konsekuensi yuridis pembatalan keberangkatan …repository.unpas.ac.id/1321/6/full skripsi.pdf ·...
TRANSCRIPT
KONSEKUENSI YURIDIS PEMBATALAN KEBERANGKATAN
PENERBANGAN OLEH PT. GARUDA INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN JO.
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana
Hukum Penulisan Hukum
Disusun Oleh :
Nama : Nurhadi Purnomo
NPM : 101000171
Program Kekhususan : Kepentingan Individu Dalam
Masyarakat
Di bawah bimbingan
Hj. Tuti Rastuti, S.H., M.H.
NIP : 15110131
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2016
KONSEKUENSI YURIDIS PEMBATALAN KEBERANGKATAN
PENERBANGAN OLEH PT. GARUDA INDONESIA DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG
PENERBANGAN JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Disusun oleh :
Nurhadi Purnomo
Telah Disetujui Untuk
Telah Dipertahankan Dalam Ujian Sidang Kesarjanaan
Pada Tanggal 11 Februari 2016
Pembimbing,
Hj. Tuti Rastuti, S.H., M.H
NIP: 151.101.31
Penguji Materi : Penguji Komprehensif:
Dr. Elli Ruslina, S.H.,M.Hum. Dr. T. Subarsyah, S.H.,S.Sos.,S.P1.,M.M.
NIPY: 151.100.45. NIPY: 151.00.72.
LEMBAR PENGESAHAN DEKAN
Skripsi ini diterima
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum tanggal 11 Februari 2016
DEKAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
Dr.Dedy Hernawan, S.H.,M.Hum.
NIPY: 151.100.46
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Nurhadi Purnomo
NPM : 111000171
Program Kekhususan : Kepentingan Individu Dalam Masyarakat
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah;
a. Belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar sarjana hukum baik di
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG maupun perguruan tinggi
lainnya;
b. Gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen
pembimbing;
c. Di dalamnya tidak terdapat karya-karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang atau di cantumkan dalam daftar pustaka.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya, apabila di kemudian hari
terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung
.
Bandung, …, ….., 2015
Pembuat pernyataan,
Nurhadi Purnomo
101000171
ABSTRAK
Masyarakat pada era modern saat ini di dalam aktifitasnya dituntut untuk
memiliki mobilitas yang tinggi. Pesawat terbang menjadi alternatif untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, sebab memiliki jangkauan yang luas dan waktu
tempuh yang cepat. Pada 10 tahun terakhir perusahaan penerbangan telah
menjamur dengan cepat dan memberikan implikasi positif bagi masyarakat,
namun disisi lain telah menciptakan kompetitif dengan berimbas pada tiket
murah dengan pelayanan yang kurang prima. Perusahaan lebih mengedepankan
keuntungan tanpa memperhitungkan risiko. Pembatalan penerbangan merupakan
salah satu masalah yang sering muncul dari perusahaan penerbangan. Hal ini
menimbulkan konsekuensi yuridis berkaitan dengan perlindungan konsumen.
PT. Garuda Indonesia pada tahun 2015 ini telah melakukan pembatalan
penerbangan. Hal tersebut perlu dikaji dengan metode penelitian bersifat
deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dan data dianalisis secara
kualitatif.
Penelitian terhadap konsekuensi yuridis pembatalan keberangkatan
penerbangan oleh PT. Garuda Indonesia dihubungkan dengan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen menghasilkan bahwa; pertama yang
sering menjadi faktor terjadinya pembatalan keberangkatan Pesawat Undara PT.
Garuda Indonesia adalah faktor cuaca, faktor kesalahan manusia (human error)
dan faktor bencana alam; kedua, tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap
pembatalan keberangkatan ialah dengan cara mengembalikan tiket pesawat bagi
penumpang yang tidak akan melanjutkan perjalanannya, memberikan ganti tiket
pesawat lain dengan harga dan tujuan yang sama, menunda keberangkatan pada
waktu yang lain dengan di fasilitasi gratis penginapan dan makan yang telah
disediakan oleh PT. Garuda Indonesia; ketiga, upaya yang dapat dilakukan oleh
konsumen akibat adanya pembatalan penerbangan adalah menuntut ganti rugi
kepada PT.Garuda Indonesia dengan membuktikan dan memperlihatkan tiket
atau surat muatan udara.
Kata Kunci : Pembatalan Penerbangan, Perlindungan Konsumen
ABSTRACT
People in modern society are demanded, in their activities, to
highly mobile. Airplane is an alternative to meet the need, since it reaches
vast area in fast elapsed time. In the last ten years, airlines companies are
spread out fast and give positive implication for the people, however in the
other hand, it creates competition implying to the cheap ticket and less
prime service. The companies put the profit more without calculating the
risk. Cancelling flight is one of the problems often occurring regarding the
airlines. It is implying the juridical consequence related to the consumer
protection.
PT. Garuda Indonesia in 2015 has cancelled some of its flights. It
needs to be analyzed with a descriptive analytical method of research
through juridical normative approach while the data is analyzed
qualitatively.
The research on the juridical consequences of the flight
cancellation by PT. Garuda Indonesia related to Law No. 1, 2009
concerning Aviation jo. Law No. 8, 1999 concerning Consumer Protection
concluded that; first, the factors of the flight cancellation by PT. Garuda
Indonesia are weather, human error, and natural disaster; second, the
responsibility of PT. Garuda Indonesia for the flight cancellation is by
compensating the ticket for the passengers who do not want to continue
the flight, substituting to other airplanes ticket with the same price and
destination, delaying the flight to other time of departure by providing free
lodging and meals; third, the measures taken by the consumers against the
cancellation was by demanding the compensation to PT. Garuda
Indonesia by providing proof of ticket and air manifest.
Keywords: flight cancellation, consumer protection
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, berkat
rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesakan skripsi yang merupakan tugas
akhir untuk menempuh gelar sarjana, skripsi yang dibuat penulis ialah berjudul :
KONSEKUENSI YURIDIS PEMBATALAN
KEBERANGKATAN PENERBANGAN OLEH PT. GARUDA
INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR
1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN JO. UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Penulis berterimakasih atas bimbingan Ibu Hj. Tuti Rastuti, S.H., M.H
yang dengan sabar dan sepenuh hati membimbing dan mengarahkan penulis serta
berkat koreksi-koreksi mendasar yang diberikan oleh tim penguji skripsi ini telah
diselesaikan dengan baik. tidak ada yang pantas yang dapat disampaikan kecuali
ucapan terimakasih yang mendalam. Semoga amal ibadahnya dibalas oleh Allah
SWT. Selanjutnya penulis akan mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses pembuatan skripsi ini :
1. Kedua orang tua penulis dan keluarga, yang senantiasa selalu
mendoakan dan memberi dukungan materil maupun imateril, motivasi
serta perhatianya kepada penulis
2. Bapak Dr. Dedy Hernawan, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pasundan Bandung
3. Bapak Dr. Anthon F Susanto, S.H., M.Hum., Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Pasundan Bandung
4. Ibu Hj. N Ike Kusmiati, S.H., M.Hum., Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Pasundan Bandung
5. Bapak H. Dudi Warsudi, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Pasundan Bandung
6. Seluruh Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Pasundan
Bandung
7. Teman Hidup Penulis yaitu Noviana Dwi Saputri serta keluarga besar
RADAR, KLIWON dan seluruh teman-teman angkatan 2010
Penulis mengucapkan banyak terimakasih atas segala bantuan dan
dukungan baik berupa materil maupun imateril ;
Skripsi ini jauh dari kata sempurna, maka oleh karena itu penlis sangat
mengarapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Bandung, _____, _______2015
Penulis
Nurhadi Purnomo
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ………………...………………………....... i
LEMBAR PERNYATAAN …………………...………………………… ii
ABSTRAK ………………………………………..………………………. iii
ABSTRACK ……..………………………………….……………………… iv
KATA PENGANTAR………………………………...…………………… v
DAFTAR ISI …………………………………………..………………….. vii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………..……………….. 1
A. Latar Belakang Penelitian ……………………...……………… 1
B. Identifikasi Masalah …………………………………………… 5
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………… 5
D. Kegunaan Penelitian …………………………………………... 6
1. Kegunaan Teoritis …………………………………………. 6
2. Kegunaan Praktis ………………………………………….. 6
E. Kerangka Pemikiran ……………………………………………7
F. Metodologi Penelitian …………………………………………. 18
1. Spesifikasi Penelitian ……………………………………… 18
2. Metode Pendekatan ……………………………………… 18
3. Tahapan Penelitian ………………………………………… 19
4. Teknik Pengumpulan Data …………………………… 20
5. Analisis Data …………………………………………… 20
6. Lokasi Penelitian ……………………………………. 21
G. Sistematika Penulisan ……………………………………. 21
BAB II TINDAKAN HUKUM TENTANGPEMBATALAN
KEBERANGKATAN PENERBANGAN …………………….. 24
A. Tinjauan Umum Mengenai Penerbangan Menurut Undang-Undang No
1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan .…………………… 24
1. Pengertian Penerbangan ……….…………………….. 24
2. Jenis-jenis Angkutan Udara ……….……….……………. 26
3. Ketentuan Penerbangan Angkutan Udara …..………… 27
B. Aspek Hukum Penerbangan Terkait Dengan Pembatalan Penerbangan
Dihubungkan Dengan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen ………………...……...….………… 30
1. Tinjauan Umum Mengenai Pembatalan Penerbangan Menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan . ..30
2. Gantirugi Pemberi Jasa Pelayanan Angkutan Udara Menurut Pasal
12 Ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun
2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkutan …………35
3. Tanggungjawab Maskapai Penerbangan Terhadap Konsumen..37
BAB III PENANGANAN DAN GANTIRUGI KONSUMEN TERHADAP
PEMBATALAN KEBERANGKATAN PENERBANGAN PT
GARUDA INDONESIA DIKOTA BANDUNG ………………..44
A. Pelayanan Jasa Penerbangan Kepada Pemakai Jasa Penerbangan..44
B. Tahapan Untuk Mendapatkan Pelayanan Dari Maskapai Garuda...46
C. TanggungJawab PT. Garuda Indonesia Terhadap Konsumen Karena
Pembatalan Keberangkatan Penerbangan ……..………...……….48
BAB IV KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN
KEBERANGKATAN PENERBANGAN OLEH PT. GARUDA
INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 1
TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN JO UNDANG-UNDANG
NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN..51
A. Faktor-faktor Pembatalan Keberangkatan Penumpang Angkutan Udara
Yang Dilakukan Oleh PT. Garuda Indonesi……………………..…51
B. Konsekuensi Yuridis Dari Pembatalan Penerbangan Angkutan Udara
Oleh PT. Garuda Indonesia Menurut Undang-Undang No 1 Tahun
2009 Tentang Penerbangan Jo Peraturan Menteri Perhubungan No 77
Tahun 2011 Tentang Tanggungjawab Pengangkutan Udara ………53
C. Upaya Yang Dapat Dilakukan Oleh Konsumen Terhadap Maskapai
PT. Garuda Indonesia Akibat Pembatalan Keberangkatan ………..57
BAB V PENUTUP ……………………….………..……………........... 62
A. KESIMPULAN ………………………………..………. 62
B. SARAN ………………………………………………... 64
DAFTAR PUSTAKA ..……………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat pada era modern saat ini dalam aktivitasnya dituntut untuk
memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain
dalam waktu singkat untuk mendukung kegiatan serta memenuhi kebutuhan
tersebut dibutuhkan suatu transportasi yang cepat. Salah satunya adalah angkutan
udara atau sering disebut sebagai pesawat terbang.
Bagi kalangan profesional dan para pelaku bisnis yang memiliki mobilitas
tinggi transportasi pesawat terbang menjadi pilihan sebagai sarana untuk
bepergian ke luar kota maupun ke luar negeri. Menggunakan pesawat terbang
lebih efisien digunakan oleh masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi. Sebab,
alat transportasi udara tersebut bebas dari hambatan, yang berbeda dengan
transportasi jalur darat seperti mobil dan bus dan lain-lain. Selain itu waktu yang
dibutuhkan lebih efisien dibandingkan dengan sarana transportasi lainnya.
