kondisi existing dan analisis received signal level (rsl) pada base station transceiver (bts) di...

47
Laporan Kerja Praktek Analisis Kondisi Existing dan Received Signal Level (RSL) Pada Base Transceiver Station (BTS) di Noja Saraswati Denpasar Oleh : Nama: Ida Bagus Gde Dharma Dhyaksa NIM: 1004405013 JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

Upload: ida-bagus-gde-dharma-dhyaksa

Post on 22-Oct-2015

577 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Semoga bermanfaat..

TRANSCRIPT

Laporan Kerja Praktek

Analisis Kondisi Existing dan Received Signal Level (RSL)

Pada Base Transceiver Station (BTS)

di Noja Saraswati Denpasar

Oleh :

Nama: Ida Bagus Gde Dharma Dhyaksa

NIM: 1004405013

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA

BUKIT JIMBARAN

2013

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 PT. Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel)

1.1.1 Gambaran Umum

PT. Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) didirikan pada tahun 1995,

dimana awalnya perusahaan ini bernama PT. Dayamitra Malindo yang sahamnya

dimiliki oleh beberapa perusahaan swasta asing dan nasional. Dalam

perjalanannya, perusahaan ini telah mengalami beberapa kali perubahan dalam hal

kepemilikan sahamnya dan akhirnya pada tanggal 3 Desember 2004 saham

Mitratel 100% secara resmi telah menjadi milik PT. Telekomunikasi Tbk.

Sejak penghujung tahun 2007 lalu, Mitratel mengalami transformasi bisnis

dengan mulai memasuki bisnis penyediaan infrastruktur telekomunikasi yang

salah satu diantaranya berupa penyediaan menara telekomunikasi (tower provider)

untuk memenuhi kebutuhan para operator telekomunikasi di seluruh wilayah

Indonesia. Hingga saat ini Mitratel telah menyediakan tower provider untuk

beberapa operator telekomunikasi, antara lain: PT. Telekomunikasi Selular, PT.

XL Axiata Tbk, PT. Indosat, PT. Axis Telecom Indonesia, PT. Hutchison CP

Telecommunications, PT. Bakrie Telecom Tbk, PT. Smartfren Telecom Tbk, dan

Divisi Telkom Flexi yang tersebar di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Banten,

Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Batam, Riau,

Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,

Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, Maluku hingga ke Papua. Mitratel

hingga saat ini terus mengembangkan layanannya bukan hanya pada penyediaan

tower macro namun sudah mulai merambah microcell serta multi operator in-

building-solution (indoor antenna-pico).

Adapun visi dari Mitratel adalah menjadi leader dan provider terbaik dalam

penyediaan infrastruktur telekomunikasi di Asia Tenggara. Sedangkan misi dari

Mitratel adalah memberikan layanan multi service dan one stop solution provider

dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur telekomunikasi bagi para operator

seluler di wilayah Indonesia dengan kualitas yang prima dan harga yang

kompetitif.

Untuk membangun Budaya Perusahaan sebagai pedoman bagi seluruh

karyawan, Mitratel memiliki “Mitratel’s 5C” yang diadopsi dari prinsip yang

dianut oleh Telkom Group yaitu “Telkom’s 5C”. Didalam Mitratel’s 5C ini

terdapat penjabaran dari masing-masing nilai tersebut berupa Perilaku Kunci.

Tabel 1.1 Budaya dan prilaku kunci Mitratel

BUDAYA PRILAKU KUNCI

Commitment to Long Term

1. Selalu beradaptasi dan bersikap

dinamis terhadap perkembangan

bisnis.

2. Mengembangkan inovasi secara

terus menerus untuk mencapai visi

dan misi organisasi.

3. Bekerja dengan target yang

menantang didukung kerjasama

yang solid.

Customer First

1. Proaktif memberikan pelayanan

terbaik melebihi harapan

pelanggan.

2. Aktif mengembangkan solusi

sesuai dengan kebutuhan pasar.

3. Menjalin relasi yang harmonis

dengan pelanggan.

Caring Meritocracy

1. Memberikan penghargaan dan

konsekuensi secara konsisten dan

adil berdasarkan penilaian kinerja

yang obyektif.

2. Mengembangkan kompetensi

secara mandiri dan terus menerus

sesuai dengan tuntutan bisnis.

3. Memberikan penghargaan dan

konsekuensi sesuai hasil evaluasi

kemitraan yang obyektif dan

transparan.

Co-creatin of win-win Partnership

1. Mengembangkan sinergi kemitraan

strategis dalam rangka mencapai

tujuan perusahaan.

2. Menjaga kualitas kemitraan

melalui kerjasama yang saling

menguntungkan.

3. Memberikan penghargaan dan

konsekuensi sesuai hasil evaluasi

kemitraan yang obyektif dan

transparan.

Collaborative Innovation

1. Berbagi peran dan sumber daya

dalam rangka meningkatkan sinergi

Telkom Group.

2. Melakukan koordinasi dan

komunikasi yang efektif antara

sesama karyawan internal

perusahaan maupun Telkom

Group.

3. Membangun iklim kerja yang

positif dan kondusif dengan

semangat kerjasama, keterbukaan

dan saling percaya.

General ManagerEko Santoso

Koor Area BalnusVictor W

AMDini Alfiani

Area Bali NusraFajrin Isnanto

Area SumbaDodi Yuliawan

Area SumbaPutu Agus

AMRatna Timor

1.1.2 Gambaran Khusus Topik Kerja Praktek

Dalam laporan ini penulis memaparkan tentang kondisi existing dari tower

telekomunikasi di kawasan Noja Saraswati Denpasar. Hal tersebut meliputi near

end site, far end site, antena sectoral, antena microwave, dan juga dari Line of

Sight (LOS). Selain itu, dilakukan juga analisa perhitungan nilai Received Signal

Level (RSL) yang didapat berdasarkan data-data dari keadaan existing dan

menghitung parameter pendukung lainnya seperti loss propagasi, feeder loss,

penguatan antenna, dan juga nilai Effective Isotropic Radiated Power (EIRP).

