komunikasi bisnis menurut alquran dan alhadis
DESCRIPTION
Komunikasi BisnisTRANSCRIPT
a) AL-QURAN
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan
setidaknya 6 jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan
sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yaitu:
1. Qaulan Sadida (perkataan yang benar, jujur)
Kata Qaulan Sadida disebutkan Firman Allah SWT dalam QS. An Nisa ayat 9, QS.
Al Baqarah ayat 83, QS. Al Hajj ayat 30, serta QS. Al Ahzab ayat 70
(QS. An Nisa : 9)
ع4اف2ا :ة2 ض677 ي @ف6ه6م@ ذ<ر> ل <وا م6ن@ خ4 ك 4ر4 4و@ ت :ذ6ين4 ل 4خ@ش4 ال @ي و4لد6يد2ا <وا ق4و@ال س4 4ق<ول @ي :ه4 و4ل :ق<وا الل 4ت @ي @ه6م@ ف4ل 4ي خ4اف<وا ع4ل
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka, yang mereka
khawatirkan terhadap (kesejahteraannya) nya. Oleh sebab itu, hendaklah
mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur
kata yang benar (qaulan sadida)”.
Pada ayat ini, menurut al-Qurthubî, terdapat dua poin penting:
Pertama, para ulama berbeda pendapat tentang kepada siapa ayat ini
ditujukan. Ada yang berpendapat ia diarahkan ke para pengasuh atau para wali
anak yatim. Kepada mereka ayat menyuruh untuk memperlakukan anak-anak
yatim dengan baik sebagaimana mereka ingin kelak anak-anak yatim itu
memperlakukan anak-anak mereka (para wali) dengan baik pula. Tapi ada juga
yang berpendapat ayat ini ditujukan kepada semua orang. Mereka diperintah
untuk takwa kepada Allah dalam hal memperlakukan anak-anak yatim dan anak-
anak pada umumnya walaupun tidak berada dalam pengasuhan mereka. Mereka
juga diperintah untuk berkata-kata yang baik terhadap anak-anak. Seakan-akan
ayat berkata, “Jika kalian ingin mereka (anak-anak) berkata yang baik kepada
kalian, maka kalian harus terlebih dahulu berkata yang baik kepada mereka.”
Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa ayat ini tentang seseorang yang
sedang menghadapi kematian. Kemudian salah seorang yang ada di dekatnya
berkata, “Sesungguhnya Allah akan menanggung rezki anakmu. Maka
perhatikanlah dirimu. Berwasiatlah dengan hartamu di jalan Allah,
bersedekahlah dan merdekakanlah hamba sahaya!” Jika orang ini mengikuti
nasehat itu, maka semua hartanya akan habis sehingga ahli warisnya tidak
mendapat peninggalan apa-apa. Ketika itu turunlah ayat ini mencegah mereka
melakukan hal serupa itu.
Kedua, qaul sadîd adalah kata-kata yang berkeadilan dan tepat sasaran
(al-‘adl wa al-shawâb). Ada perbedaan pendapat tentang kepada siapa
penggalan ayat ini diarahkan. Ada yang mengatakan ia ditujukan kepada siapa
pun yang sedang menghadapi orang yang sedang menghadapi kematian.
Kepada orang yang akan meninggal hendaknya mereka menyuruh untuk
melunasi semua kewajibannya terkait harta, kemudian berwasiat untuk
kerabatnya dengan jumlah yang tidak merugikan ahli warisnya yang masih kecil-
kecil. Ada juga yang berpendapat penggalan ini menyuruh orang yang sedang
berada di dekat orang yang akan meninggal untuk mengucapkan kata-kata yang
baik, yaitu dengan membimbingnya mengucapkan kalimat lâ ilâha illâ Allâh. Dan
ada juga yang mengatakan penggalan ini merupakan perintah untuk tidak
menghardik atau melecehkan anak-anak yatim.
Tentang apa pun ayat ini berbicara dan kepada siapa pun ia diarahkan, yang
jelas ia memiliki pesan-moral yang nyata; ia memiliki perhatian yang tinggi
terhadap bagaimana seharusnya setiap orang menjaga dan menata lisan. Ia
dengan terang menyuruh untuk menggunakan tutur-kata yang baik, tepat,
berkeadilan dan tidak menyinggung perasaan siapa pun, kapan dan di mana pun
serta kepada siapa pun.
Firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah : 83)
“Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik”.