Menjamurnya maskapai penerbangan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir
di satu sisi memberikan implikasi positif bagi masyarakat pengguna jasa
penerbangan, yaitu memberikan banyak pilihan atas operator penerbangan dengan
berbagai ragam pelayanannya. Dampak dari banyaknya pilihan terhadap operator
penerbangan menciptakan iklim yang kompetitif antara satu maskapai
penerbangan dengan maskapai penerbangan lainya yang pada akhirnya berimbas
pada dikeluarkan tiket murah yang banyak diminati oleh masyarakat secara
antusias. Harga tiket rendah ( low price) telah memberikan dampak positif dan
dampak negitif. Dampak positif telah menimbulkan kompetisi. Kompetisi ini pada
sisi lain juga menimbulkan dampak negatif yang berdampak pada kualitas
layanan, khususnya layanan atas perawatan pesawat. Fakta menunjukan akibat
buruknya kualitas pelayanan sering terjadi kecelakaan pesawat terbang.1
Bidang transportasi ini sendiri ada hubungannya dengan produktivitas. Hal
ini dikarenakan dampak dari kemajuan transportasi tersebut berpengaruh terhadap
peningkatan mobilitas manusia. Tingginya tingkat mobilitas itu menandakan
produktivitas yang positif.
Pentingnya produktivitas yang berkaitan dengan transportasi, tentu tidak
lepas dari hambatan-hambatan, misalnya keterlambatan dan pembatalan jadwal
dari yang sudah disepakati sebelumnya. Kerugian adalah risiko yang harus
diterima oleh pengguna jasa angkutan sebagai konsekuensi dari suatu peristiwa.
Kembali ke persoalan hak penumpang sebagai konsumen, maka di dalam kegiatan
transportasi angkutan udara ini penumpang mempunyai hak untuk didengarkan
pendapat dan keluhannya atas jasa yang digunakan. Persoalan ini terkait dengan
permasalahan yang akan dibahas, yaitu mengenai pembatalan jadwal penerbangan
yang terjadi akibat berbagai faktor-faktor.
Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor teknis dan non teknis, misalnya saja
faktor cuaca yang buruk, hujan lebat, badai, kabut asap, petir atupun jarak
pandang di bawah standar minimal yang dapat mengganggu keselamatan
penerbangan. Hal tersebut adalah di luar dari teknis operasional atau secara
1 Wagiman, Refleksi dan Implemantasi Hukum Udara: Studi Kasus Pesawat Adam Air,
(Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis Vol 25) 2006, hal. 13
bahasa hukumnya adalah keadaan memaksa (overmacht), sedangkan faktor teknis
yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan jadwal penerbangan antara lain
bandar udara yang tidak dapat digunakan untuk keberangkatan pesawat karena
terjadi banjir atau kebakaran, keterlambatan pengisian bahan bakar pesawat dan
lain-lain (kelalaian).
Perkembangan jumlah perusahaan penerbangan di satu sisi menguntungkan
bagi para pengguna jasa transporatsi udara (penumpang dan pemilik kargo) karena
akan banyak pilihan, perusahaan-perusahaan tersebut bersaing untuk menarik
penumpang sebanyak-banyaknya dengan menawarkan tarif yang lebih murah atau
menawarkan berbagai bonus. Namun di sisi lain, dengan tarif yang murah tersebut
sering menurunkan kualitas pelayanan (service), bahkan yang lebih
mengkhawatirkan lagi adalah akan menyebabkan berkurangnya kualitas
pemeliharaan (maintenance) pesawat, sehingga rawan terhadap keselamatan
penerbangan dan akan berdampak kurang baik terhadap keamanan, kenyamanan
dan perlindungan konsumen.2
Menurut penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, faktor yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap
konsumen adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen terhadap hak-
haknya. Pihak pengangkut sebagai penyelenggara mempunyai kewajiban untuk
mengganti kerugian yang diderita oleh pengguna jasanya. Undang-undang
perlindungan konsumen merupakan instrument hukum untuk melindungi
konsumen, namun dalam materi substansi yang merujuk pada ketentuan yang
2 E. Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap
Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia( Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis Vol 25), 2006 hal.5.
lebih menentukan kewajiban dan tanggungjawab para pelaku usaha, hal tersebut
sejalan dengan Pasal 140 sampai dengan Pasal 149 Undang-Undang No 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan Secara hukum pengguna jasa angkutan dilindungi,
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dapat
dilihat dalam Pasal 141 sampai 149 mengenai tanggung jawab pengangkut
terhadap penumpang dan/atau pengirim kargo. Oleh karena itu penumpang
sebagai konsumen dalam penerbangan garuda terjadi hubungan antara konsumen
dengan PT Garuda sebagai pelaku usaha.
Dalam pengangkutan penumpang pesawat, hubungan hukum dapat
dikategirikan sebagai hubungan konsumen dan pelaku usaha (Contraktual), oleh
karena itu Perjanjian antara konsumen terhadap PT. Garuda Indonesia dimulai
pada saat konsumen membeli tiket pesawat. Selanjutnya, terjadilah kewajiban
kedua belah pihak untuk memenuhi prestasi telah disepakati. Salah satu menjadi
kewajiban pelaku usaha tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7 huruf a yakni beritikad baik dalam
melakukan kegiatan usahanya, artinya perusahaan penerbangan harus memenuhi
kewajibannya kepada penumpang sebagai bentuk iktikad baik tersebut kemudian
penumpang juga memenuhi kewajibannya sebagai konsumen. Tidak jarang dalam
pelaksanaannya salah satu atau kedua belah pihak baik pengangkut maupun
penumpang melakukan kesalahan, sehingga terjadi pelanggaran terhadap butir-
butir kesepakatan.
Penelitian ini akan yang diangkat tentang kerugian yang dialami oleh
penumpang angkutan udara dilihat dari sudut pandang Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, fokus penelitian mengenai
pembatalan jadwal penerbangan. Selanjutnya akan dianalisis dan di kaji kemudian
di tuangkan dalam skripsi yang berjudul :
“Konsekuensi Yuridis Pembatalan Keberangkatan Penerbangan oleh
PT. Garuda Indonesia Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 Tentang Penerbangan jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen”
B. Identifikasi Masalah
1. Apakah yang menjadi faktor-faktor pembatalan keberangkatan
penumpang angkutan udara yang dilakukan oleh PT. Garuda Indonesia ?
2. Bagaimana konsekuensi yurudis dari pembatalan penerbangan angkutan
udara oleh PT. Garuda Indonesia menurut Undang-Undang nomor 1
tahun 2009 tentang Penerbangan Jo. Undang-Undang No 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen Jo. Peraturan Menteri Perhubungan
nomor 7 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan
Udara?
3. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh konsumen terhadap maskapai PT.
Garuda Indonesia akibat pembatalan keberangkatannya ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui faktor-faktor pembatalan keberangkatan penumpang
angkutan udara yang dilakukan oleh PT. Garuda Indonesia
2. Mengkaji konsekuensi konsekuensi yurudis dari pembatalan penerbangan
angkutan udara oleh PT. Garuda Indonesia menurut Undang-Undang No
1 tahun 2009 tentang Penerbangan jo. Peraturan Menteri Perhubungan
No 7 tahun 2011 tentang Tanggung Jaab Pengangkut Angkutan Udara
3. Mencari solusi penyelesaian masalah terkait pembatalan penerbangan PT
Garuda Indonesia yang merugikan konsumen.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat untuk:
1. Kegunaan Teoritis.
a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan masukan
sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam
dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan
Pembatalan Keberangkatan Jasa Angkutan Udara.
b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penelitian lebih
lanjut, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan
Pembatalan Keberangkatan Jasa Angkutan Udara.
2. Kegunaan Praktis
a. Kegunaan Bagi Pelaku Usaha
Secara praktis bagi PT Garuda Indonesia sebagai pelaku usaha
penerbangan penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan
memberi pengetahuan tentang apa yang seharusnya menjadi tanggung
jawab perusahaan penerbangan akibat pembatalan keberangkatan jasa
angkutan udara oleh pihak maskapai Garuda Indonesia terhadap
konsumen.
b. Kegunaan Bagi Konsumen
Secara praktis diharapkan penelitian ini memberikan pengetahuan dan
kesadaran terhadap manajemen mengenai hak konsumen terhadap
PT.Garuda Indonesia apabila terjadinya pembatalan keberangkatan
penerbangan jasa angkutan udara.
c. Kegunaan Bagi Pembuat Peraturan Pernudang-undangan
Peraturan perundang-undangan selama ini yang dibuat oleh pemerintah
mengenai penerbangan dan tanggungjawab pelaku usaha penerbangan
dinilai kurang efisien. dikarenakan seringkali terjadi pembatalan
keberangkatan oleh pihak pelaku usaha penerbangan, sehingga
konsumen merasa sangat dirugikan karena tidak sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat oleh pihak maskapai dengan konsumen,
dan sering terjadi penggantian kerugian yang tidak sebanding dengan
kerugian yang dialami oleh konsumen. Diharapkan penelitian ini
mampu memberikan referensi kepada pihak-pihak yang terkait untuk
membuat peraturan yang lebih tegas lagi dalam mengatur pelayanan
jasa angkutan udara mengenai pembatalan keberangkatan.
E. Kerangka Pemikiran
Permasalahan konsumen maskapai penerbangan yang dibatalkan oleh
pihak pengangut (maskapai) yang menggunakan jasa pengangkutannya ini
dikaji berdasarkan Pancasila sebagai idiologi dan falsafah Negara Republik
Indonesia3. Pada sila kedua dan kelima yaitu “Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab”, dan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, nilai yang
terkandung dalam kedua sila tersebut adalah didasari dan dijiwai oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dalam sila tersebut terkandung makna nilai
kemanusiaan dan keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama atau
bermasyarakat yang artinya harus mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi
seluruh warga Negara serta melindungi haknya dari segala bentuk
ketidakadilan dan mendapatkan perlindungan hukum4.
Pancasila sebagai dasar filosofis Negara kesatuan Republik Indonesia
menjadi tonggak dan nafas bagi pembentukan aturan-aturan hukum. Menurut
Otje Salman dan Anthon F Susanto menyatakan bahwa:5
“memahami Pancasila berarti menunjuk kepada konteks histories
yang lebih luas. Namun demikian, ia tidak saja menghantarkannya
ke belakang tentang sejarah ide, tetapi lebih jauh mengarah
kepada apa yang harus dilakukan pada masa mendatang”.
Berdasarkan teori kesejahteraan, bahwa tingkatan kesejahteraan seseorang
dapat terkait dengan tingkat kepuasan dan kesenanganyang dapat diraih dalam
kehidupannya guna mencapai tingkat kesejahteraannya yang di inginkan. Maka
dengan diemikian, untuk mencapai suatu kesejahteraan dibutuhkan suatu
perilaku yang dapat memaksimalkan tingkat kepuasan sesuai dengan
sumberdaya yang tersedia atau sesuai dengan pengeluaran yang di
3 Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2007, hlm 10
4 Ibid, hlm 80
5 Otje Salman dan Anthon F Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali), Rafika Aditama, Bandung, 2004, hlm.161.
keluarkannya6. Berdasarkan teori kesejahteraan diatas, dapat di definisikan
bahwa suatu kesejah teraan akan menghasilkan suatu kebahagiaan, begitu pula
dengan teori utilitas yang di perkenalkan oleh Jeremy Bentham yang dimana dia
adalah salah satu pakar hukum inggris, dalam teori tersebut mengemukakan
bahwa lahirnya hukum tersebut untuk menciptakan kebahagiaan yang terbesar
dan jumlah yang terbanyak7.
