konsep captive mind dan kaitannya dengan...
TRANSCRIPT
KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN
DISKURSUS ALTERNATIF TERHADAP EUROSENTRISME
DALAM SOSIOLOGI PEMIKIRAN SYED FARID ALATAS
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
ANITA
NIM : 1110015000015
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M
i
ABSTRAK
ANITA, 1110015000015, Konsep Captive Mind dan Kaitannya dengan
Diskursus Alternatif Terhadap Eurosentrisme dalam Sosiologi Pemikiran Syed
Farid Alatas. Program Studi Pendidikan IPS, Konsentrasi Sosiologi dan
Antropologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014
Skripsi ini bertujuan menjelaskan konsep captive mind yang dikemukakan
Syed Hussein Alatas, dan kaitannya dengan pemikiran Syed Farid Alatas tentang
diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme dalam Sosiologi. Teori yang
digunakan adalah Captive mind atau imitasi tidak kritis atas ilmu sosial Barat
yang dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas, serta fenomena Eurosentrisme yang
dikemukakan oleh Samir Amin dan Immanuel Wallerstein. Untuk mengumpulkan
data, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang menggunakan
banyak buku dan artikel dalam jurnal ilmiah. Penulis melakukan analisis atas
temuan konsep yang terdapat dalam karya Syed Farid Alatas.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya keterkaitan yang mendalam
antara konsep captive mind dan imperialisme akademik yang dikemukakan Syed
Hussein Alatas, dengan diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme yang
dikemukakan Syed Farid Alatas. Alatas menghimpun gagasan ilmuwan Dunia
Ketiga yang berusaha keluar dari dominasi Orientalisme dan Eurosentrisme.
Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas merupakan koreksi terhadap jenis-jenis
ilmu pengetahuan yang diperkenalkan sejak era kolonial. Diskursus alternatif ini
terdiri dari indigenisasi ilmu sosial; penyeruan ilmu sosial otonom; seruan
kreativitas intelektual Endogen; dekolonisasi ilmu sosial; sakralisasi ilmu sosial;
teori post-kolonial; nasionalisasi ilmu sosial; teori memutuskan hubungan; dan
deschooling. Pada tataran praktis, Alatas mengajak para pengajar sosiologi di
universitas berkreasi dengan kurikulum pengajaran sosiologi di tempatnya
mengajar. Alatas mengajak ilmuwan memasukkan unsur ilmu pengetahuan non-
Barat secara seimbang dalam perkuliahan, tanpa harus menghilangkan pengajaran
teoritis ilmuwan Eropa secara intoto.
Kata Kunci : Captive mind, Eurosentrisme, diskursus alternatif, Syed Farid
Alatas
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat
hijab yang telah disingkapkan-Nya, penulis memperoleh ilmu serta karunia-Nya
yang tak terhingga untuk dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Konsep
Captive Mind dan Kaitannya dengan Diskursus Alternatif Terhadap
Eurosentrisme dalam Sosiologi Pemikiran Syed Farid Alatas”. Shalawat dan
salam juga terucap pada junjungan mulia, Nabi besar Muhammad SAW, beserta
keluarganya, sahabatnya, keturunannya, dan kita sebagai ummatnya yang
memperoleh syafaatnya di Yaumul akhir. Aamiin, Allahumma aamiin.
Sesungguhnya penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat menjadi
pembuka jalan untuk meneliti berbagai konsep dalam disiplin ilmu sosial, yang
digunakan sebagai pengembangan teori dan konsep sosiologi di seluruh dunia.
Semoga penelitian terhadap karya seorang tokoh Sosiologi kontemporer ini dapat
memperoleh tempat dalam disiplin ilmu Sosiologi secara khususnya, dan ilmu
sosial secara umumnya. Penulis juga mengharapkan agar penulisan skripsi ini
dapat memberi inspirasi dalam menemukan akar kekeliruan pengadopsian ilmu
sosial Barat di Indonesia, dan melakukan antisipasi atas fenomena negatif
tersebut.
Penyusunan laporan penelitian ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang
membantu sejak awal penelitian hingga penyusunan laporan ilmiah berbentuk
skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Syed Farid
Alatas yang menjadi tajuk utama penelitian ini, beserta semua guru besar serta
kerabat yang membantu dalam pengumpulan data yang sulit diperoleh di
Indonesia. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Nulena Rifa’i, M.A, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Jakarta.
2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial FITK UIN Jakarta.
iv
3. Drs. Syaripulloh, M.Si, dosen pembimbing dan orang tua yang selalu
memberi motivasi kepada penulis untuk terus belajar dan berkarya melalui
pena.
4. Dr. Muhammad Arif, M.Pd dan Dr. Ulfah Fajarini, M.Si sebagai penguji
sidang munaqasyah yang memberikan arahan kepada penulis agar skripsi
ini dapat menjadi lebih baik.
5. Mbak Septi Rostika (mahasiswa pascasarjana UGM) yang telah
memberikan akses jurnal online Universitas Gajah Mada. Berkat akses
inilah makalah-makalah dalam jurnal seluruh dunia diperoleh penulis.
6. Mahaguru yang terhimpun dalam The Center for Gender Studies; ibu Dr.
Dinar Dewi Kania, ibu Tetra, bunda Rita Hendrawati Soebagyo, M.Si,
Ummi Suci Susanti, ibu Anita Syaharudin, pak Dr. Wendi Zarman, ust.
Kholili Hasib, M.A, Sakinah Fithriyah, kak Sarah Mantovani, teh Rira
Nurmaida, kak Nunu Karlina.
7. Kak Azeza Ibrahim Rizki (kak Eza) yang sering direpotkan untuk singgah
ke Ciputat dalam menerjemahkan beberapa jurnal ilmiah dari Bahasa
Inggris ke Bahasa Indonesia.
8. Guru besar pada Kuliah Filsafat Syed Muhammad Naquib al-Attas
angkatan 1, ust Adnin Armas, M.A, beserta semua rekan seangkatan.
Karena kalianlah hijab filsafat Islam yang begitu tebal dapat disingkapkan.
9. Akhwat KFA 1, kak Fathia, kak Rahmatika, kak Ayu, kak Zae, kak Zirah,
dan kak Iin, yang selalu memberi motivasi dalam menuntut ilmu.
10. Ust Nirwan Syafrin, M.A, Ph.D, yang telah membimbing belajar bahasa
Arab dasar serta kajian kitab Islam dan Sekularisme karya Prof. S.M.N Al-
Attas. Serta do’a dari santri Pondok Pesantren Husnayain Kabandungan
Sukabumi Jawa Barat.
11. Saudara-saudari di Singapura, akak Siti Raudhah Jamil dan akak Siti
Aisyah Jamil yang membantu penulis mengakses beberapa data di
Singapura yang sulit ditemukan di Indonesia.
v
12. Rekan-rekanku di facebook, spesial atas ilmu dari Prof. Dr. Mulyadhi
Kartanegara, Prof. Dr. Wan Muhammad Nur Wan Daud, Prof. Dr. Khalif
Muammar dan lain-lain.
13. Spirit dan semangat dari yang lainnya, rekan-rekan HMJ Pendidikan IPS,
teman-teman Sosiologi dan Antropologi angkatan 2010, teman-teman di
pembibitan mahasiswa Duta Dewantara I.
14. Keluarga: Ayah saya Rahmat Syam, ibu saya (almh) Wartinah, (alm) Bang
Muhammad Taufan, bang Ade Kurniawan, Ayunda (Megawati), dan Iam
(Muhammad Ilham Nur Huda Syam) yang tak pernah putus memberikan
do’a dan motivasi kepada penulis untuk senantiasa taat kepada Allah dan
Rasulnya dalam berkarya.
Terakhir, harapan penulis semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna
ini dapat bermanfaat bagi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta. Masukan saran yang membangun akan
penulis terima dengan senang hati demi penyempurnaan karya di masa yang akan
datang.
Jakarta, 24 Juli 2014
Anita
vi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACK ..................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................ 8
C. Pembatasan Masalah ............................................................... 9
D. Perumusan Masalah ................................................................ 9
E. Tujuan Penelitian .................................................................... 9
F. Manfaat Penelitian ................................................................ 10
BAB II KAJIAN TEORITIK
A. Teori Captive Mind ............................................................... 11
B. Sejarah Sosiologi sebagai Disiplin Ilmu ................................ 22
C. Permasalahan Eurosentrisme dalam Ilmu Sosial .................... 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian .................................................. 49
B. Metode Penelitian ................................................................. 49
C. Prosedur Penelitian ............................................................... 53
BAB IV KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN
ALTERNATIF TERHADAP EUROSENTRISME DALAM
SOSIOLOGI
A. Konsep Captive Mind Syed Hussein Alatas dan Kaitannya
dengan Kebergantungan Akademik Syed Farid Alatas .......... 68
vii
B. Melepaskan Eurosentrisme dalam Sosiologi dengan Diskursus
Alternatif .............................................................................. 76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 135
B. Saran .................................................................................. 136
Daftar Pustaka ................................................................................................ 138
Biodata Penulis
Lampiran-lampiran
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Rincian Proses Pembuatan Skripsi .......................................... 49
Tabel 2 : Buku yang Dihasilkan Syed Farid Alatas ................................ 60
Tabel 3 : Makalah Syed Farid Alatas yang Diterbitkan pada Jurnal di
Seluruh Dunia ............................................................................ 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan sarat dengan nilai tertentu (value laden).1 Inilah
pendapat kalangan yang melihat realitas bahwa ilmu dilahirkan dari sebuah
masyarakat, dan setiap masyarakat memiliki konsep, nilai, tradisi, serta
kepercayaanya sendiri. Dengan nilai tersebut, ilmu pengetahuan dapat
dikendalikan oleh penciptanya baik secara nyata maupun tersembunyi. Pencipta
ilmu dapat menggerakkan setir, menentukan arah dan tujuan atau mungkin dapat
menabrak dan melindas segala hal yang menghalangi tujuannya.
Kenyataan ini terjadi sekarang. Banyak akademisi yang melihat bahwa
science kontemporer yang menghasilkan berbagai teknologi untuk memudahkan
pekerjaan manusia juga memiliki maksud terselubung. Maksud tersebut terlihat
dari upaya menjadikan manusia tergantung pada sebuah „alat‟ atau „barang‟ yang
mungkin bukanlah kebutuhannya. Dengan ketergantungan tersebut manusia akan
terus mencari sejauh mana suatu alat atau barang dapat tercipta dalam rangka
memuaskan keinginannya yang sebenarnya tak akan ada puasnya.
Pada saat itulah motif hegemoni dalam science menjadi tampak. Berbagai
perusahaan berlomba-lomba menciptakan alat untuk melestarikan sistem
konsumsi dan menjadikan seseorang berada dalam narasi sebagai „konsumen
abadi‟. Teknologi modern yang diciptakan untuk pembebasan manusia dari kerja,
ternyata telah menjadi alat perbudakan baru.2 Fungsi teknologi modern berubah
menjadi alat kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan. Manusia
modern kini telah tertawan oleh ciptaannya sendiri.
1 Value Laden adalah istilah yang lazim digunakan ahli dalam memandang persoalan ilmu
yang telah disisipi nilai tertentu. Ilmu modern tidaklah bebas nilai (value free), namun telah secara
halus disusupi oleh worldview masyarakat Barat. Lih. Dinar Kania Dewi, “Studi Komparatif
Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas,” Disertasi pada Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Bogor, 2012, h. 1-7, tidak
dipublikasikan. 2 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), h.
265.
2
Keadaan yang sama juga terjadi dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Seruan positivisme yang telah dua abad lebih berkumandang mulai ditinggalkan.
Sebagaimana diketahui, positivisme pertama kali digagas oleh August Comte
(1798-1857), yang disebut sebagai Bapak Sosiologi.3 Ilmu sosial tidak berjalan
seperti mesin yang bersifat mekanistis seperti yang dikemukakan ilmuwan
positivisme. Ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari nilai-nilai yang
membelenggunya. Yang terkenal dalam hal ini adalah seorang teoritis post-
strukturalis, Michel Foucault pada tahun 1980. Dalam buku Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, Foucault menyatakan bahwa pengetahuan
adalah kuasa, artinya pengetahuan mempunyai kekuatan untuk mengonstruksi
kenyataan, mendisiplinkan bahkan menormalkan yang dianggap menyimpang.4
Sebelum karya Foucault yang fenomenal tersebut, telah ada teori Jurgen
Habermas yang dijabarkan dalam buku Knowledge and Human Interest. Menurut
Habermas, sistem pengetahuan ada pada level objektif, sedangkan minat dan
kepentingan manusia adalah fenomena subjektif.5 Lebih lanjut Habermas
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sarat dengan kepentingan tertentu. Tradisi
positivisme menyembunyikan kepentingan teknis, humaniora menyembunyikan
kepentingan komunikatif, sedangkan kritis menyembunyikan kepentingan
emansipatoris.6
Kepentingan yang terdapat dalam sebuah ilmu pengetahuan dapat berarti
sebagai upaya pelestarian hegemoni Negara tertentu pada Negara lain. Pelestarian
hegemoni tersebut diciptakan dengan melakukan dikotomi seperti Barat-Timur,
Pusat-Pinggiran, Maju-Berkembang. Dikotomi superior dan inferior ini
menghasilkan pola pikir yang salah terhadap Negara berkembang atau penyebutan
lain adalah Negara Dunia Ketiga. Negara Dunia Pertama sebagai Pusat
3 Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 4. 4 Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, (New
York: Pantheon, 1980). 5 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosial Modern, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), h. 185. 6 Oki Rahadianto Sutopo, “Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global” dalam Jurnal
Sosiologi Masyarakat, Vol. 16, no. 2, Juli 2011, h. 201.
3
mengendalikan politik dan ekonomi Dunia melalui ilmu pengetahuan yang telah
disisipkan ideologi tertentu.
Negara Dunia Ketiga sebagai inferior tidak dapat berbuat banyak karena
standarisasi ketat telah diciptakan oleh Negara Pusat. Ilmuwan Negara Dunia
Ketiga sebagai pinggiran akhirnya memproduksi pengetahuan berdasarkan
standarisasi yang telah ditetapkan. Negara pinggiran hanya mampu menjadi
bayang-bayang dominasi ilmu pengetahuan Negara pusat. Keadaan ini terus
berlanjut ketika ilmuwan Negara pinggiran secara tidak sadar menjadi pelestari
sistem Dunia. Mereka tanpa bisa berbuat banyak menerima hal tersebut dan
menerapkannya dalam dunia pendidikan maupun kebijakan lain di Negaranya.
Pada dasarnya menurut Syed Farid Alatas, proses produksi pengetahuan
tidak terpisah dari kondisi sosial yang menjadi tempat keberlangsungannya.
Kekuatan-kekuatan utama Ilmu Sosial adalah Amerika Serikat, Inggris, dan
Perancis. Hal ini menurut Alatas dikarenakan:
1. Banyak Ilmu Sosial berbentuk makalah ilmiah yang diterbitkan
melalui peer-reviewed journal, buku, kertas kerja dan penelitian.
2. Memiliki jangkauan ide dan informasi global yang termuat dalam
karya tersebut.
3. Memiliki kemampuan mempengaruhi Ilmu Sosial Negara-negara lain
karena karya-karya mereka dikonsumsi.
4. Mendapat banyak pengakuan, penghormatan, dan prestise di dalam
dan Luar Negeri. 7
Selanjutnya Alatas tidak menyebutkan Jerman sebagai salah satu kekuatan
utama ilmu sosial, hal ini disebabkan Jerman hanya menghasilkan dominasi
global pengarang dibandingkan aliran dalam Ilmu Sosial.
Sejak paruh abad ke-19, pada tingkat abstrak dan teoritis ide-ide
negara tersebut banyak diimpor, dipasarkan, dan dikonsumsi Universitas-
universitas di Asia. Ilmuwan sosial di Asia cenderung terpengaruh
pembagian kerja Ilmu Sosial global dengan mempelajari masyarakatnya
sendiri dan hanya berkutat dengan riset empiris terkait kebijakan. Karya
mereka akhirnya hanya memberi kontribusi pas-pasan terhadap teori.
Akhirnya muncul kebergantungan pada ide-ide jurnal ilmiah dari negara-
negara tersebut. Kebergantungan akademis tersebut dilestarikan pada
7 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap
Eurosentrisme, (Bandung: Mizan, 2010), dalam prakata.
4
pengajaran Ilmu Sosial di seluruh Universitas dengan meminggirkan
konsep lokal, regional dan ulayat.8
Berbagai pernyataan ini akhirnya memunculkan pertanyaan;
1. Dimanakah posisi pengetahuan yang dikonstruksikan oleh ilmuwan
non-Barat atau ilmuwan di negara-negara Dunia Ketiga yang terletak
di Timur dan Selatan?
2. Bagaimana relasi kuasa antara pengetahuan pusat dengan pinggiran
dan apa dampaknya?
3. Apakah memungkinkan membangun pengetahuan alternatif untuk
menciptakan relasi yang lebih adil antara ilmu sosial pusat dan
pinggiran?9
Jawaban dari pertanyaan tersebut dituangkan Syed Farid Alatas dalam
berbagai buku dan jurnal. Dalam karya tersebut Alatas menggambarkan
permasalahan ilmu sosial di Asia dan menggagas diskursus alternatif untuk
menghapus dominasi ilmu pengetahuan tersebut. Seruan alternatif yang
dikemukakan Alatas tidak terlepas dari peran intelektual dua ilmuwan besar yaitu
sosiolog Syed Hussein Alatas yang merupakan ayahnya dan filosof Syed
Muhammad Naquib Al-Attas yang merupakan pamannya. Sebagaimana diketahui,
kedua ilmuwan tersebut telah bersuara lantang melakukan perlawanan terhadap
Orientalisme dan Eurosentrisme sejak tahun 1960-an. Bahkan hingga kini Syed
Muhammad Naquib Al-Attas masih menelurkan berbagai karya untuk
menciptakan ilmu pengetahuan otonom bagi Muslim kepulauan Melayu.
Adapun kenyataannya kini, Orientalisme dan Eurosentrisme ilmu sosial
Barat termasuk Sosiologi tidak lagi bersifat rasis dengan mengatakan masyarakat
non-Barat mundur-progresif dan biadab-beradab. Sebaliknya mereka justru
menjadikan pemikir non-Barat berada dalam posisi marginal. Posisi ini seringkali
tidak disadari oleh para sarjana non-Barat. Atau mungkin disadari namun
seringkali merasa tidak berdaya dalam menghadapi kenyataan demikian. Banyak
diantara mereka yang akhirnya hanya sekedar mengetahui keadaan tanpa
berupaya mengubah kondisi.
8 Ibid., 9 Oki, Op.Cit., h. 201.
5
Alatas memberi saran kepada para sarjana yang tidak dapat berbuat
banyak di tingkat struktural atau dalam level kebergantungan akademik, yang tak
bisa bertanggung jawab terhadap berbagai institusi (penentu kebijakan) maupun
negara. Menurutnya, ada yang dapat dilakukan para sarjana pada level intelektual
atau teoritis. Pada level ini, tradisi pengetahuan dan berbagai praktek budaya Non-
Barat harus dipertimbangkan para sarjana sebagai sumber potensi konsep dan
teori ilmu sosial, yang akan mengurangi kebergantungan akademik pada kekuatan
ilmu sosial Barat.
I suggest that we as scholars cannot do much at the structural or
material level of academic dependency as we are neither in charge of
institutions nor the state. However, there is more that can be done at the
intellectual or theoretical level. At this level, non-Western knowledge
traditions and cultural practices should all be considered potential
sources of social science theories and concepts, which would decrease
academic dependence on the world social science powers.10
Dalam berbagai buku dan jurnal, Alatas tidak melakukan kritik satu
persatu teori Barat dan memunculkan diskursus alternatif terhadap semua teori
yang ada. Dalam karya-karya tersebut Alatas berupaya mengimbagi Ilmu Sosial
yang Eurosentris serta menghilangkan sebuah cara berpikir yang ter-
Eurosentrisme-kan yaitu, captive mind (benak terbelenggu).11
Alatas menghimpun
dan menelaah karya berbagai sosiolog dan ilmuwan sosial di Asia yang
menyerukan gagasan untuk keluar dari kondisi tersebut.
Diskursus alternatif pada dasarnya telah lama ada dalam Ilmu sosial.
Banyak sarjana yang telah menghabiskan waktu untuk berkonsentrasi
memecahkan persoalan Orientalisme, Eurosentrisme, Imperialisme akademik, dan
lain sebagainya. Hanya saja karena terjebak pada pola yang diciptakan Barat
melalui Eurosentrisme, banyak ilmuwan tidak dapat mengetahui perkembangan
10 Alatas, The Definition and Types Alternative Discourses, pp. 139. 11 Captive Mind merupakan istilah yang disebut Syed Hussein Alatas dalam beberapa
jurnal. Dalam skripsi ini, istilah Captive mind merujuk pada frasa „benak terbelenggu‟, sesuai
dengan frasa yang disebut penerjemah buku Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu
Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme. Penjelasan lanjut mengenai Captive mind
terdapat pada bab II.
6
ilmu pengetahuan di sekitarnya. Semua itu karena yang terlihat di depan matanya
sebuah hal spektakuler yang diciptakan oleh ilmu sosial termasuk Sosiologi Barat.
Hingga kini dalam berbagai buku dan jurnal, masih banyak ilmuwan sosial
yang terjebak dengan riset mengenai masyarakatnya sendiri. Anehnya dalam riset
tersebut mereka sangat mengandalkan berbagai teori yang dikemukakan ilmuwan
Negara-negara Barat. Padahal secara sadar maupun tidak, mereka justru
melestarikan persoalan Eurosentrisme yang telah berusaha dipecahkan oleh
banyak ilmuwan lainnya.
Banyak sosiolog di Indonesia, misalnya menjadi tak mandiri dan hanya
menjadi penerima pasif agenda riset, metode, dan ide-ide dari Negara pusat
penguasa ilmu sosial.12
Hal ini terlihat dari kebergantungan pada gagasan, media,
teknologi pendidikan, bantuan pelatihan, investasi pendidikan, dan lain
sebagainya. Sebagai contohnya adalah maraknya jurnal ilmiah yang didasarkan
pada standarisasi yang ditetapkan Negara pusat. Gagasan yang dikemukakan
dalam jurnal tersebut lebih banyak mengutip teori-teori ilmuwan Barat yang
terkadang dipaksakan dalam masyarakat Indonesia.
Bapak Sosiologi Indonesia, Selo Soemardjan tahun 1980-an pernah
menyatakan bahwa masyarakat Indonesia pada tahun 2012 akan mengalami
sekularisasi. Hal ini tak terelakkan, karena menurutnya Indonesia pada saat itu
telah mengalami proses industrialisasi. Menurutnya pula, dominasi ilmu
pengetahuan dan teknologi akan mereduksi peran agama dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan sosial.13
Adapun pada dasarnya sudah terlihat secara jelas kemana arah pemikiran
guru besar Sosiologi di Universitas Indonesia ini. Cara berpikir seperti ini
terpengaruh dengan aliran positivisme dalam filsafat. Menurut aliran ini
sekularisme merupakan keharusan sejarah dalam masyarakat rasional. Seperti
sebuah mesin, terjadi mekanisasi dalam masyarakat yang meniscayakan
sekularisasi dalam sebuah kemajuan teknologi.
12 Alatas, Op.Cit., h. 55. 13 Kuntowijoyo, Op.Cit., h. 273.
7
Namun menurut Kuntowijoyo, fenomena sekularisasi takkan terjadi jika
masyarakat Indonesia tidak terjebak pada ilmu sosial Barat yang menafikkan
peran agama. Karena fenomena sekularisasi yang terjadi di Barat nyatanya telah
menyebabkan kekacauan dalam sistem nilai dan norma masyarakat. Masyarakat
Barat mengalami kekosongan hebat dan menjalani hidup tanpa makna. Menurut
Kuntowijoyo, masyarakat Barat mengalami kekalutan hidup akibat dari proses
sekularisasi, proses dereligionisasi.14
Menurut Kuntowijoyo, “Cita-cita sekularisme pada tahun 1970-an adalah
bukti historis bagaimana pengaruh ilmu-ilmu sosial Barat kepada para
cendekiawan Dunia Ketiga”.15
Namun pada tahun 1980-an, tradisi keilmuwan
mencoba membalikkan tesis dengan memasukkan nilai dan norma agama ke
dalam ilmu-ilmu sosial yang sekuler. Hal ini dikarenakan banyak sarjana yang
ketika tinggal beberapa waktu di Amerika mempelajari buku-buku Islam dalam
bahasa Barat, dan bertransformasi menjadi “senjata intelektual” untuk
menghadapi perdebatan intelektual sekuler.16
Hingga kini waktulah yang membuktikan kebenaran teori yang
dikemukakan Selo Soemardjan. Sekularisasi memang tampak dalam beberapa sisi
kehidupan masyarakat, misalnya dalam dunia politik, ekonomi, dan budaya.
Namun hingga saat ini, di tahun 2014 justru masyarakat Indonesia mengalami fase
baru, yakni fase dimana masyarakat mulai merindukan keteraturan yang
diciptakan oleh agama. Masyarakat Indonesia kini menjadi lebih religius, terbukti
dengan maraknya berbagai lembaga yang mengatasnamakan agama dalam
kehidupan sosial. Hal ini dikarenakan telah terjadi transformasi nilai normatif
menjadi sebuah kebiasaan dalam masyarakat.
Keniscayaan sekularisasi dalam masyarakat modern yang dikemukakan
Selo Soemardjan dapat dijadikan contoh bahwa efek Eurosentrisme memang
melekat dalam berbagai karya sosiolog di Indonesia. Banyak sosiolog yang
melupakan satu hal, bahwa tidak selamanya teori relevan untuk digunakan
ditempat lain. Ini juga merupakan bukti bahwa ilmu sosial Barat tidak berlaku
14 Ibid., h. 274. 15 Ibid., h. 525. 16 Ibid., h. 527.
8
secara universal. Oleh karena itu diperlukan upaya dari ilmuwan Negara Dunia
Ketiga untuk melepaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu mengenai
masyarakat. Berbagai cara yang ditempuh menurut Alatas dapat berupa:
indigenisasi atau ulayatisasi ilmu sosial; penyeruan ilmu sosial otonom atau
nativis; seruan kreativitas intelektual Endogen; dekolonisasi ilmu sosial;
sakralisasi ilmu sosial; teori post-kolonial; nasionalisasi ilmu sosial; teori
memutuskan hubungan; deschooling, dan lain-lain.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Captive Mind (benak terbelenggu) merupakan sebuah fenomena yang
terjadi pada para akademisi di Dunia Ketiga. Fenomena ini memiliki ciri
para ilmuwan Dunia Ketiga yang meniru tanpa sikap kritis ilmu sosial
yang berasal dari Barat.
2. Eurosentrisme merupakan fenomena dalam ilmu sosial termasuk sosiologi
di Negara Dunia Ketiga sebagai Negara pinggiran/periphery, yang
menyebabkan terjadinya dominasi ilmu sosial dari Eropa dalam arti
budaya terus ada dalam perkembangan sosiologi di Dunia Ketiga.
3. Dikotomi Barat-Timur, Maju-Berkembang, Pusat-Pinggiran yang secara
tersirat ada dalam ilmu sosial merupakan bagian dari upaya melestarikan
konsep superior-inferior dalam ilmu sosial.
4. Negara pusat ilmu sosial yang terdiri atas Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, dan Jerman menciptakan kebergantungan akademik dan
pembagian kerja ilmu sosial global. Hal ini menyebabkan ilmuwan Dunia
Ketiga terus menjadi peneliti empiris hanya di negaranya saja, sedangkan
ilmuwan Barat sebagai pusat menjadi teoretikusnya.
5. Terdapat teori-teori yang berasal dari negara pusat ilmu pengetahuan yang
tidak relevan yang ketika diterapkan dalam ilmu sosial di Asia.
6. Para ilmuwan yang menyadari permasalahan Eurosentrisme dalam ilmu
sosial termasuk sosiologi berupaya melepaskan keadaan tersebut dengan
9
diskursus alternatif yang terdiri atas upaya indigenisasi ilmu sosial;
penyeruan ilmu sosial otonom atau nativis; seruan kreativitas intelektual
Endogen; dekolonisasi ilmu sosial; sakralisasi ilmu sosial; teori post-
kolonial; nasionalisasi ilmu sosial; teori memutuskan hubungan;
deschooling, dan lain-lain.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, ditemukan
berbagai realitas yang terjadi dalam ilmu sosial termasuk sosiologi di Negara
Timur-Berkembang-Pinggiran. Berangkat dari kenyataan tersebut, penelitian ini
mengarahkan batasan studi pada teori captive mind yang pertama kali digagas
Syed Hussein Alatas, serta kaitannya dengan diskursus alternatif dalam
menghadapi Eurosentrisme yang dikemukakan Syed Farid Alatas.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana penjelasan tentang konsep captive mind yang digagas oleh
Syed Hussein Alatas?
2. Bagaimana penjelasan tentang diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme
dalam sosiologi yang dikemukakan Syed Farid Alatas?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mengetahui penjelasan tentang konsep captive mind yang digagas oleh
Syed Hussein Alatas.
2. Mengetahui penjelasan tentang diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme
dalam sosiologi yang dikemukakan Syed Farid Alatas.
10
F. Manfaat Hasil Penelitian
Berdasarkan tujuan tersebut, diharapkan diperoleh interpretasi atas
pemikiran Syed Farid Alatas mengenai alternatif Eurosentrisme dalam Sosiologi.
Sedangkan manfaat atau kegunaan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Manfaat penyusunan laporan penelitian bagi peneliti, adalah:
1) Menjawab keingintahuan peneliti mengenai konsep Captive Mind
yang dikemukakan Syed Hussein Alatas, serta diskursus alternatif
terhadap Eurosentrisme dalam Sosiologi yang merupakan
pemikiran Syed Farid Alatas.
2) Menunjukan hasil temuan peneliti supaya dikenal oleh banyak
pihak dan membuat hasil penelitian menjadi lebih bermakna.
b. Bagi pembaca, dengan adanya informasi dari penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasannya seputar
fenomena Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Selain itu membuat
pembaca termotivasi dalam menciptakan alternatif dalam sosiologi
serta bersikap kritis terhadap ilmu pengetahuan Eurosentris dari Barat.
c. Bagi peneliti lain, diharapkan penelitian ini menjadi contoh yang lebih
baik lagi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi mahasiswa dapat menimbulkan sikap hormat-kritis terhadap ilmu
pengetahuan yang sarat nilai dan diimpor dari Barat.
b. Bagi UIN Jakarta, diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang filsafat, sosiologi dan
ilmu sosial secara umum.
c. Bagi Jurusan, dapat menjadi acuan dalam pengembangan teori serta
pengajaran ilmu sosial yang lebih ulayat.
11
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Konsep Captive Mind1
Frasa “captive mind” pada dasarnya telah dikemukakan oleh Czeslaw
Milosz (1931-2004) dengan bukunya yang berjudul The Captive Mind. Dalam
buku yang pertama kali terbit pada tahun 1953, Milosz memulai diskusi tentang
ketidakpuasannya terhadap novel karya Stanisław Ignacy Witkiewicz.2 Buku yang
ditulis Milosz ini terbatas pada upayanya dalam menggambarkan situasi politik di
Polandia setelah perang Dunia kedua. Frasa yang digunakannya dalam judul buku
tersebut tidak menyentuh konteks gagasan yang diperbincangkan dalam skripsi
ini.
Pada dasarnya konsep captive mind adalah korban Orientalisme dan
Eurosentrisme yang memiliki ciri, cara berpikir yang didominasi pemikiran Barat
dengan cara meniru dan tidak kritis.3 Pemikiran tersebut masuk dalam semua
tingkatan aktivitas ilmiah, mempengaruhi latar belakang masalah, analisis
abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan interpretasi.
Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh sosiolog Malaysia yang bernama Syed
Hussein Alatas pada tahun 1972 (sebenarnya sejak tahun 50-an) dengan judul
jurnal ilmiah The Captive Mind in Development Studies. Tulisan ini mengarah
pada konseptualisasi pengetahuan di Negara berkembang yang didominasi Barat.
1 Dalam skripsi ini, captive mind merupakan salah satu konsep kunci yang dikemukakan
Syed Farid Alatas. Sejauh penelusuran yang dilakukan penerjemah buku “Alternative Discourses
in Asian Social Science: Responses to Eurocentrism” melalui google.books, google scolars, dan
laman Indonesia dengan cara googling, tidak ditemukan padanan baku untuk konsep kunci ini.
Secara umum entri laman dan buku yang memuat captive mind, tidak memadankan frasa tersebut. Dengan menimbang gagasan yang telah dituangkan Syed Hussein Alatas dalam beberapa jurnal,
penulis menyimpulkan menggunakan frasa “captive mind” sebagai benak terbelenggu yaitu sifat
atau mentalitas membebek para sarjana dengan mengacu pada sebuah nilai. 2 Tinjauan sekilas mengenai buku Czeslaw Milosz yang berjudul The Captive Mind dapat
diakses di https://www.goodreads.com/book/show/145660.The_Captive_Mind. Penelusuran
mengenai buku Czeslaw Milosz ini dan beberapa karyanya yang lain dilaksanakan pada tanggal 13
April 2014. Pen. 3 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap
Eurosentrisme, (Bandung: Mizan Publika, 2010), h. 34.
12
Syed Hussein Alatas pertama kali menjabarkan masalah terbelenggunya
pikiran akademisi Dunia Ketiga pada tahun 1956. Syed Hussein Alatas melihat
terjadi “impor besar-besaran gagasan dari dunia Barat ke masyarakat Timur” yang
dilakukan tanpa pertimbangan matang terhadap konteks sosial sejarah sebagai
masalah fundamental kolonialisme. Menurutnya pula, pola pikir bangsa-bangsa
jajahan ternyata paralel dengan imperialisme dalam bidang ekonomi dan politik.
Oleh karena itu konteks yang melahirkan captive mind dapat disebut sebagai
imperialisme akademis.4
Selanjutnya dalam tulisan awal di Jurnal The Captive Mind in
Development Studies, Syed Hussein Alatas mengutip sebuah artikel dalam jurnal
The Annals of The American Academy of Political and Social Science, yang
berjudul “The Professor Abroad”. Artikel ini ditulis oleh Edward W. Weidner,
seorang profesor dalam Ilmu politik.
… the problems of exchange arrangements he noted the following: (a) the
American professor prefers his own American teaching methods; (b) the
American professor takes with him his own lecture, laboratory and
seminar notes, relying on them without a great deal of modification; (c)
many of the course contents of American university are not relevant to
developing areas; (d) propositions considered to have the force of
universal laws are often not applicable to the host country’s social system;
(e) from the viewpoint of less developed countries, research by American
and other foreign scholars has not been very satisfactory.5
Weidner mendiskusikan beberapa hal mengenai para profesor Amerika yang lebih
menyukai metode pengajaran versi Amerika, yakni; profesor Amerika yang
menggunakan perkuliahan, laboratorium dan catatan seminarnya sendiri tanpa
banyak melakukan modifikasi; banyak dari isi kuliah di Universitas Amerika yang
tidak relevan dengan Negara berkembang, proposisi yang dianggap memiliki
kekuatan hukum universal sering tidak berlaku untuk sistem sosial negara tuan
rumah; dari sudut pandang negara-negara berkembang, penelitian oleh sarjana
Amerika dan lainnya belum memuaskan.
4 Ibid., h. 35. 5 Syed Hussein Alatas, “The Captive Mind in Development Studies: Some Negleted
Problems and The Need for an Autonomous Social Science Tradition in Asia, Social Science
Journal,” Vol. 24. No. 1 tahun 1972, pp. 9.
13
Captive Mind didefinisikan sebagai “pikiran meniru yang tidak kritis,
terdominasi sumber-sumber eksternal yang menyimpang dari perspektif
independen”. Sumber eksternal datang dari ilmu sosial dan humaniora Barat yang
tiruan tak kritisnya mempengaruhi aktivitas ilmiah seperti pemilihan masalah,
konseptualisasi, analisis, generalisasi, deskripsi, eksplanasi, dan interpretasi.
Karakteristik seorang yang terjangkiti captive mind adalah tak mampu kreatif dan
memunculkan masalah secara orisinal, tak mampu menentukan metode analisis
yang orisinil, dan terkunci dari isu utama masyarakat ulayat. Captive mind dilatih
oleh ilmu sosial Barat, membaca karya-karya teoritis Barat, dan dididik terutama
oleh pengajar Barat baik di Negara Barat sendiri atau pusat pendidikan lokal yang
menerapkan standar kurikulum Barat.
Where in Western civilization do we come across even a single
mind trained entirely in the science from the Orient, reading books from
the Orient by Oriental author, going to a university run along an Oriental
tradition, taught predominantly by Oriental teachers, directly or indirectly
by means of their books, dependent on libraries overwhelmingly stocked
with Oriental books, using an Oriental language for higher study? The
counter part of the captive mind doesnot exist in the West.6
Pada dasarnya komunitas peneliti Negara Timur terbagi menjadi dua:
Pertama, bekerja sebagai orang dalam (insider), dan Kedua bekerja sebagai orang
luar (outsider). Secara simultan mereka bekerja pada institusi sebagai insider
dalam sebuah paradigma atau model penelitian tertentu. Disebut sebagai outsider
karena mereka sering terpinggirkan dan dipandang sebagai wakil dari suatu
kelompok minoritas atau kelompok kepentingan lawan.7
Menurut Syed Hussein Alatas, “impor besar-besaran gagasan dari dunia
Barat ke masyarakat Timur” yang dilakukan tanpa pertimbangan matang terhadap
konteks sosial sejarah sebagai masalah fundamental kolonialisme. Pola pikir
masyarakat jajahan menurutnya searah dengan imperialisme ekonomi dan politik
yang selanjutnya menghasilkan imperialisme akademis. Barat juga mengklaim
6 Syed Hussein Alatas, “The Captive Mind and Creative Development: Continuing
Debate,” International Social Sciences Journal, Vol. XXVI, No. 4, 1974, pp. 691. 7 Linda Tuhiwal Smith, Dekolonisasi Metodologi, (Yogyakarta: InsistPress, 2005). Dalam
pendahuluan buku ini, Linda menjelaskan bentuk penjajahan pemikiran yang dilakukan bangsa
Barat sebagai kekuatan Ilmu Sosial kepada suku bangsa Maori, yang menjadi lyan (other).
14
kepemilikan cara-cara bangsa terjajah dalam mengetahui tamsil bangsanya, lalu
pada saat bersamaan menampik orang-orang yang menciptakan dan
mengembangkan gagasan-gagasannya, bahkan mengakuinya bahwa itu adalah
miliknya.
Lebih dari itu, Barat menolak kemungkinan masyarakat Timur bisa
menciptakan budaya dan Nation sendiri. Cara pandang imperialisme tersebut
diabadikan melalui infiltrasi pengetahuan: menghimpun penduduk bangsa
terjajah, mengklasifikasikan dan merepresentasikan dengan segala macam cara
Barat, lalu lewat kacamata Barat dikembalikan lagi pada masyarakat Timur
sebagai bangsa terjajah.
Makalah tentang gagasan captive mind yang dikemukakan Syed Hussein
Alatas dimulai dengan efek demonstrasi (demonstration effect) yang
dikembangkan James Duesenberry (1949) dalam kaitannya dengan perilaku
konsumen.8 Istilah ini dipahami sebagai peningkatan pengeluaran konsumen
dengan cara mengorbankan tabungan untuk sesuatu yang diyakini bernilai tinggi,
dan mampu mempertahankan harga diri karena utilitas barang sersebut. Dorongan
tersebut bergantung pada frekuensi kontak yang sering kali terjadi. Semakin tinggi
kontak terhadap barang yang dinilai tinggi tersebut, semakin kuat pula efek dari
Demonstrasi pola konsumsi. Dengan demikian hal ini menjadi ancaman serius
terhadap keberlangsungan pola konsumsi yang dimaksud, terlebih jika ternyata
barang yang dikonsumsi tidak memiliki kegunaan yang sepadan.
Konsumsi pengetahuan ilmu sosial memiliki keyakinan bahwa
pengetahuan Barat berada pada posisi yang superior. Menurut gagasan efek
demonstrasi, peningkatan pendapatan akan meningkatkan konsumsi, karena
konsumen berusaha mengikuti pola konsumsi orang-orang yang gaya hidupnya
ingin mereka tiru. Kunci utama dalam asimilasi pengetahuan dari Barat adalah
keyakinan atas utilitas dan keunggulan. Efek demonstrasi ini memiliki ciri: (a)
seringnya berhubungan dengan pengetahuan Barat, (b) erosi atau lemahnya
pengetahuan lokal atau ulayat, (c) prestise tinggi yang dinisbatkan pada
8 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind in Development, Op.Cit., pp. 10.
15
pengetahuan impor, dan (d) konsumsi seperti ini sebenarnya tidak perlu rasional
dan bernilai.9
Syed Hussein Alatas menggambarkan captive mind dari peniruan telaah
pembangunan Barat. Captive mind terdapat dalam berbagai aktivitas seperti
abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, penempatan masalah, pemahaman, dan
penguasaan data. “The corpus of Social Science, scientific knowledge and
intellectual activity concerning developing areas may be grouped, for our present
purpose, under the following headings: abstraction, generalization,
conceptualization, problem-setting, explanation, and the understanding and
mastery of data.”10
Masalah lain dalam bidang pembangunan adalah kesalahan penilaian
disebabkan ketidakakraban data dan kebutaan terhadap konteks. Contohnya
adalah pandangan Hagen bahwa menggali dengan cangkul bagi masyarakat Asia
Tenggara adalah “proses yang canggung”. Menurut Syed Hussein Alatas, Hagen
tidak memahami fungsi cangkul dalam konteks yang tepat. Cangkul digunakan
masyarakat Asia Tenggara dibandingkan sekop karena permukaan tanah yang
berbukit-bukit dengan lereng yang bertingkat-tingkat. Oleh karena itu kegagalan
Hagen dalam melihat kegunaan cangkul merupakan hal yang serius dalam bidang
antropologi.
… Hagen did not understand the function of the South-East Asian
hoe in its context. Here the changkol (hoe in Malay) is a much more
efficient tool than the spade. In the terrace cultivation of rice on mountain
slopes, where one must sometimes scrape the descending banks of a
terrace downwards, the changkol and not the spade is the efficient tool.
The manipulative potential of the changkol is much higher than that of the
spade. With it one can dig a hole and at the same time scrape the sides
with much greater ease. It is efficient for digging as well as trimming. It is
suitable for the delicate construction required in padi cultivation.