1.1.3 Struktur Organisasi

Mitratel Regional Bali-Nusra dipimpin oleh seorang General Manager yang

membawahi beberapa divisi seperti divisi project, divisi operational maintenance

(OM), dan juga divisi staff. General manager memiliki tangan kanan yang

ditunjuk sebagai koordinator area Bali-Nusra yang dibagi lagi menjadi area Bali-

Nusra dan Sumba.

Gambar 1.1 Struktur umum organisasi

Project ManagerHerbert CM

Sitac LegalAgung

Project AdminBambang Rejeki

Project AdminYulia Dewi

Project AdminMertha S

Project AdminArri

Project ControllerKalut Purnomo

Sitac EngineerArmin

Project ControllerMade Winya

OM ManagerZahedi Piliang

Offc OMGede Arnaya

Admin OMSuresmiati

Offc OASaiful Qudori

Admin ITKadek Dwi

Sedangkan pada Divisi Project dipimpin oleh seorang project manager yang

membawahi beberapa bagian seperti sitac legal, sitac engineer, project admin,

dan juga project controller.

Gambar 1.2 Struktur divisi project

Selanjutnya terdapat divisi Operational Maintenance (OM) yang dipimpin

oleh seorang manager yang membawahi beberapa bagian seperti gambar 1.3.

Gambar 1.3 Struktur divisi operational maintenance (OM)

Staff ProkuremenStaff FinanceSubhawa Yoga

Offc GSKetut Dadi

Staff AdmAnggaraningsih

Dan yang terakhir terdapat divisi staff yang dibagi menjadi beberapa bagian

seperti staff admin, staff finance, dan staff prokuremen.

Gambar 1.4 Struktur divisi staff

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan laporan ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah

sebuah tower telekomunikasi tersebut berdasarkan kondisi existing, yang meliputi

near end site, far end site, antena sectoral, antena microwave, dan juga Line of

Sight (LOS) serta menganalisa besarnya nilai Received Signal Level (RSL)

sehingga tower telekomunikasi tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik

dan bermanfaat bagi pengguna jasa provider pada tower telekomunikasi yang

bersangkutan.

1.3 Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup pada laporan ini adalah pembahasan dari sebuah tower

telekomunikasi yang dijelaskan dari sisi telekomunikasinya dan tidak terlalu

mendalam (seperti proses transmisinya) untuk mengurangi adanya

kesalahpahaman dan hal-hal lain yang tidak diinginkan karena hal tersebut

merupakan kepemilikan dari provider yang menyewa jasa tower tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Base Transceiver Station (BTS)

BTS adalah kependekan dari Base Transceiver Station. Terminologi ini

termasuk baru dan mulai terkenal di dunia seluler saat ini. BTS berfungsi sebagai

jembatan perangkat komunikasi pengguna dari jaringan satu menuju jaringan lain.

Atau dengan kata lain bahwa BTS berfungsi sebagai pengirim (transceiver) dan

penerima (receiver) sinyal komunikasi dari/ke mobile station (MS) serta

menghubungkan MS dengan network element lain dengan menggunakan radio

interface.

Umumnya, BTS akan terhubung ke Base Station Controller (BSC), dalam hal

ini sebuah BSC akan mengontrol kerja beberapa BTS yang berada di bawahnya.

Karena fungsinya sebagai transceiver, maka bentuk fisik sebuah BTS pada

umumnya berupa tower dengan dilengkapi antena dan perangkat lainnya.

2.2 Topologi Base Transceiver Station (BTS)

BTS & handphone sama-sama disebut transceiver karena sifatnya yang sama-

sama bisa mengirim informasi dan menerima informasi. Pada saat BTS mengirim

informasi kepada handphone, saat itu pula handphone juga bisa mengirim

informasi kepada BTS secara bersama-sama selayaknya saat sedang mengobrol

via telepon, kedua orang penelpon bisa berbicara dalam waktu yang bersamaan.

Dalam topologinya, BTS berfungsi untuk menyediakan jaringan (interface)

berupa sinyal radio gelembang elektromagnetik untuk penggunanya dalam hal ini

adalah handphone, modem, fax, dll. Frekuensinya mengikuti alokasi yang telah

diberikan pemerintah kepada operator masing-masing, ada yang di band 450Mhz,

800Mhz, 900Mhz, 1800 Mhz maupun frekuensi diatas itu. Komunikasi dari arah

BTS ke pengguna disebut downlink, sedangkan jalur frekuensi yang digunakan

mengirim informasi dari pengguna ke BTS disebut uplink.

Gambar 2.1 Garis besar proses pertukaran data

Koneksi dari handphone (MS) ke BTS dilakukan dengan radio interface

melalui antena-antena yang terdapat pada BTS itu sendiri. Koneksi dari BTS

menuju ke BSC itu dilakukan dengan menggunakan antenna microwave (MW).

Sedangkan dari BSC menuju ke MSC, biasanya dapat digunakan dengan antenna

microwave juga tetapi dengan kapasitas yang lebih besar, atau dengan

menggunakan koneksi fiber optik (untuk kota-kota besar).

2.3 Komponen Base Transceiver Station (BTS)

BTS memiliki beberapa komponen penting untuk menunjang kinerjanya,

diantaranya adalah:

1. Tower

Tower adalah menara yang terbuat dari rangkaian besi atau pipa yang

bertujuan untuk menempatkan semua perangkat-perangkat yang dibutuhkan,

misalnya antena. Tower BTS dimana tower tersebut merupakan tower

telekomunikasi sangat berbeda dengan tower SUTET (Saluran Udara

Tegangan Ekstra Tinggi) milik PLN baik dalam hal konstruksi, maupun resiko

yang ditanggung penduduk di sekitarnya.

