konjungtivitis wulan

24
BAB I ILUSTRASI KASUS I. Identitas Pasien Nama : Tn. D Jenis Kelamin : Laki- laki Umur : 18 tahun Agama : Islam Suku : Jawa Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Kampung Gardu RT 01/08 Kemang Bogor II. Anamnesis Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2013 pukul 11.00 WIB di Poliklinik Mata RSMM Bogor. a. Keluhan Utama Mata kanan merah sejak 1 hari sebelum ke poli. b. Keluhan tambahan Mata kanan bengkak, nyeri, perih, berair, buram dan banyak kotoran mata. c. Riwayat Penyakit Sekarang 1

Upload: wulannnwulannn

Post on 30-Nov-2015

83 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

mata

TRANSCRIPT

BAB I

ILUSTRASI KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. D

Jenis Kelamin : Laki- laki

Umur : 18 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Kampung Gardu RT 01/08 Kemang Bogor

II. Anamnesis

Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2013 pukul 11.00 WIB di

Poliklinik Mata RSMM Bogor.

a. Keluhan Utama

Mata kanan merah sejak 1 hari sebelum ke poli.

b. Keluhan tambahan

Mata kanan bengkak, nyeri, perih, berair, buram dan banyak kotoran mata.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poliklinik Mata RSMM dengan keluhan mata kanan

merah sejak 1 hari sebelum datang ke poli mata. Os mengaku pada ssat bangun

tidur mata kanannya agak sulit dibuka seperti menempel. Dan saat dilihat, trelihat

mata kanannya merah dan bengkak. Os mengaku selain itu mata kanannya terasa

nyeri, perih, berair dan banyak kotoran mata. Os mengaku kotoran matanya

berwarna kekuningan, tidak begitu banyak.

1

Selain itu os mengaku mata kanannya melihat agak buram atau kurang

jelas sejak keluhan ini muncul. Os menyangkal ada riwayat kemasukan benda

asing pada matanya. Os mengaku mengucek-ngucek matanya karena terasa ada

yang mengganjal. Os mengaku tidak ada rasa gatal pada matanya. Os

menyangkal keluhan yang sama pada mata kiri.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Os mengaku belum pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Os juga

menyangkal adanya riwayat kemasukan benda asing pada matanya serta ia juga

menyangkal memiliki riwayat kontak dengan orang yang memiliki keluhan yang

sama.

e. Riwayat Pengobatan

Os mengaku 1 hari sebelumnya telah berobat ke klinik umum dan diberi

obat untuk keluhan matanya, namun os mengaku keluhannya tidak berkurang..

f. Riwayat Keluarga

Os mengaku dalam keluarganya tidak ada anggota keluarga yang

mengalami gejala yang serupa, berkacamata, menderita darah tinggi kencing

manis dan alergi.

III. Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis

Keadaan umum : sakit ringan

Kesadaran : compos mentis

Tanda vital

Frekuensi nadi : 88x per menit

Frekuensi napas : 20x per menit

Suhu tubuh : 36,7oC

Tekanan Darah :120/70 mmHg

2

Kepala :

1. Bentuk : Normocephali

2. Mata : Lihat status oftalmologi

3. Telinga : Normotia, tidak tampak serumen dan tidak tampak sekret.

4. Hidung : Tidak ada deformitas, septum deviasi (-), sekret (-)

5. Bibir : Tidak kering, tidak sianosis

6. Mulut : Stomatitis (-), mukosa mulut tidak kering

7. Lidah : tidak kotor, tidak tremor

8. Faring : tidak hiperemis

Leher : KGB tidak teraba Trakea lurus di tengah

Toraks:

1. Dinding toraks : Bentuk normal, retraksi sela iga (-), iga vertikal, simetris dalam keadaan

statis dan dinamis

2. Paru

- Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis

- Palpasi : Vokal fremitus simetris

- Perkusi : Sonor pada paru kedua lapang paru

- Auskultasi : Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, ronkhi -/-, wheezing -/-

