konsep asuhan keperawatan kusta

23
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM dan telah dikenal oleh  peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi kesehatan du nia (WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang  perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan dibelahan dunia ,seperti India,dan Vietnam. Pengobatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan diperkenalkanya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra sertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini terjadi hingga ditemukan  pengobatan multi obat pada awal 1980an dan pen yakit inipun mampu ditangani kembali. Maka dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul “Penyakit Kusta (Morbus Hansen) dan Asuhan Keperawatannya” dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan mengetahui  apa itu penyakit kusta, penularan, bagaimana pencegahannya dan asuhan keperawatannya. B. Tujuan Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut : a. Untuk menjelaskan definisi kusta.  b. Untuk menjelasakan bagaimanakah klasifikasi kusta. c. Untuk menjelasakan bagaimanakah etiologi kusta. d. Untuk menjelasakan bagaimanakah patofisiologi kusta. e. Untuk menjelasakan bagaimanakah manifestasi klinis kusta. f. Untuk menjelaskan bagaimanakah konsep pencegahan kusta. g. Untuk menjelasakan bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien kusta.

Upload: ofan-whaka

Post on 16-Oct-2015

61 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

stikes mataram

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangKonon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan dibelahan dunia ,seperti India,dan Vietnam.Pengobatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan diperkenalkanya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra sertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini terjadi hingga ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980an dan penyakit inipun mampu ditangani kembali.Maka dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul Penyakit Kusta (Morbus Hansen) dan Asuhan Keperawatannya dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan mengetahui apa itu penyakit kusta, penularan, bagaimana pencegahannya dan asuhan keperawatannya.

B. TujuanMakalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :a. Untuk menjelaskan definisi kusta.b. Untuk menjelasakan bagaimanakah klasifikasi kusta.c. Untuk menjelasakan bagaimanakah etiologi kusta.d. Untuk menjelasakan bagaimanakah patofisiologi kusta.e. Untuk menjelasakan bagaimanakah manifestasi klinis kusta.f. Untuk menjelaskan bagaimanakah konsep pencegahan kusta.g. Untuk menjelasakan bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien kusta.

C. Rumusan masalahBerdasarkan latar belakang yang dikemukakan maka rumusan masalah dlam penulisanini adalah konsep dasar askep kusta

BAB IIPEMBAHASAN

A. Konsep Penyakit Kusta1. DEFINISIKusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000) Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 ) Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)

2. ETIOLOGI Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.B. Epidemiologi Penyakit KustaCara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam. b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang. Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yng penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyaki terinfeksi lainnya.Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycrobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah : Usia: Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa Jenis kelamin: Laki-laki lebih banyak dijangkiti Ras: Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti Kesadaran social: Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah Lingkungan: Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat

C. Konsep Diagnosa1. MANIFESTASI KLINISMenurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinalberikut: 1)Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. 2) BTA positif, Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.

2. KLASIFIKASI No.Kelainan kulit & hasil pemeriksaanPause BasilerMultiple Basiler

1.Bercak (makula) jumlah ukuran distribusi

konsistensi batas kehilangan rasa pada bercak

kehilangan berkemampuan berkeringat,berbulu rontok pada bercak

1-5 Kecil dan besar Unilateral atau bilateral asimetris Kering dan kasar Tegas Selalu ada dan jelas

Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak

Banyak Kecil-kecil Bilateral, simetris

Halus, berkilat Kurang tegas Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok

2.Infiltrat Kulit

membrana mukosa tersumbat perdarahan dihidung Tidak ada

Tidak pernah ada Ada,kadang-kadang tidak ada Ada,kadang-kadang tidak ada

3.Ciri hidungcentral healing penyembuhan ditengaha.punched outlession b. medarosisc. ginecomastiad. hidung pelanae. suara sengau

4.NodulusTidak adaKadang-kadang ada

5.Penebalan saraf tepiLebih sering terjadi dini, asimetrisTerjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan simetris

6.Deformitas cacatBiasanya asimetris terjadi diniTerjadi pada stadium lanjut

7.Apusan BTA negatifBTA positif

Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi.2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa (facies leonina).

Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.

3. PATOGENESISSetelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.4. PEMERIKSAAN PENUNJANGa. Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain.3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:a. Cuping telinga kiri atau kananb. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:a. Tidak menyenangkan pasien b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain. 6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka kuman resisten terhadap obatd. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

Indeks Bakteri (IB):Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut: 0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang 1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang 2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang 3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM)Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.D. Konsep Pencegahan Penyakit Kustaa) Pencegahan primerPencegahan primer dapat dilakukan dengan :a. Penyuluhan kesehatanPencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006)b. Pemberian imunisasiSampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).b) Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :a. Pengobatan pada penderita kustaPengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).c) Pencegahan tertiera.Pencegahan cacat kustaPencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) : Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf. b.Rehabilitasi kustaRehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi : Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan. Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi. Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan. Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.

