komunitas cetacea dan karakteristik habitatnya di perairan ... · microstructure revealing spatial...
TRANSCRIPT
KOMUNITAS CETACEA DAN KARAKTERISTIK HABITATNYA DI PERAIRAN SELAT OMBAI
ADRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul:
“Komunitas Cetacea dan Karakteristik Habitatnya di Perairan Selat Ombai”
adalah karya Saya sendiri, dengan arahan dari Komisi Pembimbing, dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka tesis ini.
Bogor, Juli 2010
A D R IA N I NRP. C651040091
ABSTRACT
ADRIANI. Cetacean community and habitat characteristics in the Ombai Strait. Under the direction of INDRA JAYA and RICHARDUS KASWADJI.
As part of collaborative research INSTANT, this research aimed to explore spatio-temporal distribution of cetacean community observed in the Ombai Strait, as well as to study its biophysical characteristics, as the key to understanding cetacean habitat dynamics. During two research cruise in the Ombai Strait, December 2003-January 2004 and June-July 2005, cetacean community was assessed visually and resulted in consistent sightings of three apex predator cetacean species, e.g. Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, and Physeter macrocephalus. The first two species were observed with large number of individuals, with foraging and feeding behavior. INSTANT Cruise I deployed 54 survey hours resulting in 5 positively identified cetacean species (Tursiops truncatus, Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, Orcinus orca, Physeter macrocephalus), originated from 11 sightings, with estimated number of abundance 908 individuals; while INSTANT Cruise II resulted in 60 survey hours, 4 positive identification (Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, Physeter macrocephalus, Kogia simus), 15 sightings, and 698 individuals. In general, 71.6% of cetacean sightings were at morning time (5:00-7:00 and 7:00-10:00 local time).
Biophysical characteristics of the Ombai Strait were analyzed by means of SeaWiFS and INSTANT mooring datasets, to observe features on the ocean surface and ocean depth with reference to several parameters, e.g. temperature, chlorophyll-a, and echo intensity. Ocean color imaging by SeaWiFS presented fine scale distribution of thermal front and mesoscale eddies in the strait. Monthly profiling of sea surface chlorophyll-a between two INSTANT cruises confirmed the existence of persistent upwelling and biological hot spots in the Ombai Strait. Vertical section of temperature at Ombai mooring site revealed thermocline profile which conform the dynamics of upwelling in the area. Echo intensity profiling of the Ombai Strait’s pelagic layer demonstrated the presence of patchy microstructure revealing spatial extent and bio-volume of acoustic scattering community, particularly zooplankton and micro-nekton. The highest density of acoustic biovolume was observed during the night, with microstructure vertical extent reaching near surface layer, while at day-time such feature was observed at deeper pelagic layer (> 200 m).
Ocean color satellite imagery and pelagic layer properties indicate that the Ombai Strait support high persistent primary and secondary productivity. The presence of front and eddies in the strait sustain the entrainment and magnification of planktonic community, which promote the presence of pelagic nekton community (fish and cephalopods). In the end, the presence of apex predator cetacean to the area was related with foraging and feeding activities, as well depicted by close sighting locations to transition zone of front and eddies. Results of statistical Correspondence Analysis revealed strong spatial correlation between cetacean community and particular sites within the Ombai Strait, at the southeast and southern part of Alor Island, each with different temporal period of sightings. In conclusion, the Ombai Strait plays an essential role as cetacean critical habitat.
Keywords: cetacean, community, habitat, oceanographic properties, Ombai Strait
RINGKASAN
ADRIANI. Komunitas Cetacea dan Karakteristik Habitatnya di Perairan Selat Ombai. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan RICHARDUS KASWADJI.
Penelitian ini merupakan bagian dari riset kolaboratif INSTANT (International Nusantara Stratification and Transport), yang bertujuan untuk mengetahui sebaran spasio-temporal komunitas cetacea di Selat Ombai, serta mengkaji karakteristik biofisik perairan tersebut, sehingga dapat dipahami mengapa cetacea memilih Selat Ombai sebagai habitatnya. Dari dua kali pelayaran INSTANT, masing-masing mewakili musim barat (Desember 2003-Januari 2004) dan musim timur (Juni-Juli 2005), diperoleh tiga spesies yang dijumpai secara konsisten yaitu Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, dan Physeter macrocephalus. Dua spesies yang disebutkan pertama sangat umum dijumpai dalam pod berukuran besar dengan tingkah laku foraging dan makan. Pada Pelayaran INSTANT I diperoleh 54 jam survei dengan lima spesies cetacea yang teridentifikasi positif (Tursiops truncatus, Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, Orcinus orca, Physeter macrocephalus), 11 kali perjumpaan, dan estimasi kelimpahan total mencapai 908 individu, sedangkan pada Pelayaran INSTANT II diperoleh 60 jam, empat spesies (Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, Physeter macrocephalus, Kogia simus), 15 perjumpaan dan 698 individu. Secara umum, sebanyak 71.6% komunitas cetacea dijumpai pada pagi hari (5:00-7:00 WITA dan 7:00-10:00 WITA).
Karakteristik biofisik perairan Selat Ombai dikaji menggunakan data SeaWiFS dan set data mooring oseanografi INSTANT untuk melihat fitur permukaan laut dan sebaran melintang beberapa parameter fisik lingkungan, seperti suhu, klorofil-a, dan intensitas gema. Pencitraan muka laut oleh sensor SeaWiFS memperlihatkan fitur thermal front dan mesoscale eddies yang di bagian pusatnya terdapat area dengan kandungan klorofil-a permukaan maksimum. Profil bulanan sebaran klorofil-a permukaan sepanjang periode antara dua pelayaran INSTANT menunjukkan bahwa perairan Selat Ombai memiliki produktivitas primer yang tinggi sepanjang tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat fitur persistent upwelling dan biological hot spots di Selat Ombai. Sebaran melintang suhu terhadap kedalaman, hasil perekaman sensor suhu di mooring Selat Ombai, menunjukkan adanya lapisan termoklin yang mendukung fitur permanent upwelling di perairan tersebut. Perekaman intensitas gema di lapisan pelagis Selat Ombai, menunjukkan adanya mikrostruktur habitat yang menggambarkan sebaran dan biovolume komunitas penghambur akustik, seperti zooplankton dan mikronekton. Densitas tertinggi dan sebaran mikrostruktur biovolume akustik yang rapat berlangsung pada malam hari, yang sebaran melintangnya dapat mencapai lapisan dekat permukaan, sedangkan pada siang hari fitur tersebut tersebut terlihat ada di lapisan dalam (> 200 m).
Pencitraan warna muka laut dan lapisan pelagis memberikan indikasi bahwa perairan Selat Ombai memiliki produktivitas primer dan sekunder yang tinggi dan bersifat ajek (persistent). Keberadaan front dan eddies di perairan ini menyebabkan komunitas plankton terperangkap di kolom perairan tertentu dan terjadi eskalasi produksi biomassa akibat asupan nutrien dari lapisan bawah melalui proses turbulensi. Di perairan Selat Ombai, proses tersebut berlangsung sedemikian rupa sehingga mengampu produksi biomassa dari jenjang trofik rendah ke jenjang yang lebih tinggi, serta memacu kehadiran komunitas apex predator cetacea yang memilih perairan ini sebagai habitat foraging dan makan. Hasil analisis korespondensi menunjukkan bahwa bagian perairan Selat Ombai yang terletak di tenggara dan selatan Pulau Alor merupakan habitat kritis cetacea, masing-masing untuk periode pengamatan yang berbeda.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KOMUNITAS CETACEA DAN KARAKTERISTIK HABITATNYA DI PERAIRAN SELAT OMBAI
ADRIANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis: Komunitas Cetacea dan Karakteristik Habitatnya di Perairan
Selat Ombai
Nama Mahsiswa: ADRIANI
NRP: C651040091
Program Studi: Ilmu Kelautan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Ketua Anggota
Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 1 Juli 2010 Tanggal Lulus:
Penguji tamu: Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, DAA Penguji dari Komisi Pendidikan: Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
PRAKATA
Teriring ucapan syukur ke-hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Komunitas Cetacea dan Karakteristik Habitatnya di Perairan Selat Ombai. Penelitian ini dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa dataset, yaitu data inderaja satelit sensor SeaWiFS, serta data suhu dan akustik dari sejumlah sensor dan instrumen ADCP yang terpasang pada mooring di utara Selat Ombai, untuk mengkaji kondisi biofisik perairan laut pelagis yang menjadi habitat cetacea. Data komunitas cetacea sendiri didasarkan pada hasil pengamatan visual Pelayaran INSTANT 2003-2004 dan 2005.
Penelitian dan proses penyelesaian tesis ini dapat terlaksana dengan baik atas dukungan berbagai pihak. Terkait dengan hal tersebut, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Bapak Prof, Dr. Indra Jaya, M.Sc dan Bapak Dr. Richardus F. Kaswadji, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah begitu sabar dan telaten dalam membantu penyelesaian penelitian dan penyusunan tesis.
2. Dr. Robert Molcard, Dr. Susan Wijjfels, Prof. Arnold Gordon, Dr. Dwi Susanto, Dr. Janet Sprintall, Prof. AG. Ilahude, Salvienty Makarim, Kapten Irham Danil, serta para peneliti dan awak kapal riset Baruna Jaya 8-LIPI yang terlibat dalam pelayaran dan program INSTANT.
3. Heron Surbakti, Mochamad Tri Hartanto, Fiatri Yusuf, Ranum Esa Kharisma, Sahat MR Tampubolon, Prof. Dr. Dietriech G. Bengen dan Prof. Dr. Mulia Purba atas bantuan teknis, dorongan moral, dan berjuta inspirasi yang diberikan.
4. Keluarga yang senantiasa mendoakan serta memberikan kasih sayang dan dukungan selama penulis menempuh pendidikan: Syamsul B. Agus, Ahmad Baruna Syahbani, Tenriadjeng Syahrani, Tanritatta Yahya Asy-Syahbani, ayahanda Asli Sunuddin (alm.), ibunda Sawitri Laksmi Moendiasih, ibunda Sitti Hattidjah, dan Lestiawati Sunuddin.
5. Staf pengajar Bagian Hidrobiologi Laut, rekan-rekan kuliah PS IKL angkatan 2004, staf pegawai ITK, asisten praktikum Ekologi Laut Tropis, Keanekaragaman Hayati Laut, dan Biologi Tumbuhan Laut, serta semua pihak yang telah memberikan sokongan selama penulis berupaya menyelesaikan penelitian.
6. WWF US-Russell E. Train Fellowship yang memberikan bantuan dana penelitian dan pendidikan, serta Ibu Fenti dari IIEF yang membantu administrasi fellowship.
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa ada kekurangan dalam tesis ini, sehingga saran dan kritik membangun diharapkan bisa disampaikan secara langsung ([email protected]) demi kesinambungan penelitian cetacea di laut nusantara. Semoga hasil karya ini dapat menambah sumbangsih bagi perkembangan ilmu dan pendidikan kelautan, terutama terhadap konservasi cetacea di Indonesia.
Bogor, Juli 2010
Adriani Sunuddin
PRAKATA
Teriring ucapan syukur ke-hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Komunitas Cetacea dan Karakteristik Habitatnya di Perairan Selat Ombai. Penelitian ini dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa dataset, yaitu data inderaja satelit sensor SeaWiFS, serta data suhu dan akustik dari sejumlah sensor dan instrumen ADCP yang terpasang pada mooring di utara Selat Ombai, untuk mengkaji kondisi biofisik perairan laut pelagis yang menjadi habitat cetacea. Data komunitas cetacea sendiri didasarkan pada hasil pengamatan visual Pelayaran INSTANT 2003-2004 dan 2005.
Penelitian dan proses penyelesaian tesis ini dapat terlaksana dengan baik atas dukungan berbagai pihak. Terkait dengan hal tersebut, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Bapak Prof, Dr. Indra Jaya, M.Sc dan Bapak Dr. Richardus F. Kaswadji, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah begitu sabar dan telaten dalam membantu penyelesaian penelitian dan penyusunan tesis.
2. Dr. Robert Molcard, Dr. Susan Wijjfels, Prof. Arnold Gordon, Dr. Dwi Susanto, Dr. Janet Sprintall, Prof. AG. Ilahude, Salvienty Makarim, Kapten Irham Danil, serta para peneliti dan awak kapal riset Baruna Jaya 8-LIPI yang terlibat dalam pelayaran dan program INSTANT.
3. Heron Surbakti, Mochamad Tri Hartanto, Fiatri Yusuf, Ranum Esa Kharisma, Sahat MR Tampubolon, Prof. Dr. Dietriech G. Bengen dan Prof. Dr. Mulia Purba atas bantuan teknis, dorongan moral, dan berjuta inspirasi yang diberikan.
4. Keluarga yang senantiasa mendoakan serta memberikan kasih sayang dan dukungan selama penulis menempuh pendidikan: Syamsul B. Agus, Ahmad Baruna Syahbani, Tenriadjeng Syahrani, Tanritatta Yahya Asy-Syahbani, ayahanda Asli Sunuddin (alm.), ibunda Sawitri Laksmi Moendiasih, ibunda Sitti Hattidjah, dan Lestiawati Sunuddin.
5. Staf pengajar Bagian Hidrobiologi Laut, rekan-rekan kuliah PS IKL angkatan 2004, staf pegawai ITK, asisten praktikum Ekologi Laut Tropis, Keanekaragaman Hayati Laut, dan Biologi Tumbuhan Laut, serta semua pihak yang telah memberikan sokongan selama penulis berupaya menyelesaikan penelitian.
6. WWF US-Russell E. Train Fellowship yang memberikan bantuan dana penelitian dan pendidikan, serta Ibu Fenti dari IIEF yang membantu administrasi fellowship.
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa ada kekurangan dalam tesis ini, sehingga saran dan kritik membangun diharapkan bisa disampaikan secara langsung ([email protected]) demi kesinambungan penelitian cetacea di laut nusantara. Semoga hasil karya ini dapat menambah sumbangsih bagi perkembangan ilmu dan pendidikan kelautan, terutama terhadap konservasi cetacea di Indonesia.
Bogor, Juli 2010
Adriani Sunuddin
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xv DAFTAR ISTILAH ................................................................................................. xvi
1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1. Latar belakang ....................................................................................... 1 1.2. Kerangka pendekatan masalah .............................................................. 3 1.3. Tujuan penelitian .................................................................................. 6 1.4. Manfaat penelitian ................................................................................ 6 1.5. Hipotesis ............................................................................................... 7
2. PROFIL OSEANOGRAFI BERDASARKAN WARNA MUKA LAUT: KAITANNYA DENGAN SEBARAN CETACEA DI SELAT OMBAI ...... 8
2.1. Pendahuluan .......................................................................................... 8 2.2. Faktor biofisik lingkungan yang berperan terhadap komunitas
cetacea ................................................................................................... 9 2.2.1. Suhu permukaan laut ................................................................. 9 2.2.2. Kandungan klorofil-a dan produktivitas primer ........................ 10
2.3. Bahan dan metode ................................................................................. 12 2.4. Hasil ...................................................................................................... 13
2.4.1. Sebaran cetacea berdasarkan profil suhu permukaan laut ......... 13 2.4.2. Sebaran cetacea berdasarkan profil klorofil-a permukaan ........ 16 2.4.3. Profil bulanan sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai ... 18
2.5. Pembahasan ........................................................................................... 22 2.6. Simpulan ............................................................................................... 25 2.7. Daftar pustaka ....................................................................................... 25
3. DINAMIKA LAPISAN PELAGIS YANG MENJADI FORAGING HABITAT CETACEA DI SELAT OMBAI: PROFIL LAPISAN TERMOKLIN DAN HAMBUR BALIK AKUSTIK .................................... 29
3.1. Pendahuluan .......................................................................................... 29 3.2. Faktor biofisik lingkungan yang berperan terhadap komunitas
cetacea ................................................................................................... 30 3.2.1. Dari fitoplankton ke cetacea: interaksi pemangsaan dan
dinamika spasio-temporal .......................................................... 30 3.2.2. Struktur lapisan termoklin dan dinamika upwelling ................. 32 3.2.3. Struktur lapisan hambur balik akustik dan produktivitas
sekunder ..................................................................................... 33 3.3. Bahan dan metode ................................................................................. 34
3.4. Hasil ...................................................................................................... 35 3.4.1. Struktur lapisan termoklin di Selat Ombai ................................ 35 3.4.2. Struktur lapisan hambur balik akustik di Selat Ombai .............. 36
3.5. Pembahasan ........................................................................................... 38 3.6. Simpulan ............................................................................................... 40 3.7. Daftar pustaka ....................................................................................... 41
4. SEBARAN DAN KELIMPAHAN CETACEA DI SELAT OMBAI ............ 44
4.1. Pendahuluan .......................................................................................... 44 4.2. Komunitas cetacea di Selat Ombai dan sekitarnya ............................... 45 4.3. Bahan dan metode ................................................................................. 51
4.3.1. Alat dan bahan........................................................................... 51 4.3.2. Metode pengamatan cetacea ..................................................... 56 4.3.3. Analisis korespondensi ............................................................. 55
4.4. Hasil ...................................................................................................... 60 4.4.1. Pengamatan visual cetacea ........................................................ 60 4.4.2. Kelimpahan berdasarkan waktu perjumpaan dan tingkah laku . 63
4.5. Pembahasan ........................................................................................... 66 4.6. Simpulan ............................................................................................... 71 4.7. Daftar pustaka ....................................................................................... 71
5. PEMBAHASAN UMUM ............................................................................... 74
5.1. Komunitas cetacea di Selat Ombai ....................................................... 74 5.2. Dinamika ekosistem pelagis Selat Ombai sebagai habitat cetacea ....... 78 5.3. Implikasi hasil penelitian terhadap konservasi cetacea ........................ 81
6. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 83
6.1. Simpulan ............................................................................................... 83 6.2. Saran ..................................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 85 LAMPIRAN ....................................................................................................... 91
DAFTAR TABEL
Tabel Judul tabel Halaman
4-1. Status konservasi spesies cetacea yang ditemukan di perairan Selat Ombai dan sekitarnya (termasuk Laut Sawu dan Perairan Solor)…..
47
4-2. Algoritma penghitungan elemen matriks data kontingensi…..…..… 56
4-3. Kompilasi hasil pengamatan cetacea di Selat Ombai…..…..…..….. 60
5-1. Kedalaman maksimum dan preferensi makanan spesies cetacea yang dijumpai di perairan Selat Ombai (disarikan dari: Stewart et al. 2002, Taylor et al. 2002, Santos 1999) …..…..…..…..…..…..….
75
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul gambar Halaman
1-1. Diagram alir penelitian…….…….…….…….…….…….…….…… 4
2-1. Sebaran suhu permukaan laut di Selat Ombai pada 30 Juni 2005…….… 14
2-2. Sebaran suhu permukaan laut di Selat Ombai pada 4 Juli 2005…....…… 14
2-3. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 4 Januari 2004…….. 16
2-4. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 30 Juni 2005…….… 17
2-5. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 4 Juli 2005…….…... 17
2-6. Profil serial bulanan sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai, Desember 2003-Juli 2005…….……….……….……….……….…….
20
3-1. Skala ruang dan waktu yang ditetapkan pada tiga kelompok biota yang menjadi mangsa cetacean: (A) kisaran ukuran dan waktu yang diperlukan untuk menggandakan populasi (B) interaksi pemangsaan antara ketiganya (Steele 1989) …….……….……….……….……….……….……….
30
3-2. Variabilitas suhu di perairan Selat Ombai secara menegak (100-1000 m) dan secara temporal (5 Januari 2004 – 4 Januari 2005) …….……….…
35
3-3. Variabilitas harian EI-maksimum hasil pengukuran moored ADCP di perairan Selat Ombai…….……….……….……….……….………..
37
4-1. Peta lokasi penelitian…….…….…….…….…….…….…….……... 52
4-2. Skema lokasi pengamatan visual cetacea di Kapal Riset Baruna Jaya 8…….……….……….……….……….……….……….……...
53
4-3. Morfologi umum cetacean (Odontoceti: kiri, Mysticeti: kanan) dan
bagian-bagian tubuhnya (modifikasi: Carwardine 1995) …….…………
54
4-4 Persentase komunitas cetacea berdasarkan ukuran tubuh (kiri) dan berdasarkan keberhasilan identifikasi visual (kanan) pada Pelayaran INSTANT I…….……….……….……….……….……….………...
61
4-5. Persentase komunitas cetacea berdasarkan ukuran tubuh (kiri) dan berdasarkan keberhasilan identifikasi visual (kanan) pada Pelayaran INSTANT II…….……….……….……….……….……….………...
62
xv
Gambar Judul gambar Halaman
4-6. Kelimpahan cetacea berdasarkan waktu perjumpaan…….………… 63
4-7. Kelimpahan cetacea berdasarkan tingkah laku…….……….………. 65
4-8a. Grafik analisis korespondensi, keterkaitan antar variabel pada sumbu pertama (F1) dan sumbu ketiga (F3) …….……….…………
69
4-8b. Grafik analisis korespondensi, keterkaitan antar variabel pada
sumbu kedua (F2) dan sumbu ketiga (F3) …….……….……….…..
69
5-1. Plot sebaran cetacea yang terdata dari dua pelayaran INSTANT serta terlihat melakukan aktivitas makan dan foraging di perairan Selat Ombai.
76
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul lampiran Halaman 1. Lembar data pengamatan cetacea………….…….…….…….…….…… 92
2a. Hasil survei visual cetacea pada Pelayaran INSTANT Desember 2003-
Januari 2004…….…….…….…….…….…….…….…….…….………
93
2b. Hasil survei visual cetacea pada Pelayaran INSTANT Juni-Juli 2005…….… 94
3. Skala Beaufort…….…….…….…….…….…….…….…….…….……... 95
4. Nilai klorofil-a permukaan di perairan Selat Ombai. …….…….……… 96
5. Rangkaian alat pada mooring oseanografi Selat Ombai. …….…….…….… 97
6. Tabel kisaran suhu (dalam °C) pada kedalaman 100 m, 125 m, 170 m, 240 m, 350 m, 450 m, 700 m dan 1000 m hasil perekaman sensor suhu di mooring perairan Selat Ombai selama 1 tahun (Januari – Desember 2004) ……. ……
98
7. Spesifikasi ADCP workhorse long ranger 75-kHz (www.rdinstrument.com)... 99
8a. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil pereka-man ADCP bim ke-1. ……. …….…….…….…….…….…….…….……
100
8b. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil pereka-
man ADCP bim ke-2…….…….…….…….…….…….…….…….……..
101
8c. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil pereka-man ADCP bim ke-3……..…….…….…….…….…….…….…….…….
102
8d. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil
perekaman ADCP bim ke-4…….…….…….…….…….…….…….…….
103
9. Spesifikasi Kapal Riset Baruna Jaya 8…….…….…….…….…….……
104
10. Akar cirri dan representasi ragam dari masing-masing variabel…….…….… 105
11. Kontribusi masing-masing variabel terkorelasi terhadap sumbu/faktor utama 106
12. Ringkasan prosedur statistika untuk setiap kategori pada kolom tabel konti-ngensi……...….…….…….…….…….…….…….…….…….…….……
107
13. Dokumentasi lapangan…….…….…….…….…….…….…….…….…… 109
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Sebagai salah satu pusat marine megabiodiversity dunia, Indonesia memiliki
kekayaan spesies cetacea yang tinggi. Dari sekitar 80 extanct spesies cetacea,
sedikitnya ada 30 spesies yang tercatat di perairan nusantara (Rudolph et al. 1997,
Tomascik et al. 1997), baik yang tinggal menetap maupun yang bermigrasi secara
musiman dari perairan dingin di sub-polar atau kutub karena perairan nusantara
merupakan satu-satunya wilayah di zona tropis yang menjadi tempat pertemuan
massa air dari dua samudera, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Cetacea merupakan salah satu kelompok hewan tingkat tinggi yang tergolong
langka dan unik, karena memiliki tingkat intelejensia mengagumkan (Marino
2004) dan beberapa spesies, seperti paus biru (Balaenoptera physalus) dan paus
sperma (Physeter macrocephalus) yang merupakan biota nektonik berukuran
sangat besar, memiliki kemampuan jelajah tinggi serta diduga memanfaatkan
sejumlah perairan celah antar pulau di timur Indonesia sebagai jalur migrasinya
(Kahn et al. 2000, Kahn 2001).
Selat Ombai merupakan celah perairan antara Pulau Alor dan Pulau Timor
yang menghubungkan Laut Banda dan Laut Sawu, selain juga merupakan salah
satu pintasan Arus Lintas Indonesia (Gordon 2001, Molcard et al. 2001) serta
jalur penting migrasi cetacea dari dan ke laut nusantara (Kahn et al. 2000, Kahn
2001). Perairan Selat Ombai memiliki karakteristik oseanografi yang dinamis
(Atmadipoera et al. 2009, Robertson and Ffield 2005, Molcard et al. 2001),
ditandai dengan produktivitas primer yang tinggi (Moore and Marra 2001), yang
kuantitasnya berubah-ubah dalam jangka waktu singkat akibat proses
percampuran massa air yang kompleks (Atmadipoera et al. 2009, Robertson and
Ffield 2008, Robertson in press). Sebagai bagian dari Perairan Sunda Kecil, Selat
Ombai juga menjadi salah satu fishing ground nelayan pemburu paus tradisional
dari Lamalera di Pulau Lembata dan Lamakera dari Pulau Solor (Barnes 1996),
karena sedikitnya ada 24 spesies cetacea yang tercatat ada di Selat Ombai dan
sekitarnya (Tomascik et al. 1997).
2
Keberadaan cetacea di suatu perairan atau informasi yang spesifik mengenai
habitat cetacea masih perlu pemahaman lebih lanjut. Adanya informasi mengenai
sebaran cetacea di perairan dengan kedalaman dan rentang temperatur tertentu,
berdasarkan data perjumpaan (sightings data), seperti yang didokumentasikan
oleh Jefferson et al. (1993), masih memerlukan pertimbangan faktor lingkungan
yang lain. Terkait dengan hal tersebut, Viale (1985) mendeskripsikan ekosistem
ditemukannya komunitas cetacea di perairan Mediterania berdasarkan sebaran
nilai sejumlah parameter oseanografi, seperti suhu permukaan laut, salinitas, dan
profil arus musiman, yang dikombinasikan dengan titik perjumpaan cetacea.
Memahami bagaimana pengaruh proses-proses oseanografi terhadap komunitas
dan habitat cetacea, maupun terhadap komunitas penghuni jenjang trofik dasar
yang nantinya berpengaruh pada sebaran cetacea, akan memberikan masukan
informasi yang sangat berharga bagi pengelolaan maupun strategi konservasi
cetacea. Namun demikian, sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya bila
parameter oseanografi, maupun parameter lingkungan perairan laut lain, didata
terlebih dahulu dan perekaman data tersebut dilakukan selaras dengan pencatatan
data perjumpaan komunitas cetacea di suatu perairan.
Di perairan nusantara, walaupun sejumlah desa pesisir di timur Indonesia
diketahui sejak lama merupakan pemburu cetacea tradisional yang andal
(Tomascik et al. 1997, Barnes 1996), namun kajian ilmiah cetacea baru dimulai
pada awal abad XX oleh Weber melalui Ekspedisi Siboga (Rudolph et al. 1997).
Setelah itu tidak banyak mengalami perkembangan sampai Benjamin Kahn
(APEX-Environmental) bekerja sama dengan The Nature Conservancy memulai
pengamatan rutin terhadap cetacea di perairan Taman Nasional Komodo (Kahn et
al. 2000, Kahn 2001). Pada awal masa berdirinya, Kementerian Kelautan dan
Perikanan sempat menambah khasanah pemahaman cetacea melalui sejumlah
survei di perairan Laut Sawu dan sekitarnya. Adanya beberapa pelayaran
INSTANT, atau International Nusantara Stratification and Transport yang
merupakan penelitian jangka menengah mengenai karakteristik dan dinamika
Arus Lintas Indonesia (Arlindo), dapat menjadi platform yang ideal untuk
mengkaji habitat cetacea karena fokus utama pengambilan data oseanografi
dilakukan di sejumlah pintasan arus yang potensial menjadi jalur migrasi cetacea.
3
Dengan demikian, penelitian ini akan memaparkan kajian mengenai komunitas
cetacea di perairan Selat Ombai dan beberapa parameter lingkungan perairan yang
terkait erat dalam mendeskripsikan habitat cetacea.
1.2. Kerangka pendekatan masalah
Di lingkungan laut, sebagaian besar spesies cetacea dapat digolongkan
sebagai apex predator (predator yang berada di puncak piramida makanan),
walaupun hayatinya beberapa spesies cetacea tergolong sebagai planktivor
(rorquals). Dengan demikian, sebaran cetacea di perairan laut umumnya sangat
erat dengan sebaran mangsanya atau sumber makanannya. Cetacea membutuhkan
energi yang relatif tinggi sehingga seringkali mereka dijumpai berada di perairan
yang produktivitas primernya tinggi, terutama pada musim panas di perairan
Southern Ocean (Bost et al. 2009, Arrigo et al. 1998, Moore and Abbott 2000),
Mediterania (Viale 1985), California Current System (Tynan et al. 2005, Yen et
al. 2003), dan Gulf of Mexico (Kaltenberg 2004, Davis et al. 2002). Hal tersebut
sangat terkait dengan peningkatan biomassa produsen atau kontinuitas
produktivitas primer yang menjadi sumber makanan biota grazers pada jenjang
trofik lebih tinggi, demikian seterusnya hingga mencapai komunitas predator
puncak. Namun demikian untuk melakukan penelitian lapangan yang secara
langsung mengkaji cetacea dengan mangsanya merupakan hal yang sangat sulit,
sehingga pendekatan pemodelan habitat cetacea seringkali digunakan (Embling et
al. 2005, Tynan et al. 2005).
Viale (1985) mengatakan bahwa sebaran cetacea di perairan laut sangat
terkait dengan profil oseanografi perairan tersebut, sehingga korelasi antara
sejumlah parameter lingkungan dengan perjumpaan cetacea dapat meningkatkan
pemahaman ekologi cetacea. Sejumlah penelitian telah dilakukan dengan
mengaitkan faktor lingkungan perairan dengan sebaran cetacea, terutama jika
faktor-faktor tersebut mengarah pada peningkatan produktivitas perairan. Faktor-
faktor lingkungan tersebut adalah kedalaman perairan (Moore et al. 2000,
Macleod et al. 2004), gradien kemiringan dasar laut (Macleod et al. 2004),
4
topografi dasar laut (Yen et al. 2003), serta suhu permukaan laut, salinitas,
kedalaman termoklin, thermal fronts, dan area upwelling (Tynan et al. 2005).
