konsekuensi hukum gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka
TRANSCRIPT
TESIS
KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN
PEMUKIMAN
SAMUEL CIBRO
NIM 1392461026
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2015
ii
KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN
DAN PEMUKIMAN
Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk meperoleh Gelar Magister pada Program Studi Kenotariatan Pascasarjana Universitas Udayana
SAMUEL CIBRO
NIM: 1392461026
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2015
iii
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 16 APRIL 2015
Pembimbing I, Pembimbing II
Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS Dr. I Gede Artha, SH., MH.,
NIP. 19461231 197403 1 025 NIP. 19580127 198503 1 002
Mengetahui :
Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana
Ketua,
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. NIP. 19640402 198911 2 001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
iv
PERNYATAAN PLAGIAT
Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa :
Nama : Samuel Cibro
NIM : 1392461026
Program Studi : Kenotariatan
Judul Tesis : Konsekuensi Hukum Gugatan Perjanjian Sewa Rumah tanpa
Jangka Waktu setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Pemukiman.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 16 Maret 2015 Yang membuat pernyataan,
Samuel Cibro
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, dengan selesainya tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah
”Konsekuensi Hukum Gugatan Perjanjian Sewa Rumah tanpa Jangka
Waktu setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Pemukiman.” Tesis ini disusun untuk memenuhi kriteria sebagai salah satu
syarat meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan
tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada
waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima
kasih kepada Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS, selaku pembimbing
pertama dan Dr. I Gede Artha, SH., MH., selaku pembimbing kedua, yang telah
memberikan bimbingan dan ide kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis
ini.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana, kepada
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka
Sudewi, Sp. S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi
mahasiswi Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana,
kepada Prof. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., atas izin yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Udayana, Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum, atas kesempatan dan
dukungan yang telah diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, kepada panitia penguji
tesis, Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH, Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,
vi
M.Hum, Dr. I Made Udiana, SH., MH, yang telah memberikan masukan dan
saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu
dosen pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana
atas ilmu yang telah diberikan, rekan-rekan mahasiswa serta Bapak dan Ibu staf
berserta karyawan Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah banyak
membantu kelancaran proses administrasi.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada orang tua, istri dan ana-anak
saya tercinta serta teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, atas dukungan dan sarannya untuk menyelesaikan tesis ini. Akhir kata
penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan.
Denpasar 16 Maret 2015
Penulis
vii
ABSTRAK
KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH
TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN
Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok dalam suatu perjanjian tidak ada, maka perjanjian tersebut tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, oleh karenanya perjanjian ini batal demi hukum.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui (1) kekuatan hukum perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu; dan (2) konsekuensi hukum gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.
Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum terdiri dari: teknik telaahan kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan pada teori-teori, konsep dan peraturan perundang-undangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu tidak memiliki kekuatan hukum, karena perjanjian sewa-menyewa rumah haruslah diperbuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa-menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum; dan (2) gugatan perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan gugatan dalam pokok perkara yang sama. Kanta Kunci : Sewa-Menyewa, Batas Waktu.
viii
ABSTRACT
LEGAL CONSEQUENCES IN CLAIMS OF TIMELESS HOUSE RENTAL AGREEMENT AFTER THE ENACTMENT OF LAW NUMBER 4 1992 JO
LAW NUMBER 1 YEAR 2011 ON HOUSING AND SETTLEMENTS
Timeless rental agreement does not meet the essential part of a tenancy agreement that regulated in in Article 1548 of the Civil Code that is over a certain period. When the most fundamental element in an agreement does not exist, then the agreement is not binding and has no legal effect, therefore this agreement should be cencelled by the law.
The objective of this research is to reveal (1) legal force of timeless house rental agreement; and (2) legal consequences in claims of timeless house rental agreement after the enactment ofof Law Number 4 year 1992 jo Law Number 1 year 2011 on housing and settlements.
This type of research is a normative legal research. The research approach consists of statute approach, conceptual approach and case approach. Sources of legal materials in this study consisted of: primary, secondary and tertiary. The analysis technique used in this research is the juridical analysis, which is the analysis based on theories, concepts and legislation.
The research result indicated that (1) timeless house rental agreement has no legal force, because the house rental agreement must be done with a certain time limit and all forms of house rental agreement that have been done without a certain time limit is null and void; and (2) claims of timeless house rental agreement after the enactment ofof Law Number 4 year 1992 jo Law Number 1 year 2011 on housing and settlements which has a legally enforceable can not reclaims in the same principal case. Keywords: Rental, Time Limit.
ix
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis konsekuensi hukum gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.
Bab I, menguraikan latar belakang masalah mengenai sengketa sewa-menyewa tanah dan bangunan yang dilakukan secara tidak tertulis dan tanpa batas waktu (turun-temurun). Sewa-menyewa tanah dan bangunan tanpa batas waktu tersebut membuat salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tersebut. Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri Sidoarjo yang memutuskan dengan Putusan Perkara Perdata Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda, kemudian banding di Pengadilan Tinggi Surabaya yang memutuskan dengan Putusan Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY. Perkara ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir oleh Mahkamah Agung dengan Penetapan Nomor: 2313 K/Pdt/2002. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.
Bab II, menguraikan tentang tinjauan umum sewa menyewa. Bab ini terdiri dari Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa-Menyewa, yang dijabarkan mengenai Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Sewa-Menyewa; Subjek dan Objek Perjanjian Sewa-Menyewa; Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa; Bentuk Perjanjian Sewa-Menyewa; dan Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa.
Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah yang pertama, mengenai kekuatan hukum perjanjian sewa-menyewa tanpa jangka waktu. Bab ini dibagi menjadi 5 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama mengenai Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa. Sub Bab kedua tentang Berakhir Sesuai dengan Batas Waktu Tertentu yang Sudah ditentukan. Sub Bab ketiga membahas Batas Akhir Sewa-Menyewa tidak Ditentukan Waktunya. Sub Bab keempat tentang Validitas Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu. Sub Bab kelima membahas Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu.
Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah kedua terkait dengan Analisis Kasus Gugatan Perjanjian Sewa Rumah Tanpa Jangka Waktu. Bab ini dibagi menjadi 2 Sub Bab yang terdiri dari Sub Bab pertama tentang Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar (Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR; Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor: 205/Pdt/2001/PT. DPS; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002) yang meliputi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:07/Pdt.G./2001/PN.GIR.134 Para Pihak, Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 205/Pdt/2001/PT.Dps, Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002 dan Pembahasan Kasus Hukum. Sub Bab kedua mengenai Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Sidoarjo Jawa Timur (Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda; Putusan
x
Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001) yang meliputi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda, Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 dan Pembahasan Kasus Hukum.
Bab V merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang simpulan dan saran dari penulis. Penulis menyimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok dalam suatu perjanjian sewa menyewa yaitu unsur batas waktu tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. Perjanjian tersebut tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka perjanjian ini batal demi hukum; dan (2) Kasus sengketa sewa-menyewa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 dapat diadili oleh pengadilan mengingat kedua kasus sewa-menyewa tersebut belum pernah diajukan ke pengadilan. Gugatan perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan gugatan dalam pokok perkara yang sama. Sementara itu saran yang dapat disampaikan untuk melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah sebaiknya dilakukan secara tertulis dan dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Jangan sampai membuat perjanjian tanpa menetapkan batas waktu untuk menghindari timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan nantinya. Disarankan hakim cermat dalam mengadili suatu perkara perdata dan hendaknya didasarkan atas hukum atau peraturan dalam beracara, melandasi berbagai pertimbangan dan putusan dengan keadilan, selain berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku tersebut, hakim harus mendasarkan putusan pada ketentuan teori mengenai obyek sengketa khususnya, sehingga unsur-unsur subyek, obyek, alasan gugatan yang sama dapat dihindari. Karena bagaimanapun juga sengketa perdata tersebut pernah diperiksa, diputus, dan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ............................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ......................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................... vii
ABSTRACT .................................................................................................. viii
RINGKASAN .............................................................................................. ix
DAFTAR ISI.................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 13
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 13
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................... 13
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 14
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 14
1.4.1 Manfaat Teoritis ......................................................................... 14
1.4.2 Manfaat Praktis .......................................................................... 15
1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran ....................................... 15
1.5.1 Landasan Teoritis ....................................................................... 15
1.5.1.1 Konsep Kepastian Hukum.............................................. 16
1.5.1.2 Teori Hukum Perjanjian ................................................. 23
1.5.1.3 Teori Kekuasaan Kehakiman ......................................... 29
1.5.1.4 Teori Penafsiran ............................................................. 34
1.5.1.5 Yurisprudensi ................................................................. 42
1.5.1.6 Asas-Asas dalam Perjanjian ........................................... 43
1.5.1.7 Konsep Perjanjian Sewa-Menyewa................................ 47
xii
1.5.2 Kerangka Pemikiran ................................................................... 56
1.6 Metode Penelitian................................................................................ 57
1.6.1 Jenis Penelitian ........................................................................... 57
1.6.2 Jenis Pendekatan ........................................................................ 58
1.6.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................... 59
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ......................................... 60
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum .................................................. 61
BAB II TINJAUAN UMUM SEWA MENYEWA RUMAH .................. 62
2.1 Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa-Menyewa .......................... 62
2.1.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Sewa-Menyewa ............. 62
2.1.2 Subjek dan Objek Perjanjian Sewa-Menyewa ........................... 64
2.1.3 Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa .... 65
2.1.4 Bentuk Perjanjian Sewa-Menyewa ............................................ 67
2.1.5 Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa................................... 71
BAB III KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA
TANPA JANGKA WAKTU ............................................................ 73
3.1 Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa ..................................... 73
3.2 Berakhir Sesuai dengan Batas Waktu Tertentu yang Sudah
Ditentukan ........................................................................................... 75
3.3 Batas Akhir Sewa-Menyewa tidak Ditentukan Waktunya.................. 76
3.4 Validitas Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu ....... 77
3.5 Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas
Waktu .................................................................................................. 89
BAB IV ANALISIS KASUS GUGATAN PERJAJIAN SEWA RUMAH
TANPA JANGKA WAKTU ........................................................ 93
4.1 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di
Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar (Putusan
Pengadilan Negeri Gianyar Nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR; Putusan
xiii
Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor: 205/Pdt/2001/PT. DPS; Putusan
Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002) .................................... 93
4.1.1 Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:07/Pdt.G./2001/
PN.GIR.134 Para Pihak ............................................................. 95
4.1.2 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 205/Pdt/2001/PT.Dps 105
4.1.3 Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002 ..................... 107
4.1.4 Pembahasan Kasus Hukum ........................................................ 109
4.2 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di
Sidoarjo Jawa Timur (Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor:
46/Pdt.G./2000/PN.Sda; Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor:
242/Pdt/2001/PT.SBY; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/
Pdt/2001) ............................................................................................. 113
4.2.1 Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/
PN.Sda ........................................................................................ 114
4.2.2 Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/
PT.SBY ...................................................................................... 126
4.2.3 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 .............. 128
4.2.4 Pembahasan Kasus Hukum ........................................................ 140
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 149
5.1 Simpulan ............................................................................................. 149
5.2 Saran .................................................................................................... 150
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 151
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran .................................................................... 57
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari perbuatan hukum.
Perbuatan hukum yaitu suatu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum karena
akibat itu boleh dianggap menjadi kehendak dari pihak yang melakukan perbuatan
itu dimana unsur kehendak merupakan elemen utama dari perbuatan tersebut.
Perbuatan hukum ini dapat dilakukan oleh satu orang saja seperti misalnya
perbuatan KTP, SIM dan Akte Kelahiran, namun juga dapat dilakukan oleh 2
(dua) orang atau lebih. Perbuatan hukum yang dilakukan 2 (dua) orang atau lebih
ini akan menimbulkan hubungan hukum. Hubungan hukum adalah hubungan
antara 2 subjek hukum atau lebih mengenai hak dan kewajiban subjek hukum
yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban subjek hukum yang lain. Seperti
misalnya perjanjian sewa menyewa rumah, maka hubungan hukum di atas
mengakibatkan munculnya hak dan kewajiban kedua belah pihak yang saling
berhadap-hadapan.
Perbuatan hukum sewa menyewa rumah didasarkan adanya perjanjian
antara pihak yang menyewakan dengan pihak yang menyewa rumah. Perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1 Perjanjian harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1320
1Wirjono Prodjodikoro, R., 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar
Maju, Bandung, hal. 4.
2
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), yaitu
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Dengan terpenuhinya
empat syarat sahnya perjanjian, maka secara hukum adalah mengikat bagi para
pihak yang membuatnya. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang
melahirkan perikatan. Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian,
tetapi ada juga perikatan yang lahir dari undang-undang.2
Buku II KUH Perdata mengatur tentang kebendaan (kecuali mengenai
tanah). Benda diantaranya dibedakan ke dalam benda bergerak dan benda tidak
bergerak. Setiap benda dapat diberikan hak status keperdataan (hak kebendaan).
Hak kebendaan adalah hak yang melekat pada kebendaan tersebut ke mana pun
kebendaan tersebut beralih, pemegang hak memiliki hak atas kebendaan tersebut.3
Ada beberapa jenis hak keperdataan yang dapat dibebankan atas benda yaitu hak
milik, hak sewa, hak pakai, hak gadai, hak tanggungan dan lain sebagainya.
Bentuk hak-hak atas tanah dituangkan dalam bentuk praktek ekonomi atau
kegiatan bisnis, dalam arti kata tanah dalam kegiatan ekonomi dapat diperoleh
dengan mengadakan perjanjian. KUHPerdata mengenal berbagai perjanjian, ada
13 jenis perjanjian antara lain : (1) Perjanjian timbal balik; (2) Perjanjian cuma-
cuma; (3) Perjanjian atas beban; (4) Perjanjian bernama; (5) Perjanjian obligatoir;
(6) Perjanjian kebendaan; (7) Perjanjian konsensual; (8) Perjanjian riil; (9)
Perjanjian liberatori; (10) Perjanjian pembuktian; (11) Perjanjian untung-
2Subekti, R., 1979, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 1. 3Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 229.
3
untungan; (12) Perjanjian publik; (13) Perjanjian campuran.4 Beberapa contoh
dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari antara lain seperti:
jual-beli, sewa- menyewa, tukar menukar, pinjam-meminjam, dan lain-lain.
Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah “Suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih.” Perjanjian tersebut mengikat para pihak secara hukum, untuk
pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian
memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk
memperjelas hubungan hukum.5
Salah satu cara mendapatkan hak atas tanah adalah dengan melakukan
perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Buku III KUH
Perdata tentang Perikatan. Pasal 1233 KUH Perdata menentukan, “Tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena Undang-Undang”.
Perikatan bersumber perjanjian dapat dibagi atas perjanjian pada umumnya dan
perjanjian-perjanjian khusus.6 Perjanjian khusus, diantaranya adalah perjanjian
sewamenyewa. Berdasarkan Pasal 1548 KUH Perdata bahwa Sewa-menyewa
adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk
memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu
tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut
4Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 66. 5I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Ketut Artadi, 2010, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar, hal. 27.
6Djaja S. Meliala, 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa Aulia, Bandung, hal. 1.
4
terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap
maupun yang bergerak.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang
tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa adalah:
1. Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa,
2. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak.
3. Adanya objek sewa-menyewa, yaitu barang baik barang bergerak maupun
tidak bergerak.
4. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut.
5. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu.
Sewa-menyewa sebagai suatu perjanjian harus mengikuti kaidah-kaidah
hukum perjanjian. Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yang
harus dipenuhi, yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat sahnya suatu perjanjian yang kesatu (sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya) dan syarat kedua (cakap untuk membuat suatu perjanjian)
disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjek hukum yaitu orang-orang atau
pihak-pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga (objek atau suatu
hal tertentu) dan syarat keempat (sebab atau causa yang halal) disebut sebagai
5
objektif, karena menyangkut objek hukum yang diperjanjikan oleh orang-orang
atau subjek hukum yang membuat perjanjian tersebut.7
Para pihak yang telah mengikatkan diri pada apa yang dinyatakan dalam
perjanjian, juga mengikatkan diri terhadap segala ketentuan perundang-undangan,
kepatutan, dan kebiasaan seperti diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang
berbunyi: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Oleh
karena itu, faktor yang menentukan isi perjanjian adalah kesepakatan para pihak
sebagai faktor primer serta faktor-faktor lain meliputi: kepatutan, kebiasaan, dan
undang-undang.
Perjanjian sewa-menyewa ini merupakan persetujuan konsensual yang
bebas bentuknya. Boleh diperbuat dengan persetujuan lisan atau tertulis.8 Jika
sewamenyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi hukum
apabila waktu yang ditentukan sudah habis tanpa memerlukan suatu
pemberitahuan pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa-menyewa itu dibuat
hanya secara lisan, pihak yang menyewakan berhak untuk menghentikan sewa itu
setiap saat, sepanjang ia (pihak yang menyewakan) mengindahkan cara-cara dan
jangka waktu yang diperlukan memberitahukan pengakhiran sewa-menyewa
menurut kebiasaan setempat.
7Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju,
Bandung, hal.110. 8Yahya Harahap, M., 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni,
Bandung, hal. 222.
6
Berakhirnya perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara tertulis berakhir
dengan sendirinya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan para pihak,
sehingga apabila lama sewa-menyewa sudah ditentukan dalam persetujuan secara
tertulis, perjanjian sewa berakhir tepat pada saat yang telah ditetapkan (Pasal 1570
KUH Perdata). Berbeda dengan perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa
tertulis, perjanjian seperti ini tidak berakhir tepat pada waktu yang diperjanjikan.
Perjanjian tersebut berakhir setelah adanya “pemberitahuan” dari salah satu pihak
tentang kehendak mengakhiri sewa-menyewa, dengan memperhatikan jangka
waktu yang layak menurut kebiasaan setempat (Pasal 1571 KUH Perdata).
Suatu perjanjian sewa-menyewa menurut Pasal 1548 KUH Perdata harus
memiliki batas waktu tertentu. Batas waktu merupakan unsur yang esensial dalam
suatu perjanjian sewa-menyewa. Terpenuhinya unsur esensial dalam suatu
perjanjian menjamin terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak.
Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji ketentuan hukum positif tertulis
(perundang-undangan) dan ketentuan perjanjian yang diberlakukan pada peristiwa
hukum tertentu (in concreto). Pengkajian tersebut bertujuan untuk memastikan
apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum tertentu (in concreto) itu sesuai atau
tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang atau ketentuan perjanjian.9
Sewa menyewa terhadap benda tidak bergerak seperti rumah, dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghuni
Rumah oleh Bukan Pemilik, khusus mengenai perjanjian sewa menyewa rumah
9Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal.53.
7
haruslah dibuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala bentuk perjanjian
sewa menyewa rumah yang telah dibuat tanpa batas waktu adalah batal demi
hukum (nietig van rechtswege).10 Lebih lanjut Pasal 12 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1992 mengatur bahwa sewa-menyewa rumah dengan perjanjian
tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 ini dinyatakan telah berakhir
dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut.
Si pemilik objek sewa-menyewa hanya menyerahkan hak pemakaian dan
pemungutan hasil dari benda tersebut, sedangkan hak milik atas benda tersebut
tetap berada di tangan yang menyewakan sebaliknya pihak penyewa wajib
memberikan uang sewa kepada pemilik benda tersebut.11 Seringkali permasalahan
hukum timbul manakala pemilik rumah bermaksud mengakhiri perjanjian karena
rumah akan dipakai sendiri. Hal ini mudah saja bila perjanjian sewa menyewa
rumah mencantumkan jangka waktu sewa menyewa. Begitu jangka waktu sewa
menyewa berakhir pemilik bisa saja langsung meminta penyewa meninggalkan
rumah yang disewanya. Dalam hal penyewa tidak bersediam meninggalkan rumah
yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis,
penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat
meminta bantuan instansi Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya
(Pasal 12 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
10Tan Kamello, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang
Didambakan, Alumni, Bandung, hal. 185. 11Wirjono Prodjodikoro, R., 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-
Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, hal. 49.
8
Pemukiman). Hal tersebut lebih sulit jika perjanjian sewa menyewa tanpa jangka
waktu
Pemilik rumah meminta rumahnya kembali dari penyewa yang tidak
bersedia meninggalkan rumahnya baik ketika jangka waktu sewa menyewa telah
berakhir ataupun bagi penyewa rumah tanpa jangka waktu, pemilik rumah dapat
melakukan gugatan melalui pengadilan negeri setempat. Proses penyelesaian
sengketa melalui pengadilan bertujuan untuk memulihkan hak seseorang yang
telah dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana seperti dalam keadaan
semula bahwa setiap orang harus mematuhi peraturan hukum perdata, supaya
peraturan hukum perdata berjalan sebagaimana mestinya.12
Proses beracara di pengadilan tentunya tidak akan lepas dari peranan dan
tugas hakim sebagai pejabat penegak hukum yang berwenang memeriksa dan
mengadili suatu sengketa. Di pengadilan sengketa yang diajukan tersebut akan
diproses dan hakim akan menjatuhkan putusannya. Putusan hakim tersebut akan
menimbulkan akibat hukum, yaitu bahwa jika kemudian muncul sengketa tentang
hubungan hukum yang telah ditetapkan dengan suatu putusan hakim di mana para
pihak terikat pada isi putusan tersebut. Kemampuan mengikat para pihak di
kemudian hari dari putusan hakim itulah yang disebut kekuasaan putusan hakim
(gezag van gewijsde).13
12Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia. PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 15. 13 Muhammad Yusuf Ibrahim, 2014, “Implementasi Asas Nebis In Idem
dalam Perkara yang telah Memiliki Kekuatan Hukum tetap yang Digugat Kembali dengan Sengketa Obyek yang Sama tetapi dengan Subyek yang Berbeda”, Jurnal Ilmiah FENOMENA, Vol. XII, No.1, hal. 1163.
9
Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan
hakim yang berkekuatan hukum yang tetap. Dengan putusan ini hubungan antara
kedua belah pihak yang bersengketa ditetapkan untuk selama-lamanya dengan
maksud supaya apabila tidak ditaati secara suka rela, dipaksakan dengan bantuan
alat-alat negara (dengan kekuatan hukum/inkracht van gewijsde).14
Setiap orang harus mematuhi adanya peraturan hukum. Namun di dalam
suatu hubungan hukum yang terjadi, ada kemungkinan pihak yang satu tidak
memenuhi kewajiban terhadap pihak yang lain, sehingga pihak yang lain tersebut
merasa dirugikan dan apa yang seharusnya menjadi haknya tidak dapat ia peroleh.
Untuk mempertahankan hak dan kewajibannya, orang harus bertindak
berdasarkan peraturan hukum yang telah ditetapkan. Apabila pihak yang
bersangkutan tidak dapat menyelesaikan sendiri tuntutannya secara damai, maka
pihak yang merasa dirugikan dapat meminta bantuan kepada hakim untuk
membantu dalam penyelesaian sengketanya. Pertimbangan hakim sangat
dibutuhkan dalam menjatuhkan sebuah putusan diharapkan dapat menjadi solusi
atas sebuah sengketa antara para pihak yang bersangkutan. Putusan hakim
diyakini mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian
hukum, di samping itu juga harus mengandung manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan.
Pemilik rumah dalam hal bermaksud mengajukan gugatan terhadap
penyewa yang tidak mau menyerahkan rumahnya kembali, pemilik rumah atau
penggugat menghadapi kekaburan norma, yaitu Apakah penggugat akan
14Subekti, R., 1989, Hukum Acara Perdata. Binacipta, Bandung, hal. 124.
10
menggugat berdasarkan dalil ”wanprestasi” ataukah penggugat akan menggugat
berdasarkan dalil ”perbuatan melawan hukum”?. Hal ini menjadi dilema karena
jika penggugat salah menggunakan norma, maka penggugat tidak bisa menggugat
kembali.
Kekaburan norma ini terjadi berdasarkan kondisi berikut: penyewa
dikatakan telah melakukan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan
prestasi perjanjian telah lalai sehinggga terlambat dari jadwal waktu yang
ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya.
Akibat yang timbul dari wanprestasi ialah : keharusan atau kemestian bagi debitur
(penyewa) membayar ganti rugi (schade vergoeding). Atau dengan adanya
wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan
perjanjian.15 Sebab dengan tindakan penyewa dalam melaksanakan kewajiban
tidak tepat waktu atau tak layak, jelas merupakan pelanggaran hak pemilik/yang
menyewakan. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti merupakan perbuatan
melawan hukum atau onrechtmatigedaad.16
Memang hampir serupa antara onrechtmatigedaad dengan wanprestasi. Itu
sebabnya dapat dikatakan, wanprestasi adalah juga merupakan genus spesifik dari
onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang
menyatakan: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”
15M. Yahya Harahap, 2006, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi
Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 60. 16 Ibid, hal. 61.
11
Kasus dalam penelitian ini adalah perjanjian sewa-menyewa tanah yang
tidak menetapkan batas waktu seperti dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
2313 K/Pdt/2002 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3667 K/Pdt/2001. Kedua
putusan ini akan dianalisis apakah perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu
dan putusan pengadilan atas perkara tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan
perundang-undangan dan ketentuan perjanjian.
Sengketa kasus sewa-menyewa berawal dari suatu perjanjian yang dibuat
di bawah tangan. Perjanjian tersebut mengenai urusan penggunaan tanah
selamalamanya atau dalam waktu tidak terbatas, dibuat di Desa Kedewatan,
Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar pada tahun 1971 (seribu sembilan ratus
tujuh puluh satu). Disebutkan dalam perjanjian tanah seluas 30 (tiga puluh) are
dengan harga sewa Rp. 27.000 (dua puluh tujuh ribu rupiah) untuk jangka waktu
selama-lamanya atau tidak terbatas. Sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu
tersebut membuat salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin mengakhiri
perjanjian sewa-menyewa tersebut. Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri Gianyar
yang memutuskan dengan Putusan Perkara Perdata Nomor:
07/Pdt.G./2001/PN.GIR, kemudian banding di Pengadilan Tinggi Denpasar yang
memutuskan dengan Putusan Nomor: 205/Pdt/2001/PT.DPS. Perkara ini terus
berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir dengan Putusan Mahkamah
Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002.
Kasus lainnya yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah sengketa
sewa-menyewa tanah dan bangunan yang dilakukan secara tidak tertulis dan tanpa
batas waktu (turun-temurun). Sewa-menyewa tanah dan bangunan tanpa batas
12
waktu tersebut membuat salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin mengakhiri
perjanjian sewa-menyewa tersebut. Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri
Sidoarjo yang memutuskan dengan Putusan Perkara Perdata Nomor:
46/Pdt.G./2000/PN.Sda, kemudian banding di Pengadilan Tinggi Surabaya yang
memutuskan dengan Putusan Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY. Perkara ini terus
berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir dengan Putusan Mahkamah
Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001.
