komunitas agama djawa-sunda sebuah fenomena religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap...

12
KOMUNITAS AGAMA DJAWA- SUNDA: SEBUAH FENOMENA RELIGIOSITAS MASYARAKAT DI KUNINGAN JAWA BARAT Oleh: Selu Margaretha Kushendrawati Abstract The community in Cigugur, Kuningan District, Jawa Barat (West Java) recognize a community which is a mixture between Jawa- Sunda (Javanese-Sundanese) named Komunitas Agama Djawa-Sunda (ADS, Djawa-Sunda Religion Community). This religion community has been practiced for years, prior to the Indonesian independence on 17 August 1945. This ADS is actually the community whose members have strong sense of Indonesian nationhood and morality of their own nation to struggle for their rights from the colonial through religion-culture as the means of their struggle. ADS has existed prior to the entrance of foreign religions, like Hinduism, Christian, and Islam to Java island. Cultural Conservation is not a part of a rehgion but this can be categorized as local religion-culture behevers. Their motto is that: "Semua umat Tuhan, sepengertian upi bukan sepengakuan" (literarily translated as all are God's creatures with the same understanding but different recognition). This belief does not differentiate the religion backgrounds, Hinduism, Christian, or due to the fact that this community is a humanity-based group. They culturalize this belief through their practical experiences of ADS activities. To tie the community members 'Siren faun' is actually a phenomenon of local wisdom and rehgiosity of this community in Kuningan, Jawa Barat. The research question is that: what is the relevance the phenomenon of ADS rehgiosity in connection with the present issues of globalization? The motto of ADS proves that this community has really understood and practiced pluralistic-religion approach prior to the discussions on pluralistic issues in Indonesia as today. This research is expected to get praxis- philosophy enhghtenment as a critical note which is useful for Indonesian today. Kata Kunci: Komunitas Agama Djawa-Sunda, Siren taun, Pluralisme, Keagamaan. 32

Upload: others

Post on 01-Sep-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

KOMUNITAS AGAMA DJAWA- SUNDA:

SEBUAH FENOMENA RELIGIOSITAS MASYARAKAT

DI KUNINGAN JAWA BARAT

Oleh: Selu Margaretha Kushendrawati

Abstract

The community in Cigugur, Kuningan District, Jawa Barat (West Java) recognize a community which is a mixture between Jawa- Sunda (Javanese-Sundanese) named Komunitas Agama Djawa-Sunda (ADS, Djawa-Sunda Religion Community). This religion community has been practiced for years, prior to the Indonesian independence on 17 August 1945. This ADS is actually the community whose members have strong sense of Indonesian nationhood and morality of their own nation to struggle for their rights from the colonial through religion-culture as the means of their struggle. ADS has existed prior to the entrance of foreign religions, like Hinduism, Christian, and Islam to Java island. Cultural Conservation is not a part of a rehgion but this can be categorized as local religion-culture behevers. Their motto is that: "Semua umat Tuhan, sepengertian upi bukan sepengakuan" (literarily translated as all are God's creatures with the same understanding but different recognition). This belief does not differentiate the religion backgrounds, Hinduism, Christian, or due to the fact that this community is a humanity-based group. They culturalize this belief through their practical experiences of ADS activities. To tie the community members 'Siren faun' is actually a phenomenon of local wisdom and rehgiosity of this community in Kuningan, Jawa Barat. The research question is that: what is the relevance the phenomenon of ADS rehgiosity in connection with the present issues of globalization? The motto of ADS proves that this community has really understood and practiced pluralistic-religion approach prior to the discussions on pluralistic issues in Indonesia as today. This research is expected to get praxis- philosophy enhghtenment as a critical note which is useful for Indonesian today.

Kata Kunci: Komunitas Agama Djawa-Sunda, Siren taun, Pluralisme, Keagamaan.