Gambar 1-1. Diagram alir penelitian
Dengan demikian, upaya mengkaji cetacea di habitatnya ditelusuri melalui
pendekatan biofisik lingkungan, selain menetapkan suatu perairan sebagai habitat
berdasarkan tingkah lakunya berdasarkan survei visual. Pendekatan tersebut
disajikan secara ringkas pada Gambar 1-1. Sebagai apex predator, cetacea sangat
bergantung pada keberadaan mangsanya. Dalam lingkup tingkatan trofik piramida
makanan, mangsa cetacea adalah nekton pelagis yang menghuni stratum tepat di
bawah pucuk piramida dan keberadaannya sangat dipengaruhi oleh produktivitas
sekunder (zooplankton dan mikronekton) dan produktivitas primer (fitoplankton).
Data SeaWiFS
Ocean color spectra
1. klorofil-a; 2. suhu
permukaan laut
Survei visual cetacea
Pelayaran INSTANT
1. Spesies, 2. Kelimpahan
relatif (jumlah individu, jumlah perjumpaan),
3. Tingkah laku 4. Posisi geografis
dan waktu perjumpaan
Kajian komunitas
cetacea
Data mooring
Sv, T, z, t (vol. hambur balik, suhu, kedalaman, waktu)
1. Biovolume zooplankton
2. Struktur termoklin
Kajian komunitas dan habitat cetacea di
Selat Ombai
Kajian produktivitas
primer
Kajian habitat pelagis dan
produktivitas sekunder
5
Apabila data komunitas cetacea di perairan Selat Ombai diperoleh melalui upaya
survei visual dalam kegiatan pelayaran, maka data SeaWiFS digunakan untuk
mengkaji produktivitas primer dan fitur lain yang didasarkan pada warna muka
laut. Sejumlah sensor suhu dan instrumen Acoustic Doppler Current Profiler yang
terdapat pada tambatan (mooring) oseanografi di Selat Ombai digunakan untuk
mengkaji struktur termoklin dan lapisan hamburbalik akustik produksi sekunder
perairan tersebut.
Penulisan tesis ini dibagi menjadi tiga topik terpisah diikuti dengan
pembahasan umum, yang menguraikan benang merah antara masing-masing topik
untuk bisa memahami bagaimana komunitas cetacea menggunakan perairan Selat
Ombai sebagai habitatnya. Topik pertama dituliskan pada Bab 2 dengan judul
“Profil oseanografi berdasarkan warna muka laut dan kaitannya dengan sebaran
cetacea di Selat Ombai”, yang mengulas sejumlah parameter biofisik lingkungan
perairan Selat Ombai, yaitu suhu permukaan laut dan klorofil-a permukaan
berdasarkan interpretasi data warna muka laut hasil pencitraan sensor SeaWiFS.
Sebagian materi pada bab tersebut telah disampaikan pada INSTANT Workshop
yang diselenggarakan di SEAMEO-Biotrop, Bogor pada 5 November 2007.
Paparan yang disampaikan pada acara tersebut berjudul “Ecological Role of
Cetacean in the Ombai Strait: a spin off idea based on results of INSTANT
research”.
Topik yang kedua disajikan pada Bab 3 dengan judul “Dinamika lapisan
pelagis yang menjadi foraging habitat cetacea di Selat Ombai: profil lapisan
termoklin dan hambur balik akustik”. Di bab tersebut diuraikan bagaimana
dinamika di kolom perairan pelagis Selat Ombai, berdasarkan struktur termoklin
dan struktur lapisan hambur balik akustik, terkait dengan fitur khas oseanografi
permukaan dan proses bioenergetika yang menyokong interaksi predator-mangsa
dari komunitas apex predator cetacea. Topik yang ketiga disajikan pada Bab 4
dengan judul “Sebaran dan Kelimpahan Relatif Cetacea di Selat Ombai”,
membahas mengenai komunitas cetacea yang dijumpai di perairan Selat Ombai
berdasarkan hasil survei visual saat Pelayaran INSTANT I pada Desember 2003-
Januari 2004 dan Pelayaran INSTANT II pada Juni-Juli 2005. Keterkaitan
6
ekologis antara cetacea terhadap dua fitur lingkungan utama, yaitu waktu (periode
pengamatan) dan ruang (bentang laut), dikaji menggunakan analisis korespon-
densi untuk mengetahui profil spasio-temporal sebaran cetacea di perairan Selat
Ombai. Sebagian dari materi pada Bab 4 telah dipublikasikan pada Jurnal
Teknologi Perikanan dan Kelautan Volume 7 Nomor 1, yang terbit di tahun 2007.
Pada akhirnya, diharapkan tesis ini akan menyajikan pemahaman yang
menyeluruh terkait Selat Ombai sebagai habitat cetacea, baik dari lingkup kajian
biologi maupun fisik, terutama dengan memanfaatkan tools yang dikembangkan
oleh teknologi penginderaan jauh satelit, instrumentasi dan akustik kelautan.
1.3. Tujuan penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengkaji karakteristik biofisik perairan habitat cetacea melalui pendekatan
warna muka laut, menggunakan data SeaWiFS,
2. Mengkaji karakteristik biofisik perairan habitat cetacea menggunakan set
data mooring oseanografi dari program INSTANT
3. Mengkaji sebaran, secara spasial dan temporal, dan kelimpahan cetacea di
perairan Selat Ombai,
4. Mengkaji keterkaitan antara butir (1), (2), dan (3) .
1.4. Manfaat penelitian
Salah satu lingkup kajian ekologi laut, yang mencari tahu hubungan timbal
balik antara suatu jenis organisme dengan organisme lain dan lingkungan yang
menjadi tempat hidupnya, adalah analisis komunitas yang diklasifikasikan oleh
Odum (1993) berdasarkan (1) bentuk/sifat utama bentuk hidup yang menjadi
indikator, (2) habitat fisik komunitas tersebut, dan (3) sifat fungsionalnya. Kajian
ekologi cetacea yang dilakukan dalam penelitian ini mengintegrasikan beberapa
analisis komunitas yaitu berdasarkan sifat fungsional spesies-spesies cetacea dan
habitat fisiknya yang ditinjau dari fitur lingkungan perairan, seperti suhu, klorofil-
a, batimetri, dan biovolume akustik.
7
Jika sebelumnya, penelitian ekologi laut secara klasik memerlukan upaya
yang sangat besar di lapangan untuk bisa mendapatkan data dari sejumlah
parameter kunci lingkungan perairan, maka dalam penelitian ini data tersebut
diupayakan dari sejumlah tools dan kemutakhiran teknologi kelautan. Parameter
suhu permukaan laut dan klorofil-a permukaan diperoleh dari analisis data
SeaWiFS, yang merupakan salah satu tools mutakhir dalam bidang penginderaan
jauh kelautan. Parameter biovolume akustik diperoleh dari instrumen ADCP, yang
walaupun bertujuan utama mengukur arus namun volume hambur balik akustik
yang direkamnya dapat merepresentasikan profil produktivitas sekunder suatu
perairan. Dengan demikian, tesis ini diharapkan dapat bermanfaat dalam lingkup
pengembangan bidang ekologi laut yang lebih komprehensif, terutama dalam
memahami komunitas cetacea dan perairan yang menjadi habitatnya.
1.5. Hipotesis
Hipotesis yangdigunakan dalam penelitian ini adalah bahwa karakteristik
lingkungan perairan lokal, seperti suhu perairan, klorofil-a, dan biovolume akustik
memiliki peran dalam menentukan sebaran dan kelimpahan cetacea di perairan
Selat Ombai.
8
2. PROFIL OSEANOGRAFI BERDASARKAN WARNA MUKA LAUT DAN KAITANNYA DENGAN SEBARAN
CETACEA DI SELAT OMBAI
2.1. Pendahuluan
Cetacea, secara umum, memiliki relung ekologi sebagai predator, sehingga
keberadaannya di suatu perairan sangat terkait dengan fitur oseanografi yang
memungkinkan ketersediaan biomassa mangsa yang tinggi sebagai sumber
energinya (ca. Doniol-Valcroze et al. 2007, Embling et al. 2005, Tynan et al.
2005, Yen et al. 2003, Kaltenberg 2004, Davis et al. 2002). Merujuk pada struktur
piramida makanan, apex predator cetacea membutuhkan energi yang sumbernya
berasal dari biomassa masif biota pada tingkat trofik lebih rendah, seperti ikan
pelagis dan beberapa jenis nekton lainnya, yang berpangkal pada produksi bahan
organik oleh fitoplankton. Dengan demikian, seringkali apex predator cetacea
dijumpai di perairan yang memiliki produktivitas primer tinggi, seperti di
Southern Ocean pada musim panas (Bost et al. 2009, Arrigo et al. 1998, Moore
and Abbott 2000), perairan California Current System (Tynan et al. 2005,
Burtenshaw et al. 2004, Yen et al. 2003), dan Teluk Mexico (Kaltenberg 2004;
Davis et al. 2002, Davis et al. 1998). Umumnya, perairan laut dengan produk-
tivitas primer tinggi akan memiliki biomassa fitoplankton yang tinggi pula (Nontji
2006), yang kemudian menjadi landasan pembentukan jejaring dan piramida
makanan di ekosistem tersebut.
Viale (1985) mengatakan bahwa sebaran cetacea di perairan laut sangat
terkait dengan profil oseanografi perairan tersebut. Dengan demikian korelasi
antara sejumlah parameter lingkungan dengan data perjumpaan cetacea dapat
meningkatkan pemahaman ekologi cetacea, dan jika memungkinkan menetapkan
variasi parameter lingkungan tertentu yang bisa menentukan sebaran cetacea di
suatu perairan. Sejumlah penelitian telah dilakukan dengan mengaitkan faktor
lingkungan perairan dengan sebaran cetacea, terutama jika faktor-faktor tersebut
mengarah pada peningkatan produktivitas perairan. Karakteristik lingkungan
perairan dapat ditelusuri melalui warna muka laut, karena warna tersebut
9
dihasilkan oleh sebaran sinar tampak yang dipengaruhi oleh substansi terlarut
maupun tersuspensi. Nontji (2006) menuliskan bahwa warna biru di laut hanya
muncul bila di perairan tersebut tidak dijumpai material humus, fitoplankton, dan
umumnya miskin produksi organik; sedangkan warna cyan sampai kuning
menunjukkan perairan tersebut kaya akan plankton. Terkait dengan kajian habitat
pelagis, maka pemahaman lingkungan perairan sebaiknya diawali dengan awal
mata rantai produksi primer yaitu fitoplankton. Saat ini kemajuan di bidang
penginderaan jauh kelautan telah memungkinkan penyediaan data lingkungan
fisik berdasarkan tampilan warna muka laut hasil interpretasi data inderaja satelit.
Dalam lingkup kajian habitat cetacea di Selat Ombai, bab ini memaparkan
profil habitat berdasarkan interpretasi tampilan warna muka laut yang datanya
diperoleh sensor SeaWiFS. Data warna muka laut SeaWiFS digunakan untuk
menyajikan sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a, yang selanjutnya
dikaitkan dengan lokasi spesifik dijumpainya komunitas cetacea.
2.2. Faktor biofisik lingkungan yang berperan terhadap komunitas cetacea
2.2.1. Suhu permukaan laut
Pengaruh suhu permukaan laut terhadap keberadaan cetacea bersifat tidak
langsung, terutama dalam kaitannya mempengaruhi struktur hidrologi dan
produktivitas primer (Viale 1985). Berbeda halnya bila hubungan keberadaan
cetacea dikaitkan dengan profil thermal front, yang menunjukkan area sempit
tempat terbentuknya gradien suhu yang tinggi baik secara vertikal maupun
horizontal. Lalli and Parsons (2000) serta Mann and Lazier (2006) menuliskan
bahwa thermal front umumnya dibentuk oleh mekanisme konvergensi/divergensi
dari dua massa air yang sangat berbeda karakteristik suhunya, yang kemudian
diikuti oleh pengadukan massa air, pemusatan nutrien dan komunitas plankton di
badan air tertentu, yang pada akhirnya menciptakan suatu wilayah perairan
dengan produktivitas tinggi.
10
Dalam kaitannya dengan sebaran cetacea, Tynan et al. (2005) berhasil
mengaitkan keberadaan 44.5% sebaran perjumpaan Lagenorhynchus obliquidens
(pacific white-sided dolphin) terhadap fitur thermal front yang nampak jelas pada
awal musim panas di perairan California. Hal yang sama juga membuat rentang
spasial cetacea yang identik dengan perairan pesisir hangat, Phocoena phocoena
(harbor porpoise), menjadi lebih melebar ke arah lepas pantai Kalifornia
mendekati thermal front (Tynan et al. 2005). Masih dari perairan Pasifik, terdapat
asosiasi yang erat antara thermal front sepanjang musim semi hingga gugur di
barat laut Pasifik dengan kehadiran Balaenoptera musculus (Moore et al. 2002)
dan untuk Eubalaena glacialis di perairan Great South Channel (Brown and Winn
1989). Profil yang serupa juga dijumpai di perairan Atlantik, tepatnya di selatan
Irish Sea, yang menampakkan konsistensi perjumpaan Phocoena phocoena
dengan thermal front musiman di perairan tersebut (Weir and O’Brien 2000).
2.2.2. Kandungan klorofil-a dan produktivitas primer
Mekanisme produksi primer di lingkungan laut didominasi oleh proses
fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton, mengonversi nutrien dengan
bantuan energi matahari menjadi karbohidrat, dan merupakan proses fundamental
dalam jejaring makanan di laut (Nontji 2006; Mann and Lazier 2006; Lalli and
Parsons 2000). Konsentrasi fitoplankton di suatu wilayah perairan selanjutnya
digunakan untuk mengukur laju produktivitas primer di laut, sedangkan klorofil-a
merupakan pigmen yang paling utama dalam menyerap spektrum radiasi
matahari, terutama pada kisaran panjang gelombang 650-700 nm dan 450 nm
(Nontji 2006). Sebagai konsekuensi dari mekanisme tersebut, spektrum radiansi
yang dipantulkan oleh permukaan laut berada pada kisaran cahaya tampak (400-
700 nm) dan sangat bergantung pada konsentrasi kloforil-a yang terkandung di
dalam perairan tersebut (Mann and Lazier 2006; Lalli and Parsons 2000). Dengan
memanfaatkan kemampuan sinoptik inderaja satelit dalam memindai zat warna
yang dominan di suatu perairan (ocean color remote sensing), profil produktivitas
primer yang diwakili oleh kandungan klorofil-a dapat dilakukan secara efisien.
11
Sebagai biota yang berada di jenjang trofik tertinggi, cetacea membutuhkan
wilayah laut yang di dalamnya terdapat konsentrasi klorofil-a tinggi secara
berkesinambungan (persistent high chlorophyll-a concentration). Hal tersebut
mudah dipahami untuk kelompok rorquals yang merupakan filter feeder, namun
tidak demikian dengan kelompok Odontoceti karena adanya beda fase (time lag)
antara produksi fitoplankton dengan produksi mangsa cetacea yang berupa ikan
pelagis. Hal tersebut dicontohkan oleh Burtenshaw et al. (2004) yang mendapati
hubungan erat antara pergerakan paus biru (Balaenoptera musculus) di wilayah
perairan dengan konsentrasi klorofil-a tinggi, mulai dari perairan lepas pantai
selatan California pada akhir musim panas hingga perairan pantai Vancouver di
akhir musim gugur. Berbeda dengan hasil kajian Davis et al. (2002) yang
mengaitkan sebaran 19 jenis cetacea di Teluk Mexico tidak hanya dengan
produktivitas primer tinggi, tetapi juga dengan fitur hidrografi seperti pusaran
(eddies) dan tebing paparan benua (continental shelf slope) yang merupakan area
terpusatnya komunitas zooplankton. Hasil yang serupa ditunjukkan oleh
preferensi tiga jenis Odontoceti di habitat pelagis continental shelf slope di lepas
pantai barat Skotlandia, karena di wilayah tersebut mereka mudah memangsa ikan
herring (Clupea harengus) yang berasosiasi erat dengan zooplankton yang
terperangkap di sepanjang continental shelf slope tersebut (Embling et al. 2005).
Ditinjau secara vertikal, dari permukaan ke dasar, perairan laut memiliki
stratifikasi berdasarkan perbedaan konsentrasi sejumlah parameter biofisik, seperti
suhu dan klorofil-a. Di luar zona front, produktivitas primer di bawah lapisan
termoklin dapat diabaikan, namun tidak demikian halnya di wilayah terjadinya
front, yang ternyata memiliki produktivitas primer di lapisan kolom perairan 6.5
kali lebih tinggi dengan konsentrasi klorofil-a 40 kali lebih banyak dibandingkan
di lapisan permukaan (Mann and Lazier 2006). Hal tersebut bisa terjadi karena
adanya lapisan piknoklin yang dangkal terdapat di zona front, yang di dalamnya
secara persisten memerangkap komunitas fitoplankton. Di lapisan ini, fitoplankton
dapat melakukan aktivitas fotosintesis secara lebih aktif karena mendapat
pencahayaan yang cukup dari permukaan laut dan asupan nutrien yang secara
terus-menerus terdifusi dari lapisan bawah (Lalli and Parsons 2000; Mann and
Lazier 2006). Umumnya kondisi lapisan perairan yang mendukung terjadinya
12
upwelling adalah adanya lapisan termoklin yang dangkal (Mann and Lazier 2006).
Kondisi yang demikian telah digambarkan oleh Wyrtki (1962) dan Purba et al.
(1994) di perairan selatan Jawa, khususnya pada saat berlangsungnya upwelling
musiman di bulan Agustus.
2.3. Bahan dan metode
Data penginderaan jauh ocean colour yang digunakan untuk memetakan
sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut di perairan Selat Ombai adalah data
dari sensor SeaWiFS dibawa oleh satelit ORBVIEW-2 yang telah beroperasi
selama 6 tahun. Sensor SeaWiFS ini menghasilkan dua tipe data yaitu LAC
(Local Area Coverage), dengan resolusi spasial 1.13 km, dan GAC (Global Area
Coverage), dengan resolusi 4.5 km. Dalam penelitian ini digunakan data LAC
Level 2 dalam format HDF (Hierarchical Data Format) yang langsung diunduh
dari Goddard Space Flight Center - National Aeronautics and Space
Administration (GSFC – NASA, http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/). Data tersebut
selanjutnya diolah mengunakan software SeaDAS versi 4, yang di dalamnya
terdapat algoritma khusus untuk diaplikasikan secara spesifik di perairan
Indonesia (Hendiarti 2003), sehingga mampu menampilkan profil sebaran
klorofil-a dan suhu permukaan laut.
Data LAC Level 2 hanya digunakan untuk menampilkan profil biofisik
perairan Selat Ombai yang bersamaan dengan waktu pengamatan komunitas
cetacea pada pelayaran INSTANT (28 Desember 2003 – 4 Januari 2004 dan 29
Juni – 4 Juli 2005). Untuk menampilkan profil muka laut secara time series tiap
bulan, digunakan data yang telah diproses, fasilitas dari The Goddard Earth
Sciences Data and Information Services Center (GES DISC) yang tersedia pada
laman http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/giovanni. Peta sebaran klorofil-a bulanan dari
Giovanni ditampilkan langsung di situs tersebut dengan resolusi spasial 0.1° x
0.1°, selain itu format ASCII data klorofil-a untuk masing-masing bulan kajian
juga disimpan.
13
Analisis data
Data klorofil-a dan suhu permukaan laut di perairan Selat Ombai memiliki
resolusi spasial 0.2° x 0.2° dan disajikan dalam format ASCII. Data ASCII
tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk gambar sebaran klorofil-a dengan
bantuan software Surfer versi 8. Berdasarkan gambar sebaran parameter klorofil-a
dan suhu permukaan laut tersebut, selanjutnya dikaji pola perubahan nilai masing-
masing parameter untuk mengetahui keberadaan fitur oseanografi khusus seperti
eddies dan front, serta nilai maksimum, minimum, dan rata-rata di tiap periode
akuisisi data citra.
2.4. Hasil
2.4.1. Sebaran cetacea berdasarkan profil suhu permukaan laut
Selain menampilkan informasi mengenai sebaran klorofil-a, data SeaWiFS
juga dapat memberikan informasi mengenai sebaran suhu permukaan laut.
Ekstraksi data SeaWiFS untuk tampilan sebaran suhu permukaan laut hanya
berhasil untuk akuisisi tanggal 30 Juni dan 4 Juli 2005. Dengan demikian, profil
habitat cetacea yang ditinjau dari sebaran suhu permukaan laut hanya diperoleh
untuk data pengamatan cetacea hasil Survei INSTANT-Cetacea II. Profil habitat
pelagis di perairan Selat Ombai berdasarkan sebaran suhu permukaan laut
ditampilkan pada Gambar 2-1 dan 2-2.
Dari Gambar 2-1 dapat diketahui bahwa suhu permukaan laut (SPL) di Selat
Ombai pada tanggal 30 Juni 2005 memiliki kisaran 27–30 °C. Terlihat adanya
thermal front berbentuk meander di bagian barat Selat Ombai, tepatnya di timur
Pulau Alor dan selatan Pulau Timor, dengan gradien SPL mencapai 2.5 °C. Plot
titik perjumpaan cetacea menunjukkan bahwa komunitas cetacea berada perairan
dengan suhu permukaan 28–28.5 °C, yang termasuk umum di perairan laut tropis
nusantara (Nontji 1993).
14
Gambar 2-1. Sebaran suhu permukaan laut di Selat Ombai pada 30 Juni 2005
Gambar 2-2. Sebaran suhu permukaan laut di Selat Ombai pada 4 Juli 2005
15
Pada tanggal 30 Juni 2005 (Gambar 2-1), terjadi empat perjumpaan dengan
komunitas cetacea dengan dua spesies yang teridentifikasi positif dan satu
unidentified cetacea (Plot A). Dua spesies cetacea yang teridentifikasi adalah
Physeter macrocephalus (Plot B, C, D) dan Stenella longirostris (Plot C). Khusus
untuk Stenella longirostris, cetacea jenis ini teramati dalam populasi besar dan
melakukan aktivitas bowriding, yaitu berenang mengikuti pergerakan kapal
Baruna Jaya VIII. Secara umum, plot perjumpaan cetacea memiliki preferensi
terhadap keberadaan thermal front di perairan Selat Ombai.
Gambar 2-2 menunjukkan sebaran SPL pada tanggal 4 Juli 2005, dengan
kisaran 27–29 °C. Sama halnya dengan profil sebaran SPL pada 30 Juni 2005
(Gambar 2-1), pada hari ini juga dijumpai fitur thermal front dengan posisi dan
pola yang sama. Perbedaan fitur thermal front dari kedua periode adalah gradien
SPL maksimal yang terbentuk pada 4 Juli 2005 bernilai lebih rendah, 1.5 °C, dan
gradasi perubahan nilai SPL terlihat lebih lebar. Jenis cetacea yang diamati pada
hari tersebut adalah Stenella longirostris, yang juga tengah melakukan aktivitas
foraging dan makan di sekitar wilayah front.
Hanya tercatat dua perjumpaan dengan komunitas cetacea pada tanggal 4
Juli 2005, yaitu dengan pod Stenella longirostris (Gambar 2-2) yang melakukan
foraging dan makan di sepanjang aliran front yang terbentuk. Aktivitas foraging
dan makan Stenella longirostris ditandai dengan pergerakan simultan pasangan-
pasangan cetacea berkecepatan tinggi, diikuti aktivitas menyelam singkat yang
repetitif, manuver gerak yang memusat di permukaan dengan diselingi aksi
aerials dan melontarkan mangsa ke atas permukaan air (Bearzi 1994, Allen and
Read 2000, pers. obs.). Satu perjumpaan lagi adalah dengan pod Kogia simus,
yang terlihat berenang ke arah timur pada pada larut senja, pukul 17:50 WITA.
Sama halnya dengan Gambar 2-1, plot perjumpaan cetacea pada Gambar 2-2 juga
menunjukkan preferensi habitat cetacea, khususnya Stenella longirostris, terhadap
keberadaan thermal front di perairan Selat Ombai.
16
2.4.2. Sebaran cetacea berdasarkan profil klorofil-a permukaan
Sebaran klorofil-a permukaan di perairan Selat Ombai ditunjukkan pada
Gambar 2-3, 2-4, dan 2-5. Terlihat bahwa sebaran produktivitas primer, yang
diwakili oleh kandungan klorofil-a permukaan, memiliki variasi spasial. Perairan
Selat Ombai yang memiliki produktivitas primer tinggi ditunjukkan dengan warna
merah dan umumnya terdapat di timur Selat Ombai atau di tenggara Pulau Alor.
Gambar 2-3. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 4 Januari 2004.
Gambar 2-3 menunjukkan sebaran klorofil-a di perairan Selat Ombai pada
Musim Barat. Sebaran klorofil-a permukaan berkisar antara 0.01–0.06 mg/L, dan
di beberapa lokasi terdeteksi fitur eddies yang di bagian tengahnya memiliki
kandungan klorofil-a permukaan paling tinggi. Tercatat ada 4 perjumpaan, yang
75% menunjukkan aktivitas foraging dan makan. Tiga spesies cetacea, Stenella
longirostris, Orcinus orca, dan Pseudorca crassidens, dijumpai di perairan shelf
break yang dekat ke arah pantai, sedangkan Physeter macroce-phalus lebih umum
dijumpai di bagian perairan jeluk Selat Ombai.
17
Gambar 2-4. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 30 Juni 2005.
Gambar 2-5. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 4 Juli 2005.
18
Sebaran klorofil-a permukaan untuk Musim Timur ditunjukkan pada
Gambar 2-4 dan 2-5, yang merupakan akuisi 30 Juni 2005 dan 4 Juli 2005.
Apabila sekilas dibandingkan, maka rentang nilai klorofil-a permukaan untuk
musim barat lebih rendah dibandingkan pada musim tenggara. Pada musim
tenggara, kisaran klorofil-a permukaan adalah 0.01 – 0.08 mg/L; kemudian profil
front klorofil-a permukaan dan eddies yang dibentuk juga lebih majemuk dan
terdeteksi di beberapa lokasi di perairan Selat Ombai. Hal tersebut menunjukkan
adanya fenomena localized upwelling. Bila dikaitkan dengan komunitas cetacea
yang teramati, maka plot perjumpaan cetacea umumnya berdekatan dengan lokasi
terbentuknya front atau di zona transisi klorofil-a dan tidak terfokus pada wilayah
berkonsentrasi klorofil-a tinggi.
Secara umum, pendeteksian sebaran klorofil-a permukaan pada tanggal
tersebut tidak optimal disebabkan oleh tebalnya tutupan awan yang menghalangi
kinerja sensor SeaWiFS. Awan merupakan faktor kendala utama dalam
pendeteksian parameter oseanografi permukaan menggunakan teknologi
penginderaan jauh. Kendala serupa dialami oleh Cresswell et al. (1997) yang
mengkaji variabilitas upwelling secara musiman dan tahunan di perairan Nusa
Tenggara dan selatan Jawa menggunakan data inderaja NOAA-AVHRR, dan
mendapati bahwa penutupan awan pada musim barat berlangsung ekstensif.
Moore and Marra (2003), yang menggunakan data SeaWiFS, mendapati bahwa
perairan selatan Alor merupakan wilayah dengan fenomena upwelling yang
berlangsung secara permanen (persistent upwelling).
2.4.3. Profil bulanan sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai
Untuk melihat konsistensi keberadaan zona transisi klorofil-a yang tinggi di
perairan Selat Ombai, digunakan data klorofil-a permukaan serial bulanan,
dimulai dari Desember 2003 sampai dengan Juli 2005. Profil sebaran klorofil-a
permukaan tiap bulan disajikan pada Gambar 2-6, sedangkan data ASCII hasil
pengukuran sensor SeaWiFS digunakan untuk melihat nilai rerata dan maksimum
dari parameter klorofil-a permukaan Selat Ombai yang disajikan di Lampiran 4.
19
DES-03 JAN 04 FEB-04
MAR-04 APR 04 MEI-04
JUN-04 JUL 04 AGU-04
SEP-04 OKT 04 NOP-04
Musim Barat
Musim Peralihan I
Musim Timur
Musim Peralihan II
20
Gambar 2-6. Profil serial bulanan sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai, Desember 2003-Juli 2005.
DES-04 JAN 05 FEB-05
MAR-05 APR 05 MEI-05
JUN-05 JUL 05
Musim Barat
Musim Peralihan I
Musim Timur
21
Gambar 2-6 menunjukkan bahwa sebaran klorofil-a permukaan di perairan
Selat Ombai bervariasi secara spasial dan temporal, dengan fitur upwelling yang
terdeteksi secara konsisten, walau masing-masing bulan menunjukkan bentang
wilayah dan intensitas upwelling yang berbeda satu sama lain. Rerata nilai
klorofil-a permukaan dihitung untuk nilai yang terekam di sekitar titik
penenggelaman mooring Ombai 1, yaitu 8° 24.098' LS dan 125° 0.163' BT.
Kisaran nilai rerata klorofil-a permukaan adalah 0.13–0.38 mg/m3, sedangkan
nilai maksimum parameter klorofil-a permukaan terletak di titik yang bervariasi
antar musim dengan kisaran 0.46–2.50 mg/m3
Variasi antar musim sebaran dan nilai klorofil-a permukaan di Selat Ombai
terlihat jelas dari Gambar 2-6. Pada periode pertama pengamatan cetacea,
Desember 2003-Januari 2004, nilai rerata dan maksimum klorofil-a adalah 0.26
mg/m
(Lampiran 4).