Furthermore it can dig much faster than a spade. Thus Hagen had ignored
the anthropological principle that the function of a tool is to be judged by
reference to its context.11
9 Ibid., pp. 10-11. 10 Ibid., pp. 12. 11 Ibid., pp. 15.
16
Dalam telaah pembangunan, hal ini justru ditiru dan diasimilasi oleh
captive mind dan akhirnya berdampak pada rencana pembangunan yang buruk.
Captive mind tidak memiliki kreativitas dan kemampuan untuk memecahkan
masalah secara orisinil dengan ditandai pandangan yang terpecah, teralienasi, dari
isu-isu sosial utama dan tradisi bangsanya sendiri serta merupakan hasil dominasi
Barat atas seluruh dunia. Captive mind adalah fenomena khas didunia berkembang
yang terlihat dari pikiran tiruan yang tidak kreatif akibat didominasi peradaban
luar, yaitu Barat.
Pengembangan ini mengambil bentuk “efek demonstrasi yang tidak kritis”
yakni kekuatan penggerak dibalik asimilasi teori, konsep, tafsir Barat, dengan
keyakinan dan keunggulan dalam agenda riset. Namun sebenarnya apa yang ditiru
dalam hal tersebut menunjukkan kualitas inferior, karena hanya dapat meniru
sesuatu yang berada dalam jangkauannya. Akibatnya konstruksi yang dihasratkan
bukanlah “Istana intelektual yang mengesankan, tetapi sekedar gubuk di sebelah
pojok”. Keterbelengguan itu menjadi masalah yang lebih besar ketika apa yang
membuatnya terbelenggu tidak disadari. Padahal menurutnya seorang dapat saja
mengadopsi post-strukturalisme Perancis dengan mendomestikkannya, tanpa
harus terjebak captive mind.12
Contoh lain adalah anggapan bahwa masyarakat praindustri tidak dapat
menghargai waktu dengan baik. “Time is money”, inilah ungkapan yang
seringkali terlontar pada masyarakat industri yang akan membawa pada
keuntungan materi. Masyarakat pra-industri seperti di Asia Tenggara memiliki
kebiasaan ketika hendak berladang menunggu matahari naik dan selesai sebelum
matahari terbenam. Selain itu, masyarakat juga sering bersantai dan mengobrol
dengan rekannya di pematang sawah, sembari beristirahat. Hal ini dianggap
sebagai proses yang terlalu membuang waktu dan mengakibatkan masyarakat
terus terbelakang serta tidak mengalami kemajuan secara ekonomi.
Anggapan bahwa tradisi adat tidak memiliki konsep waktu modern adalah
suatu kekeliruan. Mengutip pernyataan Herskovits, Syed Hussein Alatas memberi
penjelasan bahwa konsep waktu dapat dilihat dari sisi yang lain. Masyarakat akan
12 Alatas, Diskursus Alternatif, Op.Cit., h. 37-38.
17
menjadi tepat waktu saat menepati janji, tepat waktu saat berbuka puasa, saat
melakukan shalat Jumat, membaca doa sehari-hari saat fajar dan petang. Agama
Islam yang menjadi mayoritas di banyak negara, menghargai nilai waktu. Al-
Qur‟an berisi judul surat, (Al-Asr) “Demi Waktu”. Nilai pengukuran waktu diakui
jauh sebelum jam modern digunakan.13
Selain itu di antara umat Islam terdapat
cabang pengetahuan yang disebut Ilmu hisab, ilmu penghitungan dan pengukuran.
Apresiasi terhadap pengukuran waktu yang dihubungkan dengan agama
bukan hanya ada pada atribut agama Islam. Sejak dahulu kala, masyarakat
tradisional telah menghargai pengukuran dan ketepatan waktu. Mereka
memperhatikan segala perubahan yang terjadi. Perubahan adalah salah satu
komponen dalam waktu. Perubahan kebiasaan diperlukan bagi mereka yang
belum terbiasa. Dengan begitu mereka tidak harus bingung dengan perubahan
dalam nilai-nilai, atau perubahan konsepsi waktu itu sendiri.14
Gagasan Syed Hussein Alatas mengenai “captive mind” dilanjutkan
dengan jurnal yang terbit pada tahun 1976 dengan judul “The Captive Mind and
Creative Development”. Dalam jurnal ini Syed Hussein Alatas menggambarkan
karakteristik captive mind, yaitu:
1. Captive mind merupakan produk dari lembaga tinggi pendidikan, baik di
dalam maupun luar negeri, dengan cara berpikir yang didominasi oleh
pemikiran Barat dengan cara meniru tidak kritis.
2. Captive mind adalah pikiran tidak kreatif yang tidak mampu mengangkat
masalah ulayat.
3. Captive mind tidak mampu merancang metode analisis yang independen.
4. Captive mind tidak mampu memisahkan antara sesuatu yang partikular dan
universal. Captive mind mengadaptasi universalisme yang disematkan
pada pengetahuan ilmiah meski tidak sesuai dengan konteks lokal.
5. Captive mind terfragmentasi dalam sebuah pandangan.
6. Captive mind terasing dari isu utama masyarakat.
7. Captive mind terasing dari tradisi nasionalnya sendiri.
8. Captive mind tidak disadari oleh para ilmuwan, sehingga dia tidak
berusaha keluar dari kondisi tersebut
9. Captive mind tidak setuju dengan analisis kuantitatif yang memadai tetapi
mengamati sesuatu secara empiris.
13 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind in Development, Op.Cit., pp. 16. 14 Ibid., pp. 16-17.
18
10. Captive mind adalah hasil dari dominasi Barat ke seluruh dunia.15
Namun peniruan tidak selamanya salah jika didasarkan pada sikap kritis
para ilmuwan. Masyarakat dapat berkembang secara konstruktif jika terjadi
asimilasi melalui imitasi dalam prosedur teknologi dengan pengetahuan ilmiah
yang valid dan sesuai konteks sosial. Pada kenyataannya tidak ada masyarakat,
bahkan peradaban yang dapat berkembang dengan menciptakan segala sesuatunya
sendiri. Ketika sesuatu ditemukan efektif dan berguna, hal itu dapat diadopsi dan
diasimilasi ke dalam kebudayaan. Karena imitasi konstruktif adalah bagian dari
kehidupan sosial yang tidak pernah dapat dipisahkan.
Syed Hussein Alatas menyatakan imitasi konstruktif dengan beberapa ciri,
yaitu:
1. Didasarkan pada pilihan yang sadar dan rasional;
2. Mendukung seruan dan nilai-nilai yang ada;
3. Menangkap masalah pada adopsi inovasi;
4. Menganggap ketika tidak mengadopsi akan menghambat perkembangan
masyarakat;
5. Meningkatkan pemahaman fenomena sekitarnya inovasi;
6. Tidak mengganggu aspek lain dari kehidupan sosial yang dianggap lebih
berharga;
7. Tidak menciptakan kesenjangan besar yang merugikan usaha tersebut;
8. Memasuki sistem nilai kolektif dalam arti bahwa hal tersebut diakui
berharga oleh sebagian besar orang; dan
9. Hal itu bukan efek dari manipulasi oleh kelompok eksternal yang
termotivasi oleh kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan
adopter tersebut.16
Konsep captive mind adalah sebuah imitasi negatif, yaitu imitasi yang
menunjukkan karakteristik berbeda dari imitasi konstruktif. Imitasi tersebut bukan
berasal dari perkara politik atau ideologi, melainkan fenomenologis. Apa yang
didefinisikan sebagai captive mind adalah bentuk perbudakan intelektual dan
15 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind and Creative, Op.Cit., pp. 691. 16 Ibid., pp.692.
19
ketergantungan pada kelompok eksternal melalui media seperti buku, lembaga,
radio, pers, televisi, konferensi dan pertemuan ilmiah.17
Masalah lain yang besar dari captive mind menurut Syed Hussein Alatas
adalah ketidakmampuan dalam membedakan hal yang universal dan partikular.
Ketika captive mind mempelajari ilmu-ilmu dari Barat, fenomena yang terjadi di
Barat sering dianggap universal. Keadaan ini yang akhirnya menghasilkan
„imperialisme metodologis‟. Hal ini mengasumsikan bahwa apa yang baik di satu
tempat dapat berlaku ditempat lain. Selanjutnya pada taraf tertentu diharapkan
Negara berkembang mengikuti jejak yang sama seperti Negara dunia pertama
dalam mencapai kemajuan. Misalnya dalam kasus urbanisasi, disarankan agar
semua masyarakat non-Barat melewati tahapan yang sama dari fase urbanisasi
seperti yang dialami dunia Barat.18
Sebagaimana diketahui, imperialisme tidak terbatas hanya pada aspek-
aspek politik atau ekonomi dari proses sejarah. Imperialisme dalam arti politik
dan sejarah dapat berarti penaklukan satu orang dengan yang lain untuk
memperoleh keuntungan yang dominan. Menurut Alatas, ciri-ciri umum dari
imperialisme adalah sebagai berikut:
1. Eksploitasi: Ada eksploitasi yang mengontrol kekuatan untuk
menundukkan orang-orang yang didominasi.
2. Ada bentuk pengawasan: Orang-orang yang didominasi dianggap seperti
bangsal dalam sistem pengawasan. Mereka diajarkan hal-hal tertentu,
mereka diminta untuk melakukan hal-hal tertentu, mereka terorganisir
dalam tujuan dan maksud-maksud tertentu, serta diatur oleh kekuatan yang
menundukkan mereka.
3. Kesesuaian: Kekuatan dominan menundukkan orang-orang yang
didominasi agar sesuai dengan aspek-aspek tertentu dari hidup, organisasi,
dan aturan mereka.
4. Orang-orang yang didominasi akan terus memainkan peran sekunder.
17Ibid. 18Ibid., pp. 695.
20
5. Adanya rasionalisasi intelektual yang merupakan upaya untuk menjelaskan
imperialisme sebagai tahap yang diperlukan dalam kemajuan manusia, dan
bahwa usaha kekuatan imperialis adalah untuk membudayakan rakyat di
bawah kendalinya.
6. Penguasa imperialis: Negara yang ditundukkan memiliki bakat sebagai
bangsa inferior.19
Pemikiran ini tidak hanya terbatas pada urbanisasi, tetapi secara luas
diterapkan ke negara lain, seperti masalah kehidupan beragama. Kecenderungan
masyarakat Barat modern adalah menjadi semakin sekuler. Keadaan ini dianggap
akan dialami juga masyarakat dunia ketiga ketika mengalami modernisasi.
Terdapat anggapan dari para positivis bahwa cepat atau lambat, masyarakat non-
Barat juga akan menanggalkan agamanya. Ketika mereka telah mengembangkan
industri sebagaimana yang telah Barat lakukan, mereka dianggap juga akan
meninggalkan metafisika. Berdasarkan teori positivisme, perkembangan dunia
non-Barat sejajar dengan apa yang dialami Barat. Dalam hal ini tidak ada
pertimbangan atas kemungkinan lainnya.
Karena indoktrinasi yang kuat, ilmuwan yang terjangkiti captive mind
tidak mampu menilai secara kritis kebenaran atas usulan pembangunan secara
paralel. Di negaranya ia akan melakukan penelitian yang berorientasi pada
penurunan dan perusakan unsur-unsur budaya tradisional, karena orientasi ini
populer di Negara Barat. Contoh lain dari captive mind adalah gagasan tentang
ilmu sosial yang bebas nilai (value free). Padahal dalam kenyataannya sulit
memisahkan antara kebenaran yang objektif dari sebuah interpretasi dalam
penelitian.
Syed Hussein Alatas memberikan sebuah analogi ringan atas fenomena
captive mind dalam dunia akademik. Dalam makalahnya yang berjudul The
Development of an Autonomous Social Science Tradition in Asia: Problems and
Prospect, dia menyatakan bahwa ilmuwan harus selektif memilih hidangan yang
disajikan dalam piring akademik. Ilmuwan harus memperhatikan bagaimana cara
19 Syed Hussein Alatas, “Intellectual Imperialism: Definition, Traits, and Problems,”
Southeast Asian Journal of Social Science Vol. 28 Number 1, 2000, pp. 23-24.
21
makanan ini dimasak beserta bahan-bahan untuk membuatnya. Seperti efek
samping dari makanan cepat saji, banyak resep intelektual impor yang
mempengaruhi kesehatan konsumen.20
Para ilmuwan kadang terburu-buru mengakses data empiris yang
memancing mereka menjadi imitator. Mereka tidak mengakrabkan diri dengan
latar belakang sejarah dan budaya masyarakat mereka sendiri. Mereka secara
penuh mengandalkan dokumen yang diterbitkan dan monografik yang ditulis oleh
ilmuwan Barat. Dengan demikian, mereka tidak mampu untuk melampaui
pernyataan umum atau penyajian data kuantitatif. Studi mereka tetap tidak
menyentuh masalah prinsipil, mereka tidak berhasil untuk mengungkap masalah
yang lebih dalam pada masyarakat Asia. Meskipun ada studi yang cukup faktual
berorientasi pada negara, tetapi para ilmuwan gagal untuk mengidentifikasi
masalah yang signifikan yang terkait dengan negara atau wilayah.21
Studi lebih lanjut mengenai captive mind dinyatakan Syed Hussein Alatas
dalam sebuah buku mengenai corak kehidupan masyarakat Melayu, Jawa, dan
Filipina. Dalam buku yang berjudul “The Myth of The Lazy Native: a Study of
The Image of The Malays, Filipinos, and Javanese from The 16th to The 20th
Century and Its Function in The Ideology of Colonial Capitalism,22
Syed Hussein
Alatas mengkritik stigma “pribumi malas”23
yang terlanjur disematkan kepada
masyarakat Melayu, Filipina, dan Jawa selama berabad-abad. Sebagaimana
20 Syed Hussein Alatas, “The Development of an Autonomous Social Science Tradition
in Asia: Problems and Prospect,” Asian Journal of Social Science, 30 (1), pp. 150. 21 Ibid., pp. 151. 22 Lebih lanjut mengenai mitos pribumi malas diungkapkan Syed Hussein Alatas dalam
buku yang diterjemahkan dengan judul Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu, dan
Filipina dalam Kapitalisme Kolonial. Lih: Syed Hussein Alatas, The Myth of The Lazy Native: a
Study of The Image of The Malays, Filipinos, and Javanese from The 16th to The 20th Century and
Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism, (London: Frank Cass and Company Limited,
1977). 23 Syed Husin Ali dalam sebuah jurnal mengenang masa-masa hidupnya bersama Syed
Hussein Alatas. Pada tahun 1965 dalam sebuah kajian ilmiah dengan orientalis yang dibentuk
Sutan Taqdir Alisjahbana, Syed Hussein Alatas menjadi salah satu pemakalah dalam acara
tersebut. Dalam rencana kajian kedua Hussein Alatas memberi gagasan mengenai tema diskusi
berikutnya. Dalam kesempatan itu dia kemudian menggagas Image of Man mengenai stigma
bahwa orang pribumi memiliki watak malas. Syed Husin Ali memperkirakan bahwa sejak saat
itulah gagasan untuk menerbitkan buku yang menjadi masterpiece dari karya Syed Hussein Alatas
muncul. Lih. Syed Husin Ali, “Syed Hussein Alatas (1928-2007)”, dalam Jurnal Akademika 73
Mei 2008, h. 142.
22
diketahui, mitos ini berkembang di kalangan para pelancong, peneliti, bahkan
kolonialis dari Barat yang mengunjungi masyarakat di wilayah tersebut pada Era
penjajahan. Stigma ini didasarkan oleh pendapat mereka mengenai ketangkasan
yang kurang dimiliki masyarakat wilayah tersebut ketika menjadi pekerja di
sebuah perkebunan. Mereka juga membandingkan etos kerja masyarakat pribumi
yang dianggap kurang terampil, berbeda dengan etos kerja yang dimiliki
masyarakat Eropa yang terbiasa bekerja pada sektor industri.
Sebagai seorang sosiolog dan sejarawan, Syed Hussein Alatas menyatakan
bahwa stigma yang disematkan pada masyarakat di wilayah tersebut merupakan
sebuah kekeliruan. Menurut Syed Hussein Alatas, stigma malas tersebut dilandasi
penolakan masyarakat Melayu, Filipina, dan Jawa untuk bekerja sebagai buruh
perkebunan milik para kolonialis. Stigma yang berkembang selama beberapa abad
juga dinyatakan oleh para kolonialis yang memiliki kepentingan pada masyarakat
di wilayah itu. Namun stigma ini sudah terlanjur melekat pada masyarakat di
wilayah itu, dan ketika mitos ini berkembang pada peneliti dikalangan pribumi,
captive mind sesungguhnya telah melekat pada diri peneliti tersebut.
B. Sejarah Sosiologi Sebagai Disiplin Ilmu
Kelahiran sosiologi tidak terlepas dari latar belakang pengalaman sejarah
Barat. Banyak hal yang tidak diakui sosiologi modern dalam perkembanganya,
seperti pengaruh teori sosiologi yang dikemukakan Ibn Khaldun selama beberapa
abad sebelumnya. Selama ini paradigma dalam sosiologi juga tidak terlepas dari
pengaruh berbagai ilmuwan sosiologi klasik. Sebagaimana diketahui, Paradigma
pertama diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang berjudul The
Structur of Scientific Revolution pada tahun 1962. Kuhn menentang asumsi yang
berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan
yang kumulatif. Baginya ilmu pengetahuan berkembang secara revolusioner.24
Paradigma dalam sebuah disiplin ilmu pengetahuan dapat terpecah menjadi
beberapa bagian. Ritzer menyatakan bahwa paradigma merupakan kesamaan
24 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali
Press, 2007), h. 3.
23
pandangan tentang apa yang menjadi pokok persoalan dari cabang ilmu serta
kesamaan metode dan instrumen yang digunakan sebagai persyaratan analisa.25
Dalam sosiologi, Ritzer membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian yaitu
paradigma fakta sosial, paradigma perilaku sosial, dan paradigma definisi sosial.
Sosiologi berasal dari bahasa latin, socius yang artinya kawan dan logos
yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari hubungan antara teman dan teman, yaitu hubungan antara seorang
dengan seorang, seorang dengan golongan maupun golongan dengan golongan.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, sosiologi atau ilmu
masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial,
termasuk perubahan-perubahan sosial.26
Orang yang pertama kali memakai istilah
atau pengertian sosiologi adalah Auguste Comte. Dialah yang dianggap sebagai
bapak sosiologi.
Sosiologi Barat juga dilahirkan di tengah-tengah persaingan pengaruh
filsafat dan psikologi. Emile Durkheim, dengan paradigma fakta sosial berupaya
melepaskan sosiologi dari filsafat positif August Comte dan Herbert Spencer.
Dalam buku yang berjudul Suicide (1951) dan The Rule of Sociological Method,
(1964), Durkheim berupaya memaparkan metode empiris dan hasil penelitian
empiris sebagai fenomena sosial. Peranan Durkheim yang terpenting adalah atas
upayanya merumuskan objek studi sosiologi. Menurut Durkheim pokok persoalan
yang harus dipelajari dalam disiplin sosiologi adalah fakta sosial (social fact).
Fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide.
Teori yang tergabung dalam fakta sosial adalah teori fungsionalisme struktural,
teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro.27
Weber, seorang sosiolog menyatakan bahwa tindakan manusia tanpa
kecuali, pantas dikategorikan sebagai tidakan sosial. Tindakan ini harus penuh
dengan arti. Menurut Weber, sosiologi harus menafsirkan dan memahami
(interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial. Teori
25 Ibid., h. 7. 26 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 4. 27 Ritzer, Sosiologi Ilmu, Op.Cit., h. 21.
24
yang tergabung dalam paradigma tindakan sosial adalah teori aksi (action theory),
interaksionisme simbolik, (symbolic interaktionism), dan fenomenologi
(phenomenology).28
B.F. Skinner merupakan pembuka eksemplar dalam paradigma definisi
sosial. Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran
behaviorisme ke dalam sosiologi. Paradigma ini memusatkan perhatian pada
hubungan individu dengan lingkungannya. Teori yang tergabung dalam
paradigma ini adala Behavioral Sociology dan Teori Exchange.29
Penggunaan istilah sosiologi pertama kali oleh August Comte menjadi
dasar peletakan sosiologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Namun sebenarnya
jauh sebelum era Comte telah ada Ibn Khaldun, yang telah mengadakan penelitian
tentang masyarakat di Tunisia. Melalui buku yang berjudul Muqaddimah, Ibn
Khaldun menjelaskan mengenai tipe masyarakat yang terdiri dari masyarakat
Badui dan masyarakat kota. Ibn Khaldun juga menjelaskan mengenai pola
perubahan sosial dalam masyarakat perkotaan.
Namun nama Ibn Khaldun sebagai peletak dasar disiplin ilmu tentang
masyarakat tak dikenal, bahkan oleh para akademisi di Dunia Ketiga. Hal ini
terkait erat dengan pola pikir Eurosentrik yang hinggap pada ilmu sosial yang
akan dijelaskan selanjutnya. Perkembangan sosiologi dunia selalu beranjak pada
perkembangan sosiologi di Barat sejak era Comte. Perkembangan sosiologi itu
tidak terlepas dengan sejarah yang mendasari lahirnya berbagai teori tersebut,
misalnya munculnya teori Comte mengenai positivisme terlahir oleh latar
belakang revolusi Perancis. Pada era itu kekuatan agama Kristen sebagai
kebenaran mutlak mulai terganti dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu positivisme selalu beriringan dengan liberalisme, humanisme, dan
sekularisme.
Era berikutnya yaitu saat Durkheim mencoba menganalisa masyarakat dari
fakta yang ada. Durkheim kemudian meneliti fenomena bunuh diri dan agama
masyarakat primitif. Dengan penelitian tersebut Durkheim menemukan bahwa
28 Ibid., h. 43. 29 Ibid., h. 73.
25
masyarakatlah yang memisahkan sesuatu yang sacred dan profane. Berbeda
dengan Durkheim, Marx melihat ada ketimpangan sosial dalam masyarakat
kapitalis. Hal ini disebabkan sistem kapitalis yang selalu menindas kaum buruh
yang menjadi pekerjanya. Selain itu Marx juga menyatakan bahwa agama
merupakan candu yang dapat membuat orang tidak menyadari kelasnya. Weber
dalam bukunya tentang Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, menyatakan
bahwa kapitalisme dapat berawal dari semangat agama Kristen sekte Calvinis.
Hal inilah yang menjadi dasar awal teori klasik dalam sosiologi. Selama
beberapa abad, teori yang dikemukakan tokoh-tokoh ini menjadi Grand theory
dalam sosiologi. Pada era-era selanjutnya perkembangan sosiologi mengikuti apa
yang terjadi pada masyarakat dan berlandaskan berbagai teori tokoh-tokoh
tersebut. Berbagai teori yang berkembang berada di seputar upaya
menyempurnakan atau mengkritik berbagai teori yang dikemukakan tokoh
tersebut.
Sosiologi modern lahir pada permulaan abad ke-20, tepatnya di Amerika
Serikat dan Kanada. Gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara.
Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota
industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain-lain. Konsekuensi dari gejolak
sosial tersebut adalah terjadinya perubahan besar pada masyarakat yang tak
terelakkan lagi. Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk
berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala
Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang
sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern
cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan
masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta demi fakta sosial yang muncul.
Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat
secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian
(research) dalam sosiologi. Dengan berkembangnya ilmu sosiologi modern, maka
lahirlah berbagai jenis ilmu sosiologi antara lain sosiologi hukum, sosiologi
industri, sosiologi pedesaan, sosiologi perkotaan, sosiologi pendidikan, sosiologi
26
Islam, sosiologi seni, sosiologi informasi dan masih banyak jenis ilmu sosiologi
lainnya. Semua jenis ilmu sosiologi ini muncul seiring dengan dinamika
masyarakat karena objek dari disiplin ilmu ini adalah masyarakat itu sendiri.
Perkembangan sosiologi dunia terpusat pada fenomena dalam masyarakat
Barat. Misalnya dalam analisa perubahan sosial seringkali terpaku pada perubahan
yang terjadi pada masyarakat Barat itu sendiri. Ketika dibawa dalam masyarakat
Dunia Ketiga, berbagai hal itu sering irelevan dengan kenyataan. Misalnya dalam
analisa perubahan masyarakat desa menuju kota, setiap teori yang berkenaan
dengan masyarakat Urban tak dapat menjadi acuan utama sistem masyarakat
Indonesia. Modernisasi yang diharapkan masuk ke pedesaan di Indonesia
seringkali tidak cocok, karena mengakibatkan terjadinya cultural leg dalam
masyarakat Desa yang tidak siap dengan proses modernisasi.
Ilmuwan sosial Dunia Ketiga juga menjadikan Barat sebagai tolak ukur
kemajuan. Teori pembangunan yang digunakan menggunakan standarisasi yang
ditetapkan Negara Dunia Pertama. Nilai-nilai yang mendasari kemajuan Barat
juga diadopsi tanpa ada upaya penyaringan. Akhirnya nilai-nilai moral pada
masyarakat Indonesia seringkali rusak dengan masuknya paham liberalisme. Hal
ini banyak disadari oleh para ilmuwan dan sosiolog. Namun seringkali hal ini tak
dihiraukan karena yang terlintas dalam bayangan para ilmuwan adalah sebuah
konsep kemajuan „ala‟ Barat. Padahal kemajuan yang terdapat dalam masyarakat
Barat seringkali menanggalkan nilai-nilai religiusitas dan mengedepankan
penghambaan terhadap dunia. Hal ini jelas bertentangan dengan budaya
masyarakat Indonesia yang religius dan berketuhanan.
Di Indonesia, perkembangan sosiologi tidak terlepas dari para penganut
mazhab Chicago (mazhab Amerika). Pola pengembangan ini mengakibatkan riset
dalam sosiologi banyak dilandasi metode kuantitatif. Perkembangan sosiologi
yang mengedepankan unsur pengembangan sebuah teori banyak ditinggalkan.
Sehingga pola yang terbentuk menjadikan akademisi ilmu sosial Indonesia banyak
berkutat pada riset empiris tanpa banyak melakukan modifikasi atas teori-teori
yang menjadi persoalan epistemologis ilmu pengetahuan.
27
C. Permasalahan Eurosentrisme dalam Ilmu Sosial
Eurosentrisme didefinisikan sebagai sebuah konstruksi teoritis mengenai
sejarah dunia yang membuat Eropa, berkat keunikan, keunggulan dan “takdirnya”
harus menanggung “beban manusia kulit putih” berupa ekspansionisme melalui
beragam bentuk. Immanuel Wallerstein dalam jurnal yang berjudul “Eurocentrism
and its Avatars: The Dilemmas of Social Science”, menyatakan bahwa
Eurosentrisme merasuk dalam setiap aktivitas ilmiah melalui ilmu pengetahuan.
Wallerstein juga tidak merasa heran dengan fenomena Eurosentrisme pada tingkat
Universitas. Karena menurutnya, Ilmu sosial adalah produk dari sistem dunia
modern, dan Eurosentrisme adalah konstitutif dari geoculture dunia modern.
“Social science is a product of the modern world-system, and Eurocentrism is
constitutive of the geoculture of the modern world.”30
Ilmu sosial juga muncul sebagai tanggapan terhadap masalah Eropa, pada
suatu titik dalam sejarah ketika Eropa mendominasi seluruh sistem dunia. Ilmu
sosial Eurosentris mempengaruhi dunia pengetahuan seperti halnya yang telah
mempengaruhi politik dari sistem dunia. Eropa yang dimaksudkan Wallerstein
lebih sebagai budaya daripada sebagai ekspresi kartografis. Diskusi selama
beberapa puluh tahun terakhir mengenai Eurosentrisme mengacu pada ekspresi
Eropa Barat dan Amerika Utara. Menurutnya disiplin ilmu sosial hingga tahun
1945 hanya didominasi oleh lima Negara, yaitu Perancis, Inggris, Jerman, Italia,
dan Amerika Serikat. Bahkan hingga saat ini, meskipun telah terjadi penyebaran
ilmu sosial, sebagian besar ilmuwan sosial di seluruh dunia tetap didominasi oleh
orang-orang Eropa.31
Dalam jurnal yang sama, Wallerstein juga mengibaratkan Eurosentrisme
seperti hidra raksasa yang kepalanya memiliki banyak avatar32
. Ketika ilmuwan
30 Immanuel Wallerstein, Eurocentrism and It’s Avatar, Keynote address at the ISA East
Asian Regional Colloquium, „The Future of Sociology in East Asia‟, 22–23 November 1996,
Seoul, Korea, co-sponsored by the Korean Sociological Association and International Sociological
Association, http://www.iwallerstein.com/wp-content/uploads/docs/NLREURAV.PDF, pp. 93. 31Ibid.. 32 Avatar (berasal dari bahasa India, Awatara) adalah istilah untuk menyebut perwujudan
Dewa dalam dunia manusia. Dalam kamus Oxford, Avatar didefinisikan sebagai “A manifestation
of a deity or released soul in bodily form on earth; an incarnate divine teacher atau An
incarnation, embodiment, or manifestation of a person or idea.
28
tidak hati-hati, upaya yang dilakukan dalam mengkritik Eurosentrisme justru
dapat memperkuat cengkramannya pada komunitas ilmuwan. Menurutnya pula
llmu sosial mengungkapkan Eurosentrisme dalam beberapa cara, yaitu
berdasarkan 1) historiografinya, 2) klaim universalismenya, 3) asumsinya tentang
peradaban Barat yang begitu istimewa, 4) Orientalisme yang menjadi dasarnya
dalam memandang Timur, dan 5) upayanya dalam memaksakan teori kemajuan.33
Pada masalah historiografi, Wallerstein menganalisa asal mula sejarah
yang menyatakan bahwa keunikan bangsa Eropa dimulai sejak abad ke enam
belas. Dengan sebuah revolusi besar yang dapat menggulingkan rezim selama
puluhan abad, Eropa berprestasi dengan membentuk tata dunia baru yaitu
modernisasi. Dalam analisa yang berbeda, Enrique Dussel menyebut bahwa
modernitas yang mendasari Eurosentrisme lahir lebih awal, yaitu pada tahun
1492. Modernitas berasal dari kota-kota bebas pada abad pertengahan Eropa yang
menjadi pusat kreativitas. Modernitas juga lahir ketika Eropa berada dalam posisi
siap untuk memajukan diri dalam mengeksplorasi, menaklukkan, dan menjajah
bangsa lainnya.34
Meskipun Eurosentrisme memiliki beberapa inkarnasi, namun dengan
historis, ekonomi, budaya dan politik yang khas, sensibilitas bangsa Eropa mampu
menentukan karakter keseluruhan politik dunia. Meera Sabaratnam
menggambarkannya dalam kerangka konseptual dan filosofis mengenai
pembangunan pengetahuan tentang epistemologi dasar khas Barat. Oleh karena itu
dia setuju dengan avatar Eurosentrisme yang disebut Wallerstein, namun
mengelompokannya dalam permasalahan budaya, epistemik, dan sejarah.35
Avatar Eurosentrisme dalam sejarah diwujudkan melalui dua cara, yaitu
Pertama melalui asumsi bahwa Eropa adalah subjek utama Sejarah Dunia, seperti
yang dibahas oleh kelompok penelitian Studi Subaltern. Kecenderungan
sejarawan melihat munculnya kapitalisme dan industrialisasi di Barat sebagai
33 Ibid.. pp. 94. 34 Enrique Dussel, “Eurocentrism and Modernity: Introdution to The Frankfurt Lectures”,
boundary 2, Vol. 20, No. 3, The Postmodernism Debate in Latin America, 1993, pp.66. 35 Meera Sabaratnam, Avatars of Eurocentrism in the Critique of the Liberal Peace,
Published in Security Dialogue, Vol. 44, June 2013, No. 3, page 259-278, Post-print version, pp. 3.
29
penggerak sejarah utama di dunia. Sebaliknya, menurut mereka masyarakat non-
Barat dianggap sebagai orang yang berada di „luar sejarah‟ atau tertinggal dari
perkembangan sejarah Barat. Versi sejarah lama dan baru dari Eurosentrisme juga
memahami berbagai belahan dunia yang semakin kurang „berkembang‟, atau
kurang „modern‟.36
Kerangka ini dibangun pada perbedaan ontologis yang membagi „Barat‟ /
„internasional‟ dari „non-Barat‟ / „lokal‟. Menurut Sabaratnam pembagian ini
merupakan filosofi mendasar dari literatur kritis yang bergulat dengan hubungan
antara „liberal‟ dan „lokal‟. „Lokal atau ulayat‟ adalah ruang yang ditandai dengan
„konteks adat, tradisi dan perbedaan dalam pengaturan sehari-hari‟. Penekanan
yang dimaksudkan jelas untuk membedakan konteks ruang budaya „adat atau
tradisi‟ otentik „hidup non-Barat‟ dengan ruang budaya Barat modern yaitu
„liberal‟ dan „rasional‟.37
Selain itu, penilaian dan evaluasi keilmuan Barat berhubungan erat dengan
prestasi yang dicapai oleh para intelektual dalam membentuk sejarah. Menurut
Sabaratnam, para ilmuwan Barat tanpa malu-malu memuliakan prestasi yang
mereka raih, mereka kemudian menjadi sejarawan untuk mereka sendiri, mereka
mengusulkan kehebatan mereka sendiri, dan mereka menyatakan dan merayakan
kualitas yang unik dari cara hidup mereka sendiri. Tindakan akhir dari
kesombongan ini adalah klaim bahwa masyarakat Amerika merupakan “akhir dari
sejarah dan akhir evolusi sosial”. 38
Mereka menyatakan bahwa tidak ada tahap
lebih lanjut dari kemajuan manusia, kecuali perbaikan yang tak berujung dalam
teknologi.
Selanjutnya para penulis Barat tidak mempertimbangkan adanya orang-
orang bagian lain dari dunia dalam bidang etika, seni, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini merupakan bentuk ketidaktahuan ilmuwan atas kontribusi
intelektual orang yang hidup di luar batas-batas Eropa. Menurut Sabaratnam, hal
ini disebabkan oleh pendidikan yang sempit atau parokial. Mereka juga
36 Ibid., pp. 4. 37 Ibid., pp. 10-13. 38 Claude Alvares, A Critique of Eurocentric Social Science and the Question of
Alternatives, Economic and Political Weekly, Vol XLVI, May 28, 2011, pp. 74.
30
beranggapan bahwa ketika mengakui kontribusi intelektual pihak lain akan
mengecilkan klaim Barat dalam pengembangan diri. Hal ini merupakan bawaan
dari rasa superioritas budaya Barat yang telah ada sejak masa pencerahan.39
Avatar Eurosentrisme yang kedua menurut Wallerstein menyatakan bahwa
pemikiran Eropa pada beberapa abad terakhir telah sangat universalis. Hal ini
dikarenakan kejayaan budaya ilmu yang didominasi oleh bangsa Eropa. Filsafat
Newtonian-Cartesian menjadi suatu hal yang sangat berpengaruh dalam kajian
ilmu sosial di seluruh dunia. Konsepnya adalah bahwa dunia ini diatur oleh
hukum determinis yang mengambil bentuk proses keseimbangan linear. Dengan
hal tersebut ilmu pengetahuan dimungkinkan dapat memprediksi negara dalam
satu kesatuan sistem.40
Ilmu sosial Eropa dengan klaim universalisme menegaskan bahwa apa pun
yang terjadi di Eropa pada abad keenam belas hingga kesembilan belas mewakili
pola yang berlaku di seluruh dunia. Universalisme adalah pandangan bahwa
terdapat kebenaran ilmiah yang berlaku dalam semua ruang dan waktu.
“Universalism is the view that there exist scientific truths that are valid across all
of time and space.”41
Namun gagasan universalisme atau proposisi dalam ilmu-ilmu sosial
merupakan suatu kepalsuan. Hal ini dikarenakan konsep universal tersebut
merupakan ciptaan manusia yang dapat goyah dan tidak stabil. Gagasan bahwa
makhluk tidak sempurna dapat menciptakan pengetahuan sempurna merupakan
bentuk kemustahilan metodologis dan sebuah kontradiksi. Teori Universalisme
selalu diserang dengan alasan bahwa dalam situasi, waktu, dan tempat tertentu
sebuah teori tidak selamanya sesuai dengan fakta yang ada. Prestasi progresif
umat manusia yang semu dan relatif dapat diubah. Dan pada kenyataannya teori-
teori yang diduga universal sebenarnya tidak universal, karena itu merupakan
representasi dari pola historis Barat yang membuatnya seolah-olah tampak
universal.
39Ibid.. 40 Walerstein, Avatar, Op.Cit., pp. 96. 41 Ibid..
31
Pada avatar Eurosentrisme selanjutnya yaitu peradaban, Wallerstein
membandingkannya dengan karakteristik sosial yang kontras yaitu primitif atau
barbarisme. Menurut Wallerstein, Eropa modern menganggap dirinya lebih
beradab dari bangsa lainnya. Padahal menurutnya terminologi “beradab” bukanlah
suatu hal yang telah disepakati di antara orang-orang Eropa sendiri. Untuk
beberapa orang, peradaban tercakup dalam „modernitas‟, yaitu berjalan seiring
kemajuan teknologi dengan munculnya produktivitas dan keyakinan budaya serta
kemajuan bersejarah. Bagi orang lain, peradaban dapat berarti peningkatan
otonomi „individu‟ vis-a-vis semua aktor sosial lainnya seperti keluarga,
masyarakat, negara, dan lembaga-lembaga keagamaan. Bagi orang yang lain,
peradaban dapat berarti perilaku non-brutal dalam kehidupan sehari-hari. Dan
bagi yang lainnya, peradaban dapat berarti penurunan atau penyempitan lingkup
kekerasan yang sah dan perluasan definisi atas kekejaman.42
Terminologi peradaban juga menghadirkan seperangkat nilai sekuler-
humanis ke atas puncak hirarki ilmu pengetahuan. Para ilmuwan sosial telah
memasukkan nilai-nilai tersebut dalam definisi mereka mengenai masalah sosial.
Mereka telah memasukkan seperangkat nilai ini ke dalam konsep-konsep yang
mereka tentukan untuk menganalisis masalah dan digunakan sebagai indikator
untuk mengukur konsep tertentu. Para ilmuwan sosial juga menegaskan bahwa
mereka berusaha menjadi „value free’. Mereka mengklaim tidak melakukan
distorsi data terkait situasi sosial-politik yang mereka alami. Tetapi untuk menjadi
bebas nilai tidak berarti bahwa nilai-nilai, dalam arti keputusan tentang
signifikansi historis dari fenomena yang diamati akan hilang sama sekali.43
Ciri selanjutnya adalah Orientalisme. Orientalisme mengacu pada
karakteristik peradaban non-Barat. Orientalisme merupakan kebalikan dari konsep
peradaban, yang menjadi tema utama dalam diskusi publik sejak tulisan Anouar
Abdel-Malek dan Edward Said mengemuka. Orientalisme merupakan modus
pengetahuan yang mengklaim akar peradaban di Eropa pada Abad Pertengahan,
ketika beberapa intelektual Kristen mengatur tugas agama-agama non-Kristen
42 Ibid., pp. 97. 43 Ibid., pp. 96.
32
untuk mengkaji teks keagamaan. Mereka mendasarkan diri pada premis kebenaran
iman Kristen dengan keinginan untuk mengubah orang-orang kafir.44
Orientalis melihat diri mereka sebagai orang-orang yang rajin
menyampaikan apresiasi simpatik kepada peradaban non-Barat dengan studi
ilmiah dari teks untuk memahami (verstehen) kebudayaan oriental. Menurut
Wallerstein, budaya yang mereka pahami merupakan konstruksi sosial oleh
seseorang yang berasal dari budaya yang berbeda. Validitas konstruksi ini
kemudian diserang pada beberapa tingkatan yang berbeda. Bentuk penyerangan
yang dilakukan adalah dengan anggapan bahwa konsep para orientalis tidak sesuai
dengan realitas empiris, para orientalis juga mengemukakan sesuatu yang abstrak
sehingga terlalu banyak menghapus realitas empiris, dan terakhir adalah para
orientalis bergerak atas ekstrapolasi dari prasangka Eropa.45
Pada dasarnya menurut Bryan S. Turner, perdebatan mengenai
Orientalismelah yang melahirkan Oksidentalisme. Oksidentalisme berisikan
penolakan tak langsung terhadap warisan modernisasi. Menurut Said sebagaimana
dikutip Turner, periode postkolonial masih mengandung dominasi kultural pada
Dunia Ketiga. Oleh karena itu, muncul berbagai sikap defensif oleh para
fundamentalis dalam memandang modernisasi. Sikap ini mencakup klaim akan
kebenaran tradisi dibandingkan dengan pengetahuan yang diwarisi, diimpor oleh
pengetahuan asing.46
Menurut Wallerstein, cara terakhir untuk menegaskan cengkraman
Eurosentrisme ke dalam aktivitas ilmiah adalah dengan memasukkan konsep
kemajuan (Progress). Realitas kemajuan yang tak terhindarkan adalah tema dasar
masa Pencerahan Eropa. Teori kemajuan dalam ilmu sosial menjadi penjelasan
yang mendasari sejarah dunia. Bahkan menurut Wallerstein teori kemajuan
menjadi motor penggerak semua ilmu sosial terapan. Setelah Perang Dunia
Kedua, „pembangunan negara-negara terbelakang‟ adalah rubrik yang dijadikan
44 Ibid., pp. 99. 45 Ibid., pp. 100. 46 Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Teori Barat: Bongkar Wacana Atas Islam
Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
2008), h. 29.
33
pembenaran oleh ilmuwan sosial untuk melakukan reorganisasi sosial dan politik
Dunia non-Barat.47
Pada tahun 1960-an, ilmuwan Amerika yaitu Walter W. Rostow
mengemukakan tentang The Stages of Economic Growth48
yang biasa disebut
sebagai teori lima tahap pembangunan Ekonomi suatu Negara. Menurut Rostow
tahap paling primitif dari sistem ekonomi suatu Negara adalah ketika struktur
hirarki mobilitas sosial dan vertikal masyarakat masih sangat rendah. Pada masa
itu, produktivivtas kerja manusia juga lebih rendah bila dibandingkan dengan
tahapan pertumbuhan berikutnya. Tahap pertumbuhan ini disebut Rostow dengan
masyarakat tradisional (The Traditional Society), ditandai dengan ketergantungan
pada alam yang masih sangat tinggi.
Tahap kedua menurut Rostow adalah Pra-kondisi tinggal landas atau The
Precondition for Take-off. Pada masa ini tingkat investasi pada masyarakat lebih
tinggi dari tahap tradisional. Masyarakat juga sudah mulai melakukan
pembangunan secara dinamis. Model perkembangan ini merupakan hasil revolusi
industri. Perubahan ini memiliki konsekuensi pada perkembangan sektor
pertanian. Tahap ketiga adalah Tinggal landas atau The Take-off Society. Pada
tahapan ini pertumbuhan ekonomi suatu Negara mulai dinamis. Karakteristik
utama dari era ini adalah pertumbuhan dari dalam Negeri yang berkelanjutan dan
tidak membutuhkan dorongan dari luar.