Sadid menurut bahasa berarti yang benar, tepat. Al-Qasyani berkata
bahwa sadad dalam pembicaraan berarti berkata dengan kejujuran dan dengan
kebenaran, dari situlah terletak unsur segala kebahagiaan, dan pangkal dari
segala kesempurnaan, karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas, dapatlah dikatakan
bahwa Qaulan Sadida adalah perkataan lurus (tidak berbelit-belit), kata yang
benar, keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara demikian
rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju yakni sehingga panggilan
dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati mereka yang di hadapi (menurut
Moh. Natsir dalam Fiqhud).
Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau
menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong,
juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta.
Firman Allah SWT (QS. Al-Hajj : 30)
“Maka Jauhilah berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta”.
Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang
baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku. Seorang muslim jika
berkata harus benar, jujur tidak berdusta. Karena sekali kita berkata dusta,
selanjutnya kita akan berdusta untuk menutupi dusta kita yang pertama, begitu
seterusnya, sehingga bibir kita pun selalu berbohong tanpa merasa berdosa.
Siapapun tak ingin dibohongi, seorang istri akan sangat sakit hatinya bila
ketahuan suaminya berbohong, begitu juga sebaliknya. Rakyat pun akan murka
bila dibohongi pemimpinnya. Juga tidak kalah penting dalam menyampaikan
kebenaran, adalah keberanian untuk bicara tegas, jangan ragu dan takut,
apalagi jelas dasar hukumnya yaitu Al Quran dan hadits.
(QS al-Ahzab : 70)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar”.
Ayat ini berada dalam satu kelompok yang terdiri dari tiga ayat (69-71)
yang sedang menjelaskan bahwa takwa kepada Allah dapat membawa pada
perbaikan amal dan terampuninya dosa. Pada ayat sebelumnya (ayat 69), Allah
menyeru orang-orang beriman untuk tidak meniru perbuatan kaum yang telah
menyakiti Nabi Mûsâ. Dan pada ayat ini (ayat 70) Allah kembali menyeru orang-
orang beriman untuk bertakwa kepada-Nya dan bertutur dengan kata-kata yang
benar (qaul sadîd). Hingga di sini sekurangnya terdapat dua poin :
Pertama, terlihat bahwa perintah bertakwa disusul langsung perintah berkata-
kata yang baik. Ini memberi makna bahwa terdapat hubungan erat antara takwa
dan keharusan menjaga lisan, di antaranya dengan bertutur-kata yang baik.
Takwa bukan hanya pengakuan tapi lebih sebagai pembuktian. Di antara bukti
paling nyata dan paling mudah ditangkap adalah bagaimana yang besangkutan
menjaga lisannya lewat tutur-kata yang baik.
Kedua, pada beberapa ayat lain kata-kata yang baik disampaikan dengan term
qaul ma’rûf. Sedangkan pada ayat ini disampaikan dengan qaul sadîd. Meski
keduanya dapat diterjemahkan sebagai kata-kata yang baik, pastilah antara
keduanya terdapat penekanan makna yang sedikit-banyak berbeda.
Dalam al-Jâmi’ lî Ahkâm al-Qur`ân, al-Qurthubî menyebutkan sejumlah
pengertian untuk qaul sadîd, yaitu qashdân wa haqqân (efisien dan benar),
shawâb (tepat), al-ladzî yuwâfiqu zhâhiruhu bâthinahu (yang selaras luar-
dalamnya), mâ urîda bihî wajh Allâh dûna ghairuh (yang diniatkan hanya karena
Allah, bukan lain-Nya), dan al-ishlâh bain al-mutasyâjirîn (mendamainkan orang-
orang yang bertengkar). Apa pun, tegas al-Qurthubî, qaul sadîd mencakup
semua kebaikan (al-khairât); mencakup semua yang telah disebutkan dan
lainnya.
Seperti apa pun rumusan qaul sadîd, yang jelas berdasar ayat ini takwa harus
diiringi dengan pembuktian nyata, di antaranya dengan bertutur kata yang baik,
kapan dan di mana pun serta terhadap siapa pun.
2. Qaulan Baligha (tepat sasaran, komunikatif, to the point, mudah dimengerti)
Kata Qaulan Baligha disebutkan Firman Allah SWT dalam QS. An Nisa ayat 63
dan QS. Ibrahim ayat 4.
