konflik hukum dalam tradisi sifon suku atoni pah …eprints.ums.ac.id/50171/23/nashub upload.pdf ·...
TRANSCRIPT
KONFLIK HUKUM DALAM TRADISI SIFON SUKU ATONI PAH METO
DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
(Studi tentang Konflik dan Resolusi Konflik dalam Sistem Hukum Indonesia)
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Guna Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Hukum
Oleh
Nur Azizah Hidayat
NIM : R 100070042
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
i
ii
iii
1
KONFLIK HUKUM DALAM TRADISI SIFON SUKU ATONI PAH METO
DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR
(Studi tentang Konflik dan Resolusi Konflik dalam Sistem Hukum Indonesia)
ABSTRAK
Tradisi Sifon adalah tradisi khitanan untuk lelaki yang berusia lebih dari 17 tahun
dan pernah melakukan hubungan seksual. Keunikan ritual khitanan Suku Atoni Pah Meto
di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini, terletak pada proses penyembuhan luka akibat
pengkhitanan, yaitu dengan cara melakukan hubungan seksual dengan perempuan bukan
istri atau anggota keluarga dekat, atau perempuan yang tidak akan dinikahi oleh lelaki
pelaku ritual Sifon. Tradisi Sifon berpotensi menimbulkan konfilk, baik diantara
perempuan dan masyarakat adat Suku Atoni Pah Meto, maupun terhadap Hukum Negara.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui posisi Tradisi Sifon dalam Sistem Hukum
Positif Indonesia, menganalisa konflik dan bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang
disebabkan oleh Tradisi Sifon, dengan mempermasalahkan posisi Tradisi Sifon dalam
Sistem Hukum Positif Indonesia; potensi konflik serta bentuk-bentuk penyelesaian konflik
yang disebabkan oleh Tradisi Sifon, ditinjau dari perspektif Feminisme dan Positivisme.
Penelitian ini adalah penelitian Hukum Feminis dalam perspektif sosiolegal, dengan
menggunakan metode hukum doktrinal dan metode hukum non doktrinal. Hasil penelitian
membuktikan bahwa Tradisi Sifon adalah Hukum Adat Suku Atoni Pah Meto, yang
melegitimasi penindasan struktural terhadap perempuan Suku Atoni Pah Meto. Tradisi
Sifon juga melanggar Hukum Negara, yang berkaitan dengan delik-delik kesusilaan,
perzinaan, perdagangan perempuan, serta hak asasi manusia. Salah satu penyelesaian
konflik tersebut adalah dengan menggunakan Hukum Responsif.
Kata kunci : Sifon, konflik hukum, Hukum Responsif.
ABSTRACT
Sifon’s Tradition is the tradition of circumcision to men over the age of 17 years
old and they had sexual intercourse. The uniqueness of ritual circumcision of Atoni Pah
Meto’s tribe in East Nusa Tenggara province is on the healing process of wounds from
circumcision, that is by having sexual relations with a woman who not his wife or a close
family member, or a woman who will not be married to a man who have Sifon’s ritual. The
Sifon’s Tradition have a potential conflict, either between women , indigenous peoples of
Atoni Pah Meto, nor the State Law. This research aimed to know the position of the
Sifon’s Tradition in the Legal System of Indonesian Positive Law, analized conflict and
other forms of conflict resolution caused by Sifon’s Tradition, with disputed positions of
Sifon’s Tradition in the Legal System of Indonesian Positive Law; potential conflicts and
forms of conflict resolution caused by Sifon’s Tradition, viewed from the perspective of
Feminism and Positivism. This research is a Feminist Law in socio-legal perspective,
using legal methods doctrinal and non-doctrinal legal methods. The research proves that
Sifon’s Tradition is the Tribal Law of Atoni Pah Meto, which legitimized the structural
oppression women of Atoni Pah Meto’s tribe. Sifon’s Tradition also violated the State
Law, which deals with offenses morality, adultery, trafficking of women, and human
rights. One resolution of the conflict is by using of Responsive Law.
Keywords: Sifon, conflict of laws, Positivism, Feminism, Responsive Law.
2
1. PENDAHULUAN
Penelitian tentang penyelesaian konflik hukum dalam Tradisi Sifon pada
Masyarakat Suku Atoni Pah Meto di Pulau Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur,
penting untuk dilakukan berdasarkan beberapa alasan. Pertama, perubahan Hukum
Adat yang terjadi sebagai hasil interaksi dengan sistem hukum lain, masih tetap
melanggengkan subordinasi terhadap perempuan di segala aspek kehidupan. Kedua,
dalam Sistem Hukum Indonesia saat ini, Hukum Negara masih merupakan satu-satunya
instrumen penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Meskipun Pasal II Atutran
Peralihan UUD 1945 mengakui eksistensi Hukum Adat, tetapi tidak secara otomatis
Hukum Adat dapat berlaku seperti Hukum Negara. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (3)
sub b Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara
untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-
Pengadilan Sipil, menegaskan bahwa kedudukan KUHP lebih superior dari Hukum
Pidana Adat. Ketiga, prinsip netralitas dan obyektifitas hukum yang diagungkan oleh
Paradigma Positivisme hanya bisa diterapkan pada struktur masyarakat yang homogen.
