konsekuensi hukum gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka

171
TESIS KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN SAMUEL CIBRO NIM 1392461026 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: phamcong

Post on 31-Dec-2016

252 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

TESIS

KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA

UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN

PEMUKIMAN

SAMUEL CIBRO

NIM 1392461026

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015

ii

KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA

UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN

DAN PEMUKIMAN

Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk meperoleh Gelar Magister pada Program Studi Kenotariatan Pascasarjana Universitas Udayana

SAMUEL CIBRO

NIM: 1392461026

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015

iii

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 16 APRIL 2015

Pembimbing I, Pembimbing II

Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS Dr. I Gede Artha, SH., MH.,

NIP. 19461231 197403 1 025 NIP. 19580127 198503 1 002

Mengetahui :

Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

Ketua,

Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. NIP. 19640402 198911 2 001

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590215 198510 2 001

iv

PERNYATAAN PLAGIAT

Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa :

Nama : Samuel Cibro

NIM : 1392461026

Program Studi : Kenotariatan

Judul Tesis : Konsekuensi Hukum Gugatan Perjanjian Sewa Rumah tanpa

Jangka Waktu setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Pemukiman.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 16 Maret 2015 Yang membuat pernyataan,

Samuel Cibro

v

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang

Hyang Widhi Wasa, dengan selesainya tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah

”Konsekuensi Hukum Gugatan Perjanjian Sewa Rumah tanpa Jangka

Waktu setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Pemukiman.” Tesis ini disusun untuk memenuhi kriteria sebagai salah satu

syarat meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas

Udayana.

Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan

tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada

waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima

kasih kepada Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS, selaku pembimbing

pertama dan Dr. I Gede Artha, SH., MH., selaku pembimbing kedua, yang telah

memberikan bimbingan dan ide kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis

ini.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada

Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana, kepada

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka

Sudewi, Sp. S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi

mahasiswi Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana,

kepada Prof. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., atas izin yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas

Udayana, Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum, atas kesempatan dan

dukungan yang telah diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan

pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, kepada panitia penguji

tesis, Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH, Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,

vi

M.Hum, Dr. I Made Udiana, SH., MH, yang telah memberikan masukan dan

saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu

dosen pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana

atas ilmu yang telah diberikan, rekan-rekan mahasiswa serta Bapak dan Ibu staf

berserta karyawan Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah banyak

membantu kelancaran proses administrasi.

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada orang tua, istri dan ana-anak

saya tercinta serta teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu, atas dukungan dan sarannya untuk menyelesaikan tesis ini. Akhir kata

penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

berkepentingan.

Denpasar 16 Maret 2015

Penulis

vii

ABSTRAK

KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH

TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN

Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok dalam suatu perjanjian tidak ada, maka perjanjian tersebut tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, oleh karenanya perjanjian ini batal demi hukum.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui (1) kekuatan hukum perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu; dan (2) konsekuensi hukum gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.

Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum terdiri dari: teknik telaahan kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan pada teori-teori, konsep dan peraturan perundang-undangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu tidak memiliki kekuatan hukum, karena perjanjian sewa-menyewa rumah haruslah diperbuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa-menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum; dan (2) gugatan perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan gugatan dalam pokok perkara yang sama. Kanta Kunci : Sewa-Menyewa, Batas Waktu.

viii

ABSTRACT

LEGAL CONSEQUENCES IN CLAIMS OF TIMELESS HOUSE RENTAL AGREEMENT AFTER THE ENACTMENT OF LAW NUMBER 4 1992 JO

LAW NUMBER 1 YEAR 2011 ON HOUSING AND SETTLEMENTS

Timeless rental agreement does not meet the essential part of a tenancy agreement that regulated in in Article 1548 of the Civil Code that is over a certain period. When the most fundamental element in an agreement does not exist, then the agreement is not binding and has no legal effect, therefore this agreement should be cencelled by the law.

The objective of this research is to reveal (1) legal force of timeless house rental agreement; and (2) legal consequences in claims of timeless house rental agreement after the enactment ofof Law Number 4 year 1992 jo Law Number 1 year 2011 on housing and settlements.

This type of research is a normative legal research. The research approach consists of statute approach, conceptual approach and case approach. Sources of legal materials in this study consisted of: primary, secondary and tertiary. The analysis technique used in this research is the juridical analysis, which is the analysis based on theories, concepts and legislation.

The research result indicated that (1) timeless house rental agreement has no legal force, because the house rental agreement must be done with a certain time limit and all forms of house rental agreement that have been done without a certain time limit is null and void; and (2) claims of timeless house rental agreement after the enactment ofof Law Number 4 year 1992 jo Law Number 1 year 2011 on housing and settlements which has a legally enforceable can not reclaims in the same principal case. Keywords: Rental, Time Limit.

ix

RINGKASAN

Tesis ini menganalisis konsekuensi hukum gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.

Bab I, menguraikan latar belakang masalah mengenai sengketa sewa-menyewa tanah dan bangunan yang dilakukan secara tidak tertulis dan tanpa batas waktu (turun-temurun). Sewa-menyewa tanah dan bangunan tanpa batas waktu tersebut membuat salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tersebut. Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri Sidoarjo yang memutuskan dengan Putusan Perkara Perdata Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda, kemudian banding di Pengadilan Tinggi Surabaya yang memutuskan dengan Putusan Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY. Perkara ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir oleh Mahkamah Agung dengan Penetapan Nomor: 2313 K/Pdt/2002. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.

Bab II, menguraikan tentang tinjauan umum sewa menyewa. Bab ini terdiri dari Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa-Menyewa, yang dijabarkan mengenai Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Sewa-Menyewa; Subjek dan Objek Perjanjian Sewa-Menyewa; Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa; Bentuk Perjanjian Sewa-Menyewa; dan Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa.

Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah yang pertama, mengenai kekuatan hukum perjanjian sewa-menyewa tanpa jangka waktu. Bab ini dibagi menjadi 5 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama mengenai Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa. Sub Bab kedua tentang Berakhir Sesuai dengan Batas Waktu Tertentu yang Sudah ditentukan. Sub Bab ketiga membahas Batas Akhir Sewa-Menyewa tidak Ditentukan Waktunya. Sub Bab keempat tentang Validitas Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu. Sub Bab kelima membahas Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu.

Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah kedua terkait dengan Analisis Kasus Gugatan Perjanjian Sewa Rumah Tanpa Jangka Waktu. Bab ini dibagi menjadi 2 Sub Bab yang terdiri dari Sub Bab pertama tentang Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar (Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR; Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor: 205/Pdt/2001/PT. DPS; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002) yang meliputi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:07/Pdt.G./2001/PN.GIR.134 Para Pihak, Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 205/Pdt/2001/PT.Dps, Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002 dan Pembahasan Kasus Hukum. Sub Bab kedua mengenai Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Sidoarjo Jawa Timur (Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda; Putusan

x

Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001) yang meliputi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda, Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 dan Pembahasan Kasus Hukum.

Bab V merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang simpulan dan saran dari penulis. Penulis menyimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok dalam suatu perjanjian sewa menyewa yaitu unsur batas waktu tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. Perjanjian tersebut tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka perjanjian ini batal demi hukum; dan (2) Kasus sengketa sewa-menyewa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 dapat diadili oleh pengadilan mengingat kedua kasus sewa-menyewa tersebut belum pernah diajukan ke pengadilan. Gugatan perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan gugatan dalam pokok perkara yang sama. Sementara itu saran yang dapat disampaikan untuk melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah sebaiknya dilakukan secara tertulis dan dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Jangan sampai membuat perjanjian tanpa menetapkan batas waktu untuk menghindari timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan nantinya. Disarankan hakim cermat dalam mengadili suatu perkara perdata dan hendaknya didasarkan atas hukum atau peraturan dalam beracara, melandasi berbagai pertimbangan dan putusan dengan keadilan, selain berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku tersebut, hakim harus mendasarkan putusan pada ketentuan teori mengenai obyek sengketa khususnya, sehingga unsur-unsur subyek, obyek, alasan gugatan yang sama dapat dihindari. Karena bagaimanapun juga sengketa perdata tersebut pernah diperiksa, diputus, dan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

PRASYARAT GELAR ............................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ......................................................... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... v

ABSTRAK ................................................................................................... vii

ABSTRACT .................................................................................................. viii

RINGKASAN .............................................................................................. ix

DAFTAR ISI.................................................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 13

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 13

1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................... 13

1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 14

1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 14

1.4.1 Manfaat Teoritis ......................................................................... 14

1.4.2 Manfaat Praktis .......................................................................... 15

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran ....................................... 15

1.5.1 Landasan Teoritis ....................................................................... 15

1.5.1.1 Konsep Kepastian Hukum.............................................. 16

1.5.1.2 Teori Hukum Perjanjian ................................................. 23

1.5.1.3 Teori Kekuasaan Kehakiman ......................................... 29

1.5.1.4 Teori Penafsiran ............................................................. 34

1.5.1.5 Yurisprudensi ................................................................. 42

1.5.1.6 Asas-Asas dalam Perjanjian ........................................... 43

1.5.1.7 Konsep Perjanjian Sewa-Menyewa................................ 47

xii

1.5.2 Kerangka Pemikiran ................................................................... 56

1.6 Metode Penelitian................................................................................ 57

1.6.1 Jenis Penelitian ........................................................................... 57

1.6.2 Jenis Pendekatan ........................................................................ 58

1.6.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................... 59

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ......................................... 60

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum .................................................. 61

BAB II TINJAUAN UMUM SEWA MENYEWA RUMAH .................. 62

2.1 Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa-Menyewa .......................... 62

2.1.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Sewa-Menyewa ............. 62

2.1.2 Subjek dan Objek Perjanjian Sewa-Menyewa ........................... 64

2.1.3 Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa .... 65

2.1.4 Bentuk Perjanjian Sewa-Menyewa ............................................ 67

2.1.5 Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa................................... 71

BAB III KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA

TANPA JANGKA WAKTU ............................................................ 73

3.1 Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa ..................................... 73

3.2 Berakhir Sesuai dengan Batas Waktu Tertentu yang Sudah

Ditentukan ........................................................................................... 75

3.3 Batas Akhir Sewa-Menyewa tidak Ditentukan Waktunya.................. 76

3.4 Validitas Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu ....... 77

3.5 Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas

Waktu .................................................................................................. 89

BAB IV ANALISIS KASUS GUGATAN PERJAJIAN SEWA RUMAH

TANPA JANGKA WAKTU ........................................................ 93

4.1 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di

Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar (Putusan

Pengadilan Negeri Gianyar Nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR; Putusan

xiii

Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor: 205/Pdt/2001/PT. DPS; Putusan

Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002) .................................... 93

4.1.1 Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:07/Pdt.G./2001/

PN.GIR.134 Para Pihak ............................................................. 95

4.1.2 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 205/Pdt/2001/PT.Dps 105

4.1.3 Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002 ..................... 107

4.1.4 Pembahasan Kasus Hukum ........................................................ 109

4.2 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di

Sidoarjo Jawa Timur (Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor:

46/Pdt.G./2000/PN.Sda; Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor:

242/Pdt/2001/PT.SBY; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/

Pdt/2001) ............................................................................................. 113

4.2.1 Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/

PN.Sda ........................................................................................ 114

4.2.2 Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/

PT.SBY ...................................................................................... 126

4.2.3 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 .............. 128

4.2.4 Pembahasan Kasus Hukum ........................................................ 140

BAB V PENUTUP ....................................................................................... 149

5.1 Simpulan ............................................................................................. 149

5.2 Saran .................................................................................................... 150

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 151

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran .................................................................... 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari perbuatan hukum.

Perbuatan hukum yaitu suatu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum karena

akibat itu boleh dianggap menjadi kehendak dari pihak yang melakukan perbuatan

itu dimana unsur kehendak merupakan elemen utama dari perbuatan tersebut.

Perbuatan hukum ini dapat dilakukan oleh satu orang saja seperti misalnya

perbuatan KTP, SIM dan Akte Kelahiran, namun juga dapat dilakukan oleh 2

(dua) orang atau lebih. Perbuatan hukum yang dilakukan 2 (dua) orang atau lebih

ini akan menimbulkan hubungan hukum. Hubungan hukum adalah hubungan

antara 2 subjek hukum atau lebih mengenai hak dan kewajiban subjek hukum

yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban subjek hukum yang lain. Seperti

misalnya perjanjian sewa menyewa rumah, maka hubungan hukum di atas

mengakibatkan munculnya hak dan kewajiban kedua belah pihak yang saling

berhadap-hadapan.

Perbuatan hukum sewa menyewa rumah didasarkan adanya perjanjian

antara pihak yang menyewakan dengan pihak yang menyewa rumah. Perjanjian

adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana

dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1 Perjanjian harus

memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1320

1Wirjono Prodjodikoro, R., 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar

Maju, Bandung, hal. 4.

2

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), yaitu

sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu

perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Dengan terpenuhinya

empat syarat sahnya perjanjian, maka secara hukum adalah mengikat bagi para

pihak yang membuatnya. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang

melahirkan perikatan. Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian,

tetapi ada juga perikatan yang lahir dari undang-undang.2

Buku II KUH Perdata mengatur tentang kebendaan (kecuali mengenai

tanah). Benda diantaranya dibedakan ke dalam benda bergerak dan benda tidak

bergerak. Setiap benda dapat diberikan hak status keperdataan (hak kebendaan).

Hak kebendaan adalah hak yang melekat pada kebendaan tersebut ke mana pun

kebendaan tersebut beralih, pemegang hak memiliki hak atas kebendaan tersebut.3

Ada beberapa jenis hak keperdataan yang dapat dibebankan atas benda yaitu hak

milik, hak sewa, hak pakai, hak gadai, hak tanggungan dan lain sebagainya.

Bentuk hak-hak atas tanah dituangkan dalam bentuk praktek ekonomi atau

kegiatan bisnis, dalam arti kata tanah dalam kegiatan ekonomi dapat diperoleh

dengan mengadakan perjanjian. KUHPerdata mengenal berbagai perjanjian, ada

13 jenis perjanjian antara lain : (1) Perjanjian timbal balik; (2) Perjanjian cuma-

cuma; (3) Perjanjian atas beban; (4) Perjanjian bernama; (5) Perjanjian obligatoir;

(6) Perjanjian kebendaan; (7) Perjanjian konsensual; (8) Perjanjian riil; (9)

Perjanjian liberatori; (10) Perjanjian pembuktian; (11) Perjanjian untung-

2Subekti, R., 1979, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 1. 3Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang

Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 229.

3

untungan; (12) Perjanjian publik; (13) Perjanjian campuran.4 Beberapa contoh

dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari antara lain seperti:

jual-beli, sewa- menyewa, tukar menukar, pinjam-meminjam, dan lain-lain.

Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah “Suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih.” Perjanjian tersebut mengikat para pihak secara hukum, untuk

pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian

memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk

memperjelas hubungan hukum.5

Salah satu cara mendapatkan hak atas tanah adalah dengan melakukan

perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Buku III KUH

Perdata tentang Perikatan. Pasal 1233 KUH Perdata menentukan, “Tiap-tiap

perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena Undang-Undang”.

Perikatan bersumber perjanjian dapat dibagi atas perjanjian pada umumnya dan

perjanjian-perjanjian khusus.6 Perjanjian khusus, diantaranya adalah perjanjian

sewamenyewa. Berdasarkan Pasal 1548 KUH Perdata bahwa Sewa-menyewa

adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk

memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu

tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut

4Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan,

Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 66. 5I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Ketut Artadi, 2010, Implementasi

Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar, hal. 27.

6Djaja S. Meliala, 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa Aulia, Bandung, hal. 1.

4

terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap

maupun yang bergerak.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang

tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa adalah:

1. Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa,

2. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak.

3. Adanya objek sewa-menyewa, yaitu barang baik barang bergerak maupun

tidak bergerak.

4. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut.

5. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu.

Sewa-menyewa sebagai suatu perjanjian harus mengikuti kaidah-kaidah

hukum perjanjian. Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yang

harus dipenuhi, yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat sahnya suatu perjanjian yang kesatu (sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya) dan syarat kedua (cakap untuk membuat suatu perjanjian)

disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjek hukum yaitu orang-orang atau

pihak-pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga (objek atau suatu

hal tertentu) dan syarat keempat (sebab atau causa yang halal) disebut sebagai

5

objektif, karena menyangkut objek hukum yang diperjanjikan oleh orang-orang

atau subjek hukum yang membuat perjanjian tersebut.7

Para pihak yang telah mengikatkan diri pada apa yang dinyatakan dalam

perjanjian, juga mengikatkan diri terhadap segala ketentuan perundang-undangan,

kepatutan, dan kebiasaan seperti diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang

berbunyi: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan

tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat

perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Oleh

karena itu, faktor yang menentukan isi perjanjian adalah kesepakatan para pihak

sebagai faktor primer serta faktor-faktor lain meliputi: kepatutan, kebiasaan, dan

undang-undang.

Perjanjian sewa-menyewa ini merupakan persetujuan konsensual yang

bebas bentuknya. Boleh diperbuat dengan persetujuan lisan atau tertulis.8 Jika

sewamenyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi hukum

apabila waktu yang ditentukan sudah habis tanpa memerlukan suatu

pemberitahuan pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa-menyewa itu dibuat

hanya secara lisan, pihak yang menyewakan berhak untuk menghentikan sewa itu

setiap saat, sepanjang ia (pihak yang menyewakan) mengindahkan cara-cara dan

jangka waktu yang diperlukan memberitahukan pengakhiran sewa-menyewa

menurut kebiasaan setempat.

7Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju,

Bandung, hal.110. 8Yahya Harahap, M., 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni,

Bandung, hal. 222.

6

Berakhirnya perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara tertulis berakhir

dengan sendirinya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan para pihak,

sehingga apabila lama sewa-menyewa sudah ditentukan dalam persetujuan secara

tertulis, perjanjian sewa berakhir tepat pada saat yang telah ditetapkan (Pasal 1570

KUH Perdata). Berbeda dengan perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa

tertulis, perjanjian seperti ini tidak berakhir tepat pada waktu yang diperjanjikan.

Perjanjian tersebut berakhir setelah adanya “pemberitahuan” dari salah satu pihak

tentang kehendak mengakhiri sewa-menyewa, dengan memperhatikan jangka

waktu yang layak menurut kebiasaan setempat (Pasal 1571 KUH Perdata).

Suatu perjanjian sewa-menyewa menurut Pasal 1548 KUH Perdata harus

memiliki batas waktu tertentu. Batas waktu merupakan unsur yang esensial dalam

suatu perjanjian sewa-menyewa. Terpenuhinya unsur esensial dalam suatu

perjanjian menjamin terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak.

Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji ketentuan hukum positif tertulis

(perundang-undangan) dan ketentuan perjanjian yang diberlakukan pada peristiwa

hukum tertentu (in concreto). Pengkajian tersebut bertujuan untuk memastikan

apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum tertentu (in concreto) itu sesuai atau

tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang atau ketentuan perjanjian.9

Sewa menyewa terhadap benda tidak bergerak seperti rumah, dengan

berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Pemukiman serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghuni

Rumah oleh Bukan Pemilik, khusus mengenai perjanjian sewa menyewa rumah

9Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal.53.

7

haruslah dibuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala bentuk perjanjian

sewa menyewa rumah yang telah dibuat tanpa batas waktu adalah batal demi

hukum (nietig van rechtswege).10 Lebih lanjut Pasal 12 ayat (6) Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1992 mengatur bahwa sewa-menyewa rumah dengan perjanjian

tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum

berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 ini dinyatakan telah berakhir

dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut.

Si pemilik objek sewa-menyewa hanya menyerahkan hak pemakaian dan

pemungutan hasil dari benda tersebut, sedangkan hak milik atas benda tersebut

tetap berada di tangan yang menyewakan sebaliknya pihak penyewa wajib

memberikan uang sewa kepada pemilik benda tersebut.11 Seringkali permasalahan

hukum timbul manakala pemilik rumah bermaksud mengakhiri perjanjian karena

rumah akan dipakai sendiri. Hal ini mudah saja bila perjanjian sewa menyewa

rumah mencantumkan jangka waktu sewa menyewa. Begitu jangka waktu sewa

menyewa berakhir pemilik bisa saja langsung meminta penyewa meninggalkan

rumah yang disewanya. Dalam hal penyewa tidak bersediam meninggalkan rumah

yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis,

penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat

meminta bantuan instansi Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya

(Pasal 12 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

10Tan Kamello, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang

Didambakan, Alumni, Bandung, hal. 185. 11Wirjono Prodjodikoro, R., 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-

Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, hal. 49.

8

Pemukiman). Hal tersebut lebih sulit jika perjanjian sewa menyewa tanpa jangka

waktu

Pemilik rumah meminta rumahnya kembali dari penyewa yang tidak

bersedia meninggalkan rumahnya baik ketika jangka waktu sewa menyewa telah

berakhir ataupun bagi penyewa rumah tanpa jangka waktu, pemilik rumah dapat

melakukan gugatan melalui pengadilan negeri setempat. Proses penyelesaian

sengketa melalui pengadilan bertujuan untuk memulihkan hak seseorang yang

telah dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana seperti dalam keadaan

semula bahwa setiap orang harus mematuhi peraturan hukum perdata, supaya

peraturan hukum perdata berjalan sebagaimana mestinya.12

Proses beracara di pengadilan tentunya tidak akan lepas dari peranan dan

tugas hakim sebagai pejabat penegak hukum yang berwenang memeriksa dan

mengadili suatu sengketa. Di pengadilan sengketa yang diajukan tersebut akan

diproses dan hakim akan menjatuhkan putusannya. Putusan hakim tersebut akan

menimbulkan akibat hukum, yaitu bahwa jika kemudian muncul sengketa tentang

hubungan hukum yang telah ditetapkan dengan suatu putusan hakim di mana para

pihak terikat pada isi putusan tersebut. Kemampuan mengikat para pihak di

kemudian hari dari putusan hakim itulah yang disebut kekuasaan putusan hakim

(gezag van gewijsde).13

12Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia. PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 15. 13 Muhammad Yusuf Ibrahim, 2014, “Implementasi Asas Nebis In Idem

dalam Perkara yang telah Memiliki Kekuatan Hukum tetap yang Digugat Kembali dengan Sengketa Obyek yang Sama tetapi dengan Subyek yang Berbeda”, Jurnal Ilmiah FENOMENA, Vol. XII, No.1, hal. 1163.

9

Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan

hakim yang berkekuatan hukum yang tetap. Dengan putusan ini hubungan antara

kedua belah pihak yang bersengketa ditetapkan untuk selama-lamanya dengan

maksud supaya apabila tidak ditaati secara suka rela, dipaksakan dengan bantuan

alat-alat negara (dengan kekuatan hukum/inkracht van gewijsde).14

Setiap orang harus mematuhi adanya peraturan hukum. Namun di dalam

suatu hubungan hukum yang terjadi, ada kemungkinan pihak yang satu tidak

memenuhi kewajiban terhadap pihak yang lain, sehingga pihak yang lain tersebut

merasa dirugikan dan apa yang seharusnya menjadi haknya tidak dapat ia peroleh.

Untuk mempertahankan hak dan kewajibannya, orang harus bertindak

berdasarkan peraturan hukum yang telah ditetapkan. Apabila pihak yang

bersangkutan tidak dapat menyelesaikan sendiri tuntutannya secara damai, maka

pihak yang merasa dirugikan dapat meminta bantuan kepada hakim untuk

membantu dalam penyelesaian sengketanya. Pertimbangan hakim sangat

dibutuhkan dalam menjatuhkan sebuah putusan diharapkan dapat menjadi solusi

atas sebuah sengketa antara para pihak yang bersangkutan. Putusan hakim

diyakini mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian

hukum, di samping itu juga harus mengandung manfaat bagi para pihak yang

bersangkutan.

Pemilik rumah dalam hal bermaksud mengajukan gugatan terhadap

penyewa yang tidak mau menyerahkan rumahnya kembali, pemilik rumah atau

penggugat menghadapi kekaburan norma, yaitu Apakah penggugat akan

14Subekti, R., 1989, Hukum Acara Perdata. Binacipta, Bandung, hal. 124.

10

menggugat berdasarkan dalil ”wanprestasi” ataukah penggugat akan menggugat

berdasarkan dalil ”perbuatan melawan hukum”?. Hal ini menjadi dilema karena

jika penggugat salah menggunakan norma, maka penggugat tidak bisa menggugat

kembali.

Kekaburan norma ini terjadi berdasarkan kondisi berikut: penyewa

dikatakan telah melakukan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan

prestasi perjanjian telah lalai sehinggga terlambat dari jadwal waktu yang

ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya.

Akibat yang timbul dari wanprestasi ialah : keharusan atau kemestian bagi debitur

(penyewa) membayar ganti rugi (schade vergoeding). Atau dengan adanya

wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan

perjanjian.15 Sebab dengan tindakan penyewa dalam melaksanakan kewajiban

tidak tepat waktu atau tak layak, jelas merupakan pelanggaran hak pemilik/yang

menyewakan. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti merupakan perbuatan

melawan hukum atau onrechtmatigedaad.16

Memang hampir serupa antara onrechtmatigedaad dengan wanprestasi. Itu

sebabnya dapat dikatakan, wanprestasi adalah juga merupakan genus spesifik dari

onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang

menyatakan: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.”

15M. Yahya Harahap, 2006, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi

Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 60. 16 Ibid, hal. 61.

11

Kasus dalam penelitian ini adalah perjanjian sewa-menyewa tanah yang

tidak menetapkan batas waktu seperti dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

2313 K/Pdt/2002 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3667 K/Pdt/2001. Kedua

putusan ini akan dianalisis apakah perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu

dan putusan pengadilan atas perkara tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan

perundang-undangan dan ketentuan perjanjian.

Sengketa kasus sewa-menyewa berawal dari suatu perjanjian yang dibuat

di bawah tangan. Perjanjian tersebut mengenai urusan penggunaan tanah

selamalamanya atau dalam waktu tidak terbatas, dibuat di Desa Kedewatan,

Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar pada tahun 1971 (seribu sembilan ratus

tujuh puluh satu). Disebutkan dalam perjanjian tanah seluas 30 (tiga puluh) are

dengan harga sewa Rp. 27.000 (dua puluh tujuh ribu rupiah) untuk jangka waktu

selama-lamanya atau tidak terbatas. Sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu

tersebut membuat salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin mengakhiri

perjanjian sewa-menyewa tersebut. Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri Gianyar

yang memutuskan dengan Putusan Perkara Perdata Nomor:

07/Pdt.G./2001/PN.GIR, kemudian banding di Pengadilan Tinggi Denpasar yang

memutuskan dengan Putusan Nomor: 205/Pdt/2001/PT.DPS. Perkara ini terus

berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir dengan Putusan Mahkamah

Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002.