Teori yang relevan dengan permasalahan ini adalah teri perubahan, karena
dari waktu ke waktu peraturan di Indonesia yang berbentuk undang-undang
sering mengalami perubahan untuk mencapai tujuan hukum yang seutuhnya
yaitu keadilan. Berdasarkan teori perubahan yang di kenalkan oleh Rescue
Pound bahwa menurutnya hukum adalah sebagai a tool of social engineering
yang bertujuan hukum sebagai alat untuk menciptakan hukum yang lebih
efektif, di karenakan suatu produk undang-undang sering mengalami
kekurangan dan kelemahan, maka hukum seiring berkembangnya jaman dan
dipandang sudah lagi tidak efektif maka hukum tersebut harus di rubah untuk
tercapainya suatu tujuan hukum.
Selain teori yang relevan terhadap permasalahan tersebut, ada beberapa
asas yang relevan terhadap permasalahan ini, yaitu asas-asas yang terdapat
dalam Undang-undang perlindungan konsumen. Dalam undang-undang
perlindungan konsumen terdapat beberapa asas, yaitu diantarannya adalah asas
keadilan, asas ini dapat dilihat dalam Pasal 4-7 undang-undang perlindungan
konsumen serta pelaku usaha, dalam asas ini diharapkan antara konsumen dan
6 Wordpress.com
7 Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2003,
hlm 26
pelaku usaha dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang,
berkaitan dengan permasalahan pertanggungjawaban terhadap pembatalan
keberangkatan pesawat Garuda Indonesia secara sepihak, maka bentuk
pertanggung jawabannya harus seimbang dengan apa yang telah di korbankan
atau uang yang telah di keluarkan oleh konsumen serta kerugian imateril yang di
derita oleh konsumen.
Asas yang relevan selain asas keadilan adalah asas kepastian hukum, asas
ini dimaksudkan agar supaya konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan kosumen.
Pada dasarnya hubungan konsumen dengan pengangkut didasari pada
perjanjian pengangkutan, dalam perjanjian pengangkutan wajib terdapat syrat-
syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi para pihak, syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan tersebut dituangkan dalam kontrak berupa perjanjian
pengangkutan. Dalam asas kontraktual mendefinisikan bahwa sebagai hukum
yang mengatur bagi para pihak, begitu pula hak dan kewajiban yang tertuang
dalam kontrak antara konsumen dan pengangkut, asas tersebut sejalan dengan
asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 KUHperdata.
Pada tanggal 16 April 1985, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa
telah mengeluarkan resolusi PBB Nomor A/RES/39/24 tentang Pedoman
Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consummer Protection). Resolusi ini
membuka mata dunia tentang praktik-praktik ketidakadilan yang dialami
konsumen. Kepentingan-kepentingan konsumen yang seharusnya dilindungi
menurut resolusi itu adalah sebagai dibawah ini:8
1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya,
2. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen,
3. Tersedia informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan
kempampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan
kebutuhan pribadi,
4. Pendidikan konsumen, tersedianya upaya ganti rugi yang efektif,
5. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya
yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk
menyaranan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut kepentingan mereka.
Pada 20 April 1999 ketika pemerintahan Republik Indonesia
mengeluarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (LNRI Tahun 1999 Nomor 42, TLNRI Nomor 3281) yang berlaku
efektif setahun setelah diundangkannya yaitu pada tanggal 20 April Tahun 2000.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen selanjutnya dikenal dengan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dapat dikatakan sebagai suatu
payung perlindungan hukum bagi konsumen, sedangkan bentuk perlindungan
konsumen lainnya di luar UUPK ini dijadikan acuan dengan menempatkan
UUPK sebagai sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Hal ini
8 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindakan Korporasi, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2002, hlm.12.
berdasarkan pada Pasal 64 (Bab XIV Ketentuan Peralihan) yang secara tersirat
menyatakan bahwa UUPK merupakan ketentuan khusus (lex specialis) terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UUPK,
sesuai asas lex specialis derogate legi generalis. Artinya ketentuan-ketentuan
diluar UUPK tetap berlaku selama tidak diatur secara khusus dalam UUPK dan
atau tidak bertentangan dengan UUPK.
Berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen, diharapkan
mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan hak dan kewajiban
baik sebagai pelaku usaha maupun konsumen.9
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK), bahwa:10
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
oranglain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Berdasarkan Pasal tersebut yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu
harus memberikan prestasi dengan cara membayar utang untuk memperoleh
barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara
konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual. Kemudian Pasal 1
angka 3 UUPK menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik diri sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.
9 Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2003, hlm.2. 10
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan
Konsumen.
Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPK, pelaku usaha yang
termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi,
importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Adapun tujuan produsen adalah
untuk menghasikan atau menciptakan suatu barang dan atau jasa, menambah
serta meningkatkan nilai guna barang yang sudah ada, memenuhi kebutuhan
manusia (Konsumen), memperoleh mendapatkan penghasilan untuk
mendapatkan alat pemuas lainnya11
, dengan demikian apa yang telah di berikan
oleh konsumen (kewajiban Konsumen) terhadap pelaku usaha harus di timbal
oleh pelaku setara dengan apa yang telah di berikan leh konsumen sehingga
hubungan konsumen dengan pelaku usaha mempunyai sifat professional sebagai
mana yang diatur dalam Pasal 4 huruf g Undang-undang Perlindungan
Konsumen yang menyatakan :
“hak konsumen adalah hak untuk di perlakukan dan dilayani secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif”
Hubungan hukum antara konsumen dengan PT Garuda Indonesia sebagai
perusahaan angkutan udara di dasari oleh hukum perjanjian, maka asas-asas dan
prinsip-prinsip akan dibahas adalah sasas-asas atau prinsip-prinsip hukum
perikatan. Menurut ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah
hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak di
11
Kampus-Info.com
dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi
dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.12
Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang lain atau lebih mngikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih, dan suatu perjanjian adalah sah jika memenuhi
persyaratan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. Suatu hal tertentu,
4. Suatu sebab yang halal
Selain bersumber dari perjanjian, perikatan juga dapat timbul dari Undang-
undang. Maksudnya adalah bahwa perikatan dapat lahir antara orang/pihak yang
satu dengan pihak lainya, tanpa orang-orang yang bersangkutan
menghendakinya, atau lebih tepatnya tanpa memperhitungkan kehendak
mereka. Bahkan bisa saja terjadi, bahwa perikatan timbul karena orang-orang/
para pihak berada dalam keadaan tertentu atau mempunyai kedudukan
tertentu.13
Adapun hubungan hukum seperti tersebut di atas menimbulkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak, baik bagi konsumen maupun bagi pelaku
usaha. Pasal 4 UUPK mengatur mengenai hak-hak konsumen yang harus
dipenuhi oleh pihak pelaku usaha, yaitu meliputi:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa,
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai
tukar kondisi dan jaminan yang dijanjikan,
12
Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Hlm.1. 13
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.48.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa,
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa
yang digunakang,
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut,
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen,
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif,
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya,
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Selain mengatur hak-hak konsumen, UUPK juga mengatur mengenai
keawjiban-kewajiban konsumen sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 UUPK,
yaitu:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan,
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa,
3. Membayar sesuai dengan niai tukar yang disepakati,
4. Mengiuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan kinsmen
secara patut.
Dapat dilihat bahwa di dalam kewajiban-kewajiban konsumen yang
tercantum dalam Pasal 5 UUPK tersebut, terdapat kewajiban konsumen untuk
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dari prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan. Hal ini
diperlukan, karena seringkali pelaku usaha telah menyampaikan peringatan
secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen sering tidak membaca
peringatan yang telah disampaikan kepadanya tersebut. Dengan pengaturan
kewajiban ini, pelaku usaha tidak bertanggung jawab apabila kerugian yang
diderita konsumen diakibatkan karena konsumen mengabaikan kewajiban
tersebut.14
Selain hak dan kewajiban konsumen, UUPK juga mengatur mengenai hak-
hak pelaku usaha sebagaimana terdapat di dalam Pasal 6 UUPK, yang
menyatakan bahwa pelaku udaha adalah:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan,
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik,
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa kinsmen,
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan,
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturam perundang-undangan
lainnya.
Kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UUPK yang menyebutkan
bahwa kewajiban pelaku udaha adalah:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan,
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif,
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku,
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan,
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan.
14
Ahmad Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,
hlm.48.
Meski telah diatur mengenai kewajiban maupun bagi pelaku usaha, tidak
sedikit dijumpai pihak konsumen yang menderita kerugian diakibatkan
mengkonsumsi produk cacat.
Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahuun 1998, menyatakan
bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberian ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Secara teoritik, Undang-undang ini
mengandung prinsip-prinsip tanggung jawab pelaku usaha, sebagai berikut:15
1. Contractual Liability
Pertanggung jawaban kontraktual adalah tanggung jawab pedagang
atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha (barang dan/atau jasa),
atas kerugian yang dialami oleh konsumen akibat mengkonsumsi
barang yang dihasilkan atau manfaat jasa yang diberikan. Jasi, dalam
hal ini berhubungan perjanjian (privity contract) antara pelaku usaha
dengan konsumen.
2. Product Liability
Dalam hal ini tidak terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha
(produsen barang) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku
usaha didasarkan pada product liability (pertanggung jawaban produl),
yaitu tanggung jawab secara tidak langsung (strict liability) dari
pelaku usaha (produsen barang) atas kerugian yang diialami
konsumen. Intisari dari product liability adalah tanggung jawab
berdasarkan perbuatan melawan hukum yang telah dimodifikasikan
menjadi strict liability.
3. Profesional Liability
Apabila terjadi hubungan perjanjian (privity contract) antara pelaku
usaha (pemberi jasa) dengan konsumen, tetapi prestasi pemberi jasa
tersebut tidak diukur sehingga merupakan perjanjian ikhtisar
(Inspaning Verbintenis). Maka tanggung jawab pelaku usaha
didasarkan pada professional liability (Pertanggung jawaban
professional) yang mempergunakan tanggung jawab secara langsung
(strict liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami oleh
konsumen. Sebaliknya dalam hal hubungan perjanjian (privity
15
Johanes Gunawan, Jurnal Hukum Bisnis Voleme 8, Yayasan Pengembangan Bisnis,
Jakarta, 1999, hlm.45.
contract) antara pelaku usaha (pemberi jasa) dengan konsumen dan
prestasi pemberi jasa tersebut terukur sehingga merupakan perjanjian
hasil (Resultaat Verbentenis), maka tanggung jawab pelaku usaha
menggunakan tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian kontrak
(contractual liability) dari pelau usaha.
4. Criminal Liability
Dala hal hubungan pelaku usaha (barang dan/atau jasa) dengan Negara
dalam memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat
(konsumen), maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada
criminal liability (pertanggung jawaban criminal), yaitu tanggung
jawab pidana dari pelaku usaha (barang dan/atau jasa) atas
keselamatan keamanan masyarakat.
F. Metode Penelitian
metode menurut Peter R.Senn adalah merupakan suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatu yang memiliki langkah-langkah yang sistematis.16
Adapun
dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan metode penelitian hukum
normatif yaitu merupakan suatu penelitian kepustakaan atau penelitian terhadap
data sekunder. Langkah-langkah yang ditempuh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis
yaitu suatu penelitian yang bertujuan menggambarkan atau melukiskan
tentang pembatalan penerbangan jasa angkutan udara PT. Garuda
Indonesia terhadap konsumen.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan
yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan sumber-
sumber data sekunder, yaitu peraturan Undang-undang Nomor 1 Tahun
16
Peter R.Senn dalam Bambang Sanggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2003, hlm.46.
2009 Tentang Penerbangan, teori-teori hukum, dan pendapat-pendapat
para sarjana hukum terkemuka, yang kemudian dianalisis serta menarik
kesimpulan dari permasalahan yang akan digunakan untuk menguji dan
mengkaji data sekunder tersebut, dengan dasar bahwa penelitian ini
ditujukan untuk mengkaji penerapan norma-norma hukum yang berlaku
khususnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen terhadap pembatalan penerbangan oleh pihak maskapai
penerbangan.
