbolis dibandingkan dengan

kenyataan.27

Tujuan menyoroti dimensi retoris wacana ilmu sosial adalah untuk

mendorong para ilmuwan agar mempertimbangkan internalisasi teori sosiologi

yang berasal dari Barat. Ilmu-ilmu sosial dapat dianalisis dari sudut pandang

estetika seolah-olah mereka teks puitis atau sastra. Ilmu-ilmu sosial tidak hanya

didasarkan pada deduksi logis dan penelitian terkontrol, tetapi juga pada intuisi

dan pemahaman subyektif. Untuk alasan tersebut, teks ilmiah sosial juga sangat

puitis dan retoris seperti novel, puisi, dan drama. Retorika dan teks puitis tidak

terbatas pada estetika produksi sastra. Menurut Alatas, ilmu sosial dibentuk oleh

simbol yang didasarkan pada subjektifitas, perasaan dan interpretasi peneliti. Oleh

karena itu dibutuhkan pemahaman dan wawasan tegas mengenai kemungkinan

dalam menganalisis ilmu sosial dari sudut pandang estetika seperti sebuah novel,

puisi atau teks dramatik.28

Ada benarnya jika pengakuan sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya

sebagai aktivitas tekstual menunjukkan bahwa ada teknik retoris yang digunakan

oleh penulis Barat untuk membangkitkan pengakuan terhadap klaim kebenaran.

Sebuah wacana yang sukses memerlukan penggunaan metafora, metonim, ironi

dan sejenisnya untuk menyajikan versi realitas sebagai hal yang mendidik dan

menarik. Menurut Brown, studi tentang hubungan antara sosiolog dan para

pendengarnya dengan dimensi persuasif wacana sosiologis disebut sebagai puisi

sosiologi. Dengan kata lain, teori-teori sosial tidak hanya dibangun secara logis

27 Alatas, Academic (b) Op.Cit., pp. 91. 28 Ibid., pp. 91.

Page 94: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

82

dan empiris, tetapi juga retoris. Pembangunan teori sosial melibatkan kerja teknik

retoris yang berfungsi untuk “membujuk” para penonton agar menerima versi

tertentu dari realitas. Keberhasilan penyebaran ini, sebagian tergantung pada

kekhawatiran umum dalam tingkat kognitif mereka.

Seperti halnya retorika dalam konsep “Religi” yang dihadirkan secara

universal dalam pengertian sosiologis, historis, dan fenomenologis, yang diambil

dari tradisi Kristiani (menjadi konsep kunci yang ditemukan pada sosiologi

agama). Ketika diterapkan pada Islam akhirnya menurut Joachim Mattes menjadi

“Kristenisasi kultural secara tersembunyi”. Bidang sosiologi agama dibangun di

atas kerangka konseptual yang hampir semuanya berasal dari Kristen. Dan oleh

karena itu diperlukan kosakata konseptual alternatif yang diambil dari berbagai

religi. Alternatif tidak menunjukan penggantian konsep-konsep Barat dengan

konsep lokal atau ulayat, tetapi memberi kesan terhadap sebuah kebutuhan untuk

berpikir melalui istilah universal, mengambil sumber-sumber ide dan konsep non-

Barat secara serius dalam Ilmu Sosial, dan mempertimbangkan asimilasi yang

lebih kritis terhadap konsep dan teori Barat.

Religio (religion) dalam bahasa Inggris yang merupakan serapan bahasa

Latin adalah istilah kolektif yang mengacu pada praktek-praktek beragam sekte di

sekitar Roma, sebelum munculnya agama Kristen. Ketika Roma menjadi Kristen,

Kristen menjadi kepercayaan yang dominan, dan semua keyakinan lain diserap

atau dihilangkan. Religion tidak diterapkan pada Kristen, karena Kristen

merupakan satu-satunya keyakinan yang sah, yang dikenal hanyalah Gereja.

Dengan Reformasi Protestan, Luther menyebut religion sebagai keyakinan Kristen

dengan cara hidup terpisah dari institusi Gereja Katholik. Pada abad ke-18,

“religion” berevolusi untuk digunakan sebagai konsep ilmiah, mengacu pada

sistem kepercayaan selain Kristen.29

Dalam karya-karya pengantar awal sosiologi seperti Prinsip Sosiologi

Spencer (1893), Ward Pure Sosiologi (1919) dan Prinsip Ross Sosiologi (1920),

istilah-istilah seperti “religion” digunakan secara bermasalah karena merujuk

tidak hanya agama Kristen tetapi juga Yudaisme, Islam, Budha dan Hindu.

29 Alatas, The Role, Op. Cit., pp. 269-270.

Page 95: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

83

Masalah definisi dan konseptualisasi “agama” dan istilah terkait seperti “gereja”

dan “sekte”dilihat dari sudur pandang khas Kristen.30

Sementara “religion” berarti

semua keyakinan, ketika para ilmuwan Eropa menulis tentang agama kritis,

(mereka berada dalam pemikiran Protestan seperti dalam referensi Marx, yaitu

agama sebagai candu masyarakat). Institusional (Katolik) juga bertentangan

dengan agama orang-orang percaya (Protestan).

Konsep dasar religi seperti gereja, sekte, denominasi dan kultus, yang

diperkenalkan Giddens dalam sosiologi agama cenderung berasal dari satu tradisi

agama, yaitu Kristen. Hal ini tidak hanya berlaku pada teks Giddens, tetapi

tersebar luas di buku pelajaran sosiologi hingga kini. Meskipun benar bahwa

beberapa dari konsep-konsep ini dapat digunakan dengan cara yang lebih

universal dan berlaku untuk agama-agama non-Kristen, namun pada saat yang

sama tidak dapat disangkal bahwa sesuatu juga akan diperoleh dari konsep yang

sebanding atau paralel dari agama-agama lain.

Ketika “religion” diterapkan pada keyakinan selain agama Kristen,

misalnya, Islam atau Hindu, ada perbandingan implisit atau eksplisit dengan

agama Kristen, yang akhirnya menghasilkan ilusi realitas. Oleh karena itu,

seharusnya konsep ilmiah mengenai “religion” didefinisikan oleh selain agama

Kristen. Islam memiliki konsepnya tersendiri mengenai agama, yang berbeda

dengan agama lainnya. Contohnya adalah din (Islam) dan dharma (Hindu).

Alatas tidak menyarankan agar konsep ini diganti sesuai agama masing-

masing dalam buku pengantar sosiologi, namun konsep-konsep ini setidaknya bisa

diperkenalkan dan didefinisikan dalam rangka menyajikan pemahaman yang lebih

bernuansa dalam keberagaman agama. Sebenarnya Giddens sendiri mencatat

bahwa konsep gereja, sekte, denominasi dan kultus harus diterapkan dengan hati-

hati, karena mereka tidak selalu berlaku untuk agama-agama non-Kristen. Namun,

disatu sisi Giddens menyajikan statistik tentang keanggotaan gereja di Inggris dan

30 Syed Farid Alatas, “From Ja¯mi`ah to University, Multiculturalism and Christian–

Muslim Dialogue,” Current Sociology, 2006, 54, pp. 115.

Page 96: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

84

daftarnya tidak hanya terdiri dari gereja-gereja Kristen, tetapi agama-agama lain

juga.31

Selain itu sejak fenomena sekularisasi, konsep agama dalam peradaban

Barat berada pada urusan pribadi, dan bukan sebagai masalah negara dan gereja.

Oleh karena itu ada dualitas seperti sakral dibandingkan profan, dan agama versus

non-agama. Agama di Barat juga mengacu pada keyakinan dan kehidupan pribadi

orang yang percaya. Berbeda dengan Islam yang tidak mendikotomikan antara

sakral dan profan. Misalnya, tidak ada perbedaan antara pendidikan sekuler dan

pendidikan agama.32

2. Melepaskan Eurosentrisme dalam Sosiologi dengan Diskursus Alternatif

Sekarang tiba saatnya untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan

dalam latar belakang skripsi ini. Pertanyaan tersebut adalah “Dimana posisi

pengetahuan yang dikonstruksikan oleh ilmuwan non-Barat atau ilmuwan di

Negara-negara Timur dan Selatan? Bagaimana relasi kuasa antara pengetahuan

metropole dengan periphery dan apa dampaknya? Apakah memungkinkan

membangun pengetahuan alternatif untuk menciptakan relasi yang lebih adil

antara metropole dan pheriphery?” Jawaban atas pertanyaan ini ada dalam

berbagai karya Alatas dalam konsep diskursus alternatif dalam ilmu sosial.

Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas merupakan koreksi terhadap

jenis-jenis ilmu pengetahuan yang diperkenalkan sejak era kolonial. Diskusi

mengenai keadaan ilmu sosial di Asia tidak muncul dari gerakan intelektual,

melainkan dari kelompok ilmuwan. Secara umum para ilmuwan memberi

perhatian terhadap masalah Eurosentrisme, peniruan tak kritis terhadap ide,

konsep, dan teori dari Barat, konteks kebergantungan akademis dan imperialisme

intelektual yang menjadi tempat berlangsungnya masalah Eurosentrisme.33

Label

diskursus alternatif lebih tepat karena para ilmuwan menempatkan diri sebagai

penentang terhadap apa yang diterapkan sebagai arus utama (mainstreem), yang

31 Ibid., pp. 128. 32 Alatas, The Role, Op.Cit., pp. 270. 33 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 76.

Page 97: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

85

secara umum merupakan diskursus berorientasi Euro-Amerika yang terus

mendominasi ilmu sosial di sebagian besar masyarakat Asia.

Diskursus alternatif merupakan pemberontakan terhadap imperialisme

intelektual. Menurut Alatas, ciri-ciri diskursus alternatif adalah sebagai berikut:34

1. Melakukan kritik terhadap Eurosentrisme dan Orientalisme ilmu sosial.

2. Mengangkat masalah metodologis dan epistemologis dalam telaah

masyarakat, historiografi, atau filsafat sejarah.

3. Diskursus alternatif secara implisit atau eksplisit menaruh perhatian pada

analisis masalah yang ditimbulkan oleh pembagian kerja ilmu sosial,

dimana ilmu sosial menempati dirinya dalam keadaan konformitas, tiruan,

dan tidak orisinal.

4. Berkomitmen untuk merekonstruksi diskursus sosial dan sejarah

mencakup pembagian konsep, kategori, dan agenda riset yang relevan

dengan kondisi lokal atau regional.

5. Berkomitmen untuk memunculkan masalah orisinal dalam telaah sosial

dan sejarah.

6. Mengakui peran peradaban dan praktik budaya sebagai sumber ilmu

sosial.

7. Tidak mendukung penolakan atas ilmu sosial Barat secara in toto.

Pada dasarnya, Ilmu sosial memiliki dasar logika dan teori yang tidak

dapat disubordinasikan ke dalam label-label historis, kultural, maupun etnis

tertentu.35

Oleh karena itu telah banyak pakar yang berupaya melepaskan

dominasi ilmu sosial Barat yang bersifat Eurosentris. Di Asia, orang-orang

Indialah yang memimpin gerakan perlawanan terhadap pengetahuan Eurosentris.

Orang India merespon ide-ide Barat yang mencakup rasionalisme, positivisme,

dan materialisme sejarah.

Disebabkan faktor keturunan dan pendidikan intelektual yang mereka

terima selama ini, sebagian besar ilmuwan Dunia Ketiga umumnya beroperasi

34 Ibid., h. 77. 35 Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Teori Barat: Bongkar Wacana Atas Islam

Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media,

2008), h. 31.

Page 98: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

86

dalam batas-batas ilmu positivis. Padahal sejak tahun 1970-an, sikap oposisi

terhadap ilmu positivis telah hadir di kalangan ilmuwan negara Dunia Ketiga.

Mereka menamakan hal ini dengan label sebagai counterism. Counterism

menentang mode pengetahuan Barat pada tingkat retorika, namun tetap berhasil

menggabungkan asumsi, teori dan konsep dari Barat. Positivisme dan counterism

masing-masing membuat ilmuwan sosial di Dunia Ketiga responsif terhadap

teknik retorika yang dikerahkan dalam proses penyebaran global ilmu-ilmu

sosial.36

Pengaruh positivisme dapat diukur dalam keberhasilan kuantifikasi

retorika. Kepercayaan pada gagasan bahwa kehidupan merupakan mesin yang

berjalan secara mekanistik menegaskan pola pikir positivistik. Konsep mekanika

dan kimia dalam ilmu sosial telah mengakibatkan pengurangan diskursif masalah

pembangunan secara teknis.37

Beberapa orang perintis diskursus alternatif dalam ilmu sosial ramai pada

paruh kedua abad ke dua puluh, meski sebenarnya mereka telah memulai

pekerjaan sejak abad ke Sembilan belas. Menurut Sinha sebagaimana dikutip

Alatas, kritik yang dilancarkan tersebut merupakan upaya dekolonisasi ilmu

sosial.

Rammohun Roy (1772-1833) merupakan sosok yang pertama kali

menentang pemikiran Eurosentris. Roy hidup dalam periode penyebaran agama

Kristen oleh misionaris Inggris pada masyarakat Hindu dan Muslim di India. Roy

bersikap kritis terhadap sikap misionaris Inggris yang merendahkan Hindu dan

Islam. Benoy Kumar Sarkar, (1887-1949) secara sistematis juga mengkritik

berbagai Indologi Orientalis. Dia menyerang gagasan Eurosentris sebagai bentuk

inferioritas orang Hindu dalam masalah sains dan teknologi, penekanan berat

sebelah pada dimensi spekulatif dan mistik hindu, serta klaim dikotomi Timur dan

Barat. D.P Mukerji (1955) mengatakan bahwa kegagalan dalam dunia intelektual

disebabkan pengabaian mereka terhadap realitas sosial di India. Sikap kritis ini

berlanjut hingga tahun 1970-an pada era ilmuwan seperti M.N Srinivas, Kapadia,

36 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 93. 37 Alatas, Academic (b),Op.Cit., pp. 93.

Page 99: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

87

A.K Saran, N.K. Bose, J.P.S. Uberoi, T.N. Madan, dan Yogendra Singh yang

mencurahkan ide tentang sosiologi India.38

Alatas juga mengutip catatan Pieke (1997) mengenai Fei Xiaotong. Fei

Xiaotong (1947-1979) mengkritik jalannya perdebatan diantara para sosiolog.

Posisi yang diambil oleh para profesor dalam perdebatan mereka sebagian besar

didasarkan pada fakta-fakta dan teori-teori yang berasal dari sosiologi Barat.

Berbagai sekolah sosiologi Barat juga diperkenalkan ke Cina oleh pengikutnya.

Menurutnya “…biarpun berbagai aliran sosiologi Barat masing-masing

mencerminkan kekhususan pada satu porsi fenomena sosial, ketika dibawa ke

Cina, pemikiran tersebut menjadi teori-teori kosong yang terceraikan dalam

realitas sosial. Fei juga memperkenalkan antropologi fungsionalis untuk

mempelajari Kota dan Desa di Cina. Temuannya adalah cara orang Cina

mendefinisikan pribadinya pada dasarnya berbeda dari pola individualisme Barat.

Dia berupaya meluaskan dan merevisi teori-teori yang sudah ada.39

Para sosiolog Korea juga mempertanyakan relevansi sosiologi berdasarkan

dampaknya pada masyarakat dan menuntut perubahan kurikulum sosiologi. Di

Jepang berkembang ciri nihonjinron (teori-teori bangsa Jepang) yang membentuk

pandangan utama tentang Jepang yang menekankan homogenitas budaya dan

kesinambungan sejarah.40

Di dunia Melayu Asia Tenggara, pendukung seruan alternatif dalam

bidang non-akademis adalah Abdul Qadir Munsyi (1796-1854). Dalam karyanya

„Kisah Pelayaran Abdullah‟ (1938), dia mendukung penggunaan bahasa Melayu

sebagai media pengembangan kesadaran orang Melayu. Di Filipina pada zaman

setelahnya ada Jose Rizal (1861-1896) yang merintis gagasan Asosiasi

Internasional para Ahli Filipina yang bertujuan mempelajari Filipina dari sudut

pandang sejarah dan ilmiah. Tujuan Jose Rizal adalah mendekonstruksi warisan

epistemologis Eurosentris dengan mengangkat cara-cara ulayat dalam mencapai

pengetahuan, baik dalam penyingkiran klaim-klaim universalis psikologi Barat,

38 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 7. 39 Ibid.,. 40 Ibid., h. 9.

Page 100: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

88

pengembangan kerangka kerja baru historiografi, maupun penerimaan sebuah

disiplin akademi baru seperti Filipinologi.

Di Indonesia, ilmuwan Belanda yang pertama kali mengusulkan diskursus

alternatif adalah J.C Van Leur yang mempertanyakan cocok tidaknya abad ke

delapan belas dijadikan dalam kategori sejarah Indonesia. Cendekiawan lainnya

dari Indonesia yang tercatat adalah Armijn Pane (1951) yang mempublikasikan

berbagai esai berisi gambaran besar mengenai sejarah Indonesia yang Indosentris.

Indosentrisme dapat dipahami sebagai upaya memahami koreksi sejarah Indonesia

yang sebelumnya tak lebih daripada upaya perluasan sejarah seberang laut

Belanda. Bentuk sejarah seperti ini tergabung dalam konsep sejarah Asiasentris

dimana Asia sebagai tuan rumahnya sendiri dan harus berdiri di halaman depan.

Dalam bidang sejarah, Syed Husein Alatas menggagas proposal mengenai

rekonstruksi sejarah kepulauan Melayu-Indonesia yang terkait dengan metodologi

dan filsafat sejarah. Karya lainnya lahir dari saudaranya Syed Muhammad Naquib

Al-Attas (1969) yang mengemukakan teori umum mengenai Islamisasi Kepulauan

Melayu-Indonesia. Al-Attas menggarapnya dengan meneliti konsep-konsep dan

istilah pokok yang berubah dalam bahasa Melayu pada abad ke enam belas dan ke

tujuh belas. Intinya para ilmuwan di Asia telah banyak mengkritik keadaan ilmu

sosial di masyarakat mereka. Kritik tersebut berada dalam banyak dimensi, namun

dipahami dalam konteks hubungan antara ilmu sosial Asia dan ilmu sosial Barat.