Kasus lainnya yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah sengketa

sewa-menyewa tanah dan bangunan yang dilakukan secara tidak tertulis dan tanpa

batas waktu (turun-temurun). Sewa-menyewa tanah dan bangunan tanpa batas

12

waktu tersebut membuat salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin mengakhiri

perjanjian sewa-menyewa tersebut. Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri

Sidoarjo yang memutuskan dengan Putusan Perkara Perdata Nomor:

46/Pdt.G./2000/PN.Sda, kemudian banding di Pengadilan Tinggi Surabaya yang

memutuskan dengan Putusan Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY. Perkara ini terus

berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir dengan Putusan Mahkamah

Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001.

Mengingat ketidakjelasan pengaturan antara wanprestasi dengan perbuatan

melawan hukum seperti yang telah diuraikan di atas, orang sering

mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan

hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.17

Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan, sebenarnya lebih tepat kalau diajukan

gugatan wanprestasi, sehingga untuk menghindari terjadinya gugatan yang nebis

in idem, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis

dengan judul ”KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJAJIAN SEWA

RUMAH TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-

UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN”.

Berdasarkan hasil penelusuran orisinalitas penelitia yang telah dilakukan

sebelumnya, tidak ditemukan hasil penelitian yang menyangkut masalah

“Konsekuensi Hukum Gugatan Sewa Rumah Tanpa Jangka Waktu Setelah

17Hukum online.com, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi, diakses pada tanggal 5 Juli 2014.

13

Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Pemukiman” sehingga tingkat orisinalitas

penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research

questions sebagai berikut:

1. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka

waktu menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?

2. Bagaimana konsekuensi hukum gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka

waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Pemukiman?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah untuk menganalisis

suatu isu atau peristiwa hukum. Setiap penelitian hukum yang dilakukan tentunya

memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian hukum ini

adalah :

1.3.1 Tujuan Umum

Berdasarkan pada pokok permasalahan yang diteliti, maka yang menjadi

tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsekuensi hukum

14

gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Pemukiman.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan hukum perjanjian sewa-

menyewa rumah tanpa jangka waktu menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis konsekuensi hukum gugatan perjajian

sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Pemukiman.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang

bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

sebagai berikut :

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan hukum dalam bidang hukum perjanjian khususnya mengenai

perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa batas waktu.

15

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para peneliti khususnya yang

sedang memperdalam tentang perjanjian sewa-menyewa.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

bagi pihak-pihak yang secara tidak langsung terkait di dalamnya, antara lain :

1. Memberikan masukan atau informasi bagi para pihak yang mengadakan

perjanjian sewa-menyewa rumah dan mensosialisasikan hasil penelitian ini

ke masyarakat umum.

2. Dapat bermanfaat bagi praktisi hukum dalam menangani perjanjian sewa

menyewa tanpa batas waktu yang sering terjadi dalam praktek.

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.5.1 Landasan Teoritis

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum

umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan lain-lain, yang akan

dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Sebagai landasan

dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsensus

yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controleur baar).18

Teori pada dasarnya adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah

menjadi kebenaran umum. Menurut Karlinger19 sebuah teori adalah seperangkat

konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan

18 Team Penulisan Buku Pedoman, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal.53.

19 Fred N. Karlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt, Rinehart, hal. 16-17.

16

sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan variabel dengan

tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan konsep adalah

suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian.

Teori berperan penting untuk menjawab rumusan masalah dan mencapai

tujuan yang diinginkan. Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Teori Hukum Perjanjian, Teori Kekuasaan Kehakiman dan Teori

Penafsiran. Sedangkan konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

Konsep Kepastian Hukum, Konsep Yurisprudensi dan Konsep Perjanjian Sewa-

Menyewa. Selain itu digunakan juga Asas-Asas dalam Perjanjian yang meliputi

Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Konsensualisme, Asas Pacta Sunt Servanda,

Asas Itikad Baik dan Asas Kepribadian.

1.5.1.1 Konsep Kepastian Hukum

Konsep kepastian hukum diawali dari pengertian hukum. Pencetusnya

adalah Gustav Radbruch. Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip oleh

Theo Huijbers :

Dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.20 Kepastian dalam Konsep Kepastian Hukum memiliki arti “ketentuan;

ketetapan” sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum

20Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Kanisius, Yogyakarta, hal. 163.

17

menjadi Kepastian Hukum, memiliki arti “perangkat hukum suatu Negara yang

mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara.”21 Mengingat

pembicaraan di sini dalam perspektif hukum, maka tema Kepastian pada

prinsipnya selalu dikaitkan dengan hukum. Oleh sebab itu, pengertian Kepastian

yang relevan untuk diambil di sini, yaitu pengertian kedua dari Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Nemun, sebelum itu, ada baiknya untuk mengetahui latar

belakang pemikiran mengenai nilai Kepastian dalam hukum terlebih dahulu.

Menurut Peter Mahmud Marzuki22 kepastian hukum mengandung dua

pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu

mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua,

berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena

dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja

yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian

hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga

adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan

hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.

Kepastian (hukum) menurut Soedikno Martokusumo, merupakan salah satu

syarat yang harus dipenuhi dalam Penegakan Hukum. Menurut Soedikno

Martokusumo, Kepastian (hukum) merupakan perlindungan yustisiabel terhadap

tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseoranag akan dapat

21Anton M. Moeliono et al., 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, hal. 652. 22Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta, hal. 158.

18

memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.23 Tema Kepastian

(hukum) sendiri, secara historis, merupakan tema yang muncul semenjak gagasan

tentang pemisahan kekuasaan.

Konsep Pemisahan Kekuasan pada dasarnya mengandung 3 hal pokok,

yakni; (1) bahwa tidak seorangpun yang diperbolehkan membentuk lebih dari satu

cabang kekuasaan; (2) bahwa lembaga kekuasaan pemerintah tidak diperbolehkan

mengendalikan atau mempengaruhi pelaksanaan dari fungsi cabang kekuasaan

lainnya; dan (3) tiadk satupun lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi dari

cabang-cabang kekuasaan lainnya.24 Dinyatakan oleh Montesquieu, bahwa dengan

adanya pemisahan kekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu di

tangan pembentuk undang-undang, sedangkan hakim (peradilan) hanya bertugas

menyuarakan ini undang-undang saja. Kondifikasi hukum ke dalam buku-buku

hukum turut menguatkan pengaruh pemikiran ini, karena para ahli hukum dewasa

itu sepaham bahwa hukum yang lengkap itu adalah hukum yang ada dalam buku-

buku hukum (undang-undang) yang telah dimodifikasi. pandangan yang

mengikuti pemikiran Monstesquieu ini, mempengaruhi tugas hakim diperadilan

pada abad 19, ketika itu, apa yang tidak pasti dalam Hukum Kebiasaan harus

dihilangkan demi Kepastian (Hukum). Pendapat ini merupakan sebuah buah aliran

Legisme yang berkembang kuat pada abad itu.25 Pendapat Montesquieu, yang

23Soedikno Mertokusumo, 1992, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),

Liberty, Yogyakarta, hal. 145. 24Wade E. C. S. and Godfrey Phillips, 1971, Constitutional Law: An

Outline of the Law and Practive of the Constitution Including Central and local Government, the citizen and the State and Administrative Law by Wade E.C. C. and G. Godfrey Phillips, Eighth Edition, Longman Limited Group, London.

25L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 391-394.

19

ditulis dalam bukunya De I’esprit des lois (The Spirirt of Laws) pada tahun 1748,

merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan kaum monarki, diman kepala

kerajaan amat menentukan sistem hukum. Peradilan pada saat itu secara nyata

menjadi pelayan monarki.26

Seorang pemikir hukum Italia Casare Beccaria pada tahun 1764, menulis

buku berjudul De delitti e delle pene, yang menerapkan gagasan Montesquieu

dalam bidang hukum pidana. Baginya, seseorang dapat dihukum jika tindakan itu

telah duiputuskan oleh legeslatif sebelumnya, dan oleh sebab itu, eksekutif dapat

menindak dan menghukum apabila terdapat seseorang yang melanggar apa yang

telah diputuskan oleh pihak legislatif. Gagasannya ini kemudian dikenal sebagai

asas nullum crimen sine lege, yang paa tujuannya memberikan perlindungan

hukum bagi setiap warga negara terhadap kesewenang-wenangan negara.27

Pemikiran Legalitas ini oleh Immanuel Kant pada tahun 1797, di dalam bukunya

“Mataphysik der Sittn (Metafisika Kesusilaan)”, mendapat tantangan yang amat

kuat. Bagi Kant, kesesuaian atau ketidaksesuaian dalam tindakan hukum yang

lahirlah tidak berarti memperoleh nilai moralnya. Jadi apa yang menurut atau

tidak menurut hukum, tidak bisa dinilai motif moralnya, karena orang pada

dasarnya tidak sanggup untuk dinilai mutlak moralitas orang lain.28

26E. Utrecth dan Moh. Saleh Djindang, 2009, Pengantar Dalam Hukum

Indonesia, Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 388. 27Machtel Boot, 2002, Nullum Crimen Sine Lege and Subjek Matter

Jurisdiction of the International Criminal Curt: Genocide, Crimes Agaist Humanity, War Crimess, Intersentia, Antwerpen, hal. 83-85; istilah lain terhadap asas ini, yang dikenal dalam Hukum Pidana di Indonesia, nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poeneli, atau asas Legalitas. Lihat dalam E. Utrecth dan Moh. Djindang, Ibid, hal. 388.

28S. P Lili Tjahjadi, Hukum Moral, hal. 47-48.

20

Persoalan Kepastian yang diungkapkan di atas, karena selalu dikaitkan

dengan hukum, memberikan konsekuensi bahwa Kepastian (Hukum) di sini selalu

mempersoalkan hubungan hukum antara warga dan Negara. Padahal sebagai

sebuah nilai, Kepastian (hukum) tidak semata-mata selalu berkaitan dengan

Negara, karena esensi dari Kepastian (hukum) adalah masalah perlindungan dari

tindakan kesewenang-wenangan. Maka itu, aktor-aktor yang mungkin melakukan

kesewenang-wenangan, tidak terbatas pada negarasaja, tetapi juga oleh

sekelompok pihak lain di luar Negara.29

Pemahaman nilai Kepastian (hukum), harus diperhatikan adalah bahwa

nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrument hukum yang positif dan

peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif. Bahkan

peranan negara itu tidak saja sebatas pada tataran itu saja, negara pun mempunyai

tanggung jawab untuk menjalankan dan menegakannya. Pemahaman semacam

inilah yang menjadi latar belakang, mengapa pengertian Kepasatian (hukum) oleh

Anton M. Moeliono dan Soedikno Mertokusumo, dirumuskan seperti di atas.

Prinsip kepastian hukum pada era sekarang menekankan pada penegakan

hukum yang berdasarkan pembuktian secara formil, artinya suatu perbuatan baru

dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis

tertentu. Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan yang tidak wajar, tercela,

melanggar kepatutan dan sebagainya dapat dianggap sebagai pelanggaran demi

tegaknya keadilan meskipun secara formal tidak ada undang-undang yang

29Dian Jati Damayanti, Dwi Febriyanti dan Lisa Ayu Dwiyanti, 2013,

“Jaminan Kepastian Hukum Terhadap Warga Negara Berdasarkan Hukum Nasional Indonesia”, Privat Law, Edisi 02, hal. 76.

21

melarangnya.30 Dilema antara penegakan hukum yang mengedepankan pada

prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan merupakan persoalan yang sudah

ada sejak lama. Keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi Negara hukum.31

Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa

Kontinental dengan konsep Negara hukum rechstaat, sedangkan rasa keadilan

lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan Anglo Saxon dengan konsep

Negara hukum the rule of law.32 Prinsip kepastian hukum di Indonesia tidak

berlaku sebagai prinsip tunggal dalam sistem hukum Indonesia. Sejak berlakunya

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

kemudian diganti oleh Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman, selain menerapkan bunyi undang-undang, hakim juga

harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyaratakat. Hal ini berarti,

selain kepastian hukum, dunia peradilan pun menekankan pada rasa keadilan.

Kesimpulan yang didapat adalah bahwa baik kepastian hukum maupun

pemenuhan rasa keadilan diakomodasi di dalam sistem hukum Indonesia.

Akomodasi atas keduanya kemudian menimbulkan dilema karena dalam praktek

keduanya tidak diperlakukan secara integratif tetapi secara alternatif.33 Akomodasi

kedua prinsip tersebut yang dalam kenyataannya sering termanifestasi menjadi

prinsip yang bertentangan menimbulkan ambiguitas orientasi dan cenderung

30Fajar Laksono, Ed., 2007, Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan

Otentik Prof. Dr. Mahfud MD, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 91. 31Mahfud M.D., Dilema Sifat Melawan Hukum: Kepastian Hukum atau

Keadilan? Artikel dalam Fajar Laksono, Ed., Ibid, hal. 89. 32Padmo Wahjono, 2006, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,

Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 71. 33Mahfud M.D, Op.Cit, hal. 89.

22

kontradiktif. Aparat penegak hukum menjadi mempunyai dalih untuk memilih

prinsip mana yang akan digunakan demi mencari kemenangan semata dan bukan

mencari kebenaran.

Permasalahan lain menurut Satjipto Rardjo adalah bahwa di Indonesia

kepastian hukum seakan menjadi cap dagang dan primadona setiap wacana

mengenai hukum dan peraturan-peraturan formil. Doktrin ini bermasalah karena

hubungan hukum dan kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Peraturan hukum

tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Hal yang sebenarnya terjadi dan

mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan tidak otomatis

menciptakan kepastian hukum.

Pengejawantahan doktrin ini secara ekstrim terdapat dalam prinsip ‘hakim

sebagai mulut undang-undang’ yang dikemukan oleh Montesquieu. Tragedi

hukum modern sebenarnya dimulai dari prinsip tersebut. Sejak hukum dituliskan,

maka dalam berhukum, orang terpaku pada pembacaan peraturan. Dengan

demikian memiliki resiko besar untuk meminggirkan keadilan, kemanfaatan, dan

segala hal ihwal yang masuk akal (reasonableness). Jika diproyeksikan kepada

tuntutan keadilan dan kemanfaatan maka kepastian hukum dapat menjadi

penghambat. Apabila kepastian hukum diikuti secara mutlak maka hukum hanya

akan berguna bagi hukum sendiri tetapi tidak untuk masyarakat.34

Ada juga konsep kepastian hukum yang lain dikemukakan oleh Maria S.W.

Sumardjono, yang menyatakan bahwa secara normatif, kepastian hukum itu

memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara

34Satjipto, Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

hal. 90.

23

operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan

peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan

konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.35 Kemudian menurut Van

Apeldoorn kepastian hukum meliputi dua hal, yakni:

1. Kepastian hukum adalah hal yang dapat ditentukan (bepaalbaarheid) dari

hukum, dalam hal-hal yang kongkrit. Pihak-pihak pencari keadilan

(yustisiabelen) ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau

hal tertentu, sebelum ia memulai dengan perkara;

2. Kepastian hukum berarti pula keamanan hukum, artinya melindungi para

pihak terhadap kewenang-wenangan hakim. Roscoe Pound juga

menambahkan bahwa yang disebut dengan kepastian hukum adalah

predictability yang artinya terukur dan dapat diperhitungkan.36

1.5.1.2 Teori Hukum Perjanjian

Teori hukum perjanjian pertama kali dicetuskan oleh John Locke yaitu

ketika John Locke menerangkan terbentuknya sebuah negara didasari adanya

perjanjian dari masyarakat yang menginginkan berdirinya negara tersebut. Dengan

demikian, tujuan berdirinya negara untuk menjamin dan melindungi milik pribadi

setiap warga negara yang mengadakan perjanjian tersebut. Selain itu kuasa dalam

perjanjian ini adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia

35Maria S.W Sumardjono, 1997, “Kepastian Hukum dalam Pendaftaran

Tanah dan Manfaatnya Bagi Bisnis Perbankan dan Properti,” Makalah disampaikan dalam Seminar Kebijaksanaan Baru di Bidang Pertanahan, Dampak dan Peluang Bagi Bisnis Properti dan Perbankan, Jakarta 6 Agustus hal. 1.

36Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, hal.134 -135.

24

mempertahankan diri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat

yang berasal dari Tuhan.

Perjanjian atau verbintenis dalam hukum perjanjian mengandung

pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua atau lebih

pihak yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan

sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi. Dari pengertian

singkat tersebut dijumpai beberapa unsur yang memberi wujud pengertian

perjanjian, antara lain: hubungan hukum (rechsbetrekking) yang menyangkut

hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih yang memberi hak pada

satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.37

1. Pengertian Perjanjian

Apabila di dengar kata perjanjian, orang langsung berpikir bahwa yang

dimaksudkan adalah suatu perjanjian tertulis dan kontrak merupakan arti yang

lebih sempit dari perjanjian, dimana kontrak dibuat secara tertulis. Perjanjian

merupakan persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak

atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam

persetujuan itu sedangkan Kontrak merupakan Perjanjian (secara tertulis) antara

dua pihak dalam perdagangan, sewa-menyewa, dan sebagainya.38 Dan bila di lihat

berbagai tulisan, baik buku, makalah atau tulisan ilmiah lainnya,kesan ini tidaklah

salah, sebab penekanan kontrak selalu dianggap sebagai medianya suatu

perjanjian yang dibuat secara tertulis.

37Rosa Agustina, Suharnoko, Hans Nieuwenhuis dan Jaap Hijma, 2012,

Hukum Perikatan, Pustaka Larasan, Denpasar, hal. Vi. 38 Departemen Pendidikan Nasional, hal. 458-592.

25

Istilah kontrak berasal dari bahasa inggris, yaitu contracts. Sedangkan

dalam bahasa Belanda dalam Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW)

menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal

ini secara jelas dapat disimak dari Buku III titel Kedua tentang “Perikatan-

perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian” yang dalam bahasa aslinya,

yaitu: “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”.

Pengertian ini didukung pendapat banyak sarjana, antara lain: Jacob Hans

Niewenhuis, Hofmann, J. Satrio, Soetojo Pramirohamidjojo dan Marthalena

Pohan,39 Mariam Darus Badrulzaman,40 Purwahid Patrik,41 dan Tirtodiningrat42

yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.

Subekti43 mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah “perjanjian atau

persetujuan” dengan “kontrak”. Menurut Subekti istilah kontrak mempunyai

pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang

tertulis. Sedangkan sarjana lain, potheir tidak memberikan pembedaan antara

kontrak dan perjanjian, namun membedakan pengertian contract dengan

convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian dimana dua

orangatau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen) atau merubah (wijzegen)

39Soetojo Prawirohamdjojo dan Mathalena Pohan, 1978, Hukum Perikatan,

Bina Ilmu, Surabaya, hal. 84. 40Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I, Alumni, Bandung, hal. 89. (Selanjutnya disingkat Badrulzaman I).

41Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum PeriKatan, Mandar Maju, Bandung, hal. 45.

42Suryodiningrat, R.M., 1995, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, hal. 72.

43Subekti, R., Op.Cit., hal. 1.

26

perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan

terlaksananya perikatan.44

Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, dalam penelitian ini

digunakan pengertian yang sama antara kontrak dengan perjanjian. Hal ini

disebabkan fokus penelitian berlandaskan pada perspektif KUH Perdata, dimana

antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang

sama dengan kontrak. Oleh karena itu dalam penelitian ini kedua istilah tersebut

akan digunakan secara bersama-sama, hal ini bukan berarti menunjukkan adanya

inkonsistensi penggunaaan istilah, namun semata-mata untuk memudahkan

pemahaman terhadap rangkaian kalimat yang disusun. Pasal 1313 BW45

memberikan rumusan tentang kontrak atau perjanjian adalah “Suatu perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih. Subekti46 memberikan definisi “perjanjian”

adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana

dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan KMRT

Tirtodiningrat47 memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum

berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan

akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.

44Soetojo Prawirohamidjojo dan Pohan, Op.Cit., hal. 89. 45Terjemahan BW dalam Bahasa Indonesia merujuk pada hasil terjemahan

Subekti dan Tjitrosudibio, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Yogyakarta.

46Subekti R., Op.Cit., hal. 45. 47Qirom Meliala, A., 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta

Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, hal. 8.

27

Menurut Setiawan48 rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas.

Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas

karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan

sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu menurut

Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu:

a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum. Yaitu perbuatan yang

bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;

b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal

1313 BW;

c. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah perbuatan hukum,

dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Menurut Neiwenhuis,49 perjanjian obligatoir (yang menciptakan perikatan)

merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri mengatur

hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Menurut Polak, suatu persetujuan

tidak lain suatu perjanjian (afspraak) yang mengakibatkan hak dan kewajiban.

Pengertian kontrak atau perjanjian yang dikemukakan para ahli tersebut

melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 KUH Perdata, sehingga secara

lengkap pengertian kontrak atau perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap

satu orang atau lebih.

48Ibid, hal. 49. 49Niewenhuis, J.H., 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan

Djasadin Saragih, Surabaya, hal. 1. (selanjutnya disingkat Niewenhuis III).

28

2. Syarat Syahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi

4 syarat, yaitu:

a. Adanya kata sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;

c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam

perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subjektif. Sedangkan syarat ketiga dan

keempat disebut syarat objektif karena mengenai objeknya suatu perjanjian.50

Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat

objektif. Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi

hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak

pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian

tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian,

maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa

Inggris dikatakan bahwa yang demikian itu null and void.

Dalam hal syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya bukan batal

demi hukum, melainkan salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya

perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak

yang tidak cakap atau pihak yang dibuat itu mengikat juga, selama tidak

50Hasanudin Rahman, 2003, Contract Drafting, Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 8.

29

dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan

tadi.51

1.5.1.3 Teori Kekuasaan Kehakiman

Teori kekuasaan kehakiman pencetusnya adalah Montesquieu yang

membagi kekuasaan menjadi 3 (tiga) yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Legislatif berkembang menjadi kekuasaan parlemen (di Indonesia Dewan

Perwakilan Rakyat), eksekutif adalah kekuasaan pemerintahan (di Indonesia

Presiden dan para pembantunya) dan yudikatif menjelma menjadi kekuasaan

kehakiman (di Indonesia Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya,

Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya).

1. Kekuasaan Kehakiman dalam Negara Hukum

Suatu Negara disebut sebagai negara hukum yang demokratis bilamana

memiliki Kekuasaan kehakiman yang tidak saja independen tetapi juga memiliki

akuntabilitas sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh

masyarakat dan menjadi kekuasaaan kehakiman yang berwibawa.52 Untuk

mewujudkan, memastikan dan menjamin adanya kekuasaan kehakiman yang

independen dan akuntabel maka diperlukan mekanisme pengawasan yang bersifat

internal dan eksternal di dalam sistem kekuasaan kehakiman dimaksud.

Pengawasan internal dan eksternal tersebut seyogianya menjadi komplemen satu

dan lainnya, terintegrasi, dan sinergis sehingga dapat mewujudkan tugas dan

fungsi dari kekuasaan kehakiman.

51 Ibid. 52 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit.

30

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

dikemukakan dengan sangat eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum. Bila

negara hukum dikaitkan dengan teori kedaulatan hukum, maka supremasi dari

suatu negara tidak terletak pada negara itu tetapi hukum. Kedaulatan hukum

menempatkan negara harus tunduk dihadapannya hukum, kedaulatan negara

tunduk dan mengabdi pada kedaulatan hukum karena hukum yang akan mengatur

orde ketertiban masyarakat dan juga mengatur hubungan antara masyarakat dan

negara. Pada konteks itu, kekuasaan politik yang dimiliki oleh otoritas negara juga

harus tunduk dihadapan kedaulatan hukum.

Konstitusi Indonesia juga menyatakan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat

(2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan

dilaksanakan melalui Undang-Undang Dasar. Bilamana kedaulatan hukum

tersebut di atas diletakkan dan berpijak pada kedaulatan rakyat, maka kedaulatan

hukum bukanlah ditujukan semata-mata untuk kepentingan hukum itu sendiri,

tetapi justru harus ditujukan dan berpihak bagi kepentingan masyarakat.

Keberadaan kekuasaan kehakiman di dalam suatu negara hukum juga

dikemukakan oleh Purwoto Gandasubrata, mantan Ketua Mahkamah Agung

kedelapan, periode 1992-1994 yang dengan sangat tegas mengemukakan bahwa ”

... konsekwensi ... sebagai negara hukum, maka merupakan suatu conditio sine

qua non manakala di negara kita harus ada suatu kekuasaan kehakiman atau badan

peradilan yang merdeka dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa

hukum, pengayoman hukum, kepastian/keadilan hukum, apabila terjadi

31

pelanggaran atau sengketa hukum di dalam masyarakat”.53 Ada beberapa hal

penting yang tersebut di dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 berkenaan dengan Kekuasaan Kehakiman, yaitu sebagai

berikut: kesatu, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam

menjalankan peradilan; kedua, tujuan dari penyelenggaran kekuasaan kehakiman

adalan untuk menegakkan hukum dan keadilan; dan ketiga, pelaksanaan

kekuakasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan

dibawahnya, serta Mahkamah Konstitusi.

Fakta sering memperlihatkan bahwa kekuasaan atau kepentingan eksekutif

mempunyai intensi untuk melakukan intervensi pada kepentingan kekuasaan

kehakiman. Intervensi dimaksud menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak

sepenuhnya independen dihadapan kekuasaan. Pada kondisi sedemkian maka

tidaklah dapat diharapkan, kekuasaan kehakiman dapat menjalankan

kekuasaannya secara merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Problem independensi ini merupakan salah satu masalah yang sangat

fundamental dan mendapatkan sorotan yang sangat serius. Itu sebabnya, pada era

reformasi persoalan independensi ini dirumuskan secara spesifik di dalam

konstitusi maupun perundangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

Secara tekstual, Undang-Undang Dasar sebelum amandemen mengatur kekuasaan

kehakiman dengan menyatakan ”kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang”;

sedangkan, ”syarat-syarat untuk menjadi menjadi hakim agung dan diberhentikan

53Purwoto Gandasubrata, 1998, Renungan Hukum, Ikatan Hakim

Indonesia, hal. 65.

32

diatur dengan undang-undang” (Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar

1945 sebelum di amandemen). Rumusan teks dimaksud tidak secara eksplisit

menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam

menjalankan peradilan. Itu sebabnya, tidak ada jaminan tidak adanya intervensi

dari kekuasaan eksekutif atas institusi yudikatif. Salah satu indikasinya, potensi

intervensi dimaksud dapat dilakukan melalui proses pengangkatan dan

pemberhentian hakim sebagaimana diatur di dalam Pasal 31 Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970.

Undang-Undang Dasar pasca amandemen lebih tegas mengatur kekuasaan

kehakiman dengan menyatakan ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan”. Konstitusi dimaksud juga merumuskan secara tegas, siapa saja lembaga

yang ,menjadi penyelenggara dan bagian dari kekuasaan kehakiman, merumuskan

tugas dan wewenangnya serta hal lain yang berkaitan dengan pengangkatan dan

syarat menjadi Hakim Konstitusi dan anggota Komisi Yudisial (Pasal 24, Pasal

24A, Pasal 24B dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945).

2. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman

Kemandirian suatu institusi semestinya dibangun oleh institusi itu sendiri

melalui performance yang benar-benar prima. Kemandirian yang di bentuk dari

dalam (from within) akan bersifat substansial serta hakiki sehingga pada akhirnya

memperoleh pengakuan dari luar. Lebih lagi, pengakuan tersebut akan sekaligus

mencerminkan nilai-nilai kewibawaan. Kalaupun suatu institusi secara formal

33

dipaksakan memperolah status independen namun nyatanya masih menerima

pengaruh lainnya, maka lembaga itu sama sekali tidak mandiri. Sebaliknya, suatu

lembaga yang kinerjanya amat baik, integritas pelaksanaannya tidak diragukan,

profesional, objektif, tegas namun adil, jelas akan memperoleh pengakuan tampa

perlu menuntut independensi. Sungguh ironis sekali apabila agenda utama

reformasi untuk memberantas korupsi justru semakin jauh dari sasaran karena

adanya asumsi bahwa independensi institusi merupakan syarat yang tidak bisa

ditinggalkan guna mencapai tujuan reformasi tersebut.54

Kemandirian peradilan, menyangkut dengan sistem kemandirian kebebasan

kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan pada pasal 24 UUD 1945. Pasal

ini menuntut serta meletakkan landasan konstitusional tentang The Independence

of The Judiciary. Secara konstitusional Pasal 24 UUD 1945 menuntut dan

mengkehendaki kekuasaan kehakiman :

a. Yang benar-benar bersifat imparsial: Bebas dan merdeka dari pengaruh

para pihak yang berperkara, serta tidak memihak kepada salah satu pihak

sesuai dengan asas audi alteran partem atau must give the same

opportunity to each party atau memberi kesempatan yang sama kepada

setiap pihak. Memberi equal treatment atau perlakuan sama kepada para

pihak atau disebut juga equal dealing (perlakuan yang sama).

54Antonius Sujata, 2000. Reformasi dan Penegakan Hukum, Djambatan,

Jakarta, hal.144.

34

b. Juga harus benar-benar independence from the executive power atau bebas

dan merdeka dari pengaruh dan genggaman eksekutif atau penguasa.55

Sebagaimana telah disebutkan di atas, kekuasaan kehakiman yang merdeka

merupakan salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan

negara hukum.

1.5.1.4 Teori Penafsiran

Teori penafsiran dicetuskan oleh J.A Pontier yang mengatakan bahwa agar

dapat mengatur masyarakat hukum harus ditafsirkan. Penafsiran dilakukan

melalui metode interpretasi teleologikal dan evolutif-dinamikal di mana hakim

menetapkan apa tujuan, rentang jangkauan atau fungsi dari suatu kaidah hukum,

kepentingan-kepentingan apa yang hendak dilindungi oleh kaidah hukum itu, dan

apakah kepentingan tersebut benar terlindungi apabila kaidah hukum itu

diterapkan ke dalam suatu kasus konkret dalam konteks kemasyarakatan yang

aktual. Metode interpretasi teleologikal dan evolutif-dinamikal ini juga

memberikan kepada hakim alternatif kemungkinan untuk menelaah apakah makna

yang pada suatu saat secara umum selalu diberikan pada suatu kaidah hukum

tertentu masih sesuai dengan perkembangan aktual masyarakat.56

Boleh dikatakan bahwa setiap ketentuan undang-undang perlu dijelaskan,

perlu ditafsirkan lebih duu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Interpretasi

atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi

55Macdonal, R., F.Matcher, and H.Petzold, 1993, The European System for

the protection of Human Rihgts, Kluwer Academic Publishers, The Hague, hal. 397.

56J.A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung, hal. 94.

35

penjelasan gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah

dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.57

Satjipto Rahardjo mengemukakan, salah satu sifat yang melekat pada

perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan-rumusan

peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam bentuk tulisan atau litera scripta

itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari usaha untuk menyampaikan sesuatu ide

atau pikiran. Ide atau pikiran yang hendak dikemukakan itu ada yang menyebutnya

sebagai ‘semangat’ dari suatu peraturan. Usaha untuk menggali semangat itu dengan

sendirinya merupakan bagian dari keharusan yang melekat khusus pada hukum

perundang-undangan yang bersifat tertulis. Usaha tersebut akan dilakukan oleh

kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi. Interpretasi atau

konstruksi ini adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka

mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan.58

Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada

pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan mengenai

peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana

atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada

kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk

kepentingan metode itu sendiri. Oleh karena itu harus dikaji dengan hasil yang

diperoleh.59

Berikut metode-metode penafsiran/interpretasi hukum yang ada :

57 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal. 93-95. 58 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal. 94-95. 59Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum, (Sebuah Pengantar),

Liberty, Yogyakarta, hal. 169.

36

1. Penafsiran/interpretasi Gramatikal

Adalah penafsiran berdasarkan tata bahasa yang dilakukan terhadap kata-kata

yang tersusun di dalam bunyi dan isi peraturan perundang-undangan. Jadi kata

demi kata dalam suatu peraturan perundang-undangan akan diartikan dan

diberi makna serta dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari yang

kemudian menghasilkan pemahaman komprehensif tentang hukum yang

berlaku bagi suatu perbuatan hukum, hubungan hukum dan peristiwa hukum.

Penafsiran gramatikal disebut juga metode objektif.60

2. Penafsiran/Interpretasi Historis/Sejarah

Adalah penafsiran hukum yang dilakukan dengan memfokuskan diri pada

sejarah pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, mulai dari

munculnya gagasan sampai diundangkannya peraturan perundang-undangan

tersebut.61 Kusnu Goesniadhie memberikan dua pemahaman akan metode

yang digunakan dalam interpretasi historis ini :

Jika hendak memahami peraturan perundang-undangan dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut interpretasi menurut sejarah hukum. Dalam hal ini yang diteliti adalah sumber-sumber hukum yang digunakan oleh pembentuk undang-undang, sedangkan jika hendak menafsirkan peraturan tertentu didasarkan pada makna atau tujuan pembentuk undang-undang, peraturan tertentu tersebut dengan meneliti hasil pembicaraan

60James A. Holland and Julian S. Webb, 1991, Learning Legal Rules,

Blackstone Limited, Great Britain, hal. 73, 82. 61Tommy H. Purwaka, 2005, Fakta Perlunya Harmonisasi Prosiding

Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, Jakarta, hal. 560-563.

37

dan dokumen Dewan Perwakilan Rakyat yang mendahului terciptanya peraturan tersebut disebut interpretasi historis menurut undang-undang.62

3. Penafsiran/Interpretasi Sistematis

Adalah penafsiran hukum yang dilakukan dengan memberi arti dan makna isi

suatu peraturan perundang-undangan mulai dari apa yang terkandung di dalam

judul, menimbang, mengingat, memutuskan, bunyi pasal demi pasal,

penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Judul dapat ditafsirkan

secara gramatikal, fokus penafsiran hukum terhadap poin menimbang adalah

pemahaman tentang landasan filosofis dan sosiologis suatu peraturan

perundang-undangan. Titik berat dari penafsiran hukum terhadap poin

mengingat adalah pemahaman tentang landasan yuridis suatu peraturan

perundang-undangan.63

Fokus penafsiran hukum terhadap bunyi pasal demi pasal adalah

mencari makna hukum yang terkandung di dalam sistematika kerangka

pemikiran dari pembentuk peraturan perundang-undangan. Fokus penafsiran

hukum terhadap isi penjelasan umum adalah untuk mengetahui makna hukum

secara umum dari suatu peraturan perundang-undangan. Fokus penafsiran

hukum terhadap isi penjelasan pasal demi pasal adalah untuk memperjelas

materi hukum yang sudah dijelaskan dan menjelaskan hal-hal yang dijelaskan

sebagai cukup jelas.64

62Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan

Tata Pemerintahan yang Baik, Penerbit A3 dan Nasa Media, Malang, hal. 134-143.

63Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 13.

64 Ibid.

38

4. Penafsiran/Interpretasi Teleologis atau Sosiologis

Adalah penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan

dengan memperhatikan perkembangan aspirasi rakyat dan situasi/kondisi

masyarakat. Penafsiran teleologis ini berusaha menafsirkan isi peraturan

perundang-undangan dengan memaknai perubahan-perubahan yang terjadi di

masyarakat.65

5. Interpretasi/Penafsiran Komparatif

Interpretasi komparatif atau perbandingan merupakan metode penafsiran yang

dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara beberapa aturan hukum.

Tujuan hakim memperbandingkan adalah dimaksudkan untuk mencari

kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan Undang-Undang.66

Interpretasi perbandingan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan

penerapan asas-asas hukumnya (rechtsbeginselen) dalam peraturan perundang-

undangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rechtsregel), di samping

perbandingan tentang latar-belakang atau sejarah pembentukan hukumnya.

6. Interpretasi/Penafsiran Antisipatif/Futuristis

Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi

adalah penjelasan ketentuan Undang-Undang yang belum mempunyai

kekuatan hukum.67 Dengan demikian, interpretasi ini lebih bersifat ius

constituendum (hukum atau Undang-Undang yang dicitakan) daripada ius

constitutum (hukum atau Undang-Undang yang berlaku pada saat sekarang).

65Charles Sampford (Ed.), 2006, Interpreting Constitutions Theories,

Principles and Institutions, The Ferderation Press, Sydney, hal. 14. 66 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 19. 67 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 19.

39

7. Interpretasi/Penafsiran Otentik

Interpretasi/penafsiran otentik tidak pernah dibicarakan bersama-sama dengan

metode-metode interpretasi lainnya oleh karena interpretasi/penafsiran otentik

bukanlah metode penemuan hukum oleh hakim, melainkan merupakan

penafsiran oleh pembentuk undang-undang yang dimuat oleh undang-

undang.68

Berdasarkan hasil atau akibat penemuan hukum pelbagai metode

interpretasi/penafsiran dapat dibedakan antara interpretasi/penafsiran restriktif

(membatasi) dan ekstensif (diperluas). Suatu peraturan hanya dapat ditetapkan

dengan jalan penjelasan atau penafsiran. Baru kemudian dapat dilihat apakah

itu diperluas atau dipersempit. Pada umumnya metode interpretasi/penafsiran

gramatikal itu bersifat membatasi, interpretasi/penafsiran historis menurut

undang-undang bersifat memperluas, interpretasi/penafsiran teleologis sifatnya

memperluas, sedangkan metode interpretasi/penafsiran sistematis bersifat

membatasi.

Di samping beberapa metode penafsiran sebagaimana tersebut di atas,

berdasarkan dari hasil penemuan hukum (rechtsvinding), metode interpretasi

dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1. metode penafsiran restriktif; dan

2. metode penfasiran ekstensif.

Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat

membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan Undang-Undang, ruang lingkup

68 James A. Holland and Julian S. Webb, Op.Cit., hal. 8.

40

ketentuan itu dibatasi. Prinsip yang digunakan dalam metode penafsiran ini adalah

prinsip lex certa, bahwa suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak

dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (lex stricta), atau dengan kata lain suatu ketentuan

perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara

tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan itu sendiri. Sedangkan

interpretasi ekstensif adalah penjelasan yang bersifat melampaui batas-batas yang

ditetapkan oleh interpretasi gramatikal.69

Metode-metode interpretasi yang telah diuraikan di atas secara sederhana

dapat dikelompokkan berdasarkan dua pendekatan, yaitu (1) the textualist approach

(focus on text) dan (2) the purposive approach (focus on purposes).

Interpretasi/penafsiran gramatikal dan otentik ternasuk kategori pendekatan pertama,

sementara metode interpretasi/penafsiran lainnya mengacu kepada pendekatan kedua.

Metode interpretasi konstitusi yang satu dapat digunakan oleh hakim bersama-sama

dengan metode penafsiran konstitusi yang lainnya. Tidak ada keharusan bagi hakim

hanya boleh memilih dan menggunakan satu metode interpretasi konstitusi

tertentu saja, misalnya hanya memilih dan menggunakan metode penafsiran

‘originalisme’ yang mendasarkan diri pada original intent. Hakim dapat

menggunakan beberapa metode interpretasi konstitusi itu secara bersamaan. Pada

umumnya dikatakan, bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan Undang-

Undang paling tidak akan terdapat unsur-unsur gramatikal, sistematis, teleologis

dan historis.70

69 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 19-20. 70 J.A. Pontier, Op.Cit., hal. 94.

41

Pemanfaatan metode-metode interpretasi yang beragam dalam praktik

peradilan, dan tidak adanya tatanan yang hierarkis di antara metode-metode itu

menurut J.A. Pontier mengimplikasikan kebebasan hakim yang luas untuk mengambil

keputusan.71 Apalagi pembentuk Undang-Undang (dalam hal ini lembaga legislatif)

ternyata juga memberikan kebebasan kepada hakim dalam derajat yang cukup tinggi

untuk menterjemahkannya lebih lanjut ke dalam kasus. Dalam menjalankan

kekuasaannya di bidang peradilan misalnya, Undang-Undang memerintahkan agar:

Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5

ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman).

Oleh karena itu hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan

agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat (Pasal 5

ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Penelitian ini menggunakan penafsiran hukum sistematis untuk

menganalisis gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah

berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman diperlukan penafsiran untuk

mencari makna hukum yang terkandung di dalam sistematika kerangka pemikiran

dari pembentuk peraturan perundang-undangan, menafsirkan isi peraturan

perundang-undangan dengan memaknai perubahan-perubahan yang terjadi di

masyarakat dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di

71 J.A. Pontier, Op.Cit., hal. 94.

42

berbagai negara dan penafsiran untuk mengantisipasi peraturan-peraturan yang

diperlukan di masa yang akan datang (ius constituendum).

1.5.1.5 Yurisprudensi

Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicate rechtspraak),

yaitu pelaksanaan hukum dalam hal kongkret terjadi tuntutan hak yang dijalankan

oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari

pengaruh apa atau siapa pun dengan memberikan keputusan yang bersifat

mengikat dan berwibawa.72 Yurisprudensi merupakan produk yudikatif, yang

berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan

atau terhukum. Jadi putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja

dan tidak mengikat orang secara umum seperti undang-undang. Bedanya dengan

undang-undang adalah putusan pengadilan berisi peraturan-peraturan yang

bersifat kongkret karena hanya mengikat orang-orang tertentu saja, sedangkan

undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak karena mengikat

setiap orang.

Yuriprudensi sebagai sumber Hukum formal sangat erat kaitannya dengan

tugas Hakim. Pada dasarnya “Hakim harus menyatakan Hukum berdasarkan UU “

dan “Hakim tidak boleh menolak untuk memutuskan tiap-tiap perkara yang

dihadapkan kepadanya”. Di dalam daerah Hukumnya, seorang Hakim memiliki

kedudukkan “Souverein”. Oleh sebab itu dalam melaksanakan tugasnya seorang

Hakim berkewajiban mengikuti putusan-putusan Hakim yang lebih tinggi.

72Komariah Emong Supradjaja, 2002, Perkembangan Penerapan dalam

Yurisprudensi di Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 62.

43

Yurisprudensi merupakan putusan hakim yang kemudian dijadikan dasar

untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa dikemudian hari. Biasanya hal ini akan

terjadi jika telah terjadi beberapa kali kasus yang serupa dan untuk kasus-kasus itu

hakim selalu memeberikan keputusan dengan cara yang kurang lebih sama.

Perulangan itu menimbulkan rasa keharusan untuk memutuskan dengan cara yang

sama setiap kali kasus serupa terjadi. Dengan demikian terbentuk hukum melalui

keputusan hakim (hukum hakim, rechterrecht, judge made law).73

1.5.1.6 Asas-Asas dalam Perjanjian

Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan

latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang

terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang

merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau

ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Asas hukum perjanjian ini

merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif

atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim

yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.74

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan : “semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Jadi, dalam pasal ini terkandung tiga macam asas utama dalam perjanjian, yaitu:

asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda.

Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.

73 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu. 2007, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, hal. 64.

74R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 26.

44

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting

dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum

biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH

Perdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang

untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,

sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:75

a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin

kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat

Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga

para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap

pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.76

75Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4. 76Ibid., hal. 4

45

2. Asas Konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata.

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320

KUH Perdata ditemukan dalam istilah ”semua”. Kata-kata semua menunjukkan

bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will ), yang

dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya

dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.77

Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat

(consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain

lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika

perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan

alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut

dinamakan perjanjian konsensuil.78

Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau

dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang

menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian

karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-

syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus

dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang

ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian formil.79

3. Asas Pacta Sunt Servanda

77Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 113. 78R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2002, Kamus Hukum, PT. Pradnya

Paramita, Jakarta, hal. 28. 79 Ibid.

46

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam

kalimat ”berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” pada

akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah

oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat

ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya ”hakim”

untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak

tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini

dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal :

a. Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;

b. Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang

menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur

maupun bagi kreditur. Menurut Subekti,80 pengertian itikad baik dapat ditemui

dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian

seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).

Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang

pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui

tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti

cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338

80R., Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,

hal. 42.

47

ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan

dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

5. Asas Kepribadian

Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang

terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH

Perdata. Dalam Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun

dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji

daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-

perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu

tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal

yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para

pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini

dinamakan asas kepribadian.81

1.5.1.7 Konsep Perjanjian Sewa-Menyewa

1. Hakikat Dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Hukum, hak dan kewajiban memiliki hubungan keterkaitan dalam lalu

lintas kegiatan ekonomi. Hukum itu memberikan perlindungan pada kepentingan

manusia dan membagi hak dan kewajiban. Hak merupakan kenikmatan dan

keleluasaan serta kewajiban merupakan beban. Dalam hubungan sewa menyewa

yang menyewakan memberi hak pemakaian saja kepada penyewa dan bukan hak

milik. Perjanjian sewa menyewa tidak memberikan suatu hak kebendaan, tetapi

81 S. Imran, 2007, Asas-Asas dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis

Yuridis pada Hukum Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 35.

48

hanya memberi suatu hak perseorangan, terhadap yang menyewakan ada hak

“persoonlijk” terhadap pemilik, akan tetapi hak orang yang menyewakan ini

mengenai suatu benda, yaitu suatu barang yang disewakan.82

Definisi Pasal 1548 KUH Perdata dapat dilihat bahwa ada 3 (tiga) unsur

yang melekat, yaitu:

a. Barang.

b. Jangka waktu.

c. Pembayaran.

Perjanjian sewa menyewa, seperti halnya perjanjian jual-beli dan

perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah perjanjian konsensuil. Artinya,

ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-

unsur pokok, yaitu barang dan harga. Dalam perjanjian sewa-menyewa dikenal

dengan adanya kewajiban pihak yang satu menyerahkan barangnya untuk

dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan pihak yang terakhir harus membayar

sewa. Jelas, bahwa barang tersebut diserahkan bukan untuk dimiliki, melainkan

hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaanya. Dengan kata lain bahwa penyerahan

itu hanya penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang disewa.83

Disebutkannya “waktu tertentu” dalam uraian Pasal 1548 KUH Perdata,

menimbulkan pertanyaan apa yang dimaksud dengan waktu tertentu, sebab tidak

perlu disebutkan untuk berapa lama barang itu disewanya, asal sudah disetujui

berapa harga sewanya untuk satu hari, satu bulan atau satu tahun. Tetapi terdapat

82R., Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 36. 83 R. Setiawan, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung,

hal. 17.

49

suatu petunjuk dalam Pasal 1579 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut :

Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dengan menyatakan

hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali telah diperjanjikan

sebaliknya. Pasal 1548 ini hanya dapat ditujukan dan hanya dapat dipakai

terhadap perjanjian sewa-menyewa dengan waktu tertentu, dan pada hakekatnya

perjanjian sewa-menyewa tidak untuk berlangsung terus-menerus.84

Perjanjian sewa menyewa selalu terdapat 2 (dua) belah pihak yang selalu

mengikatkan diri untuk berprestasi satu sama lain. Pihak inilah yang menjadi

subjek sewa menyewa. Subjek sewa menyewa merupakan subjek hukum dimana

subjek hukum ini ada 2 (dua) yaitu : orang pribadi dan badan hukum. Hubungan

hukum terjadi antara dua orang atau lebih, pihak yang aktif adalah kreditur atau

siberpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi pihak yang pasif adalah

debitur atau si berhutang.85 Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban.

Menurut Suroso subjek hukum adalah :

Sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap bertindak dalam hukum, sesuatu pendukung hak (rechtsbevoedgheid) dan merupakan sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.86

Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat

para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Suatu perjanjian

yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan suatu perikatan yang mana

perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian, jadi perikatan yang telah

84 Ibid. 85 Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Hukum Perdata Tentang Perikatan,

Fakultas Hukum USU, Medan, hal.3. 86R. Suroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 223.

50

dilaksanakan para pihak dalam suatu perjanjian memberikan tuntutan pemenuhan

hak dan kewajiban terhadap pelaksanaan isi dari perjanjian khususnya perjanjian

sewa menyewa ini.

Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang

diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian

timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan

kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering

terjadi dalam kehidupan di masyarakat.87 Perjanjian sewa menyewa diatur dalam

ketentuan Buku Ketiga Bab Ketujuh Pasal 1548 sampai Pasal 1600 KUH

Perdata.88

Perjanjian sewa menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian

untuk memberikan/menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III KUH

Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUH Perdata, yang dimaksud dengan

sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat

dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang

selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak

tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.89

Pasal 1548 KUH Perdata menyebutkan bahwa sewa menyewa ialah suatu

persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan

kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu

87R. Wirjono Prodjodikoro, 1987, Hukum Perjanjian dan Perikatan,

Pradnya Paramita, Jakarta, hal.53. 88R. Subekti, Op. Cit, hal. 1. 89R. Subekti, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal.

123.

51

tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak tersebut

belakangan itu disanggupi pembayarannya.90

Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian

ini adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian ini sudah sah dan

mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya,

yaitu barang dan harga. Peraturan tentang sewa menyewa ini berlaku untuk segala

macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak

maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak

memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk

perjanjian sewa menyewa.91 Menurut Subekti perjanjian sewa menyewa adalah:

“Suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu

benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya

menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu

pada waktu-waktu yang ditentukan”.92

Adapun pengertian perjanjian sewa menyewa menurut Yahya Harahap

adalah sebagai berikut : “Perjanjian sewa menyewa adalah persetujuan antara

pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau

pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk

dinikmati sepenuhnya”.93 Jikalau ditinjau perjanjian sewa menyewa ini adalah

merupakan suatu jenis perjanjian yang bebas bentuknya, artinya perjanjian

tersebut dapat diperbuat baik secara lisan maupun tertulis tergantung kesepakatan

90 Hasanudin Rahman, Op.Cit, hal. 29. 91R., Subekti, Op.Cit., hal. 1. 92R., Subekti, Op.Cit., hal. 164. 93M., Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 220.

52

antara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan, akan tetapi segala bentuk

perjanjian sewa menyewa khususnya perjanjian sewa menyewa rumah sebaiknya

diperbuat secara tertulis dengan tujuan untuk lebih dapat menghindari hal-hal

yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Terhadap syarat esensial dalam perjanjian sewa menyewa ini, yakni

mengenai harga sewa atau sewa haruslah tertentu atau segala sesuatu yang dapat

ditentukan dan biasanya harus ditentukan secara tegas perjanjian yaitu dengan

penetapan besarnya uang sewa menyewa harus dibayar kepada pihak yang

menyewakan. Jangka waktu atau lamanya sewa dapat saja ditentukan secara jelas

dalam perjanjian, atau dengan kata lain tidak perlu disebutkan untuk berapa lamakah

barang tersebut akan disewa oleh pihak penyewa, tetap telah disetujui oleh kedua

belah pihak baik penyewa maupun yang disewakan dalam setiap bulan atau tahunnya.

Jika diperhatikan sewa menyewa ini merupakan suatu bentuk perjanjian

yang bersifat perseorangan dari bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan

yaitu dengan perjanjian sewa menyewa ini, kepemilikan terhadap rumah sewa

tersebut tidaklah beralih kepada penyewa tapi tetap menjadi hak milik dari orang

yang menyewakan.94 Subekti menyatakan bahwa :

Jika ada suatu perjanjian sewa menyewa rumah yang belum habis masa sewanya. Oleh pemilik rumah atau yang menyewakan melakukan tindakan hukum menjual rumah yang disewakan tersebut, maka pihak penyewa tidak berhak melakukan penuntutan ganti rugi. Namun sebaliknya, bila diperjanjikan secara tegas, maka pihak penyewa dapat melakukan tuntutan hukum ganti rugi kepada pihak penyewa.95

94Qirom Meliala, A., Ibid, hal. 8. 95Subekti, R., Op.Cit., hal. 2.

53

Asas-asas hukum perjanjian sewa menyewa tercantum dalam Pasal 1548

KUH Perdata yang menyatakan bahwa sewa menyewa merupakan suatu

perjanjian dimana terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri yang saling

memberi prestasi dan tegen prestasi yaitu pihak yang menyewakan memberikan

kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu

tertentu dan pihak penyewa memberikan tegen prestasi berupa pembayaran

sesuatu harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah

pihak.

Berdasarkan asas hukum perjanjian sewa menyewa tersebut di atas terdapat

unsur-unsur dari sewa menyewa yang antara lain adalah :

a. merupakan suatu perjanjian.

b. terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri

c. pihak yang satu memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak

yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak yang lain membayar pada

sesuatu harga atas kenikmatan yang diperolehnya dari barang tersebut.

2. Obyek Sewa Menyewa

Perjanjian sewa menyewa mengandung adanya sesuatu yang menjadi

objek. Pada dasarnya apa yang menjadi objek sewa menyewa adalah apa yang

merupakan objek hukum. Jadi objek sewa menyewa adalah merupakan objek

hukum. Yang dimaksud dengan objek hukum (recht subject) adalah : segala

sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat

dijadikan objek dalam suatu hubungan hukum.96 Demikian pula halnya dengan

96Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 68.