Konfigurasi pemikiran Paradigma Positivisme yang menjadi dasar keberadaan Hukum
Modern, sangat bertolak belakang dengan keberadaan negara-negara yang mempunyai
kemajemukan budaya dan hukum. Keempat, harus ada pembaharusn hukum yang bisa
menanpung dan menjamin kemajemukan identitas, budaya, dan pandangan hidup,
sehingga terjadi kemajuan kehidupan perempuan khususnya, dan masyarakat pada
umumnya.
Berdasarkan keempat alasan yang telah dikemukakan di atas, maka pokok-
pokok masalah dalam penulisan ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Tradisi Sifon dalam Sistem Hukum Positif Indonesia, ditinjau dari
perspektif Hukum Adat dan Hukum Negara?
2. Bagaimanakah konflik yang disebabkan oleh Tradisi Sifon, ditinjau dari perspektif
Feminisme dan Sistem Hukum Positif Indonesia?
3. Bagaimanakah bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang disebabkan oleh Tradisi
Sifon, ditinjau dari perspektif Feminisme dan Positivisme, agar Tradisi Sifon tetap
bisa dilaksanakan oleh Suku Atoni Pah Meto?
Penelitian tentang Tradisi Sifon, dominasi tentang Hukum Negara dalam
penyelesaian semua masalah yang berkaitan dengan Hukum Adat (budaya), serta kritik
terhadap Hukum Negara dengan menggunakan Teori Hukum Kritis, pernah dilakukan
sebelumnya. Beberapa peneliti yang meneliti tentang Tradisi Sifon, diantaranya adalah
3
penelitian yang dilakukan oleh Primus Lake (Primus : 1999) dan Federika Tadu Hungu
(Hungu : 2005). Penelitian tentang dominasi Hukum Negara dalam penyelesaian semua
masalah yang berkaitan dengan Hukum Adat (budaya) juga sudah banyak dilakukan
oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah Bernard L. Tanya (Tanya, dkk. : 2006),
Ahmadi Hasan (Hasan : 2007), Jawahir Thontowi (Thontowi : 2007), dan Mahrus Ali
(Ali : 2009). Adapun yang mengkritisi Hukum Negara, diantaranya adalah Niken
Savitri (Savitri : 2008).
Berdasarkan hasil penelusuran penelitian sebelumnya, maka penulis
berpendapat bahwa penelitian ini adalah penelitian yang original dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis, karena :
1. Perbedaan sudut pandang keilmuan. Primus Lake meneliti Tradisi Sifon
berdasarkan sudut pandang Antropologi Kesehatan, sedangkan penelitian ini
menggunakan sudut pandang Ilmu Hukum.
2. Perbedaan paradigma, jenis dan metode penelitian. Penelitian ini adalah pebelitian
Hukum Feminis dengan menggunakan Paradigma Sosiologi Terpadu, yang
melingkupi Paradigma Kritis dengan segala konsekuensi metodologisnya.
Penelitian terdahulu menggunakan paradigma, jenis penelitian dan metode
penelitian yang berbeda-beda. Federika Tadu Hangu, meskipun juga meneliti posisi
perempuan Suku Atoni Pah Meto dalam masyarakat Suku Atoni Pah Meto, namun
Federika Tadu Hangu menggunakan analisis jender. Ahmadi Hasan dan Jawahir
Thontowi menggunakan aliran hukum Sociological Jurisprudence tentang
berfungsinya hukum dalam masyarakat, sedangkan Jawahir Thontowi
menggunakan sudut pandang Antropologi Hukum. Mahrus Ali menggunakan
Paradigma Konstruktivisme dengan metode Hermeneutics dan Dialectics dalam
mencapai kebenaran berdasarkan nilai-nilai masyarakat Madura, meskipun
penelitian ini memiliki persamaan tentang tradisi yang menurut Hukum Negara
dianggap sebagai suatu kejahatan. Niken Savitri menggunakan Paradigma Kritis
dengan memadukan metode intrepretasi Hermeneutik serta Dekonstruksi, dengan
metode Fiminis dalam mengkritisi KUHP.
4. Perbedaan nilai-nilai budaya yang diteliti. Penelitian ini mempunyai persamaan
dengan subyek penelitian Lake Primus dan Fedrika Tadu Hangu, yaitu meneliti
nilai-nilai budaya masyarakat Suku Atoni Pah Meto dengan sudut pandang yang
berbeda, dan mempunyai perbedaan kajian nilai-nilai budaya dengan peneliti yang
telah dipaparkan di atas.
4
Analisis penelitian ini beranjak dari Paradigma Definisi Sosial, dengan
tingkatan realitas sosial mikro-subjektif, namun karena kompleksnya permasalahan
dalam penelitian ini (mencakup dimensi mikro dan makro), maka diperlukan anailsa
yang komprehensif dengan bersandar pada Paradigma Sosiologi Terpadu.