(QS. An Nisa : 63)
4ع@ر6ض@ أ 6ه6م@ ف477 وب ا ف6ي ق<ل77< :ه< م477 4م< الل 4ع@ل :ذ6ين4 ي 6ك4 ال 4ئ <ول أ6يغ2ا 4ل ه6م@ ق4و@ال ب @ف<س6 4ن 4ه<م@ ف6ي أ @ه<م@ و4ع6ظ@ه<م@ و4ق<ل@ ل ع4ن
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati
mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka
pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang
berbekas pada jiwa mereka”.
Secara tema, ayat ini berhubungan erat dengan setidaknya tiga ayat
sebelumnya (ayat 60-62). Pada ayat 60 Nabi Saw. diingatkan tentang
sekelompok orang yang mengaku beriman kepada al-Qur`an dan kitab-kitab
sebelumnya, namun perilaku mereka berlawanan dengan pengakuan lisannya.
Mereka ini sesungguhnya orang-orang yang tidak mau menjadikan al-Qur`an
sebagai pedoman hidup. Lewat ayat ini, Nabi Saw. diminta berhati-hati terhadap
mereka.
Kemudian ayat 61 menunjukkan ciri-ciri mereka, di antaranya jika mereka
diajak mematuhi hukum Allah dan Rasul-Nya, mereka enggan. Bukan hanya
enggan, mereka juga sekuat tenaga menghalang-halangi orang lain yang hendak
mengikuti ajakan itu. Ayat 62 menyebutkan ciri-ciri mereka lainnya, yaitu apabila
mereka ditimpa musibah sebagai akibat perbuatannya, mereka akan menemui
Nabi Saw. seraya bersumpah bahwa mereka hanya menghendaki penyelesaian
dan perdamaian.
Mereka adalah orang-orang munafik. Allah tahu isi hati mereka. Mereka
adalah orang-orang yang menyembunyikan niat buruk dan keinginan jahat.
Namun di hadapan Nabi Saw. mereka berlagak menginginkan perdamaian dan
kebaikan bersama. Namun demikian, Nabi Saw. diperintah untuk tetap berlaku
baik terhadap mereka seraya memberi mereka wejangan dan pelajaran. Kepada
mereka Nabi Saw. diminta untuk menyampaikan perkataan yang berbekas pada
jiwa mereka(qaul balîgh).
Pada orang-orang munafik kata-kata seperti itu antara lain dorongan
untuk kembali ke jalan yang benar, bertaubat, istiqamah di jalan kebenaran,
serta menepati semua perintah Allah dan Rasul-Nya. Pintu taubat masih terbuka.
Jalan untuk kembali kepada-Nya belum tertutup. Allah masih siap menerima
permohonan ampun mereka. Rasul pun siap memohonkan ampunan bagi
mereka.
Konteks awal ayat ini memang tentang orang-orang munafik. Namun dalam
implementasinya penggunaan qaul balîgh bukan hanya ditujukan terhadap kaum
munafik, melainkan terhadap semua golongan. Tentu saja dengan
mempertimbangkan tingkat kecerdasan, daya tangkap, kedewasaan, setting
sosial-ekonomi dan budaya, dan semacamnya. Setiap kelompok atau golongan
menuntut tipe atau model qaul balîgh tertentu. Tipe atau model yang cocok buat
kalangan petani belum tentu cocok buat kalangan pedagang, dan begitu
seterusnya.
(QS.Ibrahim : 4)
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.
Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk
kepada siapa yang dia kehendaki. Dan dialah Tuhan yang Mahakuasa lagi
Mahabijaksana”
Kata Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran,
komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the
point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran,
gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar
intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh
mereka.
Sebagai orang yang bijak bila berdakwah kita harus melihat situasi dan
kondisi yang tepat dan menyampaikan dengan kata-kata yang tepat. Bila bicara
dengan anak-anak kita harus berkata sesuai dengan pikiran mereka, bila dengan
remaja kita harus mengerti dunia mereka. Jangan sampai kita berdakwah
tentang teknologi nuklir dihadapan jamaah yang berusia lanjut yang tentu
sangat tidak tepat sasaran, malah membuat mereka semakin bingung. Gaya
bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus
dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Berbicara
di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan
mahasiswa. Dalam konteks akademis, kita dituntut menggunakan bahasa
akademis. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa jurnalistik
sebagai bahasa komunikasi massa (language of mass communication)
.