3. Tahap Penelitian
Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data sebagai
berikut:
a. Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data berdasarkan referensi dari
buku-buku kepustakaan berbagai peraturan perundang-undangan atau
literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian
guna mendapatkan bahan hukum yang kemudian dipilih sesuai dengan
permasalahan yang diteliti kemudian dikaji.
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan yang mempunyai kekuatan
mengikat seperti norma dasar maupun peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan enelitian ini, yaitu kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan
permasalahan yang dibahas.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum yang
dimaksud disini tidak mengikat, yang terdiri dari buku-buku,
makalah, hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian
ini.
3) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang sifatnya
melengkapi kedua bahan hukum diatas, terdiri dari kamus hukum,
kamus besar Bahasa Indonesia, kamus Bahasa Inggris, berbagai
majalah dan surat kabar.
b. Studi lapangan yang sifatnya sebagai penunjang terhadap data
kepustakaan tersebut di atas seperti wawancara dan dokumentasi dengan
pihak terkait
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik penelitian ada tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi
dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara
atau interview sebagai pelengkap. Untuk penelitian ini dibatasi hanya
menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka yaitu suatu alat
pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis.
5. Analisis Data
Analisis data yang dipilih melalui data sekunder yang telah dipilih
melalui studi kepustakaan seperti tersebut diatas, kemudian disusun secara
sistematis sehingga diperoleh gambaran menyeluruh mengenai asas
hukum, kaidah hukum, dan ketentuan yang berkaitan dengan Konsekuensi
Yuridis Keberangkatan Penerbangan Oleh PT Garuda Indonesia
Dihubungkat Dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999. Selanjutnya data
penelitian yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Data yang diperoleh
dalam penelitian akan dikaji secara logis dan mendalam. Hasil analisis
akan disajikan secara deskriptif.
6. Lokasi Penelitian
a. Perpustakaan:
1. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Jalan Lengkong
Besar No.68 Bandung.
2. Perpustakaan Fakultas Umum Universitas Padjajaran, Jalan Dipati
Ukur No.46 Bandung
b. Instansi:
1. PT Garuda Indonesia Bandung, Jalan Asia Afrika No.141-149
Bandung
2. Dinas Perhubungan Kota Bandung
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulis dalam pembahasan skripsi ini, penulis
mencoba menyusun secara sistematik agar jelas dan mudah dimengerti oleh
pembahas. Berikut sistematika yang digunakan dalam skripsi ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang penelitian,
identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINDAKAN HUKUM TENTANG PEMBATALAN
KEBERANGKATAN PENERBANGAN
Dalam bab ini memuat tentang aspek hukum para pihak yang
terkait terhadap pembatalan keberangkatan penerbangan.
BAB III PENANGANAN DAN GANTI RUGI KONSUMEN
TERHADAP PEMBATALAN KEBERANGKATAN
PENERBANGAN PT. GARUDA INDONEIA KOTA
BANDUNG
Bab ini menguraikan mengenai tanggung jawab PT. Garuda
Indonesia kepada konsumen yang jadwal penerbangannya
mengalami pembatalan
BAB IV KONSEKUENSI YURIDIS PEMBATALAN
KEBERANGKATAN PENERBANGAN OLEH PT. GARUDA
INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG
PENERBANGAN JO. UNDANG-UNDANG NOMOR
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Bab ini penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan ,
yakni mengenai perlindungan konsumen yang diakibatkan oleh
adanya pembatalan penerbangan oleh PT Garuda Indonesia.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan bab yang berisi tentang kesimpulan yang berupa
jawaban atas identifikasi masalah dan saran-saran yang bersumber
dari kesimpulan.
BAB II
TINDAKAN HUKUM TENTANG PEMBATALAN KEBERANGKATAN
PENERBANGAN
A. Tinjauan Umum Mengenai Penerbangan Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
1. Pengertian Penerbangan
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 1 tahun 2009
tentang Penerbangan menyatakan :
“Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan
keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas
umum lainnya”.17
Selain memberikan pengertian tentang penerbangan Undang-
Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan juga membahas tentang
jenis-jenis penerbangan. Ada beberapa jenis penerbangan, yaitu:
a. Penerbangan Komersial
Penerbangan komersial adalah bagian dari penerbangan
sipil (penerbangan umum dan jasa maskapai penerbangan terjadwal)
yang melibatkan pengoperasian pesawat untuk disewa, di banyak
negara, sebuah penerbangan dapat dioperasikan hanya untuk mencari
untung apabila memenuhi tiga syarat berikut:
17
Undang-Undang No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
1.) pilot harus memiliki lisensi pilot komersial yang sah.
2.) pesawat terbang harus memiliki registrasi komersial yang sah.
3.) operator harus memiliki sertifikat atau sejenis otorisasi lain untuk
operasi komersial.
Tujuan penerbangan adalah yang menentukan apakah penerbangan
tersebut komersial atau bukan, bukan jenis pesawat atau pilotnya.18
b. Penerbangan umum
Penerbangan umum adalah satu dari dua kategori penerbangan
sipil, sebutan ini merujuk pada penerbangan selain penerbangan
militer, maskapai terjadwal, dan kargo regular.
Terdapat berbagai macam penerbangan umum, mulai
dari glider dan parasut bertenaga hingga penerbangan jet kargo besar
non-terjadwal. Hasilnya, mayoritas lalu lintas udara dunia jatuh ke
dalam kategori ini, dan sebagian besar bandara di dunia melayani
penerbangan umum.
Penerbangan umum mencakup berbagai jenis aktivitas, komersial
dan non-komersial, termasuk penerbangan pribadi, pelatihan
penerbangan, ambulan udara, pesawat polisi, pemadaman kebakaran
udara, penyewaan udara, penerbangan terpencil, gliding, dan lainnya.
18
http://id.wikipedia.org/wiki/Penerbangan_komersial
Pesawat eksperimen, pesawat sport ringan, dan jet sangat ringan mulai
bermunculan sebagai gaya baru dalam penerbangan umum.19
2. Jenis-jenis Angkutan Udara
a. Pesawat Terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara,
bersayap tetap atau disebut juga sebagai fixed wing, dan dapat
terbang dengan tenaga sendiri.
b. Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara,
bersayap putar atau yang disebut juga sebagai Rotary wing yang
rotornya digerakkan oleh mesin.
c. Pesawat penumpang sipil adalah pesawat udara yang berfungsi
mengangkut penumpang. Pesawat penumpang sipil ini mempunyai
kapasitas yang berbeda-beda, mulai kapasitas 1 orang untuk pesawat
pribadi sampai dengan Airbus 380 yang bisa mengangkut sekitar 500
orang penumpang.
d. Pesawat Militer adalah pesawat yang berfungsi untuk berbagai
keperluan militer. Jenisnya pun bermacam-macam.
a) Pesawat tempur. Pesawat ini didesain untuk melakukan
penyerangan. Sasaran penyerangan biasanya adalah pesawat
musuh. Karakter pesawat ini lincah dan cepat.
b) Pesawat tempur latih. Pesawat ini digunakan latihan oleh calon-
calon pilot, baik sipil ataupun militer. Pesawat ini dirancang tidak
19
http://id.wikipedia.org/wiki/Penerbangan_umum
bersenjata. Pesawat jenis ini mempunyai dua tempat duduk, yaitu
untuk pilot dan co-pilot.
c) Pesawat intai. Pesawat ini berfungsi untuk mengintai lawan dan
mengumpulkan data-data intelijen.
3. Ketentuan Penerbangan Angkutan Udara
Suatu pesawat komersil agar dapat melakukan operasinya, maka
pesawat tersebut haruslah memenuhi beberapa syarat atau ketentuan
yang wajib dipenuhi oleh perusahaan maskapai komersil, dalam Pasal
13-15 Undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang penerbangan
menyatakan ketentuan-ketentuan tersebut adalah :
a. Harus memiliki rancangan bangun.
b. Rancangan bangun tersebut harus memiliki surat persetujuan
setelah dilakukannya pemerikasaan dan pengujian sesuai dengan
standar kelaikudaraan dan ketentuan perundang-undangan.
c. Setiap orang yang melakukan kegiatan rancangan bangun
haruslah mendapatkan surat persetujuan.
d. Pesawat udara, mesin pesawat udara dan baling-baling peswat
udara yang dibuat berdasarkan rancangan bangun untuk di
produksi harus memiliki sertifikat type.
e. Sertifikat tersebut diberikan setelah dilakukannya pemeriksaan
kesesuaian terhadap standar kelaikudaraan rancangan bangun
(initial airworthiness) dan telah memenuhi uji type.
Khusus untuk Badan hukum yang memproduksi dan atau
perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling
pesawat terbang wajib memiliki sertifikat produksi.
Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, suatu Badan Hukum
Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut20
:
1) Memiliki sertifikat tipe atau memiliki lisensi produksi
pembuatan berdasarkan perjanjian dengan pihak lain.
2) Fasilitas dan peralatan produksi
3) Struktur organisasi sekurang-kurangnya memiliki bidang
produksi dan kendali mutu
4) Personeel produksi dan kendali mutu yang kompeten
5) Sitem jaminan kendali mutu
6) Sistem pemeriksaan produk dan pengujian produksi
Sertifikat yang dimaksud akan diberikan kepada Badan Usaha
Indonesia apabila telah dilakukan pemeriksaan dan pengujian yang
hasilnya memenuhi standar kelaikudaraan.
Pengangkutan udara adalah setiap kegiatan yang menggunakan
pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo dan atau pos untuk
20
Pasal 19 ayat 1-3 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
satu perjalanan atau lebih dari suatu Bandar udara ke Bandar udara yang
lainnya atau beberapa Bandar udara21
.
Agar terjadi suatu pengangkutan udara dengan pesawat udara niaga
maka perlu diadakannya perjanjian pengangkutan udara niaga terlebih
dahulu antara Badan Usaha Pengangkut udara niaga dengan penumpang
atau pemilik kargo.
Perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antar pengangkut
dan pihak penumpang dan atau pengirim kargo dengan pesawat udara
dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa lain, maka
dengan demikian untuk terpenuhinya suatu perjanjian pengankutan melalui
udara tersebut maka suatu pesawat udara haruslah memenuhi beberapa
syarat-syarat yang ditentukan oleh udang-undang No 1 Tahun 2009
tentang Pengangkutan.
Perjanjian pengangkutan tersebut dibuktikan dengan tiket
penumpang atau kargo, Badan Usaha pengangkutan udara niaga wajib
mengangkut orang atau kargo serta pos setelah disepakatinya perjanjian
pengangkutan niaga. Badan Usaha pengangkutan niaga wajib memberikan
pelayanan yang layak terhadap setiap pengangkutan udara niaga.
Pengangkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan
oleh Badan Usaha pengangkutan udara Nasional yang telah mendapatkan
21
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2013, hlm 11
izin usaha pengangkutan udara niaga, sebagai mana yang diatur dalam
Pasal 84 Undang-undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Pengangkutan udara berjadwal negeri hanya dapat dilakukan oleh
Badan Usaha pengangkutan udara Nasional yang telah mendapatkan izin
usaha niaga berjadwal. Perusahaan Badan Hukum persebut dapat berupa
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pt. Garuda Indonesia
(persero) dan PT. Merpati Nusantara (persero) dan dapat juga berbentuk
Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) seperti PT. sriwijaya Airlines, PT.
Lion Airlines22
.
B. Aspek Hukum Penerbangan Terkait Dengan Pembatalan
Penerbangan Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen
1. Tinjauan Umum Mengenai Pembatalan Penerbangan Menurut
Undang-Undang Penerbangan.
Pengangkutan penumpang dengan menggunakan pesawat udara
niaga perlu diadakannya perjanjian pengangkutan udara niaga terlebih
dahulu antara Badan Usaha pengangkutan niaga dengan penumpang
atau pemilik kargo, yang dibuktikan oleh tiket bagasi atau kargo.