Sebagai konsekuensi dari penelitian Hukum Feminis dalam perspektif
sosiolegal, maka teori yang digunakan adalah teori hukum dan teori sosiologis feminis,
yang berinduk pada sosiologi aliran utama, yaitu :
a. Teori-teori yang dikemukakan oleh Logemann, Theodorson, Hollemann, dan Ter
Haar tentang Sitem Hukum Adat, digunakan untuk menganalisa keberadaan Tradisi
Sifon dalam Sistem Hukum Positif Indonesia.
b. Teori yang berkaitan dengan isu relasi kekuasaan antara perempuan dan para pihak
yang terkait dengan keberadaan perempuan sebagai obyek Sifon, yaitu Teori
Sosiologi tentang jender, yang fokus pada Teori Interseksionalitas yang
dikemukakan oleh Patricia Hill Collins, sebagai bagian dari Teori-teori Penindasan
Struktural.
c. Teori tentang konflik Hukum Positif, yang akan digunakan untuk menganalisa
eksistensi Hukum Adat Suku Atoni Pah Meto dan Hukum Negara dalam Sistem
Hukum Positif Indonesia, adalah :
1) Teori Hukum Alam yang dikemukakan oleh Francois Geny, tentang Hukum
Alam yang bersifat statis dan dinamis, serta metode penafsiran hukum.
2) Teori Positivisme yang dikemukaan oleh Hans Kelsen. Salah satu gagasan
Hans Kelsen adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang
membentuk piramida hukum, atau yang lebih dikenal dengan Teori
Berjenjang (Stuffenbau Theory).
3) Teori Konflik yang dikemukan oleh Karl Marx
d. Teori tentang hukum dan perubahan sosial, yaitu Teori Law as Social Engineering,
Teori Hukum Responsif, dan Teori Hukum Progresif. Teori-teori tersebut
digunakan untuk merumuskan suatu politik hukum sebagai solusi konflik hukum
antara Hukum Adat Suku Atoni Pah Meto dengan Hukum Negara.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Tradisi Sifon dalam perspektif
Hukum Positif Indonesia, mengungkap konflik dan menemukan bentuk-bentuk
penyelesaian konflik yang disebabkan oleh Tradisi Sifon.
2. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi dan Subyek Penelitian
5
Penelitian ini berlokasi di tiga daerah penyebaran Suku Atoni Pah Meto
terbesar di Propinsi NTT, yaitu, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS), dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).
Penelitian ini adalah penelitian Hukum Feminis dalam perspektif sosiolegal,
yaitu suatu studi tentang perempuan yang mempersoalkan wacana tentang rule of law
yang terkait dengan beberapa paradigma pembangunan hukum dan akses keadilan
(accsess to justice) serta pemberdayaan hukum (legal empowerment).
Penelitian ini menggunakan metode hukum doktrinal, sebagai implementasi
studi dokumen dalam perspektif sosiolegal, dan metode hukum non doktrinal, sebagai
implementasi studi lapangan dalam perspektif sosiolegal.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui informan yang dipilih secara purposive,
dengan kriteria : menguasai dan memahami fokus permasalahan melalui proses
enkulturasi; sedang terlibat dalam kegiatan yang tengah diteliti; mempunyai
kesempatan dan waktu yang memadai untuk dimintai informasi. Berdasarkan kriteria
tersebut, maka informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, pertama,
perempuan : 1). yang suaminya disunat; 2). yang belum menikah; 3). media sifon,
yang dibagi atas 3 kelompok, yaitu : a). perempuan yang ditunjuk oleh Ahelet (dukun
yang menyunat); b).perempuan yang berprofesi sebagai PSK; c). perempuan yang
dipilih sendiri oleh lelaki yang dikhitan. Kedua, lelaki : 1). yang telah disunat; 2).
yang belum disunat. Ketiga, Ahelet. Keempat, pimpinan formal dan non formal desa.
Kelima, pimpinan instansi terkait.
Informan dipilih dengan cara snowball, yaitu terlebih dahulu meminta kepada
orang kunci pada masing-masing daerah untuk melakukan pendekatan kepada
Informan. Selanjutnya Peneliti mendapatkan informasi langsung dari orang kunci
tentang subyek-subyek yang dapat diwawancarai.
Data sekunder diperoleh dari hasil penentuan peraturan perundang-undangan
dan buku-buku hukum yang relevan dengan penelitian.
2.2 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tiga metode, yaitu : (1). metode interview
dengan teknik wawancara yang mendalam kepada informan; (2) metode observasi,
dengan teknik pengamatan dan pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang
tampak sebagai suatu gejala dalam objek penelitian; (3). metode dokumenter dengan
6
instrumen berupa form dokumentasi untuk saling memberi verifikasi, koreksi, serta
saling memerinci dan melengkapi.
Tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : (1).
melakukan interview secara intensif dan observasi tidak terstruktur, kepada informan;
(2). mencari, mengiventarisasi dan mempelajari dokumen tertulis yang terkait dengan
obyek penelitian, dengan metode dokumenter.
2.3 Analisa Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode analisa induktif dan
bersifat kualitatif. Keabsahan dan keakuratan data diperiksa dengan menggunakan
teknik triangulasi data dan pemeriksaan sejawat melalui diskusi analitik.
3. HASIL DAN PEMBHAHASAN
3.1 Paparan Data dan Temuan Penelitian
Tradisi Sifon adalah tradisi khitanan untuk lelaki dewasa, yang sudah berusia 17
tahun lebih dan pernah melakukan hubungan seksual, atau lelaki yang sudah beristri
dan mempunyai anak. Tradisi Sifon, yang dilaksanakan setiap awal musim penghujan
dan kemarau ini, bertujuan untuk membersihkan diri dari berbagai macam penyakit,
serta membersihkan diri dari noda dosa dan pengaruh bala setan. Tradisi Sifon juga
dimaksudkan untuk menambah kejantanan dan keperkasaan seorang lelaki dewasa.