3. Qaulan Ma’rufa (perkataan yang baik)
Kata Qaulan Ma`rufa disebutkan Firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab ayat 32,
QS An-Nissa ayat 5 dan 8, serta QS. Al-Baqarah ayat 235 dan 263
(QS. Al Ahzab : 32)
<ن: @ت :ق4ي 6ن6 ات اء6 إ >س477 ح4د� م6ن4 الن4 4أ <ن: ك ت 4س@ 6ي> ل :ب اء4 الن 6س4 4ا ن ي
6ه6 م4ر4ض� @ب :ذ6ي ف6ي ق4ل 4ط@م4ع4 ال @ق4و@ل6 ف4ي 6ال 4خ@ض4ع@ن4 ب ف4ال توف2ا @ن4 ق4و@ال م4ع@ر< و4ق<ل
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Qaulan
Ma’rufa –perkataan yang baik.”
Seperti dikatakan Wahbah al-Zuhailî, ayat ini seakan berkata kepada isteri-isteri
Nabi Saw. “Janganlah kalian melembutkan kata-kata atau menghaluskannya
ketika kalian berbicara dengan kaum laki-laki. Hendaklah kata-kata kalian tegas,
serius dan kuat sehingga orang yang dalam hatinya ada kecenderungan
terhadap kefasikan dan dosa tidak terdorong melakukan kecurangan. Bicaralah
dengan kata-kata yang baik dan biasa digunakan sehari-hari, tidak dibuat-buat
dan jauh dari kesan menggoda.”. Larangan ini tidak berarti istri-isteri Nabi Saw.
waktu itu sedang dalam keadaan yang perlu diluruskan, tidak berarti mereka
sedang menyimpang. Ayat ini hanya sedang menuntun mereka menaiki level
perilaku yang lebih unggul dan utama. Ayat ini sedang memagari mereka dari
perbuatan keji dengan mencegah mereka dari salah satu jalan kekejian yaitu
berbicara dengan kaum laki-laki dengan cara yang mengandung kefasikan dan
mengundang kejahatan. Dalam hal ini isteri-isteri umat ini diwajibkan mengikuti
isteri-isteri Nabi Saw.
Pesan-moral dari ayat ini tentu saja berlaku universal. Siapa pun, kapan dan di
mana pun tidak boleh bicara dengan kata-kata dan gaya yang mengandung
serta mengundang kefasikan dan dosa. Qaul ma’rûf mencakup kata-kata yang
seperti itu, yakni kata-kata yang bebas dari unsur dosa dan kefasikan serta tidak
mengundang perilaku dosa dan kefasikan.
(QS An-Nissa : 5)
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan.
berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka
Qaulan Ma’rufa –kata-kata yang baik.”
Ayat ini (ayat 5) sendiri, lebih spesifiknya berada dalam kelompok ayat yang
sedang menunjukkan beberapa kewajiban para wâshî (pengasuh) terhadap
asuhannya dan kewajiban para wali terhadap orang yang ada di bawah
perwaliannya.
Ayat ini melarang para wali menyerahkan harta yang ada dalam
kekuasaannya kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, yaitu anak
yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur hartanya.
Hal itu karena dalam pandangan Allah harta merupakan pokok kehidupan. Yang
kemudian yang harus dilakukan para wali terhadap anak yatim yang belum balig
adalah memberi mereka kebutuhan belanja dan kebutuhan sandang dari hasil
pengelolaan harta itu.
Kewajiban para wali terhadap anak yatim yang ada dalam perwaliannya tidak
hanya menyangkut tindakan, tetapi juga menyangkut ucapan. Di sini terlihat
keharusan adanya keutuhan sikap, bukan hanya baik pada tindakan, tapi juga
pada ucapan. Para anak yatim itu berhak atas kecukupan belanja dan pakaian
dari para wali mereka, di saat sama mereka juga berhak mendapatkan ucapan
yang baik(qaul ma’rûf) dari wali-wali mereka.
Dalam Tafsîr Rûh al-Bayân dikatakan bahwa yang dimaksud dengan qaul ma’rûf
adalah kalâman layyinan tathîbu bihi nufûsuhum (kata-kata lemah-lembut yang
mengenakkan diri anak-anak yatim). Sementara itu Ibn Katsîr mengartikannya
al-kalâm al-thayyib wa tahsîn al-akhlâq (kata-kata yang baik dan mengindahkan
akhlak). Sedangkan al-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa ma’rûf adalah segala
ucapan dan perbuatan yang indah, baik menurut akal maupun menurut syara’,
sehingga jiwa menyukainya dan merasa nyaman dengannya. Sedang kebalikan
dari itu munkar .