Badan Usaha pengangkutan udara niaga wajib mengangkut
orang dan atau barang atau kargo serta pos setelah disepakatinya
perjanjian pengangkutan udara niaga, badan usaha tersebut wajib
memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengangkutan udara
22
Ibid, hlm 62
yang telah disepakati, perjanjian pengangkutan udara niaga yang
dimaksud dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan
atau bagasi atau kargo, hal tersebut diatur dalam Pasal 140 Undang-
undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Badan usaha pengangkutan udara niaga bertanggungjawab atas
kerugian penumpang yang keberangkatannya dibatalkan oleh pihak
pengangkut. Pengangkut udara niaga bertanggungjawab atas kerugian
yang diderita oleh penumpang akibat pembtalan dan keterlambatan
pengangkutan penumpang, bagasi, atau kargo kecuali apabila
pengangkut udara niaga dapat membuktikan bahwa pembatalan dan
keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis
oprasional.
Selain itu, pengangkut udara juga bertanggungjawab kepada
kerugian penumpang, bagasi, atau kargo atas tidak terangkutnya
penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan
kapasitas pesawat udara.
Pada dasarnya penerbangan niaga adalah salah satu
pengangkutan, yang dimana pengangkutan tersebut adalah sebagai
perjanjian (agreement), pengangkutan sebagai perjanjian selalu
didahului oleh kesepakatan antara pihak pengangkut dan pihak
penumpang, kesepakatan tersebut berisi kewajiban dan hak
pengangkut dan penumpang23
.
23
Ibid, hlm 2
Kewajiban pengankut adalah mengangkut penumpang atau
barang sejak di tempat penerbangan sampai ketempat tujuan yang telah
disepakati dengan selamat dan waktu yang tepat, sebagai imbalan
pengangkut berhak memperoleh sejumlah uang jasa atau uang sewa
yang disebut biaya pengangkutan, sedangkan kewajiban penumpang
atau pengirim adalah membayar sejumlah uang sebagai biaya
pengangkutan dan memperoleh hak atas pengangkutan sampai
ditempat tujuan dengan selamat.
Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan, tetapi
selalu didukung oleh dokumen pengangkutan, dokumen pengangkutan
adalah sebagai bukti sudah terjadi perjanjian pengangkutan dan wajib
dilaksanakan oleh pihak-pihak.
Dokumen pengangkutan barang-barang lazim disebut dengan
surat muatan, sedangkan dokumen pengangkutan penumpang lazim
disebut dengan karcis atau tiket penumpang, maka dengan demikian
berkaitan dengan pembatalan keberangkatan maskapai apabila
dibatalkan oleh pihak pengangkut apa yang menjadi hak-hak
penumpang menurut perundang-undangan ?.
Sebelum kita membahas tentang pembatalan pengangkutan
maskapai maka alangkah baiknya kita membahas kewajiban-kewajiban
pengangkut terhadap penumpang.
Badan usaha angkutan udara niaga berdasarkan Pasal 140 ayat
1-3 Undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya, adapun
kewajiban yang harus dipenuhi oleh Badan Usaha angkutan udara ialah
sebagai berikut :
Pasal 140 ayat 1 menyatakan :
“badan usaha angkutan udara wajib mengangkut orang dan atau
kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan”
Pasal 140 ayat 2 menyatakan :
“badan usaha angkutan uadara wajib memberikan pelayanan yang
layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan
perjanjian pengangkutan yang disepakati”
Pasal 140 ayat 3 menyatakan :
“perjanjian pengangkutan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1
dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen pengangkutan”
Berdasarkan Pasal 146 menyatakan :
“Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian karena keterlambatan
pada angkutan penumpang, bagasi atau kargo kecuali apabila
pengangkut bahwa keterlambatan tersebut dikarenakan faktor cuaca
dan teknis oprasional”
Pasal 147 ayat 1 menyatakan :
“pengangkut bertanggung jawab atas ketidak terangkutnya sesuai
dengan jadwal sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan
alasan kapasitas pesawat udara”
Ayat 2 menyatakan :
“tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatas dengan
memberikan konpensasi kepada penumpang berupa mengalihkan
kepada penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan dan atau
memberikan biaya konsumsi, akomodasi dan biaya transportasi
apabila tidak ada penerbangan lain ketempat tujuan”
Ketika suatu kewajiban maskapai tidak dapat terpenuhi (tidak dapat
memenuhi hak penumpang) untuk mengantarnya kepada suatu tempat
sebagaimana dalam perjanjian (batal), maka pihak pengangkut (maskapai)
wajib memberikan ganti rugi kepada penumpang sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas, yang menjadi dasar untuk meminta ganti rugi ialah tiket
pesawat karena tiket pesawat adalah :
“dokumen berbentuk cetak melalui proses elektronik atau bentuk
lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian
pengangkutan udara antara pengangkut dengan penumpang, dan hak
penumpang untuk menggunakan pesawat uadara atau diangkut
dengan pesawat udara”24
.
Selain itu pihak pengangkut wajib memberikan ganti rugi kepada
pihak penumpang, karena dalam Undang-undang No 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan menganut asas perjanjian.
24
Ibid, hlm 11
Asas perjanjian ini mengandung makna bahwa setiap pengangkutan
diadakan dengan perjanjian antara pihak perusahaan pengangkutan dan
penumpang atau pemilik barang, tiket penumpang dan dokumen
pengangkutan merupakan tanda bukti telah terjadinya suatu perjanjian
antara pihak-pihak.
Perjanjian pengangkutan tidak saja harus dalam bentuk tertulis,
sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Akan tetapi untuk
menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi dan mengikat harus
dibuktikan dengan atau didukung oleh dokumen pengangkutan25
.
Selain mengandung asas perjanjian, Undang-undang penerbangan
tersebut mengandung asas pembuktian dengan dokumen. Asas tersebut
mengandung makna bahwa setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan
dokumen pengangkutan, tidak ada dokumen pengangkutan berarti tidak
ada perjanjian pengangkutan, kecuali jika ada kebiasaan yang sudah
berlaku umum, misalnya pengangkutan dengan menggunakan angkot.
2. Ganti Rugi Pemberi Jasa Pelayanan Angkutan Udara Menurut Pasal 12
Ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011 Tentang
TanggungJawab Pengangkut Angkatan Udara.
Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan
untuk tiba ditempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna
bagi penumpang ataupun barang yang diangkutnya, tiba di tempat tujuan
artinya proses pemindahan dari suatu tempat ketempat tujuan lain
25
Ibid, hlm 14
berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan serta datang dengan selamat,
sesuai dengan waktu yang direncanakan26
.
Tujuan pengangkutan sebagaimana yang telah di bahas diatas bisa
saja terjadi pembatalan pengangkutan dengan berbagai faktor, maka
apabila pengangkutan atau penerbangan tersebut mengalami pembatalan
atas kesalahan pengangkut, maka pengangkut wajib memberikan gantirugi
kepada penumpang. Adapun ganti rugi yang diatur menurut
PERMENHUB No 77 Tahun 2011sebagai berikut :
Tanggung jawab pengangkut menurut menurut Pasal 1 angka 3
Peraturan Mentri Perhubungan (PERMENHUB) No 77 Tahun 2011
menyatakan :
“kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian
yang diderita oleh penumpang dan atau pengirim barang atau pihak
ke 3 (tiga)”
Sedangkan ganti rugi berdasarkan Pasal 1 angka 18 menyatakan :
“adalah uang yang dibayar atau sebagian pengganti atas suatu
kerugian”
Dalam hal terjadi suatu pembatalan penerbangan menurut Pasal 12
ayat 1 menyatakan :
“bahwa pengangkut wajib memberikan pemberitahuan kepada
penumpang 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan penerbangan”
26
Ibid, hlm 15
Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat 1 diatas maka pengangkut wajib mengembalikan uang tiket yang telah
dibayar oleh penumpang hal tersebut diatur dalam Pasal 12 ayat 2 nya.
Pembatalan penerbangan yang dilakukan kurang dari tujuh hari
kalender sampai dengan kebernagkatan yang ditetapkan, maka berlaku
Pasal 10 huruf b dan c PERMENHUB No 77 Tahun 2011 tentang
penerbangan yang menyatakan :
Pasal 12 ayat 3
“diberikan ganti kerugian sebesar 50 % dari Rp 300.00,- (tigaratus
ribu yaitu 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) tetapi dengan
catatan diberikan tujuan lain yang terdekat dengan tujuan yang
dibatalkanya tersebut dan pengangkut berkewajiban menyediakan
tiket pengangkutan ketujuan terdekat penumpang (re-routing) dan
menyediakan transportasi lain untuk mencapai kepada tujuan yang
ditujunya apabila untuk sampai kepada tujuan tersebut tidak ada
transportasi udara, dan apabila pengangkutan tersebut dialihkan
kepada pengangkutan udara Niaga berjadwal lain, penumpang
dibebaskan biaya tambahan termasuk peningkatan kelas pelayanan
dan apabila terjadi penurunan kelas pelayanan maka penumpang
wajib diberikan pengembalian sisa tiket yang dibelinya (yang
harganya lebih mahal dari tiket yang pesawat yang pertama)”
3. TanggungJawab Maskapai Penerbangan Terhadap Konsumen.
Sebelum kita membahas tentang tanggungjawab maskapai
penerbangan terhadap konsumen, maka sebaiknya kita mengetahui apa
yang menjadi hak-hak konsumen, sehingga kita mengetahui kewajiban
produsen.
Hak-hak konsumen berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diantaranya ialah hak untuk
mendapatkan konpensasi, gantirugi dan penggantian barang dan atau jasa
yang diterimanya tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya. Maka dengan demikian tanggungjawab maskapai terhadap
penumpang jika dilihat dari kacamata Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yaitu Undang-undang No 8 Tahun 1999, Jika konsumen
merasakan kuantitas dan kualitas barang dan atau jasa yang dikonsumsinya
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan (dalam hal ini masalah penundaan
dan pembatalan keberangkatan maskapai), ia berhak mendapatkan ganti
kerugian yang pantas, dalam hal ini adalah jasa penerbangan yang
membatalkan keberangkatanannya sehingga konsumen dengan hal ini
merasa dirugikan materil dan imateril.
Salah satu tanggungjawab produsen selaku pelaku usaha terhadap
konsumen adalah berupa tanggung jawab produk. Tannggung jawab
produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah
dibawanya kedalam peredaran, yang meimbulkan /menyebabkan kerugian
karena cacat yang melekat pada produk tersebut27
.
Perlindungan konsumen pada aspek pertama disebut dengan
tanggung jawab produk (product liability) dalam bahasa Indonesia istilah
ini diterjemahkan menjadi tanggung jawab produk. Definisi diatas tampak
bahwa tangungjawab produk mempersoalkan tanggung jawab produsen-
pelaku usaha atas timbulnya kerugian pada pihak konsumen sebagai akibat
dari produknya (produk yang cacat) sehingga merugikan konsumen.
27
Agnes M Toar,Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa
Negara,DKIH, Ujung Pandang, 1988 hlm 2
Sebagaimana diatas tanggungjawab produk berkaitan dengan
kerugian yang diderita oleh konsumen, baik itu kerugian materiil maupun
imaterill yang diderita konsumen akibat memakai atau mengkonsumsi
produk yang cacat yang dihasilkan dan atau diperdagangkan oleh produsen
atau pelaku usaha28
. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen
diperlukan kehati-haktian dalam menganalisis siapa yang harus
bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan
kepada pihak-pihak terkait29
.
Tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang menurut Pasal 1
angka 22 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ialah :
“kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti
kerugian yang di derita oleh penumpang atau pengirim barang
atau pihak ketiga”
Pada dasarnya produsen atau pelaku usaha untuk senantiasa
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya termasuk dalam hal
pertanggungjawaban terhadap konsumen yang telah dirugikan oleh para
pelaku usaha30
, maka dengan demikian tanpa harus menggunakan
Advokasi, konsumen haruslah mendapatkan hak nya berupa gantirugi dari
perusahaan maskapai tersebut.