Jadi bagian yang terpenting mengapa diperlukan pembangunan tower

adalah untuk penempatan antena-antena tersebut, dimana dibutuhkan

ketinggian tertentu untuk dipenuhinya syarat memancarkan dan menerima

sinyal.

2. Antena Sectoral

Antena sectoral sering disebut juga dengan antena patch panel yang pada

dasarnya tidak berbeda jauh dengan antenna omni. Biasanya digunakan untuk

Access Point bagi sambungan Point-to-Multi-Point (P2MP). Umumnya antena

sectoral mempunyai polarisasi vertical, beberapa diantaranya juga mempunyai

polarisasi horizontal.

Gambar 2.2 Antena sectoral

Antena sectoral umumnya mempunyai penguatan lebih tinggi dari antena

omni sekitar 10-19 dBi. Sangat baik untuk memberikan servis di daerah dalam

jarak 6-8 km. Tingginya penguatan pada antena sectoral biasanya di

kompensasi dengan lebar pola radiasi yang sempit 45-180 derajat. Jelas daerah

yang dapat di servis menjadi lebih sempit, dan ini sangat menguntungkan.

Gambar 2.3 Pola radiasi antenna sectoral

Secara umum radiasi antena lebih banyak ke muka antena, tidak banyak

radiasi di belakang antena sectoral. Radiasi potongan vertical tidak berbeda

jauh dengan antena omni. Antena sectoral biasanya di letakkan di atas tower

yang tinggi, oleh karena itu biasanya di tilt sedikit agar memberikan layanan

ke daerah di bawahnya.

3. Antena Microwave

Microwave system adalah sebuah sistem pemancaran dan penerimaan

gelombang mikro yang berfrekuensi sangat tinggi. Microwave system

digunakan untuk komunikasi antar BTS atau BTS-BSC.

Pada antena Microwave yang berbentuk seperti rebana genderang itu

termasuk jenis high performance antenna. Biasanya ada 2 brand, yaitu

Andrew and RFS. Ciri khas dari antena high performance ini adalah

bentuknya yang seperti gendang dan terdapat penutupnya, yang disebut

radome. Fungsi radome antara lain untuk melindungi komponen antena

tersebut dari perubahan cuaca sekitarnya.

Gambar 2.4 Antena microwave

4. Penangkal Petir

Penangkal petir itu semacam rangkaian jalur yang difungsikan sebagai

jalan bagi petir menuju ke permukaan bumi, tanpa merusak benda-benda yang

dilewatinya.

5. Lampu

Lampu digunakan untuk penerangan di sekitar lingkungan BTS.

6. Shelter

Shelter BTS adalah suatu tempat dimana terdapat perangkat-perangkat

telekomunikasi. Untuk letaknya, biasanya juga tidak akan jauh dari suatu

tower atau menara karena adanya ketergantungan sebuah fungsi diantara

keduanya, yakni shelter dan BTS.

7. Grounding

Grounding berfungsi untuk mengurangi atau menghindari bahaya yang

disebabkan oleh tegangan tinggi.misalnya bahaya petir dengan tegangan

tinggi.

Untuk lebih jelasnya, perangkat-perangkat yang terdapat pada BTS akan

dijelaskan dengan menggunakan gambar dan bisa dilihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.5 Perangkat-perangkat pada BTS

Penangkal petir

Antena sectoral

Antena microwave

tower

2.4 Azimuth

Azimuth adalah pengarahan horizontal pada antena. Pada antena directional,

azimuth digunakan untuk menentukan arah pancar antena. Antena directional

memiliki pengaturan sudut sebesar 360 derajat. Pengarahan antena ditujukan pada

area daerah tingkat trafik yang tinggi. Arah pancar antena sebaiknya tidak

diarahkan langsung pada jalan lurus, sungai dan bangunan dengan tingkat

pemantulan yang tinggi.

Dalam azimuth, terdapat 2 istilah yang biasa digunakan yaitu azimuth true dan

azimuth magnetik.

2.4.1 Azimuth True

Azimuth true dapat diistilahkan sebagai azimuth yang sebenarnya. Bumi

berputar pada porosnya, dimana ujung poros atas adalah kutub utara bumi, dan

ujung poros bawah adalah kutub selatan bumi. Adapun dalam menghitung sudut

azimuth true, maka kutub utara bumi ini dianggap sebagai titik azimuth 0 derajat,

sedangkan kutub selatan bumi dianggap sebagai titik azimuth 180 derajat.

Bumi dibagi menjadi 360 garis bujur, yaitu garis yang berawal pada kutub

utara bumi dan berakhir pada kutub selatan bumi. Dengan demikian maka garis

bujur ini adalah merupakan garis yang menghubungkan azimuth true 0 derajat dan

azimuth true 180 derajat.

Dengan demikian dapat dikatakan jika garis yang menghubungkan azimuth

true 0 derajat dan azimuth true 180 derajat, maka garis tersebut akan sejajar

dengan garis bujur bumi. Dan akan sama jika akan menarik garis antara sudut

azimuth true 90 derajat dan azimuth true 270 derajat maka otomatis garis tersebut

akan sejajar dengan garis katulistiwa atau equator.

2.4.2 Azimuth Magnetik

Azimuth magnetik dapat diistilahkan sebagai azimuth yang dilihat dengan

menggunakan kompas, dan memiliki konsep yang sama dengan azimuth true

(azimuth yang sebenarnya).

Oleh karena pengaruh medan magnet, bentuk kelengkungan bumi dll, maka

terjadi selisih antara 0 derajat pada azimuth true dan 0 derajat pada azimuth

magnetik. Selisih dari keduanya itu disebut dengan "deklinasi kompas". Adapun

besarnya deklinasi kompas pada setiap daerah adalah berbeda-beda.