Sejak abad ke-19 di Asia Tenggara muncul kritik terhadap keadaan ilmu

sosial yang mengarah pada Eurosentrisme. Tokoh-tokoh ini adalah Syed Hussein

Alatas, M.L. Blake, Syed Farid Alatas, dan Vineeta Sinha di Singapura.41

Di

Filipina, Jose Rizal memegang peranan kunci yang menggagas ulang pemikiran

Antonio de Morga yaitu Sucesos de Las islas Filipinas. Pemikiran ini berkaitan

dengan pemetaan ulang sejarah Filipina yang menurutnya telah banyak dicampuri

kolonisasi Spanyol. Di Indonesia, ilmuwan Belanda yang pertama kali menentang

Eurosentrisme Ilmu sosial, dialah Jacob Cornelis van Leur. Orang Indonesia

sendiri Armin Pane adalah salah satu contoh yang mengkritik pandangan berat

41Di Indonesia penulis menyebutkan ada berbagai tokoh yang menentang Orientalisme

dan Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Salah satunya adalah Kuntowijoyo, seorang pakar sejarah

yang menggagas ilmu sosial profetik.

Page 101: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

89

sebelah Indiasentris mengenai sejarah Hinduisasi Jawa, yang gagal menghasilkan

pemahaman mengenai watak orang-orang Indonesia yang menyerap elemen

Hindu.42

Menjadi alternatif berarti beralih ke filsafat, epistemologi, sejarah, ilmu

sastra yang berasal dari tradisi non-Barat. Alternatif berarti relevan dengan

lingkungan, kreatif, orisinil atau bukan tiruan, nonesensialis, kontra-Eurosentris,

otonom, dan terlepas dari Negara dengan pengelompokan nasional atau

transnasional. Pada akhirnya diskursus alternatif yang universal merujuk pada

teori lokal dan teori barat yang diterapkan dalam konteks lokal. Alatas selanjutnya

mengklasifikasikan ragam diskursus alternatif, yaitu:

1. Ulayatisasi/indigenisasi

Menurut Turner, sikap penolakan terhadap Barat melahirkan

gagasan ulayatisasi/indigenisasi (indigenization) pengetahuan pada

masyarakat Dunia Ketiga.43

Kecenderungan regional dan lokal justru

menguat ketika masyarakat dunia sedang menghadapi arus globalisasi

peradaban yang menjadi keniscayaan pada kehidupan dunia modern.

Kritik postmodern terhadap kategori-kategori universal memiliki

hubungan erat dengan proses indigenisasi.44

Indigenisasi merupakan respon ilmuwan sosial non-Barat atas

ketidakmampuan ilmu sosial Euro-Amerika dalam menciptakan wacana

yang relevan dan membebaskan dalam konteks masyarakat Asia, Afrika

dan Amerika Latin. Masalah relevansi telah diakui oleh para sarjana non-

Barat sejak awal abad ini, dan istilah indigenisasi memperoleh ruang sejak

1970-an. Indigenisasi diikuti pada reaksi yang berusaha untuk

menciptakan ilmu-ilmu sosial yang lebih relevan, otonom, progresif,

termasuk memindahkan ilmu-ilmu sosial menjadi lebih ulayat.45

42 Syed Farid Alatas, “Alternative Discourses in Southeast Asia” dalam Jurnal Sari, Vol.

19, 2001, p. 57. 43 Turner, Op.Cit., h. 29. 44 Ibid., h. 33. 45 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp.227.

Page 102: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

90

Namun istilah Indigenous atau indigenisasi menempati posisi

problematik karena ia terkesan mengolektifkan berbagai macam populasi,

padahal pengalaman mereka hidup dibawah kolonialisme jelas sangat

berbeda. Istilah kolektif lain yang sering digunakan adalah Bangsa

Pertama (First Peoples), Bangsa Asli (Native Peoples), Puak Pertama

(Nation Peoples) atau Peoples of the Land, Aboriginal atau Bangsa Dunia

Keempat (Fourth World Peoples). Istilah Indigenous Peoples baru muncul

tahun 1970-an dari perjuangan yang dilancarkan American Indian

Movement (AIM) dan The Canadian Indian Brotherhood.

2. Seruan ilmu sosial otonom

Konsekuensi logis dari kritik Eurosentrisme dalam ilmu sosial

adalah untuk mendorong dan melakukan semacam gerakan intelektual

yang akhirnya akan menimbulkan tradisi otonom ilmu-ilmu sosial. Tradisi

ini akan menghasilkan pemikiran yang universal dan menerapkan ilmu

sosial dalam mode otonom untuk masalah-masalah tertentu dengan cara

tidak meniru dan kritis terhadap konsep dan metodologi yang berasal dari

Barat.

Gagasan tentang ilmu sosial otonom yang menentang nativisme

dan negara-negara bangsa sebagai basis diskursus alternatif merupakan

sebuah konsepsi yang dikembangkan oleh Syed Hussein Alatas.

Konsekuensi logis dari kesadaran tentang masalah captive mind adalah

sebuah tradisi ilmu sosial otonom yang akan berfungsi menghapuskan atau

membatasi pengaruh demonstrasi intelektual dari captive mind.46

Seruan pendekatan yang otonom dalam ilmu sosial tidak boleh

dikacaukan dengan sekedar usulan untuk menyoroti masalah lokal dengan

metodologi yang tepat. Seruan tersebut merujuk pada pembentukan tradisi

ilmu sosial yang mencakup pemunculan dan perlakuan terhadap problem-

problem yang orisinal serta pokok permasalahan riset baru, termasuk

pemunculan konsep-konsep baru.

3. Seruan kreativitas intelektual endogen

46 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind, Op.Cit., pp. 20.

Page 103: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

91

Endogenisasi merujuk pada upaya untuk terlibat dalam kreativitas

intelektual dalam konteks pemunculan masalah yang orisinal, penumbuhan

konsep dan teori baru, sintesis antara pengetahuan Barat dan non-Barat.

Sebagai contohnya adalah penerapan kreatif teori Marx tentang produksi

Asia dan telaah teori Ibn Khaldun mengenai perubahan sosial. Endogen

merujuk pada usaha kreativitas intelektual, bukan pada elemen-elemen

pembentuk hasil yang dicapai.47

4. Dekolonisasi Ilmu-ilmu Sosial

Di banyak bekas koloni Eropa, administrasi kolonial membutuhkan

informasi terperinci dan berjangkauan luas mengenai peradaban dan

masyarakat yang mereka kuasai. Ilmu-ilmu sosial merupakan elemen

kapitalisme kolonial yang sangat dibutuhkan. Lantaran tabiat kolonialis

ilmu sosial tidak menghilang setelah kemerdekaan, maka tugas pertama

yang dituntut dari para intelektual postkolonial adalah dekolonisasi

wilayah budaya, termasuk bidang akademik. Dekolonisasi menyiratkan

sebuah kebebasan dari tabiat ilmu yang dikukuhkan penguasa kolonial

masa lalu dan sebuah kebijakan ilmiah kritis dibangun di atas telaah

komparatif Negara-negara yang tidak untuk dianalisis.48

Menurut Smith, dekolonisasi adalah sebuah proses yang berurusan

dengan imperialisme dan kolonialisme di segala lapisan.49

Dekolonisasi

ilmu sosial memiliki arti keterputusan dari kebudayaan Barat. Sebagai

contoh dekolonisasi sosiologi di Afrika Utara, yang kemudian diikuti

kemunculan sosiologi maghribi, memiliki arti pada teori-teori yang

terlembagakan, seperti fungsionalisme yang melegitimasi tatanan mapan.

Dekolonisasi sosiologi juga berarti bahwa peneliti harus menghindari

keterpencilan yang disengaja di menara gading agar bisa terus menerus

bersentuhan dengan realitas sosial.

Untuk Mignolo dan Quijano, proyek dekolonialisasi atau

decolonising adalah membatasi epistemologi kolonial dan Eurosentris,

47Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 87. 48 Ibid., h. 89. 49 Smith, Op.Cit., h. 3

Page 104: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

92

serta berusaha untuk memulihkan status dalam sebuah analisa.50

Pergeseran konsep “alienasi” menjadi “keterasingan” juga harus secara

luas dipahami, karena hal tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam

dekolonisasi. Pergeseran tersebut menolak untuk mengatur dunia ke dalam

kotak terutama didefinisikan oleh “budaya”, yang cenderung membatasi

daripada memperdalam pemahaman.51

5. Globalisasi Ilmu Pengetahuan

Keunggulan ekonomi dan politik Eropa tercermin dalam monolog

geografi dimana Eropa mendiktekan kepada bangsa lain tentang apa dan

siapa mereka dalam dunia yang baru. Disiplin yang diglobalkan semacam

itu merupakan alat imperialis dalam arti misalnya memetakan wilayah

dunia menurut nilai ekonomi. Secara tidak langsung hal ini menyiratkan

pembagian dunia menjadi wilayah pusat yang putih dan beradab,

sementara wilayah pinggirannya adalah nonputih dan barbar.52

Ketika

mendeskripsikan bentuk imperialisme Eropa awal abad kesembilan belas,

imperialisme cenderung digunakan minimal dalam empat cara berbeda:

a. Imperialisme sebagai ekspansi ekonomi,

b. Imperialisme sebagai penundukan Others,

c. Imperialisme sebagai sebuah gagasan atau semangat beserta

berbagai macam pengejawantahannya.

d. Imperialisme sebagai suatu bidang pengetahuan diskursif.53

Imperialisme adalah sebuah sebuah ideologi kompleks yang

memiliki ekspresi kultural, intelektual dan faktor teknis yang amat luas.

Pandangan tentang imperialisme diposisikan dalam semangat pencerahan

melalui transformasi kehidupan ekonomi, politik dan kultural di Eropa.

Imperialisme menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses

perkembangan Negara modern, ilmu pengetahuan, ide-ide maupun sosok

50 Saba, Op.Cit., pp. 5. 51 Ibid., pp. 20. 52 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h.92. 53 Linda Tuhiwal Smith, Dekolonisasi Metodologi, (Yogyakarta: InsistPress, 2005), h. 5.

Page 105: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

93

manusia modern. Imperialisme juga merupakan sebuah mode orang-orang

Eropa untuk mengembangkan rasa serba Eropa mereka.54

Hettne menunjukkan bahwa solusi untuk melawan imperialisme

akademik adalah dengan mengadopsi pemahaman yang lebih realistis dari

ilmu-ilmu sosial Barat sebagai yang mencerminkan konteks geografis dan

historis tertentu55

Sebagai alat jajahan berupa pemetaan geografi dunia,

diperlukan upaya mendeskripsikan arah agar bentuk imperialisme ini

terhenti. Oleh karena itu diperlukan geografi kontemporer dan geografi

sejarah alternatif dan secara lebih umum ilmu sosial yang mampu

melampaui dualisme serta mampu menjelaskan keanekaragaman ekonomi

politik di Dunia Ketiga.

6. Sakralisasi ilmu pengetahuan

Menurut Alatas proyek sakralisasi ilmu pengetahuan terdapat

dalam banyak tradisi religi dunia termasuk Kristen dan Islam. Tantangan

sekularisme telah mendorong teori sosial Kristen membuat kompromi

dengan rasionalitas sekuler dengan menerima pembacaan realitas yang

dikemukakan ilmu-ilmu kemanusiaan, kemudian mengubahnya menjadi

teologi dan etika sosial.56

Inilah yang disebut sebagai teologi pembebasan.

Disatu sisi, Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan memulihkan

kembali pengalaman religius dan spiritualitas pada tempatnya yang tepat

dalam pengetahuan yang mencari aktivitas dengan mensakralisasi ilmu-

ilmu kemanusiaan. Ilmu-ilmu itu dianggap telah didesakralisasikan atau

disekulerkan di Barat. Pengetahuan yang disakralisasikan atau scientia

sacra adalah pengetahuan yang terletak di jantung setiap wahyu dan

merupakan pusat lingkaran yang melingkupi dan mendefinisikan tradisi.57

Ide Islamisasi ilmu pengetahuan pada sebuah konferensi di

Mekkah pada 1977 yang disusun oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas

yang mengemukakan isu tersebut dalam konteks diskusi mengenai konsep

54 Alatas, Op.Cit., h. 7. 55 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 235. 56 Alatas, Op.Cit., h. 93. 57 Ibid., h. 94.

Page 106: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

94

pendidikan Islam. Pada konferensi tersebut Ismail R. al-Faruqi menyajikan

sebuah makalah tentang Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Dalam karyanya ini

al-Faruqi mengkritik filsafat yang mendasari ilmu sosial Barat. Al-Faruqi

juga juga menjabarkan kekurangan metodologi Barat dan menafikkan

objektifikasi yang didengungkan. Selanjutnya al-Faruqi menggagas ilmu

sosial Islami yang memiliki prinsip kesatuan kebenaran.58

Ide tentang sains Islam dan kekhususan mengintegrasikan semua

pengetahuan dari luar dunia Muslim, khususnya metodologi Islam

merupakan tema-tema karya Seyyed Hussein Nasr. Kemudian ide

Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas menuntut pengisolasian

elemen dan konsep pokok dalam ilmu-ilmu kemanusiaan produk

peradaban dan budaya Barat misalnya visi dualistik tentang masyarakat,

humanisme, “penonjolan terhadap realitas drama dan tragedi yang

dianggap universal di wilayah spiritual dan transendental, atau kehidupan

batin manusia, sehingga menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen

nyata dan dominan dalam hakekat dan eksistensi manusia.” Setelah

terbebas dari elemen dan konsep kunci Barat, barulah ilmu pengetahuan

diisi dengan elemen dan konsep pokok Islam, sehingga menjadikannya

pengetahuan sejati, yakni yang sesuai dengan tabiat alamiah esensi (fitrah)

manusia. Islamisasi pengetahuan adalah pembebasan pengetahuan dari

penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekular.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, Kuntowijoyo menyatakan perlunya

Ilmu sosial yang akan digunakan untuk transformasi sosial. Kuntowijoyo

berupaya membuka kemungkinan adanya perumusan ulang, revisi, dan

rekonstruksi secara terus menerus baik melalui refleksi empiris maupun

normatif.59

Ilmu sosial transformatif tidak berhenti hanya untuk

menjelaskan fenomena sosial, namun juga berupaya untuk

mentransformasikannya.60

58 Ismail R. al-Faruqi, Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial dalam Islam dan Perspektif Sosiologik,

Ed. Abubakar A. Bagader, (Surabaya: Amarpress, 1991), h. 1-19. 59 Kuntowijoyo, Op.Cit., h. 481. 60 Ibid., h. 481.

Page 107: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

95

Dengan itu Kuntowijoyo menggagas Ilmu Sosial Profetik (ISP)

yang tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan

cita-cita etik dan profetik tertentu. Ilmu sosial profetik memuat kandungan

nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Perubahan

itu didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan

transendensi. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Tujuan

liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan,

keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Tujuan transendensi

adalah menambahkan nilai transendental dalam kebudayaan.

Dengan ilmu sosial profetik, Kuntowijoyo melakukan reorientasi

terhadap epistemologi, yaitu reorientasi terhadap mode of thought dan

mode of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan tidak hanya rasio dan

empiri, tapi juga dari wahyu.61

Hal ini dikarenakan Islam adalah

paradigma terbuka yang merupakan peradaban dunia. Islam juga mata

rantai peradaban dunia. Renaissance yang mengambil nilai-nilai filsafat

Yunani tidak dapat dilepaskan dari peradaban Islam.

Sakralisasi ilmu pengetahuan juga digagas Mahatma Gandhi yang

merupakan seorang Hindu. Menurutnya pendidikan telah membawa

pengaruh baik langsung maupun tidak kepada ilmuwan di Dunia Ketiga.

Menurut Gandhi, “aku tidak memusuhi orang Inggris, tetapi aku

memusuhi peradaban mereka.” Swaraj atau penguasaan diri sendiri

menuntut tidak hanya pengusiran Inggris dari India, tetapi juga

penghapusan institusi-institusi peradaban Barat yang dibawa Inggris ke

India. Gandhi menganggap peradaban modern sebagai kejahatan antireligi,

dan bertentangan dengan moralitas. Padahal peradaban India pada intinya

bersifat spiritual.62

7. Telaah-telaah Subaltern

Telaah-telaah subaltern secara formal berasal dari India pada tahun

1982. Subaltern adalah atribut umum subordinasi masyarakat Asia Selatan,

61 Ibid., h. 484. 62 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 95-96.

Page 108: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

96

baik yang terungkapkan dalam istilah kelas, kasta, umur, gender, dan

posisi, maupun dalam bentuk yang lain. Telaah subaltern berangkat dari

upaya mereinterpretasikan dan menulis ulang sejarah kelas pekerja di

India. Telaah subaltern dipicu sebagai penolakan dasar atas pendekatan

elitis Nasionalis-borjuis dan elitis-kolonial dalam telaah tentang sejarah

India. Ia bertujuan menunjukkan bahwa pembentukan bangsa India dan

pengembangan kesadaran Nasionalis bukanlah semata-mata prestasi kaum

elite. Tugas telaah subaltern adalah mengembangkan sebuah diskursus

alternatif yang didasarkan pada penolakan atas ciri monisme palsu, dan

ahistoris.

8. Teori Postkolonial

Periode postmodernisme yang diadopsi telaah subaltern adalah

salah satu penyebab munculnya post-kolonialisme. Sejarah diklaim telah

bergerak melampaui modernitas menuju era postindustri, dimana industri

kebudayaan dan gerakan sosial yang baru menempati posisi penting. Post-

kolonial merupakan label deskriptif atas kondisi global setelah periode

kolonialisme. Kondisi global ini memusatkan perhatian pada kondisi

marginalitas atau hibriditas, keruntuhan Negara-negara dan globalisasi

media elektronik.63

9. Nasionalisasi Ilmu sosial

Menurut Alatas Nasionalisasi ilmu sosial dapat merujuk pada

beberapa contoh dari Cina, Taiwan, Korea, India, Indonesia, dan Filipina.

Di India, Nasionalisasi ilmu sosial berawal dari upaya dekolonisasi pikiran

dan pengetahuan untuk menasionalisasi permasalahan. Ilmu sosial India

harus didasarkan pada sikap kemandirian intelektual swaraj-nya.64

Nasionalisasi ilmu sosial dengan variannya seperti sinicisasi, ilmu sosial

swaraj, Filipinologi, dan ilmu sosial Indonesiasentris menyiratkan

penerapan konsep dan kebudayaan untuk mempelajari bangsa. Dalam

63 Ibid., h. 99. 64 Ibid., h. 101.

Page 109: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

97

praktik selanjutnya, ilmu sosial Barat tidaklah ditolak, tetapi agak

didomestikkan.65

10. Memutuskan Hubungan

Teori pemutusan hubungan (theory of delinking) mengakui

ketidakseimbangan dalam produksi ilmu sosial di seluruh masyarakat dan

pembagian kerja antara produsen dan konsumen pengetahuan sebagai

akibatnya. Maka bukan kebetulan jika kekuatan ekonomi yang besar juga

merupakan kekuatan ilmu sosial yang besar.66

11. Deschooling

Gagasan ini berasal dari Ivan Illich tahun 1973. Illich menentang

wajib sekolah karena pada anak-anak kebijakan tersebut menanamkan

sikap buta dan tidak kritis atas aturan sosial yang berorientasi disiplin dan

sangat dirasionalisasikan. Melalui sekolahan, Barat menkonstruk imajinasi

terhadap ide-ide Timur (Orient). Sekolah juga cenderung menjadi alat

penyeragam, mereduksi orang ke dalam denominator umum yang paling

rendah dan karena itu merintangi perkembangan kreativitas individual.