54

yang terjadi dalam perjanjian sewa menyewa ini meliputi segala jenis benda baik

benda bergerak maupun benda tidak bergerak asal tidak dilarang oleh Undang-

Undang dan ketertiban umum.97

Peraturan tentang sewa menyewa, berlaku untuk segala macam sewa

menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak

bergerak yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu

tertentu, karena perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu

hal.98 Menurut Pasal 1549 KUH Perdata bahwa semua jenis barang, baik yang tak

bergerak, baik yang bergerak dapat disewakan. Basrah Lubis mengemukakan bahwa :

Jika benda yang disewa itu musnah sewaktu terjadinya sewa menyewa karena overmacht maka perikatan sewa menyewa batal demi hukum, dan pihak penyewa tidak berhak atas ganti rugi, baik benda tersebut secara keseluruhan maupun sebahagian. Apapun pernyataannya batalnya perjanjian itu tidak perlu dimintakan pernyataan dan resiko atas musnahnya objek sewa menyewa secara keseluruhan adalah pihak yang menyewakan (pemilik hak atas benda) serta tidak dapat meminta atau menuntut pembayaran uang sewa kepada pihak penyewa atau dengan tegasnya uang sewa dengan sendirinya gugur, dan sebaliknya pihak penyewa tidak dapat menuntut penggantian barang ataupun ganti rugi dari pihak yang menyewakan (Pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).99

3. Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa

Meskipun sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensuil, namun oleh

Undang-Undang diadakan perbedaan dalam akibat-akibatnya antara sewa-menyewa

secara tertulis dan sewa-menyewa secara lisan. Jika sewa-menyewa itu diadakan

secara tertulis, maka sewamenyewa itu “berakhir demi hukum (otomatis)”, apabila

97Qirom S., Meliala, Op. Cit., hal. 78. 98Wirjono Prodjodikoro, R., Op. Cit., hal. 4. 99Basrah Lubis, 1993, Sewa Menyewa dan Pembahasan Kasus, Diktat

Kuliah FH USU, Medan, hal. 43.

55

waktu yang telah ditentukan telah habis, tanpa harus dilakukannya suatu

pemberitahuan pemberhentian. Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat secara

tulisan, maka itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika pihak

yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa, bahwa ia hendak

menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan

jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada

pemberitahuan sebelumnya, maka dianggap bahwa sewa-menyewa itu akan

diperpanjang untuk waktu yang sama.100

Mengenai peraturan sewa-menyewa secara tertulis dapat dilihat dalam

Pasal 1570 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : Jika sewa dibuat

dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang

ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan untuk itu.

Sedangkan mengenai peraturan sewa-menyewa lisan, dapat dilihat dalam Pasal

1571 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut :

“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”. Selain peraturan di atas, perjanjian sewa-menyewa dapat berakhir karena

barang yang diperjanjikan musnah di luar kesalahan salah satu pihak.101

Selain pembedaan bentuk perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara

lisan dan tertulis, pembedaan bentuk tersebut, dapat juga dilakukan melalui

pembedaan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta otentik (authentieke

akte) dengan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta di bawah tangan

100 R. Subekti, Op.Cit, hal. 15. 101 R. Subekti, Op.Cit, hal. 15.

56

(onderhands). Jika dibuat dengan akta otentik maka, dibuat dalam bentuk sesuai

dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/atau di hadapan

pejabat umum yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna, dan apabila kebenarannya dibantah, si penyangkal yang harus memikul

beban pembuktian (the burden of proof), untuk membuktikan ketidakbenaran

sangkalan/dalilnya. Sedangkan apabila dibuat dengan akta dibawah tangan maka,

bentuk akta tidak terikat bentuk formal. Akta dibawah tangan dapat dibuat dengan

bebas oleh setiap subyek hukum yang berkepentingan, mempunyai kekuatan

pembuktian yang sempurna apabila diakui oleh penandatangan, dan apabila

kebenaran dibantah, pihak yang membantah yang memikul beban pembuktian (the

burden of proof), yang harus membuktikan kebenaran bantahan/dalilnya.102

1.5.2 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teori yang

telah dikemukakan, maka digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

102 R. Subekti, Op.Cit, hal. 47.

57

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat yuridis normatif

yaitu suatu metode yang bertujuan untuk melukiskan atau menggambarkan fakta

tentang konsekuensi hukum gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka waktu

setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman, yang berupa data

Konsekuensi Hukum Gugatan Perjanjian Sewa Rumah tanpa Jangka Waktu setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman

Perjanjian Sewa Menyewa Rumah

Wanprestasi dan tidak adanya Itikad Baik dari Penyewa untuk

mengembalikan rumah sewa

Gugat ke Pengadilan

Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap

Analisis Hukum

Kesimpulan dan Saran

Konsep Perjanjian Sewa Menyewa

Teori Kepastian Hukum

Teori Hukum Perjanjian

Teori Kekuasaan Kehakiman

58

sekunder dan dianalisis dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier.103 Pada satu sisi, penelitian ini tidak

dimaksudkan hanya untuk melakukan penjajakan (eskploratif) terhadap persoalan

penelitian, walaupun data awal sudah tersedia tetapi masih belum memadai.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif

akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan

ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi

hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif.104

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa

pendekatan yaitu :105

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).

2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).

3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

4. Pendekatan Historis (historical approach).

5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).

6. Pendekatan Kasus (case approach).

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu

penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih

yang sesuai.

103Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan

Jurumetri, Cetakan ke IV, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 97. 104 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir

Abad ke-20, Cet.I, Alumni, Bandung, hal. 74. 105Johnny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum

Normatif, Banyumedia, Malang, hal. 300-301.

59

Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat

permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai

konsekuensi hukum gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah

berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini ditunjang data

sekunder, yaitu data yang diambil secara tidak langsung atau yang telah terlebih

dahulu dikumpulkan orang lain di luar dari penelitian sendiri. Adapun data

sekunder terdiri dari:106

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang

akan dikaji, terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Pemukiman.

d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

106Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit

Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18.

60

e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Pemukiman.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum primer,

seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan ilmiah

lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen pribadi atau

pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder

ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.107

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus hukum,108 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet

juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi

yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.109

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam pengumpulan data ini harus ditegaskan permasalahan mengenai

jenis, sifat dan kategori data serta perlakuan terhadap data yang dikumpulkan.

Tujuannya agar pengumpulan data dan penganalisaan terhadap data dapat sesuai

dengan tujuan dari penelitian. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan

adalah studi pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder

mengenai obyek penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-

107Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 24. 108Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif

suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15. 109Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of

Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.

61

perspektif,110 dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder

mengenai objek penelitian, baik secara konvensional maupun dengan

menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.111

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Data yang diperoleh, dikelompokkan dan disusun secara sistematis dan

untuk selanjutnya data tersebut dianalisis, secara analisis kualitatif. Yang

dimaksud analisis kualitatif, yaitu analisis yang berupa kalimat dan uraian.112

Metode yang digunakan adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan

pada teori-teori, konsep dan peraturan perundang-undangan. Setelah itu data yang

diperoleh disusun secara sistematis dan untuk selanjutnya analisis kualitatif

dipakai untuk mencapai penjelasan yang dibahas. Penggunaan teori-teori (dan

konsep-konsep, penelitian) dalam menafsirkan hasil analisis bahan-bahan hukum

bersifat normatif-prespektif, bertujuan menghasilkan, menstrukturkan dan

mensistematisasi teori-teori yang menjadi dasar untuk pengambilan

kesimpulan,113 sehingga tujuan akhir penelitian hukum ini dapat tercapai, yaitu

ditemukannya jawaban permasalahan mengenai konsekuensi hukum gugatan

perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Pemukiman.

110 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,

hal. 194. 111 Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 323-324. 112Achmad Ali, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif

Watampone, Jakarta, hal. 188. 113Van Hoecke, M., dalam Bernard Arief Sidharta, 2001, Refleksi tentang

Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 154-155.

62

BAB II

TINJAUAN UMUM SEWA MENYEWA

2.1 Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa-Menyewa

2.1.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Sewa-Menyewa

Salah satu bentuk perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata adalah

perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa termasuk dalam perjanjian

bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensual yang bebas bentuknya.

Boleh dibuat dengan persetujuan lisan atau tertulis. Objek persetujuan sewa-

menyewa meliputi segala jenis benda, baik atas benda berwujud, tak berwujud,

maupun benda bergerak dan tidak bergerak.

Sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600

KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata yang dimaksud

dengan sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari

suatu barang selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang

oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.

Definisi yang lain dari perjanjian sewa-menyewa diungkapkan oleh

Subekti114 yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan

menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama jangka waktu tertentu sedangkan

pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk

114 Subekti, 2010, Hukum Perjanjian, Cet. XXIII, PT. Intermasa, Jakarta,

hal. 90.

63

pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan. Menurut M.Yahya Harahap115,

perjanjian sewamenyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan

dengan pihak penyewa.

Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak

disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya. Perjanjian sewa-menyewa

adalah “penikmatan” atas suatu barang dengan jalan membayar sewa untuk suatu

jangka waktu tertentu. Penikmatan itu tidak terbatas sifatnya. Seluruh kenikmatan

yang dapatdikecap dari barang yang disewa, harus diperuntukkan bagi si

penyewa.

Sewa-meyewa pada dasarnya dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan

sewa-menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak

berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu

juga karena barang yang disewakan dipindahtangankan. Disini berlaku asas

bahwa jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa.116

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dikemukakan unsur-unsur yang

tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa adalah:

1. Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian

2. Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan)

3. Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat

(pihak yang menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat (pihak

penyewa)

115 M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni,

Bandung, hal.220. 116 Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan

Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 58-59.

64

4. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut

5. Adanya jangka waktu.

KUHPerdata tidak secara tegas menentukan tentang bentuk perjanjian

sewamenyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu, perjanjian sewa-

menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis atau lisan.Dalam perjanjian sewa-

menyewa tanah, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis dan isi

perjanjian tersebut telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau notaris.

2.1.2 Subjek dan Objek Perjanjian Sewa-Menyewa

Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa adalah:

1. Pihak yang menyewakan

2. Pihak penyewa

Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang

menyewakan barang atau benda kepada pihak lainya untuk dinikmati kegunaan

benda tersebut kepada penyewa. Pihak yang menyewakan barang atau benda tidak

harus pemilik benda sendiri tetapi semua orang yang atas dasar hak penguasaan

untuk memindahkan pemakaian barang ke tangan orang lain. Hal tersebut

dikarenakan di dalam sewa menyewa yang diserahkan kepada pihak penyewa

bukanlah hak milik atas suatu barang melainkan hanya pemakaian atau

pemungutan atas hasil dari barang yang disewakan. Pihak penyewa adalah orang

atau badan hukum yang menyewa barang atau benda dari pihak yang

menyewakan. Objek barang yang dapat disewakan adalah barang bertubuh saja,

namun ada pendapat lain yang berpendapat bahwa tidak hanya barang-barang

65

yang bertubuh saja yang dapat menjadi objek sewa melainkan hak-hak juga dapat

disewa.117

Tujuan dari diadakanya perjanjian sewa-menyewa adalah untuk

memberikan hak pemakaian kepada pihak penyewa sehingga benda yang bukan

bersetatus hak milik dapat disewakan oleh pihak yang mempunyai hak atas benda

tersebut. Jadi benda yang dapat disewakan oleh pihak yang menyewakan dapat

berupa hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hak mengunakan hasil, hak pakai,

hak sewa (hak sewa kedua) dan hak guna bangunan.

Subekti berpendapat bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa tidaklah

menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang ataupun

jasa.118 Jadi objek dari perjanjian sewa-menyewa adalah segala jenis benda, baik

benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun benda

tidak berwujud.

2.1.3 Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa

1. Hak dan kewajiban pihak yang menyewakan

Hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang telah

ditentukan. Pasal 1550 KUHPerdata menentukan tiga macam kewajiban

pihak yang menyewakan. Ketiga macam kewajiban tersebut merupakan

kewajiban yang harus dibebankan pada pihak yang menyewakan,

sekalipun hal itu tidak ditentukan dalam perjanjian119:

117 Wirjono Projodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-

Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, hal. 190. 118 Subekti, Op.Cit., hal. 40. 119 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal 223.

66

a. Kewajiban untuk menyerahkan barang yang disewa kepada pihak

penyewa;

b. Kewajiban pihak yang menyewakan untuk memelihara barang yang

disewa selama waktu yang diperjanjikan, sehingga barang yang disewa

tadi tetap dapat dipergunakan, dan dinikmati sesuai dengan hajat yang

dimaksud penyewa;

c. Pihak yang menyewakan wajib memberi ketentraman kepada si

penyewa menikmati barang yang disewa, selama perjanjian sewa

berlangsung.

Kewajiban ketiga yakni memberi penikmatan yang tentram bagi

pihak si penyewa, selama jangka waktu perjanjian sewa-menyewa

berjalan. Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menjamin tentang

gangguan atau rintangan yang menggangu penyewa menikmati obyek

sewa yang disebabkan suatu tuntutan hukum yang bersangkutan dengan hak

milik atas barangnya. Jika terjadi yang demikian, maka penyewa berhak

menuntut suatu pengurangan harga sewa menurut imbangan, asalkan

ganguan dan rintangan tersebut telah diberitahukan kepada pemilik (Pasal

1557 KUHPerdata).

2. Hak dan kewajiban pihak penyewa

Selain pihak yang menyewakan mempunyai hak dan kewajiban,

pihak penyewa pun mempunyai hak dan kewajiban atas barang yang

disewanya yang perlu diperhatikan pula, bahwa kewajiban si penyewa

terhadap yang menyewakan, antara lain sebagai berikut :

67

a. Menjaga pemakaian barang yang disewakan dengan sangat berhati-hati sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab, menurut tujuan dan maksud persetujuan mengenai itu menurut yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan.

b. Bila jangka waktu perjanjian sewa-menywa sudah habis maka penyewa wajib mengembalikan barang yang disewanya dalam keadaan seperti semula.

c. Untuk membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (Pasal 1560 KUH Perdata).

Begitu pula dengan pihak penyewa selain mempunyai kewajiban

berhak pula atas barang yang disewanya, sebagai berikut :

a. Menyerahkan barang atau benda dalam keadaan baik dan terpelihara

sehingga barang itu dapat dipergunakan untuk keperluannya.

b. Jaminan dari pihak yang menyewakan terhadap semua cacat dari barang

yang disewakan, yang dapat merintangi penggunaan barang tersebut.

c. Jaminan dari pihak yang menyewakan mengenai kenikmatan cacat

tersembunyi dan tidak ada hak dari pihak ketiga atas benda sewa.

d. Berhak menuntut pengurangan harga sewa menurut pertimbangan,

apabila si penyewa diganggu dalam kenikmatan disebabkan satu

tuntutan hukum yang berdasarkan hak terhadap barang sewa asalkan

gangguan tersebut telah diberitahukan secara sah kepada pihak yang

menyewakan (Pasal 1561, 1564 dan 1566 KUH Perdata).

2.1.4 Bentuk Perjanjian Sewa-Menyewa

Perjanjian sewa-menyewa pada dasarnya tunduk pada asas konsensualitas.

Konsesualitas sendiri berasal dari bahasa latin “consensus”, yang artinya sepakat.

Namun bukan berarti asas konsensualitas merupakan suatu perjanjian diisyaratkan

68

adanya kesepakatan. Dimaksud dengan asas konsensualitas adalah pada dasarnya

perjanjian dan perikatan timbul sejak detik tercapainya kesepakatan.120

Meskipun perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensual,

namun oleh KUH Perdata diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara

sewa tertulis dan sewa lisan. Jika perjanjian sewa-menyewa itu diadakan secara

tertulis maka sewa-menyewa berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang

ditentukan sudah habis tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan

pemberhentian untuk itu. Sebaliknya jika perjanjian sewa-menyewa tidak dibuat

dengan tertulis maka sewa itu tidak berahir pada waktu yang ditentukan, tapi jika

pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa dia hendak

mengehentikan sewanya, pemberitahuan tersebut harus dilakukan dengan

mengindahkan jangka waktu yang diharuskan. Jika tidak ada pemberitahuan

tersebut, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama.

Perihal sewa menyewa secara tertulis diatur dalam Pasal 1570 sedangkan perihal

sewa menyewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam Pasal 1571.121

Penegasan perjanjian sewa menyewa rumah ini adalah sejak berlakunya

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh

Bukan Pemilik, disebutkan segala bentuk perjanjian sewa menyewa rumah

haruslah diperbuat dengan suatu batas tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa

menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum.

120 R. Subekti, Op.Cit, hal. 9. 121 R. Subekti, Op.Cit, hal. 9.

69

Hal ini dipertegas di dalam Pasal 10 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor

44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik yang mengatur

dalam hal kesepakatan tentang batas waktu yang diperjanjikan.

Perihal sewa tertulis itu diatur dalam Pasal 1570 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dan perihal sewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam Pasal

1571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Jika seorang penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya

waktu sewa yang ditentukan dalam suatu perjanjian sewa tertulis, dibiarkan

menempati rumah atau ruangan tersebut, maka dianggaplah si penyewa itu tetap

menguasai barang yang disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama, untuk

waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat, dan tak dapatlah ia meninggalkan

rumah atau ruangan itu atau dikeluarkan dari situ, melainkan sesudahnya

dilalukan pemberitahuan penghentian sewanya menurut kebiasaan setempat (Pasal

1587 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Berdasarkan uraian tersebut dimaksudkan bahwa sewa tertulis tersebut,

setelah habis waktunya dan penyewa dibiarkan menempati rumah sewa, berubah

menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat diakhiri menurut adat

kebiasaan setempat.

Berkenaan dengan Pasal 1570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyatakan bahwa jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi

hukum, apabila waktu yang telah ditentukan telah lampau, tanpa diperlakukannya

sesuatu pemberhentian untuk itu.

70

Pasal 1571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan jika sewa

tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan,

melainkan jika pihak lain hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan

tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.

Pasal 1579 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa

pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan

hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah

diperjanjikan sebaliknya.

Berdasarkan ketentuan kedua Pasal tersebut di atas Pasal 1578 dan Pasal

1579 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, jelas bahwa dalam

perjanjian sewa menyewa yang telah diperjanjikan terlebih dahulu tidak

dibenarkan untuk memaksa si penyewa untuk mengosongkan barang yang disewa

dengan alasan barang tersebut akan dijual atau akan dipergunakan sendiri oleh

pemilik barang yang disewa tersebut.

Ketika barang yang disewa oleh si penyewa tersebut akan dijual, maka

pemilik barang yang disewa harus terlebih dahulu memberikan pemberitahuan

kepada si penyewa jauh hari sebelum waktu penjualan barang tersebut tiba. Dalam

praktek pelaksanaan perjanjian sewa menyewa pada umumnya, di dalam klausul bila

barang yang disewa tersebut akan dijual oleh pemilik barang yang disewa tersebut

dicantumkan secara tegas dalam perjanjian tertulis tersebut dengan mencantumkan

pula syarat-syarat yang harus disepakati kedua belah pihak yaitu pemilik sewa dan

penyewa untuk dapat terlaksananya penjualan barang yang disewa tersebut.122

122 Soedjono Dirdjosisworo, 2002, Misteri di Balik Kontrak Bermasalah,

Mandar Maju, Bandung, hal. 37.

71

Perjanjian sewa menyewa antara debitur dengan pihak ketiga dibuat secara

Notariil melalui Notaris yang telah ditunjuk oleh kreditur (Bank) sesuai dengan

kebijakan Bank yang meminta perjanjian tersebut dibuat secara notariil.

2.1.5 Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa

Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh

suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa

barang yang menjadi objek dari suatu perjanjian.123 Risiko merupakan suatu

akibat dari suatu keadaan yang memaksa (overmacht) sedangkan ganti rugi

merupakan akibat dari wanprestasi.

Pembebanan risiko terhadap objek sewa didasarkan terjadinya suatu

peristiwa diluar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya

barang/objek sewa. Musnahnya barang yang menjadi objek perjajian sewa-

menyewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :

1. Musnah secara total (seluruhnya)

Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah

yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka

perjanjian tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah disini berarti

barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa

digunakan sebagai mana mestinya, meskipun terdaat sisa atau bagian kecil

dari barang tersebut masih ada.

Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang

menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa

123 Subekti, Op.Cit., hal.92.

72

berangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang diakibatkan oleh

suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pada salah satu

pihak maka perjanjian sewa-menyewa dengan sendirinya batal.

2. Musnah sebagian

Barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa disebut

musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat di gunakan dan

dinikmati kegunaanya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah.

Jika objek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa

mempunyai pilihan, yaitu :

a. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan

harga sewa.

b. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.

73

BAB III

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA TANPA

JANGKA WAKTU

Teori yang digunakan dalam mengkaji masalah kekuatan hukum

perjanjian sewa menyewa rumah tanpa jangka waktu adalah teori kepastian

hukum, mengingat dalam perjanjian sewa menyewa tanpa jangka waktu tidak

memiliki kepastian hukum, khususnya mengenai kapan berakhirnya sewa

menyewa itu. Sebagai akibat dari tidak adanya kepastian hukum tersebut maka

perjanjian sewa menyewa tanpa batas waktu tidak memiliki kekuatan hukum.

Selain teori kepastian hukum, untuk mengkaji masalah ini digunakan konsep

perjanjian sewa menyewa.

3.1 Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian berakhir secara umum diatur di dalam undang-undang.

Penentuan berakhirnya perjanjian sewa-menyewa terkait dengan bentuk

perjanjian. Ketentuan hukum perjanjian sewa-menyewa di dalam KUH Perdata

membedakan antara perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara lisan dan

tertulis. Berikut ini cara-cara berakhirnya perjanjian sewa-menyewa:

1. Berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan:

a. Perjanjian sewa-menyewa tertulis

Diatur didaam pasal 1570 KUH Perdata yang berbunyi:

74

“jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi

hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa

diperlukanya suatu pemberitahuan untuk itu”.

b. Perjanjian sewa-menyewa lisan

Diatur dalam pasal 1571 KUH Perdata yang berbunyi:

“jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak

berakhir pada waktu yang tidak ditentukan, melainkan jika pihak lain

menyatakan bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan

mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan

setempat.”

2. Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya.

Penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-

menyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-

menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang

tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu,

sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.124

3. Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus:

a. Permohonan/pernyataan dari salah satu pihak.

Penghentian perjanjian sewa-menyewa hanya dapat dilakukan

atas persetujuan dua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan

pihak penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa

dilakukan tanpa putusan dari pengadilan. Di atur di dalam pasal 1579

124 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal.240.

75

KUH Perdata yang menyatakan bahwa pemilik barang tidak dapat

menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa ia akan mengunakan

sendiri barangnya, kecuali apabila waktu membentuk perjanjian sewa-

menyewa ini diperbolehkan.

b. Putusan Pengadilan.

Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh

salah satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan

pengadilan seperti yang diatur di dalam pasal 10 ayat (3) PP No. 49

Tahun 1963 jo PP No. 55 Tahun 1981.

c. Benda obyek sewa-menyewa musnah.

Pasal 1553 KUH Perdata mengatur apabila benda sewaan

musnah sama sekali bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka

perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dengan demikian

perjanjian berakhir bukan karena kehendak para pihak melainkan

karena keadaan memaksa (Overmacht).

3.2 Berakhir Sesuai dengan Batas Waktu Tertentu yang Sudah Ditentukan

Berakhirnya perjanjian sewa menyewa tergantung dari bentuk

perjanjiannya yaitu perjanjian tertulis atau perjanjian sewa menyewa secara lisan.

Berikut ini cara-cara berakhirnya perjanjian sewa-menyewa sesuai dengan batas

waktu yang sudah ditentukan.

1. Perjanjian sewa-menyewa tertulis

Diatur di dalam Pasal 1570 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa

dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum, apabila

76

waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya suatu

pemberitahuan untuk itu”. Dalam perjanjian sewa-menyewa yang masa

berakhirnya telah ditentukan secara tertulis, sewa-menyewa dengan

sendirinya berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan

dalam persetujuan secara tetulis, perjanjian sewa berakhir tepat pada saat

yang telah ditetapkan.125

2. Perjanjian sewa-menyewa lisan

Diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa

tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu

yang ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak

menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang

diharuskan menurut kebiasaan setempat.”

Berakhirnya sewa-menyewa dalam hal ini tidak disudahi sesaat

setelah lewatnya batas waktu yang telah ditentukan. Melainkan setelah

adanya pemberitahuan dari salah satu pihak, yang menyatakan kehendak

akan mengakhiri sewa-menyewa. Pemberitahuan pengakhiran sewa

tersebut, harus memeperhatikan jangkauan waktu yang layak menurut

kebiasaan setempat.

3.3 Batas Akhir Sewa-Menyewa tidak Ditentukan Waktunya

Berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-menyewa yang tidak

ditentukan batas waktunya didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-

menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak

125 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal.238.

77

mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, yang diatur

dalam undangundang hanya berakhirnya sewa-menyewa tertulis dan lisan yang

mempunyai batas waktu tertentu. Oleh karena itu pengakhiran perjanjian sewa-

menyewa tanpa batas waktu tertentu sebaiknya diserahkan kepada penghentian yang

selayaknya bagi kedua belah pihak atau batas waktu penghentian yang selayaknya

ini berpedoman kepada kepatutan dan kebiasaan setempat.126

3.4 Validitas Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu

Pasal 1548 KUHPerdata merumuskan bahwa “sewa-menyewa adalah

suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama

suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak

tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.”

Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak

yang mengikatkan diri untuk suatu prestasi, yaitu pihak yang menyewakan yang

memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak penyewa selama waktu

tertentu dan pihak penyewa yang memberikan prestasi berupa pembayaran suatu

harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak.

Validitas perjanjian sewa-menyewa adalah keabsahan daripada perjanjian

sewa-menyewa tersebut yang harus mengikuti kaidah-kaidah hukum perjanjian.

Selain harus memenuhi persyaratan umum yang tercantum dalam Pasal 1280

KUHPerdata, sewa-menyewa harus memenuhi persyaratan khusus yang diatur

126 M.Yahya Harahap , Op.Cit., hal.240.

78

dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Berdasarkan rumusan

pengertian sewa-menyewa dalam Pasal 1548 KUHPerdata, maka dapat

disimpulkan beberapa hal pokok dalam sewa-menyewa:

1. Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian

Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian sewa-menyewa

harus memenuhi syarat syahnya perjanjian seperti diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata yaitu:

a. Adanya kesepakatan diantara mereka yang mengikatkan diri;

b. Pihak-pihak yang melakukannya dianggap cakap untuk membuat suatu

perjanjian;

c. Adanya hal tertentu yang diperjanjikan, dan

d. Perjanjian itu harus mengandung suatu sebab yang halal.

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”, maka klausul-klausul dalam perjanjian yang

telah dibuat dan disepakati oleh para pihak dengan sendirinya berlaku

sebagai undang-undang (pacta sunt servanda) bagi pihak-pihak tersebut.

Menurut Subekti dengan menekankan pada perkataan “semua”,

maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada

masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa

dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat

mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang atau dengan

perkataan lain dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-

79

undang bagi kita sendiri. Pasal-Pasal dari hokum perjanjian hanya berlaku,

apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturanaturan sendiri dalam

perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.”127 Para pihak diperbolehkan

mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjianperjanjian yang

mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal, itu

berarti mengenai soal tersebut akan tunduk kepada undang-undang.

Biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur

secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu.