Keunikan ritual khitanan yang dilakukan oleh Suku Atoni Pah Meto, terletak
pada proses penyembuhan luka akibat pengkhitanan. Luka akibat khitan itu harus
disembuhkan dengan cara melakukan hubungan seksual dengan perempuan tertentu
(selanjutnya disebut sebagai perempuan media Sifon), yang bukan istri atau anggota
keluarga dekat, atau perempuan yang tidak akan dinikahi oleh lelaki pelaku ritual Sifon.
Perempuan yang menjadi media Sifon, haruslah perempuan yang sudah terbiasa
melakukan hubungan seksual dan pernah melahirkan. Pada umumnya, perempuan
media Sifon adalah janda, istri orang lain, atau perempuan yang biasa diminta menerima
ajakan hubungan seksual oleh lelaki yang melakukan Sifon. Perempuan-perempuan
media Sifon tersebut ada yang disediakan oleh Ahelet, sebagai bagian dari tanggung
jawabnya melakukan ritual Sifon dan ada yang dicari sendiri oleh lelaki pelaku ritual
Sifon. Setelah melakukan Sifon, perempuan media Sifon diberi imbalan berupa uang
sebesar kurang lebih Rp. 250.000,- (Duat Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) atau binatang
ternak, berupa ayam.
Ada tiga tahapan penyembuhan luka khitan dalam Tradisi Sifon, yang harus
dilakukan oleh lelaki pelaku ritual Sifon, sebagaimana dipaparkan dalam tabel berikut :
7
No.
Jenis
Hubungan
Seksual
Kondisi
Luka
Khitan
Status
Hubungan
Seksual
Tujuan
Hubungan
Seksual
Kriteria
Perempuan
Media
Praktek
Hubungan
Seksual
Keterangan
1
Sifon ;
Sufun ;
Polen
Maputu
Luka khitan
belum
sembuh
(sekeliling
luka khitan
baru mulai
mengering)
Wajib
Membuang panas
tubuh,
mengembalikan
fungsi organ
seksual,
meningkatkan
status sosial.
Perempuan
yang sudah
pernah
melahirkan.
Berakibat
fatal, jika tidak
dilaksanakan.
2 Saeb Aof ;
Oe'kane .
Luka khitan
baru
sembuh.
Tidak
wajib,
bersifat
anjuran
Membersihkan
penis dari selaput
kasar bekas luka,
memulihkan
kebugaran dan
memperkuat
penis
Perempuan
berusia lebih
muda dan
sudah
pernah
melakukan
hubungan
seksual.
Tidak
berdampak
fatal jika tidak
dilakukan,
tetapi ada
beberapa
Ahelet yang
mewajibkan
3
Haekit ;
Taknino ;
Waekane ;
Haukena ;
Hainikit
Luka khitan
sudah
sembuh
Tidak
wajib,
bersifat
anjuran
Membersihkan
selaput kasar
pada penis bekas
luka khitan
Perempuan
berusia lebih
muda dan
sudah
pernah
melakukan
hubungan
seksual.
Tidak
berdampak
fatal jika tidak
dilakukan,
tetapi ada
beberapa
Ahelet yang
mewajibkan
Persepsi perempuan Suku Atoni Pah Meto terhadap Tradisi Sifon dibangun
berdasarkan pengalaman hidupnya sebagai bagian integral dari masyarakat Suku Atoni
Pah Meto, serta pengaruh dari sistem nilai budaya masyarakat Suku Atoni Pah Meto.
Meskipun perempuan Suku Atoni Pah Meto mempunyai akses untuk mendapatkan
pengetahuan tentang Tradisi Sifon, namun ternyata pengetahuan perempuan Suku Atoni
Pah Meto tentang Tradisi Sifon sangat terbatas. Perempuan Suku Atoni Pah Meto hanya
mampu menjelaskan tujuan dan manfaat sifon saja, tetapi tidak mampu menjelaskan
tentang proses pengkhitanan dan Sifon secara teknis.
Perempuan Suku Atoni Pah Meto mempunyai sikap yang positif terhadap
Tradisi Sifon. Mereka memberikan dukungan moril dan materiil kepada para suami atau
lelaki yang akan melaksanakan Tradisi Sifon. Dukungan moril yang diberikan oleh
perempuan Suku Atoni Pah Meto kepada suaminya berbentuk doa-doa agar prosesi
Sifon yang dilaksanakan oleh suaminya berjalan lancar. Adapun bentuk dukungan
materiilnya adalah turut serta mencarikan uang untuk membiayai pelaksanaan Tradisi
Sifon.
8
Meskipun sebagian besar perempuan Suku Atoni Pah Meto menyetujui adanya
Tradisi Sifon, ada sebagian kecil perempuan Suku Atoni Pah Meto yang tidak setuju
dengan Tradisi Sifon. Ketidaksetujuan perempuan Suku Atoni Pah Meto terhadap
Tradisi Sifon didasarkan atas pengetahuan dan kesadaran mereka terhadap dampak
negatif yang ditimbulkan oleh pelaksanaan Tradisi Sifon. Para istri atau perempuan
yang menolak pelaksanaan Tradisi Sifon didasarkan pada tiga hal. Pertama,
menganggap bahwa Tradisi Sifon justru berdampak negatif terhadap kesehatan lelaki
yang melaksanakan Tradisi Sifon dan dirinya sendiri, yaitu berisiko terhadap penularan
penyakit kelamin. Kedua, disebabkan oleh kecemburuan para istri, yang tidak bisa
menerima pengakuan bahwa suaminya telah dan akan melaksanakan hubungan seksual
dengan perempuan lain. Ketiga, biaya Tradisi Sifon sangat mahal, sedangkan ada
kebutuhan lain yang harus dipenuhi, seperti biaya pendidikan anak.
