konsep al-qaḌĪ ‘abd al-jabbĀr dan abu hasan...
TRANSCRIPT
KONSEP AL-QAḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR DAN ABU HASAN AL-ASY‘ARI
TERHADAP SIFAT TASYBĪH
SKRIPSI
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)
Oleh
Fitrotul Azizah
NIM: 1113033100066
PROGAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
Ph.D
v
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Arab Indonesia Arab Indonesia
ṭ ط a ا
ẓ ظ b ب
‘ ع t ت
gh غ ts ث
f ف j ج
q ق ḥ ح
k ك kh خ
l ل d د
m م dz ذ
n ن r ر
w و z ز
h ه s س
’ ء sy ش
y ي ṣ ص
h ة ḍ ض
VOKAL PANJANG
Arab Indonesia
Ā ٱ
Ī اى
Ū او
1Hipius, Ilmu Ushuluddin’ Jurnal: Himpunan Peminat Ilmu Ushuluudin (HIPIUS). Vol.1,
no.1 Januari 2013
vi
ABSTRAK
Fitrotul Azizah
Konsep Al-Qāḍī Abd al-Jabbār dan Abu Hasan al-Asy‘ari Terhadap Sifat
Tasybīh
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konsep tasybīh dalam
pandangan dua tokoh yang mewakili dua kutub pemikiran yang kerap kali
bertentangan, yaitu Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dan Abu Hasan al-Asy‘ari. Konsep
tasybīh pada hakikatnya bertujuan untuk mensucikan Tuhan dari makhluk-Nya.
Bahwa, dilihat dari sudut pandang manapun, Tuhan tetap tidak disamakan
dengan makhluk-Nya baik dari segi sifat, asma, dan af’al-Nya (perbuatan-Nya).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis.
Yaitu akan mendeskripsikan berbagai masalah terkait dengan konsep tasybīh
dan kemudian menganalisisnya dengan metode perbandingan. Adapun teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kajian pustaka (library research).
Penelitian ini berkesimpulan bahwa dalam memandang persoalan tasybīh,
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār hendak memurnikan ke-Esa-an Tuhan dengan
menjauhkan segala persepsi bahwa Dia memiliki sifat, yaitu Tuhan disamakan
dengan manusia seperti mempunyai tempat, anggota tubuh dan sifat lainnya.
Karena baginya Tuhan bersifat immateri. Sedangkan ayat al-Qur‘an yang
mengindikasikan bahwa Tuhan memiliki sifat seperti tangan, wajah, dan
bersinggah di Arsy, harus diinterpretasikan dengan kekuasaan, Dzat-Nya dan
menguasai.
Berbeda dengan cara Al-Qᾱḍī dalam mensucikan Tuhan dengan makhluk-
Nya, Al-Asy‘ari tetap mengatakan bahwa Tuhan memiliki sifat sebagaimana
jelas termaktub dalam al-Qur‘an. Namun segala sifat Tuhan tersebut tidak dapat
dibayangkan oleh makhluk-Nya seperti apa (bilakaifa).
Kata Kunci: Tasybīh, Tuhan, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Abu Hasan al-Asy‘ari.
vii
KATA PENGANTAR
Sesungguhnya segala bentuk pujian hanya pantas ku sandarkan kepada
Allah SWT, dan kepada-Nya aku memuja, berserah diri, serta memohon
ampunan. aku juga berlindung kepada Allah dari buruknya tipu-daya nafsu, dan
dari segala bentuk amalan yang menyimpang. Sebab, siapa saja yang telah Allah
berikan petunjuk, maka tidak ada satu pun makhluk yang sanggup
menyesatkannya. Dan sebaliknya, siapa saja yang sudah Allah tetapkan sebagai
manusia yang tersesat, maka tidak ada satu makhluk pun yang sanggup
memberinya sebuah petunjuk (hidayah) kepadanya. Dan aku bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang aku sembah selain Allah, hanya Dia yang Maha Esa, tiada sekutu
bagi-Nya. Dan aku juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw merupakan hamba
yang sekaligus utusan-Nya.
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillāh Rabb al-‘Ālamīn, atas rahmat
serta kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
mengambil judul: Konsep Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dan Abu Hasan al-Asy‘ari
terhadap sifat-sifat tasybīh.
Tujuan penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memeroleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag.) strata satu pada Program Studi Aqidah dan Filsafat
Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mambangun
sebagai bahan masukan dari semua pihak.
viii
Terselesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak,
sehingga pada kesempatan ini dengan segala hormat penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya bagi semua pihak yang telah memberikan masukan
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyusun skripsi ini hingga
selesai, terutama kepada yang saya hormati:
1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal, MA. selaku Pembimbing yang telah
membantu penulisan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M. Ag. selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Dra. Tien Rahmatin, MA. selaku Ketua Jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Abdul Hakim Wahid, MA. selaku Sekretaris Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang tua tercinta yang
sangat mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, saya
persembahkan untuk Ayahanda tercinta Ahmad Thoha dan Ibunda
tercinta Muniroh, yang selalu mendoakan saya disetiap sujud dan
doanya, semoga beliau selalu dalam lindunganNya. Untuk adik
tersayang Muhammad Khotibul Lubab, dan terimakasih kepada,
nenek saya Mbah Maimunah, Mbah Hj Rateni, Om, bulek, dan
seluruh keluarga besar saya yang tidak bisa saya sebutkan satu
ix
persatu, yang memberikan dukungan dan doanya sampai saat ini.
Terimakasih pula untuk sahabat saya Faizatul Abadiyah, yang selalu
memberikan dukungan masukan dan saya ucapkan Selamat
menempuh hidup baru Sakinah Mawaddah Warahmah. Ucapan
terimakasih saya ucapkan pula untuk senior Aqidah dan Filsafat Islam,
ka Syakur dan ka Bindan yang telah memberikan bimbingan dan
arahan untuk juniornya ini untuk menyelesaikan skripsi ini. Saya
ucapkan terimakasih kepada teman-teman seperantauan WASIAT
JAKARTA (Wadah Alumni Silaturrahim Tarbiyatut Tholabah) dan
FORMALA (Forum Mahasiswa Lamongan). Saya juga
berterimakasih kepada HMJ Aqidah dan Filsafat Islam, dan BEMF
Ushuluddin yang telah memberikan saya kesempatan untuk berproses
disana meski banyak kekurangan dari saya. kepada teman-teman
seperjuangan di Aqidah dan Filsafat Islam angkatang 2013, Rizka
widayanti, Triana Sugesti, Cici Zulaika, Dalillah Ukhriyati,
Rusmiyanahia, Teti Pujiawati, Nur Amaliadini (Nadin), Siti Salbiah,
Aulia Ning, Mursyidah, Nur Intan, Siti marliana (lea), Anita Amalia,
Selfiana, dkk yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Dan untuk
teman kosan saya Mba Siti Zulaika, Rahajeng Ayesha A. Tetangga
kosan saya mbak Sholihah (Vita), Chusnul Waroh, Himmatul M. dkk.
Serta teman-teman Asrama An-Nubala, teman IRMADA (Ikatan
Remaja Mushollah AN-Nubala) terimakasih atas dukungan dan
semangatnya. Untuk kepala TPQ An-Nubala Ustadzah Pipil Napilah
x
S.Th.i yang banyak memberikan dukungan dan bimbingannya serta
teman seperjuangan mengajar, Desi dan Novi Novera, yang tak henti-
hentinya menanyakan kapan wisuda?. Untuk teman seperantauan saya
seperjuangan sepenanggungan, Wahyuni I., mbak Mir’atun N,
Syafi’atul U, Windi A, mbak Aulia A, Jamil, Lukman. Tak lupa pula
trimakasih kepada temang seangkatang saya di KAHFI BBC
Motivator School, angkatan 17. Yang memberikan dukungan untuk
menyelesaikan skripsi ini dan teman seangkatan yang sama-sama
dalam menyelesaikan skripsi, Ajeng, Hoti, ka Fikriyah, Ami, Lusi,
Ames, Redy, Lita, Lulu, Ernis Mia, Dkk.
Akhir kata penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak
dan apabila ada yang tidak tersebutkan dalam kata pengantar ini mohon maaf, dan
dengan besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya
sendiri dan umumnya bagi semua pembaca. Bagi para pihak yang telah membantu
dalam penulisan ini semoga segala amal kebaikan langsung mendapat balasan
yang sangat berlimpah dari Allah Subhānahu wa Ta’ālā āmīn Yā Rabb al-
‘Ālamīn.
Jakarta, 04 Juni 2018
Fitrotul Azizah
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 10
E. Metode Penelitian ....................................................................... 11
F. Sistematika Penelitian ................................................................. 12
BAB II AL-QᾹḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR DAN ABU HASAN AL-ASY‘ARI
1. Sejarah Hidup Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār ............................... 14
2. Posisi Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār ............................................ 16
3. Karya al-Qādī „Abd al-Jabbar .............................................. 21
A. Abu Hasan al-Asy‘ari
1. Sejarah Hidup Abu Hasan Al-Asy„ari ................................. 25
2. Posisi Abu Hasan Al-Asy„ari ............................................... 28
3. Karya Abu Hasan Al-Asy„ari .............................................. 34
BAB III KONSEPTASYBĪH MENURUT AL-QADI ‘ABD AL-JABBAR
DAN ABU HASAN AL-ASY’ARI
A. Landasan Teori ......................................................................... 36
1. Sejarah Ilmu Kalam............................................................ 36
2. Pengertian Kalam ............................................................... 39
3. Metode Ilmu Kalam ........................................................... 41
B. Menurut Al-Qādī ‘Abd Al-Jabbār .......................................... 42
xii
1. Tauhīd .................................................................................. 42
2. Tasybīh ................................................................................ 46
a) Ta‟wil Sifat Kalam ........................................................ 47
b) Ta‟wil Melihat Tuhan .................................................... 51
c) Ta‟wil WajahTuhan ....................................................... 53
d) Ta‟wil kata “Isytawāalā al-Arsy” ................................. 54
C. MenurutAbu Hasan Al-Asy‘ari ............................................... 55
1. Tauhīd .................................................................................. 55
2. Tasybīh ................................................................................ 56
a) Sifat Kalam ................................................................... 59
b) Melihat Tuhan ............................................................... 60
c) WajahTuhan .................................................................. 62
d) Kata “Isytawāalā al-Arsy” ........................................... 63
BAB IV PERBANDINGAN KONSEP TASYBIH AL-QADI ABD AL-
JABBAR DENGAN ABU HASAN AL-ASY’ARI
A. Tauhid ......................................................................................... 65
B. Tasybīh ........................................................................................ 66
1. Sifat Kalam ........................................................................... 70
2. Melihat Tuhan ....................................................................... 73
3. Wajah Tuhan ......................................................................... 74
4. Ta‟wil kata “Isytawāalā al-Arsy” ........................................ 75
5. Rangkuman Tabel ................................................................ 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 81
B. Saran .......................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemahaman tentang Tuhan dalam teologi Islam berbeda dengan
alam.Tuhan dipersepsikan sebagai Dzat Yang Maha Suci dari segala bentuk
keserupaan dengan makhluknya. Persepsi Tuhan selayaknya dijauhkan dari
sesuatu yang dapat mengotori kemurnian Dzat-Nya. Penyucian konsep
tentang Tuhan dari segala sifat makhluk tersebut disebut dengan Tanzīh yakni
Tuhan memiliki tingkat lebih tinggi daripada makhluk-Nya. Selain tanzīh ada
namanya Tasybīh yang berasal dari kata Syabāhā yakni menyerupakan
sesuatu dengan sesuatu yang lain, dalam hal ini adalah menyerupakan sifat
Tuhan dan makhluk-Nya.
Para mutakallimin mendukung tanzīh dan menganggap tasybīh adalah
bid‟ah atau sesat. Mereka berpendapat bahwa yang terdapat dalam al-Qur‟an
dan Hadits menyebutkan Tangan Tuhan, Mata Tuhan, Wajah Tuhan dan
sebagainya harus ditafsirkan secara metafor dan memberikan arti kata yang
sesuai yang tidak serupa dengan makhluk-Nya. Namun ada pula para
pendukung pendapat tentang penafsiran secara harfiah yang mengartikan
kata-kata yang sama tanpa penafsiran secara metafor atau penakwilan, kata
Tangan Tuhan, diartikan sama dengan Tangan Tuhan, namun kita tidak bisa
mengetahui bentuk dan sifat tangan tersebut. Tangan Tuhan tidak
2
samadengan tangang manusia dan manusia tidak boleh membayangkan
Tangan Tuhan seperti apa.
Salah satu perdebatan menarik dalam teologi adalah konsep tasybīh
yang dipahami sebagai penyerupaan Tuhan seperti bentuk tubuh manusia.
Dan yang dimaksud penyerupaan seperti bentuk tubuh manusia ialah bahwa
Tuhan mempunyai sifat yang mana sifat tersebut sama dengan sifat yang
dimiliki oleh manusia (makhluknya). Tema tasybīh merujuk pada
permasalahan bahwa ada beberapa pandangan yang berbeda mengenai Tuhan,
Tuhan memiliki sifat dan Tuhan tidak mempunyai sifat. Namun dari beberapa
pandangan tersebut para teolog mempunyai landasan masing-masing yang
kuat. Dalam permasalahan seperti ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan
bagaimana Tuhan memiliki sifat seperti manusia sedangkan manusia sendiri
diciptakan oleh Tuhan. Apakah sama apa yang dimaksud dengan sifat Tuhan
dengan sifat manusia, sedangkan seperti yang telah diketahui bahwa Tuhan
bersifat immateri.
Ada beberapa teolog yang membicarakan mengenai konsep tasybīh,
baik itu pro maupun kontra terhadap pandangan Tuhan mempunyai sifat dan
Tuhan tidak mempunyai sifat. Dalam hal ini penolakan terhadap konsep
tasybīh ini adalah Mu‟tazilah, yang berbeda pandangannya dengan
Asy„ariyah yang lebih mengutamakan nas Al-Qur‟an dan Hadits dari pada
akal atau rasio.1 Yang mana berbalik dengan Mu„tazilah yang mengutamakan
akal dan rasio. Menurut al-Baghdādī terhadap konsensus kalangan kaum
1Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), Cet. 12, h. 68.
3
Asy„ariyyah mengenai bahwa Tuhan mempunyai sifat, daya, pengetahuan,
pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal.2 Jelas ini sangat
berbeda dengan kaum Mu‟tazilah yang sering disebut kaum rasionalisme dan
persoalan teologinya yang mendalam dan bersifat filosofis.3 Karena Tuhan
termasuk dalam alam rohani maka rasio tidak dapat menerima bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani.4 Untuk mentauhidkan Allah Mu‟tazilah
berpandangan bahwa Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat
mengurangi keMaha Esaan Allah. Tuhan adalah satu-satunya Yang Maha Esa
dan tiada pula yang menyamaiNya.5 Oleh karena itu Mu‟tazilah menolak,
bahwa Tuhan tidaklah mempunyai sifat. Menurut Al- Qadī„Abd al-Jabbār,
Tuhan bersifat immateri dan tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat jasmani. Namun masing-masing berdasarkan apa yang telah
dibangun atas kerangka berfikir mereka dan mengklaim bahwa mereka sama-
sama mentauhidkan Allah dan memelihara keesaan Allah.
Menarik diulas lebih lanjut mengenai apakah Tuhan mempunyai sifat
atau tidak, ada beberapa alasan dan argumen yang digunakan untuk persoalan
seperti ini misalnya kaum Asy„ariyah, seperti yang telah disinggung diatas
bahwa ia mengatakan Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatannya-
perbuatannya, selain itu juga menyatakan bahwa Tuhan mengetahui,
menghendaki, berkuasa dan ia juga mengatakan bahwa Tuhan mempunyai
2Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 2011), h.136.
3Ris‟an Rusli, Teologi Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h.52-53.
4Harun, Nasution, Muhammmad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazialh, (Jakarta:
Universitas Indonesia (UI Press), 1987), h. 80. 5Nunu, Burhanuddin, Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2016), h. 106.
4
pengetahuan, kemauan dan daya.6 Bisa dipahami kaum Asy„ariyah mengenai
sifat-sifat Tuhan bahwa Tuhan memiliki sifat seperti mempunyai tangan dan
kaki, namun hal ini tidak dapat diartikan secara harfiyahnya saja, melainkan
secara simbolis.7 Abu Hasan al-Asy„ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah
itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang
tampak mirip.Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh
menyangkut realitanya (hakikat) tidak terpisah dari esensinya dengan
demikian tidak berbeda dengan-Nya.8 Ibn Kullāb berpendapat bahwa sifat
Tuhan bukanlah Dzat Tuhan dan tidak pula sesuatu yang lain dari Dzat
Tuhan.9 Sebaliknya dengan Mu‟tazilah bahwa sifat-sifat Allah melekat pada
dzat-Nya.10
Dalam pandangan Asy‟ariyah yang mengatakan bahwa Tuhan
memiliki sifat, berbalik dengan paham Mu‟tazilah yang menolak konsep
tasybīh. Suatu perdebatan yang menarik untuk dikupas lebih lanjut, aliran
Asy„ariyyah sebagaimana yang kita ketahui bahwa di Indonesia ini sendiri
sebagian besar masyarakatnya menganut teologi ahl al-sunnah wa al-
jama‘ah, atau lebih dikenal dengan aliran Asy„ariyyah. Seperti disekolah-
sekolah madrasah atau pesantren yang mengajarkan tentang tauhīd yang
6Harun Nasution, Teologi Islam, h.36.
7Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, IlmuKalam (Bandung: CV PustakaSetia, 2006), h.121.
8C.A. Qadir, Sifat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor 1991),
h.67-68. 9Zurkani, Jahja, Teologi Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.37.
10Abu, Abdullah bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin al-„Arabi al-Khatimi al-Ta‟i
al-andalusi dan Mahmud Mahmud al-Ghurab, Jagad Batin Ibnu Arabi, Penerjemah Imam Nawawi
(Yogyakarta: Institute of Nation Development Studies (INDeS), 2016), h. 47.
5
memperkenalkan sifat-sifat Allah yang itu merupakan ajaran pokok dari
kelompok ahl al-sunnah wa al-jama‘ah.
Sementara Mu‟tazilah sendiri meski di Indonesia tidak banyak dipakai
mengenai ajarannya khususnya tentang sifat Tuhan ini ia tidak serta merta
dalam penolakannya terhadap konsep tasybīh. Namun ia mempunyai
landasan yang kuat dan tidak semata atas pertimbangan akal, melainkan
merujuk pada al-Qur‟an yang menjadi pedoman umat Islam. Mereka
berlandaskan pada ayat al-Qur‟an yang berbunyi:11
Artinya: Tak ada satu pun yang menyamai-Nya (QS. Asy-Sūrā[42]:11)
Mu‟tazilah mengenai penolakan ini atas sifat-sifat Tuhan yaitu
didasarkan pada penolakan dua yang qadim. Jika terdapat dua yang qadim
maka menjadi ada dua Tuhan dan akan membawa kepada kemusyrikan.12
Sebagaimana Mu‟tazilah menamakan mereka sebagai Ahl al-Tawḥīd dan Ahl
al-‘Adl adalah tauhid sifat-sifat Allah yakni bahwa sifat itu tidak berbeda
dengan Dzat-Nya itu sendiri. Sedangkan Asy„ariyyah bahwa sifat-sifat Allah
berbeda dengan Dzat-Nya.13
Maka hal ini akan banyak menimbulkan
persepsi mengenai banyak keqadiman selain Dzat Tuhan dan bagi Mu‟tazilah
ini adalah mustahil bagi-Nya sebab bagi Mu‟tazilah yang qadim ialah hanya
Dzat Allah.14
Seperti pendapat tokoh Mu‟tazilah Abu al Hudzail Al-„Allāf
11
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, IlmuKalam.h.82. 12
Laily, Mansur, Pemikiran Kalam Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet.II, h.