Tahap keempat adalah menuju kedewasaan pembangunan atau The Drive
to Maturity, ditandai oleh investasi yang terus-menerus antara 40 hingga 60
persen. Dalam tahap ini mulai bermunculan industri dengan teknologi baru. Ini
merupakan konsekuensi dari kemakmuran ekonomi dan sosial. Tahap terakhir
adalah Era konsumsi tinggi atau The Age of High Mass-Consumption. Pada tahap
ini, sebagian besar masyarakat hidup makmur secara ekonomi. Orang-orang yang
hidup di masyarakat itu mendapat kemakmuran. Menurut Rostow, saat ini
47 Wallerstein, Op.Cit., pp. 100. 48 W.W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A Non-Communist
Manifesto (Cambridge: Cambridge University Press, 1960), Chapter 2, "The Five Stages of
Growth--A Summary," pp. 4-16, https://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/ipe/rostow.htm. Artikel
ini diakses pada tanggal 2 Juli 2014.
34
masyarakat yang sedang berada dalam tahapan ini adalah masyarakat Barat dan
Utara.
Model yang dikembangkan Rostow tersebut merupakan pengalaman
ekonomi yang dilalui oleh masyarakat Barat selama beberapa abad. Konsep
kemajuan yang tertanam pada masyarakat era konsumsi tinggi menegaskan
kecenderungan Barat dalam mengontrol pertumbuhan ekonomi suatu Negara di
seluruh dunia. Dan hingga puluhan tahun berikutnya, teori Rostow masih
memiliki tempat yang kuat dalam sistem ekonomi Negara berkembang. Negara
yang berkembang terus berupaya untuk mengejar ketertinggalannya dengan
standar yang telah dilalui oleh Barat.
Selain Wallerstein, dalam buku yang berjudul Eurocentrism, Samir Amin
juga menggambarkan bagaimana Eurosentrisme merupakan sebuah distorsi
penting dan sistematis yang mempengaruhi teori-teori dan ideologi di dunia
kontemporer. Amin mendefinisikan Eurosentrisme sebagai sebuah teori sejarah
dunia yang menempatkan Eropa sebagai suatu yang unik dan superior.49
Dalam Prakata, Amin menyatakan bahwa dalam buku tersebut dia
melakukan kritik terhadap apa yang dinamakan sebagai kulturalisme. “In this
work, I propose a critique of what can be called “culturalism.” I define
culturalism as an apparently coherent and holistic theory based on the hypothesis
that there are cultural invariants able to persist through and beyond possible
transformations in economic, social, and political systems.50
Amin
mendefinisikan kulturalisme sebagai teori yang terlihat koheren serta holistis,
yang didasarkan pada hipotesis bahwa invarian budaya mampu bertahan dari
kemungkinan transformasi di bidang ekonomi, sosial dan sistem politik.
Selain itu, Amin juga melakukan kajian kritis terhadap modernisme yang
menjadi cikal bakal ilmu sosial yang Eurosentris. Menurut Amin, modernitas
dibangun pada prinsip bahwa manusia, secara individu dan kolektif (masyarakat)
membuat sejarah mereka sendiri. Alasan tersebut dikombinasikan dengan
perjuangan emansipasi yang membuka jalan untuk berdemokrasi, serta
49 Alatas, Op.Cit., h. 31. 50 Samir Amin, Eurocentrism, (Newyork: Monthly Review Press, 2011), dalam Prakata.
35
menyiratkan sekularisme, pemisahan agama dengan Negara, dan atas dasar itulah
terjadi reformasi di bidang politik. Modernitas merupakan produk kapitalisme
yang baru lahir dan berkembang dalam hubungan erat dengan ekspansi ke seluruh
dunia.51
Amin juga menolak pandangan Eurosentrik yang secara sempit
memposisikan perkembangan sejak era Yunani dan Romawi dengan feodalisme
Kristen dan sistem kapitalis Eropa. Amin menyajikan reinterpretasi tentang peran
sejarah yang penting dimainkan oleh dunia Arab Islam.
Menurut Amin, Modernitas merupakan produk kapitalisme yang baru lahir
dan berkembang setelah terjadi ekspansi ke seluruh dunia. Hukum-hukum dasar
yang mengatur ekspansi kapitalisme menyebabkan ketimpangan pertumbuhan
ekonomi pada tingkat global secara asimetris. Masyarakat di pinggiran terjebak
pada ketidakmungkinan untuk menjadi bagian dari masyarakat pusat. Pada
gilirannya, hal ini mempengaruhi distorsi terhadap modernitas, seperti yang ada
dalam dunia kapitalis. Budaya kapitalisme dibentuk dan dikembangkan oleh
internalisasi persyaratan realitas asimetris ini. Klaim universalisme secara
sistematis dikombinasikan dengan argumen kulturalis, dalam hal ini yang
Eurosentrik.
Tak heran jika modernitas akhirnya memaksa reinterpretasi atas keyakinan
agama. Hal ini sejalan dengan prinsip utama rasionalisme, bahwa manusia
merupakan pencipta yang dapat membuat sejarah mereka sendiri. Kulturalisme
Eurosentrik menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari revisi terhadap
agama. Revisi agama tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip Reformasi
Protestan yang merupakan penyebab utama transformasi sosial, seperti yang
diutarakan Max Weber dalam bukunya yang berjudul “The Protestan Ethic and
The Spirit of Capitalism”. Padahal menurut Amin, hal tersebut merupakan bentuk
Cristianophilia.52
Menurut Amin ada dua periode dalam sejarah yang memiliki dampak
penting dalam pembentukan dunia modern. Periode pertama dimulai sejak era
Pencerahan (Renaissance), pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas yang juga
51Ibid.. 52Ibid., h. 26.
36
merupakan awal mula kelahiran modernitas dan kapitalisme, dan Periode Kedua
menyangkut karakter borjuis, yang merupakan efek dari modernitas.53
Periode
Renaissance menandai awal kesadaran Eropa mengenai gagasan penaklukan
dunia oleh bangsa mereka sendiri. Oleh karena itu mereka mengembangkan rasa
“superioritas mutlak” kepada bangsa lain. Bangsa Eropa yakin sebagai satu-
satunya pihak yang memiliki keuntungan tersebut. Dan mulai saat itulah menurut
Amin, Eurosentrisme mengkristal.54
Salah satu jenis jawaban mereka atas klaim ini adalah bahwa bangsa Eropa
telah melakukan sesuatu yang berjasa dan berbeda dari orang-orang di bagian lain
dunia. Hal ini disebut sebagai keajaiban Eropa yang tidak dapat dilakukan oleh
bangsa lain. Sejak Renaissance, Eropa telah meluncurkan revolusi industri dengan
pertumbuhan yang berkelanjutan. Selain itu, mereka juga telah meluncurkan
modernitas atau kapitalisme, birokratisasi, dan prinsip kebebasan individu.
Kemunculan kapitalisme di Eropa juga mengisyaratkan dimensi
rasionalitas yang disematkan sejak masa Yunani. Yunani memunculkan filsafat
rasional sedangkan Timur dianggap tidak mampu membebaskan diri dari
metafisika. Oleh sebab itu filsafat Islam yang menguasai dunia direndahkan
sekedar menjadi perantara warisan Yunani ke Eropa. Padahal pada kenyataannya
filsafat Islam telah mampu berdiri megah ditengah kegelapan yang melanda Eropa
selama puluhan Abad. Bahkan dapat dipastikan bahwa modernisasi yang terjadi
pada masyarakat Eropa merupakan akibat maju dan berkembangnya filsafat Islam.
Filsafat Islam dan India tidak dianggap “filsafat” oleh sekolah filsafat
Barat karena keduanya menolak untuk memberikan alasan keunggulan atau
keutamaan sebagai alat untuk mencapai kebenaran mutlak. Filsafat Islam diberi
label “teologi”, sedangkan filsafat India diturunkan ke bidang “agama”,
(sebagaimana yang dipahami di Barat). Namun, filsafat Barat sendiri mendasarkan
tempatnya sendiri pada asumsi sebagai fundamentalis, agama atau teologis.
53 Ibid., pp. 13. 54Ibid., pp. 152-153.
37
Akhirnya filsafat diidentifikasi seluruhnya dan semata-mata dengan para filsuf
Barat.55
Pada tingkat dogmatis, para reformis besar agama Kristen akhirnya
mengemukakan gagasan untuk kembali ke sumber ajaran agama yang dianggap
telah lama menyimpang. Atas semangat ini, mereka merehabilitasi Kitab
Perjanjian Lama yang menyebabkan sekte Katholik Ortodoks terpinggirkan. Para
reformis juga mengemukakan semangat teologi pembebasan, yaitu sebuah upaya
mengkontekstualisasikan ajaran agama Kristen sesuai dengan keadaan sosial yang
berlaku. Teologi pembebasan semakin berkembang pesat seiring dengan perluasan
kajian tafsir dengan metode hermeneutika pada Alkitab.
Pada era Renaissance pula Kristen-Barat meninggalkan perdebatan lama
tentang perdamaian antara iman dan akal yang mengemuka sejak masa kegelapan
(The Dark Ages). Mereka tidak menyangkal iman dalam bidang spiritual, namun
menegaskan kecenderungan baru bahwa Tuhan telah memberikan emansipasi
pada manusia untuk mengatur sejarahnya. Tuhan diibaratkan sebagai pembuat
jam, dan alam ini seperti jarum jam yang berjalan dengan sendirinya tanpa campur
tangan pencipta di dalamnya. Dengan kekuatan rasio dan inderanya, manusia
dapat mengatur segala kehidupannya di dunia. Keadaan ini dianggap sebagai cikal
bakal pemisahan agama dari kehidupan sosial. Banyak manusia yang akhirnya
mengedepankan kebebasan individu dan emansipasi bermasyarakat, yang
mengambil risiko untuk menciptakan hukum dan membuat masa depannya
sendiri.
Dengan klaim universalisme, penafsiran ulang secara besar-besaran juga
disematkan pada kitab suci berbagai agama. Sebuah reaksi awal adalah untuk
menerima pluralitas dari wahyu yang masing-masing memiliki nilai kebenaran.
Mereka juga mengungkapkan bahwa klaim atas kebenaran setiap agama bersifat
nisbi, karena setiap agama dianggap memiliki kebenaran yang sama, namun
diungkapkan secara berbeda. Reaksi ini mendorong pendekatan sinkretis pada
tingkat esoterik. Setiap agama dipaksa menerima terminologi ini. Padahal a priori
tidak menghalangi atau menyiratkan kesatuan dasar metafisika agama-agama.
55 Alvares, Op.Cit., pp. 77.
38
Pada awalnya, mereka semua mengambil peran sebagai “orang terpilih”, dan
mitologi yang berisi ajaran agama adalah satu-satunya penjelasan yang benar
mengenai penciptaan. Dewa-dewa maupun Tuhan mereka merupakan satu-
satunya yang nyata, orang lain keliru atau telah disesatkan. Masing-masing agama
memiliki keyakinan bahwa agamanya memiliki klaim atas kebenaran.
Hal ini juga terjadi pada tiga agama yang memiliki pola monoteistik.
Banyak ilmuwan yang berupaya mencari titik temu antara Yudaisme, Kristen, dan
Islam. Ketika terjadi kemajuan dalam ilmu arkeologi, sejarah dan tafsir, para
ilmuwan menemukan suatu hal yang disebut sebagai akar-mitologi ketiga agama
tersebut. Menurut para ilmuwan, pada dasarnya ketiga agama tersebut memiliki
akar-mitologi yang sama, yaitu pada kisah Air Bah di Timur Tengah, seperti yang
tertera dalam epos Gilgamesh.56
Menurut Amin, ketiga agama tersebut lahir pada saat godaan sinkretisme
sangat besar. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa beberapa agama dipinjam dari
agama dan peradaban lain, seperti Kristen yang dipinjam dari agama Mesir kuno,
Yudaisme dipinjam dari keyakinan di Timur kuno (Baal dan lain-lain), dan Islam
melakukan hal yang sama dengan keyakinan yang masih ada di jazirah Arab.
Namun di antara tiga agama samawi, kedekatan antara Yudaisme dan Islam
dianggap yang paling jelas.
Amin memiliki kesamaan dengan para ilmuwan mengenai pendapat bahwa
Islam merupakan Arabisasi dari Yudaisme. Hal tersebut didasarkan bukan hanya
karena ajaran, hukum, dan ritual yang sebagian besar mirip dengan Yudaisme.
Arabisasi Yudaisme dimulai sebelum pengiriman pesan dari para Nabi yang
merupakan Muslim. Dalam sejarah Islam serta dalam Al-Qur‟an, seorang yang
hanif bernama Abraham tidak menyatakan dirinya sebagai orang Yahudi. Karena
hal ini pula, Islam telah muncul dengan sendirinya sebagai agama yang
diturunkan kepada umat manusia dari awal sejak diwahyukan kepada manusia
pertama yang bernama Adam. Islam ada sebelum Tuhan berbicara melalui wahyu
yang diturunkan melalui Nabi Muhammad.57
56Amin, Op.Cit., pp. 30-31. 57Ibid., pp. 33.
39
Islam muncul bersamaan dengan penyatuan politik di Jazirah Arab yang
sebelumnya terbagi dalam berbagai suku bangsa yang saling bermusuhan.
Menurut beberapa sejarawan Arab, monoteisme yang dibawa Islam menggantikan
pluralitas Dewa kesukuan yang merupakan kendaraan dalam pembentukan bangsa
Arab.58
Kecenderungan yang dominan di antara orang-orang Arab adalah untuk
memesan Islam untuk diri mereka sendiri, sehingga memungkinkan masyarakat di
luar Arab dapat ditaklukkan. Jika praktek ini berlangsung, tak ayal Islam akan
menjadi agama yang secara eksklusif menjadi milik bangsa Arab. Namun keadaan
ini tidak terjadi, karena Islam membawa nilai-nilai universal yang dapat diadopsi
oleh seluruh umat manusia. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa Islam
merupakan rahmat bagi semesta alam.
Apa yang dimiliki Islam sebaliknya tidak dimiliki agama lainnya termasuk
Kristen. Secara kesejarahan Kristen dikembangkan dalam dunia kosmopolitan
Kekaisaran Romawi di mana budaya Helenistik mengalami kemenangan. Selain
itu perkembangan Kristen untuk menjadi agama yang besar sangat lambat dan
dipenuhi dengan pertikaian yang panjang. Menurut Amin, hal ini dikembangkan
atas gagasan bahwa Kristen pada dasarnya tidak dibentuk dalam kontinuitas
dengan Yudaisme. Amin menambahkan bahwa Kristen bukan agama yang
menjadi kelanjutan Yudaisme, melainkan merupakan pecahannya. Perselisihan
panjang antara Kekaisaran Romawi Barat dan Timur juga menjadi sejarah yang
tidak dapat dipisahkan. Selain itu selama puluhan abad ketika dominasi gereja
begitu kuat dengan sokongan kekuatan politik, segala bentuk penyimpangan versi
gereja menjadi sesuatu yang wajib dimusnahkan.
Banyak buku sejarah Barat yang mengisahkan kejadian demi kejadian
pada masa kegelapan Eropa. Bentuk kekuatan gereja begitu besar sehingga segala
sesuatu yang tidak sesuai oleh dogma dianggap sebagai penyimpangan (heresy).
Para ilmuwan yang mencoba mengembangkan ilmu pengetahuan harus
mendasarkan dirinya pada doktrin gereja. Ketika hal itu tidak sesuai dengan
prinsip dalam kitab suci, maka para ilmuwan diberi hukuman yang berat dengan
cara dipancung maupun dibakar hidup-hidup. Hal ini didasarkan pada alasan
58Ibid., pp. 34.
40
bahwa para ilmuwan telah menentang kehendak Tuhan, oleh karena itu hukuman
diberikan atas nama Tuhan.
Hal ini pula yang akhirnya mendasari semangat kelahiran kembali dan
pemurnian agama yang dilakukan Luther King sehingga lahir sekte Kristen
Protestan. Semangat Renaissance kemudian dikembangkan di Negara Inggris,
Perancis, Belanda, dan Jerman.59
Namun saat itu Katholik Ortodoks cenderung
kaku dan menghindari re-interpretasi agama, tapi beberapa waktu kemudian
mereka akhirnya membuka diri untuk melakukan re-interpretasi dogma.
Kekristenan modern kemudian beradaptasi dengan transformasi sosial.
Kekristenan modern akhirnya menjadi agama tanpa dogma.
Sama halnya dengan peradaban Kristen, kaum Yahudi Diaspora yang
tinggal di Eropa juga terpengaruh oleh transformasi radikal dalam masyarakat dan
konsep-konsep baru tentang hubungan antara masyarakat dan agama. Moses
Mendelssohn, pada abad kedelapan belas melakukan langkah membuat sebuah
revolusi dalam Yudaisme di mana masyarakat Kristen terlibat di dalamnya. Moses
menafsirkan Taurat secara bebas, tidak lagi sebagai hukum wajib, tetapi hanya
sebagai sumber inspirasi yang dapat diambil oleh semua orang. Mendelssohn juga
berkomitmen untuk melakukan sekularisasi pada ajaran Yahudi. Asimilasi yang
dilakukan akhirnya menyelamatkan kaum Yahudi dari serangan Kristen Eropa
selama Revolusi Perancis.
Terlihat secara nyata bahwa Revolusi industri bangsa Eropa yang
membawa pada kemajuan teknologi dihasilkan melalui usaha untuk mendamaikan
iman dan akal. Sedangkan kemajuan di kalangan umat Islam sebaliknya menuntut
diberlakukannya ajaran Islam secara murni.60
Fakta bahwa Islam adalah agama
dan bukan proyek sosial juga nampak dari keberhasilan historisnya. Sebagai
sebuah agama, Islam mampu beradaptasi pada masyarakat yang berbeda dari masa
ke masa. Menurut Amin, Islam merupakan bagian integral dari perubahan, baik
kemajuan dan kemunduran yang dialami masyarakatnya. Pengalaman ini berbeda
59 Ibid., pp. 44-45. 60 Ibid., pp. 50-51.
41
dengan yang apa yang telah terjadi di dunia Kristen. Menurut Amin, Kristen tidak
diragukan lagi telah melakukan revolusi agama, bukan sekedar revolusi sosial.61
Secara umum Islam dibentuk oleh klaim historis bahwa Allah merupakan
penguasa sejati masyarakat. Prinsip hakimiyyah, (Allah adalah pembuat hukum)
diperkenalkan kembali oleh para fundamentalis Muslim. Selain itu, Islam
memiliki klaim yang kuat atas metode penafsiran Kitab Suci Al-Qur‟an. Sebuah
hal yang tidak dimiliki agama lain yang memberikan kekuatan bahwa sejak masa
Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul, kitab suci Al-Qur‟an tidak pernah
mengalami perubahan, bahkan penafsiran yang menyimpang. Oleh karena itu
upaya yang dilakukan untuk melakukan interpretasi ulang terhadap ayat-ayat Al-
Qur‟an menjadi sesuatu yang sangat dipertentangkan di kalangan ulama Muslim,
mengingat secara historis Al-Qur‟an tidak memiliki kecacatan sejarah seperti
kitab suci lainnya.
Secara umum anggapan bahwa hanya dengan melakukan re-interpretasi
ulang ajaran agama demi memperoleh kemajuan, tidak dapat diterapkan dalam
agama Islam. Hal ini terjadi ketika metafisika Islam berkembang pada masa
kekhilafahan Abbasiyah, jauh sebelum bangsa Eropa menuai hasil dari masa
pencerahan. Pada masa itu, peradaban dengan kekuatan teknologi kaum Muslim
telah tercipta. Mereka melakukan pengembangan teknologi dengan mendasarkan
semangatnya untuk menggali hikmah dari ayat-ayat Al-Qur‟an.
Hal yang berbeda dialami para ilmuwan Eropa di masa kegelapan. Mereka
wajib mengikuti kehendak gereja dalam memandang ilmu pengetahuan.
Celakanya mereka menemukan bahwa ada kesalahan Bible dalam memandang
sains, misalnya pada teori geosentris yang selama puluhan abad menjadi pegangan
pihak gereja. Kemudian Nicholaus Copernicus mengemukakan kembali teori
bahwa bumi bukan merupakan pusat tata surya, melainkan matahari sebagai
pusatnya. Penerusnya, Giordanou Bourno dibakar hidup-hidup dan Galileo Galilei
61Ibid., pp. 61.
42
mengalami penyiksaan seumur hidup karena dianggap telah menyalahi kehendak
Tuhan.62
Keadaan ini secara tidak langsung menepis anggapan bahwa hanya dengan
menanggalkan ajaran agama, kemajuan sains akan diperoleh. Kesalahan ini
muncul dari prasangka bahwa hanya Barat yang dapat menciptakan modernitas,
sementara orang-orang Muslim terjebak dalam tradisi abadi yang membuat
mereka tidak mampu memahami pentingnya perubahan. Hal ini diperkuat dengan
argumen yang dikemukakan Weber bahwa hanya sekte Kristen Calvinis yang
mampu menghasilkan spirit kapitalisme.
Anggapan lain yang muncul adalah prinsip-prinsip Eurosentris yang
disematkan bahwa hanya dengan melalui jalur kapitalisme, kemajuan akan
diperoleh. Padahal semakin radikal revolusi borjuis yang terjadi pada masyarakat
kapitalisme, semakin kuat pula pernyataan sekularisme.63
Hal inilah yang
dinyatakan Amin sebagai periode kedua modernitas, yaitu sebuah periode dimana
karakter borjuis tercipta yang merupakan efek dari modernitas. Munculnya
kapitalisme dan modernitas merupakan dua aspek dari satu realitas yang sama.
Pada saat itu, Etika pada diri manusia menghilang dikarenakan prinsip bahwa
manusia merupakan satu-satunya penentu sejarah. Atas prinsip tersebut, mereka
berwenang untuk berperilaku seolah-olah berada di hutan, mereka tidak
bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan mereka.64
Globalisasi pengetahuan dan budaya Eurosentris juga secara terus-menerus
meneguhkan kembali pandangan Barat tentang dirinya sebagai pusat pengetahuan
legitimate, penentu apa saja yang digolongkan sebagai pengetahuan dan sumber
pengetahuan „beradab‟.65
Bangsa Eropa memaksakan nilai dan norma peradaban
mereka kepada orang-orang non-Eropa. Hal ini merujuk pada pola peradaban dan
62 Teori heliosentris menggantikan teori geosentris yang dipopulerkan filsuf selama
puluhan abad. Selama Renaissance, para ilmuwan Barat dan orang-orang yang dianggap
bertentangan dengan doktin gereja mengalami inquisisi atau inquision (penyiksaan). Bentuk
inquisisi tersebut terdiri dari pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh
manusia, pemotongan lidah, penghancuran kepala, pengebor vagina, dan lain-lain. Lih. Adian
Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta,
Gema Insani Press, 2005). 63Amin, Op.Cit., pp. 57. 64 Ibid., pp. 17. 65 Smith, Op.Cit., h. 85.
43
nilai-nilai sekuler-humanis. Ketika memaksakan dirinya pada skala dunia,
kapitalisme juga telah menciptakan dua klaim universalisme, yaitu Pertama, pada
tingkat analisis ilmiah dan Kedua, pada tingkat elaborasi dari proyek ciptaan
manusia.66
Selain Wallerstein dan Samir Amin, Manuel Vargas, seorang ilmuwan dari
Amerika Latin juga mengkritik berkembangnya Eurosentrisme dan berupaya
membebaskan Amerika Latin dengan sebuah gagasan yang bernama Filsafat
Pembebasan. Menurutnya, filsafat pembebasan yang akan diusung juga harus
benar-benar terlepas dari pola filsafat yang mengandung unsur Eurosentris. Para
ilmuwan Amerika latin juga harus berupaya melepaskan diri dari dominasi
Eurosentrisme sejak masa kolonial. Eurosentrisme menurutnya juga memiliki
empat aspek, yaitu: dialektis, kontekstual, pedagogis, dan praktis.67
Pada periode sejak tahun 1945, kesadaran politik bangsa Asia dan Afrika
telah mempengaruhi dunia pengetahuan seperti halnya yang telah mempengaruhi
politik dari sistem dunia. Pada saat itu Eurosentrisme dari ilmu sosial telah
mengalami serangan yang parah. Serangan itu berlandaskan pada logika bahwa
jika ilmu sosial membawa kemajuan pada abad kedua puluh satu, ia harus
mengatasi warisan Eurosentris yang telah mendistorsi analisis dan kapasitasnya
dalam menangani masalah dunia kontemporer. Saat melakukan ini, komunitas
ilmuwan non-Barat harus berhati-hati dalam melihat bentuk Eurosentrisme,
karena sebagaimana diketahui, Eurosentrisme merupakan hidra raksasa yang
kepalanya memiliki banyak avatar. Jika ilmuwan tidak hati-hati, upaya untuk
melawannya dapat menjadi batu sandungan. Upaya dalam mengkritik
Eurosentrisme dengan tempat Eurosentris justru dapat memperkuat
cengkeramannya pada komunitas ilmuwan.68
Menurut Wallerstein, hingga kini terdapat klaim anti Eurosentrisme yang
merupakan serangan terhadap ide dasarnya. Serangan ini memiliki beberapa ciri,
yaitu: Pertama, bahwa apa pun yang dilakukan Eropa, peradaban lain juga dalam
66 Amin, Op.Cit., pp. 102. 67 Manuel Vargas, Eurocentrism and The Philosophy of Liberation, APA Newsletter on
Hispanic/Latino Issues No. 4 (2), 2005, pp. 8-17. 68 Wallerstein, Op.Cit., pp. 94.
44
proses melakukan hal itu, sampai saat ketika Eropa menggunakan kekuatan
geopolitik untuk mengganggu proses di bagian dunia yang lain. Kedua, bahwa apa
yang Eropa lakukan tidak lebih dari kelanjutan dari apa yang orang lain sudah
lakukan untuk waktu yang lama, dan untuk sementara ini Eropa berdiri lebih ke
depan. Ketiga, bahwa Eropa memiliki konsekuensi berbahaya bagi ilmu
pengetahuan dan dunia politik.69
Namun menurut Wallerstein dua argumen pertama mengandung unsur
„anti-Eurosentrisme namun Eurosentris‟. Pandangan sejarah modern sangat
Eurosentris dalam anti-Eurosentrisme, karena ia menerima makna nilai dari Eropa
yaitu pengakuan atas sebuah „prestasi besar‟. Secara tidak langsung para ilmuwan
menerima klaim dari Barat dan berniat melakukan hal yang sama meskipun
dengan cara sedikit berbeda. Pendapat ini untuk beberapa alasan mungkin
disengaja oleh para ilmuwan Barat, karena hal ini dapat mengganggu
perkembangan masyarakat non-Barat. Pernyataan selanjutnya bahwa bukan hanya
orang Eropa yang dapat melakukan hal itu, juga mengandung bias Eurosentris.
Hal ini menurut Wallerstein merupakan pendapat yang lemah dalam menentang
Eurosentrisme, dan benar-benar memperkuat konsekuensi terburuk pemikiran
Eurosentris dalam pengetahuan sosial.70
Baris kedua oposisi terhadap Eurosentrisme adalah analisis yang
menyangkal bahwa ada sesuatu yang benar-benar baru dengan apa yang Eropa
lakukan. Argumen dimulai dengan menunjukkan sejarah pada Abad Pertengahan,
Eropa Barat berada dalam posisi marginal, perifer, wilayah lain benua Eurasia,
yang peran sejarah dan budayanya berada di bawah dunia lain seperti Arab atau
Cina. Hal ini tidak diragukan lagi merupakan sebuah kebenaran. Namun dalam
beberapa waktu berikutnya sebuah lompatan cepat dibuat oleh Eropa modern
dalam pembangunan struktur pengetahuan dunia. Menurut Wallerstein, pada
beberapa abad sebelum keterpurukannya, Eropa modern justru telah mempelajari
kebijaksanaan yang dapat diterapkannya secara sukses.71
69 Ibid., pp. 101-102. 70 Ibid., pp. 102. 71 Ibid., pp. 104.
45
Selanjutnya Wallerstein menyatakan bahwa ilmuwan non-Barat harus
mulai mempertanyakan asumsi bahwa apa yang Eropa lakukan merupakan bentuk
prestasi yang positif. Menurutnya juga, ilmuwan harus pro-aktif dan melibatkan
diri dalam membuat pertimbangan hati-hati tentang peradaban kapitalis selama
sejarah hidupnya. Para ilmuwan non-Barat juga harus merenungkan dan menilai
apakah „plus‟ yang dihasilkan kapitalisme memang lebih besar daripada
„minusnya‟. Karena menurutnya sistem kapitalis bukan merupakan bukti atas
kemajuan manusia. Sebaliknya, dia menganggap bahwa sistem kapitalisme
merupakan gangguan dalam sejarah yang sangat eksploitatif.72
Selanjutnya Wallerstein menyatakan bahwa argumen ketiga lebih tepat
digunakan sebagai dasar pijakan dalam melawan Eurosentrisme.73
Dia juga lebih
memilih untuk mempertimbangkan kembali gagasan yang tidak universal dalam
doktrin universal yang muncul dari sistem sejarah dunia modern kapitalis.
Menurutnya, apa yang secara khusus ada dalam struktur pengetahuan modern
lebih merupakan konsep „dua budaya‟. Tidak ada sistem bersejarah lainnya yang
telah melembagakan perceraian antara ilmu pengetahuan dengan filsafat dan
humaniora. Setiap argumen yang memperkuat pemisahan ini dari dua budaya
merupakan penopang Eurosentrisme. Oleh karena itu, jika seseorang menyangkal
kekhususan dunia modern, mereka harus mempertimbangkan cara untuk
merekonstruksi struktur pengetahuan modern. Dalam dua puluh tahun terakhir ini,
legitimasi perceraian ilmu pengetahuan dan filsafat telah ditantang untuk pertama
kalinya secara signifikan. Gerakan ekologi, misalnya menjadi isu sentral yang
mendasari serangan umum terhadap Eurosentrisme.74
Lebih lanjut Enrique Dussel memberi beberapa cara yang dapat dilakukan
komunitas ilmuwan non-Barat dalam menghadapi Eurosentrisme. Menurutnya
kita harus kritis dengan tradisi intelektual pribumi yang selama ini telah
mengemuka.
1. Dussel tidak menyarankan suatu “wacana alternatif” karena menurutnya
dapat menyebabkan seseorang menganggap keberadaan lanjutan dari
72Ibid., pp. 105. 73Ibid., pp. 101. 74Ibid., pp. 106-107.
46
wacana mainstream. Menurutnya lebih baik membayangkan wacana
plural, bukan alternatif.
2. Reorientasi serius perlu dilakukan terhadap pemikir yang bukan berasal
dari lembaga akademis budaya Eropa atau Amerika, tetapi berasal dari
daerah kita sendiri. Budaya meminjam tradisi akademik Barat harus secara
bertahap diganti dengan percaya diri dengan tradisi kita sendiri.
3. Sebagai latihan praktis, mendorong penulisan karya tanpa menggunakan
atau mengutip sumber buku Barat. Jika itu tidak mungkin dapat dilakukan
segera, kita dapat mengurangi tingkat kutipan dari para sarjana Barat dan
meningkatkan tingkat kutipan dari sarjana non-Barat. Lebih baik lagi,
mendorong siswa untuk menulis makalah tanpa mengacu pada sumber-
sumber yang tak akan ada habisnya.
4. Banyak kejelasan juga akan tersedia jika kita mendorong penggunaan yang
lebih ketat atau pelabelan atas ilmu-ilmu sosial. Gunakan kata-kata
“sosiologi Eropa” ketika membahas pekerjaan sosiologis dari Eropa atau
sosiologi Iran atau Islam atau sosiologi Amerika, dll, ketika membahas
yang lainnya. Ini akan membawa keseimbangan dan mengkonfirmasi
gagasan bahwa ethnoscience ilmu sosial Eropa, setara dengan
ethnosciences lainnya. Hal itu mungkin baik untuk Eropa, tapi tidak
berguna dan tidak berarti bagi kita.
5. Metodologi positivis Euro-Amerika yang berpengaruh pada ilmu sosial
harus dikritisi, bahkan ketika tidak diperlukan sama sekali dapat dilempar
keluar dari jendela. Hal ini penting menurut Dussel karena bertujuan agar
universitas sebagai pusat kreatif pengetahuan dapat dihormati. Universitas
harus dilihat bukan sekedar sebagai pusat untuk berinteraksi. Hal ini tidak
mengesampingkan penyebaran seluruhnya, atau konservasi pengetahuan
yang berguna dan valid, tapi merupakan kesadaran bahwa tindakan
penyebaran akan selalu membatasi pendekatan kreatif.
6. Metodologi penelitian harus menyertakan media dialog yang jauh lebih
beragam ketimbang ketergantungan hanya pada kuliah dan buku teks.
Buku teks di zaman kita adalah simbol dari degenerasi pengetahuan.
47
Menurut Dussel, buku teks adalah bentuk kontribusi yang aneh dari
Universitas di era modern. Ketergantungan pada pengetahuan dalam buku
teks tidak dapat ditempatkan pada pijakan yang sama dengan teks yang
tertera dalam Al-Quran misalnya.
7. Perlu ada keseimbangan ilmuwan sosial Barat dalam melakukan penelitian
di Universitas pribumi. Gagasan mengenai penelitian paralel harus
disepakati agar peneliti kita dapat melakukan penelitian yang sama di
perguruan tinggi mereka pada struktur masyarakat berbeda.
8. Ilmuwan dapat menolak beberapa proposal yang hadir dan melakukan
perdebatan untuk menciptakan ilmu sosial Barat yang lebih “inklusif”.
Para ilmuwan dapat memasukkan fakta-fakta dari dunia non-Barat ke
dalam kerangka kerja di mana Barat terus mendominasi. Tindakan tersebut
tidak akan mengubah apa pun karena ilmuwan non-Barat tetap akan
meninggalkan suprastruktur secara utuh.75
Pemeriksaan kritis dilakukan pada kerangka teori yang ada dalam ilmu-
ilmu sosial yang diajarkan dan diteliti di berbagai perguruan tinggi dunia non-
Barat. Selain itu, diusulkan pula kekritisan tersebut bukan hanya didasarkan pada
isinya, tetapi juga berasal dari asumsi dan metodologi yang telah diimpor dari
tradisi akademis Eropa. Kritik atas Eurosentrisme dalam ilmu sosial diterima
dengan baik ketika keberanian atau tekad di kalangan akademisi di perguruan
tinggi non-Barat mengemuka. Para ilmuwan non-Barat juga harus siap untuk
keluar dari asumsi yang akan memungkinkan mereka melakukan penelitian di luar
kerangka keasyikan kepentingan akademis Barat.76
Para ilmuwan juga harus mempertimbangkan fakta bahwa World Report
Ilmu Sosial UNESCO pada tahun 2010 menyimpulkan bahwa untuk semua tujuan
praktis, penelitian ilmu sosial non-Eropa yang kwalitasnya sangat signifikan
ternyata jarang dikutip. Laporan tersebut misalnya menunjukkan bahwa Amerika
Utara mengutip nol penelitian dari kawasan Asia dan Afrika. Imperialisme politik
mungkin menemukan perlawanan sengit hari ini (Iran, Vietnam, Afghanistan, dan
75 Alvares, Op.Cit., pp. 80-81. 76Ibid., pp. 72.
48
Mesir), tetapi ternyata imperialisme akademis belum memperoleh perlawanan
yang sepadan.77
Keadaan sebaliknya ditunjukkan pada fakultas di hampir semua
Universitas seluruh dunia. Seperti yang telah dijelaskan dalam subbab pertama
Bab II skripsi ini, mentalitas membebek (captive mind) justru dimiliki oleh
sebagian besar ilmuwan Negara non-Barat. Mereka bahkan menjadi sukarelawan
atau tanpa sadar terus membayar kehormatan pada tujuan dan metodologi ilmu
sosial yang berlaku di kalangan akademisi Barat. Output yang dihasilkan pada
hari ini bahkan terus-menerus mencerminkan keprihatinan dari sarjana Barat.
Sebagian besar ilmu sosial masa kini di Universitas-universitas non-Eropa tidak
lebih dari studi ceroboh untuk mengkaji kembali korpus pengetahuan sosiologis
yang telah mati. Padahal korpus ini dihasilkan dalam menanggapi persepsi Eropa
yang etnosentris selama beberapa abad.
Salah satu konsekuensi utama dari keadaan tersebut adalah efeknya pada
mahasiswa yang mendaftar di Universitas di berbagai negara. Mereka datang
untuk melihat standar yang ditentukan dalam program-program asing. Mereka
tidak berpikir tentang sistem pengetahuan warisan mereka atau makna yang
melekat pada unsur-unsur penting dari budaya mereka. Mereka dibentuk seperti
burung beo yang mengadopsi satu set kosa kata, slogan, kategori dan konsep-
konsep yang diberikan. Mereka juga belajar untuk dapat memuntahkan hal itu
kembali dengan percaya diri, ketika bertemu dengan para dosen dan professor di
perkuliahan. Kompetensi dan kepercayaan diri diperoleh oleh mereka dari
indokrinasi yang diterima secara tidak kritis. Akhirnya pada suatu kesempatan
ketika mereka menjadi seorang dosen, mereka akan kembali melestarikan sistem
pengetahuan yang sama. Seperti inilah budaya keilmuwan tercipta di Negara non-
Barat.
77Ibid., pp. 71.
49
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah Teori Captive Mind yang pertama kali
dicetuskan oleh Syed Hussein Alatas tahun 1970-an dalam kaitannya dengan
gagasan alternatif terhadap Eurosentrisme yang merupakan teori dari Syed Farid
Alatas. Pada berbagai jurnal dan buku karya Syed Farid Alatas, terdapat berbagai
pemikiran yang mengkritik Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Setelah itu Syed
Farid Alatas menggagas diskursus alternatif dalam menghadapi ilmu pengetahuan
Eurosentris.
Waktu penelitian ini terhitung sejak bulan Januari hingga Juli 2014 dengan
perincian sebagai berikut:
Tabel 1
No Kegiatan Bulan ke-
1 2 3 4 5 6 7
1. Seminar Proposal Skripsi x
2. Revisi Proposal Skripsi x
3. Menyerahkan proposal skripsi ke
pembimbing x x
4. Bimbingan Bab I, Bab II, dan Bab
III x x x
5. Penelitian x x x x x
6. Bimbingan Bab IV dan Bab V x x x
7. Ujian Referensi x
Rincian Proses Pembuatan Skripsi
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka (library
research). Menurut Mary W. George dalam buku The Elements of Library
Research sebagaimana dikutip Kania, penelitian pustaka adalah penelitian yang
50
melibatkan pengidentifikasian dan pengalokasian sumber-sumber yang
menyediakan informasi faktual atau pendapat pakar berkaitan dengan pertanyaan
penelitian.1
Menurut Moh. Nazir dalam buku Metode Penelitian, menelusuri literatur
yang ada serta menelaahnya secara tekun merupakan kerja kepustakaan yang
sangat diperlukan dalam mengerjakan penelitian.2 Survei terhadap data yang telah
ada dapat dikerjakan sebelum atau setelah masalah penelitian dipilih. Setelah itu
Moh. Nazir menyatakan bahwa:
Dengan mengadakan survei terhadap data yang telah ada, si
peneliti bertugas menggali teori-teori yang telah berkembang dalam
bidang ilmu yang berkepentingan, mencari metode-metode serta teknik
penelitian, baik dalam mengumpulkan data atau dalam menganalisis data
yang pernah digunakan oleh peneliti-peneliti terdahulu; memperoleh
orientasi yang lebih luas dalam permasalahan yang dipilih, serta
menghindari terjadinya duplikasi-duplikasi yang tidak diinginkan.3
Sebelum menelusuri literatur serta menelaah studi yang ada pada
Perpustakaan, peneliti harus mengenal perpustakaan secara baik. Pengenalan ini
dimaksudkan agar peneliti mudah dalam proses selanjutnya. Pengenalan ini
menurut Nazir termasuk dalam sistem pelayanan, sistem penyusunan literatur, dan
klasifikasi buku yang dianut perpustakaan tersebut.4
Sumber utama dalam perpustakaan terdiri dari kartu katalog perpustakaan,
dan buku referensi. Katalog perpustakaan berisi nama pengarang, judul publikasi,
edisi, kota terbit, nama penerbit, tahun, koleksi, dan anotasi. Sedangkan buku
referensi adalah petunjuk informasi dalam bahan bacaan. Referensi berasal dari
bahasa Inggris, reference yang berasal dari to refer, yang berarti menunjuk pada
bacaan tertentu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia referensi memiliki tiga definisi
yaitu: (1) Sumber acuan (rujukan petunjuk); (2) Buku-buku yang dianjurkan oleh
1 Dinar Kania Dewi, “Studi Komparatif Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan
Syed Muhammad Naquib Al-Attas,” Disertasi pada Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Bogor, 2012, h. 1-7, tidak dipublikasikan.Dinar Kania, Op.Cit., h. 73.
2 Moh. Nazir, Metode Penelitian Cet. Ketujuh, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 93. 3 Ibid.. 4 Ibid., h. 93-94.
51
dosen kepada mahasiswanya untuk dibaca; dan (3) Buku-buku perpustakaan yang
tidak boleh dibawa ke luar, harus dibaca di tempat yang telah disediakan.5
Selain buku referensi, digunakan sumber-sumber seperti:
1. Buku teks (text book) yang merupakan tulisan ilmiah yang diterbitkan
dalam interval waktu yang tidak menentu.
2. Jurnal adalah majalah ilmiah yang berisi tulisan ilmiah atau hasil seminar
yang diterbitkan Himpunan Profesi Ilmiah.
3. Periodikal yang merupakan majalah ilmiah yang diterbitkan secara berkala
oleh lembaga yang berisi penelitian yang dikerjakan.
4. Buletin adalah tulisan ilmiah pendek yang terbit secara berkala berisi
catatan-catatan ilmiah atau petunjuk-petunjuk ilmiah tentang suatu
kegiatan operasional.
5. Bibliografi adalah buku yang berisi judul-judul artikel yang membahas
bidang ilmu tertentu.
Setidaknya ada empat ciri utama penelitian kepustakaan yang perlu
diperhatikan oleh mahasiswa atau calon peneliti dan keempat ciri itu akan
mempengaruhi sifat dan cara kerja penelitian yaitu:6
1. Peneliti berhadapan langsung dengan teks atau data angka dan bukan
dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata (eye witness)
berupa kejadian, orang, atau benda lainnya. Teks memiliki sifat-sifatnya
sendiri dan memerlukan pendekatan tersendiri pula. Kritik teks merupakan
metode yang biasa dikembangkan dalam studi fisiologi. Jadi perpustakaan
adalah laboratorium peneliti kepustakaan dan oleh karena itu teknik
membaca teks (buku, artikel, dan dokumen) menjadi bagian yang
fundamental dalam penelitian kepustakaan.