32

Page 2: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

Komunitas Agama Djawa-Sunda

Pendahuluan

Masyarakat adalah kehidupan sekelompok manusia yang terikat

sistem adat-istiadat tertentu. Masyarakat tertentu ini kemudian akan

menciptakan kebudayaan tertentu yang memiliki aneka ragam unsur

(Maran, 2000: 7-54). Namun demikian Koentjaraningrat dalam buku Rafael

Raga Maran menulis bahwa kebudayaan yang mengandung aneka unsur

tersebut dapat dikategorikan ke dalam 7 unsur kebudayaan yang disebut

cultural universals. Adapun salah satu dari ketujuh unsur tersebut adalah

religi. Masyarakat daerah sekitar Cigugur kabupaten Kuningan, Jawa Barat

mengenal komunitas religi percampuran Jawa-Sunda yang dinamakan

Komunitas Agama Djawa-Sunda (ADS). Komunitas religi ini telah dihayati

masyarakat setempat, jauh sebelum Indonesia merdeka pada tanggal 17

Agustus 1945. ADS didirikan sebagai cagar budaya oleh Kyai Mat Rais

tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama

Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan: ADS) ini

sebenarnya merupakan komunitas orang-orang yang sadar akan rasa

kebangsaan dan mempunyai rasa tanggung jawab moral terhadap bangsa

sendiri untuk melawan penjajah melalui religi-budaya sebagai wadahnya.

Religi Jawa-Sunda ini sudah ada sebelum agama-agama asing seperti Hindu,

Budha, Kristen, Katolik, Islam, Kong Hu Cu masuk ke tanah Jawa. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya ADS merupakan cagar budaya,

bukan aliran agama tetapi bisa diidentifikasikan sebagai penghayat religi-

budaya setempat. Semboyan mereka: "Semua umat Tuhan, sepengertian

tapi bukan sepcngakuanartinya sekalipun tidak sepengakuan tetapi bisa

sepengertian, walaupun tidak sama keyakinan namun dapat saling

mengerti. Oleh karena itu ADS tidak membedakan Hindu, Kristen, Katolik,

Islam Budha ataupun Konghucu bahkan nonagama sekalipun karena

komunitas selain merupakan rehgi-budaya juga lebih mendasarkan diri

pada masalah kemanusiaan. Mereka membudayakan ADS melalui

penghayatan pengalaman beragama (rehgiositas) dalam aktivitas-aktivitas

konkret. Sehubungan dengan hal itu, sebagai pengikat komunikasi serta

pengikat masyarakat komunitas ADS, setiap satu tahun sekali mereka

mengadakan upacara besar yang disebut 'Seren taun'. Upacara 'Sercn taun'

betul-betul merupakan fenomena kearifan lokal dan rehgiositas masyarakat

setempat. Mereka berkumpul bersama-sama mengadakan syukuran atas

segala karunia yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

Pertanyaannya: Apa relevansi fenomena kearifan lokal rehgiositas

ADS di daerah Kuningan Jawa Barat tersebut dengan masyarakat kekinian

33

Page 3: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan interdislplin, Vol. XXIII No. 1, 2014: 32-44

yarig dikemas dalam era globalisasi? Masyarakat berada di tengah-tengah

identitas dan moderaitas, lokal dan global. Tampaknya masyarakat di

Indonesia sudah enggan menengok ke belakang untuk sekadar merefleksi

jati diri keindonesiaan diri sendiri. Oleh karena itu, peneliti mengharap paling tidak tulisan ini bermanfaat sebagai salah satu renungan

enlightenmentfilosofis-praksis dan dijadikan catatan kritis bagi paling tidak

masyarakat intelektual di kampus serta masyarakat Indonesia pada

umumnya yang sudah kian kontemporer dan kian homogen dewasa ini.

Metode Penelitian

Penelitian ini sepenuhnya merupakan penelitian kualitatif filosofis.

Oleh karena itu seluruh hasil kegiatan merupakan refleksi yang lebih

dominan didapat melalui studi kepustakaan. Adapun langkah-langkah

metodologis yang penulis lakukan dalam penehtian ini pertama-tama

adalah mengunjungi cagar budaya di Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa

Barat untuk melihat peninggalan-peninggalan ADS. Meminta penjelasan

dad informan cagar serta menemui seorang Pini Sepuh Paguyuban Adat

Car a Karuhun Urang yaitu Pangeran Djatikusumah. Membaca tulisan-

tulisan dan catatan-catatan sejarah Agama Djawa-Sunda. Selain itu juga

membaca buku-buku dan mencari informasi-informasi yang relevan

melalui internet, serta media lain yang berguna untuk mendapat inspirasi

dalam penuhsan. Terakhir, menganalisa hasil temuan-temuan tersebut ke

dalam ranah filosofis-praksis tentang rehgiositas masyarakat penganut ADS.