3 dan 0.74 mg/m3, serta 0.16 mg/m3 dan 0.67 mg/m3. Terjadi peningkatan
nilai maksimum klorofil-a pada periode kedua pengamatan cetacea, Juni-Juli
2005, yaitu 1.02 mg/m3 dan 0.96 mg/m3
Umumnya fitur upwelling di perairan Selat Ombai terdeteksi di selatan
Pulau Alor, dengan kondisi upwelling berintensitas tinggi berlangsung pada
Musim Timur dan Musim Peralihan II (Gambar 2-6). Musim utama perburuan
paus oleh nelayan Lamalera, yang bermukim di barat Pulau Alor, berlangsung
pada bulan-bulan tersebut (Barnes 1996), mengindikasikan bahwa ada kelimpahan
cetacea yang tinggi yang secara tidak langsung terkait dengan tingginya
produktivitas primer di perairan Selat Ombai yang juga merupakan wilayah
perburuan paus. Bentang wilayah yang memiliki konsentrasi klorofil-a permukaan
tinggi pada Musim Timur dan Musim Peralihan II juga lebih luas, menyebar
hingga ke barat daya Selat Ombai atau memasuki perairan Laut Sawu. Hal serupa
juga diperoleh Creswell et al. (1997) dan Moore and Marra (2002).
, walaupun nilai rerata klorofil-a di lokasi
mooring tergolong homogen. Variasi tahunan sebaran klorofil-a permukaan
ditunjukkan secara jelas pada profil bulan Mei, yaitu terjadinya fitur upwelling
intensif yang lebih awal pada akhir Musim Peralihan I di tahun 2005, sedangkan
pada Mei 2004 fitur tersebut tidak nampak.
22
2.5. Pembahasan
Perairan Selat Ombai memiliki keunikan spesifik dalam kaitannya dengan
sejumlah fenomena oseanografi dan komunitas apex predator cetacea. Data
inderaja satelit hasil pemindaian sensor SeaWiFS dapat digunakan untuk
mendeteksi sejumlah fitur oseanografi penting yang dapat menjelaskan mengapa
komunitas cetacea memanfaatkan beberapa lokasi di perairan Selat Ombai sebagai
habitat makannya. Siegel et al. (2004) menjelaskan bahwa pencitraan muka laut
hasil interpretasi data SeaWiFS memiliki sejumlah kelebihan, yang di antaranya
adalah menampilkan nilai parameter klorofil-a permukaan dan fitur proses
oseanografi penting, seperti upwelling, downwelling, dan eddies, yang dapat
disesuaikan skala ruang dan waktunya, serta tersedia secara konsisten sejak 1
Agustus 1997. Pada penelitian ini digunakan 25 peta citra SeaWiFS, yang lima di
antaranya merupakan data real time yang selaras waktu perekamannya dengan
pengambilan data lapangan komunitas cetacea di Selat Ombai.
Gambar 2-1 dan 2-2 menunjukkan pencitraan muka laut berdasarkan
parameter suhu permukaan laut, yang secara rinci menunjukkan keberadaan fitur
thermal front, terutama di timur Pulau Alor dan di barat laut Pulau Timor.
Gambar 2-3, 2-4, 2-5, dan 2-6 menunjukkan profil muka laut hasil pencitraan
SeaWiFS berdasarkan parameter klorofil-a permukaan, yang masing-masing
menunjukkan adanya fenomena peningkatan konsentrasi klorofil-a permukaan
(upwelling) secara permanen di perairan Selat Ombai. Resolusi spasial data LAC
Level 2 SeaWiFS dapat menunjukkan secara detail lokasi dan bentang wilayah
terbentuknya fitur eddies di Selat Ombai (Gambar 2-3 s/d 2-5).
Hasil kajian Sangra et al. (2001) di perairan Gran Canaria menunjukkan
adanya fitur mesoscale eddies berdasarkan konsentrasi klorofil-a permukaan di
daerah leeward Pulau Canari yang dipengaruhi oleh internal wave. Fitur eddies
tersebut mengakibatkan peningkatan biomassa fitoplankton serta menyokong
peningkatan biomassa zooplankton sepuluh kali lipat dibandingkan di daerah
windward Pulau Canari. Mekanisme serupa juga terdapat di Selat Ombai, karena
memang terdapat fitur internal wave di perairan tersebut (Moore and Marra 2002),
yang intensitasnya bervariasi terhadap penjalaran gelombang pasut, sehingga
23
memiliki frekuensi yang lebih tinggi dan berkontribusi terhadap eskalasi
produktivitas primer setempat (Robertson and Ffield 2005, 2008).
Peningkatan kandungan klorofil-a di Selat Ombai secara langsung
menunjukkan bahwa komunitas fitoplankton, yang menjadi landasan piramida
makanan di ekosistem laut, tersedia dalam jumlah yang melimpah secara kontinu
atau bahwa perairan Selat Ombai memiliki mekanisme percampuran massa air
yang intensif. Walaupun tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan keberadaan
komunitas cetacea yang dijumpai di perairan tersebut, adanya sejumlah lokasi
dengan kandungan klorofil-a tinggi menyokong ketersediaan mangsa cetacea dari
jenis Stenella longirostris dan Pseudorca crassidens, karena apex predator cetacea
dari spesies tersebut seringkali dijumpai tengah melakukan aktivitas foraging dan
makan di perairan Selat Ombai.
Selain upwelling, fitur oseanografi lain yang tak kalah penting yang
terdeteksi oleh data SeaWiFS adalah thermal front, yang umumnya terbentuk di
tepian Pulau Alor dan Timor, tempat Arlindo memasuki perairan Selat Ombai
menuju Laut Sawu. Spesies cetacea yang memiliki kecenderungan terhadap
thermal front di Selat Ombai adalah Stenella longirostris. Ballance et al. (2006)
menuliskan bahwa spesies tersebut juga selalu dijumpai di perbatasan massa air
hangat Peru Current dan Equatorial Front di timur Pulau Galapagos. Selain
Stenella longirostris, terbentuknya fitur thermal front secara musiman juga
mempengaruhi sebaran sejumlah spesies cetacea yang lain, seperti rorquals di
Gulf of St. Lawrence, Kanada (Doniol-Valcroze et al. 2007), pesut Phocoena
phocoena di lepas pantai Barat Skotlandia (Embling et al. 2004), serta banyak
jenis cetacea di perairan California Current System (Tynan et al. 2005,
Burtenshaw et al. 2004).
Apabila Viale (1985) menyatakan bahwa hubungan antara suhu perairan
dengan sebaran cetacea bersifat tidak langsung, maka hal yang berbeda
dikemukaan oleh Bost et al. (2009) yang menuliskan bahwa front merupakan
fitur oseanografi yang sangat penting bagi apex predator cetacea di perairan
Southern Ocean. Ballance et al. (2006) mengkaji pengaruh oseanografi dan
karakteristik massa air di perairan tropis Pasifik Timur dan mendapati bahwa
24
Equatorial Front merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi sebaran
dan densitas cetacea di perairan tersebut.
Martin (2003) menyarikan bahwa fitur front dan eddies di laut merupakan
faktor utama yang memacu peningkatan produktivitas primer dan biomassa
fitoplankton. Hal ini disebabkan oleh terperangkapnya komunitas fitoplankton di
bagian-bagian perairan tertentu dan eskalasi proses fotosintesis terjadi akibat
mekanisme pengadukan (mixing and stirring) yang menyuplai nutrien secara
terus-menerus dari perairan dalam. Keberadaan proses vertical mixing di perairan
Selat Ombai telah dibuktikan oleh Atmadipoera et al. (2009), sehingga diduga
proses tersebut merupakan salah satu mekanisme utama yang menyebabkan
kondisi persistent upwelling dapat dijumpai di perairan ini (Gambar 2-6).
Selain memacu produktivitas primer, front dan eddies juga dapat dikaitkan
dengan sebaran spasial apex predator cetacea di laut, karena merupakan faktor
fisiografi utama yang memungkinkan terjadinya interaksi predator-mangsa antara
penghuni jenjang trofik tertinggi dan terendah, khususnya Stenella longirostris,
Pseudorca crassidens, dan Orcinus orca yang dijumpai memangsa schooling ikan
pelagis permukaan (Gambar 2-1 s/d 2-5). Keberadaan ikan pelagis sebagai salah
satu predator utama di wilayah perbatasan front dan eddies sangat terkait dengan
retensi agregasi zooplankton, larva ikan, dan komunitas grazers lain, sehingga
komunitas apex predator cetacea juga mendatangi wilayah perairan ini untuk
memangsa schooling ikan pelagis tersebut. Namun demikian, fitur lapisan
permukaan tersebut tidak dapat dikaitkan dengan konsistensi perjumpaan dengan
Physeter macrocephalus yang mangsanya merupakan biota penghuni laut dalam,
terutama cephalopoda.
Palacios et al. (2006), Hastie et al. (2004) dan Worm et al. (2003)
mengenalkan istilah biological hot spots, yang menunjukkan wilayah tertentu di
perairan laut, bila dibandingkan wilayah perairan lain di dekatnya, yang memiliki
kandungan kloforil-a permukaan yang tinggi disertai kelimpahan predator yang
tinggi pula, terutama biota pelagis besar, seperti ikan, penyu, burung laut, dan
cetacea. Burtenshaw et al. (2004) mendapati preferensi Balaenoptera musculus
terhadap beberapa titik biological hot spots di perairan California Current System.
25
Dengan demikian, Selat Ombai juga merupakan biological hot spots di perairan
nusantara karena merupakan lokasi yang secara konsisten memiliki kandungan
klorofil-a tinggi dan keberadaan populasi apex predator tinggi, terutama untuk
spesies Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, dan Physeter macrocephalus
yang dijumpai secara konsisten di perairan tersebut.
2.6. Simpulan
Pencitraan warna muka laut menggunakan data SeaWiFS dapat digunakan
untuk menunjukkan karakteristik lingkungan fisik habitat cetacea di Selat Ombai,
khususnya untuk parameter suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a
permukaan. Profil warna muka laut yang diperoleh dari 25 peta citra SeaWiFS
dapat mengidentifikasi lokasi spesifik keberadaan fitur oseanografi khusus, seperti
thermal front dan eddies, yang melengkapi hasil pengamatan visual komunitas
cetacea serta memberikan indikasi lanjutan terhadap kemungkinan keberadaan
habitat kritis cetacea di perairan Selat Ombai, karena mayoritas titik pengamatan
cetacea berada dekat dengan fitur tersebut. Konsistensi perjumpaan apex predator
cetacea, keberadaan thermal front, eddies dan persistensi kondisi produktivitas
primer yang tinggi (berdasarkan pencitraan kandungan klorofil-a permukaan)
menjadikan Selat Ombai sebagai perairan biological hot spots yang penting untuk
dikaji lebih lanjut.
Daftar Pustaka Allen MC and A Read. 2000. Habitat selection of foraging bottlenose dolphins in
relation to boat density near Clearwater, Florida. Marine Mammal Science 16:815-824.
Arrigo KR, D Worthen, A Schnell, and MP Lizotte. 1998. Primary production in Southern Ocean waters. Journal of Geophysical Research 103: 587-600.
Atmadipoera AS, R Molcard, G Mardec, S Wijffels, J Sprintall, A Koch-Larrouy, I Jaya, and A Supangat. 2009. Characteristics and variability of the Indonesian throughflow water at the outflow straits. Deep-Sea Research I 56(2009)1942–1954. doi:10.1016/j.dsr.2009.06.004
26
Balance LT, RL Pitman, and PC Fiedler. 2006. Oceanographic influences on seabirds and cetaceans of the eastern tropical Pacific: A review. Progress in Oceanography 69 (2006) 360–390. doi:10.1016/j.pocean.2006.03.013
Bearzi G. 1994. Behavioural states: terminology and definitions. Proceedings of the workshop “Methods for the study of bottlenose dolphins in the wild”. Eds: GN di Sciara, PGH Evans, and E Politi. 8th
Bost CA, C Cotte, F Bailleul, Y Cherel, JB Charrassin, C Guinet, DG Ainley, and H Weimerskirch. 2009. The importance of oceanographic fronts to marine birds and mammals. Journal of Marine Systems 78 (2009): 363-376. doi:10.1016/j.jmarsys.2008.11.022
Annual Meeting of the European Cetacean Society. Montpellier, 3 March 1994.
Brown CW and HE Winn. 1989. Relationship between the distribution pattern of right whales, Eubalaena glacialis, and satellite-derived sea surface thermal structure in the Great South Channel. Continental Shelf Research 9 (3): 247-260.
Burtenshaw JC, EM Oleson, JA Hildebrand, MA McDonald, RK Andrew, BM Howe, and JA Mercer. 2004. Acoustic and satellite remote sensing of blue whale seasonality and habitat in the Northeast Pacific. Deep-Sea Research II 51 (2004) 967–986. doi:10.1016/j.dsr2.2004.06.020
Cresswell G, M Purba, and SI Sachoemar. 1997. Application of remote sensing and oceanographic assessment in fisheries development. Report on short program of collaborative research. CSIRO, BPPT, and IPB.
Davis RW, GS Fargon, N May, TD Leming, M Baumgartner, WE Evans, LJ Hansen, and K Mullin. 1998. Physical habitat of cetaceas along the continental slope in the north-central and western gulf of Mexico. Marine Mammal Science 14 (3): 490-507.
Davis RW, JG Ortega-Ortiza, CA Ribic, WE Evans, DC Biggs, PH Ressler, RB Cady, RR Lebend, KD Mullin, B Wursig. 2002. Cetacean habitat in the northern oceanic Gulf of Mexico. Deep-Sea Research I 49 (2002) 121–142.
Doniol-Valcroze T., D. Berteaux, P. Larouche, and R. Sears. 2007. Influence of thermal fronts on habitat selection by four rorqual whale species in the Gulf of St. Lawrence. Mar Ecol Prog Ser Vol 335: 207-216.
Embling CB, PG Hernandes, PS Hammond, E Armstrong, and J Gordon. 2005 Investigations into the relationship between pelagic fish and dolphin distributions off the west coast of Scotland. ICES CM2005; 15 pp.
Hastie GD, B Wilson, LJ Wilson, KM Parsons, and PM Thompson. 2004. Functional mechanisms underlying cetacean distribution patterns: hotspots for bottlenose dolphins are linked to foraging. Marine Biology (2004) 144: 397–403. DOI 10.1007/s00227-003-1195-4
Hendiarti N. 2003: Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany.
27
Kaltenberg AM. 2004. 38-kHZ ADCP Investigation of Deep Scattering Layers in Sperm Whale Habitat in the Northern Gulf of Mexico. M.Sc Thesis under supervision of DC Biggs and SF DiMarco. Major: Oceanography. Texas A&M University.
Lalli C and TR Parsons. 2000. Biological oceanography - an introduction. 2nd
Mann KH and JRN Lazier. 2006. Dynamics of marine ecosystems: biological-physical interactions in the oceans. 3
edition. Butterworth-Heinemann: 314 pp.
rd
Martin AP. 2003. Phytoplankton patchiness: the role of lateral stirring and mixing. Progress in Oceanography 57 (2003) 125–174. doi:10.1016/S0079-6611(03)00085-5.
ed. Blackwell Publishing: 496 pp.
Moore K and M Abbott 2000. Phytoplankton chlorophyll distributions and primary production in the Southern Ocean. Journal of Geophysical Research, 105 (28): 709-722.
Moore TS and J Marra. 2002. Satellite observations of bloom events in the Strait of Ombai: Relationships to monsoons and ENSO. Geochem Geophys Geosyst 3 (2). doi: 10.1029/2001GC00174.
Moore SE, WA Watkins, MA Daher, JR Davies, and ME Dalheim. 2000. Blue whale habitat associations in the northwest Pacific: analyses of remotely-sensed data using Geographic Information System. Oceanography 15 (3), 20-25.
Nonti, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. 368 hal.
Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. P2O-LIPI. Jakarta. iii + 240 h.
Palacios DM,SJ Bograd, DG Foley, and FB Schwing. 2006. Oceanographic characteristics of biological hot spots in the North Pacific: A remote sensing perspective. Deep-Sea Research II 53 (2006) 250–269. doi:10.1016/j.dsr2.2006.03.004
Purba M, INMN Natih, dan AS Atmadipoera. 1994. Keterkaitan sifat-sifat oseanografi dengan sifat-sifat biologis sebagai akibat proses upwelling di perairan selatan Jawa Barat. Laporan penelitian. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Robertson R and A Ffield. 2005. M2 Baroclinic tides in the Indonesian Seas. Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.
Robertson R and A Ffield 2008: Baroclinic tides in the Indonesian Seas. Part 2: Interactions between tidal constituents, energy fluxes, and tidal mixing with a focus on Ombai Strait, doi:10.1029/2007JC004677.
Sangra P, G Basterretxea, JL Pelegri, and J Aristegui. 2001. Chlorophyll increase due to internal waves on the shelf break of Gran Canaria (Canary Islands). Sci. Mar. (Suppl. 1): 89-97
28
Siegel DA, AC Thomas, and J Marra. 2004. Views of ocean processes from the Sea-viewing Wide Field-of view Sensor mission: introduction to the first special issue. Journal of Deep-Sea Research II 51 (2004) 1-3. doi:10.1016/j.dsr2.2003.12.001
Taylor L, M Carwardine, and E Hoyt (Eds). 2002. The nature companions sharks and whales. Fog city press.
Tynan CT, DG Ainley, JA Barth, TJ Cowles, SD Pierce, and LB Spear. 2005. Cetacean distribution relative to ocean processes in the northern California Current System. Deep-Sea Research II: 145-167.
Viale D. 1985. Cetacea in the Northwestern Mediterranean: their place in ecosystem. In: Oceanography and Marine Biology: an annual review - volume 23. M Barnes (Ed). Aberdeen University Press. 491-571pp.
Weir CR and SH O'Brien. 2000. Association of the harbour porpoise (Phocoena phocoena) with the western Irish Sea front. European Research on Cetaceas - 14. Proceedings on the 14th conference of European cetacea society. Cork, Ireland, 2-5 April 2000: 61-65.
Worm B, HK Lotze, and RA Myers. 2003. Predator diversity hotspots in the blue ocean. PNAS 2003;100;9884-9888. doi:10.1073/pnas.1333941100
Wyrtki K. 1962. The upwelling in the region between Java and Australia during the south east monsoon. Australian Journal of Marine and Freshwater Research 13 (3): 217-225.
Yen PPW, WJ Sydeman, and KD Hyrenbach. 2003. Marine bird and cetacea associations with bathymetric habitats and shallow water topographies: implications for trophic transfer and conservation. Journal of Marine Systems 50: 79-99.
29
3. DINAMIKA LAPISAN PELAGIS YANG MENJADI FORAGING HABITAT CETACEA DI SELAT OMBAI: PROFIL LAPISAN
TERMOKLIN DAN HAMBUR BALIK AKUSTIK
3.1. Pendahuluan
Laut merupakan sistem yang kompleks karena dari seluruh fitur yang digunakan
untuk mendefinisikan bagian atau kondisi laut, hanya batimetri yang sifatnya relatif
permanen. Secara melintang, dari permukaan ke dasar, laut dikelompokkan menjadi
bagian-bagian yang didasari oleh sifat penetrasi cahaya matahari, sehingga di laut
pelagis dikenal zona epipelagis, mesopelagis, dan seterusnya hingga hadalpelagis
(Nontji 1993). Dalam ranah oseanografi, dikenal istilah lapisan termoklin yang
merupakan lapisan transisi antara lapisan massa air tercampur di dekat permukaan laut
dengan lapisan terstratifikasi di bawahnya, yang mengalami perubahan suhu tajam
terhadap perubahan kedalaman (Mann and Lazier 2006). Lebih jauh lagi, perairan
pelagis ternyata memiliki beragam habitat yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
kedalaman dan suhu. Dipengaruhi oleh faktor dinamika oseanografi, terutama fitur khas
seperti vertical mixing, eddies, front, dan internal wave, perairan pelagis dapat memiliki
mikrostruktur habitat yang sangat penting dalam menyokong eskalasi produksi
komunitas plankton, baik fitoplankton (Martin 2003, Pershing et al. 2001, Lennert-
Cody and Franks 1999) maupun zooplankton (Dagg et al. 2006, Lennert-Cody and
Franks 1999, Zhou et al. 1997). Pada akhirnya, perairan yang memiliki fitur khas
tersebut merupakan lokasi agregasi predator di laut, seperti ikan pelagis besar, burung
laut, dan cetacea (Bost et al. 2009, Tynan et al. 2005, Genin 2004).
Selat Ombai merupakan perairan yang mendapat pengaruh angin musim
(monsoon) dan Arus Lintas Indonesia. Dinamika oseanografi perairan Selat Ombai juga
tergolong kompleks dengan adanya batimetri yang rumit dan dalam (Molcard et al.
2001), serta memiliki fenomena Ombai Jet, arus pasut ganda, internal wave, dan
persistent upwelling (Robertson and Ffield 2008; Moore and Marra 2003; Sprintall,
pers, comm.; Robertson pers. comm.). Dalam lingkup kajian habitat cetacea di Selat
Ombai, bagian tesis ini memaparkan dinamika parameter biofisik oseanografi di lapisan
pelagis, terutama di lapisan epipelagis (0-200 m) dan mesopelagis (200-1000 m),
berdasarkan akuisisi data oseanografi pada program INSTANT.
30
Menggunakan set data mooring oseanografi yang ditenggelamkan selama 1,5
tahun di utara Selat Ombai (8.40° LS dan 125.00° BT), dua parameter utama akan
ditelaah secara mendalam untuk selanjutnya dikaitkan dengan fitur khas oseanografi dan
proses bioenergetika yang memungkinkan ketersediaan mangsa cetacea di perairan
tersebut. Parameter yang pertama adalah suhu perairan, sehingga dapat diketahui dan
dikaji profil lapisan termoklin, sedangkan parameter yang kedua adalah echo intensity
–EI (intensitas gema) hasil perekaman instrumen Acoustic Doppler Current Profiler.
Parameter EI digunakan untuk mengetahui profil lapisan hambur balik akustik, juga
mengkaji keberadaan mikrostruktur komunitas penghambur sinyal akustik di lapisan
pelagis perairan Selat Ombai. Hasil kajian tersebut selanjutnya dikaitkan dengan proses
yang menyokong interaksi predator-mangsa dari komunitas apex predator cetacea.
3.2. Faktor biofisik lingkungan yang berperan terhadap komunitas cetacea
3.2.1. Dari fitoplankton ke cetacea: interaksi pemangsaan dan dinamika spasio-temporal
Dinamika spasio-temporal kehidupan di laut pelagis merupakan kajian yang
rumit, karena selain struktur fisiknya yang kompleks, komunitas makhluk hidup yang
ditemukan di dalam sistemnya memiliki ukuran, daur hidup, sebaran spasial dan status
trofiknya yang bervariasi, sehingga faktor ekologi dan fisiologi yang mempengaruhi
masing-masing anggota komunitas juga bervariasi.
(A) (B)
Gambar 3-1. Skala ruang dan waktu yang ditetapkan pada tiga kelompok biota yang menjadi mangsa cetacean: (A) kisaran ukuran dan waktu yang diperlukan untuk menggandakan populasi (B) interaksi pemangsaan antara ketiganya (Steele 1989)
31
Steele (1989) menyarikan dinamika spasio-temporal dari tiga komunitas utama di
ekosistem laut, yaitu fitoplankton, zooplankton, dan ikan (Gambar 3-1). Bisa dilihat dari
Gambar 3-1A, bahwa masing-masing komunitas, fitoplankton, zooplankton, dan ikan,
memiliki domain ruang dan waktu yang berbeda, serta dari Gambar 3-1B dapat
diketahui probabilitas interaksi pemangsaan antara komunitas satu dengan lainnya
memiliki domain ruang dan waktu yang berbeda pula. Notasi X dan Y pada Gambar 3-
1B, secara berturut-turut menunjukkan dimensi yang menyokong dan menghambat
interaksi pemangsaan antara komunitas pengisi jenjang trofik berbeda tersebut.
Dalam kaitannya dengan fitur habitat apex predator cetacea, diperlukan sub-
sistem yang optimal dari masing-masing komunitas penghuni trofik level rendah, yaitu
fitoplankton, zooplankton, dan nekton pelagis kecil (misalnya: ikan, cephalopoda).
Ketentuan lain yang juga diperlukan adalah laju produksi bahan organik oleh komunitas
fitoplankton berlangsung secara konsisten, yang dipengaruhi oleh daya dukung perairan
(penyediaan zat hara penting dan radiasi matahari yang cukup), yang selaras dengan
rasio keberhasilan rekrutmen yang tinggi untuk tiap sub-sistem yang menghuni jenjang
trofik selanjutnya (Biktashev and Brindley 2003). Steele (1989) juga menuliskan bahwa
kesuksesan rekrutmen komunitas jenjang trofik antara (zooplankton dan ikan)
ditentukan oleh tempat dan waktu penetasan telur yang selaras terhadap keberadaan
patches fitoplankton.
Patchiness, atau dinamika spasio-temporal, fitoplankton sangat dipengaruhi fitur
oseanografi seperti front, eddies, dan percampuran vertikal (Martin 2003), yang
umumnya berlangsung dalam lingkup spasial yang bervariasi dari 1-100 km dengan
rentang waktu dari 1-10 hari (Steele 1989, Gambar 3-1B). Di perairan yang mengalami
proses pengadukan (stirring and mixing) atau penaikan massa air (upwelling),
manifestasi tambahan dari proses tersebut adalah adanya thermal gradient antara dua
tipe massa air (Mann and Lazier 2006). Fitur khas oseanografi tersebut memacu
peningkatan produktivitas biologis, mulai dari komunitas produsen (Martin 2003,
Lennert-Cody and Franks 1999), zooplankton (Dagg et al. 2006, Genin 2004, Lennert-
Cody and Franks 1999), hingga komunitas predator, termasuk cetacea (ca. Bost et al.
2009, Tynan et al. 2005, Genin 2004).
32
3.2.2. Struktur lapisan termoklin dan dinamika upwelling
Ditinjau secara vertikal, dari permukaan ke dasar, perairan laut memiliki
stratifikasi berdasarkan perbedaan konsentrasi sejumlah parameter biofisik, seperti suhu,
klorofil-a. Lapisan termoklin merupakan wilayah vertikal perairan yang mengalami
penurunan suhu secara drastis seiring dengan bertambahnya kedalaman (Mann and
Lazier 2006). Miller (2004) menjelaskan bahwa kondisi yang ideal untuk mendukung
ledakan populasi fitoplankton (spring bloom) adalah jika di lapisan termoklin masih
terdapat radiasi matahari yang cukup dan level kedalaman berada di atas kedalaman
kritis. Sprintall (pers. comm.) menjelaskan bahwa lapisan termoklin di Selat Ombai
berada pada kedalaman ca. 200 m, yang merupakan batas bawah lapisan termoklin
paling dalam dibandingkan lintasan Arlindo lainnya.
Di zona luar terjadinya front, produktivitas primer di bawah lapisan permukaan
tercampur dapat diabaikan, namun tidak demikian halnya di wilayah terjadinya front
yang ternyata memiliki produktivitas primer pada wilayah kolom perairan 6.5 kali lebih
tinggi dengan konsentrasi klorofil-a 40 kali lebih banyak dibandingkan di wilayah dekat
permukaan (Mann and Lazier 2006). Hal tersebut bisa terjadi karena adanya lapisan
pycnocline yang dangkal yang terdapat di zona front (Sangra et al. 2001), yang di
dalamnya meme-rangkap komunitas plankton (Martin 2003, Biktashev and Brindley
2003, Pershing et al. 2001,). Di lapisan ini, fitoplankton dapat melakukan proses
fotosintesis secara lebih aktif karena mendapat pencahayaan yang cukup dan asupan
nutrien yang secara kontinu terdifusi dari lapisan bawah (Mann and Lazier 2006, Lalli
and Parsons 2000).
Bila dikaitkan dengan upwelling, yaitu peristiwa pengangkatan massa air yang
kaya nutrien ke dalam lapisan tercampur di dekat permukaan. Peristiwa upwelling yang
dipengaruhi oleh adanya lapisan termoklin yang dangkal, dapat memacu eskalasi
produktivitas biologis karena proses produksi melalui fotosintesis oleh fitoplankton
dapat berlangsung lebih optimal akibat adveksi nutrien dari lapisan bawah termoklin
langsung dimanfaatkan untuk produksi. Adanya kondisi yang demikian telah
digambarkan oleh Wyrtki (1962) dan Purba et al. (1994) terhadap kondisi lapisan
termoklin di selatan Jawa terkait peristiwa upwelling sepanjang bertiupnya Angin
Muson Tenggara terutama di Bulan Agustus.
33
3.2.3. Struktur lapisan hambur balik akustik dan produktivitas sekunder
Lapisan hambur balik akustik –HBA (biasa disebut juga sebagai deep scattering
layer –DSL) merupakan lapisan di kolom perairan laut yang di dalamnya terdapat
berbagai jenis hewan, terutama dari zooplankton dan mikronekton, yang pertama kali
diidentifikasi oleh sonar pada tahun 1948 dan memiliki dinamika gerak vertikal
terhadap permukaan laut secara harian atau diel vertical migration –DVM (Tont 1975).
Umumnya komunitas zooplankton dan mikronekton di lapisan HBA melakukan migrasi
ke arah dekat permukaan laut pada waktu malam dan bergerak menjauh dari permukaan
pada siang hari, dikarenakan beberapa faktor yaitu (i) menghindari predasi, (ii) respon
adaptasi terhadap suhu, cahaya, dan kandungan oksigen (Tont 1975; Clark and Levy
1988; Hays 2003). Tont (1975) menuliskan bahwa terdapat beberapa lokasi di perairan
Pasifik yang memiliki lapisan HBA ganda, walaupun mayoritas perairan tersebut
memiliki lapisan HBA tunggal dengan kisaran kedalaman 100-500 m.
Greene and Wiebe (1990) menjelaskan bahwa teknologi bioakustik, menggunakan
Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) atau BIOMAPPER atau echo sounder,
menyediakan platform yang memudahkan kajian lapisan HBA dan mekanisme migrasi
vertikal harian komunitas zooplankton/mikronekton di suatu perairan, karena mampu
memberikan resolusi temporal lebih baik dibandingkan jaring plankton biasa dan tidak
memberikan dampak merusak terhadap komunitas hayati tersebut (pengukuran
biomassa zooplankton didasarkan pada volume sinyal akustik yang dipancar dan
dipantulkan kembali oleh partikel-partikel renik seperti zooplankton dan mikronekton).
Dengan demikian, penggunaan instrumen ADCP kini sangat umum digunakan untuk
mengetahui kondisi awal komunitas zooplankton, dan pada saat yang bersamaan
digunakan untuk mengukur profil arus (arah dan kecepatan) di perairan tersebut (ca.