2. Data pustaka bersifat siap pakai (ready mode): peneliti tidak kemana-mana
kecuali hanya berhadapan langsung dengan bahan sumber yang sudah
tersedia di perpustakaan. Seperti orang belajar naik sepeda, orang tak perlu
membaca buku artikel atau buku tentang bagaimana teori naik sepeda,
5 Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1183. 6 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), h. 4-5.
52
begitu pula halnya dengan riset pustaka. Untuk melakukan riset pustaka,
orang tidak perlu menguasai ilmu perpustakaan. Satu-satunya cara untuk
belajar menggunakan perpustakaan dengan tepat ialah langsung
menggunakannya. Meskipun demikian, calon peneliti yang ingin
memanfaatkan jasa perpustakaan, tentu masih perlu mengenal seluk-beluk
studi perpustakaan untuk kepentingan penelitian atau pembuatan makalah.
3. Data perpustakaan umumnya sumber sekunder artinya: bahwa peneliti
memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan
pertama di lapangan.
4. Bahwa kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Peneliti
berhadapan dengan info statis: tetap artinya kapanpun ia datang dan pergi
data tersebut tidak akan berubah karena ia sudah merupakan data “mati”
yang tersimpan dalam rekaman tertulis (teks, angka, gambar, rekaman tape
atau film).
Jika digolongkan menurut asal sumbernya, Data dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:7
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari lembaga atau institusi
tertentu.
Data primer dalam penelitian ini adalah karya-karya yang ditulis oleh Syed
Farid Alatas, terutama dalam buku Alternative Discourses in Asian Social
Science: Responses to Eurocentrism atau Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial
Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme, serta berbagai jurnal terkait. Beberapa
karya dari Syed Farid Alatas atau pakar-pakar lain turut memperkaya skripsi ini.
Literatur disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan teori Captive mind,
Eurosentrisme dalam sosiologi digunakan sebagai sumber pelengkap. Penelitian
ini merupakan interpretasi terhadap berbagai bacaan tersebut.
Syahrin Harahap, dalam bukunya yang berjudul Metodologi Studi Tokoh
Pemikiran Islam, mengkategorikan jenis penelitian ini sebagai studi tokoh. Hal ini
7 Bagong Suyanto dan Sutinah, Ed, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2011), h. 55.
53
dikarenakan studi tokoh merupakan pengkajian secara sistematis pemikiran atau
gagasan seseorang. Pengkajian tersebut meliputi latar belakang internal, eksternal,
pengembangan pemikiran, kekuatan pemikiran, kontribusi bagi jamannya dan
jaman sesudahnya. Studi tokoh juga tidak hanya dilakukan pada seorang tokoh
yang telah meninggal, namun dapat juga dikaji pada tokoh yang masih hidup.8
C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan seorang
peneliti untuk mencapai tujuan penelitian. Menurut Kania, kegiatan tersebut
terdiri dari lima tahapan, yaitu: pembuatan rancangan penelitian, pengumpulan
data, pembacaan dan kategorisasi data, interpretasi dan analisis data, serta
penulisan laporan penelitian.9
1. Pembuatan Rancangan Penelitian
Pada tahapan ini dilakukan pembuatan proposal penelitian yang mencakup
latar belakang, perumusan masalah, menentukan tujuan dan kegunaan
hasil penelitian, pengumpulan data awal, serta metodologi yang digunakan
dalam penelitian guna menjawab masalah yang diajukan.
2. Pengumpulan Data
Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data primer maupun sekunder.
Data primer berasal dari buku maupun jurnal yang ditulis Syed Farid
Alatas. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pengumpulan data yang
terkait dengan topic penelitian mengenai alternatif terhadap Eurosentrisme
dalam Ilmu Sosiologi, dan mengenai teori captive mind.
3. Pembacaan dan Kategorisasi Data
Membaca dan mencatat informasi merupakan bagian yang penting dalam
studi kepustakaan.10
Data yang ditemukan dari berbagai sumber
dikumpulkan dan dipahami secara mendalam untuk menemukan
pemikiran atau gagasan sesuai topik yang diajukan. Setelah itu data
8 Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2011), h. 6-8. 9 Kania, Op.Cit., h. 81-82. 10 Nazir, Op.Cit., h. 103.
54
dikategorikan dalam topik yang lebih khusus atau kategori-kategori
sehingga akan memudahkan proses interpretasi dan analisis data.11
4. Interpretasi dan Analisis Data
Pada tahap ini peneliti menganalisa temuan dengan melakukan
interpretasi. Interpretasi merupakan metode yang digunakan untuk
mencapai pemahaman yang benar mengenai fakta, data, dan gejala analisis
kritis deskriptif. Interpretasi merupakan landasan bagi hermeneutika.
5. Penulisan Laporan Penelitian
Laporan penelitian ditulis setelah tahapan demi tahapan dilalui dalam
proses penelitian. Laporan ditulis berdasarkan standar penulisan karya
ilmiah pada jenjang Sarjana di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Jakarta.
11 Kania, Op.Cit., h. 82.
55
BAB IV
KONSEP CAPTIVE MIND DAN KAITANNYA DENGAN ALTERNATIF
TERHADAP EUROSENTRISME DALAM SOSIOLOGI
A. Konsep Captive Mind Syed Hussein Alatas dan Kaitannya dengan
Konsep Kebergantungan Akademik Syed Farid Alatas
1. Biografi Singkat Syed Farid Alatas
Syed Farid Alatas merupakan seorang tokoh sosiologi kontemporer yang
ahli dalam bidang sejarah sosiologi, sosiologi sebagai ilmu sosial, sosiologi
agama, dan dialog antar agama. Syed Farid Alatas juga merupakan penulis yang
aktif dalam menghimpun gagasan tokoh-tokoh ilmu sosial Dunia Ketiga. Gagasan
yang dihimpunnya tersebut terdapat dalam berbagai karyanya. Karya-karya yang
dihasilkannya selama dua puluh tahun belakangan, kaya dengan diskursus
alternatif untuk membebaskan ilmu sosial dari belenggu Eurosentrisme dan
Orientalisme.
Syed Farid Alatas ibn Hussein Alatas lahir pada tanggal 29 Juni 1961 di
Belanda pada saat ayahnya masih menempuh studi. Ayahnya merupakan sosiolog
besar Melayu yang lahir di Bogor, Jawa Barat, yaitu Syed Hussein Alatas, dan
ibunya Datin Zaharah Alatas, dikenal sebagai ibu rumah tangga yang peduli
terhadap masalah lingkungan. Syed Farid Alatas merupakan anak sulung yang
memiliki dua orang adik perempuan yang bernama Datin Sharifah Munirah dan
Sharifah Mastura. Kakeknya dari pihak ayah bernama Syed Ali al-Attas yang
merupakan keturunan bangsawan di kesultanan Johor, Malaysia. Sedangkan
neneknya Sharifah Raquan al-„Aydarus, merupakan keturunan Raja Sunda dari
Sukapura.
Nenek buyutnya Ruqayah Hanum, berasal dari Kaukasia, wilayah utara
Turki yang kini disebut Georgia (Rusia). Ruqayah Hanum merupakan salah satu
wanita yang dihadiahkan sultan Turki Utsmani kepada Abu Bakar Alkhalil
Ibrahim Shah, sultan Johor yang pertama. Sultan Abu Bakar kemudian menikah
dengan Khadijah Hanum, sedangkan Ruqayah Hanum dinikahkan dengan
56
adiknya, Ungku Abdul Majid.1 Selain itu dia juga memiliki seorang buyut yang
bernama Muhsin bin Muhammad al-Attas yang merupakan ulama yang tidak
hanya dikenal di Nusantara, melainkan juga di jazirah Arab. Muhsin bin
Muhammad al-Attas datang dari Yaman mendakwahkan Islam ke Nusantara di
sekitar Pekalongan, Bogor, dan Johor.
Selain dikenal sebagai keturunan ulama dan pemimpin, Syed Farid Alatas
juga merupakan habaib (keturunan Rasulullah) ke-38 dari jalur Imam Ahmad.
Silsilah keluarganya dapat dilacak melalui silsilah sayyid dalam keluarga
Ba‟Alawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai pada Imam Hussein, cucu
Nabi Muhammad SAW.
Syed Farid Alatas juga merupakan keponakan dari Syed Muhammad
Naquib (S.M.N) Al-Attas, seorang pakar dalam berbagai disiplin ilmu seperti
teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, serta sastra. S.M.N Al-Attas merupakan
pendiri International Institute of Islamic Tought and Civilization (ISTAC) di
Malaysia. Seperti kakaknya Syed Hussein Alatas, S.M.N. Alatas juga merupakan
seorang penulis yang produktif dan otoritatif dalam berbagai bidang keilmuwan.
Hingga kini S.M.N Al-Attas telah menghasilkan 27 buah buku, 400 makalah pada
seminar di seluruh dunia, dan puluhan jurnal lainnya.2 Karya yang dihasilkannya
seputar epistemologi pendidikan Islam, metafisika Islam, hingga rekonstruksi
sejarah Nusantara yang bias Orientalisme dan Eurosentrisme.
Secara umum Syed Hussein Alatas dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas
terkenal berkat sumbangannya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kedua
ilmuwan ini juga dikenal jeli dalam memandang persoalan keterpurukan Negara-
negara Dunia Ketiga yang disebabkan pengadopsian pengetahuan Barat yang sarat
nilai tertentu tanpa sikap kritis. Mereka tanpa ragu membongkar akar kerusakan
peradaban Barat, dan berupaya membentuk ilmu sosial otonom bagi bangsa Non-
1 Abd Jalil Borham, Pengaruh Khilafah Othmaniyyah Turki Dalam Pentadbiran Kerajaan
Johor Bagi Memartabatkan Sebuah Negara Islam Merdeka Di Asia Tenggara, Makalah pada
Simposium Isu-Isu Sejarah dan Tamadun Islam (SISTI 2011) Peringkat Kebangsaaan di Sudut
Wacana ATMA, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor pada 8-10 April, 2011.
http://umpir.ump.edu.my/3355/1/JOHOR_TURKI.pdf 2 Dinar Kania Dewi, “Studi Komparatif Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan
Syed Muhammad Naquib Al-Attas,” Disertasi pada Program Doktor Pendidikan Islam Universitas
Ibn Khaldun Bogor, Bogor, 2012, h. 105, tidak dipublikasikan.
57
Barat. Mereka berdua juga merupakan pakar sejarah Nusantara. Gagasan yang
dikemukakan Syed Hussein Alatas kemudian hadir dalam beberapa jurnalnya
yang secara langsung mengkritik mentalitas membebek dari kalangan ilmuwan
dunia ketiga. Gejala mental ini disebutnya sebagai keterbelengguan pikiran
(captive mind). Selanjutnya Syed Hussein Alatas menyerukan agar para ilmuwan
keluar dari imperialisme akademis tersebut dan memberi gagasan alternatif
dengan ilmu sosial otonom bagi bangsa Non-Barat.
Sedangkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas merupakan seorang
ilmuwan kontemporer yang menghasilkan karya besar dalam metafisika Islam.
S.M.N. Al-Attas juga melakukan analisa mendalam tentang kemunduran yang
dialami umat Islam.3 Berdasarkan analisa Wan Muhammad Nor Wan Daud,
setidaknya Al-Attas menyumbangkan tiga pemikiran besar yang akan
mempengaruhi perjalanan sejarah Muslim, diantaranya adalah Pertama, masalah
terpenting yang dihadapi oleh umat Islam kini ialah masalah ilmu pengetahuan;
kedua, ilmu pengetahuan modern tidak netral karena dipengaruhi oleh pandangan
keagamaan, kebudayaan, dan filsafat yang mencerminkan kesadaran dan
pengalaman Barat; dan ketiga, umat Islam perlu mengislamkan ilmu pengetahuan
masa ini dengan mengislamkan simbol-simbol linguistik tentang hakikat dan
kebenaran.4 Al-Attas juga menyatakan bahwa seorang Muslim harus memiliki
pandangan alam (worldview) seorang Muslim, agar dapat melihat fenomena da
noumena secara utuh.
Lebih lanjut, Syed Farid Alatas mengakui bahwa kepakaran dan
ketokohannya dalam disiplin ilmu sosial tidak terlepas dari pengaruh latar
belakang keluarganya. Sejak awal proses pendidikannya, bakat intelektual secara
turun menurun tumbuh kepada Syed Farid Alatas dari kedua ilmuwan tersebut.
Menurut Alatas, penanaman intelektualitas dari sang ayah telah diperolehnya
sejak dini. Syed Hussein Alatas memberi pemahaman yang mendalam tentang
betapa seriusnya masalah peniruan dan benak terbelenggu (captive mind) dalam
berbagai bidang keilmuwan Dunia Ketiga. Pada saat itulah terbentuk
3 Ibid., h. 104. 4 Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Satu
Huraian Konsep Asli Islamisasi. h. 259.
58
ketidaksukaan Alatas terhadap mentalitas membebek yang ada pada kebanyakan
ilmuwan.5
Pengaruh pemikiran ayahnya terlihat dalam berbagai karya yang
dihasilkannya. Alatas sering mengangkat kembali teori captive mind yang
dicetuskan oleh ayahnya. Pemikirannya juga terlihat sejalan dengan ayahnya
dalam memandang persoalan ilmu sosial. Namun disatu sisi, Alatas juga
melakukan pengembangan terhadap karya ayahnya tersebut dengan melakukan
riset ke berbagai negara Dunia Ketiga, guna mencari berbagai pemikiran ulayat
yang berkembang dikalangan ilmuwan non Barat. Selanjutnya pemikiran yang
berupaya lepas dari fenomena Orientalisme dan Eurosentrisme tersebut dihimpun
ke dalam gagasan yang bernama diskursus alternatif.
Pengaruh intelektual dari pamannya dapat pula terlihat dalam karya Syed
Farid Alatas. Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebelum terbitnya karya Edward
Said mengenai Orientalisme, telah lama menjelaskan masalah Orientalisme yang
mendasari studi Islam di dalam dunia Melayu Asia Tenggara dan di Luarnya. Al-
Attas selanjutnya memperkenalkan gagasan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” yang
berpengaruh dalam filsafat kontemporer. Al-Attas juga berupaya melepaskan
historiografi ranah Melayu dari tangan kolonialis.
Karya-karya dan pengaruh kedua ilmuwan ini selanjutnya mempengaruhi
berbagai makalah, buku, dan karya lainnya yang ditulis oleh Syed Farid Alatas.
Karya-karya ini menjadi jembatan awal bagi upaya melepaskan dominasi
pengetahuan Barat dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk sosiologi.
Berbagai karya ini berupaya membongkar kerusakan epistemologi ilmu
pengetahuan yang diterapkan atau diadopsi negara Dunia Ketiga dalam berbagai
disiplin ilmu tersebut.
Alatas memfokuskan dirinya pada analisa mengenai teori Ibn Khaldun dan
Jose Rizal. Pengaruh intelektual Syed Hussein Alatas hadir ketika Alatas
mengkaji tentang teori Rizal. Sebagaimana diketahui, dalam satu buah bab
khusus, Syed Hussein Alatas pernah membahas pemikiran Rizal mengenai stigma
5 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap
Eurosentrisme, (Bandung: Mizan, 2010), h. ix.
59
pribumi malas yang disematkan para pelancong, penjajah dari Barat sejak abad
ke-16. Mengutip pendapat Rizal, Alatas menyatakan bahwa hal tersebut
merupakan sebuah kekeliruan dan kebutaan terhadap konteks masyarakat lokal.
Kini Alatas menjadi Kepala Departemen Studi Melayu dan Associate
Professor di Departemen Sosiologi di National University of Singapore.6 Di NUS
Alatas mengajar sejak tahun 1992. Sebelumnya Alatas mengajar di Departemen
Kajian Asia Tenggara, University of Malaya sejak tahun 1989 sampai dengan
tahun 1992. Hingga saat ini Alatas masih bekerja pula di komite eksekutif
Asosiasi Sosiologi Internasional United Nation Educational, Scientific, and
Cultural Organization (UNESCO).
Alatas meraih gelar Doktornya dalam bidang Sosiologi dari John Hopkins
University pada tahun 1991. Disertasinya mengambil penelitian di Malaysia dan
Indonesia dengan judul The Rise of Democratic and Authoritarian POST - States:
the Case of Indonesia and Malaysia. Disertasi ini kemudian diterbitkan ulang
menjadi sebuah buku oleh Palgrave Macmillan dengan judul Democracy and
Authoritarianism in Indonesia and Malaysia: The Rise of The Post-colonial State.
Kerangka teori dari disertasinya didasarkan pada studi sejarah munculnya
kekuatan-kekuatan kelas dominan yang membentuk rezim di Malaysia dan
Indonesia. Sebagaimana diketahui, keduanya muncul sebagai negara pasca-
kolonial yang demokratis. Namun, di Indonesia proses demokrasi justru
dihentikan sama sekali setelah satu dekade kemerdekaan diperoleh. Pada saat itu
bentuk negara otoriter muncul. Berbeda dengan di Indonesia, Alatas menyebut
bahwa Malaysia justru masih mempertahankan fungsi sistem demokrasi pada
struktur Negaranya. Arti penting dari studi ini terletak pada kenyataan bahwa
belum ada pekerjaan komparatif yang dilakukan ilmuwan pada negara bagian di
Malaysia dan Indonesia. Selain itu, beberapa karya tentang keadaan di kedua
negara cenderung berfokus pada isu-isu yang tidak secara langsung terkait dengan
pertanyaan tentang asal-usul negara pasca-kolonial. Awal kemunculan demokrasi
di negara-negara pasca-kolonial tidak dijelaskan sepenuhnya.
6 On the Future of Islamic Intellectualism: Interview with Dr. Syed Farid Al Attas. Artikel
ini diakses pada tanggal 16 Januari 2014. http://www.interactive.net.in/node/30.
60
Selanjutnya di NUS, Alatas kemudian meraih gelar professor berkat
berbagai karyanya dalam bidang ilmu sosial termasuk sosiologi. Alatas tercatat
telah menerbitkan berbagai buku dan menulis secara luas dalam jurnal
internasional. Berbagai buku yang telah dihasilkan diantaranya adalah:
Democracy and Authoritarianism in Indonesia and Malaysia: The Rise of The
Colonial States tahun 1997, seperti yang telah disebutkan. Alternative Discourses
in Asian Social Science: Responses to Eurosentrism (2006). Alatas juga menjadi
editor dalam Asian Inter-Faith Dialogue: Perspektive of Religion, Education and
Social Cohesion (2003) dan jurnal Asian Anthropology (2005). Karya-karya
ilmiah Alatas juga telah dipublikasikan dalam berbagai jurnal terkemuka di
seluruh dunia, seperti Current Sociology, Teaching Sociology, Antropologi
Indonesia, The European Legacy, American Studies International, dan lain-lain.
Kini, Syed Farid Alatas menetap di Singapura bersama tiga orang anaknya
yang bernama Syed Imad Alatas, Sharifah Afra Alatas, dan Syed Ubaidillah
Alatas serta istrinya. Istri Alatas merupakan seorang wanita keturunan Iran yang
bernama Mojgan Shavarebi. Mojgan Shavarebi juga dikenal aktif sebagai
penerjemah bahasa Persia ke bahasa Inggris.
2. Karya Akademik Syed Farid Alatas
Berdasarkan sumber Google Cendekia Juni 2014, ditemukan lebih dari 100
karya Alatas yang tercakup dalam buku, jurnal, dan lainnya. Buku yang
dihasilkannya adalah sebagai berikut:
Tabel 2
No. Judul Buku Nama Penerbit Tahun
Terbit
1. Applying Ibn Khaldūn: The Recovery of a Lost
Tradition in Sociology
Routledge 2014
2. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia:
Tanggapan terhadap Eurosentrisme
Mizan 2010
3. A Special Issue on Globalization and Religious
Resurgence: Asian Responses
Blackwell 2007
4. Alternative Discourses in Asian Social Science:
Responses to Eurocentrism
Sage 2006
61
5. Islam, Democratization and Civil Society in
Indonesia and Malaysia
University of
Hong Kong
2002
6. The Rhetorics of Social Science in Developing
Societies
Centre for
Advanced Studies
1998
7. Democracy and Authoritarianism in Indonesia and
Malaysia: The Rise of the Post-colonial State
Palgrave
Macmillan
1997
8. Keadaan Sosiologi Masyarakat Melayu
Association of
Muslim
Professionals
1997
9. The Post-colonial State: Dual Functions in the
Public Sphere
Department of
Sociology, NUS
1994
10. The Status of Feminist Theory in Malaysia, Universiti Sains
Malaysia
1994
11. Some Problems of Indigenization
Department of
Sociology, NUS
1992
12. The Rise of Democratic and Authoritarian Post-
Colonial States: The Cases of Indonesia and
Malaysia (thesis Ph.D)
John Hopkins
University
1991
13. Ibn Khaldun and the Ottoman Modes of
Production
Blackwell 1990
Buku yang dihasilkan Syed Farid Alatas
Sementara itu makalah yang diterbitkan dalam berbagai jurnal karya Syed
Farid Alatas adalah sebagai berikut:
Tabel 3
No. Judul Makalah Nama Jurnal Tahun
Terbit
1. Ibn Khaldun and the Good Madina Islam and Civilisational
Renewal (ICR) 4 (4)
2013
2. Is Religious Intolerance Going
Mainstream in Indonesia?
Global Asia 8 (4), 40-43 2013
3. Paper Prophethood, the Ahl al-Bayt and
the Ideal of Excellence in Nursi‟s
Thought, P Alatas, S Farid
International Bediüzzaman
Symposium Papers
(English)
2013
4. Ibn Khaldūn The Wiley-Blackwell
Companion to Major
Social Theorists: Classical
2011
62
Social
5. La Convocatoria Hacia los Discursos
Alternativos en las Ciencias Sociales de
Asia
Informe Sobre las Ciencias
Sociales en el Mundo, 177
2011
6. On Eurocentrism and Laziness: The
Thought of José Rizal
Global Asia 6 (1), 96-100 2011
7. Teaching Social Theory as Alternative
Discourse
Economic and Political
Weekly 46, 48-54
2011
8. 16 The Definition and Types of
Alternative Discourses
De-Westernizing
Communication Research:
Altering Questions and
Changing
2010
9. A definição e os Tipos de Discursos
Alternativos
Revista Estudos Históricos
23 (46), 225-245
2010
10. Academic Dependency in the Social
Sciences: Structural Reality and
Intellectual Challenges, SF Alatas, K
Sinha-Kerkhoff
Delhi: Manohar 2010
11. Intellectual and Structural Challenges to
Academic Dependency
Academic Dependency in
the Social Sciences, 333
2010
12. Rejecting Islamism and the Need for
Concepts from Within the Islamic
Tradition
Islamism: Contested
Perspectives on Political
Islam, 87-92
2010
13. Religion and Reform: Two Exemplars for
Autonomous Sociology in the Non-
Western Context
The ISA Handbook of
Diverse Sociological
Traditions, 29
2010
14. The Call for Alternative Discourses in
Asian Social Sciences
World Social Science
Report: Knowledge
Divides (pp. 171Á172)
Paris: (UNESCO)
2010
15. The Definition and Types of Alternative
Discourse
Estudos Históricos (Rio de
Janeiro) 23 (46), 225-245
2010
16. The Definition and Types of Alternative
Discourses, w: Burawoy
Chang, Fei-yu Hsieh (red.)
2, 139-157
2010
17. An Agenda for Nursi Studies: Towards
the Construction of a Social Theology
Asian Journal of Social
Science 38 (4), 523-531
2010
18. 9 Ideology and Utopia in the Discourse
on Civil Society in Indonesia and
Malaysia
Islam and Politics in
Southeast Asia, 165
2009
19. A World of Anthropologies: Paradigms Asian Journal of Social 2008
63
and Challenges for the Coming Century,
J Van Bremen, E Ben-Ari, SF Alatas, S
Yamashita, J Bosco, JS Eades
Science 36, 121-127
20. Contemporary Muslim Revival: The Case
of “Protestant Islam”
The Muslim World 97 (3),
508-520
2007
21. The Historical Sociology of Muslim
Societies Khaldunian Applications
International Sociology 22
(3), 267-288
2007
22. The Role of Human Sciences in the
Dialogue Among Civilizations
East Meets West:
Civilizational Encounters
and the Spirit of
Capitalism in East Asia
2007
23. Paper Justice, Balance and the Social
Order in the Thought of Bediuzzaman
Said Nursi P ALATAS, S Farid
International Bediüzzaman
Symposium Papers
(English)
2007
24. A Khaldunian Exemplar for a Historical
Sociology for the South
Current Sociology 54 (3),
397-411
2006
25. Editorial Introduction: The Idea of
Autonomous Sociology Reflections on
the State of the Discipline
Current Sociology 54 (1),
5-6
2006
26. Eurocentrism and the Need to Rethink
the Teaching of the Social Sciences
Forum Komunikasi 6 (1),
124-129
2006
27. From Jāmi'ah to University
Multiculturalism and Christian–Muslim
Dialogue
Current Sociology 54 (1),
112-132
2006
28. Ibn Khaldun and Contemporary
Sociology
International sociology 21
(6), 782
2006
29. Islam and the Science of Economics The Blackwell Companion
to Contemporary Islamic
Thought, 587-606
2006
30. Knowledge and Education in Islam,
Secularism and Spirituality: Seeking
Integrated Knowledge and Success in
Madrasah Education in Singapore
2006
31. This is a List of Books Received for
Review by Sociology between May and
June 2006, SF Alatas, S Alladi
Venkatesh, R Kassimir, E Barman, L
Biggs
SAGE 40 (6), 1229-1233 2006
32. Asian Anthropology, E Ben-Ari, J van
Bremen, SF Alatas
Routledge 2005
64
33 Covering Islam: Challenges and
Opportunities for Media in the Global
Village
Centre for Research on
Islamic and Malay Affairs
2005
34. Ideology and Utopia in the Thought of
Syed Shaykh Al-Hady
Faculty of Arts and Social
Sciences, Department of
Sociology, NUS
2005
35. Is Objective Reporting on Islam
Possible? Contextualizing the Demon
Covering Islam:
Challenges and
Opportunities for Media in
the Global Village, 41
2005
36. Islam and Modernization, Islam in
Southeast Asia: Political, Social and
Strategic Challenges for the Challenges
for the 21st Century
Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies
2005
37. The „Alawiyyah Tariqah: A Preliminary
Outline
JCAS Symposium Series,
225-247
2005
38. 11 Indigenization
Asian Anthropology, 227 2004
39. Asian Anthropology
Routledge 2004
40. The Meaning of Alternative Discourses:
Illustrations from Southeast Asia
Asia in Europe. Europe in
Asia, 57-78
2004
41. Paper Islam and Dialogue Among
Civilizations: Prerequisites and
Preparations, P ALATAS, S Farid
International Bediüzzaman
Symposium Papers
(English)
2004
42. Academic Dependency and the Global
Division of Labour in the Social Sciences
Current Sociology 51 (6),
599-613
2003
43. Anthropology, Sociology, and Other
Dubious Disciplines 1: Immanuel
Wallerstein, Syed Farid Alatas, Christoph
Brumann, Craig Calhoun, John R Hall,
TN Madan
Current Anthropology 44
(4), 453-465
2003
44. Asian Interfaith Dialogue: Perspectives
on Religion, Education and Social
Cohesion, SF Alatas, LT Ghee, K Kuroda
Centre for Research on
Islamic and Malay Affairs
and the World Bank
2003
45. India and the Future of the Human
Sciences in Asia
Emerging Asia:
Challenges for India and
Singapore, Delhi:
Manohar, 157-167
2003
46. Islamic Education and Multiculturalism: International Workshop on 2003
65
the Origins of the Modern University Multicultural Education in
Southeast Asian Nations:
Sharing Experiences,
University of Indonesia,
Depok.
47. Pengkajian Ilmu-Ilmu Sosial: Menuju ke
Pembentukan Konsep Tepat
Antropologi Indonesia 72,
1-23
2003
48. Eurocentrism and the Role of the Human
Sciences in the Dialogue Among
Civilizations
The European Legacy 7
(6), 759-770
2002
49. Sociology of the Malays The Making of Singapore
Sociology: Society and
State, 289-319
2002
50. The Development of an Autonomous
Social Science Tradition in Asia:
Problems and Prospects
Asian Journal of Social
Science 30 (1), 150-157
2002
51. 15 The Idea of Alternative Discourses New Horizons in
Sociological Theory and
Research: the Frontiers of
Sociology.
2001
52. Alternative Discourses in Southeast Asia
Sari 19, 49-67 2001
53. Introduction to the Political Economy of
Ibn Khaldun
The Islamic Quarterly 45
(4), 307-324
2001
54. Islam, Ilmu-Ilmu Sosial, dan Masyarakat
Sipil
Antropologi Indonesia 66,
13-22
2001
55. Reflections on Alternative Discourses
from Southeast Asia
Singapore: Center for
Advanced Studies and
Pagesetters Service Pte
2001
56. Teaching Classical Sociological Theory
in Singapore: The Context of
Eurocentrism
Teaching Sociology, 316-
331
2001
57. The Study of the Social Sciences in
Developing Societies: Towards an
Adequate Conceptualization of
Relevance
Current Sociology 49 (2),
1-19
2001
58. Academic Dependency in the Social
Sciences: Reflections on India and
Malaysia
American Studies
International, 80-96
2000
59. Alatas and Shari‟ati on Socialism: Essays in Honour of 2000
66
Autonomous Social Science and
Occidentalism, Local and Global Social
Transformation in Southeast Asia
Professor Syed Hussein
Alatas
60. An Introduction to the Idea of Alternative
Discourses in Non-Western Countries: A
Further Elaboration
Current
Anthropology 21(5)
2000
61. Development Theory: The Case of
Islamic Economics
The Muslim Ummah:
Challenges, Directions and
Reflections. 15
2000
62. Colonization of the Social Sciences and
the Structure of Academic Dependency
Replika 1999
63. L'origine della Niqabat al-Asraf nella
storia dell'Islam, AR Alamarvedasti, SF
Alatas
Oriente Moderno 79 (2),
297-322
1999
64. Peranan Negara dan Pembangunan: ke
Arah Sebuah Teori Negara Kleptokratis
Akademika 54 (1) 1999
65. The Discourse on Indigenization:
Definitions, Criteria, and Pitfalls
Pagesetters Services PTE
Limited
1999
66. The Ṭarīqat Al-'Alawiyyah and The
Emergence of the Shi'i School In
Indonesia And Malaysia
Oriente Moderno, 323-339 1999
67. Paradigms, Theories, Frameworks,
Incommensurability, and Theory
Ladenness, F Alatas, KP Mohanan
Centre for Advanced
Studies, University of
Singapore
1998
68. Hadhramaut and the Hadhrami Diaspora:
Problems in Theoretical History
Hadhrami Traders,
Scholars and Statemen in
the Indian Ocean 1750s-
1960s ...,
1997
69. Islam and Counter Modernism: Towards
Alternative Development Paradigms
Islamic Political Economy
in Capitalist-
Globalization: An agenda
for Change
1997
70. The Post-Colonial State: Dual Functions
in the Public Sphere
Humboldt Journal of
Social Relations, 285-307
1997
71. The Theme of “Relevance” in Third
World Human Sciences
Singapore Journal of
Tropical Geography 16
(2), 123-140
1996
72. Western Theory and Asian Realities: A
Critical Appraisal of the Indigenization
Theme
Asia Pacific Regional
Conference of Sociology,
Philippine Social Science
1996
67
Center, Quezon City
73. Dependency, Rhetorics and the
Transnational Flow of Ideas in the Social
Sciences
Goethe-Institute
International Seminar on
Cultural and Social
Dimensions of Market
Expantion, Labuan
1995
74. The Sacralization of the Social Sciences:
A Critique of an Emerging Theme in
Academic Discourse
Archives de Sciences
Sociales des Religions, 89-
111
1995
75. Agama dan Ilmu-ilmu Sosial Jurnal Ulumul Qur‟an Vol.
5
1994.
76. Appendix; MAJOR THEMES AND
RECOMMENDATIONS, SF Alatas, K
Kinyanjui, SH Lee, TH Yoo
Culture and Development,
291-298
1994
77. Part I Culture And Development in a
New Era And In a Transforming World;
Indigenization and Social Science: The
Role of Culture in Development
Culture and Development,
79-110
1994
78. A Khaldunian Perspective on the
Dynamics of Asiatic Societies
Comparative Civilizations
Review, 29-51
1993
79. On the Indigenization of Academic
Discourse
Alternatives, 307-338 1993
80. The Asiatic Mode of Production and the
Formative Turkic and Iranian States in
Modern Times
Central Asian Survey 12
(4), 473-496
1993
81. Theoretical Perspective on the Role of
State Elites in South Asian Development
Comparative
SoutheastAsia 14 (4)
1993
82. Notes on Race and Class in Malaysia Journal of Muslim
Minority Affairs 12 (1),
115-126
1991
83. An Islamic Common Market and
Economic Development
Islamic Culture 1, 28-38 1987
84. Reflections on the Idea of Islamic Social
Science
Comparative Civilizations
Review, 60-86
1987
85. Notes on Various Theories Regarding the
Islamization of the Malay Archipelago
The Muslim World 75 (3-
4), 162-175
1985
86. Pour Sortir de l‟Eurocentrisme en
Sciences Sociales
87. The Problem of Academic Dependency:
Latin America and the Malay world
68
88. Colleagues, Postgraduate Students and
Other Scholars are Invited to Review One
or More of the Works Listed Below.
89. Paper Dialogue for Peace and Harmony:
A Human Sciences Approach1
Makalah Syed Farid Alatas yang telah diterbitkan oleh Jurnal di seluruh dunia
3. Konsep Captive Mind (Benak Terbelenggu) Syed Hussein Alatas dan
Kaitannya dengan Konsep Kebergantungan Akademik Syed Farid Alatas
Seperti yang telah dijelaskan pada bab II, Captive mind secara resmi
dikemukakan Syed Hussein Alatas kepada publik pada tahun 1972, namun
sebenarnya teori ini telah diperkenalkan pada Konferensi “Society for
International Development” ke-11 di kota New Delhi, India pada tanggal 14-17
November 1969.7 Secara umum captive mind merupakan gejala mentalitas
membebek yang ada pada diri ilmuwan non-Barat dengan cara mengadopsi tanpa
kritis ilmu sosial yang berasal dari Barat. Mereka menganggap sebagian besar
teori yang berasal dari Eropa memiliki kualitas superior dan universal, sehingga
dapat digunakan sebagai pisau analisis permasalahan sosial di negara mereka.
Mengutip tulisan Syed Hussein Alatas, Syed Farid Alatas mengemukakan
bahwa captive mind berasal dari efek demonstrasi yang diakibatkan intensitas
pertemuan ilmuwan non-Barat dengan karya ilmuwan Barat. Semakin sering
ilmuwan bersentuhan dengan ilmu sosial Barat, semakin kuat pula dominasi
captive mind pada diri ilmuwan tersebut. Syed Hussein Alatas dalam Jurnal yang
berjudul Captive Mind in Development Studies sebenarnya menyatakan bahwa
bentuk imitasi atau peniruan pada ilmu sosial Barat tidak selamanya bernilai
negatif, melainkan ada yang berupa imitasi konstruktif. Namun fenomena seorang
ilmuwan yang telah terjangkiti captive mind tidak dapat memilah-milih mana teori
yang dapat diterapkan, dan mana yang memiliki bias Eurosentris serta tidak cocok
bila diterapkan pada negara mereka.
7 Syed Hussein Alatas, “The Development of an Autonomous Social Science Tradition in
Asia: Problems and Prospect,” Asian Journal of Social Science, 30 (1), pp. 150.
69
Syed Hussein Alatas kemudian menyatakan bahwa fenomena captive mind
pada diri ilmuwan berhubungan erat dengan imperialisme akademis. Sebagaimana
diketahui, Imperialisme akademis merupakan fenomena yang sejajar dengan
imperialisme politik dan ekonomi.8 Umumnya, imperialisme dipahami sebagai
kebijakan dan praktek dominasi politik dan ekonomi kolonial oleh negara-negara
yang lebih maju sejak abad ke-16 melalui penaklukan militer. Imperialisme
akademik paling terasa dialami ilmuwan pada masa kolonial. Oleh karena itu jika
didefinisikan dengan cara ini, imperialisme setara dengan kolonialisme. Namun
saat ini, bentuk imperialisme akademis tidak dipaksakan oleh Barat melalui
dominasi kolonial, tetapi diterima dengan sukarela dan antusias oleh para ilmuwan
di wilayah koloni.
Imperialisme akademis dimulai dengan pengaturan dan kontrol langsung
dari sekolah, universitas dan tempat penerbitan oleh para imperialis. Dengan
demikian struktur politik dan ekonomi imperialis dihasilkan dari struktur yang
paralel dengan cara berpikir orang-orang tertindas. Masih dalam kutipan yang
sama, Alatas kemudian menyatakan enam ciri struktur paralel tersebut, yaitu dapat
dilihat dari eksploitasi, pengawasan, kesesuaian, peran sekunder intelektual dan
cendekiawan yang didominasi, rasionalisasi misi peradaban, dan bakat inferior
ilmuwan dari negara asal yang mengkhususkan diri dalam studi di wilayah
koloni.9
Pada periode pasca-kolonial, manajemen kontrol yang diterapkan
imperialis kepada bangsa terjajah kemudian berkembang dengan memasukkan
unsur ilmu pengetahuan sebagai penguatnya. Para imperialis kemudian
membudidayakan dan menerapkan disiplin ilmu seperti sejarah, linguistik,
geografi, ekonomi, sosiologi dan antropologi di negara-negara koloni. Selanjutnya
setelah bangsa-bangsa yang terjajah mampu mendeklarasikan diri dengan
kemerdekaan, efek imperialisme ini tidak hilang dengan seketika, namun berubah
menjadi bentuk yang lain.
8 Ibid., pp. 285 9 Syed Farid Alatas, “Academic Dependency Academic Dependency and the Global
Division of Labour in the Social Sciences,” Current Sociology Journal, November 2003, Vol.
51(6), pp. 601, dan Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 51.
70
Neo-imperialisme akademik merupakan bentuk imperialisme kolonialis
kepada bangsa terjajah setelah masa kemerdekaan. Kontrol monopoli dan
pengaruh atas sifat dan arus ilmu sosial Barat tetap utuh meskipun kemerdekaan
politik telah dicapai. Bentuk pendekatan yang dilayangkan pada studi ilmu-ilmu
sosial dapat dilihat dengan berbagai bentuk, yaitu berdasarkan jenis metaanalisis
dan pendekatan masalah berkisar dari epistemologis ke empiris. Kemudian
metateori atau studi refleksif ilmu-ilmu sosial juga melibatkan studi tentang
konteks sosial, budaya, sejarah, serta akar filsafat mereka.10
Alatas menggambarkan fenomena ini berkembang dalam sebuah proyek
penelitian Bangsa Barat untuk mengabadikan hegemoninya pada bangsa non-
Barat. Melalui proyek yang bernilai besar, Barat berupaya mengawasi jalannya
pemerintahan, ekonomi, politik, sosial dan budaya di negara-negara eks-koloni.
Dalam hal ini Alatas mengutip contoh paling terkenal dari proyek penelitian ilmu
sosial karena memiliki nilai besar yaitu, „Proyek Camelot‟ dengan hibah hingga
US$ 6 juta.11
Penggunaan contoh ini tidak berarti bahwa seluruh proyek penelitian
di Amerika dan Eropa memiliki tujuan untuk melestarikan imperialisme
akademis. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sifat ilmu sosial di dunia adalah
pola pengembangan dan perluasan ilmu sosial yang merupakan refleksi dari
perkembangan di Amerika dan negara-negara Eropa.
Saat ini kekuatan untuk mempertahankan dominasi terus dilaksanakan
dalam bentuk kontrol atas perdagangan buku, selektif dalam promosi sarjana,
penindasan dan mendiskreditkan ide dari tradisi intelektual lainnya.12
Bentuk
imperialisme akademik ini selanjutnya menghasilkan sebuah fenomena yang
membuat bangsa terjajah tidak dapat keluar dari posisinya sebagai bangsa terjajah.
Inilah yang kemudian disebut Alatas sebagai kebergantungan akademik
(academic dependency). Namun dikatakannya, bahwa kebergantungan akademik
saja tidak cukup untuk menjelaskan fenomena dominasi ilmu sosial Eropa di
negara Dunia Ketiga. Karena kebergantungan lembaga dan teori sarjana di negara-
10 Syed Farid Alatas, “Academic Dependency in the Social Sciences: Reflections on India
and Malaysia,” American Studies International , June 2000, Vol. XXXVIII, No. 2, pp. 80. 11 Alatas, Op.Cit., Academic (a), pp. 600. Alatas, Diskursus, Op.Cit., pp. 48-49. 12 Alvares, Op.Cit., pp. 75.
71
negara berkembang pada ilmu sosial Barat juga telah menghasilkan pendekatan
meniru ide-ide dan konsep dari Amerika Serikat dan sampai batas tertentu,
Inggris, Perancis dan Jerman. Padahal, relevansi ilmu-ilmu sosial untuk negara-
negara berkembang yang mengadopsi ilmu sosial Barat telah dipertanyakan.
Ilmu-ilmu sosial juga diimpor dan ditanamkan di wilayah pinggiran tanpa
pengakuan latar belakang sejarah yang berbeda dan keadaan sosial masyarakat
tersebut. Dampak yang terjadi adalah, meski telah memperoleh emansipasi politik,
kebergantungan intelektual dari bekas koloni pada model Amerika dan Eropa
akhirnya terus lestari. Alatas mengutip pendapat Oomen bahwa teori
kebergantungan akademik mengakui ketidakseimbangan produksi ilmu-ilmu
sosial pada masyarakat dan pembagian kerja yang dihasilkan antara produsen dan
konsumen dari pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, tidak menjadi kebetulan
bahwa kekuatan ekonomi yang besar juga akan menjadi kekuatan yang besar
dalam ilmu sosial.
