konseling anak

12
Nama : Nira Prihatin Nufus No. Reg : 1715115429 UAS MK : Issu-Issu Perkembangan Anak Bimbingan dan Konseling NR 2011 Soal! 1. Meskipun tidak semua anak menunjukkan dampak dari perceraian orangtuanya, tetapi banyak dari mereka yang memiliki hambatan sosial emosional. Jelaskan bagaimana hambatan tersebut dialami oleh mereka! Jawab: Perceraian bagi anak adalah “tanda kematian” keutuhan keluarganya, rasanya separuh “diri” anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Hal tersebut berakibat anak menjadi merasa kurang akan fungsi keluarga dalam hal kasih sayang dan fungsi sosialisasinya. Contohnya, anak harus memendam rasa rindu yang mendalam terhadap ayah/ibunya yang tiba- tiba tidak tinggal bersamanya lagi. Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak, keluarga memilki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak. Keluargalah peletak dasar perasaan aman (emotional security) pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan

Upload: nira-nufus

Post on 26-May-2015

220 views

Category:

Education


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konseling Anak

Nama : Nira Prihatin Nufus

No. Reg : 1715115429

UAS MK : Issu-Issu Perkembangan Anak

Bimbingan dan Konseling NR 2011

Soal!

1. Meskipun tidak semua anak menunjukkan dampak dari perceraian

orangtuanya, tetapi banyak dari mereka yang memiliki hambatan sosial

emosional. Jelaskan bagaimana hambatan tersebut dialami oleh mereka!

Jawab:

Perceraian bagi anak adalah “tanda kematian” keutuhan keluarganya,

rasanya separuh “diri” anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah

orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan

perasaan kehilangan yang mendalam. Hal tersebut berakibat anak menjadi

merasa kurang akan fungsi keluarga dalam hal kasih sayang dan fungsi

sosialisasinya. Contohnya, anak harus memendam rasa rindu yang mendalam

terhadap ayah/ibunya yang tiba-tiba tidak tinggal bersamanya lagi.

Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak,

keluarga memilki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk

kepribadian anak. Keluargalah peletak dasar perasaan aman (emotional

security) pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman

pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak

mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk perkembangan

sosial dapat menimbulkan hambatan sosial emosional.

Banyak tindakan kenakalan atau gangguan tingkah laku dilakukan

oleh anak-anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang harmonis.

Ketidakharmonisan ini dapat disebabkan oleh perceraian orang tua karena

adanya kesepakatan dalam menerapkan disiplin dan pendidikan terhadap

anak. Berdasarkan hasil studi Hetherington dalam Sutjihati Somantri

menyimpulkan hampir semua anak yang menghadapi perceraian orang tua

mengalami masa peralihan yang sangat sulit. Orang tua yang sering berselisih

paham dalam menerapkan peraturan atau disiplin dapat menimbulkan

Page 2: Konseling Anak

keraguan pada diri anak akan kebenaran suatu norma, sehingga akhirya anak

mencari jalan sendiri dalam hal ini dapat saja menjadi awal dari terjadinya

hambatan sosial emosional.

Sehubungan dengan itu, Willian M. Cruickshank mengemukakan

bahwa mereka yang mengalami hambatan sosial emosional karena perceraian

orang tua dapat diklasifikasikan ke dalam kategori berikut ini:

- The semi-sosialize child

Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi

terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya.

Keadaan ini terjadi pada anak yang datang dari lingkungan yang menganut

norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan

norma yang berlaku di masyarakat. Di lingkungan sekolah, karena perilaku

mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka seringkali menunjukkan

perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh peraturan di luar

kelompoknya. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah

sosial emosional dengan lingkungan di luar kelompoknya.

- Children with minimun sosialization capacity

Anak pada kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk

belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan atau kelainan atau

anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada

golongan ini banyak yang bersikap apatis dan egois.

Dampak negatif akibat perceraian yang bisa muncul pada anak di antaranya

adalah marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi pembangkang,

tidak sabaran, impulsif, anak akan merasa bersalah (guilty feeling) dan

menganggap dirinyalah menjadi penyebab perceraian orangtuanya.

Kemudian, kedepannya setelah dewasa, anak cenderung tidak berani untuk

berkomitmen pada suatu hubungan. Misalnya saja, dalam hal pacaran sering

terjadi pacaran yang putus-nyambung tanpa jelas arah tujuannya.

2. Respon anak terhadap peristiwa kematian sangat beragam dan tergantung

pada tingkat perkembangan mereka. Jelaskan bagaimana respon mereka

berdasarkan tiga level perkembangan anak!

Page 3: Konseling Anak

Jawab:

Level 1 (usia 0-2 tahun)

Bayi belum memiliki kemampuan kognitif untuk memahami konsep abstrak

seperti kematian. Ketika seseorang meninggal, bayi lebih sadar akan

kehilangan dan pemisahan. Mereka juga bereaksi terhadap emosi dan

perilaku orang dewasa yang signifikan dalam lingkungan mereka dan juga

untuk setiap gangguan dalam rutinitas asuhannya. Jika ada perubahan

mendadak, mereka merasa tidak nyaman yang luar biasa.