Sikap penolakan para istri terhadap pelaksanaan Tradisi Sifon ini tentu saja
menimbulkan tekanan dari masyarakat sekitarnya. Tekanan itu berupa cemoohan
bahkan sampai pada pembedaan perlakuan pada acara-acara adat yang lain. Terhadap
tekanan-tekanan tersebut, para perempuan yang menolak Tradisi Sifon berusaha
bersikap bertahan dengan menjelaskan apa yang mereka ketahui tentang Sifon dan
mempertanyakan kembali tentang hal-hal yang diyakini masyarakat tentang Sifon.
Perempuan yang menolak Sifon dapat membuktikan bahwa mereka juga sehat dan
bahagia, meskipun suami mereka tidak melaksanakan Tradisi Sifon.
Hingga penelitian ini dilakukan, lembaga adat Suku Atoni Pah Meto masih
menyatakan bahwa Sifon adalah suatu kewajiban bagi lelaki dewasa karena berkaitan
dengan martabat lelaki dihadapan istri maupun masyarakat Suku Atoni Pah Meto. Jika
lelaki dewasa tidak melalukan Sifon, maka lelaki yang bersangkutan dan keluarganya
akan menerima sanksi adat, berupa pengucilan lelaki dan keluarganya dengan tidak
melibatkannya dalam kegiatan-kegiatan adat. Pernyataan tersebut dinyatakan oleh
semua ketua adat dan dukun sunat, yang menjadi responden dalam penelitian ini.
Pada saat penelitian ini dilakukan, belum ada satu pun kebijakan desa tentang
praktek Sifon, yang dibuat oleh desa di wilayah penelitian, sebagai salah satu lembaga
pemerintahan. Meskipun sudah ada beberapa pelatihan yang diberikan oleh beberapa
lembaga kepada Ahelet tentang praktek sunat yang sehat, tetapi belum ada dukungan
formal dari pemerintah desa. Belum adanya dukungan formal dari pemerintah desa
tentang praktek sunat yang sehat ini, disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena aparat
desa belum menganggap bahwa Sifon sebagai suatu masalah. Jika ada masalah yang
9
ditimbulkan oleh praktek Tradisi Sifon, biasanya diselesaikan oleh aparat desa dengan
cara mendenda pelaku (lelaki) dan memberikan denda itu kepada korban (perempuan),
atau menikahkan pelaku dengan korban. Mendenda pelaku dan memberikan denda
kepada korban adalah cara yang paling sering dipilih oleh aparat desa dalam
menyelesaikan masalah perkosaan dan kehamilan di luar pernikahan. Kedua, sebagian
besar aparat desa adalah penduduk asli Suku Atoni Pah Meto, yang juga merangkap
sebagai tokoh adat. Peran ganda tersebut menyulitkan aparat desa untuk mengubah
paradigma tentang praktek sunat tradisonal menjadi praktek sunat modern.
Berbeda dengan lembaga adat dan lembaga pemerintahan desa, semua lembaga
agama berpendapat bahwa Sifon adalah salah satu bentuk perbuatan zina, karena
hubungan seksual dengan beberapa perempuan dilakukan di luar pernikahan. Hingga
penelitian ini dilakukan, lembaga-lembaga agama belum mampu menghilangkan
Tradisi Sifon, sehingga praktek Sifon masih berkembang di desa-desa. Bahkan beberapa
responden, yang juga aktifis lembaga keagamaan juga masih bersikap permisif terhadap
praktek Sifon.
Pada umumnya, masyarakat Suku Atoni Pah Meto bersikap merendahkan
perempuan media Sifon. Dalam masyarakat Suku Atoni Pah Meto, perempuan media
Sifon dipandang sebagai perempuan jalanan, perempuan sembarangan atau perempuan
tidak bermoral, karena sering ditemukan di jalanan atau di pasar-pasar, dan bisa diajak
lelaki untuk melakukan hubungan seksual.
Ada tiga alasan mendasar yang mendorong seorang lelaki Suku Atoni Pah Meto
untuk melakukan penyunatan yang disertai dengan ritual Sifon. Ketiga alasan mendasar
tersebut adalah alasan kesehatan keluarga (suami, istri dan anak), alasan kepuasan
hubungan seksual dan tuntutan pasangan, serta alasan untuk menghindari sanksi
masyarakat adat ( menghindari rasa malu karena sindiran masyarakat adat).
Berdasarkan ketiga alasan tersebut, generasi muda Suku Atoni Pah Meto masih tetap
berpegang teguh pada Tradisi Sifon. Sikap tersebut semakin meneguhkan pelestarian
Tradisi Sifon di Propinsi NTT.
