konflik ktkm mk

29
KONFLIK-PEMIKIRAN DAN INTEGRASI- SINERJIK ULAMA MINANGKABAU 1903-1937 M Oleh H. Shofwan Karim I. PENDAHULUAN Islam masuk ke Minangkabau melalui beberapa periode 1 dan sejak abad ke-15 M. proses islamisasi itu tidak pernah lagi berhenti. Kontinuitas dan perubahan ( Continuity and Change) dalam transformasi dan corak islamisasi 1 Periode I abad ke 7 di masa pemerintahan Dinasti Umayyah Islam masuk di wilayah Minangkabau Timur. Perkembangan itu terhenti sampai abad ke-8 oleh "counter action" Dinasti T'ang dari Cina karena perebutan dominasi ekonomi. Periode II antara abad ke 10 sampai abad ke-12 ketika Dinasti Fatimiyah di Mesir (976-1168 M.) mengirim misinya dan menyebarkan Islam Syi'ah. Periode III pada abad ke-15 kembali Islam masuk dan pada pertengahan abad ke-16 Sultan Alif keluarga raja Minangkabau memeluk Islam beserta seluruh warga Minangkabau. Lihat M.D. Mansoer, Et. al., Sejarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara, 1970), h. 44, 45, 47, 48, 49, 63; lihat juga, HAMKA, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera , (Jakarta: UMMINDA, 1982) h. 3, 14-20. Juga B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat (Jakarta: Bhratara, 1973), h. 11-23. TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Upload: shofkahana

Post on 06-Jun-2015

920 views

Category:

Documents


39 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konflik KTKM MK

KONFLIK-PEMIKIRAN DAN INTEGRASI-SINERJIK ULAMA MINANGKABAU

1903-1937 MOleh H. Shofwan Karim

I. PENDAHULUAN

Islam masuk ke Minangkabau melalui beberapa periode1 dan sejak abad ke-15 M. proses islamisasi itu tidak pernah lagi berhenti. Kontinuitas dan perubahan ( Continuity and Change) dalam transformasi dan corak islamisasi masyarakat Minangkabau di awal abad ke-20, seperti awal abad sebelumnya, dikendalikan oleh kaum ulama. Secara relatif untuk hal-hal tertentu mereka tetap dipengaruhi intelektual Timur Tengah dalam meneruskan misinya. Di dalam perkembangan selanjutnya kaum ulama itu terpilah kepada dua faksi. Mereka yang tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang ada dan menjaga kemapanan dan mereka yang ingin mengubah apa yang sudah ada kepada suatu yang baru yang mereka yakini sebagai suatu yang benar.

Konflik antara kedua faksi itu tampaknya tak bisa dihindari. Oleh karena pada dasarnya kedua faksi itu adalah ulama dan di dalam struktur elit stategis kepemimpinan Minangkabau mereka adalah perpaduan "tigo tungku sajarangan dan tigo tali sapilin" (tiga tungku sejerangan dan tiga tali sepilin): ninik-mamak, alim-ulama dan cerdik-pandai, sebagai

1 Periode I abad ke 7 di masa pemerintahan Dinasti Umayyah Islam masuk di wilayah Minangkabau Timur. Perkembangan itu terhenti sampai abad ke-8 oleh "counter action" Dinasti T'ang dari Cina karena perebutan dominasi ekonomi. Periode II antara abad ke 10 sampai abad ke-12 ketika Dinasti Fatimiyah di Mesir (976-1168 M.) mengirim misinya dan menyebarkan Islam Syi'ah. Periode III pada abad ke-15 kembali Islam masuk dan pada pertengahan abad ke-16 Sultan Alif keluarga raja Minangkabau memeluk Islam beserta seluruh warga Minangkabau. Lihat M.D. Mansoer, Et. al., Sejarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara, 1970), h. 44, 45, 47, 48, 49, 63; lihat juga, HAMKA, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: UMMINDA, 1982) h. 3, 14-20. Juga B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat (Jakarta: Bhratara, 1973), h. 11-23.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 2: Konflik KTKM MK

representasi adat, Islam dan tokoh bebas,2 maka konflik itu menjadi sangat penting dalam rangka studi dan memamahi Islam di Minangkabau.

Studi ini menyangkut refleksi konflik-pemikiran dan integrasi-sinerjik antara kedua faksi dalam kalangan cendekiawan dan ulama yang disebut Kaum Tua dan Kaum Muda. Fenomena konflik kedua faksi itu dimulai sejak terjadinya perbedaan pendapat di dalam memahami persoalan thariqat (selanjutnya ditulis: tarikat) dan kemudian merebak ke berbagai masalah lainnya. Konflik itu bermula dari tahun 1903 M. sebagai yang akan dilihat dalam bahasan ini, dan berlanjut dua dekade berikutnya. Bukan saja dalam bidang agama dalam makna sempit, konflik itu bahkan menyeruduk ke lembaga sosial, pendidikan dan politik. Diperkirakan pada 1930 M., konflik itu tereliminasi dan untuk hal-hal tertentu, misalnya ketika mulai menyangkut kepentingan bersama di mana ancaman terhadap agama muncul ke permukaan, maka konflik itu berubah menjadi integrasi.

Konflik-pemikiran dapat diartikan sebagai pertentangan pemikiran yang bersifat langsung atau tidak, yang disadari antara individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang sama.3 Tujuan yang sama antara Kaum Tua dan Kaum Muda tentulah supaya Islam semakin diamalkan di Minangkabau. Sedangkan integrasi ialah penyatuan kelompok atau individu yang mungkin sebelumnya terpisah dengan menghilangkan perbedaan sosial dan budaya yang ada.4 Penyatuan persepsi, misi dan visi antara individu dan kelompok yang saling memperkokoh dan menguntungkan, dalam tulisan ini disebut integrasi-sinerjik. Artinya, perbedaan pemikiran dalam pemahaman agama antara Kaum Tua dan Kaum Muda dapat dikesampingkan ketika mereka bersatu menghadapi tantangan dari luar. Keadaan itu tampak dengan jelas dalam perjalanan masa 1930-1937 M.

Studi ini ingin menjawab pertanyaan mengapa terjadi konflik-pemikiran, apa substansi konflik dan dalam hal apa terjadinya integrasi-sinerjik di kalangan ulama Minangkabau dalam kurun waktu 1903-1937 M. Untuk menjawab pertanyaan itu maka analisis ini berusaha menjelaskan latar belakang munculnya Kaum Tua dan Kaum Muda, dinamika sosio-kultural dan substansi konflik. Kemudian integrasi-sinerjik yang

2 Lihat Herman Sihombing, "Hukum Adat Minangkabau Mengenai Tungku Tiga Sejerangan dan Tali Tiga Sepilin: Hukum Adat Minangkabau Dewasa ini dan di Kemudian Hari", dalam A.A. Navis, Ed., Dialektika Minangkabau: dalam Kemelut Sosial dan Politik (Padang: Genta Singgalang Press, 1983), h. 40-55. Lihat juga, Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 222-223

3 Lihat, Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 7

4 Ibid.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 3: Konflik KTKM MK

bagaimana yang muncul belakangan dan diakhiri dengan kesimpulan yang diharapkan dapat menambah khazanah ilmiah kajian Islam di Minangkabau sebagai bagian perkembangan modern dalam Islam di Indonesia pada pertigaan awal abad ke-20 ini.