3. Jantung

- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

- Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V 1 cm medial garis midclavicularis sinistra,

tidak teraba thrill

- Auskultasi : BJ I normal, BJ II normal, regular, tidak ada splitting, tidak ada murmur,

tidak ada gallop

Abdomen:

- Inspeksi : buncit, tidak tampak distensi, tidak tampak vena collateral

- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, undulasi (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor

kulit baik, lemas

- Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

3

- Auskultasi : bising usus (+) normal

Kelenjar getah bening : Tidak teraba

Anggota gerak : atas : akral hangat, deformitas (-), sianosis (-), oedem (-)

bawah : akral hangat, deformitas (-), sianosis (-), oedem (-)

b. Status Oftalmologi

Okular Dextra Okular Sinistra

a. Palpebra

1. Skuama

2. Oedem

3. Luka Robek

-

+

-

-

-

-

b. Konjungtiva

1. Injeksi

2. Warna

3. Penebalan

4. Sekret

5. Benda Asing

Konjungtiva,episklera

Hiperemis

-

+

-

Konjungtiva,episklera

Hiperemis

-

+

-

c. Kornea

1. Jernih

2. Benda Asing

3. Infiltrat

4. Sikatrik

5. Arkus Senilis

+

-

-

-

-

+

-

-

-

-

d. COA

1. Isi

2. Volume

Normal

Normal

Normal

Normal

e. Iris

1. Warna

2. Kripta

Coklat

+

Coklat

+

4

3.

f. Pupil

1. Besar

2. Warna

3. Bentuk

4. RCL/RCTL

5. Posisi

6.

3 mm

Hitam

Bulat, regular

+/+

Ortoposisi

3 mm

Hitam

Bulat, regular

+/+

Ortoposisi

g. Visus 0,25 F 0,5 F

h. Gerakan Bola Mata Ke segala arah Ke segala arah

i. Lensa Jernih Jernih

IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan swab secret dari mata untuk mengetahui kuman penyebab.

V. Resume

Seorang laki-laki, Tn. D, 18 tahun datang ke poli mata RSMM Bogor dengan keluhan

mata kanan merah sejak 1 hari sebelum datang ke poli mata. Os mengaku pada ssat bangun

tidur mata kanannya agak sulit dibuka seperti menempel. Dan saat dilihat, trelihat mata

kanannya merah dan bengkak. Os mengaku selain itu mata kanannya terasa nyeri, perih,

berair dan banyak kotoran mata. Os mengaku kotoran matanya berwarna kekuningan, tidak

begitu banyak.

Selain itu os mengaku mata kanannya melihat agak buram atau kurang jelas sejak

keluhan ini muncul. Os menyangkal ada riwayat kemasukan benda asing pada matanya. Os

mengaku mengucek-ngucek matanya karena terasa ada yang mengganjal. Os mengaku tidak

ada rasa gatal pada matanya. Os menyangkal keluhan yang sama pada mata kiri.

Os juga menyangkal adanya riwayat kemasukan benda asing pada matanya serta ia

juga menyangkal memiliki riwayat kontak dengan orang yang memiliki keluhan yang sama.

Os mengaku 1 hari sebelumnya telah berobat ke klinik umum dan diberi obat untuk keluhan

matanya, namun os mengaku keluhannya tidak berkurang.

5

Pada status oftalmologis didapatkan : odeam palpebra OD, injeksi konjungtiva +

episkelra ODS, konjuntiva hiperemis ODS, secret (+) ODS, VOD : 0,25 F, VOS : 0,5 F.

VI. Diagnosa Kerja

ODS Konjungtivitis bakterial akut

VII. Penatalaksanaan

Medikamentosa :

ODS

Obat Tetes Mata :

1. Levofloxacin ed 4 x 1 tetes/hari

2. Posop ed 4 x 1 tetes/hari

Oral :

1. Prednison 5 mg 3 x 2 tab

2. Vitanorm 2 x 1

VIII. Prognosis

Ad Vitam : bonam

Ad Visam : bonam

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konjungtiva

2.1.1. Anatomi

Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan

anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior

kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat

ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi

konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan

melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan

memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010).