Peneliti mengkritisi objek-objek agar lebih memahami,

menginterpretasikan dan mendeskripsikannya berdasarkan metode-metode

humaniora seperti hermeneutik. Selain itu peneliti juga melakukan

langkah-langkah konkret mengamati cara hidup masyarakat setempat dan

mengikuti upacara Seren taun. Peneliti berharap agar hasil anahsis dapat

memicu tindakan-tindakan praksis pragmatik ke dalam life world.

Secanggih apapun sebuah penehtian tak akan ada artinya jika tak

bermanfaat bagi masyarakat.

Masyarakat dalam Era Globalisasi

Sebelum sampai kepada kearifan lokal rehgiositas masyarakat

penganut ADS, perlu disinggung terlebih dahulu globalisasi karena saat ini

kita berada dalam era tersebut. Membicarakan tentang realitas sosial dewasa

34

Page 4: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

Komunitas Agama Djawa-Sunda

ini sama dengan membicarakan masyarakat dalam ruang besar tanpa batas

yang dinamai era globalisasi.

Aspek-aspek internasionalisasi kita pahami sebagai masuknya

dimensi global dalam setiap masalah kehidupan di mana satu masalah atau

tindakan individu bisa mempengaruhi orang lain di mana saja. Hal itu

berkat kecanggihan teknologi komunikasi dalam media massa di era

globalisasi. Globalisasi seringkali juga dikaitkan dengan homogenisasi, yaitu

penyamaan berbagai bagian kebudayaan di antara bangsa-bangsa. Itulah

hal-hal yang paling tidak dapat dikatakan sebagai pengertian umum tentang

globalisasi. Dari sisi tertentu globalisasi menawarkan berbagai kemudahan

seperti kecepatan informasi dan komunikasi serta kebutuhan-kebutuhan

dalam bidang sains dan teknologi yang banyak membantu pekerjaan

manusia. Namun demikian analisis sisi positif tentang globalisasi tersebut

tidak begitu saja menghapus berbagai kecurigaan dan pandangan-

pandangan negatif. Walaupun kemajuan bidang komunikasi saat ini tak

perlu diragukan lagi, namun ternyata globalisasi gagal menghomogenisasi

masyarakat dalam satu solidaritas yang lebih luas dari sebelumnya (Sobrino

& Wilfred, 2001/5: 11-12). Globalisasi telah mengubah kebudayaan

manusia, cara hidup manusia, perilaku manusia sehari-hari. Banyak hal

yang berubah sejak kapitalisme global dan transparansi informasi

memperkenalkan budaya pop pada kita. Berbagai tradisi keagamaan dan

relasi kekeluargaan yang tradisional berubah mengikuti kecenderungan

umum globalisasi, bercampur aduk dengan berbagai tradisi lain (Giddens,

2004: 4).

Dunia yang disatukan adalah khayalan terbesar globalisasi namun

yang terjadi khususnya pada manusia, justru kebalikannya. Secara fisik,

tampaknya dunia semakin menyatu, semakin homogen. Akan tetapi

kenyataannya dunia yang homogen itu tidak termasuk kemanusiaan.

Manusia tetap bebas dalam kekhasannya. Masyarakat posmodernitas yang

identik dengan lokalitas dan keanekaragaman merupakan bukti

penyimpangan akan argumen positif globalisasi. Globalisasi juga tidak

diartikan hanya terkait dengan masalah ekonomi, di mana revolusi

ekonomi terjadi karena revolusi teknologi yang tak terbendung. Revolusi

teknologi pada gilirannya akan menimbulkan revolusi kebudayaan.

Membicarakan globalisasi pada satu sisi, di sisi lain mau tidak mau

kita juga harus memahami apa itu posmodemisme sebagai produk zaman

yang mengglobal ini. Paham posmodemisme adalah paham yang cenderung

35

Page 5: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXIII No. 1, 2014: 32-44

menekankan lokalitas dan menerima keragaman penafsiran. Oleh karena

itu posmodemisme menolak semua klaim universalitas pengetahuan dan

kebenaran. Posmodemisme juga menolak dogmatisme metode yag

sebelumnya sangat dipaksakan oleh kaum positivis di abad 19 sebagai satu-

satunya metode bagi ilmu pengetahuan.