II. KAUM TUA DAN KAUM MUDA

Istilah Kaum Tua dan Kaum Muda muncul antara tahun 1903-1907 M. Istilah itu bukan semata ungkapan kata biasa tetapi menjelma menjadi entitas dua firkah (golongan) yang merupakan abstraksi corak pemikiran keagamaan, sosial dan politik. Kaum Tua menjadi tesa dan Kaum Muda menjadi anti-tesa. Istilah Kaum Muda, awalnya berasal dari Datuk Sutan Maharaja. Maharaja seorang tokoh adat yang berasal dari Minangkabau Darat yang menetap di Padang (Minangkabau Rantau). Ia tidak senang dengan pengaruh Aceh atas masyarakat Pesisir Barat wilayah ini yang katanya sudah meninggalkan adat lama pusaka usang asli Minangkabau. Adat Aceh sudah mulai dipakai oleh Regen (sekarang baca: Bupati) bersama kaum bangsawan kota Padang.5

Sutan Maharaja melakukan gerakan kembali ke adat Minang dan menyebut orang yang setuju dengan gerakan itu sebagai Kaum Muda. Sedangkan Regen dan bangsawan di Padang ia sebut sebagai Kaum Tua. Istilah itu ia gunakan sebagai perumpamaan seolah-olah apa yang mereka lakukan sama dengan gerakan Kaum Muda di Turki yang pada masa itu sedang melakukan perlawanan keras terhadap kekuasaan Sultan Abdul Hamid penguasa kekhalifahan Turki Usmani.6. Bersamaan dengan suasana lingkungan sosial gejolak kaum adat di masa itu, muncul pula gerakan pembaruan di kalangan kaum agama.

Gerakan ini melakukan pembaruan yang ditekankan kepada pemurnian di bidang akidah dan ibadah serta untuk beberapa hal mu'amalah. Oleh karena itu mereka disebut pula sebagai golongan reformis. Mereka menolak berbagai macam kebiasaan beragama di masyarakat Minangkabau yang tidak sesuai dengan al-Qur'an, hadist dan sunnah Nabi. Mereka menolak bid'ah, khurafat, dan takhayul. Mereka menolak taqlid sembari memperbarui corak pemikiran, menghindari sifat jumud, beku dan statis dalam beragama. Mereka menginginkan agama difahami dengan rasio dan ilmu pengetahuan. Mereka melakukan berbagai upaya modernisasi termasuk di dalamnya bidang pendidikan, sosial dan politik. Oleh karena itu mereka juga disebut golongan modernis.7

5 Lihat, Taufik Abullah, Shools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933), selanjutnya disebut Taufik Abdullah, Schools...(Ithaca New York: Cornell University, 1971), h.12-13.

6 Ibid

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 4: Konflik KTKM MK

Oleh karena gerakan pembaruan ini tampak melawan kelompok mapan dalam beragama, maka gerakan ini mendapat simpati pada mulanya dari Kaum Muda adat tadi. Datuk Sutan Maharaja yang bersahabat dengan Abdullah Ahmad--seorang tokoh di antara kaum pembaru agama ini-- menyebut golongan agama yang pro-perubahan ini dengan sebutan Kaum Muda pula sebagaimana gerakan yang ia pimpin di kalangan aktivis adat.8

Belakangan, karena beberapa sikap Kaum Muda agama ini tidak sesuai dengan corak berfikir Kaum Muda adat, mengakibatkan golongan kedua ini beraliansi dengan lawan yang pertama yaitu Kaum Tua agama. Sejak itu istilah Kaum Muda luntur di kalangan adat karena mereka dalam hal beragama dan praktik keagamaan lebih cendrung mengadopsi corak keagamaan Kaum Tua agama. Istilah Kaum Muda selanjutnya hanya berlaku terhadap Kaum Muda agama yang di dalam gerakannya vis-a-vis Kaum Tua agama. Seterusnya apa yang disebut Kaum Tua dan Kaum Muda adalah dalam rangka yang terakhir ini.

Kaum Tua di dalam beragama berpegang kepada tradisi-tradisi sebagai sesuatu yang tak berubah dalam proses kelangsungan (continuity) dan pewarisan apa yang sudah ada. Oleh karena itu mereka disebut pula kaum tradisonalis sebagai lawan kaum modernis. Mereka bersikaf konservatif dan oleh lawan-lawannya disebut kaum kolot atau kaum kuno. Kaum Tua ini dalam corak pemikiran keagamaan mempunyai prinsip-prinsip:(1) dalam bidang akidah menyebut dirinya ahl sunnah wa al-jama'ah dengan corak kalam al-Asy'ariah; (2) dalam fikih menganut mazhab Syafi'i; (3) mereka mempertahankan aliran-aliran tarikat yang muktabarah (sah diamalkan menurut prinsip mereka); (4) tradisi, adat kebiasaan yang melekat dalam berbagai macam amalan keagamaan yang dianggap oleh Kaum Muda sebagai bid'ah tetap mereka pegang; (5) pintu ijtihad bagi mereka sudah tertutup karena kehadiran mujtahid-mutlak sudah berakhir pada abad ke-3 H. Oleh karena itu yang berlaku di kalangan umat Islam adalah ittiba' dan taqlid.9

Berbeda dengan Kaum Tua, terhadap kelima prinsip itu Kaum Muda berpendapat : (1) mereka mengaku berakidah menurut ahl sunnah wa al-jama'ah tetapi tidak terang-terangan menganut kalam al-Asy'ariah dan menempatkan peranan akal lebih dominan sesudah al-Qur'an dan Hadist; (2) tidak mengikatkan diri hanya kepada satu mazhab fikih. Mazhab-

7Lihat, Murni Djamal, DR. H.Abdul Karim Amrullah His Influence in the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century , (Montreal: McGill University, 1975),h.1-5.

8Lihat, M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau 1907-1969, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, Disertasi doktor, 1988),h.131

9 Ibid., h. 133-141

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 5: Konflik KTKM MK

mazhab lain sepanjang bersandarkan kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah dianggap mempunyai nilai kebenaran yang sama; (3) menganggap tarikat yang berkembang di Minangkabau waktu itu adalah ghairu mu'tabarah, karena itu mereka menentang tarikat-tarikat tersebut; (4) tradisi keagamaan yang tak berdasarkan al-Qur'an dan Hadist yang kuat ditolak dan dianggap bid'ah dhalalah; (5) pintu ijtihad senantiasa terbuka untuk ulama-ulama yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas atau kompetensi tinggi.10.