Al-Zamakhsyarî memberi contoh qaul ma’rûf yang dapat disampaikan para wali
kepada anak-anak yatim yang ada dalam pewaliannya, seperti, “Jika kalian
sudah layak dan dewasa, kami akan menyerahkan harta kalian kepada kalian.”
Atau, “Jika aku beruntung aku akan memberimu, dan jika aku mendapat
ghanîmah dalam peperanganku aku akan memberi bagianmu.”
Ayat ini, meski konteks awalnya tentang hubungan wali dengan anak
perwaliannya, namun pesan-moral yang dikandungnya berlaku umum, bagi
siapa pun, kapan dan di mana pun, terutama para pihak yang memiliki pola
hubungan yang mirip dengan yang tergambar dalam ayat di atas, seperti
hubungan atasan-bawahan, tuan-pelayan, pemimpin-rakyat, pejabat-rakyat,
guru-murid, dosen-mahasiswa, orangtua-anak, dan seterusnya. Pihak-pihak yang
disebut pertama memiliki beberapa kewajiban terhadap pihak kedua. Kewajiban
itu bukan hanya menyangkut pemenuhan materil, tapi juga menyangkut sikap
seperti bagaimana bertutur-kata. Ayat ini dengan jelas memberi perintah untuk
menyampaikan qaul ma’rûf; kata-kata yang baik, santun dan enak didengar.
(QS An-Nissa : 8)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka
Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik”.
Ayat ini berada dalam kelompok ayat (ayat 7 sampai 10) yang sedang
menjelaskan hak-hak ahli waris dari harta warisan (tirkah) dan hak-hak pihak
lainnya dari kalangan orang-orang yang memerlukan, anak-anak yatim, dan
kerabat yang bukan ahli waris. Pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa baik
laki-laki maupun memiliki bagian, banyak maupun sedikit, dari harta
peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya. Masing-masing akan mendapatkan
bagiannya sesuai dengan ketetapan.
Kemudian pada ayat ini dijelaskan juga bahwa kerabat, anak yatim dan
orang miskin memiliki hak tertentu (sekadarnya) jika mereka ikut menghadiri
pembagian harta warisan. Ayat ini juga menyatakan bahwa hak mereka bukan
hanya bagian tertentu dari harta waris, tapi juga perlakuan dan kata-kata yang
baik (qaul ma’rûf) dari pihak pembagi harta waris. Dengan begitu, secara materi
mereka dipenuhi kebutuhannya dan secara psikologis mereka dijaga
perasaannya. Demikian terlihat arahan sempurna al-Qur`an dalam menata
perilaku dan membimbing interaksi manusia dengan sesamanya.
Menurut Wahbah Zuhaili, ayat ini menyentuh sisi psikologis yang mungkin
muncul dari kerabat, anak yatim, atau orang-orang miskin apabila mereka
menghadiri pembagian harta waris. Ayat ini memerintahkan agar mereka diberi
bagian tertentu dari harta waris walau sedikit dan hendaklah disampaikan
kepada mereka kata-kata yang baik dan permintaan maaf yang layak yang
dapat menenangkan hati mereka, menghilangkan kedengkian, dan mengikis
kebencian dari diri mereka.
(QS. Al-Baqarah : 235)
.............
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita² itu dengan sindiran atau
kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekadar mengucapkan (kepada mereka)
Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik…”.
(QS. Al-Baqarah: 263)
“Qaulan Ma’rufa dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi
dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi
Maha Penyantun.”.
Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun,
menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung
perasaan. Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan
menimbulkan kebaikan (maslahat).
4. Qaulan Karima (perkataan yang mulia)
Kata Qaulan Karima disebutkan Firman Allah SWT dalam QS. Al Isra ayat 23
(QS. Al Isra’ : 23)
2ا ان 6ح@س4 @ن6 إ 6د4ي @و4ال 6ال :اه< و4ب 6ي 6ال إ <د<وا إ 4ع@ب ال ت4 �ك4 أ ب و4ق4ض4ى ر4
4ق<ل@ و@ ك6اله<م4ا ف4ال ت4 4ح4د<ه<م4ا أ 4ر4 أ 6ب @ك @د4ك4 ال ن <غ4ن: ع6 @ل 4ب 6م:ا ي إ
4ر6يم2ا 4ه<م4ا ق4و@ال ك ه<م4ا و4ق<ل@ ل @ه4ر@ 4ن <ف� و4ال ت 4ه<م4ا أ ل
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara
keduanya atau
kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan
engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan
yang baik”.