Gambar 2.6 Azimuth true dan azimuth magnetik

Dapat dilihat dari gambar 2.7 terdapat perbedaan beberapa derajat antara

azimuth true (yang lurus dengan kutub bumi) dan azimuth magnetik (yang

mengikuti medan magnet bumi).

2.5 Line of Sight (LOS)

Line of sight (LOS) adalah suatu teknik pentransmisian sinyal dimana antara

dua terminal yang saling berhubungan benar-benar tidak ada obstacle yang

menghalanginya (bebas pandang) sehingga sinyal dari pengirim dapat langsung

mengarah dan diterima di sisi penerima.

Line of Sight (LOS) microwave banyak digunakan untuk transmisi radio

broadband point-to-point. Di Eropa, LOS microwave disebut juga radio relay

atau radiolinks. Link yang dimaksud adalah hubungan antara near end transmitter

ke far end receiver. Sejauh mana kondisi LOS yang dapat dicapai adalah batas

maksimum dari sebuah link.

Gambar 2.7 Line of Sight antara NE dan FE

Dalam proses pentransmisian sinyal, faktor-faktor yang mempengaruhi

propagasi sinyal dalam sistem Los ini adalah redaman, refleksi, refraksi atmosfer,

fading, dan difraksi sepanjang permukaan bumi.

Secara sederhana LOS merupakan keadaan kasat mata, berarti antena

pemancar dan antena penerima ‘saling melihat’. Tetapi dalam sistem radio ‘saling

melihat’ saja tidak cukup. Sistem komunikasi radio dikatakan pada kondisi LOS

jika terpenuhi ‘syarat-syarat LOS’.

2.6 Path Loss dan Free Space Loss

Path loss adalah suatu metode yang digunakan untuk mengukur suatu loss

yang disebabkan oleh cuaca, kontur tanah dan lain-lain, agar tidak menggangu

pemancaran antar 2 buah antenna yang saling berhubungan. Nilai path loss

menunjukkan level sinyal yang melemah (mengalami attenuation) yang

disebabkan oleh propagasi free space seperti refleksi, difraksi, dan scattering.

Path loss sangat penting dalam perhitungan Link Budget, ukuran cell, ataupun

perencanaan frekuensi. faktor-faktor yang mempengaruhi nilai level daya dan

pathloss adalah jarak pengukuran antara Tx dan Rx, tinggi antena (Tx dan Rx),

serta jenis area pengukuran.

Satuan yang digunakan pada path loss adalah dB (decibBell) yang merupakan

satuan perbedaan atau rasio antara kekuatan daya pancar sinyal. Penamaannya

juga untuk mengenang Alexander Graham Bell sehingga menggunakan besar

huruf “B”. Satuan ini digunakan untuk menunjukkan efek dari sebuah perangkat

terhadap kekuatan atau daya pancar suatu sinyal.

Sedangkan redaman ruang bebas (Free Space Loss) didefinisikan sebagai

redaman yang dihasilkan oleh suatu media transmisi, berupa ruang bebas, sebagai

akibat dari penyebaran energi sinyal yang dipancarkan.

Adanya pemantulan dari beberapa obyek dan pergerakan mobile station

menyebabkan kuat sinyal yang diterima oleh mobile station bervariasi dan sinyal

yang diterima tersebut mengalami path loss. Tanpa memperhitungkan kondisi

alam dan lokasi dimana pemancar dan penerima berada, besarnya path loss dapat

dihitung dengan menggunakan rumus .free space loss.

Propagasi loss mencakup semua perlemahan yang diperkirakan akan dialami

sinyal ketika berjalan dari Base station ke Mobile Station. Adanya pemantulan

dari beberapa obyek dan pergerakan mobile station menyebabkan kuat sinyal yang

diterima oleh mobile station bervariasi dan sinyal yang diterima tersebut

mengalami path loss. Path loss akan membatasi kinerja dari system komunikasi

bergerak sehingga memprediksikan Path loss merupakan bagian yang penting

dalam perencanaan system komunikasi bergerak. Path loss yang terjadi pada

sinyal yang diterima dapat ditentukan melalui model propagasi tertentu. Model

propagasi biasanya memprediksikan rata-rata kuat sinyal yang diterima oleh

mobile station.pada jarak tertentu dari base station ke mobile station. Disamping

itu model probagasi juga berguna untuk mempekirakan daerah cakupan sebuah

base station sehingga ukuran sel dari base station dapat ditentukan. Model

propagasi juga dapat menentukan daya maksimum yang dapat dipancarkan untuk

menghasilkan kualitas pelayanan yang sama pada frekuensi yang berbeda.

2.7 Model Propagasi

Transmisi radio dalam sistem komunikasi bergerak sering terjadi melalui

wilayah yang tidak beraturan. Untuk mengestimasi besarnya nilai redaman

lintasan sinyal, perlu diperhitungkan pula berbagai profil wilayah yang dilaluinya.

Profil wilayah ini dapat berubah dari yang sederhana seperti hanya berupa

kelengkungan bumi, sampai ke profil pegunungan yang ketinggiannya tidak

beraturan. Hadirnya pepohonan, bangunan dan penghalang-penghalang lainnya

harus juga diperhitungkan keberadaannya. Untuk itu, kondisi wilayah yang dilalui

perambatan gelombang juga sering diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu

daerah urban, daerah sub urban, daerah rural, dan daerah open area (terbuka).

Sejumlah model propagasi kini telah tersedia untuk memprediksi redaman

lintasan yang melalui wilayah yang sifatnya tidak beraturan. Model-model ini

ditujukan untuk memprediksi kekuatan sinyal di titik lokasi penerimaan tertentu,

atau di wilayah lokal tertentu yang disebut sektor, dengan metode yang bervariasi

secara luas dalam pendekatannya, kerumitannya maupun ketepatannya. Sebagian

besar model propagasi ini berlandaskan pada interpretasi sistematik dan

pengukuran data yang diperoleh dalam wilayah layanan yang dimiliki oleh

operator sistem komunikasi bergerak. Model propagasi bergantung pada terrain,

densitas pohon, beamwidth, tinggi antena, kecepatan angin dan musim.