Perbedaan prinsip antara Kaum Tua dan Kaum Muda di atas ternyata berkembang di Minangkabau secara akumulatif (turun-naik) antara dekade pertama dan ketiga abad ini sebagai konflik pemikiran keagamaan. Analisis berikut memaparkan latar belakang sosio-kultural, proses terjadi, substansi dan berkembangnya konflik tersebut yang terfokus kepada aktivitas tokoh-tokoh Kaum Tua dan Kaum Muda serta interaksi kedua pihak.

III. DINAMIKA SOSIO-KULTURAL DAN SUBSTANSI KONFLIK

Minangkabau di peralihan abad 19-20 termasuk wilayah yang sudah maju di bidang pendidikan di bandingkan wilayah lain di Indonesia selain beberapa kota besar di Jawa. Mobilitas geografis dan sosialpun di kalangan masyarakat ranah ini ke luar daerah cukup tinggi. Hubungan ke Timur Tengah yang memang sudah berjalan lancar sejak lama, pada peralihan abad ini dimanfaatkan oleh orang Minangkabau bukan saja untuk menunaikan ibadah haji, tetapi sekaligus menambah cakrawala dan wawasan dengan menetap di Mekah beberapa lama dalam rangka menuntut ilmu agama.11

Di antara orang-orang Minangkabau yang pergi haji ke Mekah dan bermukim di sana beberapa lama menimba ilmu pengetahuan agama termasuk tokoh-tokoh Kaum Tua dan Kaum Muda. Mereka yang dari Kaum Tua adalah : (1) Syekh H. Abbas Qadhi (1863-1949 M.) dari desa Ladang Laweh, Bukitinggi. Ia belajar agama di kampungnya kemudian berangkat ke Mekah serta belajar di sana sampai sekitar 1910 M.; (2) Syekh H. Sulaiman al-Rasuli (1871-1970 M.), anak seorang ulama di Candung, Agam, belajar agama di berbagai tempat di Minangkabau kemudian belajar di Mekah (1903-1907 M.); (3) Syekh H. Khatib Muhammad Ali (1861-1936 M.), lahir di Solok putra ulama di situ, setelah belajar agama di berbagai tempat, ia belajar di Mekah (1882-1889 M.). 12

10 Ibid.,h.13511 Taufik Abdullah, Schools...Op.Cit., h.2312 Lihat Edwar, Ed.,Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera

Barat, (Padang: Islamic Center Sumbar, 1981), H. 55, 107, 123.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 6: Konflik KTKM MK

Seperti Kaum Tua, tokoh dari kalangan Kaum Muda juga mempunyai latar belakang pendidikan dan sosial yang tidak jauh berbeda, mereka adalah : (1)Syekh H. Muhammad Jamil Jambek (1862-1947 M.), anak seorang bangsawan adat di Bukittinggi yang naik haji dan bermukim di Mekah (1896-1903 M.); (2) Syekh DR. H. Abdul Karim Amrullah (1879-1945 M.), putra seorang ulama di Maninjau, Agam, setelah belajar agama di kampungnya berangkat naik haji dan bermukim memperdalam ilmu di Mekah (1894-1906 M.); (3) Syekh DR. H. Abdullah Ahmad (1878-1933 M.), putra seorang pedagang di Padang Panjang, setelah belajar agama di tempat kelahirannya ia berangkat naik haji ke Mekah dan memperdalam ilmu di sana (1895-1899 M.).13

Di Mekah, semua pemimpin Kaum Muda termasuk Syekh Sulaiman al-Rasuli dan Syekh Jamil Jaho dari Kaum Tua sempat belajar ilmu agama kepada seorang tokoh Minangkabau yang sudah lebih dulu bermukim di kota suci ini. Tokoh itu adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (lh.1855 M.) yang mulai menetap di Mekah 1876 M., kemudian mengajar di Masjid al-Haram. Ahmad Khatib adalah ulama terkemuka mazhab Syafi'i. Sampai akhir hayatnya (1916 M.), ia termasuk ulama populer yang banyak didatangi oleh murid-murid bukan saja dari Minangkabau tetapi juga jawa dan lain-lain.14

Selain mengajar Ahmad Khatib juga menulis kitab dan risalah dalam bahasa Arab dan Melayu. Dalam bahasa Arab : (1) Al-Nafahat (Usul Fikih), (2) Istbat al-Zain, (3) Shulh al-Jama'atain (mengenai salat jum'at),(4) al-Da'il Masmu' (hukum pembagian pusaka), (5) Raf'u al-Iltibas, (6) Iqna'u al-Nufus (hukum zakat uang kertas), (7) Irsyad al-Hayat (penolak tuduhan kaum Kristen dan pembuktian kebenaran Islam), (8) Tanbih al-Awam (mengenai organisasi Syarikat Islam). Kemudian dalam bahasa Melayu: (1) al-Manhaj al-Masyru'(hukum pembagian pusaka), (2) al-Khuththat al-Mardliyah (hukum melafazkan niat), (3) Riyadl al-Wardiyah(hukum Fikih), (4) Risalah Membantah Martabat Tujuh, (5) Izhar Zaghli al-Kazibin(fatwa tentang tarikat Naksyabandi, (6) al-Ayat al-Baiyinat

13 Ibid.,h.21, 67, 77. Gelar Doktor Honoris Causa diperoleh Abdul Karim Amrullah dan Abdullah Ahmad dari Kongres Khilafat di Mesir 1926 M. Ketua Kongres itu adalah Syekh Husain Wali, Guru Besar Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Lihat HAMKA, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: Umminda, 1982),h.160.

14 Ibid.,h.15. Tentang tahun lahir, ke Mekah, belajar dan mulai mengajar di kota suci ini oleh Akhria Nazwar mengutip HAMKA dikatakan Ahmad Khatib Lahir 26 Mei 1860 M., ke Mekah diajak ayahnya 1871 M., belajar dan tamat 1876. Nazwar menyebut masa belajar Ahmad Khatib 9 tahun. Jadi mestinya tamat 1880 M. Tahun wafat Ahmad Khatib oleh Nazwar, 1916 M. sama dengan Edwar. Lihat Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib: Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, (Jakarta: Panjimas, 1983), h.11-15.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 7: Konflik KTKM MK

(penolak atas bantahan kitab Izhar ..., (7) al-Saif al-Battar (masalah tarikat Naksyabandi).15

Walaupun Ahmad Khatib ulama mazhab Syafi'i tetapi ia tidak melarang murid-muridnya membaca dan mempelajari tulisan dari penerbit yang berasal dari luar Mekah seperti Mesir dan lainnya. Mereka bebas memahami tulisan Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha atau tokoh lain. Meskipun maksudnya supaya murid-muridnya itu dapat menolak pendapat dan pemikiran tokoh-tokoh tersebut yang termuat di dalam majalah al-Urwat al-Wustqa, tafsir al-Manar dan lain-lain. Namun ia tentu menyadari peringatan Imam Syafi'i bila terdapat di dalam fatwanya yang berlawanan dengan Qur'an, hadist dan sunnah Nabi, maka fatwanya itu harus ditolak.16