Mengingat ketidakjelasan pengaturan antara wanprestasi dengan perbuatan
melawan hukum seperti yang telah diuraikan di atas, orang sering
mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan
hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.17
Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan, sebenarnya lebih tepat kalau diajukan
gugatan wanprestasi, sehingga untuk menghindari terjadinya gugatan yang nebis
in idem, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis
dengan judul ”KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJAJIAN SEWA
RUMAH TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-
UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN”.
Berdasarkan hasil penelusuran orisinalitas penelitia yang telah dilakukan
sebelumnya, tidak ditemukan hasil penelitian yang menyangkut masalah
“Konsekuensi Hukum Gugatan Sewa Rumah Tanpa Jangka Waktu Setelah
17Hukum online.com, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi, diakses pada tanggal 5 Juli 2014.
13
Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Pemukiman” sehingga tingkat orisinalitas
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research
questions sebagai berikut:
1. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka
waktu menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
2. Bagaimana konsekuensi hukum gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka
waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Pemukiman?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah untuk menganalisis
suatu isu atau peristiwa hukum. Setiap penelitian hukum yang dilakukan tentunya
memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian hukum ini
adalah :
1.3.1 Tujuan Umum
Berdasarkan pada pokok permasalahan yang diteliti, maka yang menjadi
tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsekuensi hukum
14
gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Pemukiman.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan hukum perjanjian sewa-
menyewa rumah tanpa jangka waktu menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis konsekuensi hukum gugatan perjajian
sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Pemukiman.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang
bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan hukum dalam bidang hukum perjanjian khususnya mengenai
perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa batas waktu.
15
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para peneliti khususnya yang
sedang memperdalam tentang perjanjian sewa-menyewa.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi pihak-pihak yang secara tidak langsung terkait di dalamnya, antara lain :
1. Memberikan masukan atau informasi bagi para pihak yang mengadakan
perjanjian sewa-menyewa rumah dan mensosialisasikan hasil penelitian ini
ke masyarakat umum.
2. Dapat bermanfaat bagi praktisi hukum dalam menangani perjanjian sewa
menyewa tanpa batas waktu yang sering terjadi dalam praktek.
1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.5.1 Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan lain-lain, yang akan
dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Sebagai landasan
dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsensus
yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controleur baar).18
Teori pada dasarnya adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah
menjadi kebenaran umum. Menurut Karlinger19 sebuah teori adalah seperangkat
konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan
18 Team Penulisan Buku Pedoman, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal.53.
19 Fred N. Karlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt, Rinehart, hal. 16-17.
16
sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan variabel dengan
tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan konsep adalah
suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian.
Teori berperan penting untuk menjawab rumusan masalah dan mencapai
tujuan yang diinginkan. Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Teori Hukum Perjanjian, Teori Kekuasaan Kehakiman dan Teori
Penafsiran. Sedangkan konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
Konsep Kepastian Hukum, Konsep Yurisprudensi dan Konsep Perjanjian Sewa-
Menyewa. Selain itu digunakan juga Asas-Asas dalam Perjanjian yang meliputi
Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Konsensualisme, Asas Pacta Sunt Servanda,
Asas Itikad Baik dan Asas Kepribadian.
1.5.1.1 Konsep Kepastian Hukum
Konsep kepastian hukum diawali dari pengertian hukum. Pencetusnya
adalah Gustav Radbruch. Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip oleh
Theo Huijbers :
Dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.20 Kepastian dalam Konsep Kepastian Hukum memiliki arti “ketentuan;
ketetapan” sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum
20Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Kanisius, Yogyakarta, hal. 163.
17
menjadi Kepastian Hukum, memiliki arti “perangkat hukum suatu Negara yang
mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara.”21 Mengingat
pembicaraan di sini dalam perspektif hukum, maka tema Kepastian pada
prinsipnya selalu dikaitkan dengan hukum. Oleh sebab itu, pengertian Kepastian
yang relevan untuk diambil di sini, yaitu pengertian kedua dari Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Nemun, sebelum itu, ada baiknya untuk mengetahui latar
belakang pemikiran mengenai nilai Kepastian dalam hukum terlebih dahulu.
Menurut Peter Mahmud Marzuki22 kepastian hukum mengandung dua
pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua,
berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja
yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian
hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga
adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan
hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.
Kepastian (hukum) menurut Soedikno Martokusumo, merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi dalam Penegakan Hukum. Menurut Soedikno
Martokusumo, Kepastian (hukum) merupakan perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseoranag akan dapat
21Anton M. Moeliono et al., 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hal. 652. 22Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal. 158.
18
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.23 Tema Kepastian
(hukum) sendiri, secara historis, merupakan tema yang muncul semenjak gagasan
tentang pemisahan kekuasaan.
Konsep Pemisahan Kekuasan pada dasarnya mengandung 3 hal pokok,
yakni; (1) bahwa tidak seorangpun yang diperbolehkan membentuk lebih dari satu
cabang kekuasaan; (2) bahwa lembaga kekuasaan pemerintah tidak diperbolehkan
mengendalikan atau mempengaruhi pelaksanaan dari fungsi cabang kekuasaan
lainnya; dan (3) tiadk satupun lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi dari
cabang-cabang kekuasaan lainnya.24 Dinyatakan oleh Montesquieu, bahwa dengan
adanya pemisahan kekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu di
tangan pembentuk undang-undang, sedangkan hakim (peradilan) hanya bertugas
menyuarakan ini undang-undang saja. Kondifikasi hukum ke dalam buku-buku
hukum turut menguatkan pengaruh pemikiran ini, karena para ahli hukum dewasa
itu sepaham bahwa hukum yang lengkap itu adalah hukum yang ada dalam buku-
buku hukum (undang-undang) yang telah dimodifikasi. pandangan yang
mengikuti pemikiran Monstesquieu ini, mempengaruhi tugas hakim diperadilan
pada abad 19, ketika itu, apa yang tidak pasti dalam Hukum Kebiasaan harus
dihilangkan demi Kepastian (Hukum). Pendapat ini merupakan sebuah buah aliran
Legisme yang berkembang kuat pada abad itu.25 Pendapat Montesquieu, yang
23Soedikno Mertokusumo, 1992, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Liberty, Yogyakarta, hal. 145. 24Wade E. C. S. and Godfrey Phillips, 1971, Constitutional Law: An
Outline of the Law and Practive of the Constitution Including Central and local Government, the citizen and the State and Administrative Law by Wade E.C. C. and G. Godfrey Phillips, Eighth Edition, Longman Limited Group, London.
25L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 391-394.
19
ditulis dalam bukunya De I’esprit des lois (The Spirirt of Laws) pada tahun 1748,
merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan kaum monarki, diman kepala
kerajaan amat menentukan sistem hukum. Peradilan pada saat itu secara nyata
menjadi pelayan monarki.26
Seorang pemikir hukum Italia Casare Beccaria pada tahun 1764, menulis
buku berjudul De delitti e delle pene, yang menerapkan gagasan Montesquieu
dalam bidang hukum pidana. Baginya, seseorang dapat dihukum jika tindakan itu
telah duiputuskan oleh legeslatif sebelumnya, dan oleh sebab itu, eksekutif dapat
menindak dan menghukum apabila terdapat seseorang yang melanggar apa yang
telah diputuskan oleh pihak legislatif. Gagasannya ini kemudian dikenal sebagai
asas nullum crimen sine lege, yang paa tujuannya memberikan perlindungan
hukum bagi setiap warga negara terhadap kesewenang-wenangan negara.27
Pemikiran Legalitas ini oleh Immanuel Kant pada tahun 1797, di dalam bukunya
“Mataphysik der Sittn (Metafisika Kesusilaan)”, mendapat tantangan yang amat
kuat. Bagi Kant, kesesuaian atau ketidaksesuaian dalam tindakan hukum yang
lahirlah tidak berarti memperoleh nilai moralnya. Jadi apa yang menurut atau
tidak menurut hukum, tidak bisa dinilai motif moralnya, karena orang pada
dasarnya tidak sanggup untuk dinilai mutlak moralitas orang lain.28
26E. Utrecth dan Moh. Saleh Djindang, 2009, Pengantar Dalam Hukum
Indonesia, Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 388. 27Machtel Boot, 2002, Nullum Crimen Sine Lege and Subjek Matter
Jurisdiction of the International Criminal Curt: Genocide, Crimes Agaist Humanity, War Crimess, Intersentia, Antwerpen, hal. 83-85; istilah lain terhadap asas ini, yang dikenal dalam Hukum Pidana di Indonesia, nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poeneli, atau asas Legalitas. Lihat dalam E. Utrecth dan Moh. Djindang, Ibid, hal. 388.
28S. P Lili Tjahjadi, Hukum Moral, hal. 47-48.
20
Persoalan Kepastian yang diungkapkan di atas, karena selalu dikaitkan
dengan hukum, memberikan konsekuensi bahwa Kepastian (Hukum) di sini selalu
mempersoalkan hubungan hukum antara warga dan Negara. Padahal sebagai
sebuah nilai, Kepastian (hukum) tidak semata-mata selalu berkaitan dengan
Negara, karena esensi dari Kepastian (hukum) adalah masalah perlindungan dari
tindakan kesewenang-wenangan. Maka itu, aktor-aktor yang mungkin melakukan
kesewenang-wenangan, tidak terbatas pada negarasaja, tetapi juga oleh
sekelompok pihak lain di luar Negara.29
Pemahaman nilai Kepastian (hukum), harus diperhatikan adalah bahwa
nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrument hukum yang positif dan
peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif. Bahkan
peranan negara itu tidak saja sebatas pada tataran itu saja, negara pun mempunyai
tanggung jawab untuk menjalankan dan menegakannya. Pemahaman semacam
inilah yang menjadi latar belakang, mengapa pengertian Kepasatian (hukum) oleh
Anton M. Moeliono dan Soedikno Mertokusumo, dirumuskan seperti di atas.
Prinsip kepastian hukum pada era sekarang menekankan pada penegakan
hukum yang berdasarkan pembuktian secara formil, artinya suatu perbuatan baru
dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis
tertentu. Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan yang tidak wajar, tercela,
melanggar kepatutan dan sebagainya dapat dianggap sebagai pelanggaran demi
tegaknya keadilan meskipun secara formal tidak ada undang-undang yang
29Dian Jati Damayanti, Dwi Febriyanti dan Lisa Ayu Dwiyanti, 2013,
“Jaminan Kepastian Hukum Terhadap Warga Negara Berdasarkan Hukum Nasional Indonesia”, Privat Law, Edisi 02, hal. 76.
21
melarangnya.30 Dilema antara penegakan hukum yang mengedepankan pada
prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan merupakan persoalan yang sudah
ada sejak lama. Keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi Negara hukum.31
Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa
Kontinental dengan konsep Negara hukum rechstaat, sedangkan rasa keadilan
lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan Anglo Saxon dengan konsep
Negara hukum the rule of law.32 Prinsip kepastian hukum di Indonesia tidak
berlaku sebagai prinsip tunggal dalam sistem hukum Indonesia. Sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
kemudian diganti oleh Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, selain menerapkan bunyi undang-undang, hakim juga
harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyaratakat. Hal ini berarti,
selain kepastian hukum, dunia peradilan pun menekankan pada rasa keadilan.
Kesimpulan yang didapat adalah bahwa baik kepastian hukum maupun
pemenuhan rasa keadilan diakomodasi di dalam sistem hukum Indonesia.
Akomodasi atas keduanya kemudian menimbulkan dilema karena dalam praktek
keduanya tidak diperlakukan secara integratif tetapi secara alternatif.33 Akomodasi
kedua prinsip tersebut yang dalam kenyataannya sering termanifestasi menjadi
prinsip yang bertentangan menimbulkan ambiguitas orientasi dan cenderung
30Fajar Laksono, Ed., 2007, Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan
Otentik Prof. Dr. Mahfud MD, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 91. 31Mahfud M.D., Dilema Sifat Melawan Hukum: Kepastian Hukum atau
Keadilan? Artikel dalam Fajar Laksono, Ed., Ibid, hal. 89. 32Padmo Wahjono, 2006, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 71. 33Mahfud M.D, Op.Cit, hal. 89.
22
kontradiktif. Aparat penegak hukum menjadi mempunyai dalih untuk memilih
prinsip mana yang akan digunakan demi mencari kemenangan semata dan bukan
mencari kebenaran.
Permasalahan lain menurut Satjipto Rardjo adalah bahwa di Indonesia
kepastian hukum seakan menjadi cap dagang dan primadona setiap wacana
mengenai hukum dan peraturan-peraturan formil. Doktrin ini bermasalah karena
hubungan hukum dan kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Peraturan hukum
tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Hal yang sebenarnya terjadi dan
mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan tidak otomatis
menciptakan kepastian hukum.
Pengejawantahan doktrin ini secara ekstrim terdapat dalam prinsip ‘hakim
sebagai mulut undang-undang’ yang dikemukan oleh Montesquieu. Tragedi
hukum modern sebenarnya dimulai dari prinsip tersebut. Sejak hukum dituliskan,
maka dalam berhukum, orang terpaku pada pembacaan peraturan. Dengan
demikian memiliki resiko besar untuk meminggirkan keadilan, kemanfaatan, dan
segala hal ihwal yang masuk akal (reasonableness). Jika diproyeksikan kepada
tuntutan keadilan dan kemanfaatan maka kepastian hukum dapat menjadi
penghambat. Apabila kepastian hukum diikuti secara mutlak maka hukum hanya
akan berguna bagi hukum sendiri tetapi tidak untuk masyarakat.34
Ada juga konsep kepastian hukum yang lain dikemukakan oleh Maria S.W.
Sumardjono, yang menyatakan bahwa secara normatif, kepastian hukum itu
memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara
34Satjipto, Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
hal. 90.
23
operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan
peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan
konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.35 Kemudian menurut Van
Apeldoorn kepastian hukum meliputi dua hal, yakni:
1. Kepastian hukum adalah hal yang dapat ditentukan (bepaalbaarheid) dari
hukum, dalam hal-hal yang kongkrit. Pihak-pihak pencari keadilan
(yustisiabelen) ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau
hal tertentu, sebelum ia memulai dengan perkara;
2. Kepastian hukum berarti pula keamanan hukum, artinya melindungi para
pihak terhadap kewenang-wenangan hakim. Roscoe Pound juga
menambahkan bahwa yang disebut dengan kepastian hukum adalah
predictability yang artinya terukur dan dapat diperhitungkan.36
1.5.1.2 Teori Hukum Perjanjian
Teori hukum perjanjian pertama kali dicetuskan oleh John Locke yaitu
ketika John Locke menerangkan terbentuknya sebuah negara didasari adanya
perjanjian dari masyarakat yang menginginkan berdirinya negara tersebut. Dengan
demikian, tujuan berdirinya negara untuk menjamin dan melindungi milik pribadi
setiap warga negara yang mengadakan perjanjian tersebut. Selain itu kuasa dalam
perjanjian ini adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia
35Maria S.W Sumardjono, 1997, “Kepastian Hukum dalam Pendaftaran
Tanah dan Manfaatnya Bagi Bisnis Perbankan dan Properti,” Makalah disampaikan dalam Seminar Kebijaksanaan Baru di Bidang Pertanahan, Dampak dan Peluang Bagi Bisnis Properti dan Perbankan, Jakarta 6 Agustus hal. 1.
36Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, hal.134 -135.
24
mempertahankan diri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat
yang berasal dari Tuhan.
Perjanjian atau verbintenis dalam hukum perjanjian mengandung
pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua atau lebih
pihak yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi. Dari pengertian
singkat tersebut dijumpai beberapa unsur yang memberi wujud pengertian
perjanjian, antara lain: hubungan hukum (rechsbetrekking) yang menyangkut
hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih yang memberi hak pada
satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.37
1. Pengertian Perjanjian
Apabila di dengar kata perjanjian, orang langsung berpikir bahwa yang
dimaksudkan adalah suatu perjanjian tertulis dan kontrak merupakan arti yang
lebih sempit dari perjanjian, dimana kontrak dibuat secara tertulis. Perjanjian
merupakan persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak
atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu sedangkan Kontrak merupakan Perjanjian (secara tertulis) antara
dua pihak dalam perdagangan, sewa-menyewa, dan sebagainya.38 Dan bila di lihat
berbagai tulisan, baik buku, makalah atau tulisan ilmiah lainnya,kesan ini tidaklah
salah, sebab penekanan kontrak selalu dianggap sebagai medianya suatu
perjanjian yang dibuat secara tertulis.
37Rosa Agustina, Suharnoko, Hans Nieuwenhuis dan Jaap Hijma, 2012,
Hukum Perikatan, Pustaka Larasan, Denpasar, hal. Vi. 38 Departemen Pendidikan Nasional, hal. 458-592.
25
Istilah kontrak berasal dari bahasa inggris, yaitu contracts. Sedangkan
dalam bahasa Belanda dalam Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW)
menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal
ini secara jelas dapat disimak dari Buku III titel Kedua tentang “Perikatan-
perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian” yang dalam bahasa aslinya,
yaitu: “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”.
Pengertian ini didukung pendapat banyak sarjana, antara lain: Jacob Hans
Niewenhuis, Hofmann, J. Satrio, Soetojo Pramirohamidjojo dan Marthalena
Pohan,39 Mariam Darus Badrulzaman,40 Purwahid Patrik,41 dan Tirtodiningrat42
yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.
Subekti43 mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah “perjanjian atau
persetujuan” dengan “kontrak”. Menurut Subekti istilah kontrak mempunyai
pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang
tertulis. Sedangkan sarjana lain, potheir tidak memberikan pembedaan antara
kontrak dan perjanjian, namun membedakan pengertian contract dengan
convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian dimana dua
orangatau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen) atau merubah (wijzegen)
39Soetojo Prawirohamdjojo dan Mathalena Pohan, 1978, Hukum Perikatan,
Bina Ilmu, Surabaya, hal. 84. 40Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I, Alumni, Bandung, hal. 89. (Selanjutnya disingkat Badrulzaman I).
41Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum PeriKatan, Mandar Maju, Bandung, hal. 45.
42Suryodiningrat, R.M., 1995, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, hal. 72.
43Subekti, R., Op.Cit., hal. 1.
26
perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan
terlaksananya perikatan.44
Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, dalam penelitian ini
digunakan pengertian yang sama antara kontrak dengan perjanjian. Hal ini
disebabkan fokus penelitian berlandaskan pada perspektif KUH Perdata, dimana
antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang
sama dengan kontrak. Oleh karena itu dalam penelitian ini kedua istilah tersebut
akan digunakan secara bersama-sama, hal ini bukan berarti menunjukkan adanya
inkonsistensi penggunaaan istilah, namun semata-mata untuk memudahkan
pemahaman terhadap rangkaian kalimat yang disusun. Pasal 1313 BW45
memberikan rumusan tentang kontrak atau perjanjian adalah “Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Subekti46 memberikan definisi “perjanjian”
adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan KMRT
Tirtodiningrat47 memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.
44Soetojo Prawirohamidjojo dan Pohan, Op.Cit., hal. 89. 45Terjemahan BW dalam Bahasa Indonesia merujuk pada hasil terjemahan
Subekti dan Tjitrosudibio, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Yogyakarta.
46Subekti R., Op.Cit., hal. 45. 47Qirom Meliala, A., 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta
Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, hal. 8.
27
Menurut Setiawan48 rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas.
Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas
karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan
sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu menurut
Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu:
a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum. Yaitu perbuatan yang
bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;
b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal
1313 BW;
c. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah perbuatan hukum,
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Menurut Neiwenhuis,49 perjanjian obligatoir (yang menciptakan perikatan)
merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri mengatur
hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Menurut Polak, suatu persetujuan
tidak lain suatu perjanjian (afspraak) yang mengakibatkan hak dan kewajiban.
Pengertian kontrak atau perjanjian yang dikemukakan para ahli tersebut
melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 KUH Perdata, sehingga secara
lengkap pengertian kontrak atau perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.
48Ibid, hal. 49. 49Niewenhuis, J.H., 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan
Djasadin Saragih, Surabaya, hal. 1. (selanjutnya disingkat Niewenhuis III).
28
2. Syarat Syahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi
4 syarat, yaitu:
a. Adanya kata sepakat;
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
c. Adanya suatu hal tertentu;
d. Adanya causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam
perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subjektif. Sedangkan syarat ketiga dan
keempat disebut syarat objektif karena mengenai objeknya suatu perjanjian.50
Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat
objektif. Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi
hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak
pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian,
maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa
Inggris dikatakan bahwa yang demikian itu null and void.
Dalam hal syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya bukan batal
demi hukum, melainkan salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya
perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak
yang tidak cakap atau pihak yang dibuat itu mengikat juga, selama tidak
50Hasanudin Rahman, 2003, Contract Drafting, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 8.
29
dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan
tadi.51
1.5.1.3 Teori Kekuasaan Kehakiman
Teori kekuasaan kehakiman pencetusnya adalah Montesquieu yang
membagi kekuasaan menjadi 3 (tiga) yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Legislatif berkembang menjadi kekuasaan parlemen (di Indonesia Dewan
Perwakilan Rakyat), eksekutif adalah kekuasaan pemerintahan (di Indonesia
Presiden dan para pembantunya) dan yudikatif menjelma menjadi kekuasaan
kehakiman (di Indonesia Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya,
Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya).
1. Kekuasaan Kehakiman dalam Negara Hukum
Suatu Negara disebut sebagai negara hukum yang demokratis bilamana
memiliki Kekuasaan kehakiman yang tidak saja independen tetapi juga memiliki
akuntabilitas sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh
masyarakat dan menjadi kekuasaaan kehakiman yang berwibawa.52 Untuk
mewujudkan, memastikan dan menjamin adanya kekuasaan kehakiman yang
independen dan akuntabel maka diperlukan mekanisme pengawasan yang bersifat
internal dan eksternal di dalam sistem kekuasaan kehakiman dimaksud.
Pengawasan internal dan eksternal tersebut seyogianya menjadi komplemen satu
dan lainnya, terintegrasi, dan sinergis sehingga dapat mewujudkan tugas dan
fungsi dari kekuasaan kehakiman.
51 Ibid. 52 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit.
30
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dikemukakan dengan sangat eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum. Bila
negara hukum dikaitkan dengan teori kedaulatan hukum, maka supremasi dari
suatu negara tidak terletak pada negara itu tetapi hukum. Kedaulatan hukum
menempatkan negara harus tunduk dihadapannya hukum, kedaulatan negara
tunduk dan mengabdi pada kedaulatan hukum karena hukum yang akan mengatur
orde ketertiban masyarakat dan juga mengatur hubungan antara masyarakat dan
negara. Pada konteks itu, kekuasaan politik yang dimiliki oleh otoritas negara juga
harus tunduk dihadapan kedaulatan hukum.
Konstitusi Indonesia juga menyatakan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan melalui Undang-Undang Dasar. Bilamana kedaulatan hukum
tersebut di atas diletakkan dan berpijak pada kedaulatan rakyat, maka kedaulatan
hukum bukanlah ditujukan semata-mata untuk kepentingan hukum itu sendiri,
tetapi justru harus ditujukan dan berpihak bagi kepentingan masyarakat.
Keberadaan kekuasaan kehakiman di dalam suatu negara hukum juga
dikemukakan oleh Purwoto Gandasubrata, mantan Ketua Mahkamah Agung
kedelapan, periode 1992-1994 yang dengan sangat tegas mengemukakan bahwa ”
... konsekwensi ... sebagai negara hukum, maka merupakan suatu conditio sine
qua non manakala di negara kita harus ada suatu kekuasaan kehakiman atau badan
peradilan yang merdeka dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa
hukum, pengayoman hukum, kepastian/keadilan hukum, apabila terjadi
31
pelanggaran atau sengketa hukum di dalam masyarakat”.53 Ada beberapa hal
penting yang tersebut di dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 berkenaan dengan Kekuasaan Kehakiman, yaitu sebagai
berikut: kesatu, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam
menjalankan peradilan; kedua, tujuan dari penyelenggaran kekuasaan kehakiman
adalan untuk menegakkan hukum dan keadilan; dan ketiga, pelaksanaan
kekuakasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan
dibawahnya, serta Mahkamah Konstitusi.
Fakta sering memperlihatkan bahwa kekuasaan atau kepentingan eksekutif
mempunyai intensi untuk melakukan intervensi pada kepentingan kekuasaan
kehakiman. Intervensi dimaksud menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak
sepenuhnya independen dihadapan kekuasaan. Pada kondisi sedemkian maka
tidaklah dapat diharapkan, kekuasaan kehakiman dapat menjalankan
kekuasaannya secara merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Problem independensi ini merupakan salah satu masalah yang sangat
fundamental dan mendapatkan sorotan yang sangat serius. Itu sebabnya, pada era
reformasi persoalan independensi ini dirumuskan secara spesifik di dalam
konstitusi maupun perundangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Secara tekstual, Undang-Undang Dasar sebelum amandemen mengatur kekuasaan
kehakiman dengan menyatakan ”kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang”;
sedangkan, ”syarat-syarat untuk menjadi menjadi hakim agung dan diberhentikan
53Purwoto Gandasubrata, 1998, Renungan Hukum, Ikatan Hakim
Indonesia, hal. 65.
32
diatur dengan undang-undang” (Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar
1945 sebelum di amandemen). Rumusan teks dimaksud tidak secara eksplisit
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam
menjalankan peradilan. Itu sebabnya, tidak ada jaminan tidak adanya intervensi
dari kekuasaan eksekutif atas institusi yudikatif. Salah satu indikasinya, potensi
intervensi dimaksud dapat dilakukan melalui proses pengangkatan dan
pemberhentian hakim sebagaimana diatur di dalam Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970.
Undang-Undang Dasar pasca amandemen lebih tegas mengatur kekuasaan
kehakiman dengan menyatakan ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”. Konstitusi dimaksud juga merumuskan secara tegas, siapa saja lembaga
yang ,menjadi penyelenggara dan bagian dari kekuasaan kehakiman, merumuskan
tugas dan wewenangnya serta hal lain yang berkaitan dengan pengangkatan dan
syarat menjadi Hakim Konstitusi dan anggota Komisi Yudisial (Pasal 24, Pasal
24A, Pasal 24B dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945).
2. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman
Kemandirian suatu institusi semestinya dibangun oleh institusi itu sendiri
melalui performance yang benar-benar prima. Kemandirian yang di bentuk dari
dalam (from within) akan bersifat substansial serta hakiki sehingga pada akhirnya
memperoleh pengakuan dari luar. Lebih lagi, pengakuan tersebut akan sekaligus
mencerminkan nilai-nilai kewibawaan. Kalaupun suatu institusi secara formal
33
dipaksakan memperolah status independen namun nyatanya masih menerima
pengaruh lainnya, maka lembaga itu sama sekali tidak mandiri. Sebaliknya, suatu
lembaga yang kinerjanya amat baik, integritas pelaksanaannya tidak diragukan,
profesional, objektif, tegas namun adil, jelas akan memperoleh pengakuan tampa
perlu menuntut independensi. Sungguh ironis sekali apabila agenda utama
reformasi untuk memberantas korupsi justru semakin jauh dari sasaran karena
adanya asumsi bahwa independensi institusi merupakan syarat yang tidak bisa
ditinggalkan guna mencapai tujuan reformasi tersebut.54
Kemandirian peradilan, menyangkut dengan sistem kemandirian kebebasan
kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan pada pasal 24 UUD 1945. Pasal
ini menuntut serta meletakkan landasan konstitusional tentang The Independence
of The Judiciary. Secara konstitusional Pasal 24 UUD 1945 menuntut dan
mengkehendaki kekuasaan kehakiman :
a. Yang benar-benar bersifat imparsial: Bebas dan merdeka dari pengaruh
para pihak yang berperkara, serta tidak memihak kepada salah satu pihak
sesuai dengan asas audi alteran partem atau must give the same
opportunity to each party atau memberi kesempatan yang sama kepada
setiap pihak. Memberi equal treatment atau perlakuan sama kepada para
pihak atau disebut juga equal dealing (perlakuan yang sama).
54Antonius Sujata, 2000. Reformasi dan Penegakan Hukum, Djambatan,
Jakarta, hal.144.
34
b. Juga harus benar-benar independence from the executive power atau bebas
dan merdeka dari pengaruh dan genggaman eksekutif atau penguasa.55
Sebagaimana telah disebutkan di atas, kekuasaan kehakiman yang merdeka
merupakan salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan
negara hukum.
1.5.1.4 Teori Penafsiran
Teori penafsiran dicetuskan oleh J.A Pontier yang mengatakan bahwa agar
dapat mengatur masyarakat hukum harus ditafsirkan. Penafsiran dilakukan
melalui metode interpretasi teleologikal dan evolutif-dinamikal di mana hakim
menetapkan apa tujuan, rentang jangkauan atau fungsi dari suatu kaidah hukum,
kepentingan-kepentingan apa yang hendak dilindungi oleh kaidah hukum itu, dan
apakah kepentingan tersebut benar terlindungi apabila kaidah hukum itu
diterapkan ke dalam suatu kasus konkret dalam konteks kemasyarakatan yang
aktual. Metode interpretasi teleologikal dan evolutif-dinamikal ini juga
memberikan kepada hakim alternatif kemungkinan untuk menelaah apakah makna
yang pada suatu saat secara umum selalu diberikan pada suatu kaidah hukum
tertentu masih sesuai dengan perkembangan aktual masyarakat.56
Boleh dikatakan bahwa setiap ketentuan undang-undang perlu dijelaskan,
perlu ditafsirkan lebih duu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Interpretasi
atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi
55Macdonal, R., F.Matcher, and H.Petzold, 1993, The European System for
the protection of Human Rihgts, Kluwer Academic Publishers, The Hague, hal. 397.
56J.A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung, hal. 94.
35
penjelasan gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.57
Satjipto Rahardjo mengemukakan, salah satu sifat yang melekat pada
perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan-rumusan
peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam bentuk tulisan atau litera scripta
itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari usaha untuk menyampaikan sesuatu ide
atau pikiran. Ide atau pikiran yang hendak dikemukakan itu ada yang menyebutnya
sebagai ‘semangat’ dari suatu peraturan. Usaha untuk menggali semangat itu dengan
sendirinya merupakan bagian dari keharusan yang melekat khusus pada hukum
perundang-undangan yang bersifat tertulis. Usaha tersebut akan dilakukan oleh
kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi. Interpretasi atau
konstruksi ini adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka
mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan.58
Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada
pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan mengenai
peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana
atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada
kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk
kepentingan metode itu sendiri. Oleh karena itu harus dikaji dengan hasil yang
diperoleh.59
Berikut metode-metode penafsiran/interpretasi hukum yang ada :
57 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal. 93-95. 58 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal. 94-95. 59Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum, (Sebuah Pengantar),
Liberty, Yogyakarta, hal. 169.
36
1. Penafsiran/interpretasi Gramatikal
Adalah penafsiran berdasarkan tata bahasa yang dilakukan terhadap kata-kata
yang tersusun di dalam bunyi dan isi peraturan perundang-undangan. Jadi kata
demi kata dalam suatu peraturan perundang-undangan akan diartikan dan
diberi makna serta dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari yang
kemudian menghasilkan pemahaman komprehensif tentang hukum yang
berlaku bagi suatu perbuatan hukum, hubungan hukum dan peristiwa hukum.
Penafsiran gramatikal disebut juga metode objektif.60
2. Penafsiran/Interpretasi Historis/Sejarah
Adalah penafsiran hukum yang dilakukan dengan memfokuskan diri pada
sejarah pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, mulai dari
munculnya gagasan sampai diundangkannya peraturan perundang-undangan
tersebut.61 Kusnu Goesniadhie memberikan dua pemahaman akan metode
yang digunakan dalam interpretasi historis ini :
Jika hendak memahami peraturan perundang-undangan dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut interpretasi menurut sejarah hukum. Dalam hal ini yang diteliti adalah sumber-sumber hukum yang digunakan oleh pembentuk undang-undang, sedangkan jika hendak menafsirkan peraturan tertentu didasarkan pada makna atau tujuan pembentuk undang-undang, peraturan tertentu tersebut dengan meneliti hasil pembicaraan
60James A. Holland and Julian S. Webb, 1991, Learning Legal Rules,
Blackstone Limited, Great Britain, hal. 73, 82. 61Tommy H. Purwaka, 2005, Fakta Perlunya Harmonisasi Prosiding
Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, Jakarta, hal. 560-563.
37
dan dokumen Dewan Perwakilan Rakyat yang mendahului terciptanya peraturan tersebut disebut interpretasi historis menurut undang-undang.62
3. Penafsiran/Interpretasi Sistematis
Adalah penafsiran hukum yang dilakukan dengan memberi arti dan makna isi
suatu peraturan perundang-undangan mulai dari apa yang terkandung di dalam
judul, menimbang, mengingat, memutuskan, bunyi pasal demi pasal,
penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Judul dapat ditafsirkan
secara gramatikal, fokus penafsiran hukum terhadap poin menimbang adalah
pemahaman tentang landasan filosofis dan sosiologis suatu peraturan
perundang-undangan. Titik berat dari penafsiran hukum terhadap poin
mengingat adalah pemahaman tentang landasan yuridis suatu peraturan
perundang-undangan.63
Fokus penafsiran hukum terhadap bunyi pasal demi pasal adalah
mencari makna hukum yang terkandung di dalam sistematika kerangka
pemikiran dari pembentuk peraturan perundang-undangan. Fokus penafsiran
hukum terhadap isi penjelasan umum adalah untuk mengetahui makna hukum
secara umum dari suatu peraturan perundang-undangan. Fokus penafsiran
hukum terhadap isi penjelasan pasal demi pasal adalah untuk memperjelas
materi hukum yang sudah dijelaskan dan menjelaskan hal-hal yang dijelaskan
sebagai cukup jelas.64
62Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan
Tata Pemerintahan yang Baik, Penerbit A3 dan Nasa Media, Malang, hal. 134-143.
63Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 13.
64 Ibid.
38
4. Penafsiran/Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Adalah penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan
dengan memperhatikan perkembangan aspirasi rakyat dan situasi/kondisi
masyarakat. Penafsiran teleologis ini berusaha menafsirkan isi peraturan
perundang-undangan dengan memaknai perubahan-perubahan yang terjadi di
masyarakat.65
5. Interpretasi/Penafsiran Komparatif
Interpretasi komparatif atau perbandingan merupakan metode penafsiran yang
dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara beberapa aturan hukum.
Tujuan hakim memperbandingkan adalah dimaksudkan untuk mencari
kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan Undang-Undang.66
Interpretasi perbandingan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan
penerapan asas-asas hukumnya (rechtsbeginselen) dalam peraturan perundang-
undangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rechtsregel), di samping
perbandingan tentang latar-belakang atau sejarah pembentukan hukumnya.
6. Interpretasi/Penafsiran Antisipatif/Futuristis
Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi
adalah penjelasan ketentuan Undang-Undang yang belum mempunyai
kekuatan hukum.67 Dengan demikian, interpretasi ini lebih bersifat ius
constituendum (hukum atau Undang-Undang yang dicitakan) daripada ius
constitutum (hukum atau Undang-Undang yang berlaku pada saat sekarang).
65Charles Sampford (Ed.), 2006, Interpreting Constitutions Theories,
Principles and Institutions, The Ferderation Press, Sydney, hal. 14. 66 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 19. 67 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 19.
39
7. Interpretasi/Penafsiran Otentik
Interpretasi/penafsiran otentik tidak pernah dibicarakan bersama-sama dengan
metode-metode interpretasi lainnya oleh karena interpretasi/penafsiran otentik
bukanlah metode penemuan hukum oleh hakim, melainkan merupakan
penafsiran oleh pembentuk undang-undang yang dimuat oleh undang-
undang.68
Berdasarkan hasil atau akibat penemuan hukum pelbagai metode
interpretasi/penafsiran dapat dibedakan antara interpretasi/penafsiran restriktif
(membatasi) dan ekstensif (diperluas). Suatu peraturan hanya dapat ditetapkan
dengan jalan penjelasan atau penafsiran. Baru kemudian dapat dilihat apakah
itu diperluas atau dipersempit. Pada umumnya metode interpretasi/penafsiran
gramatikal itu bersifat membatasi, interpretasi/penafsiran historis menurut
undang-undang bersifat memperluas, interpretasi/penafsiran teleologis sifatnya
memperluas, sedangkan metode interpretasi/penafsiran sistematis bersifat
membatasi.
Di samping beberapa metode penafsiran sebagaimana tersebut di atas,
berdasarkan dari hasil penemuan hukum (rechtsvinding), metode interpretasi
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1. metode penafsiran restriktif; dan
2. metode penfasiran ekstensif.
Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat
membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan Undang-Undang, ruang lingkup
68 James A. Holland and Julian S. Webb, Op.Cit., hal. 8.
40
ketentuan itu dibatasi. Prinsip yang digunakan dalam metode penafsiran ini adalah
prinsip lex certa, bahwa suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak
dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (lex stricta), atau dengan kata lain suatu ketentuan
perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara
tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan itu sendiri. Sedangkan
interpretasi ekstensif adalah penjelasan yang bersifat melampaui batas-batas yang
ditetapkan oleh interpretasi gramatikal.69
Metode-metode interpretasi yang telah diuraikan di atas secara sederhana
dapat dikelompokkan berdasarkan dua pendekatan, yaitu (1) the textualist approach
(focus on text) dan (2) the purposive approach (focus on purposes).
Interpretasi/penafsiran gramatikal dan otentik ternasuk kategori pendekatan pertama,
sementara metode interpretasi/penafsiran lainnya mengacu kepada pendekatan kedua.
Metode interpretasi konstitusi yang satu dapat digunakan oleh hakim bersama-sama
dengan metode penafsiran konstitusi yang lainnya. Tidak ada keharusan bagi hakim
hanya boleh memilih dan menggunakan satu metode interpretasi konstitusi
tertentu saja, misalnya hanya memilih dan menggunakan metode penafsiran
‘originalisme’ yang mendasarkan diri pada original intent. Hakim dapat
menggunakan beberapa metode interpretasi konstitusi itu secara bersamaan. Pada
umumnya dikatakan, bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan Undang-
Undang paling tidak akan terdapat unsur-unsur gramatikal, sistematis, teleologis
dan historis.70
69 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 19-20. 70 J.A. Pontier, Op.Cit., hal. 94.
41
Pemanfaatan metode-metode interpretasi yang beragam dalam praktik
peradilan, dan tidak adanya tatanan yang hierarkis di antara metode-metode itu
menurut J.A. Pontier mengimplikasikan kebebasan hakim yang luas untuk mengambil
keputusan.71 Apalagi pembentuk Undang-Undang (dalam hal ini lembaga legislatif)
ternyata juga memberikan kebebasan kepada hakim dalam derajat yang cukup tinggi
untuk menterjemahkannya lebih lanjut ke dalam kasus. Dalam menjalankan
kekuasaannya di bidang peradilan misalnya, Undang-Undang memerintahkan agar:
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman).
Oleh karena itu hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan
agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat (Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Penelitian ini menggunakan penafsiran hukum sistematis untuk
menganalisis gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman diperlukan penafsiran untuk
mencari makna hukum yang terkandung di dalam sistematika kerangka pemikiran
dari pembentuk peraturan perundang-undangan, menafsirkan isi peraturan
perundang-undangan dengan memaknai perubahan-perubahan yang terjadi di
masyarakat dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di
71 J.A. Pontier, Op.Cit., hal. 94.
42
berbagai negara dan penafsiran untuk mengantisipasi peraturan-peraturan yang
diperlukan di masa yang akan datang (ius constituendum).
1.5.1.5 Yurisprudensi
Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicate rechtspraak),
yaitu pelaksanaan hukum dalam hal kongkret terjadi tuntutan hak yang dijalankan
oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari
pengaruh apa atau siapa pun dengan memberikan keputusan yang bersifat
mengikat dan berwibawa.72 Yurisprudensi merupakan produk yudikatif, yang
berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan
atau terhukum. Jadi putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja
dan tidak mengikat orang secara umum seperti undang-undang. Bedanya dengan
undang-undang adalah putusan pengadilan berisi peraturan-peraturan yang
bersifat kongkret karena hanya mengikat orang-orang tertentu saja, sedangkan
undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak karena mengikat
setiap orang.
Yuriprudensi sebagai sumber Hukum formal sangat erat kaitannya dengan
tugas Hakim. Pada dasarnya “Hakim harus menyatakan Hukum berdasarkan UU “
dan “Hakim tidak boleh menolak untuk memutuskan tiap-tiap perkara yang
dihadapkan kepadanya”. Di dalam daerah Hukumnya, seorang Hakim memiliki
kedudukkan “Souverein”. Oleh sebab itu dalam melaksanakan tugasnya seorang
Hakim berkewajiban mengikuti putusan-putusan Hakim yang lebih tinggi.
72Komariah Emong Supradjaja, 2002, Perkembangan Penerapan dalam
Yurisprudensi di Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 62.
43
Yurisprudensi merupakan putusan hakim yang kemudian dijadikan dasar
untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa dikemudian hari. Biasanya hal ini akan
terjadi jika telah terjadi beberapa kali kasus yang serupa dan untuk kasus-kasus itu
hakim selalu memeberikan keputusan dengan cara yang kurang lebih sama.
Perulangan itu menimbulkan rasa keharusan untuk memutuskan dengan cara yang
sama setiap kali kasus serupa terjadi. Dengan demikian terbentuk hukum melalui
keputusan hakim (hukum hakim, rechterrecht, judge made law).73
1.5.1.6 Asas-Asas dalam Perjanjian
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan
latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau
ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Asas hukum perjanjian ini
merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif
atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim
yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.74
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan : “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Jadi, dalam pasal ini terkandung tiga macam asas utama dalam perjanjian, yaitu:
asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda.
Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.
73 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu. 2007, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, hal. 64.
74R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 26.
44
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting
dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum
biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH
Perdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang
untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,
sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:75
a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin
kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat
Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga
para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap
pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.76
75Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4. 76Ibid., hal. 4
45
2. Asas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320
KUH Perdata ditemukan dalam istilah ”semua”. Kata-kata semua menunjukkan
bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will ), yang
dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya
dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.77
Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat
(consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain
lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika
perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan
alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut
dinamakan perjanjian konsensuil.78
Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau
dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang
menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian
karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-
syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus
dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang
ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian formil.79
3. Asas Pacta Sunt Servanda
77Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 113. 78R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2002, Kamus Hukum, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 28. 79 Ibid.
46
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam
kalimat ”berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” pada
akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah
oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat
ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya ”hakim”
untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak
tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini
dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal :
a. Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;
b. Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
4. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur
maupun bagi kreditur. Menurut Subekti,80 pengertian itikad baik dapat ditemui
dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian
seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).
Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang
pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui
tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti
cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338
80R., Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
hal. 42.
47
ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan
dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
5. Asas Kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang
terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH
Perdata. Dalam Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun
dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji
daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-
perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu
tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal
yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para
pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini
dinamakan asas kepribadian.81
1.5.1.7 Konsep Perjanjian Sewa-Menyewa
1. Hakikat Dalam Perjanjian Sewa Menyewa
Hukum, hak dan kewajiban memiliki hubungan keterkaitan dalam lalu
lintas kegiatan ekonomi. Hukum itu memberikan perlindungan pada kepentingan
manusia dan membagi hak dan kewajiban. Hak merupakan kenikmatan dan
keleluasaan serta kewajiban merupakan beban. Dalam hubungan sewa menyewa
yang menyewakan memberi hak pemakaian saja kepada penyewa dan bukan hak
milik. Perjanjian sewa menyewa tidak memberikan suatu hak kebendaan, tetapi
81 S. Imran, 2007, Asas-Asas dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis
Yuridis pada Hukum Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 35.
48
hanya memberi suatu hak perseorangan, terhadap yang menyewakan ada hak
“persoonlijk” terhadap pemilik, akan tetapi hak orang yang menyewakan ini
mengenai suatu benda, yaitu suatu barang yang disewakan.82
Definisi Pasal 1548 KUH Perdata dapat dilihat bahwa ada 3 (tiga) unsur
yang melekat, yaitu:
a. Barang.
b. Jangka waktu.
c. Pembayaran.
Perjanjian sewa menyewa, seperti halnya perjanjian jual-beli dan
perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah perjanjian konsensuil. Artinya,
ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-
unsur pokok, yaitu barang dan harga. Dalam perjanjian sewa-menyewa dikenal
dengan adanya kewajiban pihak yang satu menyerahkan barangnya untuk
dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan pihak yang terakhir harus membayar
sewa. Jelas, bahwa barang tersebut diserahkan bukan untuk dimiliki, melainkan
hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaanya. Dengan kata lain bahwa penyerahan
itu hanya penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang disewa.83
Disebutkannya “waktu tertentu” dalam uraian Pasal 1548 KUH Perdata,
menimbulkan pertanyaan apa yang dimaksud dengan waktu tertentu, sebab tidak
perlu disebutkan untuk berapa lama barang itu disewanya, asal sudah disetujui
berapa harga sewanya untuk satu hari, satu bulan atau satu tahun. Tetapi terdapat
82R., Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 36. 83 R. Setiawan, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung,
hal. 17.
49
suatu petunjuk dalam Pasal 1579 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut :
Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dengan menyatakan
hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali telah diperjanjikan
sebaliknya. Pasal 1548 ini hanya dapat ditujukan dan hanya dapat dipakai
terhadap perjanjian sewa-menyewa dengan waktu tertentu, dan pada hakekatnya
perjanjian sewa-menyewa tidak untuk berlangsung terus-menerus.84
Perjanjian sewa menyewa selalu terdapat 2 (dua) belah pihak yang selalu
mengikatkan diri untuk berprestasi satu sama lain. Pihak inilah yang menjadi
subjek sewa menyewa. Subjek sewa menyewa merupakan subjek hukum dimana
subjek hukum ini ada 2 (dua) yaitu : orang pribadi dan badan hukum. Hubungan
hukum terjadi antara dua orang atau lebih, pihak yang aktif adalah kreditur atau
siberpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi pihak yang pasif adalah
debitur atau si berhutang.85 Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban.
Menurut Suroso subjek hukum adalah :
Sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap bertindak dalam hukum, sesuatu pendukung hak (rechtsbevoedgheid) dan merupakan sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.86
Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat
para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Suatu perjanjian
yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan suatu perikatan yang mana
perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian, jadi perikatan yang telah
84 Ibid. 85 Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Hukum Perdata Tentang Perikatan,
Fakultas Hukum USU, Medan, hal.3. 86R. Suroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 223.
50
dilaksanakan para pihak dalam suatu perjanjian memberikan tuntutan pemenuhan
hak dan kewajiban terhadap pelaksanaan isi dari perjanjian khususnya perjanjian
sewa menyewa ini.
Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang
diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian
timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan
kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering
terjadi dalam kehidupan di masyarakat.87 Perjanjian sewa menyewa diatur dalam
ketentuan Buku Ketiga Bab Ketujuh Pasal 1548 sampai Pasal 1600 KUH
Perdata.88
Perjanjian sewa menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian
untuk memberikan/menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III KUH
Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUH Perdata, yang dimaksud dengan
sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat
dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang
selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak
tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.89
Pasal 1548 KUH Perdata menyebutkan bahwa sewa menyewa ialah suatu
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan
kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu
87R. Wirjono Prodjodikoro, 1987, Hukum Perjanjian dan Perikatan,
Pradnya Paramita, Jakarta, hal.53. 88R. Subekti, Op. Cit, hal. 1. 89R. Subekti, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal.
123.
51
tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak tersebut
belakangan itu disanggupi pembayarannya.90
Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian
ini adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian ini sudah sah dan
mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya,
yaitu barang dan harga. Peraturan tentang sewa menyewa ini berlaku untuk segala
macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak
maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak
memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk
perjanjian sewa menyewa.91 Menurut Subekti perjanjian sewa menyewa adalah:
“Suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu
benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya
menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu
pada waktu-waktu yang ditentukan”.92
Adapun pengertian perjanjian sewa menyewa menurut Yahya Harahap
adalah sebagai berikut : “Perjanjian sewa menyewa adalah persetujuan antara
pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau
pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk
dinikmati sepenuhnya”.93 Jikalau ditinjau perjanjian sewa menyewa ini adalah
merupakan suatu jenis perjanjian yang bebas bentuknya, artinya perjanjian
tersebut dapat diperbuat baik secara lisan maupun tertulis tergantung kesepakatan
90 Hasanudin Rahman, Op.Cit, hal. 29. 91R., Subekti, Op.Cit., hal. 1. 92R., Subekti, Op.Cit., hal. 164. 93M., Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 220.
52
antara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan, akan tetapi segala bentuk
perjanjian sewa menyewa khususnya perjanjian sewa menyewa rumah sebaiknya
diperbuat secara tertulis dengan tujuan untuk lebih dapat menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Terhadap syarat esensial dalam perjanjian sewa menyewa ini, yakni
mengenai harga sewa atau sewa haruslah tertentu atau segala sesuatu yang dapat
ditentukan dan biasanya harus ditentukan secara tegas perjanjian yaitu dengan
penetapan besarnya uang sewa menyewa harus dibayar kepada pihak yang
menyewakan. Jangka waktu atau lamanya sewa dapat saja ditentukan secara jelas
dalam perjanjian, atau dengan kata lain tidak perlu disebutkan untuk berapa lamakah
barang tersebut akan disewa oleh pihak penyewa, tetap telah disetujui oleh kedua
belah pihak baik penyewa maupun yang disewakan dalam setiap bulan atau tahunnya.
Jika diperhatikan sewa menyewa ini merupakan suatu bentuk perjanjian
yang bersifat perseorangan dari bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan
yaitu dengan perjanjian sewa menyewa ini, kepemilikan terhadap rumah sewa
tersebut tidaklah beralih kepada penyewa tapi tetap menjadi hak milik dari orang
yang menyewakan.94 Subekti menyatakan bahwa :
Jika ada suatu perjanjian sewa menyewa rumah yang belum habis masa sewanya. Oleh pemilik rumah atau yang menyewakan melakukan tindakan hukum menjual rumah yang disewakan tersebut, maka pihak penyewa tidak berhak melakukan penuntutan ganti rugi. Namun sebaliknya, bila diperjanjikan secara tegas, maka pihak penyewa dapat melakukan tuntutan hukum ganti rugi kepada pihak penyewa.95
94Qirom Meliala, A., Ibid, hal. 8. 95Subekti, R., Op.Cit., hal. 2.
53
Asas-asas hukum perjanjian sewa menyewa tercantum dalam Pasal 1548
KUH Perdata yang menyatakan bahwa sewa menyewa merupakan suatu
perjanjian dimana terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri yang saling
memberi prestasi dan tegen prestasi yaitu pihak yang menyewakan memberikan
kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu
tertentu dan pihak penyewa memberikan tegen prestasi berupa pembayaran
sesuatu harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah
pihak.
Berdasarkan asas hukum perjanjian sewa menyewa tersebut di atas terdapat
unsur-unsur dari sewa menyewa yang antara lain adalah :
a. merupakan suatu perjanjian.
b. terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri
c. pihak yang satu memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak
yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak yang lain membayar pada
sesuatu harga atas kenikmatan yang diperolehnya dari barang tersebut.
2. Obyek Sewa Menyewa
Perjanjian sewa menyewa mengandung adanya sesuatu yang menjadi
objek. Pada dasarnya apa yang menjadi objek sewa menyewa adalah apa yang
merupakan objek hukum. Jadi objek sewa menyewa adalah merupakan objek
hukum. Yang dimaksud dengan objek hukum (recht subject) adalah : segala
sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat
dijadikan objek dalam suatu hubungan hukum.96 Demikian pula halnya dengan
96Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 68.
54
yang terjadi dalam perjanjian sewa menyewa ini meliputi segala jenis benda baik
benda bergerak maupun benda tidak bergerak asal tidak dilarang oleh Undang-
Undang dan ketertiban umum.97
Peraturan tentang sewa menyewa, berlaku untuk segala macam sewa
menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak
bergerak yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu
tertentu, karena perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.98 Menurut Pasal 1549 KUH Perdata bahwa semua jenis barang, baik yang tak
bergerak, baik yang bergerak dapat disewakan. Basrah Lubis mengemukakan bahwa :
Jika benda yang disewa itu musnah sewaktu terjadinya sewa menyewa karena overmacht maka perikatan sewa menyewa batal demi hukum, dan pihak penyewa tidak berhak atas ganti rugi, baik benda tersebut secara keseluruhan maupun sebahagian. Apapun pernyataannya batalnya perjanjian itu tidak perlu dimintakan pernyataan dan resiko atas musnahnya objek sewa menyewa secara keseluruhan adalah pihak yang menyewakan (pemilik hak atas benda) serta tidak dapat meminta atau menuntut pembayaran uang sewa kepada pihak penyewa atau dengan tegasnya uang sewa dengan sendirinya gugur, dan sebaliknya pihak penyewa tidak dapat menuntut penggantian barang ataupun ganti rugi dari pihak yang menyewakan (Pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).99
3. Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa
Meskipun sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensuil, namun oleh
Undang-Undang diadakan perbedaan dalam akibat-akibatnya antara sewa-menyewa
secara tertulis dan sewa-menyewa secara lisan. Jika sewa-menyewa itu diadakan
secara tertulis, maka sewamenyewa itu “berakhir demi hukum (otomatis)”, apabila
97Qirom S., Meliala, Op. Cit., hal. 78. 98Wirjono Prodjodikoro, R., Op. Cit., hal. 4. 99Basrah Lubis, 1993, Sewa Menyewa dan Pembahasan Kasus, Diktat
Kuliah FH USU, Medan, hal. 43.