Pada umumnya mereka hanya menyetujui hal-hal pokok saja, dengan tidak

memikirkan soal-soal lainnya.128 Dalam hal perjanjian sewa-menyewa,

perjanjian sudah dianggap cukup jika sudah memuat klausul-klausul

apabila setuju tentang barang dan harga sewanya. Tentang dimana barang

harus diserahkan, siapa yang harus memikul biaya pengantaran barang,

tentang bagaimana barang itu musnah dalam perjalanan, soalsoal itu lazimnya

tidak terpikirkan dan tidak diperjanjikan.129 Apabila dikemudian hari

terdapat masalah maka yang bersangkutan akan tunduk saja pada hukum dan

undang-undang. ”Namun apabila pembuat perjanjian itu tidak atau kurang

memahami hukum maka akan berlandaskan pada kebiasaan setempat yang

mungkin saja kebiasaan itu sesungguhnya lahir atau sejalan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.”130

127 Subekti, 2010, Hukum Perjanjian, Cet. XXIII, PT. Intermasa, Jakarta,

hal. 14. 128Ibid, hal. 13. 129 Ibid. 130 Than Thong Kie, 2000, Study Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris

Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal.76.

80

Perjanjian menganut sistem terbuka yang mengandung pengertian

bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang

hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam

masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk. KUHPerdata hanya

mengatur perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang sudah memang

dikenal masyarakat. “Sistem terbuka dalam hukum perjanjian telah

memberi peluang yang sangat luas bagi munculnya jenis-jenis perjanjian

baru yang lazimnya merupakan gabungan dari perjanjian-perjanjian

bernama tersebut.”131

Perjanjian sewa-menyewa telah berkembang sedemikian rupa

sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat seperti: perjanjian

sewa beli, sewa usaha dengan hak opsi (leasing), perjanjian bangun-pakai-

serah (build-operate-transfer) dan sebagainya.132

Para pihak yang membuat perjanjian, dianggap sudah mengetahui

bahwa mereka tidak hanya mengikatkan diri terhadap apa yang dinyatakan

dalam perjanjian yang dibuatnya tetapi juga telah mengikatkan diri

terhadap segala ketentuan perundang-undangan, kepatutan dan kebiasaan

seperti diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu

perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut

131 G.H.S Lumban Tobing, 2003, Seri Hukum Perikatan, Perikatan Yang

Lahir Dari Undang-Undang, Erlangga, Jakarta, hal. 89. 132 Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, PT.

Prenada Media, Jakarta, hal.44.

81

sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-

undang”.

Oleh sebab itu, yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah

: (i) isi perjanjian; (ii) kepatutan, (iii) kebiasaan, dan (iv) undang-undang.

2. Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan)

Perjanjian sewa-menyewa tidak mungkin terjadi tanpa adanya

suatu yang dapat memberikan manfaat dan kegunaan atau menurut istilah

KUHPerdata suatu “kenikmatan” kepada si pemakainya. Maksud

persetujuan sewa-menyewa ialah “penikmatan” atas suatu benda dengan

jalan membayar sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Benda yang

menjadi objek sewa-menyewa bukan untuk dimiliki tetapi hanya untuk

dinikmati.

Penikmatan atas seluruh benda yang disewa tidak akan

menimbulkan persoalan, jika si penyewa menguasai seluruh bahagian

benda. Masalah penikmatan bisa menimbulkan persoalan, apabila si

penyewa hanya menyewa atas sebahagian barang saja.133 Seperti halnya

penyewaan atas sebagian bawah suatu rumah bertingkat atau satu kamar

dari suatu rumah tentunya penyewa hanya berhak menikmati bagian yang

disewa saja. Atas dasar penikmatan inilah memungkinkan terjadinya

perjanjian sewa-menyewa hanya untuk sebagian saja dari suatu benda.

Karena penyewaan atas suatu kamar jelas dapat dipakai dan dinikmati si

penyewa.

133 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 222

82

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada sewa-menyewa

“sebagian dari suatu benda” dapat diartikan “benda”. Berbeda pada

perjanjian jual beli, pengertian benda adalah “sesuatu yang utuh” yang

dapat diletakkan atasnya hak untuk memiliki.

3. Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat

(yang menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat (penyewa)

Unsur ini merupakan subjek perjanjian atau para pihak yang

membuat perjanjian. Subjek perjanjian dapat merupakan orang per orang

(naturlijk person) atau badan hukum (recht person). Sehubungan dengan

subjek perjanjian, perjanjian menganut azas personalia. Azas ini dapat

ditemukan dalam dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata, yang

berbunyi: “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas

nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk

dirinya sendiri.”

Pasal 1315 KUHPerdata diatas menunjuk pada kewenangan

bertindak dari seseorang yang membuat perjanjian. Kartini Mulyadi

berpendapat secara khusus ketentuan Pasal ini menunjuk pada

kewenangan bertindak untuk individu pribadi sebagai subjek hukum

pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas

nama dirinya sendiri. Dalam kapasitas kewenangan tersebut, sebagai orang

yang cakap bertindak dalam hukum, maka setiap perbuatan yang

dilakukan oleh orang perorangan, sebagai subjek hukum akan mengikat

83

diri pribadi tersebut, dan lapangan perikatan, mengikat seluruh harta

kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadinya.134

Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, yang

berbunyi :

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang

tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada

dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan

perseorangan.”

Ketika orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum

dalam kapasitasnya yang berada yaitu tidak untuk kepentingan dirinya

sendiri, maka kewenangannya harus disertai dengan bukti-bukti yang

menunjukkan bahwa memang orang-orang perorangan tersebut tidak

membuat atau menyetujui dilakukannya perjanjian untuk dirinya sendiri.

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja135 masalah kewenangan

bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke dalam:

a. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri. Dalam

hal ini ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata berlaku baginya secara

pribadi;

b. Sebagai wakil dari pihak tertentu.

4. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut Imbalan

terhadap pembayaran benda dan manfaatnya merupakan hal penting untuk

134 Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 15. 135 Ibid, hal.17.

84

menjadikan suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai perjanjian sewa

menyewa.

Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa

kewajiban membayar sesuatu apapun, maka yang terjadi adalah perjanjian

pinjam-pakai. Harga sewa merupakan unsur yang esensial dalam

perjanjian sewa-menyewa, sehingga dapat dipastikan selalu tercantum

dalam klausul perjanjian tertulis. Namun masih banyak dalam masyarakat

dilakukan perjanjian sewa-menyewa dengan perjanjian lisan yaitu dengan

mengikuti kebiasaan setempat bahkan tidak jarang terjadi pembayaran

dilakukan tanpa kwitansi dan hanya mengandalkan ingatan kedua belah

pihak. Pasal 1569 KUHPerdata, mengantisipasi pengaturan hukumnya

sebagai berikut : “Jika terjadi perselisihan tentang harga suatu penyewaan

yang dibuat dengan lisan, yang sudah dijalankan dan tidak terdapat suatu

pembayaran maka pihak yang menyewakan harus dipercaya atas

sumpahnya, kecuali apabila si penyewa memilih untuk menyuruh

menaksir harga sewanya oleh orang-orang ahli.”

5. Adanya jangka waktu

Jangka waktu merupakan bagian yang esensial dalam perjanjian

sewamenyewa, sehingga tidak terjadi suatu perjanjian sewa-menyewa

tanpa adanya batas waktu. KUHPerdata mengatur perjanjian sewa-menyewa

dengan batas waktu baik yang dibuat dengan tertulis maupun dengan lisan.

Pada sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu, batas waktu penghentian

yang selayaknya ini berpedoman pada kepatutan dan kebiasaan setempat.

85

Untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diingikan dikemudian hari

maka pencantuman “batas waktu yang jelas” sangat diperlukan.

Telah dijelaskan dalam Buku III KUHPerdata memuat peraturan yang

berlaku bagi perikatan pada umumnya dan bagian khusus yaitu perjanjian-

perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah memiliki nama-nama

tertentu. Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian bernama, yaitu perjanjian

khusus yang mempunyai nama sendiri. Bentuk perjanjian sewa-menyewa ada

yang dibuat secara tertulis, dan perjanjian dibuat secara lisan. Dalam prakteknya,

terdapat perjanjian sewa-menyewa tertulis dan lisan dengan batas waktu tertentu,

adapula perjanjian sewa-menyewa yang tidak ditentukan batas akhir waktunya.

Validitas perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu, dapat diuji

dengan menggunakan isntrumen hukum untuk menentukan keabsahan perjanjian

tersebut. Berdasarkan teori validitas dari Hans Kelsen, bahwa norma hukum itu

mengikat, dan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian harus menaati dan

menerapkan norma hukum tersebut. Dalam halnya perjanjian sewa-menyewa,

norma hukum yang harus ditaati dan diterapkan adalah peraturan-peraturan yang

termuat dalam Buku III KUHPerdata. Validitas suatu perjanjian sewa-menyewa

harus memenuhi persyaratan umum syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana

diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan persyaratan khusus yang diatur dalam

Pasal 1548 KUHPerdata tentang sewa-menyewa.136

Beberapa contoh putusan mengenai perjanjian sewa-menyewa tanpa batas

waktu adalah sebagai berikut :

136 Hans Kalsen, 2007, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum

Normatif Sebagai Ilmu mpirik-Deskriptif, Rimdi Press, Jakarta, hal. 47.

86

a. Putusan Mahkamah Agung no.3280 K/Pdt/1995,137 sewa-menyewa rumah

yang perjanjiannya tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah

ditentukan bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun (Pasal 12 (6)

UU No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992).

b. Putusan Pengadilan Negeri Pariaman No. 33/PDT.G/2003/PN.PRM,138

menghukum tergugat mengosongkan tanah perumahan sewa terperkara

dengan jalan membongkar rumah milik Tergugat, penggugat sebagai

pemilik tanah objek perkara bagai manapun sudah sepatutnya diberi

kesempatan untuk dapat menikmati tanah objek perkara tersebut.

c. Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002, menyatakan sah bahwa

ahli waris penyewa berhak menerima dan mewarisi tanah sengketa,

menyatakan sewa- menyewa tanpa batas waktu adalah sah menurut hokum

berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu setiap persetujuan yang dibuat

oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang

membuatnya.

Pasal 1548 KUH Perdata tentang sewa-menyewa menyatakan bahwa yang

disebut sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana satu pihak

mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu benda kepada pihak lain

selama jangka waktu tertentu dengan pembayaran tertentu. Bahwa unsur-unsur

yang harus dipenuhi dalam sewa-menyewa adalah:

137 Habib Adjie, 2011, “Hukum Perjanjian”,

habibadjie.dosen.narotama.ac.id/files/2011/04/HukumPerjanjian2KeabsahanPerjanjian.pdf, hal.32.

138 Sri Hartati, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman”, Artikel, Fakultas Hukum Universitas Andalas, hal.15.

87

1. Adanya kesepakatan antara kedua orang atau kedua belah pihak yang

mengadakan perjanjian.

2. Pihak yang satu menyerahkan/memberikan kenikmatan manfaat suatu

benda ( dalam hal ini pemilik barang/benda).

3. Pihak lainnya menerima untuk selama waktu tertentu dengan pembayaran

(dinyatakan dengan sejumlah uang).

Perjanjian sewa tanpa batas waktu tidak memenuhi unsur-unsur yang

harus dipenuhi dalam perjanjian sewa-menyewa yaitu selama waktu tertentu.

Perjanjian ini tidak valid karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian

sewa-menyewa.

Bagian esensialia dari suatu perjanjian adalah bagian perjanjian yang harus

ada. Apabila bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian bernama yang

dimaksudkan para pihak.139 Dalam perjanjian sewa-menyewa yang merupakan

bagian esensialia adalah sepakat dari pada para pihak, objek sewa, jangka waktu

sewa, dan uang sewa. Bagian esensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk

utuh dari suatu perjanjian, jika hal itu tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap

pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima.140 Hal ini merupakan perbuatan hukum

yang nonexistent, yaitu suatu perbuatan yang tidak memenuhi salah satu atau semua

unsure suatu perbuatan hukum (tertentu).141 Maka perjanjian ini dianggap tidak

pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum.

139 Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan

Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 67. 140 Ibid, hal.366. 141 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010,

Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar, hal.35

88

Hak menikmati barang yang diserahkan kepada si penyewa: hanya terbatas

pada “suatu jangka waktu tertentu” saja, sesuai dengan lamanya jangka waktu

yang ditentukan dalam perjanjian.142 Perjanjian sewa tanah hanya bersifat

menikmati manfaat tanah untuk digunakan oleh penyewa dalam waktu tertentu

dengan pembayaran harga sewa dan tidak mengalihkan hak milik atas tanah.Hak

kebendaan seorang pemilik tanah tidak beralih kepada penyewa Perjanjian sewa-

menyewa yang mencantumkan jangka waktu untuk selamalamanya/ tidak terbatas

tersebut merupakan pengingkaran terhadap lembaga hokum jual-beli terutama

jual-beli atas tanah, karena apabila ada pihak yang memang tidak beritikad baik

dalam perjanjian yang dibuatnya dan mencantumkan jangka waktu selama-

lamanya maka dengan demikian objek menjadi dapat dikuasai untuk

selamalamanya tanpa perlu melakukan jual-beli secara sah. Hal ini jelas

bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dijamin oleh keberadaan

lembaga hukum jual beli.

Perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya atau tidak

terbatas secara substansi akan sama dengan artinya dengan menjual, ini artinya

melanggar hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya

sendiri, sedangkan disisi lain pemilik tanah yang mempunyai sertifikat hak milik

(hak atas tanah turun-temurun, terkuat dan terpenuh) atas tanah tersebut. Sehingga

pada hakikatnya telah terjadinya kekaburan substansi hukum, rasa ketidakadilan

dan ketidak patutan karenanya persewaan bentuk apapun mestinya mengenal batas

waktu. Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas

142 M.Yahya Harahap, Op.Cit., hal.221.

89

waktu adalah tidak valid. Tidak valid karena persyaratan khusus yang merupakan

bagian yang sangat esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi

yaitu jangka waktu tertentu. Apabila jangka waktunya tidak ditentukan atau tanpa

batas waktu, maka perjanjian tersebut dianggap tidak valid, void dan tidak

mempunyai akibat hukum. Sejalan dengan itu, Catherine Elliot dan Frances Quinn

menyatakan void contracts are agreements that create no legal obligations and

for which no remedy will be given.143

Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu ini pun tidak memenuhi Pasal

1339 KUHPerdata, dimana para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang

secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, namun juga terikat oleh

kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Jangka waktu penggunaan tanah yang

selamalamanya/ tidak terbatas tersebut telah bertentangan dengan asas kepatutan

dalam masyarakat.

3.5 Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu

Perjanjian sewa-menyewa pada dasarnya tunduk pada asas konsensualitas.

Konsesualitas sendiri berasal dari bahasa latin “consensus”, yang artinya sepakat.

Namun bukan berarti asas konsensualitas merupakan suatu perjanjian diisyaratkan

adanya kesepakatan. Dimaksud dengan asas konsensualitas adalah pada dasarnya

perjanjian dan perikatan timbul sejak detik tercapainya kesepakatan.144

143 Catherine Elliot, Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate,

England, hal. 562. 144 Naja, H.R Daeng, 2006, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis:

Contract Drafting, Edisi Revisi Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 9.

90

Meskipun perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensual,

namun oleh KUH Perdata diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara

sewa tertulis dan sewa lisan. Jika perjanjian sewa-menyewa itu diadakan secara

tertulis maka sewa-menyewa berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang

ditentukan sudah habis tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan

pemberhentian untuk itu. Sebaliknya jika perjanjian sewa-menyewa tidak dibuat

dengan tertulis maka sewa itu tidak berahir pada waktu yang ditentukan, tapi jika

pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa dia hendak

mengehentikan sewanya, pemberitahuan tersebut harus dilakukan dengan

mengindahkan jangka waktu yang diharuskan. Jika tidak ada pemberitahuan

tersebut, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama.

Perihal sewa menyewa secara tertulis diatur dalam pasal 1570 sedangkan perihal

sewa menyewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam pasal 1571.145

Selain pembedaan bentuk perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara

lisan dan tertulis, pembedaan bentuk tersebut, dapat juga dilakukan melalui

pembedaan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta otentik (authentieke

akte) dengan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta di bawah tangan

(onderhands).

Jika dibuat dengan akta otentik maka, dibuat dalam bentuk sesuai dengan

yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/atau di hadapan pejabat umum

yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dan apabila

kebenarannya dibantah, si penyangkal yang harus memikul beban pembuktian

145 Subekti, R S.H., Op.Cit, hal. 47.

91

(the burden of proof), untuk membuktikan ketidakbenaran sangkalan/dalilnya.

Sedangkan apabila dibuat dengan akta dibawah tangan maka, bentuk akta tidak

terikat bentuk formal. Akta dibawah tangan dapat dibuat dengan bebas oleh setiap

subyek hukum yang berkepentingan, mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna apabila diakui oleh penandatangan, dan apabila kebenaran dibantah,

pihak yang membantah yang memikul beban pembuktian (the burden of proof),

yang harus membuktikan kebenaran bantahan/dalilnya.146

Perjanjian sewa-menyewa adalah sebuah perjanjian timbal balik, sehingga

ada hak dan kewajiban yang melekat pada para pihak yang melakukan perjanjian.

Kewajiban pihak yang menyewakan dapat ditemukan di dalam Pasal 1550 KUH

Perdata, yaitu bahwa pihak yang menyewakan harus menyerahkan barang yang

disewakan kepada penyewa. Selanjutnya pihak yang menyewakan juga

berkewajiban memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga

barang tersebut dapat dipakai oleh pihak penyewa untuk keperluan yang

dimaksudkan. Demikian pula pihak yang menyewakan berkewajiban memberikan

si penyewa kenikmatan yang tenteram dari pada barang yang disewakan selama

berlangsungnya sewa-menyewa.

Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang yang

disewa untuk dinikmati kegunaan barang tersebut. Dan bukan mengalihkan hak

milik dari barang tersebut.

Penentuan berakhirnya hubungan hukum sewa-menyewa diatur secara

umum oleh KUH Perdata. Hubungan hukum sewa-menyewa konvensional

146 Naja, H.R Daeng, Op.Cit, hal. 17-18.

92

berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan, dibagi dalam

dua kategori yaitu, apabila perjanjian sewa-menyewa tertulis, hal itu diatur

didalam Pasal 1570 KUH Perdata yang berbunyi:

“jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi

hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya

suatu pemberitahuan untuk itu” (Pasal 1570 KUH Perdata).

Sedangkan apabila bentuk perjanjian sewa-menyewa tersebut adalah

perjanjian sewa-menyewa lisan, maka berakhirnya hubungan hukum diatur dalam

Pasal 1571 KUH Perdata yang berbunyi:

“jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir

pada waktu yang tidak ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan

bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang

waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat (Pasal 1571 KUH

Perdata).”

Perjanjian sewa-menyewa juga dapat berakhir tidak ditentukan waktunya.

Mengenai penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam hubungan hukum

sewa-menyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-

menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak

mengatur berakhirnya hubungan hukum sewa-menyewa tanpa batas waktu.

Sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.147

147 Harahap, M. Yahya S.H., Op.Cit, hal. 240.

93

BAB IV

ANALISIS KASUS GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH TANPA

JANGKA WAKTU

Teori yang digunakan dalam mengkaji masalah gugatan perjanjian sewa

rumah tanpa jangka waktu adalah teori hukum perjanjian mengingat perjanjian

sewa menyewa tanpa jangka waktu termasuk dalam lingkup hukum perjanjian.

Selain itu digunakan juga teori kekuasaan kehakiman dan teori penafsiran karena

kekuasaan hakim yang bisa memutus gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka

waktu dengan penafsiran hakim apakah perjanjian sewa rumah tanpa jangka

waktu sah atau tidak. Dalam melakukan keabsahan perjanjian sewa rumah tanpa

jangka waktu hakim dapat berpegang pada yurisprudensi yang ada. Oleh sebab itu

konsep yurisprudensi juga digunakan dalam bab ini.

4.1 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Desa

Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar (Putusan Pengadilan

Negeri Gianyar Nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR; Putusan Pengadilan

Tinggi Denpasar Nomor: 205/Pdt/2001/PT.DPS; Putusan Mahkamah

Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002)

Putusan ini diawali dengan perkara perdata nomor:

07/Pdt.G./2001/PN.GIR dengan banding yang diakhiri dengan putusan nomor:

205/Pdt/2001/PT.DPS tapi perkara ini terus berlanjut sehingga memerlukan

penetapan akhir oleh Mahkamah Agung dengan Penetapan Nomor: 2313 K/Pdt/2002.

Perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu yang melatar belakangi

putusan MA No. 2313 K/Pdt/2002 tersebut yaitu sewa-menyewa tanah yang

terjadi sejak tahun 1971 di Banjar Lungsiaka Desa, Kedewatan, Kecamatan Ubud,

94

Kabupaten Gianyar, Bali dibuktikan dengan surat perjanjian tertanggal 22

September 1971 dengan isi perjanjian sebagai berikut :

1. Terjadi hubungan sewa-menyewa antara Anak Agung Rai Pande sebagai

pihak pemilik tanah mengadakan perjanjian di bawah tangan dengan

Sjamsuari Sjam selaku penyewa, perjanjian tersebut dibuat diatas kertas

segel dengan nama “Surat Perjajian Bersama-Perjanjian”,

2. Kesepakatan yang diperjanjikan diantara pihak pemilik tanah dan penyewa

tanah yaitu mengenai urusan/penggunaan tanah untuk tanah seluas 30 are

(3000m2) dengan batas-batasnya :

a. Sebelah utara berbatas dengan : Anak Agung Anom Nesa

b. Sebelah timur berbatas dengan : sungai

c. Sebelah selatan berbatas dengan : Tjok. Dugil

d. Sebelah barat berbatas dengan : Anak Agung Raka Pande (jalan masuk

lebar 4 meter dan sisa tanah)

3. Perjanjian tersebut mulai berlaku tanggal 22 September1971 dan dibayar

seharga Rp. 27.000 (dua puluh tujuh ribu) oleh Sjamsuari Sjam untuk

jangka waktu selama-lamanya/tidak terbatas.

4. Terdapat 2 (dua) pokok isi perjanjian terkait dengan pihak Anak Agung Rai

Pande sebagai masyarakat setempat pemilik tanah dengan pihak Sjamsuari

Sjam yang saat itu sebagai pengusaha yang beralamat di Jakarta yaitu bahwa:

a. Pihak penyewa berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah

tamat sekolah untuk bekerja pada usaha milik penyewa di atas tanah

tersebut.

95

b. Pihak penyewa memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama

minimal 4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha

pembangunan.

4.1.1 Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor:

07/Pdt.G./2001/PN.GIR.134 Para Pihak

1. Dra. Dalifah Syamsuddin, bertempat tinggal di komplek Bumi Jati

Waringin F. 14. RT. 03 /16, Kelurahan Jati Waringin, Kecamatan Pondok

Gede, KOdya Tingkat II Bekasi.

2. Amir Rabik, bertempat tinggal di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa

Kedewatan,

Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, kedua-duanya

adalah pemilik tanah sengketa dan disebut juga sebagai penggugat I dan

penggugat II. Melawan Anak Agung Rai Pande, bertempat tinggal di

Dusun/Banjar Lunsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah

Tingkat II Gianyar, selanjutnya disebut juga sebagai tergugat.

1. Kasus Posisi

a. Bahwa penggugat I adalah kakak kandung dari Alm. Sjamsuarni Sjam

yang telah meninggal dunia , yang juga telah menetapkan penggugat I

sebagai ahli waris tunggal berdasarkan Akta Permohonan Pertolongan

pembagian harta peninggal No. 011/P3IIP/2000/P.A.BKS, tertanggal

04 Desember 2000 dan Surat Keterangan kelurahan Jatiwaringin No.

587/PD.01/XII/2000, tertanggal 19 Juli 2000;

96

b. Bahwa adik kandung penggugat I Alm. Sjamsuarni Sjam telah

mengontrak sebidang tanah dari tergugat sesuai dengan Surat

Perjanjian Bersama Perjanjian tertanggal 22 September 1971 seluas +

3000 m2 (30 Are) dari pipil No. 34, persil 13 a, Kls. II.

c. Bahwa sesungguhnya tanah tersebut diatas sudah dibeli oleh adik

kandung penggugat I dari tergugat, karena tergugat malu didengar oleh

warga menjual tanah, maka terhadap tanah yang sudah dibeli oleh adik

kandung penggugat selanjutnya dibuatkanlah Surat Perjanjian Bersama

Perjanjian pada tanggal 22 September 1971 dengan jangka waktu

selama-lamanya/tidak terbatas;

d. Bahwa diatas tanah sengketa tersebut adik kandung penggugat sudah

mendirikan bangunan, selama + 12 tahun bangunan tersebut ditempati

oleh adik kandung penggugat I dan selanjutnya tanah dan bangunan

tersebut diserahkan (dikuasakan) penguasaan dan pengelolaannya pada

bulan februari 1982 dan dikuatkan dengan surat tugas tertanggal 1 Juni

1988 kepada penggugat II dan dipertegas lagi dengan surat perjanjian

penggunaan tanah tertanggal 11 April 1994 dari penggugat I kepada

penggugat II;

e. Bahwa tanpa sepengetahuan penggugat I dan penggugat II tiba-tiba

pada tanggal 24 Februari 2000, tempat usaha dan Kantor Konsulat

Spanyol penggugat II didatangi oleh + 20 orang pemuda dengan

membawa tongkat, pentungan dan senjata tajam yang kemudian

tergugat menutup (menembok) jalan masuk ke tanah sengketa;

97

f. Bahwa atas perbuatan tergugat yang tidak memenuhi isi dari Surat

Perjanjian Bersama tertanggal 22 September 1971 dan tergugat juga

sudah menutup (menembok) asset menuju jalan keluar masuk ketanah

sengketa adalah perbuatan melawan hukum.

2. Gugatan

Berdasarkan uraian diatas, penggugat I dan penggugat II

mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Gianyar karena merasa

dirugikan oleh tindakan tergugat yang menutupi/menembok akses jalan

keluar masuk menuju tempat tanah sengketa (Kantor Konsulat Spanyol).

Atas hal tersebut penggugat I dan penggugat dalam gugatannya juga

mengajukan petitum sebagai berikut:

a. Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk seluruhnya;

b. Menyatakan sah hukum “surat perjanjian bersama perjanjian” tertanggal

22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan tergugat

tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya/tidak terbatas atas

sebidang tanah pipil No. 34, persil No. 13, klas II, luas + 3000 m2 (30

are) dari luas asal 5250 m2, atas nama Dw.Rk. Mangku terletak di

dusun/banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud;

c. Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar

hokum menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter menuju

tempat tinggal, tempat usaha dan kantor Konsulat Spanyol penggugat

II;

98

d. Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup jalan

masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha dan kantor

konsulat spanyol penggugat II;

e. Menyatakan hukum penggugat II telah menderita kerugian setiap bulan

inmateriil sebesar Rp. 500.000.000,-;

f. Menghukum tergugat untuk membayar kerugian materiil setiap bulan

sebesar Rp. 50.000.000,- sejak tanggal 24 Pebruari 2000 dan kerugian

inmateriil sebesar Rp. 500.000.000,- kepada penggugat II;

g. Meletakan sita jaminan (conservatoir beslag) atas barang-barang milik

tergugat baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak;

h. Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu

walaupun tergugat mengajukan banding, kasasi maupun peninjauan

kembali;

i. Menghukum tergugat untuk membayar segela biaya yang timbul dalam

perkara ini.