Sikap demikian ternyata merupakan salah satu faktor yang membuat murid-muridnya setelah kembali ke Minangkabau melakukan perbandingan pemikiran. Akibat dari perbandingan pemikiran itu, di antara mantan murid-murid Ahmad Khatib itu melakukan gerakan pembaruan yang pada dasarnya dapat dikatakan menjadi salah satu di antara latar belakang lahirnya gerakan Kaum Muda di Minangkabau. Sebagai buah dari kemerdekaan berfikir dalam studi Islam yang dikembangkan Ahmad Khatib mengakibatkan alumnus lingkaran studinya di Masjid al-Haram meneruskan kiprah intelektual dan mengkaji kembali praktik amalan agama di Minangkabau. Dalam kaitan itulah, salah satu di antaranya menjadi dasar munculnya konflik pertama antara Kaum Muda dan Kaum Tua. Pangkal konflik adalah fatwa Ahmad Khatib tentang Tarikat Naksyabandiyah ketika menjawab surat H. Abdullah Ahmad tahun 1324 H/1903 M. yang dikirim kepadanya berbunyi:17

Tarikat Naksyabandiyah Khalidiyah adakah baginya asal pada syara' atau tiada?. Dan adakah salasilahnya sampai kepada Rasulullah swa. atau tiada? Dan adakah bagi meninggalkan makan daging asal pada syara' atau tiada? Dan adakah suluk 40 hari dan 20 hari dan 10 hari baginya asal daripada syara' atau tiada? Dan rabithah adakah asalnya pada syari'at atau tiada? Hendaklah dijawab soal itu dengan maujud pada syara'. Jika maujud padanya hendaklah dinyatakan dalilnya kepada kami. Dan jika tiada maujud padanya maka hendaklah

15 Lihat, Al-'Alamah Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif Imam,Khatib dan Guru Besar di Mesjidil Haram, disalin oleh A. Mm. Arief, Fatwa tentang : Tharikat Naqasyabandiyah, (Medan: Islamiyah, 1978), h.3. Selanjutnya ditulis Lathif, Fatwa...

16 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:LP3ES, 1980),h.39-40.

17 HAMKA, Ayahku..., Op.Cit., h.290.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 8: Konflik KTKM MK

nyatakan pula pada kami. Karena telah hasil di negeri kami persalahan besar pada masalah ini.

Pertanyaan itu dijawab oleh Ahmad Khatib18di dalam kitabnya Izharu Zaghli al-Kazibin fi Tasyabbuhihim bi al-Shadiqin (menyatakan kelancungan pendusta-pendusta yang menyamar sebagai orang-orang yang benar). Di situ Ahmad Khatib menjelaskan bahwa tarikat Naksyabandi yang berkembang pada masa itu tidak mempraktikkan akidah, syari'at dan tasawuf yang sesuai dengan ajaran Rasulullah.19 Ia membatalkan segala amalan tarikat yang telah ditanyakan oleh Abdullah tadi dengan alasan al-Qur'an dan Hadist, termasuk yang berkenaan dengan wasilah, rabithah, wirid-wirid, dan kaifiat yang dipakai di dalamnya.20. Fatwa ini diperkuat pula oleh fatwa-fatwa Mufti dan Ulama Mekah Mazhab Syafi'i dan Maliki lainnya.21

Fatwa Ahmad Khatib itu mendapat kecaman pedas dari Kaum Tua. Bantahan terhadap fatwa itu sebagai mewakili pandangan Kaum Tua datang dari Syekh Sa'ad Mungka. Syekh Mungka mempertahankan tarikat Naksyabandi dan menulis sebuah kitab sebagai bantahan atas kitab Ahmad Khatib tadi yang dinamakannya Irghami al-Unufi al-Muta'annitin. Menolak bantahan itu Ahmad Khatib pada 1325 H/1904 M. kembali menulis kitab al-Ayat al-Bayinat li al-Munsifina fi Izalati Khurafati Ba'd al-Muta'al-Sibina (penerangan yang jelas bagi orang-orang yang insaf untuk menghilangkan khurafat sebagian di antara mereka yang fanatik).22 Pada gilirannya perdebatan-perdebatan itu berkepanjangan dengan mengeluarkan kitab-kitab yang saling menyerang dan melibatkan pula tokoh-tokoh lainnya dari kalangan Kaum Tua yang ikut bersama Syekh Mungka menyerang Ahmad Khatib. Misalnya sepucuk surat dari Syekh Abdullah bin Abdullah al-Kahlidi dari Tanah Datar yang tetap mempertahankan tarikat Naksyabandi dan menyalahkan Ahmad Khatib. Untuk yang terakhir ini Khatib menulis lagi satu risalah Al-Saif al-Battar.23

18 Lihat, Lathif, Fatwa... Op.Cit.,h.4.19 Ibid., h. 14, 37-47.20 Ibid., h.47-134. Lihat juga HAMKA, Op.Cit.,, h.291. Yang dimaksud dengan

wasilah dan rabithah di sini ialah beribadat kepada Tuhan serta memohon kepada Tuhan dengan terlebih dulu membayangkan guru, pemimpin atau mursyid tarikat sebagai perantara. Wirid-wirid di sini ialah bacaan-bacaan yang dianggap berpahala dan dirutinkan. Kaifiat ialah cara-cara yang lazim dilaksanakan dalam beribadah menurut tuntunan yang telah ditentukan, dalam hal ini menurut versi tarikat Naksyabandi

21 Ibid.,h.138-141.22 Lihat, Lathif, Op.Cit., h.4.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 9: Konflik KTKM MK

Sebaliknya Kaum Muda sepenuhnya berpihak kepada pendapat-pendapat Ahmad khatib yang menolak keabsahan berbagai amalan tarikat di atas. Abdullah Ahmad tampaknya menjadi poros-tengah dalam mensosialisasikan pendapat-pendapat Ahmad Khatib dalam menyuarakan gerakan anti tarikat itu ke sesama Kaum Muda. Di antara Kaum Muda lain yang aktif menolak tarikat dan mempertahankan pendapat Ahmad Khatib adalah Syekh H. Abdul Karim Amrullah dengan menulis kitab berjudul, Qath'iu Riqabi al-Mulhidina (pemancung leher orang-orang yang terpesona).

Konflik pemikiran keagamaan berkembang pula dari masalah tarikat kepada masalah-masalah lain yang pada mulanya bersifat khilafiah. Antara lain mengucapkan ushalli sebagai lafaz niat salat, menghadiahkan do'a, berdiri membaca riwayat Nabi ketika merayakan Maulid, membakar kemenyan sebelum berdo'a dalam acara syukuran atau selamatan dan lain-lain.24 Pertikaian itu kemudian berkembang menjadi kubu-kubu perjuangan yang bisa disebut sebagai konflik institusional. Kaum Muda karena selalu berfikir ke depan selalu berorientasi kepada "kemajuan". Kemajuan adalah kosa kata yang amat populer pada dekade-dekade awal abad ke-20 M. Kata ini mengandung pengertian cara-cara hidup yang meniru bangsa modern di zaman itu, melalui adaptasi terhadap kehidupan Barat, antara lain orang-orang Belanda dan apa yang menjadi gambaran dalam surat kabar yang terbit waktu itu. Bagi Kaum Muda kata kemajuan diseleksi. Cara hidup Barat yang tak sesuai Islam ditolak. Mereka lebih menekankan kepada gaya hidup dan cara berfikir yang progresif dan modern.25 Untuk menyesuaikan arah baru dalam berfikir dan corak kehidupan, berkaitan dengan agama, maka Kaum Muda berpendapat pintu ijtihad selalu terbuka dan senantiasa mengembangkan akal fikiran. Mereka mempergunakan institusi moderen dalam memperjuangkan dan menegakkan faham mereka.