Dalam hal ini, pluralitas pemikiran maupun lokalitas kebudayaan

berhubungan dengan relativisme pemikiran dan juga relativisme

kebudayaan. Relativisme yang sebenarnya sudah diperkenalkan sejak

zaman Yunani kuno oleh kaum Sofis yang hidup sezaman dengan Socrates,

secara umum mereka ingin menghargai bentuk-bentuk keragaman,

menolak klaim kebenaran objektif dan universal serta memberi ranah

seluas-luasnya bagi budaya-budaya lokal untuk menyatakan kebenaran

versi mereka sendiri. Selain dari sisi subjek dan budaya, relativisme juga

menyangkut keragaman paradigma yang mendasari proses mengetahui (Sudarminta, 2002: 55-56). Dalam hal ini komunitas ADS di daerah Cigugur

Kuningan Jawa Barat bisa dikategorikan sebagai konteks sosio-budaya suatu

wilayah di Indonesia yang tetap menyatakan kebenaran diri mereka di

mana setiap individu bisa memakai cara dan paradigma masing-masing.

Komunitas Agama Djawa- Sunda di Kuningan Jawa Barat

Komunitas Agama Djawa-Sunda (ADS) merupakan Cagar-Budaya di

daerah Cigugur Kuningan Jawa Barat yang oleh orang awam disepakati

sebagai dasar-dasar rehgiositas adat karuhun Sunda (kosmologi Sunda kuno)

dengan sebutan Pikukuh Tilu atau Tri Tangtu (Kesatuan Tiga). ADS

didirikan oleh Pangeran Madrais Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat, putra

Pangeran Alibassa 1, Sultan Gebang yang masih ada hubungan dengan

Kasultanan Cirebon. Mengapa masyarakat sekitar kemudian menamainya

Agama Djawa-Sunda? Hal itu karena Kyai Madrais sering mengupas dan

mengajarkan nilai-nilai kebangsaan dalam tradisi budaya spiritual Jawa dan

Sunda. Sebenarnya Kyai Madrais mendirikan ADS dengan maksud

terselubung yaitu membangkitkan kesadaran masyarakat Cigugur

khususnya dan Kuningan Jawa Barat umumnya untuk me la wan penjajahan

Belanda dalam sistem perdagangannya pada VOC. Untuk tujuan itu

kemudian ADS bergabung dengan Mataram. Akibatnya Kyai Madrais

pernah ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Boven Digul Papua Barat

pada tahun 1901 (Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda, 2008).

36

Page 6: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

Komunitas Agama Djawa-Sunda

Ajaran ADS kemudian diakui oleh pemerintah kolonial Belanda dan

terdaftar sebagai adat recht (hukum adat). Pada awal perkembangannya

ajaran ADS di Cigugur Kuningan bersifat komunitas keadatan. Namun

banyak orang seringkali menyejajarkan ADS dengan ajaran keagamaan.

Oleh karena itu sekitar tahun 1964 ketika ADS dipimpin oleh Pangeran

Tedja Buwana, pada masa Indonesia dalam transisi dari pemerintahan Orde

Lama ke Orde Baru, ADS dibubarkan (walaupun bukan berarti hilangnya

ajaran). ADS dianggap sebagai bentuk agama baru di luar agama-agama

yang sudah ada di Indonesia (seperti yang dianggapkan terhadap

Akhmadiyah saat ini). Masyarakat pengikut ADS dianjurkan masuk dalam

salah satu agama seperti agama Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha

ataupun Konghucu.