3. Eksepsi dan rekonpensi tergugat

a. Jawaban dalam eksepsi dan dalam pokok perkara Bahwa tergugat

konpensi menolak secara tegas semua dalil-dalil gugatan penggugat

konpensi terkecuali apa yang secara tegas telah diakui olehnya;

b. Bahwa dalam hal ini para tergugat rekonpensi ingin tetap menguasai

tanah sengketa hanya berdasarkan perjanjian perjanjian yang pernah

dibuat oleh penggugat rekonpensi dengan Syamsuarni almarhum yaitu

adik kandung tergugat rekonpensi I. Padahal para tergugat rekonpensi

99

tidak mempunyai hak lagi untuk menguasai dan menempati tanah

sengketa sebab salah satu pihak yang membuat perjanjian perjanjian

itu yaitu syamsuarni syamsuddin sudah meninggal dunia;

c. Bahwa terhadap terhadap perjanjian perjanjian tersebut diatas yang

dibuat dibawah tangan pada tanggal 22 september 1971 ternyata isinya

juga banyak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang

berlaku salah satu diantaranya dalam perjanjian itu tidak ada batas

waktu berlakunya perjanjian tersebut. Dan setelah perjanjian berjalan

adik kandung tergugat rekonpensi I (syamsuarni syamsuddin) sama

sekali sejak perjanjian itu dibuat hingg sekarang tidak pernah

melakukan/melaksanakan/memenuhi isi perjanjian tersebut.

Maka berdasarkan atas alasan-alasan yang telah kami

kemukakan tersebut diatas, penggugat rekonpensi mohon agar

pengadilan negeri gianyar berkenan memutus: Dalam konpensi :

- Menolak gugatan para penggugat konpensi seluruhnya atau

setidaktidaknya menyatakan gugatan para penggugat konpensi

tidak dapat diterima. Dalam rekonpensi:

a) Mengabulkan gugatan penggugat rekonpensi untuk seluruhnya;

b) Menyatakan hukum tanah sengketa adalah syah hak milik

penggugat rekonpensi;

c) Menyatakan hukum perjanjian perjanjian tanah sengketa antara

penggugat rekonpensi dengan syamsuarni syamsuddin/adik

kandung tergugat rekonpensi I, yaitu perjanjian dibawah tangan

100

yang dibuat pada tanggal 22 september 1972 dan perjanjian

yang dibuat tanggal 11 Januari 1974 adalah batal demi demi

hukum;

d) Menyatakan hukum perjanjian sewa-menyewa yang dibuat

antara anak kandung penggugat rekonpensi dengan tergugat

rekonpensi II pada tanggal 29 oktober 1986 batal demi hukum

karena masa perjanjiannya sudah habis;

e) Menyatakan hukum para tergugat rekonpensi telah melakukan

perbuatan melawan hukum menguasai dan menempati tanah

sengketa tanpa alas an hak yang sah;

f) Menyatakan hukum semua bangunan yang ada diatas tanah

sengketa menjadi hak milik penggugat rekonpensi;

g) Menghukum para tergugat rekonpensi menyerahkan tanah

sengketa dengan lasia kepada penggugat rekonpensi dan bila

perlu dengan bantuan yang berwajib;

h) Menyatakan hukum putusan ini dapat dilaksanakan terlebih

dahulu walaupun para tergugat rekonpensi banding dan kasasi;

i) Menghukum para tergugat rekonpensi untuk membayar biaya

yang timbul dalam perkara ini.

4. Pertimbangan hukum dan putusan

Berdasarkan hal-hal diatas, maka Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Gianyar dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:

101

a. Menimbang, bahwa untuk mendalilkan gugatannya para penggugat

telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda P-1 s/d P-13 serta telah

mengajukan 4 orang saksi masing-masing yaitu : 1. I Made Lembeng,

2 I Ketut Robin, 3. Ketut Munut, 4. Ni Wayan Taman. Sedangkan

tergugat untuk menguatkan dalil sangkalannya telah pula mengajukan

bukti surat yang diberi tanda T-1 s/d T-9 serta telah pula mengajukan 3

orang saksi yaitu : 1. Anak Agung Rai Santun , 2. I Wayan Tambun, 3.

I Made Koyo;

b. Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti P-3, P-4, P-4a dan P-5, P-9

serta keterangan saksi Ketut Robin, Ketut Munut serta Ni Wayan Taman

masing-masing berhubungan dan bersesuaian satu sama lainnya;

c. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah terbukti

secara hukum bahwa A.A. Rai Pande (tergugat) telah terikat perjanjian

perjanjian dengan syamsuarni syam atas sebidang tanah yang terletak

di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud

dengan jangka waktu selama-lamanya;

d. Menimbang, bahwa oleh karena syamsuarni syamsuddin telah

meninggal dunia dan Dra. Dalifah Syamsuddin adalah satu-satunya

ditetapkan sebagai ahli waris. Mka terhadap tanah sengketa tersebut

yang paling berhak mewaris adalah Dra. Dalifah Syamsuddin sebagai

penggugat I;

e. Menimbang, bahwa berdasarkan pengamatan majelis hakim pada saat

melakukan pemeriksaan setempat atas tanah sengketa pada tanggal 6

102

April 2001 memang benar jalan yang menuju tanah sengketa yang

telah berisi bangunan telah ditutup dengan tembok sehingga penggugat

II maupun karyawan konsulat spanyol yang menyewa rumah diatas

tanah sengketa tidak bisa keluar maupun masuk;

f. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, bahwa

tergugat telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena

telah menembok jalan yang menuju tanah sengketa; Dalam rekonpensi:

g. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dalam

konpensi tersebut diatas, majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian

perjanjian bersama antara A.A. Rai Pande (tergugat) dengan

syamsuarni syam atas sebidang tanah seluas +30 are yang terletak di

Dusun/Banjar Lungsiakan dengan jangka waktu yang selama-lamanya

adalah sah menurut hokum sebagaimana tertuang dalam bukti P-3.

Oleh karena Pasal 1338 KUHPerdata bahwa setiap persetujuan yang

dibuat oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang

bagi yang membuatnya;

h. Menimbang, bahwa menurut majelis bahwa bukti yang diajukan oleh

tergugat konpensi / penggugat rekonpensi yang bertanda T-2 s/d T-8

serta keterangan saksi-saksi yaitu A.A. Rai Pande, I Wayan Tambun

dan I Made Koyo tidak ada yang dapat melumpuhkan alat bukti

penggugat konpensi/tergugat rekonpensi. Oleh karena itu penggugat

rekonpensi tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatanya;

103

i. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas

penggugat rekonpensi tidak dapat membuktikan dalil gugatannya maka

penggugat rekonpensi berada pihak yang kalah;

j. Dalam Menimbang, bahwa oleh karena penggugat rekonpensi/tergugat

konpensi berada pada piha bankan kepada tergugat

konpensi/penggugat rekonpensi.

k. Setelah memperhatikan undang-undang yang bersangkutan: Mengadili

: yang kalah, maka biaya perkara ini termasuk biaya rekonpensi

diberkonpensi :

1) Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk

sebagian;

2) Menyatakan sah menurut hukum “surat perjanjian bersama

perjanjian” tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung

penggugat I dengan tergugat tentang jangka waktu perjanjian

selama-lamanya/tidak terbatas atas sebidang tanah, pipil No. 34,

persil No. 139, Klas II, Luas + 3. 000 m2 (30 are) dari luas asal

5250 m2 atas nama Dewa Raka Mangku, yang terletak di

Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud;

3) Menyatakan sah menurut hukum penggugat I adalah ahli waris

tunggal dari syamsuarni syam disebut juga syamsuarni syamsuddin

yang berhak menerima dan mewaris tanah sengketa;

104

4) Menyatakan sah menurut hukum penggugat II tinggal dan

menempati tanah sengketa atas kuasa dan seijin syamsuarni syam

disebut juga syamsuarni syamsuddin dan penggugat I;

5) Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar

hokum menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter

menuju tempat tinggal, tempat usaha kantor konsulat spanyol dan

tempat tinggal penggugat II;

6) Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih

dahulu sepanjang mengenai jalan masuk selebar 4 meter yang

menuju tempat tinggal, tempat usaha, kantor konsulat spanyol dan

tempat penggugat II walaupun tergugat mengajukan banding,

kasasi maupun peninjauan kembali;

7) Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup

jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha

Kantor Konsulat Spanyol dan tempat tinggal Penggugat II. Dalam

rekonpensi :

- Menolak gugatan penggugat rekonpensi seluruhnya. Dalam

konpensi Dan rekonpensi :

- Menghukum tergugat dalam konpensi atau penggugat dalam

rekonpensi untuk membayar biaya perkara ini yang hingga kini

dianggar sebesar Rp. 174.000.

Atas Putusan Pengadilan Negeri Gianyar tersebut, tergugat tidak

puas dan mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar. Dasar

105

hukum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar pada intinya

adalah karena apa yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Gianyar tidak

sesuai dengan jawaban gugatan dan proses persidangan, sehingga tidak

memenuhi rasa keadilan bagi tergugat selaku pemilik tanah sengketa.

Setelah permohonan pemeriksaan dalam tingkat banding yang

diajukan oleh kuasa hukum pembanding dan telah diajukan memori

banding yang oleh para terbanding telah juga diajukan kontra memori

banding dengan Putusan Perkara No. 07/Pdt.G/2001/PN.GIR, tanggal 16

Juli 2001.

4.1.2 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 205/Pdt/2001/PT.Dps

1. Pokok Pertimbangan Hukum.

a. Menimbang, bahwa permohonan banding dari tergugat dalam

konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding tersebut telah

diajukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta memenuhi

persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang maka permohonan

banding tersebut secara formal dapat diterima;

b. Menimbang, bahwa pengadilan tinggi setelah memeriksa dan meneliti

dengan seksama berkas perkara beserta turunan resmi putusan

pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001 No.

7/Pdt.G/2001/PN.Gir. dan telah pula membaca dan memperhatikan

memori banding yang diajukan oleh tergugat dalam

konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding serta kontra

memori banding yang diajukan oleh para penggugat dalam

106

konpensi/para tergugat dalam rekonpensi/para termbanding, yang

ternyata tidak ada hal-hal baru yang perlu dipertimbangkan maka

pengadilan tinggi dapat menyetujui dan membenarkan putusan hakim

tingkat pertama oleh karena dalam pertimbangan-pertimbangan

hukumnya telah memuat dan menguraikan dengan tepat dan benar

semua serta alasan-alasan yang menjadi dasar dalam putusan dan

dianggap telah tercantum pula dalam putusan ditingkat banding;

c. Menimbang, bahwa dengan demikian maka pertimbangan-

pertimbangan hukum hakim tingkat pertama tersebut diambil alih dan

dijadikan dasar di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi

sendiri, sehingga putusan Pengadilan Negeri Gianyar tanggal 16 Juli

2001 Nomor. 7/Pdt.G/2001/PN.GIR. dapat dikuatkan;

d. Menimbang bahwa oleh karena tergugat dalam konpensi/penggugat

dalam rekonpensi/pembanding tetap berada dipihak yang dikalahkan,

maka kepadanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam kedua

tingkat peradilan;

e. Mengingat peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku

khususnya undang No. 14 tahun 1970, undang-undang No. 2 tahun

1986 serta Rbg. Mengadili :

1) Menerima permohonan banding dari tergugat dalam konpensi/

penggugat dalam rekonpensi/pembanding tersebut.

2) Menguatkan putusan pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli

2001 Nomor: 7/Pdt.G/2001/PN.Gir, yang dimohonkan banding.

107

Menghukum tergugat dalam konpensi/penggugat dalam

rekonpensi/pembanding untuk membayar biaya perkara dalam kedua

tingkat peradilan, yang untuk ditingkat banding saja ditetapkan sebesar

Rp.100.000,- ( seratus ribu rupiah).

4.1.3 Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002

1. Bahwa putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 26 Nopember 2001

No. 205/Pdt/2001/PT.Dps. pemohon kasasi telah menyatakan kasasi

tanggal 11 Maret 2002, sehingga dengan demikian pemasukan memori

kasasi ini masih dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan oleh

undang-undang;

2. Bahwa dalam putusan Pengadilan Negeri Gianyar tanggal 16 Juli 2001

No. 7/Pdt.G/2001/PN.Gir, sudah tepat dan benar tanpa memberikan

pertimbangan lebih jauh mengenai memori pembanding adalah merupakan

pertimbangan hukum yang salah dan menyimpang dari hukum acara

perdata yang berlaku;

3. Bahwa judex factie Pengadilan Tinggi Denpasar yang menganggap benar

dan menyetujui Putusan Pengadilan Negeri Gianyar dalam perkara

tersebut, yang menyatakan sah surat perjanjian bersama perjanjian

tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan

tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya atau tidak

terbatas adalah keliru besar, sebab perjanjian yang dibuat tersebut

bertentangan dengan Pasal 1320 BW tentang syarat-syarat syahnya suatu

perjanjian antara lain:

108

a. Sepakat mereka yang mengikat diri

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal.

4. Bahwa jangka waktu yang ditulis dalam perjanjian tersebut untuk

selamalamanya/tidak terbatas bertentangan dengan ketentuan undang-

undang yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata, karena dalam Pasal

tersebut disyaratkan jangka waktu tertentu artinya waktunya terbatas dan

tidak untuk selama-lamanya;

5. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas lagi pula

dari sebab tidak ternyata bahwa putusan judex factie dalam perkara ini

tidak bertentangan dengan hukum dan atau undang-undang, maka

permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi Anak Agung Rai

Pande tersebut harus ditolak;

6. Menimbang, oleh karena permohonan kasasi dari pemohon kasasi telah

dinyatakan ditolak, maka kepadanya harus dibebani untuk membayar

biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;

7. Memperhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004,

undang-undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004

yang bersangkutan.

Mengadili :

a. Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Anak Agung Rai

Pande tersebut.

109

b. Menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam

semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan

sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).

4.1.4 Pembahasan Kasus Hukum

Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu merupakan perjanjian yang

tidak seimbang atau mengandung klausul yang berat sebelah karena pemohon

kasasi tidak dapat memanfaatkan tanah sengketa selama-lamanya padahal

pemohon kasasi adalah pemilik tanah, sedangkan termohon yang menguasai tanah

sengketa dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah sengketa tersebut

untuk selama-lamanya.

Perjanjian yang demikian melanggar asas keadilan, yang mana dalam ajaran asas keadilan menyatakan bahwa perjanjian adalah adil apabila prestasi-prestasi yang diperjanjikan adalah sama nilainya atau yang dimaksudkan sebaliknya bahwa prestasi-prestasi yang diperjanjikan itu adil berdasarkan suatu perjanjian yang seimbang, yaitu perjanjian dilakukan oleh pihak-pihak yang sama haknya.148 Rescoue Pound dalam teorinya yaitu teori sama nilai menyatakan bahwa

suatu perjanjian baru mengikat jika para pihak dalam perjanjian tersebut

memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai.149 Perjanjian sewa-

menyewa tanpa batas waktu tentunya tidak memberikan prestasi yang seimbang

dan merugikan pemilik tanah karena tidak dapat menikmati dan menggunakan

tanah miliknya sendiri selama-lamanya.

148 Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan

Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.20. 149 Roscoe, Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law,

Yale University Press.

110

Berdasarkan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata yang menyatakan: ”si

penyewa jika kepadanya tidak telah diperijinkan, tidak diperbolehkan mengulang

sewa barang, yang disewanya maupun melepaskan sewanya kepada orang lain,

atas ancaman pembatalan perjanjian sewa …”. Peralihan hak sewa dari termohon

I (Dalifah Sjamsuddin) kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik

tanah yaitu Anak Agung Rai Pande adalah tidak beralaskan hukum sehingga tidak

dapat dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata.

Bahwa Sjamsuarni Sjam tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan isi

perjanjian sewa-menyewa yang dibuat yaitu:

1. Pihak kedua berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah tamat

sekolah untuk bekerja pada usaha pihak kedua diatas tanah tersebut

2. Pihak kedua memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama minimal

4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha pembangunan”.

Menurut Pasal 1266 KUHPerdata syarat batal dianggap selalu

dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah

satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas

waktu ini tidak menyebutkan syarat batal maka sesuai Pasal 1266 KUHPerdata

manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dapat dimohonkan

pembatalan di muka hakim. Bahwa wanprestasi dalam perjanjian timbal balik

dapat dimajukan sebagai alasan minta pecahnya perjanjian dan hakim diberi kuasa

mengatur akibatnya selaras dengan keadaan dan kepatutan.150

150 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.88.

111

Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi

bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548

KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok

dalam uatu perjanjian tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan

tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. Perjanjian tersebut

tidak mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum, maka perjanjian ini harus

diakhiri.

Perjanjian sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tidak sekedar

mengingkari lembaga jual beli tetapi mengingkari lembaga hak milik yang

bersifat hak asasi, dan juga jika sewa dinyatakan tidak terbatas maka artinya

melanggar hak asasi pemiliknya untuk dapat memanfaatkan tanah miliknya sendiri.

Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah

dengan jangka waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian

sewamenyewa tanah tanpa batas waktu dalam Putusan Mahkamah Agung no.

2313 K/Pdt/2002 ini dapat diakhiri dengan cara pemilik tanah mengajukan

gugatan ke Pengadilan Negeri untuk diakhirinya perjanjian dengan dasar-dasar

gugatan sebagai berikut:

1. Karena perjanjian ini melanggar asas keadilan dan asas kepatutan, yaitu

prestasi-prestasi yang diperjanjikan tidak seimbang/sama nilainya, dimana

pemilik tanah tidak dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah

tersebut selama-lamanya, karenanya perjanjian sewa-menyewa bentuk

apapun semestinya mengenal batas waktu.

112

2. Karena pihak penyewa tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi),

sehingga dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian sesuai

dengan Pasal 1266 KUHPerdata.

3. Karena perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya

secara substansi akan sama artinya dengan menjual, ini artinya melanggar

hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya

sendiri selamalamanya. Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan

melanggar kepatutan, sehingga sewa tanah dengan jangka waktu selama-

lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri.

4. Karena telah terjadi peralihan hak sewa dari termohon I (Dalifah

Sjamsuddin) kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik

tanah yaitu Anak Agung Rai Pande, bertentangan dengan ketentuan Pasal

1559 KUHPerdata dan perjanjian ini dapat diakhiri.

Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa

tanah tanpa batas waktu ini adalah sah menurut hukum, berdasarkan Pasal 1338

KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh kedua

belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

Sedangkan dalam ketentuan perjanjian, suatu perjanjian sewa-menyewa dapat

mengikat, apabila syarat-syarat suatu perjanjian sewa-menyewa telah terpenuhi.

Dalam hal ini jangka waktu yang merupakan unsur yang sangat esensial dan

merupakan syarat khusus sahnya suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi

dan melanggar asas kepatutan dan kebiasaan, Hakim dalam hal ini lebih

menekankan pada aspek daya mengikatnya perjanjian serta mengenyampingkan

113

aspek kepatutan dan kebiasaan. Dalam KUHPerdata pun telah dengan tegas

dirumuskan pemaknaan kepatutan yaitu dalam Pasal 1339 dan Pasal 1347

KUHPerdata.

Bahwa faktor kepatutan merupakan faktor yang teramat penting di dalam

penemuan hukum. Rasa kepatutan ini mengharapkan para hakim untuk

memberikan pertimbangan terhadap masalah yang dihadapinya. Faktor kepatutan

perlu mendapat perhatian dalam setiap pertimbangan yang hendak diambil oleh

hakim untuk menjatuhkan keputusannya.151

Putusan pengadilan ini tidak menerapkan ketentuan perjanjian. Meskipun

putusan ini telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat saja diajukan kembali

karena hakim yang memutus perkara tersebut telah khilaf, kurang cermat dalam

meneliti bentuk isi perjanjian yang dibuat para pihak yang mengakibatkan

merugikan ahli warisnya sehingga tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah

miliknya sendiri untuk selama-lamanya.

4.2 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di

Sidoarjo Jawa Timur (Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor:

46/Pdt.G./2000/PN.Sda; Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor:

242/Pdt/2001/PT.SBY; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667

K/Pdt/2001).

Putusan ini diawali dengan perkara perdata Putusan Pengadilan Negeri

Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda dengan banding yang diakhiri dengan

Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY tapi perkara

151 Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”, dikutip dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam Hukum Perikatan Nasional, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1 Tahun ke XIV, hal.359.

114

ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir oleh Mahkamah Agung

dengan Penetapan Nomor: 3667 K/Pdt/2001.

Bahwa sejak kurang lebih tahun 1940 bangunan rumah di Jalan Mojopahit

No.14 Sidoarjo, selanjutnya disebut bangunan rumah sengketa, telah disewakan

oleh isteri Penggugat yang bernama Ny. Trisnawati Adisubrata kepada Ong Ka

Kiong tanpa adanya perjanjian tertulis dan tanpa batas waktu; Sejak Ny. Trisnawati

Adisubrata meninggal dunia, maka Penggugat sebagai ahli warisnya melanjutkan

bangunan sewa menyewa atas bangunan rumah sengketa dengan Ong Ka Kiong

tersebut dengan uang sewa perbulan sebesar Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dan

terakhir kali Ong Ka Kiong membayar uang sewa adalah uang sewa bulan Agustus

sampai dengan Desember 1984 sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu

rupiah) atau uang sewa perbulan adalah Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) ;

Setelah itu Tergugat yang adalah anak dari Ong Ka Kiong meneruskan

menghuni bangunan rumah sengketa dan meminta kepada Penggugat agar

kwitansi pembayaran uang sewa tidak tertulis atas nama Ong Ka Kiong lagi, tetapi

ditulis atas nama Tergugat, namun Penggugat menolak permintaan Tergugat

tersebut karena Penggugat hanya mempunyai hubungan sewa menyewa dengan

Ong Ka Kiong dan sama sekali tidak mempunyai hubungan sewa menyewa

dengan Tergugat serta secara hukum hak sewa tidak bisa diwariskan.

4.2.1 Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda

1. Para Pihak

Tjakra Adisubrata, bertempat tinggal di Jalan Blambangan No.15

Surabaya, dalam hal ini memberi kuasa kepada : Rachmat Harjono

115

Tengadi, SH., dan Ny. Indriati Praptosugondo, SH., Advokat-Pengacara,

berkantor di Jalan Imam Bonjol 15 Surabaya, sebagai Penggugat melawan

Ong Tek Tjwan, bertempat tinggal di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo,

sebagai Tergugat.

2. Kasus Posisi

a. Bahwa sejak kurang lebih tahun 1940 bangunan rumah di Jalan

Mojopahit No.14 Sidoarjo, selanjutnya disebut bangunan rumah

sengketa, telah disewakan oleh isteri Penggugat yang bernama Ny.