Kaum Muda membangun organisasi sebagai wadah pergerakan, juga yayasan-yayasan, menggunakan media massa pers, mendirikan sekolah-sekolah moderen dan meninggalkan sistem tradisional. Sistem belajar halaqah (siswa duduk di lantai melingkari guru) berubah menjadi baru dengan sistem kelas. Kaum Muda giat melakukan tabligh dan da'wah secara terbuka. Tabligh terbuka ini menjadikan gerakan Kaum Muda lebih dinamis, progresif, bersifat massal dan semarak. Hal ini tentu bertolak belakang dengan Kaum Tua yang senantiasa menjalankan sistem pengajian

23 Tokoh lain yang ikut dari Kaum Tua ialah Syekh Khatib Ali di Padang. Lihat, HAMKA, Ibid.

24 Lihat M. Sanusi Latief, Op.Cit., h.135 dan HAMKA, Op.Cit.,h.292.25 Kata "kemajuan" mula-mula diterbitkan oleh Insoelinde dalam jurnal untuk

para guru dan pegawai pemerintah yang pribumi di seantero tanah air. Lihat Taufik Abdullah, Schools... Op.Cit.,h.11.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 10: Konflik KTKM MK

tertutup dan untuk murid-murid tertentu seperti yang lazim berlaku di kalangan pengikut tarikat.

Secara institusional, Syarikat Oesaha (1909 M) dapat dianggap organisasi pertama Kaum Muda yang berhasil mendirikan Sekolah Adabiah. Organisasi ini kemudian menjadi yayasan yang dipimpin oleh Abdullah Ahmad. Dari aktivitas organisasi itu pula diterbitkan majalah al-Munir di Padang pada 1911-1916 M. Berikutnya, organisasi Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) didirikan 1918 M., juga oleh Abdullah Ahmad dan teman-temannya sesama Kaum Muda. PGAI mendapat pengakuan hukum pada 1922 M. Organisasi ini mendirikan sekolah Normal Islam pada 1930 M. Sekolah agama merupakan ciri khusus yang dilaksanakan PGAI, sedangkan Adabiah bersifat pendidikan umum.26

Sebelum pindah ke Padang Panjang, di negeri kelahirannya Maninjau, tokoh Kaum Muda Syekh Amrullah sudah membina organisasi Sendi Aman Tiang Selamat. Di Padang Panjang Kaum Muda yang semula melakukan aktivitas pengajian di Surau Jembatan Besi mendirikan Madrasah Sumatera Tawalib pada 1918 M. Begitu pula di Parabek, Bukittinggi dan Padang Japang, Payakumbuh antara 1920-1930 M. berdiri pula sekolah atau madrasah agama yang sekaligus menerbitkan media pers27 sebagai sarana komunikasi-informasi interen dan eksteren. Gebyar penerbitan pers di kalangan Kaum Muda marak pada 1910-1930 M. Selain Al-Munir dan Al-Munir al-Manar antara 1911-1922 M. di Padang dan Padang Panjang ada lagi Al-Ittiqan di Maninjau, Al-Bayan di Parabek, Al-Basyir, di Sungayang, Batu Sangkar, dan Al-Imam di Padang Japang, Payakumbuh.

Institusi Kaum Muda diperkuat lagi dengan lahirnya Muhammadiyah yang semula di Maninjau kemudian berbasis di Padang Panjang (1925 M).28 Melalui institusi organisasi, sekolah atau madrasah dan lembaga pers itu ide-ide pembaruan Kaum Muda menjalar dan menggema ke berbagai tempat dan wilayah, bukan saja di Minangkabau bahkan juga keluar daerah. Bila aktivitas pers, sekolah dan madrasah di Padang dan Padang Panjang dimotori oleh Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah,

26 Lihat, Deliar Noer, Op.Cit.,h.46-48.27 Lihat, HAMKA, Op.Cit.,h.101.28 Muhammadiyah lahir di Minangkabau berdasarkan inspirasi Abdul Karim

Amrullah setelah melawat ke Jawa 1917 dan 1925. Beliau mengikuti perkembangan Muhammadiyah (yang lahir 1912 di Yogyakarta didirikan oleh KH Ahmad Dahlan). Organisasi ini di dalam gerakan dan pemikirannya sama dengan Kaum Muda. Dengan begitu tempat aktivis Kaum Muda bergerak menjadi banyak antara lain SI Putih, PGAI, Adabiyah, Sumatera Thawalib dan kemudian ketika Diniyah putri (1923) dan Diniyah Putra berdiri pula di Padang Panjang, sekolah ini juga termasuk beraliran Kaum Muda. Lihat juga HAMKA, Op.Cit., h.115-118, 148-150. Untuk Diniyah Putri dan Putra, lihat Edwar, ED., Op.Cit.,h. 209-218.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 11: Konflik KTKM MK

maka tabligh-tabligh terbuka sangat menonjol dilakukan oleh Syekh Jamil Jambek yang menyebarkan kegiatannya dari Bukittinggi sebagai pusat. Reaksi Kaum Tua terhadap gerakan bersifat individual, institusional dan kolektif Kaum Muda itu tampak cukup hangat. Kaum Tua tak ketinggalan melakukan upaya-upaya individual, kolektif dan institusional pula dalam menyuarakan dan mensosialisasikan faham mereka serta mempertahankan tradisi-tradisi yang mereka anut. Oleh karena itu, meskipun pemikiran Kaum Tua dapat dikategorikan tradisonal namun dalam metode perjuangan, seakan mengikuti perkembangan zaman mereka juga menggunakan sistem, metoda, sarana, prasarana dan cara-cara modern.