Holliday et al. 2010, van Haren 2009, Kaltenberg 2004). Penggunaan ADCP juga dapat
menunjukkan adanya mikrostruktur habitat pelagis yang mengindikasikan peningkatan
produktivitas biologis di suatu perairan (ca. Holliday 2010, Pena 2006, Kaltenberg 2004).
Dikaitkan dengan keberadaan cetacea sebagai predator utama di perairan laut,
maka pendugaan biomassa akustik komunitas zooplankton menggunakan ADCP dapat
mengindikasikan profil produktivitas sekunder di suatu perairan. Selain itu,
menggunakan ADCP berfrekuensi rendah Kaltenberg (2004) menemukan asosiasi erat
34
keberadaan Physeter macrocephalus di lokasi-lokasi spesifik di perairan Gulf of
Mexico yang memiliki lapisan HBA ganda. Keeratan preferensi habitat apex predator
cetacea tersebut terhadap wilayah foraging-nya diketahui dari tingkah laku menyelam
periodik dan durasi waktu selam yang lebih lama di kedalaman lapisan HBA kedua
(650-800 m).
3.3. Bahan dan metode
Data suhu perairan dan data akustik hasil pengukuran ADCP di perairan Selat
Ombai diunduh pada situs http://www.marine.csiro.au/~cow074/index.htm dengan
nama file ‘Ombai North deployment 1’ yang merupakan data hasil kegiatan INSTANT
(International Nusantara Stratification And Transport) fase pertama. Data berformat
‘zipped netcdf files’ (.nc) tersebut dibaca dengan software ODV (Ocean Data View)
versi 3.4.3 dan Matlab versi 7.4. Walaupun berperan utama sebagai pengukur arah dan
kecepatan arus, ADCP juga dapat digunakan untuk menduga biomassa dan sebaran
komunitas zooplankton dan mikronekton di kolom perairan pelagis, melalui kekuatan
intensitas gema (echo intensity –EI, satuan counts) yang diterima oleh transduser
ADCP. Data nilai EI yang digunakan pada penelitian ini telah melalui proses quality
control oleh CSIRO, dan tidak menggunakan data mentah sebagaimana penelitian
serupa sebelumnya (ca. Gustamila 2006, Kharisma 2009).
Analisis data
Hasil perekaman suhu selama satu tahun (5 Januari 2004 – 4 Januari 2005) dari
kedalaman 100 m, 125 m, 170 m, 240 m, 350 m, 450 m, 700 m, dan 1000 m memiliki
interval data yang bervariasi, tergantung pada tipe sensor yang digunakan. Set data suhu
selanjutnya diturus dan dikelompokkan menggunakan software Microsoft Excel,
sebelum kemudian dirata-ratakan pada interval 2 jam. Penggunaan data time series
selama 12 bulan didasari oleh ketidaksinambungan data time series 18 bulan, yang
merupakan periode penenggelaman mooring oseanografi. Sebaran suhu secara vertikal
dan temporal digambarkan sebagai profil melintang (section) menggunakan perangkat
ODV v3.4.3. Untuk melihat, mengolah, dan menampilkan nilai dan sebaran volume
hambur balik digunakan software MATLAB 7.4. Spesifikasi mooring oseanografi dan
ADCP yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 5 dan 7.
35
3.4. Hasil
3.4.1. Struktur lapisan termoklin di Selat Ombai
Dinamika lapisan termoklin di Selat Ombai ditunjukkan pada Gambar 3-2. Hasil
perekaman suhu di tiap lapisan kedalaman secara detail dapat dilihat pada Lampiran 6.
Gambar 3-2. Variabilitas suhu di perairan Selat Ombai secara menegak (100-1000 m)
dan secara temporal (5 Januari 2004 – 4 Januari 2005).
100
250
400
550
700
850
1000
5 10 15 20 25
Keda
lam
an (m
)
Suhu (oC) Jan-04
Feb-04
Mar-04
Apr-04
May-04
Jun-04
Jul-04
Aug-04
Sep-04
Oct-04
Nov-04
Bulan ke-
36
Gambar 3-2 menunjukkan variabilitas termoklin di perairan Selat Ombai dan
terlihat bahwa termoklin pada umumnya memiliki lapisan yang tipis dan berada pada
kedalaman ca. 250 m, kecuali bulan Mei yang lapisan termoklinnya tebal dengan
kedalaman mencapai 300 m. Kondisi tersebut merupakan fitur termoklin yang paling
dalam dibandingkan perairan lain di laut nusantara dan di perairan lintasan Arlindo
lainnya (Sprintall pers. comm.). Pada masa-masa tertentu, terlihat juga bahwa lapisan
termoklin bergerak ke arah dekat permukaan (April 2004 dan Juli-Nopember 2004),
bahkan pada Agustus 2004 terlihat batas lapisan termoklin berada di kedalaman ca. 200
m. Mann and Lazier (2006) menjelaskan bahwa lapisan termoklin yang tebal dan dalam
dapat mengakibatkan penurunan kandungan klorofil-a permukaan, sedangkan lapisan
termoklin tipis dan dekat permukaan dapat meningkatkan kandungan klorofil-a
permukaan karena proses produksi fitoplankton berlangsung lebih efisien.
3.4.2. Struktur lapisan hambur balik akustik di Selat Ombai
Profil lapisan hambur balik akustik dan biomassa akustik di lapisan epipelagis
perairan Selat Ombai ditunjukkan pada Gambar 3-3, berdasarkan intensitas gema (echo
intensity- EI) maksimum yang diterima instrumen moored ADCP. Rata-rata hasil
pengukuran dari 4 bim ADCP secara terpisah ditampilkan di Lampiran 8a, 8b, 8c, dan
8d. Terlihat adanya mikrostruktur yang merepresentasikan sebaran dan biomassa
komunitas penghambur balik akustik (ca. zooplankton dan mikronekton) di kolom
perairan tersebut. Skala intensitas gema (dalam satuan counts) ditampilkan berdasarkan
pewarnaan yang mewakili biomassa akustik tinggi (merah) dan rendah (biru).
Gambar 3-3 menunjukkan bahwa intensitas biomassa akustik yang masif dan
paling tinggi dijumpai pada waktu malam hari. Dari pencitraan biomassa akustik pada
Gambar 3-3 dan pada tiap bim ADCP (Lampiran 8a s/d 8d), terlihat adanya struktur
mikro yang terpisah-pisah (patchy microstructure) yang mengindikasikan bahwa
komunitas zooplankton dan mikronekton di Selat Ombai banyak yang terperangkap di
kolom perairan tertentu. Hal tersebut sangat mungkin terjadi akibat pengaruh internal
wave yang memungkinkan adanya stratifikasi kolom perairan (Sangra et al. 2001) dan
menghambat pergerakan zooplankton/mikronekton dari kolom perairan tempatnya
terperangkap.
37
Gambar 3-3. Variabilitas harian EI-maksimum, hasil pengukuran moored ADCP di
perairan Selat Ombai
Resolusi vertikal terhadap kedalaman menunjukkan bahwa mikrostruktur
biomassa akustik sangat jelas terlihat pada kedalaman di atas 250 m sampai ke dekat
permukaan pada waktu menjelang malam (ca. 17:00 dan 5:00 waktu lokal). Dengan
demikian, sangat mungkin mikrostruktur tersebut berasosiasi dengan fenomena migrasi
vertikal harian oleh komunitas zooplankton dan mikronekton. Hasil pencitraan ADCP
pada Gambar 3-3 tidak melalui proses filter data menggunakan software VmDas,
sebagaimana dilakukan oleh Gustamila (2006) dan Kharisma (2009) karena set data
yang diterima sudah melalui proses quality control oleh CSIRO.
Semua hasil pengukuran empat bim ADCP juga menunjukkan profil biomassa
akustik yang tinggi pada malam hari di lapisan dekat permukaan, dengan biomassa
akustik yang lebih tinggi dan masif di batas atas lapisan mesopelagis (Lampiran 8a s/d
8d). Komponen hayati yang diwakilkan oleh biomassa akustik tersebut umumnya
adalah kopepoda, telur plankton, dan khaetognatha, yang umum dijumpai di lapisan
dekat permukaan (Pena 2006, Wisudawati 2006). Di lapisan tengah biomassa akustik
diwakilkan oleh amfipoda, euphasiid, dekapoda, dan jenis krustasea lainnya, sedangkan
di lapisan dalam biasa dihuni oleh kopepoda berukuran besar, khaetognatha, sifonofor,
ostrakoda, larva ikan, dan gastropoda (Pena 2006).,
38
3.5. Pembahasan
Pengaruh lapisan termoklin terhadap dinamika produktivitas primer dan implikasinya terhadap ketersediaan mangsa apex predator cetacea
Kondisi kolom perairan Selat Ombai dikaji berdasarkan profil lapisan termoklin
(Gambar 3-2) dan lapisan hambur balik akustik (Gambar 3-3; Lampiran 8a s/d 8d), yang
menunjukkan adanya variasi temporal sebaran suhu dan sebaran densitas
zooplankton/mikronekton secara melintang terhadap kedalaman. Batas bawah lapisan
termoklin bervariasi tiap bulannya, dengan bulan Februari 2004 dan Juli-Agustus 2004
yang memiliki batas bawah lapisan termoklin paling dangkal dibandingkan bulan
lainnya dan Mei 2004 sebagai periode dengan batas bawah lapisan termoklin paling
dalam (Gambar 3-2). Bila dikaitkan dengan dinamika produktivitas primer bulanan
yang ditunjukkan oleh Gambar 2-6, maka pada bulan Februari, Juli, dan Agustus 2004
terlihat adanya fitur upwelling dan kandungan klorofil-a permukaan yang tinggi di
perairan tersebut (Gambar 2-6 dan Lampiran 4). Mann and Lazier (2006) menjelaskan
bahwa lapisan termoklin yang dangkal lebih potensial memacu peningkatan
produktivitas primer perairan, karena difusi zat hara dari dasar perairan menjadi lebih
efektif dimanfaatkan oleh fitoplankton yang berada di lapisan dekat permukaan.
Atmadipoera et al. (2009) menekankan adanya kondisi spesifik di lapisan
termoklin Selat Ombai sehingga fenomena percampuran vertikal yang intensif bisa
berlangsung, yaitu pengaruh massa air tawar dari Laut Jawa mencapai batas bawah
lapisan termoklin. Percampuran vertikal tersebut berlangsung sepanjang tahun sehingga,
ditambah pengaruh lapisan termoklin yang dangkal, fenomena internal wave, dan
pergerakan Arlindo, menyokong kondisi persistent upwelling, terbentuknya eddies dan
thermal front, serta terdeteksinya fitur biological hot spots oleh sensor SeaWiFS.
Kondisi yang demikian, potensial menjadikan perairan Selat Ombai sebagai foraging
site komunitas cetacea apex predator, terutama Stenella longirostris, Pseudorca
crassidens, dan Orcinus orca yang memangsa nekton epipelagis. Populasi Stenella
longirostris di Hawaii juga kerap terdeteksi di wilayah biological hot spots dan
memangsa komunitas perbatasan mesopelagis (Benoit-Bird and Au 2003).
39
Profil lapisan hambur balik akustik dan implikasinya terhadap produktivitas primer perairan dan ketersediaan mangsa apex predator cetacea
Penggunaan instrumen ADCP dalam penelitian oseanografi biologi, terutama
zooplankton, masih tergolong hal yang baru (Greene and Wiebe 1990), namun sejumlah
aplikasi terhadap pemanfaatan data ADCP untuk mengkaji dinamika komunitas hayati
telah banyak dilakukan (ca. Gustamila 2006, Kaltenberg 2004). Trevorrow (2005)
memberikan sejumlah kelebihan dalam penggunaan teknologi bioakustik ini, terutama
dalam kemampuannya mengetahui struktur habitat pelagis secara vertikal yang tidak
bisa diketahui hanya dengan menggunakan jaring plankton biasa. Selain itu, kelebihan
dalam menampilkan data bersinambung dan kemampuan sinoptiknya melingkupi ruang
dan periode tertentu di suatu sistem perairan (Trevorrow 2005, Greene and Wiebe 1990)
menjadikan teknologi ini semakin marak diaplikasikan.
Dari Gambar 3-3 dapat dilihat bahwa lapisan HBA di perairan Selat Ombai berada
pada kedalaman ca. 250 m, yang merupakan batas bawah lapisan termoklin. Dari sini
dapat diduga bahwa level kedalaman tersebut merupakan domain interaksi pemangsaan
yang utama antara komunitas fitoplankton dan zooplankton. Biomassa akustik di lapisan
pelagis menunjukkan adanya variasi sebaran vertikal pada periode tertentu dalam kurun
waktu 24 jam. Pada petang hari, ca. 17:00 waktu lokal, terlihat jelas adanya
mikrostruktur yang berkorespondensi dengan tingkah laku migrasi vertikal harian
karena sebarannya mencapai ke lapisan dekat permukaan.
Gambar 3-3 juga menunjukkan kecenderungan adanya sinyal EI yang bias di
batas bawah lapisan termoklin (ca. 250 m). Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh
sebaran partikel tersuspensi selain komunitas zooplankton/mikronekton, seperti bahan
organik atau sedimen, yang juga dapat mempengaruhi sinyal EI yang diterima ADCP.
Trevorrow (2005) dan Berman et al. (2002) menjelaskan pentingnya pemahaman
mengenai (1) kondisi lapisan pelagis, terutama terkait fitur upwelling, lapisan termoklin,
dan topografi, (2) laju migrasi vertikal tiap jenis zooplankton/mikronekton, karena
masing-masing dapat mempengaruhi karakteristik gema.
Hal lain yang mempengaruhi karakteristik gema yang dipantulkan zooplankton
terkait dengan adaptasi fisiologis, karena EI tidak hanya dipengaruhi oleh kelimpahan
tetapi juga morfologi dan kandungan lipid tubuhnya. Dagg et al. (2006) mendapati dua
kelompok populasi Neocalanus spp. di dua tipe habitat di sekitar front Gulf of Alaska,
40
yang masing-masing memiliki variasi morfologi dan kandungan lipid. Variasi tersebut
selanjutnya mempengaruhi dinamika pemangsaan fitoplankton dan karakteristik EI.
Zooplankton yang terperangkap di wilayah transisi front, memiliki kandungan lipid
lebih banyak dan menghasilkan nilai EI yang lebih tinggi dibandingkan zooplankton di
luar zona front, walaupun merupakan spesies yang sama. Pemangsaan fitoplankton di
zona front juga berlangsung lebih agresif, sehingga tak jarang sel fitoplankton tidak
utuh dicerna oleh zooplankton. Keberadaan sel fitoplankton hidup yang didukung oleh
mekanisme mixing/stirring, yang umum terdapat di zona front, dan radiasi matahari
yang cukup di lapisan kedalaman tersebut, selanjutnya menyokong proses reproduksi
populasi fitoplankton untuk kembali melimpah. Kesinambungan proses bioenergetika di
wilayah front memungkinkan eskalasi produksi dan pemangsaan antar komunitas
jenjang trofik yang berbeda, baik di tingkat dasar (fitoplankton) maupun di tingkat
perantara (zooplankton). Pada akhirnya, kondisi tersebut memacu kehadiran nekton
pelagis yang merupakan mangsa apex predator cetacea.
3.6. Simpulan
Pencitraan lapisan perairan pelagis diperoleh menggunakan set data mooring
oseanografi Ombai yang menghasilkan profil lapisan termoklin dan profil lapisan
hambur balik akustik (lapisan HBA). Lapisan termoklin memiliki variabilitas yang
selaras dengan pencitraan sebaran klorofil-a bulanan, serta mendukung kondisi
persistent upwelling di perairan tersebut. Profil lapisan HBA pada siang hari terdeteksi
di kedalaman ca. 250 m, yang merupakan batas bawah lapisan termoklin serta
merupakan domain interaksi pemangsaan yang utama antara komunitas produsen dan
grazers. Terlihat juga adanya mikrostruktur biomassa akustik yang merupakan fitur
khas yang umum dijumpai di perairan yang mengalami internal wave, front, eddies, dan
memiliki topografi rumit, seperti di Selat Ombai. Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa perairan Selat Ombai memiliki sub-sistem produksi fitoplankton
dan zooplankton/mikronekton yang optimal, dengan laju produksi dan daya dukung
yang mampu berlangsung selaras dengan rekrutmen mangsa komunitas cetacea.
41
Daftar Pustaka
Atmadipoera AS, R Molcard, G Mardec, S Wijffels, J Sprintall, A Koch-Larrouy, I Jaya, and A Supangat. 2009. Characteristics and variability of the Indonesian throughflow water at the outflow straits. Deep-Sea esearch I 56(2009)1942–1954. doi:10.1016/j.dsr.2009.06.004
Ballance LT, RL Pitman, and PC Fiedler. 2006. Oceanographic influences on seabirds and cetaceans of the eastern tropical Pacific: A review. Progress in Oceanography 69 (2006) 360–390. doi:10.1016/j.pocean.2006.03.013
Benoit-Bird KJ and WWL Au. 2003. Prey dynamics affect foraging by a pelagic predator (Stenella longirostris) over a range of spatial and temporal scales. Behav Ecol Sociobiol (2003) 53:364–373. DOI 10.1007/s00265-003-0585-4
Berman MS, JR Green, DV Holliday and CF Greenlaw. 2002. Acoustic determination of the fine-scale distribution of zooplankton on Georges Bank. Mar. Ecol. Prog. Ser. 220:59-72
Biktashev VN and J Brindley. 2003. Phytoplankton blooms and fish recruitment rate: Effects of spatial distribution. Pre-print version submitted to Elsevier Science.
Bost CA, C Cotte, F Bailleul, Y Cherel, JB Charrassin, C Guinet, DG Ainley, and H Weimerskirch. 2009. The importance of oceanographic fronts to marine birds and mammals. Journal of Marine Systems 78 (2009): 363-376. doi:10.1016/j.jmarsys.2008.11.022
Burchard H, K Bolding, TP Rippeth, A Stips, JH Simpson, and J Sundermann. 2002. Microstructure of turbulence in the northern North Sea: a comparative study of observations and model simulations. Journal of Sea Research 47 (2002): 223-238
Burtenshaw JC, EM Oleson, JA Hildebrand, MA McDonald, RK Andrew, BM Howe, and JA Mercer. 2004. Acoustic and satellite remote sensing of blue whale seasonality and habitat in the Northeast Pacific. Deep-Sea Research II 51 (2004) 967–986. doi:10.1016/j.dsr2.2004.06.020
Clark CW and DA Levy. 1988. Diel vertical migrations by juvenile sockeye salmon and the antipredation window. American Naturalists 161 (2):271-290.
Dagg MJ, H Liu, and AC Thomas. 2006 Effects of mesoscale phytoplankton variability on the copepods Neocalanus flemingeri and N. plumchrus in the coastal Gulf of Alaska. Deep-Sea Research I 53 (2006) 321–332. doi:10.1016/j.dsr.2005.09.013
Doniol-Valcroze T, D Berteaux, P Larouche, and R Sears. 2007. Influence of thermal fronts on habitat selection by four rorqual whale species in the Gulf of St. Lawrence. Mar Ecol Prog Ser Vol 335: 207-216.
Embling CB, PG Hernandes, PS Hammond, E Armstrong, and J Gordon. 2005 Investigations into the relationship between pelagic fish and dolphin distributions off the west coast of Scotland. ICES CM2005; 15 pp.
Genin A. 2004. Bio-physical coupling in the formation of zooplankton and fish aggregations over abrupt topographies. Journal of Marine Systems 50: 3-20. doi:10.1016/j.jmarsys.2003.10.008
Greene CH and PH Wiebe. 1990. Bioacoustical Oceanography: New Tools for Zooplankton and Micronekton Research in The 1990s. Oceanography: April 1990
42
Gustamila M. 2006. Variasi harian, bulanan, dan musiman acoustic volume backscattering strength (SV) di Selat Lombok. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor. [Skripsi, tidak dipublikasikan]
Hastie GD, B Wilson, LJ Wilson, KM Parsons, and PM Thompson. 2004. Functional mechanisms underlying cetacean distribution patterns: hotspots for bottlenose dolphins are linked to foraging. Marine Biology (2004) 144: 397–403. DOI 10.1007/s00227-003-1195-4
Hays GC. 2003. A review of the adaptive significance and ecosystem consequences of zooplankton diel vertical migrations. Hydrobiologia 503: 163-170.
Holliday DV, CF Greenlaw, and PL Donaghay. 2010. Acoustic scattering in the coastal ocean at Monterey Bay, CA, USA: Fine-scale vertical structures. Continental Shelf Research 30 (2010): 81–103. doi:10.1016/j.csr.2009.08.019
Kaltenberg AM. 2004. 38-kHZ ADCP Investigation of Deep Scattering Layers in Sperm Whale Habitat in the Northern Gulf of Mexico. Texas A&M University.
Kharisma RE. 2009. Perbandingan pola migrasi deep scattering layer di Selat Makassar dan Selat Lombok menggunakan nilai acoustic volume backscattering strength hasil pengukuran ADCP. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor. [Skripsi, tidak dipublikasikan]
Lalli C and TR Parsons. 2000. Biological oceanography - an introduction. 2nd edition. Butterworth-Heinemann: 314 pp.
Lennert-Cody CE and PJS Franks. 1999. Plankton patchiness in high-frequency internal waves. Mar Ecol Prog Ser. 186: 59-66
Mann KH and JRN Lazier. 2006. Dynamics of marine ecosystems: biological-physical interactions in the oceans. 3rd
Miller CB. 2004. Biological oceanography. Blackwell publishing. ix+402 pp.
edition. Blackwell Publishing: 496 pp.
Molcard R, M Fieux, and F Syamsudin. 2001. The throughflow within Ombai Strait. Deep-Sea Research I 48: 1237-1253
Moore TS and J Marra. 2002. Satellite observations of bloom events in the Strait of Ombai: Relationships to monsoons and ENSO. Geochem Geophys Geosyst 3 (2). doi: 10.1029/2001GC00174.
Moore SE, WA Watkins, MA Daher, JR Davies, and ME Dalheim. 2000. Blue whale habitat associations in the northwest Pacific: analyses of remotely-sensed data using Geographic Information System. Oceanography 15 (3), 20-25.
Nonti A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. 368 hal.
Pena WPR. 2006. Characterizing zooplankton and micronekton diel vertical migration at the Western Puerto Rican shelf/slope break.MSc Thesis. University of Puerto Rico.
Pershing AJ, PH Wiebe, JP Manning, NJ Copley. 2001. Evidence for vertical circulation cells in the well-mixed area of Georges Bank and their biological implications. Deep-Sea Research II 48 (2001) 283-310.
Purba M, INMN Natih, dan AS Atmadipoera. 1994. Keterkaitan sifat-sifat oseanografi dengan sifat-sifat biologis sebagai akibat proses upwelling di perairan selatan Jawa Barat. Laporan penelitian. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
43
Record NR and B de Young. 2006. Patterns of diel vertical migration of zooplankton acoustic Doppler velocity and backscatter data on the Newfoundland Shelf. Can. J. Fish Aquat. Sci.: 63: 2708-2721.
Robertson R and A Ffield. 2005. M2 Baroclinic tides in the Indonesian Seas. Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.
Robertson R and A Ffield. 2008. Baroclinic tides in the Indonesian Seas. Part 2: Interactions between tidal constituents, energy fluxes, and tidal mixing with a focus on Ombai Strait, doi:10.1029/2007JC004677.
Robertson R. pers. comm. 2008. Tidal effects on circulation and mixing in the Ombai Strait. [article in press sent 20 November 2008]
Sangra P, G Basterretxea, JL Pelegri, and J Aristegui. 2001. Chlorophyll increase due to internal waves on the shelf break of Gran Canaria (Canary Islands). Sci. Mar. (Suppl. 1): 89-97
Sprintall J. pers. comm. 2007. Instant Workshop: Bogor, 5 Nopember 2007
Steele JH. 1989. The ocean ‘landscape’. Landscape Ecology Vol. 3, No. 3, 185-192 pp.
Tont SA. 1975. Deep scattering layers: patterns in the pacific. Reports volume XVIII, 1 Juli 1973 to 30 June 1975. California Cooperative Oceanic Fisheries Investigations
Trevorrow M. 2005. The use of moored inverted echo sounders for monitoring mesozooplankton and fish near the ocean surface. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 62: 1004-1018
Tynan CT, DG Ainley, JA Barth, TJ Cowles, SD Pierce, and LB Spear. 2005. Cetacean distribution relative to ocean processes in the northern California Current System. Deep-Sea Research II: 145-167.
van Haren H. 2009. Using high sampling-rate ADCP for observing vigorous processes above sloping [deep] ocean bottoms. Journal of Marine Systems 77 (2009) 418–427. doi:10.1016/j.jmarsys.2008.10.012
Wisudawati D. 2006. Deteksi sebaran kopepoda dengan ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) di Selat Ombai, Timor. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor. [Skripsi, tidak dipublikasikan]
Worm B, HK Lotze, and RA Myers. 2003. Predator diversity hotspots in the blue ocean. PNAS 2003;100;9884-9888. doi:10.1073/pnas.1333941100
Wyrtki K. 1962. The upwelling in the region between Java and Australia during the south east monsoon. Australian Journal of Marine and Freshwater Research 13 (3): 217-225.
Zhou M, ME Huntley, and TM Powell. 1997. Measuring the influence of animals on turbulence in the sea. Final Report.
44
4. SEBARAN DAN KELIMPAHAN CETACEA DI SELAT OMBAI
4.1. Pendahuluan
Laut Indonesia diketahui merupakan habitat cetacea dan diperkirakan paling tidak
ada 30 spesies cetacea yang tercatat di berbagai wilayah perairan nusantara (Rudolph et
al. 1997, Tomascik et al. 1997) meski informasi terinci mengenai sebaran dan
kelimpahannya masih perlu pengajian lebih luas. Salah satu faktor yang menjadi
lambannya kajian cetacea di Indonesia, terutama di alam bebas, adalah sangat
diperlukannya moda kapal cepat dengan daya jelajah tinggi dan kapal tersebut harus
memiliki ruang yang cukup lapang untuk aktivitas rutin minimal dua orang pengamat
cetacea. Dengan demikian, penelitian terhadap komunitas cetacea di habitat aslinya bisa
menjadi satu kegiatan yang memerlukan biaya tinggi. Khusus di perairan Selat Ombai
dan sekitarnya (Laut Sawu, perairan Solor, dan perairan Nusa Tenggara), sedikitnya
tercatat ada 23 spesies cetacea dan enam spesies di antaranya tergolong paus berukuran
besar (Rudolph et al. 1997, Tomascik et al. 1997, Barnes 1996). Sebagai biota nektonik
yang memiliki daya jelajah tinggi, sejumlah jenis cetacea diketahui menggunakan
berbagai selat dan perairan antar pulau di wilayah timur Indonesia sebagai jalur migrasi
utama masuk dan keluar perairan nusantara menuju Samudera Pasifik dan/atau
Samudera Hindia. Pemahaman mengenai sebaran, kelimpahan, dan pola pergerakan
cetacea di suatu perairan dapat digunakan untuk menelaah ekologi cetacea di
lingkungan tersebut, juga sebagai bahan masukan dalam rumusan pengelolaan dan
konservasi cetacea di Indonesia.
Selat Ombai, terletak antara Pulau Alor dan Pulau Timor, yang memiliki
kedalaman sill 3250 meter merupakan salah satu jalur utama pergerakan Arus Lintas
Indonesia (Arlindo), juga berperan sebagai satu-satunya perairan di wilayah tropis yang
menghubungkan dua massa air dari dua samudera yang berbeda yaitu Samudera Pasifik
dan Samudera Hindia (Gordon 2001, Molcard et al. 2001). Perairan Selat Ombai
memiliki karakteristik yang dinamis, ditandai dengan tingginya produktivitas primer
yang kuantitasnya berubah-ubah dalam jangka waktu singkat akibat proses percampuran
massa air yang kompleks (Moore and Marra 2002, Robertson and Ffield 2005,
45
Atmadipoera et al. 2009). Terkait dengan hal tersebut, di lokasi ini diletakkan dua
mooring oseanografi sebagai bagian dari program penelitian INSTANT yang mengkaji
karakteristik dan dinamika Arlindo dari tahun 2003-2006. Dalam program penelitian
ini, terdapat kegiatan pelayaran yang melintasi sejumlah wilayah perairan yang menjadi
jalur masuknya massa air Samudera Pasifik dan jalur keluar menuju Samudera Hindia.
Jalur masuk dan keluar Arlindo, terutama yang ada di perairan Sunda Kecil, ditengarai
merupakan koridor migrasi paus (Kahn et al. 2000, Kahn 2001), sehingga Pelayaran
INSTANT merupakan platform yang ideal untuk melakukan kajian cetacea serta
mencari tahu keterkaitan ekologi cetacea dengan perairan yang menjadi habitatnya.
Dalam dua kali pelayaran INSTANT, untuk menenggelamkan (Desember 2003 –
Januari 2004, Pelayaran INSTANT I) dan recovery/redeployment mooring oseanografi
(Juni-Juli 2005, Pelayaran INSTANT II), survei visual cetacea telah dilakukan dan
dikhususkan di perairan Selat Ombai dan sekitarnya. Topik “Sebaran dan Kelimpahan
Cetacea di Selat Ombai”, yang menjadi bagian dari tesis ini, ditujukan untuk
menguraikan hasil pengamatan survei visual cetacea selama dua pelayaran INSTANT
tersebut. Dengan demikian diharapkan dapat diketahui sebaran spasial dan temporal
komunitas cetacea di perairan Selat Ombai, serta kedudukan trofik komunitas cetacea
dapat dipahami berdasarkan tingkah laku pemangsaannya.