Teori kebergantungan akademik atau teori kebergantungan ilmu sosial,
sebenarnya berasal dari Brazil pada tahun 1950-an. Para pendukungnya
menganjurkan bahwa sosiolog Brasil dan Amerika Latin perlu mengurangi
kebergantungan pada pusat sosiologi di Barat dan mengembangkan indigenisasi
sosiologi. Dengan perspektif ini, komunitas ilmuwan di Dunia Ketiga dapat
mendefinisikan masalah dan metode penelitian tidak berdasarkan standar yang
telah diunggulkan komunitas ilmuwan Eropa.13
Menurut Alatas, struktur
kebergantungan akademik dapat dipahami dengan dimensi sebagai berikut: (1)
kebergantungan pada ide-ide serta media ide (2) kebergantungan pada teknologi
pendidikan (3) kebergantungan pada bantuan untuk penelitian dan pengajaran (4)
kebergantungan pada investasi dalam pendidikan. Dalam buku Diskursus
Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia, Alatas menambahkan dimensi kebergantungan
ilmuwan sosial Dunia Ketiga pada permintaan Barat akan keterampilan mereka.14
Dalam sumber lainnya, Alatas kembali menambahkan dimensi kebergantungan
ilmuwan Dunia Ketiga pada pengakuan yang diterima dari ilmu sosial Barat.
13 Alatas, Ibid., pp. 83-84. 14 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 56.
72
Struktur kebergantungan tersebut adalah kondisi umum pengetahuan di
negara Dunia Ketiga. Meskipun beberapa waktu belakangan masyarakat ilmiah
telah menyadari bias etnosentris dalam ilmu sosial Barat, namun upaya untuk
keluar dari masalah tersebut nyatanya belum nampak secara jelas. Keadaan ini
akhirnya mengakibatkan kebergantungan pada teori-teori dan konsep-konsep yang
dihasilkan dalam konteks latar belakang sejarah dan praktek-praktek budaya Barat
terus tercipta.15
Pola kebergantungan akademik ini juga dapat dianalisa lebih jauh sebagai
kebergantungan intelektual. Kebergantungan intelektual dapat dilihat dari segi
struktur kebergantungan akademik dan ide-ide yang diimpor dengan relevansi
yang bersangkutan. Struktur kebergantungan intelektual dapat dilihat dari
ketersediaan dana yang berasal dari negara Dunia Pertama, prestise yang melekat
pada penerbitan di jurnal Amerika dan Inggris, premi yang tinggi ditempatkan
pada pendidikan universitas Barat, serta sejumlah indikator lainnya.16
Kebergantungan intelektual ini disebabkan pemusatan perhatian pada karya
empiris yang membatasi diri pada kasus-kasus tunggal di negerinya sendiri,
sehingga kekurangan perspektif perbandingan, maka inovasi teoritis atau
konseptual memiliki konsep yang suram. Oleh karena itu upaya rekonstruksi Ilmu
Sosial harus melibatkan pluralisasi konseptual dalam konteks penghapusan
pembagian kerja global Ilmu Sosial.
Selanjutnya Alatas menyatakan bahwa masalah kebergantungan intelektual
di tingkat ide terkait erat dengan proses imitasi atau peniruan. Konsekuensi dari
kebergantungan ide adalah peniruan dalam pengajaran ilmu sosial, penelitian,
serta perencanaan dalam pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.
Kebergantungan intelektual pada ide-ide yang menimpa para ilmuwan Dunia
Ketiga, contohnya adalah ilmu-ilmu sosial di bekas koloni Inggris kemungkinan
akan didominasi oleh tradisi teoritis Anglo-Saxon.17
15 Alatas, Academic (b), pp. 84. 16 Alatas, Academic (b), pp. 81. 17 Syed Farid Alatas, Indigenization, Features and Problems, Asian Anthropology, 227,
2004, pp. 239.
73
Terlepas dari kebergantungan pada ide-ide, ada juga masalah
kebergantungan pada media pengetahuan seperti buku dan jurnal. Tingkat
kebergantungan akademik dapat diukur dari struktur kepemilikan dan kontrol dari
jurnal internasional. Angka-angka terbesar dari jurnal ilmu sosial dibuat oleh
ilmuwan di Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Italia dan Inggris. Menurut
Garreau sebagaimana dikutip Alatas, lebih dari 80% artikel dalam jurnal ilmu
politik di negara-negara tersebut disumbangkan oleh para ilmuwan yang menjadi
anggota organisasi profesional dengan kewarganegaraan yang sama dengan
negara tempat jurnal diterbitkan.18
Fenomena ini akhirnya menyebabkan terjadi impor besar-besaran karya
akademik di seluruh dunia. Alatas menyatakan bahwa pada akhirnya di Malaysia
atau India jauh lebih mudah untuk mendapatkan karya yang diterbitkan di
Amerika Serikat dan Inggris, daripada di negara masing-masing. Meskipun ada
upaya-upaya untuk mengembangkan industri penerbitan di beberapa negara Dunia
Ketiga, penerbitan dan distribusi masih didominasi oleh kekuatan ilmu sosial.
Akibatnya, ilmu sosial di Dunia Ketiga menyesuaikan pemilihan masalah, bahasa
komunikasi, dan metode penelitian sesuai persyaratan yang dikemukakan negara
pusat. Selain itu masalah kebergantungan pada media ide berhubungan erat
dengan kebijakan ekonomi yang berasal dari negara-negara maju yang
mengakibatkan pembuat kebijakan atau akademisi di negara-negara berkembang
harus menerima resep yang diberikan negara pusat.
Para ilmuwan negara Dunia Ketiga mengalami kebergantungan pada
teknologi pendidikan. Pada 1960-an dan 1970-an ketika banyak jurnal utama
dalam ilmu sosial yang menerbitkan artikel menggunakan metode statistik
canggih, negara-negara kaya cenderung memiliki keunggulan komparatif karena
kurangnya fasilitas komputerisasi pada banyak negara Dunia Ketiga. Meskipun
hal ini sudah tidak tepat lagi dengan semakin mudahnya memperoleh teknologi
tersebut, kebergantungan pada teknologi pendidikan tetap berlangsung dengan
cara yang lain. Bahan ajar seperti film dan instrumen laboratorium terus diimpor,
karena kurangnya inovasi dalam penciptaan kurikulum dan bahan ajar. Hal ini
18 Alatas, Academic, Op.Cit., pp. 85.
74
menurut Alatas disebabkan kurangnya dana dan fakta bahwa banyak pendidik di
negara Dunia Ketiga belajar di sekolah Barat, dan terus memanfaatkan Barat
untuk sumber daya mereka. 19
Selain itu, relasi kebergantungan ilmu-ilmu sosial juga terlihat dari
kedutaan besar, yayasan, lembaga pemerintah Barat yang sering mendirikan
pusat-pusat informasi mutakhir yang umumnya tidak tersedia pada universitas
lokal. Pusat-pusat informasi semacam itu mampu menyediakan banyak data dan
pengetahuan. Namun, pemilihan data akhirnya tetap menjadi hak prerogratif
organisasi asing yang menyediakan pelayanan.20
Kebergantungan pada bantuan untuk penelitian dan pengajaran juga terjadi
pada negara Dunia Ketiga. Lembaga Swadaya Masyarakat serta yayasan
perusahaan di Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Jerman memainkan peran
penting dalam pelatihan ilmuwan Dunia Ketiga dengan memberikan beasiswa,
dana penelitian ilmu sosial, dan menyediakan tenaga ahli untuk penelitian dan
pengajaran di lembaga negara berkembang. Dana-dana ini digunakan untuk
mensponsori penelitian, membiayai publikasi buku-buku lokal dan jurnal, serta
membeli keahlian dalam studi banding ke negara pusat.
Amerika Serikat misalnya, telah sangat aktif dalam memberikan bantuan
asing pada bidang pendidikan. Menurut Altbach, dana hibah untuk Perguruan
tinggi yang berdasarkan model Amerika telah didirikan di India, Indonesia, dan
Nigeria, serta di Amerika Latin. Sejumlah besar dana dan bantuan teknis telah
disediakan untuk mengembangkan universitas di negara-negara tersebut. Amerika
Serikat, Inggris, Perancis dan Jerman juga telah mensponsori studi bahasa dan
budaya di negara berkembang. Perancis sangat aktif mempromosikan bahasa
Perancis di bekas koloninya. Amerika Serikat juga aktif dalam membangun
lembaga pelatihan di negara berkembang. Namun keadaan ini mengakibatkan
lulusan mereka tidak mampu menemukan pekerjaan karena pelatihan yang mereka
jalani tidak berhubungan dengan kondisi lokal.21
19 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 86. 20 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 58. 21 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 87.
75
Ilmuwan Dunia Ketiga mengalami kebergantungan pada permintaan atas
keterampilan mereka. Mereka enggan kembali ke negara asal dengan alasan
kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung keahlian mereka. Akhirnya
negara yang ditinggalkan kekurangan sumber daya manusia unggul yang memiliki
efektivitas tinggi. Keadaan ini terus lestari dengan upah yang berlimpah dari
negara pusat, yang sulit diberikan institusi di negara asal. Kebergantungan pada
pengakuan terhadap karya mereka juga menyebabkan banyak ilmuwan Dunia
Ketiga menyanggupi semua hal agar artikel yang mereka tulis memperoleh
pengakuan pada jurnal dunia. Mereka mengikuti semua prosedur yang ditetapkan
negara pusat, untuk mengejar kredit agar memperoleh kenaikan pangkat akademik
di negara asalnya.
Keadaan ini sebenarnya dapat diatasi oleh negara-negara di Dunia Ketiga.
Banyak cara yang dapat dilakukan komunitas ilmuwan Dunia Ketiga untuk
melepaskan kebergantungannya pada ilmu sosial Barat. Menurut Alatas
sebenarnya negara Dunia Ketiga memiliki cukup banyak buku, baik asing maupun
lokal yang memungkinkan sebuah ide menarik bisa diteliti dengan asumsi yang
disesuaikan dengan latar belakang kondisi setempat. Mengenai kebergantungan
pada teknologi pendidikan, hal ini akan menjadi masalah hanya sebatas bila
teknologi pendidikan sangat penting bagi pengembangan ilmu sosial. Tetapi di
negara berkembang nyatanya banyak daerah yang menarik dalam ilmu sosial,
sehingga penelitian dengan berasaskan teknologi menjadi tidak terlalu penting.
Analogi kebergantungan ekonomi tidak sepenuhnya tepat karena tidak ada
organisasi pendanaan riset yang setara dengan Bank Dunia atau IMF. Namun dana
ini memungkinkan syarat dan kondisi dari hibah fleksibel untuk diberikan pada
setiap negara di dunia. Para ilmuwan dapat memutuskan bidang penelitian serta
metode sesuai dengan kondisi lokal. Program yang dilayangkan di Indonesia
misalnya, dapat dengan mudah dimodifikasi agar lebih relevan dengan situasi
lokal, sementara pada saat yang sama memenuhi persyaratan dari program
tersebut.
Teori Captive Mind atau benak terbelenggu yang dikemukakan oleh Syed
Hussein Alatas merupakan landasan penting diskursus alternatif terhadap
76
Eurosentrisme yang dikemukakan Syed Farid Alatas. Alatas menjadi penerus teori
captive mind yang dikemukakan Syed Hussein Alatas. Hampir setiap makalah
yang dikemukakan Alatas mengutip frasa captive mind beserta gejalanya, untuk
menganalisis fenomena Eurosentrisme dalam ilmu sosial di Negara-negara Dunia
Ketiga. Captive Mind hanya akan meluaskan penerapan ilmu sosial Amerika dan
Eropa ke konteks Asia tanpa mengadaptasi dengan tepat ide-ide atau teknik yang
diimpor. Para ilmuwan Asia merasa sangat memerlukan pengetahuan dari Barat
demi mempertahankan harga diri, terlepas dari manfaat objektifnya. Peniruan ilmu
sosial Barat menghinggapi semua tingkatan ilmiah, termasuk dalam memilih
masalah, analisis, abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi,
dan penafsiran.
Hingga kini, banyak ilmuwan yang berupaya melepaskan pengaruh negatif
captive mind, imperialisme akademik, dan kebergantungan intelektual dalam ilmu
sosial Dunia Ketiga. Berbagai upaya untuk melepaskan hal ini belum
menampakkan hasil yang menggembirakan. Analisis secara mendalam
menunjukkan bahwa masalah yang menimpa ilmu sosial tidak terlepas dari
fenomena lain yang ada dalam ilmu sosial. Fenomena tersebut ada dalam
tingkatan analisis dan metodologi yang telah menetapkan Eropa sebagai pusat
ilmu pengetahuan dunia. Fenomena ini adalah Eurosentrisme, sebuah istilah yang
telah dibahas pada bab II tentang fenomena dominasi Eropa dalam ilmu sosial di
seluruh dunia. Dalam skripsi ini, akan dipaparkan analisa Alatas untuk
menghadapi Eurosentrisme dalam ilmu sosial secara umumnya, dan sosiologi
secara khususnya.
B. Melepaskan Eurosentrisme dalam Sosiologi dengan Diskursus
Alternatif
1. Fenomena Eurosentrisme dalam Sosiologi
Eropa selama dua abad terakhir tidak diragukan lagi berada di puncak
dunia. Secara kolektif mereka merupakan negara dengan militer yang kuat dan
menikmati teknologi yang paling canggih. Mereka juga menjadi pencipta
teknologi yang dinikmati penduduk dunia. Fakta ini sebagian besar tampak tak
77
terbantahkan, namun yang menjadi masalah adalah ketika diferensiasi kekuasaan
dan standar hidup bangsa Eropa diterapkan pada semua negara di seluruh dunia.
Salah satu yang memperkuat gagasan ini adalah pendapat bahwa Eropa telah
melakukan sesuatu yang berjasa dan berbeda dari orang-orang di bagian lain
dunia. Inilah yang telah disebutkan pada bab II sebagai bentuk „keajaiban Eropa‟.
Eropa telah meluncurkan revolusi industri yang mengakibatkan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan, mereka telah menciptakan modernitas, kapitalisme,
birokratisasi, serta kebebasan individu.
Ilmuwan Dunia Ketiga yang mengakui Eurosentrisme sebagai masalah
dalam studi politik dunia dan ingin mengatasinya, perlu untuk melakukan refleksi
terus-menerus terhadap perkembangan gejalanya pada ilmu sosial. Menurut
Wallerstein, tren unik yang Eropa peroleh kini merupakan warisan Kristen Abad
Pertengahan, warisan dunia Ibrani, atau warisan gabungan hal tersebut (Yudeo-
Kristen).22
Modernitas menjadi suatu kebanggan yang diperoleh Eropa dengan
perjuangan panjang. Proses revolusi besar-besaran dialami pada sejarah mereka,
dan menuntut perombakan berbagai bidang, seperti struktur budaya, agama, dan
nilai maupun norma yang berlaku dalam masyarakat. Secara kontekstual Alatas
akhirnya menemukan bahwa masalah politik, ekonomi, sejarah dan budaya Eropa
mempengaruhi setiap segi kemunculan teori sosiologi modern.
Sebagai teori struktural, teori modernisasi memiliki visi evolusi
perkembangan sosial, politik, dan ekonomi. Akar visi ini dapat ditemukan dalam
teori klasik dengan keyakinannya atas kemajuan dan peningkatkan kompleksitas
masalah sosial, ekonomi, dan politik. Versi psikologis teori modernisasi
mengklaim bahwa masyarakat Barat (Euro-Amerika) memiliki sifat-sifat
psikologis yang diperlukan dalam keberhasilan ekonomi. Ciri-ciri tersebut
termasuk kebutuhan tinggi untuk berprestasi dengan disertai rasionalitas ekonomi.
Menurut Alatas, pendukung utama pandangan ini adalah Hagen, McClelland,
Inkeles dan Smith. Menurut Inkeles dan Smith, kontak dengan lembaga-lembaga
22 Wallerstein, Op.Cit., pp. 98.
78
modern menghasilkan orang-orang dengan sikap modern. Di antara sikap yang
dibahas oleh mereka adalah meningkatnya sekularisasi dalam masyarakat.23
Negara-negara terbelakang tidak dapat mengikuti jalan yang sama seperti
yang dilakukan oleh negara-negara maju karena hubungan evolusi sejarah dari
sistem kapitalis yang tidak merata. Hubungan kekuasaan yang tidak setara antara
Negara pusat dan negara pinggiran (terbelakang) tidak mengizinkan negara-
negara terbelakang untuk menjadi independen dan mandiri. Keterbelakangan ini
juga dapat dikaitkan dengan kebijakan negara-negara industri dan ekstensi mereka
dalam bentuk kelompok-kelompok elit di negara pinggiran. Selain itu, teori sistem
dunia melihat dunia sebagai satu kesatuan tunggal dengan pembagian kerja secara
hirearkis. Pendekatan teori sistem dunia ini menurut Alatas tepat digunakan untuk
mengkritik teori modernisasi karena kurangnya perhatian terhadap struktur
ekonomi dunia dan hubungan hirarkisnya.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab II, teori Modernisasi memberi
bentuk yang paling dikenal dengan karya Rostow. Dalam pengamatannya, secara
hirarkis Rostow membagi lima tahap perkembangan masyarakat yang harus
dilalui dalam rangka industrialisasi yang mempengaruhi studi pada sosiologi
pembangunan. Sementara lima tahap tersebut berasal dari pengalaman negara-
negara industri yang bahkan telah dipertanyakan. Pengamatan itu didasarkan oleh
pengalaman masyarakat Euro Amerika selama beberapa abad, yang tidak dialami
oleh masyarakat non-Eropa. Namun yang harus dipertanyakan adalah tahapan
pertumbuhan ini diadopsi oleh negara-negara terbelakang. Padahal hubungan
kekuasaan yang tidak setara antara negara-negara (industri) dan negara pinggiran
(terbelakang) tidak mengizinkan negara-negara terbelakang melampaui posisi
Eropa sebagai penguasa sistem dunia. Keterbelakangan yang dialami negara-
negara non-Barat juga dapat dikaitkan dengan kebijakan negara-negara industri
dan ekstensi mereka dalam sistem politik dunia.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dominasi pusat dan
pinggiran dalam sistem dunia tidak terlepas dari Eurosentrisme yang ada dalam
23 Syed Farid Alatas, “On The Indigenization of Academic Discourse, Alternatives:
Global, Local, Political,” Vol. 18, No. 3 (Summer 1993), pp. 309.
79
ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Alatas beranggapan bahwa ilmu sosial dan
humaniora harus memperbaiki kesalahan-kesalahan dan distorsi dari wacana yang
telah terlanjur berkembang dalam masyarakat dunia. Ilmuwan non-Eropa harus
menyerang akar permasalahan yang menyebabkan mereka terus terbelakang. Akar
masalah ini adalah Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Ilmuwan Dunia Ketiga juga
harus menyelesaikan masalah di tingkat produksi pengetahuan dalam pengajaran
dan penelitian. Hal ini pada gilirannya berarti kebutuhan yang lebih besar untuk
interaksi, antara masyarakat ilmiah dalam berbagai peradaban.24
Dalam artikel yang berjudul “The Problem of Academic Dependency:
Latin America and the Malay World”, Alatas memberi perbedaan mendasar antara
teori Orientalisme yang sangat terkenal dalam menggambarkan hegemoni Timur
dan Barat yang dikembangkan para Orientalis (orang-orang yang mengkaji
pemikiran non Barat) dengan teori Eurosentrisme dalam Ilmu sosial.
Secara umum, konteks struktural Orientalisme dalam ilmu sosial saat ini
adalah masalah kebergantungan akademik, seperti yang telah dijelaskan pada
subbab sebelumnya. Menurut Alatas, kebergantungan akademik merupakan
masalah yang ada pada dua tingkat, yaitu tingkat struktural yang ditandai dengan
pembagian kerja tertentu dalam ilmu sosial global yang dikelola oleh kebijakan
dan peraturan oleh birokrat dan administrator, serta tingkat intelektual, yaitu
kebergantungan akademik yang berkaitan dengan alam ide.25
Dalam permasalahan
studi di Asia Tenggara, Alatas menemukan masalah baik di tingkat epistemologis
dan empiris dalam disiplin ilmu sejarah, antropologi, sosiologi dan psikologi. Atas
latar belakang inilah Alatas membuat tiga poin:
1. Yang pertama menyangkut perbedaan antara Eurosentrisme dan
Orientalisme. Orientalisme adalah manifestasi dari etnosentrisme yang
menjadi versi khusus Eropa dalam berbagai bidang studi yang peduli
dengan masalah “Orient”. Sedangkan Eurosentrisme merupakan fenomena
yang lebih besar dan ditemukan di kalangan akademisi dan non-akademisi.
Ketika teori dan karya empiris diterjemahkan menjadi “ilmiah”, dengan
24 Syed Farid Alatas, “The Role of Human Sciences in The Dialogue Among
Civilizations,” Development And Society, Volume 31 Number 2, December 2002, pp. 265. 25 Alatas, The Problem of Academic Dependency: Latin America and the Malay World,
pp. 274.
80
perspektif Eurosentris, karya empiris mengambil bentuk orientasi
Orientalis yang menginformasikan karya akademis.
2. Kritik Orientalisme yang dikemukakan Edward Said biasanya
berhubungan dengan Timur Tengah dan secara khusus dengan studi Islam.
Tapi nyatanya kritik tersebut telah ada sebelum Said meluncurkannya.
Orientalisme telah dikatakan sebelumnya oleh AL Tibawi, Abdullah
Laroui, Anwar Abdel Malek, Talal Asad, SH Alatas, Fanon dan Césaire,
Pannikar, serta Romila Thapar. Semua tokoh tersebut menyatakan hal
yang sama, yaitu kerusakan akibat imperialisme dan kolonialisme. ....Biar
bagaimanapun kritik itu sebenarnya dimulai jauh lebih awal di Asia
Tenggara dalam karya pemikir dan pembaharu Filipina, José Rizal (1861-
1896).
3. Eurosentrisme seperti yang dimanifestasikan dalam ilmu-ilmu
sosial dan kegiatan manusia dalam bentuk Orientalisme tidak lagi
didasarkan pada dikotomi yang disebutkan di atas. Jika kita membatasi
definisi Orientalisme dengan dominasi dalam disiplin dan studi area, maka
kita dapat mengatakan bahwa Orientalisme telah melampaui hal tersebut.
Tapi masih ada cara di mana Orientalisme tetap dominan secara signifikan.
Hal ini berkaitan dengan marginalisasi teori non-Eropa dan konsep dalam
pengembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.26
Dalam pengertian terakhir ini, Alatas menyatakan bahwa Orientalisme
dalam sosiologi masih hidup hingga kini. Sosiologi yang baik membutuhkan
perhatian terhadap pembentukan konsep dan bangunan teori yang kokoh.
Sosiologi juga harus melepaskan dirinya dari kepentingan dan konteks budaya
Eropa. Namun kegagalan umum dari ilmu-ilmu sosial untuk memahami hal ini
justru telah mengakibatkan kelanjutan orientasi Orientalis dalam ilmu sosial,
seperti dalam bentuk marginalisasi non-Barat. Padahal marginalisasi ide-ide non-
Barat merupakan bentuk pengabaian tradisi non-Barat sebagai sumber teori dan
pembentukan konsep. Alasan dari proses marjinalisasi tersebut adalah dominasi
Orientalisme secara terus-menerus dalam ilmu sosial, termasuk sosiologi.
Secara umum Alatas menyusun kekhawatiran ilmu sosial di Dunia Ketiga
dengan perhatian sebagai berikut: Pertama-tama, ilmu-ilmu sosial harus
merumuskan masalah keterbelakangan. Kedua, perhatian ilmuwan ditujukan pada
peran masyarakat ilmiah untuk mengatasi masalah keterbelakangan. Ketiga,
masalah harus dirumuskan untuk menawarkan sebuah solusi. Solusi yang
26 Alatas, Ibid., pp. 274-275.
81
disajikan adalah universalisasi atau internasionalisasi ilmu-ilmu sosial, yang
berarti penerimaannya pada negara di Dunia Ketiga. Selain itu terdapat berbagai
dikotomi yang mendasari ilmu sosial Barat, seperti dikotomi antara Estetika dan
ilmiah. Estetika mengacu pada lingkup pengalaman non-kognitif sementara ilmiah
merujuk pada penjelasan kognitif. Dikotomi ini dinyatakan dalam berbagai
oposisi lain seperti emosional dibandingkan dengan rasional, intuisi dibandingkan
dengan pengetahuan, keindahan dibandingkan dengan kebenaran, subjektivitas
dibandingkan dengan objektivitas, dan simbolis dibandingkan dengan
kenyataan.27
Tujuan menyoroti dimensi retoris wacana ilmu sosial adalah untuk
mendorong para ilmuwan agar mempertimbangkan internalisasi teori sosiologi
yang berasal dari Barat. Ilmu-ilmu sosial dapat dianalisis dari sudut pandang
estetika seolah-olah mereka teks puitis atau sastra. Ilmu-ilmu sosial tidak hanya
didasarkan pada deduksi logis dan penelitian terkontrol, tetapi juga pada intuisi
dan pemahaman subyektif. Untuk alasan tersebut, teks ilmiah sosial juga sangat
puitis dan retoris seperti novel, puisi, dan drama. Retorika dan teks puitis tidak
terbatas pada estetika produksi sastra. Menurut Alatas, ilmu sosial dibentuk oleh
simbol yang didasarkan pada subjektifitas, perasaan dan interpretasi peneliti. Oleh
karena itu dibutuhkan pemahaman dan wawasan tegas mengenai kemungkinan
dalam menganalisis ilmu sosial dari sudut pandang estetika seperti sebuah novel,
puisi atau teks dramatik.28
Ada benarnya jika pengakuan sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya
sebagai aktivitas tekstual menunjukkan bahwa ada teknik retoris yang digunakan
oleh penulis Barat untuk membangkitkan pengakuan terhadap klaim kebenaran.
Sebuah wacana yang sukses memerlukan penggunaan metafora, metonim, ironi
dan sejenisnya untuk menyajikan versi realitas sebagai hal yang mendidik dan
menarik. Menurut Brown, studi tentang hubungan antara sosiolog dan para
pendengarnya dengan dimensi persuasif wacana sosiologis disebut sebagai puisi
sosiologi. Dengan kata lain, teori-teori sosial tidak hanya dibangun secara logis
27 Alatas, Academic (b) Op.Cit., pp. 91. 28 Ibid., pp. 91.
82
dan empiris, tetapi juga retoris. Pembangunan teori sosial melibatkan kerja teknik
retoris yang berfungsi untuk “membujuk” para penonton agar menerima versi
tertentu dari realitas. Keberhasilan penyebaran ini, sebagian tergantung pada
kekhawatiran umum dalam tingkat kognitif mereka.
Seperti halnya retorika dalam konsep “Religi” yang dihadirkan secara
universal dalam pengertian sosiologis, historis, dan fenomenologis, yang diambil
dari tradisi Kristiani (menjadi konsep kunci yang ditemukan pada sosiologi
agama). Ketika diterapkan pada Islam akhirnya menurut Joachim Mattes menjadi
“Kristenisasi kultural secara tersembunyi”. Bidang sosiologi agama dibangun di
atas kerangka konseptual yang hampir semuanya berasal dari Kristen. Dan oleh
karena itu diperlukan kosakata konseptual alternatif yang diambil dari berbagai
religi. Alternatif tidak menunjukan penggantian konsep-konsep Barat dengan
konsep lokal atau ulayat, tetapi memberi kesan terhadap sebuah kebutuhan untuk
berpikir melalui istilah universal, mengambil sumber-sumber ide dan konsep non-
Barat secara serius dalam Ilmu Sosial, dan mempertimbangkan asimilasi yang
lebih kritis terhadap konsep dan teori Barat.
Religio (religion) dalam bahasa Inggris yang merupakan serapan bahasa
Latin adalah istilah kolektif yang mengacu pada praktek-praktek beragam sekte di
sekitar Roma, sebelum munculnya agama Kristen. Ketika Roma menjadi Kristen,
Kristen menjadi kepercayaan yang dominan, dan semua keyakinan lain diserap
atau dihilangkan. Religion tidak diterapkan pada Kristen, karena Kristen
merupakan satu-satunya keyakinan yang sah, yang dikenal hanyalah Gereja.
Dengan Reformasi Protestan, Luther menyebut religion sebagai keyakinan Kristen
dengan cara hidup terpisah dari institusi Gereja Katholik. Pada abad ke-18,
“religion” berevolusi untuk digunakan sebagai konsep ilmiah, mengacu pada
sistem kepercayaan selain Kristen.29
Dalam karya-karya pengantar awal sosiologi seperti Prinsip Sosiologi
Spencer (1893), Ward Pure Sosiologi (1919) dan Prinsip Ross Sosiologi (1920),
istilah-istilah seperti “religion” digunakan secara bermasalah karena merujuk
tidak hanya agama Kristen tetapi juga Yudaisme, Islam, Budha dan Hindu.
29 Alatas, The Role, Op. Cit., pp. 269-270.
83
Masalah definisi dan konseptualisasi “agama” dan istilah terkait seperti “gereja”
dan “sekte”dilihat dari sudur pandang khas Kristen.30
Sementara “religion” berarti
semua keyakinan, ketika para ilmuwan Eropa menulis tentang agama kritis,
(mereka berada dalam pemikiran Protestan seperti dalam referensi Marx, yaitu
agama sebagai candu masyarakat). Institusional (Katolik) juga bertentangan
dengan agama orang-orang percaya (Protestan).
Konsep dasar religi seperti gereja, sekte, denominasi dan kultus, yang
diperkenalkan Giddens dalam sosiologi agama cenderung berasal dari satu tradisi
agama, yaitu Kristen. Hal ini tidak hanya berlaku pada teks Giddens, tetapi
tersebar luas di buku pelajaran sosiologi hingga kini. Meskipun benar bahwa
beberapa dari konsep-konsep ini dapat digunakan dengan cara yang lebih
universal dan berlaku untuk agama-agama non-Kristen, namun pada saat yang
sama tidak dapat disangkal bahwa sesuatu juga akan diperoleh dari konsep yang
sebanding atau paralel dari agama-agama lain.
Ketika “religion” diterapkan pada keyakinan selain agama Kristen,
misalnya, Islam atau Hindu, ada perbandingan implisit atau eksplisit dengan
agama Kristen, yang akhirnya menghasilkan ilusi realitas. Oleh karena itu,
seharusnya konsep ilmiah mengenai “religion” didefinisikan oleh selain agama
Kristen. Islam memiliki konsepnya tersendiri mengenai agama, yang berbeda
dengan agama lainnya. Contohnya adalah din (Islam) dan dharma (Hindu).
Alatas tidak menyarankan agar konsep ini diganti sesuai agama masing-
masing dalam buku pengantar sosiologi, namun konsep-konsep ini setidaknya bisa
diperkenalkan dan didefinisikan dalam rangka menyajikan pemahaman yang lebih
bernuansa dalam keberagaman agama. Sebenarnya Giddens sendiri mencatat
bahwa konsep gereja, sekte, denominasi dan kultus harus diterapkan dengan hati-
hati, karena mereka tidak selalu berlaku untuk agama-agama non-Kristen. Namun,
disatu sisi Giddens menyajikan statistik tentang keanggotaan gereja di Inggris dan
30 Syed Farid Alatas, “From Ja¯mi`ah to University, Multiculturalism and Christian–
Muslim Dialogue,” Current Sociology, 2006, 54, pp. 115.
84
daftarnya tidak hanya terdiri dari gereja-gereja Kristen, tetapi agama-agama lain
juga.31
Selain itu sejak fenomena sekularisasi, konsep agama dalam peradaban
Barat berada pada urusan pribadi, dan bukan sebagai masalah negara dan gereja.
Oleh karena itu ada dualitas seperti sakral dibandingkan profan, dan agama versus
non-agama. Agama di Barat juga mengacu pada keyakinan dan kehidupan pribadi
orang yang percaya. Berbeda dengan Islam yang tidak mendikotomikan antara
sakral dan profan. Misalnya, tidak ada perbedaan antara pendidikan sekuler dan
pendidikan agama.32
2. Melepaskan Eurosentrisme dalam Sosiologi dengan Diskursus Alternatif
Sekarang tiba saatnya untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan
dalam latar belakang skripsi ini. Pertanyaan tersebut adalah “Dimana posisi
pengetahuan yang dikonstruksikan oleh ilmuwan non-Barat atau ilmuwan di
Negara-negara Timur dan Selatan? Bagaimana relasi kuasa antara pengetahuan
metropole dengan periphery dan apa dampaknya? Apakah memungkinkan
membangun pengetahuan alternatif untuk menciptakan relasi yang lebih adil
antara metropole dan pheriphery?” Jawaban atas pertanyaan ini ada dalam
berbagai karya Alatas dalam konsep diskursus alternatif dalam ilmu sosial.
Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas merupakan koreksi terhadap
jenis-jenis ilmu pengetahuan yang diperkenalkan sejak era kolonial. Diskusi
mengenai keadaan ilmu sosial di Asia tidak muncul dari gerakan intelektual,
melainkan dari kelompok ilmuwan. Secara umum para ilmuwan memberi
perhatian terhadap masalah Eurosentrisme, peniruan tak kritis terhadap ide,
konsep, dan teori dari Barat, konteks kebergantungan akademis dan imperialisme
intelektual yang menjadi tempat berlangsungnya masalah Eurosentrisme.33
Label
diskursus alternatif lebih tepat karena para ilmuwan menempatkan diri sebagai
penentang terhadap apa yang diterapkan sebagai arus utama (mainstreem), yang
31 Ibid., pp. 128. 32 Alatas, The Role, Op.Cit., pp. 270. 33 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 76.
85
secara umum merupakan diskursus berorientasi Euro-Amerika yang terus
mendominasi ilmu sosial di sebagian besar masyarakat Asia.
Diskursus alternatif merupakan pemberontakan terhadap imperialisme
intelektual. Menurut Alatas, ciri-ciri diskursus alternatif adalah sebagai berikut:34
1. Melakukan kritik terhadap Eurosentrisme dan Orientalisme ilmu sosial.
2. Mengangkat masalah metodologis dan epistemologis dalam telaah
masyarakat, historiografi, atau filsafat sejarah.
3. Diskursus alternatif secara implisit atau eksplisit menaruh perhatian pada
analisis masalah yang ditimbulkan oleh pembagian kerja ilmu sosial,
dimana ilmu sosial menempati dirinya dalam keadaan konformitas, tiruan,
dan tidak orisinal.
4. Berkomitmen untuk merekonstruksi diskursus sosial dan sejarah
mencakup pembagian konsep, kategori, dan agenda riset yang relevan
dengan kondisi lokal atau regional.
5. Berkomitmen untuk memunculkan masalah orisinal dalam telaah sosial
dan sejarah.
6. Mengakui peran peradaban dan praktik budaya sebagai sumber ilmu
sosial.
7. Tidak mendukung penolakan atas ilmu sosial Barat secara in toto.
Pada dasarnya, Ilmu sosial memiliki dasar logika dan teori yang tidak
dapat disubordinasikan ke dalam label-label historis, kultural, maupun etnis
tertentu.35
Oleh karena itu telah banyak pakar yang berupaya melepaskan
dominasi ilmu sosial Barat yang bersifat Eurosentris. Di Asia, orang-orang
Indialah yang memimpin gerakan perlawanan terhadap pengetahuan Eurosentris.
Orang India merespon ide-ide Barat yang mencakup rasionalisme, positivisme,
dan materialisme sejarah.
Disebabkan faktor keturunan dan pendidikan intelektual yang mereka
terima selama ini, sebagian besar ilmuwan Dunia Ketiga umumnya beroperasi
34 Ibid., h. 77. 35 Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Teori Barat: Bongkar Wacana Atas Islam
Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
2008), h. 31.
86
dalam batas-batas ilmu positivis. Padahal sejak tahun 1970-an, sikap oposisi
terhadap ilmu positivis telah hadir di kalangan ilmuwan negara Dunia Ketiga.
Mereka menamakan hal ini dengan label sebagai counterism. Counterism
menentang mode pengetahuan Barat pada tingkat retorika, namun tetap berhasil
menggabungkan asumsi, teori dan konsep dari Barat. Positivisme dan counterism
masing-masing membuat ilmuwan sosial di Dunia Ketiga responsif terhadap
teknik retorika yang dikerahkan dalam proses penyebaran global ilmu-ilmu
sosial.36
Pengaruh positivisme dapat diukur dalam keberhasilan kuantifikasi
retorika. Kepercayaan pada gagasan bahwa kehidupan merupakan mesin yang
berjalan secara mekanistik menegaskan pola pikir positivistik. Konsep mekanika
dan kimia dalam ilmu sosial telah mengakibatkan pengurangan diskursif masalah
pembangunan secara teknis.37
Beberapa orang perintis diskursus alternatif dalam ilmu sosial ramai pada
paruh kedua abad ke dua puluh, meski sebenarnya mereka telah memulai
pekerjaan sejak abad ke Sembilan belas. Menurut Sinha sebagaimana dikutip
Alatas, kritik yang dilancarkan tersebut merupakan upaya dekolonisasi ilmu
sosial.
Rammohun Roy (1772-1833) merupakan sosok yang pertama kali
menentang pemikiran Eurosentris. Roy hidup dalam periode penyebaran agama
Kristen oleh misionaris Inggris pada masyarakat Hindu dan Muslim di India. Roy
bersikap kritis terhadap sikap misionaris Inggris yang merendahkan Hindu dan
Islam. Benoy Kumar Sarkar, (1887-1949) secara sistematis juga mengkritik
berbagai Indologi Orientalis. Dia menyerang gagasan Eurosentris sebagai bentuk
inferioritas orang Hindu dalam masalah sains dan teknologi, penekanan berat
sebelah pada dimensi spekulatif dan mistik hindu, serta klaim dikotomi Timur dan
Barat. D.P Mukerji (1955) mengatakan bahwa kegagalan dalam dunia intelektual
disebabkan pengabaian mereka terhadap realitas sosial di India. Sikap kritis ini
berlanjut hingga tahun 1970-an pada era ilmuwan seperti M.N Srinivas, Kapadia,
36 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 93. 37 Alatas, Academic (b),Op.Cit., pp. 93.
87
A.K Saran, N.K. Bose, J.P.S. Uberoi, T.N. Madan, dan Yogendra Singh yang
mencurahkan ide tentang sosiologi India.38
Alatas juga mengutip catatan Pieke (1997) mengenai Fei Xiaotong. Fei
Xiaotong (1947-1979) mengkritik jalannya perdebatan diantara para sosiolog.
Posisi yang diambil oleh para profesor dalam perdebatan mereka sebagian besar
didasarkan pada fakta-fakta dan teori-teori yang berasal dari sosiologi Barat.
Berbagai sekolah sosiologi Barat juga diperkenalkan ke Cina oleh pengikutnya.
Menurutnya “…biarpun berbagai aliran sosiologi Barat masing-masing
mencerminkan kekhususan pada satu porsi fenomena sosial, ketika dibawa ke
Cina, pemikiran tersebut menjadi teori-teori kosong yang terceraikan dalam
realitas sosial. Fei juga memperkenalkan antropologi fungsionalis untuk
mempelajari Kota dan Desa di Cina. Temuannya adalah cara orang Cina
mendefinisikan pribadinya pada dasarnya berbeda dari pola individualisme Barat.
Dia berupaya meluaskan dan merevisi teori-teori yang sudah ada.39
Para sosiolog Korea juga mempertanyakan relevansi sosiologi berdasarkan
dampaknya pada masyarakat dan menuntut perubahan kurikulum sosiologi. Di
Jepang berkembang ciri nihonjinron (teori-teori bangsa Jepang) yang membentuk
pandangan utama tentang Jepang yang menekankan homogenitas budaya dan
kesinambungan sejarah.40
Di dunia Melayu Asia Tenggara, pendukung seruan alternatif dalam
bidang non-akademis adalah Abdul Qadir Munsyi (1796-1854). Dalam karyanya
„Kisah Pelayaran Abdullah‟ (1938), dia mendukung penggunaan bahasa Melayu
sebagai media pengembangan kesadaran orang Melayu. Di Filipina pada zaman
setelahnya ada Jose Rizal (1861-1896) yang merintis gagasan Asosiasi
Internasional para Ahli Filipina yang bertujuan mempelajari Filipina dari sudut
pandang sejarah dan ilmiah. Tujuan Jose Rizal adalah mendekonstruksi warisan
epistemologis Eurosentris dengan mengangkat cara-cara ulayat dalam mencapai
pengetahuan, baik dalam penyingkiran klaim-klaim universalis psikologi Barat,
38 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 7. 39 Ibid.,. 40 Ibid., h. 9.
88
pengembangan kerangka kerja baru historiografi, maupun penerimaan sebuah
disiplin akademi baru seperti Filipinologi.
Di Indonesia, ilmuwan Belanda yang pertama kali mengusulkan diskursus
alternatif adalah J.C Van Leur yang mempertanyakan cocok tidaknya abad ke
delapan belas dijadikan dalam kategori sejarah Indonesia. Cendekiawan lainnya
dari Indonesia yang tercatat adalah Armijn Pane (1951) yang mempublikasikan
berbagai esai berisi gambaran besar mengenai sejarah Indonesia yang Indosentris.
Indosentrisme dapat dipahami sebagai upaya memahami koreksi sejarah Indonesia
yang sebelumnya tak lebih daripada upaya perluasan sejarah seberang laut
Belanda. Bentuk sejarah seperti ini tergabung dalam konsep sejarah Asiasentris
dimana Asia sebagai tuan rumahnya sendiri dan harus berdiri di halaman depan.
Dalam bidang sejarah, Syed Husein Alatas menggagas proposal mengenai
rekonstruksi sejarah kepulauan Melayu-Indonesia yang terkait dengan metodologi
dan filsafat sejarah. Karya lainnya lahir dari saudaranya Syed Muhammad Naquib
Al-Attas (1969) yang mengemukakan teori umum mengenai Islamisasi Kepulauan
Melayu-Indonesia. Al-Attas menggarapnya dengan meneliti konsep-konsep dan
istilah pokok yang berubah dalam bahasa Melayu pada abad ke enam belas dan ke
tujuh belas. Intinya para ilmuwan di Asia telah banyak mengkritik keadaan ilmu
sosial di masyarakat mereka. Kritik tersebut berada dalam banyak dimensi, namun
dipahami dalam konteks hubungan antara ilmu sosial Asia dan ilmu sosial Barat.
Sejak abad ke-19 di Asia Tenggara muncul kritik terhadap keadaan ilmu
sosial yang mengarah pada Eurosentrisme. Tokoh-tokoh ini adalah Syed Hussein
Alatas, M.L. Blake, Syed Farid Alatas, dan Vineeta Sinha di Singapura.41
Di
Filipina, Jose Rizal memegang peranan kunci yang menggagas ulang pemikiran
Antonio de Morga yaitu Sucesos de Las islas Filipinas. Pemikiran ini berkaitan
dengan pemetaan ulang sejarah Filipina yang menurutnya telah banyak dicampuri
kolonisasi Spanyol. Di Indonesia, ilmuwan Belanda yang pertama kali menentang
Eurosentrisme Ilmu sosial, dialah Jacob Cornelis van Leur. Orang Indonesia
sendiri Armin Pane adalah salah satu contoh yang mengkritik pandangan berat
41Di Indonesia penulis menyebutkan ada berbagai tokoh yang menentang Orientalisme
dan Eurosentrisme dalam ilmu sosial. Salah satunya adalah Kuntowijoyo, seorang pakar sejarah
yang menggagas ilmu sosial profetik.