Setelah menelusuri berbagai karya yang ditulis Syed Farid Alatas,

ditemukan bahwa Alatas lebih memusatkan perhatiannya pada tiga jenis diskursus

alternatif, yaitu Indigenisasi, Sakralisasi ilmu sosial, dan penyeruan ilmu sosial

otonom. Namun skripsi ini memusatkan perhatian hanya pada indigenisasi ilmu

sosial. Lalu, penelusuran berikutnya dalam skripsi ini didasarkan pada beberapa

artikel yang dikemukakan Alatas mengenai Indigenisasi Ilmu pengetahuan yang

berjudul On the Indigenization of Academic Discourse, Indigenization: Problems

and Concept, serta artikel lainnya.

Menurut Alatas, indigenisasi tidak mengacu pada paradigma baru atau

perspektif teoritis dalam ilmu sosial. Indigenisasi dapat disebut sebagai gerakan

intelektual ilmuwan Dunia Ketiga dalam menghadapi klaim universalisme ilmu

pengetahuan Barat. Indigenisasi merupakan karya berbagai penulis dari berbagai

65 Ibid., h. 102. 66 Ibid., h. 105.

Page 110: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

98

disiplin ilmu dalam ilmu sosial, yang sebagian besar prihatin dengan upaya

pembebasan kolonialisme akademis. Selain itu mereka juga berupaya melepaskan

ilmu sosial Euro-Amerika yang tidak relevan dengan situasi dan kondisi

masyarakat.67

Menurut Benhagen sebagaimana dikutip Alatas, secara umum indigenisasi

dipahami sebagai revolusi untuk melawan “imperialisme intelektual”, serta

komponen dalam pemberontakan melawan dominasi ekonomi-politik Barat.

Pertierra mengakui peran ilmu-ilmu sosial indigenik sebagai senjata dalam

perjuangan neo-kolonial, asalkan bertindak sebagai counter-point antara negara

dan masyarakat ilmu sosial yang menjadi lawan alat penjajahan kehidupan

masyarakat sipil.68

Selain itu, Sinha memandang panggilan untuk indigenisasi ilmu-ilmu

sosial timbul dari kebutuhan untuk pembersihan ilmu-ilmu sosial Eurosentrisme.

Pola pikir Non-Barat dan praktek-praktek budaya dilihat sebagai sumber teori

ilmu sosial, sementara pada saat yang sama ilmu sosial Barat tidak harus ditolak

secara in toto. Indigenisasi proyek ilmu sosial disusun menjadi penolakan secara

kategoris hal yang berasal dari Barat, namun perlu ditekankan bahwa proyek

indigenisasi bukan untuk mengganti Eurosentrisme dengan nativisme atau posisi

dogmatis lainnya.69

Pieke menunjukkannya dalam bidang antropologi. Dengan mengacu ke

China, seorang ilmuwan dapat berbicara tentang antropologi ulayat yang matang

hanya setelah menghasilkan korpus pengetahuan yang komparatif dan lintas

budaya. Kebutuhan untuk penelitian komparatif dan lintas budaya didasarkan

pada gagasan bahwa indigenisasi antropologi menghasilkan ide-ide, konsep, dan

perdebatan yang diinformasikan oleh hermeneutika yang ada pada budayanya

sendiri. Menurut Alatas, Peran penelitian komparatif dan lintas budaya hanya

dapat memiliki efek indigenisasi yang diinginkan antropologi jika penelitian

67 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 232. 68 Ibid., pp. 233. 69 Ibid., pp. 234.

Page 111: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

99

tersebut dilakukan oleh orang yang sudah sadar tentang masalah imperialisme

akademik, captive mind dan relevansi.70

Menurut Enriquez, generasi dan penggunaan sudut pandang adat dapat

didekati dengan dua cara. Indigenisasi dari dalam mengacu pada proses di mana

konsep-konsep kunci, metode dan teori adat diuraikan, dikodifikasikan,

disistematisasikan, dan kemudian diterapkan. Di sisi lain, indigenisasi tanpa

mengacu pada modifikasi dan terjemahan dari bahan impor yang pada akhirnya

berasimilasi secara teoritis dengan budaya.71

Secara umum, apa yang dimaksud

dengan indigenisasi oleh Enriquez dan oleh penulis lain mengacu pada

pembangunan sebagai pola bembangunan endogen. Oleh karena itu upaya serius

harus dilakukan untuk membawa lebih banyak ilmu-ilmu sosial yang relevan,

asimilasi selektif eksogen elemen (Barat) harus dianggap sebagai bagian penting

dari aktivitas intelektual endogen.72

Adapun, dalam rangka membuat hubungan yang kritis dalam adopsi antara

teori pembangunan dan normalisasi di Dunia Ketiga, diperlukan kejelian dalam

pemikiran kritis di wilayah bermasalah sebagai berikut:

1. Analis faktorgenik dibandingkan analisis aktorgenik. Analisis

faktorgenik mengacu pada hasil dari tindakan manusia untuk bertahan

lebih lama sebagai seorang individu dan kelompok (eksternal). Aktorgenik

mengacu pada apa yang ditemukan dalam diri individu atau kelompok.

Studi pembangunan cenderung menekankan faktorgenik dengan

mengorbankan analisis aktorgenik. Misalnya, dalam pernyataan „Di

banyak negara berkembang, kebijakan moneter dan fiskal serta pinjaman

yang berlebihan selama tahun 1970 mengakibatkan inflasi dan neraca

pembayaran yang tidak berkelanjutan akibat kurangnya perhatian terhadap

pelaku ekonomi. Teori indigenisasi dalam pembangunan harus

memperbaiki ketidakseimbangan antara analisis faktorgenik dan

aktorgenik.

2. Redundansi studi pembangunan. Ada kecenderungan studi

pembangunan yang redundan karena sifat yang sangat umum. Contohnya

adalah sebuah artikel di negara-negara berkembang sosialis yang

mengungkapkan beberapa hukum dasar dan kendala pada pembangunan

yang given. Misalnya anggapan bahwa sebuah negara yang berinvestasi

terlalu sedikit tidak akan menikmati pertumbuhan ekonomi; negara yang

berinvestasi terlalu banyak tidak akan menikmati pertumbuhan ekonomi;

70 Ibid. 71 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 234. 72 Ibid., pp. 235.

Page 112: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

100

negara sosialis harus berusaha untuk mencapai keseimbangan antara

insentif individu dan kolektif, material dan bujukan moral, dan sebagainya.

3. Kehadiran teori dan konsep yang salah. Di sini kita prihatin

dengan relevansi teori dan konsep, bahkan dalam pengaturan teori Barat.

Mari kita lihat sebuah contoh dari teori ekonomi. Secara umum, teori

modernisasi didasarkan pada asumsi seorang pelaku ekonomi. Model

seperti masyarakat terdiri dari kepentingan-kepentingan individu tanpa

sebuah budaya dan ideologi.

4. Yang relevan dari teori-teori Barat dan konsep dalam konteks

non-Barat. Di sini saya mengacu pada gagasan bahwa ada teori dan konsep

yang mungkin relevan dalam masyarakat Barat, tetapi tidak begitu dalam

masyarakat non-Barat. Hal ini memerlukan kemungkinan alternatif lokal.

Sebagai contoh, konsep otoritas yang berasal dari karya-karya Ibn Khaldun

mungkin lebih relevan daripada Weber. Contoh lain dari bidang studi

pembangunan menyangkut konsep pengangguran.

5. Ketidakmampuan untuk membedakan suatu hal universal dari

yang partikular. Ada banyak kebingungan seperti konsep yang universal

dan partikular. Keduanya dimasukkan di bawah kategori universal.

Pertimbangkan konsep urbanisasi berikut. Kota di Barat menjadi pengaruh

peradaban yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi. Ciri-ciri

sosiologis dan psikologis ini dibutuhkan untuk berfungsinya ekonomi

modern yang dibesarkan di kota. Namun, di banyak negara non-Barat,

dikotomi desa-kota justru disarankan, sedangkan dalam teori-teori Barat

tidak berlaku bentuk kota seperti di negara-negara non-Barat. Penekanan

pada urbanisasi dalam teori modernisasi sama saja dengan mengambil

posisi pro-urban dalam perdebatan lama tentang perbedaan desa-kota. Ini

mengasumsikan superioritas tertentu mengenai organisasi sosial perkotaan

(dan dalam hal ini urbanisme Barat). Apa yang diasumsikan pembangunan

sebagaimana yang termaktub dalam urbanisasi adalah transisi dari budaya

tradisional pedesaan ke budaya modern perkotaan. Urbanisasi demikian

dipahami sebagai Westernisasi, pengambilan pada nilai-nilai modern

sebagai lawan nilai-nilai tradisional. Urbanisasi dalam arti ini dipandang

sebagai sebuah fenomena universal. Fenomena lain yang sering diambil

untuk menjadi universal padahal sebenarnya tidak adalah sekularisasi,

melemahnya ikatan keluarga, dan konsep pembangunan itu sendiri.

6. Imitasi negatif. Tidak hanya teori dan konsep kritis yang

diterapkan dalam masyarakat non-Barat, tetapi ada juga kecenderungan

untuk meniru apa yang dilakukan. Sebuah contoh di sisi pendidikan. Tidak

ada kuliah tentang sosiologi korupsi atau sosiologi imitasi di universitas-

universitas non-Barat. Saya cenderung berpikir bahwa setidaknya satu

alasan untuk ini adalah tidak adanya program seperti itu di universitas-

universitas Barat. Tidak adanya kuliah seperti di universitas-universitas

non-Barat adalah refleksi dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap

masalah tersebut. Dalam hal ini, adopsi yang tidak kritis dari hasil

pengembangan teori adalah kegagalan untuk mengidentifikasi kenyataan

yang bertentangan dengan patologi diskursif pembangunan.

Page 113: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

101

7. Kurangnya perhatian terhadap isu-isu karena metodologi. Weber

menyebut pentingnya nilai-nilai yang membentuk kepentingan ilmuwan.

Yang pasti, tanpa ide-ide evaluatif dari para peneliti, tidak akan ada prinsip

seleksi subjek-materi dan pengetahuan yang bermakna dari realitas

konkret. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam beberapa daerah

studi pembangunan, terlepas dari nilai-nilai, metodologi juga berperan

dalam membentuk kepentingan ilmuwan. Dengan kata lain, metodologi

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan obyek

penyelidikan. Contohnya adalah masalah korupsi di negara-negara

terbelakang. Terlepas dari kenyataan bahwa korupsi tersebut umumnya

dianggap menjadi masalah, namun tidak pernah menjadi objek

penyelidikan di kalangan mahasiswa. Hal ini sebagian disebabkan oleh

kenyataan bahwa metode yang berlaku umum seperti penelitian survei dan

analisis multivariat tidak dapat segera diterapkan untuk masalah ini.

Seseorang tidak dapat mewawancarai orang-orang korup dan memperoleh

data yang akurat, serta tidak dapat dengan mudah memperoleh indikator

yang memadai tentang korupsi. Masalah korupsi belum menjadi objek

bidang yang didefinisikan dengan baik di mana berbagai perspektif teoritis

yang telah dikembangkan dan didukung oleh kerja empiris. Di sini juga,

ada kegagalan untuk mengidentifikasi dan menentukan patologi nyata

dalam pembangunan.73

Wacana tentang pembangunan dan masalah yang terkait dengan adopsi

tidak kritis di negara terbelakang juga mengembangkan mata pelajaran dunia di

bawah prosedur normalisasi, imitasi, atau adopsi yang tidak kritis teori-teori

pembangunan Barat. Padahal teori-teori pembangunan Barat sekedar berfungsi

sebagai wadah normalisasi. Hasil imitasi dalam studi pembangunan di Dunia

Ketiga terus dibebani oleh masalah yang di antaranya telah tercantum di atas.

Imitasi mengabadikan karya-karya dalam studi pembangunan yang cenderung

faktorgenik, berlebihan, dan didasarkan pada asumsi yang keliru tentang sifat

manusia, budaya, dan universalisasi ciri-ciri khusus peradaban Barat. Setiap

masalah yang menimpa studi pembangunan yang dibahas di atas dan telah

disimpan dalam karya-karya ilmuwan Dunia Ketiga menjalani prosedur

normalisasi dalam sejumlah cara yang berbeda, diantaranya:

1. Penyederhanaan masalah pembangunan. Masalah analisis faktorgenik dan

redundansi dalam studi pembangunan berfungsi untuk mengurangi

masalah keterbelakangan. Seperti ukuran pasar, terms of trade, penetrasi

73Alatas, On The Indigenization, Op.Cit., pp. 321-324.

Page 114: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

102

investasi asing secara langsung, dan sebagainya, yang membuat masalah

menjadi kurang kompleks. Hal ini berfungsi untuk menyederhanakan

masalah keterbelakangan untuk mempersiapkan Dunia Ketiga dalam

prosedur normalisasi. Akhirnya solusi atau praktek normalisasi akan

membawa pada pinjaman, bantuan luar negeri, investasi langsung, transfer

teknologi, pelatihan profesional, beasiswa, pengendalian jumlah

penduduk, dan sebagainya.

2. Kesalahan spesifikasi patologi pembangunan. Masalah teori dan konsep-

konsep yang keliru maupun yang tidak relevan ketika dialihkan ke

pengaturan non-Barat mengakibatkan pelaksanaan kebijakan yang tidak

memadai. Bahkan kebijakan yang tidak memadai tersebut

diimplementasikan, padahal hanya sebuah normalisasi. Sebagai contoh,

asumsi yang keliru atas pelaku ekonomi dapat dikaitkan dengan kebijakan

ekonomi yang tidak manusiawi, karena mengabaikan keprihatinan spiritual

dan budaya.

3. Pengabaian patologi nyata dalam pembangunan. Hasil imitasi negatif

mengabaikan masalah yang tidak dianggap sebagai masalah dalam

pengaturan negara-negara industri maju. Seperti dalam contoh korupsi.

4. Normalisasi sebagai Westernisasi. Berbagai praktek normalisasi ditulis

dalam istilah proses modernisasi. Tetapi karena kebingungan terhadap ciri

universal dan partikular, ciri-ciri khusus pada peradaban Barat diambil

untuk menjadi universal. Prosedur normalisasi berlangsung di bawah

naungan Westernisasi, yaitu dalam konteks manusia, agama, organisasi

sosial, dan kenegaraan Barat.74

Setelah subjek domain untuk proses patologis ditemukan, berbagai teknik

yang dirancang untuk menormalkan domain ini dapat diterapkan. Strategi

berikutnya adalah profesionalisasi pembangunan dengan cara menjamurnya

bidang dan subbidang dalam studi pembangunan. Tujuannya adalah untuk

mengidentifikasi sifat perkembangan masyarakat, dengan tujuan untuk

merumuskan kebijakan dan mengarahkan mereka ke arah yang benar, untuk

74 Ibid., pp. 324-325.

Page 115: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

103

memproduksi rezim kebenaran dan norma-norma tentang pembangunan.

Akhirnya, ada strategi untuk pelembagaan pembangunan. Hal ini mengacu pada

pembentukan organisasi internasional, badan-badan perencanaan nasional, dan

badan-badan pembangunan daerah yang berfungsi sebagai agen penyebaran.

Meskipun ketiga strategi penyebaran pembangunan telah membawa banyak

manfaat bagi Dunia Ketiga dalam hal identifikasi area masalah dan implementasi

kebijakan dan program, namun hal tersebut juga memungkinkan praktisi Barat

mempertahankan kontrol dan kewaspadaan atas Dunia Ketiga.75

Ada benarnya jika wacana pembangunan harus dianalisis tidak hanya

dalam masalah penindasan, hukum atau eksploitasi, tetapi juga dalam hal

kekuasaan yang dibawa melalui normalisasi. Proses-proses patologis harus

diidentifikasi negara berkembang, dan agenda normalisasi harus diatur apakah

komposernya merupakan liberal atau neo-Marxis. Proses normalisasi yang berasal

dari wacana pembangunan diwujudkan dalam perumusan dan perencanaan

kebijakan dan menyediakan konteks di mana masalah imitasi ilmu sosial Barat

harus dilihat. Berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengembangan

dan konsolidasi mereka ke dalam bidang studi pembangunan dirancang untuk

berbicara tentang kebenaran dalam pembangunan, sehingga masyarakat

berkembang dapat dinormalisasi (misalnya, infus nilai-nilai Barat, atau bagaimana

untuk membungkam tradisi agama untuk memfasilitasi pembangunan).

Tujuan dari normalisasi seolah-olah untuk meningkatkan standar hidup,

meningkatkan produktivitas, meningkatkan distribusi pendapatan, meningkatkan

pendidikan, dan sebagainya. Beberapa tujuan ini terpenuhi di beberapa daerah,

tetapi proses normalisasi dan kontrol disiplin tetap masih bisa dilihat. Proses

normalisasi di Dunia Ketiga mempengaruhi para akademisi, karena mereka

menjalani pelatihan di berbagai instansi metropolitan, sehingga melestarikan dan

memperkuat normalisasi dalam pengembangan masyarakat. Oleh karena itu

penting dilihat imitasi tidak kritis ilmu sosial Barat dalam konteks normalisasi

tersebut.76

75 Ibid., pp. 326. 76 Ibid., pp. 327.

Page 116: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

104

Masalah imitasi nyatanya telah menyebabkan panggilan untuk indigenisasi

ilmu-ilmu sosial di negara berkembang. Tapi ada beberapa hambatan untuk

melakukan indigenisasi yang harus dianalisis. Masalah yang dihadapi bukan

hanya imitasi, jika tidak hati-hati, upaya yang dilakukan ilmuwan tidak

menghasilkan wacana membebaskan, tapi justru dapat mempertahankan

“mekanisme dominasi imperial” oleh pusat kepada pinggiran. Di bidang budaya,

konsep imitasi saja tidak cukup mendukung eksploitasi pusat pada pinggiran.