Trisnawati Adisubrata kepada Ong Ka Kiong tanpa adanya perjanjian

tertulis dan tanpa batas waktu; Sejak Ny. Trisnawati Adisubrata

meninggal dunia, maka Penggugat sebagai ahli warisnya melanjutkan

bangunan sewa menyewa atas bangunan rumah sengketa dengan Ong

Ka Kiong tersebut dengan uang sewa perbulan sebesar Rp.20.000,-

(dua puluh ribu rupiah) dan terakhir kali Ong Ka Kiong membayar

uang sewa adalah uang sewa bulan Agustus sampai dengan Desember

1984 sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) atau uang

sewa perbulan adalah Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) ;

b. Bahwa setelah itu Tergugat yang adalah anak dari Ong Ka Kiong

meneruskan menghuni bangunan rumah sengketa dan meminta kepada

Penggugat agar kwitansi pembayaran uang sewa tidak tertulis atas

nama Ong Ka Kiong lagi, tetapi ditulis atas nama Tergugat, namun

Penggugat menolak permintaan Tergugat tersebut karena Penggugat

hanya mempunyai hubungan sewa menyewa dengan Ong Ka Kiong

116

dan sama sekali tidak mempunyai hubungan sewa menyewa dengan

Tergugat serta secara hukum hak sewa tidak bisa diwariskan.

c. Bahwa kemudian Tergugat melakukan pembayaran uang sewa kepada

Penggugat dengan cara penawaran dengan disertai penitipan uang

(Consignatie) melalui Pengadilan Negeri Surabaya, sebagai berikut :

1) Berita Acara Penawaran dengan disertai penitipan uang

(Consignatie) No.7/Cons/1986, tertanggal 11 Juli 1986 untuk uang

sewa bulan Juli 1986 sampai dengan bulan Juni 1987 sebesar

Rp.360.000,- (tiga ratus enam puluh ribu rupiah) ;

2) Berita Acara Penawaran dengan disertai penitipan uang

(Consignatie) No.48/Cons/1989, tertanggal 8 Agustus 1989, untuk

uang sewa bulan Juli 1989 sampai dengan bulan Juli 1990 sebesar

Rp.360.000,- (tiga ratus enam puluh ribu rupiah) ;

3) Berita Acara Penawaran dengan disertai penitipan uang

(Consignatie) No.58/Cons/1990, tertanggal 15 Nopember 1990,

untuk uang sewa bulan Juli 1990 sampai dengan bulan Juni 1992

sebesar Rp.720.000,- (tujuh ratus dua puluh ribu rupiah) ;

4) Berita Acara Penawaran dengan disertai penitipan uang

(Consignatie) No.138/Cons/1992, tertanggal 9 Juli 1992, untuk

uang sewa bulan Juli 1992 sampai dengan bulan Juni 1995 sebesar

Rp.1.080.000,- (satu juta delapan puluh ribu rupiah) ;

5) Berita Acara Penawaran dengan disertai penitipan uang

(Consignatie) No.13/Cons/1995, tertanggal 4 Mei 1995, untuk

117

uang sewa bulan Juli 1995 sampai dengan bulan Juni 1998 sebesar

Rp.1.620.000,- (satu juta enam ratus dua puluh ribu rupiah) ;

d. Bahwa Penggugat tetap menolak penawaran dengan disertai penitipan

uang sewa tersebut diatas, karena secara hukum hak sewa tidak dapat

diwariskan, sebab itulah Penggugat tidak mempunyai hubungan sewa

menyewa dengan Tergugat dan Penggugat tidak bersedia mengalihkan

hubungan sewa menyewa dari Ong Ka Kiong kepada Tergugat, lagi

pula uang sewa yang ditawarkan Tergugat sudah tidak sesuai dengan

umumnya uang sewa rumah di Jalan Mojopahit Sidoarjo dan yang

terutama Penggugat ingin mempergunakan bangunan rumah sengketa

tersebut untuk dirinya sendiri;

e. Bahwa disamping itu berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1992

tentang Perumahan dan Pemukiman Pasal 12 (1) dan (6) bertalian

dengan Peraturan Pemerintah RI No.44 Tahun 1994 tentang

penghunian rumah oleh bukan pemilik Pasal 2 dan Pasal 21, maka

penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada

persetujuan atau izin pemilik, dan sewa menyewa rumah dengan

perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak

menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya

Undang-Undang No.4 Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam jangka

waktu 3 tahun sejak berlakunya Undang-Undang tersebut;

f. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka perbuatan Tergugat

menghuni dan menduduki bangunan rumah sengketa tanpa persetujuan

118

dan ijin Penggugat sebagai pemilik sejak tahun 1985 hingga saat ini

adalah tanpa hak dan tidak sah serta merupakan perbuatan melawan

hukum, perbuatan mana telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat;

g. Bahwa akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan

Tergugat, maka Penggugat sebagai pemilik telah menderita kerugian,

oleh karena itu Tergugat sepatutnya dihukum untuk mengganti

kerugian Penggugat sebagai berikut :

1) Kerugian akibat tidak dapat menikmati uang sewa yang wajar dan

layak dari bangunan rumah sengketa sejak bulan Januari 1985

sampai dengan bangunan rumah sengketa diserahkan kembali kepada

Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan;

2) Kerugian akibat kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan

bangunan rumah sengketa untuk keperluan dan kepentingan

Penggugat sendiri sejak bulan Januari 1985 sampai dengan

bangunan rumah diserahkan kembali kepada Penggugat sebesar

Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah);

h. Bahwa karena Tergugat telah menghuni dan menduduki bangunan

rumah sengketa secara tanpa hak dan tidak sah serta merupakan

perbuatan melawan hukum, maka sepatutnya Tergugat dan pihak

manapun yang memperoleh hak dari padanya dihukum untuk

menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa dalam keadaan baik,

kosong dan tanpa beban kepada Penggugat dalam waktu selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan ini diucapkan;

119

i. Apabila Tergugat tidak menyerahkan kembali bangunan rumah

sengketa dalam keadaan baik, kosong dan tanpa beban kepada

Penggugat, maka sepatutnya Tergugat dihukum untuk membayar uang

paksa (dwangsom) sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk

setiap hari keterlambatan menyerahkan kembali bangunan rumah

sengketa terhitung sejak lewat 7 (tujuh) hari setelah putusan ini

diucapkan;

j. Bahwa mengingat bukti kepemilikan Penggugat atas bangunan rumah

sengketa serta tanah dimana bangunan tersebut berdiri telah memenuhi

ketentuan Pasal 180 HIR, maka Penggugat mohon agar putusan dalam

perkara ini dapat dilaksanakan lebih dahulu sekalipun ada verzet,

banding, kasasi maupun upaya hukum apapun dari Tergugat

(Uitvoerbaar bij voorraad);

k. Bahwa untuk mencegah upaya-upaya Tergugat memindahkan dan atau

menyewakan bangunan sengketa kepada pihak-pihak lain oleh

Tergugat dan supaya gugatan Penggugat tidak sia-sia, maka Penggugat

mohon agar Pengadilan Negeri Sidoarjo meletakkan sita jaminan

terhadap obyek sengketa yaitu sebidang tanah Hak Guna Bangunan

No.2925 Kelurahan Sidoarjo, terletak di Propinsi Jawa Timur,

Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan Sidoarjo, Kelurahan Sidokare

sebagaimana diuraikan dalam surat ukur tanggal 18 Juni 1998

No.366/04/1998 seluas 219 M2 (dua ratus sembilan belas meter

persegi) sertifikat diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo

120

tanggal 9 Juli 1998, tertulis atas nama Tjakra Adisubrata berikut

bangunan dan segala sesuatu yang berdiri serta tertanam diatasnya,

setempat terkenal sebagai Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo.

3. Gugatan

Berdasarkan uraian di atas, penggugat mengajukan gugatan di

Pengadilan Negeri Sidoarjo karena merasa dirugikan oleh tindakan

tergugat yang tidak mengembalikan rumah sewa. Atas hal tersebut

penggugat dalam gugatannya juga mengajukan petitum sebagai berikut:

a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;

b. Menyatakan Penggugat adalah pemilik bangunan rumah sengketa

terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo yang sah ;

c. Menyatakan demi hukum Tergugat menghuni bangunan rumah

sengketa secara tanpa hak tidak sah sejak bulan Januari 1985 hingga

saat ini dan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;

d. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian sebagai

berikut:

1) Kerugian akibat tidak dapat menikmati uang sewa yang wajar dan

layak dari bangunan rumah sengketa sejak bulan Januari 1985

sampai dengan bangunan rumah sengketa diserahkan kembali kepada

Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan;

2) Kerugian akibat kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan dan

kepentingan Penggugat sendiri sejak bulan Januari 1985 sampai

121

dengan bangunan rumah sengketa diserahkan kembali kepada

Penggugat sebesar Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah) setiap bulan;

e. Menghukum Tergugat dan atau pihak manapun yang memperoleh hak

dari padanya untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa

terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo kepada Penggugat dalam

keadaan baik, kosong dan tanpa beban dalam waktu selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari sejak putusan ini diucapkan;

f. Menghukum Tergugat dan atau pihak manapun yang memperoleh hak

dari padanya untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar

Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan

menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa terletak di Jalan

Mojopahit No.14 Sidoarjo dalam keadaan baik kosong dan tanpa

beban kepada Penggugat terhitung sejak lewat 7 (tujuh) hari setelah

putusan ini diucapkan;

g. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih

dahulu sekalipun ada verzet, banding, kasasi maupun upaya hukum

apapun dari Tergugat (Uitvoerbaar bij voorraad);

h. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan atas :

- Sebidang tanah Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidoarjo,

terletak di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan

Sidoarjo, Kelurahan Sidokare, sebagaimana diuraikan dalam surat

ukur tanggal 18 Juni 1998 No.366/04/1998 seluas 219 M2 (dua

ratus sembilan belas meter persegi), sertifikat diterbitkan Kantor

122

Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tanggal 9 Juli 1998, tertulis atas

nama Tjakra Adisubrata, berikut bangunan dan segala sesuai yang

berdiri serta tertanam diatas tanah tersebut, setempat terkenal

sebagai Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo ;

i. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara;

j. Apabila Pengadilan Negeri Sidoarjo berpendapat lain, maka dengan

Peradilan yang baik mohon putusan yang seadil-adilnya; Menimbang,

bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut.

4. Eksepsi dan Rekonpensi Tergugat

Bahwa surat gugatan tertanggal 25 April 2000 yang diajukan oleh

Penggugat, terdiri dari 14 (empat belas) buah posita, 8 (delapan) buah

petitum primair dan 1 (satu) buah petitum subsidair, adalah sebagai suatu

gugatan yang ngawur dan sangat kabur, sehingga bagi Tergugat sangatlah

sulit untuk memberikan jawaban karena :

a. Bangunan rumah di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo,

Kecamatan Sidoarjo, Desa (sekarang : Kelurahan) Sidoarjo, di Jalan

Mojopahit No.14 Disoarjo, adalah sebagai milik dari The Liang Khing

(almarhum) dan sejak tahun 1948 disewa oleh Ong Ka Kiong (ayah

kandung dari Tergugat) da selanjutnya sebagai pemilik telah berganti

menjadi The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata;

b. Obyek sewa menyewa tersebut diatas adalah berdiri diatas tanah

Negara sebagaimana dimaksud berdasarkan : Sertifikat Hak Guna

Bangunan No.16 Surat Ukur No.177 tanggal 13 Maret 1923 terakhir

123

atas nama dari pada The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata, luas

tanah yang disewa + 130 M2;

c. Batas-batas obyek sewa menyewa adalah sebagaimana tersebut dalam

jawaban tergugat ;

d. Selanjutnya, adalah tidak benar dan bahkan tidak berdasarkan hukum

segala sesuatu hal apapun yang disebutkan pada posita 1 untuk

seluruhnya ; Bahwa dengan berdasarkan fakta notoir feitenm atas iklan

media massa cetak terbitan Kota Surabaya, ternyata pada hari Minggu

tanggal 3 Mei 1981 The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata telah

meninggal dunia dan dimakamkan pada hari Rabu tanggal 6 Mei 1981,

terbukti “bahwa” almarhum The Ik Nio alias Ny. Trianwati Adisubrata

mempunyai anak-anak sebanyak 5 (lima) orang yaitu :

1) Citra Sari Adisubrata ;

2) Sylvia Adisubrata ;

3) Poppy Adisubrata ;

4) Ir. Ruddy Adisubrata ;

5) Ir. John Adisubrata ;

e. Dengan demikian, meskipun Penggugat adalah sebagai “Suami yang

sah dari pada almarhum The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata,

maka gugatan ini wajib demi hukum diajukan oleh para ahliwarisnya

bukan hanya oleh Penggugat saja”;

f. Bahwa sesuai dan dengan berdasarkan surat gugatan perkara perdata

Pengadilan Negeri Sidoarjo No.46/Pdt.G/2000/PN.Sda. dengan pihak-

124

pihak : Penggugat : Tjakra Adisubrata ; Diwakili : Rachmat Harjono

Tengadi, SH. Ny. Indriati Praptosugono, SH. Dra. Ec. Inggriati. D,

SH. Robert Harmani, SH.; Tergugat : Sinar Tedjokusumo ; Ternyata

“bahwa” terdapat persamaan sekedar mengenai obyek sengketa,

khususnya tentang sertifikat Hak Guna Bangunan No.2925/Kelurahan

Sidokare surat ukur No.366/04/1998 tanggal 18 Juni 1998 yang

diterbitkan/dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo

pada tanggal 9 Juli 1998, dengan luas tanah 219 M2 ;

g. Dari facta yang sama sekali tidaklah mungkin terbantah kebenarannya,

maka adalah jelas-jelas berdasarkan hukum, gugatan dari Penggugat

teramat sangat ngawur bahkan kabur (obscuur libel) dan wajiblah

untuk ditolak dan/atau setidak-tidaknya tiada boleh diterima menurut

hukum (Niet onvankelijke verklaard) ;

h. Bahwa berdasarkan alat-alat perlengkapan bagi permohonan

perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan No.16 surat ukur No.177

tanggal 13 Maret 1923 atas namka The Ik Nio alias Ny. Trisnawati

Adisubrata, yang berupa surat pernyataan tertanggal 27 Juni 1980,

maka dapatlah dihukum terbukti penandatanganan dari :

1) Sinar Tedjokusumo ;

2) Ong Tik Tjwan ;

3) Tjio Ie Ting ;

i. Sudah diketahui, disadari, adanya suatu jalanan hubungan hukum serta

persepakatan/persetujuan terhadap penghunian atas diri Tergugat,

125

terlebih lebih berdasarkan fakta hukum terhadap kematian Ong Ka

Kiong (ayah dari Tergugat) menurut bukti T.No.4 dan/atau maupun

berikut terhadap kematian Gi Kwie Nio (ibu dari Tergugat), telah

disadari, diketahui bahkan ketika jenazah masih disemayamkan

dirumah duka Penggugat bersama-sama isterinya berkesempatan untuk

datang dan hadir menyampaikan rasa belasungkawa;

j. Dari fakta tersebut, adalah merupakan kebohongan besar gugatan dari

Penggugat, apabila tidak ada persepakatan/persetujuan sewa menyewa

dengan Tergugat, terlebih-lebih lagi sampai dalamwaktu sangat lama

telah dibayarkan uang sewa menyewa terhadap bangunan rumah di

Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo.

5. Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo

Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Sidoarjo telah

mengambil putusan, yaitu putusannya tanggal 4 Oktober 2000

No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

a. Dalam Eksepsi :

- Menolak Eksepsi Tergugat;

b. Dalam Pokok Perkara :

1) Mengabulkan gugat Penggugat untuk sebagian;

2) Menyatakan Penggugat adalah pemilik bangunan rumah sengketa

yang terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo;

3) Menyatakan Tergugat telah menghuni rumah sengketa tanpa hak

dan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;

126

4) Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi pengganti uang

sewa kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah)

setiap tahun sejak Maret 1995 hingga putusan ini dapat

dilaksanakan dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap;

5) Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari

padanya untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa

kepada Penggugat dalam keadaan kosong, tanpa beban dalam

waktu selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sejak putusan diucapkan;

6) Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari

padanya untuk membayar uang paksa sebesar Rp.50.000,- (lima

puluh ribu rupiah) setiap hari keterlambatan menyerahkan rumah

sengketa;

7) Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu

meskipun ada verzet, banding, kasasi atau upaya hukum apapun

dari Tergugat;

8) Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan atas

tanah sengketa;

9) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp.514.000,- (lima ratus empat belas ribu rupiah);

10) Menolak gugat Penggugat untuk selebihnya.

4.2.2 Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY

Pokok Pertimbangan Hukum :

1. Menerima Eksepsi yang diajukan oleh Tergugat;

127

2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet onvankelijke

verklaard);

3. Menyatakan penyitaan jaminan yang dilaksanakan dan diletakkan oleh:

Taro, Jurusita Pengganti Pengadilan Negeri Sidoarjo terhadap obyek

sengketa berupa tanah beserta bangunan rumah berdiri di atasnya terletak

di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, sesuai Berita Acara Sita Jaminan

(Conservatoir Beslag) No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. tertanggal 3 Juni 2000,

adalah tidak -- No.14/CB/2000/PN.Sda. Sah dan tidak berharga;

4. Memerintahkan kepada Pengadilan Negeri Sidoarjo untuk segera

mengangkat penyitaan jaminan tersebut;

5. Menghukum Penggugat/Terbanding tersebut untuk membayar biaya

perkara ini, baik yang timbul dalam peradilan tingkat pertama sebesar

Rp.514.000,- (lima ratus empat belas ribu rupiah) maupun dalam peradilan

tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.130.000,- (seratus tiga puluh ribu

rupiah).

Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor:

46/Pdt.G./2000/PN.Sda dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat

telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya dengan

putusannya tanggal 12 Juni 2001 No.242/PDT/2001/PT.SBY, yang

amarnya berbunyi sebagai berikut :

- Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding tersebut;

- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober

2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. yang dimohonkan banding tersebut.

128

4.2.3 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001

Pokok Pertimbangan Hukum :

1. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya telah melakukan

pelanggaran terhadap hukum acara perdata yang berlaku dan melanggar

hak-hak Pemohon Kasasi, karena di dalam halaman 3 alinea kedua putusan

a quo judex factie menguraikan bahwa permohonan banding Termohon

Kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo telah diberitahukan

kepada Pemohon Kasasi (Penggugat/Terbanding) pada tanggal 2

Nopember 2000,demikian pula pada tanggal 2 Nopember 2000 tersebut

kepada Pemohon Kasasi (Penggugat/Terbanding) telah diberitahukan pula

tentang kesempatan untuk memeriksa/atau mempelajari berkas perkara ini

dengan seksama, padahal sebenarnya Pengadilan Negeri Sidoarjo melalui

Pengadilan Negeri Surabaya tidak pernah sekalipun memberikan

pemberitahuan tentang adanya permohonan banding dari Termohon Kasasi

maupun pemberitahuan untuk memeriksa atau mempelajari berkas perkara

dan juga Pemohon Kasasi tidak pernah menerima memori banding

Termohon Kasasi, demikian pula Pengadilan Tinggi Jawa Timur di

Surabaya tidak pernah memberitahukan bahwa perkara ini telah diregister

dengan No.242/Pdt/2001/PT.Sby.; Dengan adanya pelanggaran tersebut,

maka Pemohon Kasasi telah sangat dilanggar hak-haknya, tidak diberi

kesempatan untuk melakukan pemeriksaan/mempelajari berkas perkara

dan tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan kontra memori banding

terhadap memori banding Termohon Kasasi; Dengan demikian Pengadilan

129

Tinggi Jawa Timur di Surabaya telah melanggar hukum acara perdata

yang berlaku, karena telah menerima permohonan banding Termohon

Kasasi dan membuat putusan a quo sebelum memenuhi prosedur hukum

acara perdata yang berlaku secara sempurna, oleh karena itu pula

sepatutnya putusan a quo dibatalkan dan Mahkamah Agung Republik

Indonesia mengadili sendiri dengan menguatkan putusan Pengadilan

Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda.;

2. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya telah tidak

melaksanakan hukum, salah menerapkan hukum dan melanggar hukum

dalam pertimbangannya membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo

tanggal 4 Oktober 2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. dan selanjutnya

menerima eksepsi Termohon Kasasi, dahulu Tergugat Pembanding serta

menyatakan gugatan Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat Terbanding tidak

dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) ;

3. Bahwa di dalam gugatannya Pemohon Kasasi pertama-tama menguraikan

bahwa Pemohon Kasasi adalah pemilik/pemegang hak yang sah atas

sebidang tanah Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidoarjo, terletak

di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan Sidoarjo,

Kelurahan Sidokare, sebagaimana diuraikan dalam surat ukur tanggal 18

Juni 1998, No.366/04/1998, seluas 219 M2 (dua ratus sembilan belas

meter persegi) dengan batas-batas sebagaimana tersebut dalam memori

kasasi, berikut 2 (dua) buah bangunan rumah yang terletak diatasnya yang

dikenal sebagai Jalan Mojopahit No.12 dan Jalan Mojopahit No.14

130

Sidoarjo (vide bukti P.1, P.2) ; Jadi kedua buah bangunan rumah yaitu di

Jalan Mojopahit No.12 yang dihuni oleh Sinar Tedjokusumo dan di Jalan

Mojopahit No.14 yang dihuni oleh Termohon Kasasi berada di atas

sebidang tanah seluas 219 M2 (dua ratus sembilan belas meter persegi)

yang sertifikatnya masih menjadi satu dengan batas-batas sebagaimana

tersebut diatas. Adapun kesalahan ketik berupa terbaliknya penulisan batas

Barat dan Timur yang dicantumkan dalam gugatan Pemohon Kasasi telah

dibetulkan dalam replik Pemohon Kasasi tertanggal 1 Juli 2000 ;

4. Bahwa dengan demikian jelas bahwa di dalam gugatannya Pemohon

Kasasi menguraikan batas-batas dari tanah di mana obyek sengketa berdiri

sesuai Sertifikat Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare,

sedangka yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan setempat pada tanggal

17 Juni 2000 adalah batas-batas obyek sengketa yaitu bangunan rumah di

Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo saja yang berdiri diatas sebagian dari

tanah ak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare, sehingga tidak

benar pertimbangan Pengadilan Tinggi Jawa Timur dalam putusan

halaman 17 alinea ketiga yang mengatakan penyebutan batas-batas

bangunan rumah obyek sengketa yang digugat Pemohon Kasasi berbeda

pada saat diadakan pemeriksaan setempat ;

5. Bahwa telah jelas dan gamblang bahwa obyek sengketa yang digugat oleh

Pemohon Kasasi adalah bangunan rumah terletak di Jalan Mojopahit

No.14 Sidoarjo yang dihuni oleh Termohon Kasasi sebagaimana diuraikan

dalam butir 2 gugatan Pemohon Kasasi, sehingga tidak akan terjadi kerancuan

131

dalam pengertian letak obyek sengketa. Hal ini terbukti pada saat dilakukan

pemeriksaan setempat oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo

justru semakin jelas keberadaan dan batas-batas obyek sengketa tersebut ;

6. Bahwa secara tersurat dan tersirat di dalam eksepsinya maupun dalam

seluruh rangkaian pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri Sidoarjo

sebenarnya Termohon Kasasi telah mengerti dan mengakui bahwa obyek

sengketa adalah bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo yang

dihuninya ;

7. Bahwa dengan demikian tidak benar pertimbangan Pengadilan Tinggi

Jawa Timur di dalam putusan a quo halaman 7 alinea ketiga yang pada

intinya akan timbul kesulitan ataupun kendala di kemudian hari dalam

melaksanakan isi putusan apabila perkara ini telah berkekuatan hukum

tetap, karena sebenarnya telah jelas bahwa obyek sengketa adalah

bangunan rumah yang terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, oleh

karena itu maka seharusnya putusan Pengadilan Tinggi yang menerima

eksepsi Termohon Kasasi dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah Agung

Republik Indonesia mengadili sendiri dengan menguatkan putusan

Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000

No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. ;

8. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur juga telah salah dalam menerapkan

hukum dan nyata-nyata melanggar hukum yang berlaku dalam

pertimbangannya pada halaman 7 alinea terakhir dan halaman 8 alinea

pertama dan kedua yang pada intinya menyatakan walaupun ada

132

penolakan harta warisan almarhumah Ny. Trisnawati Adisubrata dari para

ahliwaris yang lain, kelima ahli waris lain tersebut harus diikutsertakan

sebagai pihak turut Tergugat untuk mencegah tidak terjadi sengketa di

antara sesame ahliwaris atas obyek sengketa;

Berdasarkan Pasal 1058 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

ahli waris yang telah menolak harta warisan secara sah dianggap tidak

pernah berkedudukan sebagai ahli waris ;

Kelima anak-anak Pemohon Kasasi dan Ny. Trisnawati Adisubrata

sebagai ahli waris almarhumah Ny. Trisnawati Adisubrata telah menolak

harta warisan ibunya tersebut di depan Panitera Kepala Pengadilan Negeri

Surabaya sebagaimana ternyata dari pernyataan menolak warisan

No.29/1982 tertanggal 1 Desember 1982, sehingga secara hukum telah sah

menolak harta warisan ibunya dan dianggap tidak pernah berkedudukan

sebagai ahliwaris (vide bukti P.11), oleh karena itu Pemohon Kasasi

menjadisatu-satunya ahliwaris Ny. Trisnawati Adisubrata dan sudah sah

serta berhak penuh untuk mengurus harta warisan isterinya tersebut,

termasuk untuk menggugat Termohon Kasasi Bahwa karena kelima anak

Pemohon Kasasi dan Ny. Trisnawati Adisubrata tersebut sudah tidak

bekedudukan lagi sebagai ahli waris Ny. Trisnawati Adisubrata, maka

mereka tidak berhak untuk turut menggugat Termohon Kasasi, apalagi

sebagaimana dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur untuk

diikutsertakan sebagai turut Tergugat akan merupakan error in person,

karena hanya Termohon Kasasi saja satu-satunya pihak yang harus digugat

133

sebagai akibat perbuatannya menghuni bangunan rumah sengketa secara

tanpa hak dan melakukan perbuatan melawan hukum ;

9. Bahwa pertimbangan Pengadilan Tinggi Jawa Timur agar kelima anak Ny.

Trisnawati Adisubrata tersebut diikutsertakan sebagai turut Tergugat untuk

mencegah dan kemudian hari terjadi persengketaan bagi sesama ahliwaris

dalam hubungan internal atas obyek sengketa merupakan pertambangan

yang tidak berdasar hukum dan karena itu harus ditolak dan

dikesampingkan;

10. . Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka pertimbangan Pengadilan Tinggi

Jawa Timur dalam halaman 8 alinea ketiga yang menyimpulkan gugatan

Pemohon Kasasi belum memenuhi persyaratan formal serta dianggap

sebagai gugatan yang kabur (obscuur libel) sehingga eksepsi Termohon

Kasasi diterima adalah tidak melaksanakan hukum yang berlaku, sehingga

sudah sepaturnya putusan a quo dibatalkan dan Pemohon Kasasi mohon

agar Mahkamah Agung Republik Indoenesia menolak eksepsi Termohon

Kasasi dan menerima gugatan Pemohon Kasasi serta mengadili sendiri

dengan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo yang telah benar

dalam penerapan hukumnya;

11. Bahwa Pemohon Kasasi mohon agar segala sesuatu yang telah diuraikan

didalam eksepsi dianggap tersurat dan tersirat di dalam pokok perkara ini ;

12. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur telah tidak melaksanakan hukum,

salah menerapkan hukum dan melanggar hukum dalam membatalkan

putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo yang menyatakan gugatan Pemohon

134

Kasasi, dahulu Penggugat Terbanding tidak dapat diterima (niet

onvankelijke verklaard) sebagaimana diuraikan di dalam eksepsi tersebut

di atas, sehingga demikian pula putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur

yang menyatakan penyitaan jaminan yang dilaksanakan dan diletakkan

oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo terhadap bangunan rumah di Jalan

Mojopahit No.14 Sidoarjo tidak sah dan tidak berharga serta

memerintahkan pengangkatan sita jaminan tersebut merupakan kesalahan

dalam penerapan hukum, tidak melaksanakan hukum dan melanggar

hukum serta nyata-nyata merugikan Pemohon Kasasi;

13. Bahwa Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000

No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. justru telah benar dalam penerapan hukumnya

dan melaksanakan hukum dengan benar, sehingga seharusnya Pengadilan

Tinggi Jawa Timur menguatkan putusan a quo; Di dalam pemeriksaan

perkara di Pengadilan Negeri Sidoarjo telah terbukti bahwa Pemohon

Kasasi adalah pemilik bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo

yang merupakan salah satu dari dua bangunan rumah yang berdiri di atas

tanah Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare total seluas 219

M2 (dua ratus sembilan belas meter persegi) sebagaimana ternyata dari

Sertifikat Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare tanggal 9 Juli

1998, Surat UKR tanggal 18 Juni 1998 No.366/04/1998 (bukti P-1);

Terbukti pula bahwa Termohon Kasasi menempati bangunan rumah

sengketa di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo sebagai penyewa yang

135

melanjutkan hubungan sewa menyewa dari ayahnya bernama Ong Ka

Kiong tanpa persetujuan dari pemilik rumah yaitu Pemohon Kasasi;

14. Bahwa dengan demikian terbukti bahwa telah terjadi hubungan sewa

menyewa tanpa perjanjian tertulis dan tanpa batas waktu serta turun

temurun antara Pemohon Kasasi dan Ongk Ka Kiong yang dilanjutkan

oleh Termohon Kasasi tanpa persetujuan Pemohon Kasasi, sehingga

bertentangan dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1992 juncto Peraturan

Pemerintah No.44 Tahun 1994; Undang-Undang No.4 Tahun 1992 tentang

Perumahan dan Pemukiman Pasal 12 ayat (1) dan (6) juncto Peraturan

Pemerintah RI No.44 Tahun 1994 tentang penghunian rumah oleh bukan

pemilik Pasal 2 dan Pasal 21 menentukan bahwa penghunian rumah oleh

bukan pemilik hanya sah apabila adalah persetujuan atau izin pemilik, dan

sewa menyewa rumah dengan perjanjian tertulis maupun dengan

perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah

berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No.4 Tahun 1992

dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya

Undang-Undang tersebut; Undang-Undang No.4 Tahun 1992 diundangkan

pada tanggal 10 Maret 1992, berarti sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat

(1) Peraturan Pemerintah RI No.44 Tahun 1994 terhitung sejak tanggal 10

Maret 1995 hubungan sewa-menyewa antara Pemohon Kasasi dan

Termohon Kasasi telah berakhir;