4.2. Komunitas cetacea di Selat Ombai dan sekitarnya
Cetacea merupakan istilah taksonomi, pada tingkat ordo, untuk kelompok
mammalia yang terdiri atas tiga kelompok yaitu paus, lumba-lumba, dan porpoises
(pesut atau cetacea berhidung pendek), yang telah mengembangkan berbagai
kemampuan adaptasi evolusioner untuk bisa hidup sepenuhnya di dalam air. Istilah
cetacea berasal dari Bahasa Yunani Kuno, ketos, yang artinya monster laut atau ikan
yang sangat besar, walaupun ada kelompok cetacea yang ukurannya < 2.0 meter seperti
sejumlah spesies paus kerdil dan pesut. Hingga saat ini ada 88 spesies cetacea yang
diketahui hidup di seluruh dunia, termasuk yang berhabitat di air tawar, dengan tiga
spesies baru yang ditetapkan setelah tahun 2000 yaitu Balaenoptera omurai (Wada et
al. 2003), Orcaella heinsohni (Beasley et al. 2005), dan Mesoplodon perrini (Dalebout
46
et al. 2002). Ada tiga sub-ordo di bawah Ordo Cetacea, yaitu Mysticeti, Odontoceti, dan
Archaeoceti yang sudah punah. Dalam percabangan ilmu biologi dan kelautan, Cetologi
merupakan salah satu yang khusus mempelajari cetacea.
Mysticeti
Mysticeti merupakan kelompok extant cetacea yang memiliki semacam gigi
berupa pelat kapur yang menyerupai surai tebal atau disebut sebagai baleen. Pelat kapur
tersebut digunakan untuk menyaring makanannya yang berupa plankton dan ikan-ikan
kecil. Ada 16 spesies anggota sub-ordo Mysticeti, yang salah satunya baru saja
ditetapkan sebagai spesies baru pada tahun 2003 yaitu Balaenoptera omurai (Wada et
al. 2003). Diperkirakan ada 8 spesies Mysticeti yang bisa ditemukan di perairan Solor,
Selat Ombai, dan Laut Sawu (Tomascik et al. 1997) yaitu Eubalaena glacialis, E.
australis, Balaenoptera acutorostrata, B. borealis, B. edeni, B. musculus, B. physalis,
dan Megaptera novaeangliae. Namun demikian menurut Jefferson et al. (1993) sebaran
Eubalaena glacialis dan E. australis terbatas di perairan sirkumpolar dan kutub.
Umumnya cetacea dari jenis Sub-ordo Mysticeti tergolong mamalia laut
berukuran besar (large marine mammals). Kisaran bobot paus Mysticeti adalah mulai
dari 3 ton, Caperea marginata, sampai dengan 120 ton, Balaenoptera musculus.
Spesies Mysticeti yang terakhir lebih dikenal dengan sebutan paus biru, merupakan
hewan terbesar yang pernah hidup di muka bumi dan tergolong makhluk hidup yang
terancam punah (IUCN 2009). Enam spesies cetacea dari kelompok Mysticeti yang
dapat ditemukan di perairan Selat Ombai dan sekitarnya, beserta status konservasi yang
diterapkan terhadap spesies tersebut dan gambarnya bisa dilihat di Tabel 4-1.
47
Tabel 4-1. Status konservasi spesies cetacea yang ditemukan di perairan Selat Ombai dan sekitarnya (termasuk Laut Sawu dan Perairan Solor).
No Spesies Cetacea Status Konservasi Gambar
Mysticeti
1. Balaenoptera brydei* (paus bryde)
Tidak diketahui
2. Balaenoptera borealis* (paus sei)
Terancam punah
3. Balaenoptera edeni (paus kerdil bryde) Data kurang
4. Balaenoptera musculus* (paus biru)
Terancam punah
5. Balaenoptera physalus* (paus sirip)
Terancam punah
6. Megaptera novaeangliae* (paus bungkuk) Baik
Odontoceti
1. Tursiops truncatus†Data kurang
(Bottlenose dolphin)
2. Stenella attenuata(Pantropical spotted dolphin)
† Tergantung pada mekanisme
konservasi lokal
3. Stenella longirostris* (Spinner dolphin)
Tergantung pada mekanisme
konservasi lokal
48
No Spesies Cetacea Status Konservasi Gambar
4. Stenella coeruleoalba† Tergantung pada mekanisme
konservasi lokal
(Striped dolphin)
5. Lagenodelphis hosei (Fraser’s dolphin) Data kurang
6. Grampus griseus* (Risso’s dolphin) Data kurang
7. Peponocephala electra†Baik
(Melon-headed whale)
8. Feresa attenuata (Pygmy killer whale) Data kurang
9. Pseudorca crassidens (False killer whale) Baik
10. Orcinus orca (Killer whale) Tergantung pada
mekanisme konservasi lokal
11. Globicephala macrorhynchus (Short-finned pilot whale)
Tergantung pada mekanisme
konservasi lokal
12. Physeter macrocephalus (Sperm whale) Rentan
13. Kogia simus(Dwarf sperm whale)
† Baik
49
No Spesies Cetacea Status Konservasi Gambar
14. Kogia breviceps (Pygmy sperm whale) Baik
15. Ziphius cavirostris
(Cuvier’s beaked whale) Data kurang
16. Mesoplodon ginkgodens (Ginkgo-toothed beaked whale)
Data kurang
17. Mesoplodon densirostris (Blainville’s beaked whale)* Data kurang
Catatan: Informasi pada Tabel 2-1 disarikan dari IUCN (2009) dan Taylor et al. (2002); hak
cipta gambar tercantum di bawah gambar atau bersumber dari FAO, kecuali untuk spesies bertanda * (http://marinebio.org) dan bertanda † (http://www.cms.int).
Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN), status konservasi makhluk hidup terhadap resiko kepunahan dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu punah, terancam, dan beresiko kecil. Dua status, yaitu punah dan
punah di alam (extinct in the wild –E/ew), berlaku pada kelompok punah; empat status,
yaitu dalam bahaya kepunahan kritis (critically endangered–T/ce), bahaya punah
(endangered–T/e), rentan kepunahan, dan terancam punah, berlaku pada kelompok
terancam; serta tiga status berlaku pada resiko kecil, yaitu tergantung mekanisme
konservasi lokal (conservation dependent–LR/cd), mendekati terancam punah (near
threatened –LR/nt), dan kurang mendapat perhatian (least concerned –LR/lc). Data
kurang atau data kurang adalah status konservasi yang diberlakukan pada spesies-
spesies makhluk hidup yang sediaan informasi ilmiahnya masih sangat minim.
Merujuk pada status konservasinya, maka kelompok Mysticeti yang ada di
perairan Selat Ombai dan sekitarnya terbagi atas tiga kelompok kategori. Kelompok
pertama adalah spesies Mysticeti yang status konservasinya masih cukup baik (least
50
concern), yaitu Megaptera novaeangliae atau paus bungkuk. Kelompok kedua adalah
spesies Mysticeti yang status konservasinya tidak diketahui, yaitu Balaenoptera brydei
dan B. edeni. Terakhir adalah kelompok yang berada dalam bahaya kepunahan, yaitu
Balaenoptera borealis (paus sei), B. physalus (paus sirip), dan B. musculus (paus biru).
Odontoceti
Sub-ordo lain dari Cetacea yang masih bisa ditemukan di habitatnya adalah
Odontoceti atau paus bergigi, namun tidak semua anggota spesies Odontoceti tergolong
sebagai paus. Anggota kelompok Odontoceti yang paling terkenal adalah lumba-lumba
(delphinids) dan paus pembunuh (Orcinus orca). Sebagai mammalia laut yang memiliki
gigi, umumnya Odontoceti tergolong pemburu aktif di laut atau habitat air lainnya
dengan makanan utama ikan, cumi-cumi, dan bahkan spesies mammalia laut lain. Ada
10 famili yang terlingkupi dalam Sub-ordo Odontoceti, yaitu Delphinidae, Phocoenidae,
Monodontidae, Physeteridae, Kogiidae, Iniidae, Lipotidae, Pontoporiidae, Platanistidae,
dan Ziphidae. Ke-17 spesies Odontoceti yang ditemukan di perairan Selat Ombai hanya
empat famili saja yaitu Delphinidae, Physeteridae, Kogiidae, dan Ziphidae.
Merujuk daftar spesies Odontoceti pada Tabel 4-1, spesies dengan nomor urut 1
hingga 11 termasuk ke dalam famili Delphinidae. Ada tiga status konservasi yang
berlaku untuk spesies Delphinidae dari perairan Selat Ombai dan sekitarnya, yaitu
“tergantung mekanisme konservasi lokal” atau tergantung di lingkup teritorial negara
mana spesies tersebut berada (Stenella attenuata, S. longirostris, S. coeruleoalba,
Orcinus orca, Globicephala macrorhynchus), data kurang (Tursiops truncatus,
Lagenodelphis hosei, Grampus griseus, Feressa attenuata), dan kurang mendapat
perhatian (Peponocephala electra, Pseudorca crassidens).
51
4.3. Bahan dan metode
4.3.1. Alat dan bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pengamatan cetacea adalah binokuler
Nikon 7x25, kamera Nikon F60 dengan lensa tele 300 mm (pelayaran INSTANT
2003/2004) dan 280 mm (pelayaran INSTANT 2005), rol film, pinsil dan lembar data
pengamatan cetacea. Lembar pengamatan data dapat dilihat di Lampiran 1.
Lokasi dan waktu pengamatan cetacea
Lokasi pengamatan cetacea difokuskan di perairan Selat Ombai, sekitar 8º LS
120-125º BT (Gambar 2-1). Di perairan ini terdapat dua mooring oseanografi yang
ditenggelamkan di sisi selatan Pulau Alor (Ombai Utara) dan di sisi utara Pulau Timor
(Ombai Selatan).
Waktu pengamatan disesuaikan dengan pelayaran INSTANT. Pelayaran
INSTANT yang pertama (Pelayaran INSTANT I) bertujuan untuk menenggelamkan
mooring oseanografi, yaitu pada 28 Desember 2003 – 4 Januari 2004, sedangkan
pelayaran INSTANT yang kedua (Pelayaran INSTANT II) berlangsung pada 29 Juni –
4 Juli 2005. Bila dikaitkan dengan kondisi musim, maka Pelayaran INSTANT I
bertepatan dengan musim barat atau berhembusnya angin muson barat laut, sedangkan
Pelayaran INSTANT II bersamaan dengan awal dimulainya musim timur atau
bertiupnya angin muson tenggara.
52
Keterangan: = lokasi penenggelaman mooring oseanografi INSTANT
Gambar 4-1. Peta lokasi penelitian
4.3.2. Metode pengamatan cetacea
Onboard cetacean survey umumnya dilakukan menggunakan kapal motor yang
kecepatannya bisa disesuaikan untuk mengejar kelompok cetacea yang terlihat,
hovering di permukaan untuk pengamatan intensif, dan memiliki jalur pelayaran yang
dirancang (transek) untuk melingkupi seluruh area survei (Anonimous 2003). Tidak
demikian halnya dengan survei cetacea pada Pelayaran INSTANT, karena pelayaran ini
dirancang untuk penenggelaman dan recovery/redeployment mooring oseanografi di
perairan Selat Ombai. Dengan demikian, terdapat beberapa penyesuaian dalam upaya
pengamatan cetacea sebagaimana yang dilakukan pada penelitian ini.
Pengamat tunggal melakukan upaya visual sepanjang hari terang, kondisi cuaca
baik dan cerah (misalnya: tidak hujan, skala Beaufort < 6) di anjungan Kapal Riset
Baruna Jaya 8 yang terletak ± 20 m di atas permukaan laut (Gambar 2-2, Lampiran 7).
Keterangan mengenai kondisi skala Beaufort disajikan di Lampiran 3. Waktu
pengamatan saat hari terang dimulai pada pukul 05:00 – 18:30 WITA untuk Pelayaran
INSTANT I dan pukul 06.00 – 18:00 WITA untuk Pelayaran INSTANT II. Selama
upaya visual dilakukan, pengamat bertukar posisi di dalam anjungan kapal tiap 30 menit
53
untuk mengurangi kelelahan observasi (observational fatigue). Pada beberapa
pengamatan, pengamat turun dari anjungan ke dek bagian depan untuk melakukan
pengambilan gambar dengan kamera.
Keterangan: A. Dek bawah (haluan kapal) 1. Posisi pengamatan di sisi kiri anjungan B. Dek tengah 2. Posisi pengamatan di sisi kanan anjungan C. Anjungan (ruang kemudi)
Gambar 4-2. Skema lokasi pengamatan visual cetacea di Kapal Riset Baruna Jaya 8.
Saat cetacea terlihat, pengamat akan mengambil gambar dan mencatat
kehadirannya di lembar data pengamatan. Data pengamatan meliputi tipe cetacea (paus,
lumba-lumba, atau pesut), posisi kapal, perkiraan jumlah individu (ukuran kelompok),
dan tingkah laku. Lembar data pengamatan cetacea dapat dilihat di Lampiran 1. Jika
memungkinkan, identifikasi jenis secara pasti dilakukan di tempat. Untuk keperluan
identifikasi cetacea, buku yang digunakan adalah Jeffferson et al. (1993) dan Taylor et
al. (2002). Identifikasi spesies cetacea terutama didasari oleh morfologi sirip dorsal,
pola semburan (spout), tingkah laku dan sekuens penyelaman.
Cetacea dianggap tidak teridentifikasi jenisnya (unidentified cetacean) jika sampai
waktu 10 menit setelah perjumpaan dan upaya pengamatan, pengamat tidak bisa
melakukan identifikasi positif. Informasi tambahan mengenai komposisi kelompok
cetacea, keberadaan bayi cetacea (calf), perkiraan jarak dari kapal, arah pergerakan, dan
spesies yang berasosiasi juga dicatat jika memungkinkan. Sehubungan dengan
keterbatasan daya pengamatan dan inkonsistensi upaya pengamatan, maka cetacea yang
ternampak oleh awak kapal dan kru peneliti juga dicatat walaupun identifikasi spesies
tidak dilakukan.
C
A
1
2
B
54
Penentuan spesies, kelimpahan, dan tingkah laku cetacea
Ada sejumlah karakteristik morfologi dan tingkah laku cetacea yang dapat
dijadikan acuan dalam mengidentifikasi cetacea secara visual sampai ke tingkat spesies.
Menurut Carwardine (1995), ada sedikitnya 12 karakteristik yang dijadikan acuan
mengidentifikasi cetacea, yaitu: (1) ukuran tubuh; (2) tanda-tanda yang tidak biasa pada
tubuh cetacea, misalnya goresan pada punggung; (3) bentuk, warna, posisi, dan tinggi
sirip punggung (dorsal fin); (4) bentuk tubuh dan bentuk kepala; (5) warna dan tanda
pada tubuh, misalnya eyespot, body spots, saddle; (6) bentuk semburan nafas (spout);
(7) bentuk dan tanda pada ekor (fluke); (8) gaya renang di permukaan air; misalnya cara
melekukkan punggung; (9) breaching dan tingkah laku unik lainnya, seperti aerials dan
spy-hopping; (10) jumlah individu yang terlihat; (11) habitat cetacea, misalnya: sungai,
muara, perairan pantai atau pelagis; (12) wilayah geografis, misalnya: tropis, kutub,
Indo-Pasifik. Skema morfologi cetacea secara umum dan bagian-bagian tubuhnya
ditunjukkan pada Gambar 4-3.
Gambar 4-3. Morfologi umum cetacea (Odontoceti: kiri dan Mysticeti: kanan) dan bagian-bagian tubuhnya (Modifikasi Carwardine 1995)
Kelimpahan merupakan konsep yang berbeda untuk tiap spesies atau kelompok
organisme dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang menjadi obyek kajian,
sehingga untuk spesies berdaya jelajah tinggi di perairan pelagis yang luas seperti
cetacea, kelimpahan dapat diukur berdasarkan parameter jumlah individu dan
perjumpaan (Begon et al. 2006). Untuk dapat menetapkan jumlah individu mamalia laut
secara tepat sangatlah sulit, karena hewan tersebut menghabiskan lebih banyak waktu
hidupnya didalam air, sehingga diperlukan metode estimasi yang tepat untuk melakukan
55
perhitungan jumlah mamalia laut tersebut (Hammond et al. 2002). Ada dua teknik dasar
dalam upaya estimasi kelimpahan cetacea (di Sciara 1994), yaitu pendekatan stokastik
dan deterministik. Pendekatan stokastik dapat dilakukan pada spesies berukuran
populasi besar, berukuran tubuh kecil-sedang, dan yang biasa ditemukan di perairan
pelagis, sedangkan pendekatan deterministik ditetapkan untuk spesies yang berukuran
populasi kecil, berukuran tubuh besar, dan biasa ditemukan di perairan pantai.
Berdasarkan ukuran tubuhnya, cetacea digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu
cetacea berukuran kecil (< 5 m), sedang (5-15 m), dan besar (> 15 m). Pada penelitian
ini, pendugaan jumlah individu untuk cetacea berukuran kecil-sedang dan berkoloni
besar (> 30 individu) dilakukan secara stokastik, sedangkan untuk spesies cetacea
berukuran besar (> 15 meter) dilakukan secara deterministik.
Tingkah laku cetacea didasarkan pada catatan Perrin et al. (2002) dan Bearzi
(1994). Perilaku foraging ditetapkan jika pada pengamatan ternampak ikan mangsa di
mulut cetacea atau melompat atau terlempar ke permukaan air, cetacea melakukan
aktivitas renang cepat dengan manuver yang memusat atau mengejar langsung mangsa
tersebut. Aktivitas istirahat ditunjukkan bila tidak banyak pergerakan yang dilakukan,
kecuali mengapung di dekat permukaan, sedangkan aktivitas renang ditunjukkan oleh
pergerakan terarah, zigzag, dan berputar-putar di wilayah perairan yang sama (milling in
the same area). Beberapa aktivitas sosial lain yang umumnya ditunjukkan cetacea
adalah spy-hopping (menandak ke luar permukaan air secara vertikal 180° dan hanya
separuh badan yang ternampak di permukaan air), aerials (melompat tinggi ke udara
dengan seluruh tubuh berada di atas permukaan air, biasa dilakukan oleh lumba-
lumba), dan breaching (melompat tinggi ke luar permukaan air lalu membanting
tubuhnya ke arah samping, biasa dilakukan oleh rorquals)
4.3.3. Analisis korespondensi
Untuk mengkaji sebaran spasiotemporal cetacea di perairan Selat Ombai, antara
wilayah perairan dan periode perjumpaan terhadap spesies cetacea, digunakan analisis
korespondensi (Correspondence Analysis, CA). Menurut Bengen (2000), analisis
korespondensi merupakan teknik statistik yang bertujuan mencari keterkaitan erat antara
modalitas dua variabel yang ada pada matriks data N yang bersifat kontingensi dua arah
56
N(IxJ) ke dalam suatu vektor berdimensi kecil. Baris ke-i menunjukkan informasi
spesies cetacea yang terdiri atas tujuh variabel, yaitu Tursiops truncatus, Stenella
longirostris, Pseudorca crassidens, Orcinus orca, Physeter macrocephalus, Kogia
simus, dan unidentified cetacea. Kolom j menunjukkan variabel lokasi perjumpaan
(posisi Lintang dan Bujur perairan Selat Ombai) dan variabel periode perjumpaan
(Desember 2003, Januari 2004, Juni 2005, dan Juli 2005), yang terdiri dari 23 variabel.
Matriks data kontingensi N, berisikan data pengamatan (nij), yang menunjukkan
baris spesies cetacea (variabel I1, I2, …, In) terhadap kolom periode pengamatan dan
lokasi perjumpaan (variabel J1, J2, …, Jp
). Data pengamatan bersifat kualitatif, yaitu ada
(1) dan tidak ada (0). Matriks korespondensi dinotasikan sebagai P, yang memiliki
notasi vektor baris dan kolom r dan c. Matriks diagonal dari elemen vektor baris r
adalah Dr, yang berukuran (IxI), sedangkan Dc adalah matriks diagonal vektor kolom c
dengan ukuran (JxJ). Masing-masing elemen memiliki peran yang simetrik satu sama
lain. Algoritma yang digunakan dalam analisis korespondensi disajikan pada Tabel 4-2,
mulai dari persamaan (4.1) sampai dengan (4.17).
Tabel 4-2. Algoritma penghitungan elemen matriks data kontingensi
Formula untuk penghitungan baris
Formula untuk penghitungan baris
Analisis profil baris (I) R ≡ Dr-1 G ≡ Dc P -1 P T Analisis profil kolom (J) R ≡ Dr-1 P G ≡ DcT -1 P Analisis korespondensi R ≡ Dr-1 G ≡ Dc P -1 P (4.1) T
Dimana: s ≡ 1'N1 = jumlah total seluruh elemen matriks N;
P ≡ 1/s*N = matriks korespondensi;
r ≡ P(nxp)*1(px1)
Dr ≡ diag (r) = matriks diagonal baris;
= vektor massa baris;
c ≡ PT(pxn)*1(nx1)
Dc ≡ diag (c) = matriks diagonal kolom.
= vektor massa kolom;
57
Selanjutnya diperlukan pereduksian dimensi/faktor data yang dilakukan dengan
memperhatikan keragaman data (nilai eigen atau inersia) terbesar dan menguraikan nilai
singular untuk mempertahankan informasi optimum. Asosiasi antar baris dan kolom
diperoleh dari nilai singular tersebut, yang merepresentasikan koordinat baris dan kolom
dalam visualisasi grafis (Bengen 2000; Ludwig and Reynolds 1988). Penguraian nilai
singular dinotasikan dalam (IxJ) dalam matriks Λ dengan peringkat P, berdasarkan
formula berikut:
P*(IxJ) ≡ UIx(J-1) Λ(J-1)x(J-1) VT
(J-1)xJ
Dimana: rank (P
(4.2)
*
U
) = rank ( ) ≤ J-1; TU = I = VT
diag Λ ≡ diag (λ
V;
1, λ2, …, λJ-1
) = diagonal nilai singular yang diurutkan dari
nilai terbesar hingga terkecil;
= P – rcT
Dimana: = Dr
= = (4.3) ½U dan = Dc ½
= vektor kolom ke-j dari
V
= vektor kolom ke-j dari
Kolom merupakan koordinat sumbu yang digunakan sebagai referensi titik
kolom dari matriks P. Kolom merupakan koordinat sumbu yang digunakan sebagai
referensi titik baris dari matriks P. Penghitungan koordinat baris dan kolom mengikuti
matriks P-rcT
P – rc
, yang formulanya sebagai berikut:
T
Dimana: P – rc
= (4.4)
T
= nilai singular (eigen atau inersia)
= nilai singular dekomposisi
uk (Ix1) = vk (Jx1) = bentuk singular vektor korespondensi dari matriks
Dr-½ (P-rc') Dc-½
58
Dengan demikian, koordinat dari profil baris dan kolom adalah:
X(I x (J-1)) = Dr-1(IxI) ( IX (J-1)) Λ((J-1) X (J-1))
Y
(4.5)
(I x (J-1)) = Dc-1(JxJ) (JX (J-1)) Λ((J-1) X (J-1))
(4.6)
Inersia merupakan nilai akhir sumbu koordinat titik-titik dimensi dengan kuadrat
nilai singular dalam dimensi/faktor yang ada. Total inersia merupakan ukuran dari
semua variasi dalam titik yang menunjukkan baris atau kolom. Semakin besar inersia,
maka hubungan suatu kategori semakin jauh dari kategori lain yang dicari keeratannya.
Total inersia dihitung dengan formula berikut:
Total inersia = (4.7)
Dimana: λ1 ≥ λ2 …, λk
> 0 = diagonal tak nol dari elemen Λ
Pada akhirnya, jarak yang digunakan untuk dapat menggambarkan titik-titik pada
plot korespondensi adalah jarak chi-square. Jarak antara dua baris ke-i dan ke-i' adalah
sebagai berikut:
d2
f = (4.9)
(i,i') = (4.8)
fi.
f
= = (4.10)
.j
n = (4.12)
= (4.11)
sedangkan jarak antara dua kolom ke-j dan ke-j' adalah:
d2
(j,j') = (4.13)
Dimana: nij
f
= nilai pada baris ke-i kolom ke-j
i.
f
= massa baris yang diperoleh dari penjumlahan baris pada matriks P
.j = massa kolom dari penjumlahan kolom matriks P
59
Di dalam analisis korespondensi, terdapat korespondensi mutlak dan
korespondensi relatif. Kontribusi mutlak merupakan keragaman masing-masing titik
terhadap sumbu utama, dengan demikian nilai ini digunakan untuk menentukan
keterkaitan titik terhadap terhadap faktor/dimensi tertentu yang dilihat dari nilai korelasi
kuadrat. Semakin besar nilai korelasi kuadrat, maka sumbu utama mampu menerangkan
nilai inersia dengan baik. Kontribusi relatif (% inersia) adalah korelasi baris ke-i atau
kolom ke-j terhadap komponen k atau nilai yang menunjukkan besar/kecilnya
kontribusi aksis ke inersia baris ke-i atau kolom ke-j. Korelasi aksis ditentukan oleh
formula berikut:
Korelasi aksis k dan baris i = (4.14)
Korelasi aksis k dan kolom j = (4.15)
sedangkan persen inersia aksis ke k, dihitung menggunakan rumus:
Kontribusi baris i dan aksis k = (4.16)
Kontribusi kolom j dan aksis k = (4.17)
Dimana: fik
f
= koordinat profil baris ke-i pada aksis ke-k
jk
= koordinat profil kolom ke-j pada aksis ke-k
Proses penghitungan analisis korespondensi dibantu dengan perangkat lunak
Statistica versi 6.0. Tampilan grafis dari analisis korespondensi dapat digunakan secara
efektif untuk menjabarkan hubungan antara tiap kategori variabel baris dengan tiap
kategori variabel kolom melalui struktur pengelompokkan. Tahapan proses
penghitungan analisis korespondensi disajikan pada Lampiran 10, 11, dan 12.
60
4.4. Hasil
4.4.1. Pengamatan visual cetacea
Pelayaran INSTANT I
Upaya pengamatan visual terhadap komunitas cetacea yang dilakukan selama
pelayaran INSTANT tidak berlangsung secara konsisten, karena pelayaran ini memiliki
tujuan utama penenggelaman dan pengambilan mooring oseanografi, selain kegiatan
pelatihan pengolahan data oseanografi dan perakitan instrumen oseanografi yang harus
penulis ikuti. Secara ringkas, hasil pengamatan cetacea dari dua pelayaran disajikan
pada Tabel 4-3.
Secara kumulatif, tercatat ada 26 kali perjumpaan (sightings) dan 6 spesies
cetacea yang teridentifikasi positif. Tiga spesies di antaranya dijumpai secara konsisten
pada dua pelayaran, yaitu Stenella longirostris atau lumba-lumba pemutar (spinner
dolphin), Pseudorca crassidens atau paus pembunuh palsu (false killer whale), dan
Physeter macrocephalus atau paus sperma (Tabel 4-3).
Tabel 4-3 . Kompilasi hasil pengamatan cetacea di Selat Ombai
No. Variabel Pelayaran INSTANT I Pelayaran INSTANT II
1. Jumlah hari survei 4 hari 5 hari 2. Jumlah waktu survei 54 jam 60 jam 3. Total perjumpaan 11 kali 15 kali 4. Periode survei Desember-Januari
Awal northwest monsoon Juni-Juli
Awal southeast monsoon 5. Estimasi kelimpahan
relatif total 908 individu 698 individu
6. Spesies yang positif teridentifikasi
5 spesies Tursiops truncatus Stenella longirostris Pseudorca crassidens Orcinus orca Physeter macrocephalus
4 spesies Stenella longirostris Pseudorca crassidens Physeter macrocephalus Kogia simus
61
Gambar 4-4. Persentase komunitas cetacea berdasarkan ukuran tubuh (kiri) dan
berdasarkan keberhasilan identifikasi visual (kanan) pada Pelayaran INSTANT I.
Dari 11 kali perjumpaan pada Pelayaran INSTANT I, dapat diketahui bahwa
69.2% cetacea yang dijumpai berukuran sedang (Gambar 4-4, kiri). Orcinus orca,
walaupun dikenal sebagai paus pembunuh yang ganas, ternyata tergolong cetacea
berukuran sedang karena panjang total yang bisa dicapai masih kurang dari 15 meter.
Selain itu, dapat diketahui bahwa hanya 45.4% dari total perjumpaan yang berhasil
mendapatkan identifikasi positif terhadap komunitas cetacea di Selat Ombai.
Pelayaran INSTANT II
Untuk Pelayaran INSTANT II, seperti ditunjukkan pada Gambar 4-5, dapat
diketahui bahwa berdasarkan profil ukuran tubuhnya sebagian besar atau 60% dari
komunitas cetacea yang dijumpai berukuran besar. Berdasarkan keberhasilan
identifikasi visual, persentase komunitas cetacea yang berhasil diidentifikasi secara
positif pada Pelayaran INSTANT II meningkat 21,2% dibandingkan Pelayaran
INSTANT I.
69,2
30,8
Medium-sized cetacean
Large-sized cetacean
45,5
54,5
ID+ ID-
62
Gambar 4-5. Persentase komunitas cetacea berdasarkan ukuran tubuh (kiri) dan
berdasarkan keberhasilan identifikasi visual (kanan) pada Pelayaran INSTANT II.
Dengan demikian, dari dua kali Pelayaran INSTANT dalam kurun waktu
Desember 2003 sampai dengan Juli 2005, total upaya survei yang diperoleh hanya 9
hari survei (survey days) dengan 114 jam survei (survey hours) sebagaimana bisa dilihat
pada Tabel 4-3. Empat (4) hari survei diperoleh pada Pelayaran INSTANT I, sedangkan
Pelayaran INSTANT II menghasilkan 5 hari survei. Akumulasi jam survei untuk tiap
periode pelayaran adalah 54 jam untuk Pelayaran INSTANT I dan 60 jam untuk
Pelayaran INSTANT II.
Perbedaan jam survei antara pelayaran yang pertama dan kedua dikarenakan
durasi hari terang yang lebih lama pada Pelayaran INSTANT I atau pada awal musim
northwest monsoon. Pada bulan Desember 2003 – Januari 2004 matahari telah terbit dan
bersinar terang sejak pukul 05:00 WITA dan terbenam menjelang pukul 18:30 WITA,
sedangkan pada Juni – Juli 2005 hari terang berkisar antara pukul 06.00 – 18:00 WITA.
Hari terang, yang dimulai saat matahari terbit hingga terbenam, merupakan salah satu
syarat untuk melakukan pengamatan cetacea secara visual. Syarat lain, terkait dengan
kondisi cuaca dan perairan yang dapat menghambat upaya visual sebagaimana yang
dijabarkan oleh Skala Beaufort (Lampiran 3).