Dari ayat tersebut jelas bahwa kita diperintahkan untuk mengucapkan
perkataan yang baik atau mulia karena perkataan yang baik dan benar adalah
suatu komunikasi yang menyeru kepada kebaikan dan merupakan bentuk
komunikasi yang menyenangkan. Pendekatan yang digunakan adalah dengan
perkataan yang mulia, santun penuh penghormatan dan penghargaan tidak
menggurui tidak perlu retorika yang meledak-ledak.
Term qaulan karima terdapat dalam surat al-isra ayat 23. Dalam surat ini
dijelaskan beberapa aturan pergaulan dengan sesama manusia. Secara spesifik,
ayat ini dan ayat sesudahnya menata pola hubungan dengan kedua orang tua.
Seperti terlihat, ayat ini menggunakan kata qadhâ untuk memerintah manusia
beribadah hanya kepada Allah. Qadhâ memiliki arti antara lain amara, alzama
dan aujaba ‘alaikum (memerintahkan, mengharuskan, dan mewajibkan).
Bagaimana pun, ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa manusia dilarang
menyembah kepada selain-Nya. Kemudian ayat ini menyebutkan kewajiban
lainnya, yaitu berbuat baik dengan sebaik-baiknya kepada kedua orang tua.
Kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua tidak berbatas waktu; sampai
kapan pun setiap orang harus berbuat baik pada mereka, terlebih saat keduanya
atau salah satunya sudah menginjak usia lanjut. Jika salah satu atau kedua orang
tua yang sudah berusia lanjut berada dalam pemeliharaan ananya, maka si anak
dilarang keras melontarkan kata-kata yang dapat menyakiti orang tuanya. Tidak
boleh ada bantahan atau pun bentakan dari anak pada orang tuanya. Yang harus
ada adalah perkataan yang mulia, panggilan yang santun, serta tutur-sapa yang
baik dan memuliakan. Kata “Ah” yang tidak boleh diucapkan seorang anak
kepada orang tuanya merupakan penyederhanaan dari segala jenis dan bentuk
kata yang jelek, hina, tidak sopan, tidak pantas dan padanan-padanan negatif
lainnya. Singkatnya, “Ah” mewakili semua ucapan yang dapat melukai perasaan
dan menyakiti hati orang tua. Kebalikan dari kata “Ah”, kata-kata yang harus
diucapkan kepada orang tua adalah qaul karîm. Secara praktikal, qaul karîm
adalah kata-kata yang disampaikan seorang hamba yang hendak bertaubat di
hadapan Sang Tuan yang penuh wibawa dan keagungan.
Ayat ini, meski konteksnya tentang bagaimana bergaul dengan orang tua,
namun pesan moralnya berlaku universal, meliputi semua pola pergaulan
terutama antara seseorang dengan orang lain yang usianya lebih tua. Pola
komunikasi yang harus dikembangkan dalam pergaulan “muda-tua” adalah pola
qaul karîm. Yakni komunikasi yang menjunjung nilai-nilai kemuliaan. Yang muda
sadar akan kemudaannya di hadapan yang tua sehingga ia tahu hak-hak yang
tua terhadap dirinya yang masih muda. Sementara yang tua tidak
memanfaatkan ketuaannya untuk menekan yang muda menunaikan
kewajibannya terhadap dirinya yang lebih tua. Masing-masing pihak sadar diri;
tahu diri, mawas diri, pintar menempatkan diri, mengerti mana hak yang
mungkin ia dapatkan dan mana kewajiban yang harus ditunaikan.
Dengan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaulan karimah
adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan
mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama.
Sedangkan dalam konteks jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima
bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan
menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis.
5. Qaulan Layyinan (perkataan yang lembut)
Kata Qaulan Layyinan disebutkan Firman Allah SWT dalam QS. Thaha ayat 43
dan 44, serta QS Al A’raf ayat 55,
(QS. Thaha : 43-44)
:ه< ط4غ4ى 6ن ع4و@ن4 إ 6ل4ى ف6ر@ 4ا إ اذ@ه4بى 4خ@ش4 و@ ي
4 :ر< أ 4ذ4ك 4ت :ه< ي 4ع4ل 2ا ل >ن 4ي 4ه< ق4و@ال ل ف4ق<وال ل“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun karena benar-benar dia telah melampaui
batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”.