Kalau Kaum Muda berbasis di organisasi dan sekolah, Kaum Tua yang sudah berbasis di Madrasah mulai pula memperkuat barisan bersama. Begitu pula kalau Kaum Muda mempunyai terbitan-terbitan pers, Kaum Tua juga melakukan hal-hal yang sama. Berdirinya organisasi Persatuan Ulama (Ittihad al-Ulama) pada 1922-1928 M. oleh Kaum Tua dapat dainggap sebagai sandingan atau bahkan saingan atas berdirinya PGAI oleh Kaum Muda pada 1918. Selanjutnya untuk menyuarakan faham Kaum Tua ke tengah masyarakat diterbitkan pula Suluh Melayu oleh Syaikh Khatib Ali di Padang pada 1913 M. dan al-Mizan di Maninjau, Agam pada 1921 M.29 Berikutnya sebagai lembaga pembina kader Kaum Tua mendirikan pula madrasah-madrasah bernama Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Madrasah-madrasah ini banyak yang berasal dari surau-surau Kaum Tua yang berganti memakai bangku dan ruangan kelas. Pada tahun 1928 M. madrasah-madrasah tersebut berhimpun dalam organisasi Persatuan Madrasah tarbiyah Islamiyah. Kemudian dari sifat persatuan madrasah itu, Kaum Tua mempermanenkannya menjadi himpunan gerakan semua orang yang sefaham dengan Kaum Tua dari berbagai aspek pendidikan, faham keagamaan, kecendrungan politik, membina kemajuan sosial yang mereka sebut sebagai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) pada 20 Mei 1930 M.30 Sejalan dengan itu semua untuk menandingi kegiatan tabligh terbuka yang banyak dilakukan Kaum Muda, Kaum Tua juga aktif mengunjungi berbagai daerah yang menonjol dilakukan oleh Syaikh Khatib Ali dari Padang dan Syaikh Sulaiman al-Rasuli di Candung, Agam.31

Konflik Kaum Muda dan Kaum Tua tadi adakalanya tampak keras dan dilakukan dengan lantang, terutama bila membicarakan masalah tarikat yang terlihat dari judul-judul buku yang mereka sajikan.32 Tokoh Kaum Muda Syaikh Abdul Karim Amrullah serta tokoh Kaum Tua Syaikh Khatib

29 Lihat HAMKA,Op.Cit.,h.292.30 Lihat Edwar, Ed.,Op.Cit.,h.80.31 Ibid., h. 3732 Lihat HAMKA, Loc.Cit.,h.291.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 12: Konflik KTKM MK

Ali dan Syaikh Saad Mungka dapat dikategorikan kepada mereka yang bergaris keras. Sebaliknya ada yang bersifat diplomatis dan kelihatan lunak seperti yang dilakukan oleh Syaikh Abdullah Ahmad dalam artikel-artikelnya dan Jamil Jambek dalam tablighnya, di kalangan Kaum Muda. Sementara yang lunak ini di kalangan Kaum Tua adalah Syaikh Sulaiman al-Rasuli serta Syaikh Abbas Qadhi dari Padang Laweh di dalam artikel-artikel dan tabligh mereka.

Sikap keras dan lunak, baik di kalangan Kaum Muda maupun Kaum Tua tidak selalu konstan (tetap). Pada saat tertentu yang lunak bisa keras atau sebaliknya. Kemudian adanya forum-forum bersama yang membuat mereka tidak mungkin menghindar bahkan saling bekerjasama, maka antara Kaum Muda dan Kaum Tua dalam tenggat waktu 1907-1937 M., juga terjadi pola hubungan integrasi yang bersifat sinerjik. Di dalam hal apa saja proses integrasi itu terjadi, berikut ini akan ditelusuri dan dianalisis.

IV. INTEGRASI-SINERJIK YANG DINAMIS

Sebagai orang yang sesama beriman dan beragama Islam, apalagi tokoh-tokoh Kaum Tua dan Kaum Muda pada umumnya adalah ulama terkemuka di bidangnya,33 pemimpin masyarakat, pemimpin lembaga pendidikan, pemimpin organisasi dan media pekabaran (pers), maka konflik-konflik yang terjadi antara kedua golongan tadi bukanlah suatu permusuhan abadi. Ketegangan itu pun tidak bersifat individual, apalagi menyangkut harga diri (muru'ah) dan martabat perseorangan tetapi dalam gagasan dan pemikiran serta pemahaman atas berbagai masalah keagamaan, sosial kemasyarakatan dan politik. Di saat pergesekan mereda, yang terlihat di antara mereka adalah hubungan yang bersifat integratif-sinerjik, penyatuan dengan saling memperkokoh eksistensi dan hal ini berlaku secara alamiah. Hubungan itu kelihatan adakalanya merenggang dan kadang-kadang merapat.

Ketika Syarikat Islam (SI) masuk ke Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau yang gandrung kepada "kemajuan" melihat organisasi yang pada dasarnya memperhatikan rakyat dalam bidang ekonomi yang kemudian berkembang ke politik, telah menjadi tempat bernaung beberapa

33 Menurut pembicaraan dari mulut ke mulut dalam pertemuan dengan penulis dengan beberapaulama yang ada di Sumbar beberapa tahun lalu, Syekh DR. H. Abdul Karim Amrullah dianggap sangat dalam ilmunya di bidang usul fikih, fikih, dan ilmu kalam (tauhid). Syekh H. Ibrahim Musa Parabek adalah ahli Tata Bahasa Arab. Syekh H. Jamil Jambek di samping ahli pidato adalah ahli Ilmu Falak dan ahli Ilmu Hisab. Syekh DR. H. Abdullah Ahmad adalah ahli jurnalisitik dan ia pernah menjabat Ketua Wartawan Padang pada 1914. Begitu pula di kalangan Kaum Tua, Syekh H. Sulaiman al-Rasuli ahli fikih dan tarikat, begitu pula Syekh Khatib Ali adalah ahli fikih dan tarikat. Pada umumnya ulama Kaum Tua adalah penganut tarikat.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 13: Konflik KTKM MK

tokoh kedua golongan itu, baik Kaum Tua mupun Kaum Muda. SI sendiri di beberapa tempat di luar Minangkabau banyak dipimpin oleh tokoh perantau Minang. Untuk tingkat pusat yang menonjol adalah H. Agus Salim dan Abdul Mu'is.34

Atas saran tokoh-tokoh perantau Minang35 di sini berdiri cabang SI. Pendirinya adalah ulama-pedagang, Haji Ahmad dan tokoh Kaum Tua Syaikh Khatib Ali. Pengikut SI di masa-masa awal ini kebanyakan petani dan pedagang yang juga simpatisan Kaum Tua. Lantaran perjuangan SI waktu itu antara lain mengeritik pelaksanaan administrasi pemerintahan Belanda di pantai barat Sumatera di dalam Kongres SI di Bandung 1916 M., maka simpati golongan intelektual Minangkabau muncul. Mereka yang terakhir ini masuk pula ke dalam SI. Ternyata kaum intelektual ini mayoritas adalah Kaum Muda yang segera mendominasi kepengurusuan daerah SI, kebanyakan di antara mereka adalah guru-guru dan pegawai pemerintah yang simpati kepada perjuangan kebangsaan dan Islam.36 Kaum Muda seakan mendapat motivasi lebih tinggi lagi untuk berkiprah dalam SI karena Syekh Ahmad Khatib menyokong ummat Islam Indonesia menggerakkan SI dalam kitabnya Tanbih al-'Awam. Kitab ini dapat dianggap jawaban atas tulisan seorang ulama dari Jawa Syekh Hasyim Asy'ari yang menentang berdirinya SI dalam tulisan "Kafful 'Awami 'anil Khaudi fi Syirkat al-An'am fi al-raddi 'ala Risalat Kaffi al-'Awam." Ahmad Khatib sangat "anti Belanda".37

Integrasi-sinerjik Kaum Tua dan Kaum Muda di dalam SI tak berjalan lama. Karena kekurang-mampuan memimpin dan keuangan dari para pendiri SI di Minangkabau yang ternyata adalah mayoritas Kaum Tua, maka Kaum Muda yang semakin dominan, berinisiatif mendirikan sendiri cabang SI di wilayah ini. Krisis internal selanjutnya sudah tidak terhindarkan lagi. SI di daerah ini pecah menjadi dua. Pertama, SI yang dipimpin H. Abdullah Ahmad dan Abdullah Basa Bandaro yang juga aktivis organisasi Syarekat Usaha yang merupakan kampiun Kaum Muda dan menggunakan identitas Kartu Putih. Kedua, SI yang tetap di bawah

34 Lihat Taufik Abdullah, Schools...Op.Cit.,h.24. Lihat pula Seratus Tahun Haji Agus Salim, (Jakarta: Panitia Buku 100 Tahun Haji Agus Salim, Sinar Harapan, 1984),h.57-63.