55
waktu yang telah ditentukan telah habis, tanpa harus dilakukannya suatu
pemberitahuan pemberhentian. Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat secara
tulisan, maka itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika pihak
yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa, bahwa ia hendak
menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan
jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada
pemberitahuan sebelumnya, maka dianggap bahwa sewa-menyewa itu akan
diperpanjang untuk waktu yang sama.100
Mengenai peraturan sewa-menyewa secara tertulis dapat dilihat dalam
Pasal 1570 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : Jika sewa dibuat
dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang
ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan untuk itu.
Sedangkan mengenai peraturan sewa-menyewa lisan, dapat dilihat dalam Pasal
1571 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut :
“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”. Selain peraturan di atas, perjanjian sewa-menyewa dapat berakhir karena
barang yang diperjanjikan musnah di luar kesalahan salah satu pihak.101
Selain pembedaan bentuk perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara
lisan dan tertulis, pembedaan bentuk tersebut, dapat juga dilakukan melalui
pembedaan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta otentik (authentieke
akte) dengan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta di bawah tangan
100 R. Subekti, Op.Cit, hal. 15. 101 R. Subekti, Op.Cit, hal. 15.
56
(onderhands). Jika dibuat dengan akta otentik maka, dibuat dalam bentuk sesuai
dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/atau di hadapan
pejabat umum yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna, dan apabila kebenarannya dibantah, si penyangkal yang harus memikul
beban pembuktian (the burden of proof), untuk membuktikan ketidakbenaran
sangkalan/dalilnya. Sedangkan apabila dibuat dengan akta dibawah tangan maka,
bentuk akta tidak terikat bentuk formal. Akta dibawah tangan dapat dibuat dengan
bebas oleh setiap subyek hukum yang berkepentingan, mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna apabila diakui oleh penandatangan, dan apabila
kebenaran dibantah, pihak yang membantah yang memikul beban pembuktian (the
burden of proof), yang harus membuktikan kebenaran bantahan/dalilnya.102
1.5.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teori yang
telah dikemukakan, maka digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
102 R. Subekti, Op.Cit, hal. 47.
57
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat yuridis normatif
yaitu suatu metode yang bertujuan untuk melukiskan atau menggambarkan fakta
tentang konsekuensi hukum gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka waktu
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman, yang berupa data
Konsekuensi Hukum Gugatan Perjanjian Sewa Rumah tanpa Jangka Waktu setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman
Perjanjian Sewa Menyewa Rumah
Wanprestasi dan tidak adanya Itikad Baik dari Penyewa untuk
mengembalikan rumah sewa
Gugat ke Pengadilan
Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap
Analisis Hukum
Kesimpulan dan Saran
Konsep Perjanjian Sewa Menyewa
Teori Kepastian Hukum
Teori Hukum Perjanjian
Teori Kekuasaan Kehakiman
58
sekunder dan dianalisis dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier.103 Pada satu sisi, penelitian ini tidak
dimaksudkan hanya untuk melakukan penjajakan (eskploratif) terhadap persoalan
penelitian, walaupun data awal sudah tersedia tetapi masih belum memadai.
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif
akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan
ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi
hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif.104
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa
pendekatan yaitu :105
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).
2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).
3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).
4. Pendekatan Historis (historical approach).
5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).
6. Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih
yang sesuai.
103Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan
Jurumetri, Cetakan ke IV, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 97. 104 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir
Abad ke-20, Cet.I, Alumni, Bandung, hal. 74. 105Johnny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, Banyumedia, Malang, hal. 300-301.
59
Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat
permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai
konsekuensi hukum gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini ditunjang data
sekunder, yaitu data yang diambil secara tidak langsung atau yang telah terlebih
dahulu dikumpulkan orang lain di luar dari penelitian sendiri. Adapun data
sekunder terdiri dari:106
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang
akan dikaji, terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman.
d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
106Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18.
60
e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Pemukiman.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum primer,
seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan ilmiah
lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen pribadi atau
pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder
ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.107
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus hukum,108 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet
juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi
yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.109
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam pengumpulan data ini harus ditegaskan permasalahan mengenai
jenis, sifat dan kategori data serta perlakuan terhadap data yang dikumpulkan.
Tujuannya agar pengumpulan data dan penganalisaan terhadap data dapat sesuai
dengan tujuan dari penelitian. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan
adalah studi pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder
mengenai obyek penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-
107Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 24. 108Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif
suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15. 109Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of
Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.
61
perspektif,110 dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder
mengenai objek penelitian, baik secara konvensional maupun dengan
menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.111
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Data yang diperoleh, dikelompokkan dan disusun secara sistematis dan
untuk selanjutnya data tersebut dianalisis, secara analisis kualitatif. Yang
dimaksud analisis kualitatif, yaitu analisis yang berupa kalimat dan uraian.112
Metode yang digunakan adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan
pada teori-teori, konsep dan peraturan perundang-undangan. Setelah itu data yang
diperoleh disusun secara sistematis dan untuk selanjutnya analisis kualitatif
dipakai untuk mencapai penjelasan yang dibahas. Penggunaan teori-teori (dan
konsep-konsep, penelitian) dalam menafsirkan hasil analisis bahan-bahan hukum
bersifat normatif-prespektif, bertujuan menghasilkan, menstrukturkan dan
mensistematisasi teori-teori yang menjadi dasar untuk pengambilan
kesimpulan,113 sehingga tujuan akhir penelitian hukum ini dapat tercapai, yaitu
ditemukannya jawaban permasalahan mengenai konsekuensi hukum gugatan
perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Pemukiman.
110 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,
hal. 194. 111 Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 323-324. 112Achmad Ali, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif
Watampone, Jakarta, hal. 188. 113Van Hoecke, M., dalam Bernard Arief Sidharta, 2001, Refleksi tentang
Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 154-155.
62
BAB II
TINJAUAN UMUM SEWA MENYEWA
2.1 Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa-Menyewa
2.1.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Sewa-Menyewa
Salah satu bentuk perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata adalah
perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa termasuk dalam perjanjian
bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensual yang bebas bentuknya.
Boleh dibuat dengan persetujuan lisan atau tertulis. Objek persetujuan sewa-
menyewa meliputi segala jenis benda, baik atas benda berwujud, tak berwujud,
maupun benda bergerak dan tidak bergerak.
Sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600
KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata yang dimaksud
dengan sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari
suatu barang selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang
oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.
Definisi yang lain dari perjanjian sewa-menyewa diungkapkan oleh
Subekti114 yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan
menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama jangka waktu tertentu sedangkan
pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk
114 Subekti, 2010, Hukum Perjanjian, Cet. XXIII, PT. Intermasa, Jakarta,
hal. 90.
63
pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan. Menurut M.Yahya Harahap115,
perjanjian sewamenyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan
dengan pihak penyewa.
Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak
disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya. Perjanjian sewa-menyewa
adalah “penikmatan” atas suatu barang dengan jalan membayar sewa untuk suatu
jangka waktu tertentu. Penikmatan itu tidak terbatas sifatnya. Seluruh kenikmatan
yang dapatdikecap dari barang yang disewa, harus diperuntukkan bagi si
penyewa.
Sewa-meyewa pada dasarnya dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan
sewa-menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak
berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu
juga karena barang yang disewakan dipindahtangankan. Disini berlaku asas
bahwa jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa.116
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dikemukakan unsur-unsur yang
tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa adalah:
1. Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian
2. Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan)
3. Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat
(pihak yang menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat (pihak
penyewa)
115 M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni,
Bandung, hal.220. 116 Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 58-59.
64
4. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut
5. Adanya jangka waktu.
KUHPerdata tidak secara tegas menentukan tentang bentuk perjanjian
sewamenyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu, perjanjian sewa-
menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis atau lisan.Dalam perjanjian sewa-
menyewa tanah, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis dan isi
perjanjian tersebut telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau notaris.
2.1.2 Subjek dan Objek Perjanjian Sewa-Menyewa
Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa adalah:
1. Pihak yang menyewakan
2. Pihak penyewa
Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang
menyewakan barang atau benda kepada pihak lainya untuk dinikmati kegunaan
benda tersebut kepada penyewa. Pihak yang menyewakan barang atau benda tidak
harus pemilik benda sendiri tetapi semua orang yang atas dasar hak penguasaan
untuk memindahkan pemakaian barang ke tangan orang lain. Hal tersebut
dikarenakan di dalam sewa menyewa yang diserahkan kepada pihak penyewa
bukanlah hak milik atas suatu barang melainkan hanya pemakaian atau
pemungutan atas hasil dari barang yang disewakan. Pihak penyewa adalah orang
atau badan hukum yang menyewa barang atau benda dari pihak yang
menyewakan. Objek barang yang dapat disewakan adalah barang bertubuh saja,
namun ada pendapat lain yang berpendapat bahwa tidak hanya barang-barang
65
yang bertubuh saja yang dapat menjadi objek sewa melainkan hak-hak juga dapat
disewa.117
Tujuan dari diadakanya perjanjian sewa-menyewa adalah untuk
memberikan hak pemakaian kepada pihak penyewa sehingga benda yang bukan
bersetatus hak milik dapat disewakan oleh pihak yang mempunyai hak atas benda
tersebut. Jadi benda yang dapat disewakan oleh pihak yang menyewakan dapat
berupa hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hak mengunakan hasil, hak pakai,
hak sewa (hak sewa kedua) dan hak guna bangunan.
Subekti berpendapat bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa tidaklah
menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang ataupun
jasa.118 Jadi objek dari perjanjian sewa-menyewa adalah segala jenis benda, baik
benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun benda
tidak berwujud.
2.1.3 Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa
1. Hak dan kewajiban pihak yang menyewakan
Hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang telah
ditentukan. Pasal 1550 KUHPerdata menentukan tiga macam kewajiban
pihak yang menyewakan. Ketiga macam kewajiban tersebut merupakan
kewajiban yang harus dibebankan pada pihak yang menyewakan,
sekalipun hal itu tidak ditentukan dalam perjanjian119:
117 Wirjono Projodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-
Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, hal. 190. 118 Subekti, Op.Cit., hal. 40. 119 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal 223.
66
a. Kewajiban untuk menyerahkan barang yang disewa kepada pihak
penyewa;
b. Kewajiban pihak yang menyewakan untuk memelihara barang yang
disewa selama waktu yang diperjanjikan, sehingga barang yang disewa
tadi tetap dapat dipergunakan, dan dinikmati sesuai dengan hajat yang
dimaksud penyewa;
c. Pihak yang menyewakan wajib memberi ketentraman kepada si
penyewa menikmati barang yang disewa, selama perjanjian sewa
berlangsung.
Kewajiban ketiga yakni memberi penikmatan yang tentram bagi
pihak si penyewa, selama jangka waktu perjanjian sewa-menyewa
berjalan. Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menjamin tentang
gangguan atau rintangan yang menggangu penyewa menikmati obyek
sewa yang disebabkan suatu tuntutan hukum yang bersangkutan dengan hak
milik atas barangnya. Jika terjadi yang demikian, maka penyewa berhak
menuntut suatu pengurangan harga sewa menurut imbangan, asalkan
ganguan dan rintangan tersebut telah diberitahukan kepada pemilik (Pasal
1557 KUHPerdata).
2. Hak dan kewajiban pihak penyewa
Selain pihak yang menyewakan mempunyai hak dan kewajiban,
pihak penyewa pun mempunyai hak dan kewajiban atas barang yang
disewanya yang perlu diperhatikan pula, bahwa kewajiban si penyewa
terhadap yang menyewakan, antara lain sebagai berikut :
67
a. Menjaga pemakaian barang yang disewakan dengan sangat berhati-hati sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab, menurut tujuan dan maksud persetujuan mengenai itu menurut yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan.
b. Bila jangka waktu perjanjian sewa-menywa sudah habis maka penyewa wajib mengembalikan barang yang disewanya dalam keadaan seperti semula.
c. Untuk membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (Pasal 1560 KUH Perdata).
Begitu pula dengan pihak penyewa selain mempunyai kewajiban
berhak pula atas barang yang disewanya, sebagai berikut :
a. Menyerahkan barang atau benda dalam keadaan baik dan terpelihara
sehingga barang itu dapat dipergunakan untuk keperluannya.
b. Jaminan dari pihak yang menyewakan terhadap semua cacat dari barang
yang disewakan, yang dapat merintangi penggunaan barang tersebut.
c. Jaminan dari pihak yang menyewakan mengenai kenikmatan cacat
tersembunyi dan tidak ada hak dari pihak ketiga atas benda sewa.
d. Berhak menuntut pengurangan harga sewa menurut pertimbangan,
apabila si penyewa diganggu dalam kenikmatan disebabkan satu
tuntutan hukum yang berdasarkan hak terhadap barang sewa asalkan
gangguan tersebut telah diberitahukan secara sah kepada pihak yang
menyewakan (Pasal 1561, 1564 dan 1566 KUH Perdata).
2.1.4 Bentuk Perjanjian Sewa-Menyewa
Perjanjian sewa-menyewa pada dasarnya tunduk pada asas konsensualitas.
Konsesualitas sendiri berasal dari bahasa latin “consensus”, yang artinya sepakat.
Namun bukan berarti asas konsensualitas merupakan suatu perjanjian diisyaratkan
68
adanya kesepakatan. Dimaksud dengan asas konsensualitas adalah pada dasarnya
perjanjian dan perikatan timbul sejak detik tercapainya kesepakatan.120
Meskipun perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensual,
namun oleh KUH Perdata diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara
sewa tertulis dan sewa lisan. Jika perjanjian sewa-menyewa itu diadakan secara
tertulis maka sewa-menyewa berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang
ditentukan sudah habis tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan
pemberhentian untuk itu. Sebaliknya jika perjanjian sewa-menyewa tidak dibuat
dengan tertulis maka sewa itu tidak berahir pada waktu yang ditentukan, tapi jika
pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa dia hendak
mengehentikan sewanya, pemberitahuan tersebut harus dilakukan dengan
mengindahkan jangka waktu yang diharuskan. Jika tidak ada pemberitahuan
tersebut, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama.
Perihal sewa menyewa secara tertulis diatur dalam Pasal 1570 sedangkan perihal
sewa menyewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam Pasal 1571.121
Penegasan perjanjian sewa menyewa rumah ini adalah sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh
Bukan Pemilik, disebutkan segala bentuk perjanjian sewa menyewa rumah
haruslah diperbuat dengan suatu batas tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa
menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum.
120 R. Subekti, Op.Cit, hal. 9. 121 R. Subekti, Op.Cit, hal. 9.
69
Hal ini dipertegas di dalam Pasal 10 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik yang mengatur
dalam hal kesepakatan tentang batas waktu yang diperjanjikan.
Perihal sewa tertulis itu diatur dalam Pasal 1570 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan perihal sewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam Pasal
1571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Jika seorang penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya
waktu sewa yang ditentukan dalam suatu perjanjian sewa tertulis, dibiarkan
menempati rumah atau ruangan tersebut, maka dianggaplah si penyewa itu tetap
menguasai barang yang disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama, untuk
waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat, dan tak dapatlah ia meninggalkan
rumah atau ruangan itu atau dikeluarkan dari situ, melainkan sesudahnya
dilalukan pemberitahuan penghentian sewanya menurut kebiasaan setempat (Pasal
1587 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Berdasarkan uraian tersebut dimaksudkan bahwa sewa tertulis tersebut,
setelah habis waktunya dan penyewa dibiarkan menempati rumah sewa, berubah
menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat diakhiri menurut adat
kebiasaan setempat.
Berkenaan dengan Pasal 1570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi
hukum, apabila waktu yang telah ditentukan telah lampau, tanpa diperlakukannya
sesuatu pemberhentian untuk itu.
70
Pasal 1571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan jika sewa
tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan,
melainkan jika pihak lain hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan
tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.
Pasal 1579 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan
hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah
diperjanjikan sebaliknya.
Berdasarkan ketentuan kedua Pasal tersebut di atas Pasal 1578 dan Pasal
1579 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, jelas bahwa dalam
perjanjian sewa menyewa yang telah diperjanjikan terlebih dahulu tidak
dibenarkan untuk memaksa si penyewa untuk mengosongkan barang yang disewa
dengan alasan barang tersebut akan dijual atau akan dipergunakan sendiri oleh
pemilik barang yang disewa tersebut.
Ketika barang yang disewa oleh si penyewa tersebut akan dijual, maka
pemilik barang yang disewa harus terlebih dahulu memberikan pemberitahuan
kepada si penyewa jauh hari sebelum waktu penjualan barang tersebut tiba. Dalam
praktek pelaksanaan perjanjian sewa menyewa pada umumnya, di dalam klausul bila
barang yang disewa tersebut akan dijual oleh pemilik barang yang disewa tersebut
dicantumkan secara tegas dalam perjanjian tertulis tersebut dengan mencantumkan
pula syarat-syarat yang harus disepakati kedua belah pihak yaitu pemilik sewa dan
penyewa untuk dapat terlaksananya penjualan barang yang disewa tersebut.122
122 Soedjono Dirdjosisworo, 2002, Misteri di Balik Kontrak Bermasalah,
Mandar Maju, Bandung, hal. 37.
71
Perjanjian sewa menyewa antara debitur dengan pihak ketiga dibuat secara
Notariil melalui Notaris yang telah ditunjuk oleh kreditur (Bank) sesuai dengan
kebijakan Bank yang meminta perjanjian tersebut dibuat secara notariil.
2.1.5 Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa
Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh
suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa
barang yang menjadi objek dari suatu perjanjian.123 Risiko merupakan suatu
akibat dari suatu keadaan yang memaksa (overmacht) sedangkan ganti rugi
merupakan akibat dari wanprestasi.
Pembebanan risiko terhadap objek sewa didasarkan terjadinya suatu
peristiwa diluar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya
barang/objek sewa. Musnahnya barang yang menjadi objek perjajian sewa-
menyewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
1. Musnah secara total (seluruhnya)
Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah
yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka
perjanjian tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah disini berarti
barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa
digunakan sebagai mana mestinya, meskipun terdaat sisa atau bagian kecil
dari barang tersebut masih ada.
Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang
menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa
123 Subekti, Op.Cit., hal.92.
72
berangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang diakibatkan oleh
suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pada salah satu
pihak maka perjanjian sewa-menyewa dengan sendirinya batal.
2. Musnah sebagian
Barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa disebut
musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat di gunakan dan
dinikmati kegunaanya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah.
Jika objek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa
mempunyai pilihan, yaitu :
a. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan
harga sewa.
b. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.
73
BAB III
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA TANPA
JANGKA WAKTU
Teori yang digunakan dalam mengkaji masalah kekuatan hukum
perjanjian sewa menyewa rumah tanpa jangka waktu adalah teori kepastian
hukum, mengingat dalam perjanjian sewa menyewa tanpa jangka waktu tidak
memiliki kepastian hukum, khususnya mengenai kapan berakhirnya sewa
menyewa itu. Sebagai akibat dari tidak adanya kepastian hukum tersebut maka
perjanjian sewa menyewa tanpa batas waktu tidak memiliki kekuatan hukum.
Selain teori kepastian hukum, untuk mengkaji masalah ini digunakan konsep
perjanjian sewa menyewa.
3.1 Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa
Perjanjian berakhir secara umum diatur di dalam undang-undang.
Penentuan berakhirnya perjanjian sewa-menyewa terkait dengan bentuk
perjanjian. Ketentuan hukum perjanjian sewa-menyewa di dalam KUH Perdata
membedakan antara perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara lisan dan
tertulis. Berikut ini cara-cara berakhirnya perjanjian sewa-menyewa:
1. Berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan:
a. Perjanjian sewa-menyewa tertulis
Diatur didaam pasal 1570 KUH Perdata yang berbunyi:
74
“jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi
hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa
diperlukanya suatu pemberitahuan untuk itu”.
b. Perjanjian sewa-menyewa lisan
Diatur dalam pasal 1571 KUH Perdata yang berbunyi:
“jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak
berakhir pada waktu yang tidak ditentukan, melainkan jika pihak lain
menyatakan bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan
mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan
setempat.”
2. Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya.
Penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-
menyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-
menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang
tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu,
sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.124
3. Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus:
a. Permohonan/pernyataan dari salah satu pihak.
Penghentian perjanjian sewa-menyewa hanya dapat dilakukan
atas persetujuan dua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan
pihak penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa
dilakukan tanpa putusan dari pengadilan. Di atur di dalam pasal 1579
124 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal.240.
75
KUH Perdata yang menyatakan bahwa pemilik barang tidak dapat
menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa ia akan mengunakan
sendiri barangnya, kecuali apabila waktu membentuk perjanjian sewa-
menyewa ini diperbolehkan.
b. Putusan Pengadilan.
Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh
salah satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan
pengadilan seperti yang diatur di dalam pasal 10 ayat (3) PP No. 49
Tahun 1963 jo PP No. 55 Tahun 1981.
c. Benda obyek sewa-menyewa musnah.
Pasal 1553 KUH Perdata mengatur apabila benda sewaan
musnah sama sekali bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka
perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dengan demikian
perjanjian berakhir bukan karena kehendak para pihak melainkan
karena keadaan memaksa (Overmacht).
3.2 Berakhir Sesuai dengan Batas Waktu Tertentu yang Sudah Ditentukan
Berakhirnya perjanjian sewa menyewa tergantung dari bentuk
perjanjiannya yaitu perjanjian tertulis atau perjanjian sewa menyewa secara lisan.
Berikut ini cara-cara berakhirnya perjanjian sewa-menyewa sesuai dengan batas
waktu yang sudah ditentukan.
1. Perjanjian sewa-menyewa tertulis
Diatur di dalam Pasal 1570 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa
dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum, apabila
76
waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya suatu
pemberitahuan untuk itu”. Dalam perjanjian sewa-menyewa yang masa
berakhirnya telah ditentukan secara tertulis, sewa-menyewa dengan
sendirinya berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan
dalam persetujuan secara tetulis, perjanjian sewa berakhir tepat pada saat
yang telah ditetapkan.125
2. Perjanjian sewa-menyewa lisan
Diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa
tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu
yang ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak
menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat.”
Berakhirnya sewa-menyewa dalam hal ini tidak disudahi sesaat
setelah lewatnya batas waktu yang telah ditentukan. Melainkan setelah
adanya pemberitahuan dari salah satu pihak, yang menyatakan kehendak
akan mengakhiri sewa-menyewa. Pemberitahuan pengakhiran sewa
tersebut, harus memeperhatikan jangkauan waktu yang layak menurut
kebiasaan setempat.
3.3 Batas Akhir Sewa-Menyewa tidak Ditentukan Waktunya
Berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-menyewa yang tidak
ditentukan batas waktunya didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-
menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak
125 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal.238.
77
mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, yang diatur
dalam undangundang hanya berakhirnya sewa-menyewa tertulis dan lisan yang
mempunyai batas waktu tertentu. Oleh karena itu pengakhiran perjanjian sewa-
menyewa tanpa batas waktu tertentu sebaiknya diserahkan kepada penghentian yang
selayaknya bagi kedua belah pihak atau batas waktu penghentian yang selayaknya
ini berpedoman kepada kepatutan dan kebiasaan setempat.126
3.4 Validitas Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu
Pasal 1548 KUHPerdata merumuskan bahwa “sewa-menyewa adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama
suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak
tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.”
Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak
yang mengikatkan diri untuk suatu prestasi, yaitu pihak yang menyewakan yang
memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak penyewa selama waktu
tertentu dan pihak penyewa yang memberikan prestasi berupa pembayaran suatu
harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak.
Validitas perjanjian sewa-menyewa adalah keabsahan daripada perjanjian
sewa-menyewa tersebut yang harus mengikuti kaidah-kaidah hukum perjanjian.
Selain harus memenuhi persyaratan umum yang tercantum dalam Pasal 1280
KUHPerdata, sewa-menyewa harus memenuhi persyaratan khusus yang diatur
126 M.Yahya Harahap , Op.Cit., hal.240.
78
dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Berdasarkan rumusan
pengertian sewa-menyewa dalam Pasal 1548 KUHPerdata, maka dapat
disimpulkan beberapa hal pokok dalam sewa-menyewa:
1. Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian sewa-menyewa
harus memenuhi syarat syahnya perjanjian seperti diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata yaitu:
a. Adanya kesepakatan diantara mereka yang mengikatkan diri;
b. Pihak-pihak yang melakukannya dianggap cakap untuk membuat suatu
perjanjian;
c. Adanya hal tertentu yang diperjanjikan, dan
d. Perjanjian itu harus mengandung suatu sebab yang halal.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”, maka klausul-klausul dalam perjanjian yang
telah dibuat dan disepakati oleh para pihak dengan sendirinya berlaku
sebagai undang-undang (pacta sunt servanda) bagi pihak-pihak tersebut.
Menurut Subekti dengan menekankan pada perkataan “semua”,
maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada
masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa
dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat
mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang atau dengan
perkataan lain dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-
79
undang bagi kita sendiri. Pasal-Pasal dari hokum perjanjian hanya berlaku,
apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturanaturan sendiri dalam
perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.”127 Para pihak diperbolehkan
mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjianperjanjian yang
mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal, itu
berarti mengenai soal tersebut akan tunduk kepada undang-undang.
Biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur
secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu.