Komunitas ADS mengajarkan bagaimana setiap orang memiliki rasa

kepribadian dan persatuan bangsa sebagai dasar nasionahtas untuk melawan

penjajahan Belanda. Secara bebas peneliti menulis berdasarkan tanya-

jawab atau dialog dengan Pini Sepuh Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang

pada tanggal 17 April 2010 yakni Pangeran Djatikusumah. Menurut beliau,

seluruh ajaran ADS berkaitan dengan petuah-petuah leluhur Sunda seperti

amanat yang terdapat dalam ajaran Galunggung, Darmajati dan ajaran-

ajaran Sunda kuno atau yang biasa disebut Sunda wiwitan lainnya. Kyai

Madrais sangat menonjolkan unsur-unsur budaya spiritual Sunda dan

menganalisis hakikat ajaran agama-agama yang sudah ada seperti Kristen,

Islam, Hindu dan sebagainya dengan tujuan menemukan titik persamaan

rasa kebertuhanan dalam Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar

timbulnya cinta-kasih sesama, serta bisa saling menghormati.

Spiritualitas berwawasan kebangsaan dan sifat pluralistik keagamaan

Sang Seuweu Karma mengajarkan kebijakan menata kehidupan manusia

dengan berpedoman pada Dasa Panta yang terdiri dari: 6

1) Guna, mengerjakan sesuatu harus dijelaskan kegunaannya baik

untuk yang memerintah maupun yang diperintah.

2) Ramah, dalam memerintah harus disertai keramahtamahan.

3) Kagum, perintah yang disampaikan harus sesuai dengan yang diperintah.

6 Paparan singkat, Jejak Sejarah Komunitas Agama Djawa- Sunda ke Komunitas Akur (Adat Karuhun Urang)

37

Page 7: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXIII No. 1, 2014: 32-44

4) Pesok, reureus, senang hati artinya yang diperintah merasa senang

mengerjakan perintah tersebut.

5) Asih, suatu perintah hams didasari rasa kasih-sayang sehingga tugas

akan dirasakan sebagai tanggung jawab bersama.

6) Karunya, sayang, dengan penuh rasa sayang perintah tersebut dapat

dirasakan oleh yang diperintahnya dan menghasilkan rasa percaya

diri sehingga tugas dilaksanakan dengan sepenuh hati.

7) Mukpruk, dengan sikap dan kata-kata lembut yang diperintah tak

merasa dipaksa ataupun terpaksa.

8) Ngulas, mengomentari hasil pekerjaan, jika perlu diperingatkan

atau dikoreksi tetapi dengan cara bijaksana agar tidak menyinggung

perasaan.

9) Nyecep, menenteramkan dengan cara menghargai jerih payah orang

lain.

10) Ngala angen, yang memerintah hams dapat menarik simpati bagi

yang diperintah sehingga yang memerintah akan selalu disegani dan

dihormati.

Kyai Madrais meninggal pada tahunl939 kemudian digantikan oleh

anaknya Pangeran Tedja Buwana Alibassa. Di bawah pimpinannya, ADS

didaftarkan pada Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI). Setelah

Himpunan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (HPK) didirikan

pada tahun 1981 ADS memanifestasikan diri menjadi Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) di bawah pimpinan Pangeran Djatikusumah dan

terdaftar pada Direktorat Jenderal Bina Hayat sebagai lembaga formal

dengan nomor 192/R.3/N. 1/1982 yang berwilayah kerja di Jawa Barat dan

sekitarnya.7

'S£r&n Taun' sebagai Fenomena Religiositas

Fenomena rehgiositas serta pluralitas tampak dalam komunitas ADS

dengan semboyan mereka "Semua umat Tuhan, sepengertian tetapi bukan

sepengakuan". Dalam pemyataan tersebut terkandung makna yang dalam

7 Pemaparan Budaya Spiritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang, 1995, Cigugur- Kuningan Jawa Barat, hail4.

38

Page 8: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

Komunitas Agama Djawa-Sunda

dan luas. Menurut paham ADS, manusia hendaknya dipandang dalam

konteks keseluruhan dengan bentuk keanekaragaman hidup masing-

masing. Sebagai religi, ADS adalah khas milik komunitas Sunda dan Jawa

(karena daerah Kuningan merupakan daerah frontier antara Jawa Barat dan

Jawa Tengah). Keduanya merupakan sinkretisme warisan agama dan

kebudayaan Sunda-Jawa masa lampau. Dengan demikian, ADS merupakan

kearifan lokal yang dimiliki oleh komunitasdi daerah Kuningan Jawa Barat

khususnya dan juga masyarakat disekitarnya.