35 Dalam tenggat waktu 1916-1927 M., Moeis dan Salim sangat menonjol di dalam kepemimpinan SI. Abdul Moeis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, 1878 M.) pernah menjadi Wakil Presiden Centraal Sarekat Islam dan H. Agus Salim ( lahir di Koto Gadang, Bukittinggi 1884 M.) sebagai pemimpin deretan atas SI. Lihat Deliar Noer, Op.Cit.,h. 122-123. Perkiraan kedua tokoh ini memberi pengaruh atas berdirinya SI di Padang.

36 Lihat Taufik Abdullah, Schools...Op.Cit.,h.25.37 Lathif, Op.Cit.,h.3. Lihat, Edwar, Op.Cit., h.19, dan lihat juga Deliar Noer,

Op.Cit.,h. 38.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 14: Konflik KTKM MK

kepemimpinan Haji Ahmad dan Syaikh Khatib Ali yang menggunakan identitas Kartu Merah SI. Di dalam kebijaksanaan organisasi kedua faksi ini juga berbeda. Yang pertama lebih dapat bekerjasama dengan pemerintah Belanda bahkan menerima subsidi untuk sekolah HIS-Adabiah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda. Yang kedua tidak disenangi oleh Resident, petinggi Belanda dan stafnya di Padang. Belakangan, yang diakui oleh Central SI adalah kelompok SI kedua atau SI Kartu Merah. Kemudian disusul pengakuan sebagai cabang lepas (kusus) untuk yang pertama (SI Kartu Putih), karena cabang ini mulai melakukan oposisi moderat terhadap pemerintah.38

Sikap oposisi terhadap pemerintah ini dalam bentuk lain juga mengakibatkan tergalangnya kesamaan visi dan misi yang menyebabkan merajut kembali emosi integrasi yang belakangan agak terganggu antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Meskipun integrasi itu kelihatan semu, tetapi hasilnya cukup konkret. Misalnya ketika perkumpulan-perkumpulan agama dan ulama-ulama Minangkabau yang dipelopori Kaum Tua dan Kaum Muda melakukan penolakan peraturan pemerintah yang disebut Guru Ordonansi, 1928 M.39 Dikatakan integrasi semu ialah karena sebelum penolakan secara resmi di hadapan sekitar 2000 orang tokoh masyarakat dan ulama tanpa perbedaan aliran dan golongan pada 18 Agustus 1928, beberapa tokoh Kaum Muda di antaranya Abdullah Ahmad, dan Kaum Tua Syaikh Khatib Ali, Syaikh Sulaiman Al-Rasuli terlebih dulu sudah dipengaruhi DR. de Vires utusan pemerintah pusat Batavia untuk menerima peraturan itu.40

Akan tetapi karena DR. Abdul Karim Amrullah yang berhaluan keras dapat menggalang solidaritas hadirin dalam pertemuan akbar itu penuh retorika dan imbauan yang memikat mengakibatkan peraturan Guru Ordonansi itu ditolak. Penolakan inilah yang merupakan hasil konkret. Penolakan itu dilakukan secara massal, di situ bergabung Kaum Tua dan Kaum Muda. Keadaan serupa selanjutnya terjadi ketika pemerintah Belanda hendak menerapkan pula peraturan Ordonansi Sekolah Liar pada 1932 M. Kembali ulama Kaum Tua dan Kaum Muda menolaknya dengan ketua panitia DR. Syekh H. Abdul Karim Amrullah. Pada 1937 M. pemerintah hendak menerapkan lagi peraturan Nikah Bercatat. Kali ini yang tampil menjadi ketua panitia penolakan ialah dari Kaum Tua , yaitu Syekh H. Sulaiman Al-Rasuli.41

Secara internal perbedaan pendapat untuk beberapa hal pun semakin berkurang dan ada persoalan yang disepakati antara lain pembagian harta

38 Ibid., h. 2939 Lihat HAMKA, Op.Cit.,h.166.40 Ibid.,h.176-171.41 Lihat juga HAMKA, Ibid.,h.172-174.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 15: Konflik KTKM MK

warisan yang diatur menurut adat dan menurut syariat. Walaupun guru yang amat disegani di Mekah Syekh Ahmad Khatib mengatakan harta pusaka Minangkabau itu Syubuhat, tetapi Kaum Tua dan Kaum Muda dalam hal ini tampak melakukan kompromi. Hal itu tercemin pada pendapat Abdul Karim Amrullah seperti dikatakan HAMKA:42

Tetapi ayah saya DR. Syekh Abdul Karim Amrullah berfatwa bahwa Harta pusaka tinggi adalah sebagai wakaf juga, atau sebagai harta Mussabalah yang pernah dilakukan Umar bin Khatab pada hartanya sendiri di Khaibar, yang boleh diambil isinya tetapi tidak boleh di-Tasharruf-kan tanahnya. Beliau mengemukakan Qaidah Ushul yang terkenal, yaitu"Al'Adatu Muhak Kamatun, wal 'Urfu Qa-Dhin". Melihat jalan fikiran ulama di Minangkabau sendiri, harta itu dibagi dua: pertama harta pusaka tinggi. Kedua, harta pencaharian. Harta pusaka tinggi tidak boleh diganggu-gugat, tetapi dalam keadaannya semula : Dijual tidak dimakan beli, digadai tidak dimakan sando. Tetapi harta pencaharian, hendaklah di- Faraidh-kan menurut Agama.