28
Janus Sidabalok, Op., Cit, hlm 10 29
Shidarta, Op., Cit, hlm 59 30
Janus Sida Balok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung 2014, hlm 81
Berdasarkan Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang No 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan :
“gantirugi yang menjadi tanggung jawab pelaku usaha
penerbangan dapat berupa pengembalian uang, atau
penggantian barang dan atau penggantian jasa sejenis atau
setara nilainya atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku31
”
Selain itu berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang perlindungan
konsumen menyatakan :
“pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi
jaminan dan atau garansi yang disepakati dan atau yang
diperjanjikan”
Pasal tersebut juga mengatur tentang kewajiban pelaku usaha untuk
memenuhi garansinya sesuai dengan perjanjian32
. Jenis dan jumlah ganti
kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau
atas kesepakatan masing-masing pihak.
Dasar pertanggung jawaban pelaku usaha maskapai, jika dilihat dari
dasar pertanggung jawabannya terdapat dua dasar pertanggungjawaban
perdata yaitu :
a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan.
Pertanggungjawaban ini lahir karena terjadinya wanprestasi,
timbulnya perbuatan melawan hukum dan tindakan yang kurang
hati-hati.
b. Pertanggungjawaban atas dasar resiko.
31
Ahmad Miru, Hukum Perlindungan Konsumen,Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hlm 125 32
Janus Sidabalok,Op.Cit, hlm 85
Yaitu pertanggungjawaban yang harus dipikiul sebagai resiko
yang harus diambil oleh seorang produsen-pelaku usaha atas
kegiatan usahanya
Menurut hukum perdata setiap tuntutan pertanggungjawaban harus
mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum
seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang
melahirkan kewajiban hukum orang lain itu untuk memberi
pertanggungjawabannya.
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, dalam hukum perdata
dasar pertanggungjawaban itu ada dua macam, yaitu kesalahan dan resiko.
Dengan demikian, dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar
kesalahan (liability based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability without fault) atau tentang tanggung jawab mutlak
(strict liability).
Prinsip pertanggungjawaban atas dasar kesalahan mengandung arti
bahwa seseorang itu harus bertanggung jawab karena ia telah bersalah
melakukan sesuatu yang telah merugikan orang lain, prinsip
pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, dianut dalam peraturan ganti
rugi karena wanprestasi sebagaimana yang diataur dalam pasal 1236
KUHperdata dan seterusnya atau pertanggung jawaban dalam perbuatan
melawan hukum menurut pasal 1365 KUHperdata.
Pasal 1239 KUHperdata menyatakan :
“tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, untuk atau tidak
berbuat sesuatu, apabila siberpiutang tidak memenuhi
kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya, dalam
kewajiban memberikan ganti biaya, rugi dan bunga”
Ketentuan tentang ganti rugi dalam KUHperdata diatur dalam Pasal
1243-1252, dari pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada
salah satu pihak yang tidak memenuhi prestasinya dalam suatu perikatan
untuk memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga33
.
Jual-beli jasa penerbangan adalah suatu perikatan antara maskapai
komersil dengan konsumen, keduanya mempunyai hak dan kewajiban
yang harus dipenuhi, ketika hak dan kewajiban tersebut tidak dapat
dipenuhi oleh salah satu pihak terutama pihak pengusaha maskapai dalam
hal ini penundaan dan pembatalan keberangkatan atau pembatalan
pemberangkatan, maka pihak maskapai harus memberikan ganti rugi
kepada konsumen berupa pengembalian uang tiket dan ganti rugi lainnya
yang di timbulkan oleh pembatalan keberangkatan tersebut.
Hal tersebut diatas berbeda lagi dengan keadaan memaksa
(overmacht / force majeure), penundaan keberangkatan atau pembatalan
pemberangkatan dalam maskapai biasanya terjadi Karena keadaan cuaca
yang tidak stabil atau tidak baik untuk dilakukannya penerbangan
sehingga jika dipaksa untuk melakukan pemberangkatan akan
mengakibatkan timbulnya kecelakaan, maka dengan demikian terpaksa
33
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2006,
hlm 222
pihak maskapai menunda atau membatalkan keberangkatan hal tersebut
dapat dikategorikan keadaan memaksa atau force majeure.
Force majeure atau overmacht atau keadaan memaksa diatur dalam
pasal 1245 KUHperdata yang menyatakan :
“tidaklah biaya ganti rugi dan bunga harus dibayarnya,
apabila disebabkan keadaan memaksa atau disebabkan
kejadian yang tidak disengaja, siberpiutang (maskapai)
berhalangan untuk melaksanakan kewajibannya, atau karena
hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang
terlarang34
”
Sedangkan dalam perbuatan melawan hukum, kesalahan secara
eksplisit ditentukan sebagai dasar pertanggung jawaban, sebagaimana
yang dinyatakan dalam pasal 1365 KUHperdata:
“tiap-tiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan
kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”
Dengan demikian pelaku usaha maskapai yang menunda atau
membatalkan keberangkatannya harus membayar ganti rugi dan bunga
kepada konsumen kecuali hal tersebut terjadi karena keadaan memaksa
atau force majeure seperti keadaan cuaca yang buruk yang dapat
mengakibatkan bahaya bagi seluruh maskapai penerbangan dalam keadaan
memaksa tersebut maskapai hanya berkewajiban mengembalikan uang
tiketnya saja tidak harus dengan mengganti kerugian yang lainnya.
34
Ibid, hlm 232
BAB III
PENANGANAN DAN GANTI RUGI KONSUMEN TERHADAP
PEMBATALAN KEBERANGKATAN PENERBANGAN PT. GARUDA
INDONESIA DI KOTA BANDUNG
A. Pelayanan Jasa Penerbangan Kepada Pemakai Jasa Penerbangan
PT. Garuda Indonesia berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk
penumpang yang dimulai dari merencanakan perjalanan lepas landas, diatas
pesawat, pendaratan, keberangkatan dan sesudahnya.
PT. Garuda Indonesia sebagai Badan usaha pengangkutan udara niaga
sebelum keberangkatan wajib memberikan pelayanan yang telah disepakati
berupa mengangkut orang dan atau kargo dan pos setelah disepakatinya
perjanjian pelayanan pengangkutan, karena pelayanan pengangkutan udara
ada tiga jenis pelayanan yaitu pelayanan standar maksimum, standar
menengah dan standar minimum.
Badan usaha pengangkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan
yang layak pada setiap jasa pengangkutan udara niaga sesuai dengan
kesepakatan pelayanan yang disepakati, perjanjian pengangkutan yang
dimaksud dapat dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan,
dokumen pengangkutan udara niaga yang termasuk salah satu pelayanan
pengangkutan udara adalah :
1. Tiket penumpang pesawat niaga.
2. Pas masuk pesawat udara niaga (boarding pass).
3. Tanda pengenal bagasi.
4. Surat muatan udara niaga (airway bill).
Pengangkut wajib menyerahkan tiket penumpang kepada
penumpang perorangan atau penumpang kolektif, tiket penumpang
yang dimaksud paling sedikit memuat nomor, tempat, tanggal
penerbitan, nama penumpang, nama pengangkut, tempat, tanggal,
waktu pemberangkatan, tujuan pendaratan, nomor penerbangan,
tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan
dan tempat tujuan dan bila ada pernyataan bahwa pengangkut tunduk
pada ketentuan dalam undang-undang ini.
Pengangkut harus memberikan pelayanan pas masuk pesawat
udara sebagai mana dimaksud dalam pasal 150 huruf b kepada
penumpang, pelayanan pas masuk pesawat yang dimaksud paling
sedikit memuat :
a. Nama penumpang.
b. Rute penerbangan.
c. Nomor penerbangan.
d. Tanggal dan jam keberangktan.
e. Nomor tempat duduk.
f. Pintu masuk keruang tunggu menuju pesawat udara
g. Waktu masuk pesawat udara (boarding time)
h. Nomor tanda pengenal bagasi
i. Kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan dan
j. Berat bagasi
B. Tahapan Untuk Mendapatkan Pelayanan Dari Maskapai Garuda.
Untuk mendapatkan pelayanan dari Maskapai Garuda, calon
penumpang bisa memesan tiket langsung ke counter PT. Garuda
terdekat ataupun melalui layanan internet chek-in tersedia dari 24 jam
sampai dengan 4 jam sebelum waktu keberangkatan, sebelum chek-in
pengguna jasa pelayanan penerbangan harus mengetahui secara
spesifik pilihan pelayan yang diberikan oleh pihak maskapai, khusus
untuk keberangkatan dari Jakarta (CKG) dengan tujuan penerbangan
domestik tersedia dari 24 jam sampai dengan 2 jam sebelum waktu
keberangkatan.
Layanan internet chek-in tidak tersedia untuk penumpang tanpa
pembelian tiket terlebih dahulu, untuk bayi dibawah 2 tahun tidak
menempati tempat duduk, apabila kode boking anda lebih dari satu
orang maka seluruh penumpang wajib melakukan internet chek-in
dalam satu waktu, penumpang akan diberikan tempat duduk default
tetapi penumpang dapat mengubah preferensi kursi penumpang
melalui internet chek-in.
Setelah penumpang chek-in, dengan terlebih dahulu diberikan
pilihan terhadap pelayanan penerbangan maskapai Garuda Indonesia,
maka penumpang tersebut telah sepakat untuk terbang bersama Garuda
Indonesia serta dengan pelayanan yang dipilihnya, karena berdasarkan
Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan menyatakan :
“badan usaha pengangkutan penerbangan niaga yang berjadwal
harus memberitahukan kepada pengguna jasa penerbangan tentang
kondisi dan spesifikasi pelayanan yang disediakannya”
Penumpang berdasarkan Pasal 97 ayat 1 Undang-Undang No 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan dapat mendapatkan pelayanan :
“pelayanan dengan standar maksimum, pelayanan dengan standar
menengah, dan pelayanan dengan standar minimum”
Bentuk pelayanan standar maksimum adalah bentuk maksimum
yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan sesuai dengan
jenis kelas pelayanan penerbangan, bentuk pelayanan menengah
adalah pelayanan yang sederhana yang diberikan kepada penumpang
selama dalam penerbangan, pelayanan standar minimum adalah bentuk
pelayanan minimum yang diberikan kepada penumpang selama
penerbangan.
Selain itu berdasakan Pasal 140 ayat 1 menyatakan :
“pengangkut juga wajib mengangkut penumpang kargo dan atau
setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan”
Dengan demikian pengangkut wajib memberikan pelayanan sesuai
dengan perjanjian pelayanan pengangkutan yang telah disepakati.
Pengangkut juga wajib memberikan pelayanan yang layak pada
setiap pengangkutan penumpang, kargo dan atau pos sesuai dengan
perjanjian pengangkutan yang disepakati yaitu pelayanan standar
maksimum sesuai dengan pelayanannya, standar menengah sesuai
dengan pelayanannya, atau standar minimum sesuai dengan pelayanan
standarnnya tergantung kepada perjanjian pengangkutan yang dapat
dibuktikan oleh tiket pesawat.
C. TanggungJawab PT. Garuda Indonesia Terhadap Konsumen Karena
Pembatalan Keberangkatan Penerbangan.
Pada hari selasa tanggal 23 Juni 2015 Maskapai penerbangan PT
Garuda Indonesia di bandara Soekarno Hatta membatalkan 112
penerbangan akibat erupsi gunung raung (Jawa Timur), pasalnnya abu
vulkanik gunung raung dapat membahayakan mesin pesawat.
Pembatalan ratusan penerbangan itu seiring dengan notice to
airman No A1415/15, B1073/15, C0498/15’AD CLSD DUE TO
RAUNG MT ACT yang dikeluarkan oleh Briefing Office Kementrian
Perhubungan, dengan situasi tersebut kata M Ikhsan Rosana
(pelaksanaan harian vice presedent Corporate Communication Garuda
Indonesia) memberlakukan kebijakan pembebasan biaya kemudian fee
perubahan tiket lainnya bagi para penumpang yang telah memiliki
jadwal penerbangan.
Sehubungan dengan itu, ketika erupsi Gunung Raung masih
mempengaruhi jadwal keberangkatan, PT Garuda Indonesia tidak
menerima pembukaan rute-rute tersebut, penerbangan yang bertujuan
ketempat yang lintasannya terkena erupsi gunung Raung akan dilayani
setelah infrastruktur dinyatakan dibuka kembali oleh otoritas yang
berwenang35
.