Hal menarik lainnya yang turut melestarikan Tradisi Sifon adalah adanya
beberapa lelaki di luar Suku Atoni Pah Meto yang juga melakukan Tradisi Sifon. Lelaki
di luar Suku Atoni Pah Meto yang melakukan ritual Sifon tersebut berasal dari Rote,
Belu dan Sawu. Lelaki di luar Suku Atoni Pah Meto tersebut juga mempercayai
manfaat Sifon, sebagaimana yang dipercayai oleh Suku Atoni Pah Meto. Fakta ini
menunjukkan bahwa sunat tradisional Suku Atoni Pah Meto beserta ritual Sifon nya,
10
mulai diterima oleh suku lainnya yang berada di Propinsi NTT. Dengan demikian,
terdapat kemungkinan bahwa suku lain di luar Suku Atoni Pah Meto juga turut serta
dalam pelestarian sunat tradisional Suku Atoni Pah Meto beserta ritual Sifon.
3.2 Pembahasan Hasil Penelitian
Tradisi ritual Sifon merupakan adat istiadat karena ada tingkah laku warga
masyarakat, yakni ritual Sifon, diikuti oleh warga lainnya secara terus-menerus dalam
kurun waktu yang lama dan telah disepakati oleh suku Atoni Pah Meto sebagai adat
mereka. Adat Sifon telah menjadi Sistem Hukum Adat karena memiliki sanksi, baik
psikologis maupun keyakinan magis bagi lelaki wajib Sifon yang tidak melakukannya
dan keluarganya. Sanksi psikologis berupa hinaan dan sindiran masyarakat, dan sanksi
magis berupa keyakinan akan datangnya penyakit, bala’, impotensi, bahkan kematian
bagi lelaki wajib Sifon yang tidak melakukan ritual Sifon. Selain adanya sanksi, Sistem
Hukum Adat Sifon juga telah memenuhi unsur, sifat, dan corak sebagai Hukum Adat.
Ditinjau dari perspektif Hukum Negera dalam praktek ritual Sifon terdapat
beberapa tindak pidana yang dilanggar, yakni tindak pidana: (1) kesusilaan berupa
perbuatan asusila di tempat terbuka (pasal 281 KUHP), zina (pasal 284 KUHP); (2)
perlakuan tidak adil pada perempuan (pasal 17 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Azasi Manusia); (3) perdagangan perempuan (pasal 20 ayat 2 UU No. 39 tahun 1999);
dan (4) perlakuan deskriminatif terhadap perempuan media Sifon (pasal 33 ayat 1 UU
No. 39 tahun 1999). Meskipun terdapat beberapa pelanggaran pidana dalam praktek
Sifon, namun Hukum Negara ternyata tidak efektif terhadap pelaku ritual Sifon karena:
(1) belum ada pengaduan dari pihak-pihak yang dirugikan atas praktek ritual Sifon dan
kurang tanggapnya para penegak hukum terhadap adanya tindak pidana dalam praktek
Sifon sehingga belum ada penegakan Hukum Negara, hal ini menandakan para penegak
hukum hanya mengedepankan prosedur formal dalam menegakkan Hukum Negara; (2)
Positivis memandang bahwa hukum hanya sebagai gejala sosial, mereka hanya
mengenal ilmu pengetahuan yang positif, demikian pula positivis hukum hanya
mengenal Hukum Negara; (3) positivis mengkaji hukum dari aspek lahiriahnya, apa
yang muncul bagi realitas kehidupan sosial, tanpa memandang nilai-nilai dan norma-
norma seperti keadilan, kebenaran, kebijaksanaan, dan lain-lain yang melandasi
aturan-aturan hukum tersebut.
Hukum Adat Sifon melegitimasi adanya penindasan struktural terhadap
perempuan Suku Atoni Pah Meto, karena struktur sosial Suku Atoni Pah Meto
memberikan kekuasaan kepada Kepala Adat, Tetua Adat dan Ahelet, untuk mengontrol,
11
memanfaatkan, menundukkan, dan menindas masyarakat Suku Atoni Pah Meto agar
melakukan ritual Sifon. Sedangkan privilege yang dilakukan oleh pasangan suami istri
masyarakat Suku Atoni Pah Meto dalam melakukan ritual Sifon, berubah menjadi
penindasan terhadap perempuan Suku Atoni Pah Meto, baik sebagai istri, maupun
sebagai perempuan media Sifon.
Terjadi konflik antara Hukum Negara dengan Hukum Adat Sifon, yang tidak
hanya terletak pada tidak diakomodirnya nilai-nilai keadilan dan kebenaran lokal, yang
terdapat dalam Hukum Adat Sifon. Konflik antara Hukum Negara dengan Hukum Adat
Sifon, juga terletak pada kontradiksi nilai-nilai keadilan dan kebenaran lokal dengan
nilai-nilai keadilan dan kebenaran universal yang mendasari nilai-nilai keadilan dan
kebenaran Hukum Negara dalam Sistem Hukum Indonesia, yaitu Pancasila.
Bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang disebabkan oleh Tradisi Sifon adalah
penyelesaian konflik berdasarkan Perspektif Hukum Responsif, yaitu : (1).
pendampingan non litigasi terhadap Kelompok Perempuan yang mengalami penindasan
struktural, (2). pendampingan litigasi terhadap Kelompok Perempuan yang mengalami
penindasan struktural, (3). Sikap responsif Penegak Hukum, (4). musyawarah antar
Tokoh, (5). Pembaharuan teknik ritual Sifon.