89
sebelah Indiasentris mengenai sejarah Hinduisasi Jawa, yang gagal menghasilkan
pemahaman mengenai watak orang-orang Indonesia yang menyerap elemen
Hindu.42
Menjadi alternatif berarti beralih ke filsafat, epistemologi, sejarah, ilmu
sastra yang berasal dari tradisi non-Barat. Alternatif berarti relevan dengan
lingkungan, kreatif, orisinil atau bukan tiruan, nonesensialis, kontra-Eurosentris,
otonom, dan terlepas dari Negara dengan pengelompokan nasional atau
transnasional. Pada akhirnya diskursus alternatif yang universal merujuk pada
teori lokal dan teori barat yang diterapkan dalam konteks lokal. Alatas selanjutnya
mengklasifikasikan ragam diskursus alternatif, yaitu:
1. Ulayatisasi/indigenisasi
Menurut Turner, sikap penolakan terhadap Barat melahirkan
gagasan ulayatisasi/indigenisasi (indigenization) pengetahuan pada
masyarakat Dunia Ketiga.43
Kecenderungan regional dan lokal justru
menguat ketika masyarakat dunia sedang menghadapi arus globalisasi
peradaban yang menjadi keniscayaan pada kehidupan dunia modern.
Kritik postmodern terhadap kategori-kategori universal memiliki
hubungan erat dengan proses indigenisasi.44
Indigenisasi merupakan respon ilmuwan sosial non-Barat atas
ketidakmampuan ilmu sosial Euro-Amerika dalam menciptakan wacana
yang relevan dan membebaskan dalam konteks masyarakat Asia, Afrika
dan Amerika Latin. Masalah relevansi telah diakui oleh para sarjana non-
Barat sejak awal abad ini, dan istilah indigenisasi memperoleh ruang sejak
1970-an. Indigenisasi diikuti pada reaksi yang berusaha untuk
menciptakan ilmu-ilmu sosial yang lebih relevan, otonom, progresif,
termasuk memindahkan ilmu-ilmu sosial menjadi lebih ulayat.45
42 Syed Farid Alatas, “Alternative Discourses in Southeast Asia” dalam Jurnal Sari, Vol.
19, 2001, p. 57. 43 Turner, Op.Cit., h. 29. 44 Ibid., h. 33. 45 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp.227.
90
Namun istilah Indigenous atau indigenisasi menempati posisi
problematik karena ia terkesan mengolektifkan berbagai macam populasi,
padahal pengalaman mereka hidup dibawah kolonialisme jelas sangat
berbeda. Istilah kolektif lain yang sering digunakan adalah Bangsa
Pertama (First Peoples), Bangsa Asli (Native Peoples), Puak Pertama
(Nation Peoples) atau Peoples of the Land, Aboriginal atau Bangsa Dunia
Keempat (Fourth World Peoples). Istilah Indigenous Peoples baru muncul
tahun 1970-an dari perjuangan yang dilancarkan American Indian
Movement (AIM) dan The Canadian Indian Brotherhood.
2. Seruan ilmu sosial otonom
Konsekuensi logis dari kritik Eurosentrisme dalam ilmu sosial
adalah untuk mendorong dan melakukan semacam gerakan intelektual
yang akhirnya akan menimbulkan tradisi otonom ilmu-ilmu sosial. Tradisi
ini akan menghasilkan pemikiran yang universal dan menerapkan ilmu
sosial dalam mode otonom untuk masalah-masalah tertentu dengan cara
tidak meniru dan kritis terhadap konsep dan metodologi yang berasal dari
Barat.
Gagasan tentang ilmu sosial otonom yang menentang nativisme
dan negara-negara bangsa sebagai basis diskursus alternatif merupakan
sebuah konsepsi yang dikembangkan oleh Syed Hussein Alatas.
Konsekuensi logis dari kesadaran tentang masalah captive mind adalah
sebuah tradisi ilmu sosial otonom yang akan berfungsi menghapuskan atau
membatasi pengaruh demonstrasi intelektual dari captive mind.46
Seruan pendekatan yang otonom dalam ilmu sosial tidak boleh
dikacaukan dengan sekedar usulan untuk menyoroti masalah lokal dengan
metodologi yang tepat. Seruan tersebut merujuk pada pembentukan tradisi
ilmu sosial yang mencakup pemunculan dan perlakuan terhadap problem-
problem yang orisinal serta pokok permasalahan riset baru, termasuk
pemunculan konsep-konsep baru.
3. Seruan kreativitas intelektual endogen
46 Syed Hussein Alatas, The Captive Mind, Op.Cit., pp. 20.
91
Endogenisasi merujuk pada upaya untuk terlibat dalam kreativitas
intelektual dalam konteks pemunculan masalah yang orisinal, penumbuhan
konsep dan teori baru, sintesis antara pengetahuan Barat dan non-Barat.
Sebagai contohnya adalah penerapan kreatif teori Marx tentang produksi
Asia dan telaah teori Ibn Khaldun mengenai perubahan sosial. Endogen
merujuk pada usaha kreativitas intelektual, bukan pada elemen-elemen
pembentuk hasil yang dicapai.47
4. Dekolonisasi Ilmu-ilmu Sosial
Di banyak bekas koloni Eropa, administrasi kolonial membutuhkan
informasi terperinci dan berjangkauan luas mengenai peradaban dan
masyarakat yang mereka kuasai. Ilmu-ilmu sosial merupakan elemen
kapitalisme kolonial yang sangat dibutuhkan. Lantaran tabiat kolonialis
ilmu sosial tidak menghilang setelah kemerdekaan, maka tugas pertama
yang dituntut dari para intelektual postkolonial adalah dekolonisasi
wilayah budaya, termasuk bidang akademik. Dekolonisasi menyiratkan
sebuah kebebasan dari tabiat ilmu yang dikukuhkan penguasa kolonial
masa lalu dan sebuah kebijakan ilmiah kritis dibangun di atas telaah
komparatif Negara-negara yang tidak untuk dianalisis.48
Menurut Smith, dekolonisasi adalah sebuah proses yang berurusan
dengan imperialisme dan kolonialisme di segala lapisan.49
Dekolonisasi
ilmu sosial memiliki arti keterputusan dari kebudayaan Barat. Sebagai
contoh dekolonisasi sosiologi di Afrika Utara, yang kemudian diikuti
kemunculan sosiologi maghribi, memiliki arti pada teori-teori yang
terlembagakan, seperti fungsionalisme yang melegitimasi tatanan mapan.
Dekolonisasi sosiologi juga berarti bahwa peneliti harus menghindari
keterpencilan yang disengaja di menara gading agar bisa terus menerus
bersentuhan dengan realitas sosial.
Untuk Mignolo dan Quijano, proyek dekolonialisasi atau
decolonising adalah membatasi epistemologi kolonial dan Eurosentris,
47Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 87. 48 Ibid., h. 89. 49 Smith, Op.Cit., h. 3
92
serta berusaha untuk memulihkan status dalam sebuah analisa.50
Pergeseran konsep “alienasi” menjadi “keterasingan” juga harus secara
luas dipahami, karena hal tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam
dekolonisasi. Pergeseran tersebut menolak untuk mengatur dunia ke dalam
kotak terutama didefinisikan oleh “budaya”, yang cenderung membatasi
daripada memperdalam pemahaman.51
5. Globalisasi Ilmu Pengetahuan
Keunggulan ekonomi dan politik Eropa tercermin dalam monolog
geografi dimana Eropa mendiktekan kepada bangsa lain tentang apa dan
siapa mereka dalam dunia yang baru. Disiplin yang diglobalkan semacam
itu merupakan alat imperialis dalam arti misalnya memetakan wilayah
dunia menurut nilai ekonomi. Secara tidak langsung hal ini menyiratkan
pembagian dunia menjadi wilayah pusat yang putih dan beradab,
sementara wilayah pinggirannya adalah nonputih dan barbar.52
Ketika
mendeskripsikan bentuk imperialisme Eropa awal abad kesembilan belas,
imperialisme cenderung digunakan minimal dalam empat cara berbeda:
a. Imperialisme sebagai ekspansi ekonomi,
b. Imperialisme sebagai penundukan Others,
c. Imperialisme sebagai sebuah gagasan atau semangat beserta
berbagai macam pengejawantahannya.
d. Imperialisme sebagai suatu bidang pengetahuan diskursif.53
Imperialisme adalah sebuah sebuah ideologi kompleks yang
memiliki ekspresi kultural, intelektual dan faktor teknis yang amat luas.
Pandangan tentang imperialisme diposisikan dalam semangat pencerahan
melalui transformasi kehidupan ekonomi, politik dan kultural di Eropa.
Imperialisme menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses
perkembangan Negara modern, ilmu pengetahuan, ide-ide maupun sosok
50 Saba, Op.Cit., pp. 5. 51 Ibid., pp. 20. 52 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h.92. 53 Linda Tuhiwal Smith, Dekolonisasi Metodologi, (Yogyakarta: InsistPress, 2005), h. 5.
93
manusia modern. Imperialisme juga merupakan sebuah mode orang-orang
Eropa untuk mengembangkan rasa serba Eropa mereka.54
Hettne menunjukkan bahwa solusi untuk melawan imperialisme
akademik adalah dengan mengadopsi pemahaman yang lebih realistis dari
ilmu-ilmu sosial Barat sebagai yang mencerminkan konteks geografis dan
historis tertentu55
Sebagai alat jajahan berupa pemetaan geografi dunia,
diperlukan upaya mendeskripsikan arah agar bentuk imperialisme ini
terhenti. Oleh karena itu diperlukan geografi kontemporer dan geografi
sejarah alternatif dan secara lebih umum ilmu sosial yang mampu
melampaui dualisme serta mampu menjelaskan keanekaragaman ekonomi
politik di Dunia Ketiga.
6. Sakralisasi ilmu pengetahuan
Menurut Alatas proyek sakralisasi ilmu pengetahuan terdapat
dalam banyak tradisi religi dunia termasuk Kristen dan Islam. Tantangan
sekularisme telah mendorong teori sosial Kristen membuat kompromi
dengan rasionalitas sekuler dengan menerima pembacaan realitas yang
dikemukakan ilmu-ilmu kemanusiaan, kemudian mengubahnya menjadi
teologi dan etika sosial.56
Inilah yang disebut sebagai teologi pembebasan.
Disatu sisi, Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan memulihkan
kembali pengalaman religius dan spiritualitas pada tempatnya yang tepat
dalam pengetahuan yang mencari aktivitas dengan mensakralisasi ilmu-
ilmu kemanusiaan. Ilmu-ilmu itu dianggap telah didesakralisasikan atau
disekulerkan di Barat. Pengetahuan yang disakralisasikan atau scientia
sacra adalah pengetahuan yang terletak di jantung setiap wahyu dan
merupakan pusat lingkaran yang melingkupi dan mendefinisikan tradisi.57
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan pada sebuah konferensi di
Mekkah pada 1977 yang disusun oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas
yang mengemukakan isu tersebut dalam konteks diskusi mengenai konsep
54 Alatas, Op.Cit., h. 7. 55 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 235. 56 Alatas, Op.Cit., h. 93. 57 Ibid., h. 94.
94
pendidikan Islam. Pada konferensi tersebut Ismail R. al-Faruqi menyajikan
sebuah makalah tentang Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Dalam karyanya ini
al-Faruqi mengkritik filsafat yang mendasari ilmu sosial Barat. Al-Faruqi
juga juga menjabarkan kekurangan metodologi Barat dan menafikkan
objektifikasi yang didengungkan. Selanjutnya al-Faruqi menggagas ilmu
sosial Islami yang memiliki prinsip kesatuan kebenaran.58
Ide tentang sains Islam dan kekhususan mengintegrasikan semua
pengetahuan dari luar dunia Muslim, khususnya metodologi Islam
merupakan tema-tema karya Seyyed Hussein Nasr. Kemudian ide
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas menuntut pengisolasian
elemen dan konsep pokok dalam ilmu-ilmu kemanusiaan produk
peradaban dan budaya Barat misalnya visi dualistik tentang masyarakat,
humanisme, “penonjolan terhadap realitas drama dan tragedi yang
dianggap universal di wilayah spiritual dan transendental, atau kehidupan
batin manusia, sehingga menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen
nyata dan dominan dalam hakekat dan eksistensi manusia.” Setelah
terbebas dari elemen dan konsep kunci Barat, barulah ilmu pengetahuan
diisi dengan elemen dan konsep pokok Islam, sehingga menjadikannya
pengetahuan sejati, yakni yang sesuai dengan tabiat alamiah esensi (fitrah)
manusia. Islamisasi pengetahuan adalah pembebasan pengetahuan dari
penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekular.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, Kuntowijoyo menyatakan perlunya
Ilmu sosial yang akan digunakan untuk transformasi sosial. Kuntowijoyo
berupaya membuka kemungkinan adanya perumusan ulang, revisi, dan
rekonstruksi secara terus menerus baik melalui refleksi empiris maupun
normatif.59
Ilmu sosial transformatif tidak berhenti hanya untuk
menjelaskan fenomena sosial, namun juga berupaya untuk
mentransformasikannya.60
58 Ismail R. al-Faruqi, Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial dalam Islam dan Perspektif Sosiologik,
Ed. Abubakar A. Bagader, (Surabaya: Amarpress, 1991), h. 1-19. 59 Kuntowijoyo, Op.Cit., h. 481. 60 Ibid., h. 481.
95
Dengan itu Kuntowijoyo menggagas Ilmu Sosial Profetik (ISP)
yang tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan
cita-cita etik dan profetik tertentu. Ilmu sosial profetik memuat kandungan
nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Perubahan
itu didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan
transendensi. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Tujuan
liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan,
keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Tujuan transendensi
adalah menambahkan nilai transendental dalam kebudayaan.
Dengan ilmu sosial profetik, Kuntowijoyo melakukan reorientasi
terhadap epistemologi, yaitu reorientasi terhadap mode of thought dan
mode of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan tidak hanya rasio dan
empiri, tapi juga dari wahyu.61
Hal ini dikarenakan Islam adalah
paradigma terbuka yang merupakan peradaban dunia. Islam juga mata
rantai peradaban dunia. Renaissance yang mengambil nilai-nilai filsafat
Yunani tidak dapat dilepaskan dari peradaban Islam.
Sakralisasi ilmu pengetahuan juga digagas Mahatma Gandhi yang
merupakan seorang Hindu. Menurutnya pendidikan telah membawa
pengaruh baik langsung maupun tidak kepada ilmuwan di Dunia Ketiga.
Menurut Gandhi, “aku tidak memusuhi orang Inggris, tetapi aku
memusuhi peradaban mereka.” Swaraj atau penguasaan diri sendiri
menuntut tidak hanya pengusiran Inggris dari India, tetapi juga
penghapusan institusi-institusi peradaban Barat yang dibawa Inggris ke
India. Gandhi menganggap peradaban modern sebagai kejahatan antireligi,
dan bertentangan dengan moralitas. Padahal peradaban India pada intinya
bersifat spiritual.62
7. Telaah-telaah Subaltern
Telaah-telaah subaltern secara formal berasal dari India pada tahun
1982. Subaltern adalah atribut umum subordinasi masyarakat Asia Selatan,
61 Ibid., h. 484. 62 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 95-96.
96
baik yang terungkapkan dalam istilah kelas, kasta, umur, gender, dan
posisi, maupun dalam bentuk yang lain. Telaah subaltern berangkat dari
upaya mereinterpretasikan dan menulis ulang sejarah kelas pekerja di
India. Telaah subaltern dipicu sebagai penolakan dasar atas pendekatan
elitis Nasionalis-borjuis dan elitis-kolonial dalam telaah tentang sejarah
India. Ia bertujuan menunjukkan bahwa pembentukan bangsa India dan
pengembangan kesadaran Nasionalis bukanlah semata-mata prestasi kaum
elite. Tugas telaah subaltern adalah mengembangkan sebuah diskursus
alternatif yang didasarkan pada penolakan atas ciri monisme palsu, dan
ahistoris.
8. Teori Postkolonial
Periode postmodernisme yang diadopsi telaah subaltern adalah
salah satu penyebab munculnya post-kolonialisme. Sejarah diklaim telah
bergerak melampaui modernitas menuju era postindustri, dimana industri
kebudayaan dan gerakan sosial yang baru menempati posisi penting. Post-
kolonial merupakan label deskriptif atas kondisi global setelah periode
kolonialisme. Kondisi global ini memusatkan perhatian pada kondisi
marginalitas atau hibriditas, keruntuhan Negara-negara dan globalisasi
media elektronik.63
9. Nasionalisasi Ilmu sosial
Menurut Alatas Nasionalisasi ilmu sosial dapat merujuk pada
beberapa contoh dari Cina, Taiwan, Korea, India, Indonesia, dan Filipina.
Di India, Nasionalisasi ilmu sosial berawal dari upaya dekolonisasi pikiran
dan pengetahuan untuk menasionalisasi permasalahan. Ilmu sosial India
harus didasarkan pada sikap kemandirian intelektual swaraj-nya.64
Nasionalisasi ilmu sosial dengan variannya seperti sinicisasi, ilmu sosial
swaraj, Filipinologi, dan ilmu sosial Indonesiasentris menyiratkan
penerapan konsep dan kebudayaan untuk mempelajari bangsa. Dalam
63 Ibid., h. 99. 64 Ibid., h. 101.
97
praktik selanjutnya, ilmu sosial Barat tidaklah ditolak, tetapi agak
didomestikkan.65
10. Memutuskan Hubungan
Teori pemutusan hubungan (theory of delinking) mengakui
ketidakseimbangan dalam produksi ilmu sosial di seluruh masyarakat dan
pembagian kerja antara produsen dan konsumen pengetahuan sebagai
akibatnya. Maka bukan kebetulan jika kekuatan ekonomi yang besar juga
merupakan kekuatan ilmu sosial yang besar.66
11. Deschooling
Gagasan ini berasal dari Ivan Illich tahun 1973. Illich menentang
wajib sekolah karena pada anak-anak kebijakan tersebut menanamkan
sikap buta dan tidak kritis atas aturan sosial yang berorientasi disiplin dan
sangat dirasionalisasikan. Melalui sekolahan, Barat menkonstruk imajinasi
terhadap ide-ide Timur (Orient). Sekolah juga cenderung menjadi alat
penyeragam, mereduksi orang ke dalam denominator umum yang paling
rendah dan karena itu merintangi perkembangan kreativitas individual.
Setelah menelusuri berbagai karya yang ditulis Syed Farid Alatas,
ditemukan bahwa Alatas lebih memusatkan perhatiannya pada tiga jenis diskursus
alternatif, yaitu Indigenisasi, Sakralisasi ilmu sosial, dan penyeruan ilmu sosial
otonom. Namun skripsi ini memusatkan perhatian hanya pada indigenisasi ilmu
sosial. Lalu, penelusuran berikutnya dalam skripsi ini didasarkan pada beberapa
artikel yang dikemukakan Alatas mengenai Indigenisasi Ilmu pengetahuan yang
berjudul On the Indigenization of Academic Discourse, Indigenization: Problems
and Concept, serta artikel lainnya.
Menurut Alatas, indigenisasi tidak mengacu pada paradigma baru atau
perspektif teoritis dalam ilmu sosial. Indigenisasi dapat disebut sebagai gerakan
intelektual ilmuwan Dunia Ketiga dalam menghadapi klaim universalisme ilmu
pengetahuan Barat. Indigenisasi merupakan karya berbagai penulis dari berbagai
65 Ibid., h. 102. 66 Ibid., h. 105.
98
disiplin ilmu dalam ilmu sosial, yang sebagian besar prihatin dengan upaya
pembebasan kolonialisme akademis. Selain itu mereka juga berupaya melepaskan
ilmu sosial Euro-Amerika yang tidak relevan dengan situasi dan kondisi
masyarakat.67
Menurut Benhagen sebagaimana dikutip Alatas, secara umum indigenisasi
dipahami sebagai revolusi untuk melawan “imperialisme intelektual”, serta
komponen dalam pemberontakan melawan dominasi ekonomi-politik Barat.
Pertierra mengakui peran ilmu-ilmu sosial indigenik sebagai senjata dalam
perjuangan neo-kolonial, asalkan bertindak sebagai counter-point antara negara
dan masyarakat ilmu sosial yang menjadi lawan alat penjajahan kehidupan
masyarakat sipil.68
Selain itu, Sinha memandang panggilan untuk indigenisasi ilmu-ilmu
sosial timbul dari kebutuhan untuk pembersihan ilmu-ilmu sosial Eurosentrisme.
Pola pikir Non-Barat dan praktek-praktek budaya dilihat sebagai sumber teori
ilmu sosial, sementara pada saat yang sama ilmu sosial Barat tidak harus ditolak
secara in toto. Indigenisasi proyek ilmu sosial disusun menjadi penolakan secara
kategoris hal yang berasal dari Barat, namun perlu ditekankan bahwa proyek
indigenisasi bukan untuk mengganti Eurosentrisme dengan nativisme atau posisi
dogmatis lainnya.69
Pieke menunjukkannya dalam bidang antropologi. Dengan mengacu ke
China, seorang ilmuwan dapat berbicara tentang antropologi ulayat yang matang
hanya setelah menghasilkan korpus pengetahuan yang komparatif dan lintas
budaya. Kebutuhan untuk penelitian komparatif dan lintas budaya didasarkan
pada gagasan bahwa indigenisasi antropologi menghasilkan ide-ide, konsep, dan
perdebatan yang diinformasikan oleh hermeneutika yang ada pada budayanya
sendiri. Menurut Alatas, Peran penelitian komparatif dan lintas budaya hanya
dapat memiliki efek indigenisasi yang diinginkan antropologi jika penelitian
67 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 232. 68 Ibid., pp. 233. 69 Ibid., pp. 234.
99
tersebut dilakukan oleh orang yang sudah sadar tentang masalah imperialisme
akademik, captive mind dan relevansi.70
Menurut Enriquez, generasi dan penggunaan sudut pandang adat dapat
didekati dengan dua cara. Indigenisasi dari dalam mengacu pada proses di mana
konsep-konsep kunci, metode dan teori adat diuraikan, dikodifikasikan,
disistematisasikan, dan kemudian diterapkan. Di sisi lain, indigenisasi tanpa
mengacu pada modifikasi dan terjemahan dari bahan impor yang pada akhirnya
berasimilasi secara teoritis dengan budaya.71
Secara umum, apa yang dimaksud
dengan indigenisasi oleh Enriquez dan oleh penulis lain mengacu pada
pembangunan sebagai pola bembangunan endogen. Oleh karena itu upaya serius
harus dilakukan untuk membawa lebih banyak ilmu-ilmu sosial yang relevan,
asimilasi selektif eksogen elemen (Barat) harus dianggap sebagai bagian penting
dari aktivitas intelektual endogen.72
Adapun, dalam rangka membuat hubungan yang kritis dalam adopsi antara
teori pembangunan dan normalisasi di Dunia Ketiga, diperlukan kejelian dalam
pemikiran kritis di wilayah bermasalah sebagai berikut:
1. Analis faktorgenik dibandingkan analisis aktorgenik. Analisis
faktorgenik mengacu pada hasil dari tindakan manusia untuk bertahan
lebih lama sebagai seorang individu dan kelompok (eksternal). Aktorgenik
mengacu pada apa yang ditemukan dalam diri individu atau kelompok.
Studi pembangunan cenderung menekankan faktorgenik dengan
mengorbankan analisis aktorgenik. Misalnya, dalam pernyataan „Di
banyak negara berkembang, kebijakan moneter dan fiskal serta pinjaman
yang berlebihan selama tahun 1970 mengakibatkan inflasi dan neraca
pembayaran yang tidak berkelanjutan akibat kurangnya perhatian terhadap
pelaku ekonomi. Teori indigenisasi dalam pembangunan harus
memperbaiki ketidakseimbangan antara analisis faktorgenik dan
aktorgenik.
2. Redundansi studi pembangunan. Ada kecenderungan studi
pembangunan yang redundan karena sifat yang sangat umum. Contohnya
adalah sebuah artikel di negara-negara berkembang sosialis yang
mengungkapkan beberapa hukum dasar dan kendala pada pembangunan
yang given. Misalnya anggapan bahwa sebuah negara yang berinvestasi
terlalu sedikit tidak akan menikmati pertumbuhan ekonomi; negara yang
berinvestasi terlalu banyak tidak akan menikmati pertumbuhan ekonomi;
70 Ibid. 71 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 234. 72 Ibid., pp. 235.
100
negara sosialis harus berusaha untuk mencapai keseimbangan antara
insentif individu dan kolektif, material dan bujukan moral, dan sebagainya.
3. Kehadiran teori dan konsep yang salah. Di sini kita prihatin
dengan relevansi teori dan konsep, bahkan dalam pengaturan teori Barat.
Mari kita lihat sebuah contoh dari teori ekonomi. Secara umum, teori
modernisasi didasarkan pada asumsi seorang pelaku ekonomi. Model
seperti masyarakat terdiri dari kepentingan-kepentingan individu tanpa
sebuah budaya dan ideologi.
4. Yang relevan dari teori-teori Barat dan konsep dalam konteks
non-Barat. Di sini saya mengacu pada gagasan bahwa ada teori dan konsep
yang mungkin relevan dalam masyarakat Barat, tetapi tidak begitu dalam
masyarakat non-Barat. Hal ini memerlukan kemungkinan alternatif lokal.
Sebagai contoh, konsep otoritas yang berasal dari karya-karya Ibn Khaldun
mungkin lebih relevan daripada Weber. Contoh lain dari bidang studi
pembangunan menyangkut konsep pengangguran.
5. Ketidakmampuan untuk membedakan suatu hal universal dari
yang partikular. Ada banyak kebingungan seperti konsep yang universal
dan partikular. Keduanya dimasukkan di bawah kategori universal.
Pertimbangkan konsep urbanisasi berikut. Kota di Barat menjadi pengaruh
peradaban yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi. Ciri-ciri
sosiologis dan psikologis ini dibutuhkan untuk berfungsinya ekonomi
modern yang dibesarkan di kota. Namun, di banyak negara non-Barat,
dikotomi desa-kota justru disarankan, sedangkan dalam teori-teori Barat
tidak berlaku bentuk kota seperti di negara-negara non-Barat. Penekanan
pada urbanisasi dalam teori modernisasi sama saja dengan mengambil
posisi pro-urban dalam perdebatan lama tentang perbedaan desa-kota. Ini
mengasumsikan superioritas tertentu mengenai organisasi sosial perkotaan
(dan dalam hal ini urbanisme Barat). Apa yang diasumsikan pembangunan
sebagaimana yang termaktub dalam urbanisasi adalah transisi dari budaya
tradisional pedesaan ke budaya modern perkotaan. Urbanisasi demikian
dipahami sebagai Westernisasi, pengambilan pada nilai-nilai modern
sebagai lawan nilai-nilai tradisional. Urbanisasi dalam arti ini dipandang
sebagai sebuah fenomena universal. Fenomena lain yang sering diambil
untuk menjadi universal padahal sebenarnya tidak adalah sekularisasi,
melemahnya ikatan keluarga, dan konsep pembangunan itu sendiri.
6. Imitasi negatif. Tidak hanya teori dan konsep kritis yang
diterapkan dalam masyarakat non-Barat, tetapi ada juga kecenderungan
untuk meniru apa yang dilakukan. Sebuah contoh di sisi pendidikan. Tidak
ada kuliah tentang sosiologi korupsi atau sosiologi imitasi di universitas-
universitas non-Barat. Saya cenderung berpikir bahwa setidaknya satu
alasan untuk ini adalah tidak adanya program seperti itu di universitas-
universitas Barat. Tidak adanya kuliah seperti di universitas-universitas
non-Barat adalah refleksi dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap
masalah tersebut. Dalam hal ini, adopsi yang tidak kritis dari hasil
pengembangan teori adalah kegagalan untuk mengidentifikasi kenyataan
yang bertentangan dengan patologi diskursif pembangunan.
101
7. Kurangnya perhatian terhadap isu-isu karena metodologi. Weber
menyebut pentingnya nilai-nilai yang membentuk kepentingan ilmuwan.
Yang pasti, tanpa ide-ide evaluatif dari para peneliti, tidak akan ada prinsip
seleksi subjek-materi dan pengetahuan yang bermakna dari realitas
konkret. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam beberapa daerah
studi pembangunan, terlepas dari nilai-nilai, metodologi juga berperan
dalam membentuk kepentingan ilmuwan. Dengan kata lain, metodologi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan obyek
penyelidikan. Contohnya adalah masalah korupsi di negara-negara
terbelakang. Terlepas dari kenyataan bahwa korupsi tersebut umumnya
dianggap menjadi masalah, namun tidak pernah menjadi objek
penyelidikan di kalangan mahasiswa. Hal ini sebagian disebabkan oleh
kenyataan bahwa metode yang berlaku umum seperti penelitian survei dan
analisis multivariat tidak dapat segera diterapkan untuk masalah ini.
Seseorang tidak dapat mewawancarai orang-orang korup dan memperoleh
data yang akurat, serta tidak dapat dengan mudah memperoleh indikator
yang memadai tentang korupsi. Masalah korupsi belum menjadi objek
bidang yang didefinisikan dengan baik di mana berbagai perspektif teoritis
yang telah dikembangkan dan didukung oleh kerja empiris. Di sini juga,
ada kegagalan untuk mengidentifikasi dan menentukan patologi nyata
dalam pembangunan.73
Wacana tentang pembangunan dan masalah yang terkait dengan adopsi
tidak kritis di negara terbelakang juga mengembangkan mata pelajaran dunia di
bawah prosedur normalisasi, imitasi, atau adopsi yang tidak kritis teori-teori
pembangunan Barat. Padahal teori-teori pembangunan Barat sekedar berfungsi
sebagai wadah normalisasi. Hasil imitasi dalam studi pembangunan di Dunia
Ketiga terus dibebani oleh masalah yang di antaranya telah tercantum di atas.
Imitasi mengabadikan karya-karya dalam studi pembangunan yang cenderung
faktorgenik, berlebihan, dan didasarkan pada asumsi yang keliru tentang sifat
manusia, budaya, dan universalisasi ciri-ciri khusus peradaban Barat. Setiap
masalah yang menimpa studi pembangunan yang dibahas di atas dan telah
disimpan dalam karya-karya ilmuwan Dunia Ketiga menjalani prosedur
normalisasi dalam sejumlah cara yang berbeda, diantaranya:
1. Penyederhanaan masalah pembangunan. Masalah analisis faktorgenik dan
redundansi dalam studi pembangunan berfungsi untuk mengurangi
masalah keterbelakangan. Seperti ukuran pasar, terms of trade, penetrasi
73Alatas, On The Indigenization, Op.Cit., pp. 321-324.
102
investasi asing secara langsung, dan sebagainya, yang membuat masalah
menjadi kurang kompleks. Hal ini berfungsi untuk menyederhanakan
masalah keterbelakangan untuk mempersiapkan Dunia Ketiga dalam
prosedur normalisasi. Akhirnya solusi atau praktek normalisasi akan
membawa pada pinjaman, bantuan luar negeri, investasi langsung, transfer
teknologi, pelatihan profesional, beasiswa, pengendalian jumlah
penduduk, dan sebagainya.
2. Kesalahan spesifikasi patologi pembangunan. Masalah teori dan konsep-
konsep yang keliru maupun yang tidak relevan ketika dialihkan ke
pengaturan non-Barat mengakibatkan pelaksanaan kebijakan yang tidak
memadai. Bahkan kebijakan yang tidak memadai tersebut
diimplementasikan, padahal hanya sebuah normalisasi. Sebagai contoh,
asumsi yang keliru atas pelaku ekonomi dapat dikaitkan dengan kebijakan
ekonomi yang tidak manusiawi, karena mengabaikan keprihatinan spiritual
dan budaya.
3. Pengabaian patologi nyata dalam pembangunan. Hasil imitasi negatif
mengabaikan masalah yang tidak dianggap sebagai masalah dalam
pengaturan negara-negara industri maju. Seperti dalam contoh korupsi.
4. Normalisasi sebagai Westernisasi. Berbagai praktek normalisasi ditulis
dalam istilah proses modernisasi. Tetapi karena kebingungan terhadap ciri
universal dan partikular, ciri-ciri khusus pada peradaban Barat diambil
untuk menjadi universal. Prosedur normalisasi berlangsung di bawah
naungan Westernisasi, yaitu dalam konteks manusia, agama, organisasi
sosial, dan kenegaraan Barat.74
Setelah subjek domain untuk proses patologis ditemukan, berbagai teknik
yang dirancang untuk menormalkan domain ini dapat diterapkan. Strategi
berikutnya adalah profesionalisasi pembangunan dengan cara menjamurnya
bidang dan subbidang dalam studi pembangunan. Tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi sifat perkembangan masyarakat, dengan tujuan untuk
merumuskan kebijakan dan mengarahkan mereka ke arah yang benar, untuk
74 Ibid., pp. 324-325.
103
memproduksi rezim kebenaran dan norma-norma tentang pembangunan.
Akhirnya, ada strategi untuk pelembagaan pembangunan. Hal ini mengacu pada
pembentukan organisasi internasional, badan-badan perencanaan nasional, dan
badan-badan pembangunan daerah yang berfungsi sebagai agen penyebaran.
Meskipun ketiga strategi penyebaran pembangunan telah membawa banyak
manfaat bagi Dunia Ketiga dalam hal identifikasi area masalah dan implementasi
kebijakan dan program, namun hal tersebut juga memungkinkan praktisi Barat
mempertahankan kontrol dan kewaspadaan atas Dunia Ketiga.75
Ada benarnya jika wacana pembangunan harus dianalisis tidak hanya
dalam masalah penindasan, hukum atau eksploitasi, tetapi juga dalam hal
kekuasaan yang dibawa melalui normalisasi. Proses-proses patologis harus
diidentifikasi negara berkembang, dan agenda normalisasi harus diatur apakah
komposernya merupakan liberal atau neo-Marxis. Proses normalisasi yang berasal
dari wacana pembangunan diwujudkan dalam perumusan dan perencanaan
kebijakan dan menyediakan konteks di mana masalah imitasi ilmu sosial Barat
harus dilihat. Berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengembangan
dan konsolidasi mereka ke dalam bidang studi pembangunan dirancang untuk
berbicara tentang kebenaran dalam pembangunan, sehingga masyarakat
berkembang dapat dinormalisasi (misalnya, infus nilai-nilai Barat, atau bagaimana
untuk membungkam tradisi agama untuk memfasilitasi pembangunan).
Tujuan dari normalisasi seolah-olah untuk meningkatkan standar hidup,
meningkatkan produktivitas, meningkatkan distribusi pendapatan, meningkatkan
pendidikan, dan sebagainya. Beberapa tujuan ini terpenuhi di beberapa daerah,
tetapi proses normalisasi dan kontrol disiplin tetap masih bisa dilihat. Proses
normalisasi di Dunia Ketiga mempengaruhi para akademisi, karena mereka
menjalani pelatihan di berbagai instansi metropolitan, sehingga melestarikan dan
memperkuat normalisasi dalam pengembangan masyarakat. Oleh karena itu
penting dilihat imitasi tidak kritis ilmu sosial Barat dalam konteks normalisasi
tersebut.76
75 Ibid., pp. 326. 76 Ibid., pp. 327.
104
Masalah imitasi nyatanya telah menyebabkan panggilan untuk indigenisasi
ilmu-ilmu sosial di negara berkembang. Tapi ada beberapa hambatan untuk
melakukan indigenisasi yang harus dianalisis. Masalah yang dihadapi bukan
hanya imitasi, jika tidak hati-hati, upaya yang dilakukan ilmuwan tidak
menghasilkan wacana membebaskan, tapi justru dapat mempertahankan
“mekanisme dominasi imperial” oleh pusat kepada pinggiran. Di bidang budaya,
konsep imitasi saja tidak cukup mendukung eksploitasi pusat pada pinggiran.
Tanpa menghubungkan imitasi kekuasaan dalam sistem dunia, setiap pernyataan
tentang imitasi akan menjadi tesis lemah dan tidak bisa dipertahankan.77
Secara khusus, Alatas berupaya menjauh dari konsep monoton imitasi dan
tidak melihat keadaan ilmu sosial masyarakat non-Barat berdasarkan reifikasi
kekuasaan melalui wacana pembangunan. Reifikasi, sebagaimana dikatakan
Lukacs, mengacu pada gagasan bahwa produk manusia diyakini memiliki
keberadaan yang terpisah, dan memaksa kontrol lebih dari manusia. Manusia,
dalam masyarakat kapitalis menghadapi realitas yang dibuat oleh dirinya sendiri.
Dalam karya Marx, konsep reifikasi datang dengan sangat jelas pada gagasan
tentang fetisisme komoditas. Buruh “lupa” bahwa mereka sendiri yang
memberikan komoditas nilai mereka kepada kapitalis. Sebaliknya mereka percaya
nilai yang melekat dalam komoditas yang mereka hasilkan, atau bahwa pasar
menghasilkan nilai ini.
Marx percaya bahwa ada kebenaran obyektif yang harus ditemukan “di
luar sana” dan mereka telah menemukannya dalam ilmu sosial Barat. Dalam hal
ini mereka lupa bahwa pengetahuan adalah realitas yang dikonstruksi secara
sosial. Jika kita mempertimbangkan tubuh pengetahuan yang disebut ilmu sosial
Barat (termasuk pengetahuan yang dihasilkan oleh para ilmuwan non-Barat) yang
terdiri dari ide-ide reifikasi, maka kita mengatakan bahwa itu adalah ilmu sosial
Barat yang mendominasi berbagai ekspresi peradaban di dunia non-Barat. Sama
seperti kontrol kapitalis dan memiliki akses ke struktur reifikasi kapitalisme,
sehingga kontrol ilmuwan Barat yang memiliki akses ke ide-ide reifikasi. Tapi
77 Ibid., pp. 318.
105
menurut Alatas hal ini tidak cukup, para ilmuwan non-Barat perlu bekerja di luar
teknik dimana reifikasi pengetahuan menyadari kekuasaannya.78
Selain itu, sistematika pengetahuan perlu disesuaikan dengan budaya asli,
seperti halnya ilmu sosial Barat yang didasarkan pada pengalaman sejarah dan
praktek budaya mereka. Dalam cara yang sama masyarakat non-Barat, tanpa
membuang ilmu sosial Barat, perlu mendasarkan ilmu-ilmu sosial mereka pada
filosofi adat, epistemologi, sejarah, dan tradisi lokal. Penting untuk dicatat bahwa
bidang penerapan ilmu sosial ulayat tidak terbatas pada masyarakat atau
peradaban di mana ia dikembangkan. Tujuan dari hal ini adalah untuk
menunjukkan apa yang termasuk akar budaya untuk membentuk kerangka teori.
Menurut Alatas pada dasarnya kegiatan ilmu sosial ulayat dilakukan pada empat
tingkatan:
1. Pada tingkat metateoretis, indigenisasi mengacu pada analisis yang
mengungkapkan pandangan dunia, ontologis, epistemologis, dan asumsi
yang mendasari etika karya ilmiah sosial. Misalnya, bagaimana residu
kapitalisme kolonial diabadikan dalam pemikiran masyarakat post-
kolonial. Dengan kata lain, sosiologi pemikiran post-kolonial akan
mengungkapkan bagaimana ilmuwan di Dunia Ketiga menyadari dirinya
saat terjebak dalam kategori pemikiran kolonialis atau neokolonialis.
2. Pada tingkat teoritis, indigenisasi mengacu pada konsep dan teori-teori
pengalaman sejarah ulayat serta praktek-praktek budaya mereka.
3. Pada tingkat empiris, indigenisasi mengacu pada fokus masalah yang lebih
relevan dengan Dunia Ketiga yang sampai sekarang diabaikan. Misalnya,
korupsi merupakan masalah serius di banyak masyarakat berkembang,
tetapi hampir tidak ada pekerjaan empiris yang dilakukan pada daerah ini.
4. Pada tingkat ilmu sosial terapan, indigenisasi menentukan obat, rencana,
dan kebijakan, dan bekerja dengan organisasi sukarela, organisasi non-
pemerintah, serta organisasi pemerintah.79
78 Ibid., pp. 319. 79 Ibid., pp. 311-312.
106
Selain itu menurut Alatas indigenisasi ilmu sosial harus memiliki agenda
sebagai berikut:
1. Mempersoalkan status epistemologi konsep-konsep ilmu sosial, termasuk
konsep “ulayat/indigenik”, “native/asli”, “Barat”, dan “non-Barat”.
2. Membumikan teori sosial menurut kondisi politik dan sosial budaya
sebuah lokalitas, tanpa mesti menolak ilmu sosial Barat.
3. Meneorisasi politik global academia, dengan sebuah pandangan untuk
membongkar perannya dalam pembagian kerja ilmu sosial, dimana para
ilmuwan non-Barat menjadi pengumpul data empiris, sementara para
ilmuwan Barat menjadi teoritisinya.
4. Mengakui keanekaragaman sumber teori sosial, yakni menghargai semua
peradaban sebagai sumber potensial bagi teoritisasi ilmu sosial.
Ilmu sosial indigenik adalah ilmu sosial yang didasarkan pada pengalaman
sejarah dan praktik budaya ulayat dalam arti yang sama, sebagaimana ilmu sosial
Barat.80
Indigenisasi dari dalam merujuk pada proses elaborasi, kodifikasi,
sistematisasi, kemudian penerapan metode, konsep, dan teori indigenik secara
semantik. Indigenisasi dari luar merujuk pada modifikasi dan penerjemahan
materi impor yang akhirnya diasimilasi secara teoritis dan kultural. Dalam hal ini
ilmuwan berharap bisa membuka kemungkinan bagi filsafat, epistemologi, dan
sejarah lokal agar dapat menjadi basis pengetahuan.
Satu set proposisi yang disajikan sebagai pembentuk sosiologi Cina,
misalnya, harus memenuhi persyaratan yang kompleks dan berat untuk bisa
menjadi milik disiplin sosiologi. Persyaratan tersebut mencakup metodologi
eksperimental-statistik di mana ilmu sosial Barat memiliki keunggulan
komparatif. Berbagai kalangan yang berusaha untuk melakukan indigenisasi ilmu-
ilmu sosial dalam masyarakat masing-masing, tidak akan mudah diterima sebagai
bagian dari berbagai disiplin ilmu sosial. Sebagai syarat untuk menjadi anggota,
mereka harus berurusan dengan berbagai penentu dari sesuatu yang harus
direduksi menjadi variabel. Dalam sebuah dunia di mana ilmu sosial positivis
80 Alatas, Diskursus, Op.Cit, h. 83.
107
mendominasi, validitas epistemologi ilmuwan sosial Dunia Ketiga sering ditolak.