60,0
40,0
Medium-sized cetacean
Large-sized cetacean
66,7
33,3
ID+ ID-
63
4.4.2. Kelimpahan berdasarkan waktu perjumpaan dan tingkah laku
Waktu perjumpaan
Pada pelayaran INSTANT I (24 Desember 2003 – 10 Januari 2004), upaya
pengamatan dimulai sejak kapal Baruna Jaya 8 memasuki Selat Sape (28 Desember
2003) yang menghubungkan Laut Flores dan Laut Sawu. Seperti halnya dengan Selat
Ombai, Selat Sape juga merupakan perairan sempit antar pulau yang dalam dan diduga
menjadi salah satu jalur migrasi cetacea di perairan Indonesia (Kahn 2001, Kahn et al.
2000). Cetacea yang dijumpai di perairan Selat Sape memiliki tingkah laku berenang
cepat pada pagi dan sore hari. Setelah melewati Selat Sape, pelayaran dilanjutkan
dengan menyusuri perairan timur Pulau Sumba dan Pintasan Timor. Tidak dijumpai
komunitas cetacea selama berada di kedua bagian perairan ini dan cetacea baru dijumpai
lagi saat kapal memasuki perairan Selat Ombai.
Gambar 4-6. Kelimpahan cetacea berdasarkan waktu perjumpaan.
Khusus di perairan Selat Ombai (2-4 Januari 2004), upaya pengamatan
ditingkatkan dan dalam 25 jam waktu survei diperoleh 8 perjumpaan dengan 4 spesies
yang teridentifikasi positif (Tabel 4-3). Pada pagi di hari terakhir survei visual (4
Januari 2004), pengamat menjumpai sekelompok kecil paus yang merupakan anggota
Sub-ordo Mysticeti. Dugaan ini didasari atas beberapa hal yaitu semburan udara yang
tinggi secara vertikal (tegak lurus terhadap blowhole) dan tingkah laku breaching
865
303
3 0 00
300
172
53
173
0
150
300
450
600
750
900
5:00-7:00 7:00-10:00 10:00-13:00 13:00-16:00 16:00-18:30
Kelim
paha
n re
lati
f (in
divi
du)
Waktu pengamatan cetacea
INSTANT 1
INSTANT 2
64
(melemparkan tubuh dari kepala-dada ke atas permukaan air) yang sangat umum
dilakukan oleh cetacea jenis Megaptera novaeangliae atau paus bungkuk. Sayangnya
identifikasi jenis Mysticeti tersebut tidak dapat dipastikan karena kapal bergerak ke arah
yang berlawanan.
Akumulasi waktu sebanyak 12 jam 30 menit yang diberlakukan untuk upaya
pengamatan harian cetacea pada Pelayaran INSTANT I dibagi menjadi lima rentang
waktu (Gambar 4-6). Rentang waktu pukul 5:00 – 7:00 WITA merupakan masa
komunitas cetacea sangat sering dijumpai di perairan Selat Ombai. Ada 865 individu
cetacea atau 73,87% dari komunitas cetacea teramati di pagi hari, sedangkan di senja
hari (16:00 – 18:30 WITA) hanya 7 individu yang teramati. Pada kurun waktu pagi
menjelang siang atau pukul 7:00 – 10:00 WITA, sekitar 27,6% komunitas cetacea atau
333 individu teramati. Pada Pelayaran INSTANT II, perjumpaan dengan komunitas
cetacea dimulai dari pukul 7:00 – 7:20 WITA, dan 42.98% komunitas cetacea dijumpai
pada rentang waktu tersebut. Hanya 3 individu cetacea, semuanya adalah Physeter
macrocephalus, yang teramati pada rentang waktu menjelang tengah hari (10:00 –
13:00 WITA) dan tidak ada cetacea yang teramati pada kurun waktu siang hingga
menjelang sore atau pukul 13:00 – 16:00 WITA, pada Pelayaran INSTANT I. Berbeda
dengan Pelayaran INSTANT II yang pada sisa waktu hari terang masih bisa dijumpai
komunitas cetacea (Gambar 4-6).
Berdasarkan waktu perjumpaan, dapat diketahui dari Gambar 4-6 bahwa pagi hari,
pukul 5:00 – 7:00 dan 7:00-10:00 WITA, merupakan waktu perjumpaan cetacea yang
paling umum untuk perairan Selat Ombai. Hasil yang serupa juga diperoleh Purnomo
(2001) untuk waktu perjumpaan Stenella spp. di perairan Lovina, Bali. Perjumpaan
pada waktu siang hari memiliki kelimpahan relatif paling sedikit, hanya 53 individu.
Perjumpaan pada waktu menjelang siang (10:00 – 13:00 WITA) dan larut senja (16:00 –
18:00 WITA) memiliki kelimpahan relatif yang tidak jauh berbeda satu sama lain, yaitu
sekitar 170 individu. Hasil rinci upaya visual cetacea disajikan di Lampiran 2.
65
Tingkah laku
Ada empat macam pola tingkah laku yang ditunjukkan oleh komunitas cetacea di
perairan Selat Ombai sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4-7. Makan dan bermain
merupakan tingkah laku yang paling umum dari komunitas cetacea di Selat Ombai, baik
dari kelimpahan relatif maupun hari pengamatan, karena meliputi 69,4% (630 individu)
dari total kelimpahan yang terdata dan teramati pada 3 dari 4 hari survei yang
dilakukan. Hal yang tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh tingkah laku berenang cepat,
yaitu sebanyak 61,3%. Kondisi yang demikian disebabkan oleh perilaku berenang cepat
berasosiasi erat dengan perilaku makan dan bermain, terutama dalam lingkup mengejar
dan menakuti mangsanya sehingga mereka terkonsentrasi dalam satu titik atau sering
disebut sebagai foraging.
Gambar 4-7. Kelimpahan cetacea berdasarkan tingkah laku.
Sama halnya dengan hasil pengamatan pada pelayaran INSTANT I, komunitas
cetacea pada pelayaran INSTANT II juga dijumpai secara intensif di perairan Selat
Ombai terutama pada sisi selatan Pulau Alor. Sebagian besar tingkah laku yang teramati
adalah berenang cepat dan makan (Gambar 4-7). Sebanyak 370 individu cetacea
teramati dengan perilaku berenang cepat, diikuti dengan perilaku makan sebanyak 250
individu. Perilaku lima individu cetacea digolongkan sebagai lain-lain, karena selain
istirahat teramati pula kegiatan mengasuh anak (calf) yang ditunjukkan oleh paus jenis
Physeter macrocephalus.
550
110
605
5
370
71
257
00
150
300
450
600
750
900
Berenang cepat Berenang perlahan
Makan dan bermain
Lain-lain
Kelim
paha
n re
lati
f (in
divi
du)
Tingkah laku cetacea
INSTANT 1
INSTANT 2
66
4.5. Pembahasan
Penelitian mengenai komunitas cetacea di perairan Laut Sawu sangat dipengaruhi
adanya fakta bahwa ada beberapa pulau di Lesser Sunda Islands yang menjadi pemburu
paus tradisional, yaitu Pulau Lamalera dan Pulau Lamakera (Barnes 1996). Syahria
(2007) melakukan pengamatan cetacea di perairan Laut Sawu bagian timur pada
Desember 2005 dan mendapatkan identifikasi positif atas 8 spesies cetacea. Kedelapan
spesies tersebut adalah Pseudorca crassidens, Stenella longirostris, Stenella attenuata,
Tursiops truncatus, Lagenodelphis hosei, Globicephala macrorhynchus, Feresa
attenuata, dan Physeter macrocephalus. Keberhasilan Syahria (2007) mengidentifikasi
lebih banyak spesies cetacea disebabkan oleh tujuan utama pelayaran yang dilakukan
adalah untuk survei komunitas cetacea di perairan timur Laut Sawu selain moda kapal
kayu berukuran kecil yang mobilitasnya lebih baik dan penggunaan kamera digital yang
sangat membantu saat proses identifikasi spesies menggunakan foto.
Berdasarkan tingkah lakunya, dapat diketahui bahwa makan merupakan perilaku
yang sangat umum teramati pada komunitas cetacea di Selat Ombai. Kahn (2001) juga
menyatakan bahwa perairan di antara Pulau Solor dan Alor, serta Laut Sawu diduga
merupakan daerah mencari makan dan koridor migrasi cetacea menuju perairan
nusantara. Pada beberapa kali pengamatan, komunitas cetacea yang berada di Selat
Ombai terlihat membentuk kelompok multi-spesies dan berinteraksi sosial dalam upaya
memperoleh makanannya yang berupa schooling ikan pelagis. Hal ini teramati
khususnya pada Stenella longirostris dan Pseudorca crassidens. Setelah schooling ikan
pelagis tersebut terjebak pada satu titik dan aktivitas makan dimulai, spesies lain yang
bersifat oportunistik mengambil keuntungan dan ikut menikmati mangsa tersebut. Salah
satu spesies cetacea yang tergolong adalah Orcinus orca, yang baru teridentifikasi
berada di lokasi yang sama setelah aktivitas makan selesai dan kelompok multi-spesies
(multispecies pod) cetacea terpisah menjadi tiga kelompok dari spesies yang berbeda.
Scott and Chivers (1990) menuliskan bahwa asosiasi antar species cetacea odontoceti
yang berbeda sering terjadi, terutama di perairan pelagis, dengan tujuan untuk
mendapatkan mangsa berupa ikan-ikan pelagis.
67
Sejumlah perjumpaan atas cetacea dari Stenella longirostris dan Pseudorca
crassidens selalu konsisten dengan ukuran pod yang besar atau melebihi 50 individu.
Terutama di pagi hari, pada saat aktivitas makan sangat intensif dilakukan. Pada musim
muson barat, aktivitas makan komunitas cetacea di Selat Ombai telah dimulai sejak
sebelum pukul 6:00 waktu setempat, namun pada musim muson timur aktivitas makan
baru teramati setelah lewat pukul 7:00 waktu setempat. Di perairan Hawaii Stenella
longirostris memiliki diet berupa ikan pelagis, makrozooplankton, dan cephalopoda
yang berada di lapisan batas mesopelagis (Benoit Bird and Au 2003), sedangkan diet
Pseudorca crassidens menurut Taylor et al. (2002) adalah beragam spesies ikan pelagis
dan cephalopoda.
Aktivitas makan pada Physeter macrocephalus didasari oleh profil habitat dengan
batimetri yang dalam (sill depth 3250 m) dan curam; serta tingkah laku menyelam lama
yang teramati pada beberapa individu paus sperma tersebut. Umumnya cumi-cumi laut
dalam yang menjadi mangsa utama paus sperma (Santos et al. 2001) hidup di
kedalaman di bawah 600-800 m (Kaltenberg 2004), dan paus sperma memiliki
kemampuan menyelam mencapai kedalaman 2000 m dengan durasi hingga 1-2 jam
(Taylor et al. 2002).
Tingkah laku sosial yang umumnya ditunjukkan pod apex predator cetacea
menjelang makan adalah berenang cepat secara berpasangan, bergerak dengan manuver
yang dinamis dan atraktif, terkadang beberapa individu cetacea melompat tinggi ke luar
permukaan air (aerials), yang secara kumulatif tingkah laku ini disebut sebagai foraging
(Benoit-Bird and Au 2003). Pergerakan ini terus-menerus dilakukan sedemikian hingga
schooling ikan terjebak pada satu titik di dalam lingkaran kerumunan cetacea dan
terletak lebih dekat ke permukaan air. Setelah terjebak, maka cetacea memulai aktivitas
makan dengan menyambar mangsanya dari bagian tengah schooling secara vertikal dari
kolom perairan yang dalam ke arah permukaan.
Rincian tingkah laku foraging ini teramati saat Pelayaran INSTANT I. ketika pada
pukul 6:10 WITA teramati satu kelompok cetacea yang berenang cepat ke satu arah
dengan tingkah atraktif seperti melompat tinggi ke luar permukaan air. Beberapa
anggota kelompok terlihat memisahkan diri dan melakukan manuver pergerakan
bersifat konsentris, sampai pada titik tertentu terlihat kelompok besar cetacea jenis lain
68
yang bergabung dari arah berlawanan. Pada pukul 6:55 WITA aktivitas makan dimulai
dan kegiatan ini berakhir pada pukul 7:45 WITA, karena kelompok besar cetacea
multispesies tersebut mulai berenang perlahan ke arah berlawanan. Pukul 8:10 WITA
baru terlihat dengan jelas komposisi multispesies cetacea tersebut karena mereka
memisahkan diri menjadi tiga kelompok, yaitu dua pod besar Stenella longirostris dan
Pseudorca crassidens, serta tiga individu Orcinus orca.
Khusus untuk Physeter macrocephalus, yang diet utamanya berupa cumi-cumi
laut dalam berukuran sedang-besar (Santos et al. 2001), keberadaan paus ini secara
konsisten di perairan Selat Ombai mengindikasikan adanya biomassa cumi-cumi laut
dalam yang cukup tinggi. Hal ini sangat terkait dengan upaya untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi paus sperma sebagai biota terbesar dari dari Sub-ordo Odontoceti.
Hal lain adalah profil batimetri yang rumit dan curam di perairan Selat Ombai
mendukung ketersediaan habitat potensial bagi biota cumi-cumi laut dalam,
sebagaimana dituliskan oleh Kaltenberg (2004) bahwa profil batimetri Teluk Mexico
yang rumit dan curam menyediakan habitat mencari makan paus sperma. Hal tersebut
dibuktikan menggunakan set data ADCP berfrekuensi rendah yang menunjukkan
adanya dua lapisan hambur balik akustik (lapisan HBA) di kedalaman 150-300 m dan
650-800 m. Lapisan HBA sekunder diduga merupakan habitat cumi-cumi laut dalam,
karena rekaman penyelaman menunjukkan bahwa paus sperma menghabiskan waktu
10-15 menit di kedalaman tersebut.
Analisis korespondensi
Sebaran spasio-temporal komunitas cetacea di Selat Ombai dikaji dengan analisis
korespondensi, menggunakan data kualitatif perjumpaan cetacea pada periode dan
lokasi tertentu. Hasil analisis korespondensi menunjukkan bahwa keterkaitan komunitas
cetacea terhadap habitat perairan pelagis Selat Ombai terbagi di tiga sumbu utama, yang
masing-masing menjelaskan 39,21% (F1), 19,05% (F2), dan 9,87 % (F3) dari total
ragam 68.13%. Grafik analisis korespondensi ditunjukkan pada Gambar 4-8, tahapan
perhitungan untuk mendapatkan grafik tersebut disajikan pada Lampiran 10, 11, dan 12.
69
2D Plot; Dimension: 1 x 3
Ja:0
Ja:1
Jn:0
Jn:1
Jl:0
Jl:1
L1:0
L1:1
L2:0L2:1L3:0
L3:1
L4:0
L4:1
L5:0L5:1
L6:0
L6:1
L7:0L7:1 L8:0L8:1
L9:0
L9:1
L10:0
L10:1
L11:0L11:1
L12:0
L12:1
L13:0L13:1
L14:0
L14:1B1:0
B1:1
B2:0
B2:1
B3:0
B3:1
B4:0
B4:1B5:0
B5:1
B6:0
B6:1
-2,0 -1,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0
F1; (39,21% of Inertia)
-1,5
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0F3
; (9,
870%
of I
nerti
a)
Gambar 4-8a. Grafik analisis korespondensi, keterkaitan antar variabel pada sumbu
pertama (F1) dan sumbu ketiga (F3)
2D Plot; Dimension: 2 x 3
Ja:0
Ja:1
Jn:0
Jn:1
Jl:0
Jl:1
L1:0
L1:1
L2:0L2:1L3:0
L3:1
L4:0
L4:1
L5:0L5:1
L6:0
L6:1
L7:0L7:1 L8:0L8:1
L9:0
L9:1
L10:0
L10:1
L11:0L11:1
L12:0
L12:1
L13:0L13:1
L14:0
L14:1B1:0
B1:1
B2:0
B2:1
B3:0
B3:1
B4:0
B4:1B5:0
B5:1
B6:0
B6:1
-1,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 1,5
F2; (19,05% of Inertia)
-1,5
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
F3; (
9,87
0% o
f Ine
rtia)
Gambar 4-8b. Grafik analisis korespondensi, keterkaitan antar variabel pada sumbu
kedua (F2) dan sumbu ketiga (F3)
70
Dari Gambar 4-8a dapat dilihat bahwa terdapat tiga pengelompokkan wilayah
habitat cetacea. Kelompok pertama ada pada bidang perpotongan antara sumbu negatif
1,5 hingga 2,0 (F1) dan sumbu negatif 1,0 hingga positif 0,5 (F3), kelompok kedua pada
bidang sumbu negatif 1,0 hingga 0 (F1) dan sumbu negatif 0,5 hingga positif 0,5 (F3).
Kedua kelompok ini mewakili wilayah perairan Selat Ombai yang kerap memiliki
catatan perjumpaan dengan komunitas cetacea, yaitu perairan yang terletak di selatan
pulau Solor-Alor dan tenggara pulau Alor. Pada kelompok pertama profil konsekutif
yang unik terlihat jelas, yang mengindikasikan korespondensi antara wilayah yang satu
dengan wilayah berikutnya atau konektivitas spasial habitat cetacea di Selat Ombai. Hal
ini disebabkan oleh keberadaan notasi L12 yang menandakan lokasi perairan dalam
dengan profil curam sebagai habitat Physeter macrocephalus, dan notasi L2 yang
menandakan perairan batas paparan benua yang merupakan habitat Stenella longirostris
dan Pseudorca crassidens. Kedua notasi posisi lintang tersebut berkorespondensi
dengan notasi B5 yang letaknya di selatan Pulau Alor. Kelompok ketiga menempati
bidang perpotongan antara sumbu positif 0,5 (F1) dan sumbu negatif 0,5 sampai positif
0,5 (F3) yang menunjukkan pengelompokkan terpisah sebagian besar wilayah perairan
Selat Ombai yang tidak memiliki catatan perjumpaan cetacea.
Sumbu utama yang kedua (F2) dan ketiga (F3) pada Gambar 4-8b memberikan
informasi yang tidak tersampaikan pada grafik sebelumnya. Pada grafik hasil analisis
korespondensi yang kedua terlihat adanya keterkaitan antara variabel spasial dengan
variabel temporal yang tidak terlihat pada grafik yang pertama. Hanya terdapat satu
kelompok pada grafik yang menunjukkan informasi berbeda pada masing-masing empat
kuadran yang dilingkupinya. Kuadran pertama dan kedua, yang terletak pada bidang
perpotongan sumbu positif 0,5 (F2) dengan sumbu negatif 0,5 sampai positif 0,5 (F3),
menginformasikan wilayah yang tidak memiliki catatan perjumpaan dengan komunitas
cetacea. Pada kuadran ketiga, bidang perpotongan sumbu negatif 0,5 (F2 dan F3),
terlihat bahwa catatan perjumpaan cetacea pada periode Juni-Juli (notasi Jn dan Jl)
memiliki keterkaitan dengan wilayah perairan selatan Pulau Alor (notasi B5). Kuadran
keempat, bidang perpotongan negatif 0,5 (F2) dengan positif 0,5 (F3), menunjukkan
korespondensi yang erat antara periode Januari (notasi Ja) dengan wilayah perairan
tenggara Pulau Alor (notasi B6).
71
4.6. Simpulan
Perairan Selat Ombai memiliki komunitas cetacea yang secara konsisten dijumpai
pada musim yang berbeda. Sebagian spesies cetacea yang dijumpai memiliki ukuran
kelompok besar (> 30 individu), terutama Stenella longirostris (spinner dolphin atau
lumba-lumba pemutar) dan Pseudorca crassidens (false killer whale atau paus
pembunuh palsu). Physeter macrocephalus (sperm whale atau kotekelema) juga
dijumpai pada tiap pelayaran, dalam jumlah individu yang lebih sedikit, dan khusus
pada Pelayaran INSTANT II spesies tersebut terlihat berenang bersama calf. Spesies
cetacea yang hanya dijumpai pada pelayaran INSTANT I adalah Orcinus orca (killer
whale atau paus pembunuh) dan spesies yang hanya dijumpai pada pelayaran INSTANT
II adalah Kogia simus (dwarf sperm whale atau paus sperma kerdil).
Terdapat keterkaitan yang erat antara komunitas cetacea dengan habitatnya di
perairan Selat Ombai, terutama di wilayah selatan dan tenggara Pulau Alor.
Berdasarkan tingkah laku dan informasi dietnya, spesies cetacea yang ditemukan di
perairan Selat Ombai tergolong sebagai apex-predator, sedangkan ditinjau dari tingkat
perjumpaan, catatan tingkah laku, keberadaan calf, dan hasil analisis korespondensi,
dapat disimpulkan bahwa perairan Selat Ombai merupakan habitat kritis bagi komunitas
cetacea.
PUSTAKA Anonimous. 2003. Marine Mammal Survey Techniques. Jakarta, Januari 2003.
Convention on Migratory Species, World Wildlife Fund, and Ministry of Fisheries and Marine Affairs.
Atmadipoera AS, R Molcard, G Mardec, S Wijffels, J Sprintall, A Koch-Larrouy, I Jaya, and A Supangat. 2009. Characteristics and variability of the Indonesian throughflow water at the outflow straits. Deep-Sea esearch I 56(2009)1942–1954. doi:10.1016/j.dsr.2009.06.004
Barnes RH. 1996. Sea hunters of Indonesia, fishers and weavers of Lamalera. Clarendon Press.
72
Beasley I, KM Robertson, and PW Arnold. 2005. Description of a new dolphin, the Australian Snubfin Dolphin Orcaella heinshoni sp n (Cetacea, Delphinidae). Marine Mammal Science 21 (3): 365-400.
Bearzi G. 1994. Behavioural states: terminology and definitions. In: Proceedings of the workshop "Methods fro the study of bottlenose dolphins in the wild". 8th annual meeting of the European Cetacean Society. Montpellier, 3 March 1994. GN di Sciara, PGH Evans, and E Politi (Eds.). ECS Newsletter No.23
Begon M, CR Townsend, and JL Harper. 2006. Ecology: from individuals to ecosystems. 4th
Bengen DG. 2000. Sinopsis teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
edition. Oxford, Blackwell Publ. 738 pp.
Benoit-Bird KJ and WWL Au. 2003. Prey dynamics affect foraging by a pelagic predator (Stenella longirostris) over a range of spatial and temporal scales. Behav Ecol Sociobiol (2003) 53:364–373. DOI 10.1007/s00265-003-0585-4
Carwardine M. 1995. Smithsonians handbooks: Whales, dolphins, and porpoises. Dorling Kindersley Publ. Inc. New York. 256 pp.
Dalebout ML, JG Mead, C Scott, AN Baker, and AN van Helden. 2002. A new species of beaked whale, Mesoplodon perrini sp n (Cetacea, Ziphiidae) discovered through phylogenic analysis of mitochondrial DNA sequence. Marine Mammal Science 18 (3): 577-608.
di Sciara GN. 1994. Determination of group size. In: Proceedings of the workshop “Methods fro the study of bottlenose dolphins in the wild”. 8th
Gordon AL. 2001. Inter-ocean exchange. In: Ocean circulation and climate. G Siedler, J Church, and J Gould (Eds.). Academic Press. 303-314 pp.
annual meeting of the European Cetacean Society. Montpellier, 3 March 1994. GN di Sciara, PGH Evans, and E Politi (Eds.). ECS Newsletter No.23
Hammond PS, P Berggren, H Benke, DL Borchers, A Collet, MP Heide-Jorgensen, S Heimlich, AR Hilby, MF Leopold, and N Oien. 2002. Abundance of harbor porpoises and other cetaceans in the North Sea and adjacent waters. Journal of Applied Ecology 39: 361-376.
Hoyt E. 2005. Marine Protected Areas for Whales, Dolphins and Porpoises: A worldwide handbook for cetacean habitat conservation. Earthscan, London, 516pp.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2009. IUCN red list of threatened species. http://www.iucnredlist.org/ (observed 15 June 2009)
Jeffferson TA, S Leatherwood, and MA Webber. 1993. FAO species identification guide-marine mammals of the world. The Expert center for Taxonomic Identification (ETI). University of Amsterdam.
Kahn B. 2001. Komodo National Park cetacea surveys. A rapid ecological assessment of cetacea diversity, abundance & distribution, monitoring report - April 2001. The Nature Conservancy and APEX. 39 pp.
73
Kahn B, Y James, and J Pet. 2000. Komodo National Park cetacea surveys. A rapid ecological assessment of cetacea diversity, abundance & distribution. The Nature Conservancy and APEX. 30 pp.
Kaltenberg AM. 2004. 38-kHZ ADCP Investigation of Deep Scattering Layers in Sperm Whale Habitat in the Northern Gulf of Mexico. M.Sc Thesis. Major: Oceanography. Texas A&M University.
Ludwig JA and JF Reynolds. 1988. Statistical ecology: a primer on methods and computing. John Wiley and Sons, Inc. xvii+329.
Molcard R, M Fieux, and F Syamsudin. 2001. The throughflow within Ombai Strait. Deep-Sea Research I 48: 1237-1253
Moore TS, and J. Marra. 2002. Satellite observations of bloom events in the Strait of Ombai: Relationships to monsoons and ENSO. Geochem Geophys Geosyst 3 (2). doi: 10.1029/2001GC00174.
Perrin WF, BG Wursig, JGM Thewissen. 2002. Encyclopedia of marine mammals. Academic Press. 1414 pp.
Robertson R. and A. Ffield. 2005. M2 Baroclinic tides in the Indonesian Seas. Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.
Rudolph P, C Smeenk, and S Leatherwood. 1997. Preliminary checklist of Cetacea in the Indonesian Archipelago and adjacent waters. Leiden: Nationaal Natuurhistorisch Museum.
Santos MB, MR Clarke, and GJ Pierce. 2001. Assessing the importance of cephalopods in the diets of marine mammals and other top predators: problems and solutions. Fisheries Research 52: 121-139.
Scott MD, SJ Chivers. 1990. Distribution and herd structure of bottlenose dolphins in the Eastern Tropical Pacific Ocean. In: The Bottlenose Dolphin. (S. Leatherwood & R. R. Reeves, eds.). Academic Press, San Diego, CA. pp.387 - 402.
Syahria F. 2007. Penyebaran Beberapa Jenis Cetacean Subordo Odontoceti di Perairan Laut Sawu Bagian Timur, Nusa Tenggara Timur. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor. [Skripsi: tidak dipublikasikan]
Taylor L, M Carwardine, and E Hoyt (Eds). 2002. The nature companions sharks and whales. Fog city press.
Tomascik T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The ecology of the Indonesian seas, part 2. Periplus editions.
Wada S, M Oishi, and TK Yamada. 2003. A newly discovered species of living baleen whales. Nature 426: 278-281.
74
5. PEMBAHASAN UMUM
Bab 5 tesis ini menguraikan keterkaitan antara topik-topik yang disampaikan di
tiga bab sebelumnya, dengan tambahan pembahasan mengenai implikasi hasil kunci
dari penelitian ini terhadap konservasi cetacea. Telaah biologi konservasi merupakan
lanjutan dari telaah ekologi cetacea, yang secara spesifik dilakukan dengan membahas
komunitas cetacea dan fitur lingkungan perairan Selat Ombai (ca. 8°24´ LS, 125°00´
BT) sebagai habitat cetacea. Urgensi terhadap konservasi cetacea didasarkan pada
keberadaan masyarakat nelayan tradisional di Pulau Lamalera yang memanfaatkan
spesies cetacea yang umum dijumpai di Selat Ombai, ancaman kerusakan habitat, dan
status konservasi yang telah diberlakukan terhadap beberapa spesies dan kawasan
perairan tersebut.
5.1. Komunitas cetacea di Selat Ombai
Komunitas cetacea yang dijumpai secara konsisten di perairan Selat Ombai terdiri
atas tiga spesies, yaitu Stenella longirostris (lumba-lumba pemutar atau spinner
dolphin), Pseudorca crassidens (paus pembunuh palsu atau false killer whale), dan
Physeter macrocephalus (paus sperma atau kotekelema atau sperm whale). Ada dua
spesies lain yang juga dijumpai selama Pelayaran INSTANT di Selat Ombai, yaitu
Orcinus orca (paus pembunuh atau killer whale) dan Merujuk pada predator di
ekosistem laut yang umumnya adalah nekton, maka predator hot spots merupakan
istilah yang ditujukan untuk wilayah perairan yang didatangi oleh predator dengan
keanekaragaman hayati dan biomassa yang tinggi dalam rentang waktu yang teratur
(Worm et al. 2003; Davoren 2007). Pada dua pelayaran INSTANT, yaitu Desember
2003-Januari 2004 yang mewakili kondisi musim muson barat daya dan Juni-Juli 2005
yang mewakili musim muson tenggara, tiga spesies cetacea dijumpai secara konsisten
dalam biomassa tinggi di perairan Selat Ombai. Ketiga spesies tersebut adalah Stenella
longirostris (lumba-lumba pemutar), Pseudorca crassidens (paus pembunuh palsu), dan
Physeter macrocephalus (paus sperma), yang semuanya dapat digolongkan sebagai
komunitas top predator di ekosistem laut pelagis. Stenella longirostris dan Pseudorca
crassidens memiliki mangsa yang sama, berupa nekton pelagis permukaan seperti ikan
75
tuna dan ikan makarel, sedangkan mangsa Physeter macrocephalus merupakan nekton
yang hidup di lapisan pelagis dalam yaitu sepalopoda berukuran sedang-besar dan ikan
besar (Santos et al. 2001).