Tanpa menghubungkan imitasi kekuasaan dalam sistem dunia, setiap pernyataan

tentang imitasi akan menjadi tesis lemah dan tidak bisa dipertahankan.77

Secara khusus, Alatas berupaya menjauh dari konsep monoton imitasi dan

tidak melihat keadaan ilmu sosial masyarakat non-Barat berdasarkan reifikasi

kekuasaan melalui wacana pembangunan. Reifikasi, sebagaimana dikatakan

Lukacs, mengacu pada gagasan bahwa produk manusia diyakini memiliki

keberadaan yang terpisah, dan memaksa kontrol lebih dari manusia. Manusia,

dalam masyarakat kapitalis menghadapi realitas yang dibuat oleh dirinya sendiri.

Dalam karya Marx, konsep reifikasi datang dengan sangat jelas pada gagasan

tentang fetisisme komoditas. Buruh “lupa” bahwa mereka sendiri yang

memberikan komoditas nilai mereka kepada kapitalis. Sebaliknya mereka percaya

nilai yang melekat dalam komoditas yang mereka hasilkan, atau bahwa pasar

menghasilkan nilai ini.

Marx percaya bahwa ada kebenaran obyektif yang harus ditemukan “di

luar sana” dan mereka telah menemukannya dalam ilmu sosial Barat. Dalam hal

ini mereka lupa bahwa pengetahuan adalah realitas yang dikonstruksi secara

sosial. Jika kita mempertimbangkan tubuh pengetahuan yang disebut ilmu sosial

Barat (termasuk pengetahuan yang dihasilkan oleh para ilmuwan non-Barat) yang

terdiri dari ide-ide reifikasi, maka kita mengatakan bahwa itu adalah ilmu sosial

Barat yang mendominasi berbagai ekspresi peradaban di dunia non-Barat. Sama

seperti kontrol kapitalis dan memiliki akses ke struktur reifikasi kapitalisme,

sehingga kontrol ilmuwan Barat yang memiliki akses ke ide-ide reifikasi. Tapi

77 Ibid., pp. 318.

Page 117: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

105

menurut Alatas hal ini tidak cukup, para ilmuwan non-Barat perlu bekerja di luar

teknik dimana reifikasi pengetahuan menyadari kekuasaannya.78

Selain itu, sistematika pengetahuan perlu disesuaikan dengan budaya asli,

seperti halnya ilmu sosial Barat yang didasarkan pada pengalaman sejarah dan

praktek budaya mereka. Dalam cara yang sama masyarakat non-Barat, tanpa

membuang ilmu sosial Barat, perlu mendasarkan ilmu-ilmu sosial mereka pada

filosofi adat, epistemologi, sejarah, dan tradisi lokal. Penting untuk dicatat bahwa

bidang penerapan ilmu sosial ulayat tidak terbatas pada masyarakat atau

peradaban di mana ia dikembangkan. Tujuan dari hal ini adalah untuk

menunjukkan apa yang termasuk akar budaya untuk membentuk kerangka teori.

Menurut Alatas pada dasarnya kegiatan ilmu sosial ulayat dilakukan pada empat

tingkatan:

1. Pada tingkat metateoretis, indigenisasi mengacu pada analisis yang

mengungkapkan pandangan dunia, ontologis, epistemologis, dan asumsi

yang mendasari etika karya ilmiah sosial. Misalnya, bagaimana residu

kapitalisme kolonial diabadikan dalam pemikiran masyarakat post-

kolonial. Dengan kata lain, sosiologi pemikiran post-kolonial akan

mengungkapkan bagaimana ilmuwan di Dunia Ketiga menyadari dirinya

saat terjebak dalam kategori pemikiran kolonialis atau neokolonialis.

2. Pada tingkat teoritis, indigenisasi mengacu pada konsep dan teori-teori

pengalaman sejarah ulayat serta praktek-praktek budaya mereka.

3. Pada tingkat empiris, indigenisasi mengacu pada fokus masalah yang lebih

relevan dengan Dunia Ketiga yang sampai sekarang diabaikan. Misalnya,

korupsi merupakan masalah serius di banyak masyarakat berkembang,

tetapi hampir tidak ada pekerjaan empiris yang dilakukan pada daerah ini.

4. Pada tingkat ilmu sosial terapan, indigenisasi menentukan obat, rencana,

dan kebijakan, dan bekerja dengan organisasi sukarela, organisasi non-

pemerintah, serta organisasi pemerintah.79

78 Ibid., pp. 319. 79 Ibid., pp. 311-312.

Page 118: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

106

Selain itu menurut Alatas indigenisasi ilmu sosial harus memiliki agenda

sebagai berikut:

1. Mempersoalkan status epistemologi konsep-konsep ilmu sosial, termasuk

konsep “ulayat/indigenik”, “native/asli”, “Barat”, dan “non-Barat”.

2. Membumikan teori sosial menurut kondisi politik dan sosial budaya

sebuah lokalitas, tanpa mesti menolak ilmu sosial Barat.

3. Meneorisasi politik global academia, dengan sebuah pandangan untuk

membongkar perannya dalam pembagian kerja ilmu sosial, dimana para

ilmuwan non-Barat menjadi pengumpul data empiris, sementara para

ilmuwan Barat menjadi teoritisinya.

4. Mengakui keanekaragaman sumber teori sosial, yakni menghargai semua

peradaban sebagai sumber potensial bagi teoritisasi ilmu sosial.

Ilmu sosial indigenik adalah ilmu sosial yang didasarkan pada pengalaman

sejarah dan praktik budaya ulayat dalam arti yang sama, sebagaimana ilmu sosial

Barat.80

Indigenisasi dari dalam merujuk pada proses elaborasi, kodifikasi,

sistematisasi, kemudian penerapan metode, konsep, dan teori indigenik secara

semantik. Indigenisasi dari luar merujuk pada modifikasi dan penerjemahan

materi impor yang akhirnya diasimilasi secara teoritis dan kultural. Dalam hal ini

ilmuwan berharap bisa membuka kemungkinan bagi filsafat, epistemologi, dan

sejarah lokal agar dapat menjadi basis pengetahuan.

Satu set proposisi yang disajikan sebagai pembentuk sosiologi Cina,

misalnya, harus memenuhi persyaratan yang kompleks dan berat untuk bisa

menjadi milik disiplin sosiologi. Persyaratan tersebut mencakup metodologi

eksperimental-statistik di mana ilmu sosial Barat memiliki keunggulan

komparatif. Berbagai kalangan yang berusaha untuk melakukan indigenisasi ilmu-

ilmu sosial dalam masyarakat masing-masing, tidak akan mudah diterima sebagai

bagian dari berbagai disiplin ilmu sosial. Sebagai syarat untuk menjadi anggota,

mereka harus berurusan dengan berbagai penentu dari sesuatu yang harus

direduksi menjadi variabel. Dalam sebuah dunia di mana ilmu sosial positivis

80 Alatas, Diskursus, Op.Cit, h. 83.

Page 119: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

107

mendominasi, validitas epistemologi ilmuwan sosial Dunia Ketiga sering ditolak.

Pada saat itu mereka tidak bisa berharap agar suara mereka didengarkan.81

Selain itu, dalam oposisi antara benar dan salah, Foucault memberi contoh

bagaimana literatur Barat selama berabad-abad menciptakan sebuah klaim

kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Klaim kebenaran mereka beroperasi dalam

mendefinisikan bentuk penyebarkan wacana dan teknik yang mereka gunakan.

Dalam hal ini ide-ide Foucault dimanfaatkan oleh Alatas karena membuat

hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan yang berguna dalam menempatkan

masalah imitasi dan perspektif indigenisasi.82

Alatas melanjutkan, bahwa upaya indigenisasi ilmu-ilmu sosial

menghadapi sejumlah hambatan sebagai akibat dari pertemuan kolonial dengan

tradisi terus ilmu sosial Barat pada Dunia Ketiga. Ilmu-ilmu sosial Barat

mengakar kuat pada banyak negara berkembang.83

Selain itu, Alatas menyatakan

bahwa ada retorika merusak milik indigenisasi ilmu pengetahuan. Retorika

merusak tersebut adalah:

Pertama-tama, istilah disertai dengan gagasan yang indigenik telah

dimutilasi untuk beberapa derajat karena mengacu pada hal fisik, negara dan

wilayah yang didefinisikan secara abstrak. Bentuk ilmu pengetahuan indigenik

terikat dalam rincian fisik dan struktur biotik dari tempat tinggalnya. Kedua, telah

dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas bahwa indigenisasi mengasumsikan

bahwa ada tradisi ilmiah sosial lokal atau adat sebagai dasar untuk membangun

teori aslinya, yang umumnya tidak sesuai. Ketiga, ada pandangan bahwa

indigenisasi menyiratkan pengakuan bahwa ilmu sosial Barat universal, dan

bahwa hal itu hanya perlu dilokalisasi atau dijinakkan agar dapat memberikan

kontribusi terhadap ilmu sosial. Keempat, alasan lain untuk reaksi negatif terhadap

istilah indigenisasi harus dilakukan dengan cara yang yang telah digunakan dalam

wacana politik. Sebagai contoh, selama pemerintahannya di Korea Selatan, Park

81 Alatas, On The Indigenization, Op.Cit., pp. 329. 82 Ibid., pp. 313. 83 Ibid., pp. 327.

Page 120: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

108

Chung-Hee telah melakukan indigenisasi demokrasi, untuk membenarkan

kekuasaan otoriter dengan basis Konghucu.84

Kelemahan lain datang dari kalangan non-Barat sendiri. Upaya ilmu sosial

ulayat tidak selalu menemukan sekutu dalam ilmu sosial interpretatif. Pertemuan

antara indigenisasi ilmu sosial dan ilmu sosial interpretatif seringkali mendorong

nativisme. Dalam ilmu sosial interpretatif, titik asli menjadi kriteria deskripsi dan

analisis tentang ilmuwan. Nativisme, mengacu pada pencarian esensi dari budaya

yang lain dan menyoroti perbedaan dan pertentangan mutlak antara budaya Barat

dan non-Barat.

Menurut Alatas, potensi berbahaya nativisme dalam upaya indigenisasi

terdiri atas dua jenis. Salah satunya adalah bahwa ilmu sosial indigenik jatuh ke

dalam perangkap yang sama, yaitu kecenderungan untuk menegakkan dan

melestarikan keunggulan sistem budaya dan politik Barat. Kedua, ilmu sosial

indigenik, dalam merayakan oposisi mutlak antara budaya Barat dan Timur,

sering mengakibatkan impor besar-besaran pemikiran Barat yang akan digantikan

oleh pemikiran ulayat. Padahal kritik terhadap ilmu sosial Barat dalam hal kontrol

dan pembatasan yang diberikan tidak boleh terbatas pada kritik terhadap

epistemologi positivis, tapi harus diperluas pada kecenderungan nativis dalam

ilmu sosial interpretif.

Selain itu, konsekuensi logis dari Orientalisme secara terbalik dan auto-

Orientalisme adalah nativisme. Hal ini mengacu pada tren asli di antara para

ilmuwan Barat dan lokal. Hal ini memerlukan penolakan total pada pengetahuan

Barat.85

Klaim seperti hanya orang Indonesia yang benar-benar dapat memahami

budaya dan masyarakat Indonesia harus dihindari. Namun demikian, harus

ditekankan bahwa berbagai konsepsi indigenisasi, khususnya di bidang

antropologi, sosiologi dan psikologi, menentang pendekatan nativisme

pengetahuan.

84 Alatas, Indigenization, Op.Cit. pp. 239. 85 Ibid., pp. 237.

Page 121: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

109

Menurut Alatas proyek indigenisasi ilmu pengetahuan memerlukan upaya

serius dengan melakukan analisa pada tingkat konseptual dan empiris dalam

beberapa hal, yaitu:

Pertama, Indigenisasi akan membutuhkan klasifikasi berbagai

bentuk imitasi di bidang metateori, metodologi, bangunan teori,

penelitian empiris, dan perumusan kebijakan. Ini akan diperlukan untuk

menetapkan seperangkat kriteria relevansi untuk membedakan antara

adopsi tidak kritis dengan adopsi kreatif yang diterapkan pada saat

melakukan indigenisasi. Selain itu, mekanisme dan cara-cara adopsi tidak

kritis yang tidak memfasilitasi pembangunan harus dipetakan. Sebagai

contoh, apa implikasi dari teori ilmu sosial positivis teori kebijakan

pembangunan? Sampai sejauh mana penelitian empiris saat ini dalam

mengembangkan masyarakat yang tidak relevan dengan kebutuhan

masyarakat tersebut? Dalam hal apa yang kebijakan hanya dipindahkan

dari negara-negara industri maju tanpa memperhitungkan kondisi lokal?

Kedua, panggilan untuk indigenisasi akan melibatkan studi

tentang strategi dan teknik normalisasi yang timbul dari adopsi tidak

kritis dan penerapan teori pembangunan di Dunia Ketiga. Apa sajakah

kebijakan dan program pembangunan yang terlibat dalam proses

normalisasi ini? Di sini akan diperlukan penelitian mendalam untuk

menarik perbedaan antara masalah asli pembangunan di satu sisi, dan

kreasi dari kelainan di sisi yang lain. Misalnya, kemiskinan merupakan

masalah asli, tapi kurangnya analisa kritis adalah kelainan diskursif.

Namun pertanyaan lain menyangkut klasifikasi normalisasi adalah

Apakah ada bentuk dan manifestasi dari normalisasi yang berbeda, dan

bagaimana hal itu bisa diidentifikasi?

Ketiga, kegiatan ilmiah sosial ulayat berarti studi tentang berbagai

cara di mana suara adat dikendalikan. Beberapa prosedur dan prinsip-

prinsip yang terlibat dalam hal ini telah dibahas dalam bagian

sebelumnya dengan mengacu pada Foucault. Yang pasti, ada prinsip-

prinsip lain serta teknik, misalnya tentang wasit dalam jurnal ilmiah.

Bagaimana dan sejauh mana kreativitas ulayat dihambat oleh standar,

prasyarat, dan evaluasi yang terlibat dalam wasit jurnal internasional?

Keempat, harus ada upaya sadar untuk terlibat dalam kegiatan

ilmiah sosial dengan maksud untuk memperhitungkan pandangan dunia,

konteks sosio-historis, dan praktek-praktek budaya masyarakat ulayat

sehingga konsep dan teori ulayat dapat dihasilkan. Beberapa contoh ini

telah disajikan dalam bagian sebelumnya.

Kelima, sangat penting bahwa upaya tersebut pada ilmu sosial

ulayat memiliki implikasi sendiri untuk praktek politik, kerja sosial,

perumusan kebijakan, dan pelaksanaan program. Tapi bagaimana teori

indigenisasi mempengaruhi praktek pembangunan harus diartikulasikan.

Misalnya, bagaimana konsep adat tentang pengangguran mempengaruhi

kebijakan makroekonomi yang dirancang untuk mengekang

pengangguran?

Page 122: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

110

Dan akhirnya, harus dinyatakan bahwa panggilan untuk

indigenisasi tidak secara simultan merujuk pada panggilan untuk

nativisme atau orientalisme terbalik. Hal ini mengacu pada tren di antara

kedua ilmuwan Barat dan lokal yang melakukan penolakan terhadap

impor besar-besaran ilmu sosial Barat. Indigenisasi harus dilihat sebagai

panggilan simultan untuk internasionalisasi selama yang terakhir ini

dipahami bukan sebagai proses sepihak, melainkan sebagai salah satu

yang berasal dari masyarakat berkembang, sembari menggabungkan

secara selektif ilmu-ilmu sosial Barat.86

Panggilan untuk indigenisasi secara simultan merupakan panggilan untuk

universalisasi ilmu-ilmu sosial. Hal ini mengandaikan asumsi tentang status

kognitif ilmu sosial. Hal yang harus dilakukan adalah Pertama-tama menyatakan

bahwa ilmu sosial adalah wacana universal dan bahwa versi nasional atau

peradaban adalah sebuah distorsi. Di sisi lain, seseorang bisa menuduh ilmu sosial

Barat etnosentrisme dan mengganti kondisi ini dengan etnosentrisme lokal

(nativisme, pembalikan orientalisme, dan sebagainya). Setiap orang dapat

berkontribusi dalam menempatkan ilmu sosial universal yang memiliki berbagai

ekspresi peradaban atau kebudayaan. Selanjutnya ilmu sosial berusaha untuk

mengisi kekosongan dalam wacana universal, yaitu pengungkapan adanya

berbagai ekspresi ulayat.87

Tujuan dan metode ilmu pengetahuan tidak diragukan

lagi seragam di seluruh dunia, tetapi masalah ilmu pengetahuan dalam kaitannya

dengan masyarakat berbeda-beda, seperti upaya menjadikan ilmu sosial berbasis

pada ajaran suatu agama yang disebut Alatas sebagai sakralisasi ilmu

pengetahuan. Kali ini yang akan dibahas secara singkat adalah sakralisasi dalam

ilmu sosial Islam.

Menurut Alatas, ekspresi dalam ilmu sosial Islam diatur oleh kebenaran

dalam dua cara yang sesuai dengan dua tren utama dalam ilmu sosial Islam. Pada

tren pertama, aspirasinya adalah untuk kembali ke logika di masa penemuan

rasionalitas dengan penuh kehati-hatian. Tujuan dari rasionalitas tersebut adalah

untuk menunjukkan manusia pada jalan pendakian dari persepsi dunia fisik ke

dunia spiritual. Disatu sisi konsepsi rasionalitas instrumental terdapat dalam

86 Alatas, On The Indigenization, Op.Cit., pp. 332-334. 87 Ibid., pp. 312-313.

Page 123: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

111

tradisi positivistik modern, menyangkal jika rasionalitas dijadikan pegangan oleh

ilmuwan Muslim. Kecenderungan kedua dalam ilmu sosial Islam adalah konsep

“ilmiah” yang ada dalam tradisi intelektual Muslim yang berada pada sains positif

sebagaimana dipahami di Barat.88

Ilmu-ilmu sosial Islam tidak boleh terbatas hanya pada penanggulangan

masyarakat Muslim, tapi harus diperluas untuk penafsiran seluruh dunia dari sudut

pandang Islam. Ilmu sosial Islam yang universal, kemudian disandingkan dengan

ilmu-ilmu sosial Barat yang melibatkan interpretasi tidak hanya peradaban Barat,

tetapi juga peradaban non-Barat.89

Wacana demikian dapat disebut sebagai

objektifikasi Islam.