Pada saat itu mereka tidak bisa berharap agar suara mereka didengarkan.81
Selain itu, dalam oposisi antara benar dan salah, Foucault memberi contoh
bagaimana literatur Barat selama berabad-abad menciptakan sebuah klaim
kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Klaim kebenaran mereka beroperasi dalam
mendefinisikan bentuk penyebarkan wacana dan teknik yang mereka gunakan.
Dalam hal ini ide-ide Foucault dimanfaatkan oleh Alatas karena membuat
hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan yang berguna dalam menempatkan
masalah imitasi dan perspektif indigenisasi.82
Alatas melanjutkan, bahwa upaya indigenisasi ilmu-ilmu sosial
menghadapi sejumlah hambatan sebagai akibat dari pertemuan kolonial dengan
tradisi terus ilmu sosial Barat pada Dunia Ketiga. Ilmu-ilmu sosial Barat
mengakar kuat pada banyak negara berkembang.83
Selain itu, Alatas menyatakan
bahwa ada retorika merusak milik indigenisasi ilmu pengetahuan. Retorika
merusak tersebut adalah:
Pertama-tama, istilah disertai dengan gagasan yang indigenik telah
dimutilasi untuk beberapa derajat karena mengacu pada hal fisik, negara dan
wilayah yang didefinisikan secara abstrak. Bentuk ilmu pengetahuan indigenik
terikat dalam rincian fisik dan struktur biotik dari tempat tinggalnya. Kedua, telah
dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas bahwa indigenisasi mengasumsikan
bahwa ada tradisi ilmiah sosial lokal atau adat sebagai dasar untuk membangun
teori aslinya, yang umumnya tidak sesuai. Ketiga, ada pandangan bahwa
indigenisasi menyiratkan pengakuan bahwa ilmu sosial Barat universal, dan
bahwa hal itu hanya perlu dilokalisasi atau dijinakkan agar dapat memberikan
kontribusi terhadap ilmu sosial. Keempat, alasan lain untuk reaksi negatif terhadap
istilah indigenisasi harus dilakukan dengan cara yang yang telah digunakan dalam
wacana politik. Sebagai contoh, selama pemerintahannya di Korea Selatan, Park
81 Alatas, On The Indigenization, Op.Cit., pp. 329. 82 Ibid., pp. 313. 83 Ibid., pp. 327.
108
Chung-Hee telah melakukan indigenisasi demokrasi, untuk membenarkan
kekuasaan otoriter dengan basis Konghucu.84
Kelemahan lain datang dari kalangan non-Barat sendiri. Upaya ilmu sosial
ulayat tidak selalu menemukan sekutu dalam ilmu sosial interpretatif. Pertemuan
antara indigenisasi ilmu sosial dan ilmu sosial interpretatif seringkali mendorong
nativisme. Dalam ilmu sosial interpretatif, titik asli menjadi kriteria deskripsi dan
analisis tentang ilmuwan. Nativisme, mengacu pada pencarian esensi dari budaya
yang lain dan menyoroti perbedaan dan pertentangan mutlak antara budaya Barat
dan non-Barat.
Menurut Alatas, potensi berbahaya nativisme dalam upaya indigenisasi
terdiri atas dua jenis. Salah satunya adalah bahwa ilmu sosial indigenik jatuh ke
dalam perangkap yang sama, yaitu kecenderungan untuk menegakkan dan
melestarikan keunggulan sistem budaya dan politik Barat. Kedua, ilmu sosial
indigenik, dalam merayakan oposisi mutlak antara budaya Barat dan Timur,
sering mengakibatkan impor besar-besaran pemikiran Barat yang akan digantikan
oleh pemikiran ulayat. Padahal kritik terhadap ilmu sosial Barat dalam hal kontrol
dan pembatasan yang diberikan tidak boleh terbatas pada kritik terhadap
epistemologi positivis, tapi harus diperluas pada kecenderungan nativis dalam
ilmu sosial interpretif.
Selain itu, konsekuensi logis dari Orientalisme secara terbalik dan auto-
Orientalisme adalah nativisme. Hal ini mengacu pada tren asli di antara para
ilmuwan Barat dan lokal. Hal ini memerlukan penolakan total pada pengetahuan
Barat.85
Klaim seperti hanya orang Indonesia yang benar-benar dapat memahami
budaya dan masyarakat Indonesia harus dihindari. Namun demikian, harus
ditekankan bahwa berbagai konsepsi indigenisasi, khususnya di bidang
antropologi, sosiologi dan psikologi, menentang pendekatan nativisme
pengetahuan.
84 Alatas, Indigenization, Op.Cit. pp. 239. 85 Ibid., pp. 237.
109
Menurut Alatas proyek indigenisasi ilmu pengetahuan memerlukan upaya
serius dengan melakukan analisa pada tingkat konseptual dan empiris dalam
beberapa hal, yaitu:
Pertama, Indigenisasi akan membutuhkan klasifikasi berbagai
bentuk imitasi di bidang metateori, metodologi, bangunan teori,
penelitian empiris, dan perumusan kebijakan. Ini akan diperlukan untuk
menetapkan seperangkat kriteria relevansi untuk membedakan antara
adopsi tidak kritis dengan adopsi kreatif yang diterapkan pada saat
melakukan indigenisasi. Selain itu, mekanisme dan cara-cara adopsi tidak
kritis yang tidak memfasilitasi pembangunan harus dipetakan. Sebagai
contoh, apa implikasi dari teori ilmu sosial positivis teori kebijakan
pembangunan? Sampai sejauh mana penelitian empiris saat ini dalam
mengembangkan masyarakat yang tidak relevan dengan kebutuhan
masyarakat tersebut? Dalam hal apa yang kebijakan hanya dipindahkan
dari negara-negara industri maju tanpa memperhitungkan kondisi lokal?
Kedua, panggilan untuk indigenisasi akan melibatkan studi
tentang strategi dan teknik normalisasi yang timbul dari adopsi tidak
kritis dan penerapan teori pembangunan di Dunia Ketiga. Apa sajakah
kebijakan dan program pembangunan yang terlibat dalam proses
normalisasi ini? Di sini akan diperlukan penelitian mendalam untuk
menarik perbedaan antara masalah asli pembangunan di satu sisi, dan
kreasi dari kelainan di sisi yang lain. Misalnya, kemiskinan merupakan
masalah asli, tapi kurangnya analisa kritis adalah kelainan diskursif.
Namun pertanyaan lain menyangkut klasifikasi normalisasi adalah
Apakah ada bentuk dan manifestasi dari normalisasi yang berbeda, dan
bagaimana hal itu bisa diidentifikasi?
Ketiga, kegiatan ilmiah sosial ulayat berarti studi tentang berbagai
cara di mana suara adat dikendalikan. Beberapa prosedur dan prinsip-
prinsip yang terlibat dalam hal ini telah dibahas dalam bagian
sebelumnya dengan mengacu pada Foucault. Yang pasti, ada prinsip-
prinsip lain serta teknik, misalnya tentang wasit dalam jurnal ilmiah.
Bagaimana dan sejauh mana kreativitas ulayat dihambat oleh standar,
prasyarat, dan evaluasi yang terlibat dalam wasit jurnal internasional?
Keempat, harus ada upaya sadar untuk terlibat dalam kegiatan
ilmiah sosial dengan maksud untuk memperhitungkan pandangan dunia,
konteks sosio-historis, dan praktek-praktek budaya masyarakat ulayat
sehingga konsep dan teori ulayat dapat dihasilkan. Beberapa contoh ini
telah disajikan dalam bagian sebelumnya.
Kelima, sangat penting bahwa upaya tersebut pada ilmu sosial
ulayat memiliki implikasi sendiri untuk praktek politik, kerja sosial,
perumusan kebijakan, dan pelaksanaan program. Tapi bagaimana teori
indigenisasi mempengaruhi praktek pembangunan harus diartikulasikan.
Misalnya, bagaimana konsep adat tentang pengangguran mempengaruhi
kebijakan makroekonomi yang dirancang untuk mengekang
pengangguran?
110
Dan akhirnya, harus dinyatakan bahwa panggilan untuk
indigenisasi tidak secara simultan merujuk pada panggilan untuk
nativisme atau orientalisme terbalik. Hal ini mengacu pada tren di antara
kedua ilmuwan Barat dan lokal yang melakukan penolakan terhadap
impor besar-besaran ilmu sosial Barat. Indigenisasi harus dilihat sebagai
panggilan simultan untuk internasionalisasi selama yang terakhir ini
dipahami bukan sebagai proses sepihak, melainkan sebagai salah satu
yang berasal dari masyarakat berkembang, sembari menggabungkan
secara selektif ilmu-ilmu sosial Barat.86
Panggilan untuk indigenisasi secara simultan merupakan panggilan untuk
universalisasi ilmu-ilmu sosial. Hal ini mengandaikan asumsi tentang status
kognitif ilmu sosial. Hal yang harus dilakukan adalah Pertama-tama menyatakan
bahwa ilmu sosial adalah wacana universal dan bahwa versi nasional atau
peradaban adalah sebuah distorsi. Di sisi lain, seseorang bisa menuduh ilmu sosial
Barat etnosentrisme dan mengganti kondisi ini dengan etnosentrisme lokal
(nativisme, pembalikan orientalisme, dan sebagainya). Setiap orang dapat
berkontribusi dalam menempatkan ilmu sosial universal yang memiliki berbagai
ekspresi peradaban atau kebudayaan. Selanjutnya ilmu sosial berusaha untuk
mengisi kekosongan dalam wacana universal, yaitu pengungkapan adanya
berbagai ekspresi ulayat.87
Tujuan dan metode ilmu pengetahuan tidak diragukan
lagi seragam di seluruh dunia, tetapi masalah ilmu pengetahuan dalam kaitannya
dengan masyarakat berbeda-beda, seperti upaya menjadikan ilmu sosial berbasis
pada ajaran suatu agama yang disebut Alatas sebagai sakralisasi ilmu
pengetahuan. Kali ini yang akan dibahas secara singkat adalah sakralisasi dalam
ilmu sosial Islam.
Menurut Alatas, ekspresi dalam ilmu sosial Islam diatur oleh kebenaran
dalam dua cara yang sesuai dengan dua tren utama dalam ilmu sosial Islam. Pada
tren pertama, aspirasinya adalah untuk kembali ke logika di masa penemuan
rasionalitas dengan penuh kehati-hatian. Tujuan dari rasionalitas tersebut adalah
untuk menunjukkan manusia pada jalan pendakian dari persepsi dunia fisik ke
dunia spiritual. Disatu sisi konsepsi rasionalitas instrumental terdapat dalam
86 Alatas, On The Indigenization, Op.Cit., pp. 332-334. 87 Ibid., pp. 312-313.
111
tradisi positivistik modern, menyangkal jika rasionalitas dijadikan pegangan oleh
ilmuwan Muslim. Kecenderungan kedua dalam ilmu sosial Islam adalah konsep
“ilmiah” yang ada dalam tradisi intelektual Muslim yang berada pada sains positif
sebagaimana dipahami di Barat.88
Ilmu-ilmu sosial Islam tidak boleh terbatas hanya pada penanggulangan
masyarakat Muslim, tapi harus diperluas untuk penafsiran seluruh dunia dari sudut
pandang Islam. Ilmu sosial Islam yang universal, kemudian disandingkan dengan
ilmu-ilmu sosial Barat yang melibatkan interpretasi tidak hanya peradaban Barat,
tetapi juga peradaban non-Barat.89
Wacana demikian dapat disebut sebagai
objektifikasi Islam.
Seperti halnya dalam penulisan sejarah Islam yang sering dilakukan para
Orientalis. Sejarah Islam harus ditulis dari sudut pandang pengalaman kaum
Muslimin daripada penjajah lainnya. Ketika penulisan ilmiah sejarah dan ilmu
sosial dilakukan dengan pengalaman dan pikiran umat Islam, maka tulisan-tulisan
tersebut dapat dikategorikan masuk ke dalam sudut pandang seorang Muslim atau
Islamic Worldview. Akhirnya yang dibutuhkan saat ini adalah lembaga
pengetahuan sistematis yang didasarkan pada berbagai budaya Islam, karena
dengan cara yang sama ilmu-ilmu sosial Barat didasarkan pada budaya Barat,
khususnya sejarah dan filsafat Barat. Misalnya masyarakat yang merupakan pusat
evolusionisme fungsional pada gilirannya menginformasikan berbagai teori
pembangunan yang ketika ditelusuri kembali ke zaman Aristoteles. Dalam cara
yang sama, ilmuwan sosial Islam perlu mendasarkan teori dan konsep mereka
tentang sejarah dan pemikiran Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW.90
Selanjutnya timbul pertanyaan berikutnya, Apakah sumber yang mendasari
ilmu-ilmu sosial Islam? Jawabannya adalah Al-Quran, Sunnah (tradisi Nabi) dan
berbagai ilmu-ilmu Islam seperti fiqih (yurisprudensi), kalam (teologi skolastik),
tasawuf (metafisika), dan filsafat (filsafat). Selain itu, teori-teori ilmiah sosial
harus berasal dari sejarah Islam. Namun, kontribusi dari Barat dan ilmu-ilmu
88 Ibid., pp. 330. 89 Alatas, Reflectionon The Idea of Islamic Social Science, Comparative Civilizations
Review, 60-86, 1986, pp. 60. 90 Ibid., pp. 61.
112
sosial lainnya tetap harus diperhitungkan. Perlu ditekankan bahwa penjelasan
Alatas dalam Ilmu Sosial Islam harus terlepas dari Islamosentris, sebagai lawan
dari ilmu sosial Eurosentris.
Ilmu Sosial Islam harus membuat klaim universalitas. Konsep dan teori
yang berasal dari berbagai sumber Islam harus mampu menghasilkan pemahaman
untuk masyarakat non-Muslim juga. Ilmu-ilmu Sosial Islam harus dapat
memahami semua umat manusia. Tugas berat kemudian adalah untuk
mendamaikan dua posisi yang tampak bertentangan. Klaim universalitas tidak
dapat menyangkal pemahaman dari peradaban lainnya. Regenerasi pemikiran
Islam, oleh karena itu secara bersamaan harus dilakukan dengan upaya melakukan
rekonsiliasi.
Rekonsiliasi tersebut mengandaikan asumsi tentang status kognitif dari
ilmu-ilmu sosial. Ada sejumlah asumsi yang mungkin, Pertama-tama adalah
wacana universal Ilmu Sosial Islam dan bahwa versi nasional atau peradaban
adalah sebuah distorsi. Di sisi lain, seseorang dapat kembali ke relativisme budaya
yang menuduh ilmu sosial Barat etnosentris, namun menggantikan hal ini justru
dengan etnosentrisme Islam yang dapat dipahami dalam dua cara: (1) ilmu sosial
Islam hanya berlaku untuk masyarakat Islam dan (2) ilmu sosial Islam menolak
pemahaman dari peradaban lain. Posisi ini tidak boleh diambil berkaitan dengan
status kognitif ilmu sosial. Akhirnya Alatas mengusulkan posisi ketiga, yaitu
menempatkan ilmu sosial yang universal yang memiliki berbagai ekspresi
peradaban atau kebudayaan, semua berkontribusi terhadap pemahaman umat
manusia. Proyek yang Alatas lakukan adalah usaha untuk mengisi kekosongan
wacana universal dalam ilmu sosial, yaitu tidak adanya ekspresi peradaban
Muslim.91
Alatas menyebutkan bahwa indigenisasi dan pengembangan endogen
diperlukan dalam upaya mengembangkan ilmu sosial yang relevan bagi
masyarakat Muslim. Perlu ditekankan bahwa asimilasi selektif unsur eksogen
harus dianggap sebagai bagian dari kegiatan endogen. Setiap upaya untuk
mengembangkan ilmu-ilmu sosial Islam akan memerlukan penjagaan prinsip-
91 Ibid., pp. 63.
113
prinsip regeneratif dalam pikiran Muslim. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, generasi ilmu-ilmu sosial Islam membutuhkan pemahaman tentang
kekurangan dari ilmu sosial kontemporer dalam masyarakat Muslim. Hal ini
diperlukan untuk menangani masalah Negara, yaitu imitasi dan kebergantungan
vis-a-vis ilmu-ilmu sosial Barat.
Dalam berbagai literatur menunjukkan bahwa banyak Muslim tertarik
untuk menyangkal masa lalu kolonial dan membangun masyarakat yang mandiri.
Selama dan setelah masa kolonial, para ilmuwan Muslim menggunakan bahasa
penindas untuk mengkritik penindas mereka dalam menangani masalah Muslim.
Alatas memberikan contoh tentang pendekatan yang dilakukan Ali Syari‟ati.
Teorinya tentang sejarah dan ide-ide tentang keterasingan berawal dari tradisi
keilmuan Barat (Marx dan Durkheim), ia juga tidak menyebutkan kebutuhan
untuk kembali ke cendekiawan Muslim pada masa lalu. Menurut Alatas, Syari‟ati
tidak cukup menarik tradisi Islam dalam konsep dan teori-teorinya. Sebaliknya,
Alatas mengatakan bahwa cendekiawan Muslim harus memanfaatkan berbagai
sumber-sumber Islam ketika mengembangkan dan menerapkan teori dan konsep
untuk mempelajari masyarakat.92
Gelombang oposisi terhadap ilmu sosial Barat kadang sangat rasional dan
kosmopolitan, tapi kadang-kadang agak picik tanpa menyadari tindakannya justru
melestarikan teori Barat. Sebagai contoh, konsep ekonomi Islam menjadi alasan
rasional dengan metodologi hipotetis-deduktif, sementara menghiasi dirinya
dengan berbagai tanda terminologi Islam. Padahal konsep ini hanya menggantikan
istilah Islam pada era neoklasik, namun mempertahankan asumsi dan metode yang
sama dengan kapitalis. Perkembangan terminologi baru seperti Ekonomi Islam,
memungkinkan ide-ide asing datang secara terselundup dengan diberi keunggulan
sementara, dan pada saat yang sama menjaga aura Islamisasi ilmu pengetahuan.
Perkembangan terminologi ini juga memungkinkan seseorang untuk memotong
sebuah kue, namun memakannya juga.93
92 Ibid., pp. 70. 93 Alatas, Academic (b), Op.Cit., pp. 93-94.
114
Gagasan ekonomi Islam tidak muncul dari dalam tradisi klasik dalam
pemikiran Islam. Dalam tradisi Islam klasik, ada diskusi mengenai lembaga
ekonomi dan praktiknya di dunia Muslim, tetapi gagasan ilmu ekonomi Islam dan
ilmu ekonomi secara khususnya tidak pernah diangkat ke permukaan. Oleh karena
itu menurut Alatas, Ekonomi Islam merupakan penciptaan pada masa modern.
Ekonomi Islam muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan pada model ekonomi
kapitalis dan sosialis serta teori pembangunan pada tahun 1950-an. Ekonomi
Islam berkomitmen untuk membedakan sifat dan etos pembangunan ekonomi dari
sudut pandang Islam. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk mengidentifikasi
cita-cita Islam dalam pembangunan ekonomi.94
Ekonomi Islam menyajikan konsep pembangunan ideal yang didasarkan
pada falsafah hidup Islam. Transaksi visi alternatif pembangunan dan berbagai
pilihan kebijakan telah diusulkan, seperti pengenalan perbankan bebas bunga dan
pengelolaan zakat. Namun menurut Alatas, apa yang disajikan sebagai ekonomi
Islam sebenarnya merupakan teori etika produksi, distribusi, harga, dan lain-lain.
Ketika ekonom Islam membahas kategori ekonomi tradisional seperti pendapatan,
konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan tabungan, mereka
melakukannya dalam hal pernyataan etis dan tidak dalam hal analisis dan teori
empiris.
Ketika para ekonom Islam menerapkan teori empiris, apa yang disajikan
sebagai ekonomi Islam ternyata tidak menjadi alternatif untuk wacana modernis.
Fokus dan metode yang telah dipilih oleh ekonom Muslim untuk analisis ekonomi
pada dasarnya merupakan bentuk ekonomi neo-klasik Keynesian.95
Ekonomi
Islam sangat banyak tertanam dalam tradisi ekonomi neo-klasik dalam hal
kepedulian terhadap faktor-faktor teknis seperti pertumbuhan bunga, pajak,
keuntungan, dan sebagainya. Sejumlah masalah yang berhubungan dengan
ekonomi-politik seperti pembangunan tidak merata, perubahan tidak merata,
kapitalisme birokrasi, korupsi dan peran Negara, ketergantungan pada teori
94 Alatas, The Problem, Op.Cit., pp. 288-289. 95 Ibid., pp. 292-293.
115
ekonomi kelembagaan, tidak ditangani pada tingkat teoritis dan empiris oleh para
ekonom Islam.
Menurut Alatas, masalah utama keadaan ini adalah bahwa di bawah kedok
“ekonomi Islam”, kebijakan yang dihasilkan oleh pusat-pusat industri kapitalis
diterapkan pada dunia Muslim, kemudian dilegitimasi. Teori manusia rasional dan
metodologi hipotetis-deduktif yang ada dalam ekonomi Islam hanya
menggantikan istilah Islam untuk ekonomi neo-klasik.96
Dengan demikian konsep
ekonomi Islam telah gagal untuk terlibat dalam analisis dan kritik terhadap tatanan
ekonomi dunia yang sangat tidak seimbang. Ekonomi yang seharusnya anti-Barat
ini justru terkooptasi dan dibuat untuk melayani orang-orang yang sedang
berupaya keluar dari masalah ekonomi konfensional. Fungsi ideologis ekonomi
Islam juga mendukung modal keuangan dunia, sementara mengklaim untuk
menawarkan alternatif dalam arus utama kegiatan ekonomi.
Menurut Alatas, sebagian besar masyarakat Islam tidak dapat
menyelesaikan masalah kompatibilitas tradisi keagamaan mereka dengan
pengetahuan Barat (sekuler, positivis, berorientasi materialistis). Negara-negara
Muslim bahkan tetap mengalami skizofrenia dalam memandang ilmu pengetahuan
Barat termasuk filsafat. Mereka tidak dapat mengembalikan produktifitas antara
sains dan Islam yang berkembang selama zaman kegelapan Barat itu. Yang lebih
mengecewakan adalah konsep materialisme pengetahuan Barat yang menyangkal
keberadaan Allah bahkan diajarkan secara berdampingan dengan teologi Islam
dalam universitas yang sama.97
Padahal Alatas mencontohkan bahwa seorang Muslim dapat mengisi
tempat kosong dalam konsep sosiologi modern yang tidak memiliki klaim
universal. Hal ini selama berpuluh tahun dilakukan Alatas dalam karya Ibn
Khaldun dan Jose Rizal. Sebagaimana diketahui, ibn Khaldun sejak beberapa abad
terakhir telah diakui sebagai prekursor banyak disiplin ilmu sosial modern. Ernest
Gellner misalnya yang menawarkan model peradaban Muslim tradisional yang
didasarkan pada perpaduan dari sosiologi politik ibn Khaldun dengan teori osilasi
96 Ibid., pp. 295. 97 Alvares, Op.Cit., pp. 75.
116
David Hume mengenai agama. Menurut Alatas, ini merupakan contoh
indigenisasi, karena menganggap sumber-sumber non-Barat sah dalam upaya
untuk mengembangkan model yang terintegrasi dengan membawa pemikiran
Barat juga. Dimasukkannya teori Barat tidak dilihat sebagai legitimasi dari latihan
indigenisasi, melainkan pengakuan bahwa semua peradaban harus dianggap
sebagai sumber tidak hanya data tetapi juga teori.98
Studi tentang kenaikan dan penurunan negara, suksesi dinasti dan peran
agama Islam di Timur dan Barat (al-maghrib dan al-Mashriq) belum mendapatkan
keuntungan dari aplikasi sistematis dari teori Abd al-Rahman Ibn Khaldun (732-
808 H /1332-1406 M). Alasan utama untuk ini adalah bahwa Ibn Khaldun selalu
berada di pinggiran ilmu-ilmu sosial modern dan paling tidak, dianggap sebagai
pendahulu sosiologi modern, tetapi bukan seorang sosiolog yang berada di garis
kanan. Akibatnya, karyanya pada sejarah dan elaborasinya tentang ilmu
masyarakat (ilm al-umrohn) sebagai prasyarat untuk studi sejarah, jarang secara
serius dikaji oleh para ilmuwan. Padahal teori Ibn Khaldun dapat didekati dengan
menerapkan kerangka kerja yang mengintegrasikan teori tentang pembentukan
negara dengan konsep modern dalam sosiologi Khaldun.99
Menurut Alatas model Khaldunian memiliki potensi penerapan yang dapat
memberikan penjelasan empiris untuk mengembangkan teori Khaldunian dalam
sosiologi. Namun, pendekatan Khaldunian secara umum telah diabaikan. Menurut
Alatas, usahanya dalam menjelaskan teori Ibn Khaldun dalam berbagai karya
dapat menjadi subyek utama untuk artikel lain. Dalam beberapa tulisannya, Alatas
berupaya menyajikan teori sosiologi Ibn Khaldun sebagai sebuah contoh untuk
sosiologi modern.
Menurut Alatas sebagian besar karya hanya menyatakan bahwa Ibn
Khaldun merupakan pendiri sosiologi dan prekursor bidang lain dalam ilmu
sosial. Sebagian yang lain hanya menggunakan narasi sejarahnya di Afrika Utara
(al-maghrib) sebagai sumber daya untuk penelitian tentang sejarah daerah.
Padahal menurut Ali Azmeh sebagaimana dikutip Alatas, ada beberapa
98 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 238. 99 Alatas, A Khaldunian Exemplar for a Historical Sociology for the South, Current
Sociology 2006 54: 397, pp. 397.
117
pengecualian yang dapat dilakukan pada karya Ibn Khaldun, yaitu Pertama
Muqaddimah sebagai filosofi awal Ibn Khaldun mengenai sejarah. Yang kedua
adalah upaya untuk mengekstrak karya neo-Khaldunian dalam sosiologi modern.
Yang ketiga adalah kritis terhadap pendekatan yang berusaha untuk melihat karya
Ibn Khaldun dalam lensa sosiologi modern serta atribut imajinasi sosiologis
modern. Namun demikian, tidak ada perdebatan pada masing-masing posisi ini.
Akibatnya, teori Ibn Khaldun belum mampu menopang dirinya sendiri pada
tingkat yang pantas.100
Alatas menyajikan rekonstruksi sistematis teori Ibn Khaldun tentang
pembentukan negara dalam masyarakat Maghrib, yang akan menjadi prasyarat
untuk pengembangan teori Khaldunian yang relevan dengan konteks daerah
masing-masing. Rekonstruksi teori Ibn Khaldun dipandang perlu didiskusikan
lebih dalam oleh para ilmuwan. Mereka menguraikan teorinya dengan
menggambarkan dan mendiskusikan Muqaddimah, maka dapat menjelaskan kitab
al-`Ibar. Dengan kitab Muqaddimah, akan ditemukan metode tentang ilmu
organisasi sosial manusia (`ilm al-`umrohn albashan) atau ilmu masyarakat
manusia (`ilm al-ijtima` al-Insani).
Objek utama penulisan Ibn Khaldun terhadap ilmu sosial adalah
penelitianya tentang sejarah Arab Barbar dari Afrika Utara, khususnya, kenaikan
dan penurunan dari negara dan dinasti. Penjelasan ini diambil dalam Kitab al-
`Ibar. Namun, Ibn Khaldun menemukan ada metode sejarah yang tidak sesuai
karena banyak orang yang tidak memisahkan antara kebenaran dari fiksi. Peneliti
perlu mengetahui sifat masyarakat yang melampaui bentuk luar fakta (zahir) dan
laporan kepada makna sejarah batin (batin), yaitu penjelasan tentang sebab dan
akibat. Ibn Khaldun menyajikan ilmu tentang masyarakat sebagai alat untuk
mempelajari penyebab dan dampak dari peristiwa yang dilaporkan oleh
sejarawan. Ilmu baru ini terdiri dari bidang-bidang berikut: (1) divisi masyarakat
pada umumnya (`umrohn); (2) masyarakat Badui (al-`umrohn al-badawah),
masyarakat suku (qaba'il) dan orang-orang primitif (al-wahshiyyah); (3) negara
(al-dawlah), kerajaan (mulk) dan otoritas khalifah (khilafah); (4) masyarakat kota
100 Ibid., pp. 398.
118
yang menetap; dan (5) kerajinan, cara mencari nafkah, pekerjaan masyarakat. Hal
ini dapat disajikan kembali dalam bahasa sosiologi sebagai manusia atau ekologi
sosial, sosiologi pedesaan, sosiologi politik, sosiologi perkotaan dan sosiologi
kerja.101
Adapun dalam analisa berikutnya mengenai indigenisasi terhadap karya
Ibn Khaldun, Alatas menyatakan bahwa transformasi teori Ibn Khaldun menjadi
ilmu sosial modern tidaklah lengkap. Menurut Alatas perhatian kurang serius
ditunjukkan beberapa ilmuwan Barat pada karya sosiologi Ibn Khaldun pada abad
ke-19. Sebuah contoh dari Engels yang menyesuaikan Islam dengan orientasi sang
Orientalis. Engels menggambarkan orang Arab sebagai warga kota yang terlibat
dalam perdagangan dan industri, namun di sisi lain seperti suku nomaden
Badawi.102
Alatas juga mengutip tulisan Becker dan Barnes dalam sejarah penting
sosiologi yang berjudul Social Thought dari Lore to Science, pertama kali
diterbitkan pada tahun 1938. Mereka mendiskusikan ide-ide dari Ibn Khaldun
beberapa halaman dan mengakui bahwa Ibn Khaldun merupakan orang yang
pertama yang menerapkan ide-ide modern seperti dalam sosiologi dan sejarah.
Namun demikian, pengakuan tersebut tidak tercermin dalam pengajaran sosiologi
kontemporer di universitas dan perguruan tinggi di seluruh dunia, meskipun hanya
dalam penulisan sejarah sosiologi. Gagasan untuk mengembangkan konsep
Khaldunian, menggabungkan mereka dengan orang-orang dari sosiologi modern
dan menerapkan pendekatan teoritis yang dihasilkan untuk berbagai bidang
empiris dan historis tetap marginal. Oleh karena itu, Alatas menyatakan bahwa
generasi sosiologi Khaldunian modern membutuhkan asimilasi dengan konsep
dan teori-teori ilmu sosial modern. Menurutnya hal ini memerlukan perbandingan
beberapa konsep dalam karya Ibn Khaldun dengan ilmuwan ilmu sosial
modern.103
Lebih lanjut Alatas menyatakan jenis perhatian yang dapat dilakukan
adalah:
101 Ibid., pp. 400. 102 Ibid., pp. 403. 103 Ibid., pp.408.
119
1. Metateori, yang merujuk pada dimensi epistemologis dan metodologis
yang mendasari pikiran para pemikir non-Barat.
2. Teori, merujuk pada uraian sistematis, analisis, dan kritik terhadap
pemikiran non-Barat.
3. Bangunan teori, merujuk pada abstraksi pemikiran non-Barat untuk
melahirkan apa yang disebut sebagai neo-Khaldunian, dan lain-lain.
4. Penilaian kritis atas pengetahuan yang ada.
5. Mengajarkan para pemikir non-Barat melalui kuliah sosiologi dan ilmu
sosial mainstreem.
6. Diseminasi gagasan para pemikir non-Barat melalui diskusi-diskusi panel
dan makalah regular dalam konferensi ilmu sosial mainstreem.
Pada akhirnya muncul pada kesimpulan bahwa pada kenyataannya kini,
metaanalisis dalam ilmu Sosiologi meski belum kokoh telah mengalami serangan
hebat pada 1980-an dan masih harus mencapai kematangan dalam subbidangnya.
Kemiskinan teori di kebanyakan dunia non-Barat juga berkontribusi pada
ketertinggalan filsafat dan sosiologi di Asia. Telaah-telaah ilmu sosial Dunia
Ketiga juga dianggap tidak penting karena wataknya yang polemis dan retorik,
ditambah konseptualisasi yang tak memadai. Selain itu ilmuwan Barat secara
sengaja banyak melakukan pembiaran terhadap berbagai metaanalisis tersebut.
Berbagai teori yang lahir dari masyarakat ilmiah Dunia Ketiga tidak dianggap
sebagai konsepsi baru dalam teori sosiologi di seluruh dunia.
Menurut Alatas, dalam menilai ilmu sosial Barat secara kritis, harus
ditekankan bahwa berbagai teori tidak secara sengaja membahas masalah
relevansi dan irelevansi, meskipun dengan jelas menyiratkan adanya bentuk
irelevansi antara teori dan metode dari suatu konteks sosio-sejarah ketika
diterapkan di tempat lain. Teori-teori tersebut masuk dalam suatu variasi
metaanalisis ilmu sosial karena berada di wilayah pinggiran non-Barat.104
Penelitian Alatas mengembangkan tipologi metaanalisis dengan
menggunakan dua dimensi, yaitu internal-eksternal dan kognitif-institusional.
Internal mengacu pada faktor-faktor yang berhubungan dengan riset, konstruksi
104 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 27.
120
teori, metodologi, telaah empiris dan ilmu sosial terapan. Eksternal menunjuk
pada faktor-faktor di luar diskursus, namun mempengaruhi ilmu sosial. Kognitif
berhubungan dengan aspek-aspek ideal ilmu sosial seperti gagasan, teori, konsep,
dan nilai. Sedangkan institusional merujuk pada komponen struktural, baik di
dalam maupun di luar ilmu sosial yang menentukan aktivitas ilmiah ilmu sosial.
Pendekatan analisis internal-kognitif terhadap topik keadaan ilmu sosial di
masyarakat berkembang mencakup teori-teori mengenai Orientalisme,
Eurosentrisme, Postkolonialisme, dan Retorika. Semua pendekatan ini memiliki
kesamaan, yaitu kritik atas gagasan-gagasan internal diskursus ilmiah sosial
seperti gagasan tentang kemajuan (progress), superioritas peradaban Barat dan
paternalismenya yang inheren. Sedangkan pendekatan Eksternal-Kognitif meneliti
bagaimana ide, sikap, nilai, mentalitas di luar ilmu sosial mempengaruhi aktivitas
ilmu sosial. Pendekatan ini terdiri dari teori pikiran terbelenggu (captive mind),
teori pedagogis tentang modernisasi, dan kritik kolonial modern.
Teori Orientalisme yang dicetuskan Edward Said (1979) sangat terkenal
sebagai alat memfokuskan telaah pada masalah kolonialisme. Namun telah ada
sebelumnya karya yang membahas mengenai hal yang sama yaitu karya Abdel-
Malek (1963), Tibawi (1979) dan Ahmad Ashraf (1976).105
Pada dasarnya
Orientalisme terwujud dalam suatu fenomena yang didasarkan pada ekspansi
ekonomi dan politik Eropa, yang melibatkan tidak hanya institusi dan organisasi
baru, tetapi juga sekumpulan teori yang dibangun dari beberapa asumsi,
kepercayaan dan ideologi seperangkat disiplin yang mempelajari Timur. Ciri
utama Orientalisme adalah pembagian Timur-Barat yang menempatkan
masyarakat Barat serta kebudayaan, bahasa, dan religinya lebih unggul daripada
Timur. Orientalisme adalah sebuah gaya pemikiran yang didasarkan pada
pembagian ontologis dan epistemologis antara Timur dan kebanyakan Barat.
Dualisme Timur-Barat mengambil bentuk dualisme ruang seperti Utara/Selatan,
Pusat/Pinggiran, Maju/Masih berkembang.
Edward Said menyebut proses ini sebagai wacana Barat tentang yang lain
(Other) yang didukung oleh institusi, penghargaan akademik, kosa kata,
105 Ibid., h. 28.
121
perumpamaan, doktrin, bahkan bisa juga birokrasi kolonial dan gaya kolonial.
Proses ini berlangsung antara lain disebabkan oleh pertukaran timbal balik yang
simultan antara konstruksi sekolahan (scholarly construction) dan konstruksi
imajinatif terhadap ide-ide tentang Timur (Orient). Said berpendapat bahwa
„Oriental‟ separuhnya adalah ciptaan Barat, didasarkan pada suatu kombinasi cita-
cita yang dibentuk melalui karya-karya kesarjanaan dan imajinasi.106
Pada dasarnya menurut Bryan S. Turner, perdebatan mengenai
Orientalismelah yang melahirkan Oksidentalisme. Oksidentalisme berisikan
penolakan tak langsung terhadap warisan modernisasi. Menurut Said sebagaimana
dikutip Turner, periode postkolonial masih mengandung dominasi kultural pada
Dunia Ketiga. Oleh karena itulah muncul berbagai sikap defensif oleh para
fundamentalis dalam memandang modernisasi. Sikap ini mencakup klaim akan
kebenaran tradisi dibandingkan dengan pengetahuan yang diwarisi, diimpor oleh
pengetahuan asing.107
Sikap kritis postkolonial menawarkan sebuah teori yang mengungkapkan
tentang komoditas pengetahuan dibalik produksi pengetahuan. Menurut Taylor
(1985), perlu adanya telaah tentang subjek-subjek di dunia ketiga sebagai sasaran
kontrol untuk diteliti, diukur, dikategorisasikan, dan dijadikan target kebijakan
normalisasi. Berbagai disiplin dalam teori pembangunan dirancang untuk
memberikan gambaran positif mengenai pembangunan, sehingga masyarakat
berkembang dapat dinormalisasi sesuai dengan tujuannya. Tujuan normalisasi
adalah berpura-pura menaikkan standar hidup, meningkatkan produktifitas,
memperbaiki distribusi pendapatan, meningkatkan pendidikan, dan lain-lain.108
Jenis metaanalisis lainnya menurut Alatas difokuskan pada teks diskursus
ilmiah yang dibangun atas gagasan bahwa kebenaran dapat dihadirkan melalui
retorika. Menurut Weimar, mengetahui “knowing” hanya bisa dilakukan melalui
keterlibatan dalam aktivitas retorika. Retorika dalam ilmu sosial berkutat pada
bagaimana kata-kata disampaikan untuk menyesatkan makna, membujuk,
menimbulkan salah informasi alih-alih menyingkap dan mengklasifikasi. Oleh
106 Smith, Dekolonisasi, Op.Cit., h. 13. 107 Turner, Op.Cit.,h. 29. 108 Alatas, Diskursus, Op.Cit., h. 32-33.
122
karena itu menurut Baehr dan O‟Brien (1994), sebuah diskursus akan berhasil jika
mengambil jalan metafor, metonim, ironi dan hal serupa agar dapat menghasilkan
versi realitas yang menarik, jelas, mencerdaskan, dan memikat.109
Pada kenyataan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teori tidak perlu
dibatasi dalam dimensi empiris dan logisnya saja. Konstruksi-retoris teori sosial
melibatkan penggunaan teknik retorika yang berfungsi membujuk khalayak agar
menerima versi realitas. Dengan menerima versi realitas ini tanpa sadar seseorang
telah masuk dalam sebuah perangkap yang berisi teori yang irelevan. Dengan
perangkap ini secara tidak langsung Eurosentrisme telah terjadi dalam tataran
akademis.
Menurut Alatas secara garis besar literatur ilmu humaniora dan sosial
dalam 200 tahun terakhir, khususnya 50 tahun terakhir telah menyayangkan
keadaan ilmu-ilmu budaya di Dunia Ketiga, menyoroti berbagai masalah yang
semuanya dapat dimasukkan di bawah konsep, ekspresi dan gerakan seperti kritik
kolonialisme (Césaire, 1955; Memmi, 1957), imperialisme akademis (Alatas, SH,
1969, 2000), dekolonisasi (pengetahuan) (Fanon, 1961), paedagogi kritis (Freire,
1970), imitasi dan captive mind (Alatas, SH, 1972, 1974), deschooling (Illich,
1973), kebergantungan akademik (Altbach, 1977; Garreau, 1985; Alatas, SF,
1999, 2000a), Orientalisme (Said, 1979, 1993) dan Eurosentrisme (Amin, 1979;
Wallerstein, 1996). Masalah-masalah ini terlihat menjadi bagian dari konteks yang
lebih besar dari hubungan antara kekuatan kolonial Barat dan daerah eks-koloni,
termasuk masyarakat yang telah dijajah. Pengakuan dan penilaian masalah ini
menyebabkan panggilan untuk indigenisasi ilmu-ilmu sosial (Fahim, 1970; Fahim
dan Helmer, 1980; Atal, 1981), deschooling (Illich, 1973), kreativitas intelektual
endogen (Alatas, SH, 1978), ilmu sosial otonom (Alatas, SH, 1979), post-
kolonialisasi pengetahuan (Prakash, 1990, 1992; Chakrabarty, 1992), globalisasi,
dekolonisasi dan nasionalisasi ilmu-ilmu sosial. Semua ini dapat secara kolektif
disebut sebagai panggilan untuk wacana alternatif dalam ilmu sosial.
The literature in the social sciences and humanities of the last 200
years and that of the last 50 years in particular has deplored the state of
109 Ibid., h. 33.
123
knowledge in the arts in the Third World, highlighting various problems
that can all be subsumed under concepts, expressions and movements such
as the critique of colonialism (Césaire, 1955; Memmi, 1957), academic
imperialism (Alatas, S. H., 1969, 2000), decolonization (of knowledge)
(Fanon, 1961), critical pedagogy (Freire, 1970), imitation and the captive
mind (Alatas, S. H., 1972, 1974), deschooling (Illich, 1973), academic
dependency (Altbach, 1977; Garreau, 1985; Alatas, S. F., 1999, 2000a),
Orientalism (Said, 1979, 1993) and Eurocentrism (Amin, 1979;
Wallerstein, 1996). These problems were seen to be part of the larger
context of relations between the former western colonial powers and the
ex-colonies, including those societies that were vicariously colonized. The
recognition and assessment of these problems led to various calls for the
indigenization of the social sciences (Fahim, 1970; Fahim and Helmer,
1980; Atal, 1981), deschooling (Illich, 1973), endogenous intellectual
creativity (Alatas, S. H., 1978), an autonomous social science tradition
(Alatas, S. H., 1979), postcolonizing knowledge (Prakash, 1990, 1992;
Chakrabarty, 1992), globalization, decolonization and nationalization of
the social sciences. All these may be collectively referred to as calls for
alterna- tive discourses in the social sciences (Alatas, S. F., 2000b).110
Menangkal Eurosentrisme dalam ilmu sosial juga bisa dilakukan dengan
membalik dikotomi subyek-obyek yang membawa non-Eropa ke latar depan,
mengakui non-Eropa sebagai pencetusnya, dan mengalihkan perhatian untuk
konsep dan kategori non-Eropa. Hal ini harus dilakukan tidak dengan ide
menggusur ilmu sosial modern tapi untuk melakukan universalisasi. Tugas tidak
harus mengembangkan tradisi ilmiah sosial yang sama sempit seperti yang sedang
dikritik di sini. Alatas mengusulkan bahwa menangkal Eurosentrisme dapat
dilakukan pada beberapa tingkat kegiatan ilmu sosial. Menggunakan contoh dari
Ibn Khaldun, Alatas ingin menyarankan bagaimana hal ini dapat dilakukan.