Tabel 5-1. Kedalaman maksimum dan preferensi makanan spesies cetacea yang dijumpai di perairan Selat Ombai (disarikan dari: Taylor et al. 2002, Santos et al. 2001, Benoit-Bird and Au 2003)
No Nama spesies cetacea Kedalaman selam Preferensi makanan
1 Stenella longirostris < 30 m (rerata) Schooling ikan pelagis kecil
2 Pseudorca crassidens Tidak diketahui Beragam spesies ikan pelagis dan cephalopoda
3 Physeter macrocephalus 2000 m (maks.) Cumi-cumi, gurita, dan ikan demersal ukuran sedang-besar yang hidup di laut dalam
4 Orcinus orca > 228 m (maks.), < 30 m (rerata)
Kosmopolitan, termasuk cetacea spesies lain
5 Tursiops truncatus 112 m (maks.) Ikan pelagis dan mesopelagis, cumi-cumi
6 Kogia simus Tidak diketahui Cumi-cumi, gurita, dan ikan demersal ukuran kecil yang hidup di laut dalam
Plot perjumpaan cetacea pada hari yang sama dengan perekaman data SeaWiFS
menunjukkan sebaran komunitas cetacea di zona thermal front dan zona transisi front
klorofil-a dan bukan di area yang memiliki konsentrasi klorofil-a tinggi (Gambar 3-1 s/d
3-5). Komunitas cetacea yang didata pada musim barat (4 Januari 2004) terdiri atas
empat spesies, yaitu Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, Orcinus orca, dan
Physeter macrocephalus. Bahkan tiga spesies pertama dijumpai melakukan interaksi
sosial selama foraging mangsa ikan pelagis mulai pukul 6:10 WITA hingga
berlangsungnya aktivitas makan pada 6:55 WITA. Pada pukul 8:10 WITA, terlihat
bahwa aktivitas makan berakhir dengan terpisahnya dua pod besar (100-200 individu)
dan satu pod kecil (3 individu) dari masing-masing spesies. Kondisi yang demikian
menunjukkan bahwa ada proses oseanografi dinamis yang memungkinkan terbentuknya
peningkatan kandungan klorofil-a permukaan dan eddies di Selat Ombai, sehingga
76
komunitas cetacea menjadikan perairan ini sebagai habitat foraging dan makan. Hal
yang serupa diperoleh Tynan et al. (2005) yang mendapati korelasi kuat antara sebaran
Megaptera novaeangliae, pada musim semi dan panas, serta Phocoena phocoena pada
musim semi, di bagian utara perairan California Current System. Demikian pula dengan
aktivitas foraging beberapa spesies cetacea di perairan barat Skotlandia yang
terkonsentrasi di wilayah perbatasan front (Embling et al. 2005)
Perjumpaan yang konsisten dengan Physeter macrocephalus, baik pada musim
barat maupun musim tenggara, memberikan petunjuk bahwa perairan Selat Ombai juga
berperan sebagai habitatnya. Berdasarkan tingkah lakunya, beristirahat 2-5 menit dan
menyelam selama ~30 menit, paus sperma diduga tengah melakukan aktivitas foraging
(Kaltenberg, 2004). Pembuktian dugaan tersebut sangat sulit karena makanan cetacea
jenis ini merupakan cumi-cumi laut dalam yang habitatnya masih musykil untuk
dieksplorasi secara visual. Kajian habitat paus sperma di Teluk Meksiko yang dilakukan
oleh Kaltenberg (2004) memanfaatkan data ADCP berfrekuensi 38 kHZ, serta berhasil
mendeteksi adanya lapisan hambur balik sekunder dan tersier di kedalaman 400-900 m
yang merefleksikan ketersediaan mangsa bagi cumi-cumi laut dalam.
Gambar 5-1. Plot sebaran cetacea yang terdata dari dua pelayaran INSTANT serta terlihat melakukan aktivitas makan dan foraging di perairan Selat Ombai.
124.6 124.9 125.2 125.5
Bujur (BT)
-9
-8.7
-8.4
-8.1
Lint
ang
(LS)
-5000
-4000
-3000
-2000
-1000
-500
-300
-100
-50
0
P. ALOR
Keterangan :
Physeter macrocephalus
Physeter macrocephalus
Pseudorca crassidens
Stenella longirostris
Multispecies cetacean
Kedalaman (m)
77
Dari Gambar 5-1 terlihat bahwa Physeter macrocephalus memiliki preferensi
terhadap perairan yang kedalamannya > 1000 m. Hal ini sesuai dengan deskripsi habitat
utama Physeter macrocephalus yang menyukai perairan dalam (Taylor et al. 2002).
Gambar 5-1 juga menunjukkan bahwa sebaran perjumpaan spesies cetacea lainnya
terdapat di perairan yang kedalaman dasarnya < 1000 m, atau di wilayah perbatasan
paparan benua (continental shelf break). Berdasarkan karakteristik ekologi mangsa, ada
pembagian relung (niche) antara Stenella longirostris dan Pseudorca crassidens karena
mereka mengalami peristiwa yang dinamakan resource partitioning. Mekanisme
resource partitioning ini teramati dengan sangat jelas terutama pada pelayaran
INSTANT 1, antara Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, dan Orcinus orca,
yang pada Minggu/4 Januari 2004, terlihat melakukan kolaborasi foraging,
mengarahkan dan memangsa schooling ikan pelagis di sepanjang aliran front. Pada hari
tersebut, pukul 6.10 WITA pod Stenella longirostris terdeteksi melakukan aktivitas
berenang cepat ke arah timur, yang selanjutnya dipastikan merupakan aktivitas foraging
berdasarkan kehadiran pod spesies cetacea lainnya, yaitu Pseudorca crassidens. Secara
kebetulan, kegiatan pelayaran INSTANT pada hari itu juga difokuskan di bagian tengah
perairan Selat untuk menenggelamkan mooring oseanografi, sehingga komunitas
cetacea yang terdeteksi dapat terus teramati. Pada pukul 6:55 WITA, terlihat komunitas
cetacea telah memiliki ukuran pod yang masif (>300 individu) dan mulai melakukan
aktivitas makan yang menunjukkan interaksi sosial antar individu dan spesies cetacea.
Kegiatan makan yang dilakukan komunitas cetacea ditetapkan berakhir pada pukul
7:45-8:10 WITA, ketika komunitas multispesies tersebut terbagi menjadi tiga pod, dua
pod besar (masing-masing terdiri dari >100 individu) dan satu pod kecil berukuran 3
individu, yang ternyata masing-masing mewakili spesies yang terpisah.
Taylor et al. (2002) dan Marino (2004) menyatakan bahwa cetacea merupakan
kelompok hewan yang bersifat sosial dengan tingkat intelejensia tinggi, dan hasil
pengamatan komunitas cetacea di Selat Ombai membuktikan hal tersebut dengan
aktivitas kolaboratif pod cetacea yang berbeda spesies dalam upaya memperoleh
makanan di perairan pelagis. Benoit-Bird and Au (2003) mendeskripsikan aktivitas
foraging pod Stenella longirostris yang berupaya memangsa schooling ikan di wilayah
78
front terutama di lapisan perbatasan mesopelagis yang memiliki densitas mangsa tinggi.
Dengan demikian, tidak semua wilayah front menjadi habitat mencari makan cetacea,
karena Stenella longirostris memiliki kemampuan mendeteksi dan menelusuri dinamika
migrasi vertikal dan horizontal mangsanya di perairan pelagis. Embling et al. (2005)
mendapati korelasi 39% antara sebaran tiga spesies cetacea dengan sebaran ikan herring
di perairan barat Skotlandia, karena hanya menggunakan faktor kedalaman sebagai
proxy keterkaitan antara sebaran apex predator cetacea dan mangsanya. Hasil yang
berbeda juga diperoleh Tynan et al. (2005) yang mendapati korelasi tinggi (44.5-94.4%)
untuk sejumlah jenis cetacea yang ditemukan di perairan California Current System,
yang mana digunakan sedikitnya 16 proxies dengan penekanan variasi musiman
terhadap perjumpaan species cetacea di perairan tersebut.
5.2. Fitur lingkungan yang menjadi karakteristik habitat cetacea di perairan
Selat Ombai
Peliknya melakukan kajian langsung mengenai preferensi habitat makan
komunitas apex-predator cetacea sangat terkait dengan mobilitasnya yang tinggi dan
sulitnya mendapatkan data sebaran mangsa cetacea pada skala spasiotemporal yang
sama dengan hasil pengamatan visual cetacea, sehingga pada penelitian ini kajian
tersebut diarahkan pada beberapa fitur lingkungan yang menandai karakteristik habitat
makan, juga melalui pendekatan piramida makanan di ekosistem laut dengan fokus
komunitas fitoplankton dan zooplankton. Ballance et al. (2006) menuliskan bahwa
tahap pertama dalam mengkaji habitat cetacea adalah dengan mencatat pola sebaran dan
kelimpahan cetacea, kemudian mengaitkannya dengan pergerakan fitur oseanografi
permukaan dari wilayah kajian tersebut. Keberadaan mangsa di perairan pelagis tidak
bisa dilepaskan dari komunitas produsen yang menduduki jenjang trofik terendah, yang
pada penelitian ini dikaji memanfaatkan teknologi inderaja SeaWiFS.
Berdasarkan pencitraan muka laut oleh SeaWiFS, terdapat dua fitur lingkungan
yang kerap dijumpai di perairan Selat Ombai, yaitu thermal front (Gambar 2-1, 2-2) dan
eddies (Gambar 2-3 s/d 2-5) yang sangat umum terkait dengan wilayah perairan
produktif. Thermal front di perairan Selat Ombai dijumpai di sisi timur pulau Alor dan
sisi barat laut pulau Timor, yang merupakan wilayah masuknya Arlindo yang akan
79
menuju Samudera Hindia. Front dan eddies merupakan fenomena yang menyokong
kondisi upwelling di perairan (Sangra et al. 2001) serta memiliki keterkaitan erat
sebagai preferensi habitat cetacea (Doniol-Valcroze et al. 2007, Embling et al. 2004,
Tynan et al. 2005, Burtenshaw et al. 2004). Bost et al. (2009) dan Ballance et al. (2006)
menjelaskan bahwa apex predator cetacea memiliki preferensi terhadap front dan eddies
adalah sebagai habitat mencari makannya.
Sebaran kandungan klorofil-a permukaan di perairan Selat Ombai (Gambar 2-3
s/d 2-6) menunjukkan bahwa di perairan ini terdapat fenomena persistent upwelling,
sebagaimana juga diperoleh Moore and Marra (2002). Dinamika bulanan kondisi
persistent upwelling di Selat Ombai memiliki korelasi dengan variabilitas lapisan
termoklin (Gambar 3-2), lapisan termoklin yang dangkal lebih potensial memacu
peningkatan produktivitas primer perairan. Lapisan termoklin di Selat Ombai memiliki
batas bawah yang terdapat di kedalaman ca. 250 m.
Pembentukan front dan eddies, serta peningkatan kandungan klorofil-a permukaan
di Selat Ombai sangat dipengaruhi oleh sejumlah dinamika proses pergerakan massa air,
yaitu internal wave yang dipengaruhi pasang surut (Robertson and Ffield 2008, 2005),
percampuran vertikal (Atmadipoera et al. 2009), dan kondisi batimetri yang dipengaruhi
keberadaan sill (Molcard et al. 2001). Dengan demikian, perairan Selat Ombai juga
merupakan biological hot spots karena merupakan lokasi yang secara konsisten
memiliki kandungan klorofil-a permukaan tinggi dan keberadaan populasi apex predator
yang tinggi pula, yang sedikitnya diwakili oleh tiga spesies cetacea yaitu Stenella
longirostris, Pseudorca crassidens, dan Physeter macrocephalus.
Satu faktor lain yang memungkinkan agregasi apex-predator di laut adalah
biophysical coupling antara arus dan tingkah laku komunitas biotik yang hidup di
perairan tersebut (Genin 2004). Lebih lanjut lagi, Genin (2004) menguraikan bahwa ada
tiga mekanisme yang menjadi proses fundamental terhadap tingginya produksi
fitoplankton dan zooplankton di wilayah tersebut, yaitu (1) hambatan topografi yang
menghalangi proses migrasi ke lapisan bawah, yang sangat efektif bila berlangsung pagi
hari; (2) akumulasi komunitas zooplankton/mikronekton yang mempertahankan
posisinya di kedalaman tertentu (isovolume) terhadap proses upwelling, dan; (3)
akumulasi komunitas zooplankton/mikronekton yang mempertahankan posisinya di
80
kedalaman tertentu (isovolume) terhadap proses downwelling. Khusus untuk perairan
Selat Ombai, Atmadipoera et al. (2009) dan Wisudawati (2006) mendapati adanya dua
sisi perairan yang masing-masing mengalami proses kontradiktif, yaitu upwelling di
selatan Pulau Alor dan downwelling di timur Pulau Alor. Dengan demikian sangat
potensial menyokong retensi agregasi komunitas plankton di Selat Ombai, selain
merujuk pada keberadaan dan peran ekologis dan sejumlah fitur khas oseanografi lain
seperti internal wave, front, dan eddies.
Profil lapisan hambur balik akustik menunjukkan adanya patchiness atau sebaran
spasio-temporal mikrostruktur biomassa akustik pada kedalaman di atas 250 m sampai
ke dekat permukaan pada waktu menjelang malam (ca. 17:00 dan 5:00 WITA). Dengan
demikian, sangat mungkin mikrostruktur tersebut berasosiasi dengan fenomena migrasi
vertikal harian oleh komunitas zooplankton dan mikronekton. Sangat sulit untuk
mengaitkan secara langsung komunitas zooplankton/mikronekton hasil pencitraan data
akustik ADCP dengan apex predator cetacea yang dijumpai di perairan Selat Ombai.
Pertama, terkait dengan mangsa cetacea yang berupa komunitas nekton pelagis yang
umumnya tidak menunjukkan tingkah laku migrasi vertikal harian seperti yang
diperoleh. Kedua, posisi ADCP yang upward tidak berhasil memperoleh informasi
keberadaan lapisan HBA sekunder seperti yang dijumpai Kaltenberg (2004), yang
merupakan indikasi habitat foraging Physeter macrocephalus.
Terkait dengan mangsa Stenella longirostris, Benoit-Bird and Au (2003)
menghasilkan kajian yang terstruktur dalam memahami dinamika foraging cetacea
tersebut di perairan Hawaii serta bagaiman pola migrasi komunitas biomassa akustik
yang juga disebut sebagai komunitas perbatasan mesopelagis berdasarkan data ADCP
(Benoit-Bird and Au 2004). Kajian Benoit-Bird and Au mendapati bahwa lokasi dan
periode cetacea melakukan foraging sangat terkait dengan dinamika migrasi mangsa
yang umumnya terperangkap di lapisan front. Migrasi tersebut tidak hanya bersifat
vertikal melainkan juga horizontal, berdasarkan jarak terhadap pantai. Di siang hari,
cetacea umum forage di sisi luar front yang dekat dengan continental shelf break,
sedangkan di malam hari lokasi forage bergeser ke arah perairan dangkal, mengikuti
migrasi vertikal komunitas perbatasan mesopelagis yang bergerak menuju permukaan di
wilayah dekat pantai
81
5.3. Implikasi hasil penelitian terhadap konservasi cetacea
Cetacea merupakan salah satu flagship species dalam upaya konservasi bahari.
Selain itu, secara biologi komunitas cetacea tergolong tipe makhluk hidup yang
memerlukan waktu lama untuk mencapai usia matang reproduktif, memelihara fetus,
dan calf sampai masa penyapihan, sehingga sampai saat ini sedikitnya ada enam spesies
cetacea yang populasinya terancam dan rentan terhadap kepunahan (IUCN 2009). Ada
lima tipe ancaman terhadap kelestarian populasi cetacea sebagaimana disarikan oleh
Prideaux (2003), yaitu (1) Kegiatan perikanan tangkap, kemungkinan tertangkap
sebagai bycatch; (2) Polusi kimiawi, terutama persistent organic pollutants seperti DDT
dan PCB; (3) Pelayaran (strikes, noise, disturbance, harassments); (4) Hilangnya dan
degradasi habitat; dan (5) Perburuan. Sebagian besar ancaman tersebut sangat sulit
untuk dimonitor status dan kondisinya di alam, sehingga pendekatan konservasi
berbasis habitat sering diterapkan selain penetapan status konservasi spesies.
Hoyt (2005) mendefinisikan habitat kritis bagi cetacea sebagai bagian dari
wilayah jelajah cetacea yang sangat penting dalam membantu hewan tersebut bertahan
hidup sehari-hari dan mempertahankan laju pertumbuhan populasi yang sehat. Sebagai
konsekuensinya, wilayah yang digunakan cetacea untuk berburu makanan (foraging
habitat), memijah, membesarkan calf, dan koridor migrasi, akan berperan sebagai
habitat kritis cetacea; terlebih lagi jika wilayah tersebut dimanfaatkan secara berkala
oleh lebih dari satu jenis cetacea. Dari Gambar 5-1 dapat dilihat bahwa pada musim
barat (Pelayaran INSTANT I), aktivitas makan dan foraging yang dilakukan oleh
seluruh spesies cetacea lebih terkonsentrasi di shelf break selatan Pulau Alor, sedangkan
pada musim tenggara (Pelayaran INSTANT II) konsentrasi wilayah tersebut terbagi di
beberapa lokasi, yaitu shelf break tenggara Alor (Stenella longirostris), shelf break
timur Alor (Pseudorca crassidens) dan perairan jeluk (2000-3000 m) di bagian tengah
Selat Ombai (Physeter macrocephalus). Hal tersebut semakin dikuatkan oleh hasil
analisis korespondensi (Gambar 4-8b), yang menunjukkan bahwa ada preferensi
wilayah yang berbeda di perairan Selat Ombai untuk bulan Januari maupun Juni-Juli.
82
Konsistensi perjumpaan sejumlah spesies cetacea yang tergolong apex predator,
tingkah laku komunitas cetacea, serta variabilitas faktor suhu dan klorofil-a,
menunjukkan bahwa perairan Selat Ombai berperan sebagai habitat kritis cetacea.
Walaupun hubungan antara cetacea dengan parameter biofisik lingkungan yang
menjabarkan kondisi habitat tersebut tidak dapat dikaitkan secara langsung, namun
dinamikanya yang selaras dengan alih energi dari jenjang trofik rendah sampai ke
puncak dapat menjadi landasan dalam memahami relung ekologi cetacea di Selat
Ombai. Dasar pemahaman yang sama diterapkan oleh Embling et al. (2005) terhadap
komunitas cetacea di perairan barat Skotlandia serta dilengkapi dengan pendataan
komunitas nekton yang dipredasi cetacea dan pemodelan Generalized Additive Model
untuk mengetahui kontribusi masing-masing faktor lingkungan yang dikaji.
Analisis korespondensi yang digunakan pada penelitian ini (Gambar 4-8)
menunjukkan bahwa komunitas cetacea, yang sedikitnya terdiri atas tiga populasi yang
berbeda, memiliki keterkaitan yang erat dengan wilayah perairan Selat Ombai yang
terletak di sisi tenggara Pulau Alor (125° BT) dan selatan Pulau Alor (8°24' – 8°30' LS;
124° BT). Pada akhirnya, ada baiknya apabila penghapusan wilayah ini dari Kawasan
Konservasi Perlindungan Nasional Laut Sawu (DKP 2009) dipertimbangkan kembali
dan perairan Selat Ombai tetap ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi atau
sebagai kawasan pemanfaatan terbatas. Dengan demikian, masih ada legalitas formal
yang berwawasan lingkungan yang memungkinkan masyarakat Lamalera
mengeksploitasi cetacea secara tradisional, sekaligus meminimalkan ancaman akibat
kegiatan ekstraktif atau ancaman lingkungan lainnya.
83
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Beberapa simpulan yang dihasilkan dari penelitian yang diramu dalam tesis ini
disampaikan sebagai berikut:
(1) Komunitas cetacea yang dijumpai di perairan Selat Ombai tergolong sebagai apex
predator, dengan tiga spesies dijumpai secara konsisten pada tiap survei pelayaran
INSTANT yaitu Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, dan Physeter
macrocephalus.
(2) Set data SeaWiFS yang digunakan mampu mendeteksi thermal front dan pusaran
(microscale eddies), yang merupakan fitur oseanografi penting dalam proses produksi
komunitas plankton dan bioenergetika antar jenjang trofik yang menyokong interaksi
predator-mangsa untuk komunitas apex predator cetacea..
(3) Set data mooring oseanografi menunjukkan dinamika lapisan termoklin yang yang
menyokong suplai nutrien secara kontinu dan kondisi persistent upwelling, serta profil
produktivitas sekunder yang bervariasi terhadap kedalaman dan adanya agregasi-
agregasi populasi zooplankton/mikronekton berdensitas tinggi yang mengindikasikan
mikrostruktur habitat pelagis.
(4) Keberadaan komunitas cetacea di perairan Selat Ombai menunjukkan korespondensi
yang kuat terhadap wilayah perairan tenggara dan selatan Pulau Alor, baik di bulan
Januari 2004 maupun Juni-Juli 2005. Ditambah dengan informasi keberadaan calf serta
catatan tingkah laku foraging dan makan menunjukkan bahwa perairan Selat Ombai
secara nyata berperan sebagai habitat kritis cetacea.
84
6.2. Saran
Beberapa saran yang dapat dilakukan untuk perbaikan penelitian sejenis di masa
mendatang adalah:
(1) Perlu diterapkan tools lain seperti inderaja satelit JASON dan ADCP berfrekuensi rendah
disarankan untuk dapat menelaah pengaruh parameter biofisik perairan lainnya, seperti
tinggi muka laut dan keberadaan lapisan hambur balik sekunder. Dengan demikian,
parameter lingkungan lain yang mencirikan suatu perairan pelagis sebagai habitat cetacea
dapat lebih dipahami secara komprehensif.
(2) Perlu dilakukan pengambilan contoh in situ terhadap komunitas produsen, grazers, dan
nekton pelagis mangsa cetacea, untuk mengetahui secara rinci komponen pengisi jenjang
trofik rendah di ekosistem pelagis perairan Selat Ombai.
(3) Adanya dinamika percampuran massa air secara vertikal yang intensif memerlukan kajian
yang lebih intensif untuk memungkinkan pemahaman ekologi komunitas plankton, baik
fitoplankton maupun zooplankton, terutama terkait struktur habitat mikropelagis sehingga
dinamika spasial dan temporal komunitas tersebut dapat lebih dipahami dalam kaitannya
terhadap komunitas apex predator.
85
DAFTAR PUSTAKA
Allen MC and A Read. 2000. Habitat selection of foraging bottlenose dolphins in
relation to boat density near Clearwater, Florida. Mar Mamm Sc 16:815-824. Anonimous. 2003. Marine Mammal Survey Techniques. Jakarta, Januari 2003.
Convention on Migratory Species, World Wildlife Fund, and Ministry of Fisheries and Marine Affairs.
Arrigo KR, D Worthen, A Schnell, and MP Lizotte. 1998. Primary production in Southern Ocean waters. Journal of Geophysical Research 103: 587-600.
Atmadipoera AS, R Molcard, G Mardec, S Wijffels, J Sprintall, A Koch-Larrouy, I Jaya, and A Supangat. 2009. Characteristics and variability of the Indonesian throughflow water at the outflow straits. Deep-Sea esearch I 56(2009)1942-1954. doi:10.1016/j.dsr.2009.06.004
Balance LT, RL Pitman, and PC Fiedler. 2006. Oceanographic influences on seabirds and cetaceans of the eastern tropical Pacific: A review. Progress in Oceanography 69 (2006) 360-390. doi:10.1016/j.pocean.2006.03.013
Barnes RH. 1996. Sea hunters of Indonesia, fishers and weavers of Lamalera. Clarendon Press.
Bearzi G. 1994. Behavioural states: terminology and definitions. In: Proceedings of the workshop "Methods fro the study of bottlenose dolphins in the wild". 8th annual meeting of the European Cetacean Society. Montpellier, 3 March 1994. GN di Sciara, PGH Evans, and E Politi (Eds.). ECS Newsletter No.23
Beasley I, KM Robertson, and PW Arnold. 2005. Description of a new dolphin, the Australian Snubfin Dolphin Orcaella heinshoni sp n (Cetacea, Delphinidae). Marine Mammal Science 21 (3): 365-400.
Begon M, CR Townsend, and JL Harper. 2006. Ecology: from individuals to ecosystems. 4th edition. Oxford, Blackwell Publ. 738 pp.
Bengen DG. 2000. Sinopsis teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Benoit-Bird KJ and WWL Au. 2003. Prey dynamics affect foraging by a pelagic predator (Stenella longirostris) over a range of spatial and temporal scales. Behav Ecol Sociobiol (2003) 53:364-373. DOI 10.1007/s00265-003-0585-4
Berman MS, JR Green, DV Holliday and CF Greenlaw. 2002. Acoustic determination of the fine-scale distribution of zooplankton on Georges Bank. Mar. Ecol. Prog. Ser. 220:59-72
Biktashev VN and J Brindley. 2003. Phytoplankton blooms and fish recruitment rate: Effects of spatial distribution. Pre-print version submitted to Elsevier Science.
Bost CA, C Cotte, F Bailleul, Y Cherel, JB Charrassin, C Guinet, DG Ainley, and H Weimerskirch. 2009. The importance of oceanographic fronts to marine birds and mammals. Journal of Marine Systems 78 (2009): 363-376. doi:10.1016/j.jmarsys. 2008.11.022
86
Brown CW and HE Winn. 1989. Relationship between the distribution pattern of right whales, Eubalaena glacialis, and satellite-derived sea surface thermal structure in the Great South Channel. Continental Shelf Research 9 (3): 247-260.
Burchard H, K Bolding, TP Rippeth, A Stips, JH Simpson, and J Sundermann. 2002. Microstructure of turbulence in the northern North Sea: a comparative study of observations and model simulations. Journal of Sea Research 47 (2002): 223-238
Burtenshaw JC, EM Oleson, JA Hildebrand, MA McDonald, RK Andrew, BM Howe, and JA Mercer. 2004. Acoustic and satellite remote sensing of blue whale seasonality and habitat in the Northeast Pacific. Deep-Sea Research II 51 (2004) 967-986. doi:10.1016/j.dsr2.2004.06.020
Carwardine M. 1995. Smithsonians handbooks: Whales, dolphins, and porpoises. Dorling Kindersley Publ. Inc. New York. 256 pp.
Clark CW and DA Levy. 1988. Diel vertical migrations by juvenile sockeye salmon and the antipredation window. American Naturalists 161 (2):271-290.
Cresswell G, M Purba, and SI Sachoemar. 1997. Application of remote sensing and oceanographic assessment in fisheries development. Report on short program of collaborative research. CSIRO, BPPT, and IPB.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 38/MEN/2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta: DKP.
Dagg MJ, H Liu, and AC Thomas. 2006 Effects of mesoscale phytoplankton variability on the copepods Neocalanus flemingeri and N. plumchrus in the coastal Gulf of Alaska. Deep-Sea Research I 53 (2006) 321-332. doi:10.1016/j.dsr.2005.09.013
Dalebout ML, JG Mead, C Scott, AN Baker, and AN van Helden. 2002. A new species of beaked whale, Mesoplodon perrini sp n (Cetacea, Ziphiidae) discovered through phylogenic analysis of mitochondrial DNA sequence. Marine Mammal Science 18 (3): 577-608.
Davis RW, GS Fargon, N May, TD Leming, M Baumgartner, WE Evans, LJ Hansen, and K Mullin. 1998. Physical habitat of cetaceas along the continental slope in the north-central and western gulf of Mexico. Mar Mamm Sc 14 (3): 490-507.
Davis RW, JG Ortega-Ortiza, CA Ribic, WE Evans, DC Biggs, PH Ressler, RB Cady, RR Lebend, KD Mullin, B Wursig. 2002. Cetacean habitat in the northern oceanic Gulf of Mexico. Deep-Sea Research I 49 (2002) 121-142.
di Sciara GN. 1994. Determination of group size. In: Proceedings of the workshop "Methods fro the study of bottlenose dolphins in the wild". 8th annual meeting of the European Cetacean Society. Montpellier, 3 March 1994. GN di Sciara, PGH Evans, and E Politi (Eds.). ECS Newsletter No.23
Doniol-Valcroze T, D Berteaux, P Larouche, and R Sears. 2007. Influence of thermal fronts on habitat selection by four rorqual whale species in the Gulf of St. Lawrence. Mar Ecol Prog Ser Vol 335: 207-216.
Embling CB, PG Hernandes, PS Hammond, E Armstrong, and J Gordon. 2005 Investigations into the relationship between pelagic fish and dolphin distributions off the west coast of Scotland. ICES CM2005; 15 pp.
87
Genin A. 2004. Bio-physical coupling in the formation of zooplankton and fish aggregations over abrupt topographies. Journal of Marine Systems 50: 3-20. doi:10.1016/j.jmarsys.2003.10.008
Gordon AL. 2001. Inter-ocean exchange. In: Ocean circulation and climate. G Siedler, J Church, and J Gould (Eds.). Academic Press. 303-314 pp.
Greene CH and PH Wiebe. 1990. Bioacoustical Oceanography: New Tools for Zooplankton and Micronekton Research in The 1990s. Oceanography: April 1990
Gustamila M. 2006. Variasi harian, bulanan, dan musiman acoustic volume backscattering strength (SV) di Selat Lombok. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor. [Skripsi, tidak dipublikasikan]
Hammond PS, P Berggren, H Benke, DL Borchers, A Collet, MP Heide-Jorgensen, S Heimlich, AR Hilby, MF Leopold, and N Oien. 2002. Abundance of harbor porpoises and other cetaceans in the North Sea and adjacent waters. Journal of Applied Ecology 39: 361-376.
Hastie GD, B Wilson, LJ Wilson, KM Parsons, and PM Thompson. 2004. Functional mechanisms underlying cetacean distribution patterns: hotspots for bottlenose dolphins are linked to foraging. Marine Biology (2004) 144: 397-403. DOI 10.1007/s00227-003-1195-4
Hays GC. 2003. A review of the adaptive significance and ecosystem consequences of zooplankton diel vertical migrations. Hydrobiologia 503: 163-170.
Hendiarti N. 2003: Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany.
Holliday DV, CF Greenlaw, and PL Donaghay. 2010. Acoustic scattering in the coastal ocean at Monterey Bay, CA, USA: Fine-scale vertical structures. Continental Shelf Research 30 (2010): 81-103. doi:10.1016/j.csr.2009.08.019
Hoyt E. 2005. Marine Protected Areas for Whales, Dolphins and Porpoises: A worldwide handbook for cetacean habitat conservation. Earthscan, 516pp.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2009. IUCN red list of threatened species. http://www.iucnredlist.org/ (observed 15 June 2009)
Jeffferson TA, S Leatherwood, and MA Webber. 1993. FAO species identification guide-marine mammals of the world. The Expert center for Taxonomic Identification (ETI). University of Amsterdam.
Kahn B, Y James, and J Pet. 2000. Komodo National Park cetacea surveys. A rapid ecological assessment of cetacea diversity, abundance & distribution. The Nature Conservancy and APEX. 30 pp.