Adapun Seren Taun adalah upacara yang selalu diadakan satu kali

dalam setahun secara rutin sebagai sebuah ritual keagamaan (jika dapat

dikategorikan seperti itu) untuk mengucapkan puji dan syukur kehadapan

Yang Maha Esa (istilah ADS: Pangeran Si Kang Sawiji- wiji) atas kehidupan

dengan segala karunia nikmat dalam rahmatNya. Masyarakat Jawa Barat

seperti yang dapat kita amati umumnya agraris. Oleh karena itu, upacara

Seren Taun ini sebenarnya merupakan ekspresi masyarakat tersebut sebagai

ungkapan syukur atas panen yang bagus dan berharap agar panen- panen

berikut juga tetap bagus. Selain di daerah Cigugur, Seren Taun juga masih

dirayakan di beberapa tempat lain seperti di Sukabumi, Garut dan

sekitamya. Dalam acara Seren taun' ini siapapun yang berminat boleh

mengikutinya, tidak ada batasan apapun, dari manapun atau siapapun.

Seren taun'betul-betul merupakan fenomena kearifan lokal dan rehgiositas

masyarakat setempat.

Sesuai dengan cara hidup masyarakat Sunda yang agraris itu, maka

objek dalam upacara Seren Taun adalah tanam-tanaman terutama padi. Padi

dipandang sebagai lambang kemakmuran karena seluruh daerah tatar Sunda

merupakan lahan-lahan yang subur di mana padi selalu dapat tumbuh

diatasnya. Sebagai acara adat tidak ketinggalan ditampilkan kesenian

tradisional seperti ronggeng gunung, tayuban, pesta dadung (di Jawa:

ngruwat), jentreng tarawangsa, setelah sebelumnya disuguhkan tari Nyi

Pwah Aci (dalam konteks Jawa: Dewi Sri) sebagai tarian sakral.

Aneka ragam penghayat dalam kepluralistikan menempati ruang

dan waktu yang sama tanpa membeda- bedakan suku, ras, bangsa, maupun

agama. Ruang menjadi tidak homogen karena di situ terdapat pemisahan

antara yang suci dengan yang profan, yang putih dengan yang hitam, ruh

yang baik dengan ruh yang jahat. Suasana menjadi magis serta khidmat,

penuh dengan gumam mantera-mantera dan kidung yang dilantunkan.

39

Page 9: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXIII No. 1, 2014: 32-44

Seren Taun pernah mengalami kebekuan selama 18 tahun akibat

pelarangan terhadap PACKU oleh Muspida setempat yaitu Pemda,

Kejaksaan Negeri, PoLres, Depag Kuningan Seren Taun diidentifikasikan

sebagai aliran sesat. Padahal Seren Taun justru membuka pintu lebar

dengan semboyan "Semua umat Tuhan, sepengertian tap/ bukan

sepengakuan" yang artinya sebagai tradisi kebudayaan masyarakat Sunda

yang telah dikenal sejak lama, hal itu justru membuka ruang bagi pluralitas

berbagai penganut keyakinan keagamaan turut berpartisipasi. Bahkan

Ritual seren taun selalu diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh rohaniwan masing- masing agama maupun kepercayaan.

Adat Karuhun Urang{P<X\SR)

ADS kemudian juga dikenal dengan nama AKUR singkatan dari

Adat Karuhun Urang. Adat Karuhun Urang merupakan budaya spiritual

yang berisikan tuntunan-tuntunan luhur mengenai bagaimana manusia

hams berperilaku. Apa yang dimaksud dengan hukum suci yang hams

dihayati dengan hati namun juga dengan kesadaran dan keyakinan terhadap

Gusti Si Kang Sawiji-wiji yaitu Tuhan Tang Maha Esa. Dalam kosmologi

mistisisme Jawa dikenal "Sangkan Paraning Dumadi"yaitu suatu pandangan

yang menyadarkan tentang asal-usul kehidupan, perkembangan dan juga

tujuan hidup manusia.

Ketika manusia bertanya pada dirinya sendiri "Siapakah aku?"