Pelaksanaan keenam langkah tersebut akan mewujudkan institusi sosial dan
relasi sosial baru berdasarkan prinsip-prinsip keadilan berbagai pihak, baik dari
Perspektif Feminisme yang mewakili kelompok perempuan yang mengalami
penindasan struktural, Hukum Adat Sifon yang mewakili Masyarakat Suku Atoni Pah
Meto secara umum, maupun Hukum Negara, sehingga terjadi harmonisasi keadilan
berdasarkan Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia.
4. SIMPULAN
4.1 Simpulan
4.1.1 Tradisi Sifon merupakan Hukum Adat Suku Atoni Pah Meto, yang menjadi
bagian dari Hukum Positif Indonesia. Sebagai bagian dari Hukum Positif
Indonesia, Tradisi Sifon, melanggar Hukum Negara, yang berkaitan dengan
delik-delik kesusilaan, perzinaan, dan perdagangan perempuan, serta hak asasi
manusia.
4.1.2 Hukum Adat Sifon melegitimasi adanya penindasan struktural terhadap
perempuan Suku Atoni Pah Meto, dan menyebabkan terjadinya konfilk, baik
diantara perempuan Suku Atoni Pah Meto, maupun dengan masyarakat adat
Suku Atoni Pah Meto pada umumnya. Konflik juga terjadi antara Hukum
12
Negara dengan Hukum Adat Sifon, karena tidak diakomodirnya nilai-nilai
keadilan dan kebenaran lokal, yang terdapat dalam Hukum Adat Sifon. Konflik
antara Hukum Negara dengan Hukum Adat Sifon, juga terletak pada
kontradiksi nilai-nilai keadilan dan kebenaran lokal dengan nilai-nilai keadilan
dan kebenaran universal yang mendasari nilai-nilai keadilan dan kebenaran
Hukum Negara dalam Sistem Hukum Indonesia, yaitu Pancasila.
4.1.3 Bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang disebabkan oleh Tradisi Sifon
berdasarkan Perspektif Feminisme dan Positifisme adalah membatalkan atau
melarang Tradisi Sifon karena Tradisi Sifon terbukti melegitimasi penindasan
strukural terhadap kaum perempuan Suku Atoni Pah Meto, melanggar Hukum
Negara, serta bertentangan dengan Pancasila. Penyelesaian konflik yang
disebabkan oleh Tradisi Sifon berdasarkan Perspektif Feminisme dan
Positifisme, tentu akan menyinggung rasa keadilan Suku Atoni Pah Meto, oleh
karena itu harus ada bentuk penyelesaian lain yang tidak menyinggung rasa
keadilan Suku Atoni Pah Meto. Alternatif lain bentuk penyelesaian konflik
tersebut adalah dengan menggunakan Hukum Responsif. Bentuk-bentuk
penyelesaian konflik yang disebabkan oleh Tradisi Sifon adalah penyelesaian
konflik berdasarkan Perspektif Hukum Responsif, yaitu : (1). pendampingan
non litigasi dan litigasi terhadap Kelompok Perempuan yang mengalami
penindasan struktural, (2). Sikap responsif Penegak Hukum, (3). musyawarah
antar Tokoh, (4). Pembaharuan teknik ritual Sifon.
4.2 Saran-saran
4.2.1 Perlu ada penelitian lanjutan tentang model institusi sosial dan relasi sosial baru
dalam Tradisi Sifon, yang berdasarkan prinsip-prinsip keadilan berbagai pihak,
baik dalam hal pencegahan dan penyelesaian konflik.
4.2.2 Bagi para tokoh masyarakat setempat, baik Camat, Kepala Desa, Ketua Suku,
Para Ahelet, dan Tokoh Agama hendaknya: (1) meninjau kembali praktek Sifon
dan melakukan pembaharuan Tradisi Sifon, agar terwujud keadilan substansial
bagi berbagai pihak; (2) menyediakan panti rehabilitasi bagi perempuan media
Sifon; (3) memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang menggugat pelaku Sifon
dengan mempertimbangkan kepentingan penggugat dan pelaku, dan jika tidak
dapat diselesaikan secara adat hendaknya diteruskan melalui jalur Hukum
Negara.
13
4.2.3 Bagi para penegak hukum hendaknya menggunakan Hukum Responsif dengan
mengedepankan nilai-nilai masyarakat dan rasa keadilan dalam menegakkan
hukum bagi korban praktek Sifon tanpa mengesampingkan Hukum Negara.
4.2.4 Bagi penggiat hak-hak asasi perempuan hendaknya melakukan pendampingan
yang bersifat pengayaan pengetahuan tentang apa, bagaimana, dan dampak
Tradisi Sifon yang sesungguhnya, dari berbagai sudut pandang, serta
bagaimana cara mengakses keadilan yang substantif, kepada perempuan Suku
Atoni Pah Meto, agar mereka lebih berani menyuarakan hak-hak asasinya di
tengah pelestarian adat Sifon yang potensial merugikan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mahrus, 2009, Menggugat Dominasi Hukum Negara: Penyelesaian Perkara Carok
Berdasarkan Nilai-nilai Budaya Masyarakat Madura, Yogyakarta, Rangkang – Indonesia.
Asshiddiqie, Jimly; Shafa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta, Sekretariat
Jendral & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Ancel, Marc, 1965. Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, London,
Routledge & Kegan Paul.
Bahiej, Ahmad, tt., “Tinjauan Delik Perzinahan dalam Berbagai Sistem Hukum dan Prospeknya
dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Artikel, Yogyakarta, Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kalijogo.
Bewa, Ragawino, 2008, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Diktat Perkuliahan.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran.
Dimyati, Khudzaifah, 2004, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan pemikiran Hukum
Di Indonesia 1945-1990, Cetk. Keempat, Surakarta, Muhammadiyah university Press.
Friedmann, W., 1996, Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali.
Friedman, Lawrence M., 2001, American Law an Introduction (Hukum Amerika sebuah
Pengantar), penerjemah Wisnu Basuki, Jakarta, PT. Tatanusa.
Hadikusuma, Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju.
Hasan, Ahmadi, 2007, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada
Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Negara, Yogyakarta;: UII Pers.
Hungu, Ferderika Tadu, 2005. Sifon, Pedang Bermata Dua Bagi Perempuan. Yogyakarta: Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada.
Ihromi, TO., 2003, Antropologi Hukum sebagai Bunga Rampai, Edisi Ketiga, Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia.
14
Irianto, Sulistyowati, 2004, “Revitalisasi Hukum Adat Yang Berperspektif Keadilan Jender”,
Makalah, Disampaikan dalam Seminar Regional, “Revitalisasi Hukum yang Berkeadilan
Jender” di FH Universitas Atmajaya, Yogyakarta, Sabtu, 17 April 2004.
----------, 2006, Perempuan dan Hukum : Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan
Keadilan, Kumpulan Tulisan, Edisi Pertama, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum, Kontelasi dan Refleksi, Edisi
Pertama, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Jagger dan Rottenberg, 2002, terj. Abdul Kholek, Potret Kekerasan Terhadap Perempuan,
blog.unsri.ac.id, diakses pada tanggal 21 Nopember 2010.
Kusumohamidjojo, Budiono, 1999, Ketertiban Yang Adil: Problematika Filsafat Hukum, Jakarta:
Grasindo.
Lake, Primus, 1999, Sifon : Antara Tradisi dan Risiko Penularan PMS. Yogyakarta : Pusat
Penelitian Kependudukan Universitas gadjah Mada.
Manan, Bagir, 1985, “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.”Makalah, disampaikan pada Penataran Nasional Hukum
Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Ujung Pandang.
Meuwissen, Arief Sidharta, 2007, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,
dan Filsafat Hukum, Bandung, Refika Aditama.
Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin, 2006. Komunikasi Antarbudaya:Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Nonet, Philip, 1990, “What is Positive Law ?”, Yale Law Journal, Vol. 100. 667-668.
---------------, 2007, Hukum Responsif, Bandung, Penerbit Nusamedia.
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Nurhadiantomo, 2004, Konflik-konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial, Surakarta,
Muhammadiyah university Perss.
Puspa, Yan Pramudya, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda,Indonesia, Inggris,
Semarang, Aneka Ilmu.
Pustikasari, Rani Suryani, 2010. “Delik dan Sanksi Kesusilaan Dalam KUHP Indonesia dan
Singapura,” Syiar Hukum, Fh.Unisba. Vol. Xii. No. 3 November.
Rahardjo, Sacipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Rasjidi, Lili, 1993, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti
15
Ritzer, George dan Goodman, Dauglas J., 2007, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke -6, Jakarta;
Kencana.
Rummel, 2013, “ Understanding Conflict and War” vol: 5, The Just Peace Chapter 10. Principles
of Conflict Resolutions, www. Hawaii.edu/Powerkills/TJP/ Chap 10. HTM Diakses pada
hari Minggu tanggal 18 Agustus 2014 Pukul 18:15 Wib.
Savitri, Niken, 2008. HAM Perempuan: Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP. Bandung :
PT. Refika Aditama.
Sidharta, Arief, 1994, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Soekanto, Soerjono dan Taneko, Soleman B., 2010, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Rajawali
Pers.
Soemadiningrat, Otje Salman, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung;
Alumni.
Soerojo, Widnjodipoero, 1987, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung.
_______, 2004. Tradisi Fua Pah : Ritus Dan Mitos Agraris Masyarakat Atoni Pah Meto Di Timor
(Fua Pah Tradition: Agricultural Rite and Myth of Atoni Pah Metoese of Timor Island).
Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.
________, 2008, Sunat Ritual: Religiositas, dan Identitas Kultural Orang Dawan di NTT, Jakarta,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas.
Thontowi, Jawahir, 2007, Hukum, Kekerasan dan Kearifan lokal Penyelesaian Sengketa di
Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Pustaka FAHIMA.
Ubbe, Ahmad, 2011. “Laporan Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Penanganan Konflik
Sosial”, Pusat Penelitian & Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum & HAM RI, www.bphn.go.id/..../mekanisme-
penanganan-konflik, diakses tanggal 1 februari 2013 jam: 9.00 wib.
Weda, Made Darma, 1996, Kriminologi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Wirawan, 2010,Konflik Dan Manajemen Konflik, Teori Aplikasi Dan Penelitian, Jakarta, Salemba
Humanika.
Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, diakses pada tanggal 21 Nopembar 2010
Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Budaya, Herman, serunai. blogspot.com, diakses pada
tanggal 21 Nopembar 2010.