15. Bahwa dengan demikian sejak tanggal 10 Maret 1995 perbuatan

Termohon Kasasi menghuni bangunan rumah sengketa di Jalan Mojopahit

136

No.14 Sidoarjo merupakan penghunian bangunan rumah tanpa hak dan

tidak sah, oleh karena itu Termohon Kasasi telah melakukan perbuatan

melawan hukum;

16. Bahwa karena telah terbukti Termohon Kasasi melakukan perbuatan

melawan hukum yang telah merugikan Pemohon Kasasi, maka sepatutnya

Termohon Kasasi dihukum untuk membayar ganti kerugian sebagai akibat

Pemohon Kasasi tidak dapat dinikmati uang sewa sebesar Rp.1.000.000,-

hingga putusan ini dapat dilaksanakan dan memperoleh kekuatan hukum

tetap;

17. Bahwa Termohon Kasasi telah diberi kesempatan untuk menyerahkan

kembali bangunan rumah sengketa secara sukarela dalam waktu 3 (tiga)

bulan sejak putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo diucapkan, tetapi ternyata

Termohon Kasasi tidak melakukannya, maka Termohon Kasasi dan

siapapun yang memperoleh hak dari padanya harus dihukum untuk

menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa di Jalan Mojopahit No.14

Sidoarjo kepada Pemohon Kasasi dalam keadaan kosong dan tanpa beban

dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak putusan diucapkan

dengan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah)

untuk setiap hari keterlambatan mengembalikan bangunan rumah sengketa;

18. Bahwa bukti kepemilikan Pemohon Kasasi atas tanah dan bangunan

rumah sengketa adalah bukti otentik, maka sudah sepatutnya putusan

dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada verzet,

banding, kasasi atau upaya hukum apapun dari Termohon Kasasi;

137

19. Bahwa untuk menjamin gugatan Pemohon Kasasi ini tidak sia-sia dan

mencegah agar Termohon Kasasi tidak mengalihkan bangunan rumah

sengketa kepada pihak lain, maka sepatutnya penyitaan jaminan yang telah

diletakkan oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo terhadap bangunan rumah

sengketa di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo;

20. Bahwa putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000

No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. telah benar dan menerapkan hukum dengan

benar, maka sudah sepatutnya putusan a quo dikuatkan oleh Mahkamah

Agung RI; Menimbang, bahwa atas keberatan-keberatan kasasi tersebut

Mahkamah Agung berpendapat :

Mengenai Keberatan-Keberatan :

1. Bahwa keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan, karena obyek gugatan

Pemohon Kasasi semula Penggugat adalah bangunan rumah di Jalan

Mojopahit No.14 Sidaorjo saja, yang berdiri diatas sebagian dari tanah Hak

Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare, sehingga dengan demikian

jelas bahwa obyek pekara yang digugat oleh Pemohon Kasasi semula

Penggugat, adalah bangunan rumah yang terletak di Jalan Mojopahit No.14

Sidaorjo, yang dihuni oleh Termohon Kasasi semula Tergugat, sehingga

dengan demikian tidak akan terjadi ketidak pastian (ketidak jelasan) terhadap

letak obyek perkara; Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana dikemukakan

diatas, maka putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan dan permohonan

banding terhadap perkara ini dinyatakan dapat diterima;

2. Bahwa pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Negeri terhadap

materi pokok perkara, telah tepat dan benar, dan karenanya dijadikan

138

pertimbangan dan putusan Mahkamah Agung, karena mana gugatan

Pemohon Kasasi semula Penggugat dapat dikabulkan;

3. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas tanpa perlu

mempertimbangkan keberatan kasasi lainnya, putusan Pengadilan Tinggi

Jawa Timur di Surabaya tanggal 12 Juni 2001 No.242/PDT/2001/PT.Sby.

yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober

2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. tidak dapat dipertahankan lagi dan harus

dibatalkan serta Mahkamah Agung dengan mengambilalih pertimbangan

hokum Pengadilan Negeri yang telah tepat dan benar dan menjadikan

sebagai pertimbangan sendiri akan mengadili sendiri perkara ini dengan

amar seperti tersebut dibawah ini;

4. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dikabulkan, maka

Termohon Kasasi sebagi pihak yang kalah dalam perkara ini dihukum

membayar semua biaya pekara, baik dalam tingkat pertama dan tingkat

banding maupun dalam tingkat kasasi; Memperhatikan Pasal-pasal dari

Undang-Undang No.4 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.4 Tahun 1985

jo Undang-Undang No.5 Tahun 2004.

Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 :

1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Tjakra Adisubrata;

2. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya tanggal

12 Juni 2001 No.242/PDT/2001/PT.Sby, yang membatalkan putusan

Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000

No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda.

139

Dalam Eksepsi :

- Menolak Eksepsi Tergugat;

Dalam Pokok Perkara :

1. Mengabulkan gugat Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan Penggugat adalah pemilik bangunan rumah sengketa yan

terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo;

3. Menyatakan Tergugat telah menghuni rumah sengketa tanpa hak dan

Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi pengganti uang sewa

kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap tahun

sejak Maret 1995 hingga putusan ini dapat dilaksanakan dan memperoleh

kekuatan hukum yang tetap;

5. Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya

untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa kepada Penggugat

dalam keadaan kosong, tanpa beban dalam waktu selambat-lambatnya 3

(tiga) bulan sejak putusan diucapkan;

6. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan atas tanah

sengketa;

7. Menolak gugat Penggugat untuk selebihnya; Menghukum Termohon

Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang

dalam tingkat pertama sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah).

140

4.2.4 Pembahasan Kasus Hukum

Sewa menyewa adalah merupakan perjanjian timbal balik yang bagi

masing-masing pihak menimbulkan perikatan terhadap yang lain. Perjanjian

timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral atau perjanjian dua pihak.

Jika sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi hukum

apabila waktu yang ditentukan sudah habis tanpa memerlukan suatu

pemberitahuan pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa-menyewa itu dibuat

hanya secara lisan, sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan

jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa hendak

menghentikan sewanya. Akan tetapi, pemberhentian ini harus dilakukan dengan

memperhatikan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.

Untuk sewa menyewa terhadap benda tidak bergerak seperti rumah,

dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang

Penghuni Rumah Oleh Bukan Pemilik, khusus mengenai Perjanjian Sewa-

Menyewa Rumah haruslah diperbuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala

bentuk perjanjian sewa- menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu

adalah batal demi hukum.152

Dalam sewa-menyewa, si pemilik objek hanya menyerahkan hak

pemakaian dan pemungutan hasil dari benda tersebut, sedangkan hak milik atas

benda tersebut tetap berada di tangan yang menyewakan sebaliknya pihak

penyewa wajib memberikan uang sewa kepada pemilik benda tersebut.153

152 Tan Kamello, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang

Didambakan, Alumni, Bandung, hal. 185. 153 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 49.

141

Suatu perjanjian pada dasarnya akan berlangsung dengan baik jika para

pihak yang melakukan perjanjian tersebut dilandasi oleh itikad baik (good faith),

namun apabila salah satu pihak tidak beritikad baik atau tidak melaksanakan

kewajibannya maka akan timbul perbuatan wanprestasi. Seperti halnya yang

terjadi pada perjanjian sewa menyewa yang telah diputus oleh Mahkamah Agung

Nomor: 2313 K/Pdt/2002, awalnya hubungan sewa menyewa ini berlangsung

dengan baik antara Ny. Trisnawati (yang menyewakan) dengan Ong Ka Kiong

(penyewa) berdasarkan Sewa Menyewa seperti ternyata dalam kwitansi tanda

terima kurang lebih tahun 1940 dan tidak menentukan jangka waktunya atas :

tanah dan bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, yang selanjutnya

menjadi obyek perkara.

Sejak Ny. Trisnawati Adisubrata meninggal dunia, maka Penggugat

sebagai ahliwarisnya melanjutkan bangunan sewa menyewa atas bangunan rumah

sengketa dengan Ong Ka Kiong tersebut dengan uang sewa perbulan sebesar

Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dan terakhir kali Ong Ka Kiong membayar

uang sewa adalah uang sewa bulan Agustus sampai dengan Desember 1984

sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) atau uang sewa perbulan

adalah Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah);

Setelah itu Tergugat yang adalah anak dari Ong Ka Kiong meneruskan

menghuni bangunan rumah sengketa dan meminta kepada Penggugat agar

kwitansi pembayaran uang sewa tidak tertulis atas nama Ong Ka Kiong lagi, tetapi

ditulis atas nama Tergugat, namun Penggugat menolak permintaan Tergugat

tersebut karena Penggugat hanya mempunyai hubungan sewa menyewa dengan

142

Ong Ka Kiong dan sama sekali tidak mempunyai hubungan sewa menyewa

dengan Tergugat serta secara hukum hak sewa tidak bisa diwariskan.

Perbuatan penyewa telah membuktikan bahwa mereka telah melakukan

ingkar janji (wanprestasi) dan beritikad tidak baik terhadap yang menyewakan

serta telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) karena

tidak mau mengosongkan serta menyerahkan obyek perkara, sehingga pihak yang

menyewakan merasa sangat dirugikan dan mengajukan gugatan, kasus ini bergulir

panjang sampai pada tahap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002,

dimana putusan Mahkamah Agung tersebut menolak gugatan pihak penyewa.

Penyewa dikatakan telah melakukan wanprestasi, apabila dia dalam

melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehinggga terlambat dari

jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut

sepatutnya/selayaknya. Akibat yang timbul dari wanprestasi ialah : keharusan atau

kemestian bagi debitur (penyewa) membayar ganti rugi (schade vergoeding). Atau

dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat

menuntut pembatalan perjanjian.154 Sebab dengan tindakan penyewa dalam

melaksanakan kewajiban tidak tepat waktu atau tak layak, jelas merupakan

pelanggaran hak pemilik/yang menyewakan. Setiap pelanggaran hak orang lain,

berarti merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.155

Memang hampir serupa antara onrechtmatigedaad dengan wanprestasi. Itu

sebabnya dapat dikatakan, wanprestasi adalah juga merupakan genus spesifik dari

onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-

154 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 60. 155 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 61.

143

Undang Hukum Perdata yang menyatakan: “tiap perbuatan melanggar hukum,

yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena

salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Namun orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan

gugatan perbuatan melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan

perbuatan melawan hukum.156 Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan,

sebenarnya lebih tepat kalau diajukan gugatan wanprestasi. Ini akan menjadi celah

yang akan dimanfaatkan tergugat dalam tangkisannya.

Membedakan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi

sebenarnya gampang-gampang susah. Sepintas lalu, bisa melihat persamaan dan

perbedaannya dengan gampang. Baik perbuatan melawan hukum dan wanprestasi,

sama-sama dapat diajukan tuntutan ganti rugi. Sementara perbedaannya,

seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia melanggar suatu perjanjian yang telah

disepakati dengan pihak lain.

Tiada wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya. Sedangkan

seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatannya

bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban

hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, akan ada perbedaan dalam pembebanan

pembuktian, perhitungan kerugian, dan bentuk ganti ruginya antara tuntutan

wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Dalam suatu gugatan perbuatan

156Hukum online.com, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Sebagai

Dasar Gugatan, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi-sebagai-dasargugatan, diakses 17 Februari 2015.

144

melawan hukum, penggugat harus membuktikan semua unsur-unsur perbuatan

melawan hukum selain harus mampu membuktikan adanya kesalahan yang

diperbuat debitur. Sedangkan dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup

menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar.

Kemudian dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat dapat

menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum).157

Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan apabila gugatan yang diajukan

dasarnya adalah wanprestasi. Dari uraian di atas, sebelum mengajukan gugatan,

ada baiknya calon penggugat mempertimbangkan terlebih dahulu apakah akan

mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terhadap

lawannya. Seandainya mengajukan gugatan wanprestasi, ia cukup menunjukkan

perjanjian yang dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian untuk

menyatakan tidak terjadi wanprestasi. Namun kalau akan mengajukan gugatan

perbuatan melawan hukum, penggugat harus siap-siap untuk membuktikan dan

menunjukkan bahwa bukan hanya ada suatu perbuatan melawan hukum, tetapi ada

juga unsur kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh Tergugat.

Dalam sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada berbagai macam

gugatan, yang tidak boleh dicampur adukkan, dalam arti, bahwa seorang

penggugat tidak cukup minta peradilan begitu saja, melainkan ia harus

mengutarakan (stellen) dan kalau perlu, membuktikan suatu pelanggaran dari

pasal tertentu dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau undang-undang

lain, dan juga ia harus menentukan semula apa yang ia minta, yaitu misalnya

157 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 10.

145

penyerahan suatu barang tertentu, atau pengosongan suatu bangunan atau

pembayaran ganti kerugian berwujud uang atau berwujud lain, atau suatu

perbuatan tertentu, atau larangan melakukan suatu perbuatan tertentu yang tergugat

juga belum pernah melakukan tetapi akan melakukan, kalau tidak dilarang.158

Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam Pasal

1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 164 HIR, yang terdiri dari :

(1) bukti tulisan; (2) bukti dengan saksi; (3) persangkaan; (4) pengakuan, dan (5)

sumpah.159

Alat bukti tulisan ditempatkan dalam urutan pertama. Hal ini sesuai

dengan kenyataan jenis surat atau akta dalam perkara perdata, memegang peran

yang penting. Semua kegiatan yang menyangkut bidang perdata, sengaja dicatat

atau dituliskan dalam surat atau akta. Setiap perjanjian transaksi jual-beli, sewa-

menyewa, penghibahan, pengangkutan, asuransi, perkawinan, kelahiran dan

kematian, sengaja dibuat dalam bentuk tertulis dengan maksud sebagai alat bukti

atas transaksi atau peristiwa hubungan hukum yang terjadi. Apabila satu ketika

timbul sengketa atas peristiwa itu, dapat dibuktikan permasalahan dan

kebenarannya oleh akta yang bersangkutan.

Sementara itu tulisan-tulisan yang dengan dibuat untuk dijadikan bukti,

ada juga tulisan-tulisan yang dibuatnya tanpa maksud yang demikian, tetapi pada

sewaktu-waktu dapt dipakai juga atau berguna dalam suatu pembuktian, misalnya:

158 Wirjono Prodjodikoro, 2000, Perbuatan Melanggar Hukum, Cetakan I,

Mandar Maju, Bandung, hal.101. 159 M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,

Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 556-557.

146

surat-menyurat biasa, catatan-catatan, pembukuan dan lain-lain. Beraneka warna

sekali tulisan itu: kuitansi, surat perjanjian, surat-menyurat, surat hak milik, surat

tanda kelahiran. Sehingga apabila seseorang dimintai surat tanda bukti, maka surat

tanda bukti ini dimaksudkan untuk dikemudian hari dipakai terhadap orang yang

memberikan tanda bukti tersebut. Jadi, lazimnya tulisan itu akan menjadi bukti

terhadap si penulis. Kuitansi, surat-menyurat dan lain-lain merupakan suatu bukti

terhadap penandatangannya.160 Di dalam perkara ini, surat perjanjian sewa-

menyewa dalam bentuk kwitansi yang dibuat oleh orang tua Tjakra Adisubrata

yakni Ny. Trisnawati (yang menyewakan) dengan Ong Ka Kiong, orang tua Ong

Tek Tjwan (penyewa) sebagai tanda bukti bahwa benar telah terjadi suatu

hubungan sewa-menyewa atas objek terperkara kira-kira pada tahun 1940.

Ong Tek Tjwan (penyewa) bersikukuh tidak mau melakukan pengosongan

pada obyek perkara tersebut, maka Ong Tek Tjwan (penyewa) telah melanggar

hukum yang merugikan hak Tjakra Adisubrata (yang menyewakan).

Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1994 tentang Penghunian Rumah

Oleh Bukan Pemilik Pasal 2 dan Pasal 21 ayat (1), maka penghunian rumah oleh

bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik dan sewa-

menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak

tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum

berlakunya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam

jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut. Dengan adanya

160 R. Subekti, 2005, Hukum Pembuktian, Cetakan Ke XV, Pradnya

Paramita, Jakarta, hal.20.

147

ketentuan tersebut, maka perjanjian sewa-menyewa yang menjadi pokok perkara

dalam hal ini telah batal demi hukum.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan

Permukiman pada Pasal 164 menyatakan bahwa:

“Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469), dan peraturan perundang-undangan lainnya mengenai perumahan dan permukiman, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan undang-undang ini.” Ketentuan berdasarkan undang-undang tersebut, maka Peraturan

Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan

Pemilik masih tetap berlaku. Sehingga dalam perkara ini sebenarnya perjanjian

sewa-menyewa tersebut telah berakhir karena antara para termohon kasasi dengan

pemohon kasasi tidak memperbaharui perjanjian tersebut.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

menyatakan bahwa Mahkamah Agung hanya dapat menjaga kesatuan hukum dari

putusan-putusan pengadilan yang berada di bawahnya sepanjang para pihak yang

bersengketa mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan tersebut. Andaikata

lahir suatu putusan pengadilan mengandung kesalahan penerapan hukum, dan

para pihak tidak mengajukan upaya hukum, maka Mahkamah Agung tidak dapat

melakukan koreksi atas kesalahan tersebut.161

161 Lembaga Kajian Dan Advokasi Untuk Indepedensi Peradilan, Kasasi

Demi Kepentingan Hukum,Penunjang Fungsi Mahkamah Agung Yang Terlupakan, http://www.lelp.or.id/artikel/101-kasasi-demikepentingan-hukum-penunjang-fungsi-mahkamah-agung-yang-terlupakan, diakses 17 Februari 2015.

148

Ketentuan berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah Agung dalam

perkara ini telah memutuskan dengan tepat dikarenakan dalam hubungan sewa

menyewa ini sebenarnya telah berakhir dengan sendirinya berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang tersebut di atas, dan juga Majelis Hakim memutuskan

bahwa para termohon kasasi telah melakukan perbuatan melawan hukum

dikarenakan antara pemohon kasasi dengan para termohon kasasi tidak pernah

melakukan suatu perjanjian dan sudah semestinya para termohon kasasi

mengosongkan obyek terperkara tersebut agar tidak merugikan hak orang lain

yakni pemohon kasasi sebagai pemilik yang sah.

149

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan hasil penelitian, maka

dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi

bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam

Pasal 1548 KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur

yang paling pokok dalam suatu perjanjian sewa menyewa yaitu unsur

batas waktu tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan

tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. Perjanjian

tersebut tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka

perjanjian ini batal demi hukum.

Perjanjian sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tidak

sekedar mengingkari lembaga jual beli tetapi mengingkari lembaga hak

milik yang bersifat hak asasi, dan juga jika sewa dinyatakan tidak terbatas

waktunya maka artinya melanggar hak asasi pemiliknya untuk dapat

memanfaatkan tanah miliknya sendiri. Perjanjian ini mencederai rasa

keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah dengan jangka

waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri.

2. Kasus sengketa sewa-menyewa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor:

2313 K/Pdt/2002 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667

K/Pdt/2001 dapat diadili oleh pengadilan mengingat kedua kasus sewa-

150

menyewa tersebut belum pernah diajukan ke pengadilan. Gugatan

perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman yang telah memiliki

kekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan gugatan dalam pokok perkara

yang sama.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Untuk melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah sebaiknya dilakukan

secara tertulis dan dengan jangka waktu yang telah ditentukan sehingga

mempunyai kekuatan hokum yang kuat. Jangan sampai membuat

perjanjian tanpa menetapkan batas waktu untuk menghindari timbulnya

hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan nantinya.

2. Disarankan hakim cermat dalam mengadili suatu perkara perdata dan

hendaknya didasarkan atas hukum atau peraturan dalam beracara,

melandasi berbagai pertimbangan dan putusan dengan keadilan, selain

berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku tersebut, hakim harus

mendasarkan putusan pada ketentuan teori mengenai obyek sengketa

khususnya, sehingga unsur-unsur subyek, obyek, alasan gugatan yang

sama dapat dihindari. Karena bagaimanapun juga sengketa perdata

tersebut pernah diperiksa, diputus, dan berkekuatan hukum tetap (inkracht

van gewijsde).

151

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Achmad, Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta.

---------, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I, Alumni, Bandung.

Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

---------, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Catherine Elliot, Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate, England.

Emong Supradjaja, Komariah, 2002, Perkembangan Penerapan dalam Yurisprudensi di Indonesia, Alumni, Bandung.

Fajar Laksono, Ed., 2007, Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Mahfud MD, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Gandasubrata, Purwoto, 1998, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia.

Goesniadhie, Kusnu, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik, Penerbit A3 dan Nasa Media, Malang.

Hans Kalsen, 2007, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu mpirik-Deskriptif, Rimdi Press, Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 1986, Segi -Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.

----------, 2008, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.

----------, 2006, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

152

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Cet.I, Alumni, Bandung.

Holland, James A. and Webb, Julian S., 1991, Learning Legal Rules, Blackstone Limited, Great Britain.

Huijbers, Theo, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Kanisius, Yogyakarta.

Ibrahim, Johannes dan Sewu, Lindawaty, 2007, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung.

Ibrahim, Johnny, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang.

Imran, S., 2007, Asas-Asas dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis Yuridis pada Hukum Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta.

Kamello, Tan, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung.

Karlinger, Fred N., 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt, Rinehart.

Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Lubis, Basrah, 1993, Sewa Menyewa dan Pembahasan Kasus, Diktat Kuliah FH USU, Medan.

Lumban Tobing, G.H.S., 2003, Seri Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang, Erlangga, Jakarta.

Mahmud Marzuki, Peter, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

Meliala, A. Qirom, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.

Meliala, Djaja S., 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa Aulia, Bandung.

Moeliono, Anton M., et al., 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Mertokusumo, Soedikno, 1999, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

153

Miru, Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

----------, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Naja, H.R Daeng, 2006, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis: Contract Drafting, Edisi Revisi Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Niewenhuis, J.H., 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, Surabaya.

Pontier, J.A., 2008, Penemuan Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung.

Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-dasar Hukum PeriKatan, Mandar Maju, Bandung.

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Prawirohamdjojo, Soetojo dan Mathalena Pohan, 1978, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya.

Prodjodikoro, R. Wirjono, 1987, Hukum Perjanjian dan Perikatan, Pradya Paramita, Jakarta.

---------, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung.

---------, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung.

---------, 2000, Perbuatan Melanggar Hukum, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung.

Raharjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rahman, Hasanudin, 2003, Contract Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rosa Agustina, Suharnoko, Hans Nieuwenhuis dan Jaap Hijma, 2012, Hukum Perikatan, Pustaka Larasan, Denpasar.

Sampford, Charles, (Ed.), 2006, Interpreting Constitutions Theories, Principles and Institutions, The Ferderation Press, Sydney.

Setiawan, R., 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung.

154

Sidharta, Bernard Arief, 2001, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Cetakan ke IV, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Subekti dan Tjitrosudibio, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Yogyakarta.

Subekti, R., 1979, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

----------, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

----------, 2002 Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.

----------, 2005, Hukum Pembuktian, Cetakan Ke XV, Pradnya Paramita, Jakarta.

----------, 2010, Hukum Perjanjian, Cet. XXIII, PT. Intermasa, Jakarta.

Subekti, R., dan Tjitrosudibio, R., 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

----------, 2002, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, PT. Prenada Media, Jakarta.

Suroso, R., 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Suryodiningrat, R. M., 1995, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung.

Sujata, Antonius, 2000. Reformasi dan Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta.

Syaifuddin, Muhammad, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung.

Team Penulisan Buku Pedoman, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar.

Than Thong Kie, 2000, Study Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Utrecth, E. dan Moh. Saleh Djindang, 2009, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Remaja Rosda Karya, Bandung.

155

Wahjono, Padmo, 2006, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Waluyo, Bambang, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

Jurnal/Makalah Artadi I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi

Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1996, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Fakultas

Hukum USU, Medan. Boot, Machtel, 2002, Nullum Crimen Sine Lege and Subjek Matter Jurisdiction of

the International Criminal Curt: Genocide, Crimes Agaist Humanity, War Crimess, Intersentia, Antwerpen, hal. 83-85; istilah lain terhadap asas ini, yang dikenal dalam Hukum Pidana di Indonesia, nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poeneli, atau asas Legalitas. Lihat dalam E. Utrecth dan Moh. Djindang, Ibid, hal. 388.

Dian Jati Damayanti, Dwi Febriyanti dan Lisa Ayu Dwiyanti, 2013, “Jaminan

Kepastian Hukum Terhadap Warga Negara Berdasarkan Hukum Nasional Indonesia”, Privat Law, Edisi 02, hal. 76.

156

Hartati, Sri, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman”, Artikel, Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Macdonal, R., F. Matcher, and H.Petzold, 1993, The European System for the

protection of Human Rihgts, Kluwer Academic Publishers, The Hague, hal. 397.

Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”,

dikutip dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam Hukum Perikatan Nasional, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1 Tahun ke XIV.

Rai Asmara Putra, I Dewa Nyoman Ketut Artadi, 2010, Implementasi Ketentuan-

Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar.

Roscoe, Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale

University Press. Sieglar, Jay A. dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public

Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.

Sumardjono, Maria S.W, 1997, “Kepastian Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Manfaatnya Bagi Bisnis Perbankan dan Properti,” Makalah disampaikan dalam Seminar Kebijaksanaan Baru di Bidang Pertanahan, Dampak dan Peluang Bagi Bisnis Properti dan Perbankan, Jakarta 6 Agustus hal. 1.

Tommy H. Purwaka, 2005, Fakta Perlunya Harmonisasi Prosiding Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, Jakarta, hal. 560-563.

Wade, E. C. S. dan Godfrey Phillips, 1971, Constitutional Law: An Outline of the Law and Practive of the Constitution Including Central and local Government, the citizen and the State and Administrative Law by E.C. C. Wade and G. Godfrey Phillips, Eighth Edition, Longman Limited Group, London.

Yusuf Ibrahim, Muhammad, 2014, “Implementasi Asas Nebis In Idem dalam Perkara yang telah Memiliki Kekuatan Hukum tetap yang Digugat Kembali dengan Sengketa Obyek yang Sama tetapi dengan Subyek yang Berbeda”, Jurnal Ilmiah FENOMENA, Vol. XII, No.1, hal. 1163.

157

Sumber Lain

Habib Adjie, 2011, “Hukum Perjanjian”, habibadjie.dosen.narotama.ac.id/files/2011/04/HukumPerjanjian2KeabsahanPerjanjian.pdf.

Hukum online.com, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Sebagai Dasar

Gugatan, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan melawan-hukum-dan-wanprestasise bagai-dasargugatan, diakses pada tanggal 5 Juli 2014.

Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Indepedensi Peradilan, Kasasi Demi

Kepentingan Hukum,Penunjang Fungsi Mahkamah Agung yang Terlupakan, http://www.lelp.or.id/artikel/101-kasasi-demikepentingan-hukum-penunjang-fungsi-mahkamah-agung-yang-terlupakan, diakses 17 Februari 2015.