Secara perorangan integrasi antar tokoh Kaum Tua dan Kaum Muda juga kelihatan dengan nyata. Meskipun ada perbedaan prinsip dalam masalah agama, namun demi untuk memajukan umat Islam di ranah ini ditambah pula oleh pengalaman yang menunjukkan bahwa pemerintah Belanda semakin memperluas intervensinya dalam berbagai lapangan kehidupan, maka kedua golongan itu semakin akrab. Hubungan silaturrahmi dan ukhuwah Islamiah antara pribadi tokoh Kaum Muda dan Kaum Tua pada 1930-an dapat diketahui oleh masyarakat dalam berbagai kegiatan agama dan kemasyaraktan. Abdul Karim Amrullah, Ibrahim Musa Parabek dan Sulaiman al-Rasuli seakan mewakili sosok integrasi-sinerjik pribadi-pribadi Kaum Muda dan Kaum Tua, etika mereka pada 1930-an, pergi bersama-sama turun ke desa-desa menyampaikan dakwah dan tabligh. Ketiganya berjanji akan sama-sama membawa umat ini kepada satu tujuan, yaitu persatuan.43

Di balik itu semua, secara diam-diam untuk hal-hal yang krusial seperti masalah tarikat dan pelaksanaan salat dengan lafaz niat ushalli dan lain-lain mereka tetap berpegang dengan pendirian masing-masing. Untuk yang terakhir ini, sekan-akan terjadilah suatu "kesepakatan untuk tidak sepakat" (agreement to disagree).

V. KESIMPULAN

42 Lihat HAMKA, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h.103.

43 Lihat HAMKA, Ayahku... Ibid.,h.293

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 16: Konflik KTKM MK

Konflik-pemikiran dan integrasi-sinerjik Kaum Tua dan Kaum Muda di Minangkabau pada 1903-1937 M. tampaknya merupakan friksi dan rekonsiliasi intern ulama. Kaum ulama sebagai komponen kepemimpinan masyarakat Minangkabau pada kurun ini sangat intensif melakukan pengkajian, pendalaman ajaran dan praktik agama serta terlibat penuh dalam berbagai aspek dan dinamika kehidupan fisik-jasmani dan mental-ruhani di wilayah ini. Hal itu didorong oleh faktor dalam (intern), dinamika masyarakat serta tingkat pendidikan yang semakin maju dan faktor luar (ekstern), pengaruh interaksi dengan mancanegara, antara lain ketika beberapa tokoh kedua golongan tersebut pulang setelah belajar di Timur Tengah.

Kedua kelompok merupakan partisipan aktif "anak zaman"-nya antara mereka yang mapan dan ingin melanjutkan tradisi (continuity) dan mereka yang ingin berubah ke arah kebaikan (ishlah) atau positive-change sebagai reformis. Kelompok mapan tampaknya berbasis di lapisan bawah yang agak merata di pedesaan terutama berlatar belakang tarikat dan lingkaran pengajian tradisional. Sementara kelompok reformis, lebih berbasis kelas menengah perkotaan, pedagang dan cendekiawan. Pada mulanya mereka dari kalangan tradisional juga namun cepat menyambut perubahan zaman dalam berbagai lapangan. Keduanya baik yang mapan maupun yang pro-perubahan, masing-masing mengelompok dalam institusi sosial, pendidikan, pers bahkan politik.

Bila ditilik dari sumber konflik, persoalan tarikat merupakan faktor dominan pada awalnya (1903M.). Kemudian hal itu berkembang ke masalah khilafiah (fikih), lalu ke pemikiran keagamaan, pro-kontra terbuka dan tertutupnya pintu ijtihad serta penggunaan akal. Di dalam dinamika konflik itu seakan Kaum Muda merupakan anti tesa pendobrak kemapanan Kaum Tua yang menjadi tesa. Dari tesa dan anti-tesa itu lahirlah sintesa yang secara relatif dapat dianggap sebagai integrasi-sinerjik dinamis, penjelmaan pandangan dunia (world-view) yang baru bagi kedua pihak. Walaupun dalam sektor tertentu, integrasi ini tidak mengubah hal-hal mendasar, namun ada manfaatnya. Antara lain masyarakat Minangkabau semakin terbuka dan semakin dapat menggunakan sarana, prasarana serta institusi moderen dalam kehidupan beragama, sosial, pendidikan, pers bahkan politik.

Integrasi sosial dan pemikiran yang muncul belakangan, boleh jadi akibat kearifan kedua pihak, plus tantangan dari luar yang mereka anggap musuh bersama. Mereka bersatu menolak Ordonansi Guru, Ordonansi Sekolah Liar, dan nikah bercatat (1937M.). Secara internal mereka juga menemukan solusi soal pewarisan harta pusaka tinggi menurut adat dan harta hasil pencaharian (pusaka rendah) menurut agama.

Selebihnya integrasi itu dapat diartikan sebagai sikap memahami pendapat masing-masing tanpa mengubah prinsip pihaknya sendiri. Pada

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 17: Konflik KTKM MK

dekade-dekade berikutnya hal itu menjadi modal dasar bagi kedua kelompok khususnya dan masyarakat Minangkabau pada umumnya dalam menyelesaikan dan menghadapi masalah-masalah agama yang kian menyatu dengan seluruh aspek kehidupan. Tugas menghadapi masa depan tak pernah putus dalam dua garis yang saling berinteraksi antara kemapanan dan perubahan. Semua itu menjadi refleksi dinamika kaum agama di Minangkabau menurut zamannya. Bagaimana paradigma ulama dan umat selanjutnya dalam kontinuitas dan perubahan Islam di Minangkabau, tentu meminta pembahasan tersendiri. ***

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, Taufik, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933),Ithaca Nework, Cornell University, 1971.

------- Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1987.

Djamal, Murni, DR. H. Abdul Karim Amrullah His Influence in the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century, Montreal, McGill University, 1975.

Edwar, Ed., Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang, Islamic Center, 1981.

HAMKA, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta, UMMINDA, 1982.

------- ,Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1984.

Lathif, Al-'Alamah Syekh Ahmad Khatib bin Abdul, A. Mm. Arief (Penyalin), Fatwa tentang : Tharikat Naqasyabandiyah, Medan, Islamiyah, 1978.

Latief, M. Sanusi, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau 1907-1969, (Disertasi Doktor) Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1988.

Mansoer, M.D., Et. al., Sejarah Minangkabau, Jakarta, Bhratara,

1970.

Navis, A.A., Dialektika Minangkabau: dalam Kemelut Sosial dan Politik, Padang, Genta Singgalang Press, 1983.

Nazwar, Akhria, Syekh Ahmad Khatib: Ilmuwan Islam di Permulaan

Abad ini,Jakarta, Panjimas, 1983

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980.

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 18: Konflik KTKM MK

Saifuddin, Achmad Fedyani, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam, Jakarta, Rajawali, 1986.

Salim, Panitia Buku 100 Tahun Haji Agus, Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta, Sinar Harapan, 1984.

Schrieke, B.J.O., Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Jakarta, Bhratara, 1973.

BIO DATA RINGKAS PENULIS

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999

Page 19: Konflik KTKM MK

SHOFWAN KARIM, Penata Muda Tk. I (III/b) Asisten Ahli Perkembangan Modern Dalam Islam, Lulusan Pascasarjana/S2, IAIN Jakarta,1991 dan sedang menyelesaikan Pascasarjana/S3 IAIN Jakarta. Tulisannya nomor ini, Konflik-Pemikiran dan Integrasi-Sinerjik Ulama Minangkabau 1903-1937

TAJDID No. 6, Vol. 2, Th. 1999