"Untuk apa aku hidup?" "Dari mana aku datang?" "Siapa pencipta alam

semesta ini?" "Menuju ke mana aku ini?" Semua itu mempakan pertanyaan-

pertanyaan filosofis yang sangat mendasar dan tidak mudah dijav/ab. Secara

alamiah manusia adalaL mahkluk religius, mahkluk sosial dan juga mahkluk

budaya. Sebagai mahkluk religius, manusia sadar dan yakin akan adanya

Sang Pencipta. Manusia ada karena karsa, kchendak dariNya. Sebagai

mahkluk sosial, seorang individu selalu membutuhkan kawan, dan sebagai

mahkluk budaya manusia hams menjunjung tinggi norma-norma etis dalam

hidupnya.

Bagi masyarakat Komunitas Adat Karuhun Urang, hidup

berdampingan dengan pemeluk agama yang berbeda sudah mempakan hal

biasa. Bukan sebuah masalah bagi penduduk Cigugur dan sekitarnya bila

dalam sebuah keluarga terdapat beberapa keyakinan yang dianut tanpa

saling merasa terganggu bahkan saling menghormati. Mereka telah terbiasa

40

Page 10: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

Komunitas Agama Djawa-Sunda

menerima anggota keluarganya yang berasal dari pemeluk agama berbeda.

Misalnya, dalam serumah terdiri dari Ayah yang beragama Islam, Ibu

beragama Kristen serta anak-anak mereka yang beragama Hindu, Katolik

bahkan Kepercayaan (non agama). Warga Adat Karuhun Urang tetap

memegang ajaran ADS dan mewujudkan ajarannya dengan melakukan

berbagai kegiatan sosial. Bekerja bersama-sama masyarakat tanpa

memandang suku, ras, agama maupun golongan. Mereka juga terbuka

menjalin hubungan kerja baik dengan pemerintah ataupun warga

masyarakat sendiri. Dari fenomena-fenomena tersebut tampak jelas bahwa

masyarakat Adat Karuhun Urang yang mempraktekkan ajaran-ajaran ADS

adaiah masyarakat yang secara praksis bisa menerima adanya pluralitas di

dalam keanekaragaman religi.

Penutup

Peter L. Berger dalam bukunya Kabar Angin Dari Langit: Makna

Teologi dalam Masyarakat Modern mengemukakan bahwa bagaimanapun

agama tetap penting sampai kapan pun termasuk pada zaman modem ini

(Berger, 2010: 133). Menginterpretasi fakta objektif berarti mencoba

memahami makna dari berbagai pranata sosial, menjelaskan hakikatnya

beserta sebab akibatnya. Dalam hal ini Berger mengulas tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bila sebuah agama mumi

berada dalam suatu kelompok sosial masyarakat. Seharusnya hubungan

agama dan sistem nilai budaya dalam masyarakat tidak menghendaki

suasana konflik yang menimbulkan saling kecurigaan.

Seperti telah kita ketahui dalam penjelasan sebelumnya bahwa

upacara Seren Taun berikut kegiatan Adat Karuhun Urang sempat

dihentikan selama 18 tahun, namun kemudian pada tahun 1999 sesudah

rezim Orde Baru tumbang, di era reformasi kegiatan diijinkan lagi mengacu

UU No 9 tahun 1998 tentang Pelaksanaan Kegiatan Upacara Keagamaan

atau adat. Sebuah keberuntungan negara Republik Indonesia pemah

mendapat kesempatan memiliki Presiden Abdurahman Wahid (yang akrab

disapa Gus Dur) yang berjasa dalam peniadaan larangan kegiatan budaya

dan upacara adat (khususnya upacara Seren Taun di Cigugur) di wilayah

Negara Indonesia. Selain itu Gus Dur juga berjasa mengangkat Konghucu

sebagai agama yang sejajar dengan agama-agama lain seperti Katolik,

Protestan, Islam, Hindu, Budha serta kepercayaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa.