Gambar 3.1. Anatomi konjungtiva

2.1.2. Histologi

Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel

silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira, 2007). Sel-sel epitel superfisial

mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus yang diperlukan untuk

7

dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan

dapat mengandung pigmen Vaughan, 2010).

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu lapisan

fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan tidak berkembang

sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung

yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar pada mata (Vaughan, 2010).

2.1.3. Perdarahan dan Persarafan

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria palpebralis.

Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva

membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat banyak (Vaughan, 2010). Konjungtiva

juga menerima persarafan dari percabangan pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif

sedikit (Tortora, 2009).

2.2. Konjungtivitis

2.2.1. Definisi

Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah penyakit

mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak

mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit

ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan

banyak sekret purulen kental (Hurwitz, 2009).

Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat menyebabkan infeksi pada mata semakin

banyak, disebabkan oleh meningkatnya penggunaan oat-obatan topical dan agen imunosupresif

sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien dengan infeksi HIV dan pasien yang menjalani

transplantasi organ dan menjalani terapi imunosupresif (Therese, 2002).

2.2.2. Pembagian Konjungtivitis

2.2.2.1. Konjungtivitis Bakteri

8

A. Definisi

Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri. Pada

konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan

iritasi mata (James, 2005).

B. Etiologi dan actor Resiko

Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut

dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria

kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia

dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri

subakut adalah H influenza dan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi

pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis (Jatla,

2009).

Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata yang

sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada

orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi

(Marlin, 2009).

C. Patofisiologi

Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti streptococci,

staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun

pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada

flora normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar

ataupun melalui aliran darah (Rapuano, 2008).

Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu penyebab perubahan

flora normal pada jaringan mata, serta resistensi terhadap antibiotik (Visscher, 2009).

Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi konjungtiva

sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan

konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme

9

pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme

pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva (Amadi, 2009).

D. Gejala Klinis

Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai injeksi

konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada kongjungtivitis bakteri

biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering

dijumpai edema pada kelopak mata (AOA, 2010).

Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis bakteri

namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata, sedangkan

reaksi pupil masih normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat

pada pagi hari sewaktu bangun tidur. (James, 2005).

F. Diagnosis

Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin saja penyakit

berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang lebih tua. Pada pasien yang

aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit menular seksual dan riwayat penyakit pada

pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama

sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat

pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap

obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009).

G. Komplikasi

Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada pasien

yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva paling sering terjadi dan

dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal

ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis dan juga

komponen mukosa karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah

bentuk palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat

menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea (Vaughan, 2010).

10

H. Penatalaksanaan

Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen mikrobiologiknya.

Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum luas. Pada setiap konjungtivitis

purulen yang dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi

topical dan sistemik . Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus

dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).

2.2.2.2. Konjungtivitis Virus

A. Definisi

Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis

virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat hingga infeksi ringan

yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri

(Vaughan, 2010).

B. Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi adenovirus adalah virus

yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan herpes simplex virus yang paling

membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster,

picornavirus (enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus

(Scott, 2010).

Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita dan dapat

menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda yang menyebarkan virus

(fomites) dan berada di kolam renang yang terkontaminasi (Ilyas, 2008).

C. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap jenis

konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz, 2009). Mikroorganisme yang

dapat menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi.

11

D. Gejala Klinis

Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan etiologinya. Pada

keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus biasanya dijumpai demam dan

mata seperti kelilipan, mata berair berat dan kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu

dijumpai infiltrat subepitel kornea atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan

selama lebih dari 2 bulan (Vaughan & Asbury, 2010). Pada konjungtivitis ini biasanya pasien

juga mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi umum lainnya seperti

sakit kepala dan demam (Senaratne & Gilbert, 2005).

Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) yang

biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri, fotofobia

ringan dan sering disertai keratitis herpes.

Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan

coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, hipersekresi airmata,

kemerahan, edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat terjadi

kimosis (Scott, 2010).

E. Diagnosis

Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya, karena itu

diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan tipe-tipe menurut penyebabnya.

Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan gejala-gejala sistemik maupun ocular, keparahan

dan frekuensi gejala, faktor-faktor resiko dan keadaan lingkungan sekitar untuk menetapkan

diagnosis konjungtivitis virus (AOA, 2010). Pada anamnesis penting juga untuk ditanyakan

onset, dan juga apakah hanya sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007).

Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri berdasarkan

gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan

jarang dilakukan karena menghabiskan waktu dan biaya (Hurwitz, 2009).

Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti blefarokonjungtivitis.

Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau

parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).

12

Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang dewasa

umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun antivirus topikal atau

sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea (Scott, 2010). Pasien konjungtivitis

juga diberikan instruksi hygiene untuk meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).

2.2.2.3. Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan disebabkan

oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem imun (Cuvillo et al, 2009).

Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi di konjungtiva adalah reaksi

hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).

Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi

musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikelompokkan dalam satu

grup, keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa

(Vaughan, 2010).

Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan

subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-tumbuhan biasanya

disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta

timbul pada waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma,

eksema dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan riwayat

dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensa-kontak atau mata

buatan dari plastik (Asokan, 2007).

Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub-kategorinya. Pada

konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan keluhan utama adalah gatal,

kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan sering ditemukan kemosis berat. Pasien

dengan keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran mata

yang berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak papila halus di konjungtiva tarsalis

inferior.

Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia merupakan keluhan

yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik. Ditemukan jupa tepian palpebra yang

13

eritematosa dan konjungtiva tampak putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan

menurun, sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala yang mirip

konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).

Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta observasi pada

gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi. Gejala yang paling penting untuk

mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair,

kemerahan dan fotofobia (Weissman, 2010).

Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan infeksi

sekunder (Jatla, 2009).

Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal dan

kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka pendek untuk meredakan

gejala lainnya (Vaughan, 2010).

2.2.2.4. Konjungtivitis Jamur

Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan merupakan

infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak putih dan dapat timbul

pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem imun yang terganggu. Selain Candida sp,

penyakit ini juga dapat disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan

Coccidioides immitis walaupun jarang (Vaughan, 2010).

2.2.2.5. Konjungtivitis Parasit

Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia californiensis, Loa loa,

Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma haematobium, Taenia solium dan Pthirus

pubis walaupun jarang (Vaughan, 2010).

2.2.2.6. Konjungtivitis kimia atau iritatif

Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh pemajanan substansi

iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-substansi iritan yang masuk ke sakus

konjungtivalis dan dapat menyebabkan konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat

14

menimbulkan gejala-gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan

blefarospasme.

Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka panjang

seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan pengawet yang toksik atau

menimbulkan iritasi. Konjungtivitis ini dapat diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan

pemakaian tetesan ringan (Vaughan, 2010).

2.2.2.7. Konjungtivitis lain

Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit, konjungtivitis juga dapat

disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit autoimun seperti penyakit tiroid, gout dan

karsinoid. Terapi pada konjungtivitis yang disebabkan oleh penyakit sistemik tersebut diarahkan

pada pengendalian penyakit utama atau penyebabnya (Vaughan, 2010).

Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan dermatitis

herpetiformis ataupun masalah kulit lainnya pada daerah wajah. (AOA, 2008).

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan, Paul, Whitcher, John P. 2000. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta:

EGC. Hal: 401-402.

2. James, Bruce,Chris C., Anthony B..2005. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta : Erlangga.

Hal: 35.

3. Ilyas, S. 2001. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Penerbit FKUI. hal: 6-8.

4. Ilyas, Sidarta, 2005. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas

Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia.

5. Khurana A K. 2007. Chapter 3 Optics and Refraction,Comprehensive Ophtamology,

fourth edition. New Age international, New Delhi

16