Seperti halnya dalam penulisan sejarah Islam yang sering dilakukan para

Orientalis. Sejarah Islam harus ditulis dari sudut pandang pengalaman kaum

Muslimin daripada penjajah lainnya. Ketika penulisan ilmiah sejarah dan ilmu

sosial dilakukan dengan pengalaman dan pikiran umat Islam, maka tulisan-tulisan

tersebut dapat dikategorikan masuk ke dalam sudut pandang seorang Muslim atau

Islamic Worldview. Akhirnya yang dibutuhkan saat ini adalah lembaga

pengetahuan sistematis yang didasarkan pada berbagai budaya Islam, karena

dengan cara yang sama ilmu-ilmu sosial Barat didasarkan pada budaya Barat,

khususnya sejarah dan filsafat Barat. Misalnya masyarakat yang merupakan pusat

evolusionisme fungsional pada gilirannya menginformasikan berbagai teori

pembangunan yang ketika ditelusuri kembali ke zaman Aristoteles. Dalam cara

yang sama, ilmuwan sosial Islam perlu mendasarkan teori dan konsep mereka

tentang sejarah dan pemikiran Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW.90

Selanjutnya timbul pertanyaan berikutnya, Apakah sumber yang mendasari

ilmu-ilmu sosial Islam? Jawabannya adalah Al-Quran, Sunnah (tradisi Nabi) dan

berbagai ilmu-ilmu Islam seperti fiqih (yurisprudensi), kalam (teologi skolastik),

tasawuf (metafisika), dan filsafat (filsafat). Selain itu, teori-teori ilmiah sosial

harus berasal dari sejarah Islam. Namun, kontribusi dari Barat dan ilmu-ilmu

88 Ibid., pp. 330. 89 Alatas, Reflectionon The Idea of Islamic Social Science, Comparative Civilizations

Review, 60-86, 1986, pp. 60. 90 Ibid., pp. 61.

Page 124: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

112

sosial lainnya tetap harus diperhitungkan. Perlu ditekankan bahwa penjelasan

Alatas dalam Ilmu Sosial Islam harus terlepas dari Islamosentris, sebagai lawan

dari ilmu sosial Eurosentris.

Ilmu Sosial Islam harus membuat klaim universalitas. Konsep dan teori

yang berasal dari berbagai sumber Islam harus mampu menghasilkan pemahaman

untuk masyarakat non-Muslim juga. Ilmu-ilmu Sosial Islam harus dapat

memahami semua umat manusia. Tugas berat kemudian adalah untuk

mendamaikan dua posisi yang tampak bertentangan. Klaim universalitas tidak

dapat menyangkal pemahaman dari peradaban lainnya. Regenerasi pemikiran

Islam, oleh karena itu secara bersamaan harus dilakukan dengan upaya melakukan

rekonsiliasi.

Rekonsiliasi tersebut mengandaikan asumsi tentang status kognitif dari

ilmu-ilmu sosial. Ada sejumlah asumsi yang mungkin, Pertama-tama adalah

wacana universal Ilmu Sosial Islam dan bahwa versi nasional atau peradaban

adalah sebuah distorsi. Di sisi lain, seseorang dapat kembali ke relativisme budaya

yang menuduh ilmu sosial Barat etnosentris, namun menggantikan hal ini justru

dengan etnosentrisme Islam yang dapat dipahami dalam dua cara: (1) ilmu sosial

Islam hanya berlaku untuk masyarakat Islam dan (2) ilmu sosial Islam menolak

pemahaman dari peradaban lain. Posisi ini tidak boleh diambil berkaitan dengan

status kognitif ilmu sosial. Akhirnya Alatas mengusulkan posisi ketiga, yaitu

menempatkan ilmu sosial yang universal yang memiliki berbagai ekspresi

peradaban atau kebudayaan, semua berkontribusi terhadap pemahaman umat

manusia. Proyek yang Alatas lakukan adalah usaha untuk mengisi kekosongan

wacana universal dalam ilmu sosial, yaitu tidak adanya ekspresi peradaban

Muslim.91

Alatas menyebutkan bahwa indigenisasi dan pengembangan endogen

diperlukan dalam upaya mengembangkan ilmu sosial yang relevan bagi

masyarakat Muslim. Perlu ditekankan bahwa asimilasi selektif unsur eksogen

harus dianggap sebagai bagian dari kegiatan endogen. Setiap upaya untuk

mengembangkan ilmu-ilmu sosial Islam akan memerlukan penjagaan prinsip-

91 Ibid., pp. 63.

Page 125: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

113

prinsip regeneratif dalam pikiran Muslim. Seperti yang telah disebutkan

sebelumnya, generasi ilmu-ilmu sosial Islam membutuhkan pemahaman tentang

kekurangan dari ilmu sosial kontemporer dalam masyarakat Muslim. Hal ini

diperlukan untuk menangani masalah Negara, yaitu imitasi dan kebergantungan

vis-a-vis ilmu-ilmu sosial Barat.

Dalam berbagai literatur menunjukkan bahwa banyak Muslim tertarik

untuk menyangkal masa lalu kolonial dan membangun masyarakat yang mandiri.

Selama dan setelah masa kolonial, para ilmuwan Muslim menggunakan bahasa

penindas untuk mengkritik penindas mereka dalam menangani masalah Muslim.

Alatas memberikan contoh tentang pendekatan yang dilakukan Ali Syari‟ati.

Teorinya tentang sejarah dan ide-ide tentang keterasingan berawal dari tradisi

keilmuan Barat (Marx dan Durkheim), ia juga tidak menyebutkan kebutuhan

untuk kembali ke cendekiawan Muslim pada masa lalu. Menurut Alatas, Syari‟ati

tidak cukup menarik tradisi Islam dalam konsep dan teori-teorinya. Sebaliknya,

Alatas mengatakan bahwa cendekiawan Muslim harus memanfaatkan berbagai

sumber-sumber Islam ketika mengembangkan dan menerapkan teori dan konsep

untuk mempelajari masyarakat.92

Gelombang oposisi terhadap ilmu sosial Barat kadang sangat rasional dan

kosmopolitan, tapi kadang-kadang agak picik tanpa menyadari tindakannya justru

melestarikan teori Barat. Sebagai contoh, konsep ekonomi Islam menjadi alasan

rasional dengan metodologi hipotetis-deduktif, sementara menghiasi dirinya

dengan berbagai tanda terminologi Islam. Padahal konsep ini hanya menggantikan

istilah Islam pada era neoklasik, namun mempertahankan asumsi dan metode yang

sama dengan kapitalis. Perkembangan terminologi baru seperti Ekonomi Islam,

memungkinkan ide-ide asing datang secara terselundup dengan diberi keunggulan

sementara, dan pada saat yang sama menjaga aura Islamisasi ilmu pengetahuan.

Perkembangan terminologi ini juga memungkinkan seseorang untuk memotong

sebuah kue, namun memakannya juga.93

92 Ibid., pp. 70. 93 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 93-94.

Page 126: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

114

Gagasan ekonomi Islam tidak muncul dari dalam tradisi klasik dalam

pemikiran Islam. Dalam tradisi Islam klasik, ada diskusi mengenai lembaga

ekonomi dan praktiknya di dunia Muslim, tetapi gagasan ilmu ekonomi Islam dan

ilmu ekonomi secara khususnya tidak pernah diangkat ke permukaan. Oleh karena

itu menurut Alatas, Ekonomi Islam merupakan penciptaan pada masa modern.

Ekonomi Islam muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan pada model ekonomi

kapitalis dan sosialis serta teori pembangunan pada tahun 1950-an. Ekonomi

Islam berkomitmen untuk membedakan sifat dan etos pembangunan ekonomi dari

sudut pandang Islam. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk mengidentifikasi

cita-cita Islam dalam pembangunan ekonomi.94

Ekonomi Islam menyajikan konsep pembangunan ideal yang didasarkan

pada falsafah hidup Islam. Transaksi visi alternatif pembangunan dan berbagai

pilihan kebijakan telah diusulkan, seperti pengenalan perbankan bebas bunga dan

pengelolaan zakat. Namun menurut Alatas, apa yang disajikan sebagai ekonomi

Islam sebenarnya merupakan teori etika produksi, distribusi, harga, dan lain-lain.

Ketika ekonom Islam membahas kategori ekonomi tradisional seperti pendapatan,

konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan tabungan, mereka

melakukannya dalam hal pernyataan etis dan tidak dalam hal analisis dan teori

empiris.

Ketika para ekonom Islam menerapkan teori empiris, apa yang disajikan

sebagai ekonomi Islam ternyata tidak menjadi alternatif untuk wacana modernis.

Fokus dan metode yang telah dipilih oleh ekonom Muslim untuk analisis ekonomi

pada dasarnya merupakan bentuk ekonomi neo-klasik Keynesian.95

Ekonomi

Islam sangat banyak tertanam dalam tradisi ekonomi neo-klasik dalam hal

kepedulian terhadap faktor-faktor teknis seperti pertumbuhan bunga, pajak,

keuntungan, dan sebagainya. Sejumlah masalah yang berhubungan dengan

ekonomi-politik seperti pembangunan tidak merata, perubahan tidak merata,

kapitalisme birokrasi, korupsi dan peran Negara, ketergantungan pada teori

94 Alatas, The Problem, Op.Cit., pp. 288-289. 95 Ibid., pp. 292-293.

Page 127: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

115

ekonomi kelembagaan, tidak ditangani pada tingkat teoritis dan empiris oleh para

ekonom Islam.

Menurut Alatas, masalah utama keadaan ini adalah bahwa di bawah kedok

“ekonomi Islam”, kebijakan yang dihasilkan oleh pusat-pusat industri kapitalis

diterapkan pada dunia Muslim, kemudian dilegitimasi. Teori manusia rasional dan

metodologi hipotetis-deduktif yang ada dalam ekonomi Islam hanya

menggantikan istilah Islam untuk ekonomi neo-klasik.96

Dengan demikian konsep

ekonomi Islam telah gagal untuk terlibat dalam analisis dan kritik terhadap tatanan

ekonomi dunia yang sangat tidak seimbang. Ekonomi yang seharusnya anti-Barat

ini justru terkooptasi dan dibuat untuk melayani orang-orang yang sedang

berupaya keluar dari masalah ekonomi konfensional. Fungsi ideologis ekonomi

Islam juga mendukung modal keuangan dunia, sementara mengklaim untuk

menawarkan alternatif dalam arus utama kegiatan ekonomi.

Menurut Alatas, sebagian besar masyarakat Islam tidak dapat

menyelesaikan masalah kompatibilitas tradisi keagamaan mereka dengan

pengetahuan Barat (sekuler, positivis, berorientasi materialistis). Negara-negara

Muslim bahkan tetap mengalami skizofrenia dalam memandang ilmu pengetahuan

Barat termasuk filsafat. Mereka tidak dapat mengembalikan produktifitas antara

sains dan Islam yang berkembang selama zaman kegelapan Barat itu. Yang lebih

mengecewakan adalah konsep materialisme pengetahuan Barat yang menyangkal

keberadaan Allah bahkan diajarkan secara berdampingan dengan teologi Islam

dalam universitas yang sama.97

Padahal Alatas mencontohkan bahwa seorang Muslim dapat mengisi

tempat kosong dalam konsep sosiologi modern yang tidak memiliki klaim

universal. Hal ini selama berpuluh tahun dilakukan Alatas dalam karya Ibn

Khaldun dan Jose Rizal. Sebagaimana diketahui, ibn Khaldun sejak beberapa abad

terakhir telah diakui sebagai prekursor banyak disiplin ilmu sosial modern. Ernest

Gellner misalnya yang menawarkan model peradaban Muslim tradisional yang

didasarkan pada perpaduan dari sosiologi politik ibn Khaldun dengan teori osilasi

96 Ibid., pp. 295. 97 Alvares, Op.Cit., pp. 75.

Page 128: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

116

David Hume mengenai agama. Menurut Alatas, ini merupakan contoh

indigenisasi, karena menganggap sumber-sumber non-Barat sah dalam upaya

untuk mengembangkan model yang terintegrasi dengan membawa pemikiran

Barat juga. Dimasukkannya teori Barat tidak dilihat sebagai legitimasi dari latihan

indigenisasi, melainkan pengakuan bahwa semua peradaban harus dianggap

sebagai sumber tidak hanya data tetapi juga teori.98

Studi tentang kenaikan dan penurunan negara, suksesi dinasti dan peran

agama Islam di Timur dan Barat (al-maghrib dan al-Mashriq) belum mendapatkan

keuntungan dari aplikasi sistematis dari teori Abd al-Rahman Ibn Khaldun (732-

808 H /1332-1406 M). Alasan utama untuk ini adalah bahwa Ibn Khaldun selalu

berada di pinggiran ilmu-ilmu sosial modern dan paling tidak, dianggap sebagai

pendahulu sosiologi modern, tetapi bukan seorang sosiolog yang berada di garis

kanan. Akibatnya, karyanya pada sejarah dan elaborasinya tentang ilmu

masyarakat (ilm al-umrohn) sebagai prasyarat untuk studi sejarah, jarang secara

serius dikaji oleh para ilmuwan. Padahal teori Ibn Khaldun dapat didekati dengan

menerapkan kerangka kerja yang mengintegrasikan teori tentang pembentukan

negara dengan konsep modern dalam sosiologi Khaldun.99

Menurut Alatas model Khaldunian memiliki potensi penerapan yang dapat

memberikan penjelasan empiris untuk mengembangkan teori Khaldunian dalam

sosiologi. Namun, pendekatan Khaldunian secara umum telah diabaikan. Menurut

Alatas, usahanya dalam menjelaskan teori Ibn Khaldun dalam berbagai karya

dapat menjadi subyek utama untuk artikel lain. Dalam beberapa tulisannya, Alatas

berupaya menyajikan teori sosiologi Ibn Khaldun sebagai sebuah contoh untuk

sosiologi modern.

Menurut Alatas sebagian besar karya hanya menyatakan bahwa Ibn

Khaldun merupakan pendiri sosiologi dan prekursor bidang lain dalam ilmu

sosial. Sebagian yang lain hanya menggunakan narasi sejarahnya di Afrika Utara

(al-maghrib) sebagai sumber daya untuk penelitian tentang sejarah daerah.

Padahal menurut Ali Azmeh sebagaimana dikutip Alatas, ada beberapa

98 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 238. 99 Alatas, A Khaldunian Exemplar for a Historical Sociology for the South, Current

Sociology 2006 54: 397, pp. 397.

Page 129: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

117

pengecualian yang dapat dilakukan pada karya Ibn Khaldun, yaitu Pertama

Muqaddimah sebagai filosofi awal Ibn Khaldun mengenai sejarah. Yang kedua

adalah upaya untuk mengekstrak karya neo-Khaldunian dalam sosiologi modern.

Yang ketiga adalah kritis terhadap pendekatan yang berusaha untuk melihat karya

Ibn Khaldun dalam lensa sosiologi modern serta atribut imajinasi sosiologis

modern. Namun demikian, tidak ada perdebatan pada masing-masing posisi ini.

Akibatnya, teori Ibn Khaldun belum mampu menopang dirinya sendiri pada

tingkat yang pantas.100

Alatas menyajikan rekonstruksi sistematis teori Ibn Khaldun tentang

pembentukan negara dalam masyarakat Maghrib, yang akan menjadi prasyarat

untuk pengembangan teori Khaldunian yang relevan dengan konteks daerah

masing-masing. Rekonstruksi teori Ibn Khaldun dipandang perlu didiskusikan

lebih dalam oleh para ilmuwan. Mereka menguraikan teorinya dengan

menggambarkan dan mendiskusikan Muqaddimah, maka dapat menjelaskan kitab

al-`Ibar. Dengan kitab Muqaddimah, akan ditemukan metode tentang ilmu

organisasi sosial manusia (`ilm al-`umrohn albashan) atau ilmu masyarakat

manusia (`ilm al-ijtima` al-Insani).

Objek utama penulisan Ibn Khaldun terhadap ilmu sosial adalah

penelitianya tentang sejarah Arab Barbar dari Afrika Utara, khususnya, kenaikan

dan penurunan dari negara dan dinasti. Penjelasan ini diambil dalam Kitab al-

`Ibar. Namun, Ibn Khaldun menemukan ada metode sejarah yang tidak sesuai

karena banyak orang yang tidak memisahkan antara kebenaran dari fiksi. Peneliti

perlu mengetahui sifat masyarakat yang melampaui bentuk luar fakta (zahir) dan

laporan kepada makna sejarah batin (batin), yaitu penjelasan tentang sebab dan

akibat. Ibn Khaldun menyajikan ilmu tentang masyarakat sebagai alat untuk

mempelajari penyebab dan dampak dari peristiwa yang dilaporkan oleh

sejarawan. Ilmu baru ini terdiri dari bidang-bidang berikut: (1) divisi masyarakat

pada umumnya (`umrohn); (2) masyarakat Badui (al-`umrohn al-badawah),

masyarakat suku (qaba'il) dan orang-orang primitif (al-wahshiyyah); (3) negara

(al-dawlah), kerajaan (mulk) dan otoritas khalifah (khilafah); (4) masyarakat kota

100 Ibid., pp. 398.

Page 130: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

118

yang menetap; dan (5) kerajinan, cara mencari nafkah, pekerjaan masyarakat. Hal

ini dapat disajikan kembali dalam bahasa sosiologi sebagai manusia atau ekologi

sosial, sosiologi pedesaan, sosiologi politik, sosiologi perkotaan dan sosiologi

kerja.101

Adapun dalam analisa berikutnya mengenai indigenisasi terhadap karya

Ibn Khaldun, Alatas menyatakan bahwa transformasi teori Ibn Khaldun menjadi

ilmu sosial modern tidaklah lengkap. Menurut Alatas perhatian kurang serius

ditunjukkan beberapa ilmuwan Barat pada karya sosiologi Ibn Khaldun pada abad

ke-19. Sebuah contoh dari Engels yang menyesuaikan Islam dengan orientasi sang

Orientalis. Engels menggambarkan orang Arab sebagai warga kota yang terlibat

dalam perdagangan dan industri, namun di sisi lain seperti suku nomaden

Badawi.102

Alatas juga mengutip tulisan Becker dan Barnes dalam sejarah penting

sosiologi yang berjudul Social Thought dari Lore to Science, pertama kali

diterbitkan pada tahun 1938. Mereka mendiskusikan ide-ide dari Ibn Khaldun

beberapa halaman dan mengakui bahwa Ibn Khaldun merupakan orang yang

pertama yang menerapkan ide-ide modern seperti dalam sosiologi dan sejarah.

Namun demikian, pengakuan tersebut tidak tercermin dalam pengajaran sosiologi

kontemporer di universitas dan perguruan tinggi di seluruh dunia, meskipun hanya

dalam penulisan sejarah sosiologi. Gagasan untuk mengembangkan konsep

Khaldunian, menggabungkan mereka dengan orang-orang dari sosiologi modern

dan menerapkan pendekatan teoritis yang dihasilkan untuk berbagai bidang

empiris dan historis tetap marginal. Oleh karena itu, Alatas menyatakan bahwa

generasi sosiologi Khaldunian modern membutuhkan asimilasi dengan konsep

dan teori-teori ilmu sosial modern. Menurutnya hal ini memerlukan perbandingan

beberapa konsep dalam karya Ibn Khaldun dengan ilmuwan ilmu sosial

modern.103

Lebih lanjut Alatas menyatakan jenis perhatian yang dapat dilakukan

adalah:

101 Ibid., pp. 400. 102 Ibid., pp. 403. 103 Ibid., pp.408.

Page 131: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

119

1. Metateori, yang merujuk pada dimensi epistemologis dan metodologis

yang mendasari pikiran para pemikir non-Barat.