Fokus utama permodelan perambatan sinyal (propagation model) adalah

memprediksi kekuatan rata-rata sinyal yang diterima pada sebuah titik dengan

jarak tertentu dari transmitter.

Terdapat beberapa model propagasi, diantaranya adalah:

1. Model Okumura

Model Okumura merupakan salah satu model yang terkenal dan paling

banyak digunakan untuk melakukan prediksi sinyal di daerah urban (kota).

Model ini cocok untuk range frekwensi antara 150 - 1920 MHz dan pada jarak

antara 1 - 100 km dengan ketinggian antenna base station (BS) berkisar 30 -

1000 m.

2. Model Hatta dan COST-231

Model Hatta merupakan bentuk persamaan empirik dari kurva redaman

lintasan yang dibuat oleh Okumura, karena itu model ini lebih sering disebut

sebagai model Okumura-Hatta. Model ini valid untuk daerah range frekuensi

antara 150 – 1500 MHz, tinggi effektif antena transmitter sekitar 30-200 m,

tinggi efektif antena receiver sekitar 1-10 m.

3. Model Lee

Model ini menggunakan parameter acuan frekuensi kerja 900 MHz, tinggi

antena base station 30,5 m dan tinggi antena mobile station 3 m , daya pancar

10 W, dan gain antena base station sebesar 6 dB terhadap dipole ½ lambda.

4. Model Longley-Rice

Model Longley-Rice ini cocok untuk diterapkan pada system komunikasi

titik ke titik didalam frekuensi dari 400 MHz sampai 100 GHz. Model

Longley-Rice juga dapat digunakana dengan menggunakan program komputer

untuk menghitung redaman media transmisi dibandingkan terhadap redaman

ruang bebas (free space loss) pada daerah permukaan tidak teratur untuk

selang frekuensi antara 20 MHz sampai 10 GHz. Parameter-parameter sebagai

masukan dari program komputer tersebut adalah frekuensi operasi, panjang

lintasan, polarisasi, tinggi antenna, refraksi permukaan, radius effektif bumi,

konduktivitas tanah, konstanta dielektrik bumi, dan cuaca. Program juga dapat

dioperasikan pada parameter khusus seperti jarak horizon antenna, sudut

elevasi horizon, jarak angular antar horizon, ketidakteraturan permukann

bumi, dan parameter-parameter khusus lainnya.

5. Model Durkin

Model Durkin merupakan salah satu model propagasi klasik yang hampir

memiliki kesamaan dalam penggunaannya dengan model Longley-Rice.

Model yang pertama kali diterbitkan dalam paper oleh Edwards dan Durkin

ini

6. Model Walfisch Ikegami

Dalam perhitungannya, model ini hanya memperhitungkan jalur transmisi

secara lurus pada bidang vertikal antara pemancar-penerima. Jadi yang

diperhitungkan hanyalah efek dari benda-benda yang segaris dengan jalur

transmisi. Pada daerah perkotaan dimana terdapat banyak gedung-gedung maka

yang diperhitungkan hanyalah gedung-gedung yang dilalui bidang vertikal jalur

transmisi.

Gambar 2.8 Penampang vertikal jalur gelombang berdasar model Walfisch

Ikegami

Tingkat ketepatan dari model empiris ini sangat tinggi karena, pada daerah

perkotaan perambatan yang terjadi melalui atap gedung (multiple diffraction)

merupakan faktor yang sangatlah dominan dan paling berpengaruh. Hanya saja

efek akibat refleksi yang berulang-ulang (Multiple reflection) tidak

diperhitungkan.

Model ini bisa digunakan secara akurat pada parameter frekuensi 800-2000

MHz, ketinggian pemancar 4-50 m, ketinggian penerima 1-3 m, dan jarak antara

pemancar dan penerima 20-5000 m. Model ini memiliki 2 jenis perhitungan, yaitu

dalam kondisi Line of Sight dan Non Line of Sight yang memiliki rumus

perhitungan yang berbeda juga.

Gambar 2.9 Kondisi non line of sight berdasar model Walfisch Ikegami

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 KONDISI EXISTING

Kondisi existing adalah suatu kondisi yang sudah ada atau telah terjadi di

lapangan. Dalam Base Transceiver Station (BTS) di daerah Noja Saraswati

Denpasar ini, kondisi existing yang akan dianalisa diantaranya adalah near end

site, far end site, antena sectoral, antena microwave, dan minimum Line of Sight

(LOS).

3.1.1 NEAR END (NE) SITE

Near End site yang dimaksud adalah site baru atau site yang akan

direncanakan untuk dibangun. Dan site yang menjadi Near End dalam laporan ini

adalah site milik PT. Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) yang disewa oleh

provider Telkomsel (T-Sel). Site ini bernama Noja Saraswati DMT dengan site ID

DPR725.

Pembangunan site ini berawal dari permintaan Telkomsel itu sendiri dengan

alasan capacity (kapasitas). Maksud dari capacity disini ialah untuk

mengantisipasi adanya lonjakan traffic baik itu voice, sms, mms, dan saat ini yang

menjadi trend baru adalah data, dan untuk mengantisipasinya biasanya operator

melakukan upgrade kapasitas pada Trunk Capacity, Air Interface Capacity, dan

Power Capacity. Semua harus diperbesar, semua harus diperlebar karena yang

akan melewati juga besar dan diperkirakan akan semakin bertambah (sesuai

survey dari pihak provider).