Tingkat pertama adalah bahwa metateori, studi tentang struktur yang
mendasari teori. Studi tentang struktur yang mendasari teori akan mencakup
pemeriksaan dasar-dasar metodologis dan logika. Studi tersebut diperlukan jika
kontribusi dari seorang ilmuwan tertentu harus tetap hidup karena dianggap
relevan. Teori Ibn Khaldun tentang pembentukan negara harus terus dibahas dari
segi metodenya, dasar-dasar logika, dan konteks sosial di mana ia muncul. Selain
110 Alatas, Academic Dependency and The Global Division of Labour in The Social
Sciences, Current Sociology November 2003, Vol. 51 (6): pp. 599. Dan Alatas, Diskursus,Op.Cit.,
h. 47.
124
itu, harus ada pekerjaan yang lebih teoritis untuk dilakukan. Karya-karya ini harus
lebih dari sekedar karya deskriptif.
Namun masalah besar masih melingkupi kurikulum di perguruan tinggi.
Mengutip pendapat Ward Churchill, Alfares menyatakan bahwa pada
pembelajaran filsafat, mahasiswa dihadapkan pada kemungkinan untuk
mengeksplorasi sedalam-dalamnya karya-karya filsuf Barat dalam berbagai
generasi. Mahasiswa dihadapkan pada teori yang dikemukakan para filsuf Yunani
kuno, dasar-dasar logika Cartesian dan Spinoza, teori-teori Thomas Hobbes,
David Hume, dan John Locke, serta mencakup satu atau dua bab estetika
Immanuel Kant. Untuk mempertimbangkan gagasan filsuf kiri, akan dikutip
dialektika Hegel, dan review Nietzsche, Marx yang terkenal “inversi” dari Hegel
dan komentar-komentarnya pada kelemahan Feurbach. Dalam sebuah kelas
teladan, pada abad ke-20 dibuka dengan diskusi Schopenhauer, Heidegger dan
Husserl, Bertrand Russell dan Alfred North. Selanjutnya eksistensialisme Sartre
dan Camus juga menjadi andalan. Selanjutnya siswa juga disarankan memahami
aliran filsafat pada Abad Pertengahan, seperti Monisme, Revolusi Rousseau,
Moralitas dari John Stuart Mill, Generasi Science Einstein, Fenomenologi
Merleau-Ponty, Sekolah Frankfurt, Strukturalisme / Post-Strukturalisme, bahkan
Teori Kritis Jurgen Habermas. 111
Sebuah survei tentang silabus sejarah teori sosiologi juga akan
mengungkapkan sejumlah karakteristik yang mirip. Misalnya memasukkan Comte
sebagai pencetus Sosiologi sebagai disiplin ilmu, Marx, Weber dan Durkheim
berpikir tentang sifat masyarakat dan perkembangannya, tidak ada pemikir di Asia
dan Afrika melakukan hal yang sama. Ilmuwan non-Eropa yang muncul dalam
karya-karya ini tidak disertai identitas yang memadai.
Tidak adanya pemikir non-Eropa dalam akun ini adalah sangat mencolok
dalam kasus di mana non-Eropa telah benar-benar mempengaruhi perkembangan
pemikiran sosial. Biasanya, sebuah sejarah pemikiran sosial atau kuliah teori dan
pemikiran sosial akan mencakup pemikiran seperti Montesquieu, Vico, Comte,
Spencer, Marx, Weber, Durkheim, Simmel, Toennies, Sombart, Mannheim,
111 Alvares, Op.Cit., pp. 76-77.
125
Pareto, Sumner, Ward, Kecil, dan lain-lain. Umumnya, pemikir non-Barat
dikecualikan, bahkan ketika mereka ada, cenderung hanya dikutip untuk
kepentingan sejarah, bukan sebagai sumber ide. Misalnya, Ibn Khaldun kadang-
kadang disebut dalam sejarah pemikiran sosial, tetapi jarang terlihat sebagai
sumber teori dan konsep sosiologis yang relevan. Ia hanya dianggap sebagai
prekursor atau penemu bidang kajian sosiologi.
Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa Barat, khususnya Amerika, Inggris,
Perancis dan Jerman, dipandang sebagai satu-satunya pencetus ide dalam ilmu-
ilmu sosial. Pertanyaan tentang asal-usul multikultural ilmu-ilmu sosial tidak
dinaikkan. Banyak pemikir sosial dari India, Cina, Jepang, dan Asia Tenggara
selama abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh yang sezaman dengan
Marx, Weber dan Durkheim disebutkan hanya sebentar dalam karya-karya tentang
sejarah sosiologi atau benar-benar diabaikan. Contoh pemikir seperti José Rizal
(Filipina, 1861-1896), Benoy Kumar Sarkar (India, 1887-1949), dan Kunio
Yanagita (Jepang,1875-1962).
Alatas selanjutnya mengatakan bahwa setiap akademisi wajib untuk
menangkal wacana Eurosentris, dan membawa ide-ide non-Eropa ke dalam
pengajaran ilmu sosial pada tingkat Universitas. Otonomi yang relatif lebih besar
dimiliki dosen dibandingkan dengan guru di sekolah, memungkinkan para
pengajar ilmu sosial dapat menyuntikkan lebih banyak konten non-Eropa ke
dalam mata kuliah yang diajarkan. Hal ini telah dilakukan Alatas bersama
rekannya yang bernama Vineeta Sinha di National University of Singapore.
Menurut Alatas perlu ada pendekatan yang lebih universal tentang
pengajaran teori sosiologi, misalnya dengan harus menimbulkan pertanyaan
apakah teori sosiologi dapat ditemukan pada masa pra-modern di dataran non-
Eropa? Ada juga masalah tentang pengajaran konteks munculnya teori sosiologi
yang tidak hanya didefinisikan oleh serangkaian revolusi politik di Eropa sejak
abad XVII atau revolusi industri, tetapi juga oleh penjajahan dan munculnya
Eurosentrisme. Hal ini berarti perubahan dalam cara teori sosiologi diajarkan.
126
Misalnya, akan ada lebih menekankan pada Marx dan dimensi orientalis dan
Eurosentris Max Weber.112
Pada pengajaran ini, Alatas berangkat dengan pembelajaran teori sosiologi
klasik seperti pemikiran Comte, Marx, Weber, Durkheim, de Tocqueville dan
ilmuwan Eropa lainnya sejak abad kesembilan belas hingga awal abad kedua
puluh. Setelah itu Alatas memperkenalkan pemikiran Ibn Khaldun, Jose Rizal,
Sarkar dan pemikir sosial non-Barat lainnya dan mengajarkan ide-ide mereka
secara sistematis. Pada saat yang sama, Alatas tidak mengabaikan pemikir Barat.
Namun, ketika datang ke pemikir Barat seperti Marx dan Weber, fokusnya adalah
pada topik yang umumnya diabaikan dalam kuliah serupa di Eropa dan Amerika
Utara, seperti konsep Marx tentang modus produksi Asiatik, pandangannya
tentang kolonialisme di India atau karya Weber tentang Islam dan Konghucu.
Dalam kuliahnya, Alatas menyoroti Eurosentrisme sebagai konteks tambahan dan
penting untuk memahami munculnya teori sosiologi klasik, dan untuk
membiasakan siswa dengan karya-karya Marx, Weber, dan Durkheim.113
Alatas melanjutkan bahwa menangkal Eurosentrisme dalam ilmu sosial
memerlukan sikap aktif dalam hal mempopulerkan ide-ide non-Eropa dengan cara
teratur menyelenggarakan panel atau menyajikan makalah tentang ide-ide mereka
di konferensi ilmu sosial mainstream. Akhirnya, Alatas menyatakan bahwa semua
elemen harus menyebarkan kesadaran tentang perlunya alternatif, wacana kontra-
Eurosentris dalam ilmu sosial dengan hanya membuat sebuah titik untuk mengutip
karya ilmuwan di seluruh dunia.
Selain itu, diskursus alternatif terhadap Eurosentrisme dalam sosiologi
Syed Farid Alatas dapat pula disesuaikan penerapannya dalam konteks ke-
Indonesiaan. Selanjutnya pengalaman yang dilakukan Alatas bersama rekannya
dalam melaksanakan pengajaran teori sosiologi dapat menjadi acuan dalam upaya
melepaskan Eurosentrisme dalam sosiologi di berbagai universitas di Indonesia.
Di Indonesia belum ada kajian ilmiah secara mendalam mengenai
Eurosentrisme dalam ilmu sosial khususnya dalam bidang sosiologi. Selain itu
112 Alatas, Indigenization, Op.Cit., pp. 240. 113 Alatas, Teaching Classical Sociological Theory in Singapore: The Context of
Eurocentrism, Teaching Sociology, Vol. 29, No. 3 (Jul., 2001), pp. 316.
127
tidak ditemukan kajian intensif mengenai pemikiran Syed Farid Alatas mengenai
diskursus alternatif dalam ilmu sosial khususnya sosiologi. Kajian mengenai hal
ini telah dicari pada beberapa kumpulan tugas akhir mahasiswa di Universitas
Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Indonesia, UIN Jakarta, dan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Dalam penelusuran yang sama di mesin telusur google
dengan kata kunci “teori captive mind, Eurosentrisme dalam ilmu sosial, dan
diskursus alternatif”, tidak ditemukan studi mendalam mengenai kajian tersebut.
Dalam penelusuran berbagai karya di Indonesia, belum ada penulis yang
secara intensif mengutip atau mengangkat kembali teori Alatas mengenai
diskursus Alternatif. Berbagai artikel hanya memusatkan perhatiannya untuk
memperkenalkan teori Alatas dalam seminar-seminar. Hal ini berpengaruh pula
dalam perkembangan gagasan Alatas yang akhirnya kurang populer di Indonesia.
Namun masih ada beberapa akademisi yang mengomentasi isi bukunya yang
berjudul Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial: Tanggapan terhadap
Eurosentrisme (diterjemahkan mizan publika) dalam artikel di jurnal ilmiah.
Disebabkan hal ini, maka tidak ditemukan penjabaran lengkap mengenai
teori Alatas dalam disiplin ilmu sosiologi. Tidak ada pula ilmuwan yang secara
langsung mengkritik konsep yang dikemukannya. Hal ini nampaknya merupakan
efek langsung fenomena Eurosentrisme, yang membuat ilmuwan di di Indonesia
tidak mengenali teori yang dikemukakan oleh ilmuwan negara tetangganya. Selain
itu konsep captive mind dapat menjadi analisa yang tepat atas fenomena yang
menimpa para akademisi di Indonesia. Karena kebanyakan penelitian yang
dilakukan para akademisi, masuk dalam kategori empiris bukan teoritis.
Konsep modernisasi yang dikemukakan Alatas mengambil contoh tentang
penerapan teori Rostow pada awal tahun 60-an menjadi tolak ukur pembangunan
ekonomi di Indonesia (negara berkembang pada umumnya). Indonesia terus
berupaya mengikuti apa yang sedang masyarakat Amerika Serikat atau Eropa
lakukan, untuk menyentuh hirearki tertinggi dalam perekonomian global.
Berbagai kemajuan dalam ekonomi diupayakan agar masyarakat terus mencapai
kemakmuran. Alih-alih mempertinggi angka pendapatan per kapita, pertumbuhan
ekonomi yang tinggi nyatanya tidak dinikmati masyarakat menengah ke bawah.
128
Indonesia kini telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik, namun
nyatanya efek dari pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan seluruh rakyat
Indonesia.
Modernisme juga diterapkan dalam setiap bidang kehidupan. Sebagaimaa
diketahui modernitas ala Barat membawa berbagai nilai dan norma dalam
masyarakat yang dihinggapinya. Modernitas yang dialami masyarakat Indonesia
kini membawa turut serta nilai liberal atau kebebasan dalam masyarakat Barat.
Selanjutnya nilai religiusitas semakin pudar. Sekularisme yang ada dalam
masyarakat Barat juga diadopsi dalam masyarakat Indonesia dengan alasan
keberagaman yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Beralih pada masalah Eurosentrisme yang secara umum menimpa setiap
negara Berkembang dalam dunia pendidikan. Seperti yang telah dijelaskan dalam
subbab sebelumnya, survei dari silabus mata kuliah sosiologi di Negara Asia
menunjukkan bahwa dominasi Eurosentrisme dalam ilmu sosial merasuk selama
berabad-abad. Hal ini ditrasakan pula dalam kurikulum sosiologi di berbagai
negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Menurut Alatas hal ini dapat dilihat
dari berbagai karakteristik, seperti dikotomi antara subjek dan objek, dominasi
kategori dan konsep Eropa, dan representasi dari kekuatan Eropa sebagai
penguasa ide dalam sosiologi.
Lebih lanjut Alatas menyatakan
In most sociological theory textbook or writings on the history of
social theory, the subject-object dichotomy is a dominant, albeit
unarticulated principle of organization. Europeans are the ones that do
the thinking and writing, they are the social theorists and social thinkers,
what we might call the knowing subject. If at all non-Europeans appear in
the texts they are objects of study of the European theorists featured and
not as knowing subjects, that is, as sources of sociological theories and
ideas. If we take the nineteenth century as an example, the impression is
given that during the period that Europeans such as Marx, Weber and
Durkheim were thinking about the nature of society and its development,
there were no thinkers in Asia and Africa doing the same. Therefore, the
only non-Europeans that appear in these works are those usually
129
nameless, anonymous ones mentioned or referred to by the European
thinkers whose ideas are being discussed.114
Padahal ilmu Sosial di Barat tidak memusatkan perhatian pada masalah
yang menimpa Ilmu Sosial di Asia. Masalah di Barat adalah pencarian dan
kesinambungan struktural dengan perubahan sejarah yang berkelanjutan.
Kebanyakan konsep tersebut berasal dari tradisi kesejarahan Yunani-Romawi,
Kristen-Latin, dan Eropa. Menjadi masalah ketika konsep tersebut digunakan
secara universal, hal inilah yang akhirnya merusak fenomena sosial, sebagai
contohnya konsep religi.
Konsekuensi yang lebih serius dari semua ini adalah bahwa sesuatu yang
mendominasi ilmu sosial yang berupa teori, konsep dan kategori dalam ilmu-ilmu
sosial dikembangkan oleh Eropa dan Amerika Utara. Seperti konsep religi yang
mewakili pola Eurosentris karena didasarkan pada tradisi agama Kristen. Ilmuwan
Barat menerapkan konsep religi ke dalam setiap agama, termasuk Islam. Akhirnya
para ilmuwan memaksakan apa yang dialami pada agama Kristen untuk
diterapkan pada ajaran Islam, misalnya dengan konsep sacred dan profane, yang
tidak pernah ada dalam tradisi intelektual Muslim, karena setiap perbuatan yang
dilakukan Muslim dalam hidupnya bernilai ibadah (sacral).
Pengalaman yang berikutnya dipaksakan dan sangat mempengaruhi studi
Islam adalah upaya merekonstruksi tafsir Al-Qur‟an dengan metode
hermeneutika. Meskipun pada kenyataannya, upaya menafsirkan Bible
menggunakan hermeneutika bukanlah hal yang keliru, karena Al-Kitab memiliki
kecacatan secara historis. Tetapi, hal yang sama diterapkan oleh para Orientalis,
bahkan Muslim yang telah dihinggapi captive mind pada kitab suci Al-Qur‟an,
sehingga tidak bisa bersikap kritis terhadap studi yang berkembang di Barat. Hal
ini menjadi bermasalah karena konsepsi tafsir pada kitab suci Al-Qur‟an tidak
pernah mengalami perubahan sejak masa tabi‟in hingga 14 abad setelahnya.
Selain itu, sejarah Al-Qur‟an tidak pernah mengalami kecacatan seperti yang
dialami Kristen. Kategori yang lebih jelas adalah, kebenaran mengenai teks Al-
114 Syed Farid Alatas, Rethinking The Teaching Of Sociology In The Context Of
Eurocentrism, Makalah tidak dipublikasikan.
130
Qur‟an tidak dapat diragukan karena tradisi sanad yang selama ini berkembang
dalam tradisi intelektual Muslim.
Oleh karena itu, sangat mengherankan apabila studi ilmiah atas agama
tidak memperhitungkan kosakata konseptual dari berbagai agama tersebut. Sebuah
kekeliruan serius jika akhirnya konsep-konsep kunci dalam berbagai agama
ditafsirkan hanya berdasarkan tradisi Kristen Barat, dengan keyakinan bahwa
konsep-konsep ini berlaku universal. Sementara disatu sisi setiap konsep dalam
agama Islam, Budha dan Hindu memiliki potensi yang sama untuk
diuniversalisasi.
Alatas berupaya mengusulkan alternatif atas konsep religi dengan konsep
din dalam agama Islam. Namun nyatanya, Alatas belum berani mengganti konsep
tersebut, seperti yang telah dilakukan pamannya, S.M.N Al-Attas. Sebagaimana
diketahui, konsep din yang dikemukakan oleh S.M.N Al-Attas memiliki
konsekuensi, yaitu dengan beragama, manusia harus tunduk (berserah diri) pada
Penciptanya, karena manusia memiliki hutang atas eksistensinya di dunia. Hutang
ini meniscayakan agar setiap waktu seorang Muslim di dunia, terikat dengan Sang
pemberi hutang. Muslim harus menjalankan konsekuensi hidupnya ini dengan
cara beribadah secara terus menerus. Muslim juga tidak diperbolehkan
menanggalkan keyakinannya dan memisahkan syariat Islam dengan perilakunya
dalam bermasyarakat. Pada akhirnya hal ini menyiratkan penolakan terhadap
terminologi sekularisme terhadap ajaran Islam.
Adapun pada kenyataannya kini, pengadopsian konten ilmu sosial dari
Barat dilakukan secara masif, bahkan dibawa oleh para ilmuwan Dunia Ketiga itu
sendiri. Buku Panduan untuk Pengajaran Teori Sosiologi yang diterbitkan oleh
Sociological Association of America mengungkapkan bahwa berbagai teori klasik
yang karya-karyanya diajarkan di seluruh dunia adalah karya Montesquieu, Vico,
Comte, Spencer, Marx, Weber, Durkheim, Simmel, Tonnies, Sombart, Mannheim,
Pareto, Sumner, Ward, Kecil, Wollstonecraft dan beberapa tokoh lainnya. Dalam
hal ini, tidak ada pemikir non-Eropa yang disertakan. Meskipun orang Eropa telah
131
menemukan dan membahas karya-karya Ibn Khaldun sejak abad ke-19, namun
posisi Ibn Khaldun tetap marginal dalam sejarah sosiologi.115
Alatas menyatakan bahwa komponen terpenting dari kuliah sosiologi di
kebanyakan universitas adalah pengajaran teori sosiologi klasik. Oleh karena itu,
semua siswa yang mengikuti kuliah sosiologi akan mengakui bahwa Marx,
Weber, dan Durkheim adalah pendiri dari disiplin ilmu sosiologi. Teori sosiologi
secara umum hanya didefinisikan sebagai tulisan-tulisan dari serangkaian karya
ilmuwan Eropa. Selanjutnya dalam wacana mainstream, ilmu-ilmu sosial
didefinisikan selalu berasal dari Barat. Legitimasi atas hal ini dilembagakan
sebagai kebijaksanaan umum yang tidak hanya ada di kalangan akademisi Barat,
tetapi juga pada ilmuwan non-Barat.
Padahal Ritzer menyatakan bahwa pada dasarnya teori sosiologi muncul
sebagai akibat dari refleksi pemikir atas kekuatan-kekuatan dan masalah sosial,
seperti revolusi politik, revolusi industri dan munculnya kapitalisme, urbanisasi,
serta perkembangan ilmu pengetahuan. Menjadi kekeliruan historis apabila
konsep ini diterapkan tanpa kritis oleh para ilmuwan non-Barat di negaranya.
Terlebih ketika pengajaran atas teori sosiologi dalam buku teks di setiap
Universitas tidak memberikan keleluasaan siswa untuk mendalami karya pemikir
non-Barat.
Berbagai fenomena yang terjadi membuat Alatas memikirkan kembali
pengajaran teori sosiologi yang tidak hanya didasarkan pada keprihatinan teoretis,
tetapi juga memberi pertemuan intensif dengan siswa sosiologi. Alatas berupaya
menghilangkan stigma bahwa teori sosiologi kering, kusam, membosankan,
menakutkan, dan penuh jargon tertentu. Selain itu, menurut Alatas mengajar teori
sosiologi non-Barat untuk masyarakat non-Barat merupakan sebuah dimensi yang
penting. Pendekatan yang lebih universal untuk mempelajari teori sosiologi harus
menimbulkan pertanyaan, “apakah mungkin mengidentifikasi contoh teori
sosiologi dari luar Eropa/Barat untuk menganalisa fenomena modernisasi?”
115 Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology, Review Essay, International
Sociology, November 2006, Vol 21(6), pp. 790.
132
Alatas juga memberikan pengajaran tentang ilmuwan Arab abad ke-14, Ibn
Khaldun, yang berjasa merumuskan konsep penting dalam sosiologi. Pengakuan
wawasan teoritis dalam karya Ibn Khaldun dapat berarti perubahan dalam
kurikulum sosiologi. Namun demikian pengakuan kontekstualitas tidak
mensyaratkan bahwa teori sosiologi Barat harus dihapuskan dari kurikulum
sosiologi di universitas-universitas non-Barat. Sebaliknya, Alatas mengusulkan
perdebatan dengan pendekatan segar untuk pengajaran teori sosiologi klasik
dengan cara bersikap kritis terhadap karya-karya Marx, Weber, dan Durkheim.116
Secara umum, Alatas melihat dua masalah mendasar dalam silabus teori
sosiologi. Pertama, pendiri atau prekursor pemikiran sosial non-Barat tidak
diakui. Kedua, teori sosiologi klasik tidak dikontekstualisasikan dengan cara
menetapkan titik referensi yang relevan bagi siswa di seluruh dunia. Sementara
pencerahan Eropa, transisi dari feodalisme ke kapitalisme, dan demokratisasi di
Eropa, dan sebagainya, membentuk konteks yang relevan untuk memahami
munculnya teori sosiologi, Alatas berpendapat bahwa fakta sejarah dominasi
politik dan budaya Eropa non-Eropa dari abad ke-15 dan seterusnya adalah
konteks tambahan penting. Yang terakhir ini jarang diberi ruang, apalagi bobot
yang sama, dalam pengajaran konvensional teori klasik. Seperti diketahui,
dominasi ini mengakibatkan, antara lain implantasi ilmu sosial Eropa di
masyarakat non-Eropa tentang pertanyaan Apakah masyarakat tersebut dijajah
oleh bangsa Eropa atau tidak. Diskusi juga harus menghadirkan perdebatan
mengenai periode dominasi kolonial Eropa saat teoritis mengemukakan teorinya.
Harus timbul pertanyaan dibenak siswa tentang peran ganda seorang teoritis yang
juga bertindak sebagai Orientalis.
Mengingat kepentingan teoritis dan pengalaman mengajar, Alatas
merumuskan alternatif untuk memperkenalkan teori sosiologi yang diberikan pada
lokasi pengajaran non-Barat. Pengalaman yang dilakukan Alatas dapat menjadi
referensi para pengajar sosiologi di Indonesia, secara khususnya. Di kelas, Alatas
mengatakan bahwa Eurosentrisme berkonotasi pada posisi dan perspektif tertentu
yang tidak dapat melihat masalah hingga ke akarnya. Dalam upaya untuk
116 Alatas, Teaching, Op.Cit., 317.
133
mengatasi masalah ini, Alatas memberikan sebuah esai yang ditulis oleh
Wallerstein mengenai Eurosentrisme kepada siswa. Melalui tulisan ini, Alatas
mengingatkan siswa tentang kompleksitas dan multidimensi sebuah konsep.
Dalam hal tersebut terdapat perhatian tentang historiografi Eurosentris, definisi
kemajuan, klaim keunikan peradaban Eropa dan kapitalisme, serta masalah
Orientalisme. Hal ini juga bertujuan untuk menunjukkan bahwa teori-teori ilmu
sosial berasumsi pada perkembangan masyarakat kapitalis modern di Eropa, yang
mungkin tidak baik bila direplikasi di tempat lainnya.
Alatas kemudian mengangkat serangkaian pertanyaan terkait tentang:
Bagaimana pertemuan kolonial dan imperial berbentuk konseptualisasi dalam
ilmu sosial oleh para sarjana Barat? Bagaimana para penulis membayangkan
dikotomi “non-Barat” dan “Barat”? Bagaimana cara kita untuk menilai dan
mengukur teori sosiologi klasik mengingat kemungkinan berbagai jenis bias,
termasuk bias Eurosentris?
Adapun dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, Alatas beroperasi
pada premis dengan pendekatan kreatif untuk mengajarkan teori sosiologi kepada
siswa. Oleh karena itu Alatas mengusulkan untuk memasukkan tiga tujuan yang
saling berkaitan: (1) untuk menghasilkan kesadaran “Eurosentrisme” sebagai tema
dan konteks yang menginformasikan teori sosiologi klasik, (2) untuk
menunjukkan kegunaan dari teori untuk pemulihan masa lalu akibat merasuknya
klaim Eurosentris itu, dan (3) untuk menunjukkan kegunaan dari teori dalam
pemahaman realitas kontemporer di wilayah yang lebih dekat dengan rumah
siswa.117
Dalam kuliah ini, Alatas kemudian menekankan pentingnya
konsep/pengetahuan lokal atau ulayat.
Kesimpulannya adalah Alatas mencoba mendomestikasikan masalah ilmu
sosial, baik mengenai lembaga ilmu-ilmu sosial yang mula-mula ada di Asia,
kemudian perkembangan epistemologi keilmuan, hingga aneka pilihan topik
kajian serta tema penelitian. Beberapa kritik yang ia munculkan, antara lain adalah
asumsi tidak adanya aliran atau tradisi kawasan dalam sosiologi atau ilmu sosial
lain yang muncul di masyarakat non Eropa dan non-Amerika Utara. Perdebatan
117 Alatas, Teaching, Op.Cit., pp. 319-320.
134
ilmu sosial dunia yang didominasi oleh Barat ini, menurut Alatas dikarenakan
tingginya derajat yang disematkan pada teori, sehingga mengukuhkan teori-teori
Barat kontemporer dan klasik sebagai pusat perdebatan teoretis. Selain itu
kurangnya kreativitas dan orisinalitas terkait dengan meluasnya pendidikan Barat
lewat kolonialisme atau modernisasi Barat berimbas pada kebergantungan
intelektual berupa kebergantungan pada sponsor, serta pendiktean pada pemilihan
minat kajian serta desain riset, serta bentuk penerbitan.
Namun apa yang dilakukan Alatas sebagai bentuk penyamarataan konsep
sakralisasi ilmu pengetahuan memiliki implikasi yang panjang. Sebagaimana
diketahui, masing-masing agama memiliki klaim atas kebenarannya masing-
masing terhadap yang lainnya. Seperti istilah yang tepat untuk menggantikan
terminologi religi yang sudah mendarah daging pada diri ilmuwan Non-Barat,
bahkan masyarakat luas. Penggantian konsep ini tidak dijelaskan secara konkret
olehnya dan membuat masing-masing agama yang berupaya mengganti konsep
religi, mengarahkan konsepsinya pada nativisme. Padahal semangat penggantian
konsep ini berasal dari penggalian mendalam ajaran agamanya.
Lalu, apakah lantas diskursus alternatif, yang tidak hanya melulu kritik dan
diagnosa, namun juga rumusan cara pandang Asia, yang ditawarkan Alatas
tersebut diapresiasi sebagai solusi ketidakmerdekaan intelektual ilmu sosial di
negeri non Eropa-Amerika? Jawabannya akan mengerucut pada masalah waktu.
Tapi yang dapat dilakukan pembaca setelah membaca skripsi ini adalah upaya
mencari alternatif terbaik dalam menangkal serangan Eurosentrisme dalam
sosiologi, pada khususnya. Bagi para dosen mungkin perlu mempertimbangkan
pengajaran yang lebih adil antara konsep dan teori Barat dan karya para ilmuwan
non-Barat.
Allahu „alam
135
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep captive mind pertama kali dikemukakan Syed Hussein Alatas pada
tahun 1972. Syed Hussein Alatas mendefinisikan captive mind sebagai gejala
mental yang dimiliki para ilmuwan untuk meniru ilmu pengetahuan yang berasal
dari Barat secara keseluruhan. Tanpa kritis mereka menerima klaim universal dari
ilmu sosial Barat. Hal ini berimplikasi pada ilmu sosial Eurosentris yang
kemudian melembaga pada masyarakat ilmiah Dunia Ketiga. Pemikiran tersebut
merasuk dalam setiap tingkatan aktivitas ilmiah, mempengaruhi latar masalah,
analisis abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan
interpretasi.
Eurosentrisme pertama kali dikemukakan Samir Amin dalam bukunya
yang berjudul “Eurocentrism”. Amin menyebut fenomena Eurosentrisme lebih
dalam dari teori Orientalisme yang dikemukakan Edward Said. Amin menyebut
Eurosentrisme sebagai bentuk pengendalian Eropa terhadap ilmu pengetahuan di
seluruh dunia. Padahal dengan latar belakang yang berbeda menjadikan ilmu
pengetahuan Eurosentris merusak sendi-sendi ilmu sosial di Negara berkembang.
Selain itu, ilmuwan lain yang bernama Immanuel Wallerstein menyatakan bahwa
Eurosentrisme merupakan hidra raksasa yang kepalanya memiliki banyak avatar.
Avatar pada Eurosentrisme terletak pada historiografi yang mengakui keunggulan
Eropa, klaim universalisme dalam ilmu pengetahuan, Orientalismenya dalam
memandang Timur, asumsinya tentang peradaban Barat yang begitu istimewa, dan
upayanya dalam memaksakan teori kemajuan.
Fenomena yang berasal dari luar (eksogen) dan dari dalam (endogen) pada
ilmu sosial di Negara dunia Ketiga menyebabkan seorang tokoh yang bernama
Syed Farid Alatas merumuskan konsep diskursus alternatif. Gagasan Alatas
mengenai diskursus alternatif tidak dapat dipisahkan dari peran ayahnya, Syed
Hussein Alatas. Alatas mengangkat kembali konsep Captive mind pada berbagai
artikelnya di jurnal internasional. Alatas kemudian mengaitkan fenomena captive
136
mind dan imperialisme akademis, dengan gagasannya tentang struktur
kebergantungan akademik yang membuat dominasi ilmu sosial Barat begitu
melekat pada negara berkembang.
Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas merupakan koreksi terhadap
jenis-jenis ilmu pengetahuan yang diperkenalkan sejak era kolonial. Secara umum
para ilmuwan memberi perhatian terhadap masalah Eurosentrisme, peniruan tak
kritis terhadap ide, konsep, dan teori dari Barat, konteks kebergantungan akademis
dan imperialisme intelektual yang menjadi tempat berlangsungnya masalah
Eurosentrisme. Label diskursus alternatif lebih tepat karena para ilmuwan
menempatkan diri sebagai penentang terhadap apa yang diterapkan sebagai arus
utama (mainstreem), yang secara umum merupakan diskursus berorientasi Euro-
Amerika yang terus mendominasi ilmu sosial di sebagian besar masyarakat Asia.
Menurut Alatas upaya untuk melepaskan Eurosentrisme dalam sosiologi
dapat dilakukan dengan melakukan indigenisasi ilmu pengetahuan. Para sarjana
non-Barat dapat mengangkat kembali tokoh yang berperan dalam pengembangan
sosiologi modern dari luar Eropa, seperti Ibn Khaldun. Alatas kemudian
melakukan teorisasi atas konsep yang dikemukakan Khaldun, karena menurutnya
hal ini merupakan suatu yang penting agar pemikiran seorang tokoh dapat relevan
dari masa ke masa.
Selain itu sebagai seorang dosen, Alatas memiliki trik khusus dalam
pengajaran sosiologi di NUS yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan pada
pengajaran sejarah sosiologi di Indonesia. Dalam perkuliahan, Alatas tetap
mengajarkan berbagai teori yang dikemukakan sosiolog klasik Eropa, namun
memberikan porsi yang seimbang dalam penyampaian teori ilmuwan non-Barat.
Dalam kapasitasnya sebagai dosen, Alatas menyatakan agar hal ini dapat
dielementasikan para pengajar teori sosiologi non-Barat agar para siswa terbiasa
dengan berbagai karya tokoh sosiologi non-Barat.
B. Saran
Efek negatif peniruan tidak kritis terhadap ilmu sosial Barat telah
dijelaskan sebelumnya pada skripsi ini. Berbagai upaya untuk keluar dari masalah
137
tersebut juga telah dijabarkan Syed Farid Alatas dalam diskursus alternatif
terhadap ilmu pengetahuan Eurosentris. Gagasan diskursus alternatif yang
dikemukakan Alatas juga dapat memberi gambaran secara utuh mengenai
kemungkinan atas upaya melepaskan dominasi ilmu sosial Barat pada ilmu sosial
negara Dunia Ketiga.
Diskursus alternatif yang dihimpun Alatas dapat memberi gambaran untuk
memilih metodologi yang tepat dalam menangkal masalah Eurosentrisme. Para
akademisi dapat meneruskan konsep yang telah dijabarkan oleh para ilmuwan
non-Barat, membuatnya menjadi lebih teoritis dan mengangkatnya dalam jurnal
ilmu sosial di seluruh dunia. Upaya mengenalkan gagasan ilmu sosial non-Barat
juga dapat membuka jalan bagi perumusan ilmu sosial yang lebih indigenik.
Semua upaya ini berawal dari kesadaran ilmuwan non-barat atas pola pikir
terbelenggu, yaitu captive mind. Kesadaran mengenai posisi ilmu sosial Barat
yang tidak selalu relevan bagi masyarakat ulayat perlu ditanamkan pada jiwa para
ilmuwan. Ilmuwan non-Barat harus lebih percaya diri terhadap karyanya sendiri,
serta berani mendomestikkan karya ilmiah ilmuwan Barat yang kurang sesuai
dengan konteks ulayat. Namun seperti yang telah dikemukakan Wallerstein,
gagasan alternatif ini tidak boleh memiliki sifat anti-Eurosentrisme namun
Eurosentrik. Para ilmuwan harus tetap jeli dalam memisahkan hal yang dianggap
universal namun partikular dalam ilmu sosial Barat. Lebih lanjut Alatas
mengingatkan agar upaya indigenisasi ilmu sosial tidak boleh menjadi nativisme.
Pengajaran sosiologi yang dijelaskan Alatas juga dapat menjadi kerangka
acuan dalam pengembangan ilmu sosial yang lebih ulayat bagi Negara Dunia
Ketiga. Akademisi perlu menyusun kembali kurikulum pengajaran ilmu sosiologi,
dan berupaya menanamkan semangat kepada mahasiswa tentang irelevansi ilmu
sosial Barat. Para mahasiswa yang sadar dapat mengembangkan gagasan tersebut.
Meski proses yang dijalani tidak semudah membalikkan telapak tangan karena
memerlukan upaya keras setiap elemen. Melalui konferensi ilmiah, diskusi panel,
seminar, lokakarya, dan lain sebagainya, semangat indigenisasi ilmu sosial
termasuk sosiologi diharapkan dapat lebih mengudara.
138
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dadang. 2011. Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2007. Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan
Pandangan Alam. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia.
Alatas, Syed Farid. 2010. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia:
Tanggapan terhadap Eurosentrisme. Terj. Ali Noer Zaman. Bandung:
Mizan Publika.
______. “11 Indigenization: Features and Problems.” Asian Anthropology
Journal, 227, 2004, pp. 227-243.
______. “A Khaldunian Exemplar for a Historical Sociology for the South.”
Current Sociology Journal, May 2006, Vol. 54(3): 397–411.
______. “Academic Dependency and the Global Division of Labour in the Social
Sciences.” Jurnal Current Sociology, Vol. 51 No. 6: 599-613.
______. “Academic Dependency in the Social Sciences: Reflections on India and
Malaysia.” American Studies International, Vol. 38, No. 2 (JUNE 2000),
pp. 80-96.
______. “Alternative Discourses in Southeast Asia.” Jurnal Sari, Vol. 19, 2001:
pp. 49-67.
______. “An Introduction to The Idea of Alternative Discourses”, Southeast Asia
Journal of Social Science, Vo. 28, No. 1, 2000: pp. 1-12.
______. “Editorial Introduction: The Idea of Autonomous Sociology Reflections
on the State of the Discipline”. Current Sociology, January 2006, Vol
54(1),
______. “From Jami`ah to University Multiculturalism and Christian–Muslim
Dialogue. Current Sociology. January 2006. Vol 54(1): 112-132.
______. “Ibn Khaldun and Contemporary Sociology.” Review Essay.
International Sociology Association, Vol. 21 (6). November 2006: 782–
795.
139
______. “Introduction.”Humboldt Journal of Social Relations, Vol. 23, No. 1/2,
ASIA (1997), pp. 21-25.
______. “On The Indigenization of Academic Discourse.” Alternatives: Global,
Local, Political Journal, Vol. 18, No. 3 (Summer 1993), pp. 307-338.
______. “Reflection on The Idea of Islamic Social Science.” Comparative
Civilizations Review, 1986: pp. 60-86.
______. “Rethinking The Teaching of Sociology in The Context of
Eurocentrism.” Makalah tidak dipublikasikan.
______. “Teaching Classical Sociological Theory in Singapore: The Context of
Eurocentrism. Teaching Sociology, Vol. 29, No. 3 (Jul. 2001), pp. 316-
331.
______. “The Definition and Types of Alternative Discourses.” Chang, Fei-yu
Hsieh (red.) 2, 2010: pp. 139-157.
______. “The Historical Sociology of Muslim Societies, Khaldunian Applications,
International Sociology, May 2007, Vol. 22 (3): pp. 267–288.
______. “The Problem of Academic Dependency: Latin America and the Malay
World.” (Jurnal tidak diketahui) pp. 273-308.
______. “The Role of Human Sciences In The Dialogue Among Civilizations.”
Development And Society Journal, Volume 31 Number 2, December
2002, pp. 265-279.
______. “The Sacralization of the Social Sciences: A Critique of an Emerging
Theme in Academic Discourse” Archives de sciences sociales des
religions, 40e Année, No. 91 (Jul. - Sep., 1995), pp.89-111.
______. “The Study of the Social Sciences in Developing Societies: Towards an
Adequate Conceptualization of Relevance.” Current Sociology 2001 49: 1,
Vol. 49 (2), pp. 1-9.
Alatas, Syed Hussein. “Erring Modernization: The Dilemma of Developing
Societies.” Symposium on the Developmental Aims and Socio-Cultural
Values in Asian Society. Bangkok, 3-7 November, 1975.
______. “Intellectual Imperialism: Definition, Traits, and Problems.” Southeast
Asian Journal of Social Science Volume 28 Number 1 (2000): pp. 23-45.
140
______. “The Autonomous, the Universal and the Future of Sociology.” Current
Sociology, January 2006, Vol 54(1): pp. 7–23.
______. “The Captive Mind in Development Studies.” Jurnal Social Science, Vol.
XXIV, No. 1, 1972: 9-25.
______. “The Development of an Autonomous Social Science Tradition in Asia:
Problems and Prospects.” (jurnal tidak diketahui), pp. 150-155..
______. The Myth of The Lazy Native a Study of The Image of The Malays,
Filipinos And Javanese From The 16th To The 20th Century and Its
Function in The Ideology Of Colonial Capitalism. 1977. Oregon: Frank
Cass and Company Limited.
Ali, Syed Husin. “Syed Hussein Alatas (1928-2007).” Akademika 73 Mei 2008,
pp. 139-144.
Alvares, Claude. 2011. “A Critique of Eurocentric Social Science and The
Question of Alternatives.” Economic and Political Weekly, Vol. XLVI,
No. 22, 28 May 2011, 72-81.
Amin, Samir. 2009. Eurocentrism: Modernity, Religion, and Democracy, A
Critique of Eurocentrism and Culturalism terj. Russel Moore dan James
Membrez. New York: Monthly Review Press.
Bagader, Abukaker A, Ed. Islam dan Perspektif Sosiologik. Surabaya: Amarpress.
Borham, Abd Jalil. “Pengaruh Khilafah Othmaniyyah Turki Dalam Pentadbiran
Kerajaan Johor Bagi Memartabatkan Sebuah Negara Islam Merdeka Di
Asia Tenggara, Makalah pada Simposium Isu-Isu Sejarah dan Tamadun
Islam (SISTI 2011) Peringkat Kebangsaaan di Sudut Wacana ATMA,
Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor pada 8-10 April.” 2011.
http://umpir.ump.edu.my/3355/1/JOHOR_TURKI.pdf
Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings. New York: Pantheon.
Handrianto, Budi. 2010. Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sains
Barat Modern. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Kuntowijoyo. 2008. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Nazir, Moh. 2011. Metode Penelitian, Edisi ketujuh. Bogor: Ghalia Indonesia.
141
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Ritzer, George. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
_____. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:
Rajawali Press.
Sabaratnam, Meera. “Avatars of Eurocentrism in the Critique of the Liberal
Peace.” Published in Security Dialogue, Vol. 44, June 2013, No. 3,
page 259-278, Post-print version.
Smith, Linda Tuhiwal. 2005. Dekolonisasi Metodologi. Yogyakarta: INSISTPress.
Sutopo, Oki Rahadianto. 2011. “Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global.” Jurnal
Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 201-206.
Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2013. Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Turner, Bryan S. 2008. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat: Bongkar
Wacana atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, dan Globalisme.
Yogyakarta: Ar-ruz Media.
Vargas, Manuel. “Eurocentrism and The Philosophy of Liberation.” University of
San Francisco.
Wallerstein, Immanuel. 2006. “Eurocentrism and Its Avatars: The Dilemmas of
Social Science”. Makalah disampaikan pada Korean Sociological
Association-International Sociological Association East Asian Regional
Colloquium on “The Future of Sociology in East Asia”, 22-23 November,
Seoul.
Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/04/26/prosedur-penelitian-ilmiah/
http://www.interactive.net.in/node/30
http://www.interactive.net.in/node/30.
Archives de sciences sociales des religions, 40e Année, No. 91 (Jul. - Sep., 1995),
pp.89
Terima Kasih yang tak terhingga kepada guru besar Fakultas Art and Social
Sciences, Jurusan Sosiologi, Nasional University of Singapore,
Prof. Dr. Syed Farid Alatas