Selain erupsi Gunung Raung yang sempat membatalkan
penerbangan maskapai Garuda Indonesia, ada insiden lain yang
mempengaruhi pembatalan keberangktan maskapai tersebut, yaitu
kebakarannya termilal 2 E Soekarno Hatta.
Pada hari minggu tanggal 5 Juli 2015 di terminal 2 E Bandara
Soekarno Hatta telah terjadi kebakaran sehingga sistem chek-in
Garuda Indonesia terganggu, ribuan calon penumpang tertahan di
pintu masuk terminal 2 E setelah peristiwa kebakaran itu.
PT Garuda Indonesia mengoprasika 150 pesawat, dengan tidak
aktifnya sistem operasi pesawat akibat kebakaran tersebut, para crew
pesawat tidak mengetahui posisi pesawatnya berada dimana dan di
parkir dimana. Head of Corporate Secretary dan Legal PT angkasa
Pura II memutuskan tariff passenger service charge (PSC/ pajak
bandara) bagi semua penumpang yang berangkat melalui bandara
Soekarno-Hatta, selain itu penumpang pesawat dapat mengurus
pengembalian atau refound PSC melalui maskapai karena PSC adalah
salah satu komponen dari tariff tiket pesawat.
Mengenai penumpang Garuda Indonesia yang tertunda
keberangkatannya, Garuda Indonesia menyediakan akomodasi berupa
penginapan, konsumsi dan transportasi bagi para penumpang yang tidak
35
Metrotvnews.com
dapat berangkat pada hari minggu tanggal 5 Juli 2015 tersebut dan ada
sekitar 600 penumpang yang memilih menginap di hotel yang PT dan
mempergunakan sistim retouring atau penerbangan menuju tujuan rute lain
untuk sampai kepada tujuan yang PT Garuda Indonesia sediakan36
. Sejalan
dengan PERMENHUB No 77 Tahun 2011 tentang penerbangan yang
menyatakan :
Pasal 12 ayat 3
“diberikan ganti kerugian sebesar 50 % dari Rp 300.00,- (tigaratus
ribu yaitu 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) tetapi dengan
catatan diberikan tujuan lain yang terdekat dengan tujuan yang
dibatalkanya tersebut dan pengangkut berkewajiban menyediakan
tiket pengangkutan ketujuan terdekat penumpang (re-routing) dan
menyediakan transportasi lain untuk mencapai kepada tujuan yang
ditujunya apabila untuk sampai kepada tujuan tersebut tidak ada
transportasi udara, dan apabila pengangkutan tersebut dialihkan
kepada pengangkutan udara Niaga berjadwal lain, penumpang
dibebaskan biaya tambahan termasuk peningkatan kelas pelayanan
dan apabila terjadi penurunan kelas pelayanan maka penumpang
wajib diberikan pengembalian sisa tiket yang dibelinya (yang
harganya lebih mahal dari tiket yang pesawat yang pertama)”
PT. Garuda Indonesia juga memberlakukan kebijakan pembebasan
biaya bagi para penumpang yang akan melakukan pembatalan
penerbangan, dan pengembalian tiket penerbangan akibat insiden tersebut,
untuk mempercepat normalnya jadwal penerbangan, PT. Garuda Indonesia
akan menyiapkan pesawat yang lebih besar dan penerbangan tambahan
untuk mengangkut penumpang yang belum dapat berangkat.
36
Kompas.com
BAB IV
KONSEKUENSI YURIDIS PEMBATALAN KEBERANGKATAN
PENERBANGAN OLEH PT. GARUDA INDONESIA DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG
PENERBANGAN JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Faktor-faktor Pembatalan Keberangkatan Penumpang Angkutan Udara
Yang Dilakukan Oleh PT. Garuda Indonesia.
Faktor-faktor yang sering menghambat batalnya suatu
pemberangkatan maskapai ialah faktor cuaca, faktor bencana alam
sampai faktor kesalahan manusia atau human error, seperti hasil dari
penelitian penulis diatas, bahwa terdapat faktor bencana alam seperti
letusan Gunung Raung yang membahayakan mesin pesawat sehingga
berbahaya pula pada keselamatan penumpang, faktor alam tersebut
disebut juga dengan faktor overmacht atau forece majeure atau faktor
keadaan memaksa.
Berdasarkan Pasal 1245 KUHperdata
“si berpiutang atau seseorang yang mempunyai kewajiban tidaklah harus
memberikan ganti kerugian ataupun bunga apabila kewajibannya tersebut
tidak dapat di tunaikan karena suatu keadaan memaksa atau suatu
kejadian tidak disengaja”
Letusan Gunung Raung adalah faktor alam yang bisa terjadi kapan
saja sehingga terpaksa keberangkatan pesawat Garuda Indonesia yang
rutenya melewati lintasan Gunung Raung harus tertunda atau dibatalkan
atau di pindahkan ke rute lain yang tidak melewati rute berbahaya
tersebut.
Selain faktor alam yang mengakibatkan terpaksanya penerbangan
harus dibatalkan, ada juga faktor lain seperti faktor kesalahan manusia
atau human error seperti terbakarnnya di terminal 2 E Bandara
Internasional Soekarno-Hatta yang mengakibatkan penumpukan
penumpang karena terhambat oleh kebakaran tersebut, selain
menumpuknya penumpang pihak bandara dengan pilot tidak dapat
berkomunikasi sehingga mereka tidak tahu posisi pesawat yang sedang
terbang berada di area mana dan parkir dimana.
Mengingat Indonesia adalah Negara yang berada dalam suhu
tropis, banyak terdapat hutan-hutan ditambah akhir-akhir sekarang ini
musim kemarau panjang sehingga hutan banyak yang terbakar,
banyaknya hutan yang terbakar menggangu dan menghambat
pengoperasian pesawat terbang, faktor penghambat pengoperasian itu
sendiri yaitu dengan terganggunya jarak pandang atau visibility yang
diakibatkan dari kumpulan asap tebal dan partikel asap tebal itu dapat
merusak mesin pesawat, karena mesin pesawat tidak mempunyai
perlindungan sehingga asap tebal itu dapat dengan mudah masuk
kedalam mesin pesawat dan membuat pesawat menjadi rusak bahkan
mati, akibatnya pengoperasian pesawat menjadi terhambat dan jadwal
penerbangan menjadi tertunda bahkan batal37
.
37
Wordpress.com
Peristiwa kebakaran hutan, sudah pasti menghambat pengoperasian
pesawat udara, hal ini terjadi karena dapat mengurangi visibility,
misalnya seperti kebakaran hutan di Provinsi Riau dan palangkaraya,
lalulintas udara pasti terhambat karena jarak pandang yang berkurang
bahkan bisa sampai Nol (0) akibat asap yang tebal.
B. Konsekuensi Yurudis dari Pembatalan Penerbangan Angkutan Udara
Oleh PT. Garuda Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 Tentang Penerbangan jo. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7
Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
Pada dasarnya pengangutan adalah sebagai suatu perjanjian yang
selalu didahului oleh kesepakatan antara pihak pengangkut dan pihak
penumpang atau pengirim, kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi hak
dan kewajiban, jadi jika hak penumpang tidak dapat dipenuhi ataupun
kewajibannya tidak dapat dilaksanakan maka hal tersebut sudah termasuk
wanprestasi atau inkar janji.
Pengangkutan seperti yang telah dikemukakan diatas adalah
merupakan suatu perjanjian maka konsekuensi yuridis yang harus
dilaksanakan jika perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan adalah
pengangkut bertanggungjawab untuk memberinya ganti kerugian atas
kewajiban yang telah diberikan oleh salah satu pihak atau penumpang.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Perhubungan No 77
Tahun 2011 tentang Tanggungjawab Pengangkutan menyatakan :
“tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan
angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh
penumpang dan atau pengirim barang atau pihak ketiga”
Sedangkan ganti rugi berdasarkan Pasal 1 angka 18 Peraturan
Menteri Perhubugan No 77 Tahun 2011 tentang Tanggungjawab
Pengangktan adalah :
“uang yang dibayarkan atau sebagai ganti rugi yang diderita”
Sama halnya dengan PERMENHUB No 77 Tahun 2011 tentang
Tanggungjawab Pengangkutan, berdasarkan Undang-Undang No 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan mengemukakan konsekuensi yang
harus dijalani jika terjadinya suatu pembatalan penerbangan oleh
maskapai penerbangan adalah memberikan ganti kerugian kepada
penumpang.
Pasal 146 ayat 1 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan menyatakan :
“pengangkut bertanggungjawab atas kerugian yang diderita
karena keterlambatan pengangkutan penumpang, bagasi atau
kargo atau pos kecuali pengangkut dapat membuktikan
keterlambatan tersebut dikarenakan oleh faktor cuaca dan teknis
oprasional”
Sebuah keterlambatan keberangkatan saja sudah harus
memberikan ganti kerugian, apalagi jika pembatalan suatu
keberangkatan, selain pengembalian uang tiket pesawat pengangkut
juga harus memberikan ganti kerugian lain, hal tersebut diatur oleh
peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011.
Pasal 147 ayat 1 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan menyatakan :
“pengangkut bertanggung jawab atas ketidak terangkutnya sesuai
dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas
pesawat udara”
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatas
dengan memberikan konpensasi kepada penumpang berupa mengalihkan
kepada penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan dan atau
memberikan biaya konsumsi, akomodasi dan biaya transportasi apabila
tidak ada penerbangan lain ketempat tujuan.
Keterlambatan yang dimaksud dalam PERMENHUB No 77 Tahun
2011 tentang tanggunjawab pengangkutan menyatakan :
“Yang dimaksud dengan keterlambatan angkutan udara ialah
keterlambatan penerbangan, tidak terangkutnya penumpang
dengan alasan kapasitas pesawat udara, dan pembatalan
penerbangan”
Maskapai yang hendak melakukan pembatalan penerbangan
menurut Pasal 12 ayat 1 menyatakan :
“bahwa pengangkut wajib memberikan pemberitahuan kepada
penumpang 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan penerbangan”
Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat 1 diatas maka pengangkut wajib mengembalikan uang tiket yang
telah dibayar oleh penumpang hal tersebut diatur dalam Pasal 12 ayat 2
nya.
Pembatalan penerbangan yang dilakukan kurang dari tujuh hari
kalender sampai dengan kebernagkatan yang ditetapkan, maka berlaku
Pasal 10 huruf b dan c PERMENHUB No 77 Tahun 2011 tentang
pengangkutan yang menyatakan :
Pasal 12 ayat 3
“diberikan ganti kerugian sebesar 50 % dari Rp 300.00,- (tigaratus
ribu yaitu 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) tetapi dengan
catatan diberikan tujuan lain yang terdekat dengan tujuan yang
dibatalkanya tersebut dan pengangkut berkewajiban menyediakan
tiket pengangkutan ketujuan terdekat penumpang (re-routing) dan
menyediakan transportasi lain untuk mencapai kepada tujuan yang
ditujunya apabila untuk sampai kepada tujuan tersebut tidak ada
transportasi udara, dan apabila pengangkutan tersebut dialihkan
kepada pengangkutan udara Niaga berjadwal lain, penumpang
dibebaskan biaya tambahan termasuk peningkatan kelas pelayanan
dan apabila terjadi penurunan kelas pelayanan maka penumpang
wajib diberikan pengembalian sisa tiket yang dibelinya (yang
harganya lebih mahal dari tiket yang pesawat yang pertama)”
Pembatalan penerbangan dikarenakan ketiga faktor diatas terpaksa
harus dilakukan oleh maskapai penerbangan Garuda Indonesia karena
jika terus dipaksakan untuk terbang akan diberikan saksi, karena hal
tersebut dapat membahayakan penumpang, barang, bahkan masyarakat
lain. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang No
1 Tahun 2009 tentang Penerbangan :
“Setiap orang dialarang menerbangkan atau mengoprasikan pesawat
yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang,
barang dan atau penduduk atau mengganggu keamanan atau
ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain”
Pasal 52 ayat 2 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan :
“Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 53 ayat 1 diatas
dapat dikenakan saksi pembekuan sertifikat, dan atau pencabutan
sertifikat”.