Tower ini merupakan tower pole yang berada pada lintang (lattitude) -8.63310

dan pada busur (longitude) 115.23206, yang bisa diketahui keberadaannya melalui

Global Positioning System (GPS) atau aplikasi lain seperti google map dan google

earth yang sudah sering digunakan.

Gambar 3.1 Letak site dilihat melalui Google earth

Tower tersebut berdiri diatas rumah dengan tinggi 7 meter, dengan ketinggian

tower pole sendiri adalah 9 meter, sehingga ketinggian tower menjadi 16 meter

dari permukaan tanah.

Gambar 3.2 Ilustrasi BTS

Site tersebut memiliki daya listrik sebesar 13,2 kVA, bertipe outdoor site

karena memang berada di ruangan yang terbuka, dan dengan landasan shelter

(baseframe) adalah single row. Tujuan dari adanya baseframe ialah agar shelter

tidak bersentuhan langsung dengan tanah dan terhindar dari korosi.

Tabel 3.1 Site Noja Sarawati DMT

Site ID Nama

Site

Longitude Lattitud

e

Tinggi

(m)

Tipe

Site

Baseframe

DPR275 Noja

Saraswati

DMT

115.23206 -8.63310 16 Outdoor Single Row

3.1.2 FAR END (FE) SITE

Far End site dalam hal ini dimaksudkan sebagai site yang telah ada

sebelumnya (existing) dan memungkinkan untuk digunakan. Apabila Far End site

yang sebelumnya direncanakan tersebut tidak memungkinkan untuk digunakan,

maka harus mencari site lain lagi yang bisa digunakan yang dengan otomatis

azimuth, ketinggian antenna, dan min LOS dari Near End Site pun ikut berubah.

Far End site yang digunakan pada laporan ini berada pada lintang (lattitude) -

8.63267, dan berada pada bujur (longitude) 115.22660. Site tersebut bernama Site

Nindya Indah dengan Far End ID yaitu DPR726. Jarak dari near end hingga ke

far end jika melalui jalur udara atau ditarik dengan garis lurus adalah 600 meter.

Gambar 3.3 Letak NE site dan FE site dilihat melalui Google earth

Seperti yang telah ditampilkan pada gambar 3.2 bahwa penunjuk sebelah

kanan merupakan near end site yaitu site Noja Saraswati sedangkan penunjuk

sebelah kiri merupakan far end site yaitu Nindya Indah. Jarak antara kedua tempat

tersebut cukup jauh jika ditempuh melalui jalur darat, namun hanya 600 meter

jika ditarik dengan garis lurus.

Tabel 3.2 Site Nindya Indah

FE ID Nama

Site FE

Longitude Lattitude Jarak NE - FE

(km)

DPR726 Nindya

Indah

115.22660 -8.63267 0.60

α

β

3.1.3 Antena Sectoral

Pada tower ini, telah terpasang antena yang berfungsi sebagai penerima serta

pengirim informasi. Salah satu antena tersebut merupakan antena sectoral. Antena

ini merupakan antena 3G milik Telkomsel. Ketinggian antena 3G tidak terlalu

tinggi dan tidak setinggi tower yang berfungsi untuk memasang antena voice yang

biasanya memiliki tinggi hingga 42 meter. Seperti antena sectoral pada tower

kebanyakan, antena pada tower ini juga memiliki 3 sisi yaitu alpha, beta, dan

gamma dengan azimuth 0/140/240. Azimuth tersebut merupakan derajat elevasi

dari masing-masing antena sectoral yang ada.

270 o 90o

Gambar 3.4 Letak penempatan antena sectoral

Ketiga antena tersebut berada sejajar pada ketinggian 16 meter (dihitung

berdasarkan sumbunya) dan tidak semua penyedia tower menggunakan standar

seperti itu. Masing-masing antena tidak selalu berada pada ketinggian yang sama

dan bisa saja berbeda, namun dalam hal ini ketinggiannya adalah sama. Antena

tersebut juga termasuk dalam cluster urban.

γ

Tabel 3.3 Antena sectoral

Band Azimuth Tinggi Antenna

(m)

Feeder Cluster

3G 0/140/240 3G: 16/16/16 Feederless

all sector

Urban all

sector

3.1.4 Antena Microwave

Pada masing-masing Site, yaitu Near End site dan juga Far End site memiliki

1 buah antena sectoral (alpha, beta, gamma) dan juga 1 buah antena microwave.

Untuk Azimuth dari NE/FE adalah 274.52/94.53. Ini berarti pada Near End site

berada pada elevasi kemiringan 274.52 derajat, sedangkan pada Far End site

berada pada elevasi kemiringan 94.53 derajat.

Gambar 3.5 Antena microwave FE

Gambar 3.6 Antena microwave NE

Sesuai pada gambar 3.5 dan gambar 3.6 dapat terlihat jika masing-masing

antena tersebut berhadapan. Azimuth yang digunakan adalah azimuth magnetik

(azimuth yang terlihat pada kompas) dan tidak menggunakan azimuth true, karena

penggunaan azimuth true tersebut hanya dipergunakan dalam penentuan

penempatan antena yang menggunakan satelit geostasioner sebagai patokannya.

3.1.5 Minimum Line of Sight (Min LOS)

Min LOS dimaksudkan sebagai tinggi minimum dari Line of Sight suatu

antena agar terhindar dari obstacle-obstacle disekitar site baik itu berupa gedung

tinggi, pepohonan, bukit, gunung, dan sebagainya.

Dari data yang didapat, min LOS NE/FE adalah bernilai 16/20 meter. Ini

berarti pada Near End site, minimum tinggi dari antena haruslah berada pada

ketinggian 16 meter. Sedangkan pada Far End site, minimum tinggi untuk

antenanya harus berada pada ketinggian 20 meter.