52. 13
Murtadha, Muthahhari, Keadilan Ilahi, (Jakarta: Mizan Media Utama, 2009), h.27. 14
Sahilun A, Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010), h. 175
6
bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala ilmu, dan ilmu-Nya
adalah Dzat-Nya.Allah Maha Qudrah dan qudrah-Nya adalah Dzat-Nya.Allah
hidup dan kehidupan-Nya adalah Dzat-Nya.15
Dengan begitu maka
Mu‟tazilah meniadakan sifat Allah yakni sifat yang mempunyai wujud diluar
zat Allah namun bagi mereka Tuhan tetap Maha Mengetahui, Maha
Mendengar, Maha Kuasa, Maha Hidup, dan sebagainya namun semua itu
menurutnya adalah bagian dari esensi Tuhan.
Didalam permasalahan tasybīh pula para penganut Mu‟tazilah
mempunyai pandangan yang sedikit berbeda diantara mereka, ada yang
menolak secara keseluruhan mengenai sifat Tuhan yang secara mutlak adalah
Dzat Tuhan, dan ada pula yang memberikan penjelasan bahwa sifat dapat
dibagi menjadi dua yakni Dzatiyah dan Fi‟liyah seperti yang telah
dikemukakan oleh Abu al-Huzhail al-„Allaf dan Al- Juba„i.16
Menurut pendiri Mu„tazilah yakniWāṣil bin „Aṭā‟ bahwa telah
disepakati secara universal eksistensi dua Tuhan yang kadim adalah mustahil,
maka dari itu ketika menyatakan bahwa eksistensi sebuah entitas (sifat) yang
kadim pada Tuhan maka menyatakan bahwa ada dua Tuhan.17
Menurut al-
Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār bahwa makna tasybīh adalah kesamaan Tuhan
dengan makhluk dan sifat-sifat.18
15
Musthofa, Muhammad Asy Syak‟ah, Islam Tidak Bermazhab,(Jakarta: Gema Insani
Press, 1994), h. 316. 16
Achamd, Gholib, Teologi Dalam Perspektif Islam. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), h.
72 17
Al-Sahrastānī, Al-Milal wa Al-Niḥal. Penerjemah Syuaidi Asy„ari (Bandung: Penerbit
Mizan, 2004), h. 88. 18
Sayyed Ahmad Fazeli, Madzhab Ibn Arabi. (Jakarta: Sadra Press, 2016), h. 29.
7
Dalam konsep Tasybīh ini banyak pertentangan dikalangan teolog
seperti telah sedikit disinggng diawal seperti kaum Sunni yang memberikan
argumen bahwa Tuhan mempunyai sifat dan kemudian ditolak oleh
Mu‟tazilah sebagai respon atas pandangan tersebut.
Maka untuk itu penulis tergugah untuk mengangkat judul ini sebagai
skripsi, karena ingin mengkaji lebih dalam atas penolakan Mu‟tazilah
terhadap konsep tasybīh memperlihatkan proyeknya untuk mengintrogasikan
seluruh ilmu Islam dan pandangan ini juga sekaligus menguatkan atau
mentauhidkan Tuhan.
B. Batasandan Rumusan Masalah
Sebagai paham yang rasional, Mu‟tazilah memiliki banyak pemikiran
seperti yang terdapat pada lima ajaran dasar teologi Mu‟tazilah (usūl al-
Khamsah) yakni pertama, tawḥīd yaitu tentang pengesaan Tuhan, kedua, Al-
‘ādl yaitu keadilan Tuhan, ketiga, al-wa‘ādwa al-wa’īd yaitu janji dan
ancaman Tuhan, keempat, al-manzilahbayn al-manzilatayn yaitu posisi antara
dua posisi, dan kelima, al-amr bi al-ma‘rūfnahy munkar yaitu menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran. Selain dasar teologi
Mu‟tazilah ia juga mempunyai pendangan terhadap persoalan baik dan buruk,
tentang perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan, kehendak mutlak Tuhan dan
keadilan Tuhan, iman dan kufur, dan pelaku dosa besar. Dalam penulisan
skripsi ini, hanya akan dibatasi pada ulasan tentang penolakan Mu‟tazilah
terhadap konsep tasybīh pada masalah sifat Tuhan, dan kejisiman Tuhan.
8
Adapun apa yang dimaksud tasybīh ialah tentang penyerupaan Tuhan
seperti bentuk tubuh manusia. Dalam teorinya Mu‟tazilah konsep tasybīh ini
ditolak karena mustahil Tuhan mempunyai sifat, dan menurut mereka itu
tidak sesuai dengan akal bagaimana kita tahu bahwa Mu‟tazilah sangatlah
mengutamakan akal, bagi mereka kejisiman Tuhan itu mustahil diterima oleh
akal, dan ditegaskan bahwa Maha Suci Tuhan dari penyerupaan dengan
penciptaan-Nya.
Karena didalam mu„tazilah ada banyak tokoh: 1.Wasil bin Athā 2.Abu
Huzail al-Allaf 3.Bisyir Al-Mu‟tamir 4.An-Nazzam 5.Al-Jahiz Abu Usman
bin Bahar 6.Al-Juba‟i 7.Mu‟ammar bin Abbad 8.Bisyr al-Mu‟tami 9.Abu
Musa al-Mudrar 10.Hisyam bin Amr al-Fuwati 11.Summah bin Asyras
12.Abu al-Husain al-Khayyat 13.Al-Qadhi Abdul Jabbar dan seterusnya.
Dalm tulisan ini akan dibatasi pada tokoh tabakah yang ke 13 yaitu Al-Qodhi
Abdul Jabbar, dan saya mengambil tokoh ini karena pertama, banyak
karyanya dan kedua, tokoh ini diakui para akademisi sebagai tokoh yang
otoritatif atau berkompeten dalam menjelaskan doktrin mu„tazilah.
Selain dari tokoh Mu„tazilah yakni Al-Qodī„Adul al-Jabbar, didalam
skripsi ini saya juga akan membahas salah satu dari tokoh aliran yang
bertolak belakang dengan aliran Mu„tazilah, terutama dalam pembahasan
tentang konsep Tasybīh, dalam hal ini yang dikenal dengan teologi
Asy„ariyah, yang akan diwakili oleh salah satu dari tokoh aliran tersebut yang
sekaligus kedudukannya sebagai pendiri dari Asy„ariyyah yaitu Abu Hasan
Al-Asy„ari. seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa skripsi ini dibagi oleh
9
pemikiran atau pandangan dari kedua aliran tersebut mengenai sifat Tuhan,
yang mana kedua aliran ini mempunyai pandangan dan argumen yang
berbeda.
Adapun rumusan masalah dari studi ini ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār dan Abu Hasan Al-
Asy‟ari terhadap konsep tasybīh?
2. Apa alasan atau landasan Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār dan Abu Hasan AL-
Asy‟ari atas penolakan konsep tasybīh?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian proposal skripsi ini ialah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan dan memahami pandangan Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār
dan Abu Hasan Al- Asy‟ari mengenai pandangannya terhadap konsep
tasybīh (penyerupaan sifat Tuhan dengan makhluk-Nya).
2. Ingin mengetahui bagaimana analisis atau alasan yang digunakan Al-
Qodī Abd al-Jabbār dan Abu Hasan Al- Asy‟ari terhadap konsep tasybīh.
3. Adapun tujuan formalnya ialah sebagai salah satu persyaratan untuk
mencapai gelar Sarjana Filsafat di UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.
Adapun manfaat penelitian proposal skripsi ini ialah sebagai berikut:
1. Mengungkap sejumlah berbincangan teologi mengenai konep tasybīh
dalam aliran Mu‟tazilah khususnya tokoh Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār yang
memberikan predikat utama pada akal dan Asy‟ariyah khususnya tokoh
Abu Hasan al-Asy„ari yang lebih mengutamakan wahyu.
10
2. Agar mahasiswa mengetahui pandangan para teolog dan memberi
wawasan serta argument-argumen mereka dan dapat dijadikan sebagai
pengetahuan yang mendalam.
3. Menciptaan iklim akademis yang kritis di lingkungan Fakultas
Ushuluddin UIN Jakarta, dengan menulis proposal skripsi yang merujuk
pada sebuah aliran besar dan salah satu tokohnya yang sangat terkenal
didalam perbincangan ilmu teologi dengan pandangannya yang rasional
atau mengutamakan akal yaitu aliran Mu‟tazilah dengan tokohnya Al-
Qāḍī „Abd al-Jabbār, dan yang lebih mengutamakan wahyu yakni
Asy„ariyah dengan tokohnya Abu Hasan al-Asy„ari. Hal ini memberikan
wacana baru dan lebih berpikir kritis bagi mahasiswa Ushuluddin
lainnya.
D. Tinjauan Pustaka
Adapun mengenai proposal skripsi ini, ada mahasiswa Ushuluddin
UIN Jakarta yang membahas Mu‟tazilah, tapi sebagai obyeknya ia membahas
tentang seorang orientalis yang berbicara tentang Mu‟tazilah, yakni judul
skripsi tersebut ialah “Pandangan Ignas Goldziher tentang Relasi Etis Antara
Tuhan Manusia dalam Teologi Mu‟tazilah” oleh Ade Ismatillah, Tahun 2007.
Jelas berbeda dengan skripsi yang saya tulis tentang “Konsep Al- Qodī „Abd
al-Jabbār dan Abu Hasan Al-Asy„ari Terhadap Sifat-Sifat Tasybīh”, dalam
skripsi sebelumnya itu terfokus pada pandangan tokoh orientalis tentang
Mu‟tazilah mengenai hubungan Tuhan dan manusia. Dalam skripsi yang lain
ada yang mengangkat tentang Mu‟tazilah tentang “Konsep Tasybīh dan
11
Tanzīh menurut Ibn „Arabi” dibuat oleh Daqoiqul Misbah, tahun 2014.
Dalam skripsi ini berbeda dengan skripsi yang saya angkat, hanya saja
mempunyai persamaan dalam konsep tasybīh tetapi berbeda karena tokoh
yang dikaji berbeda pula. Skripsi yang lain pula membahas tentang “Sifat-
sifat Tuhan dalam perspektif Syeikh Muhammad al-Sanusi (832-895)” oleh
Ali Zainal Abidin, Thun 2013. Dan tentu ini pula berbeda dengan skripsi
yang saya angkat yakni Konsep Tasybīh Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār dan Abu
Hasan al-Asy„ari, hanya saja bersinggungan tentang sifat namun berbeda
perspektif atau pandangan.
E. Metode Penelitian
Penelitian sekripsi ini dengan cara pengumpulan data dan kepustakaan
yang bersumber terutamanya dari karya-karya Mu‟tazilah (library reserch)
khususnya buku-buku Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār dan karya-karya Asy„ariyah
khususnya buku-buku Abu Hasan al-Asy„ari. Sumber-sumber itu terdiri dari
sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer yaitu karya-karya yang langsung ditulis oleh penganut
Mu‟tazilahatau Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār baik itu yang sudah diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia maupun buku asli berhasa Arab seperti bukunya:
Almughnī Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār, Sarāh Usul al-Khomsah Al-Qadhī abd al-
Jabbār. Adapun sumber primer dari penganut Asy„ariyah atau Abu Hasan al-
Asy„ari baik yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun
buku asli berbahasa Arab seperti bukunya: Luma‟ fi al-Rad „ala al-Ziagh wa
12
al-Bida‟, Abu Hasan al-Asy„ari al Ibanah an al Usnul al-Diniyyah, al Khawdh
al-Kalam Maqalah al-Islamiyyin.
Sedangkan sumber sekunder ialah karya-karya yang membahas
tentang aliran Mu‟tazilah dan Asy„ariyah. Sumber-sumber sekunder seperti
bukunya, Al-Fīroq bainal Fīroq Al-Baghdādī, Al-Syahrastānī “Al-Milal wa
Al-Niḥal, Al-Fashl fī al-Milal wa al-Aḥwā wa an-Nihal dan sebagainya.
Inilah yang digunakan penulis untuk menganalisis pandangan Mu‟tazilah, dan
secara lebih jauh berupaya melakukan upaya kritik terhadapnya.
Adapun pembahasannya menggunakan metode deskriptif-analitis.
Artinya menggunakan sumber-sumber yang ada lalu mendeskripsikannya,
dan kemudian dianalisis mengenai bagaimana pandangan Mu‟tazilah
terhadap konsep tasybīh atau antropomorfisme.
Sedangkan mengenai teknik penulisan skripsi ini mengacu pada
Pedoman Akademik Progam Strata I 2013/2014 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. SistematikaPenelitian
Untuk memudahkan penjelasan dan pemahaman pokok-pokok
pembahasan yang dikaji dalam skripsi ini penulis memberikan sistematika
penulisan sebagai berikut:
BAB pertama, pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah dan batasan masalah, tinjauan pustaka, metode penelitian,
tujuan dan manfaat, sistematika penulisan.
13
BAB kedua, menjelaskan tentang Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār dan Abu
hasan Al-Asy„ari, Sejarah hidupnya, posisi mereka dalam aliran mereka
masing-masing yaitu Mu„tazilah dan Asy„ariyyah, karya-karyanya, dan
pemikiran dari Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār dan Abu Hasan Al-Asy„ari.
BAB ketiga menjelaskan tentang konsep Tasybīh yakni meliputi
pemahaman Tauhid, tasybīh, yang meliputi ta‟wil sifat kalam,ta‟wil melihat
Tuhan, ta‟wil wajah Tuhan, ta‟wil Alā al-Arsy Isytawā, dari masing-masing
tokoh dalam perdebatan para teolog muslim seperti Asyariyāh dan Mu„tazilah
BAB Empat, menjelaskan tentang perbandingan antara Al-Qāḍī „Abd
al-Jabbār dan Abu Hasan al-Asy‟ari tentang konsep tasybih.
BAB Lima, penutup yang merupakan penutup dari pembahasan
sekripsi yang meliputi kesimpulan dari seluruh upaya yang telah penulis
lakukan dalam penelitian serta saran-saran dan penutup.
14
BAB II
AL-QĀDĪ ABD AL-JABBĀR DAN ABU HASAN AL-ASY‘ARI
A. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
1. Sejarah Hidup Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
Nama lengkap Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār adalah „Imad al-Dīn Abū
al-Hasan al-Quḍāh „Abd al-Jābbar al-Hamẓānī. Disebut oleh salah satu
penulis masa kini nama kakek Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār adalah al-Khalīl
bin „Abd Allah. Nama yang terkenal ialah Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār
dibanding dengan nama yang pertama. Kelahiran Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār
tidak diketahui pasti tahun berapa ia lahir, namun ia diperkirakan lahir
sekitar tahun 320 H/932 M. Perkiraan ini didasarkan atas keterangan
yang menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 415 H/1025 M dalam
usia lebih dari 90 tahun.1 Al-Qāḍī dalam karya-karyanya menyatakan
wafat pada tahun bahwa ia memulai pendidikannya dari Muhammad
Ahmad ibn „Umar az-Za„baqī al-Basī, seorang muhaddits yang wafat
pada tahun 333 H. Dengan pendapat bahwa Al-Qāḍī memulai
pendidikannya pada usia sepuluh tahun.2
Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār lahir di Asadabad, didaerah pegunungan
Hamażān di wilayah Khurasān.Ia dilahirkan dari keluarga miskin, namun
memunyai semangat belajar yang tinggi. Dan ia memulai belajarnya
1 Machasin, Al-Qādī „Abd al-Jabbār “Mutasyabih Al-Qur‟an: Dalih Rasionalitas Al-
Qur‟an”, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000h. 10.
2 Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, (Yogyakarta: LKiS Printing
Cemerlang, 2003) h. 21.
15
dikota kelahirannya yakni Qazwin, bagian dari kota kecil di Asadabad.3
Diusia tujuh tahun Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār memulai pendidikannya
dengan belajar Al-Qur‟an di Khuttab, yakni sebuah lembaga pendidikan.
Kemudiania juga mempelajari hadits dari beberapa para muhadditsun
terkenal, seperti Zubayr ibn „Abd al-Wahid (w. 347 H/958 M) dan Abū
al-Hasan ibn Salamah al- Qhaththān (w. 345 H/956 M).4 Kemudian ia
melanjutkan pelajarannya ke Hamażān, dan belajar kepada ahli hadits
yaitu Abū Muhammad ;Abd al-Rahmān bin Hamdān al-Jallāb dan Abū
Bakr Muhammad bin Zakariyyāh. Kemudian ia belajar di Isfahan
sebelum pergi ke Basrah sekitar tahun 346 H/957 M. dan ia menganut
mazhab Asy‟ari ketika itu.
Basrah ketika itu merupakan salah satu pusat pengkajian
keislaman yang besar dan Mu;tazilah merupakan aliran yang cukup
dominan. Maka disitulah ia berpindah mazhab Asy‟ari ke mazhab i‟tazāl.
Gurunya yani Abū Ishāq „Ali bin „Ayyāsy, beliau sangat besar perannya
dalam pergantian mazhab ini. beliau adalah seorang murid dari penerus
dari tokoh Mu„tazilah aliran Basrah yang cukup terkenal, Abu Hasyim.5
Kemudian Al-Qadi „Abd al-Jabbār menjadi murid Abū Hāsyim,
Abū „Abd Allah al-Basrī. Yakni seorang guru atau disebut mursyid yang
terkenal kezuhudannya.Kesehariannya diisi oleh menulis dan tidak
mempedulikan penghidupan. Dan kehidupan seperti ini sangat cocok
3Machasin, Al-Qādī „Abd al-Jabbār “Mutasyabih Al-Qur‟an: Dalih Rasionalitas Al-
Qur‟an h.11.
4Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, h.22.
5 Machasin, Al-Qādī „Abd al-Jabbār “Mutasyabih Al-Qur‟an: Dalih Rasionalitas Al-
Qur‟an, h. 11.
16
untuk kehidupan Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār dengan keterbatasan ekonomi
tetapi semangatnya untuk belajar sangat tingggi.
Pada tahun 360 H ia menuju Rāmahurmuz, Khuziztan. Dan
dikota inilah ia mengajar di masjid Abū Muhammad al-Rāmahurmuzī
dan disini pula ia mendektekan bukunnya yang terbesar yaitu al-Mughnī
fī Abwāb al-Tauḥīd wa-l-„Adl.6
Kemudian lima tahun yang akan datang ia dipanggil oleh sahib
Ibn „Abbād, Wazir Bani Buwaih di Rayy, untuk diangkat sebagai Qādī
al-Quḍāh. Dengan jabatan ini ia berhak mengangkat dan memberhentikan
hakim-hakim diwilayahnya. Mula-mula wilayah kekuasaannya adalah
Rayy, Qazwin, Suhraward, Qum, Sāwah dan sekitarnya.Kemudian
wilayah tersebut diperluas hingga mencakup Jurjan, Tabristān dan
sekitarnya. Ia memegang jabatan itu sampai diberhentikan oleh Fakhr al-
Daulah, tidak lama setelah Ibn ‟Abas pada tahun 285-995 M. „abd „Al-
Jabbar tetap tinggal di Ray sampai meninggal dunia pada tahun 415 H/
1025 M.
2. Posisi al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
Mu„tazilah adalah faham yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifst filosofis. Dalam pembahasan
mereka banyak memakai akal, atau dikatakan sebagai faham “rasionalis
Islam”.7 Peristiwa memisahkan diri yang dilakukan Washil ibn „Athā
6 Machasin, Al-Qādī „Abd al-Jabbār “Mutasyabih Al-Qur‟an: Dalih Rasionalitas Al-
Qur‟an”, h. 12.
7 Ris‟an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), h.53.
17
(w.130 H) dari grunya, al-Hasan al-Bashrī (w. 110) dimasjid kota
Bashrah dianggap sebagai awal lahirnya aliran Mu„tazilah.
Dalam sejarah Mu„tazilah pernah mengalami dua kali masa
gemilang, yaitu pada masa Dinasti „Abbasiyah (198-232 H.) dan pada
masa Dinasti Buwaih (334-447 H.), karena adanya dukungan dari
penguasa.Mu„tazilah kaya dengan tokoh-tokoh pemikir besar, para
pemikir Mu„tazilah terbagi dalam dua golongan besar yaitu, kelompok
Bashrah dan kelompok Baghdad. Diantara yang terkenal adalah: Wāsil
ibn „Atha (w. 130 H.), „Amr ibn „Ubayd (w. 143 H.), Abū Huzayl al-
„Allāf (w. 228 H.), al-Nazhzhām (w.231 H.), Bisyr al- Mu„tamir (w. 210
H.), Abū „Ali al-Jubba„i (w.303 H.), Abū Hasyīm al-Jubbā„i (w. 231 H.)
dan Qadhī „abd al-Jabbār (w. 415 H.).8
Dalam kemajuan Mu„tazilah Khālifah al-Ma„mun sangat besar
jasanya. Bait al-Ḥikmah yang didirikan terutama untuk menerjemahkan
karya filsafat Yunani Kuno sangat besar bagi perkembangan Mu„tazilah.
Al-Ma„mun memakai prinsip-prinsip aliran Mu„tazilah dan
menggunakan kekuasaannya untuk memaksa orang banyak untuk
memkai prinsip-prinsip itu. Pada akhir masa pemerintahannya ia
melaksanakan miḥnah, yaitu suatu pemeriksaan, penyelidikan dan
pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Mu„tazilah terhadap qadidan
pejabat serta tokoh masyarakat agar mereka menerima paham bahwa al-
Qur„an diciptakan, sebagaiman yang telah dianut oleh paham Mu„tazilah.
8 Zurkani Jahja, Teologi al-Ghozali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) h. 32-33.
18
Bagi para qadi yang menyatakan pandangannya sesuai dengan
Mu„tazilah bahwa al-qur‟an adalah diciptakan, makaia dapat melanjutkan
jabatannya sebagai qadi dan mereka dinyatakan sah kesaksiaannya
dipengadilan. Dalam Mu„tazilah paham tentang kemakhlukkan al-qur‟an
adalah masuk pada ajaran tentang tauhid Mu„tazilah. Paham ini pula
menyatakan bahwa menolak adanya penyerupaan Tuhan dengan
makhluk-Nya. Tuhan dalam paham mereka adalah satu zat yang unik
tidak ada yang serupa dengan-Nya dan satu-satunya sifat Tuhan yang
tidak mungkin ada pada makhluk-Nya ialah sifat qadim. Hanya Dzat
Tuhan yang boleh qadim. Dan barang siapa yang mengimani al-qur‟an
qadim adalah syirik, karena berarti meyakini ada yang qodim selain
Allah.9 Kebijaksanaan al-Ma„mun dilanjutkan oleh penerusnya, al-
Mu„taṣim (218-227 H/833-842 M) dan lebih keras lagi oleh Wāsiq (227-
232 H/ 842-847 M). Tokoh besar Mu„tazilah dari Baghdad Ahmad bin
Abī Du„ād mempunyai peran yang sangat berar dalam pelaksanaan
miḥnah. Ia adalah kawan dekat al-Ma„mun dan kemudian ia memegang
jabatan al-Qāḍī al-Quḍāh, menggantikan Yaḥyā bin Aksam pada tahun
217. Jabatan ini tetap ia pegang pada masa al-Mu„taṣim dan al-Wāsiq
menandai kejatuhan atau kemunduran Mu„tazilah. Penggantinya al-
Mutawakkil (232-247 H/ 847-861 M).
Dalam pemerintahan Mutawakkil ini adalah masa dimana
Mu„tazilah mengalami kemunduran, karena prinsip-prinsip Mu„tazilah
9 Ris‟an Rusli, Teologi Islam, h. 90.
19
tidak lagi dipakai dalam pemerintahannya. Ia cenderung kepada ahli al-
Ḥadīts yang pada masa pemerintahan tiga khalifah sebelumnya banyak
menderita karena miḥna. Kemudian pada memerintahan Mutawakkil ini
ia menghentikan miḥna dan prinsip-prinsip aliran Mu„tazilah tidak
dipakai lagi sebagai prinsip pemerintahan.10
Dalam masa kemunduran Mu„tazilah ada seorang tokoh yang
juga berpengaruh dan pemimpin yang sama kemasyhurannya dengan
Wasil, Abū al-Hudzail dan al-Nazzam dalam Mu„tazilah yakni Abū al-
Wahhab al-Jubbā„ī (w. 295) dan anaknya Hasyim „Abd al- Salam (w. 321
H).11
Dan pada aliran Baghdad yang awalnya dekat dengan penguasa
sekarang turun dari panggung sejarah dan kini yang bisa bertahan adalah
aliran Basrah. Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa mereka berhasil
melakukan konsolidasi, namun justru dari kubu mereka terdapat musuh
besar aliran Mu„tazilah, yaitu Abū Ḥasan al-Asy„ari (269-324 H./ 873-
935 M), sebagai pendiri dari aliran Asy„ariyah. Dan sejak itu pula untuk
beberapa lama Mu„tazilah tidak mencul lagi dalam permukaan sejarah.
Kemudian dengan berkuasannya bani Buwaih pada abad
keempat Hijriyah, aliran Mu„tazilah bangkit lagi, terutama diwilayah
Persia, bergandengan dengan kaum Syi„ah.Untuk mengenal Mu„tazilah
selama ini kita lebih banyak tahu dari karya-karya lawan Mu„tazilah
terutama Asy„ariyah, hanya sedikit sekali karya pemikir Mu„tazilah yang
10 Machasin, Al-Qādī „Abd al-Jabbār “Mutasyabih Al-Qur‟an: Dalih Rasionalitas Al-
Qur‟an”, h. 15-16.
11 Harun, Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 2015) h. 51.
20
tersisa karena kebanyakan karya mereka dibasmi oleh lawan.Pada
periode kebangkitan kedua ini banyak yang teramankan dan pertengahan
kedua abad ini banyak diterbitkan.12
Periode kebangkitan kedua Mu„tazilah ada salah seorang
diantara tokoh aliran ini yang sangat penting dan besar jasanya adalah
Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār yang hidup pada masa Dinasti Buwayh, yaitu
dinasti yang dibangn oleh Bani Buwayh dari suku Dailam di pegunungan
sebelah barat daya laut Kaspia. Al-Qadī „Abd al-Jabbār ini termasuk
dalam kelompok Bashrah.
Masa Dinasti Buwayh merupakan masa perkembangan ilmu
pengetahuan dan kultural yang sangat signifikan dalam sejarah peradaban
Islam. Joel Kraemer mengatakan bahwa masa ini adalah sebagai
“renaissance Islam”. Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār juga bersentuhan dengan
peikiran-pemikiran para filusuf Islam yang hidup pada masanya, seperti
Ibn Miskawaih, filusuf dan sejarawan sekaligus bendahara Buwayh masa
Adhud ad-Dawlah, Ikhwān ash-Shafā yang menulis risalah-risalah yang
dikenal dengan Rasa„il Ikhwan ash-Shafaā„, dan Ibn Sīnā (w. 1037).13
Generasi Bashrah yang sangat penting bagi pembentukan
intelektual Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār adalah „Alī al-Jubba„ī dan puteranya
yaitu Abū Hasyim, yang disebut sebagai asy-syaikhayn (dua guru).14
Al-
Qāḍī merupakan tokoh yang sangat penting dalam sejarah Mu„tazilah
12 Machasin, Al-Qādī „Abd al-Jabbār “Mutasyabih Al-Qur‟an: Dalih Rasionalitas Al-
Qur‟an”, h. 16.
13Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, h.32-33.
14
Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, h. 35.
21
karena berkat karya-karyanya yang sampai pada kita, dan tanpa ia
pengetahuan tentang Mu„tazilah tidak dapat diperoleh dengan lengkap.
Pemikiran Al-Qādī „Abd al-Jabbār yang ia tuangkan dalam
buku-bukunya adalah pemikiran-pemikiran guru-rurunya. Karena karya-
karya gurunya tidak ada yang sampai pada kita, maka kedudukan Al-
Qādī „Abd al-Jabbār sangat penting dalam menyampaikan pemikiran-
pemikiran itu kepada kita. Kita juga tidak akan dapat merekostuksi
bangunan teologis Mu„tazilah pada abad keempat dan kelima Hijriyah
tanpa bantuan karya-karyanya. Dan dari perguruannya muncul tokoh-
tokoh yang tak terlupakan oleh sejarah Mu„tazilah karena buku-buku
mereka yang bisa kita baca sampai saat ini. Ini menambah arti penting
tokoh ini, terutama karena murid-muridnya tidak ada yang melebihi guru
mereka baik dalam kemasyhuran maupun dalam kemampuan
merumuskan teologi Mu„tazilah. Diantara mereka adalah Abū Rāsyid
Sa„īd bin Muhammad al-Nīsābūrī yang meneruskan kepemimpinan
Mu„tazilah di Rayy setelah meninggalnya Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār.15
3. Karya Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār adalah seorang ensiklopedis. Tulisan-
tulisannya yang menurut al-Hākim al-Jusyamī, dalam Syarah al-„Uyun,
mencapai tidak kurang dari empat ribu lembar, tidak hanya mewarnai
arus debat teologis saja tetapi dalam berbagai ilmu seperti fiqh, ushul
15 Machasin, Al-Qādī „Abd al-Jabbār “Mutasyabih Al-Qur‟an: Dalih Rasionalitas Al-
Qur‟an”, h. 17.
22
fiqh, tafsir, hadits, isu-isu debat (al-jadaliyyāt wa an-nuqūd), kritik
doktrin agama lain dan nasehat-nasihat.
Namun karyanya sebagian besartidak ada lagi, tidak ditemukan,
atau masih tersimpan di beberapa perpustakaan atau museum dalam
bentuk manuskrip, lengkap atau hanya berupa fragmen-fragmen, dan
sebagian telah diterbitkan. Informasi tentang ini dikemukakan oleh
beberapa pengkaji khazanah klasik baik oleh C.Brockelmann dalam
Geschite der Arabischen Literatur, Fuat Sezgin dalam Geschichte des
Arabischen Schriftums; Speech; maupun yang lainnya.16
Abd al-Karim „Utsman dalam kata pengantar yang ditulisnya
untuk buku Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār, Syaraḥ al-Uṣul al-Khomsah,
mengumpulkan 59 judul buku yang didapatinya tersebut dalam berbagai
buku karya orang lain. Dalam buku lain ia menambahkan lagi buku-buku
lain dari karya Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār sehingga jumlahnya menjadi 69
buah, dengan perincian ilmu al-Qur‟an, 2 judul buku dalam bidang hadits
dan sejarah Nabi Muhammad SAW, 2 judul buku dalam serba serbi
nasehat, 6 judul buku dalam uṣūl al-fiqh, 1 judul buku dalam bidang fiqih
mazhab Syāfi‟ī, 2 judul buku dalam bidang perbedaan paham dan cara
berdebat, 1 judul buku biografi tokoh Mu„tazilah, 45 judul buku dalam
bidang ilmu kalam dan uṣūl al-dīn dan 5 judul buku dalam bidang-bidang
lain.17
16 Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, h.26.
17
Machasin, Al-Qādī „Abd al-Jabbār “Mutasyabih Al-Qur‟an: Dalih Rasionalitas Al-
Qur‟an”, h. 20.
23
Dari semua buku tersebut, Sembilan buku sudah diterbitkan
secara utuh atau sebagian dan empat judul buku ditemukan dalam bentuk
manuskrip yang tersimpan di Vatikan dan Briṭish Museum. Keempat
naskah itu adalah:
1. Amālin fī al-Ḥadīṣ atau Naẓm al-Fawā„id wa Taqrīb al-Murād li-I-
Rā„id, terdapat di Vatikan dengan nomer 117 dan di British Museum
dengan nomer 577.
2. Al-Ikhtilāf fi Uṣūl al-Fiqh, terdapat di Vatikan dengan nomer 1100.
3. Al-Khilāf bain asy-Syaikhain Abī „Alī wa Abī Hasyim, terdapat di
Vatikan dengan nomer 1100.
4. masa„atun fī al-Ghaibah, terdapat di Vatikan dengan nomer 1028.
Dan buku-buku yang sudah diterbitkan adalah:18
1. Al-Mughnī fī Abwāb al-Tauḥīd wa-l-„Adl.
Karena usaha Ṭāhā Ḥusain, Mentri Pendidikan Mesir,
sebagian terbesar dari karya terbesar „Abd al-Jabbar ini dapat difot
oleh misi yang dikirimya ke Yaman dan kemudian dapat diterbitkan
dalam bentuk buku. Misi itu dikirim pada tahun 1951 dan setelah
selama tiga bulan bekerja disana berhasil memfoto banyak naskah
yang tersimpan perpustakaan al-Mutawakkiliyyah di Sa„ā„ dan
tempain lainnya disana.
18 Machasin, Al-Qadi Abd al-Jabbar “Mutasyabih Al-Qur‟an: Dalih Rasionalitas Al-
Qur‟an, h.20.
24
Buku ini terdiri dari 20 bagian yang membahas luas tentang
hal yang berkenaan dengan ajaran Mu„tazilah yang terpenting
seperti, keesaan Allah (al-tauḥīd) dan keadilan-Nya (al-„adl).
2. Faḍl al-I„tizāl wa Ṭabaqāt al- Mu„tazilat wa Mubāyanatuhum li
Sā„ir al-Mukhālifi-īn.
Buku ini berisi tentang pengantar umum bagi paham
Mu„tazilah yang berisi beberapa penjelasan mengenai beberapa
ajarannya dan kesalahpahaman lawan-lawannya serta biografi orang-
orang yang dianggap tokoh-tokonya. Biografi ini dimulai dari
generasi pertama yakni para sahabat Nabi Muhammad SAW sampai
generasi kesepuluh, yaitu generasi sebelum „Abd al-Jabbār sendiri.
3. Al-Muḥīṭ bi-t-Taklīf atau al-Majmū„ fī al-Muhīṭ bi-t-Taklīf.
Buku ini membahas pokok-pokok keesaan dan keadilan
Tuhan, ini merupakan buku besar yang terdiri dari empat bagian dan
ditemukan bukan dalam versi yang dibuat oleh „Abd al-Jabbār
sendiri, melainkan dalam versi yang dibuat oleh „Abd al-Jabbār
sendiri, melainkan dalam versi yang dibuat oleh muridnya yaitu al-
Ḥasan bin Mattawaih.
4. Tanzīh al-Qur„ān „an al-Maṭā„in.
Buku ini berisi tentang penjelasan mengenai ayat-ayat al-
Qur‟an yang dapat dianggap lawan mengandung kelemahan. Disini
„Abd al-Jabbar mempertahankan beberapa ajaran Mu„tazilah dengan
argumentasi yang diambil dari al-Qur‟an.
25
5. Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah. Buku ini membahas secara luas tentang
lima ajaran pokok Mu„tazilah.
6. Tasbīt Dalā„il al-Nubuwwah. Buku ini merupakan pembuktian atas
kenabian Muhammad SAW.
7. Mutasyābih al-Qur„ān.
8. Kitāb al-Uṣūl al-Khamsah.
9. Al-Mukhtaṣar fī Uṣūl al-Dīn.
B. Abu Hasan Al-Asy‘ari
1. Sejarah Hidup Abu Hasan Al-Asy‘ari
Abu Hasan al-Asy„ari atau nama lengkapnya adalah Abu Hasan
„Ali bin Isma„il bin Abi Bashar Isyaq bin Salim bin Isma„il bin „Abd
Allah bin Musa bin Bila bin Abi Badrah bin Abi Musa „Abd Allah bin
Qois Al-Asy„ari. Ia adalah tokoh aliran ahl al-sunnah wa al-jama„ah yang
dilahirkan di kota Basrah tahun 260 H/ 873 M dan wafat di kota Baghdad
tahun 324/935 M. Ia adalah cucunya Rasulullah yaitu Abu Musa al-
Asy„ari.19
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy„ari adalah seorang yang
berfaham ahlussunnah dan ahli Hadis.Ayahnya wafat ketika Al-Asy„ari
masih kecil. Sebelum ia wafat ayahnya berwasiat kepada seorang
sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-
Asy„ari. setelah ayahnya wafat ibu Al-Asy„ari menikah lagi dengan salah
seorang tokoh Mu„tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba„ī. (w. 303
19 Achmad, Ghilib.,Teologi Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press,2004), h.
74-75.
26
H/915 M). tidak hanya sebagai ayah tirinya saja Abu Ali Al-Jubba„ī juga
sebagai guru bagi Al-Asy„ari sehingga kemudian ia menjadi tokoh
Mu„tazilah, dan tidak jarang ia menggantikan Al-Juba„ī dalam
perdebatan menentang lawan-lawan Mu„tazilah. 20
Al-Asy„ari sejak kecil di asuh dan didik oleh Al-Jubba„ī sampai
pada usia 40 tahun ia menganut faham Mu„tazilah,21
dan setelah usia 40
tahun itu ia mulai ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran
mu„tazilah yang telah dianutnya selama ini. dan kesimpulan ini diperkuat
oleh riwayat yang mengatakan bahwa Al-Asy„ari mengasingkan diri
selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran mu„tazilah.22
Kemudian Al-Asy„ari memutuskan naik mimbar masjid jami‟ di kota
Basrah dan menyampaikan pidatonya dihadapan para jamaah. Pidato
tersebut berisi tentang pembatalan atas faham Mu„tazilah dan
pernyataannya terhadap keyakinan yang telah dianugerahi Allah SWT.23
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa Al-Asy„ari keluar
dari aliran Mu„tazilah dan menyusun teologi baru yang dikenal dengan
aliran Asy„ariyah atau aliran Ahl as-Sunnah wa al-Jama„ah. Dengan
demikian bisa dipastikan bahwa rumusan yang disusun sebagai pahan
yang dicetuskannya berbeda dengan paham Mu„tazilah.Namun bagi
seorang yang dididik dan dibesarkan oleh lingkungan yang rasionalis,
maka dalam merumuskan pahamnya yang baru ini beliau tidak dapat
20 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), h.
120.
21 Achmad, Ghilib, Teologi Dalam Perspektif Islam, h. 75
22
Harun, Nasution, Teologi Islam,h.67.
23 Achmad, Ghilib,Teologi Dalam Perspektif Islam, h. 75.
27
meninggalkan daya pikirnya dalam memecahkan pemahaman
teologisnya. Hal ini dapat dilihat dari segi ia memberikan koreksi dan
kritikan terhadap pendapat lawan, dan juga pendapat-pendapatnya
dibidang teologi yang baru.24
Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi Al-Asy„ari
meninggalkan faham Mu„tazilah adalah pengakuan Al-Asy„ari bahwa ia
bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu
pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadḥān. Dalam ketiga
mimpi tersebut Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan
faham Mu„tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari
beliau.25
Maka sejak itulah Al-Asy„ari gigi memperjuangkan faham
barunya sehingga terbentuklah madḥab baru dalam Teologi Islam yang
dikenal dengan nama Ahl al-Sunnah wa al-Jama„ah. Dan pengikut Al-
Asy„ari sendiri disebut dengan Al-Asy„ariyah.
Dalam pengalaman studinya ia tidak diketahui secara pasti
diperguruan tinggi atau madrasah mana tempt ia menuntut ilmu, dan
ragam disiplin ilmu yang ditekuni. Jelas memang ia belajar Mu„tazilah
dari Al-Jubba„ī. Menurut al-Baghdadi, ia belajar ilmu fiqh dari Abi Ishaq
al-Maruzi, seorang ahli Fiqih Universitas Mansur yang menganut
madḥab Syafi„ī. Ia adalah seoarang yang sngat dermawan, selalu
mewakafkan hartanya, dan ia juga taat beribadah.26
24Ris‟an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya, h.110.
25
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 120.
26 Achmad, Ghilib, Teologi Dalam Perspektif Islam, h. 75-76.
28
Al-Asya„ari dalam sisa umurnya ia habiskan di Bghdad dan
kemudian ia wafat disana. Menurut abu Qasim „Abd al-Wahid bin „Ali
al-Asadi, ia meninggal antara tahun 320-330 H. Tetapi menurut Abu
Muhammad „Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi, ia wafat
pada tahun 320 H.27
2. Posisi Abū Hasan al-Asy‘ari didalam Asy‘ariyah
Asy„ariyah adalah nama suatu aliran dalam teologi Islam yang
dikenal sebagai aliran Ahl al-Sunna wa al-Jama„ah.28
Aliran Ahl al-
Sunnah wa al-Jama„ah ini muncul yakni atas keberanian dan usaha Abu
Al-Hasan Al-Asy„ari. Aliran ini lahir sekitar tahun 300 H.29
Kata
Asy„ariyah diambil dari nama Abu Hasan Al-Asy„ari yakni sebagai
pendirinya. Pada awal munculnya aliran ini ialah pada mulanya Asy„ari
adalah penganut aliran Mu„tazilah yang akhirnya memutuskan untuk
mencetuskan aliran sendiri setelah ia berumur 40 tahun. Peristiwa al-
Asy„ari berpindah aliran dari Mu„tazilah kepada aliran Ahl al-Sunnah wa
al-Jama„ah menimbulkan beberapa interpretasi dikalangan pemikir atau
ahli teologi. Menurut Muhammad Abduh, Al-Asy„ari mengambil jalan
tengah antara pahan tekstualis (paham yang berpegang teguh pada arti
lafaz dari suatu dalil naql) dengan paham rasionalis (paham yang
didasarkan atas pemujaan akal pikiran dan sering menggunakan takwil
dalam memahami dalil naql). Karena Al-Asy„ariyah mengambil jalan
27 Achmad, Ghilib.,Teologi Dalam Perspektif Islam, h.76.
28
Ris‟an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya, h.105.
29Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h.119.
29
tengah antara aliran rasionalis dan aliran tekstualis, maka cara tersebut
dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.30
Ketika Al-Asy„ari keluar dari aliran Mu„tazilah, maka
menimbulkan banyak asumsi tentang penyebab atau yang
melatarbelakangi ia keluar dari aliran Mu„tazilah. Secara formal ia
sampaikan diatas mimbar di atas Masjid Basrah pada hari Jum‟at,
menyatakan pendiriannya keluar dari Mu„tazilah.31
Menurut ibn Asakir yang melatarbelakangi Al-Asy„ari keluar
dari Mu„tazilah adalah pengakuan dirinya bahwa ia bermimpi bertemu
dengan Rasulluah SAW. Selama tiga kali, yaitu ke-10, ke-20, ke-30
bulan Ramadhan. Dalam mimpi tersebut Rasulullah memperingatkan
untuk meninggalkan faham Mu„tazilah dan membela faham yang telah
diriwayatkan dari Rasulullah SAW.32
Menurut Ahmad Mahmud Subhi berpendapat bahwa Asy„ariyah
mengalami keraguan karena selain penganut Mu„tazilah juga pengikut
madhab Syafi„i, dan Syafi„i sendiri mempnyai paham teologi yang
berlainan dengan paham-paham Mu„tazilah. Syafi„i misalnya menganut
paham bahwa Al-Qur„an adalah “kalamullah” yang tidak diciptakan dan
bahwa Tuhan dapat dilihat nanti di akhirat.
Hammudah Gurabah, berpendapat bahwa ajaran yang diperoleh
oleh Al-Asy„ari dari Jubba„i memunculkan persoalan yang tidak
30 Ris‟an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya, h. 106.
31
Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010), h. 202.
32Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h.120.
30
memperikan penyelesaian yang memuaskan baginya. Seperti soal
mukmin dan kafir. Dari kalangan kaum Orientalis berpendapat bahwa
darah Arab Padang Pasir mengalir dalam tubuh Al-Asy„ari yang mungkin
membawanya kepada perubahan mazhab itu.33
Dari berbagai interpretasi dalam menjawab tentang apa
sebenarnya yang menimbulkan keraguan dalam dirinya terhadap paham
Mu„tazilah yang cukup lama telah ia anut dan keraguan disusul dengan
penolakan terhadap paham tersebut. dan sangat mungkin pula faktor
sitasi zaman menjadi factor salah satunya.
Situasi zaman pada masa hidupnya, tidak menguntungkan bagi
paham Mu„tazilah yang dianutnya. Setelah Khalifah Mutawakkil pada
tahun 234 H membatalkan setatus Mu„tazilah sebagai madzhab Negara,
Mu„tazilah mengalami kemunduran dan mengalami tekanan dari ulama-
ulama Ahl as-Sunnah dan juga dari pihak penguasa.Sebenarnya dnia
Islam kehilangan satu teologi yang sudah sistematis dan mungkin belum
ada lagi teologi Islam pengganti Mu„tazilah. Sangat mungkin jika Asy„ari
melihat adanya bahaya bagi umat Islam bila mereka tidak memilliki
teologi yang sistematis seperti yang telah disusun oleh kaum Mu„tazilah,
Setelah melihat bahwa paham Mu„tazilah tidak dapat terima umat Islam
pada umumnya, maka Asy„ari meninggalkan paham Mu„tazilah dan
mendirikan teologi sendiri yang sesuai dengan paham umumnya umat
Islam, yang kuat berpegang pada Hadits Nabi.34
33 Harun, Nasution, Teologi Islam, h.68
34
Abdul Aziz Dahlan, Teologi dan Akidah Dalam Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001)
h. 108-109.
31
Pendapat para ulama tentang motivasi Al-Asy„ari keluar dari
aliran Mu„tazilah semuanya berkaitan dengan teologi sebagaimana yang
telah dikemukakan diatas. Namun ada kemungkinan lain, yaitu diduga
adanya situasi politik yang berkembang pada waktu itu. Menurt Ahamd
Hanafi, mengutip dari Tarikh Falsafah al-„Arabiyah mengemukakan
bahwa Al-Asy„ari meninggalkan Mu„tazilah karena melihat ada
perpecahan dikalangan kaum muslimin yang dapat melemahkan mereka.
Perpecahan kaum muslimin ini diakibatkan persesihan dalam bidang
teologi. Untuk permasalahan ini Asy„ari mengatasinya dengan
mengambil jalan tengah antara aliran rasionalis dan aliran tekstualis, dan
ternyata mayoritas kaum muslimin dapat menerima cara ini.
Harun Nasution juga melihat, bahwa disamping dari sisi
teologis, juga fakta sejarah yang ada kaitannya dengan situasi social
politik pada saat itu.Menurut pengamatannya bahwa Al-Asy„ari keluar
dari aliran Mu„tazilah ketika aliran ini sedang berada pada fase
kemunduran.Khususnya yang berkaitan dengan pembatalan pemerinta
tentang kependudukan aliran ini sebagai mazhab negara.35
Asy„ariyah sangat berbeda dengan paham Mu„tazilah, yang
pemikiran teologinya hanya terikat pada al-Qur„an dan Hadits Mutawatir
(hadits yang pasti berasal dari Nabi). Selain itu pula terikat pada Hadits
Masyhur dan Hadits Ahad. Maka sebab itu kaum Asy„ariyah menamakan
dirinya sebagai kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jama„ah, memang mayoritas
35 Ris‟an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya, h.108.
32
umat berpegang pada hadits Ahad dan Masyhūr, dan minoritas bagi yang
berpegang hanya pada Hadits Mutawatir dismaping Al-Qur„an. Dapat
dipahami bahwa Mu„tazilah mengapa Mu„tazilah tidak dipandang
sebagai kaum Ahl al-Sunnah, karena hanya terkait pada sunna yang pasti
(mutawatir)dari Nabi, tentu sedikit sekali berpegang pada Hadits atau
Sunnah, dan secara umum mereka bukan dianggap pemegang sunnah
(Ahl al-Sunnah).36
Al-Asy„ari merupakan pemuka yang pertama membentuk aliran
yang kemudian memakai namanya ini, maka pemuka-pemuka yang
memperkembangkan aliran ini adalah pengikut-pengikutnya. Diantara
pengikutnya adalah Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Abu Bakr
al-Baqillani. Ia memperoleh ajaran-ajaran Al-Asy„ari dari dua muridnya,
Ibn Mujahid dan Abu Hasan al-Bhili, dan wafat di Bagdad tahun 1013
M. „Abd al-Malik al-Juwaini juga pengikut Al-Asy„ari yang besar pula
pengaruhnya, ia dikenal dengan sebutan Imam al-Haramain. Ia lahir di
Khurasan tahun 419, dan wafat ditahun 478 H. Namun dari kedua
pengikut Al-Asy„ari ini tidak semuanya sepaham dengan Al-Asy„ari.
berbeda dengan pengikutnya yang bernama Abu Hamid al-Ghazali
(1058-1111) tidak berbeda dengan paham-paham Al-Asy„ari meski
berlainan dengan gurunya al-Juwaini da al-Baqillani. Ia adalah pengikut
Al-Asy„ari yang terpenting dan besar pengaruhnya pada umat Islam
beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama„ah.37
36 Abdul Aziz Dahlan, Teologi dan Akidah Dalam Islam, h. 110.
37
Harun, Nasution, Teologi Islam, h.72-73.
33
Perlu dijelaskan bahwa corak pemikiran Al-Asy„ari terdapat dua
corak pemikiran yang berbeda, tetapi saling melengkapi. Ia berusaha
mendekati ulama-lama fiqh dai golongan Sunni, sehingga ada yang
mengatakan bahwa ia bermazhab Syafi„ī. Yang lain mengatakan bahwa
ia bermazhab Maliki dan pula Hambali. Disamping itu adanya keinginan
Al-Asy„arī menjahui mazhab-mazhab fiqh. Dua corak pemikiran tersebut
tidak bertentangan. Ia mendekati mazhab-mazhab fiqh dalam soal furū„.
Sebagai pengikut Mu„tazilah dahulunya, namun ia tidak menjauhkan diri
dari pemakaian akal pikiran dan penggunaan argumentasi-
argumentasinya. Akan tetapi Al-Asy„ari menentang keras orang yang
berlebihan dalam penggunaan akal pikiran, yaitu golongan Mu„tazilah,
seperti mereka tidak mengakui hadits-hadits Nabi sebagai dasar agama.
Tahun 330 H/943 M. Al-Asy„ari meninggal dunia.Setelah
beberapa tahun meninggalnya Al-Asy„ari pahamnya mengalami
keredupan, karena adanya sementara pengikut-pengikutnya yang agak
condong ke rasionalisme. Karena itu timbullah pihak-pihak yang
menentangnya, yaitu pengikut mazhab Hambali. Keadaaan menjadi
tertolong, ketika khalifah Al-Mutawakkil (237-247 H/847-861 M) dari
Bani Abbasiyah mulai berpihak kepada ajaran Al-Asy„ari dan kemudian
berlanjut ketika Nizam al-Mulk (w. 485 H/1092 M), seorang menteri dari
Bani Saljuk mendirika dua buah madrasah yang terkenal, yaitu
Nizhāmiyah di Naisabūr dan di Baghdad, yang mana hanya aliran
Asy„ariyah saja yang boleh diajarkan. Sejak saat itu aliran Asy„ariyah
34
menjadi aliran resmi Negara. Paham Asy„ariyah dianut oleh umat Islam
yang bermazhab Syafi„i dan Maliki.38
3. Karya Abū Hasan al-Asy‘ari
Karya tulis terpenting dalam bidang teologi yang merupakan
titik tolak pengembangan madḥab yang didirikannya dan menjadikan
pegangan para pengikutnya adalah sebagai berikut:
1. Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin (Pendapat-pendapat
golongan-golongan Islam).
Kitab ini adalah kitab yang pertama kali dikarang tentang
kepercayaan-kepecarayaan golongan Islam.39
Kitab ini ditulis
sebelum ia keluar dari paham Mu„tazilah. Dan kitab ini berisi paham
berbagai golongan kaum muslimin dan madḥab Ilmu Kalam.
Buku ini terdiri dari dua bagian yang berbeda. Bagian
pertama tentang faham golongan dalam Teologi dan opini Teologi
golongan-golongan tersebut. Bagian yang kedua adalah tentang
masalah Teologi dan opini berbagai golongan khususnya Mu„tazilah.
2. Al-Luma„ fī al-Radd „ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida„ (Sorotan).
Judul buku ini pada awalnya adalah kitab al-Luma„ li al-
Shekh Abi Hasan al-Asy„ari, kemudian ditambah dengan fī al-Radd
„ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida„. Menurut pendapat Ibn Shakir, kitab
ini terdiri dari ajaran-ajaran Al-Asy„ari tentang Ilmu Kalam yang
diajarkan kepada lawannya.
38 Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam, h. 211-212.
39
Ahmad, Hanafi, Ilmu Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), Cet.12, h.67.
35
3. Al-Ibanah wa al-Usul al-Diyanah (Keterangan tentang dasar-dasar
Agama).
Buku ini berisi tentang kepercayaan (aqidah) Ahl al-Sunnah
dan diulainya dengan memuji iman Ahmad bin Hanbal, kemudian
menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan menyatakan memegangi
pendapat-pendapatnya. Buku ini juga menunjukkan penyerangan
yang cukup pedas terhadap aliran Mu„tazilah.40
40 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (PT. Pstaka Al Husna Baru, 2003), h. 131.
36
BAB III
LANDASAN TEORI DAN KONSEP TASYBĪH MENURUT
AL- QᾹḌĪ ‘ABD AL- JABBᾹR
DAN ABÛ HASAN AL- ASY‘ARI
A. Landasan Teori
1. Sejarah ilmu kalam
Ilmu kalam lahir sebelum dikenal pada masa Nabi Muhammad
SAW. baik sahabat-sahabatnya. Ilmu ini dikenal pada masa berikutnya
yakni setelah ilmu-ilmu keislaman bermunculan dan setelah banyak
orang yang membicarakan tentang kepercayaan alam gaib (metafisik).
Faktor yang mempengaruhi timbulnya ilmu kalam adalah kejadian-
kehadian politis dan historis yang menyertai pertumbuhannya. Factor-
faktor itu juga datang dari berbagai bagian yaitu datang dari dalam Islam
dan kaum Muslimin sendiri dan faktor dari luar mereka, karena adanya
kebudayaan-kebudayaan lain dan agama-agama yang bukan Islam.1
Islam sebagai agama, persoalan yang pertama timbul adalah
persoalan teologi atau kalam, bukan persoalan politik. Tetapi
permasalahan politik menjadi persoalan teologi.2
Diantara sebab atau faktor berdirinya ilmu kalam adalah pertama,
Al-Qur„an disamping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai
kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula
golongan-golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi
1 Ahmad, Hanafi. Teologi Islam Ilmu Kalam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010) h.7.
2 Harun, Nasution. Teologi Islam (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press),
2015) h.3.
37
Muhammad SAW. yang mempunyai kepercayaan tidak benar, maka Al-
Qur„an bembenarkan kepercayaan mereka dan memberikan bantahan
atau alasan-alasannya. Salah satu contohnya adalah mengingkari agama
dan adanya Tuhan dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan
kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja (lihat, QS. Al-Jaṣiyah,
45:24).
Tuhan membantah alasan dan perkataan mereka semua dan juga
memerintahkan Nabi Muhammad SAW. untuk tetap menjalankan
dakwahnya dengan menghadapi alasan-alasan mereka yang tidak percaya
dengan cara yang halus. Allah berfirman
“Ajaklah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat-nasehat
yang baik-baik dan bantahlah mereka itu dengan jalan yang lebih baik” (QS. An-
Nahl:16:125)3
kedua, ketika kaum Muslimin selesai membuka negeri-negeri baru
untuk masuk Islam, mereka mulai tentram dan tenang pikirannya,
disamping melimpah-limpahnya rezeki. Disinilah mulai mengemukakan
persoalan agama dan berusaha mempertemukan nas-nas agama yang
kelihatannya saling bertentangan. Setelah itu datanglah fase penyelidikan
dan pemikiran dan membicarakan soal-soal agama secara filosofis.
Disinilah kaum Muslimin mulai memakai filsafat untuk memperkuat
alasan-alasannya. Keadaan ini kemudian datanglah orang-orang yang
mengumpulkan ayat-ayat sekitar soal tersebut dan memfilsafat tentang
3 Ahmad, Hanafi. Teologi Islam Ilmu Kalam, h. 7-8.
38
iman, qadar baik dan buruk baik dari golongan agama lain seperti Yahudi
dan Masehi.
Disatu pihak ada ayat-ayat yang menunjukkan adanya jabr
(paksaan) dan pemberian tugas diluar kesanggupan seseorang (lihat, QS.
Al-Baqarah, 2:6; Al-Muddaṣir, 74:17: At-Taubah, 9:3). Dipihak lain Al-
Qur„an penuh dengan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia bisa
melakukan perbuatannya dan bertanggung jawab terhadapnya (lihat, QS.
Al-Isra‟, 17:94; An-Nisa‟, 4:168; Al- Kahfi, 18:29; Al-Insan, 76:3).
Ketiga, sebab polotik, soal-soal politik. Contohnya adalah soal
khilafah (pemimpin pemerintahan Negara). Ketika Rasulullah meninggal
dunia, beliau tidak mengangkat seorang pengganti, tidak pula
menentukan cara pemilihan penggantinya. Maka dari itu timbullah
perselisihan karena semua menghendaki pengganti Rasulullah baik dari
golongan seperti Muhajirin dan Anshar. Umar r.a. membaiat Abu Bakar
r.a. menjadi khalifah yang kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat lainnya.
Abu bakar kemudian mengambil cara lain, karena menyerahkan khalifah
kepaa Umar dan Umar pun mengambil cara lain lagi, yaitu menyerahkan
khilafah kepada panitia dan pilihan panitia jatuh kepada Usman.
Persoalan khilafah adalah persoalan politik. Agama tidak
mengharuskan kaum Muslimin mengambil bentuk khilafah tertentu,
tetapi hanya bemberikan dasar yaitu untuk kepentingan umum. Kalau
terdapat perselisihan dalam persoalan ini itu adalah soal politik semata.
Akan tetapi tidak demikian halnya masa itu. Ditambah dengan peristiwa
39
terbunuhnya Usman r.a. dalam keadaan gelap. Sejak itulah kaum
Muslimin terpecah menjadi beberapa partai, yang masing-masing merasa
sebagai pihak yang benar dan hanya calon dari merekalah yang berhak
menduduki pimpinan Negara. Kemudian partai-partai itu menjadi partai
agama dan mengemukakan dalil-dalil agama untuk membela pendirinya,
dan selanjutnya perselisihan diantara mereka menjadi perselisihan
agama. Dan berkisar pada soal iman dan kafir.4
2. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam bisa disebut dengan beberapa nama, diantara lain ilmu
ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi Islam.
Teologi Islam adalah istilah lain dari dari ilmu kalam yang diambil
dari bahasa Inggris, theology. William L. Reese mendefinisikannya
dengan discourse or reason concerning God (diskursus atau pemikiran
tentang Tuhan). Dengan mengutip kata William Okham, Reese
mengatakan “Theology to a discipline resting on revealed truth and
independent of both philosophy and science.” (teologi merupakan
disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi
filsafat dan ilmu pengetahuan).5
Ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan,
sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya
dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang
4 Ahmad, Hanafi. Teologi Islam Ilmu Kalam, h.9-10.
5 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006) h.
13-14.
40
rasul-rasul Tuhan, untuk mengetahui kerasulannya dan mengetahui sifat-
sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada-
Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya.
Menurut Ibn Khaldun mengatakan bahwa ilmu kalam adalah ilmu
yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan
iman dengan menggunakan dalil-dali pikiran dan berisi bantahan
terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan
aliran golongan Salaf dan Ahl al-Sunnah.6
Sebab-sebab dinamakan ilmu kalam adalah:
Pertama, persoalan yang terpenting diantara pembicaraan masa-
masa pertama Islam ialah kalam Allah (Al-Qur„an) apakah azali atau
tidak. Karena itu keseluruhan isi ilmu kalam dinamai dengan salah satu
bagian yang terpenting.
Kedua, dalam ilmu kalam ialah dalil-dalil akal pikiran dimana
pengaruhnya tampak jelas pada pembicaraanulama-ulama kalam,
sehingga mereka terlihat seperti ahli bicara. Dalil Naqli (Al-Qur„an dan
Hadits) baru dipakai sesudah mereka menetakan kebenaran persoalan
dari segi akal pikiran.
Ketiga, pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai
logika dalam filsafat. Untuk dibedakan dengan logika, maka pembuktian-
pembuktian tersebut dinamai “Ilmu Kalam”.7
6 Ahmad, Hanafi. Teologi Islam Ilmu Kalam, h.3.
7 Achmad, Gholib, Teologi Dalam Perspektif Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004)
h.13.
41
3. Metode Ilmu Kalam
Sari Nusibeh dalam History of Islamic Philosophy menjelaskan
bahwa epistemology kalam sesungguhnya menggunakan pendekatan
konservatif-dialektis. Yakni pendekatan yang mengasumsikan adanya
dua dominan kebenaran,
pertama kebenaran melalui wahyu, sehingga teks masih menjadi
titik pusat dalam cakrawala berpikir.
Kedua kebenaran melalui nalar logika-deduktif atau silogisme
dalam mendekati teks. Hal ini pula ditemukan oleh al-Jabiri dengan
menyatakan bahwa epistemology kalam, meski menggunakan nalar
logika, masih berkutat pada otoritas (nalar bayani), sebagai ukuran
validitas kebenaran, dari pada menggunakan nalar demonstrative
(burhani).8
Ketiga, pendekatan filsafat atau falsafah. Pendekatan epistemologi
ini mendasarkan “nangunan pengetahuannya” (body of knowledge) atas
sejumlah ide filsafat sebagai kerangka rujukan. Oleh karena itu, ilmu
merupakan objek petualangan rasio sehingga aktivitasnya bersifat
eksploratif.
Keempat, pendekatan mistis. Pendekatan epistemologi ini
mendasarkan pada pengalaman intuitif yang individual, yang
menghasilkan ilmu hudhuri (pengetahuan diri yang presensial).
Pendekatan dialektik pada disiplin kalām adalah “epistemology bayānī”
8 Wardani, Epistemologi Kalama Abad Pertengahan (Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2003) h.38- 42.
42
(al-„aql al-bayānī), yang titik tolaknya adalah teks-teks keagamaan.
Menurut al-Jabiri, wacana-wacana bayānī yang berkembang dalam
sejarah Islam pada substansinya berpusat pada dua dominan: “kaidah-
kaidah iterpretasi wacana “ seperti dasar-dasar penafsiran ayat-ayat Al-
Qur„an, yang fundamennya telah dirintis sejak masa Rasulullah dan para
sahabat dan “syarat-syarat produksi wacana” (syurūth intāj al-
khithāb)yang baru muncul ketika terjadinya polarisasi kaum muslimin
menjadi kubu-kubu aliran politik dan aliran-aliran teologis.9
B. Menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
1. Tauhīd
Kepercayaan kepada Tuhan sebagai satu-satunya pencipta alam
semesta, merupakan prinsip fundamental dari agama monoteisme. Prinsip
ini dalam Islam disebut prinsip tauhīd, yakni ajaran tentang keesaan
Allah. Maka dari itu menurut Islam, agama yang benar adalah agama
monoiteistik dan nabi-nabi adalah monoteis.10
Tauhīd merupakan ajaran terpenting dalam aliran Mu„tazilah.
Dalam hal ini mereka mempunyai penafsiran yang khas dan dibahas
secara filosofis dan mendalam. Karena mereka dalam menjelaskan
dengan argumentative, logis serta filosofis, maka mereka dijuluki “ahl al-
Tauhīd”, walaupun dalam aliran lainpun membahas dan mengkaji tentang
9 Wardani, Epistemologi Kalama Abad Pertengahan, h.39-41.
10
Yunan, Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Penadamedia Group,
2014) h. 15.
43
ketuhanan dan mengakui bahwa “Lā ilāha illa Allah Wahdahu lā syarīka
lahu”.11
Mu„tazilah menempatkan tauhīd sebagai prinsip utama dalam al-
Ushūl al- Khamsah mereka.12
Tauhīd dalam Mu„tazilah memiliki arti
yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat
mengurangi kemahaesaan-Nya. Tuhan adalah satu-satunya yang Esa,
yang unik dan tidak ada yang bisa menyamaiNya.13
Untuk memurnikan keEsaan Tuhan (tanzih), Mu„tazilah menolak
konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan
dapat dilihat oleh mata kepala.
Penolakan Mu„tazilah terhadap paham tasybīh bukan semata
hanya pertimbangan akal, namun ia mempunyai landasan yang kuat yaitu
merujuk pada al-Qur‟an yang menjadi pedoman umat Islam.14
Mereka
berlandaskan padaayat al-Qur‟an yang berbunyi:
Artinya: “Tak ada satu pun yang serupa dengan Dia..” (QS. Asy-
Sūrā[42]:11)
Doktrin tauhid menurut Al Qadī „Abd al-Jabbār menjelaskan
bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pun
sebaliknya Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah
11
Ris‟an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), h. 79. 12
„Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), h. 149. 13
„Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 150. 14
„Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 93.
44
immateri. Maka, tidak layak apabila memiliki atribut materi. Segala yang
yang mengesakan adanya kejisiman Tuhan, baginya mustahil diterima
oleh akal. Ia mensucikan Tuhan dari segala penyerupaan ciptanNya.
Maka dengan tegas menolak tasybīh (antropomorfisme).15
Pandangan „Abd al-Jabbār dan kelompok Mu„tazilah tentang
prinsip keesaan pada dasarnya hendak mempertahankan kemurnian dan
keesaan Tuhan secara paripurna terutama dalam menghadapi pandangan
kelompok Syiah Rafidah yang ekstrim. Kelompok Syiah Rafidah yang
ektrim ini berpandangan bahwa Tuhan memiliki jism dan dapat diindera
oleh manusia. Selain menolak pandangan kelompok Syiah, prinsip
keesaan kelompok Mu„tazilah juga hendak menolak pandangan agama
kristiani tentang prinsip trinitas.16
Tuhan menurut Al-Qadī„Abd Al-Jabbār bukan jism (materi), tidak
bertubuh, tidak berbentuk, tidak berdaging, tidak berdarah, bukan person
(Syakhsun) bukan jauhar (substansi), bukan aksiden („ardh), tiada
padanya warna, rasa, panas, dingin, basah, kering, panjang, lebar,
kedalaman, pertemuan, dan perpisahan. Dan tidak bergerak, tidak dalam
ruang, tidak dalam waktu, dzat-Nya sederhana, tidak terbagi-bagi, tidak
istirahat, tiada pada-Nya kanan dan kiri, depan, belakang, atas dan
bawah. Allah ada sebelum ciptaan-ciptaan-Nya. Bukan bapak, bukan ibu,
bukan anak, tiada keturunan selain Dia. Tiada yang abadi kecuali Dia,
15
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012) cet.
Pertama (Edisi Revisi), h. 102. 16
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (PT. Pustaka Al-Husna Baru, 2003) cet. Kedelapan
(Edisi Revisi), h. 90.
45
tiada yang menyerupai Dia, tiada yang menolong-Nya untuk
menumbuhkan sesuatu yang ditumbuhkanNya, dan tidak menciptakan
ciptaan-Nya atas contoh yang mendahuluinya.17
Mu„tazilah memakai istilah tauhīd bahwa Mu„tazilah meniadakan
sifat-sifat Tuhan. Mereka menganut pendapat yang meniadakan sifat-sifat
yang qadim, karena apabila sifat itu qadim maka ada yang qadim selain
Tuhan. Dan itu tidak dibenarkan dalam paham Mu„tazilah, satu-satunya
yang qadim adalah Tuhan. Dan apabila mengakui selain itu termasyuk
syirik.18
Pendapat Mu„tazilah mustahil jika ada yang qadim selain Allah
SWT. yang ada baginya adalah Dzat dan ta„alluq-Nya sehingga tercipta
alam semesta ini. kalau sifat itu dianggap ada, hal itu hanyalah amrun
i‘tibary. Artinya sesuatu yang dinggap ada. Bagi Mu„tazilah hal ini lebih
men-tanzīh-kan Allah.19
Mereka juga berpandangan bahwa Al-Qur„an adalah makhluk,
karena tidak ada yang qadim kecuali Allah SWT. bahwa Allah „Alim
(Mengetahui) dengan dzat-Nya, Qadir (Kuasa) dengan dzat-Nya, Haiyun
(Hidup) dengan dzat-Nya, mutakallim (Berbicara) dengan dzat-Nya.20
17
Yunan, Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, h. 82-83. 18
„Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 216. 19
Salihun, A Nasir, Pemikiran Kalam, h. 175. 20
„Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 529.
46
Selain itu prinsip ke-Esa-an yang murni lainnya adalah
mengingkari arah bagi Tuhan dan mena‟wilkan ayat-ayat yang
mengesakan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.21
2. Tasybīh
Pembahasan tauhīd dalam Mu„tazilah berhujung pada persoalan
Tasybīh, arti Tasyīh adalah penyerupaan. Maka disini Tuhan dijauhkan
dari Tasybīh, karena baginya Tuhan tidaklah serupa dengan makhluknya
dan tidak serupa dengan apapun. Tasybīh berarti mengesakan Tuhan atau
memurnikan Tuhan secara paripurna atau totalitas. Tuhan adalah Dzat
yang benar-benar unik.
Kaum Mu„tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan
mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Namun ini bukan
berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mempunyai pengetahuan, tidak
berkuasa, tidak hidup, dan sebagainya. Tuhan bagi mereka tetap
mengetahui, berkuasa, hidup, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat
dalam arti kata yang sebenarnya. Artinya “Tuhan mengetahui dengan
pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.22
Dalam ayat-ayat Al-Qur„an banyak pula yang secara sepintas
memberikan pengertian bahwa Tuhan bertempat ini memberikan
konsekuensi bahwa ia adalah jism atau wujud materil, karena yang dapat
mengambil tempat adalah jism. Juga terdapat kata-kata yang
mengisyaratkan bahwa Ia mempunyai mata, wajah dan tangan dan
21
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, h. 92. 22
Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 261.
47
sebagainya. Pengertian seperti inilah yang ditolak oleh Al-Qāḍī „Abd al-
Jabbār.23
Maka dalam memahami ayat-ayat Al-Qur„an seperti yang telah
disebutkan diatas Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār memberikan ta‟wil terhadap
ayat-ayat tersebut.
Menurut Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār bahwa berita yang dibawa Al-
Qur„an dapat dibagi menjadi tiga:
1. Yang hanya dapat diketahui dengan wahyu, yakni hukum-hukum
peribadatan (syari‟ah).
2. Yang dpat diketahui dengan akal dan wahyu, yakni bahwa Tuhan
tidak dapat dilihat dan banyak hal yang berkenaan dengan ancaman
Tuhan hanya dapat diketahui dengan akal, yakni keadilan dan
keesaan Tuhan serta hal-hal yang berkenaan dengan keduanya.24
a) Ta‟wil sifat Kalam
Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār atau paham Mu„tazilah disebut sebagai
golongan Ahl Ra‘yi, orang yang yang sangat berpegang teguh kepada
hasil pemikiran akal. Golongan ini bersifat rasional dan terang-
terangan menolak hadits-hadits nabi yang menurut pendapatnya
berlawanan dengan pemikiran rasional, disamping mereka
melakukan takwil terhadap nash-nash mutasyābihat.25
Paham Mu„tazilah berpendapat bahwa Al-Qur„an adalah
Kalāmullah, bukan qadim yang kekal, tetapi hadits dalam arti baru
23
Machasin, Al-Qādī ‘Abd al-Jabbār: Mutasyābīh al-Qur‘an dan Dalih Rasionalitas
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000), h. 131. 24
Machasin, Al-Qādī ‘Abd al-Jabbār, h. 75 25
Salihun, A Nasir, Pemikiran Kalam, h.215.
48
dan diciptakan Allah SWT.26
Mu„tazilah juga menolak pendapat
bahwa Al-Qur„an bukan makhluk. Untuk menguatkan pendirian
mereka tentang kemakhlukkan Al-Qur„an tersebut, kaum Mu„tazilah
mengantakan bahwa Al-Qur„an terdapat semua sifat ciptaan. Al-
Qur„an tersusun dari surah-surah, kalimat-kalimat dan huruf-huruf
yang dapat dibaca dan didengarkan, ada permulaan dan ada pula
akhirnya, maka tidak mungkin Al-Qur„an qadim.27
Pendirian Mu„tazilah bahwa Al-Qur„an adalah makhluk, maka
berkaitan dengan pendiriannya bahwa Allah SWT. itu tidak
mempunyai sifat, dan pendirian tersebut didukung dengan dalil Al-
Qur„an QS. Al-Hijr [15]: 9.28
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
pasti kami (pula) yang memeliharanya.”.29
30Dalam ayat Al-Qur„anjuga terdapat ayat-ayat yang tampak
seperti Allah SWT. itu menyerupai makhluk-makhluk-Nya.
Demikian pula hal itu terdapat dalam hadits-hadits Nabi, terutama
pada hadits-hadits Qudsi.
26
Harun, Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI-Press, 2010) h. 50. 27
„Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 531. 28
Al-Qur„an dan terjemah, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur„an
Kementrian Agama Republik Indonesia. (Jakarta: Dharma art,2015) 29
Ayat ini mensifati Al-Qur„an dengan sesuatu yang diturunkan. Menurut Al-Qadī,
mestilah baru. Apalagi hal itu dihubungkan dengan pernyataan Allah wa inna lahū lahāfizūn (dan
makilah yang memeliharanya), berarti Al-Qur„an itu baru. Sebab bila Al-Qur„an itu sesuatu yang
qadim tentu tidak memerlukan pemeliharaan. 30
Salihun, A Nasir, Pemikiran Kalam, h.226.
49
Artinya: “Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan
kemuliaan tetap kekal” (QS. Ar-Rahmān {55}: 27)31
1. Artinya: “Sudah merasa amankah kamu,
bahwa Dia yang dilangit tidak akan membuat
kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia
terguncang?” (QS. Al-Mulk {67}:16).32
Akal manusia itu menetapkan bahwa Allah SWT. itu suci dari
jism, sebab Allah SWT. bersifat tidak ada sesuatu yang semisal
dengan-Nya. Terhadap nash-nash mutasyābihāt, kaum Muslimin
pada masa-masa pertama percaya sepenuhnya pada naṣ-naṣ tersebut
tanpa melakukan batasan sedikitpun dan menyerahkan segala
maksudnya kepada Allah SWT.
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa kaum Mu„tazilah
menafikan sifat-sifat Allah SWT. yang karenanya mereka dinamakan
golongan Mu‘athilah. Sedangkan kaum salaf berpendapat itsbat al-
shifāt, menetapkan adanya sifat-sifat bagi Allah SWT. yang
karenanya kaum Salaf ini dinamakan golongan Shifātiyah.33
Pendirian golongan Musyabbīḥah yang berlebih-lebihan
menimbulkan reaksi hebat pada golongan Mu„tazilah yang mensifati
Tuhan dengan “Esa”, “qadim” dan “berbeda dengan makhluk”.
Sifat-sifat ini adalah sifat sālaby (negatif) karena tidak
31
Al-Qur„an dan terjemah, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur„an
Kementrian Agama Republik Indonesia. (Jakarta: Dharma art,2015) 32
Al-Qur„an dan terjemah, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur„an
Kementrian Agama Republik Indonesia. (Jakarta: Dharma art,2015) 33
Salihun, A Nasir, Pemikiran Kalam, h.226.
50
menambahkan sesuatu kepada Dzat Tuhan. Dikatakan sālaby, karena
“Esa”, artinya tidak ada sekutu, “qadim” tidak ada permulaannya dan
“berbeda dengan makhluk” artinya tidak ada yang menyamainnya.
Sebagaimana pendiri Mu„tazilah Wasil bin Athā, mensucikan Tuhan
sejauh mungkin. Ia tidak mengakui adanya sifat-sifat ijāby (positif)
bagi-Nya, seperti ilmu, qodrat, dan iradat. Pengakuan sifat-sifat
tersebut dikhawatirkan kaum Muslimin akan menyamai orang-orang
Masehi, karena orang-orang Masehi mengakui tiga sifat, yaitu
wujud, ilmu dan hayat sebagai Tuhan, dan masing-masing dari sifat
ini berdiri sendiri dan diberinya nama “Oknum Tiga sifat tersebut.
Menurut kepercayaan mereka, ayah ibu dan roh-kudus”.34
Pengikut Wasil bin Athā atau salah satunya Al-Qāḍī „Abd al-
Jabbār menganggap tidak perlu mengingkari sifat-sifat ijaby sama
sekali, karena itu akan mengakibatkan pengosongan Tuhan dari sifat-
sifat-Nya dan menjadikan Tuhan sebagai suatu fikiran belaka (muri),
tidak ada isinya. Karena itu mereka menetapkan dua sifat pokok,
yaitu Ilmu dan qodrat, kemudian kedua sifat ini disamakan dengan
Dzat Tuhan sendiri. Mereka mengatakan, Tuhan mengetahui dengan
suatu pengetahuan (ilmu) dan pengetahuan itu adalah Dzat Tuhan itu
sendiri. Berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Dzat
Tuhan sendiri.35
34
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, h.108. 35
Ahmad, Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988) h. 95-96.
51
Paham Mu„tazilah berpendapat bahwa Allah SWT. itu tidak
mempunyai sifat. Sebab apabila Dzat Allah SWT. itu qadīm dan sifat
Allah SWT juga qadīm, maka akan menimbulkan beberapa yang
qadīm (ta„addud al-qudama„). Hal ini mustahil bagi-Nya.Yang ada
bagi Allah SWT adalah Dzat dan ta„alluq-Nya sehingga terciptalah
alam semesta ini.36
b) Ta‟wil Melihat Tuhan
Dalam persoalan melihat Tuhan, lawan-lawan dari Mu„tazilah
sebagai dasar bagi pendapat mereka bahwa Allah dapat dilihat
adalah ayat yang menyatakan bahwa dihari kiamat nanti sebagian
wajah berseri-seri melihat Tuhan mereka.37
Aliran Mu„tazilah memberikan daya yang besar terhadap akal
berpendapat bahawa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-
sifat jasmani. Seperti yang dikatakan oleh Al-Qadī „Abd al-Jabbār,
Jika Tuhan dikatakan mempunyai jasmani, tentulah Tuhan
mempunyai ukuran panjang, lebar dan dalam, atau Tuhan diciptakan
sebagai kemestian dari sesuatu yang bersifat jasmani. Oleh karena
itu kaum Mu„tazilah menafsirkan ayat-ayat yang memberikan kesan
bahwa Tuhan bersifat jasmani secara metaforis. Dengan kata lain,
ayat-ayat Al-Qur„an yang menggambarkan bahwa Tuhan bersifat
36
Salihun, A Nasir, Pemikiran Kalam, h.175. 37
Machasin, Al-Qādī ‘Abd al-Jabbār: Mutasyābīh al-Qur‘an dan Dalih Rasionalita, h.
143.
52
jasmani diberi ta‟wil oleh Mu„tazilah dengan pengertian yang layak
bagi kebesaran dan keagungan Allah.38
Sebagaimana Mu„tazilah yang lebih mengedepankan akal,
Mu„tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat oleh mata
kepala.39
Mayoritas Mu„tazilah berpandangan bahwa Tuhan hanya
akan diketahui melalui hati, bukan dengan mata (al-Absār).40
Ada
beberapan alasan Tuhan tidak dapat dilihat oleh mata kepala karena
pertama, Tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat
dan kedua, bila Tuhan dilihat sekarang didunia ini, sedangkan
kenyataannya tidak seorang pun yang dapat melihat Tuhan di alam
ini.Dalam mendukung argumen diatas, yakni disandarkan kepada
ayat-ayat al-Qur„an. Salah satunya ayat 22-23 surat Al-Qiyamah
[75].41
Artinya: “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
Memandang Tuhannya.”42
Ayat ini diahami oleh Mu„tazilah, bukan berarti memandang
wajah Tuhan, tetapi menunggu-nunggu balasan pahala yang akan
diberikan oleh Tuhan.43
38
„Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 153. 39
Tsuroya Kiswali, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, t.t), h. 105. 40
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqilani, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
1997), h.73 41
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h.171. 42
Al-Qur„an dan terjemah, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur„an
Kementrian Agama Republik Indonesia. (Jakarta: Dharma art,2015) 43
„Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 172
53
Yang dimaksud dengan ungkapan wajah pada kedua kalimat
diatas adalah orang-orang yang mempunyai wajah, yaitu dengan
membuang muḍāf (yang disandari) dan tetap menyebut muḍāf ilaih-
nya, untuk faidah ijāz. Jadi yang dimaksud dalam ayat 22-23 Surat
al-Qiyamah adalah dengan dita‟wil menjadi: Yang artinya, “orang-
orang yang mempunyai wajah-wajah itu menanti-nanti nikmat
Tuhanya”.
Dengan demikian menurut Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār bahwa hal
itu bisa terjadi, bila apa yang dinantikannya tidak pasti dan
meragukan, karena datangnya nikmat Tuhan di surga pasti datang
dan meyakinkan, takkan menimbulkan siksaan batin. Hal itu
diumpamakan sebagai seorang yang telah duduk dihadapan meja
makan yang telah penuh dengan makanan yang eanak-enak. Namun
ia masih menunggu datangnya nikmat lain yang akan menambah
kebahagiaannya, sebab mengetahui bahwa ia akan mendapatkan
makanan lain yang lebih nikmat dan lezat. Nikmat itu pasti datang,
maka ia tidak merasa tersiksa dalam penantiannya.44
c) Ta‟wil wajah Allah
Mu„tazilah dalam memahami ayat al-Qur„an surat al-Qashas ayat
88:
Artinya: ”segala sesuatu akan binasa kecuali wajah Allah”.
44
Tsuroya Kiswali, Al-Juwaini, h. 108.
54
Dalam memahami wajhah dalam surat tersebut yaitu dengan
‘Zatuhu ay nafsuhu (dzat-Nya yakni diri-Nya).45
Tuhan, menurut Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār, tidak dapat
mempunyai badan materi. Oleh sebab itu, Ia tidak mempunyai sifat-
sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur„an yang menggambarkan bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi interpretasi lain.46
Dengan demikian wajhu, muka, ialah esensi47
dan sebagaimana ayat
diatas dipahami bahwa kata wajhu, bukan dengan arti memandangan
wajah Tuhan, tetapi di ta‟wil dengan arti menunggu-nunggu balasan
pahala yang akan diberikan oleh Tuhan.48
d) Ta‟wil kata “Alā al-Arsy Isytawā”
Pendapat kaum Mu„tazilah, semua ayat yang menurut lahirnya
menetapkan arah, harus dipahami tidak menurut lahirnya, yakni
dengan memalingkan makna lahir ke makna bathin (ta‟wil).Namun
dengan begitu harus dita‟wilkan sesuai dengan prinsip kesucian dan
tidak ada kesamaan dengan makhluk-Nya. Misalnya, Tuhan berada
dalam arah meskipun langit, atau bertempat meskipun di Arys, atau
bergerak dan berpindah-pidah meskipun pada hari kiamat untuk
mengadili manusia yang berkumpul dan menerima balasan masing-
masing dari Allah SWT.49
Sebagaimana surat Thaha {20} ayat 5, harus diberikan
interpretasi kepada makna yang lain untuk tidak memberikan
45
Yunan, Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, h. 139. 46
Tsuroya Kiswali, Al-Juwaini, h.104. 47
Harun, Nasution. Teologi Islam, h.137. 48
Yunan, Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, h. 143. 49
Ahmad, Hanafi, Theologi Islam, h.142.
55
penyamaan antara Tuhan dengan manusia karena sama-sama
bertempat yang bunyinya:
Artinya: “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam
di atas 'Arsy”.50
kata “Alā Arys Istawā” dita‟wilkan dengan al-istila wa al-
ghalabah (menguasai dan mengalahkan).51
Karena Tuhan bersifat
immateri, tidaklah dapat dikatakan Tuhan mempuyai sifat jasmani.
Seperti yang telah dikatakan oleh Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār, Tuhan
tidak mempunyai badan materi dan karenanya tidak memiliki sifat
jasmani. Ayat Al-Qur„an yang menunjukkan sifat-sifat jasmani
harus di interpretasikan, oleh karena itu kata Arys diberi interpretasi
menjadi “kekuasaan”.52
Tidak hanya Al-Qur„an, banyak hadits yang
menetapkan arah dan ruang bagi Tuhan ditolak sama sekali oleh
Mu„tazilah dengan alasan bahwa hadits tersebut hadits perseorangan
(ahad) yang tidak bisa dijadikan pegangan. Mu„tazilah mengakui
bahwa Tuhan ada pada tiap-tiap tempat, tapi Tuhan tidak bertempat.
Karena yang dimaksudnya adalah bahwa Tuhan mengetahui semua
tempat, karena ia yang menjadikannya.53
e) Menurut Abu Hasan Al-Asy‘ari
1. Tauhīd
50
Al-Qur„an dan terjemah, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur‘an
Kementrian Agama Republik Indonesia. (Jakarta: Dharma art,2015) 51
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h.171. 52
Harun, Nasution, Teologi Islam, h.137. 53
Ahmad, Hanafi, Theologi Islam, h.142.
56
Al-Asy„ari sebagai pendiri dari paham Asy„ariyah telah mencapai
kedudukan yang terhormat dan memiliki banyak pengikut dan
pendukung sekaligus memperoleh bantuan dari para penguasa. Dan
paham Asy„ariyah ini disebut dengan paham Ahl al-Sunnah wa al-
Jama‘āh. Paham ini lebih mengutamakan wahyu daripada akal pikiran,
dan paham inilah yang menentang Mu„tazilah sebagai paham yang
rasionalis, yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu. Paham Ahl
al-Sunnah ini mengikuti pendirian ulama-ulama Salaf dalam memahami
naṣ-naḥ mutasyābihat. Pemikiran Al-Asy„ari identik dengan paham ahl
al-Sunnh wa al-Jama„ah, yang beberapa pemikirannya tertuang dalam
kitabnya al-Ibānah.
Konsep tauhīd Asy„ariyah bermula pada pendapat tentang adanya
Tuhan. Ia menemukan alasan kausalitas untuk membuktikan keberadaan
Tuhan. Ia mencontohkan dengan penciptaan, pertumbuan dan
perkembangan manusia merupakan fase yang harus dilewati oleh mansia,
perpindahan dari fase satu ke fase berikutnya adalah sebagai bukti bahwa
perpindahan tersebuat ada yang melakukannya atau menggerakannya,
karena tidak mungkin menusia melakukannya sendiri, begitu pula dengan
pertumbuhan anggota tubuh manusia yang tidak mungkin dilakukannya
sendiri. Oleh sebab itu Asy„ari mengatakan bahwa yang melakukan itu
semua adalah Tuhan, yang mempunyai kemampuan yang tak terbatas.54
2. Tasybīh
54
Abu Hasan al-Asy„ari, Kitab al-Luma’ fi al-Rad ‘ala al-Ziyagh wa al-Bida‘ (Kairo: T.Tp,
1955) h.20.
57
Kalam Al-Asy„ari pada awalnya merupakan sebuah reaksi
terhadap dua madzab pemikiran yang bertentangan secara diametris,
sebuah reaksi yang berupaya untuk membuka jalan tengan bagi
umat.Terhadap sebuah permasalahan hubungan antara wahyu dan rasio,
Al-Asy„ari berhasil menjaga interpretatif akal, untuk memakai istilah
Schuon, tanpa menyempitkan wahyu itu sendiri. Demikian pula, ia
menampilkan rekonsiliasi antara tasybīh (perbandingan atau analogi)
dan tanzīh (abstraksi atau ketidak sebandingan) dalam konsepsinya
tentang ketuhanan dengan memberikan sifat-sifat antrospomorfis kepada
Tuhan, dengan tetap kokoh pada pandangannya bahwa sifat-sifat ini
harus diabstraksi dan tidak boleh dipahami secara harfiah.55
Pandangan kalangan kutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tidak
dapat terhindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah
adalah wajib. Dalam pembahasan ini Al-Asy„ari berhadapan dengan
kelompok Mu„tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain
selain esensi-Nya. Yang mana sifat-sifat tangan, kaki, telinga Allah atau
Arsyatau kursi tidak boleh diartikan secara harfiyah, melainkan harus
dijelaskan secara alegoris. Sedangkan Al-Asy„ari sendiri memiliki
pandangan bahwa Allah memiliki sifa-sifat seperti mempunyai tangan,
kaki, telinga Allah, Arys atau kursi, dan ini tidak boleh diartikan secara
harfiah, melainkan secara simbolis. Dan ia pula berpendapat bahwa sifat-
sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
55
Osman, Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam Tentang Agama dan Sains, terj.
Yuliani Liputo dan M.S. Nasrullah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008) h. 176.
58
manusia. Sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh
menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan
demikian tidak berebda dengan-Nya.56
Al-Asy„ari dalam bukunya terutama dari kitab al-Luma„ Fi al-Rad
„ala Ahl al-Ziagh wa al-Bida„ dan al-Ibanah „an Usul al-Dianah, sebagai
penentang Mu„tazilah tentu saja ia berpendapat bahwa Tuhan mmpunyai
sifat. Bagi Al-Asy„ari mustahil Tuhan mengetahui dengan Dzat-Nya,
karena dengan demikian Dzat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan
sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (ilm) tetapi Yang
Mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan
pengetahuan-Nya bukanlah Dzat-Nya.57
Seperti yang menjadi landasan Asy„ariyah dalam persoalan ini ialah:58
Artinya: “Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya,
“Jadilah!” maka jadilah sesuatu itu” (Q.S. An-Nahl [16]:40).
Untuk penciptaan itu perlu kata kun, dan untuk terciptanya kun ini
perlu pula kata kun yang lain; begitu seterusnya sampai terdapat rentetan
kata-kata kun yang tak berkesudahan. Dan ini tidak mungkin. Oleh
karena itu al-Qur„an tak mungkin diciptakan.
56
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 121. 57
Al-Asy„ari, Kitab al-Luma‘, h. 54., dan Al-Asy„ari, Al-Ibanah ‘An Ushul al-Diyanah
(Damaskus: Maktabah Dar al-Bayan, 1990), h. 63. 58
Harun, Nasution. Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI Press, 1986) cet. Kelima, h. 69.
59
Dalam pandangan Al-Asy„ari, bahwa Tuhan mmpunyai sifat-sifat
seperti „ilmu, hayat, sama„, dan basr. Sifat-sifat tersebuat bukanlah Dzat-
Nya. Menurutnya Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan
oleh Tuhan yang mempunyai ilmu. Demikian pula menurutnya Allah
mempunyai qudrat, hayāt dan sebagainya.59
Al-Asy„ari mengakui bahwa sifat-sifat Tuhan seperti, sifat-sifat
Wujud, Qidam baqa, Muḥalafah al-Ḥawadits dan sebagainya sersebut
yang sesuai dengan Dzat Tuhan sendiri, dan sama sekali tidak meyerupai
sifat-sifat makhluk. Tuhan mendengar, tetapi tidak seperti kita
mendengar dan seterusnya.60
a) Sifat Kalam
Al-Asy„ari sebagai seorang yang pernah menjadi pengikut
Mu„tazilah, yang sangat pengutamakan akal rasio daripada wahyu
(Al-Qur„an dan Hadits). Dalam perjalananya yang kemudian ia keluar
dari Mu„tazilah dan mendirikan paham teologi sendiri yaitu
Asy„ariyah sebagai reaksi terhadap Mu„tazilah yang mana paham ini
lebih mengutamakan wahyu daripada akal rasio, dan Al-Asy„ari
menentang orang yang berlebihan mengunggulkan akal daripada
wahyu.
Paham Asy„ariyah sering disebut sebagai paham Ahl al-Sunnah,
namun penyebutan Ahl as-Sunnah ini sudah dipakai orang sejak jauh
sebelum Imam Al-Asy„ari, yaitu terhadap orang-orang yang mencari
penyelesaian masalah-masalah agama yang berpegang teguh kepada
59
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqilani, h. 43. 60
Ahmad, Hanafi, Theologi Islam, h.109.
60
naṣ-naṣ al-Qur‟an dan Hadits Nabi. Ada beberapa pemikiran Al-
Asy„ari seperti ia mengatakan bahwa Kalāmullah (al-Qur„an) itu
bukanlah makhluk, dan apapun yang ada ini tidak mungkin wujud,
kecuali Allah SWT.61
Al-Asy„ari dalam persoalan qadimnya Al-Qur„an, sebagaimana
Mu„tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur„an diciptakan (makhluk)
sehingga tidak qadim. Maka paham Al-Asy„ari dalam bukunya al-
Ibanah dikatakan bahwa kitabullah (al-Qur„an) bukanlah makhluk.62
Kalam Allah SWT. Yang qadīm adalah sifat Allah SWT. yang
tidak berhuruf dan tidak bersuara, itu dinamakan kalām nafsi. Adapun
yang tertulis dalam mushaf dan yang dibaca oleh umat Islam adalah
madlūl (bentuk yang dirupakan) dari kalam Allah SWT.yangqadīm
tadi. Karena itu jika orang berkeyakinan bahwa kalam Allah SWT itu
sifat Allah SWT.Yang qadīm yang berdiri diatas Dzat-Nya yang
qadīm, tentunya al-Qur„an sebagai Kalam-Nya adalah qadīm juga.63
b) Melihat Tuhan
Al-Asy„ari dalam persoalan melihat Tuhan di akhirat ia tidak
sependapat dengan Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār yang mengingkari Tuhan
dapat dilihat di akhirat. Baginya Tuhan dapat dilihat di akhirat, tetapi
tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru‘yat dapat dilihat atau
61
Salihun, A Nasir, Pemikiran Kalam, h.217 62
Al-Asy„ari,Al-Ibanah ‘An Ushul al-Diyanah, h.20. 63
Al-Asy„ari,Al-Ibanah ‘An Ushul al-Diyanah, h. 75.
61
bilamana Ia menciptakan kemampuan pada penglihatan manusia
untuk melihat-Nya.64
Dalam memperkuat argumen yang diatas adalah bahwa yang tak
dapat dilihat hanyalah yang tak wujud. Yang mempunyai wujud mesti
dapat dilihat. Tuhan berwujud oleh sebab itu dapat dilihat.65
Ayat al-Qur„an yang menjadi dasar Al-Asy„ari bahwa Tuhan
dapat dilihat nanti di akhirat dengan mata kepala adalah sebagai
berikut:
Artinya: “Wajah –wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat” (Q.S. Al-Qiyamah [75]:22-23).
Ayat ini dipahami oleh Al-Asy„ari dengan melihat dengan mata
kepala.66
Ia berpendapat bahwa kata nazirah dalam ayat diatas tidak
bisa berarti memikirkan, karena akhirat bukanlah tempat berfikir.
Tidak pula berarti menunggu, karena wujuh yaitu muka atau wajah
tidak dapat menunggu, yang menunggu ialah manusia. Oleh sebab itu
kata nazirah mesti mengandung makna melihat dengan kedua mata
yang terdapat pada wajah.67
64
Al-Asy„ari,Al-Ibanah ‘An Ushul al-Diyanah, h. 58-63. 65
Harun, Nasution, Teologi Islam, h. 139. 66
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h.175. 67
Harun, Nasution, Teologi Islam, h. 142.
62
Pendapat Asy„ariyah bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala (al-absār) sebab sesuatu yang maujūd dapat dilihat. Yang
ma‘dūmlah yang tidak dapat dilihat dengan penglihatan mata.68
c) Wajah Allah
Al-Asy„ari tidak menerima tasybīh dalam arti Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan jasmani manusia.
Namun ia tetap mengatakan bahwa Tuhan sebagaimana yang disebut
dalam Al-Qur„an, mempunyai tangan, mata, wajah, tangan dan
sebagainya itu tidak sama dengan yang ada pada manusia.
Pendapatnya bahwa kata-kata tersebut tidak boleh diberi interpretasi.69
Dalam pandangan Al-Asy„ari Allah mempunyai sifat.Sifat dan
dzat berbeda, bagi Al-Asy„ari sifat-sifat Tuhan qāimaṭ bi zatih (berdiri
sendiri).70
Sesuai dengan pandangan tersebut, Al-Asy„ari mengatakan
bahwa Allah mempunyai wajah, tangan, mata. Sebagaimana salah satu
firman Allah yang akan saya jelaskan berikut ini.
Artinya: “tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah.” (QS. Al-Qashas
[28]:88).71
Dalam pemahaman ayat diatas bahwa kata wajhu adalah Tuhan
mempunyai wajah tanpa menginterpretasikan.
68
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqilani h.75. 69
Harun, Nasution. Teologi Islam,h. 137. 70
Asyahrastani,Al-Milal Wa al-Niḥal (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2011), h. 128. 71
Al-Qur„an dan terjemah, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur„an
Kementrian Agama Republik Indonesia. (Jakarta: Dharma art,2015)
63
d) Ta‟wil kata “Alā al-Arsy Isytawā”
Pendirian Al-Asy„ari terhadap Mu„tazilah yang menetapkan
kejisiman Tuhan tampak jelas menolak penakwilan kaum Mu„tazilah
terdapat pada ayat Arys. Seperti yang terdapat pada QS. Taha [20]:5.
Artinya: “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas
'Arsy”.72
Menurutnya Tuhan memang bertempat di Arys, seperti yang
telah disebutkan dalam Al-Qur„an sendiri. Ia juga memperkuat
pendapatnya dengan ayat lain yang menyebutkan bahwa Tuhan berada
di langit. Tuhan bertempat di Arsy dengan tegas ia menunjukkan
bahwa Tuhan ada di langit, karena Arys teletak diatas semua langit.
Kalau dikatakan Tuhan berada dilangit, artinya Tuhan berada di Arys
tersebut. Ia juga menguatkan pendapatnya dengan hadits-hadits nuzul
(menyatakan bahwa Tuhan turun ke langit dunia).73
Alasan Al-Asy„ari bahwa Tuhan mempunyai sifat jasmani
seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur„an dan tidak dapat di
interpretasikan karena, akal manusia adalah lemah dan akalnya tidak
sanggunp untuk mengiterpretasikan jauh tentang sifat-sifat jasmani
Tuhan yang telah disebutkan dalam Al-Qur„an sedemikian rupa
sehingga meniadakan sifat tersebut. Namun meskipun akal manusia
72
Al-Qur„an dan terjemah, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur„an
Kementrian Agama Republik Indonesia. (Jakarta: Dharma art,2015) 73
Al-Asy„ari,Al-Ibanah ‘An Ushul al-Diyanah, h.97.
64
lemah tapi akal tidak dapat menerima bahwa Tuhan mempunyai
anggota badan (sifat) seperti manusia.74
74
Harun, Nasution, Teologi Islam, h.138.
65
BAB IV
PERBANDINGAN KONSEP TASYBĪH AL QᾹḌĪ ABD AL-JABBAR
DENGAN ABU HASAN AL-ASY„ARI
A. Tauhid
Dalam memandang masalah tauhīd perbedaan yang cukup signifikan
antara Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār dengan Al-Asy„ari terletak pada pendapat
Tuhan mempunyai sifat dan Tuhan tidak mempunyai sifat. Bagaimana Al-
Qāḍī „Abd al-Jabbār ingin menjauhkan persepsi Tuhan mempunyai sifat sama
dengan makhluknya. Karena jika Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah
kekal seperti halnya Dzat Tuhan. Jika sifat itu kekal, maka dapat dikatakan
bahwa banyak yang kekal. Oleh sebab itu baginya hal tersebut disebut syirik
atau politheisme. Sedang Al-Asy„ari dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya. Lebih lanjut penjelasan
bahwa Tuhan mempunyai sifat bagi Al-Asy„ari tidak dapat diartikan secara
harfiah melainkan secara simbolis. Namun sifat Tuhan berbeda dengan sifat
makhluknya, untuk itu tidak boleh dibayangkan bagaimana bentuknya (bila
kaifa).
Menurut Mu„tazilah Allah adalah Esa, tidak ada sesuatu-pun yang
menyamai-Nya, bukan jisim (materi), tidak bertubuh, tidak berbentuk, tidak
berdaging, tidak berdarah, bukan person (syakhsun), bukan jayhar (substansi),
bukan aksiden („ardh), tiada padanya warna, rasa, panas, dingin, basah, berat,
ringang, panjang, lebar, kedalaman, pertemuan dan perpisahan. Ia tidak pula
66
bergerak, tidak dalam ruang, tidak dalam waktu, dzat-Nya sederhana, tidak
terbagi-bagi, tidak bergerak, tidak istirahat, tiada pada-Nya kanan dan kiri,
depan dan belakang, atas dan bawah. Allah ada sebelum ciptaan-Nya, bukan
bapak, bukan ibu, tiada keturunan selain Ia, tiada yang abadi kecuali Ia, tiada
yang menolong-Nya untuk menumbuhkan sesuatu yang ditumbuhkan-Nya,
dan tidak menciptakan ciptaan-Nya atas contoh yang mendahului-Nya.1
Dalam buku Al- Ibanah „an al-Ushul al- Diyanah Al-Asy„ari menulis
tesis banding terhadap ajaran Al-Tauḥīd dengan Nafy al-Sifatnya Mu„tazilah,
dimajukannya dengan mengatakan bahwa mustahil Tuhan mengetahui degan
Dzat-Nya. Bila Tuhan mengetahui dengan Dzat-Nya, itu berarti Dzat-Nya
adalah pengetahuan dan pada berikutnya berarti pula Tuhan adalah
pengetahuan. Padahal Tuhan bukanlah pengetahuan (ilm) tetapi adalah Yang
mengetahui („Alim). Oleh karena itu, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan
dan pengetahuan-Nya bukan Dzat-Nya.2
Selain tentang perbedaan mereka mempunyai persamaan, yakni sama-
sama ingin mengEsakan Tuhan.Dimana Tuhan dipersepsikan oleh keduanya
sebagai sesuatu Dzat yang unik, dimana keunikan tersebut tidak terdapat pada
yang lainnya (makhluknya).
B. Tasybīh
Titik yang ingin ditekankan dalam tasybīh yang dikemukakan oleh
keduanya merupakan kelanjutan dari konsep mereka berdua tentang tauhīd,
1 Yunan, Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Penadamedia Group,
2014), h.94.
2Yunan, Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, h.94.
67
dimana mereka ingin mensucikan Dzat Tuhan dengan makhluknya. Tuhan
sebagai pencipta tentu berbeda dengan yang diciptakan yaitu makhluknya.
Selain sama-sama ingin mensucikan Dzat Tuhan dengan makhluknya, mereka
juga memiliki cara pandang yang berbeda dalam persoalan tasybīh yakni
seperti yang dikatakan oleh Al-Asy„ari bahwa adanya bentuk kesamaan nama
tidak mesti sama dalam bentuk Dzat-Nya. Seperti contoh; Tuhan mempunyai
tangan, manusia mempunyai tangan. Sama-sama mempunyai tangan,tetapi
pandangan Al-Asy„ari bahwa yang dimaksud tangan tersebut tangan Tuhan
berbeda dengan tangan manusia. Berbeda lagi dengan pandangan Al-Qāḍī
„Abd al-Jabbār bahwa adanya bentuk kesamaan terhadap nama menunjukkan
persamaan Dzat. Artinya bahwa ketika Tuhan dikatakan mempunyai tangan
misalnya, maka disamakan seperti makhluknya manusia mempunyai tangan.
Maka dari itu Al-Qādī menolak bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena itu
dapat merusak keEsaan Tuhan.
Dalam hal tasybīh ini, Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār memberikan argument
bahwa didalam Al-Qu„an terdapat ayat mutasyabihat dan kalu kita hanya
wajib mengimani ayat-ayat mutasyābihāt, maka perlu dipertanyakan
bagaimana maksud sebenarnya wajh dari firman Allah sehingga kita dapat
mengimaninya dengan benar. Dan kalau lawan mengatakan bahwa firman itu
datang dari Allah tidak memberi pengertian apapun, maka yang atas telah
dijelaskan kesalahannya. Kalau Allah menghendaki ayat-ayat mutasyābihāt
sesuatu manfaat bagi mukalaf yang tidak mungkin diketahuinya, ini akan
membuat ayat-ayat itu percuma karena seakan-akan Allah mewajibkan
68
manusia untuk mempercayainya sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat apa
pun. Allah jauh dari hal seperti itu. Didalam Al-Qur„an sendiri dinyatakan
bahwa kitab ini diturunkan untuk menjadi syifa (obat), huda (petunjuk) dan
rahmat (kasih sayang). Dikatakan pula bahwa didalamnya ada bayan
(penjelasan). Kalau Al-Qur„an tidak dapat diketahui maksudnya, maka tidak
mungkin tercapai semua tujuan itu.3
Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār kemudian memberikan keterangan tentang
bentuk lahiriah QS.Ali Imran:7
Dengan mengatakan bahwa ungkapan “ya„lamu ta„wīluhu illa Allah”
(tidak ada yang mengetahui takwinya selain Allah). Dita‟wilkan oleh para
ulama dengan dua cara. Pertama, frase “wa al-rāsikhūna fī al-Ilm” dihukumi
athaf kepada ungkapan ini. Jadi yang mengetahui takwil ayat-ayat
mutasyābihāt itu hanyalah Allah dan orang-orang yang sangat dalam
pengetahuannya.Kedua ungkapan “ya„lamu ta„wīluhu illa Allah” itu berdiri
sendiri dan karenanya ungkapan “wa al-rāsikhūna fī al-Ilm ya qūlūna āmannā
bih” merupakan kalimat baru. Dengan cara bacanya kata ta’wil dipahami
sebagai “muta‟wil” (yang ditakwilkan) dengan alasan kadang-kadang
memang dinyatakan dengan yang satu untuk yang lain.4
Dalam persoalan sifat tidak terlepas pulang mengenai tentang
keqadiman Allah, ketika dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat maka
3 Machasin, Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār: Mutasyābīh al-Qur‘an dan Dalih Rasionalitas,
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000), h. 54-55. 4 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār: Mutasyābīh al-Qur‘an dan Dalih Rasionalita,h.55.
69
Tuhan berjisim. Jika Allah itu berjasad atau jisim mestilah Allah bersifat
baru, sedangkan Allah itu sudah ditetapkan keqadimannya karena semua
“jism” tidak mungkin terlepas dari sifat yang baru (hawadits). Contohnya,
perkumpul, berpisah dan bergerak, diam dan hal-hal yang tidak terlepas dari
“muhdats” sudah pasti baru.5 Jadi derskripsi atas-Nya dalam istilah-istilah
tasybīh, misalnya menetapkan arah bagi-Nya, tempat, bentuk jisim,
kediaman, gerak, transisi, perubahan, atau emosi. Oleh sebab itu ayat-ayat Al-
Qur„an yang ambigu mengenai deskripsi seprti itu harus diinterpretasikan
dalam sebuah pengertian yang metaforis. Maka inilah yang ia sebut dengan
keEsaan Tuhan.6
Al-Asy„ari mengkritik tentang Dzat Tuhan bukanlah sifat Tuhan,
tetapi Dzat yang mempunyai sifat itu, juga dia perlakukan terhadap sifat-sifat
yang lain seperti Hayat, Qudrah, Sama‟, Bashar, dan sebagainya. Pandangan
Asy„ari bahwa sifat Tuhan yang harus berdiri sendiri diluar Dzat-Nya.
Dengan pengertian itu dipahami bahwa Ia mempunyai sifat seperti yang
diberitakan Tuhan sendiri dalam Al-Qur„an, namun Al-Asy„ari tidak masuk
dalam pandangan tajassum atau antropomorfisme. Bagi Al-Asy„ari semua
yang telah diinformasikan Allah dalam Al-Qur„an adalah benar dan harus
dipahami apa adanya. Dengan demikian Allah mempunyai wajah dan mata,
namun bagaimana bentuk dan batasan wajah dan tangan itu tidak diketahui.7
5Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1988) Cet.2,
h.218. 6Al-Sahrastānī, Al-Milal wa Al-Niḥal. Penerjemah Syuaidi Asy„ari (Bandung: Penerbit
Mizan, 2004), h. 86. 7 Yunan, Yusuf, h.95.
70
1. Sifat Kalam
Dasar permasalahan terletak pada Kalamullah, ketika Al-Qur„an
didefinisikan sebagai Kalamullah yang diturunkan kepada makaikat Jibril
kemudian diturunkan kepada nabi Muhammad. Karena menurut Al-Qāḍī
„Abd al-Jabbār itulah definisi daripada Kalamullah baginya, maka jelas
dikatakan bahwa Kalamullah adalah baru (ḥudūst) dan diciptakan pada
suatu tempat. Al-Qur„an memiliki bentuk, artinya dapat dilihat, dan
memiliki huruf, maka jelas pula bahwa al-Qur„an dapat dibunyikan dan
dapat didengarkan. Dalam hal ini disebut dengan Kalam Lafdzi/Khissi8.
Lagi pula, apa yang terdapat dalam suatu tempat adalah sebuah aksiden
(sesuatu yang terjadi secara kebetulan) yang dapat hilang dalam sekejap.
Dari argumen tersebut Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār berpandangan bahwa Al-
Qur„an adalah baru, maka sifatnya tidaklah kekal. Selain itu, sifat kalam
(Al-Qur„an) bukanlah sifat Dzat, tetapisalah satu sifat perbuatan (sifat
aktiva). Oleh sebab itu Al-Qur„an adalah makhluk. Artinya Tuhan
mengadakan perkataan (kalam) pada Lauh Mahfuz.9
Al-Qur„an sama halnya dengan Taurat dan Injil, yaitu makhluk yang
diadakan oleh Tuhan, diturunkan dan diwahyukan kepada orang-orang
yang disukai-Nya, yang berbeda-beda caranya, yakni dengan jalan ilham
(wahyu langsung) atau dari belakang tirai atau malaikat. Mereka
8kalam lafzi ialah kalam yang diciptakan oleh Allah yang diletakkan di lahul mahfuz. kalam
yang berhuruf, bersuara. Namun makna kalam lafzi ini adalah sebagian daripada makna kalam
nafsi yang qadim yang ada pada dzat Allah.
9 Ahmad, Hanafi. Teologi Islam Ilmu kalam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2010), h.128.
71
memisahkan antara Al-Qur„an dan sifat kalam yang ada pada Dzat Tuhan,
seperti dalam firman-Nya:
katakan, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis
kalimat-kalimat Tuhanku, tentulah habis lautan itu, sebelum habis kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan seumpamanya. (QS. Al-Kahfi,
18:109)
Yang dimaksud dengan “kalimat” disini bukan kata-kata Al-Qur„an,
kalau itu yang dimaksud, tentu tidak memerlukan tinta sebanyak itu.
“kalimat” disini harus dipahami menurut ketentuan akal pikiran, yaitu
bermacam-macam kehendak Tuhan dan pengetahuan-Nya.10
Namun berbeda dengan pendapat Al-Asy„ari bahwa Kalamullah
adalah qadim. Karena pada dasarnya ia memahami yang dimaksudnya
Kalamullah atau Al-Qur„an itu ialah kalam yang tidak ada bentuknya,
tidak ada hurufnya, tidak dapat dibaca dan tidak dapat diperdengarkan.
Inilah yang dimaksud Kalam Nafsi11
. Karena Kalam Nafsi berada
diwilayah transendensi Tuhan. Yang mana kalam tesebut berada
dikehampaan yang tidak ada hurufnya, bentuknya dan sebagainya.
Sehingga tidak dapat diperdengarkan. Maka dengan argumen tersebut Al-
Asy„ari mengatakan bahwa Kalamullah adalah qadim.
Selain itu Al-Asy„ari juga membagi perkataan Tuhan yang mana
perkataaan itu terdiri dari kata-kata dan huruf. Perkataaan ini baru dan
makhluk (diadakan). Dalam pendirian yang ini sama dengan pendirian Al-
10
Ahmad, Hanafi. Teologi Islam Ilmu kalam, h.130. 11
Kalam Nafsi ialah sifat kalam Allah yang qadim.
72
Qāḍī „Abd al-Jabbār. Kalau dikatakan “kalam itu qadim”, maka yang
dimaksud ialah perkataaan yang pertama yaitu kalam nafsi. Kalau
dikatakan baru, maka yang dimaksud perkataan yang kedua.12
Dalam Al-Qur„an ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa perkataan
Allah baru, seperti Surat Al-Anbiya„, 21:2:
Yang artinya: “Tiada datang kepada mereka peringatan yang baru
(Al-Qur„an) dari Tuhan, melainkan mereka dengarkan, serta mereka
permainkan”.
Dan surat An-Nisa„, 4:87: Yang artinya: “Siapakah orang yang lebih
benar perkataannya daripada perkataan Allah”.
Dalam ayat tersebut Al-Qur„an dinyatakan dengan perkataan
“dzikir” (peringatan) dan “hadits” yaitu baru. Dan dinyatakan
kebaharuannya ialah yang berupa kata-kata, huruf dan suara yang menjadi
tanda Al-Qur„an, firman Tuhan yang ada pada Dzat-Nya (kalam nafsi) dan
yang qadim, tanpa diperselisihkan lagi. Keqadiman kalam nafsi tersebut
ialah karena ia adalah salah satu sifat Tuhan, sedang sifat-sifat Tuhan
qadim semua. Maka sifat “kalam” pun harus qadim pula.
Demikian pendapat Al-Asy„ari yang sebenarnya merupakan
penggabungan kedua pendapat dan berlawanan. Namun Al-Asy„ari dalam
kitabnya Al-Ibanah, jelas ia menyatakan bahwa perkataan Tuhan tidak
makhluk, baik berupa kata-kata ataupun bukan, dan Al-Asy„ari berkata:
“tidak satu bagian pun dari Al-Qur„an itu makhluk”.13
12
Ahmad, Hanafi. Teologi Islam Ilmu kalam, h.132. 13
Ahmad, Hanafi. Teologi Islam Ilmu kalam, h.132.
73
2. Melihat Tuhan
Persoalan sangat menarik adalah Apakah Tuhan dapat dilihat
diakhirat oleh mata kepala atau tidak?. Dalam pembahasan tersebut, Tuhan
Dalam logika Mu„tazilah, Tuhan tidak dapat dilihat oleh mata kepala,
karena Tuhan bersifat immateri. Sebagaiamana argumen Al-Qadī bahwa
Tuhan tidak mengambil tempat karena yang dapat dilihat hanyalah yang
mengambil tempat.14
Namun sebaliknya, kaum Asy„ariyah berpendapat
bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat
nanti.Sebagaimana argument Al-Asy„ari bahwa segala sesuatu yang
mempunyai wujud pastilah dapat di lihat, yang tidak dapat dilihat hanyalah
yang tak berwujud.Tuhan berwujud maka Tuhan dapat dilihat. Dikatakan
Tuhan melihat apa yang ada maka Ia melihat diri-Nya juga, dan jika Tuhan
melihat diri-Nya, maka tentu Ia dapat membuat manusia mempunyai
kemampuan untuk melihat-Nya.
Masing-masing pendapat mereka dikuatkan dengan dalil al-Qur„an
QS. Al-Qiyamah [75]:22-23.15
Menurut Al-Asy„ari kata “nazirah” dalam
ayat ini adalah jika penyebutan kata “melihat” atau “nadhoro” disertai
dengan kata “wajhu” atau “wajah”, maka yang dimaksud bukanlah melihat
dengan hati. Sebab di surga tidak ada penantian atau menunggu, karena
penantian pasti disertai keresahan dan kekacauan, sedangkan para ahli
surga digambarkan dengan kondisi yang keadaaannya belum pernah ada
14
Harun, Nasution. Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI Press, 1986) cet. Kelima, h.139.
15
74
masa yang melihatnya, belum ada telinga yang mendengarnya, mereka
hidup bahagia dan penuh keselamatan. Maka jika kondisi seperti itu,
mereka tidak mungkin pernah menunggu, karena jika terlintas dibenak
mereka keinginam terhadap suatu hal, maka hal yang diinginkan tersebut
pasti akan langsung ada saat itu juga. Karena seorang hamba tidak boleh
sampai merasa kasihan pada Tuhannya.16
Namun argumen tersebut ditolak
oleh kaum Mu„tazilah, salah satunya Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār. Bahwa
nazar tidak mempunyai arti ru„yah, baginya nazara disini berarti
memandang atau menanti-nanti.17
3. Wajah Tuhan
Persoalan yang sering diperdepatkan dalam permasalahan teologi
adalah salah satunya ayat Al-Qur„an, yang bagaimana ayat tersebut dalam
pemaknaanya tidak merusak keEsaan Tuhan.Dalam pandang Al-Qāḍī
„Abd al-Jabbār misalnya dalam memaknai kata wajah, dalam QS.al-
Qashas ayat 88.18
Bahwa kata wajah Tuhan ditafsirkar semakna dengan
“eksistensi Tuhan”, karena wajah dalam budaya Arab menunjuk pada
eksistensi sesuatu.19
Dalam ayat tersebut maka harus dita‟wilkan atau
diintrepretasikan kemakna yang lain untuk menjaga keEsaan Allah.
Berbeda dengan Al-Asy„ari bahwa apa yang terdapat pada ayat tersebut
itulah makna sesungguhnya. Mereka mengkaitkan dengan firman Allah
16
Al-Asy„ari, Al-Ibanah ‘An Ushul al-Diyanah (Damaskus: Maktabah Dar al-Bayan, 1990),
h.12. 17
Harun, Nasution. Teologi Islam, h. 140.
18
19Muhammad, Al-Fayyadl. Teologi negatif Ibn ‘Arabi Kritik Metafisika Ketuhanan,
(Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang, 2012), h.211.
75
SWT “kullu syaiin hālikun illā wajhah” artinya segala sesuatu itu pasti
akan rusak, hancur, atau musnah kecuali wajah Allah SWT. Maka mereka
menetapkan bagi Allah pada kalimat “wajhah” adalah wajah Allah dan
semua itu dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana
cara dan batasannya).20
Sedangkan bagi Al-Qadī „Abd al-Jabbār setiap
yang memiliki wajah pastilah jism, dan dalam QS. Al-Qashash ayat 88
dita‟wilkan dengan dzatuhu ayy nafsuhu (dzat-Nya, yakni diri-Nya)21
dan
bahwasannya maksud dari kalimat “kullu syaiin hālikun illā wajhah” yaitu
kecuali Dzat, dan kalimat “wajhu” yang bermakna Dzat itu masyhur dalam
pengertian secara bahasa. Contoh, jika dikatakan “wajah pakaian ini
bagus”, maksudnya adalah dzatnya yang bagus. Jika perkara atau
kenyataaannya seperti yang Al-Asy„ari katakanan maka pasti akan hilang
segala sesuatu kecuali wajah-Nya.22
Asy„ari tetap dalam pandangannya
bahwa setiapdisebut “Wajhullah” maka diartikan pula dengan wajah Allah.
Dalam argument-argumen tersebut sebenarnya itulah cara mereka untuk
mengEsakan Tuhan.
4. Kata “Isytawā alā al-Arsy”
Pada permasalahan ayat “alā al-ArsyIsytawā” antara Al-Qadī „Abd
al-Jabbār dengan Al-Asy„ari, mereka memiliki perbedaan, yaitu Al-
Qadī„Abd al-Jabbār mengingkari bahwa Allah bersemayam diatas Arys,
karena akan menimbulkan Allah memiliki tempat. Pandang Al-Qadī dalam
20
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),
h.175. 21
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h.171 22
„Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1988) h.227.
76
bukunya Syarakh Ushul al-Khamsah, bahwa yang dimaksud bersemayam
diatas Arsy (Istawā) artinya hanya berdiri tegak dan lurus, sedang berdiri
tegak lurus itu termasuk sifatnya jism, jika demikian maka Allah jism.
Maka dari itulah Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār memberikan ta‟wil pada ayat
tersebut.23
Sedangkan Al-Asy„ari mengatakan bahwa Allah bersemayam di
Arsy, seperti yang terdapat didalam Al-Qur„an dan patut Ia bersemayam
tanpa menduga Allah mempunyai tempat. Dan jika Al-Qadī tersebut
menta‟wilkan kata “isytawā” menjadi “istawlā”, maka Asy„ari tidak
demikian.24
Pendapat Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār mengenai ta‟wil, penegasian atau
memalingkan ayatnya itu bahwa penilaian terhadap ayat yang dita‟wilkan
adalah berdasarkan kebahasaan dan kelogisan. Dan Al-Asy„ari dalam
penilaian terhadap ayat yang dita‟wilkan adalah berdasarkan ingin
mengEsakan Tuhan.
Sebagaimana hal tersebut, Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār dan Al-Asy„ari
dalam kata “Isytawā alā al-Arsy” memiliki perbedaan dalam hal sudut
pandang atau metode. Seperti yang telah disbutkan bahwa Al-Qāḍī „Abd
al-Jabbār berdasarkan kebahasaan dan kelogisan.Maka berbeda dengan Al-
Asy„ari berdasarkan keEsaan Tuhan, Tuhan dipahami Al-Asy„ari berbeda
dengan makhluk.
23
„Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h.226. 24
Al-Asy„ari, Al-Ibanah ‘An Ushul al-Diyanah, h.98.
77
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa untuk memahami dan
mengimani al-Qur„an mereka memiliki sudut pandang yang berbeda yakni
mengimani Al-Qur„an secara Ijmali (global) Yaitu mengimani kitab - kitab
Allah tentang keberadaannya bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab -
kitab yaitu Taurat, Zabur, Injil tetapi tidak untuk diamalkan. Adapula
mengimani Al-Qur„an secara Tafsili (rinci/mendalam) Yaitu menyakini,
menghayati dan mengamalkan kitab Allah yang berupa Al-Quran.25
Oleh sebab itu Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār menta‟wilkan atau
mengimani secara tafsili (mendalam), sedang Al-Asy„ari ada dua yakni
secara tafsili (partikular) dan ijmali (global).
Dalam persoalan sudut pandang Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār tadi adalah
berdasarkan kebahasaan yakni lugas dan majaz. Dalam hal ini lugas dari
suatu kata kelihatannya tidak membuat orang bingung dalam memahami
suatu kata atau kalimat. Ini kalau makna itu hanya satu kata yang
dihadapi.Namun pada kenyataannya, didalam bahasa Arab nanyak kata
yang mengandung lebih dari satu arti. Pemilihan pegertian yang tepat bagi
kata-kata seperti ini yang ditemui dalam ayat-ayat mutasyābihāt tidak
mudah. Untuk itu sering kali hal ini menimbulkan berbagai macam
pendapat yang masing-masing dapat dipakai untuk mendukung aliran
tertentu. Untuk menetapkan bahwa pengertian lugas tertentu memang
benar-benar terkandung dalam kata tertentu perlu bukti (al-syāhid) yang
serupa penggunaan kata itu dalam Al-Qur„an, syair-syair atau teks-teks
25
Machasin, Al-Qādī ‘Abd al-Jabbār: Mutasyābīh al-Qur‘an dan Dalih Rasionalita,
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000), h.76-77.
78
Arab kuno lain dengan pengertiannya yang dimaksud. Tanpa bukti seperti
itu, pengertian itu tak dapat diterima.
Majaz adalah penggunaan kata frasa atau kalimat bukan dalm
pengertian yang dibuat orang Arab untuk itu (pengertian lugas), atau
penisbahan suatu kata atau ungkapan kepada kata atau ungkapan lain yang
tidak sewajarnya. Sesuai dengan itu, majas terbagi menjadi dua macam:
majas leksikal (majaz lughawy) dan majaz akali (majaz aqly). Pada yang
pertama, penggunaann kata dialihkan dari makna lugasnya kemakna lain
karena adanya keserupaan antara keduanya atau karena adanya hubungan
atau keterkaitan (ṣilah wa mulābasah). Penggunaan majas dapat ditemui
dalam bahasa Arab. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dalam Al-
Qur„an juga terdapat majas?. Ada beberapa penulis yang menolak
keberadaannya dalam Al-Qur„an dengan alasan, antara lain bahwa majas
itu merupakan kebohongan. Namun bagi Mu„tazilah mendukung adanya
majas dalam Al-Qur„an. Bahwa penggunaan kata lugas tidak akan cukup
mengungkapkan pengertian-pengertian yang jumlahnya tidak terbatas,
sementara jumlah kata-kata terbatas. Selain itu pula dalam bahasa Arab,
majas sering dipakai orang untuk memperindah pembicaraan dan
memperkuat pengertian yang disampaikan.26
26
Machasin, Al-Qādī ‘Abd al-Jabbār: Mutasyābīh al-Qur‘an dan Dalih Rasionalita, h.77-
79.
79
Bagi kaum Mu„tazilah, kalau manusia boleh mengalihkan kata dari
pengertian lugasnya kepada pengertian kiasan, Tuhan lebih berhak lagi
untuk melakukannya. Seperti kutipan dari Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār:27
“Tuhan menghendaki Al-Qur„an berada pada tingkat teratas dalam kefasihan agar
menjadi petunjuk atas kebenaran Nabi Muhammad SAW. Ia tahu bahwa iu tidak mungkin
terjadi jika hanya digunakan kata-kata dalam pengertian lugas dan bahwa Ia harus
mengikuti jalan ini agar Al-Qur„a lebih serupa dengan cara berbicara orang Arab dan
lebih mendalam dalam kemukjizatan”.
Selain Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār menggunakan kebahasaan, lugas dan
majaz. Disamping itu, ia menggunakan ukuran kelogisan, semisal kalau
orang dapat meminta tolong kepada Tuhan, maka itu berarti manusia
adalah pelaku perbuatan, dan pastilah menurut keimpulas logisnya,
permintaan pertolongan itu tidak mempunyai arti.
Pandangan Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār dalam bukunya Syarakh Ushul
al-Khamsah, bahwa yang dimaksud bersemayam diatas Arsy (Istawā)
artinya hanya berdiri tegak dan lurus, sedang berdiri tegak lurus itu
termasuk sifatnya jism, jika demikian maka Allah jism. Maka dari itulah
Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār memberikan ta‟wil pada ayat tersebut.28
5. Rangkuman Tabel
Persamaan dan perbedaan Al-Qadī „Abd al-Ja Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār bār
dan Abu Hasan Al-Asy„ari
27
Machasin, Al-Qadi Abd al-Jabbār: Mutasyābīh al-Qur‘an dan Dalih Rasionalita, h.79. 28
„Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h.226.
80
No Masalah Al-Qadī „Abd
al-Jabbār
Abu Hasan Al-
Asy„ari
1. Memurnikan
KeEsaan Allah
Iya Iya
2. MengEsakan
Allaah
Iya Iya
3. Keqadiman
sifat Tuhan
Tuhan tidak
punya sifat
qadim
Tuhan punya
sifat
4. Ayat
Mutasyabihat
Menta‟wilkannya Tidak
menta‟wilkannya
5. Kedudukan
antara akal dan
wahyu
Mengutamakan
akal
Mengutamakan
wahyu
6. Pemahaman
Nas Al-Qur„an
Kontekstual Tekstual
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasybīh adalah penyerupaan, yang mana dimaksudkan penyerupaan
sifat Tuhan dengan manusia. Dalam hal tasybīh ini ada dua tokoh yang
menolak tasybīh yaitu Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār dan Abu Hasan al-Asy„ari
dengan argumen-argumennya. Namun ada yang lebih dekat dengan tasybīh
yaitu tokoh pendiri Asy„ariyah, yakni Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār. Ia berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai sifat. Sedangkan Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār yang
berpandangan bahwa jika Tuhan memiliki sifat, maka Tuhan sama dengan
makhluk-Nya, maka itu harus dijauhkan dengan persepsi Tuhan mempunyai
sifat karena baginya itu akan merusak keEsaan Tuhan. Namun bagi Al-
Asy„ari yang dimaksud Tuhan mempunyai sifat itu adalah sifat Tuhan
berbeda dengan sifat manusia. Kita tidak boleh membayangkan bagaimana
dan seperti apa (bilakaifa).
Dalam pembahasan ini misalnya adalah wajah Tuhan, melihat Tuhan,
sifat kalam, bersemayam diatas Arsy, dan sebagainya. Bahwa dalam
pandangan Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār pembahasan tersebut yang ada dalam Al-
Qur„an ayat yang mengenai hal tersebut harus dita‟wilkan, harus di
interpretasikan kemakna yang lain. Sedangkan Al-Asy„ari dalam pembahasan
tersebut dalam Al-Qur„an ayat tersebut tidak dita„wilkan, melainkan diartikan
dengan makna yang sesungguhnya. Namun seperti yang telah disampaikan
bahwa tidak boleh dibayangkan seperti apa wajah Tuhan, Tuhan dapat dilihat
82
diakhirat dengan mata kepala, kalamullah itu qadim, dan Tuhan bersemayam
di Arys dan sebagainya. Oleh karena itu tidak boleh dibayangkan bagaimana,
seperti apa, itulah bentuk Al-Asy„ari dalam memurnikan keEsaan Tuhan.
Namun hal itu ditolak oleh lawannya yaitu Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār bahwa
ayat yang menunjukkan wajah Tuhan, di akhirat nanti dapat melihat Tuhan
dengan mata kepala, kalamullah itu qadim, tempat Tuhan bersemayam di
Arys dan sebagainya. Harus dita‟wilkan. Contohnya, wajah Tuhan kata
wajhah, berarti muka ialah esensi. Memahami kata wajhah dengan Zatuhu ay
nafsuhu (dzat-Nya yakni diri-Nya), Kalamullah dalam pandangan Al-Qadī
bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian menurut Al-Qāḍī
„Abd al-Jabbār al-Qur„an bersifat tidak qadim atau bersifat baru dan
diciptakan Tuhan. Tuhan bersemayam di atas Arys “Alā al-Arsy Isytawā”
berarti tahta kerajaan diberi interpretasi kekuasaan dan seterusnya.
Dalam beberapa perbedaan diatas maka ada pula persamaan diantara
keduanya yakni dalam memberikan argument-argumen seperti diatas telah
dijelaskan bahwa mereka sama-sama ingin mengEsakan Tuhan atau
memurnikan keEsaan Tuhan.
B. Saran-saran
Dari segi penulisan yang telah dilakukan, mungkin ada hal yang belum
tersajikan sebagaimana mestinya, karena memang penulis memiliki
keterbatasan dalam metode analisisnya. Oleh karena itu, ini menjadi
kesempatan untuk para pemikir atau penulis selanjutnya.
83
Konsep tasybīh yang penulis angkat dari kedua pandangan antara Al-
Qāḍī „Abd al-Jabbār dengan Abu Hasan al-Asy„ari menambah literatur kalam
di Indonesia khususnya. Tentu menjadi harapan penulis untuk terus mengkaji
lebih dalam.
Apa yang penulis bahas dalam skripsi ini, masih sangat jauh dari
kesempurnaan, baik dalam segianalisisnya dan sebagainya, ada yang perlu
ditambah atau pun dikurangi, terutama berkaitan dengan konsep Al-Qāḍī
„Abd al-Jabbār dengan Abu Hasan al-Asy„ariter hadap sifat tasybīh.
Sebuah harapan dari penulis, akan lebih baik jika ada yang ingin
meneliti lebih jauh tentang konsep tersebut. Dan semoga tulisan ini
bermanfaat bagi para pembaca.
84
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Jabbār, Al-Qadī Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah,
1988.
-------------------, Al-Qadī, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah,
1996.
Al-Asy‘ari, Abu Hasan.Al-Ibanah ‘An Ushul al-Diyanah, Damaskus: Maktabah
Dar al-Bayan, 1990.
-----------------------------, Kitab al-Luma’ fi al-Rad ‘ala al-Ziyagh wa al
Bida‘,Kairo: T.Tp, 1955.
Al-Fayyadl, Muhammad, Teologi Negatif ibn ‘Arabi Kritik Metafisika keTuhanan,
Yogyakarta: LKiS, 2012.
Al-Qur‘an dan terjemah, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir AlQur‘an
Kementrian Agama Republik Indonesia. (Jakarta: Dharma art,2015.
Al-Sahrastānī, Al-Milal wa Al-Niḥal. Penerjemah Syuaidi Asy‘ari, Bandung:
Penerbit Mizan, 2004.
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains: Perspektif Islam Tentang Agama dan Sains,
terj. Yuliani Liputo dan M.S. Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 2008.
Burhanuddin, Nunu, Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016.
Dahlan, Abdul Aziz, Teologi dan Akidah Dalam Islam, Padang: IAIN-IB Press,
2001.
Fazeli Ahmad, Sayyed. Madzhab Ibn Arabi, Jakarta: Sadra Press, 2016.
Gholib, Achamd. Teologi Dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2004.
Hanafi, A.Pengantar Teologi Islam, PT. Pustaka Al-Husna Baru, 2003.
85
------------. Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 2001.
-------------. Teologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2001.
Hipius, Ilmu Ushuluddin’ Jurnal: Himpunan Peminat Ilmu Ushuluudin (HIPIUS).
Vol.1, no.1, 2013.
IbnuArabi, Penerjemah Imam Nawawi (Yogyakarta: Institute of Nation
Development Studies (INDeS), 2016.
Ilhamuddin, PemikiranKalam Al-Baqilani, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
1997.
Jahja, Zurkani, Teologi Al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
-------------------. Teologi al-Ghozali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Kiswali, Tsuroya. Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam,
Jakarta: Penerbit Erlangga, t.t
Machasin, Al-Qadi Abd al-Jabbār: Mutasyābīh al-Qur‘an dan Dalih Rasionalitas
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000.
Mansur, Laily, Pemikiran Kalam Dalam Islam, Jakarta: PustakaFirdaus, 2004.
Muhammad Asy Syak’ah, Musthofa, Islam Tidak Bermazhab, Jakarta: Gema
Insani Press, 1994.
Muthahhari, Murtadha, Keadilan Ilahi, Jakarta: Mizan Media Utama, 2009.
Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam, (Teologi Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010.
Nasution, Harun, Muhammmad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazialh, Jakarta:
Universitas Indonesia (UI Press), 1987.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI Press, 2011.
Qadir, C.A., Sifat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor
1991.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon.Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia,
2006.
Rusli, Ris’an. Teologi Islam, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, Yogyakarta: LKiS Printing
Cemerlang, 2003.
86
Yusuf, Yunan. Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta: Penadamedia
Group, 2014.