Bayi dapat mencari almarhum dan menjadi cemas sebagai akibat dari

pemisahan. Reaksi umum meliputi: mudah marah dan protes, menangis terus-

menerus, perubahan tidur dan kebiasaan makan, penurunan aktivitas dan

penurunan berat badan.

Level 2 (usia 2-6 tahun)

Karena anak-anak prasekolah cenderung hadir berorientasi, reaksi kesedihan

mereka singkat tapi bisa sangat intens. Ini adalah tahap perkembangan di

mana anak-anak belajar untuk percaya dan membentuk lampiran dasar,

sehingga ketika dewasa mereka menjadi sangat prihatin tentang peristiwa

kematian dan pola diubah menjadi perawatan. Anak-anak usia ini biasanya

memiliki rasa kecemasan yang tinggi tentang perpisahan dan penolakan.

Selain itu, anak-anak pada usia ini terlihat tidak terpengaruh oleh kematian

dan bertindak seolah-olah tidak ada yang terjadi, tapi ini tidak berarti bahwa

mereka tidak menyadari bahwa mereka telah menerima kematian. Ini

mungkin hanya menandakan ketidakmampuan mereka pada saat itu untuk

mengakui kenyataan yang sangat menyakitkan. Kelompok usia ini mungkin

mundur sebagai cara untuk menerima lebih banyak pengasuhan dan perhatian

selama masa sulit ini. Anak-anak yang telah mengalami kerugian pada usia

ini cenderung takut bahwa orang-orang terkasih lainnya akan meninggalkan

mereka.

Level 3 (usia 6-12 tahun)

Anak-anak pada masa usia sekolah sering memperhatikan orang lain

menanggapi kematian akibatnya mereka menjadi kurang terfokus pada diri

mereka sendiri dan lebih pada orang lain. Mereka takut orang-orang terkasih

Page 4: Konseling Anak

lainnya akan mati juga. Kadang-kadang mereka menjadi terlalu khawatir

tentang kesehatan mereka sendiri dan mungkin takut membahayakan tubuh

dan kematian.

Di sisi lain, mereka memiliki sikap yang lucu tentang kematian, muncul acuh

tak acuh, atau mereka dapat menarik dan menyembunyikan perasaan mereka.

Tanggapan khas lainnya termasuk shock, penolakan, depresi, perubahan pola

makan dan tidur, dan regresi ke tahap perkembangan sebelumnya.

Anak usia sekolah berusaha untuk menutupi perasaan mereka agar tidak

terlihat berbeda dari kelompok sebayanya. Mereka takut bahwa ungkapan

perasaan sedih dilihat sebagai tanda kelemahan (terutama untuk anak laki-

laki). Mereka juga dapat mengekspresikan perasaan kesedihan mereka

dengan cara seperti biasanya seperti melalui ledakan kemarahan, lekas marah

dan perilaku bullying. Perasaan mungkin juga akan dipamerkan melalui

keluhan fisik, kemurungan, perubahan tidur dan pola makan, ketidakpedulian

terhadap sekolah, atau isolasi dari rekan-rekan mereka.

3. Jelaskan berbagai karakteristik perilaku yang tampak pada anak yang

mengalami kekerasan psikologis!

Jawab:

Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya,

apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk

(coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan

kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan

alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri.

Nadia (1991) kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa

karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.

Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang

termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya

diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri

dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun

kecenderungan bunuh diri

Page 5: Konseling Anak

Agresif: sikap ini biasanya ditujukan anak kepada pelaku tindak

kekerasan. Sikap agresif ini umumnya akan ditunjukkan saat anak merasa

ada orang yang bisa melindungi dirinya.

Mudah curiga, terlalu berhati-hati terhadap orang lain

Lebih suka menyendiri dari pada bermain dengan teman-temannya

Suka memusuhi orang lain atau dimusuhi

Takut menjalin hubungan secara fisik dengan orang lain

Terlalu bertanggung jawab atau justru menghindar dari tanggung jawab

Memberikan penilaian yang rendah terhadap kemampuan atau prestasi

diri sendiri

Sulit berkonsentrasi dan menurunnya prestasi di sekolah

Muncul perilaku berbohong, mencuri, bolos sekolah

Perbuatan kriminal atau kenakalan

Menunjukkan sikap dan perilaku yang tidak wajar, dibuat-buat untuk

mencari perhatian

Muncul perilaku seksual yang tidak wajar

Memiliki gangguan belajar atau sulit berkonsentrasi yang bukan

merupakan akibat dari masalah fisik atau psikologi tertentu.

Selalu curiga dan siaga, seolah-olah bersikap untuk terjadinya hal yang

buruk.

Datang ke sekolah atau tempat aktivitas selalu lebih awal dan pulang

terakhir atau bahkan sering tak mau pulang ke rumah.

Mudah menangis. Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak

nyaman dan aman dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan

figur yang bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia besar,

dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.

4. Apa yang dapat dilakukan konselor untuk membantu anak-anak yang

mengalami situasi krisis?