Penentuan angka 16 meter dan juga 20 meter tersebut didapat berdasarkan

hasil LOS survey. Sebelum perencanaan link, antenna dan seterusnya kita harus

melakukan aktivitas ini untuk memprediksi bagaimana kita dapat menempatkan

ketinggian antenna dari hambatan yang terlihat. Sebelum melakukan aktivitas ini

dan untuk meminimalisir kesalahan biasanya team survey berangkat ke lokasi

akan diberikan data berupa koordinat titik nominal untuk Near End site dan juga

Far End site-nya dari provider yang memesan BTS tersebut.

Apabila salah satu site tersebut ada yang melanggar ketinggian min LOS yang

telah ditentukan tersebut, maka kinerja dari antena microwave tersebut tidak akan

sempurna, karena cakupan yang seharusnya bisa lebih lebar tersebut terhalang

oleh obstacle tadi.

3.2 Analisis Nilai Received Signal Level (RSL)

Receive Signal Level (RSL) adalah level sinyal yang diterima di penerima.

Nilai dari RSL tersebut haruslah lebih besar daripada sensitivitas perangkat di

penerima. Dari kondisi existing yang sudah ada di lapangan, analisa nilai Received

Signal Level (RSL) bisa ditemukan. Selain membutuhkan data-data dari kondisi

existing, hal lain yang harus dicari terlebih dahulu adalah loss propagasi, Effective

Isotropic Radiated Power (EIRP), penguatan antena, dan loss pada feeder.

3.2.1 Path Loss dan Free Space Loss

Pada kondisi ini, model propagasi outdoor yang digunakan untuk menghitung

path loss –nya adalah dengan menggunakan Model Walfisch Ikegami. Walfisch

Ikegami dipilih karena model ini akurat untuk parameter-parameter sebagai

berikut:

Frekuensi = f (800...2000 MHz)

Ketinggian pemancar = hTX (4...50 m)

Ketinggian penerima = hRX (1...3 m)

Jarak antara pemancar dan penerima = d (20...5000 m)

Dan parameter yang terdapat di lapangan adalah sebagai berikut:

Frekuensi = 1800 MHz

Ketinggian pemancar = 16 m

Ketinggian penerima = 2 m (diibaratkan sebagai seseorang yang sedang

menelpon dengan menggunakan handphone)

Jarak antara pemancar dan penerima = 500 m (ditentukan sendiri)

Dalam perhitungan dengan menggunakan Walfisch Ikegami, perhitungan

dibagi menjadi 2 kondisi. Yaitu kondisi saat Line of Sight dan Non Line of Sight.

Untuk percobaan dalam perhitungan di laporan ini digunakan jarak antara

pemancar dengan penerima sejauh 500 m yang juga dalam keadaan Line of Sight.

Dan berikut adalah persamaannya:

Path loss (dB) = 42,6 + 26 log (d) + 20 log (f)

Jadi,

Path loss = 42,6 + 26 log (d) + 20 log (f)

= 42,6 + 26 log (0,5) + 20 log (1800)

= 42,6 + (-7.826) + 65,105

Path loss = 99.878 dB

Sedangkan persamaan dalam menghitung free space loss adalah sebagai berikut:

Free space loss (dB) = 32,5 + 20 log (d) + 20 log (f)

Jadi,

Free space loss = 32,5 + 20 log (d) + 20 log (f)

= 32,5 + 20 log (0,5) + 20 log (1800)

= 32,5 + (-6.020) + 65,105

Free space loss = 91,584 dB

Berdasarkan perhitungan diatas, dapat dilihat jika path loss lebih besar

daripada free space loss karena dalam free space loss adanya loss hanya

disebabkan faktor jarak dimana semakin lama maka kekuatan sinyal akan

menurun. Sedangkan nilai path loss dengan berdasarkan teori bisa saja lebih kecil

atau lebih besar namun cenderung lebih kecil dari kenyataan di lapangan jika

dilakukan perhitungan dengan menggunakan alat yang disebabkan oleh adanya

perambatan dari gedung dan pepohonan yang ada disekitarnya.

Besarnya perbandingan antara path loss dan free space loss adalah bernilai

sebesar 8,293 dB.

3.2.2 Penguatan Antena

Berikut adalah persamaan untuk mencari gain (penguatan) antena:

G ¿4 πDF

λ ²

Dimana,

G = Gain (penguatan)

π = 3,14

D = Diameter (meter), sebesar 0.4 meter

F = Fokus (meter)

λ = Panjang gelombang (meter)

Untuk menghitung panjang gelombang digunakan persamaan sebagai berikut:

λ=300f

Dimana,

λ = panjang gelombang (meter)

f = frekuensi (MHz)

Jadi, λ=300

1800 = 0.17

Untuk menentukan jarak titik fokus yaitu dari titik nol ke F (dimana driven

antena diletakkan) ditentukan oleh persamaan berikut:

F=√ QD ²16

Dimana,

F = jarak titik F dari titik nol (meter)

Q = faktor kualitas berkisar antara 2-4 (ambil 2,6)

D = diameter (meter)

Jadi, F=√ (2.6 )(0.14)16

=√0.026 = 0.16

Oleh karena itu, didapat G ¿4 πDF

λ ² =

4 (3.14 ) (0.4 )(0.16)0.028

= 0.80384

0.028 = 28.708

Dan di konversikan ke dalam dB yaitu: 10 log 28.708 = 10 × 1.4580 = 14.580 dB.

3.2.3 Feeder Loss

Feeder loss merupakan loss (hilangnya) daya akibat redaman pada saluran

transmisi yg di gunakan. Besarnya loss yang disebabkan oleh feeder adalah

sebesar 0 dBm, karena pada penjelasan sebelumnya telah dikatakan jika keadaan

dilapangan adalah feederless.