C. Upaya Yang Dapat Dilakukan Oleh Konsumen Terhadap Maskapai PT.
Garuda Indonesia Akibat Pembatalan Keberangkatan.
Pada dasarnya pengangkutan niaga adalah suatu perjanjian yang di
dahului oleh kesepakatan pengangkutan antara pengangkut dengan
penumpang atau penggunga jasa angkutan.
Perjanjian tersebut dapat dibuktikan dengan surat pengangkutan
atau tiket, tiket atau surat angkutan adalah suatu bukti tertulis bahwa
telah terjadinya suatu perjanjian pengangkutan antara pihak pengangkut
dengan pihak pengguna jasa angkutan tersebut atau penumpang, dengan
demikian apabila pengangkutan tersebut merupakan suatu perjanjian
maka keduabelah pihak harus memenuhi kewajibannya serta berhak
mendapatkan haknya dengan bahasa hukumnya adalah melaksanakan
prestasinya.
Prestasi berdasarkan Pasal pertama dari Buku III KUHperdata
memberikan pemahaman bahwa prestasi adalah memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu, dan atau tidak berbuat sesuatu38
. Prestasi jika dilihat
38
R Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung, 1977, hlm 15
dari kacamata pengguna jasa atau penumpang adalah membayar
sejumlah uang yang sudah disepakati oleh pengangkut dan penumpang,
sedangkan prestasi jika dilihat dari kacamata pengangkut adalah
mengangkut barang atau penumpang dengan selamat sampai tujuan
tanpa adanya hambatan.
Jika pengangkut tidak dapat melaksanakan kewajibannya
sebagaimana yang diperjanjikan, maka pengangkut wajib bertanggung
jawab atas tidak terpenuhinya hak-hak penumpang.
Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, jika pengangkut tidak dapat mengangkut (batal) maka
pengangkut wajib mengembalikan sejumlah uang yang sudah disepakati
dari awal (uang tiket), permintaan pengembalian tersebut dapat
dibuktikan dengan adanya surat pengangkutan atau tiket. Maka denagan
demikian upaya yang dapat dilakukan oleh penumpang terhadap
pembatalan keberangkatannya adalah meminta pengembalian sejumlah
uang pengangkutan yang dibuktikan dengan tiket pesawat.
Dalam hal pengangkut tidak mau mengembalikan uang tersebut
maka upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen adalah menuntut ganti
kerugian kepada pihak maskapai yang telah membatalkan
pemberangkatannya dengan mengajukan alat bukti tiket atau surat
muatan udara kepada pihak maskapai, hal tersebut sejalan dengan Pasal
21 ayat 1 huruf a PERMENHUB No 77 Tahun 2011 tentang
Tanggungjawab Pengangkutan.
Menurut pandangan dari Pasal 4 Undang-Undang No 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang hak-hak
konsumen, dari hak-hak tersebut diantaranya terdapat hak advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut39
.
Mengingat bahwa produsen (pengangkut) berada dalam kedudukan
yang lebih kuat baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan
dibandingkan dengan konsumen maka konsumen (penumpang) perlu
mendapatkan upaya advokasi, perlindungan serta penyelesaian sengketa
secara patut, maka langkah yang dapat ditempuh oleh penumpang
terhadap pembatalan pemberangkatan apabila pelayanan jasa
penerbangan tidak dapat melaksanakan ganti rugi adalah upaya
advokasi.
Sengketa dalam konsumen jasa penerbangan dapat bersumber dari
dua hal yaitu pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya
sebagaimana diatur dalam undang-undang yang artinya pelaku usaha
pelayanan jasa penerbangan mengabaikan ketentuan peraturan
perundang-undangan seperti Undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan dan PERMENHUB No 77 Tahun 2011 tentang
tanggungjawab pengangkutan yang mengatur tentang kewajibannya
sebagai penyedia jasa penerbangan, dan sengketa konsumen juga dapat
39
Janus Sidabalok, Op.Cit, hlm 32
bersumber dari pelaku usaha penyedia jasa penerbangan tidak mentaati
isi perjanjian.
Apabila pelaku usaha menolak dan atau memberikan tanggapan
dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen berdasarkan
Pasal 23 Undang-Undang perlindungan konsumen menyatakan :
“dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen
atau mengajukan kebadan peradilan ditempat kedudukan
konsumen”
Berdasarkan Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen menyatakan :
“setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
(penyedia jasa penerbangan) melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum”
Selain melalui gugatan kepengadilan sebagai upaya penyelesaian
sengketa konsumen, konsumen jasa penerbangan juga dapat melakukan
mediasi seperti yang dinyatakan dalam Pasal 47 Undang-undang
perlindungan konsumen yang menyatakan :
“penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk
dan besarnya suatu gantirugi”
Peyelesaian sengketa melalui mediasi dapat melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha,
jika kita merujuk pada Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, forum yang dimaksud
adalah forum negosiasi, konsultasi, konsiliasi, mediasi, penilaian ahli
dan arbitrase40
.
40
Ibid, hlm 29
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Faktor-faktor Pembatalan Keberangkatan Penumpang Angkutan Udara
Faktor-faktor yang sering menghambat sehingga terjadinya pembatalan
suatu keberangkatan pesawat udara adalah faktor cuaca, faktor bencana
alam dan faktor kesalahan manusia atau Human Error.
Faktor cuaca, faktor bencana, dan faktor kesalahan manusia atau Human
Error adalah faktor yang sering di alami oleh maskapai penerbangan
untuk membatalkan suatu keberangkatannya, karena jika terus dipaksakan
untuk melakukan penerbangan akan berakibat fatal karena dapat
membahayakan pilot, penumpang bahkan orang lain.
Baru-baru ini faktor bencana alam telah membatalkan penerbangan
maskapai Garuda Indonesia yang diakibatkan oleh letusan Gunung Raung
sehingga abu vulkaniknya dapat merusak mesin pesawat sehingga dapat
membahayakan penumpang, selain faktor letusan gunung raung akhir-
akhir ini juga terjadi karena Human Error atau kesalahan manusia yaitu
dengan terjadinya kebakaran di termina 2 E Bandara Soekarno-Hatta, dan
yang terakhir adalah kebakaran hutan di Pekan Baru-Riau yang
mengakibatkan terbatasnya jarak pandang pilot.
2. Konsekuensi Yurudis dari Pembatalan Penerbangan Angkutan Udara Oleh
PT. Garuda Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
Tentang Penerbangan jo. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 Tahun
2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
Pasal 12 ayat 1 menyatakan bahwa pengangkut wajib memberikan
pemberitahuan kepada penumpang 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan
penerbangan.
Pasal 12 ayat 3 menyatakan diberikan ganti kerugian sebesar 50 % dari Rp
300.00,- (tigaratus ribu yaitu 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) tetapi
dengan catatan diberikan tujuan lain yang terdekat dengan tujuan yang
dibatalkanya tersebut dan pengangkut berkewajiban menyediakan tiket
pengangkutan ketujuan terdekat penumpang (re-routing) dan menyediakan
transportasi lain untuk mencapai kepada tujuan yang ditujunya apabila untuk
sampai kepada tujuan tersebut tidak ada transportasi udara, dan apabila
pengangkutan tersebut dialihkan kepada pengangkutan udara Niaga berjadwal
lain, penumpang dibebaskan biaya tambahan termasuk peningkatan kelas
pelayanan dan apabila terjadi penurunan kelas pelayanan maka penumpang
wajib diberikan pengembalian sisa tiket yang dibelinya (yang harganya lebih
mahal dari tiket yang pesawat yang pertama).
3. Upaya Yang Dapat Dilakukan Oleh Konsumen Terhadap Maskapai PT.
Garuda Indonesia Akibat Pembatalan Keberangkatan.
Upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen jasa penerbangan PT.Garuda
adalah meminta kembali uang tiket jika terjadinya suatu pembatalan
penerbangan Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, jika pengangkut tidak dapat mengangkut (batal) maka
pengangkut wajib mengembalikan sejumlah uang yang sudah disepakati dari
awal (uang tiket).
Apabila produsen jasa penerbangan tidak dapat mengembalikan pengembalian
uang tiket tersebut maka upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen adalah
dapat menggunakan advokasi seperti yang diatur dalam Pasal 4 Undang-
Undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen untuk melakukan
mediasi dan jika mediasi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan upaya yang
dapat dilakukan adalah melakukan gugatan ke pengadilan di tempat
domisilinya seperti yang diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen
Sedangkan Berdasarkan Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen menyatakan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat
pelaku usaha (penyedia jasa penerbangan) melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum
Pasal 47 Undang-undang perlindungan konsumen yang menyatakan
penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya suatu gantirugi.
B. Saran
1. Untuk terpenuhinya hak-hak penumpang sebagai konsumen jasa
penerbangan PT. Garuda Indonesia, maka kita sebagai penumpang perlu
kiranya mengetahui kewajiban-kewajiban penumpang dan pengangkut
terutama hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diatur oleh Undang-
Undang No 1 Tahun 2009 tentang Pernerbangan dan PERMENHUB NO
77 Tahun 2011 tentang Pertanggung jawaban pengangkut, yang dimana
dalam aturan tersebut mengatur beberapa tanggung jwab pengangkut
ketika dalam perjanjian pengangkut tidak dapat melaksanakan
kewajibannya (pengangkutan).
2. Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Pengangkutan dan
PERMENHUB No 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut
memperbolehkan kepada para pihak untuk membuat perjanjian
pengangkutan yang berkaitan dengan biaya ganti rugi yang di derita oleh
penumpang, karena ganti rugi yang diatur dalam Undang-Undang dan
PERMENHUB tersebut belum memenuhi rasa keadilan, karena bagi
mereka yang keberangkatannya dibatalkan hanya mendapatkan
pengembalian uang tiket saja sedangkan yang di derita oleh penumpang
bukan hanya dari segi mateil saja akan tetapi dari segi imateril, dengan
demikian alangkah baiknya penumpang dengan pengangkut melakukan
perjanjian khusus secara tertulis.
3. Ketika terjadi sengketa ganti rugi yang di alami oleh penumpang dan
pengangkut, alangkah baiknya para pihak menyelesaikanya dengan secara
musyawarah atau dengan cara mediasi, karena jika melalui gugatan ke
Daftar Pustaka
A. Buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013.
Ahmad Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004.
Ahmad Miru, Hukum Perlindungan Konsumen,Rajawali Pers, Jakarta, 2006.
Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Undang-
Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Janus Sida Balok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung 2014.
Johanes Gunawan, Jurnal Hukum Bisnis Voleme 8, Yayasan Pengembangan
Bisnis, Jakarta, 1999.
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2007.
Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001.
Otje Salman dan Anthon F Susanto, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Rafika Aditama, Bandung,
2004.
Peter R.Senn dalam Bambang Sanggono, Metode Penelitian Hukum, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003.
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung, 2006.
R Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung, 1977.
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindakan Korporasi, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2002
B. Undang-Undang
UUD1945, Amandemen pertama sampai keempat, Penerbit Fokusmedia,
Bandung, 2004.
Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Undang-Undang Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan, Dihimpun oleh Mahkamah Agung RI, Jakarta,
1993
C. Sumber Lain
Wagiman, 2006, Refleksi dan Implemantasi Hukum Udara: Studi Kasus
Pesawat Adam Air, (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis Vol 25)
E. Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan
Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia( Jakarta:
Jurnal Hukum Bisnis Vol 25), 2006.
http://id.wikipedia.org/wiki/Penerbangan_komersial
Metrotvnews.com
Kompas.com
Wordpress.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Penerbangan_umum
KONSEKUENSI YURIDIS PEMBATALAN
KEBERANGKATAN PENERBANGAN OLEH PT.
GARUDA INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009
TENTANG PENERBANGAN JO. UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN