kondisi permukaan puting dan hiperkeratosis … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara...

31
KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS BERDASARKAN UMUR LAKTASI DAN POSISI PUTING PADA SAPI PERAH ADVIS DWI SAPUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

Upload: phungkhanh

Post on 07-Mar-2019

279 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS

BERDASARKAN UMUR LAKTASI DAN POSISI PUTING

PADA SAPI PERAH

ADVIS DWI SAPUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2017

Page 2: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis
Page 3: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kondisi Permukaan

Puting dan Hiperkeratosis Berdasarkan Umur Laktasi dan Posisi Puting pada Sapi

Perah” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

Advis Dwi Saputra

B04120030

Page 4: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis
Page 5: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

ABSTRAK

ADVIS DWI SAPUTRA. Kondisi Permukaan Puting dan Hiperkeratosis

Berdasarkan Umur Laktasi dan Posisi Puting Sapi Perah. Dibimbing oleh RP

AGUS LELANA dan HERWIN PISESTYANI.

Susu merupakan produk peternakan yang diharapkan dapat memenuhi

kebutuhan protein hewani dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai penghasil susu, sapi perah harus dalam kondisi kesehatan yang baik.

Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh pemerahan tangan berdasarkan umur

laktasi dan posisi puting terhadap kondisi permukaan puting dan hiperkeratosis

pada sapi perah di Kunak Bogor dan Pasir Jambu Bandung. Obyek penelitian

adalah sapi perah dealam masa laktasi normal dan sehat secara klinis yang

diperoleh secara purposive sampling, sebanyak 31 ekor dari Kunak Bogor dan 56

ekor dari Pasir Jambu Bandung. Metode penelitian dilakukan dengan wawancara

peternak untuk menentukan umur laktasi dan pengamatan puting untuk menilai

(scoring) kondisi permukaan puting menggunakan metode Mein dan Ohnstad dan

kemungkinan terjadinya perubahan patologis, hiperkeratosis pada puting. Selain

secara deskriptif, hasil pengamatan juga diuji menggunakan Chi-Square. Hasilnya

menunjukkan bahwa umur laktasi mempengaruhi secara nyata perubahan kondisi

permukaan puting dan hiperkeratosis, sedangkan posisi puting tidak ada

hubungannya dengan tingkat keparahan kondisi permukaan puting dan

hiperkeratosis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan peternak untuk

memperbaiki manajemen pemerahan maupun untuk mencegah penyakit akibat

kondisi puting yang buruk.

Kata kunci: Hiperkeratosis, kondisi permukaan puting, penilaian puting, sapi

perah

Page 6: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis
Page 7: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

ABSTRACT

ADVIS DWI SAPUTRA The Condition of Teat Surface and Hyperkeratosis

Based on Lactation Stage and Teat Position in Dairy Cattle. Supervised by RP

AGUS LELANA and HERWIN PISESTYANI.

Milk as a dairy farm production had been promising to fulfill animal protein

requirement for the intelligence of the life of the nation. As a producer of fresh

milk, dairy must be in good health condition. The purpose of this study was to

analize the effect of hand milking on surface condition and hyperkeratosis base on

lactation stage and teat position of dairy cattle. The object of this study was

sampled animals in normal lactation periode and clinically healhty, 31 animals

from KUNAK Bogor and 56 animals from Pasir Jambu Bandung. The study was

done by interviewing farmer to identify the age of lactation and by observing the

teat to score the teat surface condition to use Mein and Ohnstad Method and the

posibility of pathological change, hyperkeratosis. The analysis was done by

descriptive approch and using Chi-Square test. The result showed that the change

of teat surface condition and hyperkeratosis was influenced by the age of

lactation, but not by the position of teat. Hopefully, the result of this study could

be used by farmer in order to improve milking management and prevent diseases

caused by the poor condition of teat.

Keywords: Hyperkeratosis, teat surface condition, teat scoring, dairy cows

Page 8: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis
Page 9: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS

BERDASARKAN UMUR LAKTASI DAN POSISI PUTING

PADA SAPI PERAH

ADVIS DWI SAPUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2017

Page 10: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis
Page 11: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis
Page 12: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis
Page 13: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 18 April sampai 11 Juli

2015 adalah “Kondisi Permukaan Puting dan Hiperkeratosis Berdasarkan Umur

Laktasi dan Posisi Puting Sapi Perah”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah

satu syarat kelulusan dalam memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang

telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan

skripsi ini:

1. Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan petunjuk kepada saya

supaya saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.

2. Bapak Dr Drh H. RP Agus Lelana, SpMP MSi dan Ibu Drh Herwin

Pisestyani, MSi selaku pembimbing skripsi, atas kesabaran dan kebaikannya

dalam membimbing dan memberikan pengarahan atau saran kepada penulis

selama penelitian sampai akhir penulisan skripsi ini selesai.

3. Kedua orang tua (Murison dan Septi Malinda), kakak dan adik (Meiky Eka

Saputra dan Ellan Tri Saputra) yang selalu memberikan doa, nasehat,

semangat, dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drh H. Agus Wijaya, MSc PhD selaku pembimbing akademik saya

selama perkuliahan, memberikan pengarahan dan saran dalam penyusunan

skripsi dan kuliah.

5. Teman, Sahabat dan Saudara saya Try Utama, Iwan Pranata, Edo Pratama, M

Zulfikar Iqbal, Feby Viventra, dan Salvado Zulkarnaen yang selalu

memberikan dukungan, doa, nasehat, dan semangat dalam mengerjakan

skripsi ini.

6. Teman seperjuangan saya M Alrafki, Noor Ihsan AB, Wan Gemasih, Alif

Hanugrah, Rizwansyah, Novri Hendri, M Rizqi, M Pauzi Lubis, M Supika,

yang selalu memberikan arahan, saran, masukan dan semangat dalam

menyelesaikan skripsi ini.

7. Keluarga Astrocyte (FKH 49) dan Ikatan Mahasiswa Kerinci Bogor (IMKB)

atas dukungan dan semangatnya. Masih banyak orang-orang yang berperan

dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebut satu persatu, terima

kasih untuk kalian semua.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para

pembaca. Penulis juga berharap tulisan ini memberikan manfaat kepada banyak

pihak, khususnya bidang kedokteran hewan.

Bogor, Januari 2017

Advis Dwi Saputra

B04120030

Page 14: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis
Page 15: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Karakteristik Sapi Perah Fries Holland ( FH ) 2

Anatomi Ambing 2

Anatomi Puting 3

Pemerahan Susu 3

Penilaian Puting (Teat Scoring) 4

METODE 4

Waktu dan Tempat 4

Alat dan Bahan 5

Desain Penelitian 5

Tata Cara Penelitian 6

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Profil Umur Laktasi 6

Perubahan Permukaan Puting 6

Pengaruh Umur Laktasi Terhadap Permukaan Puting 7

Pengaruh Umur Laktasi Terhadap Kejadian Hiperkeratosis 8

Manajemen Pemerahan 9

Perilaku Sapi Perah 10

SIMPULAN 11

SARAN 12

DAFTAR PUSTAKA 12

RIWAYAT HIDUP 15

Page 16: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

DAFTAR TABEL

1. Persentase kondisi permukaan puting dan hiperkeratosis berdasarkan umur laktasi 7

2. Pengaruh umur laktasi terhadap kondisi permukaan puting 8

3. Pengaruh umur laktasi terhadap hiperkeratosis pada puting sapi perah 8

4. Pengaruh posisi puting terhadap kondisi permukaan puting 11

5. Pengaruh posisi puting terhadap hiperkeratosis pada puting sapi perah 11

DAFTAR GAMBAR

1. Anatomi ambing dan puting sapi perah 3

2. Metode penilaian kondisi permukaan puting 5

3. Hiperkeratosis pada puting sapi perah 6

4. Pemerahan yang dilakukan secara tradisional oleh peternak Indonesia 9

5. Kebiasaan sapi perah berbaring (lay down) 10

Page 17: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu merupakan produk peternakan yang diharapkan dapat memenuhi

kebutuhan protein hewani yang penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan

bangsa. Sebagai penghasil susu segar, sapi perah harus selalu dalam kondisi

kesehatan yang prima, sehingga mencapai produktivitas yang optimal. Termasuk

diantaranya adalah kondisi yang berkaitan dengan aspek manajemen budidaya,

genetik, fertilitas, kualitas pakan, serta upaya untuk mengantisipasi perubahan

cuaca dan penyakit (Dairyco 2009). Selain itu, upaya untuk menjaga kesehatan

ambing dikaitkan dengan ancaman mastitis sebagai penyebab penurunan produksi

susu juga harus menjadi perhatian.

Mein et al. (2001) dan Paduch et al. (2012) menyatakan bahwa kegiatan

pemerahan yang tidak legeartis menyebabkan perubahan kondisi permukaan

puting menjadi kasar atau buruk, sehingga membentuk cincin keratin. Neijenhuis

et al. (2001) juga menyebutkan bahwa puting yang kasar atau mengalami erosi

secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga

terbentuk hiperkeratosis. Menurut Neijenhuis (2004) hiperkeratosis yang disertai

dengan beberapa faktor fisiologi dan anatomi, seperti umur laktasi, paritas dan

anatomi ambing dapat mempengaruhi penurunan produksi susu.

Di Indonesia, pengamatan terhadap kondisi permukaan puting dan

hiperkeratosis pada sapi perah belum banyak dilakukan dan dilaporkan, untuk itu

perlu dilakukan penelitian. Mengingat Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu

sentral peternakan sapi perah di Indonesia, yaitu dengan populasi 135.345 ekor

dan dengan produksi susu sebanyak 260.823 ton/liter (KEMENTAN 2015), maka

lokasi penelitian difakuskan di Jawa Barat. Adapun sasarannya adalah peternakan

sapi perah di Kunak Bogor maupun di Pasir Jambu, Ciwidey, Kabupaten

Bandung. Sebagai catatan, Kunak Bogor memiliki populasi 3.427 ekor dengan

produksi susu 8.922 liter/hari (Sodiqin 2012) dan Pasir Jambu, Ciwidey, Bandung

Barat memiliki populasi 963 ekor dengan produksi susu 5 200 liter/hari (KUD

2014).

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wahana mengasah keterampilan

penerapan metode penilaian putting. Selain itu, juga diharapkan dapat

memberikan informasi/gambaran kejadian perubahan kondisi permukaan puting

dan hiperkeratosis pada sapi perah. Pada akhirnya, informasi ini diharapkan dapat

menjadi masukan peningkatan manajemen pemerahan di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak pemerahan secara manual

terhadap kondisi permukaan puting dan kejadian hiperkeratosis ditinjau

berdasarkan umur laktasi dan posisi puting sapi perah yang berlokasi di Kunak

Bogor dan Pasir Jambu, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Page 18: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

2

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat menjadi wahana mengasah keterampilan

penerapan metode penilaian puting dan memberikan informasi kepada peternak

mengenai pengaruh umur laktasi dan posisi puting terhadap kondisi permukaan

puting dan kejadian hiperkeratosis pada sapi perah. Informasi ini juga diharapkan

dapat menjadi dasar penyempurnaan manajemen pemerahan sapi perah di

Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Sapi Perah Fries Holland (FH)

Sapi Fries Holland (FH) merupakan sapi yang berasal dari negara Belanda

dikenal sebagai Hollstein, sedangkan di Amerika dan Eropa terkenal sebagai

Friesian. Jenis sapi ini paling banyak dipelihara di Indonesia, baik skala

peternakan besar maupun peternakan rakyat. Sapi FH memiliki daya adaptasi

yang baik dan produktivitas yang tinggi dibandingkan dengan bangsa sapi perah

lainnya (Imelda & Edward 2007).

Sapi FH umumnya memiliki karakteristik warna bulu hitam dengan bercak

putih. Sementara itu di Belanda juga dikenal Fries Holland yang mempunyai

warna coklat/merah dengan bercak putih, dari pangkal sampai ujung ekor

berwarna putih atau hitam ekor (Makin 2011). Berat jantan mencapai 700-900 kg,

sedangkan betina mencapai 650 kg dengan ambing yang besar. Kepala panjang,

sempit dan lurus, tanduk yang mengarah ke depan dan membengkok ke dalam.

Sifat sapi FH betina jinak dan tenang, sedangkan jantan agresif dan ganas.

Sapi FH tidak tahan panas, tetapi mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan

(Makin 2011). Sapi FH memiliki sifat reproduksi yang baik. Berat pedet baru

dilahirkan antara 24-45 kg atau 10% dari berat induk.

Produksi susu sapi FH rata-rata per tahun di daerah asalnya (Belanda)

mencapai 4.500-5.500 liter dalam satu laktasi. Adapun di Indonesia, rata-rata

produksi FH berkisar 2.500-3.500 liter dalam satu laktasi (Sudono et al. 2003;

Talib 2006).

Anatomi Ambing

Anatomi ambing dibagi menjadi 4 kuartir dan setiap kuartir memiliki satu

puting. Ambing pada kuartir bagian kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum

suspensori medialis, sedangkan kuartir bagian depan (cranial) dan belakang

(caudal) dipisahkan oleh sejenis membran. Ambing bagian depan menghasilkan

40% produksi susu sedangkan ambing bagian belakang menghasilkan 60%

produksi susu setiap harinya (Nelson 2010). Menurut Astuti et al. (2001) bentuk

dan ukuran ambing tidak sama antara satu sapi dengan sapi yang lain walaupun

dalam satu bangsa. Hal ini dikarenakan bentuk dan ukuran ambing dipengaruhi

oleh kemampuan produksi susu, umur dan faktor genetik.

Page 19: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

3

Menurut Frandson et al. (2009) pengeluaran susu dari ambing berasal dari

alveoli yang bergerak menuju sinus papilaris, kemudian menuju saluran induk

yang disebut major duct. Susu kemudian ditampung sementara di dalam gland

cistern sampai waktu pemerahan. Saat susu keluar dari gland cistern, annular fold

yang terletak di bawah gland cistern dan berfungsi sebagai penahan susu dalam

ambing akan terbuka. Akibatnya, susu yang berada di dalam gland cristern akan

mengalir menuju teat cistern. Sesampainya di teat cistern, susu dikeluarkan

melalui teat meatus.

Anatomi Puting

Puting sapi berbentuk silindris/kerucut dengan ujung yang tumpul. Posisi

puting belakang biasanya lebih pendek dibandingkan dengan puting bagian depan.

Penggunaan mesin perah pada pemerahan sapi menguntungkan puting yang

ukurannya pendek, karena laju aliran susunya lebih cepat (Astuti et al. 2001).

Sekitar 25-50% sapi perah mempunyai puting yang berlebihan (tambahan),

keadaan ini disebut supranumery teat. Puting yang berlebih ini biasanya terletak

di bagian belakang. Untuk mencegah terjadinya penyakit seperti mastitis, puting

yang berlebih ini dihilangkan sebelum pedet berumur satu tahun. Pada ujung

puting terdapat lubang puting atau streak canal, atau dinamakan juga teat meatus.

Menurut BIF (2011) puting depan memiliki panjang 6 cm dan diameter 2.9 cm,

sedangkan puting belakang memiliki panjang 5 cm dan diameter 2.6 cm.

Gambar 1 Anatomi ambing dan puting sapi perah (Magas 2012)

Pemerahan Susu

Pemerahan adalah tindakan mengeluarkan cairan susu dari ambing. Menurut

Putra (2009) terdapat tiga tahap pemerahan yaitu pra pemerahan, pemerahan dan

pasca pemerahan. Tujuan dari pemerahan yaitu untuk mendapatkan jumlah susu

yang maksimal dari ambing.

Page 20: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

4

Fase pra-pemerahan, pemerah harus mencuci tangan terlebih dahulu hingga

bersih dan kering, kuku tangan harus pendek agar tidak melukai puting. Sebelum

pemerahan, sapi harus dalam keadaan bersih atau dimandikan terlebih dahulu,

sedangkan peralatan dan tempat penampungan susu juga harus dalam keadaan

bersih (Syarif & Harianto 2011). Pemerah harus dalam keadaan sehat, dan

membiasakan diri untuk melakukan pemeriksaan kesehatan ambing dan puting

sapi.

Fase pemerahan dapat dilakukan dengan dua teknik pemerahan, yaitu

menggunakan mesin perah atau secara manual menggunakan tangan. Dalam

proses pemerahan ini harus dilakukan dengan baik, interval yang teratur, cepat,

secara lembut, tuntas, menerapkan prosedur sanitasi, serta efisien dalam

menggunakan tenaga kerja (Syarif & Harianto 2011).

Fase pasca pemerahan, ambing dilap menggunakan kain yang telah dibasahi

disinfektan dan setelah itu puting dicelupkan ke dalam cairan disinfektan untuk

mencegah kontaminasi bakteri (Putri et al. 2015). Semua peralatan yang

digunakan dalam pemerahan harus dibersihkan, kemudian dikeringkan. Susu hasil

pemerahan disaring untuk menghindari kotoran saat pemerahan. Syarif &

Harianto 2011).

Penilaian Puting (Teat Scoring)

Penilaian puting (teat scoring) dimaksudkan untuk memastikan tingkat

kerusakan akibat pemerah atau mesin perah maupun untuk menentukan indikasi

sapi perah terkena penyakit, seperti mastitis. Penilaian puting dilakukan dengan

cara melihat kondisi permukaan puting sapi. Adapun scoring terhadap kondisi

permukaan puting menurut Mein et al. (2001) dan Ohnstad et al. (2003) meliputi:

No ring (tidak ada cincin keratin/normal), yaitu bentuk puting dengan lubang

berukuran kecil dan permukaan yang halus ditemukan cicin keratin, Smoothy or

slightly rough ring (cincin keratin halus atau agak kasar), yaitu bentuk puting

dengan permukaan cincin keratin yang tidak jelas, halus atau agak kasar, Rough

ring (cincin keratin kasar), yaitu bentuk puting dengan cincin yang agak kasar dan

terdapat gundukan keratin dengan luasnya 1-3 mm dari lubang susu, dan Very

rough ring (cincin keratin sangat kasar), yaitu bentuk puting dengan gundukan

keratin yang luasnya 4 mm dari lubang susu dan dengan tepi cincin yang kasar

dan retak, sehingga bentuk penampakannya seperti bunga.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari 18 April sampai dengan 11 Juli 2015. Lokasi

penelitian berada di Kawasan Peternakan (Kunak) Sapi Perah Kecamatan

Cibungbulang, Kabupaten Bogor dan Kawasan Peternakan Sapi Perah Kecamatan

Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Page 21: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

5

Alat dan Bahan

Objek penelitian ini adalah sapi perah (FH) betina dalam masa laktasi

normal dan sehat secara klinis. Alat yang digunakan kertas, alat tulis, kamera dan

kuesioner. Kuesioner ini digunakan untuk mendata umur laktasi dan posisi puting

yang mengalami perubahan kondisi permukaan puting dan hiperkeratosis.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Menurut Sugiyono

(2008) purposive sampling adalah teknik penentuan obyek penelitian dengan

pertimbangan tertentu. Caranya adalah dengan memilih peternakan yang

mempunyai sapi perah dengan masa laktasi normal dan sehat secara klinis. Masa

laktasi normal pada sapi perah adalah bulan kesatu sampai memasuki kering

kandang bulan ke-7 memproduksi susu. Berdasarkan hasil sampling tersebut,

didapat 31 ekor sapi perah dari Kawasan Peternakan Sapi Perah Cibungbulang

Bogor dan 56 ekor sapi ekor dari Kawasan Peternakan Sapi Perah Kecamatan

Pasir Jambu Bandung.

Pengamatan pada obyek penelitian mengacu pada metode penilaian puting

menurut Mein et al. (2001) dan Ohnstad et al. (2003) sebagaimana disajikan pada

Gambar 2. Adapun contoh adanya perubahan patologis (hiperkeratosis) pada

puting disajikan pada Gambar 3.

Gambar 2 Metode penilaian kondisi permukaan puting (Mein et al. 2001; et al.

Ohstad 2003)

Page 22: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

6

Gambar 3 Hiperkeratosis pada puting sapi perah (Dairynz 2011)

Tata Cara Penelitian

Tata cara penelitian dilakukan dengan dua pendekatan yaitu wawancara

peternak dan observasi sapi perah yang terkena sampling. Wawancara terhadap

peternak dilakukan untuk mengetahui umur laktasi. Observasi terhadap sapi perah

dilakukan penilaian kondisi permukaan puting dan penentuan posisi puting yang

mengalami hiperkeratosis.

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif menggunakan Microsoft

Excel dan lebih lanjut dianalisis menggunakan uji Chi-Square. Uji Chi-Square

digunakan untuk menguji hubungan dua buah variabel nominal dan mengukur

kuatnya hubungan antara variabel yang satu dengan variabel nominal lainnya

(Usman & Akbar 2000). Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Umur Laktasi

Berdasarkan Tabel 1 dapat dipelajari sebaran keragaman umur laktasi dan

kondisi permukaan 348 puting maupun kemungkinan terjadinya hiperkeratosis

pada 87 ekor sapi perah FH betina yang berasal dari Kunak Cibungbulang Bogor

dan Pasir Jambu Ciwidey Bandung Jawa Barat. Secara garis besar profil sapi

perah dengan umur laktasi terbanyak adalah laktasi ke-3 sebanyak 23 ekor dan

jumlah sapi pada umur laktasi paling sedikit adalah laktasi ke-6 dan ke-7 masing-

masing sebanyak 4 ekor.

Perubahan Permukaan Puting

Dari Tabel 1 dapat disimpulkan semakin tua umur laktasi semakin banyak

perubahan pada permukaan puting. Contohnya kondisi permukaan puting pada

sapi umur laktasi ke-1, ke-2 dan ke-3 umumnya terlihat normal (No Ring). Pada

Page 23: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

7

laktasi ke-4 dan ke-5 memiliki permukaan yang mengalami perubahan minor

berupa cincin keratin halus/agak kasar (Smooth or Slighty Rough Ring). Pada

laktasi ke-6 memiliki permukaan yang mengalami perubahan mayor berupa cincin

keratin yang kasar (Rough Ring). Pada laktasi ke-7 mengalami perubahan mayor

berupa cincin keratin yang sangat kasar (Very Rough Ring) dan sebagian

mengalami perubahan patologis berupa hiperkeratosis. Hal ini diduga karena

terjadi peningkatan frekuensi pemerahan. Hasil penelitian tersebut sama dengan

hasil penelitian Neijenhuis et al. (2001) dan Gleeson et al. (2007) yang

menyatakan bahwa perubahan kondisi permukaan puting pada sapi perah umur

laktasi tua lebih buruk dibandingkan dengan sapi perah umur laktasi muda.

Tabel 1 Persentase perubahan permukaan puting dan kejadian hiperkeratosis

berdasarkan umur laktasi

Laktasi

(n)

sapi

(n)

puting

Kondisi permukaan puting

Hiperkeratosis

(%)

Normal

(%)

Halus/

agak

kasar

(%)

Kasar

(%)

Sangat

kasar

(%)

1 9 36 66.7 25.0 8.3 0 5.6

2 17 68 60.3 30.9 8.8 0 7.4

3 23 92 57.6 31.5 10.9 0 14.1

4 20 80 40 45 15 0 21.3

5 10 40 30 47.5 17.5 5 32.5

6 4 16 25 37.5 25 12.5 50

7 4 16 25 31.3 18.7 25 62.5

Dikaitkan dengan teori Kirk (2002) yang menyatakan bahwa sapi dikatakan

bermasalah jika lebih 20% sapi mengalami permukaan puting bercincin keratin

yang kasar (Rough Ring) atau lebih dari 10% bercincin keratin sangat kasar (Very

Rough Ring) maka dengan meihat Tabel 1 dapat dikatakan sapi perah umur laktasi

6 dan 7 menghadapi bermasalah.

Pengaruh Umur Laktasi terhadap Permukaan Puting

Sebagaimana diketahui bahwa setiap umur laktasi terjadi perubahan

produksi susu. Dengan pertimbangan tersebut Soeharsono (2008) membagi

periode laktasi sebagai berikut: umur laktasi ke-1 sampai ke-2 disebut sebagai

periode awal produksi, umur laktasi ke-3 sampai ke-5 disebut sebagai periode

puncak produksi dan umur laktasi ke-6 sampai ke-7 disebut sebagai akhir

produksi. Pengelompokan tersebut dicoba diimplementasikan pada Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2 dapat dipelajari bahwa kondisi permukaan puting

normal pada awal produksi (62.5%) lebih besar dibandingkan dengan umur laktasi

puncak produksi (45.8%) dan umur laktasi akhir produksi (21.9%). Kondisi

permukaan puting halus/agak kasar pada puncak produksi (39.6%) lebih besar

dibandingkan dengan umur laktasi awal produksi (28.8%) dan umur laktasi akhir

produksi (34.4%). Kondisi permukaan puting kasar akhir produksi (28.1%) lebih

Page 24: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

8

besar dibandingkan dengan awal produksi (8.7%) dan puncak produksi (13.7%).

Pada kondisi permukaan puting sangat kasar pada akhir produksi (15.6%) lebih

besar dibandingkan dengan awal produksi (0%) dan puncak produksi (9%). Hasil

uji statistik terhadap data yang diperoleh menunjukkan nilai probabilitas sebesar

0.000 (< 0.05) yang berarti ada pengaruh antara umur laktasi terhadap kondisi

permukaan puting.

Tabel 2 Pengaruh periode laktasi terhadap kondisi permukaan putting

Laktasi

Kondisi permukaan putting Total pV

Normal Halus/agak kasar Kasar Sangat kasar

(n)

putting %

(n)

putting %

(n)

putting %

(n)

puting %

(n)

puting %

Awal

produksi 65 62.5 % 30 28.8 % 9 8.7 % 0 0% 104 100%

0.000*

Puncak

produksi 97 45.8 % 84 39.6 % 29 13.7 % 2 9% 212 100%

Akhir

produksi 7 21.9 % 11 34.4 % 9 28.1 % 5 15.6 % 32 100%

Total 169 48.6 % 125 35.9 % 47 13.5 % 7 2% 3

48 100%

*menunjukkan adanya pengaruh yang nyata pada pV(<0.05)

Pengaruh Periode Laktasi terhadap Kejadian Hiperkeratosis

Tabel 3 menunjukkan bahwa kondisi permukaan puting yang mengalami

hiperkeratosis pada akhir produksi (56.3%) lebih besar dibandingkan dengan awal

produksi (7.7%) dan puncak produksi (20.3%). Kondisi yang tidak mengalami

hiperkeratosis pada umur laktasi awal produksi (92.3%) lebih besar daripada umur

laktasi puncak produksi (79.7%) dan umur laktasi akhir produksi (43.8%). Hasil

uji statistik terhadap data yang diperoleh menunjukkan nilai probabilitas sebesar

0.000 (< 0.05) yang berarti ada pengaruh antara umur laktasi terhadap kondisi

hiperkeratosis.

Tabel 3 Pengaruh periode laktasi terhadap kejadian hiperkeratosis pada puting

sapi perah.

Laktasi

Hiperkeratosis Total

pV Ya Tidak

(n)

putting %

(n)

puting %

(n)

puting %

Awal produksi 8 7.7 % 96 92.3 % 104 100%

0.000* Puncak produksi 43 20.3 % 169 79.7 % 212 100%

Akhir produksi 18 56.3 % 14 43.8 % 32 100%

Total 69 19.8 % 279 80.2 % 348 100%

*menunjukkan adanya pengaruh yang nyata pada pV (<0.05)

Page 25: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

9

Manajemen Pemerahan

Dari Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 sekali lagi dapat disimpulkan bahwa umur

laktasi maupun periode laktasi mempengaruhi perubahan kondisi permukaan

puting dan kejadian hiperkeratosis. Kondisi permukaan puting yang mengalami

perubahan ini diduga merupakan proses perjalanan pemerahan. Semakin tinggi

frekuensi pemerahan sejalan dengan umur laktasi, semakin banyak kerusakan

permukaan puting yang terjadi. Semakin banyak kerusakan permukaan puting

semakin banyak terbentuk cincin keratin sebagai respon proses persembuhan

jaringan. Namun demikian proses ini juga berdampak terhadap kelenturan puting

sehingga mengundang masalah baru seperti permukaan puting yang pecah dan

menjadi pintu masuknya bakteri patogen (Grindal & Hillerton 1991; Bobić et al.

2014).

Proses terjadinya hiperkeratosis menurut Ohnstad et al. (2003) selain faktor

manajemen pemerahan dipengaruhi juga oleh cuaca, kondisi musim, lingkungan,

produksi susu, umur laktasi, paritas dan genetik. Neijenhuis et al. (2001)

menambahkan bahwa selain faktor tersebut di atas, hiperkeratosis juga

dipengaruhi oleh penggunaan disinfektan yang berlebihan sehingga

mengakibatkan iritasi kulit puting, puting berubah menjadi kasar, pecah-pecah,

kering, luka, dan mudah terinfeksi bakteri seperti Staphylococcus aureus. Dampak

dari itu semua menyebabkan puting sapi perah sulit untuk disembuhkan.

Faktor-faktor yang menyebabkan hiperkeratosis sebagaimana disebutkan

oleh Ohstad et al. (2003) juga terbukti dalam penelitian ini. Hal ini antara lain di

tunjukkan dengan adanya musim kemarau sebagai pengaruh faktor cuaca dalam

menyebabkan kurangnya pasokan air dan buruknya sanitasi lingkungan kandang

sehingga puting sapi perah mudah mengalami infeksi bakteri patogen.

Gambar 4 Pemerahan yang dilakukan secara tradisional oleh peternak Indonesia

Pernyataan Ohstad et al. (2003) juga didukung oleh Lukman et al. (2009)

yang menyatakan bahwa pemerahan dengan cara tradisional menggunakan dua

jari (Strip Methode) akan mempengaruhi bentuk anatomi ambing dan puting.

Pemerahan dua jari (Strip Methode) adalah pemerahan dengan ibu jari dan

telunjuk digeser dari pangkal puting ke bawah sambil memijat, dikendorkan dan

kembali ke atas. Pemerahan metode dua jari ini dapat menimbulkan berbagai

masalah diantaranya terjadinya mastitis subklinis jika terus dilakukan sampai sapi

umur tua. Kelemahan pemerahan dengan cara ini adalah ambing dan puting selalu

basah, mudah luka, dan anatomi puting secara lambat menjadi semakin panjang.

Page 26: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

10

Puting yang panjang lebih mudah terserang mastitis subklinis dibandingkan

puting dengan ukuran pendek sehingga panjang puting dapat dijadikan sebagai

faktor predisposisi dari mastitis subklinis (Septiani 2013). Pemerahan dengan

metode ini masih diterapkan pada peternakan Kunak Cibungbulang Bogor dan

Pasir Jambu Ciwidey Bandung Jawa Barat.

Selain pemerahan, faktor umur juga berpengaruh terhadap kejadian mastitis

subklinis. Kajian Sutarti et al. (2003) tentang faktor-faktor penyebab mastitis

menunjukkan bahwa umur berasosiasi positif terhadap kejadian mastitis subklinis,

artinya mastitis subklinis sering menyerang sapi-sapi yang berumur tua. Semakin

tua umur sapi, terutama sapi dengan produksi susu yang tinggi, maka semakin

kendur sphincter putingnya, sehingga lebih mudah terinfeksi karena kemampuan

sphincter menahan masuknya kuman berkurang. Semakin tinggi produksi susu,

maka waktu yang dibutuhkan oleh sphincter untuk menutup dengan sempurna

akan semakin lama (Subronto 2003).

Perilaku Sapi Perah

Dalam penelitian ini faktor perilaku sapi perah juga mendapat perhatian.

Salah satunya adalah aspek kebiasaan sapi berbaring (lay down). Muttaqin (2009)

menjelaskan bahwa karena posisi rumen dan jantung yang berada di sebelah kiri

membuat sapi lebih nyaman berbaring ke sebelah kanan pada saat istirahat.

Tujuan berbaring ke sisi kanan tersebut adalah menurunkan tekanan darah

sehingga dapat meningkatkan kualitas isitrahat. (Gambar 5).

Gambar 5 Kebiasaan sapi perah berbaring (lay down)

Berdasarkan perilaku ini memungkinkan puting sebelah kanan lebih banyak

berkontak dengan lantai kandang dan lebih mudah terinfeksi bakteri dari lantai

kandang. Dengan alasan ini, dilakukan analisis pengaruh posisi puting terhadap

tingkat keparahan kondisi permukaan puting (Tabel 4) dan hiperkeratosis (Tabel

5) menggunakan uji Chi-Square sebagai berikut:

Page 27: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

11

Tabel 4 Pengaruh posisi puting terhadap kondisi permukaan puting

Posisi

puting

Kondisi Permukaan Putting Total

pV Normal Halus/ agak halus Kasar Sangat kasar

(n)

putting %

(n)

putting %

(n)

puting %

(n)

puting %

(n)

puting %

Kiri depan 55 63.2 % 22 25.3 % 7 8% 3 3.4 % 87 100%

0.107*

Kanan

depan 46 52.9 % 29 33.3 % 8 9.2 % 4 4.6 % 87 100%

Kiri

belakang 45 51.7 % 27 31% 9 10.3 % 6 6.9 % 87 100%

Kanan

belakang 40 46% 21 24.1 % 18 20.7 % 8 9.2 % 87 100%

Total 186 53.4% 99 28.4 % 42 12.1 % 21 6% 348 100%

*menunjukkan adanya pengaruh yang tidak nyata pada pV(>0.05)

Tabel 5 Pengaruh posisi puting terhadap kondisi hyperkeratosis pada puting sapi

perah

Posisi puting

Hiperkeratosis Total

pV Ya Tidak

(n)

puting % (n) puting %

(n)

putting %

Kiri depan 12 13.8 % 75 86.2 % 87 100%

0.382*

Kanan depan 13 14.9 % 74 85.1 % 87 100%

Kiri belakang 15 17.2 % 72 82.8 % 87 100%

Kanan belakang 20 23% 67 77% 87 100%

Total 60 17.2 % 288 82.8 % 348 100%

*menunjukkan adanya pengaruh yang tidak nyata pada pV (>0.05)

Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil uji statistik untuk melihat pengaruh

posisi puting terhadap kondisi permukaan puting menunjukkan nilai probabilitas

sebesar 0.107 (> 0.05) yang berarti tidak signifikan. Demikian juga Tabel 5

menunjukkan bahwa hasil uji statistik untuk melihat pengaruh posisi puting

terhadap kondisi hiperkeratosis menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.382

(>0.05) yang berarti tidak signifikan.

Berdasarkan kedua tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa posisi puting

tidak berpengaruh terhadap tingkat keparahan kondisi permukaan puting maupun

kejadian hiperkeratosis. Hal ini didukung dengan hasil penelurusan pustaka.

Menurut Mein et al. (2001) dan Timms & Morelli (2008) maupun Ohnstad et al.

(2003). Mereka menyebutkan bahwa faktor penyebab terjadinya perubahan

kondisi permukaan puting yaitu bentuk puting, cuaca/musim dan lingkungan,

manajemen pemerahan, produksi susu, umur laktasi, paritas dan genetik.

SIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umur laktasi sangat berpengaruh

terhadap perubahan kondisi permukaan puting dan hiperkeratosis, sedangkan

Page 28: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

12

posisi puting tidak berpengaruh terhadap perubahan kondisi permukaan puting

dan hiperkeratosis.

SARAN

Disarankan kepada peternak untuk melakukan manajemen peternakan

dengan baik, termasuk menerapkan manajemen pemerahan maupun pemeriksaan

ambing dengan rutin. Hal ini khususnya untuk mencegah terjadinya penyakit

yang timbul akibat perubahan kondisi permukaan puting yang buruk.

DAFTAR PUSTAKA

[BIF] Beef Improvement Federation. 2011. BIF Guidelines for Uniform Beef

Improvement Program. Ed ke-8. Beef Improvement Federation. Athens

(GR): Georgia Univ.

[KEMENTAN RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2015. Basis data

statistik pertanian [internet]. Jakarta (ID): KEMENTAN RI [diunduh 2016

Nov 7]. Tersedia pada: www.pertanian.go.id

[KUD] Koperasi Usaha Daerah. Profil koperasi usaha desa (KUD) Pasir Jambu

[internet]. Pasir Jambu (ID): KUD [diunduh 2016 Nov 7]. Tersedia pada:

annthea-koperasi.blogspot.co.id/2014/12/profil-kud-pasirjambu.html?m=1

Astuti TY, Marjono S, Haryati S. 2001. Buku Ajar Dasar Ternak Perah.

Purwokerto (ID): Universitas Jenderal Soedirman. hlm 64-68.

Bobić T, Mijić P, Vučković G, Gregić M, Baban M, Gantner V. 2014.

Morphological and Milkability Breed Differences of Dairy Cows. Osijek,

Crotia (HR): Faculty of Agriculture, University of Osijek.

Dairyco. 2009. Factors affecting milk supply. [internet] [diunduh 2016 Sep 21].

Tersedia pada: www.dairyco.org.uk.

Dairynz. 2011. Healthy udder. [internet] [diunduh 2016 Nov 1]. Tersedia pada:

http://www.dairynz.co.nz/animal/mastitis/tools-and-resources/healty-udder/

Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm

Animals. Iowa (US): Wiley-Blackwell. p 456-460.

Gleeson DE, O’Brien B, Boyle L, Earley B. 2007. Effect of milking frequency

and nutritional level on aspects of the health and welfare of dairy cows.

Animal 1:125-132.

Grindal RJ, Hillerton JE. 1991. Influence of milk flow rate on new intramammary

infection in dairy cows. J Dairy Res. 58:263-268.

Imelda, Edward. 2007. Beternak Sapi Perah. Ed ke-1. Bandung (ID): Sinergi

Pustaka Indonesia. hlm 20-24.

Kirk JH. 2002. Teat End Conditions and Scoring Systems. Extension Veterinarian.

Tulare (US): School of Veterinary Medicine, University of California Davis.

Lukman DW, Sudarwanto S, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono

RR, Pisestyani H. 2009. Higiene Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat

Veteriner Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Bogor (ID):

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Page 29: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

13

Magaš VB. 2012. Preparation, immunogenicity testing and evaluation of

efficiency of vaccines in the prophylaxis of mastitis in cows [disertasi].

Belgrade (RS): University of Belgrade.

Makin M. 2011. Tata Laksana Peternakan Sapi Perah. Yogyakarta (ID): Graha

Ilmu. hlm 5-10.

Mein GA, Neijenhuis F, Morgan WF, Reinemann DJ, Hillerton JE, Baines JR,

Ohnstad I, Rasmussen MD, Timms L, Britt JS, Farnsworth R, Cook NB.

2001. Evalution of bovine teat condition in commercial dairy herds: 1. non-

infectious factors. Proc. NMC and AABP meeting, Vancouver (CA). p347

Neijenhuis F, Barkema HW, Hogeveen H, Noorhizen JPTM. 2001. Relationship

between teat-end callosity and occurrence of clinical mastitis. J of Dairy

Scie. 84:2664-2672.

Neijenhuis F. 2004. Teat condition in dairy cows [tesis]. Utrecht (NL): Utrecht

University.

Nelson MG. 2010. The Complete Guide to Small-Scale Farming: Everything You

Need to Know About Raising Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks, and

Other Small Animals. Florida (US): Atlantic Publish Company. p 235-240.

Ohnstad I, Mein GA, Neijenhius F, Hillerton JE, Baines JR, Farnsworth R. 2003.

Assessing the scale of teat end problems and their likely causes. Texas (US):

42nd

Annuaul NMC Proceedings. Ford Worth.

Paduch JH, Mohr E, Krömer V. 2012. The association between teat end

hyperkeratosis and teat canal microbial load in lactating dairy cattle. Vet

Microb. 158:353-359.

Putra A. 2009. Potensi penerapan produksi bersih pada usaha peternakan sapi

perah (studi kasus pemerahan susu sapi Moeria, Kudus, Jawa Tengah)

[tesis]. Semarang (ID): Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro.

Putri P, Sudjatmogo, Suprayogi TH. 2015. Pengaruh lama waktu dipping dengan

menggunakan larutan kaporit terhadap tampilan total bakteri dan derajat

keasaman susu sapi perah [The effect of durations time of dipping with

kaporit on total bacteria and pH of dairy cows milk]. Anim Agric J.

4(1):132-136.

Septiani YN. 2013. Panjang puting dan periode laktasi sebagai faktor predisposisi

mastitis subklinis pada sapi perah di KPSBU Lembang, kabupaten Bandung

[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sodiqin M. 2012. Produksi susu dan pemberian pakan sapi perah di kawasan

usaha peternakan sapi perah kecamatan Cibungbulang, kabupaten Bogor

[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Soeharsono. 2008. Laktasi. Produksi dan Peranan Susu Bagi Kehidupan

Manusia. Bandung (ID): Widya Padjajaran. hlm 192-194.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia). Ed ke-2. Yogyakarta (ID):

Gadjah Mada University Press. 224 hlm.

Sudono A, RF Rosdiana, BS Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara

Intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. hlm 1-2.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung

(ID): Penerbit Alfabeta. 380 hlm.

Sutarti E, Budiharta S, Sumiarta B. 2003. Prevalensi dan faktor-faktor penyebab

mastitis pada sapi perah rakyat di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa

Tengah. J Sain Vet. 21:43-49.

Page 30: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

14

Syarif E, Harianto B. 2011. Buku Pengantar Beternak dan Bisnis Sapi Perah.

Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. 150 hlm.

Talib C. 2006. Grand Design Perbibitan Sapi di Indonesia. Bogor (ID): Balai

Peternakan Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Timms LL, Morelli J. 2008. Teat end and skin conditioning evaluation of two

experimental heptanoic acid teat dips during winter. Animal Industry

Report: AS 645, ASL R2315.

Usman H, Akbar RPS. 2000. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

323 hlm.

Page 31: KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga terbentuk hiperkeratosis

15

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai Penuh pada tanggal 13 April 1995 dari

pasangan Bapak Murison dan Ibu Septi Malinda. Penulis adalah putra kedua dari

tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri

270 Kota Sungai Penuh pada tahun 2006. Penulis menamatkan pendidikan

sekolah menengah pertama di SMP Negeri 8 Kota Sungai Penuh pada tahun 2009.

Penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Kota

Sungai Penuh dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun yang sama penulis lulus

seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Fakultas Kedokteran

Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Ilmu

Bedah Umum Veteriner (IBUV) pada tahun ajaran 2015/2016. Penulis pernah

menjadi anggota Himpunan Profesi (HIMPRO) Ornithologi.

Penulis aktif mengikuti magang liburan antara lain di Rumah Potong Hewan

(RPH) Malang pada tahun 2014 dan Klinik Kayu Manis Yogyakarta pada tahun

2015. Penulis juga pernah mengikuti Mahasiswa Abdi Nusantara di Provinsi

Banten pada tahun 2015.