Pada umumnya mereka hanya menyetujui hal-hal pokok saja, dengan tidak
memikirkan soal-soal lainnya.128 Dalam hal perjanjian sewa-menyewa,
perjanjian sudah dianggap cukup jika sudah memuat klausul-klausul
apabila setuju tentang barang dan harga sewanya. Tentang dimana barang
harus diserahkan, siapa yang harus memikul biaya pengantaran barang,
tentang bagaimana barang itu musnah dalam perjalanan, soalsoal itu lazimnya
tidak terpikirkan dan tidak diperjanjikan.129 Apabila dikemudian hari
terdapat masalah maka yang bersangkutan akan tunduk saja pada hukum dan
undang-undang. ”Namun apabila pembuat perjanjian itu tidak atau kurang
memahami hukum maka akan berlandaskan pada kebiasaan setempat yang
mungkin saja kebiasaan itu sesungguhnya lahir atau sejalan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”130
127 Subekti, 2010, Hukum Perjanjian, Cet. XXIII, PT. Intermasa, Jakarta,
hal. 14. 128Ibid, hal. 13. 129 Ibid. 130 Than Thong Kie, 2000, Study Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris
Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal.76.
80
Perjanjian menganut sistem terbuka yang mengandung pengertian
bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang
hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam
masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk. KUHPerdata hanya
mengatur perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang sudah memang
dikenal masyarakat. “Sistem terbuka dalam hukum perjanjian telah
memberi peluang yang sangat luas bagi munculnya jenis-jenis perjanjian
baru yang lazimnya merupakan gabungan dari perjanjian-perjanjian
bernama tersebut.”131
Perjanjian sewa-menyewa telah berkembang sedemikian rupa
sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat seperti: perjanjian
sewa beli, sewa usaha dengan hak opsi (leasing), perjanjian bangun-pakai-
serah (build-operate-transfer) dan sebagainya.132
Para pihak yang membuat perjanjian, dianggap sudah mengetahui
bahwa mereka tidak hanya mengikatkan diri terhadap apa yang dinyatakan
dalam perjanjian yang dibuatnya tetapi juga telah mengikatkan diri
terhadap segala ketentuan perundang-undangan, kepatutan dan kebiasaan
seperti diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
131 G.H.S Lumban Tobing, 2003, Seri Hukum Perikatan, Perikatan Yang
Lahir Dari Undang-Undang, Erlangga, Jakarta, hal. 89. 132 Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, PT.
Prenada Media, Jakarta, hal.44.
81
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-
undang”.
Oleh sebab itu, yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah
: (i) isi perjanjian; (ii) kepatutan, (iii) kebiasaan, dan (iv) undang-undang.
2. Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan)
Perjanjian sewa-menyewa tidak mungkin terjadi tanpa adanya
suatu yang dapat memberikan manfaat dan kegunaan atau menurut istilah
KUHPerdata suatu “kenikmatan” kepada si pemakainya. Maksud
persetujuan sewa-menyewa ialah “penikmatan” atas suatu benda dengan
jalan membayar sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Benda yang
menjadi objek sewa-menyewa bukan untuk dimiliki tetapi hanya untuk
dinikmati.
Penikmatan atas seluruh benda yang disewa tidak akan
menimbulkan persoalan, jika si penyewa menguasai seluruh bahagian
benda. Masalah penikmatan bisa menimbulkan persoalan, apabila si
penyewa hanya menyewa atas sebahagian barang saja.133 Seperti halnya
penyewaan atas sebagian bawah suatu rumah bertingkat atau satu kamar
dari suatu rumah tentunya penyewa hanya berhak menikmati bagian yang
disewa saja. Atas dasar penikmatan inilah memungkinkan terjadinya
perjanjian sewa-menyewa hanya untuk sebagian saja dari suatu benda.
Karena penyewaan atas suatu kamar jelas dapat dipakai dan dinikmati si
penyewa.
133 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 222
82
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada sewa-menyewa
“sebagian dari suatu benda” dapat diartikan “benda”. Berbeda pada
perjanjian jual beli, pengertian benda adalah “sesuatu yang utuh” yang
dapat diletakkan atasnya hak untuk memiliki.
3. Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat
(yang menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat (penyewa)
Unsur ini merupakan subjek perjanjian atau para pihak yang
membuat perjanjian. Subjek perjanjian dapat merupakan orang per orang
(naturlijk person) atau badan hukum (recht person). Sehubungan dengan
subjek perjanjian, perjanjian menganut azas personalia. Azas ini dapat
ditemukan dalam dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata, yang
berbunyi: “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas
nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk
dirinya sendiri.”
Pasal 1315 KUHPerdata diatas menunjuk pada kewenangan
bertindak dari seseorang yang membuat perjanjian. Kartini Mulyadi
berpendapat secara khusus ketentuan Pasal ini menunjuk pada
kewenangan bertindak untuk individu pribadi sebagai subjek hukum
pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas
nama dirinya sendiri. Dalam kapasitas kewenangan tersebut, sebagai orang
yang cakap bertindak dalam hukum, maka setiap perbuatan yang
dilakukan oleh orang perorangan, sebagai subjek hukum akan mengikat
83
diri pribadi tersebut, dan lapangan perikatan, mengikat seluruh harta
kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadinya.134
Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, yang
berbunyi :
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan.”
Ketika orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum
dalam kapasitasnya yang berada yaitu tidak untuk kepentingan dirinya
sendiri, maka kewenangannya harus disertai dengan bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa memang orang-orang perorangan tersebut tidak
membuat atau menyetujui dilakukannya perjanjian untuk dirinya sendiri.
Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja135 masalah kewenangan
bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke dalam:
a. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri. Dalam
hal ini ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata berlaku baginya secara
pribadi;
b. Sebagai wakil dari pihak tertentu.
4. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut Imbalan
terhadap pembayaran benda dan manfaatnya merupakan hal penting untuk
134 Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 15. 135 Ibid, hal.17.
84
menjadikan suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai perjanjian sewa
menyewa.
Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa
kewajiban membayar sesuatu apapun, maka yang terjadi adalah perjanjian
pinjam-pakai. Harga sewa merupakan unsur yang esensial dalam
perjanjian sewa-menyewa, sehingga dapat dipastikan selalu tercantum
dalam klausul perjanjian tertulis. Namun masih banyak dalam masyarakat
dilakukan perjanjian sewa-menyewa dengan perjanjian lisan yaitu dengan
mengikuti kebiasaan setempat bahkan tidak jarang terjadi pembayaran
dilakukan tanpa kwitansi dan hanya mengandalkan ingatan kedua belah
pihak. Pasal 1569 KUHPerdata, mengantisipasi pengaturan hukumnya
sebagai berikut : “Jika terjadi perselisihan tentang harga suatu penyewaan
yang dibuat dengan lisan, yang sudah dijalankan dan tidak terdapat suatu
pembayaran maka pihak yang menyewakan harus dipercaya atas
sumpahnya, kecuali apabila si penyewa memilih untuk menyuruh
menaksir harga sewanya oleh orang-orang ahli.”
5. Adanya jangka waktu
Jangka waktu merupakan bagian yang esensial dalam perjanjian
sewamenyewa, sehingga tidak terjadi suatu perjanjian sewa-menyewa
tanpa adanya batas waktu. KUHPerdata mengatur perjanjian sewa-menyewa
dengan batas waktu baik yang dibuat dengan tertulis maupun dengan lisan.
Pada sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu, batas waktu penghentian
yang selayaknya ini berpedoman pada kepatutan dan kebiasaan setempat.
85
Untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diingikan dikemudian hari
maka pencantuman “batas waktu yang jelas” sangat diperlukan.
Telah dijelaskan dalam Buku III KUHPerdata memuat peraturan yang
berlaku bagi perikatan pada umumnya dan bagian khusus yaitu perjanjian-
perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah memiliki nama-nama
tertentu. Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian bernama, yaitu perjanjian
khusus yang mempunyai nama sendiri. Bentuk perjanjian sewa-menyewa ada
yang dibuat secara tertulis, dan perjanjian dibuat secara lisan. Dalam prakteknya,
terdapat perjanjian sewa-menyewa tertulis dan lisan dengan batas waktu tertentu,
adapula perjanjian sewa-menyewa yang tidak ditentukan batas akhir waktunya.
Validitas perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu, dapat diuji
dengan menggunakan isntrumen hukum untuk menentukan keabsahan perjanjian
tersebut. Berdasarkan teori validitas dari Hans Kelsen, bahwa norma hukum itu
mengikat, dan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian harus menaati dan
menerapkan norma hukum tersebut. Dalam halnya perjanjian sewa-menyewa,
norma hukum yang harus ditaati dan diterapkan adalah peraturan-peraturan yang
termuat dalam Buku III KUHPerdata. Validitas suatu perjanjian sewa-menyewa
harus memenuhi persyaratan umum syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan persyaratan khusus yang diatur dalam
Pasal 1548 KUHPerdata tentang sewa-menyewa.136
Beberapa contoh putusan mengenai perjanjian sewa-menyewa tanpa batas
waktu adalah sebagai berikut :
136 Hans Kalsen, 2007, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu mpirik-Deskriptif, Rimdi Press, Jakarta, hal. 47.
86
a. Putusan Mahkamah Agung no.3280 K/Pdt/1995,137 sewa-menyewa rumah
yang perjanjiannya tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah
ditentukan bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun (Pasal 12 (6)
UU No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992).
b. Putusan Pengadilan Negeri Pariaman No. 33/PDT.G/2003/PN.PRM,138
menghukum tergugat mengosongkan tanah perumahan sewa terperkara
dengan jalan membongkar rumah milik Tergugat, penggugat sebagai
pemilik tanah objek perkara bagai manapun sudah sepatutnya diberi
kesempatan untuk dapat menikmati tanah objek perkara tersebut.
c. Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002, menyatakan sah bahwa
ahli waris penyewa berhak menerima dan mewarisi tanah sengketa,
menyatakan sewa- menyewa tanpa batas waktu adalah sah menurut hokum
berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu setiap persetujuan yang dibuat
oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya.
Pasal 1548 KUH Perdata tentang sewa-menyewa menyatakan bahwa yang
disebut sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana satu pihak
mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu benda kepada pihak lain
selama jangka waktu tertentu dengan pembayaran tertentu. Bahwa unsur-unsur
yang harus dipenuhi dalam sewa-menyewa adalah:
137 Habib Adjie, 2011, “Hukum Perjanjian”,
habibadjie.dosen.narotama.ac.id/files/2011/04/HukumPerjanjian2KeabsahanPerjanjian.pdf, hal.32.
138 Sri Hartati, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman”, Artikel, Fakultas Hukum Universitas Andalas, hal.15.
87
1. Adanya kesepakatan antara kedua orang atau kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian.
2. Pihak yang satu menyerahkan/memberikan kenikmatan manfaat suatu
benda ( dalam hal ini pemilik barang/benda).
3. Pihak lainnya menerima untuk selama waktu tertentu dengan pembayaran
(dinyatakan dengan sejumlah uang).
Perjanjian sewa tanpa batas waktu tidak memenuhi unsur-unsur yang
harus dipenuhi dalam perjanjian sewa-menyewa yaitu selama waktu tertentu.
Perjanjian ini tidak valid karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
sewa-menyewa.
Bagian esensialia dari suatu perjanjian adalah bagian perjanjian yang harus
ada. Apabila bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian bernama yang
dimaksudkan para pihak.139 Dalam perjanjian sewa-menyewa yang merupakan
bagian esensialia adalah sepakat dari pada para pihak, objek sewa, jangka waktu
sewa, dan uang sewa. Bagian esensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk
utuh dari suatu perjanjian, jika hal itu tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap
pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima.140 Hal ini merupakan perbuatan hukum
yang nonexistent, yaitu suatu perbuatan yang tidak memenuhi salah satu atau semua
unsure suatu perbuatan hukum (tertentu).141 Maka perjanjian ini dianggap tidak
pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum.
139 Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan
Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 67. 140 Ibid, hal.366. 141 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010,
Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar, hal.35
88
Hak menikmati barang yang diserahkan kepada si penyewa: hanya terbatas
pada “suatu jangka waktu tertentu” saja, sesuai dengan lamanya jangka waktu
yang ditentukan dalam perjanjian.142 Perjanjian sewa tanah hanya bersifat
menikmati manfaat tanah untuk digunakan oleh penyewa dalam waktu tertentu
dengan pembayaran harga sewa dan tidak mengalihkan hak milik atas tanah.Hak
kebendaan seorang pemilik tanah tidak beralih kepada penyewa Perjanjian sewa-
menyewa yang mencantumkan jangka waktu untuk selamalamanya/ tidak terbatas
tersebut merupakan pengingkaran terhadap lembaga hokum jual-beli terutama
jual-beli atas tanah, karena apabila ada pihak yang memang tidak beritikad baik
dalam perjanjian yang dibuatnya dan mencantumkan jangka waktu selama-
lamanya maka dengan demikian objek menjadi dapat dikuasai untuk
selamalamanya tanpa perlu melakukan jual-beli secara sah. Hal ini jelas
bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dijamin oleh keberadaan
lembaga hukum jual beli.
Perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya atau tidak
terbatas secara substansi akan sama dengan artinya dengan menjual, ini artinya
melanggar hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya
sendiri, sedangkan disisi lain pemilik tanah yang mempunyai sertifikat hak milik
(hak atas tanah turun-temurun, terkuat dan terpenuh) atas tanah tersebut. Sehingga
pada hakikatnya telah terjadinya kekaburan substansi hukum, rasa ketidakadilan
dan ketidak patutan karenanya persewaan bentuk apapun mestinya mengenal batas
waktu. Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas
142 M.Yahya Harahap, Op.Cit., hal.221.
89
waktu adalah tidak valid. Tidak valid karena persyaratan khusus yang merupakan
bagian yang sangat esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi
yaitu jangka waktu tertentu. Apabila jangka waktunya tidak ditentukan atau tanpa
batas waktu, maka perjanjian tersebut dianggap tidak valid, void dan tidak
mempunyai akibat hukum. Sejalan dengan itu, Catherine Elliot dan Frances Quinn
menyatakan void contracts are agreements that create no legal obligations and
for which no remedy will be given.143
Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu ini pun tidak memenuhi Pasal
1339 KUHPerdata, dimana para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang
secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, namun juga terikat oleh
kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Jangka waktu penggunaan tanah yang
selamalamanya/ tidak terbatas tersebut telah bertentangan dengan asas kepatutan
dalam masyarakat.
3.5 Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu
Perjanjian sewa-menyewa pada dasarnya tunduk pada asas konsensualitas.
Konsesualitas sendiri berasal dari bahasa latin “consensus”, yang artinya sepakat.
Namun bukan berarti asas konsensualitas merupakan suatu perjanjian diisyaratkan
adanya kesepakatan. Dimaksud dengan asas konsensualitas adalah pada dasarnya
perjanjian dan perikatan timbul sejak detik tercapainya kesepakatan.144
143 Catherine Elliot, Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate,
England, hal. 562. 144 Naja, H.R Daeng, 2006, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis:
Contract Drafting, Edisi Revisi Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 9.
90
Meskipun perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensual,
namun oleh KUH Perdata diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara
sewa tertulis dan sewa lisan. Jika perjanjian sewa-menyewa itu diadakan secara
tertulis maka sewa-menyewa berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang
ditentukan sudah habis tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan
pemberhentian untuk itu. Sebaliknya jika perjanjian sewa-menyewa tidak dibuat
dengan tertulis maka sewa itu tidak berahir pada waktu yang ditentukan, tapi jika
pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa dia hendak
mengehentikan sewanya, pemberitahuan tersebut harus dilakukan dengan
mengindahkan jangka waktu yang diharuskan. Jika tidak ada pemberitahuan
tersebut, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama.
Perihal sewa menyewa secara tertulis diatur dalam pasal 1570 sedangkan perihal
sewa menyewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam pasal 1571.145
Selain pembedaan bentuk perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara
lisan dan tertulis, pembedaan bentuk tersebut, dapat juga dilakukan melalui
pembedaan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta otentik (authentieke
akte) dengan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta di bawah tangan
(onderhands).
Jika dibuat dengan akta otentik maka, dibuat dalam bentuk sesuai dengan
yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/atau di hadapan pejabat umum
yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dan apabila
kebenarannya dibantah, si penyangkal yang harus memikul beban pembuktian
145 Subekti, R S.H., Op.Cit, hal. 47.
91
(the burden of proof), untuk membuktikan ketidakbenaran sangkalan/dalilnya.
Sedangkan apabila dibuat dengan akta dibawah tangan maka, bentuk akta tidak
terikat bentuk formal. Akta dibawah tangan dapat dibuat dengan bebas oleh setiap
subyek hukum yang berkepentingan, mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna apabila diakui oleh penandatangan, dan apabila kebenaran dibantah,
pihak yang membantah yang memikul beban pembuktian (the burden of proof),
yang harus membuktikan kebenaran bantahan/dalilnya.146
Perjanjian sewa-menyewa adalah sebuah perjanjian timbal balik, sehingga
ada hak dan kewajiban yang melekat pada para pihak yang melakukan perjanjian.
Kewajiban pihak yang menyewakan dapat ditemukan di dalam Pasal 1550 KUH
Perdata, yaitu bahwa pihak yang menyewakan harus menyerahkan barang yang
disewakan kepada penyewa. Selanjutnya pihak yang menyewakan juga
berkewajiban memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga
barang tersebut dapat dipakai oleh pihak penyewa untuk keperluan yang
dimaksudkan. Demikian pula pihak yang menyewakan berkewajiban memberikan
si penyewa kenikmatan yang tenteram dari pada barang yang disewakan selama
berlangsungnya sewa-menyewa.
Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang yang
disewa untuk dinikmati kegunaan barang tersebut. Dan bukan mengalihkan hak
milik dari barang tersebut.
Penentuan berakhirnya hubungan hukum sewa-menyewa diatur secara
umum oleh KUH Perdata. Hubungan hukum sewa-menyewa konvensional
146 Naja, H.R Daeng, Op.Cit, hal. 17-18.
92
berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan, dibagi dalam
dua kategori yaitu, apabila perjanjian sewa-menyewa tertulis, hal itu diatur
didalam Pasal 1570 KUH Perdata yang berbunyi:
“jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi
hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya
suatu pemberitahuan untuk itu” (Pasal 1570 KUH Perdata).
Sedangkan apabila bentuk perjanjian sewa-menyewa tersebut adalah
perjanjian sewa-menyewa lisan, maka berakhirnya hubungan hukum diatur dalam
Pasal 1571 KUH Perdata yang berbunyi:
“jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir
pada waktu yang tidak ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan
bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang
waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat (Pasal 1571 KUH
Perdata).”
Perjanjian sewa-menyewa juga dapat berakhir tidak ditentukan waktunya.
Mengenai penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam hubungan hukum
sewa-menyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-
menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak
mengatur berakhirnya hubungan hukum sewa-menyewa tanpa batas waktu.
Sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.147
147 Harahap, M. Yahya S.H., Op.Cit, hal. 240.
93
BAB IV
ANALISIS KASUS GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH TANPA
JANGKA WAKTU
Teori yang digunakan dalam mengkaji masalah gugatan perjanjian sewa
rumah tanpa jangka waktu adalah teori hukum perjanjian mengingat perjanjian
sewa menyewa tanpa jangka waktu termasuk dalam lingkup hukum perjanjian.
Selain itu digunakan juga teori kekuasaan kehakiman dan teori penafsiran karena
kekuasaan hakim yang bisa memutus gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka
waktu dengan penafsiran hakim apakah perjanjian sewa rumah tanpa jangka
waktu sah atau tidak. Dalam melakukan keabsahan perjanjian sewa rumah tanpa
jangka waktu hakim dapat berpegang pada yurisprudensi yang ada. Oleh sebab itu
konsep yurisprudensi juga digunakan dalam bab ini.
4.1 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Desa
Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar (Putusan Pengadilan
Negeri Gianyar Nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR; Putusan Pengadilan
Tinggi Denpasar Nomor: 205/Pdt/2001/PT.DPS; Putusan Mahkamah
Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002)
Putusan ini diawali dengan perkara perdata nomor:
07/Pdt.G./2001/PN.GIR dengan banding yang diakhiri dengan putusan nomor:
205/Pdt/2001/PT.DPS tapi perkara ini terus berlanjut sehingga memerlukan
penetapan akhir oleh Mahkamah Agung dengan Penetapan Nomor: 2313 K/Pdt/2002.
Perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu yang melatar belakangi
putusan MA No. 2313 K/Pdt/2002 tersebut yaitu sewa-menyewa tanah yang
terjadi sejak tahun 1971 di Banjar Lungsiaka Desa, Kedewatan, Kecamatan Ubud,
94
Kabupaten Gianyar, Bali dibuktikan dengan surat perjanjian tertanggal 22
September 1971 dengan isi perjanjian sebagai berikut :
1. Terjadi hubungan sewa-menyewa antara Anak Agung Rai Pande sebagai
pihak pemilik tanah mengadakan perjanjian di bawah tangan dengan
Sjamsuari Sjam selaku penyewa, perjanjian tersebut dibuat diatas kertas
segel dengan nama “Surat Perjajian Bersama-Perjanjian”,
2. Kesepakatan yang diperjanjikan diantara pihak pemilik tanah dan penyewa
tanah yaitu mengenai urusan/penggunaan tanah untuk tanah seluas 30 are
(3000m2) dengan batas-batasnya :
a. Sebelah utara berbatas dengan : Anak Agung Anom Nesa
b. Sebelah timur berbatas dengan : sungai
c. Sebelah selatan berbatas dengan : Tjok. Dugil
d. Sebelah barat berbatas dengan : Anak Agung Raka Pande (jalan masuk
lebar 4 meter dan sisa tanah)
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku tanggal 22 September1971 dan dibayar
seharga Rp. 27.000 (dua puluh tujuh ribu) oleh Sjamsuari Sjam untuk
jangka waktu selama-lamanya/tidak terbatas.
4. Terdapat 2 (dua) pokok isi perjanjian terkait dengan pihak Anak Agung Rai
Pande sebagai masyarakat setempat pemilik tanah dengan pihak Sjamsuari
Sjam yang saat itu sebagai pengusaha yang beralamat di Jakarta yaitu bahwa:
a. Pihak penyewa berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah
tamat sekolah untuk bekerja pada usaha milik penyewa di atas tanah
tersebut.
95
b. Pihak penyewa memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama
minimal 4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha
pembangunan.
4.1.1 Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor:
07/Pdt.G./2001/PN.GIR.134 Para Pihak
1. Dra. Dalifah Syamsuddin, bertempat tinggal di komplek Bumi Jati
Waringin F. 14. RT. 03 /16, Kelurahan Jati Waringin, Kecamatan Pondok
Gede, KOdya Tingkat II Bekasi.
2. Amir Rabik, bertempat tinggal di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa
Kedewatan,
Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, kedua-duanya
adalah pemilik tanah sengketa dan disebut juga sebagai penggugat I dan
penggugat II. Melawan Anak Agung Rai Pande, bertempat tinggal di
Dusun/Banjar Lunsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah
Tingkat II Gianyar, selanjutnya disebut juga sebagai tergugat.
1. Kasus Posisi
a. Bahwa penggugat I adalah kakak kandung dari Alm. Sjamsuarni Sjam
yang telah meninggal dunia , yang juga telah menetapkan penggugat I
sebagai ahli waris tunggal berdasarkan Akta Permohonan Pertolongan
pembagian harta peninggal No. 011/P3IIP/2000/P.A.BKS, tertanggal
04 Desember 2000 dan Surat Keterangan kelurahan Jatiwaringin No.
587/PD.01/XII/2000, tertanggal 19 Juli 2000;
96
b. Bahwa adik kandung penggugat I Alm. Sjamsuarni Sjam telah
mengontrak sebidang tanah dari tergugat sesuai dengan Surat
Perjanjian Bersama Perjanjian tertanggal 22 September 1971 seluas +
3000 m2 (30 Are) dari pipil No. 34, persil 13 a, Kls. II.
c. Bahwa sesungguhnya tanah tersebut diatas sudah dibeli oleh adik
kandung penggugat I dari tergugat, karena tergugat malu didengar oleh
warga menjual tanah, maka terhadap tanah yang sudah dibeli oleh adik
kandung penggugat selanjutnya dibuatkanlah Surat Perjanjian Bersama
Perjanjian pada tanggal 22 September 1971 dengan jangka waktu
selama-lamanya/tidak terbatas;
d. Bahwa diatas tanah sengketa tersebut adik kandung penggugat sudah
mendirikan bangunan, selama + 12 tahun bangunan tersebut ditempati
oleh adik kandung penggugat I dan selanjutnya tanah dan bangunan
tersebut diserahkan (dikuasakan) penguasaan dan pengelolaannya pada
bulan februari 1982 dan dikuatkan dengan surat tugas tertanggal 1 Juni
1988 kepada penggugat II dan dipertegas lagi dengan surat perjanjian
penggunaan tanah tertanggal 11 April 1994 dari penggugat I kepada
penggugat II;
e. Bahwa tanpa sepengetahuan penggugat I dan penggugat II tiba-tiba
pada tanggal 24 Februari 2000, tempat usaha dan Kantor Konsulat
Spanyol penggugat II didatangi oleh + 20 orang pemuda dengan
membawa tongkat, pentungan dan senjata tajam yang kemudian
tergugat menutup (menembok) jalan masuk ke tanah sengketa;
97
f. Bahwa atas perbuatan tergugat yang tidak memenuhi isi dari Surat
Perjanjian Bersama tertanggal 22 September 1971 dan tergugat juga
sudah menutup (menembok) asset menuju jalan keluar masuk ketanah
sengketa adalah perbuatan melawan hukum.
2. Gugatan
Berdasarkan uraian diatas, penggugat I dan penggugat II
mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Gianyar karena merasa
dirugikan oleh tindakan tergugat yang menutupi/menembok akses jalan
keluar masuk menuju tempat tanah sengketa (Kantor Konsulat Spanyol).
Atas hal tersebut penggugat I dan penggugat dalam gugatannya juga
mengajukan petitum sebagai berikut:
a. Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk seluruhnya;
b. Menyatakan sah hukum “surat perjanjian bersama perjanjian” tertanggal
22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan tergugat
tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya/tidak terbatas atas
sebidang tanah pipil No. 34, persil No. 13, klas II, luas + 3000 m2 (30
are) dari luas asal 5250 m2, atas nama Dw.Rk. Mangku terletak di
dusun/banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud;
c. Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar
hokum menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter menuju
tempat tinggal, tempat usaha dan kantor Konsulat Spanyol penggugat
II;
98
d. Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup jalan
masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha dan kantor
konsulat spanyol penggugat II;
e. Menyatakan hukum penggugat II telah menderita kerugian setiap bulan
inmateriil sebesar Rp. 500.000.000,-;
f. Menghukum tergugat untuk membayar kerugian materiil setiap bulan
sebesar Rp. 50.000.000,- sejak tanggal 24 Pebruari 2000 dan kerugian
inmateriil sebesar Rp. 500.000.000,- kepada penggugat II;
g. Meletakan sita jaminan (conservatoir beslag) atas barang-barang milik
tergugat baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak;
h. Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu
walaupun tergugat mengajukan banding, kasasi maupun peninjauan
kembali;
i. Menghukum tergugat untuk membayar segela biaya yang timbul dalam
perkara ini.