2. Teori, merujuk pada uraian sistematis, analisis, dan kritik terhadap

pemikiran non-Barat.

3. Bangunan teori, merujuk pada abstraksi pemikiran non-Barat untuk

melahirkan apa yang disebut sebagai neo-Khaldunian, dan lain-lain.

4. Penilaian kritis atas pengetahuan yang ada.

5. Mengajarkan para pemikir non-Barat melalui kuliah sosiologi dan ilmu

sosial mainstreem.

6. Diseminasi gagasan para pemikir non-Barat melalui diskusi-diskusi panel

dan makalah regular dalam konferensi ilmu sosial mainstreem.

Pada akhirnya muncul pada kesimpulan bahwa pada kenyataannya kini,

metaanalisis dalam ilmu Sosiologi meski belum kokoh telah mengalami serangan

hebat pada 1980-an dan masih harus mencapai kematangan dalam subbidangnya.

Kemiskinan teori di kebanyakan dunia non-Barat juga berkontribusi pada

ketertinggalan filsafat dan sosiologi di Asia. Telaah-telaah ilmu sosial Dunia

Ketiga juga dianggap tidak penting karena wataknya yang polemis dan retorik,

ditambah konseptualisasi yang tak memadai. Selain itu ilmuwan Barat secara

sengaja banyak melakukan pembiaran terhadap berbagai metaanalisis tersebut.

Berbagai teori yang lahir dari masyarakat ilmiah Dunia Ketiga tidak dianggap

sebagai konsepsi baru dalam teori sosiologi di seluruh dunia.

Menurut Alatas, dalam menilai ilmu sosial Barat secara kritis, harus

ditekankan bahwa berbagai teori tidak secara sengaja membahas masalah

relevansi dan irelevansi, meskipun dengan jelas menyiratkan adanya bentuk

irelevansi antara teori dan metode dari suatu konteks sosio-sejarah ketika

diterapkan di tempat lain. Teori-teori tersebut masuk dalam suatu variasi

metaanalisis ilmu sosial karena berada di wilayah pinggiran non-Barat.104

Penelitian Alatas mengembangkan tipologi metaanalisis dengan

menggunakan dua dimensi, yaitu internal-eksternal dan kognitif-institusional.

Internal mengacu pada faktor-faktor yang berhubungan dengan riset, konstruksi

104 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 27.

Page 132: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

120

teori, metodologi, telaah empiris dan ilmu sosial terapan. Eksternal menunjuk

pada faktor-faktor di luar diskursus, namun mempengaruhi ilmu sosial. Kognitif

berhubungan dengan aspek-aspek ideal ilmu sosial seperti gagasan, teori, konsep,

dan nilai. Sedangkan institusional merujuk pada komponen struktural, baik di

dalam maupun di luar ilmu sosial yang menentukan aktivitas ilmiah ilmu sosial.

Pendekatan analisis internal-kognitif terhadap topik keadaan ilmu sosial di

masyarakat berkembang mencakup teori-teori mengenai Orientalisme,

Eurosentrisme, Postkolonialisme, dan Retorika. Semua pendekatan ini memiliki

kesamaan, yaitu kritik atas gagasan-gagasan internal diskursus ilmiah sosial

seperti gagasan tentang kemajuan (progress), superioritas peradaban Barat dan

paternalismenya yang inheren. Sedangkan pendekatan Eksternal-Kognitif meneliti

bagaimana ide, sikap, nilai, mentalitas di luar ilmu sosial mempengaruhi aktivitas

ilmu sosial. Pendekatan ini terdiri dari teori pikiran terbelenggu (captive mind),

teori pedagogis tentang modernisasi, dan kritik kolonial modern.

Teori Orientalisme yang dicetuskan Edward Said (1979) sangat terkenal

sebagai alat memfokuskan telaah pada masalah kolonialisme. Namun telah ada

sebelumnya karya yang membahas mengenai hal yang sama yaitu karya Abdel-

Malek (1963), Tibawi (1979) dan Ahmad Ashraf (1976).105

Pada dasarnya

Orientalisme terwujud dalam suatu fenomena yang didasarkan pada ekspansi

ekonomi dan politik Eropa, yang melibatkan tidak hanya institusi dan organisasi

baru, tetapi juga sekumpulan teori yang dibangun dari beberapa asumsi,

kepercayaan dan ideologi seperangkat disiplin yang mempelajari Timur. Ciri

utama Orientalisme adalah pembagian Timur-Barat yang menempatkan

masyarakat Barat serta kebudayaan, bahasa, dan religinya lebih unggul daripada

Timur. Orientalisme adalah sebuah gaya pemikiran yang didasarkan pada

pembagian ontologis dan epistemologis antara Timur dan kebanyakan Barat.

Dualisme Timur-Barat mengambil bentuk dualisme ruang seperti Utara/Selatan,

Pusat/Pinggiran, Maju/Masih berkembang.

Edward Said menyebut proses ini sebagai wacana Barat tentang yang lain

(Other) yang didukung oleh institusi, penghargaan akademik, kosa kata,

105 Ibid., h. 28.

Page 133: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

121

perumpamaan, doktrin, bahkan bisa juga birokrasi kolonial dan gaya kolonial.

Proses ini berlangsung antara lain disebabkan oleh pertukaran timbal balik yang

simultan antara konstruksi sekolahan (scholarly construction) dan konstruksi

imajinatif terhadap ide-ide tentang Timur (Orient). Said berpendapat bahwa

„Oriental‟ separuhnya adalah ciptaan Barat, didasarkan pada suatu kombinasi cita-

cita yang dibentuk melalui karya-karya kesarjanaan dan imajinasi.106

Pada dasarnya menurut Bryan S. Turner, perdebatan mengenai

Orientalismelah yang melahirkan Oksidentalisme. Oksidentalisme berisikan

penolakan tak langsung terhadap warisan modernisasi. Menurut Said sebagaimana

dikutip Turner, periode postkolonial masih mengandung dominasi kultural pada

Dunia Ketiga. Oleh karena itulah muncul berbagai sikap defensif oleh para

fundamentalis dalam memandang modernisasi. Sikap ini mencakup klaim akan

kebenaran tradisi dibandingkan dengan pengetahuan yang diwarisi, diimpor oleh

pengetahuan asing.107

Sikap kritis postkolonial menawarkan sebuah teori yang mengungkapkan

tentang komoditas pengetahuan dibalik produksi pengetahuan. Menurut Taylor

(1985), perlu adanya telaah tentang subjek-subjek di dunia ketiga sebagai sasaran

kontrol untuk diteliti, diukur, dikategorisasikan, dan dijadikan target kebijakan

normalisasi. Berbagai disiplin dalam teori pembangunan dirancang untuk

memberikan gambaran positif mengenai pembangunan, sehingga masyarakat

berkembang dapat dinormalisasi sesuai dengan tujuannya. Tujuan normalisasi

adalah berpura-pura menaikkan standar hidup, meningkatkan produktifitas,

memperbaiki distribusi pendapatan, meningkatkan pendidikan, dan lain-lain.108

Jenis metaanalisis lainnya menurut Alatas difokuskan pada teks diskursus

ilmiah yang dibangun atas gagasan bahwa kebenaran dapat dihadirkan melalui

retorika. Menurut Weimar, mengetahui “knowing” hanya bisa dilakukan melalui

keterlibatan dalam aktivitas retorika. Retorika dalam ilmu sosial berkutat pada

bagaimana kata-kata disampaikan untuk menyesatkan makna, membujuk,

menimbulkan salah informasi alih-alih menyingkap dan mengklasifikasi. Oleh

106 Smith, Dekolonisasi, Op.Cit., h. 13. 107 Turner, Op.Cit.,h. 29. 108 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 32-33.

Page 134: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

122

karena itu menurut Baehr dan O‟Brien (1994), sebuah diskursus akan berhasil jika

mengambil jalan metafor, metonim, ironi dan hal serupa agar dapat menghasilkan

versi realitas yang menarik, jelas, mencerdaskan, dan memikat.109

Pada kenyataan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teori tidak perlu

dibatasi dalam dimensi empiris dan logisnya saja. Konstruksi-retoris teori sosial

melibatkan penggunaan teknik retorika yang berfungsi membujuk khalayak agar

menerima versi realitas. Dengan menerima versi realitas ini tanpa sadar seseorang

telah masuk dalam sebuah perangkap yang berisi teori yang irelevan. Dengan

perangkap ini secara tidak langsung Eurosentrisme telah terjadi dalam tataran

akademis.

Menurut Alatas secara garis besar literatur ilmu humaniora dan sosial

dalam 200 tahun terakhir, khususnya 50 tahun terakhir telah menyayangkan

keadaan ilmu-ilmu budaya di Dunia Ketiga, menyoroti berbagai masalah yang

semuanya dapat dimasukkan di bawah konsep, ekspresi dan gerakan seperti kritik

kolonialisme (Césaire, 1955; Memmi, 1957), imperialisme akademis (Alatas, SH,

1969, 2000), dekolonisasi (pengetahuan) (Fanon, 1961), paedagogi kritis (Freire,

1970), imitasi dan captive mind (Alatas, SH, 1972, 1974), deschooling (Illich,

1973), kebergantungan akademik (Altbach, 1977; Garreau, 1985; Alatas, SF,

1999, 2000a), Orientalisme (Said, 1979, 1993) dan Eurosentrisme (Amin, 1979;

Wallerstein, 1996). Masalah-masalah ini terlihat menjadi bagian dari konteks yang

lebih besar dari hubungan antara kekuatan kolonial Barat dan daerah eks-koloni,

termasuk masyarakat yang telah dijajah. Pengakuan dan penilaian masalah ini

menyebabkan panggilan untuk indigenisasi ilmu-ilmu sosial (Fahim, 1970; Fahim

dan Helmer, 1980; Atal, 1981), deschooling (Illich, 1973), kreativitas intelektual

endogen (Alatas, SH, 1978), ilmu sosial otonom (Alatas, SH, 1979), post-

kolonialisasi pengetahuan (Prakash, 1990, 1992; Chakrabarty, 1992), globalisasi,

dekolonisasi dan nasionalisasi ilmu-ilmu sosial. Semua ini dapat secara kolektif

disebut sebagai panggilan untuk wacana alternatif dalam ilmu sosial.

The literature in the social sciences and humanities of the last 200

years and that of the last 50 years in particular has deplored the state of

109 Ibid., h. 33.

Page 135: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

123

knowledge in the arts in the Third World, highlighting various problems

that can all be subsumed under concepts, expressions and movements such

as the critique of colonialism (Césaire, 1955; Memmi, 1957), academic

imperialism (Alatas, S. H., 1969, 2000), decolonization (of knowledge)

(Fanon, 1961), critical pedagogy (Freire, 1970), imitation and the captive

mind (Alatas, S. H., 1972, 1974), deschooling (Illich, 1973), academic

dependency (Altbach, 1977; Garreau, 1985; Alatas, S. F., 1999, 2000a),

Orientalism (Said, 1979, 1993) and Eurocentrism (Amin, 1979;

Wallerstein, 1996). These problems were seen to be part of the larger

context of relations between the former western colonial powers and the

ex-colonies, including those societies that were vicariously colonized. The

recognition and assessment of these problems led to various calls for the

indigenization of the social sciences (Fahim, 1970; Fahim and Helmer,

1980; Atal, 1981), deschooling (Illich, 1973), endogenous intellectual

creativity (Alatas, S. H., 1978), an autonomous social science tradition

(Alatas, S. H., 1979), postcolonizing knowledge (Prakash, 1990, 1992;

Chakrabarty, 1992), globalization, decolonization and nationalization of

the social sciences. All these may be collectively referred to as calls for

alterna- tive discourses in the social sciences (Alatas, S. F., 2000b).110

Menangkal Eurosentrisme dalam ilmu sosial juga bisa dilakukan dengan

membalik dikotomi subyek-obyek yang membawa non-Eropa ke latar depan,

mengakui non-Eropa sebagai pencetusnya, dan mengalihkan perhatian untuk

konsep dan kategori non-Eropa. Hal ini harus dilakukan tidak dengan ide

menggusur ilmu sosial modern tapi untuk melakukan universalisasi. Tugas tidak

harus mengembangkan tradisi ilmiah sosial yang sama sempit seperti yang sedang

dikritik di sini. Alatas mengusulkan bahwa menangkal Eurosentrisme dapat

dilakukan pada beberapa tingkat kegiatan ilmu sosial. Menggunakan contoh dari

Ibn Khaldun, Alatas ingin menyarankan bagaimana hal ini dapat dilakukan.

Tingkat pertama adalah bahwa metateori, studi tentang struktur yang

mendasari teori. Studi tentang struktur yang mendasari teori akan mencakup

pemeriksaan dasar-dasar metodologis dan logika. Studi tersebut diperlukan jika

kontribusi dari seorang ilmuwan tertentu harus tetap hidup karena dianggap

relevan. Teori Ibn Khaldun tentang pembentukan negara harus terus dibahas dari

segi metodenya, dasar-dasar logika, dan konteks sosial di mana ia muncul. Selain

110 Alatas, Academic Dependency and The Global Division of Labour in The Social

Sciences, Current Sociology November 2003, Vol. 51 (6): pp. 599. Dan Alatas, Diskursus,Op.Cit.,

h. 47.

Page 136: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

124

itu, harus ada pekerjaan yang lebih teoritis untuk dilakukan. Karya-karya ini harus

lebih dari sekedar karya deskriptif.

Namun masalah besar masih melingkupi kurikulum di perguruan tinggi.

Mengutip pendapat Ward Churchill, Alfares menyatakan bahwa pada

pembelajaran filsafat, mahasiswa dihadapkan pada kemungkinan untuk

mengeksplorasi sedalam-dalamnya karya-karya filsuf Barat dalam berbagai

generasi. Mahasiswa dihadapkan pada teori yang dikemukakan para filsuf Yunani

kuno, dasar-dasar logika Cartesian dan Spinoza, teori-teori Thomas Hobbes,

David Hume, dan John Locke, serta mencakup satu atau dua bab estetika

Immanuel Kant. Untuk mempertimbangkan gagasan filsuf kiri, akan dikutip

dialektika Hegel, dan review Nietzsche, Marx yang terkenal “inversi” dari Hegel

dan komentar-komentarnya pada kelemahan Feurbach. Dalam sebuah kelas

teladan, pada abad ke-20 dibuka dengan diskusi Schopenhauer, Heidegger dan

Husserl, Bertrand Russell dan Alfred North. Selanjutnya eksistensialisme Sartre

dan Camus juga menjadi andalan. Selanjutnya siswa juga disarankan memahami

aliran filsafat pada Abad Pertengahan, seperti Monisme, Revolusi Rousseau,

Moralitas dari John Stuart Mill, Generasi Science Einstein, Fenomenologi

Merleau-Ponty, Sekolah Frankfurt, Strukturalisme / Post-Strukturalisme, bahkan

Teori Kritis Jurgen Habermas. 111

Sebuah survei tentang silabus sejarah teori sosiologi juga akan

mengungkapkan sejumlah karakteristik yang mirip. Misalnya memasukkan Comte

sebagai pencetus Sosiologi sebagai disiplin ilmu, Marx, Weber dan Durkheim

berpikir tentang sifat masyarakat dan perkembangannya, tidak ada pemikir di Asia

dan Afrika melakukan hal yang sama. Ilmuwan non-Eropa yang muncul dalam

karya-karya ini tidak disertai identitas yang memadai.

Tidak adanya pemikir non-Eropa dalam akun ini adalah sangat mencolok

dalam kasus di mana non-Eropa telah benar-benar mempengaruhi perkembangan

pemikiran sosial. Biasanya, sebuah sejarah pemikiran sosial atau kuliah teori dan

pemikiran sosial akan mencakup pemikiran seperti Montesquieu, Vico, Comte,

Spencer, Marx, Weber, Durkheim, Simmel, Toennies, Sombart, Mannheim,

111 Alvares, Op.Cit., pp. 76-77.

Page 137: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

125

Pareto, Sumner, Ward, Kecil, dan lain-lain. Umumnya, pemikir non-Barat

dikecualikan, bahkan ketika mereka ada, cenderung hanya dikutip untuk

kepentingan sejarah, bukan sebagai sumber ide. Misalnya, Ibn Khaldun kadang-

kadang disebut dalam sejarah pemikiran sosial, tetapi jarang terlihat sebagai

sumber teori dan konsep sosiologis yang relevan. Ia hanya dianggap sebagai

prekursor atau penemu bidang kajian sosiologi.

Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa Barat, khususnya Amerika, Inggris,

Perancis dan Jerman, dipandang sebagai satu-satunya pencetus ide dalam ilmu-

ilmu sosial. Pertanyaan tentang asal-usul multikultural ilmu-ilmu sosial tidak

dinaikkan. Banyak pemikir sosial dari India, Cina, Jepang, dan Asia Tenggara

selama abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh yang sezaman dengan

Marx, Weber dan Durkheim disebutkan hanya sebentar dalam karya-karya tentang

sejarah sosiologi atau benar-benar diabaikan. Contoh pemikir seperti José Rizal

(Filipina, 1861-1896), Benoy Kumar Sarkar (India, 1887-1949), dan Kunio

Yanagita (Jepang,1875-1962).

Alatas selanjutnya mengatakan bahwa setiap akademisi wajib untuk

menangkal wacana Eurosentris, dan membawa ide-ide non-Eropa ke dalam

pengajaran ilmu sosial pada tingkat Universitas. Otonomi yang relatif lebih besar

dimiliki dosen dibandingkan dengan guru di sekolah, memungkinkan para

pengajar ilmu sosial dapat menyuntikkan lebih banyak konten non-Eropa ke

dalam mata kuliah yang diajarkan. Hal ini telah dilakukan Alatas bersama

rekannya yang bernama Vineeta Sinha di National University of Singapore.

Menurut Alatas perlu ada pendekatan yang lebih universal tentang

pengajaran teori sosiologi, misalnya dengan harus menimbulkan pertanyaan

apakah teori sosiologi dapat ditemukan pada masa pra-modern di dataran non-

Eropa? Ada juga masalah tentang pengajaran konteks munculnya teori sosiologi

yang tidak hanya didefinisikan oleh serangkaian revolusi politik di Eropa sejak

abad XVII atau revolusi industri, tetapi juga oleh penjajahan dan munculnya

Eurosentrisme. Hal ini berarti perubahan dalam cara teori sosiologi diajarkan.