3.2.4 Effective Isotropic Radiated Power (EIRP)

Persamaan yang digunakan untuk mencari nilai EIRP adalah sebagai berikut:

EIRP = PTX + GTX – LTX

Dimana,

PTX = daya pancar (dBm) telah ditentukan sebesar 27 dBm

GTX = penguatan antena pemancar (dB) sebesar 14.580 dB

LTX = rugi-rugi pada pemancar / feeder loss (dB) sebesar 0 dBm karena

feederless

Jadi, EIRP = 27 dBm + 14.580 dB – 0 dBm = 41.580 dBm

3.2.5 Received Signal Level (RSL)

Oleh karena semua parameter yang diperlukan untuk menghitung RSL telah

ditemukan, maka nilai RSL sudah bisa didapat dan dengan menggunakan

persamaan sebagai berikut:

RSL = EIRP – Lpropagasi + GRX– LRX

Dimana,

EIRP = Effective Isotropic Radiated Power (dBm)

Lpropagasi = rugi-rugi gelombang saat berpropagasi (dB)

GRX = penguatan antena penerima (dB)

LRX = rugi-rugi saluran penerima/feeder loss (dB)

Jadi, RSL = EIRP – Lpropagasi + GRX– LRX

= 41.580 - 99.878 + 14.580 – 0

= -43.718 dBm

BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

Simpulan yang didapat dari penulisan laporan ini diantaranya adalah:

1. Sebelum perencanaan pembuatan BTS, kegiatan survey sangatlah penting

untuk dilakukan karena hasil survey tersebut sangat mempengaruhi kinerja

dari BTS itu sendiri nantinya.

2. Antena sectoral yang terdapat pada Site Noja Saraswati tersebut mengarah

ke beberapa sudut daerah tertentu untuk menanggulangi masalah capacity.

3. Antena microwave pada masing-masing site dipasang berdasarkan azimuth

magnetik (yang ditunjukkan pada kompas), tidak berdasarkan azimuth true

karena azimuth true hanya digunakan untuk antenna yang berpatokan pada

satelit geostasioner.

4. Pencarian site yang bisa digunakan sebagai Far End site dilakukan dengan

mencari site terdekat yang masih dapat dianggap memungkinkan.

5. Line of Sight (LOS) memiliki peran yang sangat penting, apabila pancaran

dari antena microwave terhalang obstacle maka otomatis kinerjanya tidak

akan maksimal.

6. Perhitungan path loss sangat menentukan dalam perhitungan Link Budget,

ukuran cell, ataupun perencanaan frekuensi.

7. Beberapa faktor yang mempengaruhi besar nilai RSL antara lain Gain

pemancar, rugi-rugi kabel, rugi-rugi medium rambat, faktor kelengkungan

bumi, rugi-rugi kabel sisi penerima, dan gain sisi penerima.

4.2 Saran

Saran dari penulis adalah pada saat melakukan kegiatan survey untuk

perencanaan pembangunan BTS haruslah sangat teliti dan dengan hati-hati.

Karena ketinggian min LOS, azimuth antena sectoral, azimuth antena

microwave, ketinggian antena, dan semuanya yang berhubungan dengan BTS

tersebut berawal dari survey. Agar apa yang diharapkan bisa berjalan dengan

maksimal, dan provider yang menyewa puas maka hal tersebut harus

dijalankan dengan baik.

Selain Line of Sight (LOS), path loss juga sangatlah penting untuk

diperhatikan karena redaman-redaman yang timbul akibat obstacle seperti

gedung, bukit, dan pepohonan sangat berpengaruh terhadap kekuatan sinyal.

Jadi link budget nantinya akan dibuat berdasarkan perhitungan path loss agar

antena pada tower yang dibangun dapat bekerja dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abditech. 2013. Pengertian Azimuth Pada Pemasangan Dish. Diperoleh dari

http://abditech.blogspot.com/2013/08/pengertian-azimuth-pada-

pemasangan-dish.html diakses pada 19 November 2013.

Amru, A. 2009. Menentukan Sudut Azimuth dan Elevasi. Diperoleh dari

http://abimanyu-amru.blogspot.com/2009/07/menentukan-sudut-azimuth-

dan-elevasi.html diakses pada 19 November 2013.

Joko, M. 2011. Model Propagasi. Diperoleh dari

http://blogmasjoko.blogspot.com/2011/12/model-propagasi.html diakses

pada 27 November 2013.

Singgih, C. 2010. Tower Telekomunikasi. Diperoleh dari

http://catursinggih.blogspot.com/2010/02/tower-telekomunikasi_24.html

diakses pada 20 Oktober 2013.

Chullax. 2010. Menentukan Sudut Azimuth dan Elevasi.

http://chullaxmasadepan.blogspot.com/2010/01/menentukan-sudut-

azimuth-dan-elevasi.html diakses pada 19 November 2013.

Cyberart. 2012. Kumpulan Rumus-Rumus Kalkulasi Wireless. Diperoleh dari

http://www.cyber4rt.com/2012/06/kumpulan-rumus-kalkulasi-

wireless.html diakses pada 20 November 2013.

Batubara, J. 2012. Site Investigation Survey. Diperoleh dari http://joan-

batubara.blogspot.com/2012/12/site-investigation-survey.html diakses

pada 26 Oktober 2013.

Mashuri, SI. 2010. Model Propagasi Gelombang Radio Luar Ruangan.

Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik,

Universitas Gadjah Mada.

Speedy, T. 2010. Antenna Sektoral. Diperoleh dari

http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/Antenna_sektoral

diakses pada 20 Oktober 2013.

Pambudhi, HT. 2012. Analisis Kekuatan Daya Receive Signal Level (RSL)

Menggunakan Piranti Sagem Link Terminal. Jurusan Teknik Elektro,

Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

Purba, M. 2012. Pathloss dan Link Budget. Diperoleh dari

http://telekomunikasibymichaelpurba.blogspot.com/2012/01/pathloss-dan-

link-budget.html diakses pada 27 November 2013.