E. Konsep Terapi1. TERAPI MEDIKTujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.b) Tipe MB ( MULTI BASILER)Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.c) Dosis untuk anakKlofazimin:Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BBd) Pengobatan MDT terbaruMetode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.e) Putus obatPada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.F. Konsep Asuhan Keperawatan1. Pengkajiana. Identitas pasienUmur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah. b. Riwayat penyakit sekarangBiasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuhc. Riwayat kesehatan masa laluPada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.d. Riwayat kesehatan keluarga Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.e. Riwayat psikososialKlien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.f. Pola aktivitas sehari-hariAktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkang. Pemeriksaan fisikKeadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.Sistem persarafan:a. Kerusakan fungsi sensorikKelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.b. Kerusakan fungsi motorikKekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).c. Kerusakan fungsi otonomTerjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

2. Diagnosa 1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan 3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh 3. IntervensiDiagnosa 1Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.Kriteria :1) Menunjukkan regenerasi jaringan 2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesiIntervensi:1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka Rasional : Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasiRasiona : menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitarRasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndamRasional : Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekananRasional : Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan Diagnosa 2Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilangIntervensi:1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.2. Observasi tanda-tanda vitalRasional : Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasiRasional : Dapat mengurangi rasa nyeri4. Atur posisi senyaman mungkinRasional : Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasiRasional : menghilangkan rasa nyeriDiagnosa 3Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan Kriteria:1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari2) Kekuatan otot penuhIntervensi:1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulitRasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktifRasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahatRasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihanRasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstanDiagnosa 4Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkatKriteria: 1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatifIntervensi1. Kaji makna perubahan pada pasienRasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salahRasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas4. Berikan penguatan positifRasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekatRasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien

BAB IVPENUTUPA. KesimpulanKusta Adalah Penyakit Infeksi Yang Berlangsung Dalam Waktu lama, penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Menyerang saraf tepi sebagai tujuan pertama, lalu kulit dan saluran pernapasan bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Nama lainnya adalah Lepra atau Morbus Hansen.Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang di temukan G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, tahan asam dan alkohol, serta dengan pewarnaan giemsa akan menunjukkan hasil Gram positif (berwarna ungu). Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran tanda dan gejala yang dimiliki. Diantara semuanya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana.B. SaranSetelah membaca dan membahas makalah ini mahasiswa sebagai calon perawat profesional dapat memahami dan mejalankan asuhan keperawatan pada pasien lepra. Prinsip yang penting di harapkan dapat diajarkan pada pasien perawatan diri sendiri untuk pencegahan cacat kusta adalah : pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko terjadinya luka pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam, menggosok, melumasi) dan melatih sendi bila mulai kaku penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan membersihkan luka, mengurangi tekanan pada luka dengan cara istirahat

DAFTAR PUSTAKADepkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII, Depkes JakartaMansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC. Jakarta, 1995Simposium Penyakit Kusta, FKUA Surabaya Marrilyn, Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakart

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah swt yang telah memberikan cinta kasih, rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul asuhan Keperawatan kustaMakalah ini disusun untuk melengkapi tugas matakuliah system integumen. Kami harapkan pengetahuan kami mengenai kesehatan dalam kerjaUcapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penyusunan makalah ini terutama kepada1. Penanggung jawab Matakuliah system integumen serta team dosen yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada kami1. Orangtua kami yang senantiasa memberikan dorongan, semangat dan restu sehingga makalah ini dapat disusun dengan lancar1. Teman-teman yang telah memberikan masukan dan semangat kepada kami

Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah yang kami susun. Oleh karena itu, kritis dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan untuk tugas-tugas berikutnya.

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGHANTAR.................................................................................................... iDAFTAR ISI........................................................................................................................ iiBAB I : PENDAHULUAN................................................................................................1A. Latar Belakang.......................................................................................................1B. Tujuan Masalah.....................................................................................................1C. Rumusan Masalah..................................................................................................2BAB II : PEMBAHASAN.................................................................................................2A. Pengertian penyakit kusta............................................................................,2B. Epidemiologi penyakit kusta.......................................................................................3C. Konsep diagnose .......................................................4D. Konsep pencegahan ...............................................................................9E. Terapi ........................11F. Konsep asuhan keperawatan kusta ..............................................................................12BAB III : PENUTUP............................................................................................................20A. Kesimpulan...............................................................................................................20B. Saran ................................................................................................20DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................21

iiASKEP KUSTA

SuparjoToto EriantoTaufiqurrahmanYuliasni RAZulkarnaenM. Rasi AkbarI kadek LangkirNana Irawati Joy Adi PutraRodiah IstiqomahSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM2012Muhammad FahrurroziMuhamaad IzuddinMujibatul HikmahNurfitriana HarisNi wayan santiPramandaRita NovitaRoni apriadiSofiana rahmaniSri wahyu NingsihSuciyati rahmadani

23