Dalam surat Thâhâ, ayat ini berada dalam satu kelompok ayat yang
sedang mengisahkan Nabi Mûsâ dan Nabi Hârûn yang diperintah Allah untuk
menghadap Fir’aun. Kelompok ayat tersebut mulai dari ayat 42 sampai 56. Pada
ayat ini Allah menyuruh Nabi Mûsâ dan Nabi Hârûn untuk tetap menjaga kata-
kata yang lembut dalam menyampaikan seruan mereka kepada Fir’aun. Dengan
kata-kata yang santun lagi lembut, antara lain diharapkan Fir’aun sadar lalu
takut kepada Allah. Al-Zamakhsyarî dalam al-Kasysyâf memberi makna untuk
qaul layyin dalam ayat ini, antara lain dengan kata-kata yang tidak menimbulkan
rasa tidak enak pada orang yang diajak bicara; kata-kata yang lemah-lembut. Di
antara bentuk qaul layyin adalah memanggil seseorang dengan gelar atau
julukan yang disukai orang itu.
Dari ayat tersebut juga dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan Layina
berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan
penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak
mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak
suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertutur
kata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat
menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir
disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata
kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar
berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati
komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan
jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita. Ayat ini juga
menggariskan sekurangnya dua hal terkait bagaimana berkomunikasi dengan
pihak lain. Pertama, keharusan menyampaikan kata-kata yang lemah-lembut,
santun, halus serta mengenakkan, dan kedua, kata-kata seperti itu disampaikan
terutama kepada penguasa zalim yang sangat diharapkan kesadaran dan
ketakwaannya kepada Allah.
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari
kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Allah
melarang bersikap keras dan kasar dalam berdakwah, karena kekerasan akan
mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah ummat akan menjauh. Dalam
berdoa pun Allah memerintahkan agar kita memohon dengan lemah lembut,
(QS. Al A’raaf : 55)
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lemah
lembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,”
6. Qaulan Maysura (perkataan yang ringan)
Kata Qaulan Layyinan disebutkan Firman Allah SWT dalam QS. Al Isra’ ayat 28
(QS. Al Isra’ : 28)
ك4 ب77> ة� م6ن@ ر4 ح@م477 اء4 ر4 6غ477 @ت @ه<م< اب ن: ع4ن <ع@ر6ض477 ا ت 6م77: و4إ
ا ور2 @س< 4ه<م@ ق4و@ال م4ي ج<وه4ا ف4ق<ل@ ل 4ر@ ت”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya
yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura –ucapan
yang mudah”.
Kata maisura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan maisura adalah lawan dari kata ma’sura, perkataan yang sulit. Sebagai bahasa Komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku. Qaulan maisura berarti pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali.
b) Hadist
Di dalam hadits Nabi juga ditemukan prinsip-prinsip etika komunikasi,
bagaimana Rasulullah saw mengajarkan berkomunikasi kepada kita. Berikut
hadits-hadits tersebut:
1. qulil haqqa walaukana murran “Katakanlah kebenaran walaupun pahit
rasanya” (HR Ibnu Hibban).
“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R.
Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena
sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan
itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
2. falyakul khairan au liyasmut (katakanlah bila benar kalau tidak bisa,
diamlah).
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas)
mereka” (H.R. Muslim).
3. laa takul qabla tafakur (janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih
dahulu).
4. Nabi menganjurkan berbicara yang baik-baik saja, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya, “Sebutkanlah apa-apa yang baik
mengenai sahabatmu yang tidak hadir dalam pertemuan, terutama hal-hal
yang kamu sukai terhadap sahabatmu itu sebagaimana sahabatmu
menyampaikan kebaikan dirimu pada saat kamu tidak hadir”.
5. Selanjutnya Nabi saw berpesan, “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada
orang-orang…yaitu mereka yang memutar balikan fakta dengan lidahnya
seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan lidahnya”.
Pesan Nabi saw tersebut bermakna luas bahwa dalam berkomunikasi
hendaklah sesuai dengan fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita alami.
Prinsip-prinsip etika tersebut, sesungguhnya dapat dijadikan landasan bagi
setiap muslim, ketika melakukan proses komunikasi, baik dalam pergaulan
sehari-hari, berdakwah, maupun aktivitas-aktivitas lainnya.