Page 138: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

126

Misalnya, akan ada lebih menekankan pada Marx dan dimensi orientalis dan

Eurosentris Max Weber.112

Pada pengajaran ini, Alatas berangkat dengan pembelajaran teori sosiologi

klasik seperti pemikiran Comte, Marx, Weber, Durkheim, de Tocqueville dan

ilmuwan Eropa lainnya sejak abad kesembilan belas hingga awal abad kedua

puluh. Setelah itu Alatas memperkenalkan pemikiran Ibn Khaldun, Jose Rizal,

Sarkar dan pemikir sosial non-Barat lainnya dan mengajarkan ide-ide mereka

secara sistematis. Pada saat yang sama, Alatas tidak mengabaikan pemikir Barat.

Namun, ketika datang ke pemikir Barat seperti Marx dan Weber, fokusnya adalah

pada topik yang umumnya diabaikan dalam kuliah serupa di Eropa dan Amerika

Utara, seperti konsep Marx tentang modus produksi Asiatik, pandangannya

tentang kolonialisme di India atau karya Weber tentang Islam dan Konghucu.

Dalam kuliahnya, Alatas menyoroti Eurosentrisme sebagai konteks tambahan dan

penting untuk memahami munculnya teori sosiologi klasik, dan untuk

membiasakan siswa dengan karya-karya Marx, Weber, dan Durkheim.113

Alatas melanjutkan bahwa menangkal Eurosentrisme dalam ilmu sosial

memerlukan sikap aktif dalam hal mempopulerkan ide-ide non-Eropa dengan cara

teratur menyelenggarakan panel atau menyajikan makalah tentang ide-ide mereka

di konferensi ilmu sosial mainstream. Akhirnya, Alatas menyatakan bahwa semua

elemen harus menyebarkan kesadaran tentang perlunya alternatif, wacana kontra-

Eurosentris dalam ilmu sosial dengan hanya membuat sebuah titik untuk mengutip

karya ilmuwan di seluruh dunia.

Selain itu, diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme dalam sosiologi

Syed Farid Alatas dapat pula disesuaikan penerapannya dalam konteks ke-

Indonesiaan. Selanjutnya pengalaman yang dilakukan Alatas bersama rekannya

dalam melaksanakan pengajaran teori sosiologi dapat menjadi acuan dalam upaya

melepaskan Eurosentrisme dalam sosiologi di berbagai universitas di Indonesia.

Di Indonesia belum ada kajian ilmiah secara mendalam mengenai

Eurosentrisme dalam ilmu sosial khususnya dalam bidang sosiologi. Selain itu

112 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 240. 113 Alatas, Teaching Classical Sociological Theory in Singapore: The Context of

Eurocentrism, Teaching Sociology, Vol. 29, No. 3 (Jul., 2001), pp. 316.

Page 139: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

127

tidak ditemukan kajian intensif mengenai pemikiran Syed Farid Alatas mengenai

diskursus alternatif dalam ilmu sosial khususnya sosiologi. Kajian mengenai hal

ini telah dicari pada beberapa kumpulan tugas akhir mahasiswa di Universitas

Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Indonesia, UIN Jakarta, dan UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta. Dalam penelusuran yang sama di mesin telusur google

dengan kata kunci “teori captive mind, Eurosentrisme dalam ilmu sosial, dan

diskursus alternatif”, tidak ditemukan studi mendalam mengenai kajian tersebut.

Dalam penelusuran berbagai karya di Indonesia, belum ada penulis yang

secara intensif mengutip atau mengangkat kembali teori Alatas mengenai

diskursus Alternatif. Berbagai artikel hanya memusatkan perhatiannya untuk

memperkenalkan teori Alatas dalam seminar-seminar. Hal ini berpengaruh pula

dalam perkembangan gagasan Alatas yang akhirnya kurang populer di Indonesia.

Namun masih ada beberapa akademisi yang mengomentasi isi bukunya yang

berjudul Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial: Tanggapan terhadap

Eurosentrisme (diterjemahkan mizan publika) dalam artikel di jurnal ilmiah.

Disebabkan hal ini, maka tidak ditemukan penjabaran lengkap mengenai

teori Alatas dalam disiplin ilmu sosiologi. Tidak ada pula ilmuwan yang secara

langsung mengkritik konsep yang dikemukannya. Hal ini nampaknya merupakan

efek langsung fenomena Eurosentrisme, yang membuat ilmuwan di di Indonesia

tidak mengenali teori yang dikemukakan oleh ilmuwan negara tetangganya. Selain

itu konsep captive mind dapat menjadi analisa yang tepat atas fenomena yang

menimpa para akademisi di Indonesia. Karena kebanyakan penelitian yang

dilakukan para akademisi, masuk dalam kategori empiris bukan teoritis.

Konsep modernisasi yang dikemukakan Alatas mengambil contoh tentang

penerapan teori Rostow pada awal tahun 60-an menjadi tolak ukur pembangunan

ekonomi di Indonesia (negara berkembang pada umumnya). Indonesia terus

berupaya mengikuti apa yang sedang masyarakat Amerika Serikat atau Eropa

lakukan, untuk menyentuh hirearki tertinggi dalam perekonomian global.

Berbagai kemajuan dalam ekonomi diupayakan agar masyarakat terus mencapai

kemakmuran. Alih-alih mempertinggi angka pendapatan per kapita, pertumbuhan

ekonomi yang tinggi nyatanya tidak dinikmati masyarakat menengah ke bawah.

Page 140: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

128

Indonesia kini telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik, namun

nyatanya efek dari pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan seluruh rakyat

Indonesia.

Modernisme juga diterapkan dalam setiap bidang kehidupan. Sebagaimaa

diketahui modernitas ala Barat membawa berbagai nilai dan norma dalam

masyarakat yang dihinggapinya. Modernitas yang dialami masyarakat Indonesia

kini membawa turut serta nilai liberal atau kebebasan dalam masyarakat Barat.

Selanjutnya nilai religiusitas semakin pudar. Sekularisme yang ada dalam

masyarakat Barat juga diadopsi dalam masyarakat Indonesia dengan alasan

keberagaman yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Beralih pada masalah Eurosentrisme yang secara umum menimpa setiap

negara Berkembang dalam dunia pendidikan. Seperti yang telah dijelaskan dalam

subbab sebelumnya, survei dari silabus mata kuliah sosiologi di Negara Asia

menunjukkan bahwa dominasi Eurosentrisme dalam ilmu sosial merasuk selama

berabad-abad. Hal ini ditrasakan pula dalam kurikulum sosiologi di berbagai

negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Menurut Alatas hal ini dapat dilihat

dari berbagai karakteristik, seperti dikotomi antara subjek dan objek, dominasi

kategori dan konsep Eropa, dan representasi dari kekuatan Eropa sebagai

penguasa ide dalam sosiologi.

Lebih lanjut Alatas menyatakan

In most sociological theory textbook or writings on the history of

social theory, the subject-object dichotomy is a dominant, albeit

unarticulated principle of organization. Europeans are the ones that do

the thinking and writing, they are the social theorists and social thinkers,

what we might call the knowing subject. If at all non-Europeans appear in

the texts they are objects of study of the European theorists featured and

not as knowing subjects, that is, as sources of sociological theories and

ideas. If we take the nineteenth century as an example, the impression is

given that during the period that Europeans such as Marx, Weber and

Durkheim were thinking about the nature of society and its development,

there were no thinkers in Asia and Africa doing the same. Therefore, the

only non-Europeans that appear in these works are those usually

Page 141: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

129

nameless, anonymous ones mentioned or referred to by the European

thinkers whose ideas are being discussed.114

Padahal ilmu Sosial di Barat tidak memusatkan perhatian pada masalah

yang menimpa Ilmu Sosial di Asia. Masalah di Barat adalah pencarian dan

kesinambungan struktural dengan perubahan sejarah yang berkelanjutan.

Kebanyakan konsep tersebut berasal dari tradisi kesejarahan Yunani-Romawi,

Kristen-Latin, dan Eropa. Menjadi masalah ketika konsep tersebut digunakan

secara universal, hal inilah yang akhirnya merusak fenomena sosial, sebagai

contohnya konsep religi.

Konsekuensi yang lebih serius dari semua ini adalah bahwa sesuatu yang

mendominasi ilmu sosial yang berupa teori, konsep dan kategori dalam ilmu-ilmu

sosial dikembangkan oleh Eropa dan Amerika Utara. Seperti konsep religi yang

mewakili pola Eurosentris karena didasarkan pada tradisi agama Kristen. Ilmuwan

Barat menerapkan konsep religi ke dalam setiap agama, termasuk Islam. Akhirnya

para ilmuwan memaksakan apa yang dialami pada agama Kristen untuk

diterapkan pada ajaran Islam, misalnya dengan konsep sacred dan profane, yang

tidak pernah ada dalam tradisi intelektual Muslim, karena setiap perbuatan yang

dilakukan Muslim dalam hidupnya bernilai ibadah (sacral).

Pengalaman yang berikutnya dipaksakan dan sangat mempengaruhi studi

Islam adalah upaya merekonstruksi tafsir Al-Qur‟an dengan metode

hermeneutika. Meskipun pada kenyataannya, upaya menafsirkan Bible

menggunakan hermeneutika bukanlah hal yang keliru, karena Al-Kitab memiliki

kecacatan secara historis. Tetapi, hal yang sama diterapkan oleh para Orientalis,

bahkan Muslim yang telah dihinggapi captive mind pada kitab suci Al-Qur‟an,

sehingga tidak bisa bersikap kritis terhadap studi yang berkembang di Barat. Hal

ini menjadi bermasalah karena konsepsi tafsir pada kitab suci Al-Qur‟an tidak

pernah mengalami perubahan sejak masa tabi‟in hingga 14 abad setelahnya.

Selain itu, sejarah Al-Qur‟an tidak pernah mengalami kecacatan seperti yang

dialami Kristen. Kategori yang lebih jelas adalah, kebenaran mengenai teks Al-

114 Syed Farid Alatas, Rethinking The Teaching Of Sociology In The Context Of

Eurocentrism, Makalah tidak dipublikasikan.

Page 142: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

130

Qur‟an tidak dapat diragukan karena tradisi sanad yang selama ini berkembang

dalam tradisi intelektual Muslim.

Oleh karena itu, sangat mengherankan apabila studi ilmiah atas agama

tidak memperhitungkan kosakata konseptual dari berbagai agama tersebut. Sebuah

kekeliruan serius jika akhirnya konsep-konsep kunci dalam berbagai agama

ditafsirkan hanya berdasarkan tradisi Kristen Barat, dengan keyakinan bahwa

konsep-konsep ini berlaku universal. Sementara disatu sisi setiap konsep dalam

agama Islam, Budha dan Hindu memiliki potensi yang sama untuk

diuniversalisasi.

Alatas berupaya mengusulkan alternatif atas konsep religi dengan konsep

din dalam agama Islam. Namun nyatanya, Alatas belum berani mengganti konsep

tersebut, seperti yang telah dilakukan pamannya, S.M.N Al-Attas. Sebagaimana

diketahui, konsep din yang dikemukakan oleh S.M.N Al-Attas memiliki

konsekuensi, yaitu dengan beragama, manusia harus tunduk (berserah diri) pada

Penciptanya, karena manusia memiliki hutang atas eksistensinya di dunia. Hutang

ini meniscayakan agar setiap waktu seorang Muslim di dunia, terikat dengan Sang

pemberi hutang. Muslim harus menjalankan konsekuensi hidupnya ini dengan

cara beribadah secara terus menerus. Muslim juga tidak diperbolehkan

menanggalkan keyakinannya dan memisahkan syariat Islam dengan perilakunya

dalam bermasyarakat. Pada akhirnya hal ini menyiratkan penolakan terhadap

terminologi sekularisme terhadap ajaran Islam.

Adapun pada kenyataannya kini, pengadopsian konten ilmu sosial dari

Barat dilakukan secara masif, bahkan dibawa oleh para ilmuwan Dunia Ketiga itu

sendiri. Buku Panduan untuk Pengajaran Teori Sosiologi yang diterbitkan oleh

Sociological Association of America mengungkapkan bahwa berbagai teori klasik

yang karya-karyanya diajarkan di seluruh dunia adalah karya Montesquieu, Vico,

Comte, Spencer, Marx, Weber, Durkheim, Simmel, Tonnies, Sombart, Mannheim,

Pareto, Sumner, Ward, Kecil, Wollstonecraft dan beberapa tokoh lainnya. Dalam

hal ini, tidak ada pemikir non-Eropa yang disertakan. Meskipun orang Eropa telah

Page 143: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

131

menemukan dan membahas karya-karya Ibn Khaldun sejak abad ke-19, namun

posisi Ibn Khaldun tetap marginal dalam sejarah sosiologi.115

Alatas menyatakan bahwa komponen terpenting dari kuliah sosiologi di

kebanyakan universitas adalah pengajaran teori sosiologi klasik. Oleh karena itu,

semua siswa yang mengikuti kuliah sosiologi akan mengakui bahwa Marx,

Weber, dan Durkheim adalah pendiri dari disiplin ilmu sosiologi. Teori sosiologi

secara umum hanya didefinisikan sebagai tulisan-tulisan dari serangkaian karya

ilmuwan Eropa. Selanjutnya dalam wacana mainstream, ilmu-ilmu sosial

didefinisikan selalu berasal dari Barat. Legitimasi atas hal ini dilembagakan

sebagai kebijaksanaan umum yang tidak hanya ada di kalangan akademisi Barat,

tetapi juga pada ilmuwan non-Barat.

Padahal Ritzer menyatakan bahwa pada dasarnya teori sosiologi muncul

sebagai akibat dari refleksi pemikir atas kekuatan-kekuatan dan masalah sosial,

seperti revolusi politik, revolusi industri dan munculnya kapitalisme, urbanisasi,

serta perkembangan ilmu pengetahuan. Menjadi kekeliruan historis apabila

konsep ini diterapkan tanpa kritis oleh para ilmuwan non-Barat di negaranya.

Terlebih ketika pengajaran atas teori sosiologi dalam buku teks di setiap

Universitas tidak memberikan keleluasaan siswa untuk mendalami karya pemikir

non-Barat.

Berbagai fenomena yang terjadi membuat Alatas memikirkan kembali

pengajaran teori sosiologi yang tidak hanya didasarkan pada keprihatinan teoretis,

tetapi juga memberi pertemuan intensif dengan siswa sosiologi. Alatas berupaya

menghilangkan stigma bahwa teori sosiologi kering, kusam, membosankan,

menakutkan, dan penuh jargon tertentu. Selain itu, menurut Alatas mengajar teori

sosiologi non-Barat untuk masyarakat non-Barat merupakan sebuah dimensi yang

penting. Pendekatan yang lebih universal untuk mempelajari teori sosiologi harus

menimbulkan pertanyaan, “apakah mungkin mengidentifikasi contoh teori

sosiologi dari luar Eropa/Barat untuk menganalisa fenomena modernisasi?”

115 Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology, Review Essay, International

Sociology, November 2006, Vol 21(6), pp. 790.

Page 144: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

132

Alatas juga memberikan pengajaran tentang ilmuwan Arab abad ke-14, Ibn

Khaldun, yang berjasa merumuskan konsep penting dalam sosiologi. Pengakuan

wawasan teoritis dalam karya Ibn Khaldun dapat berarti perubahan dalam

kurikulum sosiologi. Namun demikian pengakuan kontekstualitas tidak

mensyaratkan bahwa teori sosiologi Barat harus dihapuskan dari kurikulum

sosiologi di universitas-universitas non-Barat. Sebaliknya, Alatas mengusulkan

perdebatan dengan pendekatan segar untuk pengajaran teori sosiologi klasik

dengan cara bersikap kritis terhadap karya-karya Marx, Weber, dan Durkheim.116

Secara umum, Alatas melihat dua masalah mendasar dalam silabus teori

sosiologi. Pertama, pendiri atau prekursor pemikiran sosial non-Barat tidak

diakui. Kedua, teori sosiologi klasik tidak dikontekstualisasikan dengan cara

menetapkan titik referensi yang relevan bagi siswa di seluruh dunia. Sementara

pencerahan Eropa, transisi dari feodalisme ke kapitalisme, dan demokratisasi di

Eropa, dan sebagainya, membentuk konteks yang relevan untuk memahami

munculnya teori sosiologi, Alatas berpendapat bahwa fakta sejarah dominasi

politik dan budaya Eropa non-Eropa dari abad ke-15 dan seterusnya adalah

konteks tambahan penting. Yang terakhir ini jarang diberi ruang, apalagi bobot

yang sama, dalam pengajaran konvensional teori klasik. Seperti diketahui,

dominasi ini mengakibatkan, antara lain implantasi ilmu sosial Eropa di

masyarakat non-Eropa tentang pertanyaan Apakah masyarakat tersebut dijajah

oleh bangsa Eropa atau tidak. Diskusi juga harus menghadirkan perdebatan

mengenai periode dominasi kolonial Eropa saat teoritis mengemukakan teorinya.

Harus timbul pertanyaan dibenak siswa tentang peran ganda seorang teoritis yang

juga bertindak sebagai Orientalis.

Mengingat kepentingan teoritis dan pengalaman mengajar, Alatas

merumuskan alternatif untuk memperkenalkan teori sosiologi yang diberikan pada

lokasi pengajaran non-Barat. Pengalaman yang dilakukan Alatas dapat menjadi

referensi para pengajar sosiologi di Indonesia, secara khususnya. Di kelas, Alatas

mengatakan bahwa Eurosentrisme berkonotasi pada posisi dan perspektif tertentu

yang tidak dapat melihat masalah hingga ke akarnya. Dalam upaya untuk

116 Alatas, Teaching, Op.Cit., 317.

Page 145: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

133

mengatasi masalah ini, Alatas memberikan sebuah esai yang ditulis oleh

Wallerstein mengenai Eurosentrisme kepada siswa. Melalui tulisan ini, Alatas

mengingatkan siswa tentang kompleksitas dan multidimensi sebuah konsep.

Dalam hal tersebut terdapat perhatian tentang historiografi Eurosentris, definisi

kemajuan, klaim keunikan peradaban Eropa dan kapitalisme, serta masalah

Orientalisme. Hal ini juga bertujuan untuk menunjukkan bahwa teori-teori ilmu

sosial berasumsi pada perkembangan masyarakat kapitalis modern di Eropa, yang

mungkin tidak baik bila direplikasi di tempat lainnya.