3. Eksepsi dan rekonpensi tergugat
a. Jawaban dalam eksepsi dan dalam pokok perkara Bahwa tergugat
konpensi menolak secara tegas semua dalil-dalil gugatan penggugat
konpensi terkecuali apa yang secara tegas telah diakui olehnya;
b. Bahwa dalam hal ini para tergugat rekonpensi ingin tetap menguasai
tanah sengketa hanya berdasarkan perjanjian perjanjian yang pernah
dibuat oleh penggugat rekonpensi dengan Syamsuarni almarhum yaitu
adik kandung tergugat rekonpensi I. Padahal para tergugat rekonpensi
99
tidak mempunyai hak lagi untuk menguasai dan menempati tanah
sengketa sebab salah satu pihak yang membuat perjanjian perjanjian
itu yaitu syamsuarni syamsuddin sudah meninggal dunia;
c. Bahwa terhadap terhadap perjanjian perjanjian tersebut diatas yang
dibuat dibawah tangan pada tanggal 22 september 1971 ternyata isinya
juga banyak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang
berlaku salah satu diantaranya dalam perjanjian itu tidak ada batas
waktu berlakunya perjanjian tersebut. Dan setelah perjanjian berjalan
adik kandung tergugat rekonpensi I (syamsuarni syamsuddin) sama
sekali sejak perjanjian itu dibuat hingg sekarang tidak pernah
melakukan/melaksanakan/memenuhi isi perjanjian tersebut.
Maka berdasarkan atas alasan-alasan yang telah kami
kemukakan tersebut diatas, penggugat rekonpensi mohon agar
pengadilan negeri gianyar berkenan memutus: Dalam konpensi :
- Menolak gugatan para penggugat konpensi seluruhnya atau
setidaktidaknya menyatakan gugatan para penggugat konpensi
tidak dapat diterima. Dalam rekonpensi:
a) Mengabulkan gugatan penggugat rekonpensi untuk seluruhnya;
b) Menyatakan hukum tanah sengketa adalah syah hak milik
penggugat rekonpensi;
c) Menyatakan hukum perjanjian perjanjian tanah sengketa antara
penggugat rekonpensi dengan syamsuarni syamsuddin/adik
kandung tergugat rekonpensi I, yaitu perjanjian dibawah tangan
100
yang dibuat pada tanggal 22 september 1972 dan perjanjian
yang dibuat tanggal 11 Januari 1974 adalah batal demi demi
hukum;
d) Menyatakan hukum perjanjian sewa-menyewa yang dibuat
antara anak kandung penggugat rekonpensi dengan tergugat
rekonpensi II pada tanggal 29 oktober 1986 batal demi hukum
karena masa perjanjiannya sudah habis;
e) Menyatakan hukum para tergugat rekonpensi telah melakukan
perbuatan melawan hukum menguasai dan menempati tanah
sengketa tanpa alas an hak yang sah;
f) Menyatakan hukum semua bangunan yang ada diatas tanah
sengketa menjadi hak milik penggugat rekonpensi;
g) Menghukum para tergugat rekonpensi menyerahkan tanah
sengketa dengan lasia kepada penggugat rekonpensi dan bila
perlu dengan bantuan yang berwajib;
h) Menyatakan hukum putusan ini dapat dilaksanakan terlebih
dahulu walaupun para tergugat rekonpensi banding dan kasasi;
i) Menghukum para tergugat rekonpensi untuk membayar biaya
yang timbul dalam perkara ini.
4. Pertimbangan hukum dan putusan
Berdasarkan hal-hal diatas, maka Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Gianyar dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:
101
a. Menimbang, bahwa untuk mendalilkan gugatannya para penggugat
telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda P-1 s/d P-13 serta telah
mengajukan 4 orang saksi masing-masing yaitu : 1. I Made Lembeng,
2 I Ketut Robin, 3. Ketut Munut, 4. Ni Wayan Taman. Sedangkan
tergugat untuk menguatkan dalil sangkalannya telah pula mengajukan
bukti surat yang diberi tanda T-1 s/d T-9 serta telah pula mengajukan 3
orang saksi yaitu : 1. Anak Agung Rai Santun , 2. I Wayan Tambun, 3.
I Made Koyo;
b. Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti P-3, P-4, P-4a dan P-5, P-9
serta keterangan saksi Ketut Robin, Ketut Munut serta Ni Wayan Taman
masing-masing berhubungan dan bersesuaian satu sama lainnya;
c. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah terbukti
secara hukum bahwa A.A. Rai Pande (tergugat) telah terikat perjanjian
perjanjian dengan syamsuarni syam atas sebidang tanah yang terletak
di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud
dengan jangka waktu selama-lamanya;
d. Menimbang, bahwa oleh karena syamsuarni syamsuddin telah
meninggal dunia dan Dra. Dalifah Syamsuddin adalah satu-satunya
ditetapkan sebagai ahli waris. Mka terhadap tanah sengketa tersebut
yang paling berhak mewaris adalah Dra. Dalifah Syamsuddin sebagai
penggugat I;
e. Menimbang, bahwa berdasarkan pengamatan majelis hakim pada saat
melakukan pemeriksaan setempat atas tanah sengketa pada tanggal 6
102
April 2001 memang benar jalan yang menuju tanah sengketa yang
telah berisi bangunan telah ditutup dengan tembok sehingga penggugat
II maupun karyawan konsulat spanyol yang menyewa rumah diatas
tanah sengketa tidak bisa keluar maupun masuk;
f. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, bahwa
tergugat telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena
telah menembok jalan yang menuju tanah sengketa; Dalam rekonpensi:
g. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dalam
konpensi tersebut diatas, majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian
perjanjian bersama antara A.A. Rai Pande (tergugat) dengan
syamsuarni syam atas sebidang tanah seluas +30 are yang terletak di
Dusun/Banjar Lungsiakan dengan jangka waktu yang selama-lamanya
adalah sah menurut hokum sebagaimana tertuang dalam bukti P-3.
Oleh karena Pasal 1338 KUHPerdata bahwa setiap persetujuan yang
dibuat oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang
bagi yang membuatnya;
h. Menimbang, bahwa menurut majelis bahwa bukti yang diajukan oleh
tergugat konpensi / penggugat rekonpensi yang bertanda T-2 s/d T-8
serta keterangan saksi-saksi yaitu A.A. Rai Pande, I Wayan Tambun
dan I Made Koyo tidak ada yang dapat melumpuhkan alat bukti
penggugat konpensi/tergugat rekonpensi. Oleh karena itu penggugat
rekonpensi tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatanya;
103
i. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas
penggugat rekonpensi tidak dapat membuktikan dalil gugatannya maka
penggugat rekonpensi berada pihak yang kalah;
j. Dalam Menimbang, bahwa oleh karena penggugat rekonpensi/tergugat
konpensi berada pada piha bankan kepada tergugat
konpensi/penggugat rekonpensi.
k. Setelah memperhatikan undang-undang yang bersangkutan: Mengadili
: yang kalah, maka biaya perkara ini termasuk biaya rekonpensi
diberkonpensi :
1) Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk
sebagian;
2) Menyatakan sah menurut hukum “surat perjanjian bersama
perjanjian” tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung
penggugat I dengan tergugat tentang jangka waktu perjanjian
selama-lamanya/tidak terbatas atas sebidang tanah, pipil No. 34,
persil No. 139, Klas II, Luas + 3. 000 m2 (30 are) dari luas asal
5250 m2 atas nama Dewa Raka Mangku, yang terletak di
Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud;
3) Menyatakan sah menurut hukum penggugat I adalah ahli waris
tunggal dari syamsuarni syam disebut juga syamsuarni syamsuddin
yang berhak menerima dan mewaris tanah sengketa;
104
4) Menyatakan sah menurut hukum penggugat II tinggal dan
menempati tanah sengketa atas kuasa dan seijin syamsuarni syam
disebut juga syamsuarni syamsuddin dan penggugat I;
5) Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar
hokum menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter
menuju tempat tinggal, tempat usaha kantor konsulat spanyol dan
tempat tinggal penggugat II;
6) Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih
dahulu sepanjang mengenai jalan masuk selebar 4 meter yang
menuju tempat tinggal, tempat usaha, kantor konsulat spanyol dan
tempat penggugat II walaupun tergugat mengajukan banding,
kasasi maupun peninjauan kembali;
7) Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup
jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha
Kantor Konsulat Spanyol dan tempat tinggal Penggugat II. Dalam
rekonpensi :
- Menolak gugatan penggugat rekonpensi seluruhnya. Dalam
konpensi Dan rekonpensi :
- Menghukum tergugat dalam konpensi atau penggugat dalam
rekonpensi untuk membayar biaya perkara ini yang hingga kini
dianggar sebesar Rp. 174.000.
Atas Putusan Pengadilan Negeri Gianyar tersebut, tergugat tidak
puas dan mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar. Dasar
105
hukum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar pada intinya
adalah karena apa yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Gianyar tidak
sesuai dengan jawaban gugatan dan proses persidangan, sehingga tidak
memenuhi rasa keadilan bagi tergugat selaku pemilik tanah sengketa.
Setelah permohonan pemeriksaan dalam tingkat banding yang
diajukan oleh kuasa hukum pembanding dan telah diajukan memori
banding yang oleh para terbanding telah juga diajukan kontra memori
banding dengan Putusan Perkara No. 07/Pdt.G/2001/PN.GIR, tanggal 16
Juli 2001.
4.1.2 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 205/Pdt/2001/PT.Dps
1. Pokok Pertimbangan Hukum.
a. Menimbang, bahwa permohonan banding dari tergugat dalam
konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding tersebut telah
diajukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang maka permohonan
banding tersebut secara formal dapat diterima;
b. Menimbang, bahwa pengadilan tinggi setelah memeriksa dan meneliti
dengan seksama berkas perkara beserta turunan resmi putusan
pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001 No.
7/Pdt.G/2001/PN.Gir. dan telah pula membaca dan memperhatikan
memori banding yang diajukan oleh tergugat dalam
konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding serta kontra
memori banding yang diajukan oleh para penggugat dalam
106
konpensi/para tergugat dalam rekonpensi/para termbanding, yang
ternyata tidak ada hal-hal baru yang perlu dipertimbangkan maka
pengadilan tinggi dapat menyetujui dan membenarkan putusan hakim
tingkat pertama oleh karena dalam pertimbangan-pertimbangan
hukumnya telah memuat dan menguraikan dengan tepat dan benar
semua serta alasan-alasan yang menjadi dasar dalam putusan dan
dianggap telah tercantum pula dalam putusan ditingkat banding;
c. Menimbang, bahwa dengan demikian maka pertimbangan-
pertimbangan hukum hakim tingkat pertama tersebut diambil alih dan
dijadikan dasar di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi
sendiri, sehingga putusan Pengadilan Negeri Gianyar tanggal 16 Juli
2001 Nomor. 7/Pdt.G/2001/PN.GIR. dapat dikuatkan;
d. Menimbang bahwa oleh karena tergugat dalam konpensi/penggugat
dalam rekonpensi/pembanding tetap berada dipihak yang dikalahkan,
maka kepadanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam kedua
tingkat peradilan;
e. Mengingat peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku
khususnya undang No. 14 tahun 1970, undang-undang No. 2 tahun
1986 serta Rbg. Mengadili :
1) Menerima permohonan banding dari tergugat dalam konpensi/
penggugat dalam rekonpensi/pembanding tersebut.
2) Menguatkan putusan pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli
2001 Nomor: 7/Pdt.G/2001/PN.Gir, yang dimohonkan banding.
107
Menghukum tergugat dalam konpensi/penggugat dalam
rekonpensi/pembanding untuk membayar biaya perkara dalam kedua
tingkat peradilan, yang untuk ditingkat banding saja ditetapkan sebesar
Rp.100.000,- ( seratus ribu rupiah).
4.1.3 Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002
1. Bahwa putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 26 Nopember 2001
No. 205/Pdt/2001/PT.Dps. pemohon kasasi telah menyatakan kasasi
tanggal 11 Maret 2002, sehingga dengan demikian pemasukan memori
kasasi ini masih dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan oleh
undang-undang;
2. Bahwa dalam putusan Pengadilan Negeri Gianyar tanggal 16 Juli 2001
No. 7/Pdt.G/2001/PN.Gir, sudah tepat dan benar tanpa memberikan
pertimbangan lebih jauh mengenai memori pembanding adalah merupakan
pertimbangan hukum yang salah dan menyimpang dari hukum acara
perdata yang berlaku;
3. Bahwa judex factie Pengadilan Tinggi Denpasar yang menganggap benar
dan menyetujui Putusan Pengadilan Negeri Gianyar dalam perkara
tersebut, yang menyatakan sah surat perjanjian bersama perjanjian
tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan
tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya atau tidak
terbatas adalah keliru besar, sebab perjanjian yang dibuat tersebut
bertentangan dengan Pasal 1320 BW tentang syarat-syarat syahnya suatu
perjanjian antara lain:
108
a. Sepakat mereka yang mengikat diri
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal.
4. Bahwa jangka waktu yang ditulis dalam perjanjian tersebut untuk
selamalamanya/tidak terbatas bertentangan dengan ketentuan undang-
undang yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata, karena dalam Pasal
tersebut disyaratkan jangka waktu tertentu artinya waktunya terbatas dan
tidak untuk selama-lamanya;
5. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas lagi pula
dari sebab tidak ternyata bahwa putusan judex factie dalam perkara ini
tidak bertentangan dengan hukum dan atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi Anak Agung Rai
Pande tersebut harus ditolak;
6. Menimbang, oleh karena permohonan kasasi dari pemohon kasasi telah
dinyatakan ditolak, maka kepadanya harus dibebani untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
7. Memperhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004,
undang-undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
yang bersangkutan.
Mengadili :
a. Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Anak Agung Rai
Pande tersebut.
109
b. Menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam
semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan
sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
4.1.4 Pembahasan Kasus Hukum
Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu merupakan perjanjian yang
tidak seimbang atau mengandung klausul yang berat sebelah karena pemohon
kasasi tidak dapat memanfaatkan tanah sengketa selama-lamanya padahal
pemohon kasasi adalah pemilik tanah, sedangkan termohon yang menguasai tanah
sengketa dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah sengketa tersebut
untuk selama-lamanya.
Perjanjian yang demikian melanggar asas keadilan, yang mana dalam ajaran asas keadilan menyatakan bahwa perjanjian adalah adil apabila prestasi-prestasi yang diperjanjikan adalah sama nilainya atau yang dimaksudkan sebaliknya bahwa prestasi-prestasi yang diperjanjikan itu adil berdasarkan suatu perjanjian yang seimbang, yaitu perjanjian dilakukan oleh pihak-pihak yang sama haknya.148 Rescoue Pound dalam teorinya yaitu teori sama nilai menyatakan bahwa
suatu perjanjian baru mengikat jika para pihak dalam perjanjian tersebut
memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai.149 Perjanjian sewa-
menyewa tanpa batas waktu tentunya tidak memberikan prestasi yang seimbang
dan merugikan pemilik tanah karena tidak dapat menikmati dan menggunakan
tanah miliknya sendiri selama-lamanya.
148 Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan
Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.20. 149 Roscoe, Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law,
Yale University Press.
110
Berdasarkan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata yang menyatakan: ”si
penyewa jika kepadanya tidak telah diperijinkan, tidak diperbolehkan mengulang
sewa barang, yang disewanya maupun melepaskan sewanya kepada orang lain,
atas ancaman pembatalan perjanjian sewa …”. Peralihan hak sewa dari termohon
I (Dalifah Sjamsuddin) kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik
tanah yaitu Anak Agung Rai Pande adalah tidak beralaskan hukum sehingga tidak
dapat dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata.
Bahwa Sjamsuarni Sjam tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan isi
perjanjian sewa-menyewa yang dibuat yaitu:
1. Pihak kedua berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah tamat
sekolah untuk bekerja pada usaha pihak kedua diatas tanah tersebut
2. Pihak kedua memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama minimal
4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha pembangunan”.
Menurut Pasal 1266 KUHPerdata syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas
waktu ini tidak menyebutkan syarat batal maka sesuai Pasal 1266 KUHPerdata
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dapat dimohonkan
pembatalan di muka hakim. Bahwa wanprestasi dalam perjanjian timbal balik
dapat dimajukan sebagai alasan minta pecahnya perjanjian dan hakim diberi kuasa
mengatur akibatnya selaras dengan keadaan dan kepatutan.150
150 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.88.
111
Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi
bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548
KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok
dalam uatu perjanjian tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan
tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. Perjanjian tersebut
tidak mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum, maka perjanjian ini harus
diakhiri.
Perjanjian sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tidak sekedar
mengingkari lembaga jual beli tetapi mengingkari lembaga hak milik yang
bersifat hak asasi, dan juga jika sewa dinyatakan tidak terbatas maka artinya
melanggar hak asasi pemiliknya untuk dapat memanfaatkan tanah miliknya sendiri.
Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah
dengan jangka waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian
sewamenyewa tanah tanpa batas waktu dalam Putusan Mahkamah Agung no.
2313 K/Pdt/2002 ini dapat diakhiri dengan cara pemilik tanah mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri untuk diakhirinya perjanjian dengan dasar-dasar
gugatan sebagai berikut:
1. Karena perjanjian ini melanggar asas keadilan dan asas kepatutan, yaitu
prestasi-prestasi yang diperjanjikan tidak seimbang/sama nilainya, dimana
pemilik tanah tidak dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah
tersebut selama-lamanya, karenanya perjanjian sewa-menyewa bentuk
apapun semestinya mengenal batas waktu.
112
2. Karena pihak penyewa tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi),
sehingga dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian sesuai
dengan Pasal 1266 KUHPerdata.
3. Karena perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya
secara substansi akan sama artinya dengan menjual, ini artinya melanggar
hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya
sendiri selamalamanya. Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan
melanggar kepatutan, sehingga sewa tanah dengan jangka waktu selama-
lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri.
4. Karena telah terjadi peralihan hak sewa dari termohon I (Dalifah
Sjamsuddin) kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik
tanah yaitu Anak Agung Rai Pande, bertentangan dengan ketentuan Pasal
1559 KUHPerdata dan perjanjian ini dapat diakhiri.
Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa
tanah tanpa batas waktu ini adalah sah menurut hukum, berdasarkan Pasal 1338
KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh kedua
belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Sedangkan dalam ketentuan perjanjian, suatu perjanjian sewa-menyewa dapat
mengikat, apabila syarat-syarat suatu perjanjian sewa-menyewa telah terpenuhi.
Dalam hal ini jangka waktu yang merupakan unsur yang sangat esensial dan
merupakan syarat khusus sahnya suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi
dan melanggar asas kepatutan dan kebiasaan, Hakim dalam hal ini lebih
menekankan pada aspek daya mengikatnya perjanjian serta mengenyampingkan
113
aspek kepatutan dan kebiasaan. Dalam KUHPerdata pun telah dengan tegas
dirumuskan pemaknaan kepatutan yaitu dalam Pasal 1339 dan Pasal 1347
KUHPerdata.
Bahwa faktor kepatutan merupakan faktor yang teramat penting di dalam
penemuan hukum. Rasa kepatutan ini mengharapkan para hakim untuk
memberikan pertimbangan terhadap masalah yang dihadapinya. Faktor kepatutan
perlu mendapat perhatian dalam setiap pertimbangan yang hendak diambil oleh
hakim untuk menjatuhkan keputusannya.151
Putusan pengadilan ini tidak menerapkan ketentuan perjanjian. Meskipun
putusan ini telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat saja diajukan kembali
karena hakim yang memutus perkara tersebut telah khilaf, kurang cermat dalam
meneliti bentuk isi perjanjian yang dibuat para pihak yang mengakibatkan
merugikan ahli warisnya sehingga tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah
miliknya sendiri untuk selama-lamanya.
4.2 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di
Sidoarjo Jawa Timur (Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor:
46/Pdt.G./2000/PN.Sda; Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor:
242/Pdt/2001/PT.SBY; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667
K/Pdt/2001).
Putusan ini diawali dengan perkara perdata Putusan Pengadilan Negeri
Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda dengan banding yang diakhiri dengan
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY tapi perkara
151 Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”, dikutip dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam Hukum Perikatan Nasional, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1 Tahun ke XIV, hal.359.
114
ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir oleh Mahkamah Agung
dengan Penetapan Nomor: 3667 K/Pdt/2001.
Bahwa sejak kurang lebih tahun 1940 bangunan rumah di Jalan Mojopahit
No.14 Sidoarjo, selanjutnya disebut bangunan rumah sengketa, telah disewakan
oleh isteri Penggugat yang bernama Ny. Trisnawati Adisubrata kepada Ong Ka
Kiong tanpa adanya perjanjian tertulis dan tanpa batas waktu; Sejak Ny. Trisnawati
Adisubrata meninggal dunia, maka Penggugat sebagai ahli warisnya melanjutkan
bangunan sewa menyewa atas bangunan rumah sengketa dengan Ong Ka Kiong
tersebut dengan uang sewa perbulan sebesar Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dan
terakhir kali Ong Ka Kiong membayar uang sewa adalah uang sewa bulan Agustus
sampai dengan Desember 1984 sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu
rupiah) atau uang sewa perbulan adalah Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) ;
Setelah itu Tergugat yang adalah anak dari Ong Ka Kiong meneruskan
menghuni bangunan rumah sengketa dan meminta kepada Penggugat agar
kwitansi pembayaran uang sewa tidak tertulis atas nama Ong Ka Kiong lagi, tetapi
ditulis atas nama Tergugat, namun Penggugat menolak permintaan Tergugat
tersebut karena Penggugat hanya mempunyai hubungan sewa menyewa dengan
Ong Ka Kiong dan sama sekali tidak mempunyai hubungan sewa menyewa
dengan Tergugat serta secara hukum hak sewa tidak bisa diwariskan.
4.2.1 Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda
1. Para Pihak
Tjakra Adisubrata, bertempat tinggal di Jalan Blambangan No.15
Surabaya, dalam hal ini memberi kuasa kepada : Rachmat Harjono
115
Tengadi, SH., dan Ny. Indriati Praptosugondo, SH., Advokat-Pengacara,
berkantor di Jalan Imam Bonjol 15 Surabaya, sebagai Penggugat melawan
Ong Tek Tjwan, bertempat tinggal di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo,
sebagai Tergugat.
2. Kasus Posisi
a. Bahwa sejak kurang lebih tahun 1940 bangunan rumah di Jalan
Mojopahit No.14 Sidoarjo, selanjutnya disebut bangunan rumah
sengketa, telah disewakan oleh isteri Penggugat yang bernama Ny.