41

Page 11: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXIII No. 1, 2014: 32-44

Ternyata di tengah-tengah hiruk pikuknya globalisasi melanda

dunia, sebuah kearifan lokal seperti Adat Karuhun Urang (AKUR) masih

bisa bertahan dan masih selalu mengadakan upacara Seren Taun. ADS

sebagai ajaran yang sampai saat ini tetap dianut pemeluknya di daerah

Cigugur Kuningan, secara fenomenal dapat mencerminkan kepluralistikan

yang mendalam. Fenomena ini dapat dijadikan contoh di mana mereka

dapat saling hormat-menghormati dan hidup rukun bersama antara sesama

umat beragama. Seperti apa yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dalam

bukunya: Kabar Angin Dari Langit, Makna Teologi dalam Masyarakat

Modern, bahwa agama itu penting sampai kapanpun, maka ternyata Agama

Djawa-Sunda yang dihayati masyarakat dalam wadah Adat Karuhun Urang

di Cigugur Kuningan Jawa Barat tersebut justru sangat relevan di era

globalisasi saat ini terutama dengan sifat-sifat toleran terhadap sesama umat

Tuhan serta rasa equality yang mereka tonjolkan.

Referensi

Anderson, Benedict R. O'G., 2008, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Yogyakarta: Penerbit fejak.

Berger, Peter L, 1992, Kabar angin Dari Langit, Makna Teologi dalam Masyarakat Modern (terjemahan dari A Rumor of Angels: Modern Society and the Rediscovery of the Supernatural), Jakarta: LP3ES.

Djatikusumah, P., (Kata Pengantar), 1995, Pemaparan Budaya Spiritual Paguyuban Adat cara Karuhun Urang, Cigugur-

Giddens, Anthony, 2000, Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives, London: Profile Books.

Hamka, Prof. Dr., 1976, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Imam Muhni, Djuretno A., 1994, Moral & Religi Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Kusumohamidjojo, Budiono, 2009, Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi Manusia, Yogyakarta: Jalasutra.

Magnis-Suseno, Franz, 1992, Filsafat Kebudayaan Politik, Jakarta: Penerbit Gramedia.

Majalah Filsafat Driyarkara, 1996, Th XX No 1, Memahami Agama, Melibati Dunia, Jakarta: Penerbit Senat Mahasiswa Driyarkara.

Maran, Rafael Raga, 2000, Manusia dan Kebudayaan dalam Perpektif Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda, 2008, Pemaparan Singkat: Jejak Sejarah Komunitas ADS (Agama Djawa Sunda) ke Komunitas AKUR (Adat Karuhun

42

Page 12: Komunitas Agama Djawa-Sunda Sebuah Fenomena Religiositas ... … · tahun 1840 sebagai sikap perlawanan terhadap VOC. Adapun Agama Djawa-Sunda (untuk kemudian dapat diinisialkan dengan:

f

Komunitas Agama Djawa-Sunda

Urang), di Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Munandar, Agus Aris, 2010, Tatar Sunda Masa Silam, Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra

Santosa, Iman Budhi, 2010, Nasihat Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Penerbit Diva.

Sarapung, Elga, et. al., (editor), 2004, Spiritualitas bam; Agama dan Aspirasi Rakyat, Yogyakarta: Institut Dian/ Interfidei.

Sastrapratedja, M., 1982, Manusia Multi Dimensional; Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.

Sobrino, John & Felix Wilfred, 2001/5, "Introduction: The Reason for Returning to This Theme", dalam Concillium London: SCM Press.

Sudanninta, J., 2002, Epistemologi Dasar, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sutiyono, 2010, Benturan Budaya Islam: Puritan & Sinkretis, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sutrisno, Mudji, 2009, Ranah- ranah Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Ujan, Andre Ata, et. aL, 2009, Multikulturalisme; Be la jar Hidup Bersama dalam Perbedaan, Jakarta Barat: Penerbit Indeks.

Warsito, Tulus dan Wahyuni Kartikasari, 2007, Diplomasi Kebudayaan; Konsep dan Relevansi Bagi Negara Berkembang: Studi Kasus Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Weweunga, Emil Salim, et.al, 2010, Agama dan Kebudayaan; Pergulatan di Tengah Komunitas, Depok: Penerbit Desantara Foundation.

Wibowo, A. Setyo, 2009, Honunage untuk Prof. Dr. M. Sastrapratedja: Manusia teka-teki yang mencari solusi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Ya'qub, H. Hamzah, 1992, Filsafat Agama; Tidk Temu Akal dengan Wahyu, Jakarta: Penerbit Pedoman flmu Jaya.

43