Alatas kemudian mengangkat serangkaian pertanyaan terkait tentang:

Bagaimana pertemuan kolonial dan imperial berbentuk konseptualisasi dalam

ilmu sosial oleh para sarjana Barat? Bagaimana para penulis membayangkan

dikotomi “non-Barat” dan “Barat”? Bagaimana cara kita untuk menilai dan

mengukur teori sosiologi klasik mengingat kemungkinan berbagai jenis bias,

termasuk bias Eurosentris?

Adapun dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, Alatas beroperasi

pada premis dengan pendekatan kreatif untuk mengajarkan teori sosiologi kepada

siswa. Oleh karena itu Alatas mengusulkan untuk memasukkan tiga tujuan yang

saling berkaitan: (1) untuk menghasilkan kesadaran “Eurosentrisme” sebagai tema

dan konteks yang menginformasikan teori sosiologi klasik, (2) untuk

menunjukkan kegunaan dari teori untuk pemulihan masa lalu akibat merasuknya

klaim Eurosentris itu, dan (3) untuk menunjukkan kegunaan dari teori dalam

pemahaman realitas kontemporer di wilayah yang lebih dekat dengan rumah

siswa.117

Dalam kuliah ini, Alatas kemudian menekankan pentingnya

konsep/pengetahuan lokal atau ulayat.

Kesimpulannya adalah Alatas mencoba mendomestikasikan masalah ilmu

sosial, baik mengenai lembaga ilmu-ilmu sosial yang mula-mula ada di Asia,

kemudian perkembangan epistemologi keilmuan, hingga aneka pilihan topik

kajian serta tema penelitian. Beberapa kritik yang ia munculkan, antara lain adalah

asumsi tidak adanya aliran atau tradisi kawasan dalam sosiologi atau ilmu sosial

lain yang muncul di masyarakat non Eropa dan non-Amerika Utara. Perdebatan

117 Alatas, Teaching, Op.Cit., pp. 319-320.

Page 146: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

134

ilmu sosial dunia yang didominasi oleh Barat ini, menurut Alatas dikarenakan

tingginya derajat yang disematkan pada teori, sehingga mengukuhkan teori-teori

Barat kontemporer dan klasik sebagai pusat perdebatan teoretis. Selain itu

kurangnya kreativitas dan orisinalitas terkait dengan meluasnya pendidikan Barat

lewat kolonialisme atau modernisasi Barat berimbas pada kebergantungan

intelektual berupa kebergantungan pada sponsor, serta pendiktean pada pemilihan

minat kajian serta desain riset, serta bentuk penerbitan.

Namun apa yang dilakukan Alatas sebagai bentuk penyamarataan konsep

sakralisasi ilmu pengetahuan memiliki implikasi yang panjang. Sebagaimana

diketahui, masing-masing agama memiliki klaim atas kebenarannya masing-

masing terhadap yang lainnya. Seperti istilah yang tepat untuk menggantikan

terminologi religi yang sudah mendarah daging pada diri ilmuwan Non-Barat,

bahkan masyarakat luas. Penggantian konsep ini tidak dijelaskan secara konkret

olehnya dan membuat masing-masing agama yang berupaya mengganti konsep

religi, mengarahkan konsepsinya pada nativisme. Padahal semangat penggantian

konsep ini berasal dari penggalian mendalam ajaran agamanya.

Lalu, apakah lantas diskursus alternatif, yang tidak hanya melulu kritik dan

diagnosa, namun juga rumusan cara pandang Asia, yang ditawarkan Alatas

tersebut diapresiasi sebagai solusi ketidakmerdekaan intelektual ilmu sosial di

negeri non Eropa-Amerika? Jawabannya akan mengerucut pada masalah waktu.

Tapi yang dapat dilakukan pembaca setelah membaca skripsi ini adalah upaya

mencari alternatif terbaik dalam menangkal serangan Eurosentrisme dalam

sosiologi, pada khususnya. Bagi para dosen mungkin perlu mempertimbangkan

pengajaran yang lebih adil antara konsep dan teori Barat dan karya para ilmuwan

non-Barat.

Allahu „alam

Page 147: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

135

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsep captive mind pertama kali dikemukakan Syed Hussein Alatas pada

tahun 1972. Syed Hussein Alatas mendefinisikan captive mind sebagai gejala

mental yang dimiliki para ilmuwan untuk meniru ilmu pengetahuan yang berasal

dari Barat secara keseluruhan. Tanpa kritis mereka menerima klaim universal dari

ilmu sosial Barat. Hal ini berimplikasi pada ilmu sosial Eurosentris yang

kemudian melembaga pada masyarakat ilmiah Dunia Ketiga. Pemikiran tersebut

merasuk dalam setiap tingkatan aktivitas ilmiah, mempengaruhi latar masalah,

analisis abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan

interpretasi.

Eurosentrisme pertama kali dikemukakan Samir Amin dalam bukunya

yang berjudul “Eurocentrism”. Amin menyebut fenomena Eurosentrisme lebih

dalam dari teori Orientalisme yang dikemukakan Edward Said. Amin menyebut

Eurosentrisme sebagai bentuk pengendalian Eropa terhadap ilmu pengetahuan di

seluruh dunia. Padahal dengan latar belakang yang berbeda menjadikan ilmu

pengetahuan Eurosentris merusak sendi-sendi ilmu sosial di Negara berkembang.

Selain itu, ilmuwan lain yang bernama Immanuel Wallerstein menyatakan bahwa

Eurosentrisme merupakan hidra raksasa yang kepalanya memiliki banyak avatar.

Avatar pada Eurosentrisme terletak pada historiografi yang mengakui keunggulan

Eropa, klaim universalisme dalam ilmu pengetahuan, Orientalismenya dalam

memandang Timur, asumsinya tentang peradaban Barat yang begitu istimewa, dan

upayanya dalam memaksakan teori kemajuan.

Fenomena yang berasal dari luar (eksogen) dan dari dalam (endogen) pada

ilmu sosial di Negara dunia Ketiga menyebabkan seorang tokoh yang bernama

Syed Farid Alatas merumuskan konsep diskursus alternatif. Gagasan Alatas

mengenai diskursus alternatif tidak dapat dipisahkan dari peran ayahnya, Syed

Hussein Alatas. Alatas mengangkat kembali konsep Captive mind pada berbagai

artikelnya di jurnal internasional. Alatas kemudian mengaitkan fenomena captive

Page 148: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

136

mind dan imperialisme akademis, dengan gagasannya tentang struktur

kebergantungan akademik yang membuat dominasi ilmu sosial Barat begitu

melekat pada negara berkembang.

Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas merupakan koreksi terhadap

jenis-jenis ilmu pengetahuan yang diperkenalkan sejak era kolonial. Secara umum

para ilmuwan memberi perhatian terhadap masalah Eurosentrisme, peniruan tak

kritis terhadap ide, konsep, dan teori dari Barat, konteks kebergantungan akademis

dan imperialisme intelektual yang menjadi tempat berlangsungnya masalah

Eurosentrisme. Label diskursus alternatif lebih tepat karena para ilmuwan

menempatkan diri sebagai penentang terhadap apa yang diterapkan sebagai arus

utama (mainstreem), yang secara umum merupakan diskursus berorientasi Euro-

Amerika yang terus mendominasi ilmu sosial di sebagian besar masyarakat Asia.

Menurut Alatas upaya untuk melepaskan Eurosentrisme dalam sosiologi

dapat dilakukan dengan melakukan indigenisasi ilmu pengetahuan. Para sarjana

non-Barat dapat mengangkat kembali tokoh yang berperan dalam pengembangan

sosiologi modern dari luar Eropa, seperti Ibn Khaldun. Alatas kemudian

melakukan teorisasi atas konsep yang dikemukakan Khaldun, karena menurutnya

hal ini merupakan suatu yang penting agar pemikiran seorang tokoh dapat relevan

dari masa ke masa.

Selain itu sebagai seorang dosen, Alatas memiliki trik khusus dalam

pengajaran sosiologi di NUS yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan pada

pengajaran sejarah sosiologi di Indonesia. Dalam perkuliahan, Alatas tetap

mengajarkan berbagai teori yang dikemukakan sosiolog klasik Eropa, namun

memberikan porsi yang seimbang dalam penyampaian teori ilmuwan non-Barat.

Dalam kapasitasnya sebagai dosen, Alatas menyatakan agar hal ini dapat

dielementasikan para pengajar teori sosiologi non-Barat agar para siswa terbiasa

dengan berbagai karya tokoh sosiologi non-Barat.

B. Saran

Efek negatif peniruan tidak kritis terhadap ilmu sosial Barat telah

dijelaskan sebelumnya pada skripsi ini. Berbagai upaya untuk keluar dari masalah

Page 149: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

137

tersebut juga telah dijabarkan Syed Farid Alatas dalam diskursus alternatif

terhadap ilmu pengetahuan Eurosentris. Gagasan diskursus alternatif yang

dikemukakan Alatas juga dapat memberi gambaran secara utuh mengenai

kemungkinan atas upaya melepaskan dominasi ilmu sosial Barat pada ilmu sosial

negara Dunia Ketiga.

Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas dapat memberi gambaran untuk

memilih metodologi yang tepat dalam menangkal masalah Eurosentrisme. Para

akademisi dapat meneruskan konsep yang telah dijabarkan oleh para ilmuwan

non-Barat, membuatnya menjadi lebih teoritis dan mengangkatnya dalam jurnal

ilmu sosial di seluruh dunia. Upaya mengenalkan gagasan ilmu sosial non-Barat

juga dapat membuka jalan bagi perumusan ilmu sosial yang lebih indigenik.

Semua upaya ini berawal dari kesadaran ilmuwan non-barat atas pola pikir

terbelenggu, yaitu captive mind. Kesadaran mengenai posisi ilmu sosial Barat

yang tidak selalu relevan bagi masyarakat ulayat perlu ditanamkan pada jiwa para

ilmuwan. Ilmuwan non-Barat harus lebih percaya diri terhadap karyanya sendiri,

serta berani mendomestikkan karya ilmiah ilmuwan Barat yang kurang sesuai

dengan konteks ulayat. Namun seperti yang telah dikemukakan Wallerstein,

gagasan alternatif ini tidak boleh memiliki sifat anti-Eurosentrisme namun

Eurosentrik. Para ilmuwan harus tetap jeli dalam memisahkan hal yang dianggap

universal namun partikular dalam ilmu sosial Barat. Lebih lanjut Alatas

mengingatkan agar upaya indigenisasi ilmu sosial tidak boleh menjadi nativisme.

Pengajaran sosiologi yang dijelaskan Alatas juga dapat menjadi kerangka

acuan dalam pengembangan ilmu sosial yang lebih ulayat bagi Negara Dunia

Ketiga. Akademisi perlu menyusun kembali kurikulum pengajaran ilmu sosiologi,

dan berupaya menanamkan semangat kepada mahasiswa tentang irelevansi ilmu

sosial Barat. Para mahasiswa yang sadar dapat mengembangkan gagasan tersebut.

Meski proses yang dijalani tidak semudah membalikkan telapak tangan karena

memerlukan upaya keras setiap elemen. Melalui konferensi ilmiah, diskusi panel,

seminar, lokakarya, dan lain sebagainya, semangat indigenisasi ilmu sosial

termasuk sosiologi diharapkan dapat lebih mengudara.

Page 150: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

138

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dadang. 2011. Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta:

Penerbit Ombak.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2007. Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan

Pandangan Alam. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia.

Alatas, Syed Farid. 2010. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia:

Tanggapan terhadap Eurosentrisme. Terj. Ali Noer Zaman. Bandung:

Mizan Publika.

______. “11 Indigenization: Features and Problems.” Asian Anthropology

Journal, 227, 2004, pp. 227-243.

______. “A Khaldunian Exemplar for a Historical Sociology for the South.”

Current Sociology Journal, May 2006, Vol. 54(3): 397–411.

______. “Academic Dependency and the Global Division of Labour in the Social

Sciences.” Jurnal Current Sociology, Vol. 51 No. 6: 599-613.

______. “Academic Dependency in the Social Sciences: Reflections on India and

Malaysia.” American Studies International, Vol. 38, No. 2 (JUNE 2000),

pp. 80-96.

______. “Alternative Discourses in Southeast Asia.” Jurnal Sari, Vol. 19, 2001:

pp. 49-67.

______. “An Introduction to The Idea of Alternative Discourses”, Southeast Asia

Journal of Social Science, Vo. 28, No. 1, 2000: pp. 1-12.

______. “Editorial Introduction: The Idea of Autonomous Sociology Reflections

on the State of the Discipline”. Current Sociology, January 2006, Vol

54(1),

______. “From Jami`ah to University Multiculturalism and Christian–Muslim

Dialogue. Current Sociology. January 2006. Vol 54(1): 112-132.

______. “Ibn Khaldun and Contemporary Sociology.” Review Essay.

International Sociology Association, Vol. 21 (6). November 2006: 782–

795.

Page 151: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

139

______. “Introduction.”Humboldt Journal of Social Relations, Vol. 23, No. 1/2,

ASIA (1997), pp. 21-25.

______. “On The Indigenization of Academic Discourse.” Alternatives: Global,

Local, Political Journal, Vol. 18, No. 3 (Summer 1993), pp. 307-338.

______. “Reflection on The Idea of Islamic Social Science.” Comparative

Civilizations Review, 1986: pp. 60-86.

______. “Rethinking The Teaching of Sociology in The Context of

Eurocentrism.” Makalah tidak dipublikasikan.

______. “Teaching Classical Sociological Theory in Singapore: The Context of

Eurocentrism. Teaching Sociology, Vol. 29, No. 3 (Jul. 2001), pp. 316-

331.

______. “The Definition and Types of Alternative Discourses.” Chang, Fei-yu

Hsieh (red.) 2, 2010: pp. 139-157.

______. “The Historical Sociology of Muslim Societies, Khaldunian Applications,

International Sociology, May 2007, Vol. 22 (3): pp. 267–288.

______. “The Problem of Academic Dependency: Latin America and the Malay

World.” (Jurnal tidak diketahui) pp. 273-308.

______. “The Role of Human Sciences In The Dialogue Among Civilizations.”

Development And Society Journal, Volume 31 Number 2, December

2002, pp. 265-279.

______. “The Sacralization of the Social Sciences: A Critique of an Emerging

Theme in Academic Discourse” Archives de sciences sociales des

religions, 40e Année, No. 91 (Jul. - Sep., 1995), pp.89-111.

______. “The Study of the Social Sciences in Developing Societies: Towards an

Adequate Conceptualization of Relevance.” Current Sociology 2001 49: 1,

Vol. 49 (2), pp. 1-9.

Alatas, Syed Hussein. “Erring Modernization: The Dilemma of Developing

Societies.” Symposium on the Developmental Aims and Socio-Cultural

Values in Asian Society. Bangkok, 3-7 November, 1975.

______. “Intellectual Imperialism: Definition, Traits, and Problems.” Southeast

Asian Journal of Social Science Volume 28 Number 1 (2000): pp. 23-45.

Page 152: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

140

______. “The Autonomous, the Universal and the Future of Sociology.” Current

Sociology, January 2006, Vol 54(1): pp. 7–23.

______. “The Captive Mind in Development Studies.” Jurnal Social Science, Vol.

XXIV, No. 1, 1972: 9-25.

______. “The Development of an Autonomous Social Science Tradition in Asia:

Problems and Prospects.” (jurnal tidak diketahui), pp. 150-155..

______. The Myth of The Lazy Native a Study of The Image of The Malays,

Filipinos And Javanese From The 16th To The 20th Century and Its

Function in The Ideology Of Colonial Capitalism. 1977. Oregon: Frank

Cass and Company Limited.

Ali, Syed Husin. “Syed Hussein Alatas (1928-2007).” Akademika 73 Mei 2008,

pp. 139-144.

Alvares, Claude. 2011. “A Critique of Eurocentric Social Science and The

Question of Alternatives.” Economic and Political Weekly, Vol. XLVI,

No. 22, 28 May 2011, 72-81.

Amin, Samir. 2009. Eurocentrism: Modernity, Religion, and Democracy, A

Critique of Eurocentrism and Culturalism terj. Russel Moore dan James

Membrez. New York: Monthly Review Press.

Bagader, Abukaker A, Ed. Islam dan Perspektif Sosiologik. Surabaya: Amarpress.

Borham, Abd Jalil. “Pengaruh Khilafah Othmaniyyah Turki Dalam Pentadbiran

Kerajaan Johor Bagi Memartabatkan Sebuah Negara Islam Merdeka Di

Asia Tenggara, Makalah pada Simposium Isu-Isu Sejarah dan Tamadun

Islam (SISTI 2011) Peringkat Kebangsaaan di Sudut Wacana ATMA,

Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor pada 8-10 April.” 2011.

http://umpir.ump.edu.my/3355/1/JOHOR_TURKI.pdf

Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other

Writings. New York: Pantheon.

Handrianto, Budi. 2010. Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sains

Barat Modern. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Kuntowijoyo. 2008. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Nazir, Moh. 2011. Metode Penelitian, Edisi ketujuh. Bogor: Ghalia Indonesia.

Page 153: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

141

Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Ritzer, George. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

_____. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:

Rajawali Press.

Sabaratnam, Meera. “Avatars of Eurocentrism in the Critique of the Liberal

Peace.” Published in Security Dialogue, Vol. 44, June 2013, No. 3,

page 259-278, Post-print version.

Smith, Linda Tuhiwal. 2005. Dekolonisasi Metodologi. Yogyakarta: INSISTPress.

Sutopo, Oki Rahadianto. 2011. “Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global.” Jurnal

Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 201-206.

Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2013. Metode Penelitian Sosial: Berbagai

Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.

Turner, Bryan S. 2008. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat: Bongkar

Wacana atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, dan Globalisme.

Yogyakarta: Ar-ruz Media.

Vargas, Manuel. “Eurocentrism and The Philosophy of Liberation.” University of

San Francisco.

Wallerstein, Immanuel. 2006. “Eurocentrism and Its Avatars: The Dilemmas of

Social Science”. Makalah disampaikan pada Korean Sociological

Association-International Sociological Association East Asian Regional

Colloquium on “The Future of Sociology in East Asia”, 22-23 November,

Seoul.

Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/04/26/prosedur-penelitian-ilmiah/

http://www.interactive.net.in/node/30

http://www.interactive.net.in/node/30.

Archives de sciences sociales des religions, 40e Année, No. 91 (Jul. - Sep., 1995),

pp.89

Page 154: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak

Terima Kasih yang tak terhingga kepada guru besar Fakultas Art and Social

Sciences, Jurusan Sosiologi, Nasional University of Singapore,

Prof. Dr. Syed Farid Alatas

Page 155: KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44429/1/ANITA... · DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED ... Captive mind atau imitasi tidak