Jawab:

Krisis dapat diartikan sebagai suatu keadaan disorganisasi dimana

konseli menghadapi frustasi dalam upaya mencapai tujuan penting hidupnya

Page 6: Konseling Anak

atau mengalami gangguan dalam perjalanan hidup dan hal itu ditanggapi

dengan stres. Karena situasi-situasi tersebut maka dibutuhkan respon-respon

khusus dari konselor guna membantu konseli yang tak berdaya. Aktivitas

konselor dalam mengatasi situasi krisis adalah dengan intervensi langsung

atau campur tangan, dukungan kadar tinggi, atau dengan konseling

individual.

Dalam kebanyakan krisis dan kehilangan, terdapat kecemasan akan

perpisahan, perasaan kacaunya identitas, dan keharusan mengembangkan cara

baru untuk memuaskan kebutuhan emosional yang mendasar. Teknik

menopang atau dorongan semangat, harus dipakai pada tahap permulaan

untuk menolong seorang yang sedang dalam krisis. Tujuannya ialah untuk

mengurangi kegelisahan, rasa bersalah, dan ketegangan serta untuk

memberikan dukungan emosi. Dorongan semangat dari konselor dapat

menolong konseli mengatasi perasaan tak berdaya dan keputusasaannya.

Tetapi satu hal yang perlu diingat, jangan terlalu banyak dorongan semangat

sehingga melenyapkan semua rasa gelisah, karena sedikit rasa gelisah

diperlukan untuk menimbulkan perubahan yang positif. Krisis terkait dengan

perubahan mendadak dan tidak menentu, umumnya tidak dapat diprediksi

kemunculannya dan biasanya dalam bentuk bencana alam seperti banjir,

gunung meletus, maupun kebakaran.

Dalam membantu siswa yang mengalami krisis, konselor sekolah

dapat bekerja sama dengan pekerja sosial, psikolog, atau administrator

membangun sebuah tim manajemen krisis yang efektif. Program ini diawali

dengan mengidentifikasi krisis yang terjadi dan kebutuhan untuk

mengevaluasi dampak krisis traumatis pada anak. Model untuk merancang

sebuah program krisis berbasis sekolah mencakup penilaian tingkat trauma

dan mekanisme pertolongan pertama psikologis di sekolah.

Selain itu, karena hal ini terjadi pada anak yang berada pada tahap

bermain. Play therapy merupakan suatu teknik konseling yang diberikan

konselor kepada anak-anak yang berada pada situasi krisis dengan didasari

oleh konsep bermain sebagai suatu cara komunikasi anak-anak dengan orang

dewasa untuk mengungkapkan ekspresinya yang sifatnya alami. Maka

Page 7: Konseling Anak

konselor dapat menggunakan pendekatan ini untuk mengintervensi atau

mengajak dialog dengan mereka sehingga tercipta perasaan yang lebih baik

dan mengembangkan kemampuan untuk mengatasi masalah. Terapi bermain

merupakan terapi yang dalam pelaksanaan terapi menggunakan media alat-

alat bermain. Setiap permainan memiliki makna simbolis yang dapat

membantu terapis untuk mendeteksi sumber permasalahan anak.

5. Jelaskan tipe-tipe reaksi anak terhadap situasi krisis!

Jawab:

Seorang anak yang berada dalam situasi krisis akan menimbulkan reaksi-

reaksi seperti: panik, menangis, menjerit-jerit, tidak berdaya, ketakutan, butuh

bantuan, tidak bisa menghadapi situasi, tidak tahu apa yang harus dilakukan,

ingin melakukan sesuatu secepatnya, bila tidak bisa bertindak cepat akan

terjadi bencana yang lebih besar dan semakin panik.

6. Mengapa konselor sekolah harus bekerjasama dengan keluarga dalam

melakukan intervensi terhadap anak?

Jawab:

Konselor sekolah merupakan orang tua yang membimbing anak di sekolah.

Sedangkan keluarga di rumah adalah orang yang membimbing anak di

rumah. Kerjasama antara konselor sekolah dengan keluarga siswa merupakan

sesuatu hal yang sangat penting. Kerjasama dengan orang tua biasa juga kita

sebut kolaborasi antara konselor sekolah dengan orang tua siswa. Kolaborasi

dengan orang tua merupakan suatu proses interaksi yang kompleks dan

beragam yang melibatkan konselor, orang tua maupun siswa dalam

memperoleh data. Hal tersebut dimaksudkan untuk membantu siswa dalam

proses belajar maupun permasalahannya sehingga perkembangannya dapat

berjalan secara optimal. Kolaborasi dengan orang tua ini sebagai salah satu

pelayanan responsif yang bersifat preventif atau pencegahan.

Page 8: Konseling Anak

Referensi

Budi, Anna Keliat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:

EGC.

Hildayani, Rini, 2011. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Universitas Terbuka.

Miramis, WF. 1995. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University

Press.

Nugraha. 2004. Strategi Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta: Universitas

terbuka.

Santrock. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta:

Penerbit Erlangga.

Winkel, WS. 1991. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT

Grasindo.

Fiorelli, Robin. 2013. Tahap Perkembangan Anak: Konsep Kematian dan Respon

Duka. http://www.vitas.com. Diakses tanggal 05 Januari 2014.