Kahn B. 2001. Komodo National Park cetacea surveys. A rapid ecological assessment of cetacea diversity, abundance & distribution, monitoring report - April 2001. The Nature Conservancy and APEX. 39 pp.
Kaltenberg AM. 2004. 38-kHZ ADCP Investigation of Deep Scattering Layers in Sperm Whale Habitat in the Northern Gulf of Mexico. M.Sc Thesis. Major: Oceanography. Texas A&M University.
Kharisma RE. 2009. Perbandingan pola migrasi deep scattering layer di Selat Makassar dan Selat Lombok menggunakan nilai acoustic volume backscattering strength
88
hasil pengukuran ADCP. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor. [Skripsi, tidak dipublikasikan]
Lalli C and TR Parsons. 2000. Biological oceanography - an introduction. 2nd edition. Butterworth-Heinemann: 314 pp.
Lennert-Cody CE and PJS Franks. 1999. Plankton patchiness in high-frequency internal waves. Mar Ecol Prog Ser. 186: 59-66
Ludwig JA and JF Reynolds. 1988. Statistical ecology: a primer on methods and computing. John Wiley and Sons, Inc. xvii+329.
Mann KH and JRN Lazier. 2006. Dynamics of marine ecosystems: biological-physical interactions in the oceans. 3rd ed. Blackwell Publishing: 496 pp.
Martin AP. 2003. Phytoplankton patchiness: the role of lateral stirring and mixing. Progress in Oceanography 57 (2003): 125-174. doi:10.1016/S0079-6611(03)00085-5.
Miller CB. 2004. Biological oceanography. Blackwell publishing. ix+402 pp. Molcard R, M Fieux, and F Syamsudin. 2001. The throughflow within Ombai Strait.
Deep-Sea Research I 48: 1237-1253 Moore K and M Abbott 2000. Phytoplankton chlorophyll distributions and primary
production in the Southern Ocean. Journal of Geophysical Research, 105 (28): 709-722.
Moore SE, WA Watkins, MA Daher, JR Davies, and ME Dalheim. 2000. Blue whale habitat associations in the northwest Pacific: analyses of remotely-sensed data using Geographic Information System. Oceanography 15 (3), 20-25.
Moore TS and J Marra. 2002. Satellite observations of bloom events in the Strait of Ombai: Relationships to monsoons and ENSO. Geochem Geophys Geosyst 3 (2). doi: 10.1029/2001GC00174.
Nonti A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. 368 hal. Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. P2O-LIPI.
Jakarta. iii + 240 h. Palacios DM,SJ Bograd, DG Foley, and FB Schwing. 2006. Oceanographic
characteristics of biological hot spots in the North Pacific: A remote sensing perspective. Deep-Sea Research II 53 (2006) 250-269. doi:10.1016/j.dsr2.2006.03.004
Pena WPR. 2006. Characterizing zooplankton and micronekton diel vertical migration at the Western Puerto Rican shelf/slope break.MSc Thesis. University of Puerto Rico.
Perrin WF, BG Wursig, JGM Thewissen. 2002. Encyclopedia of marine mammals. Academic Press. 1414 pp.
Pershing AJ, PH Wiebe, JP Manning, NJ Copley. 2001. Evidence for vertical circulation cells in the well-mixed area of Georges Bank and their biological implications. Deep-Sea Research II 48 (2001) 283-310.
Purba M, INMN Natih, dan AS Atmadipoera. 1994. Keterkaitan sifat-sifat oseanografi dengan sifat-sifat biologis sebagai akibat proses upwelling di perairan selatan Jawa Barat. Laporan penelitian. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
89
Record NR and B de Young. 2006. Patterns of diel vertical migration of zooplankton acoustic Doppler velocity and backscatter data on the Newfoundland Shelf. Can. J. Fish Aquat. Sci.: 63: 2708-2721.
Robertson R and A Ffield 2008: Baroclinic tides in the Indonesian Seas. Part 2: Interactions between tidal constituents, energy fluxes, and tidal mixing with a focus on Ombai Strait, doi:10.1029/2007JC004677.
Robertson R and A Ffield. 2005. M2 Baroclinic tides in the Indonesian Seas. Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.
Robertson R. pers. comm. 2008. Tidal effects on circulation and mixing in the Ombai Strait. [article in press, sent 20 November 2008]
Rudolph P, C Smeenk, and S Leatherwood. 1997. Preliminary checklist of Cetacea in the Indonesian Archipelago and adjacent waters. Leiden: Nationaal Natuurhistorisch Museum.
Sangra P, G Basterretxea, JL Pelegri, and J Aristegui. 2001. Chlorophyll increase due to internal waves on the shelf break of Gran Canaria (Canary Islands). Sci. Mar. (Suppl. 1): 89-97
Santos MB, MR Clarke, and GJ Pierce. 2001. Assessing the importance of cephalopods in the diets of marine mammals and other top predators: problems and solutions. Fisheries Research 52: 121-139.
Scott MD, SJ Chivers. 1990. Distribution and herd structure of bottlenose dolphins in the Eastern Tropical Pacific Ocean. In: The Bottlenose Dolphin. (S. Leatherwood & R. R. Reeves, eds.). Academic Press, San Diego, CA. pp.387 - 402.
Siegel DA, AC Thomas, and J Marra. 2004. Views of ocean processes from the Sea-viewing Wide Field-of view Sensor mission: introduction to the first special issue. Journal of Deep-Sea Research II 51 (2004) 1-3. doi:10.1016/j.dsr2.2003.12.001
Sprintall J. pers. comm. 2007. Instant Workshop: Bogor, 5 Nopember 2007 Steele JH. 1989. The ocean 'landscape'. Landscape Ecology Vol. 3, No. 3, 185-192 pp. Syahria F. 2007. Penyebaran Beberapa Jenis Cetacean Subordo Odontoceti di Perairan
Laut Sawu Bagian Timur, Nusa Tenggara Timur. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor. [Skripsi: tidak dipublikasikan]
Taylor L, M Carwardine, and E Hoyt (Eds). 2002. The nature companions sharks and whales. Fog city press.
Tomascik T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The ecology of the Indonesian seas, part 2. Periplus editions.
Tont SA. 1975. Deep scattering layers: patterns in the pacific. Reports volume XVIII, 1 Juli 1973 to 30 June 1975. California Cooperative Oceanic Fisheries Investigations
Trevorrow M. 2005. The use of moored inverted echo sounders for monitoring mesozooplankton and fish near the ocean surface. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 62: 1004-1018
Tynan CT, DG Ainley, JA Barth, TJ Cowles, SD Pierce, and LB Spear. 2005. Cetacean distribution relative to ocean processes in the northern California Current System. Deep-Sea Research II: 145-167.
90
van Haren H. 2009. Using high sampling-rate ADCP for observing vigorous processes above sloping [deep] ocean bottoms. Journal of Marine Systems 77 (2009) 418-427. doi:10.1016/j.jmarsys.2008.10.012
Viale D. 1985. Cetacea in the Northwestern Mediterranean: their place in ecosystem. In: Oceanography and Marine Biology: an annual review - volume 23. M Barnes (Ed). Aberdeen University Press. 491-571pp.
Wada S, M Oishi, and TK Yamada. 2003. A newly discovered species of living baleen whales. Nature 426: 278-281.
Weir CR and SH O'Brien. 2000. Association of the harbour porpoise (Phocoena phocoena) with the western Irish Sea front. European Research on Cetaceas - 14. Proceedings on the 14th conference of European cetacea society. Cork, Ireland, 2-5 April 2000: 61-65.
Wisudawati D. 2006. Deteksi sebaran kopepoda dengan ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) di Selat Ombai, Timor. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor. [Skripsi, tidak dipublikasikan]
Worm B, HK Lotze, and RA Myers. 2003. Predator diversity hotspots in the blue ocean. PNAS 2003;100;9884-9888. doi:10.1073/pnas.1333941100
Wyrtki K. 1962. The upwelling in the region between Java and Australia during the south east monsoon. Aust Jour of Mar and Fresh Res 13 (3): 217-225.
Yen PPW, WJ Sydeman, and KD Hyrenbach. 2003. Marine bird and cetacea associations with bathymetric habitats and shallow water topographies: implications for trophic transfer and conservation. J of Mar Sys 50: 79-99
Zhou M, ME Huntley, and TM Powell. 1997. Measuring the influence of animals on turbulence in the sea. Final Report.
91
92
Lampiran 1. Lembar data pengamatan cetacea Marine Mammals Visual Assessment
Location: Platform for observation:
Observer:
Height of observation:
Environmental data
Date
Time Position Sighting object
No. of individu
Beha-viour
Asc. Wildlife Photo Sea
state Wind Water Visi-
bility Swell height
Cloud cover
Precipitati
on Start Finish Lat Lon force
(BS) direc-tion Depth Temp.
93
Lampiran 2a. Hasil survei visual cetacea pada Pelayaran INSTANT Desember 2003-Januari 2004
Marine Mammals Visual Assessment 1
Location: Savu Sea and adjacent waters
Vessel based observation (Baruna Jaya 8)
Observer: Adriani Sunuddin
Height of observation: 10-20 m
Date Time (GMT) Position Sighting object
No. of animals Behaviour Asc.
Wildlife Photo Start Finish Lat Lon
28.12.2003 0:30 0:52 9° 04.65 S 119° 49.33 E dolphins 12-20 feeding, playing, jumping out of water
birds x
9:55 10:00 9° 39.87 S 120° 48.14 E dolphins
travelling fast - x
22:45 22:50
dolphins 10 travelling in medium
speed - -
29.12.2003 9:49 9:55 10° 52.45 S 120° 38.73 E dolphins 2-4 jumping out of water; travelling fast
- -
02.01.2004 21:35 21:50 8° 24.29 S 120° 05.36 E dolphins 70-130 travelling fast to east - x
22:05 22:15 8° 24.38 S 120° 00.48 E dolphins 50-70 travelling fast to south - x
22:20 22:30 8° 24.74 S 120° 07.12 E whales
3 (blowholes) resting, feeding (?) - x
22:40 23:29 8° 24.60 S 120° 05.19 E dolphins ~300 feeding, erratic,
jumping out of water birds x
22:24 22:58 8° 24.11 S 120° 05.80 E whales 10-20 milling in the same area, travelling slowly to east
- ?
03.01.2004 21:20 21:40 8° 23.97 S 125° 05.13 E whales 3-5 resting, breaching - -
22:10 23:45 8° 24.55 S 125° 00.50 E dolphins ~300 travelling fast, feeding
- erratic (starts at 22:25); travelling slowly to east (23:45)
birds x
04.01.2004 00:10
8° 24.55 S 125° 00.50 E dolphins ~300 the big pod was split
into 3 smaller pods - -
1330 m
03:30 03:32 8° 24.96 S 125° 00.17 E whale 1 tall blowhole, diving - -
04:00 04:03 8° 24 S 125° 00 E whales 2 blowhole, diving - x
94
Lampiran 2b. Hasil survei visual cetacea pada Pelayaran INSTANT Juni-Juli 2005
Marine Mammals Visual Assessment 2
Note:
Location: Ombai Strait
Vessel based observation (Baruna Jaya 8)
Observer: Adriani Sunuddin
Height of observation: 10-20 m
Date Sighting object Start Finish No. of
animals Lat/Lon Behavior
30.6.2005 Lumba-lumba 7:20 50 8° 25', 125° 14' Berenang dengan kecepatan sedang ke barat Physeter macrocephalus 10:47 1 8° 26', 125° 13' Berenang perlahan ke barat Physeter macrocephalus 12:07 1 8° 29', 125° 04' Berenang di sekitar kapal
Stenella longirostris 150 Bowriding (berenang di sepanjang jalur kapal), melompat
Physeter macrocephalus 17:02 2 8° 19', 125° 14' Menjaga anak 1.7.2005 Lumba-lumba 7:00 50 8° 21', 125° 12' Berenang cepat ke barat Pseudorca crassidens 8:40 8:45 200 8° 22', 124° 59' Makan Paus 14:39 1 8° 31', 125° 04' Berenang, menyelam Physeter macrocephalus 15:18 2 8° 32', 125° 02' Bermain di sekitar ADCP yang terapung 2.7.2005 Lumba-lumba 14:59 50 8° 26', 125° 01' Berenang di sisi kapal Physeter macrocephalus 15:03 1 8° 25', 125° 00' Berenang, menyelam Pseudorca crassidens 16:50 17:30 100 posisi mooring
Ombai 2 (Timor) Berenang cepat
3.7.2005 Lumba-lumba 10:54 20 8° 18', 125° 10' Berenang cepat 4.7.2005 Stenella longirostris 16:06 50 8° 19', 125° 10' Bermain, makan, lompat, terkonsentrasi di
sepanjang aliran front
Kogia simus 17:50 20 DDD (Setelah penenggelaman mooring Ombai 2)
Berenang perlahan
95
Lampiran 3. Skala Beaufort
Skala Beaufort merupakan salah satu cara mengukur parameter kondisi lingkungan laut yang umum digunakan saat pelayaran dan pendugaan visual komunitas cetacea. Parameter dalam menetapkan Skala Beaufort didasari pada kondisi gelombang, penutupan awan, dan kondisi permukaan laut.
Skala Beaufort
Keterangan Kondisi permukaan laut (kecepatan angin –dalam knots)
0 Calm Mirror (< 1) 1 Very light breeze Ripples with the appearance of scales, no foam crests
2 Light breeze Wavelets, small but pronounced. Crests with glassy appearance but they don’t break (4-6)
3 Gentle breeze Large wavelets, crests begin to break. Glassy looking foam, occasional white horses (7-10)
4 Moderate breeze Small waves becoming longer, frequent white horses (11-16)
5 Fresh breeze Moderate waves of pronounced long form. Many white horses, some spray (17-21)
6 Strong breeze Some large waves, extensive white foam crests, some spray (22-27)
7 Near gale Sea heaped up, white foam from breaking waves blowing in streaks with the wind (28-33)
Swell scale
Scale Swell Wavelength Height 0 No swell <2 m 1 Low swell Short or average <2 m 2 Low swell Long 2-4 m 3 Moderate swell Short 2-4 m 4 Moderate swell Average 2-4 m 5 Moderate swell Long >4 m 6 Heavy swell Short >4 m
7 Heavy swell Average >4 m
8 Heavy swell Long >4 m
9 Confused swell Pronounced swells from 1+ direction
96
Lampiran 4. Nilai klorofil-a permukaan di perairan Selat Ombai.
Bulan-Tahun Rata-rata nilai klorofil-a (mg/m3)
Nilai klorofil-a maksimum (mg/m3)
Desember 2003 0.26 0.74
Januari 2004 0.16 0.67
Februari 2004 0.35 1.65
Maret 2004 0.38 1.37
April 2004 0.15 0.59
Mei 2004 0.13 0.46
Juni 2004 0.21 0.83
Juli 2004 0.29 0.81
Agustus 2004 0.37 1.65
September 2004 0.23 1.09
Oktober 2004 0.25 1.33
Nopember 2004 0.19 2.50
Desember 2004 0.35 1.00
Januari 2005 0.24 1.80
Februari 2005 0.24 1.16
Maret 2005 0.23 0.66
April 2005 0.28 0.86
Mei 2005 0.18 1.43
Juni 2005 0.24 1.02
Juli 2005 0.26 0.96
97
Lampiran 5. Rangkaian alat pada mooring oseanografi Selat Ombai.
98
Lampiran 6. Tabel kisaran suhu (dalam °C) pada kedalaman 100 m, 125 m, 170 m, 240m, 350 m, 450 m, 700 m dan 1000 m hasil perekaman sensor suhu di mooring perairan Selat Ombai selama 1 tahun (Januari – Desember 2004).
99
Lampiran 7. Spesifikasi ADCP workhorse long ranger 75-kHz (www.rdinstrument.com).
100
Lampiran 8a. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil perekaman ADCP bim ke-1.
101
Lampiran 8b. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil perekaman ADCP bim ke-2.
102
Lampiran 8c. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil perekaman ADCP bim ke-3.
103
Lampiran 8d. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil perekaman ADCP bim ke-4.
104
Lampiran 9. Spesifikasi Kapal Riset Baruna Jaya 8
1. Nama kapal: Kapal Riset Baruna Jaya VIII
2. Ukuran pokok
a. Panjang total: b. Lebar: c. Tinggi (main deck): d. Tinggi (shelter deck) e. Tinggi (forecastle deck):
53.20 m 12.50 m 4.70 m 7.10 m 9.50 m
3. Kecepatan jelajah: 12.5 knot, rata-rata 10 knot
4. Peralatan riset onboard: Scientific echosounder Echo integrator BI500 Sonar SD 570 Trawl Echosounder EA500, dual frequency Navigation computer RDN50 Navigation sounder EQ50 Speed log NL Data management system MDM300 Multibeam Echosounder95 (EM1000) GPS receiver RS5400
5. Peralatan pendukung: Air compressor Peralatan Selam SCUBA Gravitymeter CTD system Coring equipment Seismic equipment Hull mounted ADCP Microflow analysis system
6. Bobot mati: 346.40 ton
7. Instansi pemilik: Pusat Penelitian Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
105
Lampiran 10. Akar cirri dan representasi ragam dari masing-masing variabel
Kode Variabel spasio-
temporal
Nilai singular
dekomposisi Nilai eigen
Kontribusi relatif
Kontribusi mutlak
Jarak chi-square
1 Ja Jan-04 0,626185 0,392107 39,21071 39,2107 798,4341 2 Jn Jun-05 0,436426 0,190468 19,04679 58,2575 387,8432 3 Jl Jul-05 0,314162 0,098698 9,86978 68,1273 200,9749 4 L1 Lat 8°19' 0,273064 0,074564 7,45642 75,5837 151,8325 5 L2 Lat 8°20' 0,227725 0,051859 5,18589 80,7696 105,5985 6 L3 Lat 8°21' 0,211487 0,044727 4,47268 85,2423 91,0756 7 L4 Lat 8°22' 0,204907 0,041987 4,19870 89,4410 85,4967 8 L5 Lat 8°23' 0,173952 0,030259 3,02592 92,4669 61,6157 9 L6 Lat 8°24' 0,156713 0,024559 2,45590 94,9228 50,0085 10 L7 Lat 8°25' 0,126201 0,015927 1,59266 96,5154 32,4308 11 L8 Lat 8°26' 0,110250 0,012155 1,21550 97,7309 24,7509 12 L9 Lat 8°27' 0,092880 0,008627 0,86266 98,5936 17,5661 13 L10 Lat 8°28' 0,088801 0,007886 0,78857 99,3822 16,0573 14 L11 Lat 8°29' 0,051662 0,002669 0,26690 99,6491 5,4347 15 L12 Lat 8°30' 0,042692 0,001823 0,18226 99,8313 3,7114 16 L13 Lat 8°31' 0,032430 0,001052 0,10517 99,9365 2,1415 17 L14 Lat 8°32' 0,025200 0,000635 0,06350 100,0000 1,2931 18 B1 Lon 120° 0,000000 0,000000 0,00000 100,0000 0,0000 19 B2 Lon 121° 0,000000 0,000000 0,00000 100,0000 0,0000 20 B3 Lon 122° 0,000000 0,000000 0,00000 100,0000 0,0000 21 B4 Lon 123° 0,000000 0,000000 0,00000 100,0000 0,0000 22 B5 Lon 124° 0,000000 0,000000 0,00000 100,0000 0,0000 23 B6 Lon 125° 0,000000 0,000000 0,00000 100,0000 0,0000
106
Lampiran 11. Kontribusi masing-masing variabel terkorelasi terhadap sumbu/faktor utama
F1 F2 F3 Jan04:0 -0,016516 0,018501 -0,015051 Jan04:1 0,016516 -0,018501 0,015051 Jun05:0 -0,010833 0,023644 0,025496 Jun05:1 0,010833 -0,023644 -0,025496 Jul05:0 -0,018548 0,021248 0,020047 Jul05:1 0,018548 -0,021248 -0,020047 Lat819:0 -0,002603 0,022111 -0,047714 Lat819:1 0,002603 -0,022111 0,047714 Lat820:0 0,020348 0,008525 0,000531 Lat820:1 -0,020348 -0,008525 -0,000531 Lat821:0 0,019415 0,019528 -0,016463 Lat821:1 -0,019415 -0,019528 0,016463 Lat822:0 0,010693 0,016240 0,010937 Lat822:1 -0,010693 -0,016240 -0,010937 Lat823:0 0,012271 0,027507 0,004235 Lat823:1 -0,012271 -0,027507 -0,004235 Lat824:0 -0,004867 0,029186 -0,041473 Lat824:1 0,004867 -0,029186 0,041473 Lat825:0 0,011900 0,034633 0,001333 Lat825:1 -0,011900 -0,034633 -0,001333 Lat826:0 0,007821 0,032792 -0,003272 Lat826:1 -0,007821 -0,032792 0,003272 Lat827:0 0,015726 0,021194 0,022550 Lat827:1 -0,015726 -0,021194 -0,022550 Lat828:0 0,023426 0,014505 0,016386 Lat828:1 -0,023426 -0,014505 -0,016386 Lat829:0 0,022006 0,018200 0,003975 Lat829:1 -0,022006 -0,018200 -0,003975 Lat830:0 0,025311 -0,010068 0,007831 Lat830:1 -0,025311 0,010068 -0,007831 Lat831:0 0,025254 -0,004380 0,002803 Lat831:1 -0,025254 0,004380 -0,002803 Lat832:0 0,023755 -0,007492 0,006794 Lat832:1 -0,023755 0,007492 -0,006794 Lon120:0 0,018911 -0,009171 -0,028113 Lon120:1 -0,018911 0,009171 0,028113 Lon121:0 0,022233 -0,016049 -0,008024 Lon121:1 -0,022233 0,016049 0,008024 Lon122:0 0,022233 -0,016049 -0,008024 Lon122:1 -0,022233 0,016049 0,008024 Lon123:0 0,022233 -0,016049 -0,008024 Lon123:1 -0,022233 0,016049 0,008024 Lon124:0 0,026292 0,003606 0,018292 Lon124:1 -0,026292 -0,003606 -0,018292 Lon125:0 0,009232 0,013440 -0,030127 Lon125:1 -0,009232 -0,013440 0,030127
107
Lampiran 12. Ringkasan prosedur statistika untuk setiap kategori pada kolom tabel kontingensi
F1 F2 F3 Total ragam
Kualitas ragam
Kontribusi relatif
F1 F2 F3
Inersia Kosinus Inersia Kosinus Inersia Kosinus Jan04:0 -0,53519 0,41785 -0,24469 0,019324 0,416724 0,024155 0,014116 0,229144 0,017714 0,139682 0,011722 0,047898 Jan04:1 0,42815 -0,33428 0,19575 0,024155 0,416724 0,019324 0,011293 0,229144 0,014171 0,139682 0,009378 0,047898 Jun05:0 -0,31203 0,47467 0,36845 0,021739 0,458431 0,021739 0,005398 0,097363 0,025716 0,225312 0,029902 0,135756 Jun05:1 0,31203 -0,47467 -0,36845 0,021739 0,458431 0,021739 0,005398 0,097363 0,025716 0,225312 0,029902 0,135756 Jul05:0 -0,96170 0,76784 0,52149 0,012077 0,687070 0,031401 0,028487 0,355715 0,037384 0,226759 0,033277 0,104596 Jul05:1 0,36988 -0,29532 -0,20057 0,031401 0,687070 0,012077 0,010956 0,355715 0,014378 0,226759 0,012799 0,104596 Lat819:0 -0,07498 0,44389 -0,68953 0,021739 0,678114 0,021739 0,000312 0,005622 0,022489 0,197036 0,104724 0,475456 Lat819:1 0,07498 -0,44389 0,68953 0,021739 0,678114 0,021739 0,000312 0,005622 0,022489 0,197036 0,104724 0,475456 Lat820:0 0,35167 0,10268 0,00460 0,036232 0,671202 0,007246 0,011428 0,618376 0,002006 0,052721 0,000008 0,000106 Lat820:1 -1,75837 -0,51342 -0,02302 0,007246 0,671202 0,036232 0,057140 0,618376 0,010029 0,052721 0,000039 0,000106 Lat821:0 0,38717 0,27141 -0,16471 0,031401 0,651799 0,012077 0,012005 0,389744 0,012144 0,191522 0,008631 0,070533 Lat821:1 -1,00665 -0,70566 0,42823 0,012077 0,651799 0,031401 0,031212 0,389744 0,031575 0,191522 0,022440 0,070533 Lat822:0 0,18481 0,19561 0,09483 0,036232 0,407060 0,007246 0,003156 0,170776 0,007279 0,191321 0,003301 0,044963 Lat822:1 -0,92406 -0,97806 -0,47415 0,007246 0,407060 0,036232 0,015780 0,170776 0,036394 0,191321 0,016506 0,044963 Lat823:0 0,24470 0,38231 0,04237 0,031401 0,540367 0,012077 0,004795 0,155689 0,024096 0,380010 0,000571 0,004668 Lat823:1 -0,63623 -0,99400 -0,11016 0,012077 0,540367 0,031401 0,012468 0,155689 0,062649 0,380010 0,001485 0,004668 Lat824:0 -0,18026 0,75333 -0,77059 0,016908 0,759701 0,026570 0,001401 0,020678 0,050379 0,361140 0,101728 0,377882 Lat824:1 0,11471 -0,47939 0,49038 0,026570 0,759701 0,016908 0,000892 0,020678 0,032059 0,361140 0,064736 0,377882 Lat825:0 0,25709 0,52146 0,01444 0,028986 0,676439 0,014493 0,004886 0,132191 0,041380 0,543831 0,000061 0,000417 Lat825:1 -0,51418 -1,04291 -0,02889 0,014493 0,676439 0,028986 0,009772 0,132191 0,082760 0,543831 0,000123 0,000417 Lat826:0 0,20274 0,59249 -0,04255 0,024155 0,492447 0,019324 0,002532 0,051380 0,044518 0,438804 0,000443 0,002264 Lat826:1 -0,25343 -0,74061 0,05319 0,019324 0,492447 0,024155 0,003165 0,051380 0,055648 0,438804 0,000554 0,002264
108
F1 F2 F3 Total ragam
Kualitas ragam
Kontribusi relatif
F1 F2 F3
Inersia Kosinus Inersia Kosinus Inersia Kosinus Lat827:0 0,27178 0,25529 0,19553 0,036232 0,886336 0,007246 0,006825 0,369323 0,012397 0,325858 0,014035 0,191155 Lat827:1 -1,35890 -1,27644 -0,97764 0,007246 0,886336 0,036232 0,034127 0,369323 0,061987 0,325858 0,070173 0,191155 Lat828:0 0,43378 0,18720 0,15223 0,033816 0,862352 0,009662 0,016228 0,658582 0,006222 0,122659 0,007940 0,081111 Lat828:1 -1,51824 -0,65521 -0,53281 0,009662 0,862352 0,033816 0,056798 0,658582 0,021777 0,122659 0,027791 0,081111 Lat829:0 0,47540 0,27402 0,04309 0,028986 0,605901 0,014493 0,016707 0,452008 0,011427 0,150179 0,000545 0,003713 Lat829:1 -0,95080 -0,54805 -0,08618 0,014493 0,605901 0,028986 0,033414 0,452008 0,022854 0,150179 0,001090 0,003713 Lat830:0 0,46868 -0,12994 0,07276 0,033816 0,846433 0,009662 0,018944 0,768811 0,002998 0,059095 0,001814 0,018527 Lat830:1 -1,64038 0,45479 -0,25464 0,009662 0,846433 0,033816 0,066304 0,768811 0,010492 0,059095 0,006348 0,018527 Lat831:0 0,50360 -0,06087 0,02804 0,031401 0,671071 0,012077 0,020310 0,659393 0,000611 0,009633 0,000250 0,002045 Lat831:1 -1,30936 0,15826 -0,07291 0,012077 0,671071 0,031401 0,052806 0,659393 0,001588 0,009633 0,000651 0,002045 Lat832:0 0,51318 -0,11281 0,07364 0,028986 0,563009 0,014493 0,019468 0,526713 0,001937 0,025451 0,001592 0,010845 Lat832:1 -1,02637 0,22561 -0,14728 0,014493 0,563009 0,028986 0,038936 0,526713 0,003873 0,025451 0,003185 0,010845 Lon120:0 0,37711 -0,12746 -0,28127 0,031401 0,617677 0,012077 0,011388 0,369743 0,002678 0,042240 0,025170 0,205695 Lon120:1 -0,98048 0,33140 0,73130 0,012077 0,617677 0,031401 0,029610 0,369743 0,006964 0,042240 0,065442 0,205695 Lon121:0 0,38425 -0,19332 -0,06957 0,036232 0,949285 0,007246 0,013643 0,738225 0,007109 0,186857 0,001777 0,024203 Lon121:1 -1,92123 0,96658 0,34787 0,007246 0,949285 0,036232 0,068214 0,738225 0,035545 0,186857 0,008885 0,024203 Lon122:0 0,38425 -0,19332 -0,06957 0,036232 0,949285 0,007246 0,013643 0,738225 0,007109 0,186857 0,001777 0,024203 Lon122:1 -1,92123 0,96658 0,34787 0,007246 0,949285 0,036232 0,068214 0,738225 0,035545 0,186857 0,008885 0,024203 Lon123:0 0,38425 -0,19332 -0,06957 0,036232 0,949285 0,007246 0,013643 0,738225 0,007109 0,186857 0,001777 0,024203 Lon123:1 -1,92123 0,96658 0,34787 0,007246 0,949285 0,036232 0,068214 0,738225 0,035545 0,186857 0,008885 0,024203 Lon124:0 0,56800 0,05430 0,19826 0,028986 0,729753 0,014493 0,023849 0,645242 0,000449 0,005897 0,011544 0,078613 Lon124:1 -1,13600 -0,10860 -0,39652 0,014493 0,729753 0,028986 0,047698 0,645242 0,000897 0,005897 0,023087 0,078613 Lon125:0 0,79779 0,80945 -1,30613 0,007246 0,599533 0,036232 0,011762 0,127293 0,024928 0,131042 0,125253 0,341198 Lon125:1 -0,15956 -0,16189 0,26123 0,036232 0,599533 0,007246 0,002352 0,127293 0,004986 0,131042 0,025051 0,341198
109
Lampiran 13. Dokumentasi lapangan
Aktivitas foraging komunitas apex-predator cetacea
Cetacea jenis Orcinus orca, jantan
Bagian dari pod Stenella longirostris