Trisnawati Adisubrata kepada Ong Ka Kiong tanpa adanya perjanjian
tertulis dan tanpa batas waktu; Sejak Ny. Trisnawati Adisubrata
meninggal dunia, maka Penggugat sebagai ahli warisnya melanjutkan
bangunan sewa menyewa atas bangunan rumah sengketa dengan Ong
Ka Kiong tersebut dengan uang sewa perbulan sebesar Rp.20.000,-
(dua puluh ribu rupiah) dan terakhir kali Ong Ka Kiong membayar
uang sewa adalah uang sewa bulan Agustus sampai dengan Desember
1984 sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) atau uang
sewa perbulan adalah Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) ;
b. Bahwa setelah itu Tergugat yang adalah anak dari Ong Ka Kiong
meneruskan menghuni bangunan rumah sengketa dan meminta kepada
Penggugat agar kwitansi pembayaran uang sewa tidak tertulis atas
nama Ong Ka Kiong lagi, tetapi ditulis atas nama Tergugat, namun
Penggugat menolak permintaan Tergugat tersebut karena Penggugat
hanya mempunyai hubungan sewa menyewa dengan Ong Ka Kiong
116
dan sama sekali tidak mempunyai hubungan sewa menyewa dengan
Tergugat serta secara hukum hak sewa tidak bisa diwariskan.
c. Bahwa kemudian Tergugat melakukan pembayaran uang sewa kepada
Penggugat dengan cara penawaran dengan disertai penitipan uang
(Consignatie) melalui Pengadilan Negeri Surabaya, sebagai berikut :
1) Berita Acara Penawaran dengan disertai penitipan uang
(Consignatie) No.7/Cons/1986, tertanggal 11 Juli 1986 untuk uang
sewa bulan Juli 1986 sampai dengan bulan Juni 1987 sebesar
Rp.360.000,- (tiga ratus enam puluh ribu rupiah) ;
2) Berita Acara Penawaran dengan disertai penitipan uang
(Consignatie) No.48/Cons/1989, tertanggal 8 Agustus 1989, untuk
uang sewa bulan Juli 1989 sampai dengan bulan Juli 1990 sebesar
Rp.360.000,- (tiga ratus enam puluh ribu rupiah) ;
3) Berita Acara Penawaran dengan disertai penitipan uang
(Consignatie) No.58/Cons/1990, tertanggal 15 Nopember 1990,
untuk uang sewa bulan Juli 1990 sampai dengan bulan Juni 1992
sebesar Rp.720.000,- (tujuh ratus dua puluh ribu rupiah) ;
4) Berita Acara Penawaran dengan disertai penitipan uang
(Consignatie) No.138/Cons/1992, tertanggal 9 Juli 1992, untuk
uang sewa bulan Juli 1992 sampai dengan bulan Juni 1995 sebesar
Rp.1.080.000,- (satu juta delapan puluh ribu rupiah) ;
5) Berita Acara Penawaran dengan disertai penitipan uang
(Consignatie) No.13/Cons/1995, tertanggal 4 Mei 1995, untuk
117
uang sewa bulan Juli 1995 sampai dengan bulan Juni 1998 sebesar
Rp.1.620.000,- (satu juta enam ratus dua puluh ribu rupiah) ;
d. Bahwa Penggugat tetap menolak penawaran dengan disertai penitipan
uang sewa tersebut diatas, karena secara hukum hak sewa tidak dapat
diwariskan, sebab itulah Penggugat tidak mempunyai hubungan sewa
menyewa dengan Tergugat dan Penggugat tidak bersedia mengalihkan
hubungan sewa menyewa dari Ong Ka Kiong kepada Tergugat, lagi
pula uang sewa yang ditawarkan Tergugat sudah tidak sesuai dengan
umumnya uang sewa rumah di Jalan Mojopahit Sidoarjo dan yang
terutama Penggugat ingin mempergunakan bangunan rumah sengketa
tersebut untuk dirinya sendiri;
e. Bahwa disamping itu berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Pemukiman Pasal 12 (1) dan (6) bertalian
dengan Peraturan Pemerintah RI No.44 Tahun 1994 tentang
penghunian rumah oleh bukan pemilik Pasal 2 dan Pasal 21, maka
penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada
persetujuan atau izin pemilik, dan sewa menyewa rumah dengan
perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak
menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya
Undang-Undang No.4 Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam jangka
waktu 3 tahun sejak berlakunya Undang-Undang tersebut;
f. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka perbuatan Tergugat
menghuni dan menduduki bangunan rumah sengketa tanpa persetujuan
118
dan ijin Penggugat sebagai pemilik sejak tahun 1985 hingga saat ini
adalah tanpa hak dan tidak sah serta merupakan perbuatan melawan
hukum, perbuatan mana telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat;
g. Bahwa akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan
Tergugat, maka Penggugat sebagai pemilik telah menderita kerugian,
oleh karena itu Tergugat sepatutnya dihukum untuk mengganti
kerugian Penggugat sebagai berikut :
1) Kerugian akibat tidak dapat menikmati uang sewa yang wajar dan
layak dari bangunan rumah sengketa sejak bulan Januari 1985
sampai dengan bangunan rumah sengketa diserahkan kembali kepada
Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan;
2) Kerugian akibat kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan
bangunan rumah sengketa untuk keperluan dan kepentingan
Penggugat sendiri sejak bulan Januari 1985 sampai dengan
bangunan rumah diserahkan kembali kepada Penggugat sebesar
Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah);
h. Bahwa karena Tergugat telah menghuni dan menduduki bangunan
rumah sengketa secara tanpa hak dan tidak sah serta merupakan
perbuatan melawan hukum, maka sepatutnya Tergugat dan pihak
manapun yang memperoleh hak dari padanya dihukum untuk
menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa dalam keadaan baik,
kosong dan tanpa beban kepada Penggugat dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan ini diucapkan;
119
i. Apabila Tergugat tidak menyerahkan kembali bangunan rumah
sengketa dalam keadaan baik, kosong dan tanpa beban kepada
Penggugat, maka sepatutnya Tergugat dihukum untuk membayar uang
paksa (dwangsom) sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk
setiap hari keterlambatan menyerahkan kembali bangunan rumah
sengketa terhitung sejak lewat 7 (tujuh) hari setelah putusan ini
diucapkan;
j. Bahwa mengingat bukti kepemilikan Penggugat atas bangunan rumah
sengketa serta tanah dimana bangunan tersebut berdiri telah memenuhi
ketentuan Pasal 180 HIR, maka Penggugat mohon agar putusan dalam
perkara ini dapat dilaksanakan lebih dahulu sekalipun ada verzet,
banding, kasasi maupun upaya hukum apapun dari Tergugat
(Uitvoerbaar bij voorraad);
k. Bahwa untuk mencegah upaya-upaya Tergugat memindahkan dan atau
menyewakan bangunan sengketa kepada pihak-pihak lain oleh
Tergugat dan supaya gugatan Penggugat tidak sia-sia, maka Penggugat
mohon agar Pengadilan Negeri Sidoarjo meletakkan sita jaminan
terhadap obyek sengketa yaitu sebidang tanah Hak Guna Bangunan
No.2925 Kelurahan Sidoarjo, terletak di Propinsi Jawa Timur,
Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan Sidoarjo, Kelurahan Sidokare
sebagaimana diuraikan dalam surat ukur tanggal 18 Juni 1998
No.366/04/1998 seluas 219 M2 (dua ratus sembilan belas meter
persegi) sertifikat diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo
120
tanggal 9 Juli 1998, tertulis atas nama Tjakra Adisubrata berikut
bangunan dan segala sesuatu yang berdiri serta tertanam diatasnya,
setempat terkenal sebagai Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo.
3. Gugatan
Berdasarkan uraian di atas, penggugat mengajukan gugatan di
Pengadilan Negeri Sidoarjo karena merasa dirugikan oleh tindakan
tergugat yang tidak mengembalikan rumah sewa. Atas hal tersebut
penggugat dalam gugatannya juga mengajukan petitum sebagai berikut:
a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
b. Menyatakan Penggugat adalah pemilik bangunan rumah sengketa
terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo yang sah ;
c. Menyatakan demi hukum Tergugat menghuni bangunan rumah
sengketa secara tanpa hak tidak sah sejak bulan Januari 1985 hingga
saat ini dan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
d. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian sebagai
berikut:
1) Kerugian akibat tidak dapat menikmati uang sewa yang wajar dan
layak dari bangunan rumah sengketa sejak bulan Januari 1985
sampai dengan bangunan rumah sengketa diserahkan kembali kepada
Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan;
2) Kerugian akibat kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan dan
kepentingan Penggugat sendiri sejak bulan Januari 1985 sampai
121
dengan bangunan rumah sengketa diserahkan kembali kepada
Penggugat sebesar Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah) setiap bulan;
e. Menghukum Tergugat dan atau pihak manapun yang memperoleh hak
dari padanya untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa
terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo kepada Penggugat dalam
keadaan baik, kosong dan tanpa beban dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari sejak putusan ini diucapkan;
f. Menghukum Tergugat dan atau pihak manapun yang memperoleh hak
dari padanya untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan
menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa terletak di Jalan
Mojopahit No.14 Sidoarjo dalam keadaan baik kosong dan tanpa
beban kepada Penggugat terhitung sejak lewat 7 (tujuh) hari setelah
putusan ini diucapkan;
g. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih
dahulu sekalipun ada verzet, banding, kasasi maupun upaya hukum
apapun dari Tergugat (Uitvoerbaar bij voorraad);
h. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan atas :
- Sebidang tanah Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidoarjo,
terletak di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan
Sidoarjo, Kelurahan Sidokare, sebagaimana diuraikan dalam surat
ukur tanggal 18 Juni 1998 No.366/04/1998 seluas 219 M2 (dua
ratus sembilan belas meter persegi), sertifikat diterbitkan Kantor
122
Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tanggal 9 Juli 1998, tertulis atas
nama Tjakra Adisubrata, berikut bangunan dan segala sesuai yang
berdiri serta tertanam diatas tanah tersebut, setempat terkenal
sebagai Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo ;
i. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara;
j. Apabila Pengadilan Negeri Sidoarjo berpendapat lain, maka dengan
Peradilan yang baik mohon putusan yang seadil-adilnya; Menimbang,
bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut.
4. Eksepsi dan Rekonpensi Tergugat
Bahwa surat gugatan tertanggal 25 April 2000 yang diajukan oleh
Penggugat, terdiri dari 14 (empat belas) buah posita, 8 (delapan) buah
petitum primair dan 1 (satu) buah petitum subsidair, adalah sebagai suatu
gugatan yang ngawur dan sangat kabur, sehingga bagi Tergugat sangatlah
sulit untuk memberikan jawaban karena :
a. Bangunan rumah di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo,
Kecamatan Sidoarjo, Desa (sekarang : Kelurahan) Sidoarjo, di Jalan
Mojopahit No.14 Disoarjo, adalah sebagai milik dari The Liang Khing
(almarhum) dan sejak tahun 1948 disewa oleh Ong Ka Kiong (ayah
kandung dari Tergugat) da selanjutnya sebagai pemilik telah berganti
menjadi The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata;
b. Obyek sewa menyewa tersebut diatas adalah berdiri diatas tanah
Negara sebagaimana dimaksud berdasarkan : Sertifikat Hak Guna
Bangunan No.16 Surat Ukur No.177 tanggal 13 Maret 1923 terakhir
123
atas nama dari pada The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata, luas
tanah yang disewa + 130 M2;
c. Batas-batas obyek sewa menyewa adalah sebagaimana tersebut dalam
jawaban tergugat ;
d. Selanjutnya, adalah tidak benar dan bahkan tidak berdasarkan hukum
segala sesuatu hal apapun yang disebutkan pada posita 1 untuk
seluruhnya ; Bahwa dengan berdasarkan fakta notoir feitenm atas iklan
media massa cetak terbitan Kota Surabaya, ternyata pada hari Minggu
tanggal 3 Mei 1981 The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata telah
meninggal dunia dan dimakamkan pada hari Rabu tanggal 6 Mei 1981,
terbukti “bahwa” almarhum The Ik Nio alias Ny. Trianwati Adisubrata
mempunyai anak-anak sebanyak 5 (lima) orang yaitu :
1) Citra Sari Adisubrata ;
2) Sylvia Adisubrata ;
3) Poppy Adisubrata ;
4) Ir. Ruddy Adisubrata ;
5) Ir. John Adisubrata ;
e. Dengan demikian, meskipun Penggugat adalah sebagai “Suami yang
sah dari pada almarhum The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata,
maka gugatan ini wajib demi hukum diajukan oleh para ahliwarisnya
bukan hanya oleh Penggugat saja”;
f. Bahwa sesuai dan dengan berdasarkan surat gugatan perkara perdata
Pengadilan Negeri Sidoarjo No.46/Pdt.G/2000/PN.Sda. dengan pihak-
124
pihak : Penggugat : Tjakra Adisubrata ; Diwakili : Rachmat Harjono
Tengadi, SH. Ny. Indriati Praptosugono, SH. Dra. Ec. Inggriati. D,
SH. Robert Harmani, SH.; Tergugat : Sinar Tedjokusumo ; Ternyata
“bahwa” terdapat persamaan sekedar mengenai obyek sengketa,
khususnya tentang sertifikat Hak Guna Bangunan No.2925/Kelurahan
Sidokare surat ukur No.366/04/1998 tanggal 18 Juni 1998 yang
diterbitkan/dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo
pada tanggal 9 Juli 1998, dengan luas tanah 219 M2 ;
g. Dari facta yang sama sekali tidaklah mungkin terbantah kebenarannya,
maka adalah jelas-jelas berdasarkan hukum, gugatan dari Penggugat
teramat sangat ngawur bahkan kabur (obscuur libel) dan wajiblah
untuk ditolak dan/atau setidak-tidaknya tiada boleh diterima menurut
hukum (Niet onvankelijke verklaard) ;
h. Bahwa berdasarkan alat-alat perlengkapan bagi permohonan
perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan No.16 surat ukur No.177
tanggal 13 Maret 1923 atas namka The Ik Nio alias Ny. Trisnawati
Adisubrata, yang berupa surat pernyataan tertanggal 27 Juni 1980,
maka dapatlah dihukum terbukti penandatanganan dari :
1) Sinar Tedjokusumo ;
2) Ong Tik Tjwan ;
3) Tjio Ie Ting ;
i. Sudah diketahui, disadari, adanya suatu jalanan hubungan hukum serta
persepakatan/persetujuan terhadap penghunian atas diri Tergugat,
125
terlebih lebih berdasarkan fakta hukum terhadap kematian Ong Ka
Kiong (ayah dari Tergugat) menurut bukti T.No.4 dan/atau maupun
berikut terhadap kematian Gi Kwie Nio (ibu dari Tergugat), telah
disadari, diketahui bahkan ketika jenazah masih disemayamkan
dirumah duka Penggugat bersama-sama isterinya berkesempatan untuk
datang dan hadir menyampaikan rasa belasungkawa;
j. Dari fakta tersebut, adalah merupakan kebohongan besar gugatan dari
Penggugat, apabila tidak ada persepakatan/persetujuan sewa menyewa
dengan Tergugat, terlebih-lebih lagi sampai dalamwaktu sangat lama
telah dibayarkan uang sewa menyewa terhadap bangunan rumah di
Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo.
5. Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Sidoarjo telah
mengambil putusan, yaitu putusannya tanggal 4 Oktober 2000
No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
a. Dalam Eksepsi :
- Menolak Eksepsi Tergugat;
b. Dalam Pokok Perkara :
1) Mengabulkan gugat Penggugat untuk sebagian;
2) Menyatakan Penggugat adalah pemilik bangunan rumah sengketa
yang terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo;
3) Menyatakan Tergugat telah menghuni rumah sengketa tanpa hak
dan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
126
4) Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi pengganti uang
sewa kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah)
setiap tahun sejak Maret 1995 hingga putusan ini dapat
dilaksanakan dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
5) Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari
padanya untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa
kepada Penggugat dalam keadaan kosong, tanpa beban dalam
waktu selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sejak putusan diucapkan;
6) Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari
padanya untuk membayar uang paksa sebesar Rp.50.000,- (lima
puluh ribu rupiah) setiap hari keterlambatan menyerahkan rumah
sengketa;
7) Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu
meskipun ada verzet, banding, kasasi atau upaya hukum apapun
dari Tergugat;
8) Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan atas
tanah sengketa;
9) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.514.000,- (lima ratus empat belas ribu rupiah);
10) Menolak gugat Penggugat untuk selebihnya.
4.2.2 Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY
Pokok Pertimbangan Hukum :
1. Menerima Eksepsi yang diajukan oleh Tergugat;
127
2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet onvankelijke
verklaard);
3. Menyatakan penyitaan jaminan yang dilaksanakan dan diletakkan oleh:
Taro, Jurusita Pengganti Pengadilan Negeri Sidoarjo terhadap obyek
sengketa berupa tanah beserta bangunan rumah berdiri di atasnya terletak
di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, sesuai Berita Acara Sita Jaminan
(Conservatoir Beslag) No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. tertanggal 3 Juni 2000,
adalah tidak -- No.14/CB/2000/PN.Sda. Sah dan tidak berharga;
4. Memerintahkan kepada Pengadilan Negeri Sidoarjo untuk segera
mengangkat penyitaan jaminan tersebut;
5. Menghukum Penggugat/Terbanding tersebut untuk membayar biaya
perkara ini, baik yang timbul dalam peradilan tingkat pertama sebesar
Rp.514.000,- (lima ratus empat belas ribu rupiah) maupun dalam peradilan
tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.130.000,- (seratus tiga puluh ribu
rupiah).
Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor:
46/Pdt.G./2000/PN.Sda dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat
telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya dengan
putusannya tanggal 12 Juni 2001 No.242/PDT/2001/PT.SBY, yang
amarnya berbunyi sebagai berikut :
- Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober
2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. yang dimohonkan banding tersebut.
128
4.2.3 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001
Pokok Pertimbangan Hukum :
1. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya telah melakukan
pelanggaran terhadap hukum acara perdata yang berlaku dan melanggar
hak-hak Pemohon Kasasi, karena di dalam halaman 3 alinea kedua putusan
a quo judex factie menguraikan bahwa permohonan banding Termohon
Kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo telah diberitahukan
kepada Pemohon Kasasi (Penggugat/Terbanding) pada tanggal 2
Nopember 2000,demikian pula pada tanggal 2 Nopember 2000 tersebut
kepada Pemohon Kasasi (Penggugat/Terbanding) telah diberitahukan pula
tentang kesempatan untuk memeriksa/atau mempelajari berkas perkara ini
dengan seksama, padahal sebenarnya Pengadilan Negeri Sidoarjo melalui
Pengadilan Negeri Surabaya tidak pernah sekalipun memberikan
pemberitahuan tentang adanya permohonan banding dari Termohon Kasasi
maupun pemberitahuan untuk memeriksa atau mempelajari berkas perkara
dan juga Pemohon Kasasi tidak pernah menerima memori banding
Termohon Kasasi, demikian pula Pengadilan Tinggi Jawa Timur di
Surabaya tidak pernah memberitahukan bahwa perkara ini telah diregister
dengan No.242/Pdt/2001/PT.Sby.; Dengan adanya pelanggaran tersebut,
maka Pemohon Kasasi telah sangat dilanggar hak-haknya, tidak diberi
kesempatan untuk melakukan pemeriksaan/mempelajari berkas perkara
dan tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan kontra memori banding
terhadap memori banding Termohon Kasasi; Dengan demikian Pengadilan
129
Tinggi Jawa Timur di Surabaya telah melanggar hukum acara perdata
yang berlaku, karena telah menerima permohonan banding Termohon
Kasasi dan membuat putusan a quo sebelum memenuhi prosedur hukum
acara perdata yang berlaku secara sempurna, oleh karena itu pula
sepatutnya putusan a quo dibatalkan dan Mahkamah Agung Republik
Indonesia mengadili sendiri dengan menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda.;
2. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya telah tidak
melaksanakan hukum, salah menerapkan hukum dan melanggar hukum
dalam pertimbangannya membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo
tanggal 4 Oktober 2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. dan selanjutnya
menerima eksepsi Termohon Kasasi, dahulu Tergugat Pembanding serta
menyatakan gugatan Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat Terbanding tidak
dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) ;
3. Bahwa di dalam gugatannya Pemohon Kasasi pertama-tama menguraikan
bahwa Pemohon Kasasi adalah pemilik/pemegang hak yang sah atas
sebidang tanah Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidoarjo, terletak
di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan Sidoarjo,
Kelurahan Sidokare, sebagaimana diuraikan dalam surat ukur tanggal 18
Juni 1998, No.366/04/1998, seluas 219 M2 (dua ratus sembilan belas
meter persegi) dengan batas-batas sebagaimana tersebut dalam memori
kasasi, berikut 2 (dua) buah bangunan rumah yang terletak diatasnya yang
dikenal sebagai Jalan Mojopahit No.12 dan Jalan Mojopahit No.14
130
Sidoarjo (vide bukti P.1, P.2) ; Jadi kedua buah bangunan rumah yaitu di
Jalan Mojopahit No.12 yang dihuni oleh Sinar Tedjokusumo dan di Jalan
Mojopahit No.14 yang dihuni oleh Termohon Kasasi berada di atas
sebidang tanah seluas 219 M2 (dua ratus sembilan belas meter persegi)
yang sertifikatnya masih menjadi satu dengan batas-batas sebagaimana
tersebut diatas. Adapun kesalahan ketik berupa terbaliknya penulisan batas
Barat dan Timur yang dicantumkan dalam gugatan Pemohon Kasasi telah
dibetulkan dalam replik Pemohon Kasasi tertanggal 1 Juli 2000 ;
4. Bahwa dengan demikian jelas bahwa di dalam gugatannya Pemohon
Kasasi menguraikan batas-batas dari tanah di mana obyek sengketa berdiri
sesuai Sertifikat Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare,
sedangka yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan setempat pada tanggal
17 Juni 2000 adalah batas-batas obyek sengketa yaitu bangunan rumah di
Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo saja yang berdiri diatas sebagian dari
tanah ak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare, sehingga tidak
benar pertimbangan Pengadilan Tinggi Jawa Timur dalam putusan
halaman 17 alinea ketiga yang mengatakan penyebutan batas-batas
bangunan rumah obyek sengketa yang digugat Pemohon Kasasi berbeda
pada saat diadakan pemeriksaan setempat ;
5. Bahwa telah jelas dan gamblang bahwa obyek sengketa yang digugat oleh
Pemohon Kasasi adalah bangunan rumah terletak di Jalan Mojopahit
No.14 Sidoarjo yang dihuni oleh Termohon Kasasi sebagaimana diuraikan
dalam butir 2 gugatan Pemohon Kasasi, sehingga tidak akan terjadi kerancuan
131
dalam pengertian letak obyek sengketa. Hal ini terbukti pada saat dilakukan
pemeriksaan setempat oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo
justru semakin jelas keberadaan dan batas-batas obyek sengketa tersebut ;
6. Bahwa secara tersurat dan tersirat di dalam eksepsinya maupun dalam
seluruh rangkaian pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri Sidoarjo
sebenarnya Termohon Kasasi telah mengerti dan mengakui bahwa obyek
sengketa adalah bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo yang
dihuninya ;
7. Bahwa dengan demikian tidak benar pertimbangan Pengadilan Tinggi
Jawa Timur di dalam putusan a quo halaman 7 alinea ketiga yang pada
intinya akan timbul kesulitan ataupun kendala di kemudian hari dalam
melaksanakan isi putusan apabila perkara ini telah berkekuatan hukum
tetap, karena sebenarnya telah jelas bahwa obyek sengketa adalah
bangunan rumah yang terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, oleh
karena itu maka seharusnya putusan Pengadilan Tinggi yang menerima
eksepsi Termohon Kasasi dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah Agung
Republik Indonesia mengadili sendiri dengan menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000
No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. ;
8. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur juga telah salah dalam menerapkan
hukum dan nyata-nyata melanggar hukum yang berlaku dalam
pertimbangannya pada halaman 7 alinea terakhir dan halaman 8 alinea
pertama dan kedua yang pada intinya menyatakan walaupun ada
132
penolakan harta warisan almarhumah Ny. Trisnawati Adisubrata dari para
ahliwaris yang lain, kelima ahli waris lain tersebut harus diikutsertakan
sebagai pihak turut Tergugat untuk mencegah tidak terjadi sengketa di
antara sesame ahliwaris atas obyek sengketa;
Berdasarkan Pasal 1058 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ahli waris yang telah menolak harta warisan secara sah dianggap tidak
pernah berkedudukan sebagai ahli waris ;
Kelima anak-anak Pemohon Kasasi dan Ny. Trisnawati Adisubrata
sebagai ahli waris almarhumah Ny. Trisnawati Adisubrata telah menolak
harta warisan ibunya tersebut di depan Panitera Kepala Pengadilan Negeri
Surabaya sebagaimana ternyata dari pernyataan menolak warisan
No.29/1982 tertanggal 1 Desember 1982, sehingga secara hukum telah sah
menolak harta warisan ibunya dan dianggap tidak pernah berkedudukan
sebagai ahliwaris (vide bukti P.11), oleh karena itu Pemohon Kasasi
menjadisatu-satunya ahliwaris Ny. Trisnawati Adisubrata dan sudah sah
serta berhak penuh untuk mengurus harta warisan isterinya tersebut,
termasuk untuk menggugat Termohon Kasasi Bahwa karena kelima anak
Pemohon Kasasi dan Ny. Trisnawati Adisubrata tersebut sudah tidak
bekedudukan lagi sebagai ahli waris Ny. Trisnawati Adisubrata, maka
mereka tidak berhak untuk turut menggugat Termohon Kasasi, apalagi
sebagaimana dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur untuk
diikutsertakan sebagai turut Tergugat akan merupakan error in person,
karena hanya Termohon Kasasi saja satu-satunya pihak yang harus digugat
133
sebagai akibat perbuatannya menghuni bangunan rumah sengketa secara
tanpa hak dan melakukan perbuatan melawan hukum ;
9. Bahwa pertimbangan Pengadilan Tinggi Jawa Timur agar kelima anak Ny.
Trisnawati Adisubrata tersebut diikutsertakan sebagai turut Tergugat untuk
mencegah dan kemudian hari terjadi persengketaan bagi sesama ahliwaris
dalam hubungan internal atas obyek sengketa merupakan pertambangan
yang tidak berdasar hukum dan karena itu harus ditolak dan
dikesampingkan;
10. . Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka pertimbangan Pengadilan Tinggi
Jawa Timur dalam halaman 8 alinea ketiga yang menyimpulkan gugatan
Pemohon Kasasi belum memenuhi persyaratan formal serta dianggap
sebagai gugatan yang kabur (obscuur libel) sehingga eksepsi Termohon
Kasasi diterima adalah tidak melaksanakan hukum yang berlaku, sehingga
sudah sepaturnya putusan a quo dibatalkan dan Pemohon Kasasi mohon
agar Mahkamah Agung Republik Indoenesia menolak eksepsi Termohon
Kasasi dan menerima gugatan Pemohon Kasasi serta mengadili sendiri
dengan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo yang telah benar
dalam penerapan hukumnya;
11. Bahwa Pemohon Kasasi mohon agar segala sesuatu yang telah diuraikan
didalam eksepsi dianggap tersurat dan tersirat di dalam pokok perkara ini ;
12. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur telah tidak melaksanakan hukum,
salah menerapkan hukum dan melanggar hukum dalam membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo yang menyatakan gugatan Pemohon
134
Kasasi, dahulu Penggugat Terbanding tidak dapat diterima (niet
onvankelijke verklaard) sebagaimana diuraikan di dalam eksepsi tersebut
di atas, sehingga demikian pula putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur
yang menyatakan penyitaan jaminan yang dilaksanakan dan diletakkan
oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo terhadap bangunan rumah di Jalan
Mojopahit No.14 Sidoarjo tidak sah dan tidak berharga serta
memerintahkan pengangkatan sita jaminan tersebut merupakan kesalahan
dalam penerapan hukum, tidak melaksanakan hukum dan melanggar
hukum serta nyata-nyata merugikan Pemohon Kasasi;
13. Bahwa Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000
No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. justru telah benar dalam penerapan hukumnya
dan melaksanakan hukum dengan benar, sehingga seharusnya Pengadilan
Tinggi Jawa Timur menguatkan putusan a quo; Di dalam pemeriksaan
perkara di Pengadilan Negeri Sidoarjo telah terbukti bahwa Pemohon
Kasasi adalah pemilik bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo
yang merupakan salah satu dari dua bangunan rumah yang berdiri di atas
tanah Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare total seluas 219
M2 (dua ratus sembilan belas meter persegi) sebagaimana ternyata dari
Sertifikat Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare tanggal 9 Juli
1998, Surat UKR tanggal 18 Juni 1998 No.366/04/1998 (bukti P-1);
Terbukti pula bahwa Termohon Kasasi menempati bangunan rumah
sengketa di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo sebagai penyewa yang
135
melanjutkan hubungan sewa menyewa dari ayahnya bernama Ong Ka
Kiong tanpa persetujuan dari pemilik rumah yaitu Pemohon Kasasi;
14. Bahwa dengan demikian terbukti bahwa telah terjadi hubungan sewa
menyewa tanpa perjanjian tertulis dan tanpa batas waktu serta turun
temurun antara Pemohon Kasasi dan Ongk Ka Kiong yang dilanjutkan
oleh Termohon Kasasi tanpa persetujuan Pemohon Kasasi, sehingga
bertentangan dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1992 juncto Peraturan
Pemerintah No.44 Tahun 1994; Undang-Undang No.4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman Pasal 12 ayat (1) dan (6) juncto Peraturan
Pemerintah RI No.44 Tahun 1994 tentang penghunian rumah oleh bukan
pemilik Pasal 2 dan Pasal 21 menentukan bahwa penghunian rumah oleh
bukan pemilik hanya sah apabila adalah persetujuan atau izin pemilik, dan
sewa menyewa rumah dengan perjanjian tertulis maupun dengan
perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah
berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No.4 Tahun 1992
dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya
Undang-Undang tersebut; Undang-Undang No.4 Tahun 1992 diundangkan
pada tanggal 10 Maret 1992, berarti sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat
(1) Peraturan Pemerintah RI No.44 Tahun 1994 terhitung sejak tanggal 10
Maret 1995 hubungan sewa-menyewa antara Pemohon Kasasi dan
Termohon Kasasi telah berakhir;
15. Bahwa dengan demikian sejak tanggal 10 Maret 1995 perbuatan
Termohon Kasasi menghuni bangunan rumah sengketa di Jalan Mojopahit
136
No.14 Sidoarjo merupakan penghunian bangunan rumah tanpa hak dan
tidak sah, oleh karena itu Termohon Kasasi telah melakukan perbuatan
melawan hukum;
16. Bahwa karena telah terbukti Termohon Kasasi melakukan perbuatan
melawan hukum yang telah merugikan Pemohon Kasasi, maka sepatutnya
Termohon Kasasi dihukum untuk membayar ganti kerugian sebagai akibat
Pemohon Kasasi tidak dapat dinikmati uang sewa sebesar Rp.1.000.000,-
hingga putusan ini dapat dilaksanakan dan memperoleh kekuatan hukum
tetap;
17. Bahwa Termohon Kasasi telah diberi kesempatan untuk menyerahkan
kembali bangunan rumah sengketa secara sukarela dalam waktu 3 (tiga)
bulan sejak putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo diucapkan, tetapi ternyata
Termohon Kasasi tidak melakukannya, maka Termohon Kasasi dan
siapapun yang memperoleh hak dari padanya harus dihukum untuk
menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa di Jalan Mojopahit No.14
Sidoarjo kepada Pemohon Kasasi dalam keadaan kosong dan tanpa beban
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak putusan diucapkan
dengan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah)
untuk setiap hari keterlambatan mengembalikan bangunan rumah sengketa;
18. Bahwa bukti kepemilikan Pemohon Kasasi atas tanah dan bangunan
rumah sengketa adalah bukti otentik, maka sudah sepatutnya putusan
dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada verzet,
banding, kasasi atau upaya hukum apapun dari Termohon Kasasi;
137
19. Bahwa untuk menjamin gugatan Pemohon Kasasi ini tidak sia-sia dan
mencegah agar Termohon Kasasi tidak mengalihkan bangunan rumah
sengketa kepada pihak lain, maka sepatutnya penyitaan jaminan yang telah
diletakkan oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo terhadap bangunan rumah
sengketa di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo;
20. Bahwa putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000
No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. telah benar dan menerapkan hukum dengan
benar, maka sudah sepatutnya putusan a quo dikuatkan oleh Mahkamah
Agung RI; Menimbang, bahwa atas keberatan-keberatan kasasi tersebut
Mahkamah Agung berpendapat :
Mengenai Keberatan-Keberatan :
1. Bahwa keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan, karena obyek gugatan
Pemohon Kasasi semula Penggugat adalah bangunan rumah di Jalan
Mojopahit No.14 Sidaorjo saja, yang berdiri diatas sebagian dari tanah Hak
Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare, sehingga dengan demikian
jelas bahwa obyek pekara yang digugat oleh Pemohon Kasasi semula
Penggugat, adalah bangunan rumah yang terletak di Jalan Mojopahit No.14
Sidaorjo, yang dihuni oleh Termohon Kasasi semula Tergugat, sehingga
dengan demikian tidak akan terjadi ketidak pastian (ketidak jelasan) terhadap
letak obyek perkara; Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana dikemukakan
diatas, maka putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan dan permohonan
banding terhadap perkara ini dinyatakan dapat diterima;
2. Bahwa pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Negeri terhadap
materi pokok perkara, telah tepat dan benar, dan karenanya dijadikan
138
pertimbangan dan putusan Mahkamah Agung, karena mana gugatan
Pemohon Kasasi semula Penggugat dapat dikabulkan;
3. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas tanpa perlu
mempertimbangkan keberatan kasasi lainnya, putusan Pengadilan Tinggi
Jawa Timur di Surabaya tanggal 12 Juni 2001 No.242/PDT/2001/PT.Sby.
yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober
2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. tidak dapat dipertahankan lagi dan harus
dibatalkan serta Mahkamah Agung dengan mengambilalih pertimbangan
hokum Pengadilan Negeri yang telah tepat dan benar dan menjadikan
sebagai pertimbangan sendiri akan mengadili sendiri perkara ini dengan
amar seperti tersebut dibawah ini;
4. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dikabulkan, maka
Termohon Kasasi sebagi pihak yang kalah dalam perkara ini dihukum
membayar semua biaya pekara, baik dalam tingkat pertama dan tingkat
banding maupun dalam tingkat kasasi; Memperhatikan Pasal-pasal dari
Undang-Undang No.4 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.4 Tahun 1985
jo Undang-Undang No.5 Tahun 2004.
Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 :
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Tjakra Adisubrata;
2. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya tanggal
12 Juni 2001 No.242/PDT/2001/PT.Sby, yang membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000
No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda.
139
Dalam Eksepsi :
- Menolak Eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan gugat Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat adalah pemilik bangunan rumah sengketa yan
terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo;
3. Menyatakan Tergugat telah menghuni rumah sengketa tanpa hak dan
Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi pengganti uang sewa
kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap tahun
sejak Maret 1995 hingga putusan ini dapat dilaksanakan dan memperoleh
kekuatan hukum yang tetap;
5. Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya
untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa kepada Penggugat
dalam keadaan kosong, tanpa beban dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) bulan sejak putusan diucapkan;
6. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan atas tanah
sengketa;
7. Menolak gugat Penggugat untuk selebihnya; Menghukum Termohon
Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang
dalam tingkat pertama sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
140
4.2.4 Pembahasan Kasus Hukum
Sewa menyewa adalah merupakan perjanjian timbal balik yang bagi
masing-masing pihak menimbulkan perikatan terhadap yang lain. Perjanjian
timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral atau perjanjian dua pihak.
Jika sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi hukum
apabila waktu yang ditentukan sudah habis tanpa memerlukan suatu
pemberitahuan pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa-menyewa itu dibuat
hanya secara lisan, sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan
jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa hendak
menghentikan sewanya. Akan tetapi, pemberhentian ini harus dilakukan dengan
memperhatikan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.
Untuk sewa menyewa terhadap benda tidak bergerak seperti rumah,
dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang
Penghuni Rumah Oleh Bukan Pemilik, khusus mengenai Perjanjian Sewa-
Menyewa Rumah haruslah diperbuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala
bentuk perjanjian sewa- menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu
adalah batal demi hukum.152
Dalam sewa-menyewa, si pemilik objek hanya menyerahkan hak
pemakaian dan pemungutan hasil dari benda tersebut, sedangkan hak milik atas
benda tersebut tetap berada di tangan yang menyewakan sebaliknya pihak
penyewa wajib memberikan uang sewa kepada pemilik benda tersebut.153
152 Tan Kamello, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang
Didambakan, Alumni, Bandung, hal. 185. 153 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 49.
141
Suatu perjanjian pada dasarnya akan berlangsung dengan baik jika para
pihak yang melakukan perjanjian tersebut dilandasi oleh itikad baik (good faith),
namun apabila salah satu pihak tidak beritikad baik atau tidak melaksanakan
kewajibannya maka akan timbul perbuatan wanprestasi. Seperti halnya yang
terjadi pada perjanjian sewa menyewa yang telah diputus oleh Mahkamah Agung
Nomor: 2313 K/Pdt/2002, awalnya hubungan sewa menyewa ini berlangsung
dengan baik antara Ny. Trisnawati (yang menyewakan) dengan Ong Ka Kiong
(penyewa) berdasarkan Sewa Menyewa seperti ternyata dalam kwitansi tanda
terima kurang lebih tahun 1940 dan tidak menentukan jangka waktunya atas :
tanah dan bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, yang selanjutnya
menjadi obyek perkara.
Sejak Ny. Trisnawati Adisubrata meninggal dunia, maka Penggugat
sebagai ahliwarisnya melanjutkan bangunan sewa menyewa atas bangunan rumah
sengketa dengan Ong Ka Kiong tersebut dengan uang sewa perbulan sebesar
Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dan terakhir kali Ong Ka Kiong membayar
uang sewa adalah uang sewa bulan Agustus sampai dengan Desember 1984
sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) atau uang sewa perbulan
adalah Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah);
Setelah itu Tergugat yang adalah anak dari Ong Ka Kiong meneruskan
menghuni bangunan rumah sengketa dan meminta kepada Penggugat agar
kwitansi pembayaran uang sewa tidak tertulis atas nama Ong Ka Kiong lagi, tetapi
ditulis atas nama Tergugat, namun Penggugat menolak permintaan Tergugat
tersebut karena Penggugat hanya mempunyai hubungan sewa menyewa dengan
142
Ong Ka Kiong dan sama sekali tidak mempunyai hubungan sewa menyewa
dengan Tergugat serta secara hukum hak sewa tidak bisa diwariskan.
Perbuatan penyewa telah membuktikan bahwa mereka telah melakukan
ingkar janji (wanprestasi) dan beritikad tidak baik terhadap yang menyewakan
serta telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) karena
tidak mau mengosongkan serta menyerahkan obyek perkara, sehingga pihak yang
menyewakan merasa sangat dirugikan dan mengajukan gugatan, kasus ini bergulir
panjang sampai pada tahap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002,
dimana putusan Mahkamah Agung tersebut menolak gugatan pihak penyewa.
Penyewa dikatakan telah melakukan wanprestasi, apabila dia dalam
melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehinggga terlambat dari
jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut
sepatutnya/selayaknya. Akibat yang timbul dari wanprestasi ialah : keharusan atau
kemestian bagi debitur (penyewa) membayar ganti rugi (schade vergoeding). Atau
dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat
menuntut pembatalan perjanjian.154 Sebab dengan tindakan penyewa dalam
melaksanakan kewajiban tidak tepat waktu atau tak layak, jelas merupakan
pelanggaran hak pemilik/yang menyewakan. Setiap pelanggaran hak orang lain,
berarti merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.155
Memang hampir serupa antara onrechtmatigedaad dengan wanprestasi. Itu
sebabnya dapat dikatakan, wanprestasi adalah juga merupakan genus spesifik dari
onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
154 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 60. 155 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 61.
143
Undang Hukum Perdata yang menyatakan: “tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Namun orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan
gugatan perbuatan melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum.156 Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan,
sebenarnya lebih tepat kalau diajukan gugatan wanprestasi. Ini akan menjadi celah
yang akan dimanfaatkan tergugat dalam tangkisannya.
Membedakan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi
sebenarnya gampang-gampang susah. Sepintas lalu, bisa melihat persamaan dan
perbedaannya dengan gampang. Baik perbuatan melawan hukum dan wanprestasi,
sama-sama dapat diajukan tuntutan ganti rugi. Sementara perbedaannya,
seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia melanggar suatu perjanjian yang telah
disepakati dengan pihak lain.
Tiada wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya. Sedangkan
seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatannya
bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, akan ada perbedaan dalam pembebanan
pembuktian, perhitungan kerugian, dan bentuk ganti ruginya antara tuntutan
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Dalam suatu gugatan perbuatan
156Hukum online.com, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Sebagai
Dasar Gugatan, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi-sebagai-dasargugatan, diakses 17 Februari 2015.
144
melawan hukum, penggugat harus membuktikan semua unsur-unsur perbuatan
melawan hukum selain harus mampu membuktikan adanya kesalahan yang
diperbuat debitur. Sedangkan dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup
menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar.
Kemudian dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat dapat
menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum).157
Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan apabila gugatan yang diajukan
dasarnya adalah wanprestasi. Dari uraian di atas, sebelum mengajukan gugatan,
ada baiknya calon penggugat mempertimbangkan terlebih dahulu apakah akan
mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terhadap
lawannya. Seandainya mengajukan gugatan wanprestasi, ia cukup menunjukkan
perjanjian yang dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian untuk
menyatakan tidak terjadi wanprestasi. Namun kalau akan mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum, penggugat harus siap-siap untuk membuktikan dan
menunjukkan bahwa bukan hanya ada suatu perbuatan melawan hukum, tetapi ada
juga unsur kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh Tergugat.
Dalam sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada berbagai macam
gugatan, yang tidak boleh dicampur adukkan, dalam arti, bahwa seorang
penggugat tidak cukup minta peradilan begitu saja, melainkan ia harus
mengutarakan (stellen) dan kalau perlu, membuktikan suatu pelanggaran dari
pasal tertentu dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau undang-undang
lain, dan juga ia harus menentukan semula apa yang ia minta, yaitu misalnya
157 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 10.
145
penyerahan suatu barang tertentu, atau pengosongan suatu bangunan atau
pembayaran ganti kerugian berwujud uang atau berwujud lain, atau suatu
perbuatan tertentu, atau larangan melakukan suatu perbuatan tertentu yang tergugat
juga belum pernah melakukan tetapi akan melakukan, kalau tidak dilarang.158
Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam Pasal
1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 164 HIR, yang terdiri dari :
(1) bukti tulisan; (2) bukti dengan saksi; (3) persangkaan; (4) pengakuan, dan (5)
sumpah.159
Alat bukti tulisan ditempatkan dalam urutan pertama. Hal ini sesuai
dengan kenyataan jenis surat atau akta dalam perkara perdata, memegang peran
yang penting. Semua kegiatan yang menyangkut bidang perdata, sengaja dicatat
atau dituliskan dalam surat atau akta. Setiap perjanjian transaksi jual-beli, sewa-
menyewa, penghibahan, pengangkutan, asuransi, perkawinan, kelahiran dan
kematian, sengaja dibuat dalam bentuk tertulis dengan maksud sebagai alat bukti
atas transaksi atau peristiwa hubungan hukum yang terjadi. Apabila satu ketika
timbul sengketa atas peristiwa itu, dapat dibuktikan permasalahan dan
kebenarannya oleh akta yang bersangkutan.
Sementara itu tulisan-tulisan yang dengan dibuat untuk dijadikan bukti,
ada juga tulisan-tulisan yang dibuatnya tanpa maksud yang demikian, tetapi pada
sewaktu-waktu dapt dipakai juga atau berguna dalam suatu pembuktian, misalnya:
158 Wirjono Prodjodikoro, 2000, Perbuatan Melanggar Hukum, Cetakan I,
Mandar Maju, Bandung, hal.101. 159 M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 556-557.
146
surat-menyurat biasa, catatan-catatan, pembukuan dan lain-lain. Beraneka warna
sekali tulisan itu: kuitansi, surat perjanjian, surat-menyurat, surat hak milik, surat
tanda kelahiran. Sehingga apabila seseorang dimintai surat tanda bukti, maka surat
tanda bukti ini dimaksudkan untuk dikemudian hari dipakai terhadap orang yang
memberikan tanda bukti tersebut. Jadi, lazimnya tulisan itu akan menjadi bukti
terhadap si penulis. Kuitansi, surat-menyurat dan lain-lain merupakan suatu bukti
terhadap penandatangannya.160 Di dalam perkara ini, surat perjanjian sewa-
menyewa dalam bentuk kwitansi yang dibuat oleh orang tua Tjakra Adisubrata
yakni Ny. Trisnawati (yang menyewakan) dengan Ong Ka Kiong, orang tua Ong
Tek Tjwan (penyewa) sebagai tanda bukti bahwa benar telah terjadi suatu
hubungan sewa-menyewa atas objek terperkara kira-kira pada tahun 1940.
Ong Tek Tjwan (penyewa) bersikukuh tidak mau melakukan pengosongan
pada obyek perkara tersebut, maka Ong Tek Tjwan (penyewa) telah melanggar
hukum yang merugikan hak Tjakra Adisubrata (yang menyewakan).
Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1994 tentang Penghunian Rumah
Oleh Bukan Pemilik Pasal 2 dan Pasal 21 ayat (1), maka penghunian rumah oleh
bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik dan sewa-
menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak
tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam
jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut. Dengan adanya
160 R. Subekti, 2005, Hukum Pembuktian, Cetakan Ke XV, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal.20.
147
ketentuan tersebut, maka perjanjian sewa-menyewa yang menjadi pokok perkara
dalam hal ini telah batal demi hukum.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman pada Pasal 164 menyatakan bahwa:
“Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469), dan peraturan perundang-undangan lainnya mengenai perumahan dan permukiman, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan undang-undang ini.” Ketentuan berdasarkan undang-undang tersebut, maka Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan
Pemilik masih tetap berlaku. Sehingga dalam perkara ini sebenarnya perjanjian
sewa-menyewa tersebut telah berakhir karena antara para termohon kasasi dengan
pemohon kasasi tidak memperbaharui perjanjian tersebut.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan bahwa Mahkamah Agung hanya dapat menjaga kesatuan hukum dari
putusan-putusan pengadilan yang berada di bawahnya sepanjang para pihak yang
bersengketa mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan tersebut. Andaikata
lahir suatu putusan pengadilan mengandung kesalahan penerapan hukum, dan
para pihak tidak mengajukan upaya hukum, maka Mahkamah Agung tidak dapat
melakukan koreksi atas kesalahan tersebut.161
161 Lembaga Kajian Dan Advokasi Untuk Indepedensi Peradilan, Kasasi
Demi Kepentingan Hukum,Penunjang Fungsi Mahkamah Agung Yang Terlupakan, http://www.lelp.or.id/artikel/101-kasasi-demikepentingan-hukum-penunjang-fungsi-mahkamah-agung-yang-terlupakan, diakses 17 Februari 2015.
148
Ketentuan berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah Agung dalam
perkara ini telah memutuskan dengan tepat dikarenakan dalam hubungan sewa
menyewa ini sebenarnya telah berakhir dengan sendirinya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang tersebut di atas, dan juga Majelis Hakim memutuskan
bahwa para termohon kasasi telah melakukan perbuatan melawan hukum
dikarenakan antara pemohon kasasi dengan para termohon kasasi tidak pernah
melakukan suatu perjanjian dan sudah semestinya para termohon kasasi
mengosongkan obyek terperkara tersebut agar tidak merugikan hak orang lain
yakni pemohon kasasi sebagai pemilik yang sah.
149
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan hasil penelitian, maka
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi
bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam
Pasal 1548 KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur
yang paling pokok dalam suatu perjanjian sewa menyewa yaitu unsur
batas waktu tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan
tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. Perjanjian
tersebut tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka
perjanjian ini batal demi hukum.
Perjanjian sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tidak
sekedar mengingkari lembaga jual beli tetapi mengingkari lembaga hak
milik yang bersifat hak asasi, dan juga jika sewa dinyatakan tidak terbatas
waktunya maka artinya melanggar hak asasi pemiliknya untuk dapat
memanfaatkan tanah miliknya sendiri. Perjanjian ini mencederai rasa
keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah dengan jangka
waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri.
2. Kasus sengketa sewa-menyewa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor:
2313 K/Pdt/2002 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667
K/Pdt/2001 dapat diadili oleh pengadilan mengingat kedua kasus sewa-
150
menyewa tersebut belum pernah diajukan ke pengadilan. Gugatan
perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan gugatan dalam pokok perkara
yang sama.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Untuk melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah sebaiknya dilakukan
secara tertulis dan dengan jangka waktu yang telah ditentukan sehingga
mempunyai kekuatan hokum yang kuat. Jangan sampai membuat
perjanjian tanpa menetapkan batas waktu untuk menghindari timbulnya
hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan nantinya.
2. Disarankan hakim cermat dalam mengadili suatu perkara perdata dan
hendaknya didasarkan atas hukum atau peraturan dalam beracara,
melandasi berbagai pertimbangan dan putusan dengan keadilan, selain
berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku tersebut, hakim harus
mendasarkan putusan pada ketentuan teori mengenai obyek sengketa
khususnya, sehingga unsur-unsur subyek, obyek, alasan gugatan yang
sama dapat dihindari. Karena bagaimanapun juga sengketa perdata
tersebut pernah diperiksa, diputus, dan berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde).
151
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Achmad, Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta.
---------, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I, Alumni, Bandung.
Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
---------, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Catherine Elliot, Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate, England.
Emong Supradjaja, Komariah, 2002, Perkembangan Penerapan dalam Yurisprudensi di Indonesia, Alumni, Bandung.
Fajar Laksono, Ed., 2007, Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Mahfud MD, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Gandasubrata, Purwoto, 1998, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia.
Goesniadhie, Kusnu, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik, Penerbit A3 dan Nasa Media, Malang.
Hans Kalsen, 2007, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu mpirik-Deskriptif, Rimdi Press, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, 1986, Segi -Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
----------, 2008, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
----------, 2006, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
152
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Cet.I, Alumni, Bandung.
Holland, James A. and Webb, Julian S., 1991, Learning Legal Rules, Blackstone Limited, Great Britain.
Huijbers, Theo, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Kanisius, Yogyakarta.
Ibrahim, Johannes dan Sewu, Lindawaty, 2007, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung.
Ibrahim, Johnny, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang.
Imran, S., 2007, Asas-Asas dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis Yuridis pada Hukum Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta.
Kamello, Tan, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung.
Karlinger, Fred N., 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt, Rinehart.
Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Lubis, Basrah, 1993, Sewa Menyewa dan Pembahasan Kasus, Diktat Kuliah FH USU, Medan.
Lumban Tobing, G.H.S., 2003, Seri Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang, Erlangga, Jakarta.
Mahmud Marzuki, Peter, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.
Meliala, A. Qirom, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.
Meliala, Djaja S., 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa Aulia, Bandung.
Moeliono, Anton M., et al., 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Mertokusumo, Soedikno, 1999, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
153
Miru, Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Naja, H.R Daeng, 2006, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis: Contract Drafting, Edisi Revisi Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Niewenhuis, J.H., 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, Surabaya.
Pontier, J.A., 2008, Penemuan Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung.
Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-dasar Hukum PeriKatan, Mandar Maju, Bandung.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Prawirohamdjojo, Soetojo dan Mathalena Pohan, 1978, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya.
Prodjodikoro, R. Wirjono, 1987, Hukum Perjanjian dan Perikatan, Pradya Paramita, Jakarta.
---------, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung.
---------, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung.
---------, 2000, Perbuatan Melanggar Hukum, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung.
Raharjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rahman, Hasanudin, 2003, Contract Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rosa Agustina, Suharnoko, Hans Nieuwenhuis dan Jaap Hijma, 2012, Hukum Perikatan, Pustaka Larasan, Denpasar.
Sampford, Charles, (Ed.), 2006, Interpreting Constitutions Theories, Principles and Institutions, The Ferderation Press, Sydney.
Setiawan, R., 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung.
154
Sidharta, Bernard Arief, 2001, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Cetakan ke IV, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Subekti dan Tjitrosudibio, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Yogyakarta.
Subekti, R., 1979, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
----------, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
----------, 2002 Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.
----------, 2005, Hukum Pembuktian, Cetakan Ke XV, Pradnya Paramita, Jakarta.
----------, 2010, Hukum Perjanjian, Cet. XXIII, PT. Intermasa, Jakarta.
Subekti, R., dan Tjitrosudibio, R., 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
----------, 2002, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, PT. Prenada Media, Jakarta.
Suroso, R., 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Suryodiningrat, R. M., 1995, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung.
Sujata, Antonius, 2000. Reformasi dan Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta.
Syaifuddin, Muhammad, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung.
Team Penulisan Buku Pedoman, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar.
Than Thong Kie, 2000, Study Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Utrecth, E. dan Moh. Saleh Djindang, 2009, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Remaja Rosda Karya, Bandung.
155
Wahjono, Padmo, 2006, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Waluyo, Bambang, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Jurnal/Makalah Artadi I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1996, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Fakultas
Hukum USU, Medan. Boot, Machtel, 2002, Nullum Crimen Sine Lege and Subjek Matter Jurisdiction of
the International Criminal Curt: Genocide, Crimes Agaist Humanity, War Crimess, Intersentia, Antwerpen, hal. 83-85; istilah lain terhadap asas ini, yang dikenal dalam Hukum Pidana di Indonesia, nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poeneli, atau asas Legalitas. Lihat dalam E. Utrecth dan Moh. Djindang, Ibid, hal. 388.
Dian Jati Damayanti, Dwi Febriyanti dan Lisa Ayu Dwiyanti, 2013, “Jaminan
Kepastian Hukum Terhadap Warga Negara Berdasarkan Hukum Nasional Indonesia”, Privat Law, Edisi 02, hal. 76.
156
Hartati, Sri, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman”, Artikel, Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Macdonal, R., F. Matcher, and H.Petzold, 1993, The European System for the
protection of Human Rihgts, Kluwer Academic Publishers, The Hague, hal. 397.
Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”,
dikutip dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam Hukum Perikatan Nasional, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1 Tahun ke XIV.
Rai Asmara Putra, I Dewa Nyoman Ketut Artadi, 2010, Implementasi Ketentuan-
Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar.
Roscoe, Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale
University Press. Sieglar, Jay A. dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public
Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.
Sumardjono, Maria S.W, 1997, “Kepastian Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Manfaatnya Bagi Bisnis Perbankan dan Properti,” Makalah disampaikan dalam Seminar Kebijaksanaan Baru di Bidang Pertanahan, Dampak dan Peluang Bagi Bisnis Properti dan Perbankan, Jakarta 6 Agustus hal. 1.
Tommy H. Purwaka, 2005, Fakta Perlunya Harmonisasi Prosiding Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, Jakarta, hal. 560-563.
Wade, E. C. S. dan Godfrey Phillips, 1971, Constitutional Law: An Outline of the Law and Practive of the Constitution Including Central and local Government, the citizen and the State and Administrative Law by E.C. C. Wade and G. Godfrey Phillips, Eighth Edition, Longman Limited Group, London.
Yusuf Ibrahim, Muhammad, 2014, “Implementasi Asas Nebis In Idem dalam Perkara yang telah Memiliki Kekuatan Hukum tetap yang Digugat Kembali dengan Sengketa Obyek yang Sama tetapi dengan Subyek yang Berbeda”, Jurnal Ilmiah FENOMENA, Vol. XII, No.1, hal. 1163.
157
Sumber Lain
Habib Adjie, 2011, “Hukum Perjanjian”, habibadjie.dosen.narotama.ac.id/files/2011/04/HukumPerjanjian2KeabsahanPerjanjian.pdf.
Hukum online.com, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Sebagai Dasar
Gugatan, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan melawan-hukum-dan-wanprestasise bagai-dasargugatan, diakses pada tanggal 5 Juli 2014.
Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Indepedensi Peradilan, Kasasi Demi
Kepentingan Hukum,Penunjang Fungsi Mahkamah Agung yang Terlupakan, http://www.lelp.or.id/artikel/101-kasasi-demikepentingan-hukum-penunjang-fungsi-mahkamah-agung-yang-terlupakan